Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“PENYAKIT-PENYAKIT KRONIS PADA ANAK USIA DINI”

Dosen Pengampu : Dr. Delfi Eliza, S.Pd., M.Pd.


Disusun Oleh : Kelompok 3
 Dinda Shafira Haya (19022074)
 Dwi Miranti Putri (19022075)
 Hanna Angelina Sitorus (19022086)
 Nella Maulina (19022101)
 Nurul Anifa (19022106)

PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
TAHUN AJARAN
2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat
serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Kesehan dan Gizi AUD. Selanjutnya shalawat serta salam kami
sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yaitu Al-
Quran dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup umat manusia.
Dalam penyusunan makalah ini, kami banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi
dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu dapat teratasi. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada kita semua.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Padang, 15 Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................................…
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...........................................................................................................

B. Rumusan Masalah.......................................................................................................

C. Tujuan Penulisan.........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN

A. Penyakit-Penyakit Kronis Anak Usia Dini ………………………..………..............

B. Gejala Penyakit Pada Anak Usia Dini ………………...............................................

C. Solusi Untuk Mencegah Terjadinya Penyakit Pada Anak Usia Dini …………….....
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..................................................................................................................

B. Saran.................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit kronis merupakan kondisi yang mempengaruhi fungsi sehari-hari selama lebih dari
3 bulan dalam setahun, yang menyebabkan hospitalisasi dari 1 bulan dalam setahun atau
(pada saat didiagnosis) cenderung mengalami perawatan di rumah sakit secara berulang
(Wong, 2003). Penyakit kronis dapat menyerang segala usia, dari anak-anak hingga usia
tua. Satu dari sepuluh anak berusia di bawah 15 tahun diketahui menderita penyakit kronis,
sedangkan dalam studi epidemiologi lainnya, satu dari tiga anak berusia di bawah 18 tahun
menderita satu atau lebih penyakit kronis (Theofanidis, 2007).

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja penyakit-penyakit kronis pada anak usia dini?
2. Apa saja gejala-gejala dari penyakit-penyakit tersebut pada anak usia dini?
3. Bagaimana solusi dalam mencegah terjadinya penyakit-penyakit tersebut pada anak usia
dini?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui penyakit-penyakit kronis pada anak usia dini.
2. Untuk mengetahui gejala-gejalan penyakit tersebut pada anak usia dini.
3. Untuk mengetahui solusi dalam mencegah terjadinya penyakit-penyakit tersebut pada
anak usia dini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penyakit-Penyakit Kronis Pada Anak Usia Dini


1. Asma, PPOK, dan ACOS
Asma merupakan penyakit inflamasi saluran napas yang berhubungan dengan
hiperresponsivitas saluran napas menyebabkan penyempitan saluran napas berlebihan
karena adanya pemicu seperti virus, alergen dan aktivitas fisik yang menyebabkan
episode wheezing, kesulitan bernapas, sesak napas dan batuk yang dapat berbeda seiiring
waktu dan intensitasnya (Quirt et al., 2018). Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
menurut American Thoracic Society (ATS) adalah penyakit yang ditandai dengan
keterbatasan aliran udara yang irreversible. Keterbatasan aliran udara biasanya progresif,
berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel dan udara yang berbahaya,
dan paling utama disebabkan oleh rokok (Gentry & Gentry, 2017; Hosseini et al., 2019).
ACOS merupakan kasus penyakit saluran nafas kornik yang mempunyai gejala yang
overlap antara asma dan PPOK. Asthma-COPD Overlap Syndrome (ACOS) memiliki
karakteristik keterbatasan aliran udara seperti gejala asma dan beberapa gambaran gejala
menyerupai PPOK. Secara Klinis ACOS merupakan penyakit PPOK dengan
reversibilitas yang lebih tinggi dan/atau pasien asma dengan riwayat merokok yang akan
menyebabkan pasien mengalami obstruksi saluran nafas yang irreversible penuh pada
usia yang lebih tua (Gentry & Gentry, 2017; Wurst et al., 2016; Yanagisawa & Ichinose,
2018). Asma dan PPOK juga mempunyai perbedaan dalam hal terkait sel-sel inflamasi
yang berperan dan perubahan struktur saluran nafas.
 Pada asma, limfosit T yang berperan adalah TH2 dan CD4. Kemudian ditemukan
banyak eosinophil di saluran nafas, terjadi peningkatan IgE, dan terdapat penebalan
membrane basal dan hiperplasi otot polos. Pada PPOK dapat ditemukan banyak
neutrophil di saluran nafas, dan limfosit T yang berperan adalah TH1, CD8, dan TGF.
 Pada PPOK juga terdapat hiperplasi sel goblet dan kerusakan jaringan elastis MMP.
Untuk pengobatan, pada asma terjadi reaksi inflamasi yang berhubungan dengan
reaksi alergi yang sensitive kortikosteroid, sedangkan pada PPOK terjadi inflamasi
oleh pajanan iritan yang resisten terhadap kortikosteroid.

2. Stunting
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun) akibat
dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan
gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan
tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted)
dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau
tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-
Multicentre Growth Reference Study (MGRS) 2006. Banyak faktor yang dapat
menyebabkan tejadinya stunting. Faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik terutama
pada perilaku dan praktik pemberian makan kepada anak juga menjadi penyebab anak
stunting apabila ibu tidak memberikan asupan gizi yang cukup dan baik. Ibu yang masa
remajanya kurang nutrisi, bahkan di masa kehamilan, dan laktasi akan sangat
berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan otak anak.

3. Pneumonia
Pneumonia merupakan penyakit infeksi akut saluran pernafasan yang mengenai jaringan
paru-paru (alveoli). Penyakit ini merupakan infeksi serius yang dapat menyebabkan
morbiditas dan mortalitas pada anak di bawah usia 5 tahun (Kemenkes RI, 2012). Setiap
tahun lebih dari dua juta anak di dunia meninggal karena infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA), khususnya pneumonia. Faktor risiko pneumonia dbagi menjadi dua kelompok,
yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik (Notoadmodjo, 2010).
 Faktor intrinsik meliputi umur, status gizi, pemberian ASI Eksklusif, dan BBLR.
 Faktor ekstrinsik meliputi kondisi lingkungan fisik rumah, pendidikan ibu dan
pendapatan keluarga.

4. Tonsilitis
Tonsil merupakan salah satu pertahanan tubuh terdepan. Antigen yang berasal dari
inhalan maupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil hingga terjadi
perlawanan tubuh dan bisa menyebabkan peradangan oleh virus yang tumbuh di
membran mukosa kemudian terbentuk fokus infeksi. Keadaan ini akan semakin berat
jika daya tahan tubuh penderita menurun akibat peradangan virus sebelumnya. Tonsilitis
kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari semua penyakit tenggorok
yang berulang. Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut,
terutama yang tidak mendapat terapi adekuat. Selain pengobatan tonsilitis akut yang
tidak adekuat, faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis lain adalah higien mulut
yang buruk, kelelahan fisik dan beberapa jenis makanan. Angka kejadian tonsilitis kronis
meningkat dari tahun ke tahun. Insiden tonsilitis kronis juga paling banyak terjadi pada
anak. Tonsilitis kronis pada anak paling banyak terdapat pada kelompok umur 10-14
tahun. Tonsilitis kronis pada anak lebih banyak dijumpai pada jenis kelamin perempuan.
Banyak faktor yang menyebabkan tonsilitis kronis lebih sering terjadi pada usia anak.
Salah satu faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis adalah pengaruh beberapa jenis
makanan, hal ini disebabkan karena anak mengkonsumsi makanan seperti makanan
dengan pemanis buatan, mengandung banyak pengawet dan perawatan mulut yang tidak
baik.

5. Gingivitis
Gingivitis merupakan peradangan gusi yang paling sering terjadi dan merupakan respon
inflamasi tanpa merusak jaringan pendukung (Carranza dan Newman, 1996; Jenkins dan
Allan, 1999). Gingivitis berawal dari daerah margin gusi yang dapat disebabkan oleh
invasi bakteri atau rangsang endotoksin. Endotoksin dan enzim dilepaskan oleh bakteri
Gram negatif yang menghancurkan substansi interseluler epitel sehingga menimbulkan
ulserasi epitel sulkus. Selanjutnya enzim dan toksin menembus jaringan pendukung di
bawahnya. Peradangan pada jaringan pendukung sebagai akibat dari dilatasi dan
pertambahan permeabilitas pembuluh darah, sehingga menyebabkan warna merah pada
jaringan, edema, perdarahan, dan dapat disertai eksudat. Faktor lokal penyebab gingivitis
adalah akumulasi plak. Gingivitis mengalami perubahan warna gusi mulai dari
kemerahan sampai merah kebiruan, sesuai dengan bertambahnya proses peradangan
yang terus-menerus. Bentuk paling umum dan sering didapatkan pada anak adalah
gingivitis kronis. Gingivitis kronis merupakan suatu penyakit gusi yang timbul secara
perlahan-lahan dalam waktu yang lama. Apabila dibiarkan tanpa perawatan yang baik
dan benar, maka dapat berlanjut menjadi periodontitis. Gingivitis kronis yang
ditanggulangi dengan baik akan mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut anak secara
keseluruhan.

6. Leukemia
Penyakit Leukemia merupakan penyakit akibat proliferasi (bertambah banyak atau
multiplikasi) patologi dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik dan biasanya
berakhir fatal. (Nursalam, susilaningrum dan Utami, 2005). Leukemia merupakan
keganasan pada anak. Leukemia merupakan kanker yang berasal dari sumsum tulang
dengan karakteristik meningkatnya jumlah sel darah putih. Jenis Leukemia Berdasarkan
perjalanan penyakitnya, leukemia dapat dibagi menjadi:
1) Leukemia Lymphoblastik Akut (LLA)
2) Leukemia Myeloblastik Akut (LMA)
3) Leukemia Lymphoblastik Kronik (LLK)
4) Leukemia Myeloblastik Kronik (LMK).
Di antara jenis-jenis leukemia tersebut maka jenis LLA adalah yang paling banyak
terjadi pada anak-anak. Penyebab leukemia sampai sekarang belum diketahui secara
jelas, diduga bahwa factor infeksi, virus, zat kimia, radiasi dan obat-obatan dapat
mempengaruhi leukemia. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi sebagai pemicu
terjadinya leukemia. Faktor keturunan diduga mempengaruhi timbulnya kanker.
Terpapar sinar X pada ibu dengan kehamilan muda dapat beresiko terjadinya kanker
pada janin yang dikandungnya. (Nursalam, Susilaningrum dan utami, 2005).

7. Talasemia
Thalassemia adalah sekelompok heterogen anemia hipopkromik herediter dengan
berbagai derajat keparahan. Defek genetic yang mendasari meliputi delesi total atau
parsial gen rantai globin dan substitusi, delesi atau insersi nukloetida (Behrman, 2012).
Thalassemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan dan ditandai oleh defisiensi
produk rantai globin pada hemoglobin (Suriadi, 2006). Thalasemia merupakan penyakit
kronis yang terjadi pada anak-anak, dimana pasien memerlukan perawatan seumur
hidupnya. Penderita talasemia tergantung pada transfusi darah serta desferal seumur
hidup. Kondisi inilah yang mengharuskan pasien thalasemia masuk rumah sakit untuk
menjalani transfuse dan perawatan dalam frekuwensi yang sering. Dari beberapa
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa penyakit thalassemia adalah sekelompok
heterogen anemia hipopkromik yang diturunkan dan ditandai oleh defisiensi produk
rantai globin pada hemoglobin. Thalasemia adalah kelainan darah yang diturunkan dari
orang tua. Kelainan ini membuat penderitanya mengalami anemia atau kurang darah.
Kurang darah yang dialami penderita thalasemia akan menimbulkan keluhan cepat lelah,
mudah mengantuk, hingga sesak napas. Akibatnya, aktivitas penderita thalasemia akan
terganggu. Pasien thalasemia akan mengalami penuruan kadar Hb secara kontinyu
karena adanya lisis pada sel darah merah yang kurang dari 100 hari, kondisi ini yang
menyebabkan klien thalasemia memiliki kadar Hb yang rendah, sehingga terjadi
gangguan dalam pemenuhan oksigen tubuh dan ( perfusi jaringan ) akan mengalami
gangguan.

B. Gejala Penyakit Pada Anak Usia Dini


1. Asma, PPOK, dan ACOS
Pada umumnya pasien dengan ACOS memiliki gejala dan outcome yang lebih buruk jika
dibandingkan dengan pasien dengan asma ataupun PPOK saja. Pada penelitian terdahulu
dikemukakan bahwa bahwa ACOS memiliki gejala sesak napas yang lebih parah jika
dibandingkan dengan asma dan PPOK. Pada sebuah studi menunjukkan bahwa ACOS
memiliki gejala respirasi lebih berat disertai a penurunan fungsi paru 2,1 kali lebih
buruk, kejadian eksarsebasi yang lebih sering, jumlah rawatan di rumah sakit yang lebih
banyak jika dibandingkan dengan PPOK saja. Penelitian lainnya juga menunjukkan
bahwa ACOS memiliki rhinitis alergi yang lebih sering dibandingkan dengan pasien
PPOK (Sin et al., 2016). Manifestasi klinis yang terdapat pada kasus ACOS adalah batuk
kronik atau berulang, adanya produksi dahak, sesak nafas, wheezing, dan adanya infeksi
saluran nafas bawah yang berulang. Kemudian juga ditambah dengan riwayat asma,
riwayat paparan tembakau atau polusi sebelumnya. Pada pasien juga terdapat adanya
wheezing tetapi dapat juga ditemukan tanpa suara napas tambahan (Alshabanat et al.,
2015).
2. Stunting
Anak yang mengalami stunting lebih tinggi pada rentang usia 24-47 bulan akibat dari
kurangnya asupan gizi secara kronis sehingga pertumbuhan juga terganggu dan
dampaknya akan semakin terlihat pada usia tersebut dibanding usia sebelumnya (Nur
Endah and Adi, 2015).

3. Pneumonia
Anak balita dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih berisiko mengalami
pneumonia karena cenderung memiliki daya tahan tubuh kurang dan beberapa fungsi
organ belum matang seperti imaturitas organ pernafasan, pola nafas yang tidak efektif,
ketidakmampuan absorbsi nutrisi yang dapat menyebabkan pertumbuhan kurang sesuai
dengan usia. Kekebalan tubuh yang kurang baik dan pertumbuhan yang tidak sesuai serta
fungsi organ yang kurang apabila tidak diperhatikan dengan baik oleh orang tua akan
menjadikan anak balita mudah terserang penyakit.

4. Tonsilitis
Tonsilitis akut disebabkan oleh bakteri yang disebut peradangan lokal primer.
Peradangan dapat menyebabkan keluhan tidak nyaman kepada penderita berupa rasa
nyeri saat menelan karena sesuatu yang ditelan menyentuh daerah yang mengalami
peradangan. Peradangan tonsil akan mengakibatkan pembesaran yang menyebabkan
kesulitan menelan atau seperti ada yang mengganjal di tenggorok. Pada anak biasanya
keadaan ini juga dapat mengakibatkan keluhan berupa ngorok saat tidur karena pengaruh
besarnya tonsil mengganggu pernafasan bahkan keluhan sesak nafas juga dapat terjadi
apabila pembesaran tonsil telah menutup jalur pernafasan.

5. Gingivitis
Umumnya setiap individu mengalami peradangan gusi dengan keparahan dan
keberadaannya yang sangat bervariasi sesuai dengan umur, jenis kelamin, status sosial
ekonomi, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya (Forrester dkk, 1981; Mathewson dan
Primosch, 1995). Penderita gingivitis jarang merasakan nyeri atau sakit sehingga hal ini
menjadi alasan utama gingivitis kronis kurang mendapat perhatian. Rasa sakit
merupakan salah satu simptom yang membedakan antara gingivitis kronis dengan
gingivitis akut.

6. Leukemia
Menurut Nursalam, susilaningrum dan utami, 2005) gejala klinis yang khas pada
leukemia adalah:
 Anemia atau pucat (dapat terjadi menadadak), mudah lelah, kadang sesak nafas,
anemia terjadi karena sum-sum tulang gagal memproduksi sel darah merah.
 Suhu tubuh tinggi dan mudah terinfeksi. Adanya penurunan leukosit secara otomatis
akan menurunkan daya tahan tubuh karena leukosit yang berfungsi untuk
mempertahankan daya tahan tubuh tidak bekerja secara optimal. Konsekuensinya
tubuh akan mudah terkena infeksi yang bersifat lokal maupun sistemik, dan
kejadiannya sering berulang.
 Pendarahan. Tanda-tanda perdarahan dapat dikaji dengan adanya perdarahan mukosa
seperti gusi, hidung (epistaksis), atau perdarahan di bawah kulit (petekia). Perdarahan
dapat terjadi secara spontan atau karena trauma, tergantung pada kadar trombosit
dalam darah. Apabila kadar trombosit sangat rendah maka pendarahan dapat terjadi
secara spontan.
 Nyeri pada tulang atau persendian. Adanya infiltrasi sel-sel abnormal ke system
musculoskeletal mambuat anak merasa nyeri pada persendian terutama bila
digerakkan.
 Pembesaran kelenjar getah bening. Adanya pertumbuhan sel-sel darah abnormal pada
sumsum tulang mengakibatkan kelenjar getah bening mengalami pembesaran karena
infiltrasi sel-sel abnormal dari sum-sum tulang.
 Penurunan kesadaran. Adanya infiltrasi sel-sel darah yang abnormal ke otak dapat
menyebabkan berbagai gangguan di otak seperti kejang sampai koma.
 Kehilangan nafsu makan.

7. Talasemia
Pada penyakit thalassemia gejala klinis telah terlihat sejak anak baru berumur kurang
dari 1 tahun. Gejala yang tampak ialah anak lemah, pucat, perkembangan fisik tidak
sesuai dengan umur, berat badan kurang. Pada anak yang besar sering dijumpai adanya
gizi buruk, perut membuncit, karena adanya pembesaran limpa dan hati yang mudah
diraba. Adanya pembesaran limpa dan hati tersebut mempengaruhi gerak si pasien
karena kemampuannya terbatas. Limpa yang membesar ini akan mudah pecah/robek
hanya karena trauma ringan saja (Ngastiyah, 2005). Gejala lain yang khas ialah bentuk
muka yang mongoloid, hidung pesek tanpa pangkal hidung, jarak antara kedua mata
lebar dan tulang dahi juga lebar. Hal ini disebabkan oleh adanya gangguan
perkembangan tulang muka dan tengkorak, keadaan kulit pucat kekuning-kuningan. Jika
pasien telah sering mendapat transfuse darah kulit menjadi kelabu secara serupa dengan
besi akibat penimbunan besi dalam jaringan kulit. Penimbunan besi dalam jarimggan
tubuh seperti pada hepar, limpa, jantung akan mengakibatkan gangguan fatal alat-alat
tersebut (Ngastiyah, 2005).

C. Solusi untuk Mencegah Terjadinya Penyakit Pada Anak Usia Dini


1. Asma, PPOK, dan ACOS
Jika kecenderungan diagnosis mengarah kepada asma, maka dapat diberikan terapi
dengan kortikosteroid inhalasi dengan terapi tambahan seperti LAMA ataupun LABA
bila perlu. Jika kecenderungan diagnosis adalah PPOK maka dapat dimulai dengan terapi
bronkodilator (LABA dan/atau LAMA) atau dengan terapi kombinasi. Jika
kecenderungan diagnosis pasien adalah ACOS maka pengobatan dimulai dengan terapi
asma kemudian diobservasi lebih lanjut. Terapi yang digunakan seperti kortikosteroid
inhalan dosis rendah atau sedang tergantung dengan derajat gejala pasien. Kemudian
dapat ditambahkan dengan LABA dan/atau LAMA atau dilanjutkan dengan bersama
kortikosteroid inhalan jika telah digunakan.

2. Stunting
Masyarakat perlu memahami faktor apa saja yang menyebabkan stunting. Salah satu
faktornya, yaitu kekurangan gizi yang terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa
awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2
tahun.

3. Pneumonia
Rencana aksi global untuk pencegahan dan pengendalian pneumonia (The Global Action
Plan for the Prevention and Control of Pneumonia) dikembangkan WHO dan UNICEF
pada tahun 2007 sebagai panduan meningkatkan kesadaran terhadap pneumonia dan
peningkatan intervensi yang bermanfaat. Untuk mengurangi kematian yang disebabkan
oleh pneumonia memerlukan intervensi yang efektif, tersedia lebih luas dan lebih mudah
untuk anak-anak yang berisiko. Faktor risiko dapat dijadikan dasar dalam menentukan
tindakan pencegahan dan penanggulangan kasus.

4. Tonsilitis
Tonsil (amandel) merupakan dua kelenjar kecil yang ada di tenggorokan. Organ ini
berfungsi untuk mencegah infeksi, khususnya pada anak-anak. Penanganan tonsil
(radang amandel) ini dapat dilakukan dengan operasi, pemberian obat, atau cukup
dengan perawatan rumah. Selain itu, dokter juga akan menentukan metode penanganan
yang sesuai dengan hasil pemeriksaan kondisi pasien.

5. Gingivitis
Perawatan utama yang dilakukan terhadap gingivitis kronis pada anak yaitu
menghilangkan faktor etiololgi serta faktor lokal, pemeliharaan kebersihan gigi dan
mulut dengan sebaik mungkin serta melakukan tindakan profilaksis. Perawatan harus
segera dilakukan karena bila tidak maka akan berlanjut menjadi periodontitis.
 Perawatan gingivitis marginalis kronis.
 Perawatan eruption gingivitis.
 Perawatan gingivitis pada gigi karies dan loose teeth (eksfoliasi parsial).
 Perawatan gingivitis pada maloklusi dan malposisi gigi.
 Perawatan gingivitis pada mucogingival problems.
 Perawatan gingivitis karena resesi gusi lokalisata.
6. Leukemia
Menurut Pengobatan pada anak dengan leukemia meliputi: 1). Tranfusi sel darah merah
untuk mengatasi anemia, apabila terjadi perdarahan hebat dan jumlah trombosit kurang
dari 10.000/mm³, maka diperlukan tranfusi trombosit. 2). Pemberian Antibiotik
profilaksis untuk pencegahan infeksi. 3). Kemoterapi. Kemoterapi adalah pemberian
agen kimia atau obat antineoplastic yang bertujuan untuk mengobati penyakit melalui
penekanan pertumbuhan organ penyebab dan tidak membahayakan bagi anak.

7. Talasemia
 Terapi diberikan secara teratur untuk mempertahankan kadar Hb di atas 10 g/dl.
Regimen “hipertransfusi” ini mempunyai keuntungan klinis yang nyata. Transfusi
dengan dosis 15-20 ml/kg sel darah merah terpampat (PRC) biasanya diperlukan
setiap 4-5 minggu. Uji silang harus dikerjakan untuk mencegah alloimunisasi dan
mencegah reaksi transfusi. Lebih baik digunakan PRC yang relative segar (kurang
dari 1 minggu dalam antikoagulan CPD). Walaupun dengan kehati-hatian yang
tinggi, reaksi demam akibat transfusi lazim ada. Hal ini dapat diminimalkan dengan
penggunaan eritrosit yang direkonstitusi dari darah beku atau penggunaan filter
leukosit, dan dengan pemberian antipiretik sebelum transfuse (Behrman, 2012).
 Menurut Behrman (2012) terapi hipertransfusi mencegah splenomegali massif yang
disebabkan oleh eritropoesis ekstramedular. Namun, splenektomi akhirnya
diperlukan karena ukuran organ tersebut. Splenektomi meningkatkan resiko sepsis
yang parah sekali, dan oleh karena itu operasi harus dilakukan hanya untuk indikasi
yang jelas. Indikasi terpenting untuk splenektomi adalah meningkatnya kebutuhan
transfusi yang menunjukkan unsure hipersplenisme.
 Cangkok sumsum tulang adalah kuratif pada penderita ini dan telah terbukti
keberhasilan yang meningkat, meskipun pada penderita yang telah menerima
transfusi sangat banyak. Namun prosedur ini membawa cukup resiko morbiditas dan
mortalitas dan biasanya hanya dapat digunakan untuk penderita yang mempunya
saudara kandung yang sehat (Behrman, 2012).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari paparan atau penjelasan di atas, maka dapat kami simpulkan bahwa sesuai dengan
makalah “Penyakit-Penyakit Kronis pada Anak Usia Dini” kami menyimpulkan bahwa
penyakit kronis pada anak usia dini itu beragam seperti Asma, PPOK, dan ACOS, stunting,
pneumonia, tonsilitis, gingivitis, leukemia dan talasemia. Penyakit-penyakit tersebut dapat
disebabkan oleh banyak faktor, seperti kekurangan gizi, kurangnya asupan nutrisi pada saat
ibu hamil, faktor keturunan dan sebagainya. Jadi orangtua harus selalu memperhatikan
kondisi kesehatan anaknya setiap saat, apakah ada gejala-gejala yang timbul terhadap anak
atau kejanggalan. Terkadang ada beberapa penyakit yang tidak menimbulkan gejala apapun
sehingga orangtua harus periksakan kesehatan anak ke rumah sakit.

B. Saran
Penyakit-penyakit kronis pada anak usia dini ini memang masih bisa untuk disembuhkan
tetapi akan lebih baik lagi jika kita bisa mencegah penyakit-penyakit itu dengan cara lebih
menjaga kesehatan anak, karena lebih baik mencegah daripada mengobati.
DAFTAR PUSTAKA

Ceria, I. (2016). Hubungan faktor risiko intrinsik dengan kejadian pneumonia pada anak
balita. Medika Respati: Jurnal Ilmiah Kesehatan, 11(4).
Fakh, I. M., Novialdi, N., & Elmatris, E. (2016). Karakteristik Pasien Tonsilitis Kronis pada
Anak di Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2013. Jurnal Kesehatan
Andalas, 5(2).
Permatasari, D., & Yanti, B. (2020). Perbedaan diagnosis asma, penyakit paru obstruktif kronik
dan Asthma-COPD Overlap Syndrome (ACOS). Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 20(3).
Riyanti, E. (2008). Penatalaksanaan Terkini Gingivitis Kronis Pada Anak. Majalah Kedokteran
Gigi Indonesia, 23(3).
Subandi, A., & Ariani, I. (2019). Penyakit Kronis Sistem Pernafasan Anak Dengan
Stunting. Jurnal Kesehatan Al-Irsyad, 12(2), 125-131.

Anda mungkin juga menyukai