Anda di halaman 1dari 3

SERAGAM SEKOLAH ADALAH RACUN

Suatu pagi di tanggal 27 November 2019, pagi itu kembali aku merasakan kemalasan
yang luar biasa untuk berangkat pagi ke sekolah. Setelah shalat subuh, saya berleha-leha di
tempat tidur. Beberapa kali istriku mengingatkanku bahwa sudah waktunya bersiap-siap.
Sampai-sampai istriku bertanya, mau ke sekolah tidak? Aku hanya menjawab dengan
bergumam.
Seperti biasanya, kebiasaan buruk selalu aku lakukan ketika mau mengajar. Aku jarang
sekali mempersiapkan diri untuk mengajar. Kesiapan mengajar aku lakukan jika suasana
hatiku sedang mantap. Di bulan kelima tahun pelajaran ini, aku hanya menemukan masa-masa
itu satu atau dua minggu saja. Aku sendiri tidak tahu apakah ini adalah gejala kebosanan atau
gejala post power sindrom? Entahlah, yang jelas lima bulan terakhir ini, aku mengalami rasa
tidak bersemangat yang berlebihan. Beban tugas yang biasanya aku bisa bereskan dengan
sekejap, akhir-akhir ini malas sekali aku sentuh. Sosok yang produktif, kreatif dan inovatif
yang selalu dilekatkan teman-temanku seakan menghilang dan menguap begitu saja.
Jam di dinding rumahku yang sederhana dan nampak tidak terurus, menunjukkan pukul
08.05, aku baru beranjak dari tempat tidurku. Pertarungan antara pikiran kewajiban dan
kemalasan terus berperang. Aku memutuskan untuk mandi dan berkemas menuju sekolah.
Ada sesuatu yang diluar kebiasaanku pagi ini, setiba aku di sekolah beberapa anak tiba-
tiba meminta foto selfie, entah apa yang merasuki mereka. Apakah hari guru, ataukah mereka
merindukan sosok aku yang selama dua tahun mewarnai pagi mereka dengan ceramah-
ceramahku yang berisi motivasi, hujatan, candaan bahkan hukuman bagi mereka. Pada tahun
ini mereka tidak mendapatkan itu, aku mulai kehilangan idealisme di sekolah yang aku rintis
sejak 6 tahun yang lalu. Apakah itu yang disebut orang dengan post power sindrome, aku
kehilangan wadah untuk mengalirkan ide-ide pembaharuan yang selalu dengan mudah
muncul dalam pikiranku. Mimpi untuk membentuk generasi Muslim yang kuat dalam tatanan
sosial dan ekonomi, mimpi menjadi Ki Hajar Dewantara modern, mimpi untuk menegakkan
ajaran Allah menurut Rasul-Nya di sekolah.
Hari ini aku memiliki dua kelas, keputusasaan akan hasil belajar yang tidak kunjung
sesuai dengan harapan ditambah harapan agar anak-anak didikku menjadi manusia yang
mampu bersaing di masa depannya, mendorong aku untuk melupakan pesan kurikulum
pendidikan Agama yang ada. Hari itu aku masuk kelas disambut dengan lagu Pahlawan Tanpa
Tanda Jasa yang dinyanyikan dengan bersemangat oleh anak-anak. Namun entahlah aku tidak
terlalu bahagia dengan penyambutan tersebut, malah aku merasa terpukul mendengar mereka
menyanyikan lagu itu. Teman-teman PNS bahkan kepala sekolah dan pengawas selalu bilang
dalam setiap arahannya bahwa kita harus bangga dengan profesi kita, tapi tidak dengan aku.
Sampai saat ini aku belum pernah merasakan kebanggan sebagai guru bahkan sebagai PNS,
padahal aku adalah guru dan PNS pula, profesi yang diimpikan oleh banyak orang. Apakah
ini tidak sesuai dengan passionku, kurasa tidak. Aku terkadang menikmati profesi ini, aku
senang bisa memotivasi anak-anak yang punya motivasi masa depan yang menggebu.
Kekhawatiran akan pernyataan teman-teman sekolahku dulu yang kudengar ketika kami
melakukan reuni dan berdiskusi, ketika ditanya apa pelajaran ketika sekolah yang masih kami
ingat dan berguna dalam hidup kita saat ini, semua dari kami menjawab dengan jawaban yang
sama, “TIDAK ADA” selain kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Pikiranku liar
mengembara, jangan-jangan apa yang dilakukan anak didikku di sekolah adalah perbuatan
sia-sia yang menghabiskan waktu tanpa mampu mendekatkan diri mereka pada cita-cita
mereka. Maka hari itu, aku memutuskan untuk mengabaikan pesan kurikulum dan aku
meminta mereka menuliskan tujuan hidup, cita-cita dan apa yang sudah mereka lakukan untuk
menggapai cita-cita mereka. Semua anak ternyata memiliki tujuan yang sama, yakni menjadi
manusia yang bermanfaat, membahagiakan dan membanggakan orang tua. Cita-cita mereka
bermacam, dan hari itu kami habiskan waktu di kelas dengan mendiskusikan langkah-langkah
menggapai cita-cita mereka. Ada yang bercita-cita menjadi TNI, tapi mereka merokok, maka
mereka bersepakat untuk berhenti merokok demi cita-cita mereka. Semua anak diberi tugas
sesuai dengan cita-cita mereka, yang bercita-cita menjadi pengusaha kuliner, minggu depan
diminta untuk membawa menu racikan mereka, yang bercita-cita jadi penyanyi diminta untuk
membuat sebuah lagu, dan lain sebagainya. Ternyata pendekatan ini dapat mendorong
motivasi anak didik untuk belajar lebih giat, karena mereka tahu dan sadar tujuan yang mau
mereka target. Rupanya inilah salah satu sebab anak didik menghabiskan waktu di sekolah
dengan asal-asalan. Mereka datang ke sekolah hanya untuk menjalankan kewajiban mereka
sebagai pelajar, tidak jauh berbeda dengan pekerja yang datang ke tempat kerja hanya untuk
menunaikan kewajiban mereka bekerja. Efek pendidikan imperialis yang luar biasa. Anak-
anak kehilangan kreatifitasnya, kehilangan produktifitasnya dan kehilangan arah hidupnya.
Sekolah harusnya menjadi miniatur kehidupan, tempat anak didik belajar menjadi
bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat. Inilah yang kumaknai dari pilar belajar
menurut Unesco, learning to be. Belajar untuk menjadi. Sejak tahun 2004 aku sudah
mendengar istilar empat pilar belajar unesco, yakni learning to know, learning to do, learning
to be dan leaning to live togehter. Namun entahlah, pengetahuan itu seakan tidak memberi
makna apa-apa terhadap tugasku sebagai guru. Baru akhir-akhir ini, aku memahami makna
keempatnya.
Belajar adalah sebuah proses perubahan diri dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa
menjadi bisa dan dari tidak biasa menjadi biasa. Itulah makna dari pilar belajar menurut
Unesco. Belajar harus berfungsi untuk menambah pengetahuan (learning to know),
menambah keterampilan (learning to do), meningkatkan kebiasaan (learning to be) dan
meningkatkan kerjasama (learning to live together). Akhirnya aku memahami bahwa selama
ini, sekolah hanya memfungsikan belajar untuk menambah pengetahuan, yang pengetahuan
itu sendiri bahkan tidak bermakna apa-apa terhadap peserta didik.
Untuk menjadikan sekolah sebagai pusat penyemaian benih-benih kebudayaan, maka
sekolah semestinya berfungsi menjadi laboratorium kehidupan bagi peserta didik. Di sekolah
anak-anak dilatih untuk mempertanyakan, meneliti, mengujicoba dan membiasakan dirinya
dalam rangka menggapai cita-cita mereka.
Sekolah menjadi laboratorium calon tentara, calon politikus, calon pedagang, calon
tokoh masyarakat, calon pengusaha, calon dokter dan lain-lain. Maka jika mendasarkan
pemikiran tersebut, penyeragaman yang menyelimuti sekolah saat ini sungguh tidak relevan
dengan pembiasaan dan pembentukan karakter mereka. Seragam sekolah seyogyanya
mengingatkan peserta didik pada cita-cita mereka. Calon tentara semestinya membiasakan diri
mereka sejak dari sekolah dengan aura kemiliterannya, calon dokter merasakan aura
kedokterannya, calon pengusaha merasakan auranya di sekolah.
Penggunaan seragam kebanggaan (cita-cita) akan memberikan efek kesadaran murid
akan mimpi dan cita-cita mereka. Hal itu akan mendorong mereka untuk belajar dengan
sungguh-sungguh, karena mereka selalu diingatkan dengan seragam yang mereka gunakan
selama bersekolah. Perilaku harian sebagai sosok yang dicita-citakan juga akan membentuk
watak dan kebiasaan mereka dimasa depan. Mereka akan gila dengan mimpinya, dan itulah
yang secara psikologis akan membangkitkan motivasi intrinsik mereka.
Akhirnya aku berfikir bahwa penyeragaman di sekolah adalah pembunuhan karakter.
Dia membunuh kreativitas, membunuh semangat, membunuh mimpi peserta didik untuk
dapat melanjutkan dan menggantikan posisi-posisi penting tersebut di masa depan.

Anda mungkin juga menyukai