0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
29 tayangan2 halaman
Devina memutuskan untuk masuk Fakultas Psikologi UI setelah mengalami ketertarikan yang mendalam terhadap pemahaman tingkah laku dan pemikiran manusia sejak kecil. Ketertarikan ini tumbuh seiring pengalamannya membaca novel dan menulis cerita fiksi. Ia juga pernah mengalami gangguan mental ringan yang membuatnya ingin membantu orang lain dengan masalah serupa. Devina akhirnya menyimpulkan bahwa ia memiliki pot
Devina memutuskan untuk masuk Fakultas Psikologi UI setelah mengalami ketertarikan yang mendalam terhadap pemahaman tingkah laku dan pemikiran manusia sejak kecil. Ketertarikan ini tumbuh seiring pengalamannya membaca novel dan menulis cerita fiksi. Ia juga pernah mengalami gangguan mental ringan yang membuatnya ingin membantu orang lain dengan masalah serupa. Devina akhirnya menyimpulkan bahwa ia memiliki pot
Devina memutuskan untuk masuk Fakultas Psikologi UI setelah mengalami ketertarikan yang mendalam terhadap pemahaman tingkah laku dan pemikiran manusia sejak kecil. Ketertarikan ini tumbuh seiring pengalamannya membaca novel dan menulis cerita fiksi. Ia juga pernah mengalami gangguan mental ringan yang membuatnya ingin membantu orang lain dengan masalah serupa. Devina akhirnya menyimpulkan bahwa ia memiliki pot
Saya memutuskan untuk bersungguh-sungguh memasuki Fakultas Psikologi UI usai
melalui ujian nasional. Meski keinginan saya untuk memasuki Fakultas Psikologi baru tergambarkan secara jelas di penghujung masa sekolah menengah atas, tetapi setelah saya lihat lagi ke belakang, keinginan itu sebenarnya sudah mulai dipupuk sejak lama. Sejak saya kecil, saya senang membaca novel. Dari kesenangan saya itu mulai muncul ketertarikan saya terhadap kepribadian maupun tingkah laku manusia yang amat beragam. Ketika saya mulai berusaha untuk menulis cerita-cerita fiksi, hal pertama yang saya inginkan adalah unutk mengerti jalan pikiran dan motivasi karakter-karakter saya. Saat duduk di bangku sekolah menengah, ketertarikan tersebut mulai berkembang menjadi suatu kehausan akan pemahaman yang lebih dalam. Perkembangan ini dipengaruhi oleh pengalaman saya yang sempat dirudung ketika sekolah menengah pertama, dan meski saya merasa sakit hati dan sedih di masa itu, sebagian dari diri saya yang seakan-akan terpisah dari bagian emosional tersebut mulai merasa penasaran. Mengapa seseorang melakukan apa yang mereka lakukan? Bagaimana pergaulan mereka mempengaruhi cara berpikir mereka? Pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan hal yang asing bagi saya, namun saat itu saya belum menghubungkan mereka dengan keinginan untuk mempelajari psikologi. Seiring berjalannya kehidupan saya sebagai siswi sekolah menengah atas, saya mulai memikirkan kembali tujuan hidup saya. Ketika itu, saya mengikuti program peminatan IPA, tetapi saya tidak menyukai apa yang saya pelajari. Pelajaran-pelajaran IPA hanya membuat saya stres dan bertanya-tanya untuk apa saya mempelajari semua itu (dengan pengecualian biologi yang sangat saya sukai). Bahkan sejak kelas dua SMA, saya mulai melirik pelajaran-pelajaran IPS dan merasa iri terhadap mereka yang berada di program itu karena saya memiliki minat yang jauh lebih besar terhadap mata pelajaran IPS dibanding IPA. Karena hobi saya membaca, menulis, dan menonton karya-karya fiksi, bagi saya untuk mengerti motivasi dan jalan pikiran orang lain sudah menjadi obsesi tersendiri. Hal tersebut turut mendapat dukungan dari kesadaran akan kontradiksi saya sendiri. Ketika saya melakukan interaksi secara langsung dengan orang lain, saya sering merasa frustrasi dan secara impulsif memaksakan cara pikir saya terhadap mereka. Namun, ketika saya sudah memiliki waktu untuk mencerna proses interaksi tersebut, saya merasa mulai bisa memahami jalan pikiran orang yang tadi berinteraksi dengan saya. Ketika kelas tiga SMA, tepatnya di semester dua, saya mulai merasakan stres berkepanjangan dan intens yang membuat saya sering menangis di tengah-tengah kegiatan belajar-mengajar maupun di rumah ketika saya berusaha untuk belajar. Saya tidak akan melakukan diagnosis sendiri terhadap apa yang saya rasakan; yang saya tahu, hal tersebut benar- benar mengganggu dan membuat saya sangat sulit berkonsentrasi, terhadap hal-hal yang membuat saya senang sekalipun. Untungnya, saya memiliki seorang bibi yang merupakan seorang psikolog. Saya berbicara beberapa kali dengan beliau dan setelah itu, masalah saya dengan relatif cepat dapat teratasi. Bahkan sebelum pengalaman itu, pergaulan saya di dunia maya sudah membuat saya memiliki sedikit pengetahuan terhadap kesehatan mental yang kesadarannya masih sangat rendah di Indonesia. Setelah mengalami sendiri turbulensi mental yang masih terbilang ringan, saya mulai mengerti betapa mengganggunya hal tersebut, apalagi jika sudah masuk ke ranah yang lebih serius; sementara di Indonesia sendiri masih sangat sulit bagi mereka yang mengalami masalah-masalah mental untuk meminta bantuan tanpa dicap “gila”, bahkan oleh orang-orang terdekat mereka. Saya ingin sekali dapat mengubah hal ini agar remaja-remaja yang mengalami masalah serupa dengan saya—bahkan yang lebih berat—dapat mendapat perawatan yang pantas mereka dapatkan di masa depan. Saya akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa saya memiliki potensi serta kemauan untuk bisa memahami tingkah laku serta pemikiran manusia. Akhirnya, saya memutuskan untuk masuk ke Fakultas Psikologi UI.