Anda di halaman 1dari 3

Quarter life crisis pada titik paling krisis

Ada beberapa hal yang menjadi faktor utama mengapa sesorang terjebak untuk memilih pilihan-
pilihan panik dalam hidupnya. Bisa karena keadaan yang mendesak, lingkungan yang sportif, dan juga
karena melihatnya minimnya harapan-harapan baru yang mungkin akan datang. Beberapa kali saya
melakukan pilihan-pilihan panik dalam hidup saya termasuk ketika saya memilih kampus dan jurusan
saya ketika akan kuliah. Hasilnya ialah saya agak kelabakan saat menjalaninya. Semacam setengah hati.

Saya lulus SMA sebagai siswa peraih UN jurusan IPS terbaik di sekolah saya. Semacam ada beban
bagi saya sendiri untuk mampu berada di kampus yang saya inginkan. Teman-teman saya melihat saya
sebagai siswa langganan peringkat parallel. Lucu jika saya tidak masuk ke perguruan tinggi favorit dalam
negeri seperti pendahulu-pendahulu saya yangt peringkat parallel. Hanya saja kebanyakan orang hanya
melihat saya sebagai manusia dari sisi permukaan saja. Sebenarnya saya tak sepintar itu dan lebih dari
itu saya sebenarnya adalah siswa yang malas dan pesimistik serta terkesan nihilis pada masa SMA.

Semua prestasi saya mengalir begitu saja ketika SMA. Waktu itu saya ada pada masa di mana
saya agak susah bertemu ayah saya. Ada satu sebab yang agak panjang jika saya ceritakan. Lebih-lebih
saya tinggal jauh dari ibu saya semenjak umur 6 tahun dan ibu saya juga sakit-sakitan. Intinya pada
masa-masa kelas 1-2 SMA saya hidup dalam keadaan yang memprihatinkan dan tinggal berpindah-
pindah kosan. Saya bukan ngekost tapi lebih tepatnya numpang di rumah orang untuk bisa sekolah
sekaligus bertahan hidup.

Saya termasuk siswa yang tidak bisa hidup selayaknya siswa yang lain. Saya ppenyendiri karena
tidak ada sarana apapun dalam diri saya yang bisa membuat saya menyatu dengan teman saya. Saya tak
bisa nongkrong di kantin karena secara finansial saya sangat memprihatinkan pada masa-masa itu. Saya
remaja yang sedang menjalani hidup tingkat survival, singkatnya begitu karena ada permasalan yang
jelimet. Saya bisa bethan sekolah dan tidak putus sekolah karena tertolong kasih sayang Allah berupa
adanya beasiswa untuk saya dari sekolah saat itu. Saya berhutnag budi banyak pada SMA saya saat itu.

Saya siswa yang tidak punya sarana refreshing. Mau tidak mau karena gak tahu mau ngelakuin
apa-apa akhirnya saya mengerjakan tugas atau tanpa direncanakan saya akhirnya baca buku. Saya baca
buku karena gak tahu mau ngapain. Kebetulan juga saya sekitar satu tahun tinggal numpang di rumah
orang yang banyak menyimpan buku, tepatnya di kamar saya. Keberulan-kebetulan seperti itu yang
membuat saya akhirnya membaca buku sehingga wawasan saya secara tidak sengaja terbuka. Lama
kelamaan saya aahirnya jatuh cinta pada buku, ilmu pengetahuan dan sastra karena secara tidak sengaja
saya menemukan buku Paolo Coelho yang berjudul sang Alkemis saat kelas 1 SMA. Buku itu lumayan
menghibur hati saya yang sedang ada dalam kemelut kehidupan, sangat inspiratif.

Sebenarnya dalam hati saya waktu itu saya ingin hidup seperti teman-teman saya yang lahir dari
keluarga yang stabil. Ada jaminan dikasih uang saku sehingga bisa bermain bersama-sama kapanpun
saja. Mengalami cinta-cinta polos di masa remaja dan berbagai petualangan masa remaja. Sayangnya
saya kehilangan masa-masa itu karena rumitnya keadaan saya. Ketika saya jatuh cinta pada perempuan
cantik di sekolah saya, saya hanya bisa menyimpan perasaan itu dalam hati, karena saya mengira saat itu
bahwa saya siswa nerd yang tidak keren. Itu sebabnya saya tidak suka jika saya di foto oleh teman saya
ketika masih SMA.

Ketika saya SMA saya dibully oleh beberpa kakak kelas sehingga itu menyisakan trauma bagi saya. Mau
tidak mau ketika saya kuliah saya harus kuliah di kampus yang jarang ada kakak kelas SMA saya. Itu
sebabnya saya ingin kuliah di luar kota, apapun yang terjadi. Toh saya sudah terbiasa hidup prihatin
ketika SMA. Hanya saja luka batin yang ditimbulkan dari pembulian di masa SMA itu tetap membekas di
hati saya bahkan ketika saya kuliah di luar kota.

Saya menjadi orang yang defensif dalam interaksi sosial. Saya menjadi orang yang agak pilih-pilih teman.
Saya menjadi orang yang tidak mudah percaya orang lain atau trust issue. Saya menjadi orang aneh
dalam interaksi sosial.

Saya hidup di lingkungan keluarga yang tidak sportif, terkena pembulian di masa remaja dan di usia 23
tahun saya ingin sekali melakukan bunuh diri. saya pesimistik melihat dunia ini dan melihat bahwa jalan
di hadapan saya nanti adalah serangkaian pemnderitaan dan rasa nyaman yang tak berujung. Hati saya
tidak muat lagi dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Saya tidak memiliki skill untuk merubah keadaan hidup saya dan saya merasa bahwa kematian adalah
satu-satunya cara bagi saya untuyk menyelesaikan maslah hidup saya di dunia ini. Saya bahkan merasa
bahwa tidak ada lagi yang mencintai saya di dunia ini. Saya berada di puncak keputusasaan yang tanpa
solusi.

Kesakitan batin saya adalah sesuatu hal yang sepele bagi orang-oranng dekat saya. Saya melihat mereka
ntidak merasa berslaha atas dertita hidup saya dan saya merasa kesakitan meiihtra kenyataan itu. Saya
melihat diri saya tidak memiliki solusi lain selain bunuh diri. saya bahkan sulit menulis.
.

Anda mungkin juga menyukai