Anda di halaman 1dari 61

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA

DENGAN KECERDASAN
EMOSIONAL ANAK PADA USIA 11-12 TAHUN DI
MTS PUI BANJARAN

PROPOSAL SKRIPSI

DE.PIPING HERDIANA
NIM.17142011008

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)
YPIB MAJALENGKA
2021
HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL
ANAK USIA 11-12 TAHUN DI MTS PUI BANJARAN

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Pendidikan


Program Sarjana Keperawatan

Oleh :
DE. PIPING HERDIANA NIM 17142011008

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) YPIB
MAJALENGKA

2021

i
LEMBAR PERSETUJUAN

HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA DENGAN

KECERDESAN EMOSIONAL ANAK USIA 11-12 TAHUN

DI MTS PUI BANJARAN

Skripsi ini telah di setujui untuk di pertahankan di hadapan tim penguji Skripsi Program S1
Keperawatan STIKes YPIB Majalengka.

Majalengka,08 Juni 2021

Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Arni Wianti, Skep., Ners.,M.Kep


Hera Hijriani, Skep., M.Kep

ii
LEMBAR PENGESAHAN

HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA DENGAN

KECERDESAN EMOSIONAL ANAK USIA 11-12 TAHUN

DI MTS PUI BANJARAN

Skripsi ini telah diperiksa dan disahkan di hadapan tim penguji Skripsi Program S1
Keperawatan STIKes YPIB Majalengka.

Majalengka,08 Juni 2021

Mengesahkan,

Ketua Penguji Anggota Penguji Anggota Penguji

Mengetahui,
Ketua Program Studi S1 Keperawatan STIKes
YPIB Majalengka

Hera Hijriani, S.Kep.,Ners.,M.Kep

iii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat-

Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian dengan judul “Hubungan Pola Asuh Orangtua

Terhadap Kecerdasan Emosional Anak Usia 11-12 Tahun Di MTS PUI Banjaran” sebagai persyaratan

untuk memperoleh gelar Sarjana Keperawatan program Studi S1 keperawatan STIKes YPIB Majalengka.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari doa dan dukungan dari orang tua Ibundaku tercinta Imas Sri

Nurhikmah dan Ayahanda tersayang Eye Sunarya yang telah memberikan motivasi, nasehat dan harapan

serta memfasilitasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini

tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan hati yang

tulus dan ikhlas penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Jejen Nurbayan, S.SOS, selaku Ketua Yayasan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan YPIB Majalengka.

2. H. Dr.Wawan Kurniawan, SKM.,S.Kep.,Ners.,M.Kes, selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

YPIB Majalengka.

3. Hera Hijriani, S.Kep., Ners., M.Kep selaku Ketua Prodi S1 Keperawatani dan selaku Dosen

Pembimbing pendamping yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan sehingga skripsi ini

dapat diselesaikan.

4. Muh. Iis Hernawati, S.Ag selaku Kepala MTS PUI Banjaran

5. Arni Wianti,S.Kep., Ners., M.Kes selaku pembimbing utama yang telah memberikan bimbingan,

arahan serta motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. selaku penguji I yang telah memberikan masukan, saran maupun arahan pada penulis.

7. selaku penguji II yang telah memberikan saran dan kritik yang sangat membangun dalam

menyelesaikan skripsi.

8. Bapak dan Ibu Guru beserta para Staf Sekolah MTS PUI Banjaran yang telah memfasilitasi selama

dalam proses penelitian.

iv
9. Orangtua Siswa yang telah bersedia menjadi partisipan dalam melakukan penelitian ini

10. Seluruh Dosen S1 Keperawatan yang telah dengan sabar mendidik dan mengajarkan kami ilmu

keperawatan selama 4 tahun terakhir ini serta yang memberikan pengarahan yang tiada henti-hentinya

baik dorongan spiritual maupun material sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

11. Civitas Akademis STIKes YPIB Majalengka yang telah memberikan wadah bagi saya untuk menuntut

ilmu dan berkreativitas didalamnya.

12. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu per satu yang telah membantu dalam

penyusunan proposal penelitian ini. Mengingat keterbatasan pengetahuan, pengalaman, dan

kemampuan penulis dalam menulis, draft skripsi penelitian ini tidak luput dari kekurangan dan belum

sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca akan sangat

membantu. Terimakasih atas bantuan, nasehat dan dorongan dalam penyusunan proposal penelitian

ini. Semoga doa serta dorongan yang diberikan kepada penulis dengan tulus dan ikhlas mendapatkan

rahmat dan karunia dari Allah SWT, Aamiin.

Majalengka, 08 Juni 2021

Penulis

De.Piping Herdiana
NIM.17142011008

v
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL .......................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iii

KATA PENGANTAR .................................................................................... iv

DAFTAR ISI ................................................................................................... vi

DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii

DAFTAR DIAGRAM ..................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 6

1. Tujuan Umum . ..................................................................... 6

2. Tujuan Khusus ..................................................................... 6

D. Manfaat Penelitan ................................................................................ 7

1. Secara Teoritis ........................................................................ 7

2. Secara Praktis ......................................................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecerdasan Emosional ........................................................................ 9

1. Pengertian .............................................................................. 9

2. Komponen Kecerdasan Emosional ........................................ 10

3. Tanda Kecerdasan Emosional Rendah ................................... 11

4. Indkator Kecerdasan Emosional ........................................... 14

vi
5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional . 15

6. Alat Ukur Kecerdasan Emosional .......................................... 18

B. Konsep Anak

1. Tumbuh Kembang Anak Secara Umum ................................ 19

2. Karakteristik Perkembangan Anak Usia Sekolah .................. 20

3. Hubungan Pola Asuh Dengan Kecerdasan Emosional Anak 21

4. Pengaruh Keluarga, Sekolah, Dan Masyarakat Terhadap Tumbuh Kembang Anak 21

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Anak 22

C. Pola Asuh Orangtua

1. Pengertian ............................................................................... 25

2. Macam-Macam Pola Asuh .................................................... 26

3. Jenis-Jenis Pengasuhan ......................................................... 29

4. Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh ................................ 31

5. Skala Pengukuran Pola Asuh ................................................ 33

D. Kerangka Teori..................................................................................... 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka Konsep ………………………………………………36


B. Variabel Penelitian ………………………………………………37
C. Hipotesis Penelitian …………………………………………………37
D. Definisi Operasional …………………………………………………37
E. Jenis Penelitian ………………………………………………………41
F. Populasi Dan Sampel…………………………………………………41
G. Tempat Dan Waktu Penelitian ……………………………….………42
H. Instrumen Penelitian…………………………………………….……42
I. Teknik Pengambilan Data ……………………………………………44
J. Teknik Pengolahan Data ……………………………………..………44
K. Analisa Data ………………………………………………………….46
L. Etika Penelitian ………………………………………………………47

DAFTAR PUSTAKA

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi operasional hubungan antara pola asuh orangtua terhadap kecerdasan
emosional anak usia 11-12 tahun di MTS PUI Banjaran ........ 39

viii
DAFTAR DIAGRAM

Diagram 2.1 Kerangka Teori Faktor - faktor Yang Mempengaruhi kecerdasan emosional

........................................................................................................ 35

Diagram 3.1 kerangka konsep penelitian hubungan pola asuh orangtua dengan kecerdasan

emosional anak

........................................................................................................ 35

ix
x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lingkungan pertama dan yang paling utama ada di dalam keluarga, oleh karena itu

keluarga harus menyadari penuh akan hal tersebut. Orangtua memiliki peranan yang

sangat vital dan paling menentukan bagi anak. Dengan cara arahan serta bimbingan dari

orangtua akan menentukan perkembangan dan masa depan anak. Banyak faktor yang

bisa mempengaruhi terhadap perkembangan perilaku anak, salah satu nya adalah faktor

pola asuh orang tua atau gaya pola asuh orang tua. Pola asuh orangtua merupakan sikap

serta perilaku orangtua dalam mengasuh anak-anaknya. Meskipun pola ini akan

berubah dengan semakin besar anaknya atau meluasnya lingkungannya. Namun pola

intinya cenderung tetap, inilah sebabnya mengapa hubungan ayah dan ibu serta anggota

keluarga lainnya dalam pengasuhan merupakan sesuatu unsur yang penting dalam

kecerdasan emosional anak. (Kholifah, 2018).

Menurut (WHO) Word Health Organization melaporkan bahwa 5-25% anak-anak

usia sekolah mengalami gangguan perkembangan emosional dengan populasi anak

sebesar 23,979,000. Anak yang mengalami gangguan berupa kecemasan sekitar 9%,

mudah emosi 11-15%, serta gangguan perilaku 9-15% (WHO,2017).

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) nasional, prevelensi

perkembangan anak di Indonesia mencapai 88,3% dengan prevelensi perkembangan

sosial-emosional mencapai 69,9%, perkembangan fisik mencapai 97,8%, dan

perkembangan literasi mencapai 64,6%. Dari data tersebut perkembangan sosial-

1
2

emosional yang di alami anak usia sekolah cukup tinggi yakni, berada di urutan ke dua

setelah perkembangan fisik anak kemudian setelah itu baru di ikuti dengan

perkembangan literasi (Riskesdas, 2018).

Menurut badan PBB yang membawahi Pendidikan, sains, dan kebudayaan

(UNESCO) anak usia sekolah ada 260 juta di bumi, penelitian ini di dapat setelah

Institut Statistik UNESCO, berkolaborasi dengan pengawas pendidikan Global (GEM

Report) mengambil sampel dari 128 negara dalam kurun 2010-2015. Data itu diambil

sebagai bahan dari program UNESCO berjudul pembangunan berkelanjutan 2030. Dari

260 juta anak usia sekolah 61 juta diantaranya berada pada usia awal bersekolah (SD)

6-11 tahun. Kemudian 60 juta anak di umur sekolah menengah pertama (SMP) 12-14

tahun. Sisanya 142 juta berada dalam sekolah menengah atas atau lanjutan (SMA) 15-

17 tahun. (Ardi Priyatno Utomo,2017).

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia jumlah anak usia sekolah

berdasarkan jenjang pendidikan nya, untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) sebanyak 25,49

juta jiwa atau sebesar 56,26% dari total peserta didik yang mencapai 45,3 juta jiwa.

Adapun peserta didik sekolah menengah pertama (SMP) mencapai 10,13 juta jiwa

(22,35%). Sedangkan peserta didik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) mencapai

4,78 juta jiwa (10,56%) dan untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 4,9

juta jiwa (10,83%). (BPS Indonesia 2018).

Menurut Kemendikbud jumlah anak usia sekolah di jawabarat untuk persentase

berdasarkan jenjang SD sebanyak 37,36%, SMP adalah 24,17%, SMA adalah 16,88%

dan anak usia sekoah jenjang SMK sebanyak 20,36%. (Kemendikbud, 2020).
3

Adapun jumlah anak usia sekolah di majalengka berdasarkan umur 0-4 tahun

89,762 jiwa 5-9 tahun 107,397 jiwa 10-14 tahun 103,1 jiwa. (BPS Majalengka, 2019).

Keluarga merupakan salah satu pokok dari entitas-entitas Pendidikan, menciptakan

proses-proses secara natural di lingkungan, pembentukan kepribadian, serta

memberikan kebiasaan yang baik pada anak yang akan terus terus bertahan

selamanya.dengan kata lain keluarga adalah awal mulanya penyusunan yang matang

dalam diri seseorang dan struktur kepribadian. Keluarga merupakan unit terkecil dan

unitt pertama dalam kehidupan manusia di lingkup masyarakat sosial. Terbentuknya

seseorang serta proses sosial yaitu dari dalam keluarga. (Triyono, 2019).

Lembaga pendidikan pertama yaitu keluarga yang merupakan pengalaman pertama

bagi anak-anak, pendidikan di lingkungan keluarga dapat menjamin kehidupan

emosional anak untuk tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga akan tumbuh

sikap tolong menolong, tenggang rasa sehingga tumbuhlah kehidupan keluarga yang

damai dan sejahtera, keluarga berperan dalam meletakkan dasar pendidikan agama dan

sosial (Yenti Juniarti, 2018).

Kecerdasan emosional merupakan suatu elemen penting yang sangat di butuhkan

oleh seseorang terkhusus pada masa pubertas. Para remaja yang mempunyai kecerdasan

emosional tinggi serta berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang

sering di hadapi di masa pubertas, seperti kenalakan, narkoba, miras, dan perilaku seks

bebas. Sehingga adanya kecerdasan emosional, seseorang lebih mudah mengendalikan

diri dan dorongan-dorongan dalam seseorang tersebut dalam melakukan suatu tindakan

(Lisa Sagita ZulFadilah, 2018).


4

Pembentukan kecerdasan emosional pada anak tersusun atas 2 faktor, yaitu: faktor

dalam dan faktor luar. Faktor dalam (internal) yaitu jasmani dan psikologi anak, dan

faktor luar (eksternal) yaitu stimulus dan lingkungan, termasuk di dalam nya ialah

pengasuh orangtua, pola asuh memiliki pengaruh kuat pada perkembangan emosi anak.

Pola asuh terbukti memiliki pengaruh terhadap kendali diri anak, empati, dan dapat

memahami peraasaan, mengontol amarah, kemandirian, kemampuan beradaptasi,

kemampuan dalam penyelesaian masalah, diantara seseorang, ketekunan, memiliki rasa

setia kawan, ramah tamah, serta sikap menghormati. (Siti Mar’ati Soliha, 2020).

Pola asuh sendiri adalah suatu cara terbaik yang di gunakan oleh orangtua untuk

mendidik anak dan memberikan dorongan melalui tingkah laku maupun sikap kepada

anak agar anak dapat mandiri, berkembang secara optimal, berprestasi, mempunyai rasa

percaya diri dan berorientasi untuk sukses. Pola asuh orangtua adalah pola perilaku

orang tua yang di gunakan untuk berhubungan dengan anak-anaknya. Berdasarkan

pendekatan tipologi menyebutkan empat gaya pola asuh orangtua yakni, otoriter,

permisif, otoritatif, dan tidak peduli kepribadian perilaku remaja. Pola asuh orang tua

merupakan perlakuan orang tua yang di terapkan pada anaknya untuk membentuk

karakter anak dalam mencapai masa kedewasaanya. (Zulfiana Qodrun Nadzah, 2019).

Pola asuh orangtua adalah suatu keseluruhan interaksi orangtua dan anak, dimana

orangtua yang dapat memberikan dorongan untuk anak-anak dengan mengubah tingkah

laku, pengetahuan serta nilai-nilai dianggap paling tepat bagi orangtua agar anak bisa

mandiri, tumbuh dan berkembang, secara sehat serta optimal, memiliki rasa percaya
5

diri, memiliki sifat rasa ingin tahu, bersahabat, serta berorientasi untuk sukses. (Popy

Puspita Sari Dkk, 2020).

Pola asuh orangtua tentunya sangat besar pengaruhnya bagi anak anak. Pola asuh

otoriter, demokratik, ataupun permisif memberikan dampak yang berbeda bagi anak.

Kegagalan pola asuh orangtua seringkali menjadi faktor penyebab terjadinya gangguan

terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak. Ketetapan dan kesalahan orang

tua dalam menerapkan pola asuh memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap

emosional anak serta mengakibatkan anak bertindak seenak hati, tidak mampu

mengendalikan diri, pola hidup bebas bahkan nyaris tanpa aturan, dan akibat buruk

lainnya. (Lisa Sagita Zulfadilah, 2018). Hal ini seseuai dengan penelitian Rosyidah

(2017) yang menunjukan bahwa kecerdasan emosional di pengaruhi oleh pola asuh

orang tua yang otoriter (75%) dan permisif (66,7%), sedangkan orangtua yang memiliki

pola asuh demokratis menghasilkan lebih rendah di banding yang lain (32,1%).

Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan oleh Tenadidjaja, dkk (2020)

menunjukan hasil bahwa terdapat kolerasi yang positif serta signifikan pola asuh

orangtua kristiani dengan kecerdasan emosional siswa.

Dalam penelitian yang di lakukan oleh Sharely Nursy Siringoringo. Skep. M.Kep,

(2018), dalam jurnal kesehatan surya nusantara. Vol 6 dengan judul “Hubungan Pola

Asuh Orangtua Terhadap Emosi Siswa” mengemukakan dari ketiga pola asuh yang di

terapkan yaitu otoriter, demokratis, dan permisif. Yang paling dominan dalam

mempengaruhi kecerdasan adalah pola asuh otoriter yaitu 63,13% yang artinya
6

sebagian besar orangtua siswa menerapkan pola asuh dan gambaran kecerdasan

emosional adalah 68,20%.

Berdasarkan dari studi pendahuluan dan fenomena-fenomena yang terjadi di MTS

PUI Banjaran penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam

rangka mengungkap adakah hubungan pola asuh orangtua dengan kecerdasan

emosional anak usia 11-12 tahun dan pola asuh apa yang paling baik untuk kecerdasan

emosional anak. Adapun judul penelitian yang di ajukan peneliti: “HUBUNGAN

POLA ASUH ORANGTUA DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK USIA

11-12 DI MTS PUI BANJARAN”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah apakah ada hubungan pola asuh orangtua dengan kecerdasan emosional anak

usia 11-12 tahun di MTS PUI Banjaran?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian dan penulisan sripsi ini adalah untuk mengetahui hubungan

pola asuh orangtua dengan kecerdasan emosional anak usia 11-12 tahun di MTS PUI

Banjaran.

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pola asuh orangtua anak usia 11-12 tahun di MTS PUI Banjaran.

b. Mengetahui kecerdasan emosional anak usia 11-12 tahun di MTS PUI Banjaran.
7

c. Untuk mengetahui apakah ada hubungan pola asuh orangtua terhadap kecerdasan

emosional anak usia 11-12 tahun di MTS PUI Banjaran.

D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Bisa di gunakan sebagai sumber informasi pada hubungan pola asuh orangtua

dengan kecerdasan emosional anak usia 11-12 tahun, agar orangtua mampu

memberikan pola asuh yang tepat.

2. Secara Praktis
a. Bagi orang tua

Menambah wawasan dan pengetahuan orang tua terhadap pola asuh dan

kecerdasan emosional anak usia 11-12 tahun serta membantu orang tua untuk

menguasai dan memahami macam-macam pola asuh sehingga dapat mengaplikasikan

kepada anaknya.

b. Bagi Guru

Menambah wawasan dan pengetahuan guru terhadap pola asuh dan kecerdasan

emosional anak usia 11-12 tahun, dan juga dapat meningkatkan keprofesionalismean

guru dalam pengelolaan proses pembelajaran, serta dapat mendorong dan membimbing

siswa untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran.

c. Bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan wawasan peneliti

mengenai pola asuh orangtua terhadap kecerdasan emosional anak, sehingga dapat

diaplikasikan peneliti saat menjadi orang tua ataupun pengajar kelak.


8

d. Bagi Lembaga Pendidikan

Dari penelitian ini diharapkan Lembaga Pendidikan dapat meningkatkan kualitas

sekolah, menambah referensi berupa hasil penelitian, dan meningkatkan prestasi

akademik siswa yang mana akan berpengaruh, serta mendapatkan informasi tentang

pola asuh orangtua terhadap kecerdasan emosional anak usia 11-12 tahun, Serta dapat

menjadi informasi tambahan dan literatur review untuk pengembangan ilmu

keperawatan khususnya keperawatan keluarga.

e. Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini di harapkan mampu memberikan kontribusi bagi praktek

keperawatan jiwa dan komunitas dalam memberikan intervensi psikososial untuk

meningkatkan dukungan keluarga dan kecerdasan emosional anak usia 11-12 tahun dan

dapat di jadikan data tambahan bagi peneliti berikutnya yang berfokus pada hubungan

pola asuh orangtua terhadap kecerdasan emosional anak usia 11-12 tahun.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian

Kecerdasan emosional adalah bagian dari kecerdasan sosial yang mencakup

kemampuan untuk mengatur perasaan-perasaan dan emosi-emosi diri sendiri serta

orang lain, membedakan antara keduanya, dan menggunakan informasi untuk

memandu pikiran dan tindakan oleh seseorang. Kecerdasan emosional menunjukan

kepada kemampuan untuk mengenali maksud dari emosi dan hubungannya,

mempertimbangkan, dan memecahkan masalah yang menjadi dasar emosi serta

hubungannya, mempertimbangkan, dan memecahkan masalah yang menjadi dasar

emosi tersebut. Kecerdasan emosi meliputi kapasitas untuk memahami emosi-emosi,

menyesuaikan emosi, menghubungkan perasaan-perasaan, mengerti

keterangan/informasi dari emosi dan mengelolanya. (Lisa Sagita Zulfadillah, 2018).

Kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan

kecakapan non kognitif yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil

mengatasi tuntunan dan tekanan lingkungan. Selanjutnya, j.stein dan howard e.book

menjelaskan pendapat peter Salovey dan john mayer, pencipta istilah kecerdasan

emosional, bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali

perasaan, meraih, dan membangkitkan perasaan secara mendalam sehingga membantu

perkembangan emosi dan intelektual.(Husna Juwita Sani, 2019).

Perkembangan emosional yaitu kemampuan untuk mengendalikan, mengolah, dan

mengontrol emosi agar mampu merespon secara positif setiap kondisi yang merangsang

munculnya emosi, kecerdasan emosional meliputi mengidentifikasi dan memberi nama

perasaan-perasaan, mengungkapkan perasaan, menilai intensitas perasaan, mengelola

9
10

perasaan, menunda pemuasan, mengendalikan dorongan hati, mengurangi stress, dan

mengetahui perbedaan, antara perasaan dan tindakan perkembangan sosial

emosional.(Sumardi, Dkk, 2020).

2. Komponen Kecerdasan Emosional

Menurut Ani Mardatila (2020) beberapa komponen kecerdasan emosional sebagai

berikut:

a. Kesadaran Diri

Kesadaran diri, atau kemampuan untuk mengenali serta memahami emosi adalah

bagian penting dari kecerdasan emosional. Namun, selain mengenali kecerdasan emosi

juga harus sadar akan efek tindakan, suasana hati, dan emosi terhadap orang lain.

b. Regulasi Diri

Selain menyadari emosi sendiri serta dampak yang di miliki terhadap orang lain,

kecerdasan emosional mengharuskan untuk dapat mengatur dan mengatur emosi.

Pribadi yang terampil dalam pengaturan diri cenderung fleksibel serta beradaptasi

dengan baik terhadap perubahan. Pribadi juga pandai mengelola konflik dan meredakan

situasi tegang atau sulit. Goleman juga menyarankan bahwa yang memiliki

keterampilan mengatur diri sendiri tinggi memiliki kesadaran tinggi. Pribadi bagaimana

mereka mempengaruhi orang lain serta bertanggung jawab atas tindakannya sendiri.

c. Keterampilan Sosial

Mampu berinteraksi sangat baik dengan orang lain adalah aspek penting dalam

kecerdasan emosional. Pemahaman emosional sejati melibatkan lebih dari sekedar


11

memahami emosi pribadi sendiri dan emosi orang lain, pribadi juga harus dapat

membuat informasi berfungsi dalam interaksi dan komunikasi harian.

d. Empati

Empati atau kemampuan untuk memahami perasaan orang lain, sangat besar

pengaruhnya terhadap kecerdasan emosional. Tapi itu melibatkan dari sekedar

kemampuan mengenali keadaan emosional oranglain.berdasarkan informasi yang di

dapat, ketika anda merasakan bahwa seseorang merasa sedih, harus bisa

memperlakukan dengan perhatian dan keperdulian ekstra, atau pribadi berusaha

menguatkan semangat mereka.

e. Motivasi

Motivasi juga memainkan peran kunci dalam kecerdasan emosional termotivasi

oleh hal-hal di luar penghargaan eksternal seperti ketenaran, uang, pengakuan, dan

pujian. Pribadi yang kompeten di bidang ini cenderung berorientasi pada tindakan.

Mereka menetapkan tujuan, memiliki kebutuhan tinggi akan prestasi, dan selalu

mencari cara untuk melakukan yang lebih baik. Pribadi juga cenderung sangat

berkomitmen serta pandai mengambil inisiatif.

3. Tanda Kecerdasan Emosional Rendah

Kecerdasan emosional yang rendah mengacu pada ketidakmampuan untuk secara

akurat memahami emosi pada diri sendiri serta orang lain, kecerdasan emosional ini

banyak sekali mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam bertindak jauh

berbeda dengan IQ yang harus di lakukan semacam tes khusus untuk mengetahui
12

nilainya, maka EQ tidak serumit itu. Sebab kecerdasan emosional dapat kamu lihat

dalam kehidupan sehari-hari seseorang. Menurut Klaudius Alfon, (2020). beberapa

tanda kecerdasan emosional yang rendah:

1. Memiliki Empati Yang Rendah

Tingkat kecerdasan emosi di kenal memiliki kaitan yang erat dengan empati. Dapat

di katakan bahwa seseorang dengan tingkat EQ yang tinggi memiliki empati yang baik

sehingga mampu memahami perasaan orang lain dengan mudah. Sebaliknya, orang

dengan tingkat emosi rendah sulit untuk memahami perasaan orang lain. Mereka tidak

mengerti apa yang orang lain rasakan. Ini membuat mereka sulit untuk menempatkan

diri pada posisi orang lain.

2. Mudah Merasa Stres

Ketika anak berhadapan dengan kesulitan dan masalah, ada kemungkinan respon

tidak menyenangkan seperti stress atau cemas muncul. Timbulnya stress dalam diri

anak dapat menjadi sebuah tanda jika ia memiliki tingkat emosi kecerdasan emosi yang

rendah. Ketidakmampuan anak dalam mengontrol emosi membuatnya kesulitan untuk

mengatur mood. Menyebabkan hal atau masalah kecil yang terjadi dapat membuat

moodnya turun dan ia menjadi stress. Anak juga akan cenderung menyalahkan orang

lain sebagi wujud pelampiasan stress yang di alaminya.

3. Menyimpan Dendam

Anak-anak dengan tingkat emosi yang rendah tidak jarang menyimpan perasaan

kesal dan dendam terhadap orang lain. Tindakan ini sebenarnya merupakan salah satu
13

respon pikiran atas stress yang tercipta karena seseorang tidak dapat mengontrol

emosinya. Kita semua tahu bahwa.

4. Mereka Menyalahkan Oranglain Karena Masalahnya

Orang dengan EQ rendah memiliki sedikit wawasan tentang bagaimana emosi

mereka dapat menyebabkan masalah. Satu hal yang tidak akan di lakukan orang dengan

kecerdasan emosional rendah adalah meminta pertanggung jawaban diri atas tindakan

mereka. Ketika ada yang tidak beres, reaksi pertama mereka adalah menemukan

seseorang atau sesuatu untuk di salahkan. Mereka mungkin menyarankan bahwa

mereka tidak punya pilihan untuk apa yang mereka lakukan dan orang lain tidak

mengerti situasi mereka.

5. Mereka Memiliki Keterampilan Mengatasi Yang Buruk

Ketidakmampuan untuk mengatasi sesuatu bermuatan emosi dapat menjadi

indikator EQ rendah. Emosi yang kuat, baik mereka sendiri maupun oranglain, sulit di

pahami bagi mereka yang memilki kecerdasan emosional rendah. Orang-orang ini akan

sering menjauh dari situasi ini untuk menghindari harus berurusan dengan kejatuhan

emosional. Menyembunyikan emosi mereka yang sebenarnya juga sangat umum.

6. Mereka Memiliki Ledakan Emosional

Kemampuan untuk mengatur emosi adalah salah satu komponen kecerdasan

emosional. Orang dengan EQ rendah sering kesulitan memahami dan mengendalikan

emosi mereka. Mereka mungkin menyerang secara reaktif tanpa memahami apa yang

sebenarnya mereka rasakan atau mengapa mereka begitu marah. Seseorang yang

kekurangan EQ mungkin juga memiliki ledakan emosi yang tak terduga yang tampak
14

berlebihan dan tidak terkendali. Hal-hal terkecil memicu mereka menjadi omelan yang

dapat berlangsung selama beberapa menit bahkan berjam-jam.

7. Mereka Mengubah Percakapan Dengan Diri Sendiri

Orang tidak cerdas secara emosional cenderung mendominasi pembicaraan.

Sekalipun mereka mengajukan pertanyaan dan tampaknya mendengarkan dengan

sungguh-sungguh, mereka selalu menemukan cara untuk mengembalikan segalanya

kepada mereka. Biasanya, mereka harus membuktikan bahwa apa pun yang di alami,

mereka sudah lebih baik atau buruk.

4. Indikator Kecerdasan Emosional

Untuk mengukur atau mempelajari kecerdasan emosional perlu di ketahui

indikator-indikatornya, diantaranya yaitu: pertama, mengenali emosi diri dimana

mengetahui sifat dasar yang ada pada diri, apakah kita termasuk orang yang mudah

terselut emosi atau tidak, sehingga dengan mengenali emosi diri memudahkan kita

dalam bersikap. Kedua, mengelola emosi yaitu mampu mengkodisikan diri sehingga

dapat mengungkapkan isi hati dengan baik. Ketiga, motivasi diri sendiri dimana mampu

menuntun diri untuk selalu semangat dalam setiap keadaan tidak mudah terpuruk

terhadap sesuatu yang tidak di inginkan di setiap keadaan tidak mudah terpuruk oleh

sesuatu yang tidak di inginkan sehingga bisa mengambil inisiatif yang efektif dalam

bertindak. Empat, mengerti apa yang di alami oleh orang lain, sehingga memiliki

kemampuan ini masing-masing orang saling memiliki keterkaitan satu sama lain, sikap
15

saling peduli satu sama lain sehingga bisa menimbulkan sikap sosial yang positif.

(Abdul Aziz Ridha, 2020).

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Menurut Lisa Sagita Zulfadilah (2018) ada 2 faktor yang mempengaruhi

kecerdasan emosional diantaranya:

a. Faktor Internal

Merupakan faktor yang timbul dari dalam diri seseorang yang di pengaruhi oleh

keadaan otak emosi individu. Beberapa contoh faktor internal di dalam diri seseorang:

1. Hereditas

Merupakan faktor pembawaan atau bakat dan hereditas termasuk dalam kategori

faktor internal yang mempengaruhi kecerdasan emosional seseorang. Sejak lahir

manusia memiliki bakat atau potensi-potensi yang akan mempengaruhi kehidupannya.

Ketika manusia di lairkan sudah membawa potensi-potensi emosional seperti kepekaan

dan perasaan-perasaan lainnya, kemampuan mempelajari emosi serta kemampuan

mengelola emosi. Dalam perjalanan hidup seseorang, potensi-potensi ini bisa menjadi

lebih berkembang dan bisa juga menjadi hilang sama sekali. Hal itu tergantung pada

pengalaman-pengalaman serta hasil pembelajaran emosi orang yang bersangkutan.

Hereditas sering di sebut pembawaan atau keturunan. Hereditas merupakan totalitas

karakteristik individu yang di wariskan orangtua kepada anak atau segala potensi baik

fisik maupun psikis, yang dimiliki seseorang sejak masa konsepsi (pembuahan ovum

sperma) sebagai pewarisan orangtua melalui gen, faktor hereditas memang dapat
16

mempengaruhi watak dan perkembangan seseorang termasuk kecerdasan kemampuan

intelektualnya namun faktor lingkungan di pandang lebih memberikan stimulus untuk

perkembangan kecerdasan emosional seseorang karena pada dasarnya kecerdasan

emosional merupakan sebuah kemampuan yang bisa di pupuk dan di pelajari oleh

siapapun.

2. Agama

Faktor agama memainkan peranan penting dalam mempengaruhi kecerdasan

emosional seseorang. Agama memberi pondasi yang kuat pada diri seseorang agar

jiwanya teguh serta tak mudah tergoncag oleh apapun.

b. Faktor Eksternal

Yaitu faktor yang datang dari luar individu serta mempengaruhi seseorang untuk

mengubah sikap yang datang dari luar individu dan mempengaruhi individu untuk

mengubah sikap. Pengaruh luar dapat bersifat individu dan kelompok. Misalnya:

1. Lingkungan keluarga

Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam upaya Mengembangkan

pribadi anak. Perawatan orangtua yang penuh kasih sayang serta Pendidikan tentang

nilai-nilai kehidupan baik agama maupun sosial budaya yang di berikannya merupakan

faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota

masyarakat yang sehat. Dalam rumah tangga keluarga merupakan lingkungan


17

Pendidikan yang pertama dan utama bagi seseorang anak, sehingga anak akan mampu

mencapai tingkat kematangan, disini adalah bias yang di katakan sebagai seorang

individu dimana seseorang dapat mengusai lingkungannya secara aktif.

2. Lingkungan Sekolah

Sekolah merupakan Lembaga Pendidikan formal yang secara sistematis

melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan pelatihan dalam rangka membantu

peserta didik agar mampu mengembangkan potensinya baik yang menyangkut aspek

moral, spiritual, intelektual, serta emosional maupun sosial. Keberhasilan guru

mengembangkan kemampuan peserta didik mengendalikan emosi akan menghasilkan

peserta didik yang baik, ada dua keuntungan jika sekolah berhasil mengembangkan

kemampuan siswa dalam mengendalikan emosi. Pertama, emosi yang terkendalikan

memberikan dasar bagi otak untuk dapat berfungsi secara optimal. Kedua, emosi yang

terkendali akan menghasilkan perilaku yang baik oleh karena itu orangtua dan guru

sebagai pendidik harus menjadi seorang pendidik yang mempunyai pemahaman yang

cukup baik terhadap dasar-dasar kecerdasan emosional.

3. Lingkungan Masyarakat

Masyarakat merupakan faktor dari luar yang mempengaruhi kecerdasan emosional,

dimana masyarakat yang maju serta komplek tuntutan hidupnya cenderung mendorong

untuk hidup dalm situasi kompetitif, penuh saingan, dan individualis di banding dengan

masyarakat sederhana. Faktor masyarakat terdiri dari lingkungan sosial dan non sosial

lingkungan sosial meliputi keadaan keluarga, guru, dan siswa. Sedangkan lingkungan
18

non sosial, meliputi keadaan sekolah, alam sekitar, dan lain-lain. Baik lingkungan sosial

maupun non sosial, keduanya berpengaruh terhadap kecerdasan emosional siswa dan

pada akhirnya akan berpengaruh pada prestasi belajar siswa.

Dari uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi

kecerdasan emosional adalah keluarga/orangtua serta sekolah dan faktor masyarakat.

Keluarga merupakan Pendidikan pertama dan utama bagi anak, sedangkan sekolah dan

masyarakat merupakan faktor lanutan dari apa yang telah di peroleh anak dari keluarga.

Ketiganya sangat berpengaruh terhadap emosional anak dan keluargalah yang

mempunyai pengaruh lebih besar di bandingkan sekolah dan masyarakat, karena di

dalam keluarga kepribadian anak dapat terbentuk sesuai dengan pola Pendidikan

orangtua dalam kehidupan anak.

6. Alat Ukur Kecerdasan Emosional

Skala pengukuran kecerdasan emosional menggunakan Schutte Emotional

Itelligence Scale (SEIS) di buat Schutte (2009) dan telah di terjemahkan ke dalam

Bahasa Indonesia oleh peneliti sebelumnya yaitu Gultom pada tahun 2016 Kuesioner

yang di gunakan terdiri dari 30 pertanyaan dalam bentuk skala Likert, dengan lima

alternatif pilihan jawaban, yaitu sangat setuju (SS) dengan nilai 5, setuju (S) dengan

nilai 4, netral/ragu (N/R) dengan nilai 3, tidak setuju (TS) dengan nilai 2, dan sangat

tidak setuju (STS) dengan nilai 1. Adapun kriteria penilaian kecerdasan emosional

dalam penelitain ini di kelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu baik=76%-100%


19

cukup= 60%-75% dan kurang=<60% (favourable) pernyataan negatif (unfavourable)

dengan menggunakan empat alternatif jawaban.

Pemberian skor dilakukan berdasarkan angka yang berkisar dari <60% sampai

100%. Kategori baik 76%-100% (jika responden benar menjawab 12-15 pertanyaan).

Kategori cukup 60%-75% (jika responden benar menjawab 9-11 pertanyaan). Kategori

kurang < 9 pertanyaan). (Arikunto,2006). Makin banyak responden menjawab

pertanyaan yang benar menunjukan kecerdasan emosional yang tinggi, juga sebaliknya

semakin banyak menjawab salah menunjukan kecerdasan emosional yang rendah.

B. Konsep Anak
1. Tumbuh Kembang Anak Secara Umum

Bertumbuh adalah perubahan fisik yang dengan mudah dapat di ukur. Berkembang

adalah perubahan fisik yang dengan mudah dapat di ukur. Berkembang adalah

bertambahnya kemampuan struktur dan fungsi tubuh menjadi lebih kompleks,

pertumbuhan ialah terjadinya perubahan yang bersifat kuantitatif, yang dapat di ukur.

Titik beratnya pada fisik. Pertumbuhan anak dapat di pantau dengan pengukuran tinggi

badan, lingkar kepala, berat badan, dan pengukuran stardart yang telah di sepakati

secara internasional. Adapun perkembangan ialah terjadinya pertambahan kemampuan

struktur dan fungsi tubuh yang sangat kompleks. (Syafa’atun Nahriyah, 2018).
20

2. Karakteristik Perkembangan Anak Usia Sekolah

(Trianingsih, 2016) dalam perkembangan anak usia sekolah memiliki berbagai

macam karakteristik yang unik, banyak teori yang sesuai dengan aspek karakteristik

anak. Diantaranya ada teori psikososial, kognitif, moral, perkembangan motorik fisik.

Berikut ulasan tentang konsepnya:

1. Perkembangan Psikososial

Dalam perkembangan psikososial manusia mengalami fase yang berbeda dan

berubah-ubah semasa hidupnya.

2. Perkembangan Kognitif

Pada masa sekolah anak mengalami perkembangan yang pesat dalam

perkembangan kognitifnya. Anak mampu berfikir untuk memecahkan suatu masalah

saat proses pembelajaran, membina hubungan dengan lingkungan.

3. Perkembangan Moral

Menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya anak akan belajar serta

berkembang, bagaimana caranya berinteraksi dengan oranglain menggunakan norma

dan nilai sosial dalam bermasyarakat.

4. Perkembangan Fisik Dan Motorik

Perkembangan fisik merupakan proses pematangan organ tubuh dari sejak lahir

sampai dewasa serta perkembangan motorik sesuatu yang tidak bisa terpisahkan dengan
21

perkembangan fisik, dapat dikatakan bahwa hal ini saling bergantung satu sama lain

yang tidak bisa terpisahkan dalam fungsi tubuh.

3. Hubungan Pola Asuh Dengan Kecerdasan Emosional Anak

Lingkungan keluarga merupakan faktor utama dimana perkembangan karakteristik

anak. Banyak beberapa diantara orangtua yang menggunakan atau melakukan pola asuh

yang kurang tepat sehingga memberikan dampak yang kurang baik dalam

perkembangan karakteristik anak. Orangtualah yang menjadi sosok panutan bagi anak-

anaknya. Orangtua yang sering memarahi, acuh tak acuh, sikap bersikeras terhadap

pendirian sendiri tanpa menghargai anak-anak, mendominasi kehidupan anak, unjuk

kuasa, dan mengucilkan anak. Sikap tersebutlah yang bisa membuat anak menjadi tidak

dihargai pendapatnya, tidak di perhatikan, tidak di mengerti, anak mengalami perasaan

tertekan, tidak memperolah kesempatan untuk mengembangkan diri, merasa terancam

serta tidak enak perasaan. Dalam kondisi ini anak menjadi frustasi, dan untuk

menetralisirnya anak akan meluapkan emosinya sebagai pelampiasan serta agresif.

4. Pengaruh Keluarga, Sekolah, Dan Masyarakat Terhadap Tumbuh Kembang Anak

Menurut persfektif rentang hidup, arah perubahan sangatlah beragam karena

perkembangan itu di pengaruhi oleh banyak kekuatan: historis, sosial, dan budaya.

Namun ketiga hal tersebut saling bekerja sama dalam membuka setiap arah kehidupan.

Pertama, pengaruh kelompok usia. Pengaruh usia ini muncul saat masa kanak-kanak

atau remaja, ketika terjadinya perubahan biologis, serta budaya yang menerapkan

pengalaman terkait usia sehingga bisa di pastikan seorang anak mendapatkan


22

keterampilan yang di butuhkannya dalam mengambil peran di kelompok mereka.

Kedua, pengaruh kelompok sejarah. Kelompok ini menjelaskan bahwa orang yang lahir

bersamaan yang di sebut dengan istilah kohor (cohort) cenderung memiliki kemiripan-

kemiripan dengan yang lainnya. Ketiga, pengaruh Non-normatif, maksudnya adalah

peristiwa yang hanay menimpa satu atau beberapa orang saja dan tidak mengikuti

jadwal yang terprediksi. Hal tersebut menjadikan sifat yang multi arah perkembangan.

Adapaun kedua kelompok tersebut yakni kelompok usia dan kelompok sejarah

termasuk tumbuh kembang anak. Kategori normatif karena bersifat khas atau rata-rata,

karena keduanya saling memberikan pengaruh orang lain dengan cara yang sama.

(Laura E.Berk, 2018).

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak

Menurut purnama (2017) faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak:

a. Keluarga

Setiap keluarga adalah suatu sistem, yakni suatu kesatuan yang di bentuk oleh

bagian-bagian yang saling berhubungan dan berinteraksi. Hubungan yang tidak pernah

hanya berlangsung satu arah. Secara langsung maupun tidak langsung, sikap dan

pengasuhan orangtua akan mempengaruhi terhadap kemampuan pengendalian emosi

anak. Pola asuh yang baik dalam keluarga dapat membuat seorang anak mempunyai

kemampuan intelektual dan fisik yang bagus. Termasuk perkembangan emosi dan

sosialnya. Pola asuh yang baik itu di tunjukan dengan orangtua yang sangat

mencintai,penuh perhatian,dan sangat responsif terhadap anak-anaknya.


23

b. Sekolah

Sekolah merupakan Lembaga Pendidikan formal yang melaksanakan program

pengajaran, bimbingan, Pendidikan, dan latihan dalam rangka membantu anak mampu

mengembang potensinya, baik yang menyangkut aspek moral spiritual, intektual,

emosional, maupun sosial. sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan

kepribadian anak setelah keluarga, baik dalam cara berfikir, bersikap maupun

berprilaku. Adapun faktor yang berperan bagi perkembngan kepribadian anak adalah:

a) Kehadiran siswa di sekolah

b) Memberikan pengaruh pada anak secara dini, terutama dalam hal membangin

konsep diri.

c) Anak banyak menghabiskan waktunya di sekolah dari pada tempat lain di luar

rumah.

d) Memberikan kesempatan pada siswa dalam menggapai cita-cita

e) Memberikan ruang pada anak untuk menilai kemampuan dirinya dan secara

realistik

c. Masyarakat

Lingkungan secara langsung maupun tidak memberikan pengaruh terhadap tumbuh

kembang anak. Ketika lingkungannya baik maka akan berdampak negatif terhadap

tumbuh kembang anak. Lingkungan ini terdiri atas lingkungan fisik dan lingkungan

sosial. lingkungan fisik meliputi keadaan rumah, pekarangan,sawah,tanah,air, musim

dan sebagainya. Lingkungan fisik atau disebut juga lingkungan alam memberikan

pengaruh yang berbeda pada setiap individu. Sedangkan lingkungan sosial adalah
24

meliputi seluruh manusia dengan berbagai interaksinya yang menciptakan lingkungan

pergaulan yang khas. Dalam lingkungan sosial terdapat interaksi satu dengan yang

lainnya. Sehingga interaksi tersebut memberikan pengaruh terhadap perkembangan tiap

individu.

Observasi awal yang di lakukan di MTS PUI Banjaran di dapatkan anak-anak yang

bersikap tidak bisa mengontol emosinya kepada teman sebayanya. Mulai dari mencubit,

mendorong, serta ada yang mencuri uang temannya. Hal ini harus menjadi perhatian

penting bagi orangtua dan guru supaya sikap ini tidak mendominasi sikap anak. Pola

asuh orangtua memiliki hubungan erat dengan kecerdasan emosional anak, karena

orangtua memiliki peran penting dalam pengendalian sikap anak, dengan menerapkan

pola asuh yang baik serta tepat bagi anaknya. Sikap oragtua melindungi, menerima,

berlaku bijaksana, menjelaskan tentang konsekuensi dari perilaku yang di lakukan,

mendukung, apapun perbuatan anak yang bersifat positif, dan mengarahkan perbuatan

negatif secara bijaksana, serta mengenalkan bagaimana cara hidup dalam berkelompok

sosial. Penumbuhan nilai-nilai taqwa kepada allah SWT, jujur, disiplin, patuh kepada

orangtua, santun kepada sesama. Kala tersebut anak akan merasa aman, mampu

mengembangkan potensi dalam dirinya, memiliki rasa percaya diri, dan percaya

lingkungan.
25

C. Pola Asuh Orang Tua

1. Pengertian

Secara etiologi, pola asuh berarti bentuk, tata cara. Sedangkan asuh berarti

merawat, menjaga, dan mendidik. Sehingga pola asuh berarti bentuk atau sistem dalam

merawat, menjaga, dan mendidik. Pola asuh orangtua adalah interaksi orangtua

terhadap anaknya dalam hal mendidik dan memberikan contoh yang baik agar anak

dapat kemampuan sesuai dengan tahap perkembangannya. (Handayani, 2017).

Pola asuh orangtua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi

antara orangtua dan anak yang dapat memberi pengaruh terhadap perkembangan

kepribadian anak. Interaksi orangtua dalam suatu pembelajaran menentukan karakter

anak nantinya (Utari Juliani, 2018).

Pola asuh adalah suatu cara terbaik yang bisa di tempuh orangtua unutuk mendidik

anak-anaknya sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak-anaknya.

Dalam kaitannya berarti orangtua mempunyai tanggung jawab yang di sebut tanggung

jawab primer. Dengan maksud tanggung jawab yang harus di laksanakan, kalau tidak

maka anak-anaknya akan mengalami kebodohan serta lemah dalam menghadapi

kehidupan di zamannya. (Karina Aulia, 2020).

Atas pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa pola asuh orangtua adalah suatu

keseluruhan interaksi orangtua dan anak, dimana orangtua yang dapat memberikan

dorongan bagi anak-anak dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan, dan nilai-nilai

dianggap paling tepat bagi orangtua agar anak bisa mandiri, tumbuh dan berkembang,
26

secara sehat dan optimal, memiliki rasa percaya diri, memiliki sifat rasa ingin tahu,

bersahabat, dan berorientasi untuk sukses.

2. Macam-Macam Pola Asuh Orangtua

Setiap keluarga menerapkan pola asuh yang berbeda-beda. Ada macam-macam

pola asuh orangtua secara umum, menurut yusmansyah (2019) terdapat empat jenis pola

asuh serta dampaknya bagi karakter anak yang mesti di kenali orangtua sebagai berikut:

1. Pola asuh otoriter

Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter biasanya mengharuskan anaknya

terus patuh dan tidak membantah orangtua. Ayah atau ibu menjadi sosok yang dominan

serta memiliki kontrol penuh terhadap anak-anaknya. Jika anak-anaknya membangkan

dan menyalahi perintah orangtua, biasanya hukuman lantas di berikan kepada mereka.

Jika anak membantah dan tidak terima atas hukuman itu, dalih orangtua adalah demi

kebaikan anak sendiri. Studi menunjukan bahwa sebagian anak-anak atau remaja yang

tumbuh dari orangtua yang otoriter, biasanya jadi kurang bisa mengembangkan

keterampilan sosial serta komunikasi kritisnya. Padahal, dua hal ini sangat penting

untuk menumbuhkan sifat dan karakter kepemimpinan (leadership) bagi si anak. Selain

itu, anak-anak yang di besarkan oleh orangtua otoriter, di masa akan datang cenderung

menjadi otoriter. Ia menjadi tidak suka di bantah, tidak suka di kritik, serta perintahnya

harus di turuti, baik dalam hubungannya dengan orang lain maupun nantinya jika ia

menikah, berkeluarga, serta menjadi orangtua bagi anak-anaknya nanti.


27

2. Pola asuh pengabaian

Anak-anak yang tumbuh dari pola asuh pengabaian biasanya kurang mendapatkan

kasih sayang orangtua. Ayah dan ibunya kurang menghabiskan waktu berkualitas

dengan anak-anaknya, baik karena lalai ataupun dengan kesibukan kerja masing-

masing orangtua. Seringkali, anak-anak di biarkan menghabiskan waktu untuk

menonton televisi dan bermain game sapanjang harinya. Akibatnya, anak-anak dari

orangtua ini karap mengalami kesulitan mengikuti aturan. Mereka di bebaskan

semaunya padahal, ada beberpa aturan sosial yang harus di ikuti, dan mereka terbiasa

patuh pada aturan di rumah. Selain itu, keterampilan mereka untuk menjadi tertib tidak

berkembang baik. Anak-anak dari pola asuh pengabaian juga berpotensi

mengembangkan masalah perilaku karena kuranganya kontrol diri. Keterampialn

komunikasi mungkin juga tidak berkembang sepenuhnya.

3. Pola asuh permisif

Pola asuh permisif ini di tandai dengan sikap orangtua yang penuh perhatian

memberikan banyak interaksi dan kehangatan. Anak-anak dibebaskan dan tidak banyak

di atur, kebalikan dari pola asuh otoriter di atas. Pola asuh ini bisa di bilang pola asuh

yang memanjakan anak. Selain itu, orangtua lebih mirip sebagai teman dari pada

orangtua pada lazimnya. Pengaruhnya, gaya pengasuhan ini seringkali menjadikan anak

mengembangkan tingkat kreativitas yang lebih tinggi pada anak-anak umumnya.

Namun, efek negatifnya, ia memiliki kontrol diri yang kurang, sedikit batasan, dan

kurang memiliki perasaan berhak atas kepemilikannya. Baik secara pribadi atau secara
28

sosial. Biasanya dengan pola asuh permisif ini dapat mengembangkan hubungan sosial

yang baik dengan sebayanya, namun ia seringkali lebih suka menerima dari pada

memberi.

4. Pola asuh otoritatif

Jangan sampai terbolak-balik antara pola asuh otoriter yang serba mendahulukan

kepatuhan dari pola asuh otoritatif, yang di pandang ideal oleh para ahli perkembangan

anak. Pola asuh otoritatif ini di tandai dengan sikap orangtua yang mendorong anak

agar menjadi mandiri, namun di saat bersamaan juga menerapkan Batasan-batasan

sesuai standar kelayakan di lingkungannya. Orangtua otoritatif biasanya menerapkan

aturan disiplin, namun juga di terapkan secara suportif. Jika anak membantah, orangtua

tidak langsung menghukum, namun mendahulukan dialog terlebih dahulu. Jika di

implementasikan dengan baik, tingkat kemandirian anak akan terus meningkat saat

mereka tumbuh dewasa. Hasilnya, anak kemudian mengembangkan potensi

kepemimpinan yang lebih tinggi dari anak-anak sebayanya mereka juga biasanya

memiliki keterampilan sosial dan kontrol diri yang sesuai dengan tahapan

perkembangannya. (Zulfiana Qodrun Nadzah, 2019).


29

3. Jenis-Jenis Pengasuhan

Jenis-jenis pengasuhan menurut Utari Juliani (2018):

1. Pola asuh oleh orangtua

Sudah menjadi tugas orangtua memberikan anak pengalaman yang di butukan anak

agar kecerdasannya berkembang sempurna. Ayah dan ibu memiliki peran yang sama

dalam pengasuhan anak-anaknya. Namun ada sedikit perbedaan dalam sentuhan dari

apa yang di tampilkan oleh ayah dan ibu. Peran ibu, antara lain : menumbuhkan

perasaan sayang, cinta, melalui kasih sayang dan kelembutan seorang ibu,

menumbuhkan kemampuan berbahasa dengan baik kepada anak, mengajarkan anak

perempuan berprilaku sesuai jenis kelaminnya dan baik. Peran ayah antara lain:

menumbuhkan rasa percaya diri dan berkompeten kepada anak, menumbuhkan untuk

anak agar mampu berprestasi, mengajarkan anak untuk tanggung jawab.

2. Pola asuh oleh orangtua tunggal

Menjadi orangtua tunggal membutuhkan tenaga ekstra dalam merawat anak.

Orangtua tunggal dapat terjadi akibat perceraian atau perpisahan, kematian pasangan,

wanita tidak menikah yang membesarkan anaknya sendiri, atau adopsi oleh pria atau

wanita yang tidak menikah. Pola asuh oleh orangtua tunggal memiliki beberapa

masalah yang dapat mempengaruhi kesehatan anak-anak. Hidup dalam rumah tangga

dengan orangtua tunggal dapat menimbulkan stress baik bagi seseorang dewasa

maupun anak-anak. Orangtua tunggal dapat merasa kewalahan karena tidak ada

individu lain untuk berbagi tanggung jawab sehari-hari dalam mengatur asuhan anak-
30

anak mempertahankan pekerjaan, menjaga rumah serta keuangan. Komunikasi dan

dukungan penting untuk optimalitas fungsi pola asuh dengan orangtua tunggal.

Orangtua tunggal harus memberikan dukungan yang lebih besar untuk anak-anak

mereka.

3. Pola asuh dengan kakek nenek

Dalam pola asuh oleh kakek-nenek, nenek memiliki kecenderungan lebih banyak

untuk mengasuh sang cucu di bandingkan kakek. Penelitian secara konsisten telah

menemukan bahwa nenek memliki kontrak yang lebih banyak dengan cucunya di

bandingkan kakek. Peran kakek-nenek dapat memiliki fungsi yang berbeda dalam

keluarga, kelompok etnis, serta budaya, dan situasi yang berbeda. Keberagaman

pengasuhan cucu pada usia lanjut juga timbul pada penyelidikan sebelumnya tentang

bagaimana kakek-nenek berinteraksi dengan cucu mereka.

4. Pola asuh dengn perawat asuh

Perawat asuh adalah ketika anak di asuh dalam situasi lain yang terpisah dari

orangtua atau wali legalnya. Sebagian besar anak-anak yang di tempatkan dalam

perawat asuh telah menjadi korban penganiyaan ataupun pengabaian. Anak-anak dalam

perawat asuh lebih cenderung memperlihatkan banyak masalah medis, emosi, perilaku

atau perkembangan. Perhatian individual terhadap anak dalam perawatan asuh sangat

penting. Pendekatan multidisiplin terhadap asuhan yang mencakup orangtua kandung,

orangtua asuh, anak, professional layanan kesehatan, dan pelayanan pendukung sangat
31

penting untuk memenuhi kebutuhan anak akan pertumbuhan dan perkembangan.

Perawat memainkan peran penting dalam mendukung anak.

4. Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orangtua

Berikut berbagai macam faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua menurut

Edward dalam (Rahayu, 2018), yaitu:

1. Pendidikan Orangtua

Tingkat Pendidikan orangtua dalam hal merawat atau mengasuh anak sangat

berpengaruh saat melakukan pengasuhan pada anak. Untuk mempersiapkan diri ada

beberapa cara antara lain: ikut serta pada setiap tahap Pendidikan anak, mengusahakan

ada waktu luang untuk menilai perkembangan fungsi keluarga serta kepercayaan anak.

2. Lingkungan

Lingkungan bisa di bilang memiliki pengaruh yang besar pada perkembangan

anak, sehingga hal tersebut ikut andil dalam mewarnai pola pengasuhan yang di lakukan

orangtua kepada anaknya.

3. Budaya

Seringkali orangtua mengikuti cara yang di lakukan oleh masyarakat dalam hal

mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak


32

karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak dalam hal

kematangan.

Shintia Gestanadela (2020) mengutip dati hotman lippit berikut berbagai faktor

yang menjadi penagruh pola asuh, sebagai berikut:

1. Latar Belakang Orang Tua

a. Bagaimana hubungan orangtua yang meliputi cara berkomunikasi dan pembagian

peran dalam keluarga yang tepat

b. Bagaimana keadaan keluarga yang meliputi jumlah serta jenis kelamin dalam

keluarga

c. Bagaimana keadaan keluarga di lingkungan masyarakat yang meliputi kondisi

keadaan sosial, ekonomi, dan tempat tinggal

d. Kepribadian orangtua yang meliputi tingkat intelegensi dan hubungan sosial

dengan lingkungan

e. Bagaimana orangtua melihat sudut pandang dari tujuan, arti, dan pelaksanaan pola

asuh itu sendiri terhadap dampak bagi anak

2. Latar Belakang Anak

a. Karakteristik kepribadian anak yang meliputi kepribadian, konsep diri, kondisi

fisik, kesehatan, dan kebutuhan psikologi anak

b. Bagaimana pandangan anak tentang harapan, sikap, dan pengaruh figur orang tua

terhadap dirinya

c. Bagaimana hubungan sosial anak baik di lingkungan rumag atau di sekolah.


33

Meskipun disini di dapatkan tidak adanya kesamaan hubungan orang tua dan anak

yang di sebabkan berbagai macam faktor dari internal maupun eksternal, yaitu: latar

belakang orangtua, latar belakang anak, lingkungan, sosial, dan budaya. Tanpa disadari

anak belajar dari apa yang di contohkan oleh orang tuanya saat mengasuh anaknya,

dengan demikian hal ini orangtua memiliki peranan dan pengaruh besar dalam

pembentukan karakter anak.

5. Skala Pengukuran Pola Asuh

Untuk mengetahui pola asuh orangtua dapat menggunakan skala pengukuran yang

Menggunakan instrumen PAQ (Parental Authority Questionaire) bermodel skala

Likert. Dengan skala ini responden di minta untuk memilih salah satu jawaban dengan

tanda silang (X) dari lima kemungkinan jawaban yang tersedia. Prosedur perskalaan

model Likert ini didasarkan dua asumsi yaitu:

Pernyataan yang di tuliskan tersebut mendapat persetujuan termasuk juga

pernyataan yang favourable dan unfavourable

Memberikan nilai lebih pada jawaban yang di berikan oleh responden yang

bersikap positif dibandingkan bersikap negatif sebagai bentuk apresiasi terhadap

responden tersebut.

Berdasarkan yang telah disebut di atas, peneliti membuat aitem-aitem pada masing-

masing indikator. Ada empat kemungkinan jawaban yang di berikan responden yaitu
34

Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).

Untuk aitem favourable skor tertinggi di mulai dari jawaban:

1. Sangat Setuju (SS)= 4

2. Setuju (S) = 3

3. Tidak Setuju (TS) = 2

4. Sangat Tidak Setuju (STS) = 1

Sedangkan untuk aitem unfavourable skor tertinggi di mulai dari jawaban:

1. Sangat Tidak Setuju (STS) = 4

2. Tidak Setuju (TS) = 3

3. Setuju (S) = 2

4. Sangat Setuju (SS) = 1


35

D. Kerangka Teori

Faktor-Faktor yang mempengaruhi


kecerdasan emosional

Eksternal Internal

1. Hereditas
2. Agama
1. Lingkungan keluarga
2. Lingkungan sekolah
3. Lingkungan masyarakat

Faktor-Faktor yang
mempengaruhi pola
asuh orangtua : Pola asuh orangtua
1. Pendidikan
Orangtua
2. Lingkungan
3. Budaya 1. Otoriter
4. Latar belakang 2. Pengabaia
orangtua n
5. Latar belakang 3. Permisif
anak 4. otoritatif

Kecerdasan Emosional Anak

Diagram 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Kementerian Kesehatan RI,2014.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah formulasi atau simplikasi dari kerangka teori yang

mendukung penelitian. Kerangka konsep ini terdiri dari variabel-variabel serta

hubungan variabel yang satu dengan yang lain. Dengan adanya kerangka konsep akan

mengarahkan kita untuk menganalisis hasil penelitian (Notoatmojo, 2012). Penelitian

mengenai hubungan pola asuh orangtua dengan kecerdasan emosional anak usia 11-12

tahun di MTS PU Banjaran mncakup variabel independen dan variabel dependen.

Variabel independen dalam penelitian ini adalah pola asuh orangtua, sedangkan

variabel dependen dalam penelitian ini adalah kecerdesan emosional. Sehingga

kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Pola asuh orang tua Kecerdasan emosional


anak
1. Otoriter
2. Pengabaian 1.kesadaran diri
3. Permisif
4. Otoritatif 2. regulasi diri

3.keterampilan sosial

4.empati

5. motivasi

Variabel Independen Variabel Dependen

Diagram 3.1 kerangka konsep penelitian

36
37

B. Variabel Penelitian

Menurut notoatmodjo (2010) variabel adalah suatu yang di gunakan sebagai ciri,

sifat, atau ukuran yang memiliki dan di dapatkan oleh satuan-satuan penelitian tentang

suatu konsep tertentu. Sesuai dengan keterbatasan peneliti, maka pada penelitian ini

tidak semua variabel independent diambil, variabel yang di ambil dalam penelitian ini

adalah pola asuh orang tua sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah

kecerdasan emosional anak usia 11-12 tahun.

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang akan di buktikan dalam penelitian ini adalah terdapatnya

hubungan pola asuh orangtua dengan kecerdasan emosional anak usia 11-12 tahun di

MTS PUI Banjaran

D. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah sebuah Batasan-batasan yang di berikan oleh

peneliti terhadap variabel penelitiannya sendiri sehingga variabel penelitian dapat di

ukur. Itu sebabnya definisi operasional adalah definisi penjelas, karena akibat definisi

yang di berikan sebuah variabel penelitian menjadi jelas. (Zaluchu, 2010)

Definisi operasional dari suatu variabel berkaitan dengan bagaimana cara untuk

mengukur suatu variabel dalam suatu penelitian. Definisi operasional umumnya

berkaitan dengan aspek atau indikator yang di gunakan untuk mengukur suatu variabel
38

(Susilo dan Suyanto, 2015). Definsi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :
No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Alat
Operasional Ukur
39

1. Pola asuh Bentuk Menggunakan 1.Skor yang Nominal


orang tua perlakuan yang instrumen
di terapkan PAQ (Parental tertinggi
/pola orangtua Authority
pada salah
responden Questionaire)
untuk dalam bentuk satu dari 4
mengasuh skala Likert
anak jenis pola

asuh

tersebut,

maka

menunjukkan

salah satu

jenis pola

asuh yang

ada

(pengabaian,

otoritatif

,otoriter, atau

permisif).

2.Jika
skornya
sama untuk
dua atau tiga
jenis pola
asuh tersebut,
maka pola
asuh yang
diterapkan
adalah
campuran.
40

2. Kecerdasan Kemampuan Menggunakan Kategori baik Ordinal


Emosional responden instrumen 76%-100%
dalam SEIS (Schutte (jika
mengerti Emotional responden
mengenali, Intelligence benar
mengerti serta Scale) dalam menjawab
mengendalikan bentuk skala 12-15
emosi yang di Likert dengan pertanyaan).
gunakan untuk alternatif b) Kategori
mengarahkan jawaban: SS cukup 60%-
pola pikir dan (Sangat 75% (jika
perilakunya Setuju), S responden
(Setuju), N/R benar
(Netral/Ragu), menjawab 9-
TS (Tidak 11
Setuju), STS pertanyaan).
(Sangat Tidak c) Kategori
Setuju kurang < 9
pertanyaan).
Bagan 3.1 Defini Operasinal
41

E. Jenis Penelitian

Desain penelitian yang akan diteliti termasuk ke dalam desain deskriptif dengan cara

observasi dan kuisioner. Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang

ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada baik secara alamiah

maupun buatan manusia. Fenomena itu biasanya berupa bentuk, aktivitas, karakteristik,

perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan yang

lainnya (Sukadinata, 2011).

F. Populasi dan sampel

a. Populasi

Populasi adalah keseluruhan jumlah yang terdiri atas objek dan subjek yang

memilki karateristik dan kualitas tertentu yang di tetapkan oleh peneliti untuk di teliti

kemudian di Tarik kesimpulan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak usia

11-12 tahun di MTS PUI Banjaran sebanyak 116 anak.

b. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang diambil untuk diketahui

karakteristiknya (Hidayat dalam Setiana & Nuraeni, 2018). Teknik pengambilan

sampling peneliti menggunakan total sampling yaitu teknik penentuan sampel bila

semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Sugiyono,2014). Maka peneliti

akan mengambil saluruh sampel berjumlah 116 orang siwa/i.


42

G. Tempat Dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian tepatnya di ruangan kelas dan di lakukan di MTS PUI Banjaran

pada bulan juni-juli tahun 2021. dimana peneliti dapat menemukan responden yaitu siswa

dan siswi MTS PUI Banjaran.

H. Instrumen Penelitian

Instrumen pengumpulan data yang di gunakan dalam penelitian adalah kuisoner

dalam bentuk skala Likert, dimana responden harus menjawab pernyataan yang sesuai

dengan dirinya. Untuk pengumpulan datanya sendiri peneliti akan menggunakan satu

karakteristik responden dan dua kuesioner, yaitu kuesoner pola asuh dan kuesioner

kecerdasan emosional.

1. Karakteristik responden, memberikan data mengenai responden yang meliputi usia

responden, usia orangtua, jumlah anggota keluarga, status anak, apakah orangtua masih

ada orangtua, jumlah anggota keluarga, status anak, apakah orangtua masih ada

orangtua, pendidikam orangtua, pekerjaan orangtua, penghasilan orangtua, dan jenis

tindakan yang di lakukan terhadap pengendalian kecerdasan emosional.

2. Kuesioner pola asuh orangtua, kuesioner yang di gunakan mengadopsi dari Parental

Authority Quistionare (PAQ) yang di buat Buri (1991) dan telah di terjemahkan ke

dalam Bahasa Indonesia oleh peneliti sebelumnya yaitu husni pada tahun 2013.

Kuesioner ini bertujuan untuk mengetahui pola asuh orangtua mana yang paling

dominan di terapkan oleh orang tua responden, apakah otoriter, pengabaian, permisif,

atau otoritatif. Kuesioner yang di gunakan terdiri dari 30 pertanyaan dalam bentuk skala
43

Likert, setiap pola asuh di gambarkan oleh 10 pertanyaan, dengan lima alternative

pilihan jawaban, yaitu sangat setuju (SS) dengan nilai 5, setuju (S) dengan nilai 4,

netral/ragu (N/R) dengan nilai 3, tidak setuju (TS) dengan nilai 2, dan sangat tidak

setuju (STS) dengan nilai 1. Dimana skor tertinggi yang di peroleh pada salah satu pola

asuh tersebut menunjukan pola asuh yang dominan dan di gunakan oleh orangtua

responden. Sebagai contoh apabila skor yang di peroleh responden setelah mengisi

PAQ di dapatkan skor pola asuh otoriter adalah 120 sedangkan skor pada pengabaian,

permisif, dan otoritatif adalah 90, 80, 70 maka pola asuh orangtua responden yang

paling dominan adalah otoriter karena skor terbesar di dapatkan pada pola asuh tersebut.

Kuesoner ini terdiri dari 4 kategori pola asuh orang tua, yaitu otoriter, pengabaian,

permisif, dan otoritatif.

3. Kuesioner kecerdasan emosional, kuesioner yang di gunakan yaitu Schutte Emotional

Itelligence Scale (SEIS) di buat Schutte (2009) dan telah di terjemahkan ke dalam

Bahasa Indonesia oleh peneliti sebelumnya yaitu Gultom pada tahun 2016. Kuesioner

yang di gunakan terdiri dari 30 pertanyaan dalam bentuk skla Likert, dengan lima

alternatif pilihan jawaban, Pemberian skor dilakukan berdasarkan angka yang berkisar

dari <60% sampai 100%. Kategori baik 76%-100% (jika responden benar menjawab

12-15 pertanyaan). Kategori cukup 60%-75% (jika responden benar menjawab 9-11

pertanyaan). Kategori kurang < 9 pertanyaan). (Arikunto,2006). Makin banyak

responden menjawab pertanyaan yang benar menunjukan kecerdasan emosional yang

tinggi, juga sebaliknya semakin banyak menjawab salah menunjukan kecerdasan

emosional yang rendah.


44

I. Teknik Pengambilan Data

1. Data primer

Data primer merupakan data yang diperoleh peneliti itu sendiri dari hasil

pengukuran, pengamatan, survey, dan lain-lain (Setiada, 2016). Data primer dalam

penelitian ini didapat dari hasil kuisioner PAQ dan SEIS untuk mengkaji Hubungan

Pola Asuh Orangtua dengan Kecerdasan Emosional anak usia 11-12 tahun.

2. Data sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari pihak lain, badan instansi

yang rutin mengumpulkan data (Setiadi, 2016). Data sekunder yang digunakan adalah

data jumlah siswa maupun siswi umur 11-12 tahun di MTS PUI Banjaran tahun ajaran

2020/2021.

J. Teknik Pengolahan Data

Setelah data dikumpulkan maka selanjutnya dilakukan pengolahan data. Ada empat

tahapan dala pengolahan data yang harus dilalui (Hastono dalam Farhatun, 2017).

1. Editing

Editing merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir atau

kusioner apakah jawaban yang ada sudah :

a. Lengkap

Semua pertanyaan sudah terisi dengan jawaban

b. Jelas

Jawaban pertanyaan apakah relavan desuai dengan pertanyaan


45

c. Relevan

Jawaban yang tertulis apakah relavan dengan pertanyaan

d. Konsisten

Apakah antara beberapa pertanyaan yang berkaitan isi jawabanya konsisten.

2. Coding

Coding Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk

angka atau bilangan. Kegunan dari coding adalah untuk mempermudah pada saat

analisis data yang mempercepat pada saat entry data.

3. Processing

Merupakan memproses dana dengan cara mengentry atau Memasukan data

kedalam computer atau aplikasi (SPSS) untuk melakukan uji normalitas data dan uji

T berpasangan.

4. Cleaning

Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yand sudah di masukan untuk

melihat apakah ada kesalahan atau tidak, jika ada kesalahan kemudian dilakukan

pembetulan atau koreksi.

5. Pengeluaran informasi

Setelah dilakukan pemeriksaan ulang, maka hasil pengolahan data dikeluarkan

sesuai dengan kebutuhan analisis data.


46

K. Analisa Data

a. Analisa univariat

Analisa univariat di gunakan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik masing-masing variabel yang di teliti. Karakteristik masing-masing

variabel yang di teliti. Karakteristik responden dan juga setiap kategori jawaban pada

pola asuh orantua serta kecerdasan emosional yang di isi anak siswa akan di paparkan

dalam bentuk frequensi dengan ukuran persentase atau proporsi.

b. Analisa Bivariat

Analisa bivariat di lakukan untuk melihat hubungan antara variabel independent

dan dependen. Adapun analisis bivariat dalam penelitian ini adalah untuk mencari dan

mengidentifikasi hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional anak usia

11-12 tahun. Analisa data yang di gunakan adalah uji kolerasi pearson product moment.

Hasil penelitian di bandingkan p-value dengan signifikan alpha 0,05. Apabila p-value

lebih kecil dari alpha 0,05 maka ada hubungan bermakna antar variabel independent

dengan variabel dependen dan apabila p-value lebih besar dari alpha 0,05 maka tidak

ada hubungan bermakna antara variabel independent dengan variabel dependen.

Analisa bivariat di lakukan untuk menguji hubungan anatar variabel

independent dan dependen dengan menggunaka uji Chi-square (X2). Uji Chi-square

adalh membanding frequensi yang terjadi (observasi) dengan frequensi harapan sama,

maka di katakana tidak ada perbedaan yang bermakna (Signifikan). Sebaliknya, bila

nilai frequensi observasi dan nilai frequensi harapan berbeda, maka di katakana ada
47

perbedaan yang bermakna (Signifikan).pembuktian dengan uji kai kuadrat dapat

menggunakan rumus: (Hastono,2007).

X2 = ∑ (0 – E )2
E
Keterangan;
O = Nilai Observasi
E = Nilai Ekspetasi (Harapan)
df = Derajat Bebas (b-1) (k-1)
k = Jumlah Kolom
b = Jumlah Baris
L. Etika Penelitian

Kode etik penelitian merupakan suatu pedoman etik yang berlaku untuk kegiatan

dalam penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti, dan masyarakat

yang memperoleh dampak dari penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2010). Etika penelitian

dibuat untuk menjamin hak-hak manusia sebagai responden seperti :

1. Selfdetermination merupakan kebebasan untuk terlibat atau tidak terlibat dalam

penelitian. Peneliti memberikan penjelasan kepada para calon responden tentang

kesedian ikutserta responden untuk ikut terlibat atau tidak ikut terlibat dalam

penelitian yang dilakukan peneliti. Bagi calon responden yang bersedia ikut terlibat

dalam penelitian ini kemudian dicatat oleh peneliti pada catatan calon responden tetap.

2. Privacy merupakan hak kebebasan individu dalam menentukan waktu, cara atau alat

yang digunakan, dan memberikan informasi. Peneliti juga menjelaskan kepada para

responden yang bersedia ikut terlibat dalam penelitian terkait informasi yang

disampaikan oleh responden.


48

3. Confendentiality yaitu kesediaan peneliti untuk menyimpan rahasia data responden

dalam penelitian dan tempat penelitian yang digunakan untuk kepentingan penelitian

dan dapat dihapus apabila sudah tidak dipergunakan kembali. Data tersebut seperti

nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, alamat temapt tinggal atau alamat rumah, no

handpone, dan lain-lain.

4. Fair treatment merupakan kesediaan peneliti untuk melindungi responden dari rasa

tidak nyaman. Peneliti memberikan penjelasan kepada para responden selama mengisi

kuisioner terdapat pertanyaan yang menyingung perasan responden atau merasa tidak

nyaman dengan pertanyaan tersebut, maka responden berhak untuk keluar dari

responden tetap.

5. Inform consent yaitu suatu lembar persetujuan antara si peneliti dengan para

responden. Tujuanya agar para responden paham terhadap tujuan dan maksud dari

penelitian yang akan dilakukan. Apabila responden merasa tidak nyaman dan tidak

bersedia, maka si peneliti harus menghormati hak responden yang tidak ingin

berpartisipasi dalam penelitian.


49

DAFTAR PUSTAKA
Astri Nur Arinta Putri, 2019. Hubungan Pola Asuh Orangtua Terhadap Tingkat Kecerdasan
Emosional Anak Usia Prasekolah (4-6) Di TK Dharma Wanita Ngawi. Madiun: STIKES
Bhakti Husada Mulia Madiun.

Carsel, Syamsunie, 2018. Metodolgi Kesehatan Dan Pendidikan. Yogyakarta: Penebar Media
Pustaka.

Utari Juliani, 2018. Hubungan Pola Asuh Orangtua Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Di
Paud Al Fitrah Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Begadai. Medan: Politeknik
Kesehatan Kemenkes RI Medan Prodi D IV Kebidanan

Handayani, Dkk, 2017. Penyimpangan Tumbuh Kembang Pada Anak dari Orangtua Bekerja
Volume 20 No 1 Jurnal keperawatan. Jakarta: Salemba Humaika.

Kemenkes. 2017. Provinsi Sumatera Utara Buku Saku Pemantauan Status Gizi Tahun 2017.
Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat.

Sandi Budi Darmawan, 2016. Hubungan Gaya Asuh Orangtua Dengan Tingkat Kecerdasan
Emosional Remaja Di SMP Negeri 1 Kalisat. Jember: Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Jember.

Lisa Sagita Zulfadilah, 2018. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kecerdasan Emosional
Remaja di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Tanjung Gusta. Sumatera Utara:
Universitas Sumatera Utara.

Jonta, T.Y (2018). Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dam Kenakalan Remaja. Skripsi:
Universitas Sanata Darma Yogyakarta.

Rosyidah, N. (2017). Hubungan Pola Asuh Orangtua Terhadap Kenakalan Remaja Pada
Siswa SMK Yayasan Cengkareng Dua Jakarta Barat. Skripsi: Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Dan Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Puput Chusnul Chotimah, (2020). Hubungan Pola Asuh Orangtua Otoriter Terhadap Perilaku
Agresif Remaja Usia 12-18 Di Desa Plalangan Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.
Skripsi: Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam Fakultas Ushuludin Adab Dan Dakwah Institut
Agama Islam Negeri Ponorogo.

Adawiah, Rabiatul. Pola Asuh Orangtua Dam Implikasinya Terhadap Pendidikan Anak.
Banjarmasin: ULM Banjarmasin, 2017
50

Cristina Haru Seotjiningsih. Perkembangan Anak Sejak Pembuahan Sampai Dengan Kanak-
Kanak Akhir. Kencana, 2018.

Fitriani, Andani. Dalam Skripsi, Identifikasi Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Agresif Siswi
SMK Piri 3 Yogyakarta, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan, 2018.

Kementrian Kesehatan RI, 2016. Buku Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi Dan
Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak.Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.

Goleman, D. (2001). Chapter three: An EI-based theory of performance. Dalam C. Cherniss


& D. Goleman (Eds.). The emotionally intelligent workplace: How to select for, measure, and
improve emotional intelligentinin dividuals, groups, and organizations. (27 44). San
Francisco: Jossey-Bass, A Wiley Company.

Eniyati. (2016). Hubungan Antara Pola Asuh Orangtua Dengan Status Gizi Balita.
Yogyakarta: STIKES Jendral A.Yani Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai