Oleh: AAA
Sosiologi adalah sesuatu yang sebelumnya tak pernah saya kenal dalam hidup saya.
Sebelum memasuki semester 2 perkuliahan, saya tidak pernah mengambil kelas yang
mempelajari aneka tipe perilaku manusia atau struktur kelembagaan. Namun setelah saya
tahu dasar-dasar sosiologi sekarang ini, saya dapat melihat beragam cara untuk
mempelajari perilaku manusia. Berulang kali pada semester ini, saya mulai menoleh
kembali kepada kehidupan diri saya sendiri dan mencermati beragam cara dan hal yang
membentuk/mempengaruhi diri saya dan bagaimana hal-hal itu dapat diamati secara
sosiologis.
Hal pertama yang mulai saya analisis adalah bagaimana saya mengenali diri saya
sendiri. Identitas-diri saya adalah sesuatu yang saya perjuangkan dalam seluruh hidup
saya. Ia adalah sesuatu yang hingga saya berada di bangku kuliah ini terasa begitu
membingungkan saya. Identitas saya adalah sesuatu yang akan berubah setiap tahun
berdasarkan peristiwa-peristiwa berbeda yang terjadi dalam hidup saya. Menengok
kembali kepada masa-masa SMA saya dulu, saya telah mencoba segala macam
pendapat/opini di sekolah. Dengan memandangnya dari sudut pandang sosiologis, saya
dapat melihat bahwa beberapa peristiwa berbeda yang terjadi di hidup saya adalah yang
menyebabkan perubahan drastis dalam identitas-diri saya. Perubahan-perubahan dalam
identitas-diri saya dapat dikaitkan dengan suatu teori cermin diri (the looking glass self).
Menurut Charles Cooley, cermin diri adalah sebuah konsep yang didasarkan pada
bagaimana “kita membayangkan orang lain melihat diri kita”.
Banyak anak yang sebangku sekolah dengan saya pada masa lampau yakin bahwa
saya berasal dari keluarga tradisional. Beberapa anak yang menjadi teman saya pada tahun
kedua di SMA tidak pernah mencatat perubahan-perubahan di keluarga saya. Namun
demikian, selama duduk di bangku sekolah itu, citra atau gambaran yang ada di pikiran
teman-teman saya itu justeru sangat penting bagi saya. Citra atau gambaran itu merupakan
bagian dari cermin diri saya. Saya tidak menginginkan mereka melihat diri saya secara
berbeda karena saya khawatir akan dianggap kasar dan meniru keluarga yang berlawanan
dengan stereotipe (prasangka) keluarga yang “normal”.
Sewaktu di bangku SMA dimana saya memperlihatkan secara sekilas foto-foto
keluarga saya kepada orang lain, Anda tidak bisa melihat dinamika disfungsional dari
keluarga saya. Melalui potret itu, Anda dapat menyaksikan keluarga Amerika yang ideal,
yang khas: seorang ayah, seorang ibu, seorang anak perempuan, dan seorang laki-laki. Di
sekolah, saya percaya bahwa saya akan diremehkan dan ditertawakan akibat dinamika
keluarga saya yang nontradisional. Saya selalu mencoba untuk menutup-nutupi bahwa
nenek saya adalah perempuan hebat yang setiap malam mememasak makan malam untuk
adik dan saya sendiri, sementara ayah dan ibu saya bekerja di kantor hingga larut malam.
Namun demikian, ide bahwa hal ini tidak biasa merupakan hasil konstruksi sosial dalam
pikiran saya sendiri. Ketika membandingkan keluarga saya dengan sinetron TV seperti
Simpson, perbedaan keluarga saya terlihat begitu mencolok. Saya merasa orang lain akan
menertawakan dan mengejek saya ketika keluarga saya tidak sesuai dengan gambaran
keluarga sempurna sebagaimana ditayangkan di media. Hal ini pada akhirnya membawa
saya untuk turut meyakini bahwa keluarga saya adalah tipe keluarga yang salah karena
tidak mengikuti gaya keluarga yang populer di TV-TV sekarang ini.
Selama SMA, karir kedua orang tua saya kurang lebih merupakah titik pusat
kehidupan saya. Ayah bekerja di bisnis percetakan selama beberapa tahun, sebuah profesi
dengan upah ala kadarnya, dan dia beberapa kali diberhentikan sementara waktu
(menganggur). Pengangguran adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar waktu itu.
Kemunduran bisnis percetakan dimana ayah bekerja adalah bagian dari restrukturisasi
ekonomi yang terjadi pada waktu itu. Keadaan ekonomi ini masih berubah pada tingkat
makro, dimana semakin banyak pekerjaan yang digantikan oleh teknologi.
Pada tahun pertama saya di bangku SMA, keluarga saya mewarisi rumah baru yang
sangat besar namun hanya punya satu sumber pemasukan pada saat ayah saya kehilangan
pekerjaan yang lumayan bagus. Ayah saya yang berumur 40 tahun dan hanya punya
ketrampilan dagang yang sudah kuno tiba-tiba harus menganggur selama sekurang-
kurangnya satu tahun. Sekalipun sudah berupaya mencari kerja paroh waktu, gajinya
tetaplah rendah akibat sedikitnya peluang kerja yang tersedia. Pada Mei 2010, menurut
Biro Kerja dan Statistik, ada 135.789 jumlah para pencari kerja pada saat ayah saya
menganggur. Hal ini sama sekali tidak saya sadari ketika ayah saya kehilangan pekerjaan.
Sepengetahuan saya, waktu itu, kejadian tersebut hanya menimpa ayah saya dan
mempengaruhi hidup saya seorang diri, sehingga orang lain lalu menganggap saya berasal
dari keluarga yang kemampuan ekonominya rendah.
Setelah ayah saya menganggur untuk sementara, ibu saya menjadi penanggung
beban keluarga. Ia melakukan kerja lembur apapun yang dapat ia kerjakan. Sekarang ini
ibu bekerja di sebuah kantor laboratorium selama lebih dari 20 tahun, dan menerima upah
dari seorang perempuan yang menjadi majikannya. Selama menjadi siswa tahun kedua,
bahkan ibu saya mencoba bekerja sambilan untuk mendapatkan biaya perlengkapan
sekolah.
Selama tingkat akhir SMA, kedua orang tua saya akhirnya bangkrut. Hal ini saya
pandang sebagai stigma negatif yang melekat pada nasib bangkrut, dan saya tidak ingin
mengalami kebangkrutan seperti itu dalam hidup saya. Saya lalu bekerja keras untuk
mempertahankan identitas-diri saya sebelum mengalami kebangkrutan. Seperti halnya
pengangguran yang dialami ayah saya, saya waktu itu tidak tahu bahwa bangkrut adalah
suatu masalah yang sudah lazim ketika situasi ekonomi sedang menurun.
Kesimpulan
Ketika saya menengok kembali ke masa-masa SMA dengan menggunakan suatu
kacamata sosiologis, saya dapat menyaksikan bahwa ternyata ada sangat banyak perilaku
yang telah saya lakukan, namun baru saya sadari sekarang ini. Setiap pergantian dalam
kelompok pergaulan yang berbeda dapat terlihat bahwa saya tidak ingin berbagi cerita
kehidupan saya dengan orang lain. Hal ini berarti dapat disimpulkan bahwa saya khawatir
menghadapi risiko dikritik dan dihakimi oleh orang lain. Saya dapat juga melihat bahwa
sejumlah persoalan yang dialami keluarga saya tidak hanya menimpa kami. Keadaan
ekonomi berubah dan banyak keluarga lainnya di seluruh negeri ini menghadapi ancaman
kehilangan pekerjaan dan juga kebangkrutan. Menurut Pengadilan Amerika Serikat, lebih
dari 44.042 orang mengalami kebangkrutan di Michigan bagian barat sepanjang tahun
2011. Ini merupakah sesuatu hal yang tidak saya sadari waktu itu.
Sekarang setelah menyadari hal ini, saya tidak lagi takut untuk membicarakan
masalah-masalah yang sudah saya hadapi sewaktu SMA dan dampak masalah itu pada
pembentukan identitas-diri saya. Selama waktu itu, seandainya saya sudah menyadari
bahwa banyak orang lain juga menghadapi masalah yang sama seperti yang saya alami,
konstruksi dan dekonstruksi identitas-diri saya sepanjang masa SMA mungkin akan jauh
berbeda. Sekarang saya tahu bahwa stigma negatif terhadap kebangkrutan pada dekade-
dekade lalu itu sebenarnya sangatlah kecil. Struktur ekonomi kita sedang berubah pada
level makro dengan kemunduran dan restrukturisasi ekonomi. Demikian juga pada level
makro keluarga-keluarga tetaplah berfungsi seperti biasanya; oleh karena itu keadaan
menganggur yang dialami oleh banyak keluarga saat krisis ekonomi tidak sepenuhnya
menjadi kesalahan anggota keluarga tersebut.