Anda di halaman 1dari 21

KULIAHKU YANG GILA TAPI BERMAKNA

Gamaliel Septian Airlanda

Dosen adalah pekerjaan yang tidak aku cita-citakan di masa kecil. Hal ini terjadi karena aku
tidak tau apa yang dikerjakan oleh seorang dosen dalam profesinya. Aku juga jarang melihat
anggota keluargaku berkarir sebagai seorang dosen. Dengan demikian, makin jauhlah aku
dengan profesi dosen. Namun, perjalanan hidup seseorang memang tidak ada yang tau. Kini aku
berdiri sebagai seorang dosen dan sudah menjalaninya selama 7 tahun. Asik tidak asik menjadi
seorang dosen sudah aku lewati selama ini di universitas kristen satya wacana. Sebuah
universitas yang juga tidak pernah kubayangkan. Dari universitas ini aku belajar banyak hal dan
diberi kebebasan mengembangkan keilmuan dengan luar biasa. Ditambah lagi aku bisa bertemu
mahasiswa yang super unik di sini.

Universitas ini menggunakan sistem trimester. Masing-masing semester terdiri dari 3-4 bulan
saja. Semester antara tahun 2022 kali ini, aku menjadi fasilitator untuk kelas Inovasi
Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Aku menyebut diri sebagai fasilitator karena ingin
membangun mindset bahwa dosen adalah peneliti yang mengajar bukan sebaliknya pengajar
yang meneliti. Dua kondisi yang berbeda yang akan membawa dampak pada suasana akademik
yang dibangun di kelas. Cukup sulit juga untuk membuat sudut pandang ini nampak jelas bagi
mahasiswa. Banyak yang menganggap sama saja. Keadaan ini yang membuatku semakin
semangat untuk mengubah pola pikirku dan mahasiswa tentang meneliti. Aku juga masih terus
belajar mengembangkan cara berpikir ilmiah secara bertahap.

Dosen sebagai peneliti yang mengajar akan membawa topik topik penelitian sebagai bahan
kajian ilmiah. Setelah itu, kemasan pembelajaran di kelas akan cenderung mengikuti proses atau
tahapan penelitian khususnya teknik pengambilan dan analisis data. Aku sudah mendapati
banyak mahasiswa yang kecewa karena tidak mendapatkan kelas ceramah. Mereka tidak
mendapatkan koleksi file presentasi power point yang dibuat dosen. Mereka juga tidak
mendapatkan kejelasan soal-soal yang harus dikerjakan sebagai dasar menuntut nilai kognitif.
Perlu disadari pola pendidikan seperti ini masih langgeng di berbagai Universitas di Indonesia
bahkan mendapatkan dukungan kuat dari mahasiswanya. Mereka merasa tidak kuliah kalau tidak
ada kelas ceramah yang sebenarnya membuat mereka mengantuk. Mereka tidak merasa kuliah
kalau tidak mengeluh kebanyakan soal yang harus dikerjakan. Lucu tapi menggelitik.
Kemerdekaan belajar dengan penentuan topik riset sederhana justru membuat bingung dan
merasa pembelajarannya aneh. Aku menuliskan ini semua berdasarkan kondisi yang kualami
selama ini. Tapi niatku bulat bahwa mahasiswa perlu tau sudut pandang lain dari sebuah proses
belajar. Karena koleksi variasi cara belajar tidak akan ada yang sia-sia. Ini bukanlah tentang
benar dan salah. Tapi tentang bagaimana menalar sebuah cara belajar.

Inovasi IPA semester antara tahun 2022 kali ini terasa sangat berbeda dan berkesan bagiku.
Ketua program studi yang baru mempunyai pikiran maju dengan membebaskanku membuka
mata kuliah ini sebagai mata kuliah pilihan yang bisa diambil oleh semua mahasiswa tanpa harus
dipaksa oleh sistem komputer. Periode sebelumnya, mata kuliah ini adalah paksaan sistem. Entah
mahasiswa suka atau tidak, punya alasan atau tidak. Mereka hanya disajikan mata kuliah yang
mau tidak mau mereka ambil dalam bentuk paket. Memang jam mengajarku menjadi banyak
karena kelas inovasi IPA tersaji menjadi bagian paket. Biasanya dosen akan bangga ketika
kelasnya banyak, mungkin semakin banyak kelas yang diampu semakin merasa hebat. Tapi entah
kenapa tidak terlintas sama sekali di pikiranku hal semacam itu. Justru semakin banyak kelas
semakin minim ekspresiku mengelola kelas-kelas itu. Serasa tidak normal punya pikiran itu, tapi
aku tak bisa membohongi nurani. Alasan saja kataku.

Dampak dari mata kuliah yang dibuka secara umum, maka aku berpikir untuk membuat video
singkat yang menjelaskan karakteristik dan topik mata kuliah inovasi pembelajaran IPA
sekaligus mengajak mahasiswa untuk ikut kelasku. Sebelum kelas dibuka, program studi PGSD
membuat survey dan aku mendapat kabar gembira dari ketua program studiku bahwa ada sekitar
62 mahasiswa yang berminat masuk kelasku. Survey dilakukan untuk memperkirakan jumlah
kelas yang akan dibuka melalui sistem administrasi komputer kampus. Satu bulan setelah survei
itu dilakukan, akhirnya dibuka kelas sesungguhnya melalui sistem akademik berbasis komputer
di kampus yang disebut SIASAT. ternyata hanya 13 orang mahasiswa yang akhirnya mengambil
mata kuliahku. Aku enjoy saja mendapatkan kelas kecil. Bakal lebih intens pikirku. Tidak aku
pungkiri ada sedikit rasa wah kelasku tidak banyak diminati… . Tapi aku mengesampingkan nya
dan fokus dengan konten yang akan aku kerjakan di kelas ini. Sepertinya kontaminasi pola pikir
konvensional juga sudah merasuki sebagian nalarku. Harus segera aku sadari dan ubah, supaya
tidak menjadi pikiran dominan yang menguasai.

Kelas perdana aku awali dengan kuliah di taman kampus. Aku mencoba memberikan
pengumuman dengan memanfaatkan media sosial instagram. Pengumuman dari Presiden yang
memperbolehkan pertemuan tanpa masker di luar ruangan membuatku bergerak cukup aktif di
masa after pandemi ini. Mahasiswa cukup kaget melihat tampilanku yang super santai dengan
pakaian casual dan topi. Memang biasanya kelas tatap muka langsung dilakukan dengan pakaian
rapi lalu duduk di kursi kelas, ada papan tulis, ada buku tulis, ada liquid crystal display (lcd), dan
perlengkapan lainnya. Tapi pembelajaran modern haruslah berbeda pikirku. Gedung kampus
hanyalah bagian fasilitas yang tidak bisa menjadi titik utama keberhasilan proses belajar
mahasiswa. Belajar di taman, di caffe, di sawah, di area lapang perlu dijadikan bagian dari proses
belajar juga. Dunia modern akan menuntut mahasiswa yang nantinya akan lulus menjadi
seseorang yang adaptif, sehingga mereka perlu mendapat pengalaman belajar yang juga
membuat mereka mengembangkan adaptasi. Menurutku kuliah taman perdana berjalan tidak
cukup lancar. Kucoba cari tau penyebabnya. Ada beberapa faktor ternyata, seperti: 1. Mahasiswa
tidak berasal dari satu kelas yang sama di periode semester sebelumnya, sehingga mereka tidak
saling mengenal; 2. Mahasiswa belum terkoneksi dengan akun instagram kelas yang aku buat; 3.
Tidak semua mahasiswa siap untuk kuliah tatap muka lagi, sehingga mereka masih ada di daerah
masing masing yang jauh dari kampus; 4. Aku belum meminta mereka bergabung di sistem
aplikasi pembelajaran Flexible Learning milik kampus karena belum disusun dengan baik.
Kuliah perdana dilakukan secara hybrid dengan 3 orang bertemu tatap muka denganku, 6 orang
bergabung secara online dengan zoom dan sisanya belum bergabung di kelas.

Fakta baru kutemukan dalam pertemuan kali itu, kembali unik dan menggelitik. Dari mahasiswa
yang hadir, hanya 1 orang yang memang tertarik secara keilmuan tentang IPA dan justru
mahasiswa ini adalah lulusan Sekolah Menengah Atas jurusan IPS. Alasan utama rata-rata
didominasi karena mata kuliah inovasi pembelajaran IPA merupakan mata kuliah yang
jadwalnya paling aman dan tidak bertabrakan dengan mata kuliah lain dalam sistem
penjadwalan. Wah….. langsung lemas hari itu, tapi aku harus tetap tersenyum sok percaya diri di
depan mereka. Mungkin setelah kutulis dalam buku ini, mereka membaca dan akan tertawa geli
memahami kenyataan yang terjadi saat itu. Tidak apa-apa pikirku, aku kemudian meminta
komitmen mereka karena akhirnya mereka pun sudah mengambil mata kuliah denganku.

KULIAH DI PANDANGAN ORANG GILA

Bicara tentang komitmen perkuliahan, sering diidentikkan dengan nilai harus bagus. Sebenarnya
tidak tentang hal tersebut. Orientasi tentang nilai kognitif mahasiswa masih sangat tinggi walau
konsep kurikulum merdeka belajar sudah bergema sejak 2 tahun lalu. Terkadang di bagian ini
saya merasa kalah telak. Dosen dan mahasiswa yang aku kira berpikiran terbuka pun terkadang
terbawa arus tuntutan lingkungan sekitar. Terutama mahasiswa menjadi sangat ketakutan ketika
dicecar tuntutan orang tua yang masih bergaya konvensional. Kuliah berhasil diidentikan dengan
kesengsaraan, seperti: tas gendong yang nampak begitu berat, pakaian lusuh, muka pucat, badan
anak kurus, keluhan-keluhan tiada henti, hingga buku catatan yang robek-robek. Kuliah di
taman, proyek kehidupan sehari-hari, proyek media sosial, festival karya dianggap sebagai kuliah
yang tidak serius. Pembaca buku ini akan berteriak mengkritik pemikiran saya ini, tapi dalam
hatinya setuju. Gambaran kesengsaraan ini direfleksikan dari pengalaman masa lalu mereka
sebagai orang tua yang sangat sulit mengenyam bangku perkuliahan pada zamannya. Saya tidak
patut mempersalahkan pandangan ini. Pengalaman nyata perjuangan pendidikan masa lalu yang
sangat baik untuk dihargai. Namun, perubahan zaman sudah begitu pesat, sampai kapan terlena
dengan dongeng sengsara masa lalu? Mengapa tidak mendongeng tentang kejayaan masa depan?
Titik inilah saya menganggap diri saya gila.

Dosen gila yang haus akan pengalaman dan atraksi-atraksi dari pembelajaran tidak dipungkiri
membuatku perlu berhadapan dengan banyak problem. Mulai dari sistem, partner kerja, prinsip
mahasiswa hingga pola penilaian. Jujur saja kondisi itu memerlukan energi lebih yang tanpa
sadar mengurangi energi untuk memikirkan inovasi pembelajaran. Kuliah inovasi IPA saya
rancang sebagai pendobrak berbagai dilema pemikiran konvensional. Namun sekaligus saya
bersedia tanggung akibatnya jika hanya segelintir mahasiswa yang mengambil. Tujuan sebuah
perkuliahan adalah memberikan pengalaman calon kehidupan nyata pada mahasiswa bukan
sebuah sandiwara yang nantinya tidak menjadi nyata. Di dalam dunia kerja, akan mulai
dikesampingkan tentang berapa besarnya nilai saat berada di bangku perkuliahan. Dunia kerja
akan lebih fokus pada pola kinerja, sikap, etos kerja, komitmen, inisiatif, pola komunikasi.
Segala bentuk pengetahuan kognitif justru akan dipelajari seiring pekerjaan itu berkembang.
Itulah alasan kuatku untuk mengembangkan model perkuliahan di luar budaya normal di
lingkungan perguruan tinggi di Indonesia.

Mata kuliah pilihan yang aku kembangkan ini punya beberapa kondisi yang tidak lazim, seperti:
1. Tempat kuliah ala gue. Perkuliahan berjalan dengan tempat yang tidak harus di kelas
formal. Kuliah bisa terjadi di taman kampus, museum kampus, trotoar jalanan, taman
kota, ruang virtual zoom, ruang virtual media sosial, dan tempat ngopi. Paling tidak
beberapa tempat itu yang pernah aku realisasikan sebagai tempat belajar. Masih ada
beberapa ide gila yang juga terlintas di pikiranku. Sekali-kali inovasi IPA perlu kuliah di
mall, hutan kota, jalan-jalan ke kota lain, keraton dan sejenisnya. Gayaku belajar ini
memang perlu dikonfirmasi pada mahasiswa, karena tidak semua anak suka dengan gaya
seperti ini. Ada yang suka duduk mendengarkan di bangku kelas supaya dirinya bisa
terlelap tidur dalam mimpi dan bualan.
2. Jam belajar ala gue. Sekali lagi dosen gila ini punya pengaturan jam belajar yang bisa
dibilang aneh. Memang secara jadwal mata kuliah ini punya jadwal yang terperinci.
Namun, belajar bisa kapan saja. Ada waktu belajar perlu intens setiap hari karena
mengejar ketuntasan tujuan tertentu yang ingin dicapai. Ada saat belajar hanya perlu
sesekali saja sambil menikmati indahnya dunia.
3. Proyek kerja ala gue. Proyek kerja dalam mata kuliah biasanya direncanakan dengan
detail termasuk waktu pelaksanaannya. Dosen biasanya sudah memagari dengan topik-
topik tertentu yang dipikirkan menurut kacamata dosen tersebut. Namun, aku tidak
demikian. Topik akan muncul seiring pembicaraan dengan mahasiswa. Bisa saja topik
baru akan diketahui berdasarkan curahan hati mahasiswa atau bahkan niat tiba-tiba dari
mahasiswa itu sendiri. Tidak jarang aku terkesima dengan cerita mahasiswa yang unik.
4. Pakaian ala gue. Perkuliahan normal khususnya di fakultas pencetak calon guru biasanya
penuh aturan tata cara berpakaian. Banyak yang beralasan tentang nilai kesopanan, nilai
teladan hingga spiritual. Namun, terkadang bagiku adalah nilai yang semu. Katanya
diatur pakaiannya supaya menjaga kesopanan, tetapi mental di dalam diri dan pikirannya
justru sering tidak sopan karena dengan mudah merendahkan kemampuan siswa. Katanya
diatur pakaiannya supaya menjadi teladan, namun mencibir guru lain justru kerap
dilakukan di dalam kelas. Konon katanya diatur pakaiannya supaya menjaga mental
spiritual, namun diskriminasi agama malah yang dominan terjadi di jenjang pendidikan.
Oleh karena itu, dosen gila sepertiku akan lebih mudah dan bahagia untuk mengenakan
pakaian sesuka hatiku tapi mentalku tetap memanusiakan manusia.
Kegilaan demi kegilaan yang tercipta ternyata dengan mudah terendus oleh rekan kerja lain dan
para mahasiswa. Berita karakter dosen menjadi lebih utama daripada konten yang coba
dibawakannya. Memang secara mental kita belum siap menerima konsep “peneliti yang
mengajar”. Pandangan tentang “pengajar yang meneliti’ justru lebih mudah dimengerti
sepertinya. Bagiku kuliah adalah cara orang dewasa saling bertukar makna luasnya sisi dunia
melalui langkah ilmiah. Setiap pengelana pengetahuan, punya caranya sendiri. Pemikiran dan
sikap kritis serta perilaku aktif menjadikan dasar menggali pundi-pundi pengalaman dan
pengetahuan dengan lebih netral kepada siapa pun dimana pun. Saat inilah perjalananku dimulai
dalam mengelola makna belajar dan mengajar. Mencoba menjadi jembatan yang kokoh untuk
ekspektasi dan realita pendidikan gaya kita.

MENCARI ARAH YANG TEPAT

Perkuliahan aku ibaratkan sebagai sebuah perahu layar. Peran sebagai Nahkoda tetaplah ada di
bahuku sebagai dosen, walau akun mengubahnya menjadi lebih dinamis. Sang nahkoda perlu
menentukan arah dengan menyiapkan beberapa peralatan. Dosen perlu peta jalan berupa
Rencana Perkuliahan Semester (RPS). Selain itu, perlu sebuah kompas berupa tujuan
pembelajaran dan materi. Memerlukan teropong berupa jurnal ilmiah serta rekan periset lain.
Satu demi satu peralatan ini kulengkapi sambil tetap mempertahankan predikat gila. Hahaha….
Seolah berbangga dengan predikat itu. Tapi pada intinya aku hanya ingin menjaga independensi
dan dinamika perkuliahan tanpa batas kaku yang mengikat. Perahu perkuliahanku harus berlayar
di samudera luas walau dihantam gelombang pasang dan angin. Aku tidak ingin perahuku hanya
menjadi perahu hias yang berlenggak lenggok di sungai yang nantinya akan bersandar karena
telah habis lintasannya.
Kompas penentu arah perahu mata kuliah inovasi pembelajaran IPA. Jarumnya kuarahkan pada
Food Festival Archipelago (FFA). Kegiatan ini digagas oleh tujuh orang periset muda yang
punya hati untuk mengembangkan pembelajaran ke arah yang lebih baik. Tanpa perlu birokrasi
yang panjang, kami bersatu mengembangkan sebuah topik “Pangan Lokal”. FFA dirancang
sebagai acara yang memfasilitasi mahasiswa memamerkan karya buah pikirnya selama
perkuliahan. Pada kasus ini, dosen akan menjadi fasilitator yang akan membantu mahasiswa
melakukan eksekusi ide hingga menjadi sebuah karya. Anggota tim periset lain akan bersama-
sama menjadi pembanding produk mahasiswa dalam kontestasi ilmiah FFA. Presentasi karya
mahasiswa di tahun 2022, mengambil sub tema: Pangan lokal dari konteks Biologis, Sosial-
Humaniora, serta produk-produk pangan lokal. Sebagai seorang nahkoda, aku cukup mantap
mengarahkan kompas ke FFA sebagai tujuan utama.

Setelah punya kompas yang sudah terarah dengan tepat, kini saatnya memperlengkapi diri
dengan teropong. Alat ini aku identikkan dengan sesuatu untuk melihat dan memprediksi kondisi
yang ada di depan. Aku memprediksi tentang tulisan buku atau jurnal yang bisa diterbitkan dari
kisah perjalananku bersama mahasiswa mengelola mata kuliah inovasi pembelajaran IPA. Sama
seperti perjalanan teknologi transportasi laut yang makin modern, mungkin teropong yang aku
gunakan harus terus mengalami pembaharuan. Menulis buku referensi dengan bahasa yang tidak
terlalu formal adalah teropong yang tepat untuk kali ini. Tantangan ini akan sekaligus memberi
peluang bagiku sendiri bersama mahasiswa untuk sering menulis setiap pengalaman belajar yang
telah kami lewati.

Kedua alat berupa kompas dan teropong akan semakin lengkap dengan hadirnya peta. RPS bisa
diartikan sebagai rencana catatan perjalanan perahu mata kuliah inovasi pembelajaran IPA yang
dirancang lebih fleksibel dan menyenangkan. Kali ini aku berkolaborasi dengan patner risetku
dari Sejarah. Di tulisan yang lain, aku menyembutnya sebagai Nyonya Belanda. Ini semua terjadi
karena patner risetku ini sangat suka dengan hal-hal yang berbau kolonialisme ataupun masa
dekolonisasi. Entah apa jadinya kalau topik “pangan lokal” dibawakan dalam perspektif
pendidikan ilmu pengetahuan alam kombinasi sejarah. Prosesku melengkapi kebutuhan
kurikulum semakin menunjukkan hasil. Dengan demikian perahu mata kuliah inovasi
pembelajaran IPA siap untuk berlayar.
AKU MEMAKNAI PANGAN LOKAL

Topik ini adalah pembahasan ilmiah yang baru bagiku. Sebelumnya aku bergelut dengan topik:
keterampilan proses sains, sikap ilmiah, critical thinking. Perjalanan akademik terjadi saat aku
bergabung dengan kelompok peneliti muda yang sangat produktif. Aku mengenal mereka dari
proyek kolaborasi budaya Bali dan Jawa Tengah. Sejak saat itu, kami sering bertukar pikiran dan
merancangkan adanya kolaborasi matakuliah bersama. Diskusi kami dimulai dari eksplorasi
pengetahuan pangan lokal menurut kami masing-masing. Tim ini terdiri dari beberapa peneliti
dengan beragam latar belakang studi, yaitu: Pendidikan Biologi, Sejarah, Kesehatan Masyarakat,
Penyakit Tropis, Gizi dan Nutrisi, Ilmu Komunikasi, dan Teknologi Pangan.

Aku menjawab bahwa pangan lokal adalah sebuah komoditas bahan konsumsi manusia yang ada
pada daerah dan waktu tertentu. Layaknya orang sombong pada biasanya, aku menganggap
jawaban itu sudah memenuhi seluruh kaidah ilmu pengetahuan yang ada. Tapi memang bergaul
dengan peneliti berbeda. Ada yang menjawab bahwa pangan lokal adalah pemenuhan nutrisi dan
kesehatan. What….??? Otak mungilku ini kaget. Pangan lokal sering didefinisikan dengan
makanan tradisional Jawa, seperti: apem, klepon, putu, jenang. Baru sadar bahwa itu terlalu
sempit karena ada makanan lokal lain yang belum kuketahui wujudnya bahkan belum pernah
kurasakan. Kini otak mungilku mulai terisi pengetahuan baru. Peneliti lain menjawab bahwa
pangan lokal adalah tata cara komunikasi masyarakat. Woww…. Pemikiran-pemikiran ini yang
kemudian membuatku betah ada dalam komunitas pemikir dan penggerak seperti mereka.
Bahkan perlu diakui buku ini lahir karena aku melihat motivasi dari mereka.

Jika diperinci beberapa definisi pangan lokal yang kudapatkan melalui tim ini “Pangan Lokal”
adalah:
1. Komoditas bahan pangan konsumsi masyarakat di daerah dan waktu tertentu.
2. Bahan makanan pemenuh gizi dan nutrisi kesehatan masyarakat.
3. Bahan makanan yang bisa menjadi jembatan komunikasi masyarakat.
4. Kisah hegemoni masyarakat.
5. Bahan makanan pencegah penyakit tropis yang dikonsumsi masyarakat.
6. Media belajar sains melalui kegiatan makan dalam hidup sehari-hari
Sungguh beragam dan unik pengetahuan pangan lokal dari berbagai sisi perspektif peneliti
dengan berbagai latar belakang studi. Kolaborasi ini membuatku membuka mata untuk bisa
memperluas cakrawala. Sama seperti ceritaku sebelumnya, tidak semua hal akan berjalan dengan
mulus saja. Perbedaan cara kerja hingga sudut pandang menjadi dilema. Salah satu kendala
adalah waktu. Kelompok studi yang ingin mengembangkan keilmuan secara serius hendaknya
punya waktu khusus untuk saling bertemu.

Bayanganku secara ideal, kelompok ini seharusnya punya jadwal untuk: membaca, bercerita,
menulis, hingga membuat karya bersama. Namun apa daya, dosen di sini lebih tunduk pada
perbudakan administrasi yang segunung. Dosen akan mengerjakan: akreditasi, penjadwalan mata
kuliah, promosi untuk mahasiswa baru, kepanitiaan berbagai acara, membuat dokumen
kerjasama, hingga merapatkan dan menentukan keberlanjutan program. Kegiatan-kegiatan itu di
luar tugas pokok yang dikenal dengan Tri Dharma (penelitian, pengabdian kepada masyarakat,
dan pengajaran). Entah di belahan dunia lain, apakah pekerjaan dosen menjadi sangat
administratif seperti ini juga atau tidak. Tapi bagiku, kompetensi dosen yang masih perlu banyak
belajar dan menulis penelitian sangatlah sulit menyesuaikan dengan beban administrasi semacam
ini. Akhirnya, kami hanya merencanakan kegiatan perkuliahan hanyalah sebatas
menyelenggarakan event akademik.

Selain tabrakan waktu yang sulit untuk disesuaikan. Pemahaman tim tentang sebuah program
kolaborasi juga sangat beragam. Awal mula ketakjuban tentang megahnya variasi definisi
keilmuan pangan lokal kini tergantikan dengan friksi pandangan dan selera tujuan akademik.
Jujur aku melihat peluang besar dalam mengembangkan konsep pangan lokal ini. Tetapi jalan
untuk bisa membesarkan sebuah topik pangan lokal perlu gotong royong bersama dengan
kesatuan makna. Bagian ini aku kemudian teringat dengan proses perjalananku di Bali, bahwa
semua ada yang mengatur karma baik dan karma jahat. Hahaha…… rasanya hendak berfilosofi
tapi kusadari bahwa aku sedang kalah dengan keadaan yang tidak bisa kubuat sesuka hatiku.
Pada akhirnya aku serahkan pada alam untuk memberikan prosesnya pada perjalanan kolaborasi
ini. Aku ingin menyelesaikan tugasku mendokumentasikannya menjadi produk buku.
MEMBACA BERSAMA DENGAN MAHASISWA

Pertemuan perdana kelas telah aku lewati dengan meminta komitmen mahasiswa dalam
mengikuti kuliah gila gayaku. Kini saatnya mahasiswa dan aku masuk di kelas membaca
bersama. Kegiatan ini kulakukan lagi-lagi dari pengalaman pribadiku yang tidak suka membaca.
Bahkan di bangku sekolah dan kuliah aku sendiri tidak suka membaca. Maka ketika menjadi
dosen nalarku berjalan untuk tidak memaksa mahasiswaku membaca seenak dan semauku tapi
aku sendiri sebenarnya modal omong doang dan tidak mau membaca. Sejak masuk ke jenjang
kuliah master, memang kesadaranku membaca menjadi lebih meningkat. Aku cukup malu ketika
memiliki minimal informasi yang sebenarnya sudah tersedia secara gratis di luar sana, tidak bisa
kudapatkan karena aku sendiri malas dan tidak tau tujuan membaca. Kelas membaca bersama
aku kemas secara sadar dilakukan tidak hanya perintah kepada mahasiswa. Tetapi aku terlibat
secara aktif di dalamnya.

Kelas dilakukan di taman kampus yang sejuk dipenuhi pepohonan dan gemericik suara kolam
ikan. Aku mencoba mengkondisikan suasana membaca yang nyaman serta membangkitan energi
positif. Setelah itu kami menyampaikan curahan hati tentang sudut pandang masing-masing
tentang membaca. Perlu diakui bahwa rata-rata dari kami tidak terlalu menyukai membaca. Kami
memerlukan sebuah sudut pandang yang mampu mengubah keterpaksaan menjadi kesenangan
dalam membaca. Kebutuhan ini perlu ditangkap oleh fasilitator yang peka, sekaligus menjadi
pelaku aktif yang juga ikut membaca. Tidak lupa kami saling sharing tentang latar belakang studi
dan ketertarikan terhadap sebuah topik. Sharing ini diperlukan untuk menentukan titik temu dari
masing-masing pembaca. karena membaca bukanlah memaksakan pengetahuan tertentu untuk
wajib dipahami oleh semua orang dengan latar belakang yang berbeda. Pembaca adalah pencari
informasi dengan sudut pandang mereka yang juga perlu dihargai. Apalagi seorang pembaca
pemula, mereka akan merasa trauma dan memilih untuk tidak membaca lagi jika dipaksakan
untuk memahami sebuah topik yang mereka tidak mengerti.

A. Mengemukakan Curahan Hati Sebelum Membaca


Mata kuliah yang aku kelola adalah inovasi pembelajaran IPA. Namun, di sesi curahan hati yang
kulakukan bersama mahasiswa, justru IPA tidak menjadi sudut pandang dominan yang menarik
menurut mahasiswa di kelasku. Banyak yang mengungkapkan sudut pandang keilmuan sosial
menjadi lebih menarik bagi mereka karena dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan sekolah
menengah atas yang telah mereka lalui. Berhasil kutemukan juga bahwa sudut pandang tradisi
menjadi penting. Salah seorang mahasiswa dari Papua menceritakan bahwa di daerahnya banyak
sudut pandang pemikiran yang tidak selalu sama dengan kondisi di pulau Jawa (tempat
kampusku berdiri). IPA dan mitos, kepercayaan masyarakat tentang budaya dan tradisi adalah
kekuatan bagi masyarakat di sana untuk bertahan hidup. Di sisi lain, aku berhadapan dengan
mahasiswa yang berasal dari Kabupaten Semarang yang telah memiliki produk toko onlinenya
sendiri. Mahasiswa ini berpikir bahwa konsep bertahan hidup adalah dengan usaha dan
menjalankan usaha toko onlinenya. Mahasiswa yang lain menceritakan bahwa dirinya berasal
dari sekolah menengah kejuruan dengan spesifikasi perbengkelan. Selama ini dirinya dibekali
untuk mahir memperbaiki motor yang rusak, mobil mogok, mesin mati, body motor penyok.
Bisakah dibayangkan beragamnya latar belakang mahasiswa yang akan membaca sebuah jurnal?
Beranikah seorang fasilitator dosen merenung dan mempertanyakan pada dirinya sendiri ketika
menjadi mahasiswa ini, apa yang dipikirkan? Inilah tantangan yang kemudian perlu difasilitasi
dengan sebuah pertanyaan mendasar: “untuk apa membaca jurnal IPA?”

Melalui curahan hati ini, aku justru bisa memahami mereka dengan lebih jelas. Aku pun
memahami jika nantinya ada peluang mahasiswa di kelasku ini macet di tengah jalan. Hal yang
kemudian paling penting adalah aku mampu menghapus paradigma umum yang selalu
berkembang bahwa mahasiswa perlu didikte oleh dosen dan mahasiswa tidak tau apa-apa.
Sebenarnya perlu dikoreksi siapa yang kemudian tidak tau apa-apa? Di sisi lain, kegiatan
membaca bersama bisa kami mulai dengan tujuan yang lebih jelas. Sekali lagi bukan untuk
mencari satu titik yang sama dalam sebuah bacaan. Ini sama saja dengan mengkerdilkan bacaan
itu sendiri apalagi dengan level jurnal. Tujuan kami membaca bersama adalah menemukan
ketertarikan masing-masing dari kami melalui bacaan itu.

Belajar membaca kali ini, kami mengambil salah satu jurnal yang berkaitan dengan Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Alam dengan judul: “Pembelajaran IPA Abad 21 dengan Literasi Sains
Siswa.” Jurnal ini ditulis oleh mahasiswa Magister Program Studi Pendidikan Fisika di
Universitas Sebelas Maret Surakarta Tahun 2019. Jurnal ini dipilih karena topiknya menarik dan
cocok dengan pengantar materi awal mata kuliah Inovasi Pembelajaran IPA. Selain itu, topik
literasi justru menjadi bahasan yang sedang kami lakukan secara nyata di kelas. Pertimbangan
kecocokan topik dan pembahasan inilah yang membuat jurnal ini layak dibaca bersama.

B. Membaca Bersuara atau Diam


Treatment gila lainnya yang aku lakukan adalah dengan memberikan pertanyaan kepada mereka
tipe membaca yang mereka sukai. Apakah membaca dengan bersuara atau dalam hati. Kembali
lagi aku mencoba menjadi fasilitator yang sok berperasaan tapi penting untuk dicoba. Aku pikir
ini penting untuk memulai budaya membaca dengan benar-benar mengerti dirinya sendiri di
posisi yang tepat. Dari total delapan orang yang bergabung (terdiri dari aku dan tujuh
mahasiswa), ada lima orang yang mengidentifikasikan dirinya suka membaca sambil bersuara
dan tiga orang membaca dalam hati. Aku meminta mereka untuk berpisah tempat sehingga tidak
saling menggangu. Membaca dengan bersuara didominasi oleh laki-laki dan membaca dalam hati
semuanya perempuan. Entah data apa yang sedang aku dapatkan, tapi intinya aku sangat tertarik
dengan acara baru ini.

Membaca bersuara memang nampak seperti anak-anak sekolah dasar yang baru berlatih
membaca. Namun, perlu diakui perilaku ini justru bisa meningkatkan konsentrasi pada bacaan
karena orang tersebut mencurahkan energinya pada kegiatan yang berkorelasi, yaitu melihat teks,
berpikir dan mengeluarkan suara terhadap teks tersebut. Selaras dengan perilaku ini, membaca
diam juga mampu meningkatkan kemampuan berpikir tajam dalam memaknai dan mengkritisi
sebuah teks. Energi yang dikeluarkan oleh orang membaca diam terdiri dari melihat teks dan
berpikir. Dengan demikian cadangan energi akan lebih banyak bisa dicurahkan dalam proses
berpikir. Kata kunci keberhasilan membaca adalah niat yang kuat, ketertarikan yang tepat dan
strategi yang menarik. Kedua tipe membaca ini bisa digolongkan ke dalam strategi yang bisa
dipilih oleh pembaca aktif.

C. Membuat Kata Kunci Sesuai Ketertarikan


Berkaitan dengan bagian pertama dari membaca ini, ketertarikan dari masing-masing latar
belakang pembaca perlu ditemukan. Membuat kata kunci menjadi kegiatan yang wajib supaya
pembaca tidak lupa sekaligus menjadi bahan sharing dari masing-masing mahasiswa. Kata kunci
sekaligus akan menunjukkan fokus mahasiswa dalam membaca sebuah jurnal ilmiah. Aku sangat
tak sabar menantikan hasil tulisan mereka. Berdasarkan hasil diskusi sebelumnya tentang
perbedaan latar belakang mahasiswa, aku membayangkan akan ada banyak variasi unik kata
kunci ketertarikan mereka. Pada bagian ini, aku ingin menunjukkan jika belajar bukanlah tentang
benar dan salah. Seolah jika seseorang tidak menemukan kata kunci yang tepat dalam sebuah
jurnal adalah sebuah kesalahan besar. Tapi bagiku adalah perbedaan sudut pandang karena
ketertarikan dan persepsi yang berbeda. Dunia modern yang sangat dinamis seperti sekarang
sepertinya akan sulit jika harus ditimbang dengan ilmu kaku benar dan salah atau ilmu
mengingat.

D. Bercerita Kata Kunci Pilihan


Tahapan ini adalah bagian yang paling aku nantikan. Karena selain dosen aneh, aku ini juga
penuh rasa kepo (istilah anak muda untuk menggambarkan penasaran tanpa sebab). Tingkat kepo
yang tinggi membuatku ingin menemukan hal-hal unik yang ditulis mahasiswa tentang kata
kunci jurnalnya. Aku berhasil tersenyum girang mendapatkan jawaban dari mereka.
Unpredictable….. istilah sok Inggris yang bisa aku ungkapkan untuk diskusi kali ini. Aku cukup
terperangah ketika sebuah jurnal IPA dapat dimaknai sebagai: “kesejahteraan global dengan
tidak menghilangkan gaya masyarakat Papua.” Kata salah satu mahasiswaku. Ini hanya salah
satu contoh unik yang kutemui di kelas. Masih banyak obrolan yang tidak tertuliskan dengan
kalimat-kalimat di buku ini. Pada intinya, kata kunci sesuai ketertarikan mahasiswa berhasil
membuat mereka asyik menemukan dunia yang relevan dengan pikirannya. Mahasiswa tidak
perlu terpaksa dan terbeban dengan membaca jurnal ilmiah. Persepsi yang tepat dalam konteks
membaca jurnal adalah hal serius untuk membangun kebiasaan membaca. Bagaimana mungkin
mahasiswa akan suka membaca jika terus ditakut-takuti dengan resume yang bernilai benar dan
salah seperti membaca kitab mantra yang akan mendatangkan tulah. Aku sebagai seorang dosen
pun akan malas membaca jika prinsipnya seperti itu.

E. Membuat Catatan
Membaca dan menulis pasangan yang tidak terpisahkan. Jika menginginkan peningkatan kualitas
diri dan kemampuan, maka keduanya bukanlah sebuah tawaran yang bisa dipisah-pisahkan.
Membaca saja tanpa menulis akan memuaskan hasrat yang justru akan membuat pikiran mudah
masuk ke dalam dunia imajinasi. Ini akan membuat seseorang “gak nyambung” dengan manusia
lain. Sebaliknya menulis saja tanpa membaca, maka tulisan-tulisan akan bernada kosong.
Pembaca tidak akan memahami maksud dari kalimat-kalimat yang ditulis. Kusampaikan
pendapat ini karena aku sudah mengalami keduanya dan masih terus dalam proses. Sama dengan
membaca, menulis haruslah dibuat menyenangkan. Aku banyak belajar bahwa gaya menulis
anak muda jaman sekarang belumlah tentu menganut sistem Subyek Predikat Obyek Keterangan
(SPOK) yang selalu dituntut dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Bahkan tulisan dalam buku ini
pun bergaya sentimentil dengan penulisan tidak baku. Kebiasaan menulis perlu dibudayakan
dalam kondisi

Seperti yang pernah aku ceritakan, kalau tidak semua mahasiswa di kelasku kembali ke kampus
dan bisa bertemu secara tatap muka bersama. Ada mahasiswa yang masih di Bengkayang-
Kalimantan, Pontianak-Kalimantan, Jawa Barat. Mereka akan tetap mengikuti kegiatan membaca
bersama yang dirancang melalui Instagram-Live. Platform media sosial modern menurutku akan
lebih menarik mahasiswa untuk bergabung dan tentunya menambah challenge. Yang jelas
mereka berada pada performa terbaiknya karena ditonton oleh followers di instagram. Entah
mengapa suasana kelas instagram menjadi agak kikuk karena mahasiswa jaim alias jaga image
istilah keren dari ingin terlihat sempurna di kamera handphone. Hahahaa…. Hal ini
mengingatkan aku pada kelakuanku dulu ketika pertama kali mengelola instagram live NGOPI
EDUKASI.

Kembali pada kisah mahasiswa membuat catatan. Kini aku bebaskan mereka membuat tulisan
tanpa struktur yang diatur (template). Namun, mahasiswa justru bingung dan berulang kali
bertanya ke asisten mata kuliah tentang apa saja yang harus ditulis. Tahapan ini cukup membuat
agenda perkuliahan melambat karena penundaan demi penundaan mahasiswa lakukan. Batas
waktu pengumpulan mereka tidak buat sendiri sehingga semua berjalan tak terstruktur. Dosen
gila seperti aku memang ingin memberi pengalaman kepada mahasiswa bagaimana mengelola
waktu penugasan tanpa harus diminta atau diberi aturan mengikat. Karena pada akhirnya di
dunia nyata mereka akan mengatur diri mereka sendiri dengan atau tanpa aturan mengikat. Justru
seseorang modern akan bisa menguasai diri mereka dengan bertanggungjawab. Pada akhirnya
mereka mengumpulkan berkas tulisan di laman Flexible Learning (Flearn) secara bergiliran.
Mahasiswa yang berhasil menata waktu ternyata mampu mengumpulkan lebih awal. Kondisi ini
bukan tentang pintar dan tidak pintar. Sebuah istilah yang sangat aku benci jika dibawa-bawa
dalam ranah pembelajaran. Apalagi kegiatan kali ini tentang membaca dan menulis sesuai sudut
pandang masing-masing yang bisa dibuat sangat spesifik dan unik.

Tulisan mahasiswa yang sudah terkumpul terbukti sangatlah spesifik mencerminkan diri mereka
beserta latar belakang pengetahuan mereka tentang sebuah topik. Ide-ide original inilah yang
nantinya akan mendasari proyek kerja ilmiah dengan level kognitif/pengetahuan yang lebih
meningkat lagi. Titik awal yang jelas dari mereka sendiri justru menjadi modal kuat dalam
berpikir kritis. Jika semua tumpuan dari dosen, maka proyek kerja ilmiah yang nantinya akan
dibuat adalah kloning pemikiran dosen yang tidak punya nilai orisinalitas dari mahasiswa.
Biasanya, saat lulus dari bangku kuliah mereka mudah lupa dan tidak berbekas apapun.

F. Ide Proyek Ilmiah

Mahasiswa sudah selesai berlatih membaca dan menulis diambil dari sebuah jurnal ilmiah yang
sudah diterbitkan oleh peneliti senior. Kini saatnya mereka mengelola ide mereka sendiri untuk
menjadi sebuah proyek kerja ilmiah. Uniknya, ternyata mengeluarkan ide yang berkualitas tidak
semudah mengeluarkan komentar seperti para netizen. Kondisi ini juga aku alami sendiri saat
akan menulis atau membuat proposal penelitian. Konyol tapi fakta bahwa berkomentar tanpa
berpikir kadang sering dan mudah dilakukan ketimbanhg beride dan merealisasikan ide. Posisi
merealisasikan mimpi dan ide pun punya kategorinya sendiri. Sungguh perjalanan mata kuliah
ini seperti sebuah cermin besar yang seolah bicara layaknya cerita Putri Salju. Potret yang sama
juga aku lihat nyata pada mahasiswa yang kini sedang memeras pikiran mereka tentang ide
ilmiah.

Positifnya, aku melihat usaha mereka untuk tidak asal ngomong dan memproduksi ide kosong.
Mereka terlihat berhati-hati mengeluarkan pendapat. Di awal pembahasan, ide dijaring melalui
komentar online dengan Flearn. Kelas sedang berakting seolah-olah seperti layaknya media
sosial yang berkembang saat ini. Aku mengawali dengan ceritaku saat pergi ke Malang. Aku
membahas salah satu pangan lokal disana, yaitu Tempe Kacang. Sebuah makanan khas yang
tidak ada di kota lain. Makanan ini pun riskan untuk didistribusikan ke kota lain karena mudah
basi. Belum ada teknologi pangan yang efektif untuk mengolah tempe kacang ini sehingga
mudah dibawa selain membuatnya menjadi keripik atau digoreng. Melalui topik itu, aku minta
mahasiswa saling memberi pendapat. Usahaku cukup efektif memancing mereka untuk
membalas disertai juga dengan balasan ide. Beberapa ide yang bisa muncul di percakapan
pertama adalah: a) membandingkan gadung dan entik; b) melihat pengolahan bandeng presto; c)
membandingkan telur gulung yang digoreng dan direbus; d) membuat tapai dari ubi (ketela
manis). Ide ini tidak aku sangka akan muncul dengan begitu mulus dari mereka. Semakin
menyenangkan adalah ketika aku menanyakan kepada mereka alasan mengeluarkan ide tersebut.
Mahasiswa sudah berhasil punya alasan kuat yang tidak hanya karena “pengen”. Sebuah alasan
klasik yang muncul dari orang tidak berpikir.

Perjalanan diskusi semakin memanas hingga ide-ide tambahan kembali muncul dari mahasiswa
lainnya. Tambahannya seperti: a) membandingkan kue lapis yang ditambah dengan ekstrak ubi
ungu dan tidak; b) kue cucur khas sahek-Kalimantan; c) brownies kukus dan goreng; d) tempe
kedelai dan gembus; e) tempe oncom dan kedelai. Ragam ide menjadi semakin menarik dan
kompleks. Aku pernah menawarkan kepada mereka apakah topik yang diusulkan akan
dikerjakan secara kelompok atau individu. Dengan serempak mereka ingin mengeksplorasi
topiknya secara individu. Wow…. Aku melihat sesuatu yang berbeda dari mahasiswa ini. Rasa
percaya diri mengatasi sebuah topik riset sudah mulai nampak. Di sisi lain, tidak dipungkiri
bahwa ada mahasiswa yang masih galau memikirkan idenya sendiri. Berulang kali ada
mahasiswa yang nampak ragu sambil berkata: tunggu dulu pak, mau saya lakukan apa ya pak?
Saya masih berpikir.” Cerita-cerita ini menghiasi proses terkumpulnya ide mereka bahkan ada
juga yang menghilang tanpa jejak dengan alasan sinyal. Pertemuanku dengan mahasiswa
menjadi cukup intens karena mereka juga pertama kali membuat proyek kerja ilmiah. Inilah saat
yang tepat untuk saling memberi info dan menemukan makna sesungguhnya dari proses belajar.

G. Bimbingan Padat Persiapan Festival

Awal perkuliahan inovasi IPA aku telah membuat sebuah video pengantar yang menjelaskan
bahwa proyek kerja ilmiah bukanlah sebuah beban yang harus ditakuti oleh mahasiswa. Ide-ide
yang diproduksi mahasiswa telah menuntun mereka selangkah lebih memahami proyek kerja
ilmiah melalui sudut pandangnya. Jujur aku melihat beberapa mahasiswa macet dalam
merealisasikan ide. Mereka adalah cerminanku saat kuliah hingga sekarang tentang usaha
membuat sebuah ide menjadi nyata. Pada kondisi seperti ini, memang bantuan pihak ketiga
sangatlah diperlukan. Banyak peneliti yang tidak sadar untuk menularkan pengalamannya
merealisasikan ide di tahap awal. Peneliti kawakan cenderung berpikir bahwa siapapun di dunia
ini bisa merealisasikan mimpinya sendiri. Padahal tidak demikian. Belajar dari kelas Filsafat
yang pernah aku ambil beberapa waktu lalu, bahwa ide adalah sebuah daya imajinasi yang tak
terbatas. Namun merealisasikan ide bukan hanya dalam bentuk teori membutuhkan kekuatan
layaknya membangun Candi ataupun Piramid. Moment inilah seseorang ditantang untuk berpikir
kritis dan inovatif bahkan untuk mengatasi pikirannya sendiri. Itulah kondisi sesungguhnya yang
juga aku dan mahasiswaku hadapi.

Salah satu cara yang kulakukan untuk merealisasikan ide adalah banyak berdiskusi dengan teman
pemikir serta eksekutor ide. Cara ini ampuh untuk bisa menata ide-ide besar menjadi lebih
realistis bahkan memetakan kendala-kendala yang ada. Proses yang sama aku pilih untuk
berinteraksi dengan mahasiswa mata kuliah inovasi IPA. Aku sangat mengapresiasi mahasiswa
dengan kerjasama mereka yang sangat baik. Kondisi serupa juga ditunjukkan pada mahasiswa
yang masih memilih jalur belajar online karena satu dan lain hal. Tim asisten membantu untuk
menata jadwal pertemuan bimbingan personal pada proyek kerja mahasiswa ini. Kami bertemu
hampir setiap hari dalam tiga minggu berturut-turut di pukul tujuh malam. Salut melihat mereka
ini, jiwa muda yang mau diproses. Mata kuliah ini adalah sebuah impian yang menjadi nyata.
Dominansi riset sudah sangat dominan di perkuliahan ini. Kelas inovasi IPA berhasil
mengurangi dengan signifikan transfer pengetahuan hanya dengan ceramah dan perpindahan
teori saja. Kelas ini mencoba menerapkan teori sampai ke produk akhir yang menjadi peluang
mahasiswa melanjutkan proyek ini sepanjang masa. Total ada sepuluh karya yang terkumpul
dengan judul sebagai berikut:
1. Perbedaan Tempe Kedelai dan Tempe Gembus Setelah di Goreng
2. Perbedaan Proses Pengolahan Brownies
3. Pengaruh Larutan Minyak dan Air pada Pembuatan Telur Gulung
4. Bandeng Presto Tulang Lunak Khas Merak Rejo Bawen
5. Yuk Cari Tahu Tentang Umbi Enthik dan Gadung!
6. Menyulap Ketela Menjadi Tapai
7. Camilan Khas Bandungan yang Tiada Duanya
8. Rasa Kue Cucur Sahek dan Teksturnya
9. Kue Lapis Legit dari Ubi Ungu
10. Oncom Goreng yang Tidak Kalah Enak dengan Tempe Kedelai Goreng
Judul kajian mereka menunjukkan dengan jelas bahwa penelitian mahasiswa inovatif dan
kontekstual. Sebuah kajian yang tidak muluk-muluk tapi mudah dinalar serta penting untuk
diangkat. Paling utama adalah pola pikir dan karya mereka sangatlah orisinil.

Sebagai fasilitator pendidikan aku hanya bisa memberi bekal kepada mereka sebuah sudut
pandang mengelola ilmu. Pada akhirnya mereka sendiri yang akan mengembangkan bahkan
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah karya orisinil sangatlah bermakna menurut
pandanganku. Karena dengan karya orisinil, pengembangan sebuah produk ataupun teori tidak
akan mudah untuk berhenti. Selalu ada tambahan baru yang unik gaya masing-masing orang.
Kondisi ini yang jarang disadari oleh pendidik negeri budak administrasi. Pendidikan selalu
diidentikkan hanya dengan kumpulan nilai-nilai serba tinggi dan penyamarataan pola berpikir.
Namun, dalam mata kuliah dan pembimbingan ini nampak sekali poin-poin lain yang justru
membuat seorang individu menjadi unik.

Bimbingan kali ini bukan hanya tentang menyelesaikan tugas proyek, tetapi menyalurkan pola
pemikiran dan ketahanan proses kepada mahasiswa. Mereka adalah harapan masa depan yang
masih berjuang dalam kurun waktu yang lebih panjang. Segala perubahan baik secara lokal,
nasional bahkan global membuat pola pikir, pengetahuan, inisiatif, ketahanan proses, sikap
mereka perlu diasah. Senjata-senjata itu yang bisa dijadikan alat perang menghadapi kejamnya
globalisasi. Harapan terbesarku adalah mereka mengambil hal positif yang dari proses panjang
ini dan menjadikannya bekal di masa depan.

H. Anak yang Hilang


Perkuliahan adalah tempat belajar efektif ketika seseorang itu bisa memaknainya dengan benar.
Di bangku perguruan tinggi, manusia akan dibentuk untuk memiliki jati diri. Kita bisa menjadi
seutuhnya kita, menolak apa yang tidak disukai, menyukai apa yang menjadi keinginan hati,
hingga mengatur diri untuk bisa meraih mimpi. Kondisi belajar ini sangat berbeda dengan gaya
sekolah menengah atas dengan segala perangkat lingkungan belajarnya. Ceritaku ini melandasi
betapa bebasnya mahasiswa bersikap dan berproses. Di mata kuliah inovasi IPA tidak semua
anak bisa menyesuaikan diri. Di awal perkuliahan mereka telah bercerita bahwa alasan
mengambil mata kuliah ini didominasi hanya karena jadwal yang tidak bertabrakan bukan minat
tentang pembahasan IPA. Oleh karena itu, aku sangat terkagum ketika proses pembimbingan
beberapa anak sudah menunjukkan perubahan signifikan. Bagai sebuah istilah: “Tiada Gading
yang Tak Retak.” dan itu adalah hal yang wajar.

Pertemuan pertama kedua ketiga, mahasiswa masih terkondisi dengan baik. Pertemuan lanjutan
ketika mulai masuk pembimbingan personal, mulai muncul beberapa mahasiswa dengan
beberapa alasan. Total sampai di akhir semester ada dua orang mahasiswa yang sulit dideteksi
keberadaanya bahkan produk akhirnya juga tidak jelas. Ada seorang mahasiswa yang dijuluki
“anak hilang yang kembali”. Mahasiswa ini selalu hadir di pertemuan awal namun tiba-tiba
menghilang ketika terus menerus ditanya oleh tim asisten dan aku tentang progress proyek kerja
ilmiah yang didaftarkannya. Mungkin dia merasa risih atau bingung karena terus menerus
ditagih. Dengan terpaksa aku menggunakan cara halus secara manual tapi kasar secara teknologi
digital, yaitu melakukan suspend akun pembelajaran online Flearn. Sebuah respon tidak terduga
dari mahasiswa ini. Dengan polos dia bertanya pada tim asisten dosen: “Kak, mengapa akun
Flearn Saya putih semua?” Jelas saja putih semua pikirku, akun tersebut sudah tidak diakses.
Tapi beruntung mahasiswa ini punya niat untuk bertanya kepada asisten. Setelah pertanyaan
polosnya itu, dirinya mulai aktif kembali di kelas. Mulai ikut kegiatan kelas, memikirkan
kelanjutan proyek kerjanya dan berhasil mempresentasikan proyek kerja di Food Festival
Archipelago. Sungguh pengalaman unik dari seorang mahasiswa yang hilang dan kembali.

I. Food Festival Archipelago


Kegiatan Food Festival Archipelago kemudian lebih dikenal sebagai FFA 2022. Pengalaman
pertama menjadi bagian dari sebuah festival akbar untuk mahasiswa. Aku tidak membayangkan
FFA akan menjadi sangat besar cakupannya. Pengalamanku menyelenggarakan festival kegiatan
mahasiswa hanya ada di ruang kelas dan dihadiri oleh seluruh anggota kelas. Ternyata FFA kali
ini mengundang beberapa tamu dari komunitas yang sudah bergerak di level nasional dan
internasional. Memang kegiatan ini tidak hanya membuatku kelabakan tetapi mahasiswa dan tim
asisten menjadi super sibuk mempersiapkannya. Proses yang terjadi dengan beberapa detail
tahapan memang berasal dari kegundahan untuk bisa mengikuti rangkaian FFA 2022.

Acara megah ini akhirnya terlaksana selama empat (4) hari dengan berbagai drama di dalamnya.
Ekspektasiku yang tidak sejalan dengan tim peneliti lain menjadi salah satu drama yang kualami.
Aku berpikir kolaborasi hanya akan dilakukan dalam bentuk presentasi di kelas masing-masing
sambil mendatangkan tim peneliti dan mahasiswa antar kelas. Selain itu, kolaborasi ini
membutuhkan kontribusi dari masing-masing peneliti untuk membangun pemikiran mahasiswa
dengan topik kerja ilmiah mereka. Tentu otak mungilku ini tidak bisa memberikan saran
komprehensif untuk semua bagian. Topik kolaborasi yang juga berkaitan dengan rekonstruksi
pangan lokal belum terjamah dengan mendalam. Tapi keseruan demi keseruan FFA menjadi
catatan tersendiri yang menunjukkan sisi lain kolaborasi.

Sesi pertama dari FFA adalah workshop icip-icip makanan lokal. Aku bertugas dengan
kelompok mahasiswa yang perlu mencicipi menu makan pagi, makan siang dan makan malam.
Sebagai fasilitator di FFA, aku diminta menentukan jenis menu makanan yang ada di Kota
Salatiga untuk dicicipi. Menu makan pagi yang kupilih bergaya Eropa yaitu Roti Wonder.
Produk roti ini sangat terkenal sebagai bagian Kota Salatiga, apalagi kota ini pernah menjadi
metropolitan masa kolonial dengan kaum elit bangsa Belanda. Menu makan siang adalah iwak
kutuk yang dimasak opor. Selanjutnya menu makan malam adalah gaya akulturasi budaya Cina
yaitu Bakpao Luber. Merk bakpao terkenal di kota Salatiga. Ketiga menu makanan ini aku coba
karena tertarik dengan latar belakang kisah dari masing-masing makanan ini. Tetapi lebih dari
itu, sebagai peneliti Ilmu Pengetahuan Alam aku juga tertarik dengan bagaimana mahasiswa
memaknai makanan dalam kerangka pengetahuannya.

Sesi kedua adalah sesi seminar dan student talk. Ini adalah tahapan paling seru karena aku bisa
belajar banyak dari mahasiswa tentang pangan lokal yang mereka jelaskan bahkan dibawa
langsung. Paling tidak aku mengenal beberapa pangan seperti: bongko mento dari Jepara, papeda
Maluku, bandeng presto Bawen, —————-. Makanan-makanan ini belum pernah aku dengar
secara detail cara pembuatannya, bahan bakunya, ataupun filosofinya. Mahasiswa bisa
menjelaskan secara lengkap dan penuh makna. Aku benar-benar terpesona dengan penampilan
presentasi mereka.

Sesi ketiga diisi dengan kolaborasi mahasiswa untuk memasak dan menyajikan pangan lokal
sesuai daerah asal mereka. Pengalaman FFA ini seolah membawaku berwisata keliling Indonesia
tanpa harus membeli tiket pesawat ataupun kereta api. Setiap orang yang mencicipi hasil
masakan mereka wajib menjadi foodgram untuk memberi komentar dan bercerita tentang
perasaan ketika menikmati makanan tersebut.

Kolaborasi keilmuan dan asiknya kegiatan bersama mahasiswa ternyata membuahkan hasil
dengan munculnya buku bersama tujuh peneliti. Kondisi ini menunjukkan bahwa kolaborasi
keilmuan adalah hal positif yang tidak akan kehabisan ide segar untuk dikembangkan. Disisi
lain, proses kolaborasi bukanlah sesuatu yang menakutkan untuk direalisasikan. Banyak friksi
dan banyak drama tapi bukan hal mustahil jika dilakukan dengan indahnya bercengkrama.
Rumor pun dibabat habis bukan untuk diratapi dan dikomentari. Perkembangan keilmuan IPA
modern seperti yang aku geluti, justru menuntut perkembangan dalam kerangka kolaborasi. IPA
tidak boleh egois dengan merasa paling benar dan sok sulit. Cerita tentang kolaborasi keilmuan
kuakhiri sementara. Namun, rangkaian kalimat ini akan kututup dengan: “Kapan euphoria
pemikiran liar ini kembali terulang?”

Anda mungkin juga menyukai