Anda di halaman 1dari 12

CERPEN BAHASA INDONESIA

TEMA : BUDAYA LOKAL (REMBANG)

Nama : Halimatus Sa’diyah

Kelas : IX-8

Absen : 15

Satu Budaya Menyatukan Kita Kembali

Bogor, 31 Oktober 2020...

Mentari itu tak lagi malu menampakkan dirinya. Angin pun tak segan-segan
menunjukkan bakatnya. Pagi telah tiba, hari baru telah dimulai. Hari Senin, 31 Oktober 2020
sudah menanti semangat dariku. Sudah puas akan liburan pasca ujian, hari ini aku dituntut untuk
melangkah mendekati masa depan yang cerah. Jenjang SMA, aku datang untukmu.

Aku seorang gadis remaja yang berusia 15 tahun. Namaku Faradilla Azzahra. Kalian
dapat memanggilku Farah. Aku berasal dari daerah Rembang, Jawa Tengah. Ayahku adalah
seorang tentara angkatan darat yang selalu berpindah tugas hampir setiap tahunnya. Bundaku
seorang dokter, yang bisa dibilang sudah profesional. Saat ini, kakiku berpijak di Bogor dan
entah sampai kapan kakiku dapat bertahan di sini. Yap, hari ini adalah hari pertama aku
melangkah ke jenjang SMA. Seperti yang kalian ketahui, sebelum masuk SMA tentu sekolah
akan mengadakan sederet acara dalam rangka penyambutan siswa-siswi baru, Masa Orientasi
Siswa.

MOS kali ini sangat unik, karena kami semua diharuskan untuk saling berkolaborasi
menampilkan kreasi dalam bentuk budaya lokal dari daerah asal setiap siswa. Setelah itu, kami
akan berkreasi berdasarkan kelompok yang telah ditentukan. Kebetulan aku satu kelompok
dengan Angel, Irham, Putri, Aldi, dan Aisyah. Entah ini keberuntungan atau memang sudah
takdir, kami semua berasal dari daerah Rembang, Jawa Tengah. Jadi, aku pikir tidak akan ada
masalah dengan persyaratan ini. Kami sepakat akan menampilkan drama menarik hampir seperti
ketoprak. Namun, sesaat setelah itu....
“Cek-cek... dicoba... 123....ehm. Assalamualaikum wr.wb, selamat pagi semuanya! Masih
semangat tidak pagi ini?” suara pembawa acara yang kuketahui bernama Elis, mengagetkan kami
semua.

“Selamat pagi, bu. Semangat!!” Sambung kami semua dengan teriakan yang mampu
membangunkan seluruh warga desa.

“Baik, tolong sekarang semua baris yag rapi dan dengarkan saya sebentar!!” perintah Bu
Elis dengan cukup tegas.

Otomatis kami semua langsung berpisah dengan kelompok dan baris seperti sediakala.
Mendengarkan dan mencatat apa yang dibicarakan Bu Elis, tidak boleh berbicara, dilarang
bertanya selama ia masih bicara, itu perintahnya. “Kenapa ribet banget sih aturannya?” gerutuku
hampir tak terdengar oleh telingaku.

“Oke, sekarang ibu akan jelaskan bagaimana aturan persembahan kreasi kalian lusa! Jadi,
untuk kreasi tersebut, kalian dapat mengkolaborasikan setiap kebudayaan dari anggota
kelompok. Ingat, kalian harus membuat suatu kreasi yang menarik, unik, bermakna, dan
bermutu. Kalian tidak boleh plagiat kreasi kelompok lain dan tidak boleh plagiat dari you tube
atau google. Mengerti anak-anak? Apakah ada yang ditanyakan?” jelas Bu Elis panjang lebar.

Setelah cukup lama berpikir, aku akhirnya mengangkat tanganku. Dan mulai bertanya
mengenai keganjalan dalam pikiranku. “Iya, apa yang ingin kamu tanyakan?” tanyanya agak
sarkas.

“Begini bu, dikelompok saya berasal dari daerah yang sama. Lantas bagaimana kami bisa
mengkolaborasikan budaya kami, sedangkan budaya kami itu sama? Terimakasih.” tanyaku
dengan rasa sedikit gugup. Bagaimana tidak, aku dipandangi hampir seluruh manusia di dalam
ruangan ini.

“Ya saya tidak mau tahu. Kenapa tadi saat pembentukan kelompok, kalian tidak protes
pada panitia? Intinya saya mau kreasi dengan suatu kolaborasi yang menakjuban.” Jawabnya
yang seakan tak memedulikan wajahku yang sudah memelas.

Kepalaku hampir meledak rasanya. Aku sudah sangat bingung memikirkan kreasi apa
yang nantinya akan kami tampilkan. Kupikir semuanya akan berjalan dengan lancar, namun
sepertinya akan susah dan perlu tenaga ekstra.

Aku beserta Angel, Irham, Putri, Aldi, dan Aisyah sudah berkumpul dalam satu
kelompok untuk mendiskusikan apa yang akan kami tampilkan lusa. Lusa??? Ya.... waktunya
hanya tinggal 48 jam. Sedangkan kami bahkan belum bisa menentukan kreasi apa yang akan
kami tampilkan. Boro-boro berkreasi, mengkolaborasikan apa saja, kami masih bingung.

“Huuuuh..stress aku!! Kenapa seperti ini, Ya Allah??” ocehanku sedikit tak bermutu.
“Ya Allah, bantu hambamu ini, Ya Allah. Mudahkanlah urusan kami. Semoga Farah
tidak stres dulu, Ya Allah. Jangan ambil nyawanya sekarang sampai lusa, Ya Allah. Kami masih
butuh dia, Ya Allah. Amin...” ucap Irham dengan tangan menengadah seperti berdoa, mata
tertutup, dan...bibir terangkat. Tunggu, dia mengejekku!! Namun....

“Amin...” sambung semuanya teman-temanku. Mereka juga mengejekku!!!

“Irham!!! Kamu bisa nggak sih nggak usah bercanda. Kalian semua juga, kenapa ikut
ikutan?” protesku tak terima karena harga diriku agak sedikit jatuh.

“Santai dong, Far. Jangan ngegas dulu. Kita semua bilang amin itu biar kamu nggak stres
beneran, nanti kalau stres kan jadi mati. Terus kita semua sedih. Emang kamu mau kita jadi sedih
terus nagis mulu mikirin kamu? Enggak kan?” goda Angel yang semakin membuatku naik darah.

“Iiiihhh, kalian semua jahat!! Aku mau pindah kelompok aja deh.” Ucapanku yang
seperti orang ngambek. Akhirnya aku berdiri dan menuju kelompok sebelah. Tapi tunggu,....
“Kok mereka nggak nyegah aku sih?” batinku dalam hati.

Aku kembali dengan wajah yang sudah memerah. “Kok kalian nggak nyegah aku supaya
nggak pindah ke kelompok lain sih? Kalian semua jahat!!” gerutuku yang hampir tak di dengar.
Akhirnya aku mengalah menuruti egoku. Dan meredakan kekesalanku.

“Ayolah....berpikir!! Kita mau buat kolab apa nih? Jangan pada bengong gitu dong!”
tegur putri yang kelihatan sudah stres.

“Santai dong, Put. Selow kayak di pantai. Selesaikan semua masalah dengan hati yang
dingin. Kalau hatinya panas, ya...,” ucapan Aldi menggantung sejenak. Kudengarkan baik-baik
ucapannya.

“Ya dinginin!! Wkwkwk....” tertawa dengan puas, ia membuat tangan indah kami
melayang ditubuhnya.

“Kamu tuh, ya. Aku kira mau ngasih saran atau apa, ehh taunya malah becanda.” Aisyah
menjadi tak sabar karena tingkah Aldi yang menjengkelkan.

Entah mengapa tiba-tiba aku terfikir dengan tradisi emprak di desaku. “Gimana kalau
digabungin aja, ya?” batinku seraya mengangkat bibirku lebar-lebar. Dan mungkin semua orang
bingung denganku.

“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri? Kesambet setan apaan kamu?” Irham yang
sedari tadi diam tak kuasa melihat keanehanku.

“Aku punya ide, gimana kalau kesenian di desa kita itu dijadiin satu. Gimana??” usulku
dengan penuh semangat dan penuh keyakinan.
“Ide bagus tuh. Boleh juga. Gimana teman-teman, kalian setuju? Setuju, kan? Ayolah
setuju, ya ya ya..” Aldi langsung mendukung keputusanku dan seakan akan ia sedang
mempromosikan keputusanku itu.

Semuanya saling menoleh dengan tatapan mata seakan-akan sedang berbicara pada satu
sama lain. “Setuju!!!” jawab mereka serempaak disertai senyuman yang mengembang.

“Oke, jadi kalau dar daerahku sih seni Emprak. Itu loh, yang kayak ada orang nari terus
diiringin sama gamelan. Pokoknya unik deh. Kalau dari daerahmu apa, Syah?” ucapanku
menerangkan seperti seorang guru.

“Kalau dari daerahku sih tongtongklek. Nggak usah aku jelasin lah, pasti kalian udah
pada tahu dong Tongtongklek itu kayak apa? Terus kalau di daerahmu apa, Ngel, Put? Kalian kan
satu desa?”

“ehh,,aku? Apa ya...?” ucapan Angel menggantung seperti sedang berpikir. “ oh iya, dari
daerahku itu ada kesenian Pathol Sarang. Itu loh,yang adu kekuatan antar kelompok secara
akrobatik. Pokoknya seru deh kalau lihat itu. Iya kan, Put?”, Putri hanya mengangguk
secukupnya.

“Kalau kalian berdua apa?” akhirnya pertanyaan jatuh pada Irham dan Aldi.

Aldi dan Irham saling menatap. Wajahnya beraut bingung. “Pasti sebentar lagi mereka
mau ngeles nih.”, tebakku dalam hati. Dan benar saja.....

“Ehmmm, itu...itu...nggak tahu. Hehehe....”, tawanya itu seperti orang tak punya dosa. Ya
ampun, maafkan hambamu ini, Ya Allah. Huuh.

“jadi, kalau gitu sekarang kita bakalan gabungin tradisi emprak, tongtongklek, sama
pathol sarang, oke? Masuk kan?”, ucapanku meminta persetujuan.

“Masuk Pak Eko!!”, ucap semua serempak. Mungkin saking semangatnya, sampai harus
dapat tatapan tajam dari kelompok lain. Bahkan ada yang mengejek kelompok kami. Nyebelin
kan?

“Woi, bisa diam nggak sih? Kami tahu kalau kalian semua itu dari desa. Tapi nggak usah
terlalu lebay juga lah ya.. ini itu sekolah favorit, jadi nggak usah bikin jelek nama sekolah deh.
Mending kalian diam aja. Kuping kita semua panas tau nggak sih?”, labrak Sinta di hadapan
kami. Yang kuketahui, Sinta berasal dari Jakarta, dia berperawakan cantik dan tinggi semampai.

Hatiku memanas mendengar perkataannya. Ia mengarah untuk menjatuhkan harga diriku


dan teman-temanku. Akhirnya kakiku kembali lurus mengangkat beban tubuhku.

“Maksudmu apa? Kamu nggak suka sama kami? Kalau nggak suka, bilang satu sama
satu! Jangan di tempat umum. Kalau kamu ngajak tempur, aku ladenin. Mau sekarang atau
besok? Lapangan masih luas, teman.”, labrakku dengan tubuh yang terus bergerak maju
menghilangkan jaraknya untuk mundur. Senyumku terangkat tinggi melihat tingkahnya yang
begitu ketakutan.

Aku kembali ke tempat duduk dengan langkah tegap penuh kebanggaan. Teman-temanku
di sana tampak sudah menungguku dengan sejumlah pujian. Ya itulah aku, terserah kalian mau
menilaiku seperti apa. Yang terpenting aku mencintai keadilan, dan aku harus mengamalkan itu.
Harga diriku tidak boleh dinjak-injak oleh sembarang orang.

“Wah wah wah, hebat banget kamu, Far. Mantul, mantap betul.”

“Subhanallah, Farah. Kamu keren banget!!”

“Ya ampun, Far. Sumpah, kamu kayak superman. Ajarin aku dong, Far.”

Begitulah kalimat-kalimat yang menyerbu kuping tak berdosa ini. Huuh, aku serasa
menyelamatkan nyawa seribu orang. Bangga deh.

“Udahlah, ayo lanjut buat bikin kolaborasinya! Nggak usah ngurusin si mulut nyinyir
itu!” ucapanku agak menaikkan nada suara. Mungkin seperti sedang menyindir.

“Ya udah deh, lanjut. Jadi, rencananya kita semua mau buat drama kayak Ketoprak tapi
dikombinasikan dengan pertunjukan adu kekuatan, terus nanti ada seasonnya buat bagian
tongtongklek yang tampil. Kalau dipikiranku sih, nanti bakalan jadi suatu kreasi yang menarik
dan megah.” Terang Aisyah. “Kalian pada setuju nggak?” tanyanya yang ia tahu pasti apa
jawaban kami.

Ya pastinya kami setuju. Senyuman kami menunjukkan jawaban kami. Kami pasti
setuju!!

“Oh, iya!! Gimana kalau kita pesen kostum sama properti lainnya mulai nanti sore aja,
itung-itung biar cepet aja? Gimana, pada setuju nggak?” usulku yang mungkin juga akan
disetujui oleh mereka. Sebenarnya aku mengusulkan itu supaya aku tidak kesepian di rumah.

Memang, kedua orang tuaku masih lengkap semua. Namun, suasana di rumah selalu saja
berbeda. Selalu sepi, sunyi, dan tak ada kebersamaan diantara kami semua. Ayahku selalu saja
pulang larut, biasanya bahkan sampai jam satu dini hari. Ibuku juga tak usah ditanya, mungkin
jam sebelas malam juga baru pulang. Sedangkan aku, aku selalu berdiam sendiri di rumah
bahkan hingga enam jam. Pasti dan pasti, diriku selalu merasa kesepian. Sepi walaupun semua
masih lengkap.

Oke, kembali ke topik!! Tak terasa waktu pun bergulir dengan sekejap. Baru saja kulalui
rintangan pagi itu, namun sekarang senja itu mulai menjemput kesialan hari ini. Mungkin,
kusudah mulai bisa menerima semua perbedaan yang terasa nyata di sini. Bayangkan saja,
Rembang ke Bogor. Sudah dipastikan akan sangat jauh berbeda. Namun aku harap perbedaan itu
dapat menyatukan kita. Kita yang selama ini tak pernah saling mengenal. Dan di sini, kita
dipertemukan dalam perbedaan. Tugasku adalah, menyatukan kita dengan perbedaan yang kita
miliki.

Satu...dua...ti... Tring!!! Bel pulang sudah mulai menyemangati kami semua. Tak usah
kaget, tapi memang itu kenyataannya. Hari ini sangat melelahkan.

“Oke guys, kita semua jadi booking aksesoris pentas nggak? Kalau jadi, aku mau
hubungin mama aku supaya nggak usah jemput aku.” Pertanyaan dari Putri yang mengingatkan
kami akan rencana tadi siang.

“Jadi, dong. Ayo berangkat!! Gaskeun!!!” Aldi yang secepat kilat langsung menyahut
ucapan Putri. Mengingatkan kami akan semangat yang belum keluar hari ini.

“Ashiap bosku!!! Ayok berangkat gaes!!” Irham juga tak mau kalah mengungkapkan
semangat dalam dirinya.

Kupikir akan seru sore ini, semoga saja.. pikiranku mulai berangan akan suasana yang
akan terjadi sore ini. Melupakan semua masalah, dan menciptakan sebuah kegembiraan dalam
hidup. Mungkin akan seru.

“Eh, eh...ntar dulu aja deh. Makan dulu aja, aku laper nih. Kalian juga pasti pada lapar,
kan?” angel yang mungkin sudah tak tahan akan perutnya yang sudah bersholawat. “Iya deh,
makan dulu aja guys. Daripada nanti perut kita pada lapar, terus nggak konsen, terus nyasar,
terus mati, gimana coba?” wush....seketika cerocosan itu langsung menyambar seperti kilat. Putri
juga sudah stres kelihatannya.

Shuut ..... telunjukku auto maju mendekap sebagian bibir putri yang terus nerocos tak
masuk akal. “Ya udah deh, ayo kita makan dulu aja. Daripada tuh dua makhluk makin gila, aku
nggak mau tanggung jawab lho ya...” aku berbicara kepada semua orang didekatku selain Angel
dan Putri yang memang telah berjalan mendahului kami memasuki mobil.

Di dalam mobil, kami habiskan waktu yang mungkin akan membosankan dengan
bernyanyi, bercanda, dan main tebak-tebakan. Untuk saat ini, kami akan bebaskan pikiran kami
untuk tak terikat akan rumitnya kegiatan MOS di sekolah baru kami. Andaikan kau datang
kembali.....jawaban apa yang kan ku beri.... Lagu dari Noah masih setia menemani perjalanan
kami. Menenangkan pikiran kamiyang mungkin sudah minta diistirahatkan.

Satu jam perjalanan telah berlalu dengan cepat. Beneran,, nggak keras kok lamanya. Saat
ini kami sudah sampai di tempat makan langganan kami. Walaupun perjalanannya cukup jauh,
tapi semua itu akan terbayarkan dengan cita rasa makanan khas dari rumah makan ini. Masakan
Jawa. Ya.... masakan jawa memang selalu menjadi opsi utama kami dalam memilih makanan.
Entah bagaimana bisa kita semua satu hati? Mungkin karena lidah kita yang sudah terbiasa akan
lezatnya makanan Jawa. Harumnya bau rempah-rempah Jawa. Dan cara makan di Jawa yang
selau menjadi kenangan tersendiri bagi kami semua.

Kami semua melangkahkan kaki kami menuju tempat makan itu. Dekorasi di sana
sangat indah. Dengan nuansa Jawa modern yang sama sekali tidak menghilangkan kesan unuk
dari daerah Jawa. Dan betapa kagetnya saat kami melihat opsi menu makanan dan tempat dari
Rembang. Oohhh.. opsi baru rupanya. Maklum, kami memang sudah agak lama tidak kesini.
Dan tentu, kami semua memilih opsi daerah Rembang.

“Wahh...keren banget dekorasinya. Ini tuh kayak beneran kita lagi ada di Rembang. Aku
jadi kangen Rembang.” Rasanya sangat tidak percaya dengan apa yang sedang kulihat. Seperti
kampung halamanku. Aku tak bisa bohong tentang ini. Aku kangen Rembang. Kangen dengan
semua keunikannya.

Tidak usah menunggu lama, tak ada setengah jam, pesanan kami sudah tersedia di meja
makan. Sudah tak sabar rasanya ingin menyantao semua makanan ini. Sungguh, ini semua
mengingatkanku akan keceriaan di Kota Rembang.

“Hei!!! Kamu kenapa bengong, Far? Ayo makan, keburu makanannya dingin lho..”
Aisyah yang duduk di sebelahku membangunkanku dari lamunan yang tiba tiba muncul.
Lontong tuyuhan, gado-gado, pecel, sate srepeh, sayur mrico, urap latoh, dan soto sudah tersedia
di depan kami. Sungguh kenikmatan yang luar biasa. “Oh iya, aku lupa. Kita belum pesan
semangka kan? Aku pesenin ya?” Irham tiba-tiba angkat bicara dan dengan sigap lansung
menghilang memesan semangka kepada pelayan rumah makan. Aku juga bingung, kenapa Irham
memesan semangka? Huuuhh sudahlah. Yang penting makan.

Irham kembali dengan senampan semangka segar berwarna merah. Ia duduk bersila dan
langsung menyantap makanannya bersama dengan.... pikiranku seakan langsung bertanya,
semangka? Ya, Ia makan dengan semangka? Apa rasanya enak?

“Ham, kok kamu makan soto sama semangka, sih?” Aldi yang sedari tadi sudah asyik
menyantap lahap makanannya, rupanya juga merasa ada yang aneh dengan sikap Irham. “Iya,
aku emang udah biasa makan sama semangka. Kalau makan nasi nggak pakai semangka itu
rasanya kayak ada yang kurang. Masalahnya aku udah kebiasaan dari kecil. Semua tetanggaku
rata-rata juga makan sama semangka kok. Nggak usah kaget gitu deh, ayo makan!!” Irham
menjelaskan semuanya dengan begitu santai. Lantas aku berpikir, ternyata banyak sekali
kebudayaan unik yang ada di Rembang.

Perut kami rasanya sudah tak kuat menampung apapun barang setetes air putih.
Bayangkan saja, seluruh makanan yang sudah dipesan tak meninggalkan noda sedikitpun di atas
piring saji. Mungkin kelihatannya rakus, tapi biarlah. Lagipula kami disini juga sendiri. Tak ada
pengunjung lain yang terlihat. Mungkin mereka semua sudah pulang. Kami pun bergegas menuju
kasir untuk membayar semua pesanan kami. Setelah lunas, kami lantas berrgegas menancap gas
pada mobil untuk menyewa dan membeli semua perlengkapan untuk pertunjukan antar tim pada
acara MOS esok lusa.

Semuanya sangat ribet. Bayangkan saja, sudah tiga toko yang kita jumpai, namun nihil
tidak ada hasil. Tidak ada satu pun toko yang menjual perlengkapan adat Jawa Tengah. Mobil
pun terus melaju dengan kecepatan normal melewati beberapa jalan tol. Mungkin ini yang
berbeda dari Rembang, sarana transportasi yang lebih maju. Namun tetap saja, di sini ribet dan
tak beraturan. Banyak polusi dan kebisingan selalu terdengar di mana mana. Tidak seperti di
Rembang, di sana kadar polusi yang masih terkontrol dan jarang kita jumpai kebisingan di setiap
harinya.

“Gimana nih, kita udah masuk ke tiga toko dan nggak ada hasilnya sama sekali. Kalau
toko ke empat ini kita masih nggak dapat barangnya, aku nyerah aja deh. Aku capek, mau
pulang.” Putri sepertinya sidah mulai lelah karena terus berada dalam mobil hampir selama tiga
jam. Dari pukul tujuh hingga sekarang pukul sepuluh malam. Huuuh...sungguh melelahkan.

Oke, sekarang kita akan masuk ke toko yang ke empat, gimana hasilnya? Kaki kami
sudah masuk, aku sempat melihat Putri yang sudah terlihat lelah. “Mas, di sini jual aksesori buat
drama tradisional ketoprak, nggak ya?” hatiku benar benar sangat was-was dengan jawaban apa
yang akan diberikannya. Dan...... “Ada mbak, kethoprak yang pertunjukan dari Rembang itu,
kan?” Mas-mas itu benar benar baik dan mungkin ia tahu tentang daerah Rembang.

“Iya, mas. Kok mas tahu Rembag, sih?” Aku saat itu juga keheranan, begitu juga teman-
temanku. Untuk itu, aku mewakili kebingungan mereka semua dan bertanya kepada mas-mas
toko itu. “Oh....itu, saya aslinya dari Rembang. Lha mbak-nya kok juga tahu Rembang, mbaknya
juga orang Rembang ya?” dan ternyata kita satu daerah. Aku hanya mengangguk dengan seulas
senyuman untuk menjawab pertanyaan darinya.

“O ya, mas-nya pasti tahu kan aksesoris apa saja yang dibutuhin?” Angel langsung
menyambar dengan antusias. Mungkin dia ingin segera pulang. “Iya, saya taho kok. Mau tambah
aksesoris lainnya?” mas-nya malah menawari.

“Kalau aksesoris buat emprak, tongtongklek, sama pathol sarang ada nggak mas? Kalau
ada saya mau pesan sekalian.” Aku seketika langsung menyahut pertanyaan mas-nya. Supaya
nggak terlalu ribet nyari di beda toko.

“Ada kok, mbak. Untuk berapa orang ya?” Yey,,,,batinku dalam hati sangat senag.
Mungkin sama dengan teman-temanku yang sudah nampak lelah dan mengantuk. “Oh, itu.
Untuk enam orang, mas. Yang empat perempuan, yang dua laki-laki. Gimana, bisa kan mas?”
Sudah pasti bisa dong ya.....

“Oh,,,gitu ya. Bisa kok mbak. Itu mau dipakai kapan mbak. Kelihatannya barangnya baru
bisa dianter besok pukul sepuluh pagi. Gimana, setuju? Kalau setuju, saya buatkan surat
penyewaan sekarang.” Ternyata semuanya berjalan dengan lancar walau harus berpindah toko
empat kali.

“Iya, mas. Kami setuju kok. Besok pagi anter di alamat ini aja ya, mas. Di rumah ada
mbok sama pak satpam kok. Nanti biar dibantuin sama mereka.” Tanganku menjabat tangannya
sebagai tanda persetujuan atas penyewaan semua barang.

Kami meninggalkan toko dengan seulas senyuman puas. Akhirnya, beres juga batinku
dalam hati yang sangat sejuk rasanya. Kaki kami sudah berjalan memasuki mobil yang terlihat
semakin dekat. Namun, terdengar suara yang keras dari seseorang di sebelahku yang disusul
dengan sekelebatan orang berbaju hitam. Copet!!!! Teriakan Putri sangat memekakkan telinga
kami.

Irham dan Aldi yang berkelamin laki-laki tentunya lansung berlari mgejar copet itu
disusul warga sekitar yang mungkin dengar akan teriakan kami. Mungki sekitar sepuluh menit,
akhirnya Aldi dan Irham kembali dengan membawa tas milik Putri. Syukurlah...

“Gimana, Put. Kamu masih syok nggak, kamu bisa berdiri?”, aku juga sangat khawatir
akan keadaan Putri. Begitu juga dengan Angel, Aisyah, Irham, dan Aldi. Walaupun kami semua
baru saja bertemu pagi ini, namun rasanya kami sudah bersahabat sejak sepuluh tahun yang lalu.
Kami merasa sangat cocok satu sama lain. Mungkin inilah yang disebut sebagai persatuan.

“Nggak kok. Aku bisa berdiri sendiri. Makasih ya teman-teman.”, seulas senyuman indah
itu akhirnya nampak diwajahnya walaupun tak bisa menutupi raut wajahnya yang lemas. “Ayo
kita pulang sekarang. Nggak aman malam-malam kita masih di luar kayak gini.”, ucap Aisyah
yang terdengar bijak, namun dengan wajah yang ketakutan. Membuat kami semua tertawa cukup
keras, sedang Aisya hanya menampakkaan wajah bingungnya.

Mobil melaju dengan kecepatan normal melewati sat per satu tol yang ada. Menerjang
dinginnya udara malam. Mendekatkan kami pada tempat pulang. Ke pelukan orang terkasih.
Namun berbeda dengan aku, aku pulang namun tidak ke pelukan orang terkasih. Namun aku
pulang ke tempat yang asing. Sangat asing, hingga aku butuh beberapa waktu untuk
menyesuaikan diri.

Shitttt.... decitan rem sangat jelas terdengar telingaku. “Ada apa, Di?” Kaget, sangat kaget
dengan kejadian ini. Bayangkan saja, aku yang baru saja terlelap lansung tersungkur ke kap
mobil dan jelas terdengar bunyi decitan rem yang sangat ngilu. “Maaf, Far. Tadi ada kucing tiba-
tiba nyeberang jalan sembarangan. Aku jadinya nge-rem mendadak. Maaf ya..”, dan ternyata
hanya seekor kucing. Aku kira apa....

Kira-kira tiga puluh menit lagi aku akan sampai di depan rumahku. Apakah mereka sudah
pulang? Atau aku akan sendirian seperti biasanya? Pikiran ini terus berjalan memikirkan
keluargaku. Kenapa kami tak bisa bersama sebentar saja? Selalu saja mereka sibuk mencari uang
tanpa ada sisa waktu untukku. Aku tahu mereka mencari uang untuk kebutuhanku, namun aku
juga butuh mereka, bukan hanya butuh uang mereka.

“Far...Farah.. ayo bangun, udah sampai di depan rumah kamu. Aku anterin sampai
gerbang ya?” ,Aldi menepuk pundakku guna membangunkanku. Ia juga mengecilkan volume
suaranya mengingat semua orang di jok belakang mobil masih tertidur pulas. “Jadi ini mobil
kamu yang bawwa aku dulu apa gimana?”, Aku juga bingung harus bagaimana. Nanti kalau
mobil nggak ada di garasi pasti ayah marah. Tapi gimana sama teman-teman.... berfikir cepat di
saat baru bangun tidur ternyata sangat susah.

“Oh ya, gimana kalau kalian semua nginep dulu di rumahku malam ini? Besok kua
berangkatnya bareng. Kalian semua kan pasti juga bawa baju ganti, kan?”, akhirnya ide itu yang
muncul dalam pikiranku saat ini. “Ide bagus tuh, tapi nanti kalau mereka pada dicariin orang
tuanya gimana?”, Aldi juga merasa cemas

“Udah, itu mah gampang. Nanti orang tuanya biar aku aja yang ngabarin. Sekarang
masuk dulu yuk!!”, aku mempersilahkan Aldi untuk masuh ke dalam halaman rumah dan
memarkirkan mobil dengan rapu di garasi. Mobil pun terparkir sempurna di dalam garasi
rumahku.

“Guys, ayo bangun dulu....”, teriakku sambil menepukkan tangan dengan keras. Hingga
semua orang bangun. “Jadi, kalia malam ini nginep dulu di rumahku. Besok kita berangkat
sekolah bareng-bareng, okay?”, begitulah ocehanku. Dan tanggapa mereka hanya satu kali
anggukan tak niat ditambah wajah ngantuk akut. Sudahlah. Dan akhirnya aku biarkan mereka
semua masuk ke dala kamar tamu. Kebetulan di rumah punya 2 kamar tamu, jadi nggak perlu
ada yang tidur di kamarku. Hehehe....

***

Pagi ini ayam berkokok dengan keras. Alarm ku hampir tak terdengar tersamarkan oleh
suara ayam pagi ini. Seperti biasa, pagi ini aku langsung sholat, mandi, ganti baju, makan, dan
berangkat sekolah. Aku turun dan melihat orang tuaku bersama teman-temanku sudah
menungguku untuk sarapan di bawah. Aku berpikir dengan keras, “Apa orang tuaku tidak marah
kepadaku karena aku membawa temanku menginap di rumah tanpa izin? Ya, gimana mau izin,
orang tuaku saja pulang larut.”

“Farah, kamu kok nggak bilang sih kalau temanmu pada nginep di rumah. Tau gitu kan
tadi malam bunda bawain makanan dari luar.”, ucap bunda tanpa raut muka marah.

“Emm, itu bun. Kemarin malam aku udah ngantuk banget. Jadi nggak sempat ngabarin.
Maaf ya, bun”, ucapku seraya meminta maaf

“Ya udah, nggak apa-apa. Sekarang kalian pada makan, terus berangkat gih. Nanti kalau
telat, bahaya.”, bunda pergi ke kamarnay. Mungkin mau istirahat.
Setelah menghabiskan sarapan, akmi pun pamit kepada bunda dan langsung berangkat ke
sekolah. Aku ingat, nanti sekitar pukul sepuluh, barang yang kami pesan akan datang ke rumah.
Jadi, aku sempatkan dulu untuk berpesan mengenai hal itu pada Mbok Darsi pagi ini.

Seperti biasa, sekolah masih nampak sepi saat jam segini. Padahal, dulu saat aku SMP di
Rembang jam segini murid yang datang udah lumayan banyak. Daripada nunggu sekolah rame
sambil diem aja, mending aku sama teman-teman ngurusin acara MOS buat besok. Besok.....

“Oke,,,jadi semuanya udah beres, kan? Tinggal latihan, dan tampil besok. Pokoknya nanti
sore kita latihan di rumah Angel. Okay??”, aku selalu bersemangat membahas ini.

“Okay....”, jawab seluruh temanku dengan kompak

Hari ini kegiatan MOS berjalan dengan lancar hingga bel pulang sekolah. Tak seperti
kemarin yang harus menghadapi berbagai nyinyiran murid sebelah. Dan sekarang, waktunya
berlatih untuk menampilkan kreasi kami di depan panggung besok.

Kami berlatih, berlatih, dan berlatih. Hingga akhirnya kami berhasil menampilkan kreasi
yang menarik dan unik pada percobaan kami yang kelima. Sungguh melelahkan. Namun
memang benar kata pepatah. Usaha tak pernah mengkhianati hasil. Sekarang kami semua puas
akan semua perjuangan yang kami lakukan sejak kemarin. Hanya tinggal menunggu waktu
tampil. Dan kami akan melihat keberhasilan yang sesungguhnya.

***

Hari ini adalah hari dimana kami semua akan tahu bagaimana hasil dari jeri payah kita
selama 48 jam berusaha. Panggung megah sudah tertata mewah di aula sekolah baru kami.
Kelompok kami mendapat urutan maju nomor 2. Jadi, kami bisa berlatih sebentar lagi.

Kelompok satu sudah menunjukkan bakat mereka dengan tarian Gambyong. Dan
sekarang giliran kelompok kami yang akan menampilkan kreasi kami. Jadi,1 2 3....... Lampu
panggung menyoroti kami secara bergantian dengan sempurna.

“Wahhhh...serasa nonton drama luar negeri tahu nggak...keren banget!!”, seru salah satu
murid yang duduk di depan panggung.

Kami terus melanjutkan drama kami hingga selesai. Dan kemudian disambut riuhnya
tepuk tangan seluruh penonton. Kami merasa sangat tersanjung atas semua ini. Kami bangga
akan kebudayaan Rembang yang begitu unik sehingga kami bisa berhasil hari ini.

Pengumuman juara pentas kreasi. Juara pertama tentu diraih oleh kelompok kami.
Sungguh kami sangat bangga akan budaya Kabupaten Rembang.

Anda mungkin juga menyukai