Anda di halaman 1dari 224

Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteiru

Volume 02 Bahasa Indonesia


Di translate oleh Aoi.
Zcaoi.blogspot.com

PDF oleh ユウトくん


Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteiru - Volume 02

Prolog
x x x

Ketika Golden Week telah berakhir, aku merasa kalau hari terasa lebih panas dari hari-hari
sebelumnya. Juga, ketika para siswa punya banyak sekali waktu bebas, maka akan membuat hari itu
terasa lebih panas dari biasanya. Aku mungkin keren, hard-boiled, tapi aku juga lemah terhadap
panas. Karena itulah, aku mulai mencari tempat yang lebih sejuk, dan akupun mencari di tempat-
tempat yang kurang familiar.

Suhu normal tubuh manusia adalah 36°C. Jika memakai angka itu sebagai pegangan, maka
berkumpul dengan orang lain akan membuat suasananya seperti berada di dalam perapian. Bahkan
aku sendiri tidak bisa menangani rasa panas yang dihasilkan hal-hal semacam itu.

Para kucing juga melakukan hal yang sama, tahu tidak? Mereka akan mencari tempat yang jarang
mereka kunjungi ketika cuacanya menjadi panas. Jika mengesampingkan sikapku di musim panas ini,
aku juga biasanya mencari tempat dimana jarang terlihat adanya manusia disana. Tolong dicamkan
ya, ini bukannya aku tidak nyaman di kelas ataupun aku merasa bukan bagian dari komunitas
kelas ini bukanlah seperti itu.

Ini adalah sebuah insting atau kasarnya, teman-teman sekelasku yang tidak melakukan tindakan
serupa denganku sudah gagal sebagai makhluk hidup. Mereka berkumpul seperti kumpulan ternak
karena mereka lemah. Tahu tidak, hanya makhluk-makhluk lemah yang membuat kelompok dan tidak
mengandalkan insting mereka. Para herbivora berkumpul bersama sehingga mereka bisa
mengorbankan salah satu dari mereka jika mereka diserang oleh karnivora, dan itu tidak berbeda
dengan teman sekelasku. Mereka mengunyah rumput dengan ekspresi wajah tanpa dosa sementara
teman mereka dimakan hidup-hidup oleh karnivora.

Jadi begitulah. Hewan yang kuat tidak berkumpul seperti itu. Apa mereka tidak tahu istilah "Sang
Serigala Kesepian"? Kucing memanglah manis dan Serigala memang keren. Dengan kata lain,
penyendiri adalah orang yang manis dan keren.

Dengan pikiran-pikiran semacam itu di kepalaku, aku terus melangkahkan kakiku. Tujuanku: tangga
menuju atap gedung. Rute menuju kesana terhalang oleh banyak sekali bangku-bangku yang tidak
terpakai dan dibiarkan menghalangi jalan seperti itu, jadi jalan ini hanya cukup untuk dilewati oleh
satu orang saja.

Jika ini hari yang normal, harusnya pintu menuju atap digembok. Tapi hari ini, kulihat kalau pintu
atap terbuka. Kupikir ada siswa yang membongkar kuncinya dan pergi kesana untuk tujuan
tertentu tahulah seperti merokok, melakukan kenakalan, dan menyukai tempat-tempat tinggi.

Antusiasmeku seperti sedang diuji ketika melihat ada 3 meja dan 2 kursi memblokir jalanku. Akupun
melakukan beberapa gerakan akrobatik yang membuatku terlihat keren seperti biasanya. Kyaaa. Gue
jantan banget! Membuatku jatuh cinta kepada diriku sendiri.

Tapi aku menyadari kalau kalau suasananya cukup sunyi ketika aku hendak melewati pintu atap itu.
Aneh sekali. Setahuku, siswa dan siswi penganut riajuu membenci kesunyian. Konsep yang serupa
berlaku kepada hewan yang takut kepada api. Mereka mengartikan suasana yang sunyi adalah hal
yang membosankan, jadi agar bisa meyakinkan diri mereka kalau mereka bukanlah orang yang
membosankan, mereka akan mengobrol dan mengoceh sana-sini. Dengan kata lain, ketika mereka
berbicara denganku, mereka hanya berusaha mengusir kebosanan mereka dan aku hanya melihat
mereka seperti orang yang tidak berbicara sama sekali. Aku sendiri membayangkan apa makna dari
kesunyian mereka...Tidak, ini bukan seperti yang kau pikirkan aku lebih suka suasana yang sunyi,
itu saja.
[note: Riajuu = penganut konsep hidup damai di Jepang.]

Dari kesunyian ini, kurasa tidak ada seorangpun penganut riajuu ada disini. Mungkinkah tidak ada
seorangpun disini?

Ketika kau tahu kalau tidak ada satupun orang disini, tiba-tiba kau merasa bersemangat inilah
artinya menjadi seorang penyendiri. Beginilah diriku. Bukannya aku malu untuk berkumpul dengan
yang lain atau sejenis itu aku hanya berusaha menghargai orang lain dan tidak mau mengganggu
aktivitas mereka.

Ketika menaruh tanganku di pegangan pintu, aku merasakan antusiasme yang luar biasa seperti
berjalan-jalan mencoba ramen di stasiun untuk pertama kali, jantungku berdebar-debar seperti ketika
aku pergi dari Chiba menuju toko buku di Yotsukaido untuk membeli buku porno. Begitulah, karena
aku penyendiri, maka aku bisa merasakan pengalaman yang unik seperti itu.

Langit biru yang terbentang luas dan cakrawala yang tidak terbatas menungguku di balik pintu. Atap
sekolah berubah menjadi atap pribadiku. Seperti orang-orang kaya yang ingin punya jet dan pantai
pribadi. Para penyendiri yang punya waktu pribadi bagi diri mereka adalah para pemenang dalam
kehidupan, jadi itu berarti para penyendiri harusnya diakui.

Langit terbentang luas dan cerah, seperti memberitahukan kepadaku kalau suatu hari nanti aku akan
merdeka dari dunia yang mengikat ini. Kalau aku mendeskripsikan ini seperti sebuah mahakarya, ini
semacam perasaan di film The Shawshank Redemption. Weeell...Aku sebenarnya belum pernah
menonton itu, tapi judulnya seperti memberitahuku kalau film itu kurang lebih bertema seperti itu.

Menatap ke langit yang jauh, seperti menatap ke masa depan. Kurasa ini adalah tempat yang tepat
untuk mengisi Kuisioner Kunjungan Tempat kerja yang ada di tanganku. Kunjungan tempat kerja ini
seperti sebuah tanggal dimana aku harus menghadapi ujian saja.

Di kertas itu, aku menuliskan pekerjaan impianku dan tempat kerja yang kuinginkan, bersamaan
dengan alasannya. Aku sendiri yakin kalau rencana masa depanku ini sudah cocok denganku, jadi
tanganku ini tidak menulis yang lain di kolom ini. Aku bahkan tidak sampai 2 menit untuk
menuliskan semuanya.

...Tapi tiba-tiba

Angin bertiup. Ini semacam angin yang bertiup dengan tujuan tertentu, ini seperti semacam adegan
yang mempertemukan dua orang setelah kegiatan sekolah. Kertas kuisioner yang berisikan impian
masa depanku seperti terbang menuju masa depan dan berubah menjadi pesawat kertas.

Aku mungkin menggunakan kata-kata yang terlalu puitis, tentunya yang kubicarakan adalah kertas
yang baru saja kutulis itu. Oi, bangsat lu, angin, sialan lu!

Seperti sedang membuatku kesal, kertas itu turun ke lantai atap, lalu terbang lagi ketika aku hendak
menangkapnya.

...Meh, kertas sialan. Aku akan minta kertas lagi dan menulis ulang saja. Moto favoritku adalah
"kalau tidak berhasil setelah mencoba, menyerah saja", jadi aku tidak begitu sedih. Kau juga bisa
menambahkan motonya, "menyerah jika situasinya bertambah sulit".

Menyerah, dan aku mulai berjalan kembali dan di momen itulah terjadi sesuatu.

"Apa ini punyamu?"

Aku mendengar sebuah suara. Aku mulai mencari pemilik suara serak dan lemah itu, tapi tidak ada
seorangpun di sekitarku. Sebenarnya tempat yang sunyi adalah hal yang familiar bagiku, tapi itu
bukan masalah sebenarnya saat ini - aku tidak bisa menemukan adanya orang lain di atap ini.

"Kau melihat kemana?" aku melihat suara yang sedang menertawakanku dari atas.

Jika suara itu berasal dari atasku, sepertinya aku tahu itu berasal dari mana. Itu adalah tempat yang
menjulang tinggi ke langit, jauh lebih tinggi dari atap tangga menuju tandon air.

Pemilik suara itu sedang bersandar ke tandon air, melihat ke arahku. Dia bermain-main dengan
korek murah seharga 100Yen di tangannya, kedua mata kami bertemu dan dia tiba-tiba langsung
memasukkan korek itu ke kantong seragamnya.

Rambutnya yang panjang dan kebiruan dibiarkan terurai; dasi pitanya dibiarkan terbuka,
menunjukkan lekukan dadanya; kancing lengan kemejanya dibiarkan terbuka; kakinya panjang dan
terlihat siap menendang kapanpun. Tapi yang berkesan bagiku adalah tatapan matanya yang tidak
memperlihatkan adanya ambisi, dan melihat ke arah kejauhan. Adanya kantong mata yang menghitam
di bawah matanya benar-benar membuat dirinya terkesan seperti orang yang kelelahan.

"Apa ini milikmu?" gadis itu bertanya dengan nada yang sama.

Aku tidak tahu dia ini anak kelas berapa, jadi untuk sementara waktu, aku diam saja dan
mengangguk.

Tahu tidak, aku harus bersikap formal jika seandainya dia itu ternyata seniorku di kelas 3, tapi jika
tidak, maka itu akan membuatku terlihat konyol. Orang yang kuat harus bisa menyimpan kartu-
kartunya dengan baik.

"...Tunggu sebentar ya." dia mendesah dan menaruh tangannya di pegangan tangga. Dia menuruni
tangga itu secara perlahan.

...Tapi tiba-tiba

Angin bertiup. Tiupan angin ini sejenis angin yang bisa menyapu kegelapan dalam sekali tiup,
seperti memberikan petunjuk akan sebuah takdir. Sebuah impian yang ditunjukkan oleh tiupan angin
ini seperti membekas di memoriku.

Aku mungkin baru saja memakai kata-kata puitis untuk menggambarkan hal itu, sebenarnya aku
baru saja melihat celana dalamnya. Oi, kau melakukan hal yang bagus, angin, kau memang yang
terbaik!
Gadis itu turun dari tangga, dan menyerahkan kertas itu kepadaku tapi sebelum dia menatapku...

"...Apa kamu ini idiot?" dia mengatakan itu dengan ketus, seperti melemparkan begitu saja
kepadaku.
Setelah aku menerimanya, dia langsung berbalik ke arah pintu atap dan menghilang begitu saja,
tidak melihat sedikitpun ke arahku. Aku ditinggal sendirian di atap, dan melewatkan peluang untuk
mengatakan "terima kasih" atau "apa maksudmu dengan idiot?" atau "maaf ya aku sudah melihat
celana dalammu".

Akupun menggaruk-garuk kepalaku sambil melihat kertas yang dia berikan kepadaku. Di saat yang
bersamaan, bel berbunyi yang menandakan jam istirahat telah usai. Setelah mendengar itu, akupun
mulai berjalan menuju pintu.

"Renda hitam, huh..." akupun menggumamkan itu, mengembuskan napas yang berisikan rasa puas
sekaligus kekhawatiran yang mendalam.

Apakah angin yang bertiup dari laut ini akan membawa kata-kataku tadi ke seluruh dunia...

x Prolog | END x
Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteiru
Volume 02 Bahasa Indonesia
Di translate oleh Aoi.
Zcaoi.blogspot.com

PDF oleh ユウトくん


Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteiru - Volume 02

Kuisioner Kunjungan Tempat Kerja


SMA Soubu
Kelas 2F
Hikigaya Hachiman

Pekerjaan Yang Diinginkan

Suami Rumahan

Tempat Kerja Yang Diinginkan

Rumahku

Tuliskan Alasan Anda Di Bawah

Menurut para leluhur, bekerja berarti menerima kekalahan.

Bekerja adalah sebuah kegiatan dimana menempatkan dirimu dalam posisi yang beresiko agar bisa
memperoleh imbalan. Dengan kata lain, pekerjaan ideal adalah yang mendapatkan imbalan sebesar-
besarnya dengan resiko yang seminim mungkin.

Gadis muda (misalnya yang baru beranjak remaja) yang mengatakan kalau "aku ingin menjadi
pengantin ketika dewasa nanti!" bukan karena pengantin sendiri terlihat manis, tapi karena insting
biologis.

Karena itulah, pilihanku dengan "tetap tinggal di rumah dan tidak bekerja" terdengar sempurna dan
sangat beralasan. Harapanku terhadap kegiatan Kunjungan Tempat Kerja ini adalah bisa membuatku
beradaptasi dengan lingkungan kerja sebagai suami rumahan, yaitu tinggal di rumah.

QED.

- Kuisioner Kunjungan Tempat Kerja -


x Tamat x
Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteiru
Volume 02 Bahasa Indonesia
Di translate oleh Aoi.
Zcaoi.blogspot.com

PDF oleh ユウトくん


Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteiru - Volume 02

Chapter 1 : Kemudian, Yuigahama Yui memutuskan untuk belajar -1

xxx

Ada satu tempat yang berada di ruang guru yang dibuat untuk menerima tamu. Ada sebuah dinding
yang memisahkan ruang dengan kursi sofa hitam yang terbuat dari kulit dan segelas kopi dari ruangan
yang lainnya. Ada juga jendela disana, dimana kau bisa melihat perpustakaan dari jendela tersebut.

Sebuah embusan angin pertanda awalnya musim panas yang melewati jendela membuat beberapa
kertas beterbangan. Adegan sentimental tersebut telah mencuri hatiku, dan aku mengikuti gerakan
kertas-kertas tersebut dengan kedua mataku, penasaran bagaimana mereka akan jatuh nantinya. Pelan-
pelan ya. Seperti air mata yang jatuh perlahan, kertas tersebut akhirnya jatuh bebas menuju lantai.

Dan kemudian terbelah. Sebuah pisau kecil memotongnya seperti tombak yang tajam.

Sepasang kaki yang luwes sedang berada di depanku. Entah mengapa aku malah membayangkan
betapa panjang dan bagusnya kaki tersebut meski dibalut jas dan celana panjang.

Jasnya cukup bergaya, tapi tidak cukup untuk mengesankan sensual. Memakai stocking pastinya akan
membuat itu terlihat seksi jika wanita tersebu memakai rok, tapi jika kakinya disembunyikan oleh jas
dan celana panjang, akan terlihat membosankan dan tidak menarik. Jika kaki seorang wanita memang
tidak memiliki nilai sensual, maka tidak ada gunanya memakai jas dan celana panjang maka
kusimpulkan kalau memakai celana panjang itu sengaja untuk menyembunyikan nilai sensual-nya.

Meski begitu, kedua kaki yang berada di depanku tidaklah berbeda. Mereka punya bentuk simetris
yang bisa disetarakan dengan Golden Ratio.

Ah, tapi ini tidak berlaku hanya kepada kakinya saja. Rompi jasnya yang ketat menunjukkan lekuk
tubuhnya, dan lekukan itu berujung kepada dadanya yang...YA AMPUN, APAKAH ITU GUNUNG
FUJI? Tubuhnya terbentuk dengan baik seperti sebuah biola tapi bukanlah biola biasa. Biola yang
berdiri dan terlihat megah, seperti Stradivarious yang diciptakan dengan sempurna.

Masalahnya, dia sedang mengambil bentuk dari patung Buddha yang sedang marah, dimana dipahat
oleh pemahat jenius. Dari sudut pandang seni, sejarah, dan budaya maka dia terlihat menakutkan.

Sambil menaruh rokok di mulutnya, Guru Sastra Jepangku, Hiratsuka-sensei menatapku dengan
serius.

"Hikigaya. Kau sudah tahu kan bagaimana akhir dari adegan ini?"

"Sa-Saya tidak tahu Sensei..."


Tatapan matanya semakin intens, dan akupun langsung memalingkan wajahku.

Setelah aku melakukan itu, Hiratsuka-sensei mulai memijat kepalan tangannya. Yang terdengar
olehku saat ini hanyalah sebuah teguran dari Yang Kuasa.

"Jangan bilang kalau kau tidak tahu?"

"...'Sa-Saya tidak tahu? Ah saya tahu!' itulah yang saya hendak katakan tadi Sensei! Anda salah
paham Sensei! Saya tahu betul soal ini! Saya akan menulis ulang! Tolong jangan pukul saya!"

"Maka segera lakukan. Ya ampun...Padahal kupikir kau sudah sedikit berubah."

"Moto saya adalah menyelesaikan apa yang sudah saya rencanakan."

Aku mengatakan itu dengan senyum yang dipaksakan.

Aku bisa merasakan kalau ada uap panas muncul dari kepala Hiratsuka-sensei.

"...Jadi satu-satunya pilihanku adalah memukulmu? Biasanya orang-orang di acara TV akan memukul
orang dahulu sebelum pindah ke adegan selanjutnya."

"To-Tolong Sensei, jangan lakukan itu terhadap diri saya. Ngomong-ngomong, acara TV jaman
sekarang hanya diperbolehkan adegan kekerasan yang ringan-ringan saja. Jaman acara TV yang
Sensei tonton itu menunjukkan usia Sensei!"

"Apa...! Peluru Kejut Pertama!"

Bonk.

Ucapannya barusan tidak ada apa-apanya dibandingkan kepalan tangannya yang mendarat dalam di
perutku.

"...Urk."

Ketika kutegakkan kepalaku dimana nyawaku sudah diambang sekarat Hiratsuka-sensei


mengatakan sebuah ancaman.

"Kalau kau tidak ingin mendapat salam dari Peluru Penghancur Kedua, kau lebih baik menutup
mulutmu rapat-rapat."

"Ma-Maaf..."

Akupun melanjutkan permintaan maafku.

"Tolong ampuni saya dari Peluru Penghancur Kedua."

Hiratsuka-sensei lalu kembali duduk di kursinya, tampak puas akan sesuatunya. Dia tampak
menggerutu ketika melihatku berteriak dengan cepat karena serangannya. Dia mungkin tipe orang
yang secara tidak sadar lupa betapa menyedihkan kata-kata dan sikapnya itu, tapi sebenarnya dia
adalah wanita dengan sifat yang cantik.
"s-Cry-ed adalah acara TV yang bagus, huh...Baguslah kalau kau bisa menyadarinya dengan cepat,
Hikigaya."

Koreksi: dia benar-benar orang yang menyedihkan. Dia tampaknya hanya bisa tertawa oleh
candaannya sendiri.

Belakangan ini aku mulai mengetahui apa hobi dari Sensei. Pada dasarnya, dia suka manga dan anime
action. Aku belajar banyak omong kosong yang harusnya tidak aku pedulikan ini, whoopee.

"Sekarang begini, Hikigaya. Aku ingin bertanya kepadamu, hanya untuk memastikan. Apa tujuan dari
jawaban ampas milikmu ini?"

"Anda harusnya tidak memaki siswa anda sendiri..."

Memang akan lebih mudah jika aku membuat jawaban kuisioner yang pura-pura, tapi karena aku
sudah menaruh segala impianku ke dalam kertas ini, aku sudah tidak punya jawaban lain yang bisa
kutaruh disana. Kalau dia tidak bisa memahami maksudku setelah membacanya, maka itu adalah
masalahnya sendiri.

Hiratsuka-sensei lalu mengembuskan asap rokoknya dan menatapku dengan tajam, seperti sedang
melihatku lebih dalam dan tahu apa yang sedang kupikirkan.

"Aku paham seperti apa sifatmu yang kacau balau itu, tapi kupikir kau sudah lebih dewasa sedikit.
Apa menghabiskan waktu dengan Klub Relawan tidak membuatmu sedikit berubah?"

"Uh-huh..." jawabku, mencoba memikirkan kembali semua waktuku yang kuhabiskan dengan Klub
yang dinamai Klub Relawan ini.

Inti dari kegiatan Klub Relawan adalah, sederhananya begini, mendengarkan kekhawatiran para siswa
dan menyelesaikan masalah mereka. Tapi faktanya, itu semacam ruang isolasi dimana para siswa-
siswa yang terbuang dikumpulkan. Aku akhirnya berada dalam situasi dimana aku dipaksa untuk
membantu orang lain agar aku bisa memperbaiki sifatku yang katanya kacau, tapi karena aku tidak
merasakan sesuatu yang dapat menggugah hatiku disana, tingkat keterikatan emosional diriku dengan
Klub sendiri kurang lebih tidak ada. Lalu apa yang bisa kukatakan?

...Meski begitu, Totsuka memang manis. Yep, kurasa cuma itu saja.

"Hikigaya...Matamu tiba-tiba menjadi berkaca-kaca. Dan kau mulai meneteskan air liurmu."

"Huh?! Oh, sial..." kuseka mulutku segera dengan lenganku.

Itu sangat berbahaya. Sesuatu telah terbangun dalam diriku.

"Kau belum berubah." Hiratsuka-sensei menambahkan lagi. "Kau malah bertambah menyedihkan."

"Err, saya sendiri merasa kalau level menyedihkan saya masih di bawah level menyedihkan anda..."
gumamku. "Menyebutkan s-Cry-ed hanya sesuatu yang bisa kau harapkan terucap dari orang yang
umurnya "

"Ada salam dari Pukulan Penghancur..."


"Maksud saya barusan, itu memang menggambarkan anda sebagai wanita yang sudah dewasa. Saya
benar-benar mengagumi semangat anda untuk membagi informasi tentang hal-hal klasik. Memang!
Serius ini, anda luar biasa!" akupun mengatakan itu. Apalah asal tidak kena pukul.

Ternyata berhasil, karena Hiratsuka-sensei tampak menurunkan kepalan tangannya. Tapi dia tetap
menatapku dengan tajam, seperti seekor binatang buas.

"Ya ampun..." dia mengatakan itu.

"Ya sudah, kirim ulang Kuisioner Tempat Kerja milikmu itu. Ketika kau sudah melakukan itu, aku
ingin kau menghitung tumpukan kertas kuisioner itu sebagai hukuman karena melukai perasaanku."

"...Siap Sensei!"

Ada sebuah tumpukan kertas-kertas di depanku saat ini. Menghitung dan memilah-milah satu-persatu
adalah sebuah siksaan, seperti bekerja di sebuah pabrik roti. Atau mungkin sebagai Penjaga Pantai.

Berduaan dengan seorang Guru Wanita bukanlah perkembangan situasi yang menggugah perasaanku,
dan tentunya jika dia memukulku maka aku tidak akan tiba-tiba terjatuh dan menyentuh dadanya
seperti adegan-adegan mesum yang tidak disengaja. Itu semua adalah omong kosong. Gombal! Aku
ingin seluruh game simulasi kencan dan penulis light novel untuk meminta maaf kepadaku!

xxx

Di SMA Soubu yang terletak di Kota Chiba, ada sebuah event yang disebut Kunjungan Tempat
Kerja dimana hanya dilakukan oleh kelas 2 SMA.

Kuisioner yang diisi siswa tersebut untuk mengetahui pekerjaan yang para siswa inginkan di masa
depan, dan agar mendapatkan pembelajaran yang lebih baik, sekolah akan mengirim siswa-siswa
tersebut ke tempat yang mereka tulis disana. Ini semacam terobosan baru di dunia pendidikan
sehingga bisa menanamkan hasrat bekerja untuk perusahaan di masa depan. Sebenarnya event ini
tidak penting bagiku, serius. Bahkan setiap SMA mungkin punya program yang serupa.

Masalahnya, event ini dilakukan setelah ujian tengah semester. Dengan kata lain, menghitung dan
mensortir kuisioner para siswa ini akan menghabiskan waktu berhargaku sebelum ujian dimulai.

"Jadi kenapa saya ikut event ini, lagipula kenapa ditaruh di tahun ini...?" tanyaku, tampak komplain
dengan hal tersebut.
Sambil menyortir tumpukan kertas ini sesuai tipe pekerjaan sayang sama, Hiratsuka-sensei yang
duduk di kursinya dan memegang rokoknya berkata.

"Ya itu karena momennya sangat tepat, Hikigaya. Apa kau tidak dengar kalau kau akan mulai
menerima kuisioner jurusan kelas tiga setelah liburan musim panas?"

"Entahlah Sensei, saya tidak tahu."

"Kau harusnya tahu itu karena aku sudah menjelaskannya dalam jam pengarahan Wali Kelas..."

"Well, sayangnya, saya sedang entah dimana ketika jam pengarahan wali kelas, jadi saya tidak
mendengarnya."

Tidak, serius ini, kenapa jam pengarahan wali kelas disebut homeroom? Padahal itu bukanlah rumah.
Juga, aku sudah lelah dengan sistem yang mengarahkan siswanya untuk inilah dan itulah dalam jam
pengarahan tersebut. Kalau kau diberi kesempatan untuk berdiri di depan kelas dan memberikan
perintah, aku berharap kalau mereka semua tidak hanya diam dan membuat suasananya sunyi. Jika
seseorang seperti Hayama yang berada di depan, semua orang akan tersenyum dan mendengarkan
seperti sebuah keluarga kecil yang bahagia, tapi ketika aku melakukannya, tidak ada satupun yang
mau mengatakan apapun. Kampret-lah. Malahan, tidak ada yang menyindirku karena mereka semua
pura-pura sibuk.

"...Ngomong-ngomong, Kunjungan Tempat Kerja akan diadakan setelah ujian tengah semester dan
sebelum liburan musim panas. Jadi kau bisa menjalani ujian tersebut dengan pikiran yang jernih,
bukannya menganggap enteng hal itu."

Aku sendiri ragu itu akan bisa terjadi. Hiratsuka-sensei sendiri tampak membuat kepulan asap yang
berbentuk lingkaran setelah menghisap habis rokoknya.

Sekolah yang setiap harinya kudatangi ini, SMA Sobu, memang dibuat untuk mempersiapkan siswa
untuk jenjang universitas. Mayoritas siswa disini berharap untuk bisa melanjutkan ke perkuliahan, dan
faktanya memang mayoritas begitu. Jadi sekolah ini berusaha terus menanamkan mental tersebut
sejak para siswa pertamakali menginjak SMA ini.

Entah karena aku sudah memperhitungkan kalau universitas adalah empat tahun sebelum aku
"berhenti", ketika aku ditanya "masa depanku seperti apa" maka aku tidak punya banyak gambaran.
Aku sudah punya gambaran jelas apa yang akan kulakukan setelah itu. Aku jelas tidak akan bekerja.
"Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu yang tidak berguna..." Hiratsuka-sensei tampak
menatapku, lalu dia menambahkan.

"Jadi, kau akan memilih kelas IPA atau IPS?" tanyanya.

"Well, begini, yaitu, saya "

Ketika aku membuka mulutku, sebuah suara yang keras memotongku.

"Ah, ternyata kau disana!"

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat rambutnya (sebenarnya terlihat seperti bakpao)


terlihat bergoyang-goyang. Seperti biasanya, dia memakai rok pendek dan kemeja dengan dua atau
tiga kancing sengaja dibiarkan terbuka, memperlihatkan tulang selangkanya dengan jelas. Dia adalah
Yuigahama Yui, yang telah menjadi kenalanku belakangan ini. Fakta kalau dia hanya level kenalan
padahal dia sekelas denganku, sudah mengatakan dengan jelas seperti apa level komunikasi milikku.
Sangat menyedihkan.

"Oh hei, Yuigahama." kata Hiratsuka-sensei. "Maaf ya, aku pinjam dulu Hikigaya darimu."

"Di-Dia bukan milikku atau sejenisnya! Jadi itu tidak masalah!"

Yuigahama menyangkal itu dengan buru-buru, sambil mengibaskan tangannya. Aku merasa dia
seperti mengatakan "Aku tidak membutuhkannya!". Disangkal seperti itu memang terasa sedikit
melukaiku...

"Jadi ada apa kesini?" tanyaku.

Orang yang menjawabku bukanlah Yuigahama, tapi gadis yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
Rambut hitamnya (yang diikat dengan model twin-tail) terlihat bergoyang-goyang, mengimbangi
gerakannya.

"Kau tidak datang ke Klub, jadi dia pergi mencarimu. Maksudku, yang mencarimu itu adalah
Yuigahama-san."

"Umm, kau tidak perlu menjelaskan bagian terakhir tadi. Aku sudah tahu."
Gadis berambut hitam yang memiliki satu-satunya fitur andalan adalah wajahnya, Yukinoshita
Yukino. Seperti boneka porselen, dia adalah gadis yang sangat mempesona, tapi sikapnya sangat
dingin sekali, itu juga salah satu hal yang kau dapat dari boneka porselen. Seperti yang kau tebak dari
bagaimana dia membakarku hidup-hidup setelah melihatku, kita memang tidak memiliki hubungan
yang baik.

Yukinoshita dan diriku berada di Klub yang sama Klub Relawan saat ini. Dia adalah
ketuanya. Di setiap kegiatan Klub, kita seperti berusaha menyerang satu sama lain, memang kadang
kita terlihat akrab. Pada dasarnya, kita berdua ini seperti hubungan yang sudah tidak terselamatkan
lagi, perselisihan tiada akhir diantara kita seperti menaruh garam pada luka kami masing-masing.

Mendengarkan kata-kata Yukinoshita, Yuigahama menyilangkan lengannya dan menggerutu.

"Aku tanya orang-orang tentang keberadaanmu. Semua orang seperti 'Hikigaya? Siapa dia?' Sungguh
aneh."

"Kau tidak perlu menjelaskan itu."

Bagaimana bisa gadis ini terus menusuk hatiku seperti ini? Dia bahkan tidak perlu membidik. Apa dia
semacam sniper yang jenius atau bagaimana?

"Terasa sangat aneeeeh sekali,"

Dia kembali mengulang itu dengan alasan yang bodoh, dan menggerutu. Tapi karenanya pula, aku
kini tahu kalau tidak ada satupun di sekolah ini tahu siapa aku sebenarnya.

Well, ternyata tidak buruk juga, terutama jika kau tahu bagaimana para siswa di sekolah. Melihat
bagaimana orang-orang tidak tahu aku selama ini, mungkin aku harusnya mempertimbangkan
pekerjaan yang cocok denganku : ninja.

"Apa? Umm, maaf."

Maaf ya kalau tidak ada orang yang mengenalku. Ini pertamakalinya aku meminta maaf untuk
sesuatu yang menyedihkan seperti itu.
Kalau aku tidak punya keinginan yang kuat, maka aku sudah menangis hingga air mataku memenuhi
satu ember air.

"I-Itu bukan masalah, tapi..." Yuigahama mulai bermain-main dengan jarinya yang berada di depan
dadanya.

"I-Itu, umm..." dia mengatakan itu dengan malu-malu, dan mengembungkan pipinya.

"Be-Beritahu aku nomor teleponmu? Be-Begini! Aneh sekali harus mencarimu kemana-mana, dan
juga itu sangat memalukan...Apalagi ketika ada yang tanya kepadaku kalau aku ini apanya kamu,
hanya saja tidak."

Wajahnya tiba-tiba memerah, seperti mengatakan kalau mencariku adalah sesuatu yang sangat
memalukan. Dia lalu memalingkan wajahnya dariku sambil menyilangkan lengannya. Lalu, dia
melirik sebentar ke arahku.

"Weeell, serius, aku tidak masalah dengan itu..." kataku sambil mengambil HP-ku. Setelah itu,
Yuigahama mengeluarkan HP-nya yang berkilauan.

"Apa-apaan dengan HP-mu itu?"

Yuigahama menggerutu. "Huh? Bukankah ini imut?"

Dia menunjukkan kepadaku tali teleponnya. Ada beberapa mainan kecil seperti jamur yang
menggantung disana dan berbunyi aneh ketika dia menunjukkan itu. Ini seperti membuatku bertambah
pusing saja.

"Jangan tanya kepadaku. Aku tidak paham nilai seni dari seorang lonte. Jadi kau suka benda-benda
yang berkilauan? Apa semacam gelas atau ikan buat sushi yang berkilauan?"

"Huuh? Sushi? Dan jangan panggil aku lonte!" Yuigahama menatapku dengan tatapan hendak
memakan seekor monster.

"Hikigaya. Jika kau mengatakan hal yang berkilauan, maka kau tidak tahu bagaimana menjadi siswa
SMA. Tidak ada yang menaruh gelas di atas sushi mereka. Cukup sushi saja." Hiratsuka-sensei
mengatakan itu dengan kedua mata yang berkaca-kaca.
Ekspresi "aku baru saja mengatakan sesuatu yang keren!" muncul di wajahnya, membuatku
bertambah jengkel...

"Kalau kau tidak bisa melihat hal yang imut, bukankah itu kesalahan dari mata ikan mati milikmu
itu?"

Reputasi dan kemiripan diriku akan mata ikan mati mulai bertambah kuat. Ah sudahlah, aku
menyerah saja.

"Well, sudah begini. Bisakah kau sinkronisasikan HP-mu dengan milikku?"

"Nah. HP ini smartphone, jadi tidak bisa."

"Huuuh? Jadi aku harus menulisnya manual?" dia menggerutu. "Merepotkan sekali."

"Aku tidak butuh fungsi itu. Aku sendiri membenci HP. Ini." kuberikan HP-ku ke Yuigahama, yang
mengambilnya dengan gugup.

"A-Aku akan menulis di layar HP-mu, huh...Ya sudah. Tunggu dulu, aku terkejut dengan bagaimana
dengan mudahnya kau memberikan HP-mu ke seseorang seperti barusan."

"Meh, tidak ada masalah jika kau melihat apa yang ada di HP-ku. Aku sendiri hanya dapat SMS dari
adikku dan Amazon."

"Whoa! Serius?! Tunggu dulu Amazon?!"

Jangan ganggu aku.

Yuigahama mengetikkan sesuatu di HP-ku dengan kecepatan yang mengagumkan. Bagi mataku yang
lambat, dia kebalikan dari diriku cepat dan tajam. Aku disini seperti menyaksikan Ayrton
Senna dari mengetik HP.

"Kau mengetiknya dengan cepat sekali..."


"Huh? Ini biasa saja. Mungkin itu karena jari-jarimu saja yang lambat karena kau tidak punya orang
untuk dikirimi SMS?"

"Aku merasa terhina oleh kata-katamu barusan. Aku ini sering SMS para gadis di SMP dulu."

Thud.

Yuigahama menjatuhkan HP-ku.

Oi, apa yang kau lakukan dengan barangku!

"Mustahil..."

x Chapter I Part 1 | END x

Chapter 1 : Kemudian, Yuigahama Yui memutuskan untuk belajar -2

xxx

"Um, apa kau sadar kalau reaksimu barusan itu sangat kejam?" kataku ke Yuigahama. "Kau tidak
melakukannya dengan sengaja, bukan? Tolong jangan dibuang ke lantai."
"...Oh." Yuigahama tampak kembali ke dirinya. "Hanya saja, uh, aku tidak bisa membayangkan
dirimu dengan seorang gadis, Hikki..." dia lalu mengambil HP-ku yang jatuh dan memasang senyum
yang menyedihkan.

"Dasar gadis bodoh." kataku. "Aku ini sangat ahli sekali. Biar kuberitahu betapa mengagumkannya
diriku dulu. Ketika aku berganti kelas yang baru, semua orang sibuk dengan saling tukar nomor HP.
Karena aku sangat populer, ada seorang gadis yang memanggilku dan mengatakan 'Um, ya sudahlah,
ayo tukar nomor' ".

"Katamu gadis itu mengatakan ya sudahlah? Simpati ternyata bisa berubah menjadi seorang Ibu yang
kejam," sebuah senyum muncul dari wajah Yukinoshita.

"Tolong simpan dulu kata-kata menyedihkanmu, ya! Aku dan gadis tersebut malahan saling kirim
SMS setelah itu."

Yuigahama lalu menatap ke arah layar HP yang berada di tangannya itu.

"Memangnya, gadis tersebut gadis yang seperti apa?" Dia menanyakan sesuatu yang berbeda.

Tapi anehnya, gerakan jari-jarinya yang cepat tersebut tiba-tiba terdiam.

"Bagaimana ya..." kataku. "Dia itu gadis yang sehat dan pendiam. Kenapa kukatakan begitu? Karena
ketika aku mengiriminya SMS jam 7 malam, aku mendapatkan balasannya esok pagi, isinya 'Maaf ya,
aku ketiduran~ Sampai jumpa di sekolah ya~. Saking pendiamnya, dia tidak sempat berbicara
denganku karena itu terkesan memalukan."

Yuigahama lalu menutup mulutnya.

"Oh, itu kan artinya..." dia tampak berkaca-kaca, dan air mata tampak mulai mengalir dari kedua
matanya.

Dia bahkan tidak perlu penjelasanku lebih jauh tentang betapa menyedihkannya diriku. Dia jelas-jelas
sudah tahu kebenarannya.

"Jadi dia tidak mempedulikan SMS-mu dengan pura-pura tidur. Hikigaya-kun, tolong jangan
berpaling dari kenyataan. Hadapilah realitanya."
Apa kau baru saja mengatakan sesuatu, Nona Yukinoshita? Ada apa dengan ekspresi gembiramu
barusan, Nona Yukinoshita? Kampret kau, Nona Yukinoshita!

"...Aku tahu semua hal yang harus kuketahui tentang realita. Saking banyaknya sehingga materinya
cukup untuk dibuat Hikipedia."

Pffft, hahaha!

Ini mengingatkanku lagi akan kejadian itu. Dulu aku sangat lugu. Aku tidak menduga kalau gadis
yang meminta nomorku dan menjawab SMS-ku itu karena gadis itu kasihan kepadaku. Aku baru
menyadari itu dua minggu kemudian, ketika dia sudah tidak mau membalas SMS-ku lagi, tidak peduli
berapa SMS yang sudah kukirim, dan kuputuskan untuk berhenti.

Dan kemudian, suatu hari aku mencuri dengar obrolan dari para gadis di kelasku.

'Itu, si Hikigaya selalu mengirimiku SMS. Kuharap dia berhenti melakukannya. Itu sangat
menakutkan.'

'Aku berani bertaruh kalau dia menyukaimu, Kaori...!'

'Eww, menjijikkan!'

Rasanya ingin meleleh dan langsung mati saja ketika mendengarnya. Dan aku sebenarnya juga benar-
benar menyukainya.

Sekarang aku merasa kasihan dengan diriku yang dulu, yang berusaha sangat keras sehingga sering
spam emoticon di setiap SMS. Kupikir menggunakan emoticon hati terlihat menjijikkan, jadi aku
menggunakan bintang dan tersenyum, kadang juga ditambah simbol nada. Memikirkan itu saja sudah
membuatku ketakutan setengah mati.

Hiratsuka-sensei yang tergugah hatinya, tiba-tiba mengatakan sesuatu.

"Hikigaya...Ka-Kalau begitu, maukah kau bertukar nomor denganku? Aku berjanji untuk membalas
SMS-mu. Aku tidak akan pura-pura tertidur."
Sambil mengatakan itu, dia mengambil HP-ku dari tangan Yuigahama dan mulai memasukkan
nomornya. Level kasihannya dengan nasibku itu benar-benar sudah kelewatan.

"Umm, anda tidak perlu sebaik itu kepada saya..."

Maksudku, mendapatkan SMS dari gurumu itu terasa sangat menyedihkan. Tidak ada bedanya dari
mendapatkan coklat dari Ibumu di setiap Valentine. Persetan dengan simpatinya. Aku lebih baik
bersikap subjektif dan berbeda seperti Yukinoshita untuk masalah ini.

Akhirnya, mereka berdua memasukkan nomor mereka ke HP-ku dan mengembalikannya kepadaku.
Yang mereka masukkan hanyalah sebagian kecil data di HP-ku, jadi aku tidak merasakan sesuatu
yang berubah, tapi entah mengapa aku bisa merasakan sebuah beban dibalik sikap mereka. Jadi inikah
yang dimaksud ada beban diantara hubungan-hubungan manusia, huh?

...Serius, ini cukup konyol. Sangat lucu melihat bagaimana diriku di masa lalu sangat putus asa untuk
mendapatkan nomor HP para gadis yang hanya berisi beberapa kilobit data. Sambil memikirkan
betapa konyolnya diriku jika melihat saat ini, kubuka daftar kontak HP-ku. Dan disana, aku melihat
ada sebuah nama:

✩★YUI★✩

Yang benar saja, bagaimana mungkin yang semacam ini ada di daftar kontakku? Ini tidak memiliki
awalan huruf alfabet. Lagipula, ini mirip nama-nama yang mengirimkan SMS spam. Memang cocok
dengan Yuigahama beserta sifat lontenya. Kututup HP-ku tanpa memeriksa lebih jauh lagi.

Karena aku sangat ahli dalam mengerjakan pekerjaan yang tidak wajar, aku hanya menyisakan
beberapa lembar saja. Akupun mulai menyortir kertas-kertas itu dengan cepat.

Tiba-tiba Hiratsuka-sensei pura-pura batuk, dan menatap ke arah sebelahku.

"Hikigaya, itu sudah cukup. Terimakasih sudah membantuku. Kau boleh pergi sekarang." dia
mengatakan itu sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

Mungkinkah dia melakukan itu karena kasihan? Hiratsuka-sensei ternyata benar-benar baik. Atau
mungkin, lebih akurat kalau ini adalah satu-satunya momen dia seperti itu, selebihnya dia tidak
bersikap lebih baik daripada orang-orang kebanyakan.
"Ya sudah. Kalau begitu saya pergi untuk melaksanakan kegiatan Klub."

Kuambil tas sekolahku, yang ternyata dari tadi jatuh ke karpet, dan menggantungnya di bahuku. Di
dalam tas tersebut, ada buku-buku pelajaran tentang materi ujian tengah semester dan manga yang
hendak kubaca di ruangan Klub.

Ini mungkin akan menjadi kegiatan menghabiskan waktu dimana tidak ada satupun klien yang datang
ke Klub.

Akupun mulai berjalan pergi meninggalkan ruangan ini, dengan Yuigahama terus membuntutiku.
Kuharap dia cepat pulang saja. Jangan membuntutiku, ya ampun...

Ketika aku sudah dekat dengan pintu, kudengar suara yang berasal dari belakangku.

"Oh benar, Hikigaya. Aku lupa memberitahumu, tapi kau akan pergi dalam sebuah grup berisikan tiga
orang untuk kegiatan mengunjungi tempat kerja. Kau bebas memilih siapa orang-orangnya, jadi
pikirkan baik-baik."

Aku tidak percaya dengan yang barusan kudengar.

Setelah mendengar itu, akupun merasa tidak bersemangat. Bahuku tampak menurun dan sejenisnya.

"...Ya ampun. Saya benar-benar tidak mau teman sekelas saya untuk datang ke rumah saya."

"Jadi kau sudah memutuskan kalau tempat kunjungannya di rumahmu, huh...?" Hiratsuka-sensei
tampak tidak percaya melihat tekad bajaku barusan.

"Saya tidak begitu menyukai ide tentang memilih sendiri orang-orang grup saya," kataku.

"Huh? Omong kosong apalagi ini "

Kubalikkan badanku dengan tiba-tiba, membuat rambutku berkibas di saat yang bersamaan. Setelah
itu, kutatap Hiratsuka-sensei dengan tajam, setajam yang kubisa. Setelah itu, kutunjukkan deretan
gigiku yang bersinar.
"Rasa sakit sebagai seorang penyendiri tidaklah begitu menyakitkan! Aku sudah terbiasa dengan itu!"

"Itu sangat menyedihkan..."

"I-Itu respon yang sangat bodoh sekali. Seorang superhero selalu menyendiri, tahu tidak? Dan
superhero itu keren. Dengan kata lain, penyendiri = keren."

"Memang, ada superhero bernama Anpanman yang mengatakan kalau satu-satunya teman yang
kaubutuhkan adalah cinta dan keberanian," kata Yukinoshita.

"Benar kan? Hey, ternyata kau tahu banyak ya soal ini."

"Benar, aku sangat tertarik dengan masalah ini. Memangnya sejak kapan kau ketika masih kecil dulu,
sadar kalau kau tidak punya keberanian atau cinta?"

"Ternyata ketertarikanmu barusan cukup menyedihkan..."

Tapi, Yukinoshita ada benarnya. Aku sendiri tidak punya cinta, teman, ataupun keberanian. Itu
hanyalah kata-kata yang cantik, melapisi kebenaran dengan kebohongan dan khayalan palsu. Padahal
sebenarnya, mereka hanyalah kata-kata untuk memuaskan diri sendiri. Jadi aku tidak punya satupun
teman. Mumpung begitu, mengutip Kapten Tsubasa, bola sudah bukan temanku lagi.

Simpati, kasihan, cinta, keberanian, teman dan juga, bahkan bola aku tidak butuh satupun dari
hal di atas.

xxx

Sisi timur lantai empat dari Gedung Khusus adalah tempat dimana kau bisa melihat halaman
belakang sekolah dengan jelas.

Suara-suara tentang masa muda terdengar lewat jendela. Suara-suara dari para siswa dan siswi yang
rajin dengan aktivitas Klub mereka, terdengar lewat jendela tersebut, bercampur dengan suara
pemukul baseball, suara tiupan peluit, dan ditemani oleh iringan klarinet dan terompet dari drum
band.

Diantara musik-musik latar yang indah tentang masa muda tersebut, apa yang kita sendiri lakukan di
Klub Relawan ini? Tidak ada sama sekali. Aku membaca manga shoujo yang kupinjam dari adikku,
Yukinoshita sendiri sedang hanyut dalam buku kecil bersampul yang dibawanya, sedang Yuigahama
sedang bermain-main dengan HP-nya.

Seperti biasanya, ketika kita berbicara tentang suasana hidup tentang masa muda, kita jelas
mendapatkan nilai nol.

Klub bodoh macam apa yang aktivitasnya hanya menghabiskan waktu seperti ini? Ini seperti Klub
Rugby yang berubah menjadi Klub Mahjong. Kudengar mereka bermain separuh babak sebelum dan
sesudah latihan. Karena itulah, kau sering melihat koin taruhan dari Klub Rugby yang berserakan di
lorong dekat ruangan Klub pada keesokan harinya. Kalau kau tanya diriku, mungkin kujawab mereka
hanya bermain mahjong, tapi mereka menggunakan mahjong sebagai sarana komunikasi antar
anggota dan untuk memancarkan aura masa muda mereka.

Memangnya berapa banyak dari member Klub mereka yang berpartisipasi dalam mahjong yang tahu
aturan mainnya?

Tidak akan banyak yang mau bermain Shanghai Mahjong ataupun Mahjong Telanjang di tempat
Arcade Tsudanuma sepertiku. Aku cukup yakin kalau mereka hanya belajar peraturan mahjong untuk
sekedar mengakrabkan diri. Kebetulan juga, aturannya sangat berbeda dengan Shanghai Mahjong
meski memakai papan permainan yang sama. Dengan kata lain, kau hanya belajar bermain Mahjong
Telanjang untuk satu alasan. Orang-orang akan benar-benar berkonsentrasi penuh ketika dada
dipertaruhkan.

Memiliki hal yang sama, merupakah sesuatu yang umum terjadi ketika hendak membuat hubungan
pertemanan. Hal semacam inilah tempat dimana Yuigahama Yui dulunya berada.

Pikiran tersebut tiba-tiba terlintas ketika aku baru saja mengevaluasi karakter mesum yang ada di
manga shoujo ini. Ketika selesai, aku menatap Yuigahama. Dia sedang memegangi HP-nya dengan
satu tangan sementara itu dia memasang senyum kecil di bibirnya, tapi dia tampak mendesah
kecil saking kecilnya hingga tidak terdengar satupun suaranya. Aku tidak bisa mendengar suara
desahannya, yang menyadarkanku kalau dia sedang mendesah itu adalah bagaimana dadanya naik
turun yang menandakan dia sedang mendesah.

"Ada apa?"

Orang yang mengatakan itu barusan bukanlah aku itu adalah Yukinoshita. Sepertinya dia menyadari
ada yang aneh dari sikap Yuigahama tanpa perlu menoleh dari bukunya. Mungkin dia mendengar
desahan tersebut. Itulah yang kau harapkan dari Devilman, telinga iblis yang merupakan telinga
neraka.

"Oh, uh...Kurasa tidak ada," kata Yuigahama. "Aku baru saja mendapatkan SMS aneh, jadi aku
seperti whoa, begitu."

"Hikigaya-kun, kecuali kalau kau berniat mengakhiri ini di pengadilan, kusarankan kau berhenti
mengirimkan SMS aneh itu dengan segera."

Jadi dia sudah mengasumsikan kalau ini adalah sebuah tindakan kriminal dan akulah pelakunya.

"Itu bukan aku...Memangnya mana buktinya? Tolong tunjukkan buktinya!" kataku.


Dengan senyum sinis, Yukinoshita mengibaskan rambutnya yang berada di baju.

"Kau baru saja menunjukkan itu. Itu jelas-jelas adalah kata-kata dari seorang kriminal. 'Mana
buktinya?', 'Deduksi yang luar biasa, kau harusnya menjadi penulis novel; bukankah kau harusnya
menjadi penulis novel atau sejenisnya?', 'mustahil aku bisa satu ruangan dengan sang pelaku'".

"Kurasa yang terakhir tadi itu kata-kata dari sang korban..." kataku. Ini jelas-jelas memunculkan death
flag.

Yukinoshita mengangguk dengan apa yang barusan kukatakan.

"Mungkin kau ada benarnya."

Dia menjawab itu sambil membuka halaman baru di buku yang dibacanya. Sepertinya, dia sedang
membaca novel misteri.

"Nah, kupikir Hikki bukanlah pelakunya." Yuigahama mengatakan itu, sudah terlambat sekitar
setengah menit.

Tangan Yukinoshita yang hendak membuka halaman buku tersebut, tiba-tiba terdiam. Kedua matanya
seperti hendak mengatakan "mana buktinya?". Ya ampun, apa dia benar-benar menginginkan aku
menjadi seorang kriminal?

"Hmm, begini, tahu tidak, isi SMS itu tentang situasi kelasku. Jadi itu artinya Hikki tidak ada
hubungannya dengan itu."

"Tapi aku sekelas denganmu..." kataku.

"Masuk akal. Kalau begitu, Hikigaya-kun bukanlah pelakunya." katanya.

"Jadi dia menerima itu sebagai buktinya..."

Halo semuanya, saya adalah Hikigaya Hachiman dari 2F.

Saking sakit hatinya, aku secara spontan memperkenalkan diriku di dalam kepalaku. Tapi setidaknya
aku lolos dari tuduhan kriminal, jadi ini bisa dikatakan hal yang bagus.

"Weeell, kurasa ini sudah sering terjadi hal-hal yang semacam ini," Yuigahama mengatakan itu
sambil menutup HP-nya. "Aku sendiri tidak ambil pusing soal itu." Dia tampaknya mengatakan itu
seperti belajar dari pengalaman pribadi.

Dia bilang sering terjadi, tapi aku tidak pernah mendapatkan SMS serupa dengannya, sekedar
informasi saja.

...Ternyata ada untungnya aku tidak punya teman!

Tidak, tapi serius ini, orang-orang yang punya banyak teman harus berurusan dengan banyak omong
kosong. Jujur saja, sepertinya sangat berat. Di lain pihak, aku merasa tidak ada hubungannya dengan
kejadian tidak menyenangkan yang dialami oleh siswa yang sekelas denganku. Dengan semua hal
yang ada itu, aku jelas-jelas seorang Buddha disini. Aku benar-benar hebat.
Setelah itu, Yuigahama tampak tidak mau menyentuh HP-nya lagi.

Aku tidak bisa menebak apa yang ada dalam SMS tersebut, tapi sepertinya bukan hal yang
menyenangkan. Yuigahama memang gadis yang bodoh, setidaknya begitu, dia tipe-tipe gadis bodoh
yang mudahnya menaruh hati pada apapun. Dia sangat peduli, dan lebih mengkhawatirkan
Yukinoshita dan diriku daripada dirinya sendiri, jadi karena itulah dia punya momen dimana dia
merasa terpukul akan sesuatunya.

Seperti berusaha mengusir rasa depresinya, Yuigahama menegakkan posisi duduknya kembali dan
meregangkan tangannya.

"...Tidak ada yang bisa dilakukan dengan hal itu."

x Chapter I Part 2 | END x

Chapter 1 : Kemudian, Yuigahama Yui memutuskan untuk belajar -3

xxx

Tanpa ditemani HP untuk menghabiskan waktunya, Yuigahama hanya duduk tenggelam dengan
bersandar ke kursinya. Secara tidak sengaja, itu membuat dadanya terlihat menonjol, dimana itu
membuat sesuatu di dalam diriku mulai menggelora dan akupun berusaha mengalihkannya, jadi aku
berusaha menatap ke arah Yukinoshita, dimana dadanya tidak memicu reaksi semacam itu.

Yukinoshita, yang dadanya adalah contoh yang bagus untuk implementasi istilah Safe For Work,
menutup bukunya.

"Jika kau tidak ada yang bisa dilakukan lagi, kenapa kau tidak belajar saja? Sebentar lagi kita akan
memasuki ujian tengah semester." Yukinoshita mengatakan itu dengan nada yang kurang setuju.
Dari caranya berbicara, Yukinoshita tampak kurang menekankan alasan pentingnya dibalik
sugestinya. Bagi Yukinoshita, ujian tengah semester adalah permasalahan orang lain. Baginya, ujian
tengah semester semacam rutinitas harian. Gadis ini adalah peringkat pertama dari ujian apapun yang
dialamatkan kepadanya. Apalagi, ini cuma level ujian tengah semester, mungkin tidak terasa apapun
baginya.

Yuigahama lalu menatap ke arah lain, seperti sadar dengan situasinya. Dia lalu menggumamkan
sesuatu.

"Apa sih untungnya belajar? Tidak ada seorangpun yang menerapkannya dalam kehidupan nyata..."

"Kau baru saja mengucapkan kalimat standar yang biasa diucapkan orang bodoh!" kukatakan saja.

Sangat mudah ditebak kalau itu akan keluar darinya, sampai-sampai itu membuatku secara spontan
mengatakannya. Serius, masih ada orang yang mengatakan hal semacam itu di jaman yang seperti ini?

Seperti marah karena disebut orang bodoh, Yuigahama lalu membetulkan posisi duduknya.

"Tidak ada gunanya belajar, serius ini! Kehidupan SMA itu terlalu pendek, dan belajar itu buang-
buang waktu! Tahukah kalian kalau hidup ini cuma sekali?"

"Tapi tidak serta-merta kau bisa mengacaukan hidup itu."

"Ya ampun, kau ini mengesalkan sekali!"

"Maaf saja ya, aku ini lebih suka memikirkan dampak jangka panjang."

"Tapi kalau kau yang menjadi objeknya, kurasa kau sendiri sudah gagal dalam segala aspek
kehidupan SMA." kata Yukinoshita.

Benar sekali. Kau tidak bisa selalu memenangkan segalanya.

Tunggu dulu, ayolah! Apa yang dia barusan katakan adalah aku tidak punya kehidupan sama sekali?
Apa aku harus memeriksa riwayat kehidupanku seperti tamu yang hendak check-out dari hotel?
"Tahu tidak? Aku belum gagal...Aku hanya berbeda dari orang kebanyakan. Itulah sifatku! Semua
orang berbeda, dan perbedaan itu baik!"

"Be-Benar! Aku juga punya sifatku sendiri! Tidak bagus dalam belajar adalah salah satu sifatku!"

Kami berdua mengatakan kalimat klise bodoh tersebut di saat yang bersamaan. Tapi serius ini, sifatku
ataupun karakter diriku adalah kata-kata yang sangat nyaman ketika diucapkan.

"Kaneko Misuzu yang pertamakali mengucapkan kata-kata itu tampaknya bisa-bisa bangkit dari
kubur jika dia mendengar kalimatnya diucapkan seperti barusan..."

Yukinoshita tampak mengembuskan napasnya, sambil memegangi keningnya.

"Yuigahama-san, kata-katamu barusan tentang belajar adalah hal yang sia-sia, adalah salah. Malahan,
belajar adalah proses untuk menemukan siapa dirimu sebenarnya. Karena itulah, setiap orang
mungkin punya alasan yang berbeda untuk belajar, tapi mengatakan belajar itu sia-sia bukanlah
alasan yang tepat untuk menolak belajar."

Kurasa itu hanya sekedar opini belaka. Malahan, orang dewasa yang mendengarnya akan
menganggap kata-kata itu masuk lewat telinga kiri dan keluar telinga satunya. Bahkan sebuah
pernyataan sederhana seperti "Sebenarnya belajar itu apa?", akan memberikan efek yang sama. Jadi
setiap orang dewasa di jaman ini tidak akan paham maksud kata-kata tersebut.

Sebenarnya, aku bukannya hendak menyombongkan diri atau sejenisnya karena bisa menyimpulkan
sejauh itu. Hanya saja, satu-satunya orang yang mempercayai hal itu hanyalah Yukinoshita.

"Tapi kau ini orang pintar, Yukinon...Aku sendiri ini kurang suka belajar...Lagipula tidak ada satupun
di grupku yang melakukan itu..."

Tatapan mata Yukinoshita tiba-tiba menajam. Aku merasa kalau suhu ruangan ini turun setidaknya
sepuluh derajat karena sikap Yukinoshita yang mendadak diam, Yuigahama yang terdiam, tampak
terguncang. Sepertinya dia mulai mengingat-ingat kembali seluruh kata-katanya yang baru saja dia
ucapkan.

Dia lalu menarik kembali ucapannya.


"Ba-Baiklah, aku akan melakukanny! Ngo-Ngomong-ngomong! Hikki, apa kau juga belajar?!?"

Oooh, jadi dia berhasil menghindari kemarahan Yukinoshita. Sepertinya, rencana hebatnya kali ini
adalah mengalihkan serangan tersebut ke arahku. Okelah, usaha yang bagus, Yuigahama.

"Yeah, aku juga belajar," kataku.

"Dasar pengkhianat! Kupikir kau juga orang bodoh sepertiku!"

"Kampret. Gue ini ranking tiga di Sastra Jepang!" aku sengaja memberikan jeda untuk menguatkan
efeknya. "Plus, aku juga tidak buruk-buruk amat di pelajaran lainnya."

"Mustahil...Aku tidak menyangka..."

Kebetulan, pihak sekolah tidak menaruh pengumuman tentang hasil ujian tersebut. Mereka hanya
memberitahu ranking dan nilaimu secara personal. Hasilnya, dimana setiap orang memberitahu orang
lain tentang rankingnya, tidak ada yang tahu tentang diriku karena aku tidak punya seseorang untuk
kuberitahu. Juga tidak ada yang menanyakan aku berada di ranking berapa.

Tentunya, tidak ada seorangpun yang bertanya secara umum tentang diriku.

"Bukankah secara tidak langsung itu mengatakan kalau kau ini sebenarnya pintar, Hikki?!"

"Kurasa itu bukanlah sesuatu yang perlu dibesar-besarkan." kata Yukinoshita.

"...Kenapa malah kau yang menjawabnya?"

Well, tentunya nilaIku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Yukinoshita, tapi nilaiku juga
tidak bisa dikatakan buruk.

Itu artinya Yuigahama adalah orang paling bodoh diantara kita bertiga.

"Aww," dia mulai mengeluh. "Jadi aku satu-satunya karakter orang bodoh disini."
"Jangan langsung menyimpulkan seperti itu, Yuigahama-san."

Ekspresi beku Yukinoshita tampak mulai mencair, dan kedua matanya tampak hendak mengatakan
sesuatu yang jujur.

Mendengar kata-kata tersebut, wajah Yuigahama tampak ceria kembali.

"Yu-Yukinon!"

"Kau bukanlah sebuah karakter fiksi. Kebodohanmu itu semacam sesuatu yang turun-temurun."

"Waaaaaaah!" Yuigahama tampak membuka kedua tangannya di depan Yukinoshita.

Sepertinya dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa, Yukinoshita sendiri hanya mengembuskan
napasnya.

"Yang ingin kukatakan adalah, menilai seseorang hanya dari nilai akademis dan posisinya di ranking
adalah hal bodoh. Siswa-siswa yang katanya berada di ranking atas saja, ada yang merupakan
manusia rendahan."

"Hei, kenapa kau sengaja menatapku ketika mengatakan kata-kata barusan?" tanyaku.

Entah mengapa, kini mereka berdua menatapku.

"Aku katakan ini untuk memperjelas saja, aku ini belajar karena aku menyukainya."

"Begitu ya..."

"Itu karena kau tidak punya apapun untuk dilakukan."

Kedua gadis itu mengatakan sesuatu secara bersamaan. Yuigahama mengatakan kalimat pendek
barusan, sedang yang terpanjang adalah milik Yukinoshita. Tanpa sadar, mereka berdua juga sedang
menepuk kening mereka sendiri.
"Okelah. Tapi bukankah kau juga begitu?" kataku ke Yukinoshita.

"Tapi kau tidak menyangkalnya," katanya.

"Tolong katakan kalau itu tidak benar! Itu membuatku sedikit sedih!" Yuigahama mengatakan itu.

Yukinoshita mengatakan itu dengan dingin, tapi Yuigahama tampak sedang terbakar empati.
Yuigahama lalu memegangi Yukinoshita dengan hangat, seperti hendak menghilangkan luka di hati
Yukinoshita. Wajah Yukinoshita sendiri seakan-akan hendak mengatakan "...Aku sulit bernapas!",
tapi dia tidak melakukannya karena tidak ingin membuatnya merasa tidak nyaman. Sedari tadi
Yuigahama hanya memeluknya dengan erat.
Oi, ayolah! Bagaimana denganku?! Aku juga tidak punya kerjaan lain selain belajar! Sepertinya aku
menyerah saja karena tidak akan ada pelukan yang datang ke arahku. Well, kupikir akan terasa aneh
jika dia memelukku.
Tapi serius ini, kenapa para riajuu ini suka sekali menyentuh-nyentuh orang lain? Apakah saling
bersentuhan kulit itu semacam hal yang wajar? Apa mereka pikir mereka sedang berada di Amerika?
Orang Amerika sendiri sering colek sana-sini untuk bercanda, tapi jika ada sesuatu yang serius
mereka akan berpelukan seperti menganggap itu adalah hal yang pintar untuk dilakukan. Jika mereka
itu berkesempatan untuk menjadi pilot Eva, maka mereka tidak akan bisa menggunakan AT Field.
Kebaikan hati mereka tidak memiliki batasan yang jelas.

xxx

Sambil memegangi kepala Yukinoshita, Yuigahama membuka mulutnya.

"Tapi tahu tidak, Hikki, aku agak terkejut ketika mendengar kau belajar tekun."

"Nah, bukannya aku belajar demi mendapatkan kemajuan dalam pembelajaran seperti alasan siswa-
siswa lainnya. Aku juga belum mengambil les apapun untuk Liburan Musim Panas nanti."

SMA Sobu ini memang didesain untuk mempersiapkan siswa ke jenjang Universitas. Hasilnya,
mayoritas siswa disini adalah calon-calon mahasiswa kelak. Para siswa seangkatanku yang sadar akan
hal itu mungkin sudah mengisi kepala mereka dengan ujian penerimaan mahasiswa sejak memasuki
musim panas kelas 2 SMA. Ini mirip momen dimana mereka mulai bingung apakah mereka hendak
menghadiri bimbingan belajar di Tsudanuma ataukah Kawai School Centre, atau juga bimbingan
belajar di Inage-Kaigan.

"Oh, tapi ada satu hal," tambahku. "Aku mengincar posisi sebagai mahasiswa program beasiswa."

"...Beasiswa?" Yuigahama mengulangi kata-kataku.

"Kalau kau sih, kurasa kau tidak perlu mengincar apapun lagi karena kau sekarang sudah berada di
puncak kehidupanmu," kata Yukinoshita. "Kau kan kurang lebih sampah masyarakat."

"Ada apa ini, Nona Yukinoshita? Kau baik sekali kepadaku hari ini. Kupikir kau akan menolak cara
hidupku selama ini."

"Itu sebuah saran yang bagus," Yukinoshita memegangi kepalanya sambil memasang ekspresi yang
jijik akan sesuatu.

"Hei, hei, apa itu beasiswa?"


Sepertinya Yuigahama sejak tadi sudah tersesat dengan kata beasiswa. Wow, serius kau, Nona
Yuigahama?

"Beasiswa itu, kau akan menerima uang untuk menjalani masa studimu." Yukinoshita menjelaskan.

"Universitas saat ini, memberikan pengecualian bagi mahasiswa yang berprestasi untuk membayar
uang kuliahnya. Sederhananya, kalau aku mendapatkan beasiswa, maka uang dari orangtuaku yang
seharusnya dipakai untuk membayar kuliah, akan masuk ke kantong pribadiku."

Aku akan menari-nari jika itu benar terjadi. Aku bisa membayangkan bagaimana ekspresi adikku
yang memasang wajah jijik, dan akupun tidak mempedulikannya sambil meneruskan tarianku.

Orangtuaku akan tenang-tenang saja selama aku belajar tekun dan memiliki tujuan yang jelas, lalu aku
mencapai hasil yang mereka harapkan. Dan aku bisa memperoleh keuntungan dari hal itu selagi bisa.
Itu adalah rencana yang sangat jenius.

Tapi kedua gadis disini malah melihatku dengan ekspresi yang meragukan.

"Bukankah itu semacam penipuan...?"

"Dia tidak akan mempermasalahkan itu karena kau sendiri tidak bisa membuktikan kalau orangtuanya
dirugikan, karena mereka mengadopsi selama sesuai dengan hasil yang diinginkan, maka tidak
masalah. Jika begitu, maka tinggal tunggu momen saja dia diterima program beasiswa. Berdasarkan
idealismenya yang tidak wajar itu, maka kau tidak bisa menyebut itu sebuah penipuan," Yukinoshita
menjelaskannya dengan nada yang tegas.

Me-Memangnya kenapa? Bohong sedikit kan boleh, selama tidak ada yang dirugikan.

Yuigahama lalu melirikku.

"Jadi itukah rencanamu dalam hidup, huh..." dia menggumamkan itu.

Dia kini memegangi lengan Yukinoshita dengan lebih erat.

Melihat sikapnya itu, Yukinoshita lalu menatap ke arah Yuigahama.

"Apa ada sesuatu...?"

"Oh, um, tidak ada sih..." Yuigahama tampak tidak bisa membohongi pernyataannya karena dia
menambahkan suara tawa yang dibuat-buat.

"Hanya saja, aku berpikir kalau kalian ini kan orang pintar, aku tidak tahu apakah kita akan bisa
bertemu lagi setelah kita lulus SMA nanti."

"Memang...Aku sendiri tidak akan melihat Hikigaya-kun lagi." Yukinoshita mengatakannya sambil
tersenyum.

Aku hanya bisa duduk tenggelam mendengar kata-katanya barusan. Seperti terpancing oleh reaksi
non-verbalku, Yukinoshita menatapku dengan penuh tanda tanya.
Yang benar saja. Aku malahan setuju denganmu pada bagian tersebut, Yukinoshita.

Well, mereka memang eksis di dunia ini: Orang-orang yang belajar sampai mati sehingga mereka
bisa masuk sekolah paling elit, sehingga tidak bertemu lagi dengan teman satu SMP-nya dulu.
Orang-orang seperti itu adalah tipe orang yang hendak membuang masa lalunya dan bersumpah
untuk tidak bertemu teman satu sekolahnya lagi. Yuigahama sendiri kurang lebih adalah tipe-tipe
yang seperti itu.
[Note: Anda tidak boleh langsung percaya begitu saja dengan monolog Hachiman di atas. Ini jelas bullshit alias
bohong. Orang yang dimaksud di atas adalah Hachiman sendiri, bukan Yuigahama.]

Lalu ada tipe-tipe orang yang selalu berhasrat dengan pertemanan mereka dengan selalu ingin
bersama teman satu grupnya. Dengan perkembangan teknologi, mereka masih bisa berhubungan.
Kurang lebih begini, jika kau tidak mau mengikuti cara berhubungan seperti di atas, maka kau akan
ditinggal begitu saja. Maksudku begini, kau hanya bisa berhubungan dengan mereka lewat telepon
atau email, atau kau tidak akan bisa berhubungan sama sekali. Lalu bisakah kau sebut hal semacam
itu dengan nama pertemanan? Aku yakin kalian akan menyebutnya pertemanan. Itu artinya semuanya
diatur dengan HP, dan jumlah teman yang kau punya bisa dihitung dari banyaknya kontak di HP-mu.

Yuigahama lalu menggenggam lebih erat HP-nya ketika melihat senyum Yukinoshita.

"Tapi bukankah tidak akan menjadi masalah karena kita semua punya HP? Kita akan selalu
berhubungan!"

"Ya, tapi aku ingin kau berhenti mengirimiku SMS setiap hari..." jawab Yukinoshita.

"Huh?! Ka-Kau tidak menyukainya...?"

Yukinoshita lalu terdiam untuk sejenak.

"Kadang, itu sangat menggangguku."

"Blak-blakan sekali!"

...Sepertinya mereka berdua benar-benar akrab. Sejak kapan mereka menjadi dekat sampai saling
mengirim SMS? Tambahan lagi, aku tidak bisa membayangkan seperti apa SMS yang berasal dari
Yukinoshita.

"Memangnya SMS semacam apa yang kau kirim setiap hari?"

"Uhh..." kata Yuigahama. "Ya hal-hal semacam Hari ini, aku memakan cream puff ✩ "

"Kubalas 'Ya' ". jawab Yukinoshita.

" 'Yukinon, bisakah kau membuat cream puff? Aku ingin mencoba memakan manisan yang lainnya
kalau sempat!' ".

" 'Baiklah' ".

"Yukinoshita, ternyata skill percakapanmu sangat bagus sekali..."

Yukinoshita tampak membuang muka dariku.


"Aku tidak menjawab banyak disana," gumamnya.

Itu memang menyedihkan, dan aku tahu bagaimana rasanya.

Tidak, serius ini, memangnya kau akan merespon apa dengan percakapan yang semacam itu? Ini
semacam percakapan dengan memakai topik cuaca, tapi akan langsung berakhir setelah mereka
mengatakan seperti ini.

'Cuaca yang bagus, huh?'

'Yeah'.

'Err, uh, un ange passe. Eheheh,'

Itulah yang terjadi setelah adanya kesunyian dalam percakapan menggunakan HP.

"Yeah...Aku sendiri tidak banyak-banyak merespon dalam percakapan HP," kataku. "Kurasa
berkomunikasi menggunakan HP bukanlah hal yang bagus."

Kupikir HP itu semacam alat yang bisa membantu penyendiri. Kau bisa membiarkan HP-mu begitu
saja jika ada panggilan, kau bisa blok nomer HP orang, kau bisa blok SMS orang ya semacam itu.
Kau bisa memilih apakah kau akan menerima atau menolak semua komunikasi sesuai suasana hatimu.

"Memang. Si penerima merasa harus membalas SMS ataupun mengangkat teleponnya." Yukinoshita
mengangguk setelah mendengar kata-kataku.

Kalau kau hanya melihat tampilannya, maka dia adalah gadis yang cantik. Kalau dipikir lagi, mungkin
dia sudah sering ditanya nomor HP dan emailnya oleh banyak orang.

Sedangkan diriku, dulu aku pernah sekali dimana aku mengumpulkan segenap keberanianku untuk
meminta nomor HP seorang gadis yang manis. Ini terjadi ketika aku masih seorang siswa SMP yang
lugu. Setiap kali aku bertanya nomor HP-nya, dia berkata, 'Aduuuh, batere HP-ku sudah habis.
Bagaimana kalau nomormu ku SMS saja nanti?'.

Yang masih misteri, bagaimana mungkin aku yang tidak pernah memberitahunya tentang nomorku
berapa, bisa berjanji kalau dia akan mengirimiku SMS. Aku masih menunggu SMS darinya hingga
saat ini...

"Lagipula, aku tidak mau melihat segala SMS yang tampak menjijikkan..." Yukinoshita menjelaskan
itu, seperti baru saja teringat sesuatu.

"Hmmm?" Yuigahama menaruh jari telunjuknya di dagu dan memiringkan kepalanya. "Apakah itu
berarti...SMS-ku terasa menjijikkan untukmu?"

"...Aku tidak mengatannya begitu." Yukinoshita yang yang sedari tadi menatap Yuigahama, kini
memalingkan pandangannya. "Hanya saja, itu cukup mengganggu."

Wajahnya tampak memerah. Kupikir, reaksinya barusan itu terasa sangat manis. Tapi karena tidak ada
hubungannya denganku, persetan dengan itu.

Melihat ekspresi Yukinoshita, Yuigahama tampak sedikit melompat dan melepas pegangannya ke
Yukinoshita. Masih menjadi misteri, Yukinoshita memalingkan wajahnya dengan ekspresi yang
lembut dia seperti meleleh. Sekali lagi, karena ini tidak ada hubungannya denganku, jadi persetan
dengan itu.

"Oh, begitu ya. Tapi memang, HP tidaklah sempurna..." Yuigahama lalu memeluk tubuh Yukinoshita
lagi, seperti berusaha menegaskan hubungan diantara mereka.

"Aku akan belajar dengan keras, yep...Akan sangat luar biasa jika aku pergi ke sekolah yang sama
denganmu," dia menggumamkan itu, dan menatap ke arah lantai. "Apa kau sudah memutuskan akan
pergi ke Universitas mana dan jurusan apa, Yukinon?"

"Tidak, masih belum pasti. Kalau cuma rencana, aku sendiri berencana untuk masuk Fakultas MIPA
di Universitas Negeri."

"Kau ternyata sangat berpikiran ke depan!" Yuigahama mengatakan itu, lalu menambahkan, "Jadi,
um...Bagaimana denganmu, Hikki? Ka-Kalau boleh, aku ingin tahu juga."

"Jurusan Liberal Art di Universitas Swasta."

Lalu Yuigahama tersenyum.

"Sepertinya aku masih memungkinkan untuk kesana!"

Ayolah, ada apa dengan reaksi barusan?

"Kuberitahu ya, belajar di jurusan Liberal Art pada Universitas Swasta, tidak semudah yang kau
bayangkan. Kuminta kau untuk segera meminta maaf ke seluruh jurusan Liberal Art di negeri ini! Kau
dan diriku ini tidaklah berada di level yang sama."

"Ooooh...Jadi aku akan belajar tekun untuk itu!" Yuigahama lalu melepaskan pegangannya dari
Yukinoshita.

"Dan kalau begitu, kita harus belajar bersama mulai minggu ini," dia mengatakan itu dengan keras.

"...Apa yang kau maksud?" Yukinoshita tampak bertanya-tanya.

Yuigahama tidak mempedulikan pertanyaannya dan langsung mengatur beberapa hal.

"Karena kita tidak punya aktivitas Klub seminggu sebelum ujian, jadi kita punya waktu luang
sepulang sekolah, benar kan? Oh, Selasa bagus juga, karena para guru ada kegiatan tamasya pekan
ini."

Serius, tamasya? Siswa SMA macam apa yang mengatakan itu?

Tamasya yang Yuigahama maksud tadi itu, adalah sebuah pertemuan dengan Dinas Pendidikan, dan
karena seluruh guru diwajibkan untuk hadir, para siswa dipulangkan lebih awal dan seluruh aktivitas
Klub diliburkan.
Well, aku sendiri tidak bisa mengatakan kalau aku setuju dengan rencana Yuigahama. Yukinoshita,
siswa peringkat satu yang berencana masuk MIPA di Universitas Negeri, dan diriku, siswa peringkat
tiga di Sastra Jepang, tampak tenang-tenang saja dengan ujian tengah semester. Lagipula, aku sendiri
ini memiliki nilai akademis yang lebih baik daripada adikku yang goblok Adikku yang goblok itu,
nilainya tidak ada yang bagus. Setiap kali dia punya masalah yang tidak bisa dipecahkan, selalu
dirikulah yang membantunya.

Kalau kau tanya apa yang kubenci, maka jawabnya adalah waktu luangku diambil dariku. Aku bahkan
tidak mau menghadiri perayaan setelah Festival Olahraga.

Bu-Bukan karena aku tidak diundang atau sejenisnya! Alasanku adalah karena aku sangat
menghargai waktu luangku, dan itu akan sangat menyiksaku jika aku menghabiskannya dengan orang
lain.

"Uhh..."

Ayo cepat tolak ajakannya! Begitulah yang ada dalam pikiranku sekarang, meski belum terucap, lalu
Yuigahama terus melanjutkan.

"Bagaimana kalau kita pergi ke Saize di Chiba?"

"Aku sebenarnya tidak masalah dengan itu..." kata Yukinoshita.

"Yuigahama, um, begini..."

Jika aku tidak mengatakannya dengan cepat, mereka akan menganggapku sudah setuju! Berhentilah
berputar-putar dan segera tolak, pikirku. Lalu aku mulai membuka mulutku.

"Ini pertamakalinya kita pergi bersama, Yukinon! Hanya kita berdua saja!" Yuigahama memotongku.

"Memang," kata Yukinoshita.

...

Jadi aku ternyata sejak awal tidak diundang.

"Hikki, apa kau tadi hendak mengatakan sesuatu?" tanya Yuigahama.

"N-Nah...Selamat belajar bersama ceria."

Lagipula, lebih efektif belajar sendirian.

...Aku tidak kalah barusan, oke.


x Chapter I | END x
Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteiru
Volume 02 Bahasa Indonesia
Di translate oleh Aoi.
Zcaoi.blogspot.com

PDF oleh ユウトくん


Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteiru - Volume 02

Chapter 2 : Hikigaya Komachi ( kupikir ) Pasti Akan Menikahi Kakaknya


Setelah Dewasa Nanti

xxx

Ujian tengah semester akan berlangsung dua minggu lagi.

Seorang siswa SMA yang tidak memakai dasi mampir ke sebuah restoran keluarga dalam
perjalanannya untuk pulang ke rumah dengan tujuan untuk belajar sejenak. Ini terjadi karena para
guru harus menghadiri undangan di Dinas Pendidikan Kota Chiba, dan itu berarti para siswa
dipulangkan lebih cepat dan kegiatan klub pada hari itu ditiadakan.

Aku sedang melakukan hal yang sangat mudah, menulis kata-kata dalam bahasa Inggris secara terus-
menerus. Ini seperti seorang biksu Budha yang terkenal di masa lampau; bahkan kau bisa menyebutku
seperti Shinran. Kebetulan sekali, Shinran itu adalah orang yang mengajarkan doktrin "Bergantung
kepada orang lain untuk menemukan pencerahan" - dia adalah orang yang hebat. Doktrin itu sangat
berkesan untukku, jadi aku memutuskan untuk bergantung ke orang lain juga. Karena aku berpikir
seperti dirinya, maka aku ini bisa disebut Shinran.

Tidak beberapa lama kemudian, setelah aku menulis dan melihat sekelilingku, aku meminum
coklatku. Dan pada saat itulah...

"Yukinon, maaf kita tidak bisa pergi ke Saize," kata gadis itu. "Kita akan menikmati nasi tumis ala
Milan lain kali, oke? Aku juga akan merekomendasikan Steak Hamburg dengan sayuran Salsa juga..."

"Aku sebenarnya tidak keberatan dengan kemana kita akan pergi. Kurasa mereka sama saja," kata
gadis yang lain. "Kalau dipikir-pikir, apakah Steak Hamburg itu termasuk masakan Itali?"

Aku mendengar suara yang familiar.

"Oh!" terdengar satu suara mengatakan itu.


"...Ah," suara yang lain mengatakan itu.

"Sial," aku menggerutu.

Kami bertiga saling melihat satu sama lain dan secara spontan mengatakan sesuatu. Apa kita ini
semacam ular, katak, dan siput dalam legenda? Aku merasa kalau mungkin akulah yang menjadi
siputnya.

Dua gadis berseragam yang sedang berjalan masuk itu adalah Yukinoshita Yukino dan Yuigahama
Yui. Bagiku, mereka adalah teman klub saja. (Kebetulan sekali, 'teman klub' adalah istilah yang
dipakai untuk anggota klub non-olahraga, sebaliknya 'teman satu tim' dipakai untuk klub olahraga. Ini
adalah pertamakalinya aku menggunakan kata-kata itu).

"Hikki, apa yang kau lakukan disini?" tanya Yuigahama.

"Er, uh, belajar..."

"Ooooh, aku tidak menyangka bisa bertemu kamu disini. Aku dan Yukinon mau belajar disini
sebentar...Jadi, umm, mau ikut kelompok belajar kami?"

Yuigahama mengatakan itu sambil melihat ke arahku dan Yukinoshita.

"Yeah, terserah kamu saja," kataku. "Well, yang kulakukan ini sama dengan yang akan kalian
lakukan."

"...Memang," kata Yukinoshita. "Adanya dirimu disini tidak akan berpengaruh banyak."

Untuk kali ini, kami bahkan belum terlihat menggigit kepala kami masing-masing. Untuk sejenak,
Yuigahama memiringkan kepala kami, seperti bingung dengan suasana ini, tapi dia segera membuang
itu jauh-jauh dengan mengatakan "Oke, sudah diputuskan kalau begitu!" dan berjalan ke arah mejaku.

Kami bertiga lalu menuju bar minuman yang bertuliskan 'ambil sendiri', dan ketika kami hendak
berjalan menuju meja kami, mata Yukinoshita terus-menerus menatap ke arah kasir. Dia memegang
gelas minuman di tangan kanannya dan entah mengapa, tangan kirinya memegang uang koin. Setelah
diam sejenak, dia berkata.
"Hei Hikigaya-kun. Dimana tempat kau akan membayar minuman itu?"

"Huh?"

Apa dia menarik-narik celanaku? Yukinoshita-ku sayang, apa kau benar-benar tidak tahu
bagaimana sistem bar minuman dengan tulisan 'ambil sendiri' bekerja? Apa sih yang ada di pikiran
gadis ini?

"Nah, kau tidak perlu bayar. Ini seperti, tahu tidak...Seperti prasmanan gratis untuk minuman?"
[note: Dalam sistem restoran seperti ini, biasanya di nampan makanan hanya berisi gelas kosong dan pelanggan
bebas mengisi gelas mereka dengan minuman apapun yang ada di bar minuman, bahkan isi ulangnya gratis.
Banyak minuman gratis di restoran Jepang, yang cukup umum adalah teh hijau gratis.]

"...Ternyata Jepang adalah negara yang cukup dermawan,"

Yukinoshita mengatakan itu dengan senyumnya yang terlihat gelap dari bibirnya, aku tidak bisa
memahami ekspresinya. Dia mengatakan itu sambil mengambil posisi mengantre sepertiku. Dia lalu
mengamatiku mengisi minuman. Mesin itu mengeluarkan suara setelah cola tersebut mengisi gelasku,
dan Yukinoshita mengamati semua proses itu dengan mata yang berkaca-kaca.

Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Tapi untuk memastikan agar dugaanku ini benar adanya, aku
mengambil gelas kosong lainnya dan menaruhnya di bawah mesin kopi espresso. Ketika kutekan
tombol 'coklat', dia lalu mengatakan sesuatu dengan pelan.

"Oh, jadi begitu ya caranya..."

Dengan tangan yang terlihat gugup, Yukinoshita mengisi gelasnya dengan minuman yang dia
inginkan, dan kami bertiga akhirnya kembali ke tempat duduk kami. Dan saatnya untuk memulai
kegiatan belajar berkelompok kami.

"...Mmkay, ayo mulai."

Setelah Yuigahama mengatakan itu, Yukinoshita menaruh headphonenya. Aku yang melihatnya dari
samping, juga memakai earphoneku di telingaku.

"Huh?! Kenapa kalian berdua malah mendengarkan musik?!"


Yuigahama melihat kami dengan tatapan yang kesal.

"Tahu tidak, bukankah kau harusnya mendengarkan musik ketika belajar," kataku. "Jadi itu bisa
mencegah suara dari luar masuk ke telinga kita."

"Memang," kata Yukinoshita. "Fakta bahwa aku bisa berkonsentrasi jika aku tidak terganggu oleh
suara dari luar adalah bukti kalau itu bisa memberikan efek yang positif."

Yuigahama memukulkan tangannya ke meja.

"Bukan begitu cara kerjanya! Ini bukanlah belajar bersama!" dia terlihat protes dengan hal itu.

Melihat reaksi Yuigahama, Yukinoshita menaruh tangannya di dagu seperti berpikir tentang sesuatu.

"Jadi apa usulmu dalam kegiatan kita ini?" dia meminta penjelasan.

"Uhh, kita berdiskusi tentang apa yang akan ditampilkan di ujiannya, saling bertanya apa yang kita
tidak tahu...Tentunya diselingi istirahat sesekali, dan setelahnya mendiskusikan sesuatu, lalu saling
bertukar info. Dan...Lalu kita mengobrol sebentar, kurasa begitu?"

Itu artinya kita akan belajar berkelompok tanpa adanya tanda-tanda hendak belajar. Bukankah itu
lebih tepat jika disebut buang-buang waktu?

"Belajar adalah sebuah aktivitas tunggal tentang diri kita sendiri," Yukinoshita mengatakan itu
seperti menyadari sesuatu.

Akupun berpikir seperti itu.

Dengan kata lain, jika kau penyendiri, belajar itu merupakan salah satu keahlianmu! Yadda yadda.
Hei, itulah yang dikatakan di manga yang menyarankanmu untuk belajar di rumah.

Yuigahama menolak ide tentang belajar tersebut, tapi ketika dia melihat bagaimana tekunnya
Yukinoshita dan diriku belajar dengan diam, dia terlihat menyerah dan memilih untuk belajar sendiri.

Dan dengan begitu, lima menit terlewati, lalu 10 menit, dan kemudian satu jam.
Melihat mereka berdua, aku melihat Yuigahama seperti berpikir serius dan tangannya berhenti
bergerak. Sedang Yukinoshita, sedang memecahkan persoalan matematika tanpa adanya kesulitan
yang berarti.

Lalu, Yuigahama menatapku dan berbicara seperti tidak sanggup lagi untuk berkonsentrasi.

"Er, umm...Jadi bagaimana dengan pertanyaan ini..."

Dia menanyakan itu dengan malu-malu, sepertinya harga dirinya tidak sanggup lagi menahannya
dari bertanya kepadaku.

"Efek Doppler ya, huh..."kataku. "Aku tidak tahu banyak soal itu karena aku sudah menyerah dengan
pelajaran IPA. Tapi kalau kau bertanya kepadaku tentang Baki the Grappler, aku bisa menjelaskannya
kepadamu, apa itu tidak masalah?"

"Itu adalah hal terakhir yang kuinginkan di dunia ini! Manga tentang pegulat profesional tidak ada
hubungannya dengan ini!"

Jadi itu kurang, huh? Padahal aku sendiri sudah sangat yakin dengan kemampuanku.

Yuigahama menutup bukunya seperti sudah menyerah dan meminum es tehnya menggunakan
sedotan. Dia terlihat melihat ke arah sekelilingnya, lalu dia menyadari sesuatu.

Karena tertarik dengan apa yang dia lihat, akupun melihat ke arah yang sama. Disana ada seorang
gadis yang cantik memakai seragam SMP, gadis ini sangat manis sekali.

"Bukankah itu adikku..."

Adikku Komachi sedang berdiri di depan kasir, tersenyum ceria. Dan di sebelahnya ada seorang
anak laki-laki yang memakai seragam SMP.

"Sialan, tunggu disini," kataku.

Akupun berdiri dari kursiku sambil melihat mereka berdua keluar dari restoran. Ketika aku keluar
dari restoran, mereka berdua sudah tidak terlihat lagi.
Setelah itu, akupun kembali lagi ke dalam, dan bertemu Yuigahama yang berkata.

"Jadi, uhhh, apa barusan itu adikmu?"

"Ugh. Kenapa dia malah bersama seorang laki-laki di restoran keluarga..."

Saking terguncangnya, aku tidak bisa berkonsentrasi untuk belajar lagi. Mustahil adikku bisa jalan
berdua di sebuah restoran dengan seorang pria yang tidak kukenal.

"Dia mungkin sedang berkencan!" Yuigahama mencoba menebaknya.

"Omong kosong...Mustahil itu..."

"Benarkah begitu? Bukankah Komachi-chan itu gadis yang manis, kurasa aku tidak begitu terkejut
jika dia sekarang punya pacar, benar tidak?"

"Aku tidak akan menerima adikku punya pacar sementara aku sendiri tidak punya pacar aku
adalah kakak tertua disini! Adik harusnya menghormati kakaknya!"

Yukinoshita melepaskan headphonenya dan menatapku.

"Tolong berhenti meneriakkan alasan-alasan yang bodoh. Aku bisa mendengarmu meski sedang
memakai headphone."

Dia seperti menyuruhku untuk diam sambil memegang granat yang pinnya sudah ditarik. Bergerak
sedikit saja, maka kau akan mati!

"Er, bukan begitu. Hanya saja, melihat adikku bersama seorang anak laki-laki yang misterius dan
tidak kukenali..."

"Anak laki-laki itu terlihat satu SMP dengannya, kalau kaulihat seragamnya," kata Yuigahama. "Aku
paham sekali kekhawatiranmu itu terhadap Komachi-chan, tapi dia akan membencimu jika kau
bertanya itu kepadanya, tahu tidak? Belakangan ini, ayahku seperti, 'apa kau punya pacar?' itu benar-
benar membuatku kesal."
"Hahaha. Ayahmu itu sepertinya tidak tahu apapun! Di keluarga kami, kami percaya kalau adikku itu
tidak punya pacar, jadi tidak ada satupun yang bertanya kepadanya. Jadi melihat hal seperti itu, jujur
saja, membuatku malu." kataku. "Eh kalau dipikir-pikir, darimana kau tahu nama adikku?"

Aku tidak pernah memberitahu nama adikku ke siapapun. Sial, dia bahkan tahu namaku!

"Huh?! Uh, um, er, benar...HP-mu! Aku pernah melihat itu tertulis disana..."

Entah mengapa Yuigahama mengatakan itu sambil melihat ke arah lain.

Oh, benar, sekarang dia menyebutkan itu, aku memang pernah memberikan HP-ku kepadnaya sekali.
Dia mungkin melihat SMS dari Komachi.

"Begitu ya? Baguslah. Kupikir aku sudah dianggap siscon karena secara tidak sadar mengucapkan
namanya tanpa menyadari betapa aku menyayanginya..."

"Uh, itu sendiri kurasa sudah dikategorikan siscon, kupikir begitu..." Yuigahama mengatakan itu
seperti bereaksi terhadap kata-kataku.

"Mustahil! Aku jelas-jelas bukan siscon. Faktanya, bagiku dia tidak terlihat seperti adikku, dia
terlihat seperti gadis lain...Argh, itu tentunya hanya candaan. Berhentilah melihatku dengan tatapan
seperti itu!"

Sambil memegang pisau dan garpu di tangannya, Yukinoshita melihat ke arahku, diam dan
menatapku dengan tatapan horor bercampur jijik. Dia mungkin sedang berpikir untuk menusukku dan
memotong dagingku ini hingga aku terdiam dan tidak berbicara itu lagi.

"Sangat menakutkan hingga aku tidak bisa membedakan apakah kau serius atau becanda ketika
mengatakan itu," kata Yukinoshita. Setelah berhenti sejenak, dia menambahkan.

"Jika kau sangat penasaran, kenapa kau tidak menanyakan itu di rumah nanti?"

Setelah mengatakan kata-kata itu, Yukinoshita dan Yuigahama kembali belajar.


Tapi kedua tanganku tidak mau bergerak karena sejak tadi aku teringat dengan kata-kata Komachi
yang mengatakan "Onii-chan", lalu diikuti, "Aku ingin menikahi Onii-chan ketika aku dewasa
nanti!" lalu diikuti tatapan tajam dari ayahku yang terlihat tidak menyetujui itu.

Ah sudahlah, siapa sih yang peduli 'tetek-bengek' tentang adik perempuan?

Meski begitu, aku akhirnya tidak menanyakan itu setelah sampai di rumah. Bu-Bukannya aku takut
dia akan membenciku jika menanyakan itu atau sejenisnya!

x Chapter II | END x
Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteiru
Volume 02 Bahasa Indonesia
Di translate oleh Aoi.
Zcaoi.blogspot.com

PDF oleh ユウトくん


Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteiru - Volume 02

Chapter 3 : Hayama Hayato Selalu Berada di Belakang Semuanya (1/3)

x x x

Meski sekarang memasuki jam istirahat, tapi aku sendiri tidak pernah bisa beristirahat.

Suasana kelas diisi oleh obrolan para siswa. Semua orang seperti terlepas dari borgolnya yang berada
di rumah dan pergi ke sekolah, dan sekarang mereka berbicara dengan akrab bersama teman-teman
mereka tentang rencana mereka sepulang sekolah besok dan apa yang mereka lihat di TV belakangan
ini, yadda yadda yadda. Kata-kata mereka seperti masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.
Pembicaraan mereka mungkin memakai bahasa asing karena hanya sedikit yang bisa kupahami dari
obrolan mereka. Aku mungkin saja saat ini berada di dimensi yang berbeda.

Kurasa obrolan hari ini terasa lebih ramai dari biasanya. Sepertinya, ini dikarenakan Wali Kelas
kami mengatakan kalau kami boleh bebas memilih siapa saja untuk grup ‘Kunjungan Tempat Kerja’.
Meski Wali Kelas sudah mengatakan kalau besok lusa akan diberikan waktu luang bagi siswa untuk
memilih grup dan kemana mereka akan pergi, teman-teman sekelasku sepertinya sudah selangkah di
depan. Pembicaraan mereka kurang lebih seperti “Kemana kau akan pergi?” atau juga “Kau mau
pergi bersama siapa?”. Mayoritas siswa disini seperti membuat rencana spesial bersama orang yang
mereka inginkan.

Ini sangat jelas sekali. Sekolah bukanlah sebuah tempat dimana kau hanya akan mendapatkan ilmu.
Kalau kita telaah baik-baik, sekolah itu seperti sebuah komunitas kecil, sebuah kebun kecil yang
berisi setiap tipe manusia yang ada di dunia ini. Karena itulah kehidupan SMA juga memiliki medan
perangnya tersendiri dan itu ditunjukkan oleh hal-hal seperti bullying. Dan seperti sosial masyarakat
pada umumnya dimana mereka mempunyai kelas sosial, SMA juga memiliki kelas sosial. Tentunya,
karena kita menganut sistem demokrasi, teori kelompok siapa yang jumlanya paling banyak, maka dia
yang paling kuat akan berlaku. Mayoritas – dan siapapun yang bersama kaum mayoritas – menguasai
SMA ini.

Akupun melihat perilaku teman sekelasku sambil menopang daguku dengan tangan dan mata yang
setengah tertutup. Aku sebenarnya sudah cukup tidur dan aku begini bukan karena lelah atau
sejenisnya, tapi aku selalu menghabiskan jam makan siangku seperti ini sejak kecil, tertidur adalah
sebuah gerakan refleks bagiku.
Ketika pandanganku mulai terlihat kabur dan aku mulai menunduk, ada sepasang tangan yang
menggoyang-goyang tubuhku. Ketika kulihat, Totsuka Saika duduk di kursi yang berada di depanku.

“Selamat siang,” Totsuka menyapaku dengan senyumannya.

Akupun mengigau.

“...Tolong buatkan sarapan untukku setiap pagi.”

“H-Huh?! Apa yang kau...?”

“Oh, tidak. Aku barusan setengah tertidur.”

Sial, aku meminta sesuatu kepadanya tanpa berpikir dahulu. Sial, kenapa dia semanis ini sih? Tapi
dia itu seorang pria! Pria! Pria?...Bukannya aku sedang berusaha mengiyakan permintaanku agar dia
membuat sarapan untukku tiap pagi.

Kami berdua hanya bisa terdiam.

“Jadi, ada apa?” tanyaku.

“Tidak ada apa-apa...” dia menjawabku. “Kupikir aku ingin menyapamu karena kau kebetulan ada
disini, Hikigaya-kun...Apa aku mengganggu kegiatanmu?”

“Nah, setidaknya tidak begitu. Malahan, aku sangat senang jika kau mau mengobrol denganku
setidaknya 4 sampai 6 jam sehari.”

Jangan lupa juga, aku sangat suka jika dia mau mengatakan kalau dia mencintaiku selama 4-6 jam
sehari.

“Kalau begitu, bukankah itu berarti aku harus selamanya bersamamu?” Totsuka tertawa dengan
manis, menaruh tangannya di mulutnya. Seperti menyadari sesuatu, dia menepuk kedua tangannya
dan berkata.
“Hikigaya-kun, apa kau sudah memutuskan akan pergi kemana dalam kegiatan ‘Mengunjungi
Tempat Kerja’?”

“Apa yang akan terjadi, maka terjadilah. Dan apa yang tidak akan bisa terjadi, maka tidak akan
terjadi,” kataku.

Seperti terkejut dengan kata-kataku, Totsuka melihatku sambil memiringkan kepalanya. Aku melihat
area diantara kerah baju olahraganya dan tulang selangkanya, dan itu membuatku memalingkan
pandanganku. Mengapa dia bisa punya kulit yang indah? Dia pakai sabun apa sih?

“Ah, pada dasarnya aku tidak peduli kemana aku akan pergi,” jawabku. “Dimanapun selain rumahku
terlihat sama bagiku. Semuanya tempat-tempat yang tidak berharga.”

“Oooh, kau kadang-kadang mengatakan kata-kata yang puitis, Hikigaya-kun.”

Aku tidak ingat kalau pernah mengatakan kata-kata yang puitis, tapi melihat Totsuka yang
mengagumiku, tampaknya kata-kataku itu sudah memberikan kesan yang mendalam padanya.

Aku merasa Totsuka hendak memberiku raspberri dan level keakrabannya akan meningkat. Tapi
kalau melihat fakta dia bisa menaikkan level keakraban tidak peduli kata apapun yang keluar darinya,
kupikir itu adalah sesuatu yang menakutkan. Aku hampir saja memilih rute yang harusnya tidak
pernah ada.

“Jadi...Kau sudah memutuskan kemana kau akan pergi, huh?”

Totsuka melirik ke arahku dengan ekspresi ragu-ragu, tapi tampaknya dia salah paham terhadap
kata-kataku tadi.

Aku tidak tahu harus membalas apa. Kata-katanya seperti memiliki arti “Aku ingin pergi denganmu
tapi karena kau sudah memutuskan, sayang sekali ya?”.

Ini membuatku lebih waspada untuk saat ini.

Serangan tiba-tiba dari Totsuka membuat pintu tentang kenangan-kenangan lamaku kembali terbuka.
Memang, pernah terjadi sesuatu yang seperti ini di masa lalu...
Tahulah, ketika aku masih kelas 2 SMP dan aku dipaksa menjadi perwakilan kelas untuk siswa laki-
laki, gadis manis yang menjadi perwakilan siswi perempuan tersenyum kepadaku dan berkata, “mari
lakukan yang terbaik untuk tahun ini”...

Uuuurk! Sial! Sekali lagi, aku hampir saja ditipu oleh kata-kata yang tidak bertanggung jawab. Aku
bukannya hendak terluka lagi atau semacamnya.

Aku sudah pernah mengalaminya sekali. Seorang penyendiri yang berpengalaman ketika tergigit
sekali, tidak akan pernah tergigit lagi. Pengakuan cinta itu seperti kalah dalam hom pim pa, surat cinta
palsu adalah apa yang ditulis oleh anak laki-laki, dan itu yang didikte oleh gadis yang mereka sukai –
aku tidak punya urusan lagi dengan mereka. Aku adalah veteran dari sebuah peperangan. Tidak ada
yang tahu rasanya kalah seperti diriku ini.

Oke. Tenang. Di momen seperti ini, gunakanlah jurus meniru – itu tidak memerlukan usaha yang
banyak.

Akupun menjawab sebuah pertanyaan dengan sebuah pertanyaan.

“Kau sendiri sudah memutuskan akan pergi dengan siapa?”

“A-Aku?”

Dia bingung karena pertanyaannya ditanyakan balik kepadanya, lalu wajah Totsuka terlihat
memerah.

“Aku, umm, sudah memutuskan soal itu.” Dia menutup matanya secara perlahan dan melirik ke
arahku untuk menunggu reaksiku.

Meh, kurasa beginilah hidup. Totsuka adalah member klub tenis, itu artinya dia punya skill
komunikasi yang spesial dan tentunya membuat dia memiliki banyak koneksi. Sangat jelas sekali
kalau dia akan punya banyak teman di kelas ini.

Aku sendiri, di lain pihak, bergabung dengan sebuah klub yang seperti sebuah ruangan isolasi bagi
siswa-siswa yang aneh di sekolah ini, mustahil aku bisa punya teman.

“Kalau dipikir-pikir – sebenarnya, ini tidak perlu dipikirkan lagi – aku ternyata tidak punya satupun
teman laki-laki.”
“Er, uh...Hikigaya-kun...” Totsuka mengatakan itu dengan pelan. “Aku ini laki-laki, tahu tidak...”

Dia manis sekali, membuatku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

Ngomong-ngomong, ini semacam sebuah perasaan yang aneh bisa mengobrol dengan seseorang di
kelas. Setelah kejadian yang berhubungan dengan klub tenis beberapa waktu lalu, banyak orang yang
menyapaku dengan dua hingga tiga kata ketika mereka melihatku. Meski begitu, haruskah kusebut
mereka itu temanku? Aku meragukan itu. Kalau cuma sekedar level menyapa, kurasa apakah kita
kenal atau tidak bukanlah sebuah masalah – kita malah bisa saling menyapa meski kita tidak kenal.
Misalnya ketika kau sedang mengantri untuk membeli ramen, kau mungkin akan memiliki sebuah
obrolan dengan mengatakan “Wah ramai juga ya?”, “Aku capek setiap hari mengantri seperti ini”.
Tapi kau sendiri tidak mau menyebut mereka teman.

Seperti inilah teman yang seharusnya:

“Hayato-kun, kau sudah memutuskan akan pergi kemana?”

“Aku berpikir untuk mengunjungi sesuatu yang berhubungan dengan media atau perusahaan
multinasional.”

“Whoa, bro, lu serius amat. Hayato, lu ini superman ato gimana? Kita ini umur berapa coba? Gue
juga harus menghormati orang tua gue juga.”

“Kita harus menentukan lokasinya dengan serius, eh?”

“Bener banget bro. Meski begitu, jangan lupa kalau kita juga masih remaja.”

Bukankah obrolan semacam itulah yang dimiliki oleh teman? Menjadi teman berarti mampu
berbicara ke yang lain tanpa mempedulikan dunia ini. Aku bahkan hampir tertawa jika melakukannya,
jadi pertemanan atau sejenisnya itu adalah hal mustahil bagiku. Apa-apaan tadi omong kosong tentang
menghormati orang tua? Apa dia itu semacam rapper?

Hayama Hayato dikelilingi 3 pria dan dia menjadi pusatnya, seperti yang kulihat setiap harinya.
Semuanya sangat senang memanggilnya Hayato, dan Hayama sendiri mau memanggil nama depan
mereka juga. Sikap yang menunjukkan ‘pertemanan’ itu menunjukkan sebuah adegan yang terasa
hangat.
Tapi aku bisa merasakan kalau mereka itu hanya pura-pura memanggil teman mereka dengan nama
depan masing-masing. Memanggil nama depan seseorang adalah sesuatu yang hanya terjadi di
sinetron, manga, dan anime. Adegan mereka semua itu hanya berdasarkan skenario. Mereka hanya
membohongi teman mereka masing-masing.

...Kurasa tidak ada ruginya jika aku sendiri mencoba hal itu, benar tidak? Mungkin akan menjadi
pengalaman yang bagus. (Aku sebenarnya tidak punya dendam terhadap manga yang belum kubaca,
aku hanya dendam terhadap orang yang menggambarnya. Jika aku mencoba membaca manga itu dan
ternyata jelek, aku akan menghajar orang yang menggambar manga itu sekuat tenagaku).

Experimen: Apakah memanggil nama depan seseorang akan mengubah hubunganmu dengan orang
itu?

“Saika.”

Ketika aku memanggil nama depannya, Totsuka hanya diam saja. Dia hanya diam tidak bergerak.
Kedua matanya melebar dan berkedip dua hingga tiga kali, mulutnya dibiarkan terbuka.

Nah lihat buktinya? Itu tidak membuat hubunganmu menjadi lebih baik. Biasanya, memanggil nama
depan seseorang ketika kau sendiri tidak akrab akan membuat mereka jengkel. Seperti, ketika
Zaimokuza memanggilku Hachiman, aku secara otomatis akan tidak mempedulikannya. Yang ingin
kukatakan adalah ketika para babi yang menganut prinsip riajuu melakukan itu, mereka sebenarnya
berbohong dan pura-pura tidak marah.

Kurasa aku harusnya segera minta maaf ke Totsuka.

“Ah, maaf yang barusan...”

“...Aku sangat senang. Ini pertama kalinya kau memanggil nama depanku.”

“Aku baru saja...Apa...?”


Totsuka tersenyum kepadaku, kedua matanya seperti dipenuhi sebuah emosi yang dalam. Apa-apaan
ini? Apakah ini artinya hidupku akan terasa berarti? Terpujilah para riajuu(penyelamatku!). Aku
bahkan mulai menangis dibuatnya.

Totsuka melihat ke arahku dan pura-pura batuk.

“Jadi, umm...Bolehkah kupanggil kau dengan Hikki?”

“Jangan pernah menyebutku dengan nama itu.”

Tidak, sekali lagi tidak. Saat ini hanya ada satu orang yang memanggilku dengan nama aneh itu, dan
jika orang lain tahu maka habislah aku. Melihat bagaimana aku menolak hal itu, Totsuka terlihat
kecewa, lalu dia pura-pura batuk lagi.

“Kalau Hachiman, bagaimana?”

...

DING DING DING!

Suara itu terdengar di kedua telingaku.

“Bi-Bisa ulangi lagi?!”

Totsuka tersenyum, seperti bingung akan permintaanku yang aneh itu. Dia tampak manis ketika
bingung – kecuali mendapatkan masalah yang sebenarnya.

“...Hachiman,” dia mengatakan itu dengan malu-malu, melihat reaksiku diantara kedua jari-jarinya.

“Hachiman?” dia mengatakan itu dengan nada yang penuh tanya dan memiringkan kepalanya.

“Hachiman! Apa kau mendengarkanku?” dia mengatakan itu dengan keras, sambil mengembungkan
pipinya.
Melihat ekspresi Totsuka yang marah itu sudah cukup untuk membuatku kembali ke diriku yang
normal. Oh sial, aku membiarkan diriku terperangkap dalam manisnya dirinya tanpa berpikir
banyak...

“Uh, uhhh. Maaf. Apa yang kau katakan tadi?” aku berpura-pura kalau aku baru saja melamun, tapi
sebenarnya aku sedang menulis hasil eksperimenku barusan di pikiranku.

Kesimpulan: Totsuka sangat manis sekali ketika kau memanggilnya dengan nama depannya.

xxx

Menjelang petang, suasana ramai di halaman sekolah mulai tidak terdengar lagi. Dari ruangan ini,
kau bisa melihat cahaya terakhir dari matahari yang tenggelam di teluk Tokyo, memberikan jalan bagi
kegelapan yang mulai menguasai angkasa.

“Ohh...Jadi sudah tiba saatnya bagi kegelapan untuk datang, huh...?”

Seorang anak muda membisikkan itu sambil mengepalkan tangannya. Sambil melakukan itu, sarung
tangan kulit palsu yang dia pakai itu membuat bunyi seolah-olah tangannya mengepal dengan serius.
Dia menatap ke arah lengannya yang seberat 1kg itu, lalu mendesah.

“Sudah tiba saatnya untuk menghancurkan segel itu...”

Tidak ada satupun suara yang merespon kata-katanya itu.

...Meskipun ada 3 orang lainnya yang berada di ruangan ini.

Orang yang melihat kami bertiga, dan tentunya berharap kami untuk mengatakan sesuatu, adalah
Zaimokuza Yoshiteru. Dan orang yang tidak mempedulikannya dan hanya membaca bukunya sedari
tadi adalah Yukinoshita Yukino. Orang yang sedang gugup sambil melihat ke arahku dan Yukinoshita
seperti hendak meminta tolong adalah Yuigahama Yui.
“Jadi apa maumu, Zaimokuza?” tanyaku, setelah itu aku mendengar suara embusan napas
Yukinoshita yang berat.

Yukinoshita lalu menatapku dengan tajam. Kedua matanya seperti berkata...

[Kau harusnya tidak mempedulikan dia!]

[Yeah, tapi harus ada orang yang melakukan itu!]

Aku sebenarnya tidak ada minat untuk berbicara dengannya, tapi dia mengoceh kesana-kemari
selama setengah jam. Ada apa dengan bahasannya tentang But Thou Must di Dragon Quest V? Kalau
aku tidak berbicara kepadanya, dia akan terus mengoceh sampai kiamat.

Setelah aku bertanya kepadanya, Zaimokuza menggaruk ujung hidungnya dengan gembira dan
tertawa seperti sedang tersanjung. Sial, orang ini benar-benar sangat mengganggu.

“Ah, maafkan aku. Aku baru saja mendapatkan sebuah kalimat yang bagus, jadi aku harus
mengatakan itu dengan keras agar memperoleh ritme dan perasaan tentang itu. Oho, memang aku ini
seorang penulis tulen...Aku memikirkan tentang novelku ketika aku terbangun dan ketika aku tertidur.
Ini memang sebuah takdir yang dimiliki oleh seorang penulis.”

Yuigahama dan diriku terlihat lelah melihat tingkahnya dari tadi. Yukinoshita lalu menutup
bukunya. Zaimokuza langsung kaget dibuatnya.

“Kupikir seorang penulis adalah seseorang yang menciptakan sesuatu...” Yukinoshita mengatakan
itu. “Jadi apakah kau sudah menulis sesuatu, bisa kulihat?”

Tubuh Zaimokuza seperti merespon kata-katanya dan membuat suara aneh seperti sedang tersedak.
Reaksinya sangat mengganggu. Tapi memang cukup aneh, Zaimokuza terlihat berani sekali hari ini.
Dia lalu menegakkan posisinya dan pura-pura batuk.

“...Ahem. Itu benar untuk hari ini...Aku akhirnya bisa menggapai apa yang kuinginkan. Aku sedang
berada di jalan menuju El Dorado!”

“Apaan, apa kau memenangkan hadiah?” tanyaku.


“Bukan, belum sampai kesitu...Ta-Tapi, itu hanya menunggu waktu saja!” Zaimokuza menyatakan
itu dengan memasang pose, berpura-pura sangat antusias dan superior, entah kenapa dengan dia hari
ini.

Zaimouza mengibaskan bagian belakang jubahnya.

“Hahaha, dengarkan dan kagumlah!” dia berteriak dengan suara yang aneh.

“Di kesempatan ini, aku telah memutuskan untuk mengunjungi penerbit novel sebagai tempat
kegiatan ‘Mengunjungi Tempat Kerja!’! Dengan kata lain – apa kalian paham, paham tidak?”

“Tidak, kamu ngomong apa sih?”

“Kesimpulan yang buruk sekali, Hachiman. Dengan kata lain, ini pertamakalinya bakatku ini akan
dikenali. Aku sedang membuat sebuah koneksi dengan penerbit.”

“Hei, jangan besar kepala dulu.” akupun berhenti sejenak. “Sumpah ini, kau ini mirip seperti bocah
yang bergaul dengan seorang Senpai yang nakal. Kau bahkan lebih buruk daripada seorang pengidap
sindorm kelas 8 yang tidak bisa menahan dirinya.”

Zaimokuza tidak mempedulikan kata-kataku dan mengerang seperti tidak pernah terjadi apa-apa
dengan kata-kataku. Jujur saja, suaranya terdengar menakutkan ketika mengatakan:

“Studionya yaitu...Castingnya...” dia mengatakan itu ke dirinya sendiri.

Lagipula, diluar sana banyak sekali penerbit yang jelek. Jika dia percaya kalau masa depannya akan
sangat cerah, maka aku tidak bisa mengatakan apapun lagi kepadanya.

Tapi, ada sesuatu yang aneh dari semua ini.

“Zaimokuza, aku kagum dengan grupmu yang mau mendengarkan pendapatmu.”

“Apa? Apa kau beruaha mengatakan kalau aku ini orang lemah...Well, terserah kamu. Kebetulan
saja aku bertemu dengan dua orang otaku lain di kelasku. Aku bahkan tidak mengatakan kalau aku
ingin pergi ke penerbit dan mereka sudah memutuskan untuk pergi kesana. Mereka terlihat tersenyum
licik dan berpikiran kotor. Aku cukup yakin kalau mereka ingin pergi ke penerbit novel gay itu. Cinta
mengalahkah segalanya, dan aku tidak punya hal lain untuk kukomplain.”
Yuigahama terlihat berusaha menghindari untuk melihat wajah Zaimokuza.

“Kau harusnya mencari grup yang berisi orang-orang setipe denganmu...” dia mengatakannya sambil
mendesah pasrah.

Tapi Zaimokuza sudah terlibat terlalu dalam. Ada sesuatu dimana dia menolak untuk mengikuti ide
itu karena dia sedang berada bersama orang-orang yang memiliki hobi serupa. Kupikir ini semacam
perang suci keagamaan.

“Begitu ya, mengunjungi tempat kerja, huh...” Yuigahama menggumamkan itu dengan emosi yang
dalam.

Dia lalu melirik ke arahku sebelum memalingkan pandangannya. Kedua matanya seperti baru saja
keluar dari kolam renang dan wajahnya terlihat memerah. Apa dia kena flu?

“Umm, Hikki, kau sendiri mau pergi kemana?” dia menanyakan itu dengan ragu-ragu.

“Ke rumahku.”

“Yeah, bukan itu!” Yuigahama mengatakan itu sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

Aku masih belum menyerah soal itu, tapi karena aku tidak ingin melihat Hiratsuka-sensei
menghajarku hanya karena jawaban itu, jadi kuputuskan untuk memikirkannya dengan baik.

“Hmph, well, terserah grupku saja mau kemana, aku tinggal ikut mereka saja.”

“Wow, kau tidak mau mengusulkan tempat ke teman grupmu?”

“Nah...Aku pernah melakukan hal serupa di masa lalu, tapi aku akhirnya malah merepotkan orang-
orang, jadi aku malas untuk berbicara lagi.”

“Begitu ya – oh, tunggu. Oh.”


Seperti biasanya, dia menginjak ranjau darat. Yuigahama mungkin sangat buruk dalam bermain
minesweeper.

“Maaf.”

Kalau dipikir-pikir lagi, ini mengingatkanku akan sesuatu. Sebenarnya, “buatlah grup yang terdiri
dari 3 orang” adalah perintah yang sangat buruk daripada “buatlah grup yang terdiri dari 2 orang”.
Kalau cuma berdua, kau bisa diam saja dan biarkan orang yang lain memutuskan. Tapi kalau grup
berisi 3 orang, dan dua orang lainnya berdebat tentang sesuatu, maka kau seperti berada dalam sebuah
loop.

“Jadi, pada akhirnya kau tidak mau mengusulkan...?” Yuigahama menggumamkan itu.

“Kalau kau sendiri, hendak pergi kemana, Yuigahama-san?” tanya Yukinoshita.

“Yeah. Kurasa tempat yang dekat-dekat saja.”

“Jawaban itu merupakan jawaban yang selevel dengan pikiran Hikigaya-kun...”

“Jangan melibatkanku dengan grupnya,” kataku. “Aku ingin ke rumahku itu sudah merupakan
sebuah impian terbaikku. Ngomong-ngomong, kemana kau akan pergi? Ke kantor polisi? Pengadilan?
Atau mungkin penjara?”

“Salah semua,” Yukinoshita terlihat berusaha menahan tawanya dengan ekspresi yang dingin. “Kau
tampaknya tahu betul caraku berpikir.”

Ufufu.

Lihat kan maksudku? Suara tawanya sangat menakutkan.

Sejauh yang kutahu, Yukinoshita akan selalu terlihat sangat pintar, tapi itu ketika dia benar-benar
tidak menyukaimu. Anehnya, dia tidak hanya mengatakan sesuatu yang kejam, dingin, dan tidak
manusiawi. Ufufu. Ada apa dengan suara tawanya yang lugu itu?

“Kupikir aku akan pergi ke sebuah tempat yang bersifat think tank – seperti lembaga penelitian.
Kurasa aku akan memilih yang seperti itu.”
Fakta kalau Yukinoshita sudah menentukan pilihannya menunjukkan bagaimana dia sangat efektif
dalam mengambil keputusan. Kalau begini, akan sangat mudah membuatku teringat bagaimana
dirinya berubah dengan cepat dari sikap yang dingin menjadi sikap yang serius.

Ada seseorang yang menarik lengan blazerku, membuatku penasaran. Oi bocah, lu ngapain?
Akupun menolehkan kepalaku untuk melihatnya.

Ternyata Yuigahama. Wajahnya terlihat dekat tanpa sepengetahuanku. Bau tubuhnya ternyata enak
juga, dan rambutnya yang terurai itu dekat dengan leherku. Ini pertamakalinya aku merasa dekat
secara fisik dengan Yuigahama. Berbeda dengan sikapku yang menganggapnya mengganggu,
jantungku mulai berdetak kencang.

“H-Hikki...”

Dia berbisik di telingaku dan terdengar embusan napas dari mulutnya. Itu saja sudah cukup membuat
telingaku gatal.

Dari jarak kami berdua, kami bisa mendengar ada dua detakan suara. Mungkinkah
itu...Tidak...Mungkinkah yang kudengar barusan itu suara detakan dadanya...?

“Apa sih thinkie tank itu? Apa tanknya komunitas sosial?” dia mengatakan itu seperti suara dari
wanita paruh baya saja.

Tiba-tiba aku tidak mendengarkan suara itu lagi, mungkin suara tadi semacam kelainan jantung atau
semacamnya.

“...Yuigahama-san,” Yukinoshita mengatakan sambil mendesah.

Setelah Yuigahama menjauh dariku, Yukinoshita mulai menjelaskan kepadanya. “Tahu tidak, think
thank itu – “

Yuigahama mengangguk untuk menunjukkan perhatiannya atas penjelasan itu. Keduanya seperti
sedang melangsungkan sesi belajar bersama. Melihat mereka di salah satu sudut mataku, akupun
teringat kegiatan penting yang tertunda yaitu membaca manga shoujo. Setelah Yukinoshita selesai
menjelaskan ke Yuigahama, sudah 15 halaman terlewati.
Matahari senja sudah hampir menyentuh lautan. Dari ruangan ini, aku bisa melihat permukaan lautan
terlihat memantulkan cahaya dari kejauhan. Jendela lantai empat ini memberikan pemandangan para
member klub baseball yang sedang membersihkan lapangan, para member klub sepakbola yang
sedang mengangkut gawang mereka, dan member klub atletik sedang membawa halang rintang
beserta alat kegiatan mereka yang lain.

Kurasa sebentar lagi kegiatan klub akan selesai. Di saat yang bersamaan, kedua mataku melihat ke
arah jam dinding, Yukinoshita menutup kedua bukunya. Tiba-tiba, Zaimokuza kaget ketika
Yukinoshita melakukannya. Ya ampun, orang ini mudah sekali ketakutan.

Aku tidak tahu siapa yang memulai hal ini, tapi sikap Yukinoshita yang menutup bukunya harusnya
menjadi sinyal kalau kegiatan klub berakhir untuk hari ini. Seperti melihat tanda itu, Yuigahama juga
ikut membereskan barang-barangnya disini dan bersiap untuk pulang seperti diriku.

Pada akhirnya, tidak ada satu orangpun yang datang ke klub dan meminta pertolongan kami. Entah
mengapa, satu-satunya orang yang datang hanya Zaimokuza, dan dia adalah orang yang paling tidak
kami inginkan untuk datang.

Bagaimana jika pulang sekolah nanti aku mampir ke warung ramen...

Ketika aku memikirkan tentang makan malam, ide mampir ke Horaiken tiba-tiba muncul di
kepalaku. Itu adalah restoran ramen di Niigata, tapi kuah sup mereka merupakan sup terbaik yang
pernah ada. Zaimokuza pernah menceritakan itu kepadaku. Oh sial, aku mulai meneteskan air liurku,
heh.

Tiba-tiba, aku mendengarkan suara ketukan pintu yang berirama. “Siapa yang mengetuk pintu di jam
segini?” Karena membuat imajinasiku tentang ramen buyar seketika, aku menatap ke arah jam
dinding dengan kecut.

Aku sering berpura-pura tidak ada di rumah ketika kejadian seperti ini terjadi di rumahku. Ketika
aku menatap ke arah Yukinoshita untuk bertanya apa yang harus kita lakukan, dia mengatakan
“Silakan masuk!”. Dia bahkan tidak melihat ke arahku ketika menjawabnya!

“Maaf sudah mengganggu.”

Suara itu adalah suara pria yang terdengar keren, suara yang bisa membuatmu tenang ketika
mendengarnya. Jadi pria inilah yang mencuri ramenku barusan...
Akupun menatap ke arah pintu dengan ekspresi kesal, dan diriku terkejut ketika melihatnya. Dia
adalah seseorang yang kupikir tidak akan pernah datang ke ruangan ini.

xxx

Dia adalah pria tertampan dari semua pria di sekolah ini. Saking tampannya sehingga julukan
tampan tidak cukup lagi untuk menggambarkan dirinya.

Rambutnya yang berwarna coklat ditata rapi seperti memakai minyak rambut. Tanpa sadar, dia
melirik ke arahku lewat frame kacamatanya yang terlihat trendi, dan entah mengapa dia memasang
senyum yang terlihat picik ketika kedua mata kami bertemu. Secara spontan, aku menatapnya dengan
sinis juga. Saking tampannya sehingga aku hampir saja membungkuk di hadapannya.

“Maaf karena momennya kurang tepat. Aku ada sedikit request untuk kalian.” Dia mengatakan itu
sambil menaruh tas olahraga bermerk UMBRO di lantai dengan santainya. Lalu dia menarik kursi
terdekat sehingga berhadapan dengan Yukinoshita sambil mengatakan “Apa boleh duduk disini?”.

Semua yang dia lakukan seperti memancarkan aura tertentu. “Ya ampun, aku kesulitan untuk pergi
kesini dari klubku. Karena kegiatan klub akan vakum ketika mendekati ujian, jadi kupikir aku harus
menemui kalian hari ini tidak peduli apa yang terjadi. Maaf ya.”

Orang-orang yang punya keperluan semuanya seperti itu. Dia bahkan tidak menyadari diriku yang
hendak pulang dan menikmati kebebasan di rumah. Mungkin karena diriku ini adalah seorang ninja.

Dia barusan bilang datang kesini setelah sibuk dengan klubnya, karena klub kami hari ini hanya
duduk-duduk saja, mengapa tidak ada bau keringat darinya yang menyebar di ruangan ini? Malahan,
ada bau lemon yang menyegarkan mulai tercium di ruangan ini.

“Kurasa sampai disitu basa-basinya,”

Yukinoshita mengatakan itu dengan datar, memotong obrolan ceria pria tersebut. Entah mengapa,
aku merasa sikapnya jauh lebih tajam dari biasanya.
“Kau kesini karena ada keperluan, benar begitu? Hayama Hayato-kun.”

Nada tegas dari Yukinoshita tidak menggoyahkan senyuman Hayama Hayato.

“Ah, kau benar. Kalau tidak salah, ini adalah Klub Relawan, benar tidak? Hiratsuka-sensei
menyuruhku untuk datang kesini jika membutuhkan bantuan, jadi...”

Setiap kali Hayama berbicara, ada tiupan angin yang menyegarkan bertiup dari arah jendela, entah
mengapa bisa begitu. Ya ampun, apa dia bisa mengontrol kekuatan angin atau sejenisnya?

“Maaf kalau momennya tidak tepat. Kalau kau, Yui, dan yang lain ada rencana, aku akan datang lagi
di lain waktu...”

Setelah mendengar namanya disebut, Yui langsung tersenyum. Tampaknya seluruh orang yang
berada di atas kastaku tidak bisa luput dari Hayama.

“Kurasa tidak masalah. Aku tidak keberatan. Kau kan calon kapten Klub Sepakbola, Hayato-kun.
Tidak heran kalau kau butuh waktu lama untuk pergi kesini!”

Satu-satunya orang yang berpikir seperti itu adalah Yuigahama. Yukinoshita sendiri tidak
terpengaruh, sementara Zaimokuza duduk terdiam, dengan wajah terlihat pucat.

“Ahh, harusnya aku juga mengatakan maaf kepadamu, Zaimokuza-kun,” kata Hayama.

“Huh?! A-Ahem! Er, aku sendiri tidak keberatan, uhh, kurasa aku akan pulang lebih dulu...”

Hanya dengan membuka mulutnya, Hayama langsung menghilangkan aura ramah di ruangan ini
kepada Zaimokuza. Setelah Hayama selesai melakukan pekerjaannya, Zaimokuza terlihat seperti
satu-satunya orang yang bersalah dengan tetap berada di ruangan ini.

Zaimokuza lalu pura-pura batuk.

“H-Hachiman, sampai jumpa nanti!”


Dia mengatakan itu dengan terburu-buru dan pergi. Meski dia terlihat sedang berlari, aku bisa
melihat ekspresi wajahnya yang sedang tersenyum.

...Kurasa aku paham bagaimana rasanya terluka seperti itu.

Jujur saja, aku tidak tahu mengapa bisa begini. Tapi orang yang terbuang di SMA sepertiku ini,
selalu menghindari terlibat kontak dengan siswa-siswa populer. Kita selalu memberikan jalan bagi
mereka ketika di lorong, dan ketika mereka berbicara kepada kita, 80% kita akan tergagap-gagap
meresponnya. Bukannya kami ini cemburu atau membenci mereka. Ketika mereka mengingat nama
kita, kita merasakan semacam kebahagiaan.

Pria seperti Hayama mengetahui namaku dan siapa diriku. Mengetahui hal tersebut saja seperti
memperoleh kehormatanku kembali.

“Kau juga, Hikitani-kun,” kata Hayama. “Maaf sudah menyita waktumu.”

“...Gah, tidak usah dipikirkan.”

Dia salah menyebutkan namaku! Selamat tinggal kehormatanku yang malang.

“Yeah, lu ngapain kesini?” Aku mengatakan kata-kata yang tidak baku tersebut, karena aku sendiri
secara tidak sadar berusaha mengekspresikan emosiku karena dia salah menyebut namaku atau
sejenisnya.

...Tidak, benar itu! Aku benar-benar tertarik dengan masalah Hayama. Jujur saja, sulit
membayangkan kalau ada pria populer, pria yang dicintai oleh siapa saja bisa memiliki masalah.
Bukan maksudku ingin mengetahui kelemahannya agar bisa mengejeknya...

“Ah. Well, soal itu,” Hayama mengatakan itu sambil mengambil HP-nya.

Dia menekan tombol-tombol di HPnya, mengakses bagian SMS dan menunjukkannya kepada kami.

Disampingku, Yukinoshita dan Yuigahama mencondongkan kepalanya untuk melihat isi SMS
tersebut. Dengan tiga orang berkerumun untuk melihat layar berukuran kepalan tangan, akupun
terlihat pusing. Mereka berdua ternyata aromanya enak sekali. Tapi setelah aku mundur agar
memberikan mereka ruang untuk melihat layarnya, Yuigahama mengatakan “Ah...”
“Ada apa memangnya?” tanyaku.

Yuigahama mengambil HP miliknya dan menunjukkannya kepadaku. Dia menerima SMS yang
isinya kurang lebih sama dengan milik HP Hayama.

Kurang lebih, isi SMS itu menceritakan tentang sesuatu. Dan SMS itu tidak hanya satu saja. Setiap
Yuigahama menekan tombol scroll di daftar SMS yang diterimanya, ternyata penuh dengan SMS
yang berisi hal-hal serupa. Apa mereka dikirim dari nomor-nomor khusus untuk spam? Kukira begitu.
Setiap SMS yang masuk berisi gosip buruk tentang seseorang.

Tobe member geng yang sering memalak siswa SMA bagian barat Chiba di sekitar stand
permainan ketangkasan.

Yamato ternyata super brengsek.

Ooka sengaja bermain kasar di pertandingan persahabatan untuk membuat cedera pemain
andalan musuh.

Kesan keseluruhan yang kudapat dari SMS ini seperti pesan yang sama dikirim berulang-ulang
dengan nomor yang berbeda. Dan selain tertera nama pengirimnya, ada juga SMS yang dikirim dari
nomor SMS spam, jadi pesan ini seperti sebuah SMS yang dikirim ulang dari beberapa nomor.

“Hei, ini kan...”

Yuigahama mengangguk.

“Aku pernah mengatakan ini tempo hari, benar tidak? Inilah yang sedang ramai di kelas...”

“Pesan berantai, begitu ya,” Yukinoshita yang sedari tadi diam, mulai berbicara.

Seperti nama istilahnya, sebuah pesan berantai adalah sejenis pesan yang menyebar seperti rantai.
Orang terakhir yang menerimanya, menyebarkan pesan tersebut lagi, semacam begini, “Sebarkan
SMS ini ke lima orang” atau sesuatu sejenis itu. SMS ini seperti “Pesan terkutuk” di masa lampau:
“Kalau kau tidak menyebarkan pesan ini ke lima orang dalam tiga hari, kau akan dikutuk”, blah
blah. Ya semacam itulah SMS ini.

Ketika melihat layar HP-nya, Hayama tersenyum kecut.


“Setelah SMS semacam ini menyebar, suasana di kelas seperti menjadi tegang. Plus, aku marah
karena yang digosipkan teman-teman sekelasku adalah teman-temanku.”

Ekspresi Hayama berubah seperti Yuigahama yang sebelumnya: Dia seperti emosi karena hal itu
disebabkan oleh pelaku yang tidak menampakkan wajahnya.

Tidak ada yang lebih buruk dari seekor Iblis yang tidak bisa kau lihat wajahnya. Jika ada orang yang
menghinamu tepat di depanmu, kau bisa balik menghina mereka. Atau kau bisa melampiaskan emosi
dan kemarahanmu ke benda lain. Karena emosi seperti itu adalah salah satu sumber energi, kau bisa
memanfaatkannya ke hal positif. Tapi jika perasaan emosi, iri, dan dengki tidak tahu harus diarahkan
ke siapa, maka kau hanya bisa memendam emosi itu. Yang kau dapatkan adalah perasaan tidak
nyaman yang menghantuimu setiap harinya.

“Aku ingin menghentikan ini. Aku merasa ini sudah tidak benar,” Hayama menegaskan itu. Lalu dia
menambahkan.

“Oh, aku tidak ingin membuat ini menjadi semacam kegiatan berburu penyihir. Aku ingin tahu
bagaimana caranya menyelesaikan ini secara damai. Jadi, kuharap kalian bisa membantuku untuk
masalah ini.”
[note: perburuan penyihir ini mengacu ke kegiatan massif di tahun 1450-1750 dengan berburu penyihir,
mengerahkan massa secara besar-besaran. Sangat masif di Eropa dan Amerika, sekitar 35000-100000 jiwa tewas
akibat perburuan ini. Meski, saat ini masih ada kegiatan semacam ini secara terselubung.]

Yak ini dia. Hayama baru saja melepaskan jurus mautnya: “The Zone”.

Ijinkan aku untuk menjelaskan. “The Zone” adalah skill unik yang hanya dimiliki oleh seorang
riajuu sejati, dan efek utama skill itu adalah kemampuan untuk mengontrol orang-orang di sekitarnya.
Tidak seperti mereka yang merupakan riajuu gadungan (HA!) yang hanya berkumpul dan
menunjukkan ekspresi idiot mereka, seorang riajuu sejati adalah orang yang sangat puas dengan dunia
ini. Karena itulah, mereka tidak pernah memandang rendah siapapun – mereka terlihat ramah bagi
orang yang paling hina di dunia ini. Jadi aku punya pedoman paten untuk menentukan apakah mereka
riajuu gadungan atau sejati, yaitu “Apakah kau bersikap ramah terhadap Hikigaya Hachiman?”.

Kupikir, Hayama adalah nice guy. Maksudku, dia mau berbicara kepadaku, tahu tidak? (Meski dia
salah menyebutkan namaku).

Sederhananya, kau bisa menyebut “The Zone” adalah sebuah aura unik dimana hanya orang-orang
karismatik saja yang mempunyainya. Kalau kubilang, mereka itu adalah orang baik yang bisa
membaca suasana. Tapi kalau boleh jujur, mereka itu adalah golongan orang yang tidak memiliki
opini sendiri. Kasarnya, mereka itu semua adalah makhluk sampah. Well, meski begitu aku tetap
menyebut mereka sebagai orang baik.

Di depan Hayama yang mengaktifkan kemampuan spesialnya, Yukinoshita menggaruk-garuk


dagunya seperti sedang berpikir, lalu dia membuka mulutnya.

“Jadi intinya, kau ingin kita menghentikan penyebaran SMS ini, benar?”

“Mmm, kurang lebih begitu.”

“Kalau begitu, kita harus menemukan siapa pelakunya,” kata Yukinoshita.

x Chapter III Part 1 | END x

Chapter 3 : Hayama Hayato Selalu Berada di Belakang Semuanya (2/3)

xxx

“Tentu, kuserahkan kepa – “ Hayama baru sadar dengan yang dia ucapkan dan ekspresinya terlihat
terkejut. “Huh?!”

Meski begitu, tidak lama kemudian dia memasang senyumnya yang biasanya lagi.
“Ahem, kenapa kau sampai perlu menangkap pelakunya segala?” dia menanyakan itu ke
Yukinoshita.

Ketika itu, Yukinoshita, ekspresinya sangat dingin, seperti kebalikan dari ekspresi Hayama.
Yukinoshita mulai berbicara dengan perlahan seperti sedang memilih kata-katanya.

“Mengirimkan pesan berantai...Itu adalah tindakan yang buruk untuk menghina harga diri seseorang.
Sementara mereka bersembunyi dalam bayang-bayang tanpa diketahui siapapun, mereka berusaha
memfitnah orang lain. Menyebarkan fitnah adalah hal terjahat yang pernah dilakukan manusia. Rasa
ingin tahu itu adalah hal yang berbeda, tapi terus-menerus menyebarkan fitnah itu...Jika kau tidak
menghilangkan akar penyebabnya, maka tidak akan pernah ada habisnya. Sumber: diriku.”

“Apa barusan itu dari pengalamanmu?” tanyaku.

Kuharap dia tidak terus-menerus mengatakan hal-hal yang bermakna ganda. Yukinoshita
mengatakan itu dengan tenang, tapi aku bisa melihat semacam api hitam yang melapisi tubuhnya.
Mungkin kau bisa mengatakan kalau dia memancarkan aura yang jahat.
“Sebenarnya, apa sih enaknya menyebarkan fitnah? Kupikir tidak ada satupun hal bagus dari yang
Sagawa-san atau Shimoda-san lakukan...”

“Jadi kau benar-benar menemukan pelakunya...” Yuigahama mengatakan itu dengan senyum yang
kecut.

Hal-hal seperti ini membuatmu berpikir kalau Yukinoshita ini memiliki banyak sekali info dan
betapa menakutkannya jika dia bertindak sebagai musuhmu.

“Ya ampun, kehidupan SMP-mu sepertinya terjadi hal-hal yang menarik,” jawabku. “Aku sendiri
belum pernah menerima semacam pesan berantai seperti itu.”

“...Itu karena tidak ada satupun orang yang menanyakan nomor HP-mu!”

“Kenapa, kau ini! Dasar bodoh! Aku punya hak atas kerahasiaan data pribadiku! Apa kau tidak tahu
tentang hukum perlindungan informasi pribadi?!”

“Itu adalah interpretasi tentang hukum itu...” Yukinoshita yang terlihat mengagumkan itu
menambahkan kata-kataku sambil mengibaskan rambutnya yang ada di bahunya.

Tapi, alasanku mengapa aku tidak begitu tertarik dengan drama pesan berantai ini mungkin seperti
yang dia katakan. Aku sendiri tidak pernah ditanya nomor HP-ku. Disitulah perbedaan diriku dan
Yukinoshita. Dia punya alasan untuk membenci hal itu sedangkan aku tidak punya. Kurasa, jika itu
terjadi kepadaku, aku sendiri mungkin ingin menemukan pelakunya. Aku mungkin akan langsung
pulang ke rumah dan menangis bersama bantalku.

“Sederhananya, orang yang melakukan tindakan hina seperti ini layak mendapatkan ganjarannya,”
Yukinoshita berkata. “Mata untuk mata, gigi untuk gigi – aku meyakini mereka akan menerima
hukuman yang setimpal.”

Yuigahama bereaksi seperti pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya. “Oh, kalau tidak salah kita
baru saja belajar mengenai itu di pelajaran sejarah hari ini! Kalau tidak salah itu dari magna charta
ya?”

“Itu Hammurabi,” jawab Yukinoshita. Lalu dia menatap ke arah Hayama. “Aku akan mencari
pelakunya. Kurasa pelakunya akan berhenti jika aku berbicara dengan pelakunya sendiri. Mengenai
hukuman pelakunya, kuserahkan kepadamu. Apa kau keberatan dengan hal itu?”
“...Uh, kurasa tidak masalah,” Hayama terlihat menyerah.

Sebenarnya, aku juga berpikir seperti Yukinoshita. Jika pelakunya sampai berusaha gonti-ganti
nomor HP, itu berarti pelakunya benar-benar niat dan tidak ingin identitasnya ketahuan. Kalau begitu,
pelakunya mungkin akan berhenti jika identitasnya ketahuan. Pada dasarnya, menemukan pelakunya
adalah solusi tercepat untuk menyelesaikan kasus ini.

Yukinoshita lalu menatap ke arah HP yang Yuigahama taruh di meja. Lalu dia menaruh tangannya di
dagu seperti sedang berpikir.

“Kapan SMS berantai itu mulai beredar?”

“Minggu lalu. Benar tidak, Yui?” Jawab Hayama, dan Yuigahama mengangguk.

...Hei, Hayama. Kau baru saja memanggil nama depan Yuigahama. Mengapa bocah populer ini bisa
dengan mudahnya memanggil nama depan para gadis dengan mudahnya. Kalau aku, pasti aku sudah
gelagapan ketika hendak mengatakannya. Fakta kalau Hayama bisa mengatakan hal memalukan itu
dengan mudahnya sementara dia terlihat santai-santai membuatku emosi. Apa, dia semacam orang
Amerika atau sejenisnya?

“Jadi itu terjadi minggu lalu, begitu ya,” Yukinoshita menggumam. “Yuigahama-san, Hayama-kun,
apa terjadi sesuatu di kelas kalian minggu lalu?”

“Kurasa tidak ada,” kata Hayama.

“Yeah...”kata Yui. “Kurasa kelas suasananya terlihat seperti biasanya.”

Mereka berdua terlihat saling menatap satu sama lain.

“Aku ingin kau mengingatnya dengan teliti, Hikigaya-kun,” kata Yukinoshita. “Apa kau
memperhatikan ada sesuatu?”

“Dengan teliti katamu...”

Aku memang sekelas dengan mereka. Karena aku mengamati dari tempat yang berbeda dari mereka
berdua, mungkin ada hal-hal yang tidak mereka sadari tapi aku sendiri tahu...
...Jadi minggu lalu, huh? Itu artinya terjadi sesuatu minggu lalu. Sesuatu yang baru-baru ini terjadi,
sesuatu yang terjadi baru-baru ini, akupun terus mengatakan itu di pikiranku, tapi aku tidak
mendapatkan apapun.

Saat ini, di pikiranku hanya terbayang adegan dimana aku memanggil Saika dengan nama depannya.
Dan itu terjadi kemarin.

Saika
Manisnya
Aku memberanikan diriku
Untuk memanggilnya Saika
Kemarin

Oh benar juga, aku kemarin mengobrol dengan Totsuka?! Setelah aku memikirkan itu, aku teringat
sesuatu.

“Ini terjadi kemarin. Orang-orang membicarakan tentang grup untuk kegiatan ‘Mengunjungi Tempat
Kerja’.”

Benar sekali, juga kalau perlu ditambahkan, kemarin Totsuka terlihat manis.

Setelah aku mengatakan itu, Yuigahama menyadari sesuatu.

“Ooooh, kurasa itu. Itu karena grup itu.”

“Huh? Benarkah?” Hayama dan diriku mengatakan hal yang bersamaan.

Hayama lalu melihatku dengan tersenyum. “Ternyata kita kompak ya,”

Meski aku sebenarnya tidak peduli dengan hal itu, aku tetap mengatakan, “Uh, yeah...”
Fakta kami memiliki momen yang sama untuk menjawabnya, jika Hayama adalah seorang riajuu
tampan, maka harusnya Hachiman juga sama. QED. Tidak perlu dibuktikan lebih jauh lagi. (...yang
terakhir tampaknya tidak perlu ditambahkan?).

Hayama lalu menatap ke Yuigahama. Ketika menyadari hal itu, Yuigahama membuat suara tawa
yang terkesan dipaksakan.

“Er, tahu tidak, ketika kegiatan semacam ini harus dilakukan secara grup, ini memang
mempengaruhi hubungan pertemanan di grup. Kadang orang-orang menganggap ini sebagai hal yang
serius...”

Hayama dan Yukinoshita menatap ke arah Yuigahama dengan ekspresi yang penuh tanda tanya.
Hayama tidak pernah bermasalah dengan hal itu dan Yukinoshita tidak tertarik dengan hal semacam
itu, jadi mereka berdua tidak mengerti.

Tapi aku tahu apa maksud dari Yuigahama. Karena kata-kata itu berasal dari Yuigahama, gadis yang
selalu membaca suasana orang di sekitarnya, aku percaya dengan apa yang dikatakannya.

Yukinoshita lalu pura-pura batuk untuk mengembalikan suasana ini ke topiknya.

“Hayama-kun, katamu SMS-SMS itu menceritakan tentang teman-temanmu? Kalau kau sendiri, kau
satu grup dengan siapa di kegiatan itu?”

“Oh, uhhh...Sekarang kau menyebutkan itu, aku sendiri belum memutuskannya. Kurasa pada
akhirnya aku akan satu grup dengan salah satu dari mereka.”

“Kurasa aku tahu alasan SMS berantai itu beredar...” Yuigahama mengatakan itu dengan ekspresi
yang seolah-olah tidak percaya.

“Bisakah kau menjelaskan kepada kami?” tanya Yukinoshita.

“Hmm, tahulah, pada dasarnya, setidaknya akan ada seseorang yang diluar grup pertemanan akan
ditinggal, tahu tidak? Kan grup kegiatan itu berisi 3 orang, berarti pasti akan ada yang tidak ikut jika
grup pertemanan berisi 4 orang. Dan orang itu pasti akan benar-benar kecewa.” Yuigahama
mengatakan itu dengan penuh emosi.

Mendengar hal itu, semua orang disini hanya terdiam.


Kalau kita hendak mencari pelakunya, maka kita harus mencari tahu motifnya. Jika kita tahu apa
motifnya, maka kita bisa menangani pelakunya.

Sedangkan untuk kasus ini, pelakunya mungkin tidak ingin menjadi orang yang ditinggal dari grup.
Di kelasku, grup pertemanan Hayama ini terdiri dari 4 orang. Karena kegiatan membutuhkan sebuah
grup yang terdiri dari 3 orang, seseorang pasti akan ditinggal. Agar tidak terjadi ke dirinya, si pelaku
harus membuat seseorang dikeluarkan dari grup. Mungkin semacam itulah yang ada di pikiran si
pelaku.

“...Aku sangat yakin kalau si pelaku ada diantara ketiganya.”

Setelah Yukinoshita mengatakan kesimpulannya, Hayama langsung protes.

“Tu-Tunggu dulu! Kupikir pelakunya bukan salah satu dari mereka. Bukankah SMS itu isinya
tentang hal-hal buruk mereka bertiga? Mustahil mereka melakukannya.”

“Huh, apa kau ini idiot? Apa kau ini baru lahir kemarin atau semacamnya?” kataku. “Jelas sekali
kalau itu dilakukan agar tidak ada yang mencurigai si pelaku ada diantara ketiganya. Kalau aku
pelakunya, aku akan menulis fitnah tentang diriku agar aku tidak ketahuan.”

“Hikki, itu buruk sekali...” kata Yuigahama.

Ini adalah kejahatan kerah putih. Sebuah kejahatan kerah putih, menurutku begitu.

Hayama hanya bisa menggigit bibirnya. Dia mungkin tidak pernah membayangkan hal semacam ini
sebelumnya: aku bisa merasakan kebencian di bawah hidungnya, atau aura gelap yang
memberitahukan kalau ini tentang orang-orang yang dia percayai.

xxx
“Sekarang, bisakah kau beritahu kami seperti apa mereka bertiga?” Yukinoshita mencoba mencari
informasi lebih jauh.

Kali ini, Hayama terlihat memasang ekspresi penuh determinasi. Dia tampaknya benar-benar sangat
percaya kepada teman-temannya. Dia mungkin percaya kalau keterangannya kali ini akan benar-benar
membuat teman-temannya keluar dari dugaan tersangka kasus ini.

“Tobe itu member Klub Sepakbola, sepertiku. Rambutnya yang diwarnai itu mungkin membuatnya
terlihat seperti orang jahat, tapi dia sangat pintar membuat orang lain bersemangat. Dia selalu terlibat
dalam festival budaya dan festival olahraga. Dia pria yang baik.”

“Pria yang mudah sekali tertarik dengan segala sesuatunya dan satu-satunya bakat yang dimilikinya
adalah membuat suasananya berisik, begitu ya,” kata Yukinoshita.

Hayama hanya bisa terdiam dan tidak punya kata-kata lagi untuk dikatakan.

“Hmm? Ada apa? Ayo lanjutkan.” Yukinoshita menatap ke arah Hayama yang memasang ekspresi
aneh karena tiba-tiba terdiam.

Seperti memperoleh momennya, Hayama kemudian melanjutkan pendapatnya.

“Yamato itu member Klub Rugby. Dia itu orangnya tenang dan pendengar yang baik. Dia orang
yang bisa membuat situasi grup damai meski tidak sering berbicara, kurasa begitu? Dia orangnya
pendiam, peduli terhadap sesamanya. Pria yang baik.”

“Jadi tidak hanya lambat, dia juga orang yang tidak mampu mengambil keputusan...”

Seperti tidak tahu harus mengatakan apa, Hayama terdiam. Namun setelah mengembuskan napas
kecilnya, dia melanjutkannya.

“Ooka itu member Klub Baseball. Dia mudah sekali akrab dengan orang lain dan suka menolong.
Dia selalu sopan dan menghormati senior atau juniornya. Pria yang baik.”

“Seorang oportunis yang khawatir tentang reputasinya.”

Hayama bukanlah satu-satunya orang yang diam dan tidak berbicara dari tadi. Yuigahama dan diriku
hanya bisa membuka mulut kami, tanpa mengeluarkan satupun kata.
Yukinoshita menghancurkan mereka. Seperti yang kuduga, dia memang ada bakat untuk menjadi
jaksa.

Tapi yang mengerikan tentang gadis ini adalah dia mengatakan sifat mereka bertiga dengan benar.
Banyak sekali cara untuk menilai karakter seseorang. Hayama selalu melihat apa yang bagus dari
seseorang, dan pendapatnya memang terdengar bias. Sementara Yukinoshita tidak memakai penilaian
seperti itu dan terdengar kasar. Mungkin masalahnya hanyalah bagian dirinya yang ‘kasar’ saja. Dia
mungkin bisa membuat Clint Eastwood menangis dengan kata-katanya.

Yukinoshita melirik ke arah memo yang dia tulis dan menggumam.

“Kurasa tidak aneh jika salah satu diantara ketiganya menjadi si pelaku.”

“Bukankah menuduh terlalu dini itu juga membuatmu terkesan seperti penjahat juga?”

Dia menyimpulkan siapa pelakunya hanya dari bukti yang minim. Kalau dipikir-pikir, dia terlihat
lebih jahat daripada orang yang mengirim SMS fitnah itu.

Yukinoshita menaruh kedua tangannya di pinggang dan terlihat marah.

“Tapi aku bukanlah pelakunya. Jika aku pelakunya, aku lebih baik menghancurkan musuhku secara
langsung.”

Maknanya memang berbeda, tapi apakah gadis ini sadar kalau menghancurkan musuh itu juga
berarti hal yang sama? Entah mengapa Yukinoshita yang ini tidak mengatakan sebuah solusi yang
damai tentang kasus ini.

Hayama tersenyum melihat Yukinoshita dan memang ekspresi seperti emosi, menyesal, dan
penasaran yang dicampur aduk. Yukinoshita punya caranya sendiri, begitu juga Hayama. Pada
akhirnya, yang Hayama lihat hanyalah Yukinoshita yang membicarakan hal-hal tidak berguna. Dia
memang pria yang baik, tapi dia bersikeras kalau ingin solusi yang berbeda dari kami dan dia tidak
ingin melukai temannya.

Yukinoshita sepertinya menyadari hal ini juga.


“Deskripsi dari Hayama-kun tidak terlalu detail...Yuigahama-san, Hikigaya-kun.” Dia mengatakan
itu dan menatap kami berdua. “Bagaimana pendapat kalian mengenai mereka bertiga?”

“Er, ti-tidak banyak yang bisa kukatakan...” kata Yuigahama.

“Aku tidak kenal mereka bertiga,” kataku.

Kalau dipikir-pikir, aku juga tidak benar-benar kenal seluruh siswa sekolah ini. Aku tidak punya
teman dan kenalanku terbatas. Yep, itulah diriku.

“Kalau begitu, bisakah kau investigasi mereka?” Yukinoshita mengatakan itu ke Yuigahama. Lalu
dia menambahkan.

“Pembagian grup Kunjungan Tempat Kerja itu diputuskan lusa, benar? Jadi kita punya 1 hari untuk
menginvestigasi ini.”

“...Umm, oke.” Yuigahama terlihat memasang ekspresi yang sedikit terlihat kurang nyaman.

Yuigahama, yang ingin terlihat akrab dengan semua orang di kelas, menginvestigasi siswa di kelas
bukanlah sebuah tindakan yang bisa dengan mudah dia lakukan. Kau harus mencari-cari kesalahan
dan kekurangan orang itu. Ini adalah sebuah misi yang beresiko bagi seseorang yang merupakan
bagian dari komunitas.

Yukinoshita tampaknya menyadari hal itu juga dan dia menurunkan pandangan matanya dengan
perlahan.

“...Maaf, itu memang bukanlah hal yang menyenangkan untuk dilakukan. Tidak usah kau pikirkan
soal permintaanku tadi,” kata Yukinoshita.

Meski begitu, kurasa siapapun akan menjawab balik dengan berkata akan melakukannya. Kurasa itu
sangat jelas.

“Aku akan melakukannya. Aku tidak peduli dengan apa yang teman-teman sekelasku pikirkan
terhadap diriku,” kataku, yang membuat Yukinoshita menatap ke arahku.

Dia hanya tersenyum kecil. “Aku tidak sedang menahan napasku.”


“Serahkan saja padaku. Menemukan kesalahan orang adalah salah satu dari 108 skill spesial
milikku.”

Salah satu skill lainnya adalah akrab dengan kucing. Kurasa aku ini mirip Nobita-kun.

“Tu-Tunggu dulu! Aku akan melakukannya juga! A-Aku tidak bisa membiarkan Hikki menangani
ini sendirian!” Yuigahama memaksa dengan ekspresi wajah yang memerah. Lalu dia mengepalkan
tangannya. “Juga! Mustahil aku bisa menolak permintaan dari Yukinon!”

“...Begitu ya,” jawab Yukinoshita sambil memalingkan pandangannya.

Entah karena cahaya matahari yang terbenam atau dia yang malu-malu, wajah Yukinoshita juga
terlihat memerah.

Tapi sialnya, dia tidak seperti itu ketika aku bilang aku akan melakukannya. Kenapa gadis ini
memperlakukanku berbeda ketika aku juga mengatakan hal yang sama?

Hayama melihat kedua gadis itu dengan senyum yang ceria.

“Sebuah hubungan pertemanan yang bagus,” katanya.

“Huh? Yeah. Mereka berdua memang akrab sekali.”

“Begitu juga dirimu, Hikitani.”

Apa sih yang dia katakan...? Tidak ada pria bernama Hikitani di klub ini.

x Chapter III Part 2 | END x


Chapter 3 : Hayama Hayato Selalu Berada di Belakang Semuanya (3/3)

xxx

Esoknya, Yuigahama terlihat sangat antusias.

Dia tidak berada di tempat yang biasanya ketika jam istirahat tiba, malahan dia mentraktirku roti dan
minuman. Lalu, kami melakukan rapat strategi.

“Aku akan mencoba bertanya-tanya sebentar lagi...Jadi kau tidak harus turun tangan, Hikki.
Malahan, kau sepertinya tidak perlu melakukan apapun.”

“Oh, keren itu. Aku sangat menghargai itu. Tapi apa yang membuatmu sangat termotivasi kali
ini...?” tanyaku. Dia bahkan tidak terlihat setengah-setengah ketika hendak melakukannya.

“Adalah, begitu? Ka-Karena aku diminta Yukinon, ya begitu!”

Dedikasinya untuk melaksanakan permintaan Yukinoshita memang sedikit menyentuh. Tapi, aku
sendiri lelah melihatnya. Entah mengapa ada sesuatu yang kurang nyaman timbul di diriku.

“Memang bagus kalau terlihat termotivasi, tapi apa yang akan kau lakukan dengan mereka?”

“Hmm, aku akan mencoba mendengarkan pembicaraan para gadis. Kalau membahas soal hubungan
di kelas, para gadis suka membahasnya lebih dalam. Dan mereka benar-benar antusias ketika yang
dibicarakan adalah orang yang sama-sama tidak mereka sukai.”

“Whoa, para gadis memang menakutkan. Sial.”


Pada dasarnya, ini seperti quote musuh dari musuhku adalah temanku. Apa tidak ada yang tahu
kalau mereka sedang menerapkan strategi level elit seperti itu selama ini?

“Tidaklah sejahat yang kau bayangkan! Hanya sekedar mengeluhkan orang itu – atau mungkin lebih
tepat jika dikatakan bertukar informasi?”

“Oh, itu seperti ini bukan tentang apa yang dikatakan, tapi bagaimana cara mengatakannya?”

“Ngomong-ngomong! Kau buruk sekali ketika membahas soal ini, Hikki. Diam saja dan biarkan aku
yang melakukannya!”

Tapi yang dikatakan Yuigahama ada benarnya juga. Sejujurnya, ini bukanlah kebiasaanku untuk
mencari info dari obrolan orang-orang. Biasanya ketika aku mendekati mereka, mereka langsung
curiga kepadaku. Setelah itu mereka akan bertanya “Kamu siapa sih?” kepadaku.

Tidak seperti diriku, Yuigahama memiliki status ‘disukai siapa saja’ di kelas ini. Belum lagi,
orangnya gampang akrab. Hal-hal seperti ini bisa dimiliki jika sejak kecil sudah membiasakan untuk
hal-hal seperti ini. Punya skill untuk bisa menemukan tempat yang tepat untuk bergabung memang
benar-benar berguna.

“Yeahh, kau benar...Maaf. Kuserahkan kepadamu. Semoga sukses!”

“Mmm! Yep!”

Yuigahama mengatakan itu dengan semangat membara, sebelum mendekati grup gadis yang
berteman dengan grup Hayama. Dia berjalan ke grup Miura sambil mengatakan “Maaf aku tadi agak
lama!”

“Oh, Yui. Apa yang membuatmu sangat lama sekali?”

Miura, pemimpin grup itu menanyakan itu dengan ekspresi kurang tertarik.

“Hei, tahu tidak, Tobecchi, Ooka-kun, dan Yamato-kun belakangan ini terlihat aneh. Mereka itu
agak...Tahulah. Maksudku – “

Buset! Akupun terkejut mendengar kata-kata Yuigahama.


Dia langsung melempar bolanya lurus ke depan! Dan tidak lupa bolanya sedikit melenceng dari
sasaran! Kalau kita membahas dari segi kekuatan, maka dia bisa dikategorikan rank S. Tapi kontrol
bolanya parah – pasti langsung rank F.

“Huh...Jadi kau suka gosip ya, Yui...” kata seorang gadis, yang terlihat mendekatinya.

Kalau tidak salah, namanya Ebina-san kah?

Miura menatap ke arah Yui dan matanya tampak bersinar cerah.

“Begini, Yui. Kurang bagus jika mengatakan hal-hal seperti itu, tahu tidak? Kurang bagus kalau
membicarakan kejelekan teman kita!”

Kalau melihat kata-katanya tadi, Miura memang mengatakan hal-hal yang benar.

Atau lebih tepatnya, Yuigahama sekarang berada di posisi orang jahatnya. Apa sih yang dia
lakukan?

Meski begitu, Yuigahama memberikan yang terbaik untuk meyakinkan mereka kalau dia tidaklah
salah.

“Bukan! Kau tidak paham maksudku! Aku, seperti, tertarik dengan mereka.”

“Apa, apa kau menyukai salah satu dari mereka?”

“Enggak lah! Memang aku sekarang sedang tertarik ke seseorang sih, tapi...Well...Huh?!”

Di saat yang bersamaan, ekspresi Yuigahama mengatakan “oh sial!”. Miura yang mengetahui itu
lalu tersenyum.

“Oho...Jadi kamu ini sedang menyukai seseorang, Yui? Ayo ceritakan! Mengakulah. Kita bisa
membantumu!”
“Seperti kataku tadi! Itu bukanlah masalahnya! Aku tertarik dengan hubungan mereka bertiga, tahu
tidak? Seperti, kupikir belakangan ini sikap mereka agak aneh!”

“Oh, begitu kah? Ah membosankan.”

Miura langsung kehilangan minatnya. Dia membuka HP-nya dan mulai bermain-main dengan HP-
nya.

Tapi Ebina-san masih tertarik dengan hal itu.

“Aku paham maksudmu...Kau pasti tertarik juga kan, Yui...Sebenarnya, aku juga!”

“Yeah, yeah! Mereka, seperti, bersikap aneh dan sejenisnya!”

“Kupikir juga begitu,” Ebina-san mengatakan itu dengan keyakinan yang tinggi. “Kalau kulihat-
lihat, Tobecchi itu seperti uke! Dan Yamato-kun itu bertipe pasif. Oh, dan Ooka-kun itu tipe yang
suka menggoda. Pasti ada ‘sesuatu’ diantara mereka bertiga!”

“Oh, kau akhirnya paham,” awalnya Yuigahama mengatakan begitu. Kemudian, “...Huh?”

“Tapi tahu tidak! Ketiganya pasti mengincar Hayato-kun! Eeeek, aku merasa kalau mereka berteman
dengannya karena mengincar itu! Oh, pikiranku mulai dipenuhi hal itu!”

Wow, serius nih? Aku baru tahu kalau Ebina-san menyukai itu secara berlebihan? Hidungnya
bahkan mimisan.

Yuigahama terlihat gugup dan bingung dengan situasi itu, sementara Miura terlihat mendesahh
kesal.

“Ya mulai lagi deh. Ini semacam penyakit yang diderita Ebina. Ya ampun, kau akan terlihat manis
jika kau ini diam, jadi cepat bersihkan hidungmu sana!”

“Ahahaha...” Yuigahama tertawa dengan aneh.


Ketika dia menyadari kalau aku sedang melihatnya, dia menepuk kedua tangannya, seperti
memberitahu kegagalannya. “Maaf!”.

...Yeah, kurasa aku tidak akan terkejut kalau seperti itu hasil akhir yang dia dapatkan dari serangan
langsung tadi. Bahkan jika Ebina-san tidak ada disana sekalipun, akhirnya pasti akan tetap
mengecewakan.

Jadi pada akhirnya, aku tetap harus melakukan sesuatu.

Tapi, ikut dalam obrolan bersama teman-teman sekelas kurasa bukanlah keahlianku. Jadi bagaimana
aku bisa mencari informasi dari mereka?

Jawabannya jelas. Yang bisa kulakukan hanyalah mengamati mereka. Jika aku tidak bisa mengobrol
dengan mereka – bukan, karena aku memang tidak bisa berkomunikasi dengan mereka, maka aku
harus mencari cara lain untuk memperoleh informasi.

Kata orang, 30% komunikasi manusia itu lewat kata-kata. Sisa 70% lewat gerakan mata dan bahasa
tubuh lainnya. Kalimat “sebuah gambar berbicara lebih dari seribu kata” datang dari pentingnya
komunikasi non-verbal. Dengan kata lain, bahkan seorang penyendiri yang tidak bisa berbicara
dengan mereka, masih bisa mencari informasi jika fokus di 70% sisanya. Benar tidak? Benar kan?

Sekarang, saatnya mempraktekkan salah satu dari 108 skill spesialku : “mengamati manusia”. Skill
lainnya adalah menembak dengan menggunakan senjata. Oleh karena itu aku ini memang mirip
Nobita-kun.

Mengamati perilaku manusia itu sangat mudah:

[1] Pakai earphone tapi tidak menyalakan musik sehingga kau bisa fokus dengan sekelilingmu.

[2] Pura-pura tertidur, tapi di kenyataannya, kau sedang mengamati setiap detail ekspresi dari
member grup Hayama.

Itu saja.

Hayama dan yang lainnya sedang mengobrol di dekat jendela belakang. Hayama sedang menyandar
di tembok, dikelilingi oleh Tobe, Yamato, dan Ooka.
Ini saja sudah mengatakan banyak hal. Dengan mudah aku melihat kalau Hayama adalah orang
paling menonjol di grup itu. Itu karena dia menyandar di tembok, dimana dia memiliki pertahanan
terbaik di grupnya, seperti seorang raja yang sebenarnya. Meski begitu, mereka semua tidak
menyadarinya. Itu karena mereka punya kesadaran diri yang rendah dan memakai insting mereka
untuk bertindak.

Aku bisa melihat kalau mereka bertiga punya peran masing-masing di grup itu.

“Yo, bro. Pelatih Klub Baseball gue memukul bola waktu latihan dan kena ke Klub Rugby! Parah
banget! Belum lagi bolanya kenceng banget tuh!”

“...Yeah, pembina klub gue kena bola kampret dari pelatih lo.”

“Wah jengkelin banget tuh! Tapi tahulah, tim Rugby yang kena bolanya aja masih tenang-tenang
aja. Tapi tim sepakbola gue parah bro. Lu tahu pas tuh bola ketendang ampe keluar lapangan, orang-
orang pada marah semua. Kayak judul film, fast and furious!”

Ooka membuka candaannya, lalu Yamato meneruskannya. Lalu Tobe mengatakan punchline-nya.
Ini seperti menonton latihan drama. Shakespeare pernah berkata, “Dunia ini panggung sandiwara”,
tentunya orang-orang akan memainkan drama sesuai peran yang diberikan kepada mereka.

Juga, sutradara dan penontonnya dijabat oleh Hayama. Hayama tertawa mendengarkan semua cerita
mereka, mengatakan sebuah topik dan bersemangat mendengarkan cerita-cerita mereka. Aku
menyadari banyak hal dari mengamati mereka:

Oh, dia terlihat cemberut secara diam-diam sehingga kalian tidak melihatnya.

Dia akan langsung diam ketika pria di sebelahnya mulai berbicara.

Dia akan bermain dengan HP-nya dengan ekspresi kebosanan di wajahnya dan tidak mendengarkan
topiknya.

Ketika ada guyonan berbau porno dibahas, dia selalu tersenyum – dasar perjaka yang menyedihkan.
Tidak ada keraguan soal itu. Sumber: diriku. (Kenapa ya ketika ada candaan berbau porno muncul,
orang-orang pura-pura menganggapnya santai tanpa mempedulikan perasaan mereka yang
sebenarnya...?)

...Kurasa informasi yang terakhir tadi tidak ada hubungannya dengan yang kulakukan ini.
Tampaknya tidak banyak yang bisa kudapatkan. Setelah memikirkan hal itu, akupun mendesah.

“...Sebentar ya, aku ada perlu sebentar,”

Hayama mengatakan itu dan melihat ke arahku. Tampaknya aku dari tadi mengamati mereka dengan
serius sehingga Hayama menyadari diriku. Jantungku berdetak kencang ketika mengira mereka akan
mengatakan kepadaku, “Oi, lu lihat apaan kesini? Mau ngajak berantem?” atau sesuatu seperti itu.

Hayama lalu berjalan ke arahku. Akupun mengatakan sesuatu dengan ekspresi kurang senang ketika
Hayama datang kepadaku.

“Ada apa?”

Hayama tidak terlihat kesal, ataupun menarik kerah bajuku, juga tidak memintaku untuk merubah
sikap. Dia hanya tersenyum.

“Oh, kupikir kau sudah menemukan sesuatu.”

“Nah...”

Hal-hal besar yang kutemukan hanyalah Ebina-san adalah seroang fujoshi dan Ooka adalah perjaka.
Sambil memikirkan itu, aku melihat ke arah Ooka dan yang lainnya, dan aku melihat sebuah
pemandangan yang mengejutkan.

Ketiganya hanya bermain-main dengan HP-nya. Dan sesekali, mereka melirik ke arah Hayama.

Aku langsung mendapatkan sebuah jawaban seketika. Seperti di manga Detektif Conan ketika
disetrum oleh pistol setrum setelah mendapatkan kesimpulan tentang kasus.

“Apa terjadi sesuatu?” tanya Hayama.

Akupun tersenyum licik kepadanya.

“Aku sudah memecahkan semua misteri dalam kasus ini!”


Tentunya, analisis akan ditunjukkan setelah jeda iklan.

xxx

Orang-orang yang berkumpul di ruangan Klub Relawan sepulang sekolah adalah Yukinoshita,
Yuigahama, dan diriku. Oh, ada Hayama juga.

“Apa yang kau temukan?”

Yuigahama memasang ekspresi tertawa yang dibuat-buat.

“Maaf ya! Aku sudah bertanya ke para gadis kalau mereka punya info atau tidak, tapi hasilnya
zonk!” dia mengatakan itu sambil meminta maaf.

Yeah, mau bagaimana lagi. Itu karena Ebina-san menjadi gila terhadap sesuatu yang seharusnya
Yuigahama tidak ketahui. Yuigahama lalu mendengarkan info-info yang tidak penting itu darinya.

Yukinoshita merendahkan kepalanya dan menatap ke arah Yuigahama. Tapi dia tidak marah dengan
hal itu.

“Begitu ya? Kalau begitu, kurasa tidak masalah.”

“Huh? Apa kau benar-benar tidak apa-apa mengenai itu?”

“Sebaliknya, hari ini kau menemukan fakta kalau para gadis tidak tertarik dan tidak ada
hubungannya dengan grup Hayama-kun. Dengan begitu, bisa disimpulkan kalau masalah itu hanya
berputar-putar di sekitar member grup Hayama-kun saja. Yuigahama-san, kau sudah melakukan hal
yang bagus.”

“Y-Yukinon...” mata Yuigahama seperti dipenuhi emosi tertentu.


Yukinoshita lalu bisa menghindari pelukan Yuigahama. Kepala Yuigahama lalu menabrak tembok
dan dia terlihat hendak menangis.

Seperti terkejut, Yukinoshita mengelus kening dari Yuigahama. Di saat yang bersamaan, dia melihat
ke arahku.

“Bagaimana denganmu?”

“Maaf, aku tidak menemukan petunjuk mengenai si pelaku.”

“...Begitu ya.”

Kupikir dia akan menghajar kepalaku sampai babak belur, tapi Yukinoshita hanya mendesah. Dia
melihatku dengan tatapan mata yang menyedihkan. “Kurasa tidak ada seorangpun yang mau berbicara
kepadamu.”

“Bukan, bukan begitu...”

Memang benar kalau aku sangat yakin tidak akan ada yang mau berbicara denganku jika aku
berbicara dengan mereka. Adegan mengobrol ke orang dan memancing mereka untuk membahas
topik tertentu terlalu banyak memakan kalori spiritual tubuhku. Sangat membuang-buang MP hanya
untuk Magic Burst.

“Aku memang tidak menemukan siapa pelakunya, tapi aku menemukan satu hal,” kataku.

Yukinoshita, Yuigahama, dan Hayama mencondongkan tubuhnya ke arahku. Tatapan yang penuh
tanda tanya, tatapan yang sudah menduga sesuatu itu dariku, tatapan yang tertarik akan apa yang akan
kukatakan setelah ini – setelah melihat sikap mereka, akupun pura-pura batuk. Seperti memperoleh
momen tersebut, Yukinoshita bertanya.

“Kira-kira apa yang kau temukan?”

“Grup mereka itu, adalah Grup Hayama.”


“Huh? Bukankah semua orang tahu itu?” Yuigahama mengatakan itu seperti aku baru saja
mengatakan sesuatu yang idiot. Tapi yang kulihat dari tatapan matanya adalah, “Siapa yang perjaka
disana? Ooka?” Hei, tolong jangan bawa-bawa Ooka.

“Uhh...Hikitani-kun, apa maksudmu?”

“Oh, kurasa aku mengatakan itu dengan kurang jelas. Maksudku, kata ‘Hayama’ itu menyatakan
kepemilikan grup. Dengan kata lain, grup itu milik Hayama dan grup itu ada hanya demi Hayama.”

“Nah, kupikir tidak seperti itu...” kata Hayama.

Tapi dia mengatakan itu karena dia tidak menyadarinya. Kalau begitu, mungkin juga ketiga member
grupnya merasakan hal itu, kalau mereka semua tidak menyadari grup mereka itu adalah Grup
Hayama.

Tapi karena aku adalah orang luar, aku bisa merasakan perbedaan itu dengan sangat jelas.

“Hayama, apa kau pernah melihat mereka bertiga ketika kau tidak ada disana?”

“Tidak, tidak pernah...”

“Bukankah itu sudah jelas,” Yukinoshita mengatakan itu seperti menganggapku seorang idiot. “Dia
itu bukan dirimu yang bisa melihat semuanya meski kau tidak ada disana.”

Akupun mengangguk.

“Itulah mengapa Hayama sendiri tidak pernah menyadarinya. Mereka bertiga tidak terlihat akrab
ketika tidak ada Hayama diantara mereka. Sederhananya, bagi mereka, Hayama itu adalah teman
mereka. Tapi, yang lainnya hanyalah ‘teman dari teman mereka’.”

Yuigahama langsung bereaksi setelah aku mengatakannya.

“Oh. Oooohhh. Aku paham sekarang. Memang akan terasa aneh jika orang yang membuat obrolan di
grup mengalir tidak ada diantara mereka. Aku tidak tahu harus mengatakan apa, jadi aku memilih
untuk bermain-main dengan HP-ku...” dia mengatakan itu seperti teringat akan sesuatu yang kurang
menyenangkan.
Yukinoshita lalu menatap ke arah Yuigahama.

“Apakah memang seperti itu?”

Dia membisikkan itu ke telinga Yuigahama, sambil memegangi lengannya. Yuigahama


menyilangkan lengannya dan mengangguk untuk mengkonfirmasi itu.

Begitulah Yukinoshita. Dia tidak punya teman, jadi dia tidak ada pengalaman dengan itu.

Hayama hanya terdiam saja daritadi, seperti memikirkan dengan dalam kata-kataku tadi. Tapi ini
memang diluar kuasa Hayama. Baginya, mereka bertiga adalah temannya. Tapi hubungan semacam
itu tidak terjadi diantara mereka bertiga – mereka hanya basa-basi saja terhadap member yang lain.

Menjadi teman dari seseorang itu seperti rela membungkuk ke belakang demi mereka. Jadi aku
sendiri tidak menganggap kalau punya banyak teman adalah hal yang menyenangkan.

Hayama seperti terjebak di rawa-rawa. Dia dikelilingi oleh teman-temannya, tapi di lain pihak, kau
bisa mengatakan kalau dia terjebak di tengah-tengah mereka. Melarikan diri bukanlah sebuah opsi.
Kalau dalam Dragon Quest, itu disebut “But Thou Must”.

Tapi, aku tahu sebuah cara untuk keluar dari situasi itu.

“Menganggap kalau kata-katamu itu benar adanya, Hikigaya-kun, itu hanya memperkuat motif
mereka saja.”

Yukinoshita lalu menaruh tangannya di dagu dan melanjutkan. “Mungkin tidak ada cara lain lagi
untuk mengetahui siapa pelakunya diantara mereka bertiga. Situasi ini tidak bisa dikontrol kecuali
pelakunya dikeluarkan. Kita butuh bukti-bukti lain untuk menguatkan siapa pelakunya...”

Mengeluarkan orang dari sekolah, dia mengatakan itu dengan santai – Yukinoshita memang
menakutkan. Apa dia sudah membuat drop-out si Sagawa-san dan Shimoda-san di masa lalu?

Kalau dipikir-pikir, membuat orang dikeluarkan dari sekolah adalah hal yang buruk, jadi aku
mengusulkan cara lain.
“Nah, kurasa kita tidak perlu membuat si pelaku sampai keluar sekolah segala. Aku tahu sebuah cara
yang lebih baik,” kataku.

Yukinoshita memiringkan kepalanya dan menatapku dengan penuh tanda tanya.

Memang benar kalau pelakunya layak dikeluarkan dari sekolah atas kejahatan seperti itu. Tapi akan
selalu ada pilihan yang lebih baik. Misalnya dalam sebuah kasus pencurian permata, kejahatan tidak
akan pernah terjadi jika permatanya tidak ada. Jadi kita tinggal meniadakan permatanya sehingga
tidak akan ada yang bisa dicuri. Aku, dengan skill ninjaku, memilih jalan hidup sebagai pencuri
bayangan daripada menjadi seorang detektif.

“Hayama, kau bisa menyelesaikan kasus ini jika kau mau. Kau tidak perlu mencari pelakunya dan
situasinya tidak akan memburuk lagi – dan jika sukses, mungkin mereka bisa berteman akrab setelah
ini.”

Entah wajahku terlihat seperti apa ketika aku mengatakannya. Aku sedang tersenyum, setidaknya
begitu. Dan saking sempurnanya senyumku itu, Yuigahama terlihat ketakutan ketika melihat wajahku.

Secara tidak sadar, aku mulai bersuara seperti Zaimokuza. Kalau seandainya iblis yang mengejar-
ngejar manusia agar mau membuat perjanjian dengan mereka itu benar-benar ada di dunia ini,
mungkin iblis itu akan terlihat seperti diriku saat ini.

“Kau ingin tahu?” tanyaku.

Hayama, manusia yang malang, domba yang tersesat, mendengarkan penawaran dari iblis dan
mengangguk ketika mendengarnya.

xxx

Esok hari setelah Hayama memutuskan untuk menerima tawaranku mengenai nasibnya itu.

Di kelas, tertulis nama-nama siswa 2F di papan tulis. Setiap grup tertulis 3 nama, dan tiap grup itu
menandakan grup untuk kegiatan Mengunjungi Tempat Kerja. Ketiga gadis yang duduk di sebelahku
tertawa dan tersenyum satu sama lain sebelum mereka pergi menulis namanya di papan tulis, tentunya
sebelum itu mereka sudah membuat janji bersama kalau mereka akan satu grup.

Bagiku, aku tidak mencari siapapun dan hanya duduk disini menonton mereka seperti sedang
tertidur. Beginilah caraku menangani kegiatan yang diharuskan untuk membentuk grup. Di momen
seperti ini, sangat penting untuk tidak bergerak sedikitpun. Kata-kata terakhir Takeda Shingen juga
mengatakan hal yang serupa: “Jangan bergerak seperti sebuah gunung”. Dia memang benar sekali.
“Cepat seperti angin, senyap seperti hutan, membosankan seperti api, tidak bergerak seperti
gunung”. Itu benar-benar menggambarkan diriku. Aku sedang menunggu angin keberuntungan untuk
berhembus dan membuat Wali Kelasku berkata, “Ya, ya, Ibu tahu kalian semua membenci Hikigaya-
kun, tapi tidak bagus jika kalian meninggalkannya! Itu tidak baik!”.

(...Itu yang dikatakan wali kelasku di kelas 4 SD. Aku tidak akan pernah memaafkan si nenek tua
Isehara.)

Ngomong-ngomong, seperti istilah “Hal-hal baik akan mendatangi mereka yang mau bersabar”,
yang dilakukan seorang penyendiri hanyalah menunggu dan setengah tertidur hingga ada teman
sekelas yang tidak bisa menemukan orang ketiga di grupnya dan memanggil namamu. Dan begitulah
grup yang menyenangkan milik kami terbentuk!

...Persetan dengan semua itu, aku tidur sajalah.

Aku menggunakan salah satu dari 108 skillku – pura-pura tidur. Kebetulan juga, salah satu skillku
yang lain adalah “Menjadi protagonis ketika berada di cerita yang panjang”. Kurasa aku sekarang
mirip Giant.

Ketika aku mulai tertidur, seseorang menggoyang-goyankan bahuku. Aku bisa merasakan
kelembutan dari tangan tersebut, bahkan seperti menembus pakaianku. Ketika sebuah suara
memanggil nama “Hachiman”, seperti sebuah lagu dari surga bagiku. Seperti baru dibangunkan oleh
surga, akupun membuka mataku.

“Pagi, Hachiman.”

“...Apakah kamu malaikat? Oh, ternyata Totsuka.”

Whoa, aku tidak sadar mengatakannya! Saking manisnya sehingga aku melihatnya sebagai malaikat.
Sambil tertawa, Totsuka duduk di kursi kosong sebelahku yang sudah ditinggalkan oleh para gadis
tersebut.
“Ada apa?” tanyaku.

Totsuka memegangi lengan baju olahraganya dan menatapku.

“So-Soal grup kunjungan kerja...” dia mengatakan itu dengan ragu-ragu.

“Hmm? Oh, ya. Semoga grupmu menyenangkan.”

Mau bagaimana lagi, Totsuka sudah punya grup sendiri. Sayang sekali.

Sambil melemaskan tubuhku, akupun melihat sekelilingku. Mayoritas siswa sudah punya grup,
tampaknya ini momen bagi penyendiri untuk muncul. Aku harus bergabung dengan penyendiri
lainnya dan membuat grup. Meski terdengar enak, sebenarnya satu grup dengan penyendiri sangat
merepotkan, dan jika aku telat sedikit, aku akan bergabung dengan grup yang terdiri dari dua orang
yang sudah berteman dengan akrab. Itu artinya orang yang tertulis di papan sebagai orang ketiga di
grup adalah seorang pecundang.

Di saat yang bersamaan, ada sebuah grup yang ditulis di papan. Nama ketiga orang itu
mengingatkanku sesuatu.

“Tobe, pria pirang yang goblok.”

“Yamato, orang bodoh yang plin-plan.”

“Ooka, perjaka oportunis.”

Kurasa ini adalah susunan Three Musketeer yang baru! Aku ternyata menjadi saksi dari sebuah
sejarah baru!

Ngomong-ngomong, karakter favoritku adalah Ooka si perjaka oportunis. Dia menulis namanya
sendiri dan melihat wajah temannya, dia lalu tertawa. Aku tidak melihat nama Hayama tertulis di grup
manapun yang ada di papan tulis.

Sambil melihat ketiganya, aku mendengar sebuah suara.


“Boleh aku duduk disini?”

Tanpa menunggu jawabanku, dia duduk di sebelah Totsuka. Melihat ada orang yang tidak terduga
duduk di sebelahnya, Totsuka melihatku dengan penasaran dan menggumam.

“Er, uhh...”

Manisnya...

“Terima kasih ya, kami akhirnya bisa menyelesaikan ini dengan damai. Terima kasih ya bro.”

Orang yang baru duduk itu tersenyum dengan ceria. Dia adalah Hayama Hayato.

“Aku tidak melakukan apapun,” akupun memaksa.

Kenapa sih orang ini berbicara kepadaku seperti sudah kenal lama diriku? Apa dia nice guy? Benar-
benar nice guy?

“Kurasa aku harus berterima kasih kepada dirimu. Jika kau tidak mengatakan itu, mungkin mereka
bertiga masih berkelahi sampai saat ini.”

Begitulah kata Hayama, tapi aku tidak melakukan satupun hal yang bagus. Bahkan, aku ini mulai
menyeret Hayama menuju jalan seorang penyendiri.

Alasan mereka bertiga berkelahi karena mereka ingin bersama Hayama. Jadi aku tinggal mengambil
akar masalahnya dan voila!

Sebenarnya, jawabannya adalah memisahkan Hayama Hayato dari teman-temannya. Seorang


penyendiri itu seperti sebuah negara yang netral. Jika kau tidak sendirian, masalah akan datang
padamu meski kau tidak melakukan apa-apa. Jika dunia ini diisi oleh penyendiri semua, maka tidak
akan pernah ada perang atau diskriminasi. Hei, aku pantas mendapatkan Nobel Perdamaian karena
itu!

“Aku selalu berharap kalau semua orang bisa akrab, tapi sekarang aku sadar kalau aku ternyata bisa
menyebabkan sebuah konflik...”
Hayama menggumamkan itu, dan ini pertamakalinya aku melihatnya seperti seseorang yang
kesepian.

Aku tidak tahu harus menjawab apa, akupun hanya diam saja. Hayama pergi ke Klub Relawan untuk
mencari solusi atas teman dan grupnya, dan solusi yang kuberikan padanya adalah solusi yang kasar
dan pahit.

Meski dia sudah berusaha keras untuk berbicara denganku dan mengingat nama Zaimokuza...

Meski dia adalah nice guy...

Meski dia hidup di komunitas sekolah yang lebih gemerlap daripada siswa yang lain...

...Hayama Hayato mengatakan tidak menyukai dirinya yang itu dan dia mengatakan hal-hal
semacam itu.

“Mereka bertiga terkejut ketika kukatakan kalau aku tidak ingin satu grup dengan mereka. Kupikir
itu akan sangat bagus karena bisa memotivasi mereka agar mereka bertiga bisa benar-benar menjadi
teman yang akrab.”

“...Yeah, kurasa begitu.”

Jujur saja, kurasa orang bisa berbsikap sebaik dirinya itu pastinya karena sedang mengidap sebuah
penyakit. Akupun meresponnya dengan santai sambil bersandar ke belakang.

“Terima kasih ya. Oh, tahu tidak, aku belum memutuskan grup kegiatan ke tempat kerja itu,
bagaimana kalau kau dan diriku membentuk sebuah grup?”

Hayama tersenyum sambil menjulurkan tangan kanannya ke arahku.

...Huh? Jabat tangan? Ada apa dengan sikap riajuu yang ramah ini kepadaku? Ya ampun, jangan
mempermainkanku. Apa dia ini semacam orang Amerika atau sejenisnya?

“O-Oke, bro.” Karena itu, aku secara tidak sengaja menjawabnya ala American Yankee.
Akupun menepuk tangannya, Hayama berkata “Ouch!” dan tersenyum kepadaku. Sekarang dia
menjadi penyendiri sepertiku, kita mungkin bisa memahami satu sama lain dengan lebih baik ke
depannya.

Sekarang, tinggal mencari satu orang lagi dan grup kita selesai.

Tiba-tiba, ada makhluk manis sedang menggerutu di sebelahku.

“...Totsuka, ada apa?” akupun melihatnya.

Wajah Totsuka yang kesal memang sangat manis.

“Hachiman...Bagaimana denganku?”

“Er, uh, huh?” akupun mengedipkan mataku. “Kupikir kau sudah punya grup?”

“Aku memang sudah punya!”

Totsuka menarik-narik lengan blazerku. “Ya grupku itu sejak awal bersama dirimu, Hachiman.”

“Jadi begitu ya maksudmu tempo hari ‘sudah memutuskan’...”

Apa ini semacam trik? Tapi tahulah, penyendiri itu punya kemampuan untuk membaca bermacam-
macam makna dari tiap kata-kata, jadi aku tidak pernah sadar kalau aku adalah orang yang dia
maksud ‘sudah diputuskan’ itu. Ketika aku melihat Totsuka yang wajahnya memerah dan kesal,
akupun melunak. Ketika aku tertawa, Totsuka mulai tersenyum.

Hayama, yang melihat kami berdua, berdiri dan menoleh ke arah kami berdua dari balik bahunya.

“Oke, kalau begitu aku pergi dulu untuk menulis nama kita bertiga ya. Kalian ingin grup kita pergi
kemana?”

“Terserah kau saja,” kataku, dan Totsuka juga mengangguk.


Jadi Hayama mulai menulis nama kami di papan tulis:

Hayama.

Totsuka.

Hikigaya.

Oh, jadi dia menulis namaku dengan benar. Itu membuatku senang, kurasa begitu. Mungkinkah dia
ini temanku?

Hayama lalu menulis “Tempat kerja yang ingin kami kunjungi...”. Dan kemudian...

“Oh, ooooh,” ada seorang gadis menyadari itu dan menghapus tulisan di grupnya. “Aku ingin ke
tempat yang sama dengan Hayato juga!”

“Ya ampun, Hayama-kun pergi kesana?” ada gadis lain menyahut. “Oh, aku akan mengubah tujuan
grupku juga!”

“Aku juga deh!” dan lainnya menyahut juga.

“Hayato memang sesuatu! Dia super Hayato!”

Teman-teman sekelasku mulai menghujani Hayama seketika. Kemudian, mereka mulai ramai
sendiri, lalu mereka mengubah tujuan grup mereka agar sama seperti Hayama. Tidak lama kemudian,
namaku seperti hilang ditumpuk bermacam-macam nama disana. Sekali lagi, eksistensiku sepertinya
tidak dihiraukan oleh mereka.

Beginilah, karena itulah aku menjadi ninja. Aku harunys pergi ke Iga atau Kuga sebagai tujuan
Kunjungan Kerja kali ini. Dengan begitu, aku bisa bergerak tanpa diketahui orang lain, tuan dan
nyonya sekalian.

Tanpa perlu kukatakan lebih jauh, pertemanan juga merupakan sesuatu yang bisa pergi tanpa
disadari oleh orang kapanpun dan dimanapun.
x Chapter III | END x
Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteiru
Volume 02 Bahasa Indonesia
Di translate oleh Aoi.
Zcaoi.blogspot.com

PDF oleh ユウトくん


Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteiru - Volume 02

Chapter 4 : Karena Alasan Tertentu, Kawasaki Saki Keluar Dari Jalannya -1

xxx

Ujian tengah semester sudah berada di depan mata.

Dalam beberapa kasus, belajar bisa berarti ada di restoran keluarga atau perpustakaan. Tapi tempat-
tempat tersebut akan menjadi sebuah kata mustahil jika ada siswa yang berkeliaran disana pada jam
11 malam. Kuberitahu saja, kau pasti akan ditendang keluar dari restoran keluarga lebih dari jam 10
malam. Karena itulah, belajar di waktu malam adalah sesuatu yang harus kau lakukan di rumah.
Ngomong-ngomong, belajar larut malam tidak sama persis dengan acara gulat profesional larut
malam yang tayang di TV.

Jarum kecil jam dinding sudah mendekati angka 12. Akupun mendesah dan melemaskan tubuhku.
Kupikir aku akan tetap belajar hingga satu atau dua jam lagi. Haruskah aku minum kopi lagi? Itulah
yang sedang kupikirkan. Dengan langkah yang berat, aku menyeret diriku menuruni tangga dan
menuju ruang keluarga. Kalau tidak salah, tadi aku menaruh kopiku disana.

Ketika otakmu kelelahan, gula merupakan hal absolut yang bisa menyegarkan kembali hal itu.
Dengan kata lain, ini adalah momen kemunculan yang pas bagi MAX COFFEE yang super manis.

Ketika berjalan ke ruang keluarga, sambil memikirkan berbagai hal-hal yang menyenangkan tentang
MAX COFFEE, aku melihat adikku, Komachi, sedang tidur di sofa. Gadis ini juga akan ujian tengah
semester, sama sepertiku, tapi seperti biasanya, dia terlihat tidak peduli dengan itu.

Seingatku soal kaleng MAX COFFEE yang kubeli, aku sudah membuka kalengnya dan meminum
beberapa teguk, jadi kuputuskan untuk menghangatkannya kembali. Kutuangkan minumannya di
panci rebus, lalu menyalakan kompornya. Untuk menghilangkan kebosanan menunggu airnya
mendidih, aku duduk di ujung sofa dimana ada adikku yang sedang tidur.

Komachi tertidur dan membiarkan bagian perutnya terbuka begitu saja, seperti hendak
memprovokasi sesuatu.
Tiba-tiba, dia mendengkur. Ketika dia tiba-tiba membalik posisi tidurnya, ternyata dia sedang
memakai T-Shirt milikku dan menggunakan blazer seragamku untuk menyelimutinya. Sekedar info,
dia mengambilnya tanpa bertanya dulu kepadaku. Aku tidak begitu menyadari itu karena dari tadi dia
tidur dengan melingkarkan tubuhnya, tapi masalah utamanya bukan itu, mengapa gadis ini tidur
hanya memakai pakaian dalam? Dia bisa masuk angin kalau begini.

Aku lalu menyelimutinya dengan handuk kering. Seperti bereaksi dengan sikapku ini, Komachi
menggumamkan sesuatu dalam tidurnya. Tiba-tiba, aku mendengar suara air yang mendidih, seperti
memberitahuku kalau minumanku sudah siap. Kutuangkan kopinya ke mug, dan kutambahkan sedikit
air panas.

Mulai tercium aroma menyegarkan dari kopi itu. Kutambahkan susu dan gula ke kopiku, lalu
mengaduknya lagi. Setelah itu, kopiku yang enak ini siap untuk diminum.

Arome yang elit dari susu dan aroma yang manis dari kopi saling bercampur. Menciumnya saja aku
langsung tahu kalau rasanya pasti sangat enak.

Seperti mencium bau tersebut, Komachi tiba-tiba terbangun.

Hal pertama yang dia lakukan adalah terbangun dan duduk begitu saja, menatapku dengan diam
untuk beberapa detik. Lalu, dia membuka blazerku dan melihat ke arah jendela. Tiba-tiba matanya
melebar dan melihat ke arah jam dinding selama 5 detik. Kurasa dia butuh 10 detik untuk menyadari
situasinya saat ini.

Lalu dia menarik napasnya dengan dalam-dalam. "Sial! Aku ketiduran!". Dia lalu meneriakkan
sesuatu dengan nada yang aneh.

"Aku tadi hanya berencana tidur selama satu jam, ternyata aku sudah tidur lima jam!"

"Oh, jadi begitu. Kau ketiduran, katamu? Kau pasti langsung tidur setelah sampai di rumah."

"Bodoh! Aku sudah mandi dulu sebelum aku tidur!"

"Ya ampun, kenapa kau tersinggung dengan kata-kataku tadi?"

"Ngomong-ngomong, kenapa Onii-chan tidak membangunkanku?!"


Entah mengapa, Komachi tampak kesal kepadaku.
"Aku tidak begitu peduli, tapi tolong pakailah celana. Dan satu hal lagi, siapa yang memberimu ijin
untuk memakai pakaianku?"

"Hmm? Oh, ini. Ini baju malam yang sempurna. Bukankah ini bisa jadi semacam pakaian one-
piece?" dia mengatakan itu sambil menarik-narik pakaianku.

Jangan tarik-tarik begitu. Aku bisa melihat bra-mu, tahu tidak? Dan jangan menggoyang-
goyangkannya, aku bisa melihat celana dalammu!

"...Oke, aku akan berhenti memakainya lagi, dasar kau tukang komplain!" katanya.

"Oh, baguslah. Lain kali kalau perlu akan kubelikan pakaian yang pantas untuk kau pakai,
Komachi."

"Ohhh, kuhargai tawaranmu!"

Kuminum kopiku, sambil bersumpah kepada diriku kalau suatu hari nanti akan kubelikan baju
dengan bahan kain pel. Setelah Komachi menggulung lengan baju panjang milikku itu seperti sebuah
piyama one-piece, dia menuju dapur dan menghangatkan susu di microwave.

"Ngomong-ngomong, apa yang Onii-chan lakukan di jam-jam seperti ini?"

"Belajar untuk ujian. Aku turun kesini karena ingin istirahat sebentar," jawabku.

Komachi terlihat terkejut. "Aku sendiri belum istirahat dari belajar, bahkan memulainya saja
belum!".

Lalu, dia berhenti sejenak dan menambahkan. "Onii-chan, jujur ya, kau ini pantas menjadi
businessman ketika kau bekerja nanti."

"Hei, businessman bukan berarti aku akan suka bekerja. Bahasa Inggrismu buruk sekali."

"Mustahil, Onii-chan. Bahasa Inggris adalah keahlianku. Aku ini jenius soal itu. I AM
SMARTICLES," katanya, ironis sekali karena Bahasa Inggrisnya tidak terdengar jenius.
Smarticles bahkan tidak digolongkan sebagai kata baku di kamus bahasa, dasar bodoh.

Terdengar bunyi dari microwave. Komachi lalu terlihat sedang memegang mug di tangannya, sambil
meniup-niup mugnya, dia mulai berjalan ke arahku.

"Kurasa, aku akan belajar juga."

"Silakan saja. Kalau begitu, aku akan kembali belajar. Kau lebih baik belajar dengan serius juga."

Kuhabiskan kopiku dengan sekali teguk dan berdiri. Tapi, Komachi tiba-tiba menarik kaosku. Ketika
kulihat, Komachi malah memasang senyum di wajahnya.

"Onii-chan barusan mengatakan 'juga', benar tidak? Bukankah itu bisa diartikan kalau kita akan
belajar bersama? Onii-chan, apa Bahasa Jepangmu bermasalah?"

"Kaulah yang Bahasa Jepangnya bermasalah..."

Well, kurasa tidak ada salahnya jika aku sesekali memeriksa PR adikku ini dan memberitahu apa
yang salah.

Dengan begini, belajar malam hari dengan adik perempuanku dimulai.

Kami membawa peralatan belajar kami dari ruangan kami dan menaruhnya di meja ruang keluarga.
Kuputuskan kalau aku akan belajar Sejarah Jepang hari ini, jadi aku ambil buku Sejarah cetakan
Yamanaka dan manualnya, lalu aku menyadari sesuatu.

Di depan Komachi, ada sebuah buku "Bahasa Inggris untuk SMP: Target 1800", seperti sebuah
buku yang akan membantunya mempelajari Bahasa Inggris.

Bersama-sama, kami belajar dengan tekun. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan
dan tidak lupa memberinya penjelasan tambahan ketika ada kesalahan. Kami mengulangi proses itu
berulang kali. Setelah aku selesai mempelajari contoh soal ujian tengah semester di bukuku, aku baru
sadar kalau sejak tadi Komachi menatapku dengan pandangan yang fokus entah kemana.

"...Ada apa?" tanyaku.


"Hmm? Oh, aku hanya baru sadar kalau Onii-chan ini orangnya tekun juga."

"Apa kau ini sedang mengejekku? Kau mau mengajakku ribut, bocah? Aku akan menarik
rambutmu!"

Tapi Komachi hanya tertawa saja mendengar ancamanku.

"Meski begitu, Onii-chan pasti tidak akan memukulku."

"Huh? Begitukah yang kau pikirkan? Alasan utama aku tidak memukulmu karena orangtua kita akan
memukulku jika aku melakukannya. Itu saja. Jangan salah paham."

"Teehee. Wajahmu memerah, wajahmu memerah!" dia mengatakan itu dengan nada mengejek.

"Di...Diamlah..."

Untuk saat ini, aku niatkan diriku untuk menghajar keningnya. Tepatnya, aku mengambil karet
penghapus dan melemparkan ke keningnya, membuatnya langsung emosi seketika. Pada dasarnya,
aku melepaskan energi simpananku dalam sebuah serangan yang tak berperasaan.

"Oof!" Komplain Komachi.

Karet penghapus itu mengenai keningnya, meninggalkan noda hitam pensil di keningnya. Dia lalu
menggosok-gosok keningnya, dan menatapku dengan kesal.

"Hmph...Padahal aku baru saja memujimu sebagai siswa yang baik..."

"Itu karena kau mengatakan hal-hal tolol. Sekarang cepat belajar sana!"

"Itulah yang membuatmu disebut orang yang tekun. Ya ampun, ternyata banyak sekali kakak laki-
laki dan perempuan di luar sana yang memiliki tipe-tipe yang berbeda. Ngomong-ngomong, aku
punya teman yang juga pergi ke bimbingan belajar yang sama denganku. Kata dia, kakak
perempuannya tiba-tiba menjadi nakal. Kakaknya tidak pulang ke rumah saat malam hari dan sejenis
itu."
"Uh huh."

Tampaknya Komachi sudah tidak berniat untuk belajar lagi. Entah mengapa, dia langsung menutup
buku Target: 1800 itu. Jadi untuk saat ini, kita terlibat dalam sebuah percakapan yang tidak jelas.

Sambil tidak mempedulikan obrolan Komachi, aku membaca buku sejarahku. Tahun 645, terjadi
reformasi Taika.

"Tapi tahu tidak, kata dia kakaknya itu sebelum masuk SMA Sobu adalah siswi yang serius. Entah
apa yang terjadi dengannya ketika SMA."

"Oh, begitu ya."

Kata-kata Komachi masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.

Tahun 649, Fujiwara-kyo menjadi Ibukota. Oh tunggu, bukannya itu tahun 794? Bukan, tahun itu
adalah Heian-kyo.

Meski begitu, aku sudah mengantuk. Manusia memang punya tekad yang kuat untuk tidak
terpengaruh oleh narkoba. Dengan kata lain, tidak peduli sebanyak apa kafein yang kuminum dalam
kopiku ini, keinginanku untuk tidur sudah bulat.

"Begitulah, tapi itu masalah keluarganya, jadi aku tidak bisa berkomentar banyak. Kami belakangan
ini terlihat dekat, meski aku mulai bersimpati kepadanya, tapi aku tidak bisa membantu banyak. Oh,
namanya Kawasaki Taishi-kun, dan dia juga ikut bimbingan belajar yang sama denganku sejak April
lalu."

"Komachi."

Tiba-tiba, pensil jatuh begitu saja dari jariku. Semua rasa lelahku hilang seketika.

"Apa hubunganmu dengan makhluk yang bernama Taishi-kun ini? Apa maksudmu dengan
belakangan ini terlihat dekat?"

"Whoa, ekspresi wajahmu menakutkan sekali, Onii-chan..."


Tampaknya, ekspresi wajahku yang sedang melihatnya ini terlihat sangat serius. Komachi seperti
terkejut melihatnya. Tapi kita ini sedang membicarakan adikku yang bodoh. Sesuatu bisa saja terjadi
jika dia tidak menjaga dirinya dengan baik. Normal bila aku mengkhawatirkannya sebagai
keluarganya. Jika dia terlibat hubungan dengan seorang laki-laki, maka itu bukanlah sesuatu yang
bagus baginya.

Onii-chan tidak akan memberikan toleransi terhadap hal ini.

"Ah sudahlah. Beritahu saja jika ada sesuatu yang mengganggumu. Bukankah dulu pernah
kukatakan, kegiatanku di Klub Relawan dimana aku sendiri masih belum paham betul dimana
mungkin bisa membantumu. Kurasa begitu."

Komachi mengembungkan pipinya dan tersenyum ketika aku mengatakan itu.

"Onii-chan, kau benar-benar pria yang tekun membantu!"

x Chapter IV Part 1 | END x

Chapter 4 : Karena Alasan Tertentu, Kawasaki Saki Keluar Dari Jalannya -2

xxx

Aku mulai mendengar suara cuitan suara dari burung pipit, pertanda hari sudah menginjak pagi. Jadi,
inikah yang disebut "berpindah ke hari berikutnya" yang biasa ditulis di cerita novel?
Aku lalu membuka mataku, yang kudapatkan adalah sebuah hal yang mengejutkan. Itu karena aku
melihat sebuah atap ruangan yang tidak familiar ketika aku biasa bangun tidur setiap harinya.
Maksudku, aku baru sadar kalau aku bangun tidur di ruang keluarga. Sepertinya, kami tertidur setelah
belajar semalam. Hal terakhir yang kuingat, adalah menginterograsi Komachi tentang status
hubungannya.

"Hei Komachi...Sudah pagi." akupun mengatakan itu.

Itu adalah momen dimana aku tidak bisa melihat adikku di tempat manapun. Kulihat di sekelilingku
untuk beberapa detik. Selanjutnya, aku melihat ke arah jendela. Matahari sudah bersinar cukup tinggi.
Butuh 3 detik untuk menyadarkanku tentang situasiku ini. Lalu aku mulai berkeringat dingin ketika
melihat jam dinding di ruangan ini. Ini sudah jam 9 pagi! Kulihat lagi berkali-kali, ternyata masih jam
9 pagi. Butuh sekitar total 10 detik untuk memproses semua situasi ini.

Setelah 10 detik, aku mulai sadar masalah apa yang hendak menabrakku sebentar lagi.

"Aku pasti akan benar-benar terlambat..." aku mengatakan itu dengan depresi.

Aku lalu langsung ke meja makan, disana ada roti panggang, daging dan telur goreng, bersama
dengan sebuah surat dengan tulisan tangan Komachi disana.

Kakakku yang tersayang, aku berangkat duluan karena aku tidak ingin telat. Istirahatlah yang
cukup!

SP. Pastikan kau memakan sarapanmu!!

"Dasar bodoh...Memangnya SP itu singkatan dari Security Police?"

Harusnya yang benar itu adalah PS, singkatan dari Playstation.

Ngomong-ngomong, karena aku sudah dijamin pasti telat dan ini adalah sesuatu yang diluar
kuasaku, aku memakan sarapanku dengan santai dan bersiap menuju ke sekolah. Sepertinya, kedua
orangtuaku sudah berangkat kerja. Karena kedua orangtuaku pergi bekerja sedari pagi, rumah tangga
keluarga Hikigaya sudah terasa hidup ketika pagi baru menjelang. Ibuku yang biasanya membuat
sarapan, tapi Komachi yang biasanya membuat makan malam.
Dan kurang ajarnya, tidak ada satupun orang yang membangunkanku untuk berangkat ke sekolah.
Daripada mengkhawatirkan apakah aku benar-benar dicintai sebagai anggota keluarga disini atau
tidak, aku lebih suka percaya kalau membiarkan orang tertidur dengan lelap merupakan salah satu
bentuk cinta dalam keluarga.

Darahku mulai menggelora ketika aku mengganti baju. Setelah memastikan kalau pintu rumah
terkunci, aku meninggalkan rumah.

Sambil bersepeda di jalan yang berada di sebelah sungai, aku melihat kumpulan awan yang berjajar
rapi di langit.

Hari ini, jalan menuju ke sekolah terlihat sepi. Ini membuatku bisa bersepeda dengan tenang.
Biasanya, rute ke SMA Sobu seperti sebuah lomba balap sepeda dimana ketika ada dua siswa dari
sekolah yang berbeda bertemu. Saling menyalip satu sama lain dan berteriak "Maju! Magnum!"
adalah sebuah emosi yang terbaik. Ketika kau menghadapi sesama anak laki-laki, kau terlihat
bersemangat dan mengatakan sesuatu seperti, "Aku tidak akan kalah! Sonic!"

Hari ini, aksi yang cukup menghibur sepanjang perjalananku hanyalah antara ibu-ibu gendut yang
berusaha menghilangkan lemaknya dan kakek-nenek yang berjalan-jalan dengan anjing mereka, aku
memperhatikan mereka dengan serius seperti menonton orang yang memancing. Kurasa, pergi ke
sekolah ditemani pemandangan seperti ini bukanlah sesuatu yang buruk. Sebenarnya, aku mulai
berpikir kalau bersepeda di bawah langit yang biru ini terasa enak sekali. Seperti sebuah sensasi
ketika mengajak orang lain untuk bolos bersamamu, dan itu benar-benar efektif dengan peluang
sekitar 50%.

Entah mengapa, ketika sudah dekat dengan sekolah, tiba-tiba aku dihinggapi sebuah perasaan yang
nostalgia...?

Meski begitu, aku tidak berusaha untuk mengendap-endap untuk masuk ke sekolah. Bahkan, aku
masuk ke lingkungan sekolah seperti tidak terjadi apapun. Di waktu yang seperti ini, para guru sedang
ada di kelas, begitulah, jadi mereka tidak mungkin melihatku telat masuk ke lingkungan sekolah.
Ketakutan adalah hal yang tidak berguna disini. Aku belajar itu dari 72 kali pengalamanku telat di
kelas 1 SMA, dimana itu mungkin mulai mempengaruhi nilai akademisku. Jujur saja, aku ingin
mencapai 200 kali kemenangan ketika lulus dari SMA ini.

Melewati gerbang sekolah cukup mudah. Masalah mulai muncul ketika hendak masuk kelas.
Kuparkir sepedaku di tempat parkir dan berjalan ke arah halaman sekolah. Setelah menginjak
halaman sekolah, entah mengapa aku merasa kalau gravitasi di planet ini seperti terasa lebih berat dari
biasanya.
Bisa jadi aku ini sedang berada di planet Vegeta?

Kuseret kakiku menuju tangga dan akhirnya tiba di lorong dimana tidak ada seorangpun siswa
disana, hingga akhirnya aku sampai di depan pintu kelasku.

Kutarik napasku dalam-dalam ketika berada di depan pintu. Lalu, kupegang handle pintu itu. Di
momen itu, aku merasa perutku seperti dipenuhi oleh kupu-kupu liar.

Pintu terbuka.

Lalu semua mata tertuju kepadaku, tidak ada yang mengatakan apapun. Ruangan ini terasa sunyi
sekali. Suara guru yang sedang menjelaskan materi pelajaran tiba-tiba hilang entah kemana.

Aku tidak benci telat ke sekolah. Tapi yang kubenci adalah suasana seperti ini.

Misalnya ya, jika Hayama yang telat, aku yakin para siswa disini akan becanda seperti, "Hei
Hayama! Coba datang lebih telat lagi lain kali!", "Hayama, kau lambat sekali!", "Hahaha, Hayama
kau norak sekali!"

Tapi karena akulah yang saat ini telat, tidak ada satupun siswa yang mencandaiku, malahan, tatapan
mereka semua seperti bertanya, "Dia ini siapa sih?". Aku menjawab tatapan mereka itu dengan diam
sambil melangkahkan kakiku yang berat ini untuk masuk ke kelas. Setelah aku duduk di kursiku, tiba-
tiba tubuhku merasakan perasaan lelah yang luar biasa.

Akupun bernapas lega. Tapi bagi guru di ruangan ini, itu seperti memberinya kode kalau aku sudah
siap menanti penghakiman atas sikapku ini.

"Hikigaya. Temui saya setelah jam pelajaran ini selesai," kata Hiratsuka-sensei sambil memukulkan
kepalan tangannya di meja guru.

"Ba-Baiklah..."

...Mati gue.

Tubuhku langsung lemas mendengarnya, tapi itu malah membuat Hiratsuka-sensei mengangguk
puas dan membalikkan badannya. Dia melanjutkan kembali menulis materi di papan, mantel putih
panjang yang dipakainya mengibas ketika dia membalikkan badannya tadi.
Tunggu dulu, 15 menit lagi pelajaran ini berakhir!

Dan jahatnya, 15 menit tersebut berlalu dengan cepat. Sementara itu, dari tadi aku tidak
memperhatikan pelajarannya dan sibuk memikirkan berbagai alasan mengapa aku telat hari ini, lalu
bel berbunyi.

"Kurasa pelajaran Ibu cukupkan untuk hari ini. Hikigaya, segera menghadap, sekarang!"

Hiratsuka-sensei mengatakan itu seperti tidak sabar akan sesuatu.

Aku lalu berjalan ke depan dan berdiri tepat di depannya, diriku ini seperti dipenuhi hasrat untuk
kabur entah kemana.

Hiratsuka-sensei lalu mengatakan sesuatu dengan kesal.

"Sebelum pukulan ini melayang ke arahmu, aku akan bertanya dulu apa alasanmu telat hari ini,
hanya sebagai formalitas."

Dia sudah memutuskan untuk memukulku!

"Bukan begitu, Sensei salah paham. Tunggu sebentar. Apakah Sensei tahu kalau orang penting itu
selalu datang terlambat? Pada dasarnya, ini adalah latihan jika suatu saat nanti saya menjadi orang
yang penting, seorang eksekutif level elit."

"Bukannya kau bercita-cita menjadi suami rumahan?"

"Urk!" aku terkecoh, tapi tidak lama kemudian aku kembali ke diriku.

"Be-Begini. Adalah sebuah kesalahan jika berpikir kalau datang terlambat adalah sebuah hal yang
buruk. Apa Sensei paham maksud saya? Para polisi saja mulai bergerak setelah terjadinya tindak
kriminal. Logika yang sama juga dipakai untuk istilah pahlawan selalu datang di menit-menit akhir.
Dengan kata lain, mereka semua selalu terlambat. Tapi pernahkah mereka disalahkan?! Tidak pernah!
Jadi saya juga menginginkan sebuah keadilan dalam hal datang terlambat hari ini!" akupun
meneriakkan itu dengan segenap jiwaku.
Entah mengapa, tatapan mata Hiratsuka-sensei seperti diliputi emosi yang mendalam.

"...Hikigaya. Biar kuberitahu sesuatu. Membenarkan pelanggaran atas nama keadilan itu tidak jauh
berbeda dengan sebuah kejahatan."

"...Atas dasar keadilan itu harusnya lebih baik dari kejaha tunggu! Jangan pukul saya! Tidak!"

Seperti moto grup Shinsegumi yang menghancurkan kejahatan, Aku Soku Zan, kepalan tangan
Hiratsuka-sensei langsung melayang ke arah ulu hatiku. Tubuhku kesakitan menerima serangan
tersebut. Ketika aku terbaring di lantai karena menerima pukulan itu, aku mulai batuk-batuk.

Hiratsuka-sensei langsung mendesah kesal melihatku yang kesakitan di lantai.

"Ya ampun...Kelas ini seperti tidak ada habis-habisnya dengan anak-anak yang bermasalah."

Tapi anehnya, dia tidak mengatakan itu dengan ekspresi jijik malahan, dia terlihat senang atau
sejenis itu.

"Aku tidak sedang membicarakanmu, tapi ke orang lain."

Seperti tidak mempedulikan diriku yang terbaring di lantai, sepatu dari Hiratsuka-sensei mengarah
ke arah pintu belakang kelas. Kulihat ke arah yang sama, ternyata ada seorang siswi yang baru masuk
dan membawa tasnya.

"Kawasaki Saki. Apa kau juga terlambat?" Hiratsuka-sensei memanggilnya dengan senyum yang
kecut.

Tapi gadis yang bernama Kawasaki Saki ini hanya diam saja. Dia lalu berjalan melewati tubuhku
yang tergeletak di lantai menuju tempat duduknya.

Rambutnya yang hitam dan panjang itu menutupi punggungnya; kancing lengan blazernya dibiarkan
terbuka; kakinya yang panjang itu terlihat seperti siap kapan saja untuk menendang orang.

Tapi yang membuatku teringat padanya adalah tatapan matanya yang kosong, seperti entah sedang
melihat kemana. Tidak lupa juga, ujung rok dan blazernya dihiasi renda hitam seperti dibuat sendiri
olehnya.
Aku berani bersumpah kalau aku pernah melihat gadis ini entah dimana...Tunggu sebentar, kalau
dia sekelas denganku, bukankah wajar jika aku bilang pernah melihatnya?

Karena aku tidak bisa mengintip dibalik roknya dengan jelas dari posisiku yang miring seperti ini,
aku lalu membiarkan tubuhku terlentang di atas lantai begitu saja.

Aku tidak ingin seorangpun curiga kepadaku.

Di momen itu, sesuatu tiba-tiba muncul di kepalaku.

"...Kau ini gadis yang berenda hitam tempo hari?"

Dengan begitu, semua keraguanku tiba-tiba lenyap.

Entah mengapa, aku teringat dengan kejadian itu. Dia adalah gadis yang mempermainkanku ketika
kami bertemu di atap gedung tempo hari.

Oh, jadi dia sekelas denganku? Ini adalah momen untuk mengkonfirmasi lagi kalau gadis yang
pernah kutemui tempo hari itu bernama Kawasaki Saki. Dia tidak langsung pergi ke tempat duduknya,
tapi dia malah berdiri di sampingku dan melihatku dari balik bahunya.
"...Apa kau ini bodoh?" tanya Kawasaki Saki.
Dia tidak menendang atau memukulku. Wajahnya terlihat memerah, tapi ini bukan memerah karena
malu, sepertinya memerah karena marah dia seperti tidak tertarik kepadaku. Lebih tepatnya, aku
seperti pengganggu baginya.

Jika Yukinoshita Yukino terlihat tidak ramah, maka Kawasaki Saki bisa disebut dingin. Meski
mereka berdua sama-sama dingin, ini seperti es kering dan es normal. Yukinoshita seperti akan
menyiram wajah siapapun yang menyentuhnya dengan segelas air panas.

Dengan ekspresi jijik, Kawasaki mengibaskan rambutnya sekali sebelum berjalan menuju tempat
duduknya. Setelah dia menarik kursinya dan duduk, dia lalu melihat ke arah jendela dengan tatapan
kosong, seperti bosan akan sesuatu. Dia seperti ingin terus melihat ke arah luar sehingga dia tidak
perlu repot-repot mengetahui ada apa di ruangan kelasnya.

Tidak ada seorangpun di dunia ini yang tidak menyadari aura "jangan mengajakku bicara". Tapi
level aura "jangan mengajakku bicara" miliknya masih rendah. Tidak ada seorangpun yang mau
mengajakku bicara meski aku menebarkan aura "tolong ajak aku bicara".

"Kawasaki Saki, huh...?"

"Hikigaya, berhentilah menggumamkan nama gadis yang roknya baru saja kau intip dengan emosi
yang mendalam."

Hiratsuka-sensei menaruh tangannya di bahuku. Tangannya terasa dingin sekali.

"Kita masih punya 'pembicaraan sesi kedua' dari keterlambatanmu hari ini. Menghadap ke ruang
guru setelah bel pulang sekolah berbunyi."

x Chapter IV Part 2 | END x


Chapter 4 : Karena Alasan Tertentu, Kawasaki Saki Keluar Dari Jalannya -3

xxx

Setelah 'diceramahi' Hiratsuka-sensei di ruang guru, aku berhenti sebentar di sebuah toko buku yang
ada di Mall MarinPia dari yang seharusnya langsung pulang ke rumah.

Aku memeriksa beberapa rak buku dan akhirnya memutuskan untuk membeli sebuah buku.

Kurasa beginilah harusnya kuhabiskan 1000Yen-ku.

Akupun memikirkan itu sambil membayar buku itu di kasir.

Setelah itu, aku mampir ke kafe, berpikir untuk belajar disana. Sayangnya, sepertinya semua orang
memiliki pikiran yang sama denganku. Kafe ini dipenuhi oleh siswa-siswa. Tepat ketika aku berpikir
untuk hendak pulang ke rumah saja, aku melihat beberapa wajah yang familiar.

Seorang siswa yang memakai seragam olahraga, Totsuka Saika, sedang memandangi etalase kue di
kafe. Sekedar info saja, sekolahku ini memiliki aturan kalau siswa harus memakai seragam ketika di
lingkungan sekolah, karena seragam olahraga resmi sekolah juga dikategorikan seragam, maka
Totsuka diperbolehkan mengikuti pelajaran di kelas dengan memakai seragam olahraga sekolah.

Pemandangan ini terasa jauh lebih manis daripada krim yang ada di kue-kue etalase itu, dan aku ini
seperti semut yang tertarik kepada gula. Aku adalah salah satu dari mereka yang memiliki prinsip "Ini
pasti semacam takdir ✩". Hei ayolah, aku ini mirip sekali dengan Goldilocks.

"Oke, sekarang saatnya bagimu untuk bertanya, Yukinon," kata wajah familiar nomor dua.

Yuigahama dan Yukinoshita tidak menyia-nyiakan waktu mereka ketika sedang mengantri dan larut
dalam obrolan pelajaran mereka.

"Baiklah, sebuah pertanyaan tentang situasi di Jepang kalau begitu," kata Yukinoshita.

Lalu, dia mengatakan pertanyaannya.

"Di Kota Chiba, ketika pemerintah setempat mengumumkan keadaan darurat, maka langkah
pertama..."

"...Menghentikan layanan kereta Tokyo-Chiba?"

Sekedar info saja, pertanyaan tersebut ada di acara Trans Chiba Ultra Quiz. Dan Yuigahama
menjawabnya dengan salah. Jawaban yang benar adalah 'Seluruh kereta tidak diperbolehkan berhenti
di semua stasiun yang ada di Kota Chiba. Untuk mengganti waktu yang harusnya dibuang ketika
seharusnya berhenti di Chiba, maka kecepatan kereta sengaja diperlambat'.

Mendengar jawaban yang seperti itu, ekspresi wajah Yukinoshita terlihat suram, seperti yang kau
harapkan darinya.

"Jawabanmu salah...Pertanyaan selanjutnya. Ini mengenai geografi. Sebutkan dua ciri khas Chiba."

Tik tok, tik tok. Suara dari jarum jam yang bergerak. Yuigahama lalu terlihat seperti menelan sesuatu.

"Sup kedelai...Dan kedelai rebus?" ekspresi Yuigahama ketika mengatakan itu seperti mengalami
sebuah jalan buntu.

"Hei. Apa kau pikir yang para petani Chiba lakukan sejak dulu hanyalah bertanam kedelai?"
tanyaku.

"Whoa!" Yuigahama terlihat melompat ketika mengatakannya. Lalu dia menambahkan.

"Oh, ternyata Hikki. Kupikir tadi itu suara orang aneh yang datang entah dari mana dan berbicara
denganku..."

Kampret.

Aku harusnya kembali ke sini di lain waktu, tapi gara-gara menimpali jawabannya tadi, kini aku
terjebak dalam antrian bodoh di kafe ini. Sialan! Tapi mustahil bagiku untuk membiarkan begitu saja
orang menjawab sesuatu yang salah tentang Chiba yang sangat kucintai ini!

Mendengar suara Yuigahama yang ribut denganku, Totsuka tiba-tiba membalikkan badannya dan
melihat ke arahku. Lalu, dia tersenyum.

"Hachiman! Jadi kau ikut kelompok belajar ini juga!?"

Totsuka mengatakan itu kepadaku sambil tersenyum. Jujur saja, harusnya aku tidak diundang dalam
kelompok belajar ini, dan ekspresi Yuigahama terlihat kecut ketika mendengar itu, seperti ingin
mengatakan "Apa-apaan orang ini? Dia ini bukan anggota grup belajar kita!"

Oi, berhenti memasang ekspresi yang seperti itu! Kau hanya mengingatkanku tentang kenangan
ketika teman sekelasku waktu SD sedang ulang tahun. Meski aku sudah membawa hadiah dan
semuanya, mereka semua yang hadir hanya menatapku dengan dingin sampai-sampai aku ingin
menangis saja disana.

"Sebenarnya aku tidak mengajak Hikigaya-kun," kata Yukinoshita. Lalu dia menambahkan.

"Apa kau ada keperluan kesini?"

"Yukinoshita, berhentilah memberitahukan fakta-fakta itu dengan tujuan hanya untuk membuat
suasana hatiku bertambah buruk."

Sial, jika aku tidak punya rasa keadilan yang tinggi, maka menu di kafe ini bisa jadi makanan
terakhirmu di dunia ini, dasar lonte!

Sebenarnya, aku mungkin berkeinginan untuk melabraknya dengan kata-kata hinaan dan
menghajarnya dengan kursi. Aku ingin dia meminta maaf untuk memuaskan egoku.

"Aah, tadi sebenarnya aku bukannya kaget atau bagaimana melihatmu, Hikki, waktu itu aku sedang
fokus memikirkan jawabannya dan tiba-tiba ada yang berbicara seperti itu..." kata Yuigahama.

"Nah, kau tidak perlu repot-repot begitu." aku sudah bosan dengan alasan yang seperti ini.

"Apa kau kesini untuk belajar juga, Hikigaya-kun?" tanya Yukinoshita.

"Uh, kurasa begitu. Apa kalian juga?"

"Tentu. Karena ujiannya akan tiba dalam dua minggu," kata Yuigahama.

"Ya ampun, sebelum kau belajar soal ujiannya, kau lebih baik memperbanyak info dulu soal Chiba.
Pertanyaan terakhir sebenarnya merupakan pertanyaan yang sengaja dibuat mudah untukmu."

"Aku sebenarnya tidak berniat untuk membuat soal yang mudah atau sejenisnya...Itu hanya
pertanyaan umum soal geografi. Sebutkan dua ciri khas dari Chiba." Yukinoshita mengutarakan hal
yang sama seperti sedang mengujiku.

"Jawaban yang benar adalah sesuatu yang membuat Chiba terkenal: festival dan tarian."

"Pertanyaanku itu tadi tentang ciri khas, bukan apa yang terkenal. Aku bahkan cukup yakin kalau
tidak ada seorangpun yang tahu lirik lagu-lagu tradisional Chiba." Yukinoshita seperti tidak percaya.

Tidak, aku sangat yakin dia hapal lirk-liriknya. Hanya saja, dia tidak tahu apa yang menjadi tren di
Chiba saat ini.

Sebenarnya, lagu tradisional Chiba biasanya dinyanyikan di Festival Bon Odori, dan juga biasanya
kau dengarkan sebagai lagu-lagu pendamping kegiatan senam modern di Chiba. Warga Chiba biasa
bernyanyi dan menari ketika mendengar itu. Serius ini, bahkan kau bisa secara tidak sadar
menyanyikan itu ketika sedang melakukan latihan senam meskipun tidak ada musik atau seorangpun
yang menyanyikannya.

Tidak lama kemudian, giliran kita tiba. Tiba-tiba, Yuigahama tersenyum.

"Hikki, kutraktir kali ini," katanya.

"Huh? Bukannya sudah kukatakan tidak perlu repot-repot?...Apa selanjutnya kau akan berpakaian
dan bersikap seperti nenekku? Oh Nenek, kenapa gigimu besar sekali..."

"Aku bukanlah serigala jahat di cerita itu! Aku hanya basa-basi saja tadi meski sebenarnya aku sejak
awal tidak berniat mentraktirmu!"

Apa dia baru saja menggali kuburnya sendiri?

Aku tidak melihat adanya alasan mengapa Yuigahama harus mentraktirku.

Yukinoshita, yang melihat percakapan kami, mendesah seperti lelah melihatnya.

"Kata-katamu tadi sangat memalukan, jadi hentikan itu. Aku tidak suka hal-hal semacam itu. Aku
sangat membenci orang yang bermuka dua."

Kali ini, aku sangat setuju dengan Yukinoshita.

"Yeah, aku juga sangat membenci orang-orang yang seperti itu."

"Huh?! Ka-Kalau begitu aku tidak akan mengatakan itu lagi!" kata Yuigahama.

"Nah, sebenarnya tidak masalah basa-basi jika itu hanya sebagai candaan diantara orang-orang yang
kau anggap dekat," kataku. Lalu, aku menambahkan.

"Kurasa, itu tidak masalah jika kau berbasa-basi dengan grup pertemananmu?"

"Ya, kurasa itu begitu. Tapi karena kita bukanlah sebuah grup pertemanan, jadi aku tidak menyukai
itu."

"Aku sangat terkejut melihatmu tidak memperlakukanku sebagai bagian grup pertemanan!"
Yuigahama melihat Yukinoshita dengan mata yang berkaca-kaca.

Sementara itu, ternyata sudah sampai ke giliranku. Ketika aku mengatakan blend coffee, pelayan
kafe langsung membawa minuman itu ke kasir. Setelah itu, kasir itu mengatakan, "Semuanya
390Yen."

Lalu kurogoh saku celanaku. Sebuah ingatan akan sesuatu tiba-tiba muncul di kepalaku. Aku tadi
membeli sebuah Light Novel di toko buku, lalu apa yang terjadi? Aku membayar 1000Yen, dan itu
adalah uang yang kubawa untuk hari ini, dan tidak ada kembalian sama sekali dari
itu...Kesimpulannya, aku tidak ada uang sama sekali saat ini. Tapi kopinya sudah dibuat dan ini sudah
terlambat untuk menolaknya.

Aku mulai memasang wajah serius dan menatap kedua gadis tersebut.

"Aduh, gawat. Aku tidak ada uang saat ini, teehee. Maaf, bisakah kalian bayar dulu minumanku?"

"...Menyedihkan." Yukinoshita dengan cepat langsung melabeli diriku sebagai sampah masyarakat.

Yuigahama lalu mendesah dan menatapku dengan tidak percaya.

"Huh, ya sudah, mau bagaimana lagi."

...No-Nona Yuigahama! Kau memang Dewi penyelamatku! Aku berjanji akan menyembah-nyembah
dirimu nanti!

"Pesanan kopimu itu nanti menjadi milikku, apa kau tidak masalah minum air putih saja, Hikki?"

...Dasar Iblis betina, sama saja gue enggak minum! Apa dia ini Lilith atau sejenisnya?

"Hachiman, A-Aku akan membelikannya untukmu! Ambil saja itu dan jangan khawatirkan uangnya,
oke?" Totsuka tersenyum manis kepadaku.

Totsuka ini memang benar-benar malaikat.


Tepat ketika aku hendak memeluknya, kata-kata dingin Yukinoshita muncul seperti hendak
memisahkan kita.

"Kurasa tidak baik jika kau memanjakannya."

"Heloo, tolong katakan itu setelah kau melakukan sesuatu yang baik kepadaku."

Totsuka akhirnya yang membayar pesananku, jadi aku sekarang bertugas mencari meja kosong
setelah berterimakasih kepadanya. Setidaknya itu yang bisa aku lakukan ketika menunggu mereka
bertiga selesai memesan pesanannya.

Tiba-tiba, ada grup yang berisi empat orang pergi meninggalkan meja mereka, jadi aku langsung
menempati meja tersebut. Kutaruh nampan minumanku ini di meja dan menaruh tasku di sofa meja
tersebut.

Kulihat sekelilingku, ternyata ada siswi sekolahan yang cantik sedang duduk di belakangku. Akupun
membungkuk untuk merespon sikapnya yang kurang nyaman ketika melihatku.

"Oh, ternyata Onii-chan."

Siswi yang cantik itu ternyata adikku, Hikigaya Komachi. Dia terlihat sedang memakai seragam
sekolahnya, lalu dia melambai-lambaikan tangannya kepadaku dengan senyum yang ceria.

Butuh waktu agak lama untuk menyadari apa yang terjadi.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku.

"Begini, Taishi-kun hendak menceritakan masalahnya kepadaku," Komachi mengatakan itu sambil
melihat ke arah sofa yang ada di seberang mejanya.

Duduk di sofa itu, ada seorang siswa SMP.

Dia lalu membungkukkan kepalanya ke arahku. Aku terus menatapnya tanpa berpikir.

Apa hubungan anak ini dengan Komachi...?

"Dia ini Kawasaki Taishi-kun. Kalau tidak salah, Komachi pernah menceritakan soal dia ke Onii-
chan tadi malam, ingat tidak? Itu loh cerita tentang orang yang kakak perempuannya tiba-tiba menjadi
nakal."

Sekarang dia mengatakan itu, aku sepertinya memang pernah mendengarnya bercerita soal itu. Aku
merasa ceritanya seperti masuk telinga kanan keluar telinga kiri karena waktu itu aku sedang berusaha
menghapalkan tahun tentang kejadian di buku sejarah. Apa sih yang terjadi di tahun 694?

"Jadi begitulah, dia ini ingin mencari bantuan tentang bagaimana agar kakaknya itu bisa kembali
seperti sedia kala. Oh, benar. Onii-chan kemarin juga bilang kalau aku boleh menceritakan apapun
kepada Onii-chan jika ada suatu masalah."

Oh, entah mengapa sepertinya aku merasa kalau aku terlalu banyak menggombal kemarin. Semacam
"tenang saja, serahkan padaku!". Yeah, aku mungkin seperti itu jika ini demi adikku, tapi jujur saja,
aku tidak berminat seperti itu jika ini menyangkut temannya, terutama jika dia laki-laki...
"Yeah, aku ingat. Tapi menurut pendapatku, kupikir dia harusnya membicarakan ini terlebih dahulu
dengan keluarganya. Yep, bahkan, kurasa dia harusnya tidak menyia-nyiakan waktunya seperti ini."

Aku berpikir untuk mencari-cari alasan yang logis untuk keluar dari ini. Lalu melepaskan Komachi
darinya dan pulang bersama-sama. Ketika memikirkan itu, anak yang bernama Taishi-kun ini mulai
berbicara seperti berbicara kepada Senpainya atau sejenis itu.

"Itu ada benarnya, tapi...Belakangan ini, Nee-chan pulangnya telat dan tidak mendengarkan apapun
yang dikatakan orangtua kami. Dia lalu memarahiku dan mengatakan kalau ini bukanlah urusanku
setiap kali aku menasehatinya..."

Taishi lalu berhenti sejenak. Dia sepertinya terlihat sangat emosi ketika mengatakannya.

"...Kau adalah satu-satunya orang yang bisa kuandalkan, Onii-san."

"Jangan lancang memanggilku Onii-san!"

"Kenapa kau bersikap seperti seorang Ayah yang keras kepala?" suara yang keren itu tiba-tiba
muncul dari belakangku.

Kubalikkan badanku, ternyata Yukinoshita dan yang lainnya sedang berjalan ke arahku. Seperti
menyadari hubungan kami ketika melihat seragam sekolah yang sama denganku, Komachi langsung
memasang senyum bisnis yang biasanya.

"Halo semuanya! Aku Hikigaya Komachi. Terima kasih karena kalian semua sudah membantu
kakakku selama ini,"

Komachi menyapa mereka semua dengan senyum. Salah satu fitur spesial darinya adalah dia bisa
akrab dengan siapapun yang dia mau, bahkan orang yang terlihat mustahil untuk didekati.

Sementara itu, Taishi-kun, pelanggan kafe ini, memilih untuk pasif. Dia hanya merendahkan
kepalanya dan memperkenalkan namanya saja.

"Apa kau ini adik dari Hachiman?" kata Totsuka. "Senang bertemu denganmu, aku ini sekelas
dengannya. Namaku Totsuka Saika."

"Oh, kau ini ramah sekali, dan juga mempesona. Ya ampun, manisnya. Benar tidak, Onii-chan?"

Akupun menggerutu. "Dia ini laki-laki."

"Haha! Lucu sekali! Hahaha, apa yang barusan kau katakan, kakakku yang bodoh?"

"Err, umm. Aku ini memang laki-laki..." kata Totsuka dengan malu-malu sambil memalingkan
wajahnya yang memerah.

...Ya ampun! Apakah orang ini benar-benar laki-laki?

"Uh...Benarkah?" tanya Komachi, sambil menyenggol pinggangku dengan sikunya.

"Maaf saja, tapi aku sendiri tidak begitu yakin soal itu, tapi kemungkinan besar dia itu laki-laki.
Meski begitu, dia memang manis."

"Y-Yeah..."

Komachi terus menatap wajah Totsuka, seperti setengah tidak percaya. Dia menggumamkan hal-hal
seperti, "Bulu matanya panjang sekali! Kulitmu lembut sekali," Totsuka terlihat malu-malu melihat
tatapan Komachi, seperti tidak nyaman akan sesuatu.

Aku ingin melihat pemandangan manis dari Totsuka ini selamanya, tapi tatapan Totsuka kepadaku
seperti hendak berkata, "Hachiman, tolong akuuuuu...." untuk menjauhkan Komachi darinya.

"Kurasa cukup soal itu. Ngomong-ngomong, ini Yuigahama dan itu Yukinoshita."

Komachi akhirnya melihat mereka berdua setelah kuperkenalkan. Ketika kedua pasang mata mereka
bertemu, Yuigahama tiba-tiba menjadi gugup.

"Se-Senang bertemu denganmu. A-Aku sekelas dengan Hikki, Yuigahama Yui." dia
memperkenalkan dirinya.

"Oh, halo juga, senang berkenalan dengan " Komachi tiba-tiba terdiam dan terus menatap
Yuigahama.

"Huh..."

Yuigahama berusaha menghindari tatapan Komachi, dan entah kenapa dia mulai berkeringat.
Memangnya mereka apa? Katak dan Ular? Mereka terus begitu kurang lebih selama 3 detik hingga
aku mencairkan suasananya.

"...Apa kalian berdua selesai?" Yukinoshita tiba-tiba memecah suasana ini, mungkin dia sudah
menunggu sejak lama untuk memperkenalkan dirinya.

Sangat luar biasa ketika mendengar suaranya saja sudah membuat Yuigahama dan Komachi
langsung mengalihkan perhatian mereka kepadanya. Nada suaranya yang dingin memang terkesan
tajam dan dalam. Meski begitu, pesan yang terkandung di dalamnya tersampaikan dengan jelas dan
baik. Seperti mendengarkan suara salju yang jatuh ke tanah.

Mungkin lebih tepat jika dikatakan daripada bilang mereka tiba-tiba terdiam mungkin lebih
tepat jika dibilang mereka ketakutan. Komachi lalu membuka matanya lebar-lebar dan langsung
duduk di seberang Yukinoshita. Seperti masih terhipnotis oleh kata-katanya, dia terus terdiam di
tempat duduknya.

"Senang bertemu denganmu. Aku Yukinoshita Yukino. Hikigaya-kun itu adalah...Kira-kira apa yang
tepat untuk menjelaskan Hikigaya-kun ini terhadapku...? Dia tidak sekelas denganku, dia bukan
temanku juga...Aku sebenarnya agak sungkan untuk mengakui ini, tapi dia bisa dikatakan
kenalanku?"

"Kenapa kau mengatakan itu seperti kebingungan untuk menjelaskan sesuatu dan mengapa juga kau
mengesankan kalau mengenalku itu adalah sebuah hal yang memalukan?"

"Begini, aku tadi sedang berpikir apakah kenalan adalah sesuatu yang tepat untuk menggambarkan
itu. Satu-satunya hal yang kutahu tentangmu, Hikigaya-kun, hanyalah namamu saja. Atau mungkin
lebih tepat, aku tidak ingin tahu tentang dirimu lebih dari itu. Meski begitu, aku tetap menyebutmu
kenalanku."

Pernyataan yang kejam sekali. Tapi kalau dipikir-pikir, definisi kenalan sendiri itu juga terlihat abu-
abu. Aku bahkan tidak tahu apa itu teman, apalagi kenalan. Apakah benar jika menyebut seseorang
yang pernah kau temui sekali itu sebagai kenalan? Apakah mereka masih layak disebut
kenalan setelah bertemu denganmu beberapa kali? Apakah definisi kenalan itu berdasarkan
banyaknya info yang kau tahu soal diri mereka?

Entah apa itu. Tapi menggunakan sebuah definisi yang terdengar abu-abu bukanlah ide yang bagus.
Saat ini, yang terbaik adalah mengatakan fakta soal kami berdua.

"Sesuatu seperti 'satu sekolah dengannya' kurasa lebih dari cukup."

"Memang...Kalau begitu aku koreksi yang tadi. Aku agak sungkan untuk mengakuinya, tapi aku satu
sekolah dengannya, Yukinoshita Yukino."

"Kau masih malu untuk mengakuiku!"

Tahu tidak? Aku juga malu sudah mengenal dirinya!

"Tapi aku tidak punya cara lain untuk mengatakannya."

"Oh, umm, kurasa itu tidak masalah. Kurasa aku sudah tahu hubungan semacam apa yang kau miliki
dengan kakakku ini," kata Komachi.

Aku sangat bersyukur dengan adikku ini yang cepat paham, tapi cintanya terhadap kakaknya ini
kuakui masih kurang.

"...Maaf memotong, bukankah sekarang ini harusnya giliranku?"

Akupun menolehkan kepalaku ke arahnya.

"Huh? O-Ohhh..."

Taishi-kun seperti masuk ke jalan buntu saja, ekspresi wajahnya tampak khawatir. Dia malah
berusaha menarik perhatianku, tapi sayangnya kenalannya di tempat ini hanyalah Komachi, dimana
itu membuat situasinya menjadi sulit baginya. Tidak, jujur saja, posisinya hanyalah kenalan dari
kenalan, jadi dia tidak bisa begitu saja ikut dalam obrolan kami. Belum lagi fakta kalau dia sedang
dikelilingi orang-orang yang lebih tua darinya. Dia seperti terkepung. Jauh dari kata sedang
menunggu giliran untuk memperkenalkan diri, mungkin lebih tepat kalau dia menunggu orang-orang
ini untuk bertanya apa masalahnya. Seperti, "Napa lu diem aja?" atau sejenis itu. Kalau aku berada
dalam posisinya, aku serasa ingin mati saja. Satu-satunya opsi baginya adalah mengangguk saja
mendengar obrolan kami dan sesekali tertawa atau tersenyum dengan ekspresi yang dibuat-buat.

Meski tahu dalam posisi seperti itu, Taishi yang tampak berkeinginan kuat untuk membicarakan
masalahnya memang menunjukkan skill komunikasi yang luar biasa. Mungkin kau bisa menyebutnya
sebagai anak laki-laki yang memiliki prospek bagus.

Tapi jangan pikir aku akan membiarkan dia menyentuh Komachi begitu saja.
"Maaf memotong, saya Kawasaki Taishi. Nee-chanku juga kelas 2 di SMA Sobu...Oh, dan namanya
adalah Kawasaki Saki. Nee-chan saat ini...Bagaimana ya? Dia sering pulang larut malam, seperti
berubah menjadi nakal? Atau dia berubah menjadi jahat...?"

Sepertinya aku pernah mendengar nama itu belakangan ini. Sambil mengaduk susu di blend
coffee milikku, tiba-tiba muncul sesuatu di kepalaku. Sesuatu yang kontras antara hitam dan putih
muncul di kepalaku.

...Oh, benar! Gadis berenda hitam!

"Maksudmu Kawasaki Saki yang ada di kelasku?"

"Kawasaki Saki-san..." Yukinoshita mengatakan nama itu sambil memiringkan kepalanya, dimana
itu seperti memberitahu kalau dia hanya tahu sedikit soal Kawasaki.

Tapi Yuigahama, yang sekelas dengan Kawasaki, menepuk kedua tangannya seperti mengenalnya
dengan baik, seperti yang kau harapkan darinya.

"Oooh, Kawasaki-san, benar tidak? Dia memang terlihat agak menakutkan, memang terlihat nakal."

"Kau bukan temannya?" tanyaku.

"Kami pernah berbicara. Kupikir, kami tidak bisa dikatakan berteman...Hei, itu bukanlah sebuah
pertanyaan yang pantas untuk ditanyakan ke seorang gadis. Itu membuatku berada di posisi yang sulit
untuk menjawabnya!" kata Yuigahama.

Bahkan diantara para gadis, akan ada grup-grup, pertemanan-pertemanan, kelompok, guilds dan
entah apa kau sebut itu. Ngomong-ngomong, dari caranya berbicara, tampaknya grup Yuigahama
sendiri tidak punya sesuatu yang buruk dengan Kawasaki.

"Tapi aku sendiri tidak pernah melihat Kawasaki-san akrab dengan siapapun..." Totsuka seperti
berusaha mengingat-ingat. Lalu dia menambahkann.

"Aku sendiri sering melihatnya seperti terus-terusan menatap ke arah luar jendela."

"...Oh, ya itu saja yang kutahu tentangnya di kelas." begitulah yang kuingat dari Kawasaki Saki
ketika berada di kelas.

Dia adalah gadis penyendiri, dimana matanya yang berwarna abu-abu terus menatap ke arah awan-
awan yang bergerak di luar sana. Kalau dipikir-pikir, dia bahkan tidak melihat apapun di kelas, dia
hanya masuk ke kelas dan duduk di kursinya, begitu hingga pulang sekolah.

"Jadi, sejak kapan kakakmu itu menjadi nakal?" tanya Yukinoshita ke Taishi.

Taishi tiba-tiba langsung gugup.

"Si-Siap Bu!"

Mungkin orang luar melihat dia itu menjadi gugup karena Yukinoshita terlihat menakutkan, tapi
kurasa dia gugup karena ada seorang gadis cantik yang lebih tua sedang berbicara dengannya. Itu
adalah sikap dari seorang anak laki-laki yang duduk di bangku SMP. Jika aku yang masih SMP ada di
posisinya, aku mungkin akan bersikap seperti itu. Tapi ketika kau seangkatan dengannya, maka kau
akan menyadari kalau gadis ini memang menakutkan.

"Err, uh...Mungkin lebih tepatnya terjadi waktu dia di SMA Sobu. Waktu SMP dulu, dia adalah
siswi yang rajin. Dulu dia terlihat ramah dan bahkan sering membuat makan malam atau sejenisnya.
Waktu kelas 1 SMA, dia tidak berubah banyak...Tapi dia berubah belakangan ini."

"Jadi tepatnya dia berubah ketika masuk kelas 2 SMA?" tanyaku, dimana Taishi mengangguk untuk
menjawab pertanyaanku tadi.

Mendengar hal itu, Yukinoshita lalu berpikir.

"Coba kita pikir dari sudut itu. Apa yang kira-kira berubah ketika menginjak kelas 2 SMA? Apa ada
yang tahu?"

"Kurasa jawabannya adalah sesuatu yang umum, bukankah semua siswa akan berganti kelas ketika
naik kelas 2? Sederhananya, dia mulai berubah ketika masuk kelas 2F."

"Dengan kata lain, dia berubah setelah sekelas dengan Hikigaya-kun."

"Sial, kenapa kau mengatakan itu seolah-olah akulah penyebabnya? Memangnya aku ini apa, virus?"
protesku.

"Aku tidak mengatakan itu. Kau ini seperti memiliki perasaan selalu menjadi korban atas segalanya,
Hikibakteri."

"Kau baru saja mengatakan itu. Kau jelas-jelas mengatakan bakteri!"

"Oh, berarti aku barusan hanya salah bicara."

Tidak, serius ini, hentikan itu.

Ini membuatku mengingat kembali sebuah memori kelam dimana aku diperlakukan seperti punya
bakteri menular. Siswa-siswa SD itu memang sangat kejam. Mereka mulai memanggilku, "Dia
bakteri-Hiki!", "Awas tertular!", "Cepat bersihkan dirimu!" ketika menyentuhku. Kata mereka,
"Membersihkan dirimu tidak akan efektif melawan bakteri-Hiki!".

Memangnya, Bakteri Hiki itu sekuat apa sih?

Yuigahama lalu melihat Taishi-kun.

"Tadi kau bilang dia pulang larut malam, memangnya dia biasa pulang jam berapa? Aku sendiri
sering pulang larut malam karena ada urusan. Kurasa normal-normal saja ada siswi SMA pulang
malam, benar tidak?"

"Oh, huh, soal itu..." Taishi-kun memalingkan pandangannya, terlihat malu-malu.

Oh begini ya.

Dia terlihat malu-malu karena ada gadis super sexy yang lebih tua darinya sedang berbicara
dengannya. Itu adalah reaksi wajar bagi anak SMP. Tapi ketika kau seangkatan dengannya, kau akan
sadar kalau gadis itu seperti pelacur.

"Tapi pulang ke rumah jam 5 kurasa terlalu larut malam," dia melanjutkan.

"Itu lebih tepatnya dikatakan pulang pagi..." dan dia akan telat juga. Dia hanya punya waktu tidur
kurang lebih 2 jam.

"Apa kedua orangtuamu tidak menasehatinya ketika dia pulang pagi?" tanya Totsuka dengan
khawatir.

"Tidak. Kedua orangtua kami bekerja, dan kami punya adik yang masih TK, jadi mereka tidak bisa
memarahi dan berteriak ke Nee-chan. Lagipula, jam segitu mereka tidak bertemu dengannya...Well,
kurasa punya banyak anak artinya kau punya banyak beban di keluargamu," kata Taishi,
menjawabnya dengan tubuh yang bergetar.

Hmph, seorang siswa SMP sudah menyadari pesona Totsuka seperti apa. Ketika kau seangkatan
dengannya, kau akan menyadari kalau Totsuka itu memang aslinya manis.

"Kadang kami pernah bertengkar, dan ketika aku mengatakan sesuatu, dia sangat keras kepala dan
berkata 'ini bukan urusanmu'..." bahu Taishi terlihat turun. Dia seperti terguncang hebat.

"Masalah keluarga, huh...Semua keluarga memiliki itu." kata Yukinoshita.

Ekspresi wajahnya terlihat melankolis ketika mengatakan itu, aku tidak pernah melihat ekspresinya
yang seperti itu. Dia seperti Taishi, yang sedang menceritakan masalah keluarganya. Maksudku, dia
seperti hendak menangis saja.

"Yukinoshita..."

Tapi setelah aku memanggilnya, awan hitam di atasnya mulai menghilang dan mulai disinari oleh
matahari. Karena itu, aku tidak bisa membaca apa yang terjadi dengannya karena ekspresinya dengan
cepat berubah. Lalu, dia terlihat membetulkan posisi duduknya dan mengembuskan napasnya.

"Kau mengatakan sesuatu?" tanya Yukinoshita sambil menatapku.

Ekspresinya saat ini tidak berbeda dari biasanya dingin dan kejam.

Awan hitam tadi hanya menyelimutinya untuk sesaat. Aku sendiri tidak tahu mengapa dia
mengembuskan napasnya seperti itu.

Satu-satunya orang yang menyadari perubahan Yukinoshita itu hanyalah diriku. Taishi dan yang
lainnya terlihat sedang mengobrolkan sesuatu seperti tidak terjadi apapun dengan Yukinoshita.

"Itu belum berakhir...Nee-chan juga sering ditelpon oleh orang yang mengaku berasal dari tempat-
tempat aneh."

Mendengarkan penjelasan Taishi, sebuah tanda tanya besar muncul di kepala Yuigahama.

"Tempat-tempat aneh?"

"Mmm. Mereka bilang berasal dari Angel atau sejenisnya, mungkin semacam restoran atau toko...Si
penelpon mengaku manajer tempat itu."

"Memangnya apa yang aneh?" tanya Totsuka.

Taishi lalu mengepalkan tangannya di atas meja.

"Maksudku, coba pikir! Angel?! Itu pasti nama tempat yang mencurigakan!"

"Huh, aku sendiri tidak merasa nama itu melambangkan tempat yang mencurigakan..." kata
Yuigahama seperti ragu akan sesuatu.

Tapi, aku sendiri memang mengakui kalau itu mencurigakan.

Begini, ini adalah intuisi siswa SMP milikku yang mesum. Coba bayangkan nama "Angel", maka
yang terpikirkan olehku adalah sebuah kafe mesum di daerah 'lampu merah Tokyo' alias daerah yang
terkenal dengan prostitusi. Tahu maksudku? Level mesumku baru saja naik sekitar 50%!

Tanpa ragu, itu adalah sebuah tempat yang patut dicurigai.

Bocah tengik ini ternyata sadar juga, seperti yang kau harapkan.

"Oke, kau tenanglah dulu, Taishi. Aku paham semua maksudmu itu." kataku.

Dia tampak lega karena ada yang paham, Taishi lalu seperti hendak menangis saja dan memelukku
dengan senang.

"O-Onii-san!"

"Hahaha, apa kau baru saja memanggilku Onii-san? Apa kau hendak cari mati?"

Ketika kedua anak laki-laki ini sedang menyatukan jiwanya atas nama Dewa Eros, para gadis sedang
memutuskan rencana ke depannya.

"Kalau begitu, jika dia bekerja di suatu tempat, maka kita harus punya rencana yang bagus. Bahkan
jika ternyata itu bukan tempat berbahaya seperti yang pria idiot ini percayai, fakta kalau dia bekerja
hingga subuh memang merupakan sebuah masalah. Kita harus menemukan kemana dia pergi dan
menghentikannya." kata Yukinoshita.

"Yeah, tapi jika kita berhasil menghentikannya, dia mungkin akan bekerja di tempat lainnya." kata
Yuigahama.

Komachi lalu mengangguk setuju.

"Keluar dari panci pemanggangan dan tercebur ke air."

"...Maksudmu dilempar ke bara api?" kata Yukinoshita.

Ya ampun adikku ini. Tolong ya, tolong jangan permalukan nama keluarga Hikigaya. Begini, kau ini
baru saja mempermalukan dirimu di depan Yukinoshita.

"Dengan kata lain, satu-satunya opsi kita adalah mengatasi sikapnya itu dan menghilangkan akar
masalahnya." Yukinoshita menyimpulkan itu dan di saat yang bersamaan aku berhasil menjauhkan
Taishi dariku.

"Hei, tunggu dulu. Apa kau berencana membuat kita melakukan sesuatu?"

"Tentu saja. Kawasaki Taishi-kun adalah adik dari Kawasaki Saki-san, siswi sekolah kita. Apa yang
terjadi dengannya mengkhawatirkan adiknya. Kurasa ini bisa dimasukkan sebagai request ke Klub
Relawan."

"Yeah, tapi bukankah kita sepakat kalau aktivitas Klub diliburkan sampai ujian selesai?"

"Onii-chan." Seseorang menepuk-nepuk punggungku.

Ketika kulihat, Komachi terlihat sedang tersenyum kepadaku.

Itu adalah senyum khas Komachi ketika dia memintaku untuk melakukan sesuatu untuknya. Dulu,
ketika Komachi ingin memiliki hadiah Natal milikku, dia memasang ekspresi yang serupa. Kenapa
sih Sinterklas memberiku kartu-kartu Love and Berry? Mustahil aku bisa menang melawan Komachi,
dimana dia punya kartu terkuat di dunia ini, simpati dari orangtua kami. Sial, lagipula...dia memang
manis...

"Ya sudah...Akan kulakukan..." kataku.

Taishi membungkuk dan merasa lega, seperti sebuah mesin yang menyala dan siap bekerja.

"Te-Terima kasih! Maaf sudah menyita waktumu! Aku berjanji akan membantumu sekuat tenaga!"
Taishi mengatakan itu dengan antusias.

x Chapter IV Part 3 | END x


Chapter 4 : Karena Alasan Tertentu, Kawasaki Saki Keluar Dari Jalannya -4

xxx

Esok harinya, "Program Rehabilitasi Kawasaki Saki" secara resmi dimulai.

Sepulang sekolah, aku pergi ke ruangan Klub dimana Yukinoshita sejak dari tadi sudah menunggu
kehadiranku.

"Karena sudah lengkap, mari kita mulai saja."

Yuigahama dan diriku mengangguk ketika mendengar itu. Oh, dan entah mengapa, Totsuka ada
disini juga.

"Totsuka, kau tidak harus memaksakan dirimu untuk terlibat dalam masalah ini."

Maksudku begini, aku tidak tega melihatnya berada dalam tirani Yukinoshita. Aku yakin dia hadir
disini karena sudah mendapat tatapan kematian dari Yukinoshita.

Tapi Totsuka hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan tersenyum.

"Bukan begitu, kurasa tidak masalah. Aku mendengar masalahnya juga kemarin. Lagipula, aku juga
tertarik dengan apa yang klub ini lakukan, Hachiman...Aku juga mau jalan bersama kalian jika tidak
merasa mengganggu."

"Be-Begitu ya...Kalau begitu tolong jalan denganku."

Aku mengatakan "tolong jalan denganku" secara spontan, seperti sebuah bagian kecil dari tebaran
pesonaku. Begini, apalagi yang bisa kau lakukan ketika dia menatapmu dengan tatapan mata memelas
dan sambil meremas-remas lengan seragam olahraganya, lalu tiba-tiba dia bilang ingin
'jalan' denganmu? Aku hanya merespon selayaknya seorang pria sejati! ...Oh tunggu dulu, Totsuka ini
laki-laki. Sialan!

Karena ada himbauan untuk meliburkan aktivitas Klub sampai ujian berakhir, halaman sekolah
terasa sepi ketika jam pulang sekolah. Selain kami yang ada disini, banyak juga siswa yang sedang
belajar sendiri di dalam sekolah, begitu juga tipe-tipe seperti Kawasaki Saki yang diceramahi di ruang
guru karena terlambat masuk sekolah.

Ngomong-ngomong, kau akan dipanggil menghadap di ruang guru jika datang terlambat ke sekolah
lebih dari lima kali dalam sebulan.

Hiratsuka-sensei mungkin sedang menceramahi Kawasaki Saki dan memberikannya berbagai


nasehat ketika kita sedang 'rapat strategi' disini.
"Aku memikirkan ini tadi, dan aku pikir yang terbaik adalah Kawasaki-san harus menyelesaikan
masalah ini dengan kemauannya sendiri. Akan ada resiko lain jika kita yang memaksanya untuk
menyelesaikan masalahnya. Jika dia melakukannya atas keinginan sendiri, maka dia dipastikan tidak
akan mengulanginya lagi." kata Yukinoshita.

"Itu sangat masuk akal." akupun setuju.

Kurasa ini tidak sebatas ke masalah 'kenakalan' saja. Tapi jika ada orang lain yang memberikan
komentar terhadap aksimu, maka itu akan terasa menyebalkan. Misalnya saja, jika ada orang yang
dekat denganmu dan berusaha untuk memberitahu dirimu tentang apa yang harus kau lakukan, kau
akan kesal ke mereka. Contoh paling mudah adalah ketika Ibumu mengatakan sesuatu kepadamu
ketika ujian sudah dekat: "Kenapa kau tidak angkat saja pantat besarmu itu ke kamarmu dan mulai
belajar sekarang?". Lalu, kau meresponnya dengan, "Au' dah! Padahal aku barusan memang mau
belajar! Ah, jadi makin malas saja".

"Oke, jadi apa yang akan kita lakukan?" tanyaku.

"Apakah kau pernah dengar tentang Terapi Hewan?"

Terapi Hewan, sederhananya, adalah terapi kejiwaan yang melibatkan interaksi dengan hewan-
hewan peliharaan untuk mengurangi level stress seseorang dan menarik keluar sisi positif orang itu.
Sambil Yukinoshita menjelaskan apa maksudnya, aku bisa melihat Yuigahama mengangguk-
anggukkan kepalanya. Menurutku, ini tidak ada salahnya untuk dicoba. Menurut informasi Taishi,
Kawasaki dulunya adalah gadis yang ramah. Mungkin ini bisa dicoba untuk menarik keluar sifat
positifnya itu.

Sayangnya, ada satu masalah.

"Siapa yang menyediakan hewannya?" tanyaku.

"Soal itu...Apa disini ada yang punya kucing?" tanya Yukinoshita.

Totsuka terlihat murung ketika mendengar itu. Aww, bolekah aku pelihara dia? Dia manis sekali.
Dia memang efektif untuk terapiku!

"Soal itu, bagaimana kalau anjing? Aku punya anjing." kata Yuigahama.

"Lebih baik kalau ada kucing," Yukinoshita memaksa.

"Aku tidak paham apa bedanya memakai kucing atau anjing...Serius ini, memangnya ada
perbedaannya antara yang memakai kucing dengan yang memakai anjing?"tanyaku.

"Sebenarnya tidak ada. Hanya saja, kita tidak bisa memakai anjing kali ini." Yukinoshita lalu
berusaha menghindari tatapan mataku.

"Apa kau ini tidak suka anjing?"

"Aku tidak pernah mengatakan begitu. Tolong jangan menarik kesimpulan terlalu dini," Yukinoshita
mencoba klarifikasi.

Tapi Yuigahama-lah yang langsung mengambil kesimpulan.


"Mustahil, Yukinon. Apa kau sebenarnya membenci anjing? Kenapa bisa begitu?! Apa kau tidak
suka hewan-hewan yang imut?!"

"...Kau merasa begitu karena kau menyukai anjing, Yuigahama-san." Tiba-tiba, nada suara dari
Yukinoshita terdengar datar.

Apa dia pernah punya semacam trauma yang disebabkan oleh anjing atau sejenisnya? Apa dia
pernah digigit anjing? Meh, jika dia tidak suka, kurasa aku tidak perlu terus mempermasalahkannya.
Untuk saat ini, aku sangat senang karena tahu salah satu kelemahan Yukinoshita.

"Aku punya kucing. Apa itu bisa dipakai?" kataku.

"Ya."

Dengan persetujuan Yukinoshita, aku menelpon Komachi. Aku bisa mendengar suara musik yang
aneh dalam nada tunggunya. Ada apa dengan musik yang aneh ini? Kenapa gadis ini nada tunggunya
berupa musik?

["Yaaaaaaaaa, disini Komachi!"]

"Oh, Komachi. Apa kau saat ini ada di rumah?"

["Yep. Memangnya ada apa?"]

"Soal kucing di rumah. Maaf, bisa tidak kau bawa kucingnya ke sekolahku?"

["Huh? Kenapa? Ka-kun ini berat loh, ogah ah."]

Ka-kun adalah nama kucing keluarga kami. Dia biasa dipanggil Kamakura, tapi karena nama itu
terlalu panjang untuk dipanggil, jadi kami menyingkatnya begitu. Nama itu diberikan karena bentuk
tubuhnya yang bulat seperti rumah kuil yang bulat, Kamakura.

"Err, begini, Yukinoshita memintaku untuk membawanya kesini."

["Aku akan mengantarnya kesana sebentar lagi."]

Tiba-tiba teleponnya ditutup sepihak oleh Komachi.

...Huh? Kenapa sikapnya tiba-tiba berubah setelah kubilang kalau itu diminta Yukinoshita? Tapi
mengapa dia 'ogah-ogahan' ketika aku yang minta?!

Kututup teleponku, merasa puas karena dia akan datang. Sekolahku ini terkenal di daerah sini, jadi
dia kemungkinan besar tidak akan tersesat.

"Katanya, dia akan kesini sebentar lagi. Apa lebih baik jika kita menunggunya diluar?"

Kami menunggu di gerbang depan sekolah selama 20 menit. Tidak lama kemudian, Komachi
muncul dengan membawa kotak berisi hewan peliharaan di tangannya.

"Maaf sudah membuatmu datang kesini," kata Yukinoshita.


"Ah tidak apa-apa, aku sangat senang melakukan ini untukmu, Yukino-san,"

Komachi menjawabnya dengan tersenyum sambil membuka kotak tersebut.

Kamakura ada di dalamnya. Dia menatapku dengan ketus seperti mengatakan "Huh? Apa yang lo
liat, bocah?". Dia ini tidak mau sedikit saja bersikap manis.

"Aww, dia ini manis sekali!" Totsuka mengeluarkannya dari kotaknya dan membelainya.

Tubuh Kamakura bergerak-gerak seperti hendak mengatakan "Hei, hei, tenang dulu! Tunggu
sebentar! Jangan perutku! Mana saja asal jangan disana!" Dia seperti mengharapkan ampunan dari
Totsuka.

"Jadi, apa rencanamu dengan ini?" aku memegang Kamakura dengan memegangi belakang lehernya
setelah Totsuka memberikannya kepadaku.

Sebenarnya, ini adalah cara yang salah untuk memegang kucing. Yang benar adalah
menggendongnya di lengan.

"Taruh dia di sebuah kardus terbuka, dan biarkan Kawasaki-san lewat di depannya. Aku yakin
Kawasaki-san akan memungutnya jika hatinya benar-benar tergerak."

"Dia bukanlah pimpinan geng cewek-cewek nakal yang populer di masa lalu." Jika dia berpikir kalau
orang yang nakal menyukai kucing, maka dia akan punya masalah lain. Pola pikirnya kolot sekali.

Tapi, kita sendiri memang tidak mengenak baik Kawasaki, jadi tidak ada jaminan kalau metode ini
akan gagal seratus persen.

"Ya sudah, aku akan cari dulu kardusnya."

Setelah mengatakan itu, aku berniat menitipkan kucingku ini ke Yuigahama yang ada di sebelahku.
Tapi tiba-tiba dia berusaha menjaga jarak denganku.

...Tolong pegangi dulu. Kupanggil namanya lagi dan mencoba memberikan Kamakura kepadanya.
Sekali lagi, Yuigahama mencoba menghindarinya.

"Apa-apaan..."

"Oh. Err, uhh, tidak ada apa-apa!" Yuigahama mengatakan itu sambil menjulurkan tangannya
dengan gugup.

Kamakura lalu menatap kedua tangan Yuigahama dan mengeong. Seketika, Yuigahama langsung
memundurkan kedua tangannya.

"Apa kamu...Tidak terbiasa dengan kucing?"

"H-Huh?! Te-Tentu aku baik-baik saja dengan kucing! Malahan, aku sangat menyukai mereka! Ma-
Maksudku, a-ayo kesini kucing kecil. Meow...Meow." Suaranya tampak gugup. Dia harusnya tidak
punya alasan untuk takut.
"Komachi, pegang ini dulu." Kuberikan Kamakura ke Komachi.

Setelah itu, Kamakura terlihat bersemangat seperti dalam suasana hati yang baik.

Kucing kampret, bahkan kucing juga membenciku.

"Kalau begitu, aku pergi dulu mencari kardus."

Mungkin ada beberapa kardus di ruang guru atau ruang administrasi sekolah. Kucing biasanya punya
kotak yang mereka sukai, dan kotak yang mereka benci, tapi kucing kami ini tidak
mempermasalahkan kotak apapun. Oh, kucing kami ini juga menyukai plastik, dan dia sering
menggigit plastik yang membungkus buku komikku. Aku bahkan mulai berpikir apakah rasanya enak
atau tidak.

Kalau dipikir-pikir, dimana aku bisa mendapatkan kantong plastik di sekolah ini? Aku berjalan ke
arah gedung sekolah sambil memikirkan cara agar kucingku betah ada di kardus itu, tiba-tiba
Yuigahama menyusulku.

"Umm, tahu tidak. Aku sebenarnya tidak membenci kucing."

"Hmm? Sebenarnya aku tidak peduli soal itu. Yukinoshita tampaknya juga tidak suka anjing. Sedang
aku sendiri tidak suka dengan serangga."

Lebih tepatnya, aku tidak suka manusia.

"Bukan, maksudku itu aku benar-benar tidak membenci kucing. Kupikir mereka imut."

"Jadi kenapa? Apa kau punya alergi kucing atau sejenis itu?"

"Bukan begitu...Tahu tidak, dulu kucing peliharaanku kabur dariku. Jadi aku sangat sedih ketika
membayangkan itu lagi."

Yuigahama lalu berbicara dengan terbata-bata, berbeda dengan ekspresi ceria miliknya yang biasa
dia perlihatkan. Kedua matanya seperti dipenuhi emosi yang mendalam. Langkah kakinya terlihat
melambat, dan secara otomatis langkahku juga melambat.

"Aku kan tinggal di kompleks kondominium. Warga disana biasa memelihara kucing secara diam-
diam di apartemennya."

"Aku baru tahu itu..."

"Begitulah kehidupan anak-anak yang besar di apartemen! Kau tidak bisa memelihara hewan di
apartemen, tahu tidak? Jadi aku memelihara diam-diam seekor kucing jalanan tanpa memberitahu
orangtuaku. Tapi suatu hari, dia kabur..." Yuigahama tiba-tiba terdiam.

Itu artinya, dia sangat buruk dalam merawat kucing.

Yuigahama lalu tertawa seperti sesuatu yang dipaksakan. Kira-kira apa yang dirasakan oleh
Yuigahama yang masih kecil itu dulunya? Mungkin dia pikir kalau kucing itu sangat manis dan
mereka terlihat akrab, jadi dia seperti tidak percaya begitu saja kalau kucing tersebut memilih untuk
meninggalkannya. Dia pasti merasa seperti dikhianati.
Tapi Yuigahama yang sekarang harusnya tahu apa alasan kucing itu kabur darinya. Aku pernah baca
kalau kucing akan meninggalkan pemiliknya ketika hendak meninggal. Jika dia sudah tahu, kira-kira
apa yang dipikirkan oleh Yuigahama tentang perpisahannya itu? Mungkin dia masih merasakan
penyesalan yang mendalam.

Tapi itu hanya spekulasi dariku saja. Kebenarannya mungkin saja berbeda dari itu. Meski begitu,
kupikir emosi yang ditunjukkannya barusan benar-benar tulus.

Tanpa mengatakan apapun, kami membawa kardus itu bersama-sama. Sebenarnya, kardus itu tidak
seberat yang kau bayangkan.

x Chapter IV Part 4 | END x

Chapter 4 : Karena Alasan Tertentu, Kawasaki Saki Keluar Dari Jalannya -5

xxx

Ketika kami menaruh Kamakura ke kardus, dia berusaha menyentuh kardus itu terlebih dahulu
dengan cakarnya. Ketika dia sudah menyentuh kardus itu tiga kali, dia lalu duduk dengan santai di
dalam kardus tersebut seperti mengatakan, "Heh...Kurasa ini lumayan."

Sekarang, tinggal menunggu kedatangan Kawasaki Saki. Masalahnya adalah, kita tidak tahu kapan
dia akan muncul. Durasi 'ceramah' yang diberikan Hiratsuka-sensei tergantung oleh suasana hatinya.

"Mari kita bagi tugas," Yukinoshita berinisiatif untuk memimpin.


Dia memberikan tugas kepada Totsuka untuk mengintai pintu ruang guru. Sementara itu, Yuigahama
ditugaskan untuk mengawasi area tempat parkir sepeda. Komachi berpatroli. Dan aku ditugaskan
untuk membawa kardus tersebut ke lokasi dimana Kawasaki muncul nantinya.

Kalau dipikir-pikir, mereka semua punya tugas yang jelas, tapi pekerjaanku ini tidak ada gunanya
sampai Kawasaki Saki muncul. Tiba-tiba, aku merasa haus. Kutinggalkan sebentar kardus tersebut
dan pergi membeli minuman Sportop di Mesin Penjual Minuman terdekat. Setelah menaruh sedotan
di botol tersebut dan meminumnya sebentar, aku kembali ke lokasi.

"Meow." Aku bisa mendengar suara Kamakura yang familiar.

"Meow." Aku mendengar suara dari seorang gadis yang tidak kukenal sedang menirukan suara
kucing.

Kulihat sekitarku, tapi tidak ada gadis lain selain Yukinoshita dan kardus di dekatnya. Jadi,
kuputuskan untuk memanggilnya.

"...Apa yang kau lakukan?" tanyaku.

"Apa maksudmu?" Yukinoshita menjawabnya seolah-olah tidak terjadi sesuatu.

"Bukan, maksudku apa kau baru saja berbicara kepada kucing?"

"Bukankah ada yang lebih penting? Kalau aku tidak salah, kau kutugaskan untuk siap sedia
membawa kucing ini, tapi tampaknya 'menuruti instruksi' bukanlah sifatmu. Aku memang tahu kalau
kau ini tidak memiliki kompetensi untuk itu, tapi jujur saja, ini sudah diluar ekspektasiku. Mungkin
aku harusnya memberikan instruksi yang cukup mudah untuk dipahami anak SD yang bodoh."

Yukinoshita kali ini terlihat 50% lebih dingin dari biasanya dan nadanya jauh lebih kasar. Kedua
matanya seperti memberitahuku kalau aku akan tewas jika aku berani mengatakan sepatah kata lagi.

"O-Oke. Aku akan bersiap-siap disini..."

Ketika aku duduk di bangku dekat kardus itu, HP-ku bergetar. Ternyata dari nomor yang tidak
dikenal. Kalau dilihat dari momen berbunyinya, aku hanya bisa menduga kalau ini panggilan dari
Yuigahama, bisa juga Komachi, atau juga Totsuka.
atau mungkin juga Yukinoshita.

Tapi nomor Yuigahama dan Komachi terdaftar di HP-ku, dan mustahil Yukinoshita menelponku
karena kami baru saja berpisah.

...Jadi ini panggilan telepon dari Totsuka?!

"H-Halo?!"

["Oh, apa ini Onii-san? Aku mendapatkan nomormu dari Hikigaya-san."]

"Maaf ya, aku tidak punya saudara laki-laki ataupun saudara ipar."

Aku langsung menutup panggilan telepon itu, tapi tiba-tiba HP-ku bergetar lagi. Meski tanpa melihat
wajahnya secara langsung, aku langsung tahu kalau dia ini sedang bersikeras untuk berbicara
denganku, jadi aku menyerah saja.

["Hei, kenapa ditutup?!"]

"Apa sih maumu?"

["Aku baru saja diberitahu soal rencana kalian dengan kucing. Masalahnya, Nee-chan punya alergi
terhadap kucing."]

Aku hanya bisa terdiam ketika mendengar itu.

Rencana ini kacau balau.

"Kenapa kau tidak beritahu dari tadi?"

["Maaf, soalnya aku baru saja tahu."]

"Ya ampun, oke, oke, ya sudah. Terima kasih sudah memberitahu kami. Sampai jumpa."
Kututup teleponnya dan bergegas menuju tempat Yukinoshita.

Yukinoshita sendiri sedang duduk jongkok di depan Kamakura. Dia sedang mengelus-elus leher
Kamakura. Sedang Kamakura sendiri, meresponnya dengan menggulungkan badannya.

"Yukinoshita," aku memanggilnya.

Yukinoshita lalu menghentikan kegiatannya itu dan tiba-tiba menatapku dengan tatapan, "Ada apa
sih kali ini?" yang tertulis di wajahnya. Caranya menatapku, mirip dengan sikapnya terhadapku
sesudah aku membeli minuman.

"Aku ditelpon Taishi dan ternyata Kawasaki punya alergi terhadap kucing. Jadi bisa dipastikan kalau
dia tidak akan memungut kucing ini meski kita meninggalkannya disini."

"...Huh. Sayang sekali kita sudah berusaha sampai sejauh ini,"

Yukinoshita mengatakan itu sambil mengelus-elus kepala Kamakura dan mengucapkan selamat
tinggal kepadanya. "Meow."
Ketika aku hendak memberitahu yang lain kalau rencana ini batal, Yuigahama, Totsuka, dan
Komachi kembali ke tempat kami.

"Onii-chan, apa kau sudah diberitahu oleh Kawasaki-kun?" tanya Komachi.

"Err, yeah. Tolong jangan memberi nomor HP-mu begitu saja ke orang asing. Bagaimana jika terjadi
sesuatu yang berbahaya? Hati-hatilah dalam memberi data pribadi ke orang lain." kataku.

"Data pribadi Hikigaya-kun sendiri bukanlah sesuatu yang penting," Yukinoshita mencoba
mencandaiku, tapi kata-katanya itu bisa dikatakan separuh becanda.

"Aku mengatakan itu bukan untuk diriku, tapi untuk Komachi. Dengar tidak, Komachi? Jangan kau
berikan nomormu itu dengan mudah, oke? Terutama ke anak laki-laki!"

"Ogah ah, memangnya Onii-chan pengasuhku?" Komachi malah menganggap nasehatku ini seperti
bahan candaan saja.

Well, adikku ini memang orang yang memiliki tipe "jika tidak dijelaskan detail, maka aku tidak
mau". Tapi meski sudah kujelaskan baik-baik, dia malah merasa lebih tahu dariku.

Atau lebih tepatnya, akulah yang harusnya belajar banyak darinya.

Karena "Operasi Terapi Hewan" dianggap gagal, kita harus punya rencana lain. Karena aku sendiri
sedang tidak punya ide, aku melihat ke arah Yukinoshita. Ketika kulakukan itu, dia malah melihat ke
arah Komachi dan diriku, lalu dia mendesah.

"...Kalian berdua merupakan saudara yang akrab. Entah mengapa aku merasa iri dengan itu."
Yukinoshita mengatakan itu dengan ragu-ragu.

"Huh? Oh, yeah, akupun sebagai anak tunggal juga sering merasakan hal yang seperti itu. Kurasa itu
bukan masalah besar."

"Bukan, aku..." Yukinoshita terlihat ragu untuk melanjutkan, dimana ini adalah kejadian yang sangat
langka untuk melihatnya begitu.

Biasanya, dia mengatakan apapun yang ada di pikirannya, bahkan jika itu menyakiti orang lain.

"Lupakan saja tadi." kata Yukinoshita.

Apa dia baru saja memakan sesuatu yang buruk? Misalnya kue buatan Yuigahama atau sejenisnya?

"Sekarang, apa yang akan kita lakukan? Kita harus memikirkan sesuatu."

"Er, uh..." Totsuka menaikkan tangannya dengan ragu-ragu.

Dia melihat ke arah Yukinoshita dan Yuigahama dengan ekspresi yang ragu, dia seperti ingin
menyumbangkan sesuatu tapi dia sendiri tidak yakin.

Katakan saja, pikirku. Bahkan jika tidak ada seorangpun yang bersedia menerimanya, aku akan
menerimanya! Misalnya, aku akan menerima cintanya dengan sepenuh hati!
"Silakan katakan. Aku tidak keberatan jika kau punya ide. Itu akan sangat membantu." kata
Yukinoshita.

"Oh, baiklah...Jadi begini, bagaimana jika kalian meminta bantuan Hiratsuka-sensei soal ini?
Kupikir dia tidak mau menceritakan masalahnya ke orangtua di rumah karena mereka adalah sosok
yang dekat baginya dan dia tidak ingin merepotkan mereka. Bisa saja dia mau menceritakan
masalahnya kepada orang luar yang dianggap dewasa untuk membahas itu, misalnya Hiratsuka-
sensei, benar tidak?"

Oh, ide yang bagus. Memang, Kawasaki mungkin tidak bisa menceritakan itu ke orangtuanya karena
mereka adalah Ayah dan Ibunya. Misalnya, aku pasti tidak berminat untuk membahas soal seks dan
asmara ke orangtuaku. Juga, aku tidak mau melapor kepada orangtuaku jika ada yang mencorat-coret
mejaku di sekolah, atau loker sepatuku sengaja diisi berbagai sampah oleh orang jahil, atau juga aku
menerima surat cinta dimana ternyata akhirnya diketahui kalau itu hanyalah ulah siswa-siswa yang
iseng di kelasku.

Oleh karena itulah, dibutuhkan campur tangan orang ketiga. Seseorang yang bisa diandalkan dan
memiliki banyak sekali pengalaman hidup mungkin bisa memberikan banyak bantuan dalam kasus
ini.

"Tapi...Hiratsuka-sensei katamu..." ada sebuah kekhawatiran disana.

Serius, kau mengkategorikan orang yang menyedihkan seperti itu sebagai orang dewasa? Satu-
satunya hal yang dewasa tentang dirinya hanyalah dadanya.

"Kalau dibandingkan dengan guru-guru lainnya di sekolah ini, Hiratsuka-sensei bisa dibilang guru
yang paling akrab dengan para siswa. Kurasa tidak ada orang lain yang lebih cocok darinya untuk
pekerjaan ini." kata Yukinoshita.

"Oh, ya sudah, kurasa itu ada benarnya."

Seperti kata Yukinoshita tadi, Hiratsuka-sensei memang tampak bekerja dengan keras dalam
membimbing siswa-siswanya. Dia mengarahkan siswa-siswa yang memiliki masalah ke Klub
Relawan, dan dia juga sehari-harinya terlibat dalam konseling siswa. Dia mungkin orang yang kita
butuhkan dalam pekerjaan ini karena dia sangat jeli dalam mengamati orang-orang.

"Kalau begitu, aku akan mencoba memberitahunya." kataku.

Aku memberitahu garis besar masalah Kawasaki di SMS. Nomor Hiratsuka-sensei dimana aku
sendiri tidak ada niatan untuk menghubunginya, ternyata ada gunanya.

"Sudah dibalas oleh Sensei. Kukatakan kepadanya kalau kita akan menjelaskan detailnya di dekat
pintu masuk sekolah. Sensei setuju untuk menemui kita disana."

Setelah itu, kami menuju ke pintu masuk sekolah, dan menunggu selama lima menit.

Kami mendengar suara hak sepatu dari langkah kaki yang sedang berjalan ke arah kami,
menandakan kemunculan dari Hiratsuka-sensei.

"Hikigaya, aku paham situasinya. Aku ingin mendengar lebih detail soal ini." Dia mengatakan itu
dengan ekspresi yang serius.

Dia lalu menaruh rokok yang sedari tadi ada di mulutnya ke sebuah asbak portable.

Aku mencoba menjelaskan apa yang kita tahu mengenai Kawasaki Saki, termasuk kesimpulan kita
sampai saat ini. Hiratsuka-sensei mendengarkan dengan cermat hingga selesai, setelah itu, dia
mengembuskan napasnya yang berat.

"Fakta kalau ada siswi sekolah kita yang bekerja paruh waktu hingga lewat tengah malam saja sudah
merupakan masalah yang serius. Kita harus menanganinya dengan cepat sebelum membesar kemana-
mana. Aku akan mengatasi ini."

Hiratsuka-sensei lalu mengepalkan tangannya dengan emosi yang dalam, ini tidak mencerminkan
tampilan seorang guru.

"Apa yang kau lihat? Aku tadi mengijinkan Kawasaki untuk pergi sebelum pergi kesini. Dan
berjalan kesini sendiri sudah memakan waktu 2 menit."

...Ada apa dengan perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba datang kepadaku ini? Sikapnya itu terlihat
dipenuhi dengan emosi.

"Umm, apa Sensei tahu kalau Sensei tidak diperbolehkan untuk melakukan kekerasan ke siswa?"

"Mustahil aku tidak tahu itu...Apa kamu tidak sadar kalau aku cuma melakukan itu kepadamu
seorang?"

"Tidak, bahkan 'kepadamu seorang' barusan tidak terdengar romantis sedikitpun...'

Ketika kita membicarakan ini, tiba-tiba Kawasaki Saki muncul di pintu masuk. Dia berjalan seolah-
olah sedang menyeret kakinya dengan malas dan sesekali menguap karena mengantuk. Dia membawa
tasnya dengan menaruhnya di belakang bahunya seperti tidak peduli dengan apapun. Sikunya sendiri
seperti mengayun kesana-kemari.

"Tunggu dulu, Kawasaki," Hiratsuka-sensei memanggilnya dari belakang.

Mendengar namanya dipanggil, Kawasaki berbalik. Dia lalu menatapnya dengan setengah mata
terbuka. Setelah itu, dia berjalan ke arah Sensei dengan perlahan.

Meski Hiratsuka-sensei tergolong tinggi, tapi dia masih kalah tinggi dengan Kawasaki. Kakinya
yang panjang tesebut bisa menendang kerikil kecil dengan mudahnya.

"...Apa perlu apa dengan saya?" tanya Kawasaki dengan ketus seperti mengatakan "gue tidak peduli
dengan urusan lo!".

Caranya berbicara barusan sangat menakutkan. Dia bahkan tidak termasuk tipe nakal ataupun yankee
"Gue hajar lo!". Dia seperti seorang wanita yang lebih tua dan sedang duduk di pojokan sebuah bar
remang-remang. Seperti sedang merokok dan memegang wisky di pojokan itu.

Di lain pihak, tubuh Hiratsuka-sensei seperti mengirimkan aura menakutkan ke sekitarnya. Level
menakutkannya mirip seorang wanita yang lebih tua ketika meminum sebotol bir sambil memakan
mie atau masakan China di depan Stasiun yang remang-remang, lalu berteriak seperti, "Dia tidak
berguna! Pitcher yang tidak berguna!" ketika mendengarkan siaran baseball.

Jadi ada apa disini? Clash of The Titans?

"Kawasaki, kudengar kau belakangan ini pulang terlambat ke rumah tepatnya pulang subuh-
subuh. Memangnya apa yang sedang kau lakukan dan kau habis darimana?"

"Apa anda tahu itu dari seseorang?"

"Nama informanku tentunya dirahasiakan. Sekarang jawab pertanyaanku tadi!"

Hiratsuka-sensei mengatakan itu seperti "masa bodo!".

Kawasaki mendesah secara perlahan. Dari ekspresinya, dia seperti meremehkan Sensei.

"Tidak ada apa-apa. Memangnya masalah bagi anda untuk mengurusi kemana saya pergi selama ini?
Saya sendiri tidak mengganggu urusan orang lain."

"Memang saat ini tidak, tapi di masa depan bisa jadi. Kau tidak akan selamanya menjadi siswi SMA.
Apa kamu lupa kalau diluar sana ada orang-orang yang mempedulikanmu? Misalnya orangtuamu dan
diriku."

Tapi Kawasaki hanya melihatnya dengan ekspresi yang kurang tertarik.

Seperti kehilangan kesabarannya, Hiratsuka-sensei memegangi lengan Kawasaki.

"Apa kau tidak mempertimbangkan perasaan orang tuamu?" dia mengatakan itu dengan sangat
serius, seperti memberitahunya kalau dia tidak akan melepaskan tangannya.

Sentuhannya mungkin terasa hangat dan penuh perhatian. Mungkin emosi semacam itu bisa
meluluhkan hati Kawasaki.

"Sensei..." Kawasaki mengatakan itu secara perlahan, menyentuh tangan Hiratsuka-sensei dan
melihat langsung ke kedua matanya.

Lalu

"Tidak ada seorangpun yang tahu persis apa yang orangtua saya rasakan. Dan ngomong-ngomong,
mustahil Sensei tahu itu karena Sensei belum pernah menjadi orangtua. Bukankah yang Sensei
katakan tadi harusnya Sensei katakan setelah sensei menikah dan punya anak?"

"Uuuuurk!"

Kawasaki kini membalik keadaan. Hiratsuka-sensei terlihat mulai goyah, seperti petinju yang baru
saja menerima pukulan telak. Dia terlihat menerima damage yang luar biasa. Sepertinya, hal itu tidak
pernah terpikirkan olehnya.

"Sensei, anda harusnya mengkhawatirkan masa depan anda sendiri sebelum mengkhawatirkan masa
depan saya. Seperti menikah dan semacam itu."

Tubuh Hiratsuka-sensei tampak meleleh. Lututnya bergetar hebat. Ternyata damagenya sudah
sampai ke kaki, huh...Efeknya terasa di pinggang, bahu, hingga ke tenggorokannya. Dia seperti
kehilangan kata-kata. Matanya mulai terlihat berkaca-kaca.

Sedang Kawasaki sendiri tampak tidak peduli dan terus berjalan menuju parkir sepeda.

Kami sendiri hanya bisa saling menatap satu sama lain tanpa bisa mengatakan apapun. Yuigahama
dan Komachi hanya bisa menatap ke arah lantai, sementara Totsuka menggumamkan "kasihan
Sensei...".

Lalu Yukinoshita bersembunyi di belakangku, seperti tidak mau berinisiatif untuk mengambil alih
situasinya.

Kenapa begini? Kenapa untuk urusan yang seperti ini diserahkan kepadaku?

Sambil melihat guruku yang terlihat menyedihkan ini, aku sendiri sulit untuk mengatakan sesuatu.
Mungkinkah...Ini adalah sebuah perasaan kasihan dengan situasinya?

"Err, uh...Sensei?" kataku, mencoba untuk mencari kata-kata yang tepat.

Sensei lalu menoleh kesana-kemari seperti seekor zombie. Dia lalu terlihat sesenggukan.

"Aku ingin pulang saja..." katanya dengan suara yang menyedihkan sambil menggosok-gosok
matanya.

Kemudian, tanpa mempedulikan responku, dia mulai berjalan sempoyongan menuju parkiran mobil.

"A-Anda sudah memberikan yang terbaik, Sensei!" aku mengatakan itu sambil melihat tubuhnya
yang mulai menghilang dari kejauhan. Cahaya matahari sore ini menambah bumbu drama adegan
barusan sehingga membuatku mulai mengeluarkan air mata.

Tolong siapa saja, cepat nikahi dia...

x Chapter IV Part 5 | END x


Chapter 4 : Karena Alasan Tertentu, Kawasaki Saki Keluar Dari Jalannya -6

xxx

Satu jam berlalu sejak Hiratsuka-sensei pergi ditemani cahaya matahari sore. Dengan ditemani
bintang-bintang di langit malam, kami kini ada di Stasiun Chiba.

Komachi pergi meninggalkan kami untuk membawa pulang Kamakura. Terlalu dini bagi siswi SMP
seperti Komachi pergi ke pusat bisnis Kota Chiba. Makan-makan bersama teman-temannya di
Yokado Food Court justru lebih cocok untuknya. Tapi serius ini, apa yang dicari siswa SMP di
Yokado? Aku mulai membenci tempat itu semenjak aku menemani Ibuku berbelanja disana. Ibuku
harusnya pergi ke tempat lain seperti Mother Park.

Ngomong-ngomong, saat ini adalah jam 7.30 malam. Ini adalah waktu dimana kota mulai sibuk
dengan aktivitas malam.

"Di Kota Chiba, hanya ada dua tempat yang bernama 'Angel' yang beroperasi hingga pagi," kataku.

"Dan tempat ini salah satunya?" Yukinoshita menatap curiga ke papan nama yang terbuat dari neon
yang bertuliskan "Maid Cafe Angel".

Di samping papan nama itu, ada sebuah ilustrasi yang menggambarkan gadis dengan telinga kucing
dengan sebuah kata: "Selamat datang, woof ♪"

Ekspresi wajah dari Yukinoshita seperti mengatakan, "apa-apaan ini?"

Akupun juga merasa seperti itu. Apa-apaan sih? Selamat datang, woof, meow? Apa mereka pikir
mereka itu kucing atau anjing? Bahkan nama "Angel" sendiri saja sudah terasa tolol. Nama Angel saja
tidak ada hubungannya dengan kafe ini.

"Jadi ada maid cafe di Chiba..." Yuigahama mengatakan itu sambil melihat-lihat gedung itu.

"Kau naif sekali, Yuigahama. Tidak ada hal yang Chiba tidak miliki. Tren yang berbeda dan menjadi
pionir adalah ciri khas Chiba. Sayangnya, Chiba dikelilingi berbagai macam tempat penting jika kau
lihat lebih dalam. Itulah Chiba."

Itu benar sekali. Kau bisa katakan kalau Chiba adalah propinsi yang kurang beruntung karena
dikelilingi oleh tempat-tempat penting. Bandara Internasional Narita, Tokyo Game Show, Country
Farm Tokyo German Village, Chiba Shibuya tempat-tempat itu mempengaruhi tren di Chiba,
biasanya didominasi pengaruh dari Tokyo. Beradaptasi dan menambah-nambah sesuatu adalah khas
Chiba. Kalau kau memikirkan tentang adanya One Hundred Hills, hunian elit di Chiba, kau bisa
katakan kalau Chiba ini memiliki salah satu hunian elit di dunia ini.

Tidak lupa juga kereta Keisei-Chiba, dimana industri kreatif berkumpul di satu tempat, menciptakan
budaya baru di Chiba. AKI-BA memiliki pengucapan yang sama dengan CHI-BA. Jadi normal-
normal saja kita punya maid cafe disini.

"Aku tidak begitu tahu soal tempat ini...Umm, jadi maid cafe itu semacam tempat apa?" Totsuka
mengatakan itu sambil terus memandangi nama kafe tersebut.

Kurasa, dia tetap tidak paham meski disana ada tulisan, "Mari habiskan waktumu dengan MOE
MOE Maid time?". Mungkin dia malah akan bertanya, "memangnya bagaimana cara menghabiskan
maid time?", atau "Apakah ini yang dinamakan maid?"

"Oh, karena aku sendiri belum pernah datang ke tempat semacam ini, aku sendiri tidak bisa
memberikan penjelasan detail...Jadi kupanggil seseorang yang tahu tempat apa ini." kataku.

"Oho. Jadi kau memanggilku, Hachiman."

Seperti menganggap itu kode untuk kemunculannya, Zaimokuza Yoshiteru muncul dari pintu keluar
Stasiun Keisei-Chiba. Dia memakai mantel meskipun sebentar lagi musim panas, dan keringat
bermunculan di keningnya ketika dia tertawa. Banyak jejak-jejak garam di kerah mantelnya. Tahu
tidak, kalau disini adalah China tempo dulu, maka dia akan dihukum mati karena memproduksi garam
ilegal.

"Whoa..." Yuigahama tampak terkejut.

Tapi aku tidak bisa menyalahkannya, karena aku sendiri jauh lebih terkejut daripada dirinya.

"Kenapa kau memasang ekspresi seperti itu meski kau sendiri yang menelponku untuk datang
kesini?" kata Zaimokuza.

"Oh, begini, aku menelponmu karena kita tidak punya opsi lagi, dan harus ada orang yang
melakukannya. Memikirkanmu saja sudah membuatku jengkel."

"Aku paham," kata Zaimokuza sambil tertawa licik.

Dia malah membuat suaranya terdengar sombong. Kampret, pergi jauh-jauh aja lu!

"Memang, sangat sulit menahan kekuatan yang sebenarnya ketika harus bertempur dengan musuh
bebuyutan. Kau harusnya meningkatkan rasa bencimu itu seratus kali lebih banyak!"

"Yep, yep. Karena itulah kau ini menjengkelkan."

Jujur saja, aku tidak ada niatan untuk memanggilnya, tapi hanya ada dua orang yang kutahu paham
soal beginian, mereka yaitu Zaimokuza dan Hiratsuka-sensei. Tapi Hiratsuka-sensei tampaknya lebih
fokus ke shounen manga daripada hal-hal sejenis ini, jadi ini membuat pilihannya menjadi satu.

Aku sudah menjelaskan garis besarnya lewat SMS. Setelah Kawasaki Saki pergi ke parkiran sepeda,
aku bertanya kepadanya tentang tempat bernama "Angel" yang buka sampai pagi. Zaimokuza
meresponnya dengan kalimat: "Maid Cafe Angel".

"Zaimokuza, kau yakin ini tempatnya?"

"Oh, aku yakin sekali."


Zaimokuza lalu menekan tombol-tombol di HP-nya dan menunjukkan layar berisi hasil pencarian
dari Google. Smartphone memang berguna, tapi jika kau menggunakan itu di setiap hal yang ada
dalam hidupmu, jari-jarimu akan kelelahan. Perusahaan Ubiquitous Computing Technology adalah
perusahaan yang memasarkan bantal untuk jari-jari sehingga jari-jarimu tidak lelah ketika
menggunakan smartphone.

"Menurut Google, ada dua kandidat di kota ini. Dan karena kita membahas Kawasaki, maka kita
harus memilih tempat ini. Aku juga mendengar hal serupa dari roh penjagaku." Zaimokuza
menjawabnya dengan penuh percaya diri.

Akupun menelan ludahku sendiri. "Ba-Bagaimana bisa?"

Mungkinkah orang ini memiliki penglihatan yang tidak umum? Zaimokuza terlihat menggerutu
kesana-kemari.

Ah, orang ini sebenarnya juga tidak begitu yakin, pikirku. Yang barusan dia katakan hanyalah
sebuah keyakinan.

"Well, kalian diam saja dan ikuti aku...Aku akan membuat para maid disana menjadi patuh kepada
kalian," Dia mengatakan itu sambil mengibaskan mantelnya. Angin yang bertiup juga membuat
adegan itu terasa dramatis.

Orang ini...

Kalau dia berani bicara begitu, maka aku tinggal mengikuti dia di dalam. Menuju tanah yang
dijanjikan, sebuah tempat yang dipenuhi oleh susu dan madu Kerajaan Suci Harem.

Sambil membayangkan apa yang akan dilakukan para maid itu kepadaku nanti, akupun dengan
mantap melangkahkan kakiku ke depan. Satu langkah kecil bagi manusia, satu langkah besar bagi
diriku.

Tiba-tiba ada seseorang yang menarik-narik blazerku. Ketika kulihat, Yuigahama menatapku dengan
kesal.

Dia tidak mengatakan apapun.

"...Ada apa?" tanyaku.

"Tidak ada. Kupikir kau itu tipe orang yang tidak mau pergi ke kafe yang seperti ini, Hikki. Aku
merasakan sesuatu yang buruk disana." Dia menarik blazerku dengan kedua ujung jarinya, ditambah
dengan ekspresinya yang kesal.

Jangan sentuh diriku. Kau akan merusak blazerku!

"...Aku tidak paham maksudmu. Gunakanlah subjek, predikat, dan objek dalam kalimatmu."

"Maksudku, bukankah tempat ini hanya untuk tamu pria? Lalu para gadisnya harus bagaimana?"

Hmm? Oh benar juga, kalau dipikir-pikir, apa para gadis juga sering mampir di maid cafe? Kuharap
Zaimokuza-sensei mau mengajariku, lalu aku menatapnya dengan berharap. Zaimokuza-sensei
melipat lengannya seperti mengatakan "Serahkan padaku!" atau sejenis itu. Lalu, dia mengatakan
sesuatu dengan nada tinggi.

"Jangan khawatir, mademoiselle!"

"Siapa madder mozell...? Aku sebenarnya tahu apa maksudnya, tapi aku memilih untuk tidak
mengakuinya.

"Aku sudah mengantisipasi kalau kejadian semacam ini terjadi, jadi aku membawa beberapa
seragam maid sebagai peralatan penyamaran," dia mengatakan itu sambil mengambil sesuatu dari
belakangnya.

Sebuah plastik pembungkus yang biasa kau temui di laundry, namun selain kostum maid, di
dalamnya ada juga beberapa produk pembersih. Serius ini, bahkan disana ada juga pemukul besi dan
panci besi...

"Ohohohoho. Sekarang, Tuan Totsuka, mari kita ganti kostum...?"

Hoo, aku tahu maksudmu. Kerja bagus!

"H-Huh? Memangnya aku harus bagaimana...?" Totsuka terlihat mengambil langkah mundur dan
menjauh dari Zaimokuza, yang berusaha mendekatinya.

Serius ini, kenapa adegan ini mirip adegan film horor? Dalam situasi normal, aku akan memukul
perut Zaimokuza dan menyelatkan Totsuka seperti pahlawan-pahlawan. Tapi hari ini, aku akan
membuat pengecualian.

A-Aku ingin melihatnya memakai pakaian maid...

Akhirnya, Zaimokuza berhasil menyudutkan Totsuka di dinding. Kalau kau melihat adegan itu dari
belakang Zaimokuza, dia benar-benar terlihat seperti monster.

"Sekarang, Tuan Totsuka...Kau harus menurut kepadaku!"

Melihat seekor makhluk di depannya yang menunjukkan sebuah kostum maid di depannya, Totsuka
menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tidak, tolong...Tidak."

Tapi percuma saja menolak, Totsuka menyadari realita itu sebelum akhirnya menutup kedua
matanya, dia terlihat seperti hendak menangis saja.

Lalu terjadilah hal itu.

"Oke, oke, okeee! Aku ingin mencoba memakainya juga! Ini terlihat manis!" Yuigahama
mengatakan itu sambil mengambil kostum maid tersebut dari tangan Zaimokuza.

"...Eh," Zaimokuza terlihat kecewa.

Yuigahama memandangai Zaimokuza dengan ekspresi yang menyedihkan, seperti hendak


mengatakan "Dasar perjaka yang menyedihkan!".
"Huh, apa-apaan sikapmu itu? Kau membuatku jengkel!" kata Yuigahama.

Dalam situasi normal, Zaimokuza biasanya akan pura-pura batuk dan langsung kabur, tapi karena dia
sedang dirasuki oleh kekuatan dari kostum maid, dia membuat pengecualian untuk hari ini.

"Hmph, kau pikir maid itu hanya sekedar memakai kostum dan selesai? Maid itu tidak sekedar
kostum saja. Kau sendiri tidak punya jiwa seorang maid!"

"Apa-apaan barusan? Aku tidak paham maksudmu sama sekali..." Yuigahama melihat ke arahku
untuk mencari bantuan.

Sayangnya, ini adalah situasi dimana aku membuat pengecualian.

Begini, aku paham maksud Zaimokuza.

"Bukan begitu, aku paham maksudnya. Bagaimana ya? Kau tampak tidak cocok jika kau memakai
kostum maid. Jika ada Festival Budaya dan kau memakai kostum itu di maid kafe, yang kau dapatkan
adalah para pelanggan yang marah-marah."

Jujur saja, maid cafe atau sejenisnya pasti berisi para otaku dan para maid. Kira-kira perasaan
semacam apa yang dimiliki oleh para maid tersebut melihat pelanggan mereka yang mengaguminya.
Tampaknya itu adalah sebuah pengalaman yang luar biasa.

"Kau mungkin saja bisa memakai kostum itu, tapi jiwamu tidak memakai kostum itu! Kembalilah
setelah kau membaca manga Shirley yang bercerita tentang maid! Orang-orang sepertimu adalah
orang-orang yang membuat kacau event Comiket, misalnya para cosplayer yang merokok ria di area
merokok!"

Yuigahama tampak mundur tiga langkah dari Zaimokuza yang emosi. Dia menggerutu kesana-
kemari seperti mencari teman. Lalu dia menempel di punggung Yukinoshita.

Yukinoshita, yang kini menjadi tameng Yuigahama, mendesah, lalu menunjuk ke arah papan nama
"Maid Cafe Angel".

"Tampaknya gadis juga diperbolehkan masuk,"katanya.

Ketika kulihat tulisan yang sedang dia tunjuk, aku melihat sebuah tulisan:

Gadis dipersilakan masuk, asal memakai kostum maid!

Ya ampun, tulisan ini benar-benar serius. Tempat ini benar-benar dunia maid!

x Chapter IV Part 6 | END x


Chapter 4 : Karena Alasan Tertentu, Kawasaki Saki Keluar Dari Jalannya -7

xxx

Kami berlima berjalan masuk ke Maid Cafe Angel. Disana, kami menerima sapaan standar "Selamat
datang, tuan! Nikmati waktu anda disini!" dan diarahkan ke sebuah meja kosong. Yuigahama dan
Yukinoshita diarahkan menuju ruang ganti untuk "mendapatkan pengalaman sebagai maid", jadi
hanya Totsuka, Zaimokuza, dan diriku yang diantar ke tempat duduk.

"Silakan duduk, tuan," kata seorang gadis yang memakai kacamata dengan frame berwarna merah
dan sepasang telinga kucing ketika memberi kami menunya.

Sederet menu seperti "Omu Omu Omelette Rice", "White Curry ✩", dan "Kyururun Cake".
Disamping menu utama tersebut, ada semacam menu sampingan seperti "Moe Moe Hompimpa".
Tunggu dulu, apa mereka juga meminta pelanggan untuk membayar hanya untuk melakukan
hompimpa? Sistem ekonomi di tempat ini sudah rusak!

Kuputuskan untuk menyerahkan hal-hal yang tidak kuketahui tentang tempat ini ke Zaimokuza, yang
sudah duduk di tempatnya. Ketika kulihat dirinya, dia tampak menoleh kesana-kemari, terlihat pucat,
dan meminum air putih yang ada di mejanya dengan terburu-buru. Dia tidak mengatakan satupun kata
dari tadi.

"Oi, ada apa?"

"Hmph...Awalnya aku sangat yakin sebelum masuk ke kafe ini, tapi sekarang aku mulai gelisah
karena aku tidak biasa berbicara kepada maid."

"...Begitukah?"

Tangan Zaimokuza tampak bergetar hebat ketika memegangi gelasnya, tapi kuputuskan untuk tidak
mempedulikannya. Ada satu karakter lagi yang tidak mau berbicara apapun, jadi kali ini kuputuskan
untuk berbicara kepadanya.

"Totsuka, kau ini sedang berada di Maid Cafe, tahu tidak?"

Totsuka tidak menunjukkan reaksi apapun.

"T-Totsuka?"

Sekali lagi, dia tampak tidak mempedulikanku. Dalam situasi normal, dia biasanya meresponku dan
tersenyum, senyum yang secerah matahari! Totsuka tampak tsun dan pendiam hari ini, dia bahkan
tidak mengangguk atau sejenisnya.

"Ada apa? Apa kau marah akan sesuatu?" tanyaku sambil menyiapkan garpu di tanganku untuk
menusuk leherku jika dia tidak mempedulikanku lagi.

Totsuka akhirnya berbicara.

"Kau tidak menyelamatkanku tadi..." dia mengatakan itu setelah diam sejenak.

"Huh? Ohh, uh, itu, begini..."

"...Kau ingin melihatku memakai kostum imut itu meski tahu aku ini laki-laki." Totsuka menatapku
dengan kesal.

Ekspresinya yang marah memang manis.

Sial. Totsuka ternyata laki-laki. Plus, aku tidak suka melihatnya marah kepadaku dan mengatakan
hal-hal yang seharusnya dikatakan oleh seorang gadis. Kalau begitu, yang bisa kulakukan untuknya
adalah tidak membuat situasi ini bertambah kacau.

"Begini, well, tahu tidak, itu sebenarnya hanya candaan antar sesama pria seperti kumpulan
serigala yang saling bermain satu sama lain?"

"...Benarkah?"

"Benar, Aku berani bersumpah dengan mempertaruhkan seluruh kehormatanku sebagai seorang
pria."

Ngomong-ngomong, aku harus memberinya dorongan ala seorang pria. Ini adalah pembicaraan antar
sesama pria, dengan menekankan ke kata PRIA.

"Ka-Kalau begitu, kau kumaafkan..." Totsuka mengatakan itu dengan wajah yang memerah.

"Maaf ya. Sebagai permintaan maafku, kutraktir kau cappuccino. Semua pria Itali sejati
meminumnya, tahu tidak?"

"Oke, terima kasih!"

Aku berhasil mengembalikan suasana hati Totsuka dengan senjata andalanku dan berhasil
menunjukkan arti seorang pria kepadanya. Karena sekarang aku menerima senyuman Totsuka yang
cerah itu, suasana hatiku tampaknya berada di posisi terbaik. Aku lalu menekan bell yang ada di meja.

"Maaf sudah membuat anda menunggu, Tuan."

"Oh, aku pesan dua cappucino."

"Kami bisa menggambar kucing di kopi anda, tentunya kalau anda berkenan. Apakah Tuan suka
yang seperti itu?"

"Err, tidak perlu. Terima kasih."


Meski aku menolak tawarannya, maid tersebut tetap tersenyum manis.

"Saya paham. Silakan ditunggu pesanan anda," katanya.

Kalau kita berada di warung kopi pinggir jalan, mungkin pelayannya akan bilang, "Sip bos!". Respon
mereka yang seperti itu memang respon yang kau harapkan dari seorang profesional. Cara mereka
berjalan terlihat anggun dan enerjik.

Alasan mengapa maid cafe begitu populer mungkin bukan karena kata-kata omong kosong seperti
"Moe Moe" atau "Tuan", tapi karena mereka menyediakan fan service yang membuat pelanggannya
merasa menghabiskan waktu bersama mereka terasa menyenangkan. Bermain hom pim pa denganmu
dan menggambar sesuatu di omelette adalah cara mereka untuk menunjukkan keramahan tempat ini.

Meski begitu, ada saja diantara para maid ini yang tidak bisa menjalankan perannya dengan baik.
Nampan yang ada di tangannya tampak bergetar, dia bahkan berjalan dengan terhuyung-huyung dan
tidak sadar kalau air dalam minuman yang dibawanya mulai tumpah kemana-mana. Kalau begini, dia
pasti akan jatuh dan aku akan bisa melihat celana dalamnya. Ngomong-ngomong, maid yang sedang
kubicarakan ini adalah Yuigahama.

"Ma-Maaf sudah membuatmu menunggu," dia mengatakan itu dengan malu-malu sambil menaruh
minuman di atas meja. Wajahnya tampak memerah. "Tu-Tuan," dia menambahkan itu setelah diam
sejenak.

Dia menggunakan kostum maid yang standar. Dominasi warna hitam dicampur renda-renda
berwarna putih, dan juga kostumnya itu tampak terlalu ketat di bagian dada, dimana hal itu
menonjolkan dadanya dengan jelas.

Kami semua hanya bisa terdiam.

"A-Apa aku cocok memakai ini?" katanya sambil memutarkan badannya. Pita dan renda-rendanya
tampak mengibas.

"Whoa, kau manis sekali, Yuigahama-san. Benar tidak, Hachiman?" kata Totsuka.

"Hmm? Yeah. Kurasa begitu." aku memberikan jawaban yang tidak jelas.

Meski aku memberinya jawaban yang setengah hati, Yuigahama tersenyum dengan senang seperti
menganggap diriku baru saja memujinya.
"Begitu ya...Baguslah kalau begitu...Ehehe, terima kasih."
Jujur saja, aku terkejut.

Dia konyol seperti biasanya, tapi aku merasakan kesan yang berbeda dari Yuigahama yang sedang
bersikap seperti maid dan terlihat malu-malu.

"Yeah, tapi tahu tidak? Roknya ini terasa pendek dan kaos kakinya melebihi lututku, kurasa orang-
orang jaman dulu yang memakai pakaian semacam ini pasti melalui masa-masa yang sulit. Kalau kau
berusaha membersihkan sesuatu ketika menggunakan kostum ini, debu dengan mudah menempel di
pakaian dan pakaianmu akan cepat sekali kotor."

Kutarik kembali kata-kataku. Ternyata dia masih Yuigahama Yui yang dulu.

"Kau akan terlihat lebih manis jika kau tidak banyak omong," kataku.

"Apaaa?! Apa maksudmu?!" dia lalu memukulku dengan nampan.

Jadi sekarang dia sudah berani melawan tuannya, huh...

"Apa yang sedang kalian ributkan...?" nada yang dingin terdengar, membuatku menoleh ke asal
suara tersebut.

Di belakangku, ada seorang maid yang berasal dari Kerajaan Inggris.

Dia memakai rok panjang dan model lengan panjang. Pakaiannya didominasi warna hijau tua.
Sebuah pita hitam tampak melingkari lehernya. Imagenya yang awalnya menakutkan, lalu dipadu
dengan kostum yang sederhana, membuatnya terlihat cantik.

"Whoa, Yukinon, kau terlihat luar biasa! Pakaian itu sangat cocok denganmu. Kau juga terlihat
sangat cantik..." Yuigahama mengatakan kekagumannya.

Seperti kata Yuigahama, kostum itu sangat cocok dengan Yukinoshita.

"Yeah, tapi wajahmu itu lebih mirip Rottenmeier daripada seorang maid..." Kupikir komentarku
barusan sudah memakai referensi populer, tapi sayangnya Yukinoshita dan Yuigahama hanya terlihat
memiringkan kepalanya dan dipenuhi ekspresi tanda tanya.
[note: Rottenmeier itu merujuk ke Fraulein Rottenmeier, salah satu tokoh cerita Heidi. Heidi merupakan karya
Johanna Spyri pada tahun 1881. Muncul perdana di layar kaca tahun 1937, dibintangi Shirley Temple. Pernah
dibuat animenya pada tahun 1974. Jika ini berasal dari Hachiman, kemungkinan besar ini merujuk ke versi
animenya.]

"Maksudku, pakaian itu cocok denganmu..."

"Begitu ya. Well, meski sebenarnya bukan itu tujuan kita kesini..." Yukinoshita menjawabnya
dengan sesuatu yang berbeda.

Memang kebetulan, Rottenmeier sendiri adalah kepala pelayan dalam cerita Heidi, Gadis dari Alps.
Kupikir kau bisa menyebutnya maid juga. Selebihnya, dia terlihat seperti seseorang yang berasal dari
rumah berhantu.

"Kawasaki-san sepertinya tidak berada di kafe ini," kata Yukinoshita.


"Kau ternyata benar-benar mengerjakan PR-mu, huh...?"

"Tentu saja. Aku memakai pakaian ini untuk alasan itu."

Yukinoshita adalah satu-satunya orang yang menjalankan misi penyamaran ini dengan serius.
Kurasa ini adalah pionir lahirnya Detektif Maid! Tapi mengapa hanya ada Totsuka dengan pakaian
maid ketika aku memikirkan itu?

"Atau mungkin saja dia mengambil libur?" tanya Yuigahama.

Yukinoshita menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Namanya tidak tercantum dalam jadwal shift. Karena dia menerima panggilan telepon ketika berada
di rumahnya, kita bisa menghilangkan kemungkinan kalau dia menggunakan nama palsu."

Kalau dia sudah sejauh itu, dia pastinya bukan maid biasa. Dia adalah Maid Ninja!

"Jadi kesimpulannya, informan kita memberikan informasi palsu..." akupun menatap Zaimokuza,
yang duduk di sebelahku.

Melihatku yang seperti itu, Zaimokuza mulai menggerutu.

"Aneh sekali...Mustahil itu bisa terjadi..."

"Apa maksudmu?"

"Ahem...Seorang gadis tsuntsun yang bekerja di maid cafe dan berkata, 'Meow Meow! Selamat
datang, Tuan...Huh, apa yang kau lakukan disini?!' kurasa harusnya begitu Atau lebih tepatnya
kukatakan dia ditakdirkan begitu?" kata Zaimokuza.

"Aku sama sekali tidak paham kata-katamu barusan."

Aku tidak peduli dengan keinginan Zaimokuza. Karena dia, kami sudah menyia-nyiakan waktu
luang kami hari ini. Ini sudah larut malam, kurasa keputusan yang tepat setelah ini adalah pulang ke
rumah. Yang menyakitkan lagi, besok kami akan berusaha lagi untuk menyelesaikan ini.

Tapi, oh, Yuigahama tampak senang mencoba kostum maid dan aku juga menemukan sebuah kafe
yang bagus. Kurasa itu saja cerita untuk hari ini.

x Chapter IV Part 7 | END x


Chapter 4 : Karena Alasan Tertentu, Kawasaki Saki Keluar Dari Jalannya -8

xxx

Sehari setelah kunjungan kami ke Maid Cafe, jumlah orang yang berada di ruangan Klub mencapai
rekor tertinggi. Kami harus memeras otak kami lebih dalam lagi karena menurut Yukinoshita, ketika
berusaha menyembuhkan penyakit yang diderita pasien sudah dianggap tidak memungkinkan lagi,
maka kau harus memilih pendekatan yang berbeda dan mencoba untuk langsung melenyapkan sumber
penyakitnya.

Aku sadar betul kalau Yukinoshita dan diriku dan mungkin saja Yuigahama juga adalah
anggota Klub ini. Juga tidak mengherankan melihat Totsuka dan Zaimokuza disini karena mereka
sudah berkali-kali datang ke Klub ini. Dan ada satu orang lagi yang hadir di ruangan ini meski
harusnya merupakan sebuah fenomena yang tidak wajar jika dia berada disini, dan anehnya, dia
terlihat berbaur akrab dengan orang-orang disini.

"Apa keperluanmu datang kesini, Hayama?" tanyaku.

Hayama terlihat sedang membaca buku di dekat kaca jendela.

Oi, yang benar saja! Pikirku.

Ada apa dengan pemandangan pria tampan yang sedang membaca buku ini? Aku berani bertaruh
kalau itu hanya adegan pura-pura saja. Ketika mendengarku memanggil namanya, Hayama menutup
buku yang sedang dibacanya dan mengibaskan tangannya seperti hendak menjelaskan sesuatu.

"Itulah yang sedang ingin kucari tahu, Yui menelponku dan memintaku datang kesini..."

"Yuigahama?"

Akupun menoleh ke arah Yuigahama, dia lalu membusungkan dadanya seperti bangga akan sesuatu.
"Yep, aku memikirkan ini dalam-dalam, apakah kalian pernah memikirkan alasan mengapa
Kawasaki-san berubah? Kuakui kalau rencana untuk menghilangkan alasan yang menyebabkannya
begitu adalah hal yang bagus, tapi kita semua tidak tahu, sangat sulit untuk mengetahui apa alasan dia
berubah karena tidak ada seorangpun yang memberitahu kita apa yang menyebabkan itu."

"Yeah, kurasa begitu."

Ajaib sekali, pendapat Yuigahama terdengar logis. Seperti terpana oleh sebuah mukjizat ini, aku
hanya bisa menggerutu setelahnya. Yuigahama lalu melanjutkan.

"Benar, bukan?! Karena itulah, kita harus memikirkan sesuatu untuk membalik hal itu. Jika dia
berubah menjadi lebih buruk, maka kita tinggal merubahnya lagi sekali, dan dia akan kembali lagi
menjadi gadis yang baik."

Dia ini sejenis orang-orang yang percaya "dua kali salah maka pasti akan menjadi benar". Mungkin
lebih tepat kalau disebut mirip pelawak yang bermain di The Three Stooges.

"Kalau begitu, mengapa sampai perlu memanggil Hayama-kun?" Yukinoshita mengatakan itu
seolah-olah tidak menyukainya, dia sepertinya tidak mempertimbangkan potensi-potensi yang
dimiliki oleh Hayama.

Tapi Hayama sendiri tampak tidak begitu peduli karena sejak tadi hanya menatap ke Yuigahama.

"Masa kau tidak paham, Yukinon? Hanya ada satu alasan mengapa seorang gadis berubah."

"Alasan seorang gadis berubah...Apa kau sedang membicarakan tentang penuaan?"

"Bukankah itu sama saja dengan bilang bertambah tua?! Ka-Kau salahh paham! Dalam hati seorang
gadis, sekali mereka menjadi gadis, maka akan selamanya begitu! Yukinon, berbanggalah sebagai
seorang wanita!"

"Ya ampun, jangan lagi membahas topik itu..." Yukinoshita terlihat lelah ketika meresponnya.

Meski begitu, dia ada benarnya. Menurut pendapatku, gadis-gadis yang selalu mengatakan "Girl
Power" aslinya memiliki girl power yang lebih rendah daripada gadis-gadis yang sering mereka sindir
tidak memiliki girl power.
"Satu-satunya alasan mengapa seorang gadis berubah a-adalah...cinta, atau sejenis itu."

Aku serasa tidak percaya kalau gadis ini bisa mengucapkan sesuatu yang memalukan seperti itu.

...Tidak lupa juga kalau dia adalah orang yang paling tersipu malu di ruangan ini.

"Ngo-Ngomong-Ngomong! Ketika kau mencintai seseorang, maka seluruh duniamu akan berubah!
Karena itulah, kupikir aku kenal seseorang yang bisa memicu munculnya reaksi itu...Jadi kupanggil
Hayato-kun kesini."

"Err, aku sendiri tidak mengerti mengapa kau berpikir kalau aku punya sesuatu yang seperti itu,"
Hayama mengatakan itu ke Yuigahama dengan senyum yang kecut.

Oi, bajingan, kata-katamu yang tidak mengerti apa alasannya itu hanya membuatku bertambah
jengkel kepadamu! Zaimokuza tampaknya memikirkan hal yang sama, karena dia menatap Hayama di
saat yang bersamaan denganku.

"Aku sendiri yakin di SMA ini banyak sekali pria yang menarik dan disukai para gadis. Bahkan di
dalam ruangan ini juga ada...Bukankah Totsuka sendiri juga cukup populer?"

Oh, baguslah...Jadi Hayama sudah sadar dengan popularitasnya...Maksudku bukan begitu, aku
tidak akan pernah memaafkan si brengsek ini. Zaimokuza memikirkan hal yang sama denganku,
karena dia juga menatap ke arah Hayama di saat yang bersamaan denganku.

"A-Aku? Aku sendiri tidak tahu soal hal itu..." Totsuka menunduk ketika mengatakannya, wajahnya
memerah.

Melihat sikapnya yang seperti itu, Yuigahama menyilangkan lengannya dan berpikir sejenak.

"Hmm. Kupikir Sai-chan memang manis, tapi menurutku dia bukan tipe pria kesukaan Kawasaki-
san. Sedang pria lainnya, mari kita pikir dengan logis, chuuni ya chuuni. Itu menyisakan kita dengan
satu-satunya opsi, yaitu Hayato-kun."

"Oi, jangan seenaknya menganggap diriku tidak ada."

Wajahnya memerah. "K-Kalau kau tidak perlu dipertanyakan lagi, Hikki!"


Sial, dia tidak perlu meneriakkan itu dengan lantang tepat di depanku...

Di sisi lain, Zaimokuza malah terlihat lebih terpukul dariku yang eksistensinya tidak dihiraukan
olehnya...Apakah, karena dia disebut dengan Chuuni?

"Penilaian dari Yuigahama-san bisa dikatakan tajam. Memangnya, kau sendiri percaya kalau ada
orang lain di kelasmu yang memperhatikanmu?" Yukinoshita mengatakannya kepadaku.

"Tidak."

Aku setuju dengannya. Kau tahu, jika aku ini seorang gadis, aku tidak akan tertarik dengan seorang
penyendiri di kelas, seperti diriku. Mau bagaimana lagi, eksistensiku sendiri adalah berada di bawah
bayang-bayang. Whoa, aku ini ternyata Ninja yang luar biasa. Percaya deh!

"Oh, uh, aku tidak bermaksud seperti itu. Maksudku, kau sendiri tidak seburuk itu. Hanya saja,
tahulah, beberapa hal dan begitu...Intinya, aku meminta bantuan Hayato-kun."

Ketika aku memikirkan bagaimana aku seharusnya memanfaatkan skill-skill Shinobi milikku agar
bisa mendukungku untuk menjadi Hokage suatu hari nanti, Yuigahama lalu berjalan ke depan
Hayama, menepuk kedua tangannya dan menundukkan kepalanya.

"Maukah kau membantu kami?"

Mustahil akan ada pria yang menolak jika dimintai tolong seperti itu. Banyak hal terjadi dalam
kehidupan seorang pria. Mereka akan sangat bahagia jika seseorang meminta tolong kepada mereka
dan merasakan semacam perasaan nyaman di dada mereka jika orang yang meminta tolong itu
mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Para pria sejak kecil memang termotivasi untuk menjadi
pahlawan yang menolong orang lain. Yah, hal-hal semacam itulah...

Hayama ternyata tidak jauh berbeda. Dia mengangguk seperti mengatakan, "Oke, aku paham".

"Kurasa kalau itu alasannya, mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa menjamin sesuatunya, tapi aku
akan memberikan yang terbaik." Dia lalu berhenti sejenak.

Dia lalu menepuk bahu Yui, "Kau juga lakukan yang terbaik, Yui."

Ugh, bukankah dia harusnya menjadi orang yang 'melakukan yang terbaik'?

"Te-Terima kasih..." Yuigahama menjawabnya dengan malu-malu setelah disentuhnya.


...

Dengan begini, rencana Yuigahama "Operasi: Eksploitasi Potensi Gigolo Dari Hayama!" dimulai.
Ngomong-ngomong, nama operasi barusan terdengar menyedihkan.

Inti dari rencananya sangat sederhana.

Hayama akan menggunakan seluruh kekuatan gigolonya untuk menangkap dan menjebak hati dari
Kawasaki.

Ngomong-ngomong, kenapa orang-orang suka memakai kata 'menangkap hati' sih? Bahkan gigolo
yang ahli sekalipun tidak akan merobek dada seseorang untuk diambil hatinya.

Kami akhirnya berpindah lokasi menuju parkir sepeda, bersiap-siap menunggu kedatangan
Kawasaki. Tentunya, karena pemandangan Hayama bersama kami ini terasa sangat janggal dilihat
oleh siapapun, kami berusaha menjaga jarak sehingga kami bisa mengobservasi aksi Hayama tersebut
tanpa dicurigai orang lain.

Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba.

Kawasaki tampak berjalan ke arah parkiran sepeda dari kejauhan, berjalan dengan langkah yang
menyeret seperti hari-hari biasanya. Kawasaki terlihat menguap ketika sedang membuka kunci
sepedanya, lalu Hayama memutuskan untuk muncul di momen tersebut.

"Halo yang disana. Kau terlihat seperti sedang kelelahan," dia mengatakan itu dengan santainya.

Adegan ini sebenarnya hanyalah sandiwara belaka, tapi entah mengapa sapaannya terdengar natural
sehingga membuat kami, yang berada di agak jauh di belakangnya, secara spontan mengatakan "Halo
juga".

"Apa itu karena kau bekerja part-time? Kata orang, kau harusnya tidak menggigit sesuatu lebih dari
apa yang bisa kau kunyah." Dia mengatakan itu dengan ekspresi yang penuh dengan kepedulian.

Aku tidak percaya kalau itu adalah Hayama...Begitulah yang dipikirkan oleh separuh diriku, sedang
separuhnya lagi sedang jatuh cinta kepadanya.

Sementara itu, Kawasaki hanya mendesah kesal.

"Terimakasih sudah perhatian denganku. Sampai jumpa." Dia mulai mendorong sepedanya seperti
masa bodoh dengan apa yang baru saja terjadi di dunia ini.

Tapi ketika dia berjalan membelakanginya, sebuah suara yang hangat memanggilnya, suara yang
bisa melelehkan hati yang paling beku sekalipun.

"Begini..."

Suara itu membuat Kawasaki berhenti. Dia lalu melihat ke arah Hayama dari balik bahunya.

Sebuah tiupan angin di awal musim panas bertiup diantara keduanya. Dalam situasi yang tiba-tiba
berubah menjadi situasi rom-com, Yuigahama mencondongkan tubuhnya ke depan dengan antusiasme
yang tinggi, meremas kedua tangannya yang berkeringat tersebut. Sementara Zaimokuza, seperti
dipenuhi oleh kebencian dan kedengkian yang mendalam, bahkan kepalan tangannya tersebut seperti
dipenuhi aura untuk membunuh sesuatu.

Setelah tiupan angin tersebut berhenti, Hayama lalu mengeluarkan kata-katanya. Hayama
memancarkan aura pria tamvan di sekitarnya. Dia seperti menebarkan feromon.

"Kau tidak perlu pura-pura kuat dalam menjalani semua ini."

Untuk sejenak, mereka berdua terdiam.

"Tidak, tapi terima kasih." Kawasaki lalu beranjak pergi dari tempat parkir dan mengayuh
sepedanya.

Tapi bagi Hayama Hayato, waktu seperti berhenti. Dia seperti dicampakkan oleh seorang gadis.
Butuh sekitar 10 detik bagi Hayama untuk kembali ke dirinya yang seperti biasanya.

"Sepertinya aku baru saja ditolak," dia mengatakan itu sambil tertawa kecil.

"Oh, kerja bagu pfffft."

Maksudku, aku bermaksud untuk menyemangatinya, tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari
mulutku. Sebuah sensasi aneh mulai menendang-nendang perutku. Sial! Sisi lain diriku mulai tidak
terkendali! Ketika aku berjuang untuk menekan perasaan tersebut mengambil alih diriku, pria
disebelahku malah kumat.

"HAHA, BWAHAHAHA! Kau di-ditolak! Ditolak! Ternyata tidak menarik, ditolak! Bwahahaha!"

"Di-Diam kau, Zaimokuza! Pffft..." Aku mengatakan itu dengan kencang.

"Tawa kalian berdua itu kejam sekali!" Totsuka berusaha memperingati kami, tapi dia sendiri juga
seperti berusaha keras untuk menahan tawanya.

Tapi Zaimokuza sendiri seperti terjangkit infeksi tawa yang akut, sehingga tidak bisa tertolong lagi.

"Se-Sebenarnya aku tidak masalah dengan itu, Totsuka," Hayama mengatakan itu dengan ekspresi
kecut.

...Ya ampun, dia ini memang nice guy. Dia tetap membantu kita meski dia sendiri tidak yakin, lalu
dia dipermalukan. Meski begitu, dia menganggapnya sebagai bahan candaan saja.

Seperti yang kuduga, Zaimokuza mengecilkan suara tawanya seperti bersimpati dengan situasi
Hayama, lalu dia pura-pura batuk.

"Tuan Hayama...Kau tidak perlu pura-pura kuat dalam menjalani semua ini....Pffft! Hahahaha!"

"Dasar goblok! Hentikan itu, Zaimokuza! Jangan membuatku tertawa lagi!"

Melihat diriku dan Zaimokuza yang tertawa terbahak-bahak, wajah Yuigahama terlihat kesal.
"Kalian berdua adalah manusia yang paling menyedihkan..."

"Jadi kesimpulannya, ini adalah sebuah kegagalan. Mau bagaimana lagi. Malam ini, kita akan coba
datangi tempat satunya." kata Yukinoshita.

"Kurasa begitu..." akupun menjawabnya.

Ini menyenangkan sekali.

Ini adalah pertamakalinya aku merasa bersyukur bergabung dengan Klub Relawan.

x Chapter IV Part 8 | END x

Chapter 4 : Karena Alasan Tertentu, Kawasaki Saki Keluar Dari Jalannya -9

xxx

Arlojiku menunjukkan jam 8.20 malam. Aku bersandar ke monumen di tempat pertemuan kami,
depan Stasiun Kaihin-Makuhari. Di belakangku, ada Hotel Royal Okura, dimana lantai teratas dari
Hotel tersebut memiliki sebuah bar yang bernama "Angel Ladder".

Ini adalah tempat terakhir di Kota Chiba dengan nama Angel yang buka sampai pagi. Bahkan papan
nama bar tersebut ditulis dua kali, pertama dengan huruf alpabet, dan kedua dengan huruf Jepang.

Aku membetulkan lagi, jas yang terasa tidak familiar ini agar aku benar-benar terbiasa dengan ini.
Ini adalah jas yang kupikir paling bagus dan kupinjam dari lemari pakaian Ayahku tanpa meminta
ijinnya. Kebetulan jas tersebut pas dengan badanku karena kami berdua memiliki tinggi badan yang
sama. Aku memakai celana jeans dan kemeja hitam dengan kerah model berdiri. Tidak lupa juga
memakai sepatu kulit dengan model ujung sepatu yang meruncing.
Jujur saja, benda-benda semacam ini bukanlah sesuatu yang kupakai sehari-hari.

Serius ini, aku bahkan tidak betah memakai pakaian ini. Semua yang kupakai, kecuali celana jeans,
adalah barang-barang milik ayahku. Rambutku bahkan memakai gel dan sejenisnya. Oke, sebenarnya
ini merupakan rekomendasi Komachi. Ketika aku meminta tolong kepadanya untuk membantuku
menyiapkan tampilan pakaian yang akan membuatku tampak dewasa, dia langsung mengobrak-
abrik seisi rumah dalam misinya untuk menyelesaikan requestku.

"Karena mata Onii-chan sendiri sudah memberikan kesan sebagai seorang karyawan yang
kelelahan, maka Onii-chan tinggal perlu mencari pakaian dan model rambut yang cocok untuk
membuat Onii-chan terlihat dewasa,"

Begitulah katanya, dimana aku sendiri merasa tersinggung ketika mendengarnya. Memangnya
mataku seburuk itu?

Orang pertama yang muncul di tempat yang kita sepakati ini adalah Totsuka Saika.

"Maaf, apa kau menunggu?"

"Nah, aku saja baru sampai disini," kataku.

Totsuka memakai pakaian sporty yang terlihat bagus jika dipakai pria ataupun wanita. Dia memakai
celana cargo panjang dipadu dengan kaos ketat. Dia memakai topi rajutan dan terlihat ada sebuah
headphones menggantung di lehernya. Setiap kali dia bergerak dengan sepatu basketnya, rantai
dompetnya mulai mengeluarkan bunyi yang aneh.

Ini pertamakalinya aku melihat Totsuka dengan pakaian biasa kurasa wajar saja jika aku terus-
terusan menatap ke arahnya saat ini. Ketika kulakukan, Totsuka memegangi topi rajutannya dan
berusaha menutupi matanya karena malu.

"Oh, jangan menatapku seperti itu...A-Apa aku terlihat aneh?"

"Ti-Tidak sama sekali! Kau...Tampak cocok sekali."

Percakapan semacam ini mungkin lebih tepat jika dikatakan ketika sedang kencan. Tapi sayangnya,
Totsuka dan diriku tidak dalam hubungan yang seperti itu.
Zaimokuza yang baru muncul juga tidak ada hubungan sama sekali denganku.

Oke, entah mengapa dia memakai pakaian biksu dan sebuah handuk melilit di atas kepalanya.

Ah sudahlah, lebih baik tidak kuhiraukan saja dia.

"Hmm. Harusnya disini tempat pertemuannya...Oooh! Bukankah itu Hachiman!?"

Ketika kau sedang jengkel dengan seseorang, kau seperti tidak tahan untuk segera memberikan
komentarmu.

"Ada apa dengan pakaianmu itu? Kenapa kau melilitkan handuk di kepalamu? Apa kau ini koki
restoran ramen?"

"Oho, untunglah. Bukankah kau sendiri yang bilang untuk berpakaian seperti orang dewasa? Karena
itulah, aku memakai pakaian biksu ini dan melilitkan handuk di kepalaku agar terlihat seperti orang
dewasa yang bekerja..."

...Ah, memang benar aku mengatakan itu. Sial, sekarang dia sudah berpakaian seperti itu dan tidak
ada yang bisa kita lakukan lagi. Dia harusnya tidak berlebihan seperti ini, tapi...Ah sudahlah.

Tidak lama kemudian, aku melihat sosok Yuigahama. Dia lalu menoleh kesana-kemari dan
mengambil HP-nya. Dia tidak sadar kalau aku ada di sampingnya?

"Yuigahama," akupun memanggilnya, dia tampak terkejut mendengarnya.

Dia lalu menoleh secara perlahan dengan ekspresi wajah ketakutan. Serius ini, bukankah dia
awalnya melihat ke arah kami ketika datang kesini?

"Hi-Hikki?! Oh, benar Hikki. Aku tadi tidak mengenalimu...Pa-Pakaianmu tampak berbeda, huh?"

"Sudah, tidak usah banyak komentar. Dan juga jangan tertawa."


"A-Aku tidak tertawa! Aku hanya, seperti, terkejut melihatmu sangat berbeda dari kau yang
biasanya...A-Apa Komachi-chan yang memilihkan pakaian itu untukmu?" Dia menatapku dari bawah
sampai atas, lalu mengangguk secara perlahan.

"Yeah, lumayan juga tebakanmu."

"Seperti dugaanku..." Yuigahama tampaknya menemukan sesuatu. Tapi aku sendiri tidak tahu apa
yang dia temukan.

Yuigahama memakai tank-top dengan bra-strap dari vinyl yang menyelimuti baju kanannya dan
tampak tidak terlihat di bahu kirinya. Dia memakai kalung berbentuk hati, mungkin kalung
favoritnya. Dia memakai jaket denim dengan lengan pendek.

Dia memakai hotpants dengan aksesoris kancing berwarna emas, dan dia memakai sepatu hak tinggi
dengan motif tali sulur. Setiap kali dia berjalan, suara haknya terdengar jelas.

"Entah mengapa, kau tampak tidak terlihat dewasa bagiku..."

"Huh?! Bagian mananya?!" Yuigahama dengan panik melihat ke arah lengannya, lalu ke kakinya.

Kalau melihat dari aksesoris yang dipakainya, dia ini mirip tampilan mahasiswi, kurasa begitu...

Dengan begitu, maka sebentar lagi jumlah kita akan lengkap. Tepat ketika aku sedang memikirkan
itu, aku mendengar sebuah suara dari belakangku.

"Maaf. Apakah aku terlambat?"

Gadis pemilik suara tersebut muncul dengan anggun dalam kegelapan malam, dia memakai gaun
musim panas berwarna putih. Ketika kulihat bagian bawahnya, aku bisa melihat jelas garis-garis
kakinya, terlihat luwes dibalik legging berwarna hitam. Sepatu kecil ber-hak rendah dan bermotif
sederhana, terasa pas di kakinya seperti sebuah sarung tangan. Aku sendiri serasa ingin memujinya.
Ketika dia mengangkat tangannya untuk melihat waktu, arloji kecil berwarna pink tersebut membuat
kulitnya yang berwarna putih terlihat dengan sangat jelas, dia terlihat sangat manis sekali. Aku bisa
tahu kalau gelang yang menghiasi pergelangan tangannya yang kurus dan lembut itu terbuat dari
perak.

"Kurasa, aku tepat waktu."

Yukinoshita Yukino mengatakan itu seperti menebarkan aura bunga alpine yang mekar di malam
hari.

"Be-Benar..." Aku tidak bisa mengatakan apapun lagi.

Ini mengingatkanku kembali tentang bagaimana diriku terbuai oleh penampilannya pada pertemuan
pertama kami di Klub Relawan.

Andai saja, sifatnya itu seperti penampilannya...


"Apa kau ini Hantu dari Mottainai yang suka menakut-nakuti anak kecil untuk memakan sayuran?"

"Jangan konyol. Hantu Mottanai itu tidak ada," Yukinoshita langsung menyangkalku dan melihat ke
arah kami semua.

Dia mengatakan "Hmm..." lalu mulai menunjuk ke arah Zaimokuza.

"Pakaianmu itu salah."

"Huh?"

"Lalu yang ini juga salah."

"...Eh?"
"Ini juga salah."
"Apa?"

"Pakaian kalian bertiga salah semua."

"Hei..."

Entah mengapa dia tiba-tiba memberikan penilaian terhadap penampilan kami. Dan entah mengapa,
dia tidak komplain terhadap pakaianku...

"Bukannya sudah kuberitahu sebelumnya untuk memakai pakaian formal?"

"Kupikir kau meminta kami berpakaian seperti orang dewasa?"

"Tempat dimana kita pergi, adalah tempat dimana tidak akan ada orang-orang yang berpakaian
seperti kalian. Para prianya memakai dasi dan sangat wajar melihat mereka memakai jas."

"Be-Begitu ya ternyata...?" tanya Totsuka.

Yukinoshita mengangguk.

"Semua Hotel dan Restoran yang berkelas seperti itu. Mungkin ada bagusnya jika ini dijadikan
pengalaman bagi kalian."

"Kau mengatakan itu semua seperti kau ini sangat ahli dalam bidang ini."

Itu adalah sesuatu yang tidak akan diketahui oleh siswa SMA pada umumnya, kujamin itu. Siswa
SMA biasanya hanya kenal restoran seperti Bamiyan dan Saize. Restoran paling elit yang bisa
dikunjungi mungkin Royal Host.

Ngomong-ngomong, hanya diriku yang memakai jas disini. Totsuka memakai pakaian biasa, sedang
Zaimokuza mirip koki restoran ramen.

"A-Apa pakaianku seburuk itu?" tanya Yuigahama.

Untuk sejenak, Yukinoshita terdiam.

"Kalau kau masuk kesana sebagai mahasiswi, maka tampilanmu tidak terlalu buruk...Tapi jika kau
terlihat masuk bersama Hikigaya-kun, maka kau harusnya berpakaian yang lebih formal lagi."

Aku lalu merapikan kerah kemejaku untuk menunjukkan rasa puasku karena eksistensiku diakui
olehnya, tapi Yukinoshita malah menyindirku.

"Pakaianmu mungkin membuatmu terlihat seperti pria baik-baik, tapi matamu itu berkata lain."

...Apakah mataku seburuk itu?

"Aku lebih memilih untuk tidak kembali lagi setelah ditolak masuk hanya karena dress-code. Jadi,
kurasa kau mungkin bisa meminjam pakaian di rumahku, Yuigahama-san."

"Whoa, kau memperbolehkanku datang ke rumahmu?! Aku mau, aku mau! Oh, tapi apakah tidak
merepotkan orang lain jika datang ke rumahmu jam segini?" tanya Yuigahama.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku tinggal sendirian."

"Apa kau ini wanita yang mandiri?!" Yuigahama mengedipkan matanya berkali-kali karena terkejut.

Aku tidak tahu atas dasar apa asumsinya itu. Apa dia pikir semua orang yang hidup sendirian adalah
wanita mandiri? Tapi kalau membahas Yukinoshita, aku setuju. Masakannya memang super enak dan
itu membuatku berpikir kalau dia memang mungkin tinggal sendirian.

"Kalau begitu, ayo kita pergi? Letaknya di sebelah sana." Yukinoshita menunjuk ke arah langit di
belakangnya.

Di arah yang ditunjuk tersebut terdapat kompleks apartemen elit. Aku sebenarnya tidak sering
menonton TV, tapi kalau tidak salah kompleks apartemen ini sering dijadikan tempat shooting
sinetron atau iklan. Sekedar info saja, Kaihin-Makuhari memang sering dijadikan tempat shooting.

Yukinoshita lalu melihat ke atas, ke sebuah apartemen tertinggi di kompleks tersebut, apartemen
pencakar langit. Menarik sekali, ternyata Yukinoshita tinggal di salah satu lantai teratas. Whoa.
Whoa. Jadi disitu-kah tempat kaum elit tinggal...

Entah mengapa, aku sendiri ragu apakah ada keluarga dari kaum elit tersebut yang membiarkan
putri mereka yang masih SMA tinggal sendirian...

"Totsuka-kun," katanya, "Maaf sudah mengatakan itu meski kau sudah bersusah payah datang
kesini..."

"Tidak juga, aku sendiri tidak masalah. Sangat menyenangkan melihat kalian semua tidak memakai
seragam yang biasanya," Totsuka mengatakan itu sambil tersenyum.

Dirinya yang manis itu hampir membuatku langsung ingin pulang saja ke rumah. Aku tidak ingin
melihatnya pergi begitu saja.

"Oke, begini saja. Sementara menunggu Yuigahama berganti pakaian, kami bertiga akan pergi
mencari makan. Hubungi aku jika kalian selesai."

"Oke, tentu saja!"

Setelah kedua gadis tersebut pergi, kami bertiga hanya diam saja, mendengarkan teriakan lapar dari
perut kami.

"Jadi, apa yang akan kita makan?" Zaimokuza mengatakan itu sambil menggosok-gosok perutnya.

Totsuka dan diriku hanya bisa menatap satu sama lain.

"Ramen," kami mengatakannya secara bersamaan.

x Chapter IV Part 9 | END x


Chapter 4 : Karena Alasan Tertentu, Kawasaki Saki Keluar Dari Jalannya -
10

xxx

Aku berpisah dengan Totsuka dan Zaimokuza di depan peron tiket stasiun. Di restoran ramen, para
pelanggan restoran mengira Zaimokuza sebagai koki restoran tersebut, sehingga banyak yang
mendatanginya dan memesan menu. Meski begitu, setidaknya aku sudah makan ramen yang enak dan
mereka berdua juga merasa puas dengan itu.

Setelah meninggalkan stasiun, aku menuju Hotel Royal Okura. Kali ini, lokasi pertemuannya berada
di lobi hotel, hanya diriku dan mereka berdua yang berangkat ke lokasi investigasi. Ketika berdiri di
depan hotel, aku mulai kagum dengan besarnya hotel ini. Bahkan cahaya remang-remang dari gedung
ini terlihat berasal dari dunia lain saja. Gedung ini jelas-jelas bukanlah tempat dimana bisa dimasuki
oleh anak SMA.

Setelah aku masuk ke dalam, jantungku berdetak tidak karuan. Bahkan lantai yang diinjak kakiku ini
terasa sangat berbeda. Sebuah karpet merah panjang menyambutku disini. Ada apa ini? Apa ini
Academy Awards?

Aku bisa melihat pria dan wanita yang ada di lobi hotel berpenampilan parlente. Aku bisa melihat
orang asing berkeliaran kesana-kemari. Ini menakutkanku; ini mirip Makuhari City.

Menurut SMS yang kuterima dari Yuigahama, tempat pertemuan kami berada di depan lift yang
berada di lobi. Tidak seperti lift yang biasa kulihat, pintu lift hotel ini dihiasi banyak sekali ornamen
lampu. Ruangan liftnya juga luas, seperti cukup jika memuat sofa di dalamnya. Liftnya juga terasa
lebih luas daripada ruang keluarga di rumahku.

Plus, sofa lobi disini ternyata enak sekali sangat lembut. Oh, di sekitarku juga ada pot bunga dan
hiasan lainnya. Setelah aku berusaha melemaskan tubuhku di sofa dan menguap, HP-ku berbunyi.

SMS : Kami baru saja sampai, apa kau sudah di dalam?

Dia bilang sudah datang...Kulihat sekitarku, tapi tidak kutemui penampakannya.

"Ma-Maaf sudah membuatmu menunggu..." seorang wanita cantik dengan aroma parfum yang enak
menyapaku.

Wanita dengan gaun merah hati dengan tali yang mengikat di belakang lehernya, membuatnya
seperti seekor putri duyung. Rambutnya diikat dan dimodel sanggul, dan dia melihat ke arahku seperti
habis menelan sesuatu.

"Aku seperti datang kesini untuk konser piano..."


"Oh, ternyata kau, Yuigahama. Kupikir siapa tadi."

Akhirnya aku sadar kalau itu adalah Yuigahama karena cara bicaranya yang mirip gadis remaja, tapi
aku mungkin tidak akan pernah menyadarinya jika dia pura-pura berbicara seperti wanita dewasa.

"Bisakah setidaknya kau katakan kalau kau ini mirip orang yang menghadiri undangan pernikahan?
Setidaknya masih lumrah jika digelar di hotel. Meski begitu, aku juga agak bingung jika pakaian
seperti itu adalah pakaian untuk konser piano..."

Seorang gadis cantik yang memakai gaun hitam muncul.

Gaunnya seperti memancarkan aura dari seorang gadis muda, melengkapi kulit putihnya yang cantik,
putih...seputih salju yang baru turun.

Gaunnya yang selutut, menunjukkan kaki-kakinya yang indah. Dan yang lebih mempesona lagi
adalah rambut hitamnya yang selembut sutra. Rambutnya diikat mirip model ponytail dan dibiarkan
jatuh di depan dadanya, seperti membuatnya bertambah cantik saja.

Aku tidak akan salah mengenali yang satu ini, dia adalah Yukinoshita Yukino.

"Be-Begini, ini pertamakalinya aku memakai baju-baju seperti ini. Seperti, whoa, siapa sebenarnya
kau ini, Yukinon?!" kata Yuigahama.

"Itu berlebihan. Aku hanya punya pakaian itu untuk jaga-jaga saja kalau ada kesempatan untuk
memakainya."

"Mayoritas orang-orang tidak akan punya kesempatan itu," akupun menjelaskan. "Dan ngomong-
ngomong, dimana mereka menjual baju-baju seperti itu? Shimamura?"

"Shimamura? Itu pertamakalinya aku mendengar merk itu..." dia menjawabnya dengan spontan.

Gadis ini bahkan tidak tahu bedanya Shimamura dan Uniqlo.


[note: Shimamura dan Uniqlo adalah merk pakaian-pakaian murah di Jepang. Jelas saja Yukino tidak tahu.]

"Kalau begitu, saatnya pergi?" Yukinoshita menekan tombol liftnya.

Lampu lift tiba-tiba menyala dan pintu terbuka.


Dari kaca lift, aku bisa melihat pemandangan Teluk Tokyo. Pemandangan malam dari Makuhari
digambarkan dengan baik oleh kumpulan cahaya-cahaya lampu ini : Kapal pesiar, mobil-mobil yang
menuju kota-kota pelabuhan, dan gedung-gedung tinggi.

Ketika kita sampai di lantai teratas, pintu lift terbuka.

Cahaya yang lembut menyapa kami. Sebuah bar tersaji di depan kami, dengan suasana ruangan yang
remang-remang karena pencahayaan didominasi oleh lilin.

"Hei...Hei. Whoa. Apa-apaan ini..."

Kita jelas-jelas menginjak tempat dimana kita tidak seharusnya berada. Di sebuah panggung yang
disinari lampu sorot, seorang wanita berkulit putih memainkan lagu jazz di piano. Dia mungkin orang
Amerika.

Aku harusnya pulang saja sejak tadi, pikirku, sambil mencari dukungan ke Yuigahama. Dia hanya
menunduk dengan ragu, seperti tidak mampu mengatakan "Ya" sepenuhnya.

Adanya 'orang desa' seperti Yuigahama disini ternyata bisa membuatku merasa santai dan superior
diantara kumpulan orang-orang elit disini. Tapi bagi Yukinoshita, yang merupakan bagian dari
komunitas elit tersebut, tidak mengijinkan hal itu.

"Jangan berdiri sambil melirik kanan-kiri seperti itu!" Yukinoshita mengatakan itu sambil menginjak
sepatuku dengan hak-nya.

"Ouch!" akupun spontan berteriak.

Ada apa dengan sepatu high heelsnya? Haknya terasa menusuk sekali. Apa kau ini pari atau
sejenisnya?

"Berdiri dengan tegap dan busungkan dadamu. Tegakkan dagumu,"

Yukinoshita membisikkan itu di telingaku sambil menggandeng lengan kananku. Jari-jarinya yang
kurus dan kecil itu memegangku dengan erat.

"Err, uh...Yukinon? Ada apa?"

"Jangan tundukkan kepalamu. Yuigahama-san, lakukan hal yang sama denganku."

"A-Apa?"

Wajahnya tampak kebingungan, tapi akhirnya Yuigahama melakukan apa yang Yukinoshita katakan
tadi. Sederhananya, dia menggandeng lengan kiriku.

"Kalau begitu, ayo kita mulai masuk ke dalam," Yukinoshita memberitahuku.

Dengan begitu, Yukinoshita, Yuigahama, dan diriku mulai berjalan dengan perlahan. Ketika kita
melewati pintu utama, kami langsung dihampiri seorang pelayan pria, aku tetap berjalan dan diam
saja.
"Tuan, hendak pesan meja untuk berapa orang? Apakah Tuan merokok?"

Aku tidak bisa mengatakan apapun. Ketika dia terus berbicara, pelayan tersebut terus berada
selangkah di depan kami, memandu kami menuju bar yang berada di dekat jendela kaca.

Di bar tersebut, ada seorang bartender wanita sedang membersihkan gelas. Dia berdiri tegap dan
mengerjakan itu dengan teliti. Ekspresinya yang diam dan mata yang setengah tertutup itu sangat
cocok dengan pencahayaan bar ini yang remang-remang.

...Hei, bukankah itu Kawasaki?

Dia memberikan kesan yang berbeda ketika berada di sekolah. Rambut panjangnya diikat
membentuk sanggul, dia berpakaian seperti seorang bartender dan gerakannya terlihat elegan.
Sikapnya yang terlihat malas terhadap apapun tampaknya hilang begitu saja.

Tanpa menyadari siapa kami, Kawasaki menaruh beberapa biskuit dan camilan di depan kami
bertiga dan menunggu dengan diam. Kupikir dia akan menaruh menu di depan kami lalu meminta
pesanan kami, tapi tampaknya sistem disini tidaklah seperti itu.

"Kawasaki," kataku.

Kawasaki langsung memasang ekspresi curiga.

"Maaf Tuan. Tapi bolehkan saya tahu siapa anda?"

"Aku sangat terkesan. Bahkan teman sekelas Hikigaya-kun sendiri tidak bisa mengingat wajahnya,"
Yukinoshita mengatakan kekagumannya sambil duduk di kursi bar.

"Ya begitulah. Pakaian kami kan berbeda hari ini, jadi ini bukanlah salahnya," Yuigahama
menjelaskan itu sambil duduk di kursinya.

Ada sebuah kursi kosong diantara mereka berdua. Kalau ini adalah permainan Othello, aku pasti
kalah. Apakah ini... Ah sudahlah, aku bahkan tidak mengerti cara mainnya.

"Kami akhirnya menemukanmu, Kawasaki-san," kata Yukinoshita.

Ekspresi wajah dari Kawasaki berubah.

"Yukinoshita..."

Ekspresinya seperti baru saja melihat seorang musuh yang familiar. Sangat jelas kalau mereka
berada di kubu yang berseberangan.

Ketika aku ragu apakah keduanya bisa berinteraksi dengan baik atau tidak, Yukinoshita sendiri
adalah wajah yang familiar di sekolah kami. Aku yakin akan selalu ada orang di sekolah kami yang
mengira Yukinoshita memiliiki sifat yang sama seperti penampilannya.

"Selamat malam." Entah apa dia sadar perasaan Kawasaki atau tidak, Yukinoshita mengucapkan
sapaan standar tersebut dengan dingin.

Mereka berdua hanya menatap satu sama lain. Mereka berdua berbeda seperti siang dan malam. Aku
merasa kalau tidak lama lagi akan ada ribut-ribut. Menakutkan...

Pandangan mata Kawasaki terlihat menajam ketika menuangkan minuman untuk Yuigahama.
Melihat gadis yang bersama Yukinoshita, pastilah Kawasaki berpikir kalau gadis ini satu SMA
dengannya, dan itu berarti mungkin mereka berdua pernah bertemu satu sama lain di sekolah.

"Yo, halo...?" Yuigahama menyapanya dengan ceria, seperti berusaha mengendurkan suasana yang
penuh tekanan ini.

"Yuigahama...Aku tidak mengenalimu barusan. Kalau begitu, pria ini juga berasal dari SMA Sobu?"

"Uh, yeah," kata Yuigahama. "Dia itu Hikki dari kelas kita. Hikigaya Hachiman."

Ketika aku mengangguk untuk mengkonfirmasi itu, Kawasaki mendesah dan memasang senyum.

"Begitu ya. Kau berhasil membuatku kaget."

Dia menaikkan bahunya seperti sudah tidak punya sesuatu lagi yang hendak disembunyiikan.
Menyilangkan lengannya sambil bersandar ke dinding. Sikapnya seperti itu tampaknya dia merasa
kesal karena penyamarannya terbongkar dan malas untuk melanjutkannya lagi. Dia lalu memasang
ekspresi lesu, persis seperti apa yang dia tunjukkan di sekolah, setelah mengembuskan napasnya yang
berat, dia menatap ke arah kami.

"...Apa kalian ingin memesan minum?"

"Aku pesan Perrier," Yukinoshita mengatakan itu.

Aku tidak tahu apa Perrier itu.


[note: Perrier adalah minuman berkarbonasi (bersoda) dari Perancis, sejak tahun 1863. Telah dipasarkan di 140
negara, dan sekarang berada di bawah bendera Nestle. Harganya? Banyak varian, 750ml, 330ml, 200ml. Setahu
saya, satu krat 24 botol @200ml seharga 450rb+ (tahun lalu), alias sekitar 20rb+ per botol 200ml. Tapi jika anda
membelinya di bar atau hotel bintang 5, bisa saja harganya 100rb+]

"A-Aku pesan sama!" Itu yang hendak kukatakan, tapi Yuigahama malah langsung melompati
antrian.

Akupun menggerutu, mengumpat kesana-kemari.

Serius ini, lalu apa yang harus kupesan? Dom Perignon atau Donpen? Ngomong-ngomong, Donpen
sendiri adalah maskot dari sebuah klub murahan. Jika kau memesan itu, dia mungkin tidak akan
muncul.

"Hikigaya, benar tidak namamu? Bagaimana dengan pesananmu?"

Itu Perri-sesuatu yang sebelumnya disebut, apa mungkin Komodor Perri? Huh...Aku sendiri tidak
merasa kalau ini tempat yang tepat untuk mengatakan sesuatu seperti Townsend Harris atau Ernest
Mason Satow. Meski begitu, aku masih saja ingin memesan minuman yang namanya memakai nama
orang...

"Aku ingin pesan MAX CO "


"Dia katanya ingin memesan Ginger Ale kering," Yukinoshita memotongku di tengah-tengah
pembicaraan.

Dengan senyum yang kecut, Kawasaki mengatakan "Aku paham" sambil mengeluarkan tiga gelas
sampanye dan menuangkan minuman di dalamnya. Entah mengapa, tanpa banyak kata, kami akhirnya
bisa meminum minuman kami.

Setelah diam sejenak, Yukinoshita mengatakan sesuatu padaku, seperti teringat sesuatu.

"Kurasa tempat seperti ini tidak menyediakan MAX COFFEE."

"Serius?! Bukankah bar ini ada di Chiba?"

Chiba tanpa MAX COFFEE bukanlah Chiba, oke? MAX COFFEE bahkan bisa dijumpai di
pegunungan, seperti di propinsi Yamanishi.

"...Well, sebenarnya kita menyajikan itu juga disini," Kawasaki menggumamkan itu, membuat
Yukinoshita memandanginya dengan tajam.

Kenapa sih dua gadis ini tidak terlihat bisa akrab begitu saja? Menakutkan.

"Jadi ada keperluan apa kalian datang kesini? Jangan bilang kalau kalian berkencan dengan makhluk
itu?"

"Ya Tuhan, tentu saja tidak. Kalau yang kau maksud itu adalah makhluk yang ada di sebelahku ini,
maka selera humormu itu perlu dipertanyakan lagi."

"Haloo...Ini harusnya adalah perdebatan antara kalian berdua, jadi bisakah untuk tidak membuatku
menjadi bahan hinaan?" Aku benar-benar tidak terkesan dengan cara mereka mengatakan aku
makhluk.

Pembicaraan keduanya tampaknya hanya akan berputar-putar saja, jadi kuputuskan untuk langsung
ke masalahnya.

"Kudengar belakangan ini kau pulang terlambat ke rumah. Apakah karena pekerjaan paruh waktu
ini? Adikmu itu mengkhawatirkanmu."

Mendengar itu, Kawasaki hanya memasang senyum yang dibuat-buat, dia tidak bisa
menyembunyikan kejengkelannya dengan senyum yang seperti itu.

"Kau datang jauh-jauh kesini hanya untuk mengatakan itu? Usahamu lumayan juga. Tapi tahu tidak?
Apa kau benar-benar berpikir kalau aku akan berhenti hanya karena ada pria antah-berantah yang
tidak kukenal ataupun kupedulikan mengatakan itu kepadaku?"

"Luar biasa. Bahkan teman sekelas Hikki tidak kenal ataupun peduli dengannya..." Yuigahama tiba-
tiba muncul di momen yang aneh untuk menunjukkan kekagumannya.

Meski begitu, aku tidak tahu apapun soal Kawasaki juga, jadi kita berdua bisa dikatakan impas.

Kawasaki tiba-tiba berbicara lagi.


"Oooh, jadi belakangan ini aku merasa kalau situasiku bertambah menjengkelkan itu karena ada
hubungannya dengan kalian? Apa Taishi mengatakan sesuatu kepada kalian? Aku tidak tahu apa yang
dia rencanakan, tapi aku akan bicara dengannya nanti, kalian jangan khawatirkan itu lagi." Kawasaki
lalu terdiam.

"Begini, Taishi itu tidak ada hubungannya dengan ini."

Kawasaki lalu menatap tajam ke arahku. Dia seperti hendak mengatakan kepadaku kalau ini
bukanlah urusanku. Tapi Yukinoshita bukanlah tipe orang yang akan mundur hanya karena ancaman
seperti ini.

"Ada sebuah alasan yang membuatmu harus berhenti." Yukinoshita lalu melirik ke arah arloji yang
ada di pergelangan tangan kirinya, lalu melihat waktunya.

"Sekarang jam 10.40 malam...Kalau kau Cinderella, itu artinya kau punya satu jam tersisa sebelum
durasi sihirnya habis."

"Kalau sihirku habis, bukankah hanya happy ending yang sedang menungguku, benar tidak?"

"Entah kalau itu, Putri Duyung Kecil. Aku percaya hanya bad ending yang ada di depanmu nanti."

Percakapan mereka membuat orang lain merasa ragu untuk ikut campur, seperti berusaha
menyamakan suasananya seperti suasana bar kaum elit pada umumnya.

Saling bertukar sindiran dan sarkasme adalah hobi dari kaum elit. Tapi serius ini, kenapa mereka
tidak memilih untuk akur-akur saja? Bukankah ini pertamakalinya mereka berbicara satu sama lain?
Menakutkan.

Seseorang menepuk bahuku dan berbisik di telingaku, membuat semua lamunanku ini menjadi
buyar.

"...Hei, Hikki. Apa yang mereka berdua bicarakan?"

Oh, Yuigahama. Aku benar-benar bisa merasa santai jika mengetahui ada orang desa sepertimu di
tempat seperti ini...

Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur ketentuan kalau pekerja di bawah 20 tahun tidak boleh
bekerja lewat dari jam 10 malam. Dengan bekerja pada jam seperti ini, itu sama saja memberitahu
kalau Kawasaki ini sebenarnya bekerja disini menggunakan KTP palsu. Dan sihir itu akan habis jika
Yukinoshita melaporkan hal itu.

Meski begitu, Kawasaki tidak bergeming.

"Jadi kau tidak ada keinginan untuk berhenti?" Yukinoshita terus menekannya.

"Hmm? Tidak," Kawasaki mengatakan itu dengan santai sambil membersihkan botol sake.

Lalu, Kawasaki menambahkan.

"Bahkan jika berhenti kerja dari sini, aku masih bisa cari kerja di tempat lainnya."
Yukinoshita lalu mengaduk Perrinya (...ataukah Harris?) dengan tidak teratur, seperti kesal dengan
kelakuan Kawasaki.

Di situasi yang panas ini, Yuigahama membuka mulutnya.

"Umm, tahu tidak...Kawasaki-san, kenapa kau harus bekerja disini? Maksudku, seperti, aku sendiri
juga akan mencari kerja paruh waktu jika aku tidak punya uang, tapi aku tidak akan berbohong ke
orang tentang umurku dan bekerja sampai larut malam..."

"Tidak ada alasan khusus...Aku hanya butuh uangnya saja." Dia mengatakan itu sambil menaruh
botol sake di meja.

Well, kurasa beginilah yang terjadi, pikirku. Uang adalah alasan mayoritas mengapa orang bekerja.
Ada juga orang yang bekerja karena dia melihat orang-orang di sekitarnya juga bekerja, atau orang
bekerja karena dia tidak bisa hidup tanpa bekerja, tapi sayangnya aku tidak bisa memahami tipe orang
yang seperti itu.

"Oh, yeah, aku paham maksudmu," akupun mengatakan itu dengan santai.

Ekspresi Kawasaki tampak serius.

"Tidak, kau tidak akan paham...Mustahil orang yang menulis cita-cita bodoh di kuisioner konseling
akan memahami itu."

Kawasaki dan diriku pernah bertemu di atap. Dia memegang kertas kuisionerku tentang kunjungan
tempat kerja. Kurasa yang itu?

"Itu bukanlah cita-cita yang bodoh..."

"Huh, jika itu tidak bodoh, maka aku tidak tahu lagi harus menyebut apa itu. Kau benar-benar
meremehkan umat manusia." Kawasaki lalu menghantam meja bar dengan kain yang dia gunakan
untuk membersihkan sake tersebut, membuat lemari minuman di belakangnya bergetar.

"Kau...Tidak, tidak hanya kau saja Yukinoshita dan Yuigahama tidak akan pernah paham. Aku
bekerja bukan untuk mencari uang saku yang digunakan untuk main-main. Jangan samakan diriku
dengan orang tolol yang disana."

Kawasaki menatapku dengan tajam. "Jangan menghalangiku lagi", itulah yang hendak dikatakan
oleh kedua mata itu. Tapi aku tahu kalau jauh di dalam hatinya, dia sedang menangis kesepian.

Meski begitu, dia berusaha menunjukkan kalau dirinya kuat dan seperti yang terlihat pada umumnya.
Aku bukanlah orang yang akan mengira kalau kata-katanya yang emosional tadi adalah tanda-tanda
kalau dia mulai kalah, tapi aku melihat betapa dalam dia terjatuh dalam kesalahpahaman itu dan dia
secara diam-diam berkeinginan kalau suatu hari nanti orang-orang akan menyukai dirinya yang
seperti itu.

Misalkan saja Yukinoshita. Semua orang salah paham kepadanya, dan dia tidak menyerah ataupun
menangis. Itu karena dia percaya dengan dirinya sendiri.

Atau misalnya Yuigahama. Ketika dia berusaha memahami seseorang, dia tidak akan menyerah atau
kabur. Tidak peduli apa masalahnya, dia akan mencoba dan berusaha mendekati orang itu, dan
berharap sesuatu akan berubah.

"Yeah, tapi tidak akan ada yang berubah jika kau tidak bicara, tahu tidak? Mungkin, itu bisa
membuatmu bertambah kuat...Dengan membicarakan itu, bisa membuatmu bersemangat, begitulah..."
Yuigahama tidak meneruskannya karena tatapan dingin Kawasaki membuatnya berhenti.

"Seperti kataku, kalian tidak akan paham. Membuatku lebih kuat? Membuatku bersemangat? Oke
kalau begitu. Kalian tinggal sediakan uang saja bagiku. Bisakah kalian menanggung beban dimana
orangtuaku sendiri tidak mampu untuk menanggungnya?"

Ya Ampun! Kawasaki menakutkanku. Kata-katanya membuat Yuigahama terdiam karena malu. "I-
Itu..." dia kesulitan untuk mengatakannya.

"Sudah cukup," Yukinoshita mengatakan itu dengan dingin. "Kalau kau teruskan lagi..."

Dia lebih menakutkan dari Kawasaki yang memotong kata-kata Yuigahama tadi.

Sama sepertiku, Kawasaki sempat kaget, tapi dia dengan cepat kembali ke dirinya dan menatap
Yukinoshita dengan senyum yang sinis.

"Hei, kalau tidak salah Ayahmu itu anggota DPRD ya? Mustahil orang yang setiap harinya hidup
enak sepertimu bisa memahami diriku..." dia mengatakan itu dengan pelan, seperti sedang berbisik.
Aku bisa merasakan kalau dibalik nada suaranya terdapat sebuah keputusasaan.

Setelah Kawasaki mengatakan itu, terdengar bunyi gelas yang jatuh dan menumpahkan
minumannya.

Ketika kulihat asal suaranya, gelas sampanye yang berisi perrier tumpah di meja.

Yukinoshita seperti menggigit bibirnya sendiri, dia hanya menatap ke arah bawah. Aku sendiri, tidak
pernah melihat Yukinoshita yang seperti ini. Tanpa mengatakan apapun, aku mencoba melihat
keadaan Yukinoshita.

"...Yukinoshita?"

Dia lalu membalas.

"Huh? O-oh, maafkan aku,"

Yukinoshita mengatakan itu dengan nada yang biasa tidak, nadanya jauh lebih dingin dari
biasanya. Dia lalu mulai membersihkan meja di depannya dengan handuk tangan.

Kurasa bagi Yukinoshita, reaksi yang tidak biasa seperti itu adalah semacam tabu. Kalau dipikir-
pikir, ini bukanlah momen pertama aku melihat dia dengan ekspresi seperti itu. Tepat ketika aku
mulai mengingat kejadian tersebut, aku mendengar suara orang menghentakkan tangannya di atas
meja.

"Tunggu! Keluarga Yukinon tidak ada hubungannya dengan ini!" Yuigahama mengatakan itu
dengan kasar dan menatap ke arah Kawasaki.

Dia tidak sedang becanda Yuigahama benar-benar jengkel. Ternyata dia bisa membuat wajah jelek
juga ketika marah...

Entah apa karena itu terlihat kontras dengan Yuigahama normal yang biasanya tertawa ceria atau
karena dia sadar kalau dia sudah menyinggung orang, Kawasaki merendahkan nada suaranya.

"...Kalau begitu, maka keluargaku tidak ada hubungannya juga."

Dan begitulah percakapan ini berakhir.

Yuigahama dan diriku dan, tentunya, Yukinoshita tidak ada hubungannya dengannya.
Katakanlah, tindakan Kawasaki ini sebenarnya melanggar hukum, kedua orangtuanya dan gurunya
yang akan disalahkan, dan hukumannya diserahkan kepada hukum. Tidak ada satupun hal yang bisa
kita dimana kita sendiri bukanlah temannya ataupun punya hubungan khusus dengannya lakukan
untuknya.

"Kau mungkin ada benarnya, tapi bukan itu masalahnya! Yukinon ini "

"Yuigahama-san. Tolong tenang dulu. Aku hanya tidak sengaja menumpahkan gelasku. Kau tidak
perlu khawatir soal itu." Yukinoshita mengatakan itu untuk menenangkan Yuigahama. Suaranya
masih terdengar lebih dingin dari biasanya.

Meski ini masih awal dari musim panas, suasananya terasa dingin dan penuh tekanan. Begitulah
akhir situasi kami hari ini. Yukinoshita, Yuigahama, dan juga Kawasaki berbicara dan akhirnya
berakhir seperti ini.

Ada beberapa hal yang sudah kupahami dari sini. Yang tersisa hanyalah melakukan sesuatu untuk
memperbaiki situasinya.

"Ayo kita pulang. Jujur saja, mataku mulai mengantuk. Setelah kuhabiskan minuman ini, aku akan
pulang."

Kalau dipikir-pikir, Cinderella masih memiliki lebih dari setengah jam sebelum dia pulang.

"Kau..." Yukinoshita mendesah kesal seperti hendak mengatakan sesuatu kepadaku, tapi Yuigahama
menghentikannya.

"Begini-begini, Yukinon. Ayo kita pulang?"

Ketika aku dan Yuigahama saling menatap satu sama lain, Yuigahama mengangguk. Tampaknya
Yuigahama sadar kalau Yukinoshita bersikap berbeda dari dirinya yang biasanya.

"...Baiklah, ayo kita pulang."

Ajaibnya, Yukinoshita menurut begitu saja dengan permintaanku, seperti baru saja sadar kalau dia
bersikap aneh malam ini. Setelah menaruh beberapa lembar uang di atas meja tanpa melihat slip
tagihannya, dia berdiri. Yuigahama berdiri dari kursinya, dan menemani Yukinoshita.

Kupanggil dia dari belakang. "Yuigahama, kukirim SMS nanti."

"...Huh? Oh, uh. Benar, umm, oke."


Karena pencahayaan ruangan ini, aku melihat wajah Yuigahama tampak memerah dengan salah satu
tangan menutupi dadanya. Aksinya itu terlalu aneh untuk tempat se-trendi ini, jadi kuharap dia akan
menghentikan itu.

"Baiklah, kutunggu SMS-nya."

Setelah melihat keduanya pergi, aku mengangkat gelasku sebentar dan melihat ke arah Kawasaki.
Setelah kuminum beberapa teguk untuk menghilangkan rasa hausku, aku mulai berbicara.

"Kawasaki. Sempatkan waktumu untukku besok pagi. Aku akan menunggumu di McDonalds 5.30
pagi. Oke?"

"Huh? Kenapa?" Sikap Kawasaki malah lebih dingin dari biasanya.

Meski begitu, aku percaya kata-kataku selanjutnya akan mampu merubah perspektifnya.

"Aku ingin berbicara sebentar denganmu mengenai Taishi."

"...Apa?" Kawasaki menatapku dengan curiga tidak, lebih tepatnya tatapan mata yang ingin
membunuh. Untuk menghindari tatapan mata itu, aku meminum habis gelasku dan berdiri.

"Kalau begitu, sampai jumpa besok. Bye!"

"Tunggu dulu!" Dia memanggilku.

Aku tidak mempedulikannya, aku berjalan dengan penuh gaya dan mengibaskan tanganku tanpa
menoleh kepadanya sehingga aku terlihat keren seperti suasana elit bar ini.

"Tunggu dulu! Uangnya tidak cukup!"

....Yukinoshita...Kampreetttttttt!!! Dia tidak membayar minumanku sekalian!

Tanpa mengatakan apapun, aku kembali ke bar dan memberikan selembar 1000Yen kepadanya.

Setelah itu, aku menerima 60Yen sebagai kembalian. Entah mengapa aku merasa kalau aku tidak
perlu banyak tanya soal ini.

Satu gelas Ginger Ale seharga hampir 1000Yen. Aku seperti dirampok di siang bolong...

x Chapter IV Part 10 | END x


Chapter 4 : Karena Alasan Tertentu, Kawasaki Saki Keluar Dari Jalannya -
11

xxx

Berpindah langsung ke paginya. Atau begitulah yang kutulis, kecuali diriku yang sangat mengantuk
dan sedang berada di McDonalds pada jam 5 pagi, dan meminum cangkir kedua dari kopiku ini.
Langit mulai terlihat dan terdengar suara cuitan burung gereja sebelum mereka terbang lagi entah
kemana.

Setelah insiden semelam, kami berpisah. Setelah sampai di rumah, aku meminta tolong Komachi
untuk melakukan sesuatu untukku dan aku pergi keluar untuk menghabiskan waktu. Mungkin
harusnya aku tidur saja, tapi aku sendiri tidak yakin kalau aku bisa bangun tepat jam 5.

Hanya ada satu alasan aku begadang semalaman.

"Jadi dia datang..."

Suara pintu otomatis yang terbuka terdengar, dan muncullah Kawasaki Saki, berjalan dengan lesu ke
arahku.

"Apa maumu?"

Dia menanyakan itu seperti jengkel saja, mungkin karena dia sendiri juga kurang tidur.

Dia terlihat sangat jengkel, terlihat dari hentakan sepatunya di lantai yang mulai membuatku berpikir
banyak, tapi aku menghentikan semua pikiranku itu dan bersikap setenang mungkin.

"Terang dulu." Aku mencari-cari kata yang tepat untuk mengganti kesalahanku. "Maksudku, tenang
dulu."

Oke, ternyata bersikap santai-santai adalah sebuah kegagalan. Tapi itu karena Kawasaki sangat
menakutkanku.
Kesalahan kecil tadi itu membuatku semakin percaya diri, dan kata-kataku selanjutnya keluar dengan
baik.

"Semuanya akan kesini sebentar lagi. Jadi tunggulah sebentar lagi."

"Semuanya...?"

Ketika Kawasaki menatapku dengan keheranan, terdengar suara pintu otomatis yang terbuka,
menandakan kedatangan Yukinoshita dan Yuigahama.

Setelah kami berpisah semalam, aku mengirim Yuigahama sebuah SMS singkat. Kuperintahkan dia
untuk tinggal di tempat Yukinoshita, meminta ijin ke orang tuanya, dan datang ke McDonalds
bersama Yukinoshita jam 5 pagi. Itu saja aku menuliskan tiga poin penting yang harus
kusampaikan, pesan yang pragmatis.

"Kalian lagi?" Kawasaki mengembuskan napasnya dengan kesal.

Tapi dia bukanlah satu-satunya orang yang sedang kesal disini.

Dengan ekspresi kesal di wajahnya, Yuigahama menolak untuk melihat ke arahku.

"Ada apa? Apa dia kurang tidur?" kutanya Yukinoshita, tapi dia malah menaikkan bahunya.

"Entahlah? Kupikir dia sudah cukup tidur...Tapi kalau tidak salah, setelah dia menerima SMS
darimu, kurasa waktu itulah dia mulai kesal. Apa kau menulis sesuatu yang mesum di SMS itu?"

"Bisakah kau, berhenti memperlakukanku seperti seorang penjahat mesum? Ngomong-ngomong,


aku tidak tahu kalau ternyata mengirimkan SMS berisi perintah-perintah sederhana akan membuatnya
marah."

Ketika diriku dan Yukinoshita saling menatap satu sama lain, Komachi tiba-tiba muncul.

"Yep, itulah Onii-chanku! Dia memang tidak punya sopan-santun."


"Oi, Komachi. Jangan biasakan muncul entah darimana hanya untuk menghinaku."

"Onii-chan, biasanya orang hanya mengirimkan SMS instruksi jika mereka adalah rekan kerja di
kantor. Jika tidak punya hubungan itu dan kau mengirim SMS instruksi, kau hanya membuat
suasananya memburuk."

"Jadi kau dipanggil kesini juga, Adik-kecil?" tanya Yukinoshita, seperti kembali ke dirinya.

"Yep, aku kesini karena ada sesuatu yang harus kukerjakan. Aku kesini membawa dia, tahu tidak?"
Komachi mengatakan itu sambil menunjuk ke Taishi. Dia terlihat menggerutu ketika ditunjuk.

"Taishi...Apa yang kau lakukan di jam seperti ini?" Kawasaki menatap ke arah Taishi dengan
eskpresi terkejut bercampur marah.

Tapi Taishi tampak tidak terpengaruh.

"Akulah yang harusnya bertanya seperti itu, Nee-chan. Apa yang kau lakukan di jam seperti ini?"

"Itu bukanlah urusanmu..." Kawasaki mencoba mengalihkan topiknya.

Mungkin jawaban seperti itu bisa diterima oleh orang lain, tapi tidak bagi Taishi, yang merupakan
keluarganya. Sampai saat ini, percakapan antara Kawasaki dan Taishi selalu berakhir dengan
Kawasaki berhasil kabur dari percakapan itu. Dia hanya menjawab dengan singkat dan pergi. Dia
melakukan apa saja yang dia suka.

Tapi saat ini, dia tidak bisa melakukan itu. Kami mengelilinginya, mencegahnya untuk kabur tidak
lupa juga, ini pagi hari, jadi kita menghentikannya tepat di dekat tempat kerjanya.

"Jelas saja urusanku," Taishi terus memaksa. "Aku ini adikmu..."

"...Kan sudah kuberitahu, kau tidak perlu tahu soal ini," jawab Kasawaki, suaranya melemah. Meski
begitu, dia tetap tidak mau berbicara lebih jauh.

Alasan mengapa dia tidak mau menceritakannya karena dia pikir kalau Taishi harusnya tidak tahu
soal ini, begitulah kesimpulanku.

"Kawasaki, biar kutebak mengapa kau bekerja dan mengapa kau butuh uang," kataku, membuat
Kawasaki menatapku. Yuigahama dan Yukinoshita juga menatapku dengan penasaran.

Alasan mengapa Kawasaki bekerja paruh waktu: pastinya hanya dia yang tahu persis apa itu. Tapi
kalau kau pikir baik-baik, sebenarnya ada petunjuk disana.

Kawasaki menjadi nakal ketika menginjak kelas 2 SMA, itu menurut Kawasaki Taishi. Kau bisa
katakan kalau itu dari sudut pandang Kawasaki Taishi. Tapi bagaimana dengan sudut pandang
Kawasaki Saki? Belum tentu begitu.

Dari sudut pandang Kawasaki Saki, dia mulai bekerja paruh waktu ketika Kawasaki Saki masuk
kelas 3 SMP. Dengan begitu, alasannya pasti ada di kejadian yang terjadi di rentang waktu tersebut.

"Taishi, apa ada yang berubah ketika kau masuk kelas 3 SMP?"

"Err, uhh...Kalau tidak salah aku mulai ikut bimbingan belajar?" Taishi berusaha mengingat-ingat
sesuatu di kepalanya, tapi tampaknya hanya itu saja yang dia ingat. Seperti sudah tahu apa yang akan
kukatakan selanjutnya, Kawasaki seperti mulai menggigit bibirnya sendiri, frustasi akan sesuatu.

"Ah, aku paham! Dia bekerja untuk membayar biaya bimbingan belajar adiknya " Yuigahama
tiba-tiba memotong, tapi aku tegaskan kepadanya.

"Bukan.Biaya bimbingan belajar harus sudah dibayar sebelum bimbingan belajar dimulai, yaitu awal
bulan April. Itu artinya, keluarga Kawasaki pasti membayar bimbingan bulan April itu jauh hari
sebelumnya. Dengan kata lain, kau bisa katakan kalau bimbingan belajar Kawasaki Taishi tidak ada
hubungannya dengan ini."

"Begitu ya, tampaknya aku mulai paham." Yukinoshita lalu menatap Kawasaki seperti memahami
sesuatu dan memasang ekspresi simpati. Lalu, Yukinoshita menambahkan.

"Kalau begitu, berarti uangnya digunakan untuk membiayai sesuatu yang akan datang."

Tepat sekali. SMA Sobu memang didesain untuk menyiapkan siswanya menuju jenjang universitas.
Mayoritas siswa memang ingin kuliah setelah lulus. Hasilnya, mereka mulai mempersiapkan itu baik-
baik ketika menginjak kelas 2 SMA, tidak lupa juga ada orang-orang yang serius dengan mengikuti
bimbingan belajar musim panas.

Dan ketika kau ingin kuliah, maka kau butuh uang di setiap detailnya.

"Seperti kata Taishi sebelumnya. Nee-channya dulu adalah gadis yang pandai dan ramah.
Sebenarnya, dia masih seperti itu saat ini." aku menutup kesimpulanku.

Kawasaki merendahkan bahunya ketika mendengar kesimpulanku.

"Nee-chan...Kucoba untuk membatalkan bimbingan belajarku, mungkin..."

"...Karena itulah kubilang kalau kau tidak perlu tahu." Kawasaki memukul kepala adiknya dengan
lembut.

Aww, tampaknya ini adalah akhir yang hangat dari seluruh drama ini. Maksudku, ini bagus bagi
mereka. Dan mereka hidup bahagia selamanya. Atau begitu pikirku, tapi Kawasaki mengatakan
sesuatu.

"Meski begitu, aku tidak bisa berhenti dari pekerjaanku. Aku berniat kuliah nantinya. Aku tidak
ingin membuat orangtuaku memiliki masalah soal itu, Taishi." Kawasaki mengatakan itu dengan
tajam.

Dia jelas-jelas mengambil keputusan sepihak, dan cakar besinya itu kembali membuat Taishi
terdiam.

"Um, bolehkah aku mengatakan sesuatu?" sebuah suara yang lembut memecah kesunyian ini.
Ternyata itu Komachi. Kawasaki lalu menatapnya dengan penasaran. "Apa?" dia seperti hendak
mengatakan itu dengan ekspresinya.

Tapi Komachi bisa membalikkan kemarahannya itu dengan senyuman.

"Oke, jadi begini. Kedua orangtua kami ini sehari-harinya sibuk bekerja, dan karena itu, ketika aku
pulang ke rumah, tidak ada orang di rumah. Ketika aku memberikan salam, tidak ada seorangpun
yang menyambutku."

"Umm, kalau ada yang menyapa balik kepadamu ketika tidak ada orang di rumah, itu akan sangat
menakutkan," aku mencoba menambahkan. "Ada apa dengan topik ini?"

"Oh, benar. Onii-chan, tolong jangan banyak bacot dulu."

Dia tiba-tiba membuatku terdiam. Seakan-akan menerima hal itu, aku mencoba untuk menahan
lidahku dan memasang telingaku baik-baik untuk mendengar apa yang akan dia katakan.

"Jadi, aku mulai lelah dengan pulang ke rumah dan selalu menghadapi kondisi seperti itu. Lalu aku
kabur dari rumah selama lima hari. Waktu itu, yang menjemputku bukanlah orangtuaku, tapi Onii-
chan. Setelah itu, Onii-chan selalu pulang lebih awal dariku dan menungguku di rumah. Jadi aku
sangat berterimakasih kepada Onii-chan untuk apa yang dilakukannya itu."

Kakak terbaik di dunia yep, itu memang diriku. Cerita yang hangat tadi (dimana aku sendiri tidak
ingat sama sekali) sudah cukup untuk membuatku mengeluarkan air mata. Sebenarnya, dulu aku tidak
ada niatan untuk menemani Komachi atau sejenisnya; Aku pulang lebih dulu ke rumah karena aku
tidak punya teman bermain dan ingin melihat anime yang biasa mengudara jam 6 sore di TV Tokyo.

Kawasaki lalu menatapku dengan ekspresi penuh hormat, sementara Yuigahama seperti hendak
menangis saja mendengarnya. Hanya Yukinoshita saja yang tampak memiringkan kepalanya.

"Alasan Hikigaya-kun pulang lebih dulu karena dia tidak punya satupun teman waktu itu, benar
tidak?"

"Hei, kau tahu dari mana soal itu? Apa kamu ini Yukipedia atau sejenisnya?"

"Well, yeah, aku sendiri tahu soal itu," Komachi mengakui itu dengan santainya,"Tapi aku tetap
mengatakannya seperti itu agar 'Komachi Poin' milikku bertambah."

Itu membuat Yuigahama berkomentar. "Kau benar-benar adik dari Hikki,"

"Hei, apa maksudmu?" Apa dia hendak mengatakan kalau aku juga sama manisnya dengan adikku?
Kalau benar begitu, aku setuju-setuju saja.

"Jadi, apa yang hendak kau katakan?" Kawasaki seperti mulai jengkel dibuatnya.

Jujur saja, tubuhku mulai berkeringat dingin, tapi Komachi melihat Kawasaki langsung ke kedua
matanya dengan senyum yang ceria.

"Meskipun kakakku itu tidak berguna, dia setidaknya tidak akan melakukan sesuatu yang akan
membuatku khawatir itulah yang kupahami selama ini. Bahkan hal-hal kecil yang dia
lakukan benar-benar untuk membantuku dan membuatku merasa bahagia." dia lalu menyeringai. "
Oh, tampaknya itu baru saja membuat poin Komachi bertambah!"

"Jangan menambahkan kalimat yang tidak penting di akhir penjelasanmu."

"Mustahil itu! Jelas-jelas kau berusaha menyembunyikan rasa malumu! Oh, itu juga baru saja
membuat Poin Komachi bertambah lagi!"

"Sudah diam."

Ya ampun, karena aku berhubungan dengan orang yang mengatakan sesuatu yang idiot, ceroboh,
tidak heran aku mudah sekali diperdaya oleh makhluk yang bernama wanita. Ketika aku berusaha
menjelaskan kalau sikapnya ini sangat mengganggu, Komachi kesal dan komplain. Ketika aku tetap
ngotot, dia lalu mengatakan sesuatu ke Kawasaki.

"Jadi pada dasarnya, seperti bagaimana dirimu tidak ingin membebani keluargamu, Saki-san, Taishi-
kun juga tidak ingin memberimu masalah, begitulah? Kurasa, sebagai adik, aku akan merasa bahagia
jika kakakku bisa memahami poin itu."

Tidak ada respon.

Kawasaki hanya terdiam. Di saat yang bersamaan, akupun juga begitu.

...Sial, aku tidak tahu bagaimana memecahkan kesunyian ini. Aku sendiri tidak menduga kalau
Komachi akan berpikir seperti itu terhadapku. Aku jelas-jelas tidak pernah menyadarinya karena aku
sendiri tidak pernah memberinya masalah.

"...Well, kurasa sejenis itu," Taishi menambahkan. Dia memalingkan wajahnya yang terlihat
memerah.

Kawasaki lalu membelai rambut Taishi dengan perlahan. Ekspresinya yang sebelumnya hilang entah
kemana, dia lalu tersenyum dengan lembut.

Meski begitu, masalahnya belum selesai. Satu-satunya hal yang didapat oleh mereka adalah
bagaimana membuka komunikasi kembali diantara keduanya. Mendapatkan kepuasan emosional
bukan berarti semuanya akan terlihat baik-baik saja. Itu tidak bisa menyelesaikan masalah. Pada
akhirnya, uang dan materi merupakan hal dasar yang tidak bisa dipisahkan.

Uang merupakan masalah serius bagi siswa SMA. Uang yang kau dapatkan dari bekerja paruh waktu
tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan berbagai hal di dunia ini. Kau akan depresi jika kau
mengkalkulasi berapa jam kau harus bekerja untuk mendapatkan jutaan Yen untuk membayar biaya
kuliahmu.

Memberinya satu atau dua juta Yen akan membuat kita terasa keren, tapi sayangnya kita tidak punya
uang itu dan bertentangan dengan prinsip Klub Relawan. Seperti kata Yukinoshita waktu itu...

Berikan pria itu ikan, maka kau memberinya makan untuk sehari; mengajari pria itu untuk
mendapatkan ikan, maka kau sudah memberinya makan untuk seumur hidup.

Dengan pikiran itu, aku berikan salah satu strategiku yang hendak kuterapkan di masa depan untuk
'kaya dengan cepat'.
"Kawasaki. Kau tahu soal beasiswa?"

x Chapter IV Part 11 | END x

Chapter 4 : Karena Alasan Tertentu, Kawasaki Saki Keluar Dari Jalannya -


12

xxx

Jam 5.30 pagi, udara terasa sangat dingin sekali. Sambil menguap, aku melihat dua sosok orang yang
sedang berjalan menjauh dari kami.

Jarak diantara keduanya tidak pernah menjauh ataupun lebih dekat dari itu; ketika salah satunya
lebih cepat, satunya lagi mempercepat langkahnya, dan bahu mereka tampak sesekali naik ketika aku
mendengar suara tawa mereka.

Yukinoshita berdiri diantara pekatnya kabut pagi.

"Apakah bersama saudara harusnya terlihat seperti itu?" dia mengatakan itu sambil mendesah.

"Bisa jadi. Tergantung siapa yang terlibat. Kau juga bisa menyebut saudaramu itu sebagai orang
asing yang paling dekat denganmu."

Kadang, ada saja momen dimana aku terlampau jengkel dan berpikir untuk menghajar adikku, dan di
momen tersebut aku merasa kalau diriku memang tidak seperti biasanya. Meski begitu, di momen itu,
aku bisa merasakan kalau cinta dan keakrabanku juga menjadi lebih dekat. Tanpa bisa menjelaskan
perasaan apa itu dan selamanya merasakan ada dinding diantara kalian, itulah arti sebenarnya menjadi
saudara.
Oleh karena itu, menyebut mereka sebagai orang asing terdekat memang aneh, tapi itu memang
cocok untuk menggambarkannya. Mereka adalah orang terdekat denganmu, dan mereka orang asing
bagimu. Mereka adalah orang asing bagimu, dan mereka juga orang terdekat untukmu.

"Orang asing terdekat...Begitu ya. Aku tampaknya paham juga." Yukinoshita mengangguk, terus
menundukkan kepalanya ke bawah.

"Yukinon?" Yuigahama tiba-tiba berusaha mengintip wajah Yukinoshita, seperti terheran-heran


dengan apa yang terjadi.

Mendengar namanya dipanggil, Yukinoshita menegakkan kepalanya dan tersenyum ke Yuigahama.

"Kurasa, sekarang saatnya kita untuk pergi. Dalam tiga jam kita harus masuk ke sekolah."

"Oh, oke..." Yuigahama tampak sedikit keberatan dengan sikap Yukinoshita tersebut, tapi dia tetap
mengangguk dan membetulkan tas di bahunya.

Kulepaskan kunci sepedaku.

"Komachi, bangun."

Komachi yang sedang duduk di ornamen batu di depan McDonalds mengangguk karena tertidur.
Kucolek pipinya dengan lembut, membuatnya menggerutu dengan aneh dan dia mulai membuka
matanya secara perlahan. Dia lalu berdiri dan menyeret kakinya seperti seorang zombie, lalu duduk di
kursi belakang sepedaku.

Di waktu normal, dia harusnya masih tidur. Karena ada dirinya di kursi belakang, aku harus
mengayuh sepedaku dengan perlahan. Aku lalu duduk di sepedaku dan bersiap untuk mengayuh
sepedaku.

"Aku akan pulang dulu. Kerja bagus, semuanya."

"Yeah, sampai jumpa besok. Tidak, tunggu dulu. Sampai jumpa lagi di sekolah." Yuigahama lalu
melambaikan tangannya.

Yukinoshita terlihat diam saja, dia hanya menatap ke arahku dan Komachi. Tapi setelah aku mulai
mengayuh sepedaku, dia mengucapkan sesuatu secara perlahan.

"Kusarankan agar kau tidak naik sepeda berboncengan...Kau mungkin bisa terkena kecelakaan lagi."

"Oh, sampai jumpa," aku membalasnya dan mulai mengayuh sepedaku.

Otakku yang mulai mengantuk ini tampaknya tidak bisa bekerja dengan baik, dan semua pikiranku
yang masih fokus kutujukan untuk mengawasi lalu lintas. Karena itu, aku baru saja memikirkan apa
yang dikatakan Yukinoshita tadi.

Loh, kenapa dia bisa tahu soal kecelakaan itu...


Aku kayuh speedaku ke jalan lurus hingga persimpangan menuju Jalan Raya 14. Angin yang
biasanya meniup wajah kami ketika kami berangkat ke sekolah kini berada di belakang kita. Ketika
kami menunggu lampu lalu lintas berubah hijau, sebuah aroma yang enak dari toko roti yang berada
di seberang jalan mulau tercium.

Perutku mulai berteriak kelaparan.

"...Komachi. Kau mau roti sebelum kita ke rumah?"

"Tch! Onii-chan, dasar bodoh! Kau menawarkanku untuk mampir ke toko roti seperti pura-pura
tidak terjadi sesuatu. Bilang saja kalau kau sendiri juga lapar!"

Ketika dia menepuk punggungku, aku mengayuh sepedaku ke arah toko roti tersebut.

Komachi mendesah.

"Onii-chan, kau ini parah sekali. Jika kau mau pura-pura, aku ogah kalau nantinya harus
menceritakan hal-hal bagus tentangmu lagi."

"Nah, kau sendiri tidak pernah memujiku sama sekali. Pada akhirnya, yang kau ceritakan itu intinya
tentang kau yang menjadi anak baik. Itu semua cerita karanganmu saja."

"Meski itu ada benarnya," Komachi mengatakan itu setelah berhenti memukulku. Dia lalu terdiam
sejenak. "Tapi tahu tidak, aku tidak bohong soal aku bersyukur tadi."

Lalu dia melingkarkan tangannya di pinggangku, dan menempelkan kepalanya di punggungku.

"Apa kau hendak mengatakan 'Poin Komachi' bertambah?"

"Hmph, ternyata ketahuan." Meski mengatakan itu, Komachi tidak mau melepaskan tangannya dari
pinggangku.

Udara pagi yang menyenangkan secara perlahan mulai membekukan tubuh kami ketika kami
berpisah. Aku merasa kalau menyentuh kulitnya itu membuatku bertambah mengantuk. Entah
mengapa, aku mulai yakin kalau aku akan terlambat masuk sekolah hari ini. Jika aku pulang dengan
perasaan semacam ini, aku berani menjamin kalau aku akan langsung melompat ke kasur dan tertidur.
Kurasa tidak buruk-buruk amat terlambat ke sekolah lagi, sementara kau bisa lebih akrab dengan
saudaramu seperti ini.

"Tapi tahu tidak, kurasa itu bagus buat Onii-chan. Ternyata kau sudah bertemu dengan gadis itu."
Suara Komachi muncul dari belakangku.

"Huh? Apa yang kau bicarakan?"

Meski aku memasang ekspresi penuh tanda tanya, Komachi terus bercerita seperti tidak peduli
dengan ekspresiku.

"Tahu tidak, itu loh Gadis dengan Permen yang pernah kuceritakan. Komachi harusnya mengatakan
sesuatu ketika kita bertemu sebelumnya. Tapi sudahlah, selamat, Onii-chan. Tulang retakmu itu
akhirnya mempertemukanmu dengan gadis manis seperti Yui-san."
"Yeah, kurasa begitu..." kakiku seperti mengayuh secara otomatis.

Aku seperti tidak merasakan apapun dari apa yang sedang kulakukan ini.

Ini mungkin menjelaskan mengapa kakiku tiba-tiba meleset untuk mengayuh pedal sepeda.

Tiba-tiba tubuhku merasa terkejut. Sebuah rasa sakit yang mendalam mulai terasa.

"Gahhh!"

"Ouuuuch...Ada apa ini tiba-tiba? Ini pertamakalinya aku melihat orang meleset mengayuh pedal
sepeda."

Komentar Komachi terdengar seperti sesuatu yang dikatakan oleh orang dari kejauhan.

Aku hampir tidak percaya dengan apa yang barusan dia katakan. Jadi Yuigahama itu adalah si Gadis
permen?

Bagi orang lain, gadis permen mungkin terdengar seperti seseorang yang memberimu manisan ketika
Festival Bon atau mereka bisa saja kenalanmu, tapi itu bukanlah sebuah perasaan cinta. Tapi dalam
kasusku kali ini, takdirku seperti terhubung dengan gadis permen ini.

Aku terlibat insiden kecelakaan di hari pertama masuk SMA. Dalam perjalanan ke sekolah, seorang
gadis sedang berjalan-jalan dengan anjingnya. Ketika masuk lingkungan sekolah, anjingnya lepas dari
pemiliknya dan sayangnya, ada sebuah mobil mirip limosin yang mahal muncul. Hadiah dari
kecelakaan itu adalah tulang yang retak. Selama tiga minggu pertama masuk SMA, aku menghabiskan
waktuku dengan berada di ruang perawatan, menyegel nasibku sebagai seorang penyendiri.

Dan pemilik anjing itu adalah gadis yang Komachi sebut sebagai si gadis permen.

"Onii-chan, ada apa?" Komachi mencoba melihatku dengan khawatir, tapi yang bisa kuberikan
hanyalah senyum yang terkesan dipaksakan.

"Aku hanya memikirkan beberapa hal, itu saja."

Lalu bibirku membentuk senyum yang lebih kecut lagi, senyum dari seorang pecundang yang hina.

"Tidak ada apa-apa. Ayo kita beli rotinya dan langsung pulang setelahnya," kataku sambil mulai
mengayuh sepeda dan mulai fokus mengendarai sepeda.

Tapi anehnya, itu adalah usaha yang sia-sia. Sekali lagi, aku gagal mengayuhnya dan pedal tersebut
menghantam kakiku lagi.
x Chapter IV | END x
Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteiru
Volume 02 Bahasa Indonesia
Di translate oleh Aoi.
Zcaoi.blogspot.com

PDF oleh ユウトくん


Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteiru - Volume 02

Chapter 5 : Hikigaya Hachiman kembali ke jalan yang dia percayai

xxx

Aku kemarin seperti terjebak di hari-hari penuh ujian hingga senin. Dan hari ini adalah hari dimana
hasil ujian dibagikan.

Di kelas kami, kami mendapatkan kembali lembar jawaban milik kami dan mendapatkan penjelasan
tentang jawaban yang benar. Setiap satu mata pelajaran selesai, Yuigahama menemuiku dan
melaporkan kepadaku.

"Hikki! Nilai sejarah Jepangku naik! Kegiatan belajar bersama kemarin ternyata sangat bagus,"
Yuigahama berteriak kegirangan, namun aku selalu memberikan jawaban datar setiap dia
melakukannya.

"Baguslah."

"Yep! Aku berterima kasih ke Yukinon...oh, dan kamu juga, Hikki."

Begitulah katanya, tetapi aku sendiri tidak melakukan apapun.

Kalau kamu memang berniat belajar, hasilnya pasti akan baik. Pujiannya sebenarnya tidak perlu.
maksudku, Yuigahama mendapatkan nilai tersebut karena kerja kerasnya sendiri.

Ngomong-ngomong soal hasil ujian, aku berhasil mempertahankan nilaiku berada di ranking tiga
dalam Bahasa Jepang di SMA Sobu. Namun nilai matematikaku 9 dari 100. Whoa, kenapa nilai kedua
mata pelajaran itu jauh berbeda?

Sebenarnya, mendapatkan kembali hasil ujian kemarin bukanlah satu-satunya hal yang membuat
kami sangat antusias kali ini, tetapi kali ini kita akan melakukan kegiatan bernama 'kunjungan ke
tempat kerja'. Dalam masa-masa istirahat sehabis ujian, siswa-siswa melakukan kunjungan ke tempat
kerja yang mereka inginkan.

Kami pergi ke Kompleks Perkantoran Kaihin-Makuhari. Tempat ini adalah sebuah kompleks
perkantoran yang padat, dan ternyata ada beberapa kantor pusat yang beroperasi disana juga. Dan
seperti hari-hari biasanya, aktivitas yang padat berlangsung di sana. Orang-orang menyebut Makuhari
sebagai jantung dari kota ini memang benar adanya. Kamu bahkan bisa mengatakan kalau ini adalah
pusat dari kota Chiba.

Grup kami terdiri dari Totsuka, Hayama, dan diriku.


Atau setidaknya, itulah yang tertulis di kertas kami.

Kenyataannya, siswa lainnya berkumpul di sekitar Hayama seperti lalat setiap aku melihatnya. Apa
sih dia ini, mayat? Meski begitu, aku sebenarnya tidak menganggap kalau Hayama ada di kelompok.
Aku berpikir kalau ini adalah kencan bersama Totsuka - hanya berdua diantara kita - tapi ketika aku
melihat ke arah Totsuka, selalu terdapat gerombolan gadis yang mengikutinya. Totsuka sendiri agak
kaget dan mungkin kau akan berpikir kalau dia sedang dibully jika kamu tidak mengenal dengan baik
dirinya.

Hayama dikelilingi oleh tiga siswa yang seharusnya berada di grup yang berbeda bersama Miura dan
lainnya. Aku bisa melihat Yuigahama bersama mereka. Ketika aku berusaha menghitung jumlah
siswanya, aku berpikir kalau disini terdapat sekitar lima grup yang bergerombol di dekat grupku.

Berkumpul bersama orang-orang bukanlah hal yang kuinginkan. Ketika liburan tiba dan aku keluar
rumah, melihat orang-orang di sekitar saja sudah membuatku malas keluar dan ingin kembali ke
rumah saja. Dan sekarang, aku akhirnya hanya berada di belakang gerombolan grup ini.

Lokasi yang dipilih grup kami (maksudku yang dipilih oleh Hayama) adalah bagian pembuatan
peralatan elektronik yang merknya sangat kukenal. Tempat ini tidak hanya terdapat kantor dan bagian
riset, tetapi juga memiliki fasilitas untuk memamerkan kegiatannya. Perusahaan yang terdengar
menyenangkan, dengan layar selebar bioskop untuk menjelaskan sesuatunya.

Kalau Hayama memilih tempat ini tetapi tidak tahu kalau tempat ini sangat bagus, maka ini salah
satu kelebihan dia: dia memiliki indra keenam. Sekali lagi, jika dia memilih tempat ini karena tahu
kalau gerombolan grup akan berkumpul di dekatnya, level kepedulian dia akan siswa yang juga butuh
informasi pengetahuan cukup mengagumkan.

Berbeda dari pameran sebelumnya, melihat bagaimana mesin-mesin bekerja ternyata cukup
menyenangkan, bahkan untuk penyendiri seperti diriku.

Aku menempelkan wajahku di kaca, menatap gerigi dan roda mesin-mesin itu seperti seorang anak
kecil yang menginginkan mainan baru. Melihat mesin-mesin tersebut sudah cukup bagiku untuk
merasa senang. "Kita bukanlah mesin" adalah kata-kata yang sering terdengar dari buruh-buruh yang
merasa telah dipekerjakan dengan tidak manusiawi, tetapi aku sendiri merasa itu kurang tepat. Kita
bukanlah mesin. Dan karena itulah, ada beberapa orang yang tidak merasa kalau mereka tidak tahu
bagaimana menggunakan potensi dirinya.

Selain itu, mesin-mesin juga seharusnya memiliki elemen yang lain. Sederhananya, elemen itu
adalah "for fun". Itu juga menjelaskan tujuan adanya bagian lain dari rantai sepeda dan perlengkapan
ekstranya. Beberapa orang mengatakan kalau bagian mesin yang bekerja dengan sederhana memiliki
masa hidup yang lebih lama. Itu yang dikatakan salah satu pekerja hari ini - baik mesin dan manusia
keduanya butuh elemen 'fun'.

Tetapi, keberadaanku disini seperti tidak memiliki kata 'fun'.

Ketika aku menjaga jarak antara diriku dan gerombolan grup itu, aku melihat ke sekitarku. Di
depanku terdapat sekumpulan siswa dan siswi yang bercanda dengan teman-temannya. Aku menoleh
ke belakangku dan disana tidak ada seorangpun. Satu-satunya yang menemaniku adalah kesunyian
yang menyakitkan.
Tetapi kesunyian tersebut segera pecah dengan suara hak sepatu yang menabrak lantai.

"Hikigaya, jadi kamu ada disini ya?"

Untuk kali ini, Hiratsuka-sensei tidak mengenakan jubah putihnya. Ini karena kalau dia memakainya
disini, dia bisa dikira salah satu pegawai perusahaan ini.

"Apa sensei sedang mencari sesuatu?"

"Ya, seperti itulah," kata Hiratsuka-sensei, dia daritadi terus menatap ke mesin-mesin itu, bahkan
tidak sedetikpun menatapku. "Heh...Ilmu permesinan di Jepang sangat luar biasa." Dia berhenti
berkata-kata. "Aku kadang membayangkan apakah mereka bisa membuat sebuah Gundam ketika aku
masih hidup nanti."

Dia ternyata memiliki otak seperti seorang anak kecil. Dia mengagumi sekumpulan besi-besi itu
dengan berbinar-binar. Tolong, tetaplah seperti itu.

Aku berpikir kalau ini adalah saat yang tepat untuk berjalan meninggalkannya. Hiratsuka-sensei
sepertinya menyadari langkah sepatuku dan dia juga mulai berjalan, dan dia juga menyamakan
langkah kakinya denganku.

"Oh, itu mengingatkanku sesuatu, Hikigaya. Tentang kontes di Klub."

Kontes itu...dan ini mengingatkanku tentang Yukinoshita dan diriku, dimana kita memutuskan
metode terbaik untuk menolong orang melalui Klub Relawan. Pemenangnya boleh mengatakan satu
keinginan yang harus dipenuhi oleh yang kalah.

Sensei nampak agak ragu ketika dia mengatakannya kepadaku.

Aku menatapnya dengan harapan dia melanjutkan kata-katanya tadi.

Lalu, sensei membuka mulutnya sekali lagi, dengan penjelasan yang lebih lengkap. "Banyak sekali
faktor dari luar yang ikut campur dalam kontes itu. Peraturan yang sekarang nampaknya belum
mengcover faktor itu. Karena itu, aku ingin memasukkannya ke dalam sistem."

Cara bicaranya seperti seorang pegawai perusahaan game yang sedang mencari alasan, namun
sederhananya, kapasitas sensei kali ini sudah mencapai batas, dan sekarang sedang crash.

"Aku sendiri tidak begitu peduli..." kataku.

Apapun yang kulakukan, dia sendiri yang menulis aturannya. Dia meminta pendapatku untuk
mengubah aturannya. Meski kenyataannya, pemenang dan yang kalah pada akhirnya diputuskan oleh
Hiratsuka-sensei sendiri.

Menolak apapun yang dikatakan sensei adalah sia-sia.

"Kenyataannya, sensei sudah memutuskan pemenangnya dari awal, bukan?"

"Tidak..." Hiratsuka-sensei mengatakannya sambil menggaruk kepalanya. "Masih ada satu orang lagi
yang agak sulit kuatur."
Sulit diatur. Ketika aku mendengar kata-kata itu, Yuigahama adalah orang yang muncul di
pikiranku. Dia adalah gadis yang bergabung dengan klub setelah kontes itu dimulai - maksudku
dimana klub relawan seharusnya hanya untuk Yukinoshita dan diriku.

Kamu bisa menyebutnya keberadaan yang tidak biasa. Faktor dari luar juga kata yang cocok untuk
menggambarkannya. Berada di luar rencana awal pertempuran ini, dia sudah menyelinap masuk ke
dalam klub belakangan ini.

Mungkin karena itu, ini sekarang menjadi kontes diantara kami bertiga : aku, Yukinoshita, dan
sekarang Yuigahama.

"Nampaknya ini akhir dari Mecha Mecha Road." (Apa-apaan dengan Mecha Mecha Road?) "Jika
kamu memutuskan untuk membuat Klub Relawan yang baru, tolong beri tahu aku nanti ya. Ayolah,
aku tidak akan melakukan sesuatu yang jahat," Hiratsuka-sensei mengatakannya dengan bersemangat,
tetapi bagiku terdengar seperti kata-kata dari seorang penjahat...

Setelah itu, Hiratsuka-sensei kembali ke Mecha Mecha Road yang dia yakini. Aku melihatnya pergi
dan dia berjalan ke pintu keluar.

Aku ternyata telah menghabiskan waktu cukup lama untuk berbincang-bincang dengan sensei.
Hayama dan yang lainnya ternyata sudah lama pergi, dan suara yang bisa kudengar hanyalah suara
derit angin musim panas yang seperti melewati pepohonan bambu. Aku mencoba melihat suasana
sekitar di sekitar pintu masuk ketika matahari sudah mulai tenggelam dan langit mulai berganti warna.

Dan disana, aku bertemu dengan rambut sanggul yang familiar. Secara kebetulan, aku bertemu
dengannya.

x x x

Gadis itu sedang duduk di tempat duduk yang terbuat dari bebatuan, sedang memegangi lututnya dan
menekan tombol di handphonenya. Untuk sejenak, aku agak ragu untuk memanggilnya. Ketika aku
diliputi keraguan, dia ternyata sudah menyadari kehadiranku disana.

"Oh, Hikki, kamu telat! Semua orang sudah pergi loh."

"Oh iya. Maaf aku baru sadar, aku seperti sibuk dengan diriku sendiri tadi...jadi, yang lainnya pergi
kemana?"

"Restoran Saizeriya."

Siswa SMA di Chiba sangat menyukai Saizeriya. Itu adalah rumah makan keluarga yang menjadi
ikon Chiba sejak berdiri - ya ampun, aku ternyata terlalu berlebihan melihatnya. Makanannya murah-
murah dan enak, kurasa cukup masuk akal.

"Kamu sendiri kenapa tidak pergi kesana?" aku mencoba bertanya kepadanya.
"Huh?!" Yuigahama berkedip. "Oh iya, aku sebenarnya tadi mau menunggumu, Hikki. Seperti...aku
merasa enggak enak kalau meninggalkanmu di belakang."

Ketika dia memutar-mutar jarinya, Yuigahama menatapku dengan agak ragu-ragu. Melihatnya
seperti itu, aku tiba-tiba tersenyum secara spontan.

"Kamu baik sekali, Yuigahama."

"Huh?! Um, apa?! Itu tidak benar sama sekali!" Yuigahama melambaikan tangannya secara cepat,
wajahnya memerah, mungkin karena efek dari sinar matahari senja.

Aku tidak tahu kenapa dia mencoba berpura-pura seperti itu, tetapi aku tahu kalau Yuigahama adalah
gadis yang baik. Dia adalah orang baik, menurutku. Oleh karena itu, aku harus mengatakannya secara
langsung kepadanya.

"Kamu tahu, kamu tidak perlu khawatir kepadaku. Aku menyelamatkan anjingmu itu secara
kebetulan, dan lagipula aku mungkin akan jadi penyendiri di SMA bahkan jika kecelakaan itu tidak
pernah terjadi. Kamu tidak perlu membuat kecelakaan itu terus menghantuimu. Itulah yang selalu
kuyakini."

Aku sebenarnya tidak pernah mau mengatakan kata-kata itu, tetapi aku meyakini itu adalah hal yang
benar. Mungkin saja - tidak, tentu saja - aku tidak akan punya banyak teman sekalipun aku masuk
SMA tanpa kecelakaan itu.

"Ka-Kamu mengingatnya, Hikki?" Yuigahama menatapku dengan tatapan shock, matanya melebar.

"Tidak, aku sebenarnya tidak ingat. Setelah kecelakaan kamu datang ke rumah untuk berterima kasih
kepadaku. Lalu Komachi ingat dan memberitahuku tentang hal itu.3"

"Oh, benar...Komachi-chan yang memberitahumu ya." Yuigahama tertawa kecil, senyum yang
suram terlihat di wajahnya. Dia terus menundukkan kepalanya.

"Maaf, sepertinya kamu sudah keluar dari kebiasaanmu hanya untuk peduli kepadaku. Oleh karena
itu, kamu mulai sekarang tidak perlu mengkhawatirkanku lagi. Aku sejak awal memang sudah
penyendiri dan kecelakaan itu tidak ada hubungannya dengan itu. Kamu tidak perlu merasa sungkan
kepadaku dan bersikap seolah-olah memiliki hutang budi kepadaku." aku menghentikan kata-kataku,
lalu aku langsung mengatakannya. "Jika kamu bersikap baik kepadaku karena memikirkan
perasaanku, sebaiknya kamu hentikan itu."

Untuk sejenak, aku sadar kalau kata-kataku cukup kasar. Aku mengatakannya cukup jelas ke dirinya.
Akupun kadang berpikir kenapa ekspresinya seperti itu. Itu bukanlah hal yang sangat buruk untuk
dirinya.

Aku menggaruk kepalaku sambil menyembunyikan pikiranku yang merasa terganggu. Itu seperti
suara putus asa dari sedotan yang ditekan masuk ke minuman. Kesunyian menghampiri kami, seperti
tambahan dari kesunyian sebelumnya, dan ini menggangguku.

Ini adalah pertama kalinya bagiku dimana kesunyian terasa tidak nyaman.

"Well, uh, um..."


Kami berdua berusaha membuka pembicaraan, namun kata-kata yang harusnya dikeluarkan tiba-tiba
menghilang, dan tidak ada satupun yang keluar. Ketika kata-kata kami saling keluar, Yuigahama
tersenyum dengan ceria dan terlihat seperti senyum yang palsu.

"Um, bagaimana aku mengatakannya ya? Sebenarnya ini tidak seperti itu..." Dia melanjutkannya
sambil tertawa, dia masih melihat ke arah bawah. "Maksudku, ini tidak seperti itu..."

Aku tidak bisa melihat ekspresinya ketika dia menundukkan kepalanya. Dan dia mengatakannya
dengan terbata-bata, suaranya seperti sedang mengalami gangguan.

"Itu tidak - tidak seperti itu...tidak seperti itu sepenuhnya..." dia menggumam.

Yuigahama selalu menjadi gadis yang baik, dan mungkin dia akan seperti itu sampai akhir hidupnya.
Jika kebenaran adalah seorang Ibu yang kejam, maka sebuah kebohongan adalah gadis yang baik.

Dan yang baik itupun sendiri adalah sebuah kebohongan.

"Um, well, sebenarnya," Yuigahama memulai kata-katanya.

Dia mengangkat wajahnya dan menatapku. Matanya dipenuhi dengan air mata, dan dia terus
menatapku tanpa memalingkan wajahnya. Akulah sekarang yang sedang memalingkan wajahku.

"...kamu bodoh."

Dengan kata-katanya itu, Yuigahama berbalik dan pergi berlari. Tetapi setelah beberapa meter,
langkahnya melambat dan dia berjalan di sebuah trotoar.

Aku melihatnya sampai dia benar-benar pergi, dan aku membalikkan badanku.

Yuigahama mungkin pergi ke Saizeriya dimana yang lainnya sudah menunggunya. Tetapi itu bukan
urusanku.

Aku benci berkumpul dengan orang-orang.

Dan aku benci gadis yang baik.

Mereka akan mengikutimu kemanapun kau pergi dan mereka seperti ada dimana-mana, seperti
cahaya bulan ketika malam. Jarak dirimu dengannya tak bisa dikatakan dengan kata-kata.

Kamu tidak bisa berhenti berpikir tentang mereka setelah kamu berkenalan dengan mereka dan
hatimu berbunga-bunga ketika mengirim pesan kepada mereka. Ketika mereka menelponmu,
setelahnya kamu akan menatap history panggilan teleponmu setiap hari.

Tetapi aku tahu bagaimana cara kerjanya. Itu kebaikan yang kumaksud. Aku lupa kalau mereka yang
bersikap baik kepadaku ternyata juga bersikap baik ke yang lainnya. Bukannya aku tidak merasakan
kebaikan hatinya atau lainnya. Tidak, aku merasakannya. Bahkan kamu bisa merasakan kalau aku
benar-benar merasakannya. Dan karena itu, aku sekarang alergi dengan hal itu.

Aku sudah mengalaminya sekali. Seorang penyendiri berpengalaman yang pernah sekali tergigit,
maka tidak akan tergigit untuk kedua kalinya. Menyatakan cinta seperti hukuman dari permainan
batu-kertas-gunting, surat cinta palsu yang ditulis para laki-laki adalah hasil didikte oleh gadis yang
disukainya - Aku tidak ingin terlibat di dalamnya. Aku adalah veteran dari sebuah pertempuran. Tidak
ada yang tahu rasanya kalah lebih baik daripada aku.

Selamanya memiliki ekspektasi dan selamanya selalu salah mengambil kesimpulan - dalam beberapa
hal aku lebih baik menyerah saja daripada mendapat janji palsu.

Oleh karena itu aku selamanya membenci gadis yang baik.

x Volume 2 | END x
Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteiru
Volume 02 Bahasa Indonesia
Di translate oleh Aoi.
Zcaoi.blogspot.com

PDF oleh ユウトくん


Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteiru - Volume 02

Afterwords

x x x
Selamat siang, disini Watari Wataru.

Kali ini, aku hendak menceritakan kenanganku dengan hal yang disebut masa muda, tapi ketika
hendak mengingatnya, kepalaku menjadi pusing. Alasannya karena itu juga memunculkan kenangan
yang tidak menyenangkan, dimana selama ini aku berusaha untuk tidak mengingatnya lagi. Mungkin
karena kejadian itu tidak begitu lama berlalu. Sudah beberapa tahun berlalu sejak aku lulus SMA, jadi
jika dibilang masalahnya terletak di jarak waktunya, kurasa yang harus kulakukan adalah membuat
jarak mental pikiranku dengan kejadian itu.

Ketika aku membandingkan diriku yang sekarang dengan diriku di masa lalu, aku merasakan sesuatu
yang sama.

Ketika SMA.
Aku terlambat masuk sekolah sebanyak 200 kali. Banyaknya jumlah keterlambatan itu membuat
orangtuaku dipanggil ke sekolah. Aku ingin menikahi seorang gadis cantik yang kaya, lalu hidup
dengan gaya hidup korup dan memanjakan diriku sendiri. Dan kalau turun hujan, aku ingin bolos saja
dari sekolah.

Pertengahan 20-an.
Aku sering terlambat sehingga bossku memanggilku. Aku ingin menikahi gadis cantik yang kaya
dan hidup dengan gaya hidup korup serta memanjakan diriku sendiri. Aku tidak mau bekerja dengan
naskahku ketika hujan turun, bahkan jika ada tempat teduh yang hangat untukku.

Aku ternyata belum kehilangan semangat masa mudaku, whoaa.

Kalau dipikir lagi, mungkin kau akan mengatakan "ini baru pria sejati", tidak peduli berapapun
umurnya, dia akan bersikap seperti seorang remaja. Perasaan iri dan frustasi ketika melihat bagaimana
masa muda SMA itu tidak akan pernah hilang. Dan, dengan rasa percaya diri yang muncul tanpa
alasan tertentu, menimbulkan semacam racun dan kontradiksi yang sulit dipahami seperti, "Aku
adalah yang terbaik ketika merasa inferior. Aku sangat superior". Kupikir jika melakukan ini, maka
aku bisa terus bermimpi.

Meski begitu, akan ada beberapa hal yang hilang. (...Aku ingin berkencan dengan gadis di SMA-ku.)

.....

Bagi para pembaca: Terima kasih atas dukungan kalian, akhirnya aku bisa merilis Yahari Ore no
Seihsun Love Come wa Machigatteiru volume 2. Aku sangat berbahagia. Terima kasih banyak. Aku
akan terus bekerja keras sehingga aku bisa menulis sebuah buku yang menghibur banyak orang.
.....

Di sebuah hari di bulan Juni, dari sebuah tempat di Chiba, sambil memakan Gelato susu ala Italia
yang nikmat ini.

Anda mungkin juga menyukai