Dulu, selepas lulus SMA, saya mendaftar masuk kuliah dengan jurusan ilmu sosial
karena saya suka dengan kemasyarakatan. Namun begitu, saya juga berkenginan ke jurusan
teknik karena saya suka dengan teknologi. Dari kedua minat saya yang bertolak belakang
tersebut, di luar dugaan saya dipaksakan untuk masuk ke jurusan pendidikan yaitu
Pendidikan Guru SD. Paksaan mereka bukan tanpa alasan, beliau mendapat saran dan
percontohan dari kakak-kakaknya yang menjadi guru. Orangtua saya hanya melihat guru dari
keamanan finansial dan durasi kerja yang diterima oleh budhe/pakdhe saya, namun tidak
berpikir dengan mimpi dan harapan saya. Sikap yang kaku dan terkesan kolot membuat saya
merasa tidak bebas dan merasa terkurung setiap kali saya di rumah. Saya sempat tidak ingin
berkomunikasi dengan mereka walapun saya tahu saya tidak bisa hidup tanpa orang tua saya
karena hal tersebut mengganggu cita-cita dan jalan hidup saya.
Selanjutnya saya mengikuti tes masuk di kampus yang terdapat jurusan ilmu sosial dan
jurusan teknik, yang hanya ada pada universitas negeri. Selama tes masuk saya optimis bisa
lolos untuk membuktikan kalau guru bukan jalan hidup saya. Pengumuman diterbitkan, dan
saya tidak lolos di jurusan yang saya idam-idamkan. Kecewa saya terhadap kenyataan
tersebut, saya harus kuliah menjadi guru atau berurusan dengan pendidikan yang bukan minat
saya. Orangtua saya terus membesarkan hati saya bahwa pendidikaan selalu ada peluang
pekerjaanya dan minim resiko.
Setelah lulus saya melamar menjadi guru, dan diterima. Saya mengajar berbekal apa
yang saya ketahui pada waktu kuliah. Saat pelajaran berlangsung, saya banyak melibatkan
siswa untuk saling berinteraksi dan saling berbagi kepada siswa lain yang belum punya. Satu
hal kecil seperti bermain origami bersama-sama, waktu itu saya hanya membagikan sedikit
keterampilan saya yang ternyata direspon positif oleh wali murid. Saya tidak menyangka
bahwa hal kecil saja bisa membuat orang lain senang dan lebih tidak menyangka lagi ketika
saya ingin berpisah untuk kuliah PPG ini dengan mereka banyak yang sedih merasa
kehilangan dan menginginkan saya untuk tetap mengajar mereka.
Teringat waktu kuliah, dosen saya bertanya “jika kamu mati besok, apa yang kamu
tinggalkan untuk orang-orang di sekitarmu?”. Waktu itu saya tidak bisa menjawab karena
saya merasa tidak memberikan apapun untuk orang lain. Mungkin seharusnya bisa terjawab
dengan pekerjaan yang ada pada setiap manusia, karena pada hakikatnya pekerjaan tidak lain
untuk memberikan manfaat untuk dirinya sendiri dan orang banyak. Dengan bekerja,
seseorang mendapatkan makna keberadaanya di dunia ini kepada orang-orang di
sekelilingnya, merasa lebih berguna bagi orang lain. Dalam hal kebermanfaatan, saya yakin
bahwa menjadi pendidik adalah cara saya memaknai apa yang saya tahu dan membagikannya
kepada orang-orang yang tidak tahu dan tidak mengerti yaitu melalui anak didik saya.
Profesi yang jarang diminati karena tidak semua orang mau mengajar dengan berbagai
alasannya, seperti ungapan “semua orang bisa belajar, tapi tidak semua orang bisa mengajar”.
Mungkin sekaligus menjadi garis rezeki saya untuk mengembangkan pribadi saya sendiri
dalam memajukan kecerdasan bangsa.