DI SISI KIRI PANGGUNG ADALAH KAMAR DENGAN TATA RUANG YANG SAMA.
DI ATAS MEJA TERDAPAT SEBUAH MESIN TULIS TUA DAN VAS BUNGA DARI
BAHAN GELAS DENGAN HIASAN BUNGA ILALANG YANG SUDAH KERING, JUGA
BEBERAPA TUMPUK BUKU FIKSI DAN JENIS TULISAN LAINNYA YANG TAMPAK
LEBIH TERAWAT. JENDELA KAMAR MENGHADAP KE ARAH LANSKAP KOTA.
HENING
Coba kalau kau dulu bersikap patuh seperti teman-teman sekelasmu. Berfikir
dan bertindak sebagaimana anak-anak yang waras pikirannya. Sekolah dengan
baik. Hidup tertib. Menggembleng diri supaya menguasai keahlian di bidang yang
lebih bernilai guna dan bisa diandalkan untuk mendapat pekerjaan yang layak.....
Kamu malah edan-edanan dengan fiksi, puisi, seni... halah... preettt... Inilah
hasilnya, begadang setiap malam demi menumpahkan segala ide, imajinasi,
getaran-getaran lembut dari palung jiwa terdalam---semua yang tak bisa
dienyahkan lagi, membayang-bayangi jiwamu sepanjang hayat... mengilhami,
menginspirasi, membentuk watak, karakter, keseimbangan...... halah (menarik
kertas yang masih terpasang pada rol mesin tulis).
LAMPU PADAM
II
Seperti anak-anak perempuan di kampung ini, saya juga tak tahu cerita istimewa
apa yang pernah saya miliki dan bisa saya banggakan--selain cerita yang lumrah
dan tak akan mengilhami siapa pun. Tapi sejak Guru Bahasa Indonesia kami
menunjukkan sebuah puisi yang sangat indah, saya merasa seperti ada yang
dituangkan ke dalam kepala dan dada saya, membuat semuanya terasa berbeda.
Saya seperti dibimbing oleh kekuatan dari dalam diri saya dan tak bisa saya
jelaskan. Saya tak pernah membenci pelajaran-pelajaran yang lain--tapi saya jadi
cinta banget dengan puisi, novel-novel hebat dari pengarang-pengarang di negeri
ini maupun pengarang dunia, musik, drama, lukisan, tari...semua keindahan
dalam karya seniman yang tak habis saya kagumi. Tapi lalu teman-teman di kelas
menganggap saya “sok tua”, “tua sebelum waktunya”, “orang aneh”,
“gak matching dengan umur”, “sok berat”, “seniman anakan”..dan sejumlah “gelar
khusus” lainnya saya peroleh. Teman-teman tidak mengucilkan saya, mereka
hanya senang mengolok-olok demi bisa tertawa lantang bersama-sama. Tapi
saya senang, setidaknya saya bisa membahagiakan mereka (Tersenyum kecut).
Apa? (menoleh ke arah panggung sebelah kiri). Aku mengacaukan hidupmu? Aku
yang mengakibatkan nasib yang selalu kau keluhkan itu? Hei Nona.....oh maaf,
kau masih Nona atau sudah Nyonya? O... masih Nona. Hah? Non
sens? What? Separuh Nona separuh Nyonya? What the hell... Ok, apa pun
statusmu, dengarkan saya: di usia seperti saya sekarang, setiap orang harus
membuat pilihan penting bagi hidupnya. Dan saya melakukannya: memilih! Saya
tak mau hanya ikut-ikutan mereka yang menjalani hidup ini seolah-olah seperti
warisan. Tinggal mengulurkan tangan dan menerima apa saja yang diberikan;
lalu menjalaninya, menjadi tua dan mati. Saya tidak seperti itu. Kalau orang lain
tak memilih apa yang saya pilih, itu hak mereka dan itu juga sebuah pilihan. Tapi
saya juga tak mau terusterusan kau salahkan dengan pilihan saya ini: Saya ingin
jadi Pengarang: seniman! (Menggebrakkan tangannya di atas meja). That is my
chooice....(Tersenyum) Jadi kau tak bisa terus-terusan mendatangi saya dan
meminta saya mengubah pilihan saya ini. Tiada guna keluhan. Berhentilah
merengek. Biarkan aku istirahat. Biarkan aku sempurna sebagai masa lalumu.
Lihat dan terima hidupmu yang sekarang dengan berani.
(Berbicara pada Audiens) Saudara-saudara, profesi yang saya pilih ini, mungkin
memang tak menjanjikan financial yang hebat, popularitas berlimpah, atau status
yang membanggakan bagi keluarga---Tapi saya harus melakoninya. Dan saya
tahu, saya akan tak mendapat dukungan dari siapa pun. Mungkin mereka tak
akan menghalangi saya karena saya keras kepala--tapi mereka pun tak akan
menunjukkan dukungan. Saya hanya akan dibiarkan dengan pilihan ini, sambil
diam-diam mereka berharap saya gagal, sehingga mereka bisa mencibir dan
menunjukkan ke depan muka saya; bahwa pendapat merekalah yang benar. Lalu
akan berkata pada saya--persis yang selalu kau katakan: (Mengubah-ubah bahasa
tubuh dan gaya bicaranya demi memeragakan sosok-sosok yang ada di kepalanya)
“Kapok! Makanya, jadi anak jangan ngeyel!”
“Benar kan Viribus, bagaimana pun jadi PNS itu pilihan terbaik”
“Sudah banyak contoh, jadi profesi sepertimu itu mesti siap susah...kok masih
nekat”
“Kalau sudah begini...siapa yang bisa menolongmu...?”
“Sekarang semuanya sudah terlambat, tho? Mau daftar pulisi, mustahil..... sudah
berumur, mau ikut parpol supaya beranjak cepat kariermu...nggak mungkin,
paling cuma kebagian peran hore-hore....Mau merintis bisnis, modal nggak
cukup. Pinjam uang di bank, nggak akan ada yang percaya. Mosok mau sodorkan
fiksi-fiksimu itu sebagai jaminan? (tersenyum sinis)
“Kalau saja kamu melanjutkan kuliah, minimal kamu punya ijazah S-1 untuk
melamar kerja”
“Pikiranmu itu terlalu liar. Harusnya kamu bisa seperti anak-anak lain. Beres
SMA nyambung kuliah, sesudah sarjana cari kerja, lalu menikah. Bahagia sampai
tua, mati masuk surga! Itu yang bener..!
Liar... saya tidak liar. Saya hanya ingin berpikir bebas. Saya juga megerti
batasanbatasan. Saya cuma ingin memilih sendiri hidup yang akan saya jalani,
menjelmakan apa yang telah mengilhami dan menggelorakan jiwa saya. Mengapa
sebuah pikiran bebas harus selalu dicurigai dan dianggap berbahaya? Mengapa
seorang anak SMA dianggap tak patut punya pandangan yang melampaui
usianya? Apakah seorang remaja hanya pantas berpikir mengenai hal-hal yang
remeh? Serba permukaan? Mengapa seorang remaja yang tidak suka dengan film
dan novel percintaan yang cengeng dan lebay dianggap aneh? Apakah seorang
perempuan seusia saya akan jadi sinting hanya karena menggemari puisi?
Sastra? Apakah cita-cita yang dianggap benar harus selalu sesuai dengan standar
hidup orang banyak? Apakah setiap orang yang belajar dan bekerja tekun hanya
dianggap benar kalau bisa jadi PNS? Polisi? Tentara? Pegawai Bank? Merintis
Bisnis? Di luar profesi-profesi yang dianggap menjanjikan itu orang akan
dianggap gagal atau keliru? Apakah menjadi seorang anak remaja sama artinya
memenuhi kepalamu dengan; tempat nongkrong yang asyik, mengumpulkan
sebanyak-banyaknya pertemanan di medsos? Gonta-ganti status fb supaya up-to
date setiap hari? Sedang pe-de-ka-te dengan siapa? Berapa kali sudah ganti pacar
atau masih jomlo? Mengumpulkan daftar hal-hal yang menyebalkan dan
menyenangkan untuk jadi obrolan di hari libur sekolah? Selfie di semua tempat
lalu meng-editnya supaya bisa dipajang jadi foto keren? Saya tidak membenci
semua itu! Saya hanya tidak rela kalau hanya itu isi batok kepala saya ini! Saya
hanya ingin melihat dan menjalani hidup saya dengan cara berbeda. Saya hanya
tidak ingin hidup saya terlalu penuh dengan buih. Saya hanya ingin selalu
bergelora; digerakkan oleh tenaga yang amat kuat dan murni dari dalam diri
saya; terus menerus terilhami. Dan saya menemukannya dalam puisi, musik,
sastra.... dalam seni. Apa itu salah?
Barangkali kalian juga mulai berpikir bahwa kata-kata saya ini, kalimat-kalimat
yang saya ucapkan ini, bukan berasal dari alam pikiran seorang anak SMA? Atau
barangkali juga ada yang mulai berkata dalam benaknya, “ah...bahasanya terlalu
tinggi untuk remaja,” atau “ini sih cuma naskah drama, aslinya nggak begitu..”.
Tidak! Ini memang saya. Semua ini keluar dari benak seorang remaja. Kalau
banyak diantara kami hanya mengerti bahasa yang gampangan, dan selalu
kesulitan mencerna bahasa yang sedikit berbobot, itu karena memang yang
diberikan
kepada kami terlalu banyak sampah. Beri kami kalimat-kalimat yang kuat, yang
bisa menggedor jiwa kami. Beri kami bahasa yang punya kedalaman dan tempa
kami untuk bersusah payah mencernanya; maka kami akan berbeda. Maka Anda
tak perlu lagi menganggap aneh kalau ada seorang remaja seperti
saya. (Menahan tangisnya)
(Lalu dia meraih selembar kertas dari mejanya dan membacanya dengan suara
lirih dan mendalam)
Itu tadi “Jalan yang Tak Ditempuh”, Puisi Robert Frost. Guru Bahasa Indonesia
kami yang memberikannya pada saya sebelum ia berhenti mengajar karena ia
hanya mengantongi ijazah D-3. Sementara semua guru di sekolah kami harus
bergelar minimal S-1. Dia bilang; “Viribus, pilihah jalanmu sendiri, meski itu tak
banyak dilalui orang lain. Selama ia membuatmu merasa terpaut dengan kuat
pada hidupmu, tempuhlah. Dan setiap hari kau harus bilang pada dirimu sendiri:
Raihlah hari ini.”
Dia pula yang membuat saya percaya dan tidak takut melakoni hidup. Lihat! Saya
sanggup dan mungkin saya akan berhasil!
III
Akan? Mungkin? Pemilihan tensis yang salah! Lihat, ini bukan lagi future tense, ini
sudah present continous tense. Kamu sudah gagal. Lihat saya; ga-gal! Kalau saja
dulu kamu tidak “sok puitis”, tidak nyecer guru Bahasa Indonesiamu untuk
menjelaskan makna puisi itu, tentu kamu tidak akan keracunan ilham seperti itu.
Kalau saja kamu tetap melanjutkan kuliahmu dan membiarkan Bapak menjual
sepetak sawahnya untuk biaya pendidikanmu, tentu saya sudah jadi sarjana dan
bisa dapat pekerjaan lebih bagus. Tapi kamu malah bertingkah bak filosof Yunani
Antik, kamu bilang: “Sawah tak boleh dijual, itu bukan cuma sumber penghasilan,
itu sumber nilai dan hidup Bapak, itu cara Bapak menjalani hidup, menunjukkan
Bhakti pada Tuhan dan kehidupan. Kalau semua petani berpikir menjual
sawahnya demi biaya pendidikan anak-anaknya, bangsa ini akan kehilangan
besar!” Halah... Gayamu... selangit! Kamu menyedihkan! Menyangka dirimu telah
memilih hal yang benar karena mengikuti dorongan dari dalam jiwamu, padahal
akibatnya bisa kau lihat sendiri pada saya sekarang. Kamu menyedihkan! Kamu
hanya seorang yang ingin eksentrik, beda, unik, dianggap berpikiran bebas dan
mampu mandiri, sementara diam-diam kamu abaikan dirimu sendiri. You have
no self respect. That is You!
IV