Anda di halaman 1dari 3

Contoh Studi Kasus dalam Bimbingan dan Konseling

Bahan ini cocok untuk Sekolah Menengah.


Nama : Slameto
Saya Dosen di UKSW salatiga
Tanggal: 8 Mei 2002
Judul Artikel: Memahami dan Menolong Siswa Yang Kurang PD
Topik: Studi Kasus Untuk Bimbingan Konseling.
Artikel:

DESKRIPSI KASUS

Lia (bukan nama sebenarnya) adalah siswa kelas I SMU Favorit Salatiga yang barusan naik kelas II. Ia
berasal dari keluarga petani yang terbilang cukup secara sosial ekonomi di desa pedalaman + 17 km di
luar kota Salatiga, sebagai anak pertama semula orang tuanya berkeberatan setamat SLTP anaknya
melanjutkan ke SMU di Salatiga; orang tua sebetulnya berharap agar anaknya tidak perlu susah-sudah
melanjutkan sekolah ke kota, tapi atas bujukan wali kelas anaknya saat pengambilan STTB dengan berat
merelakan anaknya melanjutkan sekolah. Pertimbangan wali kelasnya karena Lia terbilang cerdas
diantara teman-teman yang lain sehingga wajar jika bisa diterima di SMU favorit. Sejak diterima di SMU
favorit di satu fihak Lia bangga sebagai anak desa toh bisa diterima, tetapi di lain fihak mulai minder
dengan teman-temannya yang sebagian besar dari keluarga kaya dengan pola pergaulan yang begitu
beda dengan latar belakang Lia. Ia menganggap teman-teman dari keluarga kaya tersebut sebagai orang
yang egois, kurang bersahabat, pilih-pilih teman yang sama-sama dari keluarga kaya saja, dan sombong.
Makin lama perasaan ditolak, terisolik, dan kesepian makin mencekam dan mulai timbul sikap dan
anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinya tidak krasan, tetapi mau keluar malu dengan orang tua
dan temannya sekampung; terus bertahan, susah tak ada/punya teman yang peduli. Dasar saya anak
desa, anak miskin (dibanding teman-temannya di kota) hujatnya pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar
menjadi anak minder, pemalu dan serta ragu dan takut bergaul sebagaimana mestinya. Makin lama
nilainya makin jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan makin berat, sampai-sampai ragu apakah bisa
naik kelas atau tidak.

MEMAHAMI LIA DALAM PERSPEKTIF RASIONAL EMOTIF

Menurut pandangan rasional emotif, manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat rasional
ataupun tidak rasional, manusia terlahir dengan kecenderungan yang luar biasa kuatnya berkeinginan
dan mendesak agar supaya segala sesuatu terjadi demi yang terbaik bagi kehidupannya dan sama sekali
menyalahkan diri sendiri, orang lain, dan dunia apabila tidak segera memperoleh apa yang
diinginkannya. Akibatnya berpikir kekanak-kanakan (sebagai hal yang manunusiawi) seluruh
kehidupannya, akhirnya hanya kesulitan yang luar biasa besar mampu mencapai dan memelihara
tingkah laku yang realistis dan dewasa; selain itu manusia juga mempunyai kecenderungan untuk
melebih-lebihkan pentingnya penerimaan orang lain yang justru menyebabkan emosinya tidak
sewajarnya seringkali menyalahkan dirinya sendiri dengan cara-cara pembawaannya itu dan cara-cara
merusak diri yang diperolehnya. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan dengan satu sama lainnya :
pikiran dapat menjadi perasaan dan sebaliknya; Apa yang dipikirkan dan atau apa yang dirasakan atas
sesuatu kejadian diwujudkan dalam tindakan/perilaku rasional atau irasional. Bagaimana
tindakan/perilaku itu sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain dan dorongan-doronan yang kuat untuk
mempertahankan diri dan memuaskan diri sekalipun irasional.

Ciri-ciri irasional seseorang tak dapat dibuktikan kebenarannya, memainkan peranan Tuhan apa saja
yang dimui harus terjadi, mengontrol dunia, dan jika tidak dapat melakukannya dianggap goblok dan tak
berguna; menumbuhkan perasaan tidak nyaman (seperti kecemasan) yang sebenarnya tak perlu, tak
terlalu jelek/memalukan namun dibiarkan terus berlangsung, dan menghalangi seseorang kembai ke
kejadian awal dan mengubahnya. Bahkan akhirnya menimbulkan perasaan tak berdaya pada diri yang
bersangkutan. Bentuk-bentuk pikiran/perasaan irasional tersebut misalnya : semua orang dilingkungan
saya harus menyenangi saya, kalau ada yang tidak senang terhadap saya itu berarti malapetaka bagi
saya. Itu berarti salah saya, karena saya tak berharga, tak seperti orang/teman-teman lainnya. Saya
pantas menderita karena semuanya itu.

Sehubungan dengan kasus, Lia sebetulnya terlahir dengan potensi unggul, ia menjadi bermasalah karena
perilakunya dikendalikan oleh pikiran/perasaan irasional; ia telah menempatkan harga diri pada
konsep/kepercayaan yang salah yaitu jika kaya, semua teman memperhatikan / mendukung, peduli, dan
lain-lain dan itu semua tidak ada/didapatkan sejak di SMU, sampai pada akhirnya menyalahkan dirinya
sendiri dengan hujatan dan penderitaaan serta mengisolir dirinya sendiri. Ia telah berhasil membangun
konsep dirinya secara tidak realistis berdasarkan anggapan yang salah terhadap (dan dari) teman-teman
lingkungannya. Ia menjadi minder, pemalu, penakut dan akhirnya ragu-ragu keberhasilan/prestasinya
kelak yang sebetulnya tidak perlu terjadi.

TUJUAN DAN TEKNIK KONSELING

Jika pemikiran Lia yang tidak logis / realistis (tentang konsep dirinya dan pandangannya terhadap teman-
temannya) itu diperangi maka dia akan mengubahnya. Dengan demikian tujuan konseling adalah
memerangi pemikiran irasional Lia yang melatar-belakangi ketakutan / kecematannya yaitu konsep
dirinya yang salah beserta sikapnya terhadap teman lain. Dalam konseling konselor lebih bernuansa
otoritatif : memanggil Lia, mengajak berdiskusi dan konfrontasi langsung untuk mendorongnya beranjak
dari pola pikir irasional ke rasional / logis dan realistis melalui persuasif, sugestif, pemberian nasehat
secara tepat, terapi dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk PR serta bibliografi terapi.

Konseling kognitif : untuk menunjukkan bahwa Lia harus membongkar pola pikir irasional tentang
konsep harga diri yang salah, sikap terhadap sesama teman yang salah jika ingin lebih bahagia dan
sukses. Konselor lebih bergaya mengajar : memberi nasehat, konfrontasi langsung dengan peta pikir
rasional-irasoonal, sugesti dan asertive training dengan simulasi diri menerapkan konsep diri yang benar
dan sikap/ketergantungan pada orang lain yang benar/rasional dilanjutkan sebagai PR melatih,
mengobservasi dan evaluasi diri. Contoh : mulai dari seseorang berharga bukan dari kekayaan atau
jumlah dan status teman yang mendukung, tetapi pada kasih Allah dan perwujudanNya. Allah mengasihi
saya, karena saya berharga dihadiratNya. Terhadap diri saya sendiri suatu saat saya senang, puas dan
bangga, tetapi kadang-kadang acuh-tak acuh, bahkan adakalanya saya benci, memaki-maki diri saya
sendiri, sehingga wajar dan realistis jika sejumlah 40 orang teman satu kelas misalnya ada + 40% yang
baik, 50% netral, hanya 10% saja yang membeci saya. Adalah tidak mungkin menuntut semua / setiap
orang setiap saat baik pada saya, dan seterusnya. Ide-ide ini diajarkan, dan dilatihkan dengan
pendekatan ilmiah.
Konseling emotif-evolatif untuk mengubah sistem nilai Lia dengan menggunakan teknik penyadaran
antara yang benar dan salah seperti pemberian contoh, bermain peran, dan pelepasan beban agar Lia
melepaskan pikiran dan perasaannya yang tidak rasional dan menggantinya dengan yang rasional
sebagai kelanjutan teknik kognitif di atas. Konseling behavioritas digunakan untuk mengubah perilaku
yang negatif dengan merobah akar-akar keyakinan Lia yang irasional/tak logis kontrak reinforcemen,
sosial modeling dan relaksasi/meditasi

Anda mungkin juga menyukai