Anda di halaman 1dari 22

Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteiru

Volume 01 Bahasa Indonesia


Di translate oleh Aoi.
Zcaoi.blogspot.com

PDF oleh ユウトくん


Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteiru - Volume 01

Chapter 2 : Yukinoshita Yukino yang selalu keras kepala

x x x

Ketika hendak keluar dari kelas setelah pengarahan dari Wali Kelas di jam pelajaran terakhir, aku
melihat Hiratsuka-sensei berdiri di lorong dan menungguku. Dia ini seperti sipir penjara, berdiri tanpa
bergerak sedikitpun dengan menyilangkan lengannya. Faktanya, jika dia memakai pakaian militer dan
membawa cambuk, mungkin itu akan terlihat sangat cocok dengannya. Well, karena sekolah ini juga
mirip dengan penjara, kurasa imajinasi seperti itu bukanlah imajinasi yang berlebihan. Maksudku, kau
bisa membandingkan itu dengan Alcatraz atau Cassandra. Akan lebih bagus lagi jika Penyelamat
Akhir Jaman muncul dan tiba disini.

“Hikigaya. Saatnya untuk aktivitas klub.”

Setelah dia mengatakannya, aku bisa merasakan kalau seluruh darah di tubuhku menjadi dingin. Sial.
Aku akan ditangkap. Kalau aku sampai dikawal menuju ruangan klub maka bisa dipastikan kalau
diriku akan kehilangan seluruh kehidupan SMA-ku.

Yukinoshita, adalah seorang gadis yang terlahir superior, mengatakan kata-kata yang beracun. Ini
sangat menusuk dan tidak terlihat manis sama sekali. Apakah ini pantas disebut tsundere? Oh tunggu
dulu, deskripsi tadi tampaknya persis ciri-ciri Wanita Jalang Tua.

Meski begitu, Hiratsuka-sensei tampak tidak peduli kepadaku dan hanya bisa tersenyum.

“Ayo jalan.”

Hiratsuka-sensei mengatakan itu dan berusaha menarik lenganku. Aku berusaha menghindarinya.
Tanpa ragu, dia lalu berusaha menangkap tanganku lagi. Akupun berusaha menghindarinya lagi.

“Umm, begini...Saya pikir, dari semua hal, sistem pendidikan kita harusnya membantu siswa agar
berani dan menghormati kebebasan...Jadi saya ingin mengatakan keberatan tentang bagaimana saya
dipaksa untuk ikut kegiatan ini...”
“Sayangnya, sekolah adalah institusi yang didesain untuk melatih siswa agar bisa terintegrasi dengan
baik dengan komunitas masyarakat. Sekali kau masuk ke komunitas, tidak akan ada yang peduli
dengan pendapatmu. Jadi kau harus mulai membiasakan dirimu untuk dipaksa melakukan apapun.”

Setelah Sensei mengatakan itu, sebuah pukulan dengan cepat melayang ke arahku.

Dia tidak memberiku pukulan yang biasanya, tapi pukulan kali ini dia memukul dengan
menambahkan gerakan memutar seperti memasang sekrup. Sangat bertenaga sehingga aku kesulitan
untuk bernapas. Lalu tanpa membuang-buang waktu, dia menghentikan upayanya untuk membunuhku
dan menarik tanganku.

“Kau sudah tahu apa yang terjadi jika mencoba berdebat denganku? Jangan macam-macam dengan
kepalan tanganku ini.”

“Kepalan tangan anda sangat mematikan...”

Mustahil ada rasa sakit yang melebihi pukulannya tadi.

Sambil berjalan, Hiratsuka-sensei membuka mulutnya seperti teringat sesuatu.

“Oh benar. Kalau kau mencoba kabur lagi maka kau akan otomatis kalah dalam perlombaan dengan
Yukinoshita. Tidak menerima satupun alasan. Malahan, kau akan mendapatkan penalti. Kurasa kau
jangan berharap untuk bisa lulus begitu saja dari SMA ini di kelas 3 nanti.”

Tampaknya mustahil aku bisa lolos dari ini. Bukannya ini berhubungan dengan itu sih. Ketika suara
hak sepatunya yang menghantam lantai berbunyi dengan keras, Sensei berjalan di sampingku. Yang
membuatnya terlihat buruk, dia menggandeng lenganku. Kalau dilihat-lihat, Sensei seperti hostess bar
yang bercosplay sebagai guru yang sedang mengawalku menuju pertunjukan kabaret cosplay-nya.

Tapi ada 3 hal yang berbeda. Pertama, aku tidak membayarnya sama sekali. Kedua, dia sebenarnya
tidak memegangi lenganku, tetapi menarik ujung lenganku. Terakhir, aku tidak terlihat bahagia
ataupun antusias. Well, kecuali kalau ujung siku milikku ini menyentuh dada Sensei.

Ruangan klub itu adalah satu-satunya tempat yang kita tuju.


“Um, saya ini tidak akan kabur atau semacamnya, tidak apa-apa jika saya pergi sendirian. Maksud
saya, Sensei tahu kalau saya selalu sendirian. Jadi saya pasti baik-baik saja sendirian. Atau lebih
tepatnya, jika saya tidak datang sendirian, saya tidak bisa menjaga agar diri saya tetap tenang.”

“Jangan mengatakan hal-hal menyedihkan seperti itu. Aku ingin kita pergi bersama.”

Sensei mendesah kecil dan tersenyum kepadaku. Ini sangat berbeda dengan tatapan mata yang yang
biasanya terlihat sedang merendahkanku. Perbedaan ini mulai mengusikku.

“Membiarkanmu kabur sudah cukup untuk membuatku menyeringai karena emosi. Jadi meski aku
tidak mau, aku tetap akan menyeretmu kesana untuk mengobati pikiranku yang stress.”

“Itu adalah alasan terburuk yang pernah saya dengar!”

“Bagaimana ya? Meskipun kegiatan semacam ini menggangguku, aku masih mau menemanimu agar
bisa memperbaikimu. Ini adalah sesuatu yang bisa kau sebut dengan sebuah hubungan cinta yang
indah antara guru dan muridnya.”

“Apa seperti ini yang disebut cinta? Kalau ini dinamakan cinta maka saya tidak membutuhkannya.”

“Alasan tadi menunjukkan kalau dirimu ini sedang bimbang, benar tidak?...Saking bingungnya
sehingga semua titik di tubuhmu itu terbalik? Apa kau akan membuat Holy Cross Mausoleum atau
sejenisnya?”

Kau tampaknya penggemar berat manga...

“Kalau kau tidak banyak mengeluh, maka kau akan terlihat lebih manis. Tidak ada yang
menyenangkan jika melihat dunia ini dari sudut pandangmu.”

“Well, dunia ini memang tidak semuanya tersinari oleh cahaya matahari dan kebahagiaan. Jika
komunitas sosial hanya terbentuk dari orang-orang yang melihat dunia ini seperti sebuah hal-hal yang
menggembirakan saja, Hollywood tidak akan membuat film yang bisa membuat orang menangis,
bukan? Akan selalu ada orang-orang yang bisa menemukan sebuah kebahagiaan dalam tragedi.”

“Berceramah seperti itu memanglah keahlianmu. Meski memang cukup lumrah bagi anak muda
bersikap antipati, tapi levelmu ini sudah dikategorikan penyakit berbahaya. Sebuah sakit yang
merupakan karakter dari siswa tingkat sebelas. Yeah, kau bisa menyebutnya ‘kounibyou’.”
Hiratsuka-sensei terlihat tersenyum bahagia sambil mengkonfirmasi apa penyakitku ini.

“Hei, bukankah itu terlalu kasar? Memperlakukan saya seperti saya memiliki penyakit? Maksud
saya, ada apa dengan kounibyou ini?”

“Apa kamu suka manga dan anime?”

Seperti tidak mempedulikan pertanyaanku, dia mengganti topiknya.

“Well, saya tidak membencinya atau sejenis itu.”

“Jadi kenapa kau menyukainya?”

“Itu karena...Menggambarkan budaya Jepang. Itu juga merupakan bagian dari budaya populer yang
dibanggakan oleh Jepang. Bukankah akan terasa aneh jika saya tidak mengagumi fakta itu? Karena
pasar domestiknya menjadi lebih besar, kita juga tidak bisa menyepelekan dampak ekonominya.”

“Begitu ya. Bagaimana dengan literatur-literatur umum? Higashino Keigo dan Isaka Koutarou atau
sejenisnya?”

“Well sejujurnya saya sudah membaca karya mereka, saya suka buku-buku yang mereka tulis
sebelum mereka menjadi terkenal.”

“Apa perusahaan penerbit favoritmu?”

“GaGaGa...dan Kodansha Box. Well, sebenarnya saya tidak tahu apakah Sensei akan
mengkategorikan terbitan Kodansha Box sebagai Ligh Novel atau tidak. Kenapa Sensei menanyakan
hal-hal ini?”

“Well. Kau ini sudah memenuhi ekspektasiku...bukan dalam hal yang bagus. Sebuah contoh
sempurna dari kounibyou.”

“Seperti kata saya tadi, apa sih kounibyou?”


“Kounibyou ya kounibyou. Sebuah pola pikir yang dimiliki siswa SMA. Mereka pikir jika bersikap
sinis adalah keren, dan selalu memandang hal-hal populer di internet seperti ‘Bekerja berarti kalah
dengan sistem’. Ketika membicarakan penulis novel dan manga populer, mereka akan mengatakan
‘aku lebih menyukai karya-karya mereka sebelum mereka populer’. Mereka mengejek semua usaha
tiap orang dan memuji sesuatu yang tidak jelas. Dan yang terpenting, mereka mengejek para otaku
meski mereka sendiri merupakan otaku. Mereka berbicara seperti mereka memahami semuanya, lalu
mereka mengatakan sesuatu yang bisa membuat pemikiran menjadi bingung. Sederhananya, mereka
adalah kaum yang tidak disukai.”

“Tidak disukai...aduh sial! Itu menggambarkan saya dengan tepat sehingga saya tidak bisa
menyangkalnya!”

“Sebenarnya tidak begitu, aku ini sedang memujimu. Para siswa jaman sekarang harusnya pintar-
pintar dan bisa menyesuaikan dengan keadaan dengan mudah. Sebagai seorang guru, aku tidak bisa
mengatakan kalau aku senang melihat kesalahanmu itu. Maksudku, melihat bagaimana caraku
berbicara denganmu seperti kau ini adalah orang dewasa membuatku merasa kita ini sebagai rekan
kerja.”

“Siswa jaman sekarang, huh?”

Secara spontan aku tersenyum kecut ketika mengatakannya. Sebuah hal yang klise untuk dikatakan.
Aku merasa jengkel, lalu aku memikirkan sesuatu untuk membalasnya. Tapi, Sensei sepertinya bisa
menyadari maksudku dan menatapku dengan tajam, akupun menaikkan bahuku.

“Tampaknya kau akan mengatakan sesuatu yang sesuai dengan karakteristik siswa pengidap
kounibyou.”

“...Oh benarkah.”

“Aku tidak ingin kau salah tangkap tapi aku ini benar-benar memujimu. Aku suka orang yang
memegang teguh idealismenya. Meski mereka itu berbeda.”

Mendengar Sensei mengatakan ‘suka’ membuatku merasa seperti orang idiot. Aku mulai gelisah
untuk membalasnya balik karena kata yang barusan kudengar itu merupakan kata yang sangat langka.

“Berbeda seperti halnya dirimu, bagaimana pendapatmu soal Yukinoshita Yukino?”

“Dia sangat menjengkelkan.”


Aku menjawabnya begitu saja. Saking bencinya hingga aku mengira Sensei mengatakan ‘Kau
harusnya menyerah saja menghadapi jalan yang dibeton itu'.

“Begitu ya.”

Hiratsuka-sensei mengatakannya dengan senyum yang kecut, lalu dia menambahkan.

“Meski begitu, dia memang siswi sempurna yang unik...Well, mereka yang menderita itu mungkin
akan merasa seperti itu. Tapi tetap, dia adalah gadis yang sangat manis.”

Manis dalam hal apa? Itulah yang ada di pikiranku, sambil menggoyang-goyangkan kepalaku dalam
pikiran.

“Dia juga punya semacam ‘penyakit’ itu. Dia gadis yang baik dan berbuat benar. Tapi sosial
sekitarnya tidaklah baik dan benar. Aku yakin dia menjalani kehidupan yang sangat berat.”

“Kalau mengesampingkan fakta dia bertindak benar dan baik, saya yakin kalau mayoritas sosial
sekitar akan setuju dengan Sensei.”

Setelah mengatakannya, Sensei melihat ke arahku seperti mengatakan ‘itulah yang kupikirkan tadi’.

“Seperti yang kuharapkan...Kalian berdua ini kontras satu sama lain. Aku khawatir dengan fakta
bahwa kalian berdua tidak bisa beradaptasi dengan sosial sekitar. Oleh karena itulah aku ingin
mengumpulkan kalian berdua di tempat yang sama.”

“Bukankah itu sama saja dengan ruangan isolasi?”

‘Yeah, mungkin begitu. Aku suka mengawasi siswa seperti kalian berdua, sangat menyenangkan.
Jadi mungkin...aku ingin kalian berdua bisa menjadi dekat.”

Dia mengatakannya dengan senyum yang bahagia.

Lalu, seperti biasa, dia mengunciku dengan lengannya. Dia mengunciku dengan lengannya di sekitar
pinggangnya sehingga aku tidak bisa kemana-mana. Gerakan beladiri campuran ini mungkin
diinspirasi dari manga. Meski siku milikku ini membuat bunyi yang cukup gaduh, tapi tetap bisa
menyentuh dada Sensei yang besar.

...Ya ampun. Seperti biasanya, aku kesulitan untuk kabur setelah dia menggunakan gerakan yang
sempurna ini. Disisi lain ini menyenangkan, tapi harusnya ini tidak boleh lama-lama karena bisa
berbahaya bagi perasaan.

Tidak, sebenarnya aku sudah tidak berminat soal ini.

Dan sesuatu baru saja terpikirkan olehku, karena dadanya ada dua, kata ‘bust’ harusnya dibuat jamak
menjadi ‘busts’.

x x x

Sensei baru melepaskanku setelah kami mencapai gedung khusus. Mungkin dia sudah berhenti
khawatir kalau aku akan kabur. Meski begitu, dia terus menatap ke arahku ketika aku
meninggalkannya. Dia tidak menunjukkan adanya sentimen yang mengatakan sesuatu seperti ‘maaf
ya aku akan meninggalkanmu’ atau ‘sebenarnya aku tidak ingin meninggalkanmu...’. Satu-satunya hal
yang bisa kurasakan darinya adalah keinginannya untuk menghabisiku seperti mengatakan ‘Kau tahu
apa yang terjadi jika kau kabur, bukan?...’.

Aku hanya bisa tersenyum kecut ketika berjalan menyusuri lorong ini.

Lorong gedung khusus ini sangat sunyi dan udaranya sangat dingin.

Harusnya ada klub-klub lain yang sedang beraktivitas tapi aku tidak mendengar satupun suara yang
mengindikasikan hal tersebut. Aku tidak tahu kalau gedung ini sunyi mungkin karena gadis itu.
Terkena pengaruh aura aneh dari Yukinoshita Yukino.

Akupun menaruh tanganku di pegangan pintu klub. Jujur saja, aku merasa sangat depresi saat ini,
tapi jika kabur hanya akan membuat situasinya memburuk. Yang terpenting adalah tidak
membiarkannya mengatakan sesuatu yang buruk tentangku. Aku harusnya tidak berimajinasi aneh-
aneh tentang situasi kami berdua di ruangan itu. Aku harus berpikir kalau kami berdua terpisah di
ruangan itu.
Kami berdua tidak memiliki hubungan apapun, aku harusnya tidak merasa aneh atau tidak nyaman.

Dan hari ini dimulai dengan: teknik pertama untuk menghindari rasa takut karena kesendirian – ‘jika
kau melihat orang yang tidak dikenal, anggap mereka sebagai orang asing.’ Sayangnya, tidak ada
teknik kedua.

Pada dasarnya, suasana yang aneh itu adalah hasil dari berpikir ‘jika aku tidak mengatakan
sesuatu...’ dan ‘jika aku tidak berusaha akrab dengannya...’ mulai merasuki pikiranmu.

Pola pikir seperti ini juga mirip dengan ketika kau duduk di sebelah seseorang di sebuah kereta, kau
akan berpikir ‘Sial! Kita hanya berduaan disini! Ini sangat aneh sekali!’.

Kalau aku bisa menanamkan teknik tadi, aku sepertinya bisa menjalani ini. Akan lebih baik jika dia
hanya diam saja dan membaca buku atau semacamnya.

Setelah pintu ruangan klub kubuka, aku melihat Yukinoshita duduk disana dan membaca buku
dengan posisi yang sama seperti kemarin.

“.....”

Memang langkah yang bagus ketika aku membuka pintunya tapi aku mulai berpikir apakah ide yang
bagus jika aku mengatakan sesuatu. Ngomong-ngomong, aku akan mengangguk saja dan masuk ke
dalam ruangan.

Yukinoshita hanya melihatku sejenak dan kemudian kembali lagi ke buku bacaannya.

“Di ruangan seperti ini, kenapa dudukmu jauh sekali...Apa kau sedang mengucilkan dirimu?”

Dia tidak mempedulikanku dan aku merasa seperti menghilang begitu saja di udara. Bukankah ini
mirip seperti sikapku ketika di dalam kelas?

“Sapaan yang aneh. Kau ini berasal dari suku mana?”

“...Selamat sore.”
Akupun menyapanya dengan sapaan yang kupelajari di TK, tanpa bisa membalas sikapnya tadi.
Yukinoshita meresponku dengan senyum.

Mungkin ini pertamakalinya Yukinoshita Yukino tersenyum kepadaku. Ketika dia tersenyum, aku
berusaha mengamati apakah dia punya lesung pipi atau ada giginya yang terlihat. Dengan kata lain,
dia memang gadis yang manis. Sesuatu yang aku sendiri tidak peduli dengan hal itu.

“Selamat sore. Kupikir kau tidak akan pernah datang lagi.”

Senyumnya tadi jelas-jelas hanyalah tipuan. Ini selevel dengan ‘Tangan Tuhan’ milik Maradona.

“I-Ini bukan apa-apa bagiku! Jika aku tidak datang, maka aku akan otomatis kalah, jadi itulah satu-
satunya alasanku! Ja-Jangan salah paham ya!”

Percakapan barusan seperti sebuah percakapan drama genre rom-com. Tapi, kami ini bermain di
peran yang berlawanan. Ini seperti aku adalah si gadis dan dia adalah si pria. Ini benar-benar buruk.

Sepertinya Yukinoshita tidak tertarik dengan jawabanku. Begitulah, dengan kata lain, dia
melanjutkan pembicaraan seperti tidak peduli responku seperti apa.

“Ketika orang sudah terhina hingga level tertentu, biasanya mereka tidak akan datang lagi...Apa
kamu ini semacam masochist?”

“Bukan...”

“Kalau begitu, stalker?”

“Salah lagi. Hei, kenapa kau berpikir kalau aku ini suka kepadamu?”

“Kau tidak merasa begitu?”

Dasar jalang. Dia memiringkan kepalanya seperti penuh tanda tanya. Sebenarnya ini manis sekali,
tapi aku tidak akan terjebak olehnya!
“Kau pikir aku akan menyukaimu? Bahkan jika kau tidak mengatakan hal tersebut sebelumnya.”

“Ya, aku sangat yakin kalau kau menyukaiku.”

Yukinoshita mengatakan itu tanpa rasa terkejut sedikitpun. Lebih tepatnya, dia bersikap seperti
biasanya, datar dan dingin.

Kuakui, wajah Yukinoshita sangat manis. Saking manisnya hingga orang sepertiku, yang tidak
punya teman dan tidak berinteraksi dengan siapapun di sekolah ini, tahu hal itu. Tidak ada yang bisa
mendebatkan fakta kalau dia adalah salah satu gadis tercantik di sekolah ini.

Tapi, terlalu percaya diri merupakan sikap yang abnormal.

x x x

“Kenapa kau berpikir sangat naif seperti itu? Apa setiap hari adalah ulang tahunmu? Ataukah
pacarmu itu Sinterklas?”

Kalau benar begitu, pikirannya akan selalu terperangkap dalam delusi kebahagiaan.

Jika dia terus seperti ini, dia tidak akan mengalami pengalaman yang menyakitkan. Dia sebaiknya
merubah itu sebelum dia sampai di titik dimana dia tidak akan bisa kembali.

Tampaknya beberapa hal muncul dalam pikiranku. Aku putuskan untuk memilih dengan hati-hati
kata-kata yang kuucapkan agar bisa menyampaikan pesanku dengan baik.

“Yukinoshita. Kau ini abnormal. Kau jelas-jelas berhalusinasi. Coba kau periksakan dirimu atau
sejenisnya.”

“Apakah itu caramu peduli kepadaku?”


Yukinoshita tertawa kecil dan melihat ke arahku, tapi kedua matanya tidak sedang tertawa...mereka
terlihat menakutkan.

Tapi aku tidak mengatakan kalau dia ini sampah atau tidak berguna atau sejenis itu. Dia harusnya
berterimakasih kepadaku karena itu. Jujur saja ya, jika wajahnya tidak cantik, aku yakin kalau aku
akan menghajarnya.

“Well, mempertimbangkan kalau dirimu ini selalu melihat rendah orang lain sehingga kau akan
melihatku sebagai orang asing. Tapi, kurasa cukup wajar kalau aku berpikir seperti itu. Itu
berdasarkan pengalamanku sendiri.”

Yukinoshita tertawa sambil menarik bahunya dengan bangga. Entah mengapa pose tersebut terlihat
keren ketika dilakukan Yukinoshita, kurasa ini akan tetap menjadi misteri.

“Berdasarkan pengalaman, katamu...”

Dia paling berpikir kalau itu berasal dari pengalaman romantis. Kurasa wajar jika dia berpikir begitu
kalau melihat penampilannya.

“Kau sedang membicarakan kehidupan sekolahmu yang sangat menyenangkan...” akupun


menggumamkannya sambil mendesah.

“Ya, ya. Itu benar. Mungkin lebih tepatnya jika yang kulakukan ini membuat sekolah ini memiliki
kehidupan yang damai.”

Yukinoshita meresponku. Mengesampingkan itu, entah mengapa Yukinoshita seperti memandang


sesuatu yang jauh dan tatapannya diarahkan tidak ke arahku. Karena itu, aku akhirnya berpikir kalau
lekukan tubuhnya dari dagu hingga lehernya sangatlah indah. Informasi barusan sungguh tidak
berguna, aku serasa ingin mati saja.

Sambil melihatnya, aku menyadari sesuatu. Well, jika aku terus berpura-pura keren maka aku akan
menyadari itu seketika, tapi gadis yang menganggap dirinya di atas semuanya ini sudah memijakkan
kakinya dimana dia sendiri tidak akan bisa punya hubungan dengan orang normal. Oleh karena itu,
mustahil dia bisa memiliki kehidupan sekolah yang normal.

Mungkin, aku harusnya bertanya saja kepadanya...

“Hey, apa kau punya teman?”


Setelah aku mengatakannya, Yukinoshita menoleh kepadaku.

“...Well pertama-tama tolong jelaskan definisi dari teman dari awal hingga akhir.”

“Ah, sudahlah. Kalimat semacam itu hanyalah kalimat yang diucapkan orang yang tidak punya
teman.”

Sumber: diriku.

Well, mari kita bicara hal yang serius, aku tidak tahu apa definisi dari teman. Kuharap akan ada
seseorang yang menjelaskan kepadaku apa yang membedakan ‘teman’ dengan ‘kenalan’. Apa
seseorang yang kau lihat tiap hari akan kau sebut teman, dan apakah orang yang kau lihat tiap hari itu
kau sebut saudara? Mido Faado reshi sorao? Kenapa ‘o’ terakhir tadi terdengar bukan seperti bagian
kalimatnya? Itu benar-benar menggangguku.

Sebagai permulaan, ada sebuah garis yang jelas antara definisi seorang teman dan kenalan. Terutama
jika menyangkut pertemanan diantara para gadis.

Bahkan orang-orang di kelas yang sama diklasifikasikan sebagai teman sekelas, teman, dan sahabat.
Kalau begitu, ini tentang perbedaan istilah itu muncul dari mana. Tapi tiba-tiba aku mengatakan itu
secara spontan.

“Karena aku membayangkan dirimu yang tidak punya satupun teman, kurasa itu tidak apa-apa.”

“Aku tidak pernah mengatakan kalau diriku tidak punya satupun teman. Meski, jika benar aku tidak
punya satupun teman aku tidak akan berpikir kalau aku merasa rugi akan hal itu.”

“Ah benar. Kau benar. Kau benar.”

Aku mengatakan itu dengan cepat, menghindari kata-katanya ketika dia menatapku dengan sinis.

“Begitulah, kau ini terlihat seperti mudah sekali disukai oleh siapapun, kenapa kau tidak punya
teman?” tanyaku.
Yukinoshita terlihat sedikit jengkel. Setelah itu, dia memalingkan pandangan matanya dariku seperti
tidak senang akan sesuatu dan berbicara.

“...Kau tidak akan pernah mengerti diriku.”

Yukinoshita sedikit mengembungkan pipinya dan melihat ke arah lain.

Well, itu karena Yukinoshita dan diriku berbeda dan aku tidak akan pernah mengerti sedikitpun apa
yang ada di pikirannya. Aku sendiri kesulitan untuk memahami apa yang dia katakan kepadaku. Tidak
peduli seberapa keras usaha kita, pada akhirnya kita tidak akan pernah bisa saling memahami satu
sama lain.

Meski begitu, ada satu hal yang mungkin kupahami dari Yukinoshita, yaitu kesendiriannya.

“Bukannya aku tidak paham apa yang hendak kau katakan. Menjadi penyendiri berarti kau punya
banyak waktu luang untuk dirimu sendiri. Kau bahkan bisa mengatakan kalau kepercayaan bagi
kebanyakan orang yang mengatakan ‘kau tidak harus sendirian’ itu adalah hal yang menjijikkan.”

“.....”

Yukinoshita hanya melihatku sejenak sebelum dia menolehkan wajahnya ke depan dan menutup
kedua matanya. Aku bisa mengatakan kalau dia sedang memikirkan sesuatu dari bahasa tubuhnya itu.

“Meski kau pikir kau suka menjadi penyendiri, punya seseorang yang memberimu simpati karena itu
adalah hal yang sangat mengganggu. Aku benar-benar paham rasanya.” kataku.

“Mengapa kau bersikap kita berdua seolah-olah ada di level yang sama. Itu benar-benar
mengganggu.”

Seperti berusaha menutupi rasa jengkelnya, Yukinoshita memindahkan rambut panjangnya yang ada
di bahu ke belakang.

“Well, meskipun kau dan diriku ini memiliki standar yang berbeda, kurasa kita punya perasaan yang
sama sebagai seorang penyendiri. Meski itu terdengar mengesalkan.” kata Yukinoshita.
“Apa maksudmu dengan mengatakan kita memiliki standar yang berbeda...Aku punya alasanku
sendiri mengapa aku menjadi penyendiri. Kau bisa menyebutku sebagai Raja dari para penyendiri. Di
lain pihak, akan sangat konyol menyebut orang sepertimu sebagai seorang penyendiri.”

“Ada apa ini...Tiba-tiba kau menceritakan keadaanmu meski kau tahu itu sia-sia saja...”

Yukinoshita tampak terkejut dan melihatku dengan ekspresi penuh keterkejutan.

“Kau menyebut dirimu seorang penyendiri, padahal dirimu disukai oleh semua orang. Kau ini
memalukan bagi semua penyendiri di luar sana.”

Akupun mengatakan itu dengan bangga, merasa puas dengan ekspresinya.

Tapi, Yukinoshita tiba-tiba tertawa dengan ekspresi sinis.

“Itu adalah kesimpulan yang sederhana sekali. Tampaknya kau hanya bisa meresponnya sampai di
saraf refleks saja, dimana itu tidak melibatkan aktivitas otak untuk berpikir. Maksudku, apa yang kau
pahami dari menjadi orang yang disukai banyak orang? Oh benar, kau tidak pernah mengalami itu
sebelumnya. Maaf, aku tidak mempertimbangkan hal itu.”

“Jika kau mencoba untuk mempertimbangkan itu, harusnya kau mempertimbangkan itu hingga
akhir...”

Bukankah kau harusnya menyebut itu kebijakan palsu? Dia ini memang wanita jalang.

“Jadi bagaimana rasanya menjadi populer?” tanyaku.

Yukinoshita menutup matanya sejenak seperti memikirkan sesuatu.

Setelah pura-pura batuk, dia berbicara.

“Bagi seseorang sepertimu, yang tidaklah populer, mungkin ini tidak enak untuk didengar.”

“Katakan saja, aku sudah siap.” jawabku.


Yukinoshita menarik napas yang dalam merespon kata-kataku itu. Aku tidak bisa merasakan hal
yang lebih tidak menyenangkan dari ini. Aku seperti kekenyangan dari percakapan kami sebelumnya.
Ini seperti memakan ramen dengan jumlah yang tidak terbatas.

“Karena aku memang terlihat manis dari dulu, anak laki-laki yang mendekatiku biasanya memiliki
perasaan suka kepadaku.”

Aku menyerah saja. Dia seperti menambahkan sayuran ekstra dan MSG ke ramenku. Tapi meskipun
aku sudah berpura-pura tenang dan percaya diri, aku tidak bisa begitu saja berdiri dan pergi. Akupun
berusaha menenangkan diriku dan menunggunya selesai berbicara.

“Itu bermula sejak kelas 6 SD. Setelah itu...”

Ekspresi Yukinoshita berbeda dari sebelumnya. Ini seperti sedikit melankolis.

Kejadian itu pasti sudah berlalu sekitar lebih dari 5 tahun. Memangnya apa hubungannya dengan
perasaan suka dari lawan jenis?

Jujur saja, aku sendiri hampir 16 tahun hidup dengan merasa jijik ketika melihat orang menyatakan
perasaan suka ke lawan jenis, aku sendiri tidak pernah bisa memahaminya. Aku bahkan tidak pernah
menerima satupun coklat valentine dari ibuku, itu juga sebuah dunia dimana aku sendiri tidak
memahaminya. Dia merasa seperti orang yang bisa membuat semuanya bahagia sehingga dia merasa
menjadi pemenang. Bukankah yang sebenarnya terjadi dia hanya membuatku terlihat seperti makhluk
yang setiap hari mendengarkan keluh kesalnya?

Tapi hanya itu saja, bukan begitu?

Meski ini berbeda seperti vektor positif dengan vektor negatif dalam gaya tarik, akan terasa sangat
kasar jika aku membalasnya dengan jujur. Ini seperti berdiri telanjang di tengah-tengah badai. Ini
sama kasarnya seperti memotongnya tiba-tiba ketika berada dalam diskusi kelas.

x x x
Aku teringat kalau aku pernah disuruh berdiri di depan papan tulis sendirian sedang siswa sekelasku
mengelilingku dan meneriakkan ‘minta maaf! minta maaf!’ sambil bertepuk tangan. Skenario itu
mirip dengan sebuah neraka.

...Itu adalah sebuah pengalaman yang pahit. Itu pertamakalinya aku menangis di sekolah.

Tapi aku baik-baik saja saat ini.

“Tapi menjadi yang disukai pasti lebih baik daripada menjadi yang dibenci. Kau terlalu dimanjakan.
Terlalu dimanja.”

Aku mengatakan begitu saja setelah memori yang tidak menyenangkan teringat di kepalaku.
Yukinoshita mendesah pendek. Dia tampaknya seperti sedang tersenyum, tapi ekspresinya itu terlihat
berbeda.

“Meski aku sendiri tidak punya satupun keinginan agar orang-orang menyukaiku.” dia menegaskan
sesuatu dan menambahkan beberapa kata lagi. “Sebaliknya, jika orang-orang itu benar-benar tulus
menyukaiku, mungkin itu akan benar-benar menjadi hal yang bagus.”

“Huh?”

Aku secara spontan memintanya untuk mengulang apa yang barusan dia katakan setelah
mendengarkan kata-katanya yang sangat pelan tadi. Dia lalu menoleh kepadaku dengan ekspresi
wajah yang serius.

“Jika kau berteman dengan seseorang yang sangat populer di kalangan para gadis, bagaimana
menurutmu?”

“Pertanyaan yang bodoh. Aku tidak punya satupun teman, mengapa pula aku harus
mengkhawatirkan hal itu.”

Aku menjawabnya dengan tegas. Seperti seorang pria. Meski aku sendiri yang mengatakannya, aku
juga terkejut betapa cepatnya diriku menjawabnya sebelum dia menyelesaikan kata-katanya.

Tampaknya Yukinoshita juga terkejut. Dia seperti kehilangan kata-kata dan membiarkan mulutnya
terbuka begitu saja.
“...Untuk sejenak, aku sempat berpikir kalau kau baru saja mengatakan sesuatu yang keren.”
Yukinoshita menaruh tangannya di keningnya seperti terkena sakit kepala, lalu dia merendahkan
kepalanya. “Coba kau mengandaikan dirimu dalam posisiku tadi, apa jawabanmu?”

“Aku akan menghabisinya.”

Aku tidak tahu apakah jawaban cepatku tadi akan memberinya jawaban yang memuaskan atau tidak,
tapi Yukinoshita menganggukkan kepalanya.

“Jelas kan, kau akan mencoba untuk mengeliminasi orang itu? Itu seperti tindakan brutal yang tidak
masuk akal. Tidak, mereka bahkan punya perasaan yang lebih rendah dari binatang...Sekolah
tempatku berada punya banyak sekali orang-orang seperti itu. Meski aku percaya kalau mereka itu
adalah orang-orang yang patut dikasihani karena hanya bisa melihat eksistensi diri mereka dengan
melakukan hal-hal tersebut.” Yukinoshita tiba-tiba tertawa kecil ketika mengatakannya.

Gadis yang dibenci oleh para gadis. Kategori semacam itu pasti ada. Tidak sia-sia rupanya aku
bersekolah selama 10 tahun.

Bukannya aku terlibat dalam itu, tapi itu adalah sesuatu yang bisa kau pahami hanya dengan
melihatnya dari kejauhan. Tidak, itu karena aku sedang melihat dari luar-lah aku bisa memahaminya.

Yukinoshita pastinya selalu berada di titik tengah masalah itu, tanpa ragu, dia selalu dikepung dari
segala arah. Bagi seseorang yang hidupnya seperti itu, aku bisa membayangkan apa saja yang sudah
dia lalui selama ini.

“Waktu SD dulu, sepatu indoor-ku disembunyikan dariku sekitar 60 kali, tapi 50 kejadian itu
pelakunya adalah gadis-gadis di kelasku.”

“Aku sangat penasaran dengan 10 sisanya.”

“Tiga kali dilakukan oleh anak laki-laki. Dua kali ketika ada guru yang membelikan itu untukku.
Dan lima sisanya, seekor anjing mencurinya dariku.”

“Persentase dicuri oleh anjing tampaknya tinggi sekali.”

Itu adalah sesuatu yang diluar imajinasiku.


“Tapi tidak ada yang mengejutkan soal itu.”

“Aku tadi sebenarnya hanya mencoba untuk tidak mempedulikannya!”

“Karena hal itu, aku harus membawa pulang sepatu indoorku setiap hari dan akhirnya aku juga harus
membawa recorderku pulang ke rumah juga.”
[note: recorder itu semacam seruling modern, IYKWIM mengapa Yukino harus membawanya pulang.]

Yukinoshita mengatakan itu dengan ekspresi yang aneh. Setelah melihat ekspresinya itu, aku tiba-
tiba merasa simpati dengan apa yang menimpanya.

Hanya karena itu? Faktanya itu adalah hal yang pernah kualami. Faktanya ketika SD dulu, aku
marasa bersalah karena ketika jam istirahat dimana tidak ada seorangpun di kelas, aku menukar
bagian mulut recorderku.

Aku merasa bersalah dengan apa yang menimpa Yukinoshita.

Itu benar. Itu benar. Hachiman. Jangan. Pernah. Berbohong.

“Pasti itu sangat berat untukmu.”

“Ya, itu sangat berat. Semua itu gara-gara aku terlihat manis.”

Saat ini, kata-katanya itu tidak sekalipun menggangguku ketika aku melihat Yukinoshita
mengatakan itu dengan senyumnya yang bercampur perasaan depresi.

“Mau bagaimana lagi. Tidak ada yang sempurna. Mereka itu semua lemah, mereka punya pikiran
yang jelek dan mereka mudah sekali iri dan berusaha menjatuhkan yang lain. Cukup janggal, semakin
kau terlihat superior maka kau akan semakin sulit untuk hidup di dunia ini. Bukankah itu salah? Oleh
karena itulah aku ingin mengubah dunia ini dan orang-orang di dalamnya.” Mata Yukinoshita ketika
mengatakannya terlihat serius dan terlihat dingin, saking dinginnya hingga bisa membakarmu seperti
es kering.

“Bukan terlalu gila jika kau mengerahkan seluruh usahamu untuk rencana luar biasa itu?”
“Mungkin. Tapi itu terdengar lebih baik daripada rencanamu untuk diam hingga kering, layu dan
mati...Aku sangat benci caramu yang menganggap kelemahan itu sebagai hal yang positif.”

Yukinoshita mengatakan itu dan memalingkan pandangannya ke arah luar jendela.

Yukinoshita Yukino adalah seorang gadis yang cantik. Sebuah fakta tidak terbantahkan dimana aku
sendiri mengakui itu dari hatiku yang terdalam. Dari luar, dia terlihat seperti mustahil untuk didekati,
dengan nilai akademis yang sempurna dan tanpa cela. Tapi, sifatnya yang rumit itu merupakan luka
yang fatal bagi karakter dirinya. Sebuah kekurangan yang tidak bisa dikatakan manis. Tapi dia
memiliki sebuah alasan untuk memiliki luka fatal tersebut.

Aku tidak mau mempercayai begitu saja apapun yang Hiratsuka-sensei katakan, tapi menjadi orang
yang punya semuanya, Yukinoshita juga punya penderitaannya sendiri.

Pastinya tidak akan sulit untuk menyembunyikan itu dan menipu dirimu sendiri dan orang di
sekitarmu. Itu adalah apa yang mayoritas orang-orang di dunia ini lakukan. Persis seperti orang-orang
pintar yang mendapat nilai bagus di ujian dan mereka mengatakan kalau itu hanya ‘beruntung’ saja di
ujian. Seperti bagaimana gadis dengan wajah biasa-biasa saja yang iri dengan gadis cantik dimana
poin kejelekan mereka ditentukan dari seberapa gemuk mereka.

Tapi Yukinoshita tidak melakukan itu.

Dia tidak akan mau membohongi dirinya sendiri.

Bukannya aku tidak mau mengakui tindakannya itu. Karena kita berdua memilih jalan yang sama
dalam hal itu.

Sebagai pertanda kalau percakapan ini berakhir, Yukinoshita melihat kembali ke arah buku
bacaannya.

Sambil melihatnya, aku merasakan sebuah perasaan yang aneh.

Dia dan diriku memiliki kesamaan. Aku memikirkan itu dari harusnya aku yang memikirkan diriku
sendiri.

Kesunyian ini...entah mengapa terasa menyenangkan.


Aku merasa jantungku berdetak sedikit lebih kencang daripada biasanya. Sepertinya jantungku ini
mengatakan ingin berdetak lebih kencang lagi.

Maka...

Maka dia dan aku...

“Hei, Yukinoshita...Kalau kamu mau, aku bisa jadi tema-“

“Maaf. Itu mustahil.”

“Apaaa? tapi aku bahkan belum menyelesaikan kata-kataku!”

Yukinoshita kembali ke buku bacaannya setelah menolakku dengan datar. Terlebih lagi, dia
memasang ekspresi seperti jijik akan sesuatu.

Yup, gadis ini tidak ada manis-manisnya. Komedi romantis dan hal-hal sejenisnya seperti
meledak begitu saja.

x Chapter II | END x

Anda mungkin juga menyukai