Anda di halaman 1dari 18

PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

TUGAS ANALISIS DIRI

OLEH : HANIFA MUJIARNI RAHMI

NPM : 1806142311

Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
2019
BAB I

Pendahuluan

Tugas analisis diri adalah salah satu tugas dalam mata kuliah Psikologi Perkembangan
pada semester 2 yang di mana tugas ini sebagai tugas akhir. Tujuan diberikannya tugas analisis
diri ini adalah agar kita sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi yang telah belajar Psikologi
Perkembangan tentang bagaimana tahap perkembangan seorang individu sejak masa pembuahan
hingga masa dewasa. Menurut saya pribadi, tugas ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
perkembangan secara lebih spesifik dari orang-orang yang memang mengetahui secara lebih
jelas bagaimana proses perkembangan saya.

Materi yang ada dalam mata kuliah Psikologi Perkembangan mulai dari materi
perkembangan early childhood, middle childhood, adolescence, young adult, middle adult, dan
lain-lain hingga deal with death and bereavement. Perkembangan yang dibahas dalam materi-
materi tersebut berfokus pada perkembangan psikososial, kognitif dan fisik. Perkembangan yang
terjadi dalam kehidupan manusia sangat kompleks jika dilihat secara lebih mendalam. Misalnya
saja pada tahap early childhood, anak memiliki perkembangan yang cukup banyak baik dari segi
kognitif, fisik dan psikososialnya. Perkembangan yang dibahas dalam tugas analisis diri ini tidak
hanya melihat dari satu aspek perkembangan saja, sehingga hal ini semakin memudahkan kita
untuk mempelajari bagaimana konsep diri kita sendiri.

Jika dilihat dari segi kehidupan, analisis diri sangat penting sebagai kompas untuk
mencari dan menemukan jati diri kita, sehingga hidup yang kita jalani akan semakin bermakna
dan selalu bersyukur atas apa yang Tuhan anugerahkan untuk kehidupan kita. Bagaimana
menganalisis perkembangan diri untuk mengetahui potensi yang ada dalam diri kita, mengetahui
apa saja hal-hal yang kurang yang ada dalam diri, dan kelebihan-kelebihan yang nantinya
berguna untuk menentukan apa yang dapat kita lakukan sesuai dengan kapasitas yang ada dalam
diri kita.

Potensi yang ada dalam diri kita harus benar-benar kita ketahui secara lebih mendalam
sehingga kita dapat mengetahui apa yang benar-benar sesuai dengan kepribadian kita. Setelah
mengetahui potensi diri, maka kita akan menjadi lebih maksimal dalam mengembangkan potensi
tersebut, kita akan melakukannya selalu dengan senang hati sehingga hasilnya pun akan sesuai
dengan usaha kita.

Hal-hal yang dilakukan saat usia anak-anak dapat mempengaruhi bagaimana seseorang
ketika ia dewasa. usia anak-anak memang dapat dikatakan sebagai golden age untuk membentuk
kepribadian seseorang. Jika orangtua dan lingkungan dapat mengontrol dan mengawasi anak-
anak mereka dengan baik, maka saat dewasa ia akan menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih
mengerti bagaimana menjalani kehidupan yang semestinya dan bagaimana bersikap kepada
lingkungan sosialnya.

Usia anak-anak juga benar-benar dapat saya rasakan manfaatnya. Bagaimana orangtua
menerapkan pola asuh yang sangat baik, selalu menanamkan nilai-nilai positif baik dari segi
social maupun agama. Saat saya menginjak usia remaja saat ini, hal-hal yang dahulu saya
pelajari benar-benar bermanfaat dalam hidup saya, seperti bagaimana semestinya kita bertindak
dan bersikap. Jika telah mengetahui bagaimana seyogyanya dalam menjalani hidup, maka kita
akan lebih banyak merasakan syukur dan menahan diri untuk mengeluh dan selalu
membandingkan hidup sendiri dengan hidup orang lain.
BAB II

Riwayat Perkembangan dan Analisis

1. Tahap perkembangan natal, infancy dan toddler

Saya merupakan anak kedua yang lahir pada sore hari tanggal 4 Maret tahun 2000
melalui persalinan normal dengan berat badan pertama 3,5 kg di rumah bersalin. Sejak awal
kehamilan, orangtua saya tidak ingin melakukan USG, hal ini dikarenakan orangtua saya percaya
bahwa saya adalah seorang anak laki-laki, namun saat lahir ternyata saya adalah seorang anak
perempuan. Hal tersebut tidak mengurangi rasa syukur orangtua saya kepada Tuhan Yang Maha
Esa karena telah lahir seorang anak perempuan dengan keadaan sehat tanpa kekurangan satu
apapun.

Pemberian asi dilakukan sejak satu jam setelah kelahiran, namun karena asi ibu saya
kurang lancer, maka saya diberikan susu formula dan dititipkan untuk pemberian asi oleh bibi
saya. Namun hal tersebut berlangsung hanya satu hari saja, hal ini dikarenakan emosi ibu saya
yang belum stabil dan masih dalam keadaan lemah setelah melahirkan. Setelah satu hari
memberikan susu formula, ibu saya kembali memberikan asi hingga berusia tepat dua tahun.
Satu minggu kemudian, ari-ari putus dan kering kemudian oleh keluarga besar saya memberikan
saya nama “Hanifa Mujiarni Rahmi” yang memiliki arti dalam agama Islam adalah “lurus dan
tulus dalam bersilaturahmi.”

Setelah dua tahun pemberian asi eksklusif, maka ibu saya mulai memberikan susu
formula secara rutin sebagai pengganti asi. Hal yang paling saya tidak sukai adalah diberikan dot
kosong, hal tersebut akan membuat saya menangis, hal ini sering dilakukan oleh Ayah saya
untuk membiasakan tanpa minum susu formula. Saya tidak memiliki kebiasaan untuk menghisap
ibu jari, karena menurut ibu saya, saya tidak suka melakukan hal tersebut. Makanan yang
diberikan pun sangat dijaga, tidak diizinkan untuk diberikan makanan sembarangan. Dalam hal
kesehatan selama “first three years” dapat dikatakan sangat baik, penyakit yang saya alami hanya
penyakit yang umumnya terjadi pada batita, yakni demam, flu dan batuk saja.

Pemeriksaan APGAR tetap rutin dilakukan setiap bulannya guna mengetahui bagaimana
kesehatan saya ketika bayi. Warna kulit saya cenderung sedikit berwarna pink dan putih. Denyut
jantung normal, tidak ada kelainan dalam detak jantung, pernafasan ataupun kesehatan yang lain.
Melakukan reflex seperti bayi normal pada umumnya seperti menyeringai jika mendengar
sesuatu yang sangat keras, terbatuk, bersin bahkan menangis keras jika merasakan hal yang
berbeda.

Perkembangan motoric sudah dimulai saat berusia 3 bulan dengan belajar untuk
mengangkat kaki secara perlahan. Pada saat usia 3 bulan juga sudah dibiasakan untuk mendengar
lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Usia 4 bulan, perkembangan motoric yang terlihat adalah
sudah mulai membalikkan badan ke kiri dank e kanan. Pada usia 5 bulan, sudah bisa
membalikkan badan dan tengkurap sendiri. Keinginan untuk mengambil sesuatu yang sangat
tinggi, jika tidak bisa menjangkaunya, maka saya akan menangis dengan kencang. Saat usia 5
bulan, saya juga sudah bisa membedakan keluarga terdekat untuk digendong, jika dirasa orang
tersebut adalah orang asing, maka saya tidak ingin digendong dan akan menangis.

Memasuki usia 6 bulan, saya mulai belajar untuk duduk “sitting without support,” namun
tetap dalam pengawasan dan untuk menghindari jatuh secara tidak sadar, maka diletakkan bantal
untuk menopang di sebelah kiri dan kanan saya. Usia 7 bulan, sudah mampu untuk duduk
seimbang secara mandiri. Sudah banyak melakukan gerakan-gerakan, seperti merayap untuk
mendapatkan sesuatu, bukannya dengan merangkak. Saat berusia 7 bulan, kata pertama yang
terucap adalah “papapaaa” dan meniru suara mobil “berrrrrr.” Saat usia 8 bulan, mulai mencoba
untuk merangkak. Memasuki usia 9 bulan, semakin banyak kata-kata yang saya ucapkan, seperti
menyebut “cecak” dan menyebut ngaji dengan “jiiii” walaupun tidak jelas kata yang diucap.

Melihat perkemabangan motoric dan kognitif yang dirasa seimbang, orangtua saya
merasa senang. Saya terbiasa untuk dibacakan sholawat sebelum tidur, dan kadang pula
dibacakan cerita tentang hewan-hewan yang ada di hutan, hingga akhirnya saya tertidur pulas.
Untuk mendukung perkembangan motoric saya, menurut kepercayaan di tempat saya tinggal,
agar dapat berjalan dengan lancer, maka dilakukan beberapa ritual sederhana, seperti
membacakan ayat-ayat Al-Qur’an, menaruh daun khusus di jalan pada hari Jum’at agar diinjak
oleh orang-orang yang berjalan menuju masjid. Mitosnya adalah, dengan melakukan seperti itu,
seorang anak diharapkn menjadi anak yang “pemberani dan mandiri.”
Saat memasuki usia 11 bulan, saya sudah dapat berjalan dengan lancar dan orangtua
memberikan reward berupa sepatu yang saat itu sedang trend, yakni sepatu yang bersuara dan
menyala. Melihat sepatu yang dibelikan, saya semakin semangat untuk latihan berjalan hingga
dapat berjalan sendiri dengan lancar. Hal yang sangat membuat saya senang dan bahkan tidak
ingin berhenti untuk selalu berjalan yang di mana secara tidak langsung semakin merangsang
cepatnya proses motoric saya untuk belajar berjalan.

Saat usia satu tahun, saya mulai belajar menggunakan kata yang dapat saya pahami
maknanya, seperti kata “mbuuuuk” hal tersebut saya maknai sebagai kata untuk memanggil ibu.
Mulai dari kata-kata sederhana dan semakin bertambahnya usia, saya semakin belajar banyak
kosa kata yang memiliki makna. Kosa kata yang saya gunakan yakni kata-kata sederhana dan
menggunakan bahasa yang saya sukai, seperti “mbuk, mimic cucu, maem,dll.” Saat
menggunakan kata-kata yang saya pahami, orang-orang di sekitar saya terkadang tidak
memahami kata-kata tersebut sehingga menyebabkan saya menangis. Namun, seiring
berjalannya waktu, orang-orang yang terbiasa dengan saya setiap harinya sudah mengerti dan
memahami kata-kata yang saya ucapkan.

Orangtua tetap berusaha untuk merangsang perkembangan bahasa melalu berbagai


macam cara, seperti mengajak berbicara, menyanyikan lagu-lagu, menyebut benda-benda secara
perlahan, mengambil benda harus dengan menyebut nama benda terlebih dahulu lalu diberikan.
Menunjuk benda-benda harus sesuai dengan namanya. Berbicara dengan orang-orang di sekitar
harus menggunakan bahasa Indonesia, tidak lagi hanya menggunakana gesture atau bahasa
tubuh. Hal ini semakin mempercepat proses penerimaan bahasa dan perkembangan bahasa yang
saya alami, sehingga saya tidak melalui kesulitan yang cukup berat perihal belajar mengenai
bahasa. Perkembangan bahasa yang saya gunakan secara umum dibiasakan untuk menggunakan
bahasa Indonesia, namun ada beberapa kata yang saya gunakan dalam bahasa Sasak, sehingga
menjelang akhir toddler, bahasa yang saya gunakan merupakan campuran antara bahasa
Indonesia dan bahasa Sasak.

Kosa kata yang muncul pada usia toddler atau lima tahun adalah bahasa sehari-hari yang
saya dengar dan dapat membantu saya untuk mudah mendapatkan suatu hal yang saya inginkan
jika saya menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Pengaruh penggunaan bahasa Sasak yang
saya gunakan adalah karena pengaruh lingkungan bermain saya di rumah yang secara umum
teman-teman saya yang lain menggunakan bahasa Sasak, sehingga saya diharuskan untuk
menggunakan bahasa Sasak saat bermain, walaupun di rumah saya tidak diperkenankan untuk
menggunakan bahasa Sasak dikarenakan bahasanya yang sedikit terdengar kasar menurut
orangtua saya.

Pada saat waktu sekolah di Taman Kanak-Kanak, saya terbiasa juga untuk menggunakan
bahasa Indonesia untuk berinteraksi dengan guru ataupun sesama teman bermain. Namun, di luar
waktu sekolah, saya menggunakan bahasa Sasak, hal ini saya lakukan di luar pengawasan
orangtua saya. Mengingat saat kecil dulu, saya termasuk tipe anak yang aktif, senang bermain
dengan siapapun dan bahkan saya memiliki teman bermain yang didominasi oleh laki-laki. Hal
tersebut semakin membuat saya untuk terus menggunakan bahasa Sasak dalam berinteraksi
dengan teman bermain, hingga pada akhirnya, menjelang memasuki usia middle childhood, saya
menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa Sasak.

Pada usia di bawah tiga tahun hingga usia lima tahun, saya mengalami kondisi di mana
emosi saya benar-benar tidak stabil. Jika kemauan tidak diikuti maka tempramen saya menjadi
tidak menentu, seperti marah, menangis, teriak, bahkan melempar apapun yang ada di dekat
saya. Hal ini dikenal sebagai tantrum. Jika sedang mengalami tantrum, hal yang paling sering
saya lakukan adalah menangis dengan sangat kencang. Menangis lebih menunjukkan rasa marah
yang lebih tinggi daripada hanya teriak-teriak saja (Green, Whitney, & Potegal, 2011). Contoh
tantrum yang sering saya lakukan adalah ketika tidak dibelikan sesuatu yang benar-benar saya
inginkan, maka saya akan berteriak dan menangis sekencang-kencangnya di toko tempat saya
belanja. Tantrum saya ketika kecil termasuk sangat sering terjadi. Namun, menurut sumber yang
ada, tantrum sebenarnya terjadi ketika kita ingin mendapatkan perhatian lebih dari orangtua atau
orang-orant terdekat, cara melampiaskannya melalui hal-hal yang tidak wajar.

Perkembangan kognitif saya hingga tahun pertama kelahiran secara keseluruhan berjalan
sangat baik seperti anak-anak normal pada umumnya. Tidak ada hal-hal yang dirasa terlalu
menghambat perkembangan kognitif saya. Orangtua saya selalu merangsang proses
perkembangan kognitif saya, dengan belajar bersama setiap hari, selalu dibelikan mainan yang
edukatif, dibiasakan unuk selalu menyukai buku, bahkan sejak saya duduk di bangku Taman
Kanak-Kanak. Hal tersebut membuat saya mudah untuk dapat membaca, bahkan ketika berusia 6
tahun, saya sudah lancar dalam membaca kata-kata yang sudah dirangkai menjadi kalimat. Usia
yang dirasa lebih cepat untuk dapat membaca daripada usia teman-teman sebaya saya.

Cepat menangkap informasi yang didapatkan, seperti misalnya jika sudah menonton film
kartun animasi tentang keluarga, maka saya akan menerapkannya menggunakan boneka-boneka
yang saya miliki untuk membuat drama. Terkadang saya membuat drama bersama dengan
teman-teman saya, mencoba untuk bermain peran sebagai seorang ibu, guru, dokter, dll. Saya
senang untuk bermain peran bahkan hingga lupa waktu.

Bermain dengan boneka-boneka merupakan hal yang disenangi oleh anak-anak batita
hingga balita, tak terkecuali saya. Saya memiliki banyak koleksi boneka, belasan boneka
terpajang di lemari saya. Setiap harinya saya selalu bermain dengan boneka-boneka tersebut.
Saat berusia sekitar 5-6 bulan, jika saya sedang bermain boneka maka saya tidak boleh diganggu.
Namun kakak perempuan saya kadang jengkel terhadap saya, sehingga dia terkadang
menyembunyikan boneka-boneka milik saya, dan saya akhirnya menganggap boneka saya hilang
dan menangis kemudian melapor kepada ibu saya. Kemampuan untuk mengetahui objek berada
di dekat saya dapat saya buktikan dengan kehadiran secara fisik yang mampu saya sentuh dan
hadir di depan saya, hal ini berdasarkan teori perkembangan oleh Piaget dinamakan object
permanence (Bruce & Vargas, 2019)

Saat bayi, tempramen atau keadaan emosi menurut Thomass dan Chess dibagi menjadi 3,
yakni mudah, sulit dan lambat dikendalikan. Saya termasuk tipe yang dapat dikatakan sulit untuk
dikendalikan, namun hal ini hanya terjadi dalam beberapa situasi tertentu saja, tidak dalam
segala kondisi. Misalkan, saya menginginkan suatu hal dan tidak dibelikan, maka saya akan
menangis dan marah bahkan sampai 3 hari untuk marah dan kesal. Emosi yang cepat marah
kepada orang lain, tidak ingin meminjamkan barang-barang bahkan kepada keluarga terdekat
sekalipun. Namun, ketika saya sedang dalam keadaan tempramen yang baik, maka saya akan
cepat untuk beradaptasi dengan lingkungan baru.

Melihat tempramen saya yang terkadang tidak menentu, oleh orangtua saya mulai
dianggap biasa saja dan tetap memberikan saya pengertian bagaimana saya seharusnya bersikap
kepada lingkungan saya, walaupun mereka paham dengan usia yang begitu dini saat itu saya
belum terlalu mengerti apa yang mereka katakana, namun orangtua saya tetap menanamkan
nilai-nilai positive untuk saya. Pada awalnya mereka tidak menerima hal-hal yang saya lakukan,
karena biasanya tempramen yang sulit dikendalikan terjadi di tempat-tempat umum, namun
semakin hari orangtua saya semakin mengerti bagaimana seharusnya menyakapi tempramen saya
yang sulit dikendalikan tersebut.

Ayah saya sebagai seorang guru SMA memiliki kesibukan yang dapat dikatakan padat,
ibu saya saat saya sedang berusia sekitar 5 tahun, beliau sedang menempuh pendidikan
lanjutannya. Oleh karena itu, saya memiliki pengasuh yang tidak lain adalah bibi saya sendiri.
Setiap pulang sekolah, saya selalu pulang ke rumah bibi saya, saya menghabiskan banyak waktu
di sana, dan saya akan pulang ke rumah saat magrib tiba. Namun, saya tidak sepenuhnya dengan
pengasuh. Saya bersama pengasuh saat orangtua saya benar-benar memiliki kesibukan yang
tidak dapat diganggu. Attachment sendiri diartikan bagaimana perkembangan yang terjadi
terhadap anak-anak jika mereka dirawat oleh pengasuh (Salter, 1989). Attachment atau
keterikatan saya dengan pengasuh saya sangat dekat, contohnya ketika saya ditinggal walaupun
hanya sebentar, maka saya akan menangis, jika ada yang membuat guyonan tentang bibi saya,
maka saya akan marah dan memukul mereka. Saya dibiasakan untuk bermain dengan siapapun
yang ada di lingkungan tempat saya diasuh, sehingga saya merasa psikososial saya menjadi lebih
baik

Untuk perkembangan psikososial saya, tidak ada hambatan yang benar-benar


menghambat, karena orangtua saya tidak memberikan kekangan yang terlalu berlebihan.
Orangtua saya tetap memberikan kebebasan asalkan tetap mengikuti aturan-aturan yang
diberikan. Pulang untuk istirahat, sholat dan makan, dan hal lain yang harus benar-benar
dilakukan tepat waktu, karena jika tidak, saya akan mendapatkan teguran yang benar-benar
membuat saya jera. Hal ini benar-benar saya rasakan sampai usia saya yang sekarang. Dampak
dari pola pengasuhan dan semua kasih saying serta sikap-sikap positif yang selalu ditanamkan
orangtua saya sejak saya kecil benar-benar berguna untuk bekal menjalani kehidupan hingga
sekarang, bahkan sampai saat usia lanjut saya kelak.

2. Middle childhood

Memasuki usia middle childhood atau usia sekitar 6-11 tahun atau biasa dikenal dengan
usia sekolah. Pada usia ini pada umumnya anak-anak sudah memasuki bangku sekolah dasar.
Saya sendiri masuk SD sejak usi 6 tahun lebih 10 bulan. Perkembangan kognitif saya di usia ini
dapat dikatakan berkembang dengan baik, begitu juga perkembangan psikososial saya yang
mengikuti perkembangan kognitif saya yang baik. Saat mulai kelas 1 SD, saya sudah lancar
membaca, berhitung dan menghafal perkalian walaupun masih lupa pada beberapa angka.
Melihat teman-teman saya yang lain yang masih kesulitan dalam hal calistung, membuat saya
dapat lebih unggul dari mereka. Hal ini dibuktikan dengan saya selalu mendapatkan peringkat 1
hingga kelas 4 SD.

Saya dibiasakan untuk selalu belajar dan mengulang pelajaran di sekolah oleh orangtua
saya, mengerjakan PR dengan baik, dan belajar hal-hal baru. Saat SD saya sangat menyukai
pelajaran Matematika, bahkan saat saya kelas 5 SD saya mengikuti Olimpiade Sains bidang
Matematika dan mendapatkan posisi pertama. Namun pada babak selanjutnya, saya tidak dapat
berjuang lagi karena keadaan kesehatan saya yang tidak mendukung. Saya menyukai Matematika
dikarenakan Ayah saya seorang guru Matematika. Oleh karena itu, setiap hari saya belajar dan
mengerjakan soal-soal yang diberikan dengan baik.

Psikososial saya berkembang dengan baik juga. Hal ini dapat dilihat saya memiliki
banyak teman bermain di sekolah maupun di rumah. Saya tidak terlalu membatasi diri untuk
belajar secara penuh, namun harus disesuaikan dengan waktu bermain. Setiap hari saya selalu
bermain hal-hal apa saja yang kami rasa menarik saat itu. Permainan tradisional yang banyak
kami lakukan sseperti bermain tek-tekan, bermain tali, bermain kasti, dll. Saya bermain dengan
siapa saja yang saya rasa nyaman untuk bermain dengan mereka.

Kesehatan saya saat usia sekolah dapat dikatakan tidak menentu. Saya sering terkena flu,
batuk dan demam. Hal ini terjadi karena saya selalu melanggar perintah ibu saya yang tidak
memperbolehkan saya untuk minum minuman yang dingin, namun saya selalu mengelak dan
melanggar. Berkaitan dengan berat badan saya saat itu, saya termasuk tipe anak yang memiliki
berat badan yang kurang. Saya sangat kurus namun tinggi. Hal tersebut dirasa sangat
menghambat tumbuh kembang saya. Oleh karena itu, orangtua saya selalu memberikan saya
asupan nutrusi yang lebih seperti susu dan vitamin. Namun sampai kelas 5 SD saya tetap
memiliki berat badan yang stagnan. Saat memasuki usia 11 tahun atau akhir usia middle
childhood, perkembangan badan saya sangat drastis. Berat badan saya menjadi bertambah dan
terlihat lebih baik dari sebelumnya.
Tempramen saya saat usia sekolah dasar dapat dikatakan lebih stabil daripada usia
sebelumnya. Hal ini terlihat saat saya mulai lebih dapat menerima hal-hal yang memang tidak
dapat saya paksakan untuk dimiliki, seperti barang-barang yang selalu saya inginkan. Saya dapat
lebih mengontrol emosi walaupun tidak seutuhnya berhasil. Perilaku saat usia sekolah dapat
mempengaruhi perilaku kita saat usia dewasa (Pulkkinen, Kokko, & Rantanen, 2012). Hal ini
saya rasakan sendiri walaupun saya belum memasuki usia dewasa secara utuh

3. Adolescence

Masa remaja yang dimulai sejak usia 12 tahun atau sejak dimulainya masa pubertas.
Masa pubertas saya dimulai sejak saya duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah kelas 7 yakni
saat berusia 12 tahun. Ditandai dengan terjadinya menstruasi yang saat itu menyebabkan saya
benar-benar takut dan menjadi stress. Namun orangtua saya selalu meyakini saya bahwa hal
tersebut wajar terjadi di wanita yang normal.

Saya merasakan banyak perubahan yang terjadi dalam diri saya, mulai dari emosi saya
yang menjadi sangat tidak stabil, perubahan bentuk tubuh yang semakin terlihat, adanya jerawat
yang mulai tumbuh dan hal-hal lain yang memang sewajarnya terjadi di usia remaja. Banyak
konflik-konflik batin yang saya alami. Konflik dengan teman, keluarga juga tak dapat saya
hindari, banyak hal-hal yang menurut saya berbeda dari pemikiran saya.

Perkembangan fisik selama usia remaja saya berlangsung benar-benar berkembang


dengan baik. Tinggi badan saya bertambah, berat badan saya semakin stabil. Banyak
permasalahan yang biasa terjadi saat usia remaja saya rasakan. Banyak teman-teman saya yang
memiliki tubuh lebih bagus dari saya, yang tidak memiliki jerawat, rambut yang bagus, dan hal-
hal lain yang selalu saya bandingkan dengan diri saya sendiri.

Tidak pernah bersyukur terhadap apa yang telah Tuhan berikan untuk saya mungkin
dapat disebut demikian saat usia remaja. Namun, hal tersebut tidak terjadi secara berlebihan.
Saya bersyukur masa sekolah menengah pertama saya, saya menempuhnya melalui sekolah yang
berlandaskan agama, yakni Madrasah Tsanawiyah. MTs menurut saya banyak memberikan saya
ilmu yang berguna sesuai dengan syariat Islam, sehingga banyak hal yang dapat saya dapatkan
untuk mengetahui bagaimana seharusnya menyikapi hal-hal yang memang sebaiknya tidak
terlalu dipikirkan karena hal tersebut merupakan takdir Tuhan yang harus kita syukuri dan
nikmati, sehingga kita akan mendapatkan kebahagiaan hidup.

Saat usia remaja ini, saya termasuk tipe yang selalu ingin memperbanyak teman. Hal ini
dibuktikan dengan saya mengikuti berbagai macam kegiatan yang ada di sekolah saya, seperti
OSIS, PMR dan banyak kegiatan sekolah yang lain yang di mana dapat menambah relasi saya
dengan orang lain dan memperluas lingkup pertemanan saya. Saya merasakan mendapatkan
teman-teman yang benar-benar seperti saudara saya sendiri. Ikatan pertemanan saya sudah dalam
tahap menjadi sahabat yang sangat akrab hingga saat ini. Hubungan dengan teman lebih dapat
saya nikmati untuk menecritakan berbagai hal yang saya alami daripada dengan orangtua. Hal ini
terjadi karena saya merasa malu jika harus menceritakan hal-hal yang memang tidak lumrah
menurut saya untuk saya ceritakan.

Memasuki usia yang dapat dikatakan puncak usia remaja, yakni usia 17 tahun, saya
benar-benar merasakan banyak hal yang berubah dari diri saya. Lingkungan pertemanan yang
semakin luas, konflik yang terjadi dengan diri sendiri dan orang lain semakin banyak dan
merasakan adanya penyakit yang sangat berbahaya pula di usia 17 tahun. Stress yang saya alami
saat usia remaja sangat sering terjadi. Namun, saya adalah tipe orang yang bisa dikatakan dapat
mengatasi stress dengan cara yang lebih positif. Dalam ilmu Psikologi, mengatasi stress biasa
dikenal dengan coping stress, yakni bagaimana usaha kita untuk mengurangi tuntutan dan
tekanan yang dihadapi yang dapat berasal dari dalam diri maupun lingkungan sekitar (Compas,
Connor-Smith, Saltzman, Thomsen, & Wadsworth, 2001). Terlalu banyak mengalami stress,
saya sering mengalami sakit dan bahkan berat badan saya turun drastic karena factor stress yang
berlebihan. Stressor saya dapatkan dari banyak hal, mulai masalah asmara, akademik bahkan
keluarga sekalipun.

Saat memasuki usia 18 tahun menuju 19 tahun, saya merasa banyak pula terjadi
perubahan dalam diri saya. Ketika menghadapi masalah, lebih bis untuk mnegontrol emosi dan
menyelesaikan masalah tersebut sendiri dan jika dirasa benar-benar terlalu berat maka saya akan
meminta pendapat dari orangtua, saudara dan sahabat-sahabat saya. Perubahan fisik juga sangat
terlihat, badan saya menjadi terlihat lebih sehat karena lebih mampu untuk mengatasi stress
secara lebih positif. lebih memperhatikan penampilan dari sebelumnya yang sangat tidak peduli
dengan penilaian orang lain terhadap saya. Saat ini saya dapat lebih menikmati dan mensyukuri
hidup dengan cara yang saya sendiri.

BAB III

Kesimpulan

Proses perkembangan yang saya lalui sejak pre-natal hingga usia remaja saat ini banyak
kesamaan dengan teori-teori yang telah saya pelajari dalam Psikologi Perkembangan pada
semester 2 ini. Mungkin terdapat beberapa hal yang tidak sesuai dengan teori perkembangan,
namun hal tersebut tidak banyak terjadi. Yang sesuai dengan teori perkembangan seperti
misalnya masalah-masalah yang banyak muncul saat usia infancy dan toddlerhood. Cara
orangtua saya untuk mengatasi masalah yang muncul dari saya juga sesuai dengan yang telah
dipaparkan oleh para tokoh-tokoh perkembangan manusia, seperti Piaget, dll.

Untuk mencapai perkembangan saya yang sekarang, banyak hal yang telah saya alami
dalam diri saya. Mulai dari hal-hal yang menyebabkan saya selalu sedih hingga hal-hal yang
membuat hidup saya semakin berarti untuk saya nikmati. Keluarga terutama kedua orangtua
benar-benar sangat berpengaruh dalam tahap perkembangan saya. Mereka selalu berusaha sabar
untuk merawat, membimbing dan mendidik saya hingga saya bisa seperti sekarang. Tidak pernah
mengeluh atas banyak kesalahan yang saya lakukan, tidak pernah berhenti untuk selalu
membimbing dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang baik. Selalu bangga dengan apa yang
saya lakukan tanpa memaksa saya untuk memberikan hal yang sempurna dalam hidup ini. Kakak
perempuan saya yang selalu bangga akan apa adanya dari satu-satunya adik yang dimiliki. Selalu
menjaga dan membimbing saya ketika saya banyak melakukan kesalahan dan selalu mengatakan
tidak ingin melihat adiknya merasakan sakit hati hanya karena seorang laki-laki yang tidak baik
yang datang dalam hidup saya.

Setelah melakukan analisis diri dalam tugas Psikologi Perkembangan ini, maka saya
mendapatkan banyak hal yang dapat saya terapkan dalam kehidupan saya kelak. Jika saya telah
memiliki keluarga sendiri kelak, saya akan mengikuti bagaimana kesabaran orangtua saya dalam
merawat dan mendidik saya hingga saya bisa seperti saat ini. Telah mendapat banyak
kebahagiaan hidup karena orangtua saya selalu mengajarkan bagaimana seharusnya bersyukur
atas nikmat Tuhan yang telah diberikan untuk kita. Orangtua saya selalu memegang prinsip
“berusalah sekuat tenaga, tapi jangan lupa untuk selalu mendahulukan Allah di atas segalanya.
Biarkan Allah yang mengatur skenario untuk jalan hidup kita sekarang dan selamanya.”
DAFTAR PUSTAKA
 Bruce, S. M., & Vargas, C. (2019). Assessment and Instruction of Object
Permanence in Children with Blindness and Multiple Disabilities. Journal of
Visual Impairment & Blindness, 106(11), 717–727.
https://doi.org/10.1177/0145482x1210601102
 Compas, B. E., Connor-Smith, J. K., Saltzman, H., Thomsen, A. H., &
Wadsworth, M. E. (2001). Coping with stress during childhood and
adolescence: Problems, progress, and potential in theory and research.
Psychological Bulletin, 127(1), 87–127. https://doi.org/10.1037/0033-
2909.127.1.87
 Green, J. A., Whitney, P. G., & Potegal, M. (2011). Screaming, yelling,
whining, and crying: Categorical and intensity differences in vocal
expressions of anger and sadness in children’s tantrums. Emotion, 11(5),
1124–1133. https://doi.org/10.1037/a0024173
 Pulkkinen, L., Kokko, K., & Rantanen, J. (2012). Paths from socioemotional
behavior in middle childhood to personality in middle adulthood.
Developmental Psychology, 48(5), 1283–1291.
https://doi.org/10.1037/a0027463
 Salter, M. D. (1989). Attachments Beyond Infancy ABSTRACT :, 44(April),
1–12.

LAMPIRAN GAMBAR
Gambar 1.1 : usia 5 bulan Gambar 1.2 : usia 6 bulan

Gambar 1.3 : usia 1 tahun Gambar 1.4 : usia 2 tahun

Gambar 1.5 : usia 3 tahun Gambar 1.6 : usia 5 tahun

Gambar 1.7 : TK usia 6 tahun Gambar 1.8 : usia 8 tahun


Gambar 1.9 : usia 10 tahun Gambar 1.10 : usia 11 tahun

Gambar 1.11 : usia 14 tahun (MTs) Gambar 1.12 : 18 th (SMA) Gambar 1.13: 19 th(kuliah)

Anda mungkin juga menyukai