Anda di halaman 1dari 41

Makalah Individual

Mata Kuliah Psikologi Pendidikan

PSIKOLOGI PENDIDIKAN ANAK USIA TK

Oleh

Muhammad Ichsan

NIM. 1920100015

PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SAMARINDA

Tahun 2019
BAB I PENDAHULAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan bagi anak usia dini adalah suatu pendidikan yang sengaja dilakukan bagi anak

yang berada di usia 0 – 8 tahun. Pendidikan ini dapat dilakukan dalam jalur pendidikan sekolah

maupun pendidikan luar sekolah, dan bentuk pendidikan pun dapat dilakukan di Taman Kanak-

kanak, Play Group, Tempat Penitipan Anak, atau di TKA/TPA dan RA. Artinya, bentuk

pendidikan seperti apapun yang diikuti anak usia dini pada intinya adalah sama, untuk membantu

meningkatkan derajat dan kualitas anak didiknya, dan membantu proses perkembangan anak

seoptimal mungkin.
Anak usia dini adalah anak yang sedang dalam proses tumbuh kembang. Pada usia ini

segala aspek perkembangan anak mengalami kemajuan yang sangat pesat. Aspek perkembangan

yang ada pada anak usia dini meliputi aspek intelektual, fisikmotorik, sosio-emosional, bahasa,

moral dan keagamaan. Semua aspek perkembangan yang ada pada diri anak ini selayaknya

menjadi perhatian para pendidik agar aspek perkembangan ini dapat berkembang secara optimal.

Tidak berkembangnya aspek perkembangan anak ini akan berakibat di masa yang akan datang,

tidak saja anak mengalami hambatan dalam perkembangan pada masa perkembangan di usia

berikutnya, tetapi anak juga akan mengalami kesulitan dalam menghadapi kehidupan di masa

yang akan datang.


Upaya pengembangan berbagai aspek perkembangan anak perlu diawali dengan

pemahaman tentang Psikologi Perkembangan Anak, karena perkembangan anak berbeda dengan

perkembangan anak remaja atau orang dewasa. Anak memiliki karakteristik tersendiri dan anak

memiliki dunianya sendiri. Untuk mendidik anak usia dini, kita perlu dibekali pemahaman

tentang dunia anak dan bagaimana proses perkembangan anak. Dengan pemahaman ini

diharapkan para pendidik anak usia dini memiliki pemahaman yang lebih baik dalam

menentukan proses pembelajaran ataupun perlakuan pada anak yang dibinanya.


Dengan landasan ini, penulis tertarik menyusun makalah dengan judul “Psikologi

Pendidikan Anak Usia Dini” sebagai tugas mandiri dalam mata kuliah Psikologi Pendidikan.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari pemaparan latar belakang di atas, penulis merumuskan rumusan masalah
sebagai objek kajian sebagai berikut:
1.
C. Tujuan Penulisan Makalah
D. Manfaat Penulisan Makalah

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian I’jazul Qur’an


Tahap-tahap Perkembangan Anak Usia 0-5 tahun
Perkembangan anak merupakan sesuatu yang penting untuk diikuti. Perkembangan anak meliputi
banyak aspek mulai dari perkembangan fisik (berat dan tinggi badan), perkembangan mental,
hingga memiliki kemampuan baru di setiap tahapan usia. Sifat perkembangan anak adalah
bertahap serta berurutan, dan perkembangan sebelumnya menjadi dasar bagi selanjutnya.

Proses perkembangan ini penting bagi anak terutama untuk usia 0-5 tahun, karena apabila ada
keterlambatan atau kelainan pada perkembangan anak akan berdampak buruk bagi masa depan
anak. Maka dari itu perlu mengetahui tahap-tahap perkembangan anak. Cara memantaunya tidak
hanya mengukur tinggi badan atau berat badan, tetapi juga memantau kemampuan motorik,
bahasa, serta emosi anak.

Selengkapnya dapat disimak pada ulasan mengenai tahap-tahap perkembangan anak hingga usia
5 tahun di bawah ini.

Usia 3-4 bulan


Pada usia ini, umumnya anak akan mulai mengamati wajah orang dan mengikuti pergerakan
benda-benda. Anak juga sudah mulai mengenali orang dan benda yang familiar, tersenyum
kepada orang lain, bermain bersama orang lain, meniru gerakan dan ekspresi wajah, menoleh ke
arah sumber bunyi, serta mulai mengeluarkan suara ocehan.

Usia 6-7 bulan


Di usia 6-7 bulan, anak akan sudah mulai dapat merespons emosi orang lain dan senang bermain
bersama pengasuhnya. Saat dipanggil dengan namanya, anak juga sudah dapat memberikan
tanggapan. Selain itu, pada usia ini, umumnya anak mulai menunjukkan rasa penasaran dengan
mengamati lingkungan sekitar, berusaha mengambil barang-barang yang diletakkan agak jauh,
atau memasukkan benda-benda ke mulut. Secara emosi, anak sudah dapat menunjukkan
perasaannya (senang atau tidak) dengan mengeluarkan suara-suara yang khas.
Usia 1 tahun
Pada ulang tahun pertamanya, anak umumnya sudah dapat mengucapkan kata tunggal seperti
mama atau papa. Anak juga senang meniru kata-kata orang lain, merasa malu atau takut dengan
orang asing, menangis apabila ditinggal oleh orangtua dan pengasuh, serta sudah dapat
menunjuk benda-benda. Jika diminta untuk melakukan hal-hal sederhana, seperti mengambil
mainan, anak sudah dapat melakukannya dengan benar. Jika nama sebuah benda disebut, anak
sudah dapat menunjuk atau melihat ke arah benda yang dimaksud.

Usia 2 tahun
Anak berusia 2 tahun senang meniru aktivitas dan tindakan orang lain. Ia juga mulai senang
bermain bersama dengan teman sebayanya. Perbendaharaan kata semakin bertambah dan sudah
mulai dapat merangkai 2-4 kata untuk membentuk sebuah kalimat. Anak pada usia ini juga sudah
dapat menyusun benda sesuai bentuk dan warna, mengetahui nama atau panggilan orang dan
benda di sekitarnya, serta sudah dapat menjalankan perintah sederhana dengan tepat.

Usia 3 tahun
Di usia 3 tahun, anak sudah dapat menunjukkan rasa sayang dan perhatian terhadap orang di
sekitarnya. Anak juga sudah memiliki banyak emosi yang bervariasi, dapat berpakaian sendiri,
dapat menyebutkan nama-nama benda-benda di sekitarnya, dapat diajak bercakap-cakap dan
memahami isi percakapan dengan cukup baik, serta mulai memahami konsep jumlah.

Usia 4 tahun
Menginjak usia 4 tahun, anak sudah dapat bekerjasama dengan teman dan lebih senang bermain
bersama teman dibandingkan dengan bermain sendiri. Anak juga sudah dapat mengucapkan
kalimat panjang, berbicara dengan jelas, memahami konsep sama/berbeda, dapat berhitung,
senang berimajinasi, serta mulai dapat menyanyikan lagu-lagu yang dikenalnya.

Usia 5 tahun
Pada usia ini, anak mulai ingin seperti temannya dan menjadi lebih mandiri. Anak juga mulai
suka menyanyi, menari, dan berakting. Saat berbicara, tutur katanya sudah jelas dengan kalimat
yang panjang dan berstruktur. Anak juga sudah dapat menulis angka dan huruf serta
menggambar bentuk-bentuk geometri.
Itulah tahap-tahap perkembangan anak usia 0-5 tahun. Perlu diingat bahwa perkembangan anak
tidaklah sama, perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Jadi, tahap diatas
merupakan dasar perkembangan anak pada umumnya.

Tahapan Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini


Anak-anak merupakan tahapan dari semua proses manusia yang awal. Setelah dilahirkan dan
menjadi bayi, kita tumbuh dan juga berkembang. Di masa anak-anaklah kita memiliki berbagai
hal yang dianggap cemerlang seperti halnya bisa belajar, berpikir, mengenal dunia baru,
mengenal berbagai hal yang paling membingungkan. (Baca: Ciri-ciri Anak Hiperaktif)

ads

Dalam semua perkembangannya anak-anak memiliki perkembangan kognitif ataupun


perkembangan pikiran. Dalam dunia psikologi ada dua tokoh yang paling dipercaya teorinya.
Berikut ini penjelasan mengenai perkembangan kognitif :

Pengertian Perkembangan Kognitif


Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai empat aspek, yaitu

Kematangan
Kematangan merupakan poin pertama yang dianggap poin yang paling bisa dimasukan kedalam
perkembangan kognitif. Selain bisa merubah kepribadian seseorang, aspek ini membuka adanya
kemungkinan untuk perkembangan sedangkan jika hal ini kurang tentu akan membatasi secara
luas prestasi jika dilihat dari sisi kognitif. Perkembangan berlangsung dengan kecepatan yang
berlainan tergantung pada sifat kontak dengan lingkungan dan kegiatan belajar sendiri. Maka
kematangan menjadi pilihan pertama.

Baca:

Tahap Perkembangan Kepribadian


Tipe Kepribadian Melankolis
Kepribadian Ambivert
Pengalaman
Mungkin anak-anak meruakan hudangnya penasaran, dimana mereka memiliki waktu yang
banyak untuk mengembangkan pengetahuan dan mencari tahu pengalaman yang ada. Interaksi
antara individu dan dunia luar merupakan sumber pengetahuan baru sehingga mencoba mencari
pengalaman dan berempati pada orang lain, tetapi kontak dengan dunia fisik tentu tidak cukup
untuk mengembangkan pengetahuan. Selain itu, kecuali jika intelegensi individu dapat
memanfaatkan pengalaman tersebut.

Baca:

Perkembangan Bahasa Anak Usia Dini


Pengertian Empati Menurut Para Ahli
Interaksi Sosial
Interaksi sosial merupakan hal penting, dimana bagian lingkungan sosialnya sudah termasuk
kedalam peran bahasa serta pendidikan, pengalaman fisik juga bisa memacu ataupun
menghambat perkembangan struktur kognitif anak tersebut. (Baca: Penyebab Kenakalan Anak)

Ekuilibrasi
Ekuilibrasi adalah proses pengaturan diri dan pengoreksi diri. Mengatur interaksi spesifik dari
imasing-masing manusia dengan lingkungan maupun pengalaman fisik, pengalaman sosial dan
perkembangan jasmani yang menyebabkan perkembangan kognitif berjalan secara sinkron dan
juga tersusun dengan baik. (Baca: Terapi Perilaku Kognitif)

Menurut Piaget, anak-anak secara aktif membangun dunia kognitif mereka dengan menggunakan
skema untuk menjelaskan hal-hal yang mereka alami seperti layaknya bercerita atau menjelaskan
apa yang mereka alami. (Baca: Gangguan Mental Pada Anak)

Skema adalah struktur kognitif yang digunakan oleh manusia untuk mengadaptasi diri terhadap
lingkungan dan menata lingkungan ini secara intelektual. Piaget (1952) mengatakan bahwa ada
dua proses yang bertanggung jawab atas seseorang menggunakan dan mengadaptasi skema
mereka:

Asimilasi yaitu proses adanya penambahan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada.
Proses ini sifatnya subjektif, karena seseorang cenderung memodifikasi pengalaman ataupun
informasi yang sudah diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada. (baca juga:
Cara Meningkatkan Kecerdasan Emosional)
Akomodasi yaitu bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema
karena hadirnya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Pada proses ini
bisa terjadi pemunculan skema yang baru dan berubah sama sekali. (baca juga: Pengertian Bakat
Menurut Para Ahli)

Karakteristik Kognitif Anak


Berikut adalah beberapa karakteristik terkait dengan kognitif anak, diantaranya adalah:

1. Karakteristik perkembangan kognitif anak usia 0 – 2 tahun

Dapat melihat cahaya dan mengikuti arah cahaya.


Sudah bisa menghitung maksimal 2-4 buah benda yang ia lihat.
Mengikuti isyarat dan bicara orang dewasa, karena di usia ini pemikiran mereka sama dengan
mengikuti atau mengkopi. (baca juga: Macam-macam Gaya Belajar)
Mengetahui dan dapat menjelaskan objek yang diletakan tak jauh dari sekitar mereka yakni 8-10
inci di depan matanya atau disekitarnya. (baca juga: Cara Menghilangkan Trauma Pada Anak)
Menirukan isyarat-isyarat yang baru yang baru didengar atau dikenal oleh mereka.
Menamai atau menunjukkan pada gambar yang mewakili benda tertentu dan sering dilihatnya
atau terbiasa dilihatnya. (baca juga: Peran Keluarga dalam Pendidikan Anak)
Memahami kata minimal 2 kata depan atau bahasa sederhana yang tidak terlalu rumit.
Memperlihatkan ketertarikan dan ingin tahu pada sekitarnya dengan dengan membongkar
sesuatu.
Mengingat benda yang ada dan bisa mengembalikanya ke tempat semula. (baca juga: Pola Asuh
Anak Usia Dini)
2. Karakteristik perkembangan kognitif anak usia 2 – 4 tahun

Dapat menunjuk dan menyebut gambar sederhana dan juga mudah diingat.
Anak-anak dengan perkembangan kognitif tertarik mendengar seperti dongeng atau cerita (Baca:
Teori Belajar Kognitif)
Dapat mengenal anggota tubuh.
Dapat mengenal dan mengelompokan warna. (baca juga: Cara Mengatasi Anak Pemarah)
Dapat sudah mengerti konsep seperti besar dan kecil, luas dan sempit dan lainnya.
Dapat mengenal fungsi benda dengan benar. Hal ini artinya dapat mengelompokkan benda
berdasarkan bentuk,warna,ukuran dan fungsi secara sederhana. (baca juga: Fakta Kepribadian
Anak Bungsu)
Ikut dalam kegiatan membaca dengan mengisi kata-kata atau kalimat yang kosong.
Dapat menunjukkan dan menyebutkan anggota tubuhnya.
Dapat mencocokkan hingga sebelas warna. (baca juga: Teori Psikologi Perkembangan)
3. Karakteristik perkembangan kognitif anak usia 4 – 6 tahun

Dapat mengetahui fungsi benda dengan benar.


Dapat mengelompokkan benda sesuai dengan bentuk, warna, ukuran dan fungsi secara
sederhana.
Ikut dalam kegiatan membaca dengan mengisi kata-kata atau kalimat yang belum terisi.
Dapat menunjukkan dan menyebutkan anggota tubuhnya. (baca juga: Tahap Perkembangan
Emosi Anak)
Dapat mencocokkan hingga sebelas warna.
Berusaha membaca dengan memperhatikan gambar. (baca juga: Gejala ADHD pada Bayi)
Sudah bisa membaca kata-kata singkat dan juga ringan seperti 4-6 huruf.
Dapat membaca cerita sederhana dengan lantang dan juga bersuara.
Dapat mana hal yang fantasi ataupun realita. (baca juga: Cara Mengenali Potensi Diri)

Tahap-tahap Perkembangan Kognitif


Menurut Piaget ada beberapa tahapan yang akan dilalui dalam Perkembangan Kognitif Anak
Usia Dini, antara lain :

A. Periode Sensorimotor

Periode sensorimotor yang terjadi pada 0 hingga 2 tahun. Dimana usia ini merupakan usia bayi
lahir dengan refleks yang berasal dari lahir atau bawaan. Selain itu skema awalnya dibentuk
melalui diferensiasi refleks sejak lahir. Periode ini merupakan periode pertama dengan 6
subtahapan yang menjelaskan antara penggunaan fisik dan pikiran serta gerak yang berasal dari
refleks. (baca juga: Kecerdasan Spasial)

B. Periode Praoperasional
Periode selanjutnya yakni praoperasional. Pemikiran (Pra)Operasi menurut teori Piaget yaitu
prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek yang ada. Ciri dari tahapan ini adalah
tentu operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Selain itu, di dalam tahapan
ini anak belajar menggunakan dan menjelaskan objek dengan gambaran maupun kata-kata
meskipun masih terbata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat
dari sudut pandang orang lain.

Baca:

Teori Belajar Humanistik


Teori Belajar Behavioristik
Cara Meningkatkan Prestasi Belajar
Teori Belajar dalam Psikologi
C. Periode Operasional Konkrit

Ketiga yakni adanya tahapan operasional konkrit, tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat
tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa
penggunaan logika yang memadai. Dalam perhitungan Piaget tahapan ini berada di usia 6 tahun
lebih dimana mereka memiliki pemikiran tanggung. Anak-anak sudah bisa dikatakan mengerti
namun belum paham 100% apa yang dimaksudkan. (baca juga:

D. Periode Operasional Formal

Terakhir yakni tahap operasional formal dimana dalam tahap ini mulai dialami anak dalam usia
sebelas tahun atau bisa dikatakan saat pubertas, dan terus berlanjut sampai dewasa. Kognitif saat
dewasa sendiri tidak berhenti begitu saja meskipun perkembangannya lambat. (Baca: Psikologi
Remaja)

Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar
secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Sedangkan tahapan
operasional formal ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis dan lainnya.
(baca juga: Peran Ayah dalam Keluarga)
Rasanya meskipun mereka terkadang melihat segala hal secara abu, namun anak-anak di tahapan
ini sudah menerima informasi dalam bentuk yang jelas dan detail serta bisa dipahami. Tahapan
ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke
dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral dan hal lainnya yang membuat orang
tua harus kembali mengawasi secara ekstra. (Baca: Ciri- Ciri Pubertas)

Baca:

Psikologi Agama
Psikologi Diagnostik
Teori Psikologi Sastra
Informasi umum mengenai tahapan-tahapan
Jika dilihat dari keempat tahapan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Tahapan memiliki waktu yang jelas namun pada kenyataanya, tahapan tersebut bisa dicapai
dalam usia yang berbeda. Tidak semua anak menghadapi batasan usia yang sama karena
tergantung dengan faktor lainnya. Tidak ada ada tahapan yang diloncati dan tidak ada urutan
yang mundur.
Tahapan bersifat universal sehingga tidak terkait adat dan budaya. (baca juga: Teori Kebutuhan
Maslow)
Bisa digeneralisasi maksudnya adalah representasi dan logika dari operasi yang ada dalam diri
seseorang berlaku juga pada semua konsep dan isi pengetahuan. Sehingga cakupannya cukup
luas.
Tahapan-tahapan tersebut berupa keseluruhan yang terorganisasi secara logis dan bisa ditalar
dengan pemikiran orang dewasa. (baca juga: Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik)
Urutan tahapan bersifat hirarkis (setiap tahapan mencakup elemen-elemen dari tahapan
sebelumnya, tapi lebih terdiferensiasi dan terintegrasi) sehingga tidak berantakan dan
sembarangan.
Tahapan merepresentasikan perbedaan secara kualitatif dalam model berpikir, bukan hanya
perbedaan kuantitatif. Secara psikologi hal ini berefek juga dengan perkembangan kepribadian
seseorang ke masa dewasanya.
Demikian penjelasan terkait beberapa tahapan dalam Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini
yang harus diketahui oleh sebagian orang tua agar mampu memantau perkembangan anak lebih
baik sehingga tumbuh menjadi anak yang pintar juga cerdas.
Tahapan Perkembangan Bahasa Anak
Ditulis oleh Muchlisin Riadi Sabtu, 01 Juni 2013 1 Komentar
Tahapan Perkembangan Bahasa Anak
Iluastrasi Bahasa Anak
Menurut pendapat Piaget (Sumantri, dkk. 2009:1-15) mengemukakan bahwa proses
perkembangan anak dari kecil hingga dewasa melalui empat tahap perkembangan, yaitu:
a. Tahap Sensori Motor (0–2 Tahun)
Pada tahap ini, kegiatan intelektual anak hampir seluruhnya merupakan gejala yang diterima
secara langsung melalui indera. Pada saat anak mencapai kematangan dan secara perlahan mulai
memperoleh keterampilan berbahasa, mereka menerapkannya pada objek-objek yang nyata. Pada
tahap ini anak mulai memahami hubungan antara benda dengan nama benda tersebut.
b. Tahap Praoperasional (2–7 Tahun)
Perkembangan yang pesat dialami oleh anak pada tahap ini. Anak semakin memahami lambang-
lambang bahasa yang digunakan untuk menunjukkan benda-benda. Keputusan yang diambil
hanya berdasarkan intuisi, bukan atas dasar analisis rasional. Kesimpulan yang diambil
merupakan kesimpulan dari sebagian kecil yang diketahuinya, dari suatu keseluruhan yang besar.
Anak akan berpendapat bahwa pesawat terbang berukuran kecil karena itulah yang mereka lihat
di langit ketika ada pesawat terbang yang lewat.
c. Tahap Operasional Konkret (7–11 Tahun)
Pada tahap ini anak mulai berpikir logis dan sistematis untuk mencapai pemecahan masalah.
Masalah yang dihadapi dalam tahap ini bersifat konkret. Anak akan merasa kesulitan bila
menghadapi masalah yang bersifat abstrak. Pada tahap ini anak menyukai soal-soal yang telah
tersedia jawabannya.
d. Tahap Operasional Formal (11–15 Tahun)
Anak mencapai tahap perkembangan ini ditandai dengan pola pikirnya yang seperti orang
dewasa. Anak telah dapat menerapkan cara berpikir terhadap permasalahan yang konkret
maupun abstrak. Pada tahap ini anak sudah dapat membentuk ide-ide dan berpikir tentang masa
depan secara realistis.

Sedangkan Johan Amos Comenius dalam Kartini Kartono (2007: 34-35) berpendapat bahwa
perkembangan bahasa seseorang terdiri dari empat periode perkembangan, yaitu:
a. Periode Sekolah-Ibu (0-6 Tahun)
Pada periode ini hampir semua usaha bimbingan-pendidikan berlangsung di lingkungan
keluarga, terutama aktivitas ibu sangat mempengaruhi proses perkembangan anak.
b. Periode Sekolah-Bahasa-Ibu (6-12 Tahun)
Pada periode ini anak baru mampu menghayati setiap pengalaman dengan pengertian bahasa
sendiri (bahasa ibu). Bahasa ibu ini digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain, yaitu
untuk mendapatkan impresi dari luar berupa pengaruh, sugesti serta transmisi kultural dari orang
dewasa, dan untuk mengekspresikan kehidupan batinnya kepada orang lain.
c. Periode Sekolah-Latin (12-18 Tahun)
Pada periode ini anak mulai diajarkan bahasa latin sebagai bahasa kebudayaan. Bahasa ini perlu
diajarkan kepada anak agar anak mencapai taraf beradab dan berbudaya.
d. Periode Sekolah-Universitas (18-24 Tahun)
Pada periode yang terakhir ini anak muda mengalami proses pembudayaan dengan menghayati
nilai-nilai ilmiah, di samping mempelajari macam-macam ilmu pengetahuan.

Khusus mengenai perkembangan bahasa anak, Conny R. Semiawan (2000: 128-136)


berpendapat bahwa tahap perkembangan bahasa anak terdiri dari empat tahap, yaitu:
a. Perkembangan Bahasa Usia Bayi
Secara umum bayi mulai mengeluarkan ucapan pada saat usianya 10-16 bulan, walaupun pada
kenyataannya ada juga yang memerlukan waktu lebih lama dari itu. Sebelum anak-anak
mengucapkan kata-kata, terlebih dahulu membuat ocehan misalnya dengan ucapan baa, maa atau
paa. Mengoceh ini mulai terjadi saat usia sekitar 3-6 bulan. Tujuan komunikasi yang dilakukan
oleh bayi pada usia dini ialah untuk menarik perhatian orang tua dan orang lain yang ada di
sekitarnya. Pada umumnya, bayi menarik perhatian orang lain dengan membuat kontak mata,
membunyikan ucapan, serta menggerak-gerakkan tangan.

Baca Juga
Pengertian, Aspek dan Penyebab Kesepian (Loneliness)
Pengungkapan Diri (Self Disclosure)
Penyesuaian Sosial (Social Adjustment)
Biasanya kata-kata anak yang pertama kali muncul adalah nama-nama orang penting yang ada
disekitarnya, nama-nama binatang, dan benda-benda lain yang ada di sekitarnya. Anak-anak
yang telah memasuki usia 18-24 bulan mulai mengucapkan pernyataan dengan dua kata.
b. Perkembangan Bahasa Anak Usia Dini
Beberapa anak usia pra sekolah memiliki kesulitan dalam mengucapkan kelompok konsonan,
misalnya untuk mengucapkan kata setrika, mangga, dan lain-lain. Pada usia ini, anak-anak sudah
dapat mengembangkan ungkapannya lebih dari dua kata-kata setiap kalimatnya. Anak-anak
mulai berbicara dengan urutan kata yang menunjukkan suatu pendalaman yang meningkat
terhadap aturan yang komplek tentang urutan kata-kata yang diucapkan. Pada usia ini anak-anak
juga sudah mulai mampu mengembangkan pengetahuan tentang makna dengan cepat.
c. Perkembangan Bahasa Usia Sekolah
Pada tahap ini penekanan perkembangan berubah dari bentuk bahasa ke isi dan penggunaan
bahasa. Anak-anak telah mencapai tahap kreatif dalam perkembangan bahasa. Bahasa kreatif
anak dapat didengar dalam bentuk nyanyian atau sajak.
d. Perkembangan Membaca dan Menulis
Salah satu faktor yang berpengaruh pada perkembangan membaca anak usia dini ialah kesediaan
orang tua untuk menyediakan bahan bacaan dan menciptakan suasana yang kondusif bagi
perkembangan kemampuan membaca anak. Kegiatan membaca yang dilakukan secara alamiah
dalam suasana kehidupan sosial memiliki efektifitas yang tinggi untuk peningkatan kemampuan
membaca pada anak. Anak usia tujuh atau delapan tahun telah memperoleh pengetahuan tentang
huruf, suku kata dan kata. Siswa kelas tiga dan empat sudah mampu menganalisis kata-kata baru
dengan menggunakan pola orthograpik dan inferensi kontekstual. Siswa kelas lima dan enam
sudah mulai membaca dari keterampilan decoding menuju ke pemahaman.
Daftar Pustaka
Conny R. Semiawan. 1999/2000. Perkembangan dan Belajar Peserta Didik. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Kartini Kartono. 2007. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung: CV. Mandar Maju.
Mulyani Sumantri dan Nana Syaodih. 2006. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Universitas
Terbuka.

6 Tahap Perkembangan Emosi Anak (Usia 0-12 Tahun)


Sponsors Link

Setiap individu tentunya memiliki perasaan emosi masing-masing. Namun sebenarnya, emosi
tersebut tak hanya dirasakan oleh orang-orang dewasa saja, namun juga bisa dirasakan oleh
anak-anak sekalipun. Bahkan sebenarnya, anak-anak merasakan emosional yang lebih
dibandingkan orang-orang dewasa.
ads

Hal ini dikarenakan mereka belum mampu untuk mengendalikan emosi mereka tersebut.
Perkembangan emosi pada anak biasanya akan mengikuti perkembangan dari usia
kronologisnya. Itu berarti menandakan bahwa perkembangan emosi anak akan selalu
berkembang sesuai dengan pertambahan usianya, dari mulai bayi, remaja, hingga beranjak
dewasa. (baca juga: Cara Membentuk Karakter Anak Usia Dini)

Selain itu, dalam tahap perkembangan emosi anak juga sangat dipengaruhi oleh banyak faktor
yang terkait dengan lingkungannya. Namun terkadang faktor gen/keturunan juga dapat
berpengaruh di dalam perkembangan emosi anak. Nah berikut ini beberapa tahap perkembangan
emosi anak yang perlu anda ketahui. (baca juga: Fobia Sosial)

1. Usia 0-2 Tahun


Awal dari Tahap Perkembangan Emosi Anak dimulai saat ia baru lahir. Pada usia ini, biasanya
anda dapat merangsang anak untuk mendapatkan pengalaman yang menyenangkan mereka akan
tumbuh menjadi individu yang penuh percaya diri. Namun bila anak mengalami kepercayaan diri
yang kurang, maka akan timbul perasaan penuh curiga dalam diri mereka. Karena belum dapat
mengendalikan emosi mereka dengan benar, maka anak akan cenderung untuk berbuat sesuka
hati mereka.

Pada fase bayi, mereka akan membutuhkan belajar banyak hal dan mengetahui lingkungannya
dengan familiar. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, perlakuan yang di dapat pada usia ini akan
memiliki peran penting dalam pembentukan rasa percaya diri mereka. (baca juga: Psikologi
Diagnostik)

Pada minggu 3-4 usia anak, mereka akan mulai menunjukkan senyumnya ketika merasa nyaman
berada di lingkungannya. Dan di minggu ke-8, mereka akan selalu tersenyum pada orang-orang
disekitarnya. Pada bulan ke-4 hingga ke-8. anak akan mulai belajar untuk mengekspresikan
emosi di dalam diri mereka seperti marah, takut, gembira, hingga takut. (Baca juga: Ciri-ciri
Pubertas)
Pada usia 12-15 bulan, anak akan merasakan ketergantungan yang semakin besar pada orang-
orang yang merawatnya. Mereka akan merasa tidak nyaman bila ada orang asing yang
menghampirinya. Pada usia mencapai 2 tahun, anak mulai pandai meniru reaksi emosi yang
diperlihatkan oleh orang-orang di sekitarnya.

2. Usia 2-3 Tahun


Pada usia ini, anak sudah mulai mampu menguasai kegiatan-kegiatan yang melemaskan dan
meregangkan otot-otot pada tubuh mereka, sehingga anak-anak sudah mampu menguasai
anggota pada tubuh mereja. Pada usia ini, lingkungan akan sangat berperan dalam memberi
kepercayaan pada anak.

Pada fase usia ini, anak akan mulai mencari aturan-aturan serta batasan yang ada di dalam
lingkungannya. Mereka akan mulai melihat akibat dari perilaku yang dibuatnya, mereka akan
mulai membedakan mana hal yang salah dan mana hal yang benar. (Baca juga: Psikologi
Diagnostik)

Meskipun pada usia ini anak belum mampu menggunakan kata-kata sebagai bentuk ekspresi
emosi nya, namun mereka akan menggunakan ekspresi wajah untuk memperlihatkan emosi dan
perasaan di dalam diri mereka. (baca juga: Kepribadian Ambivert)

Peran orang tua akan sangat membantu anak untuk dapat mengekspresikan emosi mekeka
dengan bahasa verbal. Sebagai orang tua, anda hanya perlu menerjemahkan mimik serta ekspresi
wajah dengan menggunakan bahasa verbal. (Baca juga: Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik)

3. Usia 4-5 Tahun


Pada usia ini lah dimana fase Initiative vs Guilt mulai muncul pada anak. Anak akan mulai
menunjukkan rasa ingin lepas dari ikatan orang tua, mereka ingin dapat bergerak dengan bebas
dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Keinginan mereka yang lepas dari orang tua
inilah yang membuat munculnya rasa inisiatif dalam diri mereka, namun juga menimbulkan rasa
bersalah. (baca juga: Persepsi Psikologi)

Pada usia ini, merupakan fase bermain bagi anak-anak. Tentunya pada fase ini, anak-anak
memiliki naluri untuk berinisatif melakukan sesuatu hal, inilah yang akan membuat anak belajar
mengenai arti ditanggapi dengan baik atau diabaikan (ditolak atau diterima). Bila mereka
mendapatkan sambutan yang baik, maka anak dapat belajar beberapa hal:

Mampu berimajinasi serta mengembangkan ketrampilan diri melalui aktif dalam bermain.
Dapat bekerja sama dengan teman. (baca juga: Hakikat Manusia dalam Prespektif Psikologi)
Memiliki kemampuan menjadi pemimpin (dalam permainan).
Namun bila inisiatif yang mereka miliki mengalami penolakan, maka hal ini akan membuat anak
merasa takut sehingga selalu bergantung pada kelompok dan tidak berani mengeluarkan
pendapatnya.

4. Usia 6 Tahun
Pada usia ini, emosi anak akan semakin matang. Anak akan semakin mudah mengerti hal-hal apa
saja yang bisa mereka dapatkan dari emosi yang mereka miliki. Emosi anak-anak pada usia ini
akan mudah sekali berubah. Bisa saja yang tadinya bahagia menjadi sedih hanya dalam beberapa
waktu saja. Kondisi ini sangat mudah ditemukan pada anak di suia 6 tahun. (Baca juga:
Kecerdasan Emosional dalam Psikologi)

Selain itu, di fase usia ini anak juga sudah dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangan yang
dapat membantu menyiapkan diri untuk memasuki tahap kedewasaan. Tentunya diperlukan
ketrampilan tertentu pada diri anak-anak. Bila anak mampu menguasai sebuah ketrampilan,
maka tentunya hal ini akan menimbulkan rasa berhasil dalam diri anak.

Namun sebaliknya, jika anak tak mampu menguasai sebuah ketrampilan, maka akan membuat
anak menjadi rendah diri. (baca juga: Teori Belajar Dalam Psikologi)

5. Usia 7-8 Tahun


Semakin beranjaknya usia anak, tentunya membuat emosi anak akan semakin matang dan
tentunya mulai pandai dalam mengendalikan diri. Fokus dan perhatian mereka mulai pada hal-
hal yang bersifat eksternal. Anak juga sudah mulai memahami hal apa yang mereka inginkan.
Tentunya hal ini membuat kebanyakan orang tua akan merasa pusing dengan beragam keinginan
anak-anak mereka yang selalu ingin dituruti. (baca juga: Teori Psikoanalisis Klasik)

Kestabilan emosi anak akan semakin membaik sehingga mulai muncul rasa empati pada orang
lainnya. Pada tahapan ini, anak juga mulai mengenali rasa malu serta bangga. Anak pun mulai
dapat menverbalisasikan emosi yang mereka alami. Semakin bertambahnya usia, mereka akan
menyadari perasaan diri mereka serta orang lain di sekitarnya. (baca juga: Konsep Diri Dalam
Psikologi)

6. Usia 8-12 Tahun


Pada fase usia ini, tahap perkembangan akan banyak berada di sekolah. Anak-anak akan belajar
bagaimana beradaptasi dengan kelompok dan mulai mengembangkan tiga ketrampilan sosial:

Bagaimana mematuhi aturan-aturan yang berkaitan dengan pertemanan, misalnya saja ketika
mengingatkan teman yang terlambat, berpartisipasi pada tugas kelompok, dan lainnya.
Belajar mengenai bermain dengan aturan dan struktur tertentu.
Belajar mengenai mata pelajaran yang ada di sekolah serta mampu mendisiplinkan diri untuk
mempelajari materi-materi tersebut. (baca juga: Psikologi Keluarga)
Bila perkembangan emosi anak dapat berkembang dengan baik, maka anak-anak akan merasa
aman dan percaya pada lingkungannya. Mereka akan memiliki rasa kompetisi yang unggul di
dalam lingkungannya. Sebaliknya, bila perkembangan tak berjalan baik maka anak akan muncul
keraguan dalam diri anak. Mereka akan merasa malu, bersalah, hingga menjadi pribadi inferior
(kalah). (baca juga: Psikologi Olahraga)

Pada usia 9-10 tahun, anak mulai dapat mengatur ekspresi emosi serta merespon distress
emosional pada orang lain. Seperti mengontrol emosi-emosi negatif, anak akan mulai belajar
mengenai hal yang membuatnya merasakan hal-hal tersebut sehingga dapat beradaptasi dan
mengontrolnya. (baca juga: Teori Cinta Stenberg)

Pada fase usia 11-12 tahun, anak akan mulai memahami mengenai norma-norma yang ada di
lingkungannya. Mereka akan mulai beradaptasi dan tidak sekaku ketika masa kanak-kanak.
Selain itu, mereka akan mulai paham bila penilai baik dan buruk dapat dibuah sesuai keadaan
dan situasi yang ada.

Nah itu tadi penjelasan mengenai tahap-tahap perkembangan emosi pada anak, dari mulai usia
balita hingga beranjak dewasa. Semoga informasi diatas dapat bermanfaat bagi anda.
baca juga:

Psikologi Perkembangan Anak Usia Dini


Prospek Kerja Untuk Lulusan Psikologi
Kode Etik Psikologi
Perilaku Abnormal
Psikologi Sastra

Teori Perkembangan Anak Usia Dini

A. Hakikat Perkembangan Anak Usia Dini


Perkembangan merupakan suatu proses yang bersifat kumulatif, yang artinya perkembangan
terdahulu akan menjadi dasar perkembangan selanjutnya. Oleh sebab itu, jika terjadi hambatan
pada perkembangan terdahulu maka perkembangan selanjutnya cenderung akan menjadi
hambatan.
Anak usia dini berada dalam masa keemasan dalam sepanjang perkembangan manusia.
Montessori mengatakan bahwa masa ini merupakan periode sensitif dimana anak secara mudah
menerima stimulus-stimulus dari lingkungannya. Pada masa peka inilah terjadi pematangan
fungsi-
fungsi fisik dan psikis sehingga anak siap merespon dan mewujudkan semua tugas-tugas
perkembangan yang diharapkan muncul pada pola perilakunya sehari-hari.
Berdasarkan teori perkembangan anak, diyakini bahwa setiap anak lahir dengan lebih dari satu
bakat. Untuk itulah anak perlu diberikan pendidikan yang sesuai dengan perkembangannya
dengan cara memperkaya lingkungan bermainnya. Orang dewasa perlu memberi peluang pada
anak untuk menyatakan diri, berekspresi, berkreasi, dan menggali sumber-sumber terunggul pada
anak. Untuk itu, paradigma baru bagi ana usia dini atau anak prasekolah adalah harus
berorientasi pada anak (student centered) dan prlahan-lahan menyeimbangkan dominasi
pendekatan lama yang berpusat pada guru (teacher centered).
Pada hakitkatnya anak adalah makhluk individu yang membangun sendiri pengetahuannya. Anak
lahir membawa sejumlah potensi yang siap untuk ditumbuhkembangkan asalkan lingkungan
menyiapkan situasi dan kondisi yang dapat merangsang kemunculan dari potensi yang
tersembunyi tersebut.
Berdasarkan tinjauan aspek pedagogis, masa usia dini merupakan masa pondasi awal bagi
pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Diyakini bahwa masa kanak-kanak yang bahagia
merupakan dasar bagi keberhasilan di masa mendatang dan sebaliknya. Jadi, agar tumbuh
kembangnya tercapai secara optimal dibutuhkan situasi dan kondisi yang kondusif pada saat
memberikan stimulus dan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan minat anak.
Secara teoritis berdasarkan aspek perkembangannya, seorang anak dapat belajar dengan sebaik-
baiknya apabila kebutuhan fisiknya terpenuhi dan mereka merasa aman dan nyaman secara
psikologis.

B. Teori Pertumbuhan dan Perkembangan


1. Teori Behaviorisme
Watson, Thorndike, dan Skinner adalah ahli behaviorisme yang terkenal. Skinner identik dengan
teori stimulus-respon dan operant conditioning. Unsur-unsurnya meliputi bantuan dan hukuman.
Kalau dalam classical conditioning, seorang anak diberikan stimulus dan suatu penghargaan dan
mengharapkan penghargaan kapan saja stimulus diperkenalkan.
Kalau dalam operant conditioning perilaku sudah mendahului penguatan tersebut. Seperti
percobaan pada tikus dan pedal dalam skinner box yang sudah kita pelajari sebelumnya. Jika
seorang anak melengkapi suatu tugas dan memperlihatkan perilaku yang diinginkan, guru dapat
menguatkan perilaku tersebut dengan memberi pujian,dsb. Penguatan negatif dapat diberikan
untuk melepaskan anak dari tindakan atau situasi yang tidak menyenangkan. Contohnya, dengan
memberikan “time out” pada anak, atau distrap.
Operant conditioning dapat digunakan untuk membentuk suatu perilaku dengan cara
menyediakan bantuan ketika perilaku anak semakin menjauh dari tujuannya. Membentuk
perilaku melibatkan kompunen berikut:
· Mengarahkan perilaku yang diinginkan tersebut.
· Perbaikan dari suatu dasar terhadap perilaku.
· Memilih penguatan.
· Menerapkan sistem penguatan secara sistematis.
Perilaku negatif dapat dikurangi dengan sikap orang dewasa yang tidak mendukung atau
mengacuhkan perilaku anak yang tidak baik. Tujuan akhir dari teori ini adalah untuk semakin
meningkatkan perilaku yang diinginkan untuk memberikan penghargaan pada anak, sehingga
guru atau orang tua tidak perlu memberikan penghargaan secara terus menerus. Teori behavioris
lebih terkait bagaimana anak berkembang secara sosial, emosional, dan intelektual.

2. Teori Maturationis
Teori maturationis (kematangan) pertama kali ditemukan oleh Hll, Rousseau dan Gessel dimana
ketiganya percaya bahwa anak harus diberi kesempatan berkembang. Menurut teori ini,
pengalaman memainkan peranan yang sangat penting dalam perkembangan. Hal ini dipandang
lebih baik dari teori behaviorisme.
Teori maturationis meyakini bahwa perkembangan fisik, sosial, intelektual, emosional,
mengikuti tahapan perkembangan dari setiap anak yang pada dasarnya berbeda-beda. Mereka
percaya bahwa setiap anak akan mengembangkan potensi mereka apabila mereka ditempatkan
pada suatu lingkungan yang optimal dan perkembangan mereka akan menjadi lambat apabila
lingkungan tidak sesuai.
Teori maturationis menyatakan bahwa anak-anak akan mempunyai kesukaran disekolah apabila
mereka “salah ditempatkan” dimana anak ditempatkan pada kelas yang memiliki tingkatan yang
berbeda dengan tingkatan perkembangan si anak. Teori ini menekankan tahapan perkembangan
si anak lebih penting dari sekedar penghargaan, hukuman, dll.

3. Teori Interaksi
Teori interaksi atau perkembangan ditemukan oleh Piaget. Piaget percaya bahwa anak-anak itu
membangun pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungan. Anak-anak bukan merupakan
objek penerima pengetahuan yang pasif, melainkan mereka dengan aktif melakukan pengaturan
pengalaman mereka ke dalam struktur mental yang kompleks.
Selanjutnya Piaget menguraikan tentang pemikiran anak-anak mengenai konsep asimilasi,
akomodasi, dan keseimbangan. Asimilasi terjadi ketika anak melakukan pencocokan informasi
ke kategori yang ada. Jika anak diberikan pengetahuan tentang anjing, contoh tersebut akan
dimasukkan ke kategori yang sudah ada. Jika kemudian diberikan pengetahuan tentang kucing,
maka anak akan meciptakan suatu kategori baru dimana bukan hanya anjing hewan berbulu yang
dapat digendong dan ditimang. Menciptakan suatu kategori baru adalah bagian dari akomodasi
anak yang mana anak secepatnya menciptakan suatu struktur mental yang berkaitan dengan
semua hewan yang ada.
Keseimbangan adalah merupakan bagian akhir dari sisa yang mencapai semua informasi dan
pengalaman, yang kapan saja dapat dicocokan ke dalam suatu bagan yang baru diciptakan untuk
hal tersebut. Keseimbangan ini berumur sangat pendek, sebagai suatu informasi dan pengalaman
yang baru yang secara konstan ditemui oleh anak. Keseimbangan adalah proses dari pergerakan
dari keadaan ketidakseimbangan kepada keadaan seimbang.
Pendukung teori Piagetian menggolongkan pengetahuan sebagai berikut yaitu perkembangan
fisik, sosial, atau logika-matematika. Istilah yang digunakan dalam literatur untuk menguraikan
kategori ini adalah meta-knowledge. Jika seorang anak memahami tentang sistem nomor,
jumlah, maka ia juga memahami pengetahuan lain yang tidak bersifat sosial, fisik, atau logika-
matematika.
Wadsworth menguraikan tentang defenisi belajar dalam terminologi para pengikut Piagetian: ada
dua penggunaan. Penggunaan pertama, disebut sebagi makna di dalam pengertian yang luas,
dimana bersinonim dengan kata perkembangan. Penggunaan kedua, adalah mengenai hal-hal
yang lebih dangkal. Hal ini mengacu pada pengadaan informasi yang spesifik dari lingkungan,
yang berasimilasi dalam suatu bagan yang ada. Bagi teori behavioristik, mengatakan memori
dihafal tanpa berpikir. Sedangkan pada teori Poaget, belajar melibatkan konstruksi dan
pengertian.

4. Teori Psikoanalisis
Sigmund Freud, bapak dari teori psikoanalitical, yang menggambarkan perkembangan dan
pertumbuhan anak. Di dalam terminologi dikatakan bahwa anak-anak bergerak melalui langkah-
langkah yang berbeda dengan tujuan untuk mencari kepuasan yang berasal dari sumber yang
berbeda, di mana mereka juga harus berusaha untuk menyeimbangkan keadaan tersebut dengan
harapan orang tua. Mekanisme pertahanan diri diciptakan untuk tujuan agar dapat berhubungan
dengan ketertarikan. Kebanyakan orang belajar untuk mengendalikan perasan mereka dan juga
berusaha agar dapat diterima di dalam lingkungan sosial serta untuk mengintegrasi diri mereka.

5. Teori Pengaruh
Berbagai teori yang berbeda mengemukakan sudut pandang mereka yang berbeda dalam hal
menginterpretasikan pengamatan yang sudah mereka lakukan terhadap anak-anak ketika mereka
tumbuh dan berkembang. Seorang anak akan berkembang secara menyeluruh. Perkembangan di
suatu area pasti memengaruhi perkembangan di area lain. Sebagai contoh, ketika anak menjadi
gesit ia membuka lebih banyak lagi hal-hal lain dari berbagai kemungkinan untuk melakukan
eksplorasi dan belajar tentang lingkungan. Anak-anak yang merasakan bahwa mereka sedang
belajar dengan sukses atau anak-anak yang merasa yakin tentang kemampuan fisik mereka
memiliki kepercayaan diri yang baik. Anak-anak yang belajar untuk mampu mengendalikan
perilaku mereka yang impulsif dapat berinteraksi dengan orang lain atau alat-alat permainan
dalam waktu yang lebih lama, dimana hal ini juga berpengaruh terhadap perkembangan
intelektual mereka. Perkembangan sosial, fisk, dan intelektual selalu berkaitan.

6. Teori Konstruktivisme
Semiawan berpendapat bahwa pendekatan konstruktivisme bertolak dari suatu keyakinan bahwa
belajar adalah membangun pengetahuan itu sendiri, setelah dicernakan kemudian dipahami
dalam diri individu, dan merupakan perbuatan dari dalam diri seseorang. Pengetahuan itu
diciptakan kembali dari dalam diri seseorang melalui pengalaman, pengamatan, dan
pemahamannya.
Vygotsky dikenal sebagai socialkultural constructivist berpendapat bahwa pengetahuan tidak
diperoleh dengan cara dialihkan dari orang lain, melainkan merupakan sesuatu yang dibangun
dan diciptakan oleh anak. Vygotsky yakin bahwa belajar merupakan suatu proses yang tidak
dapat dipaksa dari luar karena anak adalah pembelajaran aktif dan memiliki struktur psikologis
yang mengendalikan perilaku belajarnya. Prinsip dari teori Vygotsky adalah bahwa anak
melakukan proses konstruksi membangun berbagai pengetahuannya tidak dapat dipisahkan dari
konteks sosial dimana anak tersebut berada.
Berhubungan dengan proses pembentukan pengetahuan, Vygotsky mengemukakan konsep Zone
of Proximal Development (ZPD) sebagai kapasitas potensial belajar anak yang dapat erwujud
melalui bantuan orang dewasa atau orang yang lebih terampil. Vygotsky mendefenisikan ZPD
sebagai jarak antarab level perkembangan aktual dengan pemecahan masalah secara mandiri
dengan level perkembangan potensial oleh pemecahan masalah dengan bimbingan orang dewasa.
Stuyf mengatakan bahwa strategi pembelajaran pentahapan memberikan bantuan secara
perseorangan berdasarkan ZPD. Aktifitas-aktifitas yang diberikan dalam pembelajaran
scaffolding hanya melewati tingkatan yang dapat dilalui sendiri. Askep penting dalam
pembelajaran scaffolding adalah bantuan bersifat sementara. Akhirnya anak dapat menyelesaikan
tugas dengan sendirinya tanpa bantuan lagi.
Penerapan teori konstruktivisme dalam program kegiatan bermain pada anak usia dini haruslah
memperlihatkan hal-hal berikut: anak hendknya memperoleh kesempatan luas dalam kegiatan
pembelajaran, pembelajaran pada anak usia diini hendaknya dikaitkan dengan tingkat
perkembangan potensial daripada perkembangan aktualnya, program kegiatan bermain lebih
diarahkan pada penggunaan strategi, anak diberi kesempatan luas untuk melakukan tugas-tugas
dan memecahkan masalah, dan proses belajar tidak sekedar transfersal tetapi lebih kepada ko-
konstruksi.

C. Aspek Perkembangan Anak Usia Dini


Catron Allen (1999 :23-26) menyebutkan bahwa terdapat 6 aspek perkembangan anak usia dini
yaitu kesadaran personal , kesehatan emosional, sosialisasi, komunikasi, kognisi, dan
keterampilan motorik sangat penting dan harus dipertimbangkan sebagai fungsi interaksi.
Kreatifitas tidak dipandang sebagai perkembangan tambahan, melainkan sebagai komponen yg
integral dari lingkungan bermain yang kreatif.
Pertumbuhan anak pada enam aspek perkembangan dibawah ini membentuk fokus sentral dari
pengembangan kurikulum bermain kreatif pada anak usia dini.
Kesadaran Personal
Permainan kreatif memungkinkan perkembangan kesadaran personal.bermain membantu anak
untuk tumbuh secara mandiri dan memiliki kontrol atas lingkungannya. Melalui bermain anak
dapat menemukan hal baru, bereksplorasi, meniru, dan mempraktikkan kehidupan sehari-hari
sebagai sebuah langkah dalam membangun keterampilan menolong diri sendiri, keterampilan ini
membuat anak menjadi berkompeten.
Pengembangan Emosi
Melalui bermain anak dapat belajar menerima, berekspresi dan mengatasi masalah dengan cara
yang positif. Bermain juga memberikan kesempatan pada anak untuk mengenal diri mereka
sendiri dan untuk mengembangkan pola perilaku yang memuaskan dalam hidup.
Membangun Sosialisasi
Bermain memberikan jalan bagi perkembangan sosial anak ketika berbagi dengan anak lain.
Bermain adalah sarana paling utama bagi pengembangan kemampuan bersosialisasi dan
memperluas empati terhadap orang lain serta mengurangi sikap egosentrisme. Bermain dapat
menumbuhkan dan meningkatkan rasa sosialisasi anak. Melalui bermain anak dapat belajar
perilaku prososial seperti menunggu giliran, kerja sama, saling membantu, dan berbagi.
Pengembangan komunikasi
Bermain merupakan alat yang paling kuat untuk membelajarkan kemampuan berbahasa anak.
Melalui komunikasi inilah anak dapat memperluas kosakata dan menembangkan daya
penerimaan serta pengekspresian kemampuan berbahasa mereka melalui interaksi dengan anak-
anak lain dan orang dewasa pada situasi bermain spontan.
Secara spesifik, bermain dapat memajukan perkembangan dari segi komunikasi berikut ini : (1)
bahasa reseptif (penerimaan), yaitu mengikuti petunjuk-petunjuk dan memahami konsep dasar,
(2) bahasa ekspresif, yaitu kebutuhan mengekspresikan keinginan, perasaan: penggunaan kata-
kata, frase-frase, kalimat: berbicara secara jelas dan terang, (3) komunikasi nonverbal, yaitu
penggunaan komunikasi kongruen, ekspresi muka, isyarat tubuh,isyarat tangan dan (4) memori
pendengaran/perbedaan, yaitu memahami bahasa berbicara dan membedakan bunyi.
Pengembangan Kognitif
Bermain dapat memenuhi kebutuhan anak untuk secara aktif terlibat dengan lingkungan, untuk
bermain dan bekerja dalam menghasilkan suatu karya, serta untuk memenuhi tugas-tugas
perkembangan kognitif lainnya. Selama bermain, anak menerima pengalaman baru,
memanipulasi bahan dan alat, berinteraksi dengan orang lain dan mulai memasukkandunia
mereka. Bermain adalah awalan dari semua fungsi kognitif selanjutnya, oleh karenanya bermain
sangat diperlukan dalam kehidupan anak-anak.
Pengembangan Kemampuan Motorik
Kesempatan yang luas untuk bergerak, pengalaman belajar untuk menemukan, aktivitas sensori
motor yang meliputi penggunaan otot-otot besar dan kecil memungkinkan anak untuk memenuhi
perkembangan perseptual motorik. Bermain dapat memacu perkembangan perseptual motorik
pada beberapa area yaitu : (1) koordinasi mata-tangan atau mata-kaki, seperti saat menggambar,
menulis, manipulasi objek, mencari jejak secara visual, melempar, menangkap, menendang. (2)
kemampuan motorik kasar, seperti gerak tubuh ketika berjalan, melompat, berbaris, berlari,
berguling-guling, dan merayap. (3) kemampuan bukan motorik kasar (statis) seperti menekuk,
meraih, bergiliran, memutar, meregangkan tubuh, jongkok, duduk, berdiri, bergoyang. (4)
manajemen tubuh dan kontrol seperti menunjukkan kepekaan tubuh, kepekaan akan tempat,
keseimbangan, kemampuan untuk memulai, berhenti dan mengubah petunjuk.

D. Pola Perkembangan Anak


Bagian ini menjelaskan mengenai ikhtisar dari pola perkembangan fisik, sosial,
emosional, dan intelektual dari setiap anak.
1. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik berlangsung secara teratur, tidak secara acak, perkembangan bayi ditandai
dengan adanya perubahan dari aktivitas yang tidak terkendali menjadi suatu aktivitas yang
terkendali.

Perkembangan fisik pada masa bayi berjalan dengan cepat. Bayi belajar untuk mengendalikan
kepala, menggapai sebuah objek, dan barangkali berdiri dan berjalan ditahun pertama tersebut.
Ketika anak-anak tumbuh, perkembangan dari keterampilan motor mereka tidaklah sama
cepatnya dengan seperti pada kanak-kanak, tetapi hal tersebut berlangsung terus sepanjang masa
kanak-kanak. Pengamatan atas fisik mengungkapkan bahwa pertumbuhan itu adalah bersifat
cephalocaudal (proses pertumbuhan dimulai dari kepala hingga ke kaki) dan juga proximo-distal
(proses pertumbuhan dimulai berasal pusat badan ke arah luar), dan perkembangan motorik kasar
tersebut mulai berjalan dahulu sebelum motorik halus berkembang. Kendali terhadap kepala dan
otot tangan diperoleh sebelum adanya kendali otot kaki. Dengan cara yang sama, anak-anak
dapat mengendalikan otot dari tangannya sebelum mereka dapat mengendalikan otot motorik
halus pada tangan mereka yang diperlukan untuk melakukan tugas seperti menulisndan
memotong dengan gunting.
Pada saat mereka berusia tiga tahun, kebanyakan anak-anak sudah dapat berjalan mundur,
berjalan pada ujung jari kaki dan dapat berlari. Mereka juga dapat melemparkan suatu bola dan
menangkapnya dengan tangan mereka sendiri. Mereka juga dapat mengendarai sepeda roda tiga
dan memegang krayon atau pensil dengan jari mereka atau dengan genggaman tangan mereka.

Implikasi dalam Pengembangan Kurikulum


Perkembangan fisik merupakan hal penting dalam rentang kehidupan anak. Anak memerlukan
waktu yang cukup untuk aktivitas secara fisik. Anak-anak sejak lahir sampai berusia tiga tahun
manakala dorongan dari orang tua dan guru dengan memberikan kesempatan agar anak dapat
melakukan kegiatan fisik dengan aman dan tidak mengharapkan ketrampilan motorik yang akan
dicapai oleh anak.
Beberapa hal di bawah ini dapat membantu guru dalam mengembangkan keadaan fisik dari
anak-anak lewat kegiatan-kegiatan.
· Menyediakan permainan di luar ruangan. Permainan yang ada sebaiknya merupakan
permainan yang dapat mengembangkan keterampilan memanjat, berlari, melompat, dan
seterusnya.
· Meyakinkan anak-anak bahwa mereka memiliki suatu kesempatan untuk berada di dalam
suatu area permainan yang berisi matras, bola karet dan target, dan bahan-bahan lain yang dapat
mendukung perkembangan anak.
· Bagi setiap anak, peralatan yang ada di dalam rumah diperuntukkan bagi perkembangan
fisik anak, meliputi perahu goyang, anak tangga bersusun, terowongan dan seluncuran yang
rendah.
· Menyediakan bola yang sesuai dengan usia anak. Bagi setiap anak bola harus berukuran
besar dan dibuat dari bahan yang lembut seperti busa dan benang. Ketika anak belajar untuk
menangkap dan melemparkan bola dengan mudah, mereka dapat menggunakan bola yang
terbuat dari karet yang lunak.
· Banyak aktivitas kelas yang dapat membantu anak-anak dalam mengendalikan motorik
halus mereka seperti melukis, memotong dengan gunting, bermain plastisin, meronce manik-
manik, dan seterusnya.
2. Perkembangan sosial
a. Perkembangan kepribadian
Salah satu unsur perkembangan sosial adalah perkembangan kepribadian. Eric Erikson,
memandang perkembangan identitas anak sebagai cerminan dari hubungan anak dengan
orangtua dan keluarganya. Orangtua dan lingkungan yang dapat memberikan kepercayaan dan
penghargaan atas prestasi anak akan membentuk karakter anak yang percaya diri. Buzzelli dan
Memfile menyatakan bahwa membangun sebuah persahabatan juga penting untuk membangun
sebuah kepercayaan.
o Perkembangan konsep diri
Konsep diri dikembangkan secara bertahap, dimulai dengan interaksi anak dengan orangtua,
keluarga, dan lingkungan. Kemudian anak secara berangsung-angsur mulai mengembangkan
konsep mengenai siapa dan seperti apa dirinya.
Dalam sebuah studi klasik, mengenai konsep diri anak-anak, Coopersmith menemukan bahwa
anak, terutama anak laki-laki yang memiliki konsep diri yang baik, memiliki orangtua yang
menerima, menyayangi, memperhatikan anak-anaknya dan memberikan aturan-aturan yang
mengarahkan anak untuk memiliki perilaku baik dan kedisiplinan.
Tugas guru adalah merencanakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan konsep
diri anak dengan mengajak anak untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas yang bervariasi.
b. Peran dari permainan
Pengalaman bermain sangat penting didalam perkembangan sosial dan emosional anak. Anak-
anak dapat memainkan berbagai peran, seperti berperan sebagai seorang kakak, ayah, atau sebagi
seorang dokter. Disini anak akan belajar bagaimana pola perilaku tokoh yang mereka perankan.
c. Hubungan sosial dan keterampilan sosial
Tahapan-tahapan perkembangan psikologis menurut erikson :
· Trust vs Mistrust (pada usia 0-1 atau 1 ½ tahun)
Bayi mengembangkan perasaan bahwa dunia merupakan tempat yang baik dan aman. Disini,
orangtua harus dapat membantu anak menumbuhkan dan mengembangkan serta
menyeimbangkan kepercayaan dengana rasa curiga. Nilai lebih yang akan berkembang di dalam
diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat kuat bahwa kalau segala sesuatu itu
tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka masih dapat mengolahnya menjadi baik.
· Autonomy vs Shame and Doubt (pada usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun)
Pada masa ini, anak mengembangkan kemandirian (otonomi) sekaligus mengurangi perasaan
malu dan ragu-ragu. Orang tua yang terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan
kemandirian, akan membentuk karakter anak yang mudah menyerah karena menganggap dirinya
tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian.
· Initiatif vs Guilt (pada usia 3 sampai 5 atau 6 tahun)
Anak mengembangkan inisiatif ketika mencoba aktivitas baru dan tidak terlalu terbebani dengan
rasa bersalah. Salah satu contoh hal yang dapat dilakukan orangtua atau guru untuk membantu
anak pada tahap ini adalah dengan mengarahkan anak untuk melakukan pekerjaan sehari-hari.
Hal ini dapat membantu mengembangkan inisiatif anak untuk mengambil keputusan.
· Industry vs Inferiority (pada usia 6 sampai 12 tahun)
Anak harus belajar untuk mengembangkan rasa percaya dirinya dan dapat menghadapi perasaan
tidak kompeten. Dalam budaya kita, dimana prestasi sering diukur sebagai keberhasilan
melakukan sesuatu dengan hasil yang lebih baik dari orang lain, maka anak juga belajar untuk
bersaing dan mengukur produktivitas dirinya dengan orang lain.
Di satu sisi anak belajar untuk lebih menghargai prestasi kerja dari hal lain, yang membuat anak
mengasingkan diri dari teman-teman sebayanya karena adanya kompetisi diantara mereka. Di
sisi lain, anak dapat merasakan ketidakmampuannya dalam melaksanakan suatu tugas yang dapat
mengembangkan perasaan rendah diri dan menyebabkan anak malas berusaha.
d. Agresi
Aspek yang lain tentang pembangunan sosial yang patut mendapat perhatian adalah agresi. Para
guru dan orangtua mempunyai kaitan dengan perilaku agresif anak. Sebuah studi
mengungkapkan bahwa perilaku yang agresif dikelas dapat dikurangi dengan menyediakan
sarana dan fasilitas yang cukup sehingga anak-anak tidak mempunyai alasan untuk bersaing
antara anak yang satu dengan anak yang lain. Studi ini juga menyarankan agar anak tidak
diberikan mainan yang dapat mengarahkan diri anak kearah agresif.
e. Identifikasi peran seks
Identifikasi peran seks adalah hal penting lain dalam pembangunan sosial anak. Anak harus
dapat mengidentifikasi diri mereka sendiri dan diri orang lain sebagai anak laki-laki atau anak
perempuan. Selanjutnya mereka mulai belajar mengembangkan konsep identitas seksual dan
sikap mereka tentang peran yang sesuai bagi pria dan wanita.

Implikasi dalam pengembangan kurikulum


Aktivitas yang dilakukan seharusnya berupa kegiatan yang dapat mendorong anak-anak untuk
dapat saling bekerja sama, mengembangkan konsep diri mereka, dan untuk memperoleh
ketermpilan dalam interaksi dengan anak-anak yang lain.
Beberapa saran yang dapat dilakukan seorang guru untuk membantu perkembangan sosial anak,
seperti:
· Menggunakan boneka sebagai model yang memerankan suatu peran atau suatu tindakan
yang nantinya dapat dicontoh anak
· Mendorong anak untuk membuat keputusan sebanyak mungkin dengan mengizinkan
anak untuk memilih dan melakukan sesuatu
· Mendorong anak untuk melakukan suatu perilaku
· Mintalah anak untuk memainkan suatu peran yang merupakan solusi untuk memecahkan
masalah dalam interaksi sosial
Perkembangan emosional
Perkembangan emosional, sama halnya dengan perkembangan fisik dan sosial yang berkembang
secara bertahap. Dimulai sejak bayi, dimana bayi bereaksi terhadap emosi apapun dengan
mengeluarkan suara tangisan yang tidak dapat dibedakan. Dalam beberapa bulan kemudian, bayi
mulai mengekspresikan emosi mereka dengan menjerit dimana hal ini disebabkan oleh adanya
kesakitan fisik.
Anak memiliki perilaku yang sangat memaksa. Mereka hanya mempunyai sedikit kendali dari
dorongan hati mereka dan mudah merasa putus asa. Pada saat anak mencapai usia tiga dan empat
tahun, mereka sudah menumbuhkan beberapa sikap toleransi untuk mengatasi hal tersebut.
Mereka sudah dapat menunggu untuk beberapa waktu dan sudah dapat mengendalikan diri. Anak
pada usia ini juga mulai mengembangkan selera humor. Mereka juga sering tertawa ketika
mendengar suara dan kata-kata yang lucu.
Bagi anak yang berada dibangku taman kanak-kanak dan anak sd kelas satu, biasanya sudah
dapat menyatakan dan melabelkan suatu emosi yang luas. Mereka menjadi lebih mampu dalam
mengendalikan perasaan agresif mereka. anak-anak yang berusia lima dan enam tahun ini juga
sudah mulai mengembangkan suara hati dan suatu perasaan tentang benar atau salah. Untuk
humor, mereka mengekspresikannya lewat lelucon atau kata-kata yang tidak masuk akal.
Sedangkan pada anak-anak yang berusia tujuh dan delapan tahun, mereka mulai menunjukkan
ketekunan mereka didalam usaha yang mereka lakukan untuk mencapai tujuan mereka. pada usia
ini anak-anak mengembangkan sikap empati yang lebih kepada oranglain, dan sudah mulai
merasa bersalah ketika melukai oranglain, baik secara fisik maupun emosional.

Implikasi untuk kurikulum


Beberapa hal berikut ini merupakan salah satu contoh dari aktivitas kelas yang dapat membantu
anak :
· Mintalah anak untuk menggambarkan suatu situasi dimana rasa frustasi dan kemarahan
seharusnya ditangani dengan sewajarnya.
· Menggunakan boneka sebagai model yang tepat dalam memberikan respon terhadap
emosi.
· Memberikan rasa empati bagi anak-anak yang merasa ketakutan dan juga yang
membutuhkan perhatian

Perkembangan intelektual
Perkembangan kognitif mengacu pada perkembangan anak dalam berpikir dan kemampuan
untuk memberikan alasan. Menurut Piaget, perkembangan kognitif anak terbagi dalam empat
tahapan, yaitu:
· Tahap sensorimotor (dari lahir sampai usia dua tahun)
Bayi mulai dapat melakukan aktivitas yang berhubungan dengan lingkungan melalui aktivitas
sensoris dan motorik. Tugas dari periode ini adalah untuk mengembangkan suatu konsep dari
objek yang tetap, yakni berupa pemikiran dimana objek ada bahkan ketika mereka tidak dapat
dilihat atau didengar.
· Tahap praoperasional (dari usia dua sampai tujuh tahun)
Anak mulai menggunakan simbol untuk merepresentasikan orang, tempat, dan peristiwa. Bahasa
dan imajinasi memainkan peranan penting pada tahap ini. Pemikiran masih belum logis.
· Tahap operasional konkret( dari usia tujuh sampai sebelas tahun)
Pada tahap ini, anak sudah dapat memecahkan masalah secara logis tapi belum dapat berpikir
secara abstrak.

Implikasi dalam pengembangan kurikulum


Anak-anak yang berada pada tahapan sensorimotor memerlukan pengalaman yang berkaitan
dengan sentuhan dan gerak. Para guru dapat memberikan anak sebuah mainan baru yang
nantinya anak akan mulai memahami karakteristik dari mainan tersebut melalui indra-indra yang
berhubungan dengan perasaan. Untuk anak yang berada pada tahap praoperasional biasanya
memiliki pemahaman yang cepat terhadap bahasa. Para guru dapat mendorong perkembangan
bahasa anak dengan memberikan berbagi kosakata baru yang memiliki makna.

Basis Pendidikan Anak Usia Dini


Terdapat 3 basis pendidikan anak usia dini, yaitu :
1. Berbasis pada keholistikan dan keterpaduan
Pengembangan anak usia dini mempunyai arah pada pengembangan segenap aspek pertumbuhan
dan perkembangan jasmani dan rohani anak. Pelaksanaannya terintegrasi dalam suatu kesatuan
program yang utuh dan proporsional. Dalam hal ini, diharapkan adanya keselarasan antara
pendidikan yang dilakukan di berbagai unit pendidikan, yaitu antara keluarga dengan sekolah
dan masyarakat.
2. Berbasis pada multi disiplin ilmu dan budaya
Prinsip ini mengandung arti bahwa praktik pendidikan anak usia dini yang tepat perlu
dikembangkan berdasarkan temuan mutakhir dalam bidang keilmuwan yang relevan. Pendidikan
anak usia dini sendiri muncul karena dalam perkembangannya bersinggungan dengan ilmu lain
yang menjadi objek penelaahan yaitu pendidikan untuk anak usia 0-8 tahun sehingga muncul
ilmu baru yang bernama pendidikan anak usia dini.
3. Berbasis pada taraf perkembangan anak
Pendidikan anak usia dini dilaksanakan sesuai dengan karakteristik dan tingkat perkembangan
anak sehingga proses pendidikan bersifattidak terstruktur, informal, dan responsive terhadap
perbedaan individual anak serta melalui aktivitas belajar sambil bermain.
Kajian dalam bidang medis-neurologis, psikososiokultural dan pendidikan menyajikan
pandangan yang komprehensif, secara singkat pandangan tersebut adalah:
a. Anak usia dini lahir sampai usia enam tahun adalah sosok individu dan makhluk
sosiokultural yang sedang mengalami proses perkembangan yang sangat fundamental dengan
sejumlah potensi dan karakteristik tertentu.
b. Sebagai individu, anak usia dini adalah organisme dalam kesatuan jasmani dan rohani yang
utuh dengan segala struktur dan perangkat biologis dan psikologisnya sehingga menjadi sosok
yang unik.
c. Sebagai makhluk sosiokultural, mereka perlu tumbuh dan berkembang dalam setting sosial
tempat mereka hidup, serta diasuh dan dididik sesuai nilai sosiokultural dan harapan masyarakat.
Oleh karena itu fungsi pendidikan anak usia dini sendiri adalah, sebagai berikut :
a. Mengembangkan segenap potensi anak
b. Penanaman nilai dan norma kehidupan
c. Pembentukan dan pembiasaan perilaku yang diharapkan
d. Pengembangan pengetahuan dan keterampilan dasar
e. Pengembangan motivasi dan sikap belajar yang positif
Diharapkan dengan fungsi tersebut dapat meminimalisir rendahnya sumber daya manusia, yang
berakar dari lemahnya penanganan masalah pendidikan terhadap generasi muda. Keberadaan
PAUD menjadi solusi yang tepat dalam mengatasi masalah tersebut.
F. Pendekatan dalam Pendidikan Anak Usia Dini
1. Berorientasi pada Kebutuhan Anak
Perkembanga zaman menuntut saat ini menuntut pembelajaran yang memberikan skill
(kemampuan) anak dari segi IPTEK dan menguasai lebih dari satu bahasa. Model ini
menekankan pada kebutuhan anak untuk mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan dan gizi
yang dikembangkan secara integratif dan holistik. Sebagai contoh, anak dengan kemampuan
diatas rata-rata dapat diberikan pengayaan, sedangkan anak dengan kemampuan dibawah rata-
rata diberikan bimbingan sesuai dengan kemampuan yang akan dicapai.
2. Berorientasi pada Perkembangan Anak
Jamaris (2006:19), perkembangan merupakan suatu proses yang bersifat kumulatif, artinya
perkembangan terdahulu akan menjadi dasar perkembangan selanjutnya. Oleh karena itu, jika
terdapat hambatan pada perkembangan sebelumnya, maka perkembangan selanjutnya cenderung
mengalami hambatan.
Masa usia dini menurut Montessori dalam Hainstock merupakan periode sensitif (sensitive
period), selama masa ini anak secara khusus mudah menerima stimulus dari lingkungan. Pada
masa ini lah, terjadi pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis sehingga anak siap merespon dan
mewujudkan tugas-tugas perkembangan yang diharapkan muncul pada pola perilaku sehari-hari.
Oleh karena itu anak perlu diberikan pendidikan sesuai dengan perkembangannya dengan cara
memperkaya lingkungan bermainnya.
Pada dasarnya terdapat dua pendekatan utama dalam PAUD yaitu: pendekatan perilaku dan
pendekatan perkembangan. Hainstock (1999:7) mengatakan bahwa pendekatan perilaku
beranggapan bahwa konsep pengetahuan, sikap ataupun keterampilan tidaklah berasal dari dalam
diri anak dan tidak berkembang secara spontan, dengan kata lain harus ditanamkan pada anak.
Kemudian pendekatan perkembangan mengatakan bahwa perkembanganlah yang memberikan
kerangka untuk memahami dan menghargai pertumbuhan alami anak usia dini. Wolfgang dan
Wolfgang (1992:6) menyatakan beberapa anggapan dalam pendekatan ini, yaitu:
1. Anak usia dini adalah pembelajar aktif yang secara terus menerus mendapat informasi
mengenai dunia lewat permainannya.
2. Setiap anak mengalami kemajuan melelui tahapan-tahapan perkembangan yang dapat
diperkirakan
3. Anak bergantung pada orang lain dalam hal pertumbuhan emosi dan kognitif melalui
interaksi sosial
4. Anak adalah individu yang unik, yang tumbuh dan berkembang dengan kecepatan yang
berbeda.
Berdasarkan hal tersebut diatas Wolfgang dan Wolfgang (1992:14) mengatakan bahwa maka
pendidik anak usia dini berkaitan dengan teori perkembangan antara lain:
1. Tanggap dalam proses yang terjadi dari dalam diri anak dan berusaha mengikuti arus
perkembangan anak yang individual
2. Mengkreasikan lingkungan dengan materi luas yang beragam dan alat-alat yang
memungkinkan anak belajar
3. Memperhatikan laju dan kecepatan belajar dari masing-masing anak
4. Adanya bimbingan dari guru agar anak tertantang untuk melakukan sendiri
Anak usia dini memiliki cirri-ciri seperti berikut:
· Anak belajar dengan sebaik-baiknya apabila kebutuhan fisiknya terpenuhi serta merasakan
aman dan tentram secara psikologis. Contoh: membiasakan anak sarapan sebelum memulai
aktivitas, agar anak bebas bermain tanpa ada tuntutan dari dalam dirinya.
· Siklus belajar anak berulang, dimulai dari membangun kesadaran, melakukan penjelajahan
(eksplorasi), memperoleh penemuan untuk selanjutnya anak dapat menggunakannya. Contoh:
ada saat dimana anak-anak sangat senang belajar, tetapi ada pula saatnya anak malas dan
mencari-cari perhatian orang dewasa.
· Anak belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa dan teman sebayanya.
· Minat anak dan keingintahuannya memotivasi belajarnya.
· Perkembangan dan belajar anak harus memperhatikan perbedaan individual. Contoh:
belajar konsep angka 1-5 sesuai dengan usia 3 tahun dengan menghitung bola, namun buat anak-
anak yang sudah lebih baik, dapat ditambahkan dengan angka 6-10.
· Anak belajar dari cara yang sederhana hingga ke yang rumit, dari konkret ke abstrak, dari
gerakan ke verbal, dan dari keakuan ke rasa sosial.
3. Anak Usia Dini Belajar melalui Bermain
Mengutip pernyataan Mayesty (1990:196-197) bagi seorang anak, bermain adalah kegiatan yang
mereka lakukan sepanjang hari karena bagi anak bermain adalah hidup dan hidup adalah
permainan. Anak-anak tidak membedakan antara bermain, belajar dan bekerja.
Menurut Parten dalam Mayesty (1990:61-62) memandang kegiatan bermain sebagai sarana
sosialisasi, diharapkan melalui bermain dapat memberikan kesepakatan anak bereksplorasi,
menemukan, mengekspresikan perasaan, berkreasi, dan belajar secara menyenangkan.
Bermain adalah dunia anak, melalui kegiatan bermain anak mengembangkan berbagai aspek
kecerdasan secara jamak. Bermian edukatif dapat membantu mengoptimalkannya. Dengan
bermain anak dapat mengenal siapa dirinya dan ligkungannya, dan tak kalah penting anak
dikenalkan kepada Tuhannya melalui makhluk ciptaannya.
4. PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan)
Pembelajaran yang aktif, dimaksudkan guru harus mampu membuat suasana sedemikian rupa
agar anak dapat aktif berinteraksi, bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan.
Pembelajaran kreatif, memiliki daya cipta, memiliki kemampuan untuk berkreasi (Silberman,
1996:9). Peran aktif anak akan menghasilkan pola pikir yang kreatif, artinya mereka mampu
menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain kreatif disini juga ditujukan
kepada bentuk pembelajaran yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan
anak.
Efektif, pembelajaran yang efektif adalah pembejalaran yang dapat menimbulkan daya kreatif
dari anak-anak, sehingga akan dapat membekali anak dengan berbagai kemampuan.
Pembelajaran efektif dapat dicapai dengan tindakan nyata (learning by doing).
Menyenangkan, suasana belajar harus menyenangkan sehingga anak dapat memusatkan
perhatian secara penuh untuk belajar. Kondisi menyenangkan, aman dan nyaman akan
mengaktifkan bagian neo-cortex (otak berpikir) dan mengoptimalkan proses belajar, serta
meningkatkan kepercayaan diri anak.
5. Pembelajaran Terpadu
Collin dan Hazel (1991:6-7) menyatakan bahwa pembelajaran terpadu merupakan suatu bentuk
pembelajaran yang memadukan berbagai peristiwa otentik (authentic events) melalui pemilihan
tema yang dapat mendorong rasa keingintahuan anak (driving force) untuk memecahkan masalah
melalui pendekatan eksploratif atau investigasi (inquiry approach).
Pada pembelajaran ini, saat melakukan suatu kegiatan, anak dapat mengembangkan beberapa
aspek pengembangan sekaligus. Sebagai contoh: ketika anak melakukan kegiatan makan,
kemampuan motorik halus anak dilatih untuk memegang sendok dan menyuap nasi, kemampuan
berbahasa dengan mengenal kosa kata tentang nama jenis sayuran dan peralatan makanan, dan
pendidikan moral dengan berdo’a sebelum makan.
Model pembelajaran terpadu beranjak dari tema yang menarik anak (center of interest), agar
anak mampu mengenal berbagai konsep secara mudah dan jelas sehingga pembelajaran semakin
bermakna dan membangkitkan minat anak.
6. Pengembangan Keterampilan Hidup
Maddaleno dan Infante (2001:5) mengidentifikasi tiga kategori kunci dalam life skill, yaitu:
1. Keterampilan sosial dan interpersonal
2. Keterampilan kognitif
3. Keterampilan meniru emosi
Metode pembelajaran life skill harus bervariatif, antara lain dengan metode bernyanyi, bercerita,
bermain peran, demonstrasi dan penugasan. Tujuan pembelajaran ini adalah mempersiapkan
anak baik secara akademik, sosial, dan emosional dalam menghadapi kesulitan dimasa yang akan
datang.
Sudiana (2004:3) mendefenisikan keterampilan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang
untuk berani menghadapi problematika hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa
tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi hingga akhirnya
mampu mengatasinya. Keterampilan atau kecakapan hidup perlu dipelajari sejak dini, agar nanti
anak dapat bertahan dalam kehidupannya kelak, untuk bertahan hidup seorang manusia harus
memiliki pengetahuan diri (self knowledge).
G. Prinsip Pembelajaran Anak Usia Dini
1. Anak Sebagai Pembelajar Aktif
Pendidikan hendaknya mengusahakan agar anak menjadi pembelajar aktif. Pendidikan seperti ini
bertumpu pada metode pembelajaran John Dewey (learning by doing) dan dilanjutkan oleh
Killpatrik dengan pengajaran proyek.
Proyek pada dasarnya merencanakan suatu pemecahan masalah pada berbagai bidang studi
(pengembangan) yang memungkinkan murid melakukan berbagai bentuk kegiatan mempelajari,
menyimpulkan, dan menyampaikan berbagai temuan yang dilakukan anak-anak dalam
memahami berbagai pengetahuan.
Montessori dalam Seldin (2004:5) menganggap bahwa anak tidak perlu dilatih terus menerus
menulis suatu kata, karena sambil bermain aktif membuat huruf dan mengarsir huruf itu, suatu
saat anak tiba-tiba mengetahui bahwa dia dapat menulis, ini disebut sebagai eksplorasi menulis.
Metode yang diberikan berupa pemecahan masalah dan penyampaian penemuan mereka.
Sebagai contoh: anak membuat kerajinan tangan sesuai dengan inspirasi (daya khayal) mereka
sendiri, anak mengarang dan membuat puisi sendiri, mengamati suatu tanaman dan mencari tahu
apa nama tanamannya, dll.
2. Anak Belajar Melalui Sensori dan Panca Indera
Menurut pandangan dasar Montessori meyakini bahwa panca indera adalah pintu gerbang
masuknya berbagai pengetahuan ke dalam otak manusia (anak), karena perannya yang sangat
strategis maka seluruh panca indera harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai
dengan fungsinya.
Dalam konsep ini, anak mengeksploitasikan seluruh inderanya, mengamati dan memahami
segala hal dengan inderanya lalu dapat menyebutkan fungsi dari masing-masing panca indera.
Misalnya anak melakukan eksperimen tentang aneka rasa (kopi: pahit, gula: manis, garam: asin,
sambal: pedas, dll).
3. Anak Membangun Pengetahuan Sendiri
Pestalozzi dalam Soejono (1988:32), pendidikan pada hakikatnya usaha pertolongan (bantuan)
pada anak agar mampu menolong dirinya sendiri yang dikenal dengan “Hilfe Zur Selfbsthilfe” ;
Pestalozzi berpandangan, pengamatan seorang anak pada sesuatu akan menimbulkan pengertian,
bahkan pengertian tanpa pengamatan merupakan suatu pengertian kosong.
Pada konsep ini anak dibiarkan belajar melalu pengalaman dan pengetahuan yang mereka
pelajari sejak lahir. Anak diberikan fasilitas yang dapat menunjang untuk membangun
pengetahuan mereka sendiri:
· Anak diajak untuk berpikir, percaya diri dan kreatif dalam mencari dan mendapatkan
pengetahuan yang mereka inginkan. Orang tua dan guru hanya lah fasilitator.
· Setiap anak diharapkan dapat menambah dan membangun pengetahuan mereka sendiri
melalui media cetak dengan studi literatur (kunjungan kepustaka), dan media elektronik baik
browsing internet maupun menonton VCD edukatif.
4. Anak Berpikir melalui Benda Konkrit
Anak harus diberikan pembelajaran dengan benda-benda yang nyata, agar anak tidak
menerawang dan bingung. Anak akan lebih dapat mengingat benda-benda yang dapat dilihat,
dipegang lebih membekas dan dapat diterima oleh otak dalam sensasi dan memori.
Menurut Lighart dalam Soejono (1988:75-76), langkah dalam pengajaran dengan barang
sesungguhnya:
1. Menentukan sesuatu yang menjadi pusat minat anak. Mis. Buah jeruk sebagai tema
pembahasan
2. Melakukan perjalanan sekolah. Mis. Melakukan field trip ke taman buah, untuk melihat
tanaman jeruk
3. Pembahasan hasil pengamatan. Mis. Buah jeruk dipetik untuk dijual atau dibuat minuman
4. Menceritakan lingkungan yang diamati. Mis. Mengamati kegiatan petani jeruk.
5. Kegiatan ekspresi. Mis. Kegiatan ekspresi digambarkan pada bagan jaring laba-laba.
5. Anak Belajar dari Lingkungan
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengoptimalkan potensi anak sehingga
anak mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Disini jelas bahwa tujuan dari pendidikan
adalah kemampuan anak melakukan adaptasi dengan lingkungan dalam arti yang luas, guna
mendekatkan anak dengan lingkungannya.
Out bound learning merupakan salah satu model pembelajaran dimana hamper 90 % kegiatan
dilakukan dengan berinteraksi dengan alam tanpa ada kekangan. Dalam kegiatan ini anak
diajarkan membangun ikatan emosional diantara individu (anak), dengan menciptakan
kesenangan belajar, menjalin hubungan dan memengaruhi memori dan ingatan yang cukup lama
akan bahan yang akan di pelajari.
3 aspek penting dari alam menurut Vaquette (1983:67), yaitu:
· Alam merupakan ruang lingkup untuk menemukan kembali jati diri secara kolektif dan
menyusun kembali kehidupan sosial.
· Alam merupakan ruang lingkup yang dapat dieksplorasi.
· Peranan pendidik di lokasi kegiatan.
H. Asas Pembelajaran Anak Usia Dini
Asas Perbedaan Individu
Setiap anak itu unik, berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sehingga metode
pembelajaran memperhatikan perbedaan individu, misalnya: perbedaan latar belakang keluarga,
perbedaan kemampuan, perbedaan minat, gaya belajar, dan lain-lain agar anak dapat mencapai
hasil belajar secara optimal.
Asas Kekonkretan
Melalui interaksi dengan benda-benda nyata dan pengalaman konkret, pembelajaran
perlu menggunakan berbagai media dan sumber belajar, agar apa yang dipelajari anak menjadi
lebih bermakna, misalnya, menggunakan gambar binatang, atau membawa binatang hidup ke
dalam kelas, menggunakan audio visual, dll.
Asas Apersepsi
Kegiatan mental anak dalam mengolah hasil belajar dipengaruhi oleh pengetahuan dan
pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Oleh sebab itu dalam pembelajaran, pendidik
hendaknya memperhatikan pengetahuan dan pengalaman awal agar anak dapat mencapai hasil
belajar yang optimal.
Asas Motivasi
Belajar akan optimal jika anak memiliki motivasi untuk belajar. Oleh karena itu
pembelajaran dirancang sedemikian rupa sesuai dengan minat, kebutuhan, dan kemauan anak.
Misalnya mengapresiasi anak yang berprestasi dengan pujian dan hadiah, memajang setiap karya
dari mereka di kelas, lomba antar kelompok yang membangkitkan semangat, melibatkan anak
dalam berbagai perlombaan, dan melakukan pekan unjuk kemampuan anak.
Asas Kemandirian
Kemandirian adalah upaya yang dilakukan untuk melatih anak dalam memecahkan
masalah dengan mandiri. Pembelajaran yang baik dirancang untuk mewujudkan kemandirian
anak, misalnya bagaimana cara makan yang baik, mengikat tali sepatu, bagaimana memakai
baju, menggosok gigi, buang air kecil dan buang air besar, merapikan mainan setelah dipakai,
dan lain-lain.
Asas Keterpaduan
Keterkaitan antara aspek pengembangan diri anak antara satu dengan yang saling saling
mendukung perkembangan anak. Sehingga pembalajaran anak usia dini harus dilaksanakan
secara terpadu guna meningkatkan potensi diri mereka. Misalnya, perkembangan bahasa
berkaitan dengan perkembangan kognitif mereka, perkembangan kognitif berkaitan dengan
perkembangan diri, dan lain-lain.
Asas Kerja Sama (Kooperatif)
Bekerja sama akan meningkatkan keterampilan sosial anak dengan optimal. Oleh karena
itu praktek berkerja sama harus ditanamkan dalam PAUD untuk memupuk keterampilan sosial
dengan baik, misalnya bertanggung jawab terhadap kelompok, menghargai pendapat teman, aktif
dalam kelompok, membantu anak-anak yang lain, dan lain-lain.
Asas Belajar Sepanjang Hayat
Pembelajaran tidak hanya berlangsung pada usia dini, tapi berlangsung sepanjang hidup.
Sehingga PAUD harus dapat mengupayakan pembekalan pada anak, agar anak dapat belajar
disepanjang rentang kehidupan mereka dan mendorong anak untuk selalu ingin belajar
dimanapun dan kapanpun.

Sumber: - Sujiono,Yuliani. 2011. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta : PT. Indeks.
- Patmonodewo, Soemiarti. 2000. Pendidikan Anak Pra sekolah. Jakarta : PT. Rineka
Cipta.
https://12104mafp.blogspot.com/2013/12/teori-perkembangan-anak-usia-dini.html
B. Aspek Aspek Kemu’jizatan Al Qur’an
C. Tuduhan Sekitar Kemu’jizatan Al Qur’an dan Bantahannya

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

https://drhasto.blogspot.com/2011/04/tahapan-perkembangan-anak-erikson-freud.html

diakses jam 10.58 hari senin 16-9-2019

http://www.hilo-school.com/parenting/tahap-tahap-perkembangan-anak-usia-0-5-tahun/

11:19 senin 16/09/2019

https://seputarduniaanak.blogspot.com/2009/11/tahap-tahap-pertumbuhan-dan.html

11 25

https://dosenpsikologi.com/perkembangan-kognitif-anak-usia-dini

11:33

https://www.kajianpustaka.com/2013/06/tahapan-perkembangan-bahasa-anak.html

11:35

https://dosenpsikologi.com/tahap-perkembangan-emosi-anak

11:38

https://12104mafp.blogspot.com/2013/12/teori-perkembangan-anak-usia-dini.html

11: 42

Teori-teori Psikologi Perkembangan

Dalam memahami perkembangan manusia, teori mempunyai peranan yang sangat penting. Teori
dapat membantu kita memahami gejala-gejala dan membuat ramalan tentang bagaimana kita
berkembang serta bagaimana kita berperilaku. Dalam pembahasan tentang perkembangan manusia,
terdapat banyak teori, mulai dari sederhana dan sistematis sampai pada yang rumit. Berikut akan
dibahas tentang teori-teori perkembangan, diantaranya psikodinamis, kognitif, teori kontekstual, serta
teori behavior dan belajar social.

1. Teori Psikodinamik

Teori psikodinamik adalah teori yang menjelaskan tentang perkembangan kepribadian. Unsur-
unsurnya adalah aspek-aspek internal manusia seperti emosi, motivasi, dan aspek internal lainnya.
Asumsi teori ini adalah adalah kepribadian berkembang ketika terjadi konflik-konflik dari aspek-
aspek psikologi, yang umumnya terjadi sejak masa bayi. Pada masing-masing tahap, individu
mengalami konflik internal yang harus diselesaikan sebelum memasuki tahap berikutnya. Teori ini
banyak dipengaruhi oleh Sigmud Freud dan Erick Erikson.

Freud berfokus pada masalah alam bawah sadar, sebagai salah satu aspek kepribadian manusia.
Freud menyebutkan bahwa kepribadian manusia memiliki tiga struktur penting, yaitu id, ego, dan
superego. Id berisi segala sesuatu yang secara psikologis telah ada sejak manusia lahir, termasuk
insting-insting. Id merupakan tempat berkumpulnya energi psikis dan menyediakan seluruh daya
untuk menggerakkan kedua struktur kepribadian lainnya. Ego adalah struktur kepribadian yang
berkaitan dengan realita dan membuat keputusan-keputusan rasional. Sedangkan superego adalah
memutuskan apakah sesuatu itu benar atau salah, sehingga ia dapat bertindak sesuai dengan norma-
norma moral yang diakui masyarakat. Kemudian tiga komponen kepribadian ini berkembang melahui
tahap-tahap perkembangan psikoseksual dan setiap tahap perkembangan tersebut individu mengalami
kenikamatan pada satu bagian tubuh lebid daripada bagian tubuh lainnya.

Erick Erikson adalah salah satu seorang teoritis ternama dalam bidang perkembangan rentang
kehidupan.salah satu sumbangannya yang terbesar dalam psikologi perkembangan adalah psikososial.
Istilah “psikososial” berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai mati dibentuk
oleh pengaruh-pengaruh social yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara
fisik dan psikologis (Hall & Lidzye, 1993). Masing-masing tahap tahap memiliki tugas perkembangan
yang khas, dan mengharuskan individu menghadapi dan menyelesaikan krisis. Untuk setiap krisis,
selalu ada pemecahan yang positif dan negative, pemecahan yang positif akan menghasilkan
kesehatan jiwa, sedangkan pemecahan yang negative akan membentuk penyesuaian yang buruk

2. Teori Kognitif

Teori kognitif didasarkan pada asumsi bahwa kemampuan kogntif merupakan sesuatu yang
fundamental dan yang membimbing tingkah laku individu. Teori kogntif menekankan pada pikiran-
pikiran sadar. Saat ini sering dibahas dua teori tentang perkembangan, yaitu teori perkembangan
kognitif Piaget dan teori pemrosesan informasi.

Piaget menyebutkan bahwa pemikiran anak-anak berkembang menurut tahap-tahap atau periode-
periode yang terus bertambah kompleks.

Teori pemrosesan informasi (information processing theory) menekankan pentingnya proses-proses


kognitif dengan tiga asumsi, yaitu (1) pikiran dipandang sebagai suatu system penyimpanan atau
pengembalian informasi, (2) individu-individu memproses informasi dari lingkungan, (3) terdapat
keterbatasan pada kapasitas untuk memproses informasi dari seorang individu )Zigler & Stevenson,
1993). Berdasarkan asumsi tersebut, dapat dipahami bahwa teori pemrosesan informasi lebih
menekankan pada bagaimana individu memproses informasi tentang dunia mereka, bagaimana
informasi masuk kedalam pikiran, bagaimana informasi disimpan dan disebarkan, dan bagaimana
informasi diambil kembali untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas yang kompleks, seperti
memecahkan masalah dan berpikir.

Model kognisi dari teori pemrosesan informasi, diadaptasi dari Seifer & Haffnung, 1994)

3. Teori Kontekstual

Teori kontekstual memandang perkembangan sebagai proses yang terbentuk dari transaksi timbale
balik antara anak dan konteks perkembangan system fisik, sosial, kutural, dan histories dimana
interaksi tersebut terjadi. Ada dua teori kontekstual, yaitu teori etologis dan teori ekologis.
Pendekatan etologi difokuskan pada asal usul evolusi dari tingkah laku dan menekankan tingkah
laku yang terjadi dalam lingkungan alamiah. Teori etologi mengenai perkembangan menekankan
bahwa perilaku sangat dipengaruhi oleh biologi, terkait dengan evolusi, dan ditandai oleh periode-
periode krisis atau sensitive (Santrok, 1998).

Berbeda dengan teori etologis, teori ekologis memberikan penekanan pada system lingkungan.
Tokoh utama teori ekologi adalh Urie Brofenbrenner. Pendekatan ekologi terhadap perkembangan
mengajukan bahwa konteks dimana berlangsung perkembangan individu, baik kognitifnya,
sosioemosional, kapasitas dan karakteristik motivasional, maupun partisipasi aktifnya merupakan
unsur-unsur penting bagi perkembangan (Seifert & Hoffnung, 1994). Brofenbrenner menggambarkan
empat kondisi lingkungan dimana perkembangan terjadi, yaitu mikrosistem, mesositem, ekositem,
dan makrosistem.

a. Mikrosistem

Menunjukkan situasi dimana individu hidup dan saling berhubungan dengan orang lain. Kontek
ini meliputi keluarga, teman, sebaya, sekolah, dan lingkungan sosial lainnya. Dalam mikrosistem
inilah terjadi interaksi yang paling langsung dengan agen-agen social.

b. Mesositem

Menunjukkan hubungan antara dua atau lebih mikrositem atau hubungan beberapa konteks.
Misalnya hubungan antara rumah dan sekolah.

c. Ekositem

Terdiri dari setting social dimana individu tidak berpartisipasi aktif, tetapi keputusan penting
yang diambil memiliki dampak terhadap orang-orang yang berhubungan langsung dengannya.
Misalnya tempat orang tua bekerja, dewan sekolah, pemerintah lokal.

D. Makrosistem

Meliputi cetak biru pembentukan social dan kebudayaan untuk menjelaskan dan
mengoragnisir institusi kehidupan. Makrosistem direfleksikan dalam pola lingkan mikrosistem,
mesositem, dan ekosistem yang dicirikan dari sebuah subkultur, kultur, atau konteks sosial lainnya
yang lebih luas. Misalnya system kepercayaan bersama tentang umat manusia.

4. Teori Behavior dan Belajar Sosial

Teori behavior (teori tingkahlaku) mula-mula dikembangkan oleh J.B.Watson (1878-1958),


asumsinya adalah perilaku dapat diamati, dipelajari melalui pengalaman dan lingkungan. Berikut ada
tiga versi tentang pembentukan perilaku, yaitu Pavlov dengan kondisioning klasik, Skinner dengan
kondisoning operan, dan Bandura dengan teori belajar sosial.

Posted by Unknown at 11:54 PM

Email This

BlogThis!

Share to Twitter
Share to Facebook

Share to Pinterest

Anda mungkin juga menyukai