Anda di halaman 1dari 4

DUA JENIS GURU

Rhenald Kasali

Ada dua jenis guru. Guru pertama adalah guru kognitif, sedangkan guru kedua adalah guru
kreatif. Guru kognitif sangat berpengetahuan. Mereka hafal segala macam rumus, banyak
bicara, banyak memberi nasihat, sayangnya sedikit sekali mendengarkan.
Sebaliknya, guru kreatif lebih banyak tersenyum, namun tangan dan badannya bergerak aktif.
Setiap kali diajak bicara dia mulai dengan mendengarkan, dan saat menjelaskan sesuatu, dia
selalu mencari alat peraga.Entah itu tutup pulpen, botol plastik air mineral,kertas
lipat,lidi,atau apa saja. Lantaran jumlahnya hanya sedikit, guru kreatif jarang diberi
kesempatan berbicara. Dia tenggelam di antara puluhan guru kognitif yang bicaranya selalu
melebar ke mana-mana. Mungkin karena guru kognitif tahu banyak, sedangkan guru kreatif
berbuatnya lebih banyak.

Guru Kognitif
Guru kognitif hanya mengajar dengan mulutnya. Dia berbicara panjang lebar di depan siswa
dengan menggunakan alat tulis. Guru-guru ini biasanya sangat bangga dengan murid-murid
yang mendapat nilai tinggi. Guru ini juga bangga kepada siswanya yang disiplin belajar,
rambutnya dipotong rapi, bajunya dimasukkan ke dalam celana atau rok, dan hafal semua
yang dia ajarkan. Bagi guru-guru kognitif, pusat pembelajaran ada di kepala manusia, yaitu
brain memory. Asumsinya, semakin banyak yang diketahui seseorang, semakin pintarlah
orang itu.
Dan semakin pintar akan membuat seseorang memiliki masa depan yang lebih baik. Guru
kognitif adalah guru-guru yang sangat berdisiplin. Mereka sangat memegang aturan, atau
meminjam istilah para birokrat (PNS), sangat patuh pada ”tupoksi”. Saya sering menyebut
mereka sebagai guru kurikulum. Kalau di silabus tertulis buku yang diajarkan adalah buku
”x” dan bab-bab yang diberikan adalah bab satu sampai dua belas, mereka akan mengejarnya
persis seperti itu sampai tuntas.
Karena ujian masuk perguruan tinggi adalah ujian rumus, guru-guru kognitif ini adalah
kebanggaan bagi anak-anak yang lolos masuk di kampus-kampus favorit. Kalau sekarang,
mereka adalah kebanggaan bagi siswa-siswa peserta UN. Sayangnya, sekarang banyak
ditemukan anak-anak yang cerdas secara kognitif sulit menemukan ”pintu” bagi masa
depannya. Anak-anak ini tidak terlatih menembus barikade masa depan yang penuh
rintangan, lebih dinamis ketimbang di masa lalu, kaya dengan persaingan, dan tahan banting.
Saya sering menyebut anak-anak produk guru kognitif ini ibarat kereta api Jabodetabek yang
hanya berjalan lebih cepat daripada kendaraan lain karena jalannya diproteksi, bebas
rintangan. Beda benar dengan kereta supercepat Shinkanzen yang memang cepat. Yang satu
hanya menaruh lokomotif di kepalanya, sedangkan yang satunya lagi, selain di kepala,
lokomotif ada di atas seluruh roda besi dan relnya.

Guru Kreatif Ini guru yang sering kali dianggap aneh di belantara guru-guru kognitif. Sudah
jumlahnya sedikit, mereka sering kali kurang peduli dengan tupoksi dan silabus. Mereka
biasanya juga sangat toleran terhadap perbedaan dan cara berpakaian siswa. Tetapi, mereka
sebenarnya guru yang bisa mempersiapkan masa depan anak-anak didiknya. Mereka bukan
sibuk mengisi kepala anak-anaknya dengan rumus-rumus, melainkan membongkar anak-anak
didik itu dari segala belenggu yang mengikat mereka.
Belenggu- belenggu itu bisa jadi ditanam oleh para guru, orang tua, dan tradisi seperti tampak
jelas dalam membuat gambar (pemandangan, gunung dua buah, matahari di antara keduanya,
awan, sawah, dan seterusnya). Atau belenggu-belenggu lain yang justru mengantarkan anak-
anak pada perilaku-perilaku selfish, ego-centrism, merasa paling benar,sulit bergaul, mudah
panik, mudah tersinggung, kurang berbagi, dan seterusnya.
Guru-guru ini mengajarkan life skills, bukan sekadar soft skills, apalagi hard skill. Berbeda
dengan guru kognitif yang tak punya waktu berbicara tentang kehidupan, mereka justru
bercerita tentang kehidupan (context) yang didiami anak didik. Namun, lebih dari itu, mereka
aktif menggunakan segala macam alat peraga. Bagi mereka, memori tak hanya ada di kepala,
tapi juga ada di seluruh tubuh manusia.
Memori manusia yang kedua ini dalam biologi dikenal sebagai myelin dan para
neuroscientist modern menemukan myelin adalah lokomotif penggerak (muscle memory). Di
dalam ilmu manajemen, myelin adalah faktor pembentuk harta tak kelihatan (intangibles)
yang sangat vital seperti gestures, bahasa tubuh, kepercayaan, empati, keterampilan, disiplin
diri,dan seterusnya.
Saat bertemu guru-guru kognitif, saya sempat bertanya apakah mereka menggunakan alat-alat
peraga yang disediakan di sekolah? Saya terkejut, hampir semua dari mereka bilang tidak
perlu, semua sudah jelas ada di buku. Beberapa di antara mereka bahkan tidak tahu bahwa
sekolah sudah menyediakan mikroskop dan alatalat bantu lainnya. Sebaliknya,guru-guru
kreatif mengatakan: ”Kalau tidak ada alat peraga,kita akan buat sendiri dari limbah. Kalau
perlu, kita ajak siswa turun ke lapangan mengunjungi lapangan. Kalau tak bisa mendatangkan
Bapak ke dalam kelas, kita ajak siswa ke rumah Bapak,” ujarnya. Saya tertegun. Seperti
itulah guru-guru yang sering saya temui di negara-negara maju. Di negara-negara maju lebih
banyak guru kreatif daripada guru kognitif. Mereka tak bisa mencetak juara Olimpiade
Matematika atau Fisika,tetapi mereka mampu membuat generasi muda menjadi inovator,
entrepreneur, dan CEO besar.
Mereka kreatif dan membukakan jalan menuju masa depan. Saat membuat disertasi di
University of Illinois, para guru besar saya bukan memaksa saya membuat tesis apa yang
mereka inginkan, melainkan mereka menggali dalam-dalam minat dan objektif masa depan
saya. Sewaktu saya bertanya, mereka menjawab begini: ”Anda tidak memaksakan badan
Anda pada baju kami, kami hanya membantu setiap orang untuk membuat bajunya sendiri
yang sesuai dengan kebutuhannya.” Selamat merayakan Hari Pendidikan dan jadilah guru
yang mengantarkan kaum muda ke jendela masa depan mereka.
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak
saya belajar di Amerika Serikat.

Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai
E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di
Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu
pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang
terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.

Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karangan itulah yang


diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa?
Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau
begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya
protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia,” jawab saya.Dia pun tersenyum.

Budaya Menghukum

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang
mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. “Saya mengerti,” jawab
ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya
bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anakanaknya dididik di sini,”lanjutnya. “Di negeri
Anda, guru sangat sulit memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk
menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!” Dia pun
melanjutkan argumentasinya.

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak sebesar itu,
baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini
adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak
saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi
orang lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study
saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor. Sementara di
Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan
para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya
dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun
suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak
ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya.
Mereka menunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya
sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan
mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal
sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan”
mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji
marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakanakan kebaikan itu ada
udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan
bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.
Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa
diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang
yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.

Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di
Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu
menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan
karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat:
karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu
guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan
kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga
teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak
diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras,
seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-
sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.” Malam itu saya
mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin
memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia
pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya
mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

Melahirkan Kehebatan

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut?
Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan
pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras
oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata
ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas
kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih
disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat.
Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis,
melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat
tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di
sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun.
Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau
bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. Mari kita
renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan.
Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang
menakut-nakuti.(*)

Anda mungkin juga menyukai