Aku dan rombongan dari SMP Erlangga mengikuti lomba seni di kota
Subang. Kami berasal dari sekolah yang jauh dari kota, sekolah kami cukup
terbilang terpencil dengan keberadaannya yang tidak terlalu dikenal banyak orang.
Kami mengirimkan sembilan orang untuk dua bagian, yaitu empat orang laki-laki
bermain sisingaan, dan sisanya perempuan yang menjadi penari dalam mengiringi
sisingaan tersebut. Di antara kelima penari itu aku salah satunya.
Mengikuti acara lomba seperti ini adalah hal yang baru untukku dan
beberapa temanku. Sehingga ketika kami bersiap menampilkan tarian, wajah kami
begitu terlihat kurang percaya diri, mungkin gugup karena baru pertama kali
tampil di hadapan ratusan orang. Dengan hati yang berusaha menenangkan
kegugupan, kami memulainya. Beruntungnya, walaupun ekspresi kami di awal
terlihat tegang, tetapi akhirnya kami bisa menyelesaikan tampilan dengan lancar.
Saat kami berjalan menjauhi lapangan dengan tujuan menuju barak, tiba-
tiba suara asing terdengar ditujukan kepada kami.
“Kalo emang gugup, enggak perlu maksain lomba dong! Yang ada malah
malu-maluin sekolah sendiri aja. Udah dari kampung, terpencil, enggak pernah
berprestasi lagi. Buat apa ikut lomba ke kota segala?” ucap seseorang dengan nada
keras.
Aku dan teman-temanku menoleh saat mendengar kalimat tidak
mengenakan hati itu, terlihat tiga anak laki-laki dengan baju seragam
rombongannya menatap kami dengan tatapan meremehkan. Aku menatap dia dan
kedua temannya yang berada di sampingnya. Penampilannya cukup mewah. Aku
tahu bahwa mereka berasal dari sekolah kota.
“Maaf ya, memangnya urusan sama kamu apa?” kataku sambil menatap
mereka, dan berusaha untuk tetap lembut walaupun sebenarnya hatiku sudah
panas.
“Jelas urusannya karena kalian itu enggak pantas ada di sini! Juara juga
enggak bakal, malah nambah-nambah saingan saja. Kalian pikir, lomba di kota itu
gampang? Cih, jangan berharap lebih!” semburnya setelah mendorong pundakku.
Aku terkejut dan meringis sakit akan hal itu. Bukan aku saja yang terkejut
tetapi teman-temanku juga sama terkejutnya. Dengan cepat teman-temanku
mendekat membantuku untuk berdiri.
“Maaf sebelumnya, kalo kalian enggak suka sama kehadiran kami, enggak
usah sampai kayak tadi, bisa enggak? Juara atau tidaknya itu bukan patokan kami
buat lomba. Jadi tolong jangan bicara lancang, karena kita kan tidak saling kenal.
Kejadian kayak gini bisa jadi masalah besar kalo ini terus berlanjut. Saya harap
kita bisa lomba secara sehat. Permisi.” tegas Raihan sembari menahan emosinya.
Setelah mengatakan itu, Raihan memimpin kami untuk pergi dari sana.
Meninggalkan ketiga anak laki-laki yang terlihat masih tidak puas dengan yang
telah mereka lakukan.
•••
Aku tidak terlalu memikirkan tentang kejuaraan itu, namun hati tetap saja
menyimpan harapan. Lagi pula, rombongan mana yang tidak ingin membawa
pulang piala? Walaupun kami sedikit kurang percaya diri karena kegugupan kami
sebelum memulai tampilan. Tetapi tidak menutup kemungkinan kan kalau kami
bisa memenangkan kejuaraan?
Waktu sudah menjelang malam, peserta yang mengikuti lomba pun sudah
selesai ditampilkan semua. Untuk memanfaatkan waktu luang sebelum menunggu
pengumuman kejuaraan, kami membeli jajanan terlebih dahulu untuk mengisi
perut kami yang sudah keroncongan.
“Han, Taupik sama yang lainnya ke mana?” tanyaku saat menyadari tidak
ada mereka.
Aku mengangguk mengerti, “Ya udah aku beli nasi goreng dulu ya di
sebrang.” kataku kepada kelima temanku.
Aku tersentak, tidak hanya aku bahkan semua orang yang berada di sana
pun ikut terkejut mendengar suara keras itu. Alisku mengerut ketika melihat anak
laki-laki yang tadi siang bertemu dengan kami di sana. Bedanya dengan tadi,
sekarang dia sendiri tanpa kedua temannya.
Aku lihat Taupik memegang pipi kirinya. Entah karena apa. Tapi, aku
curiga kalau pipinya dipukul oleh anak laki-laki itu. Jika benar seperti itu, aku
sudah tidak habis pikir dengan jalan pikiran anak laki-laki yang bahkan tidak kami
kenali.
Tanpa diduga, anak laki-laki itu menarik kerah baju Taupik hingga
temanku hampir tercekik. Bapak-bapak yang menyaksikan itu pun dengan cepat
memisahkan kegaduhan itu.
“Hei berhenti! Kalian ini apa-apaan sih? masih anak-anak kok udah ribut
segala!” ucap bapak-bapak yang memisahkan kegaduhan tadi.
Anak laki-laki itu melepaskan cekalannya pada kerah baju Taupik, teman
laki-lakiku memundurkan langkah Taupik agar menjauh dari dia.
Raihan melangkah mendekati anak laki-laki yang sedang mengatur
emosinya. Tatapan Raihan sudah sangat menyiratkan kemarahan, aku bahkan
sampai merinding melihat itu.
•••
Kami saling menatap satu sama lain, lengkungan di bibirku sengaja aku
tunjukan saat melihat sorot mata mereka yang berkaca-kaca. “Masih ada
kejuaraan yang lain, tenang...” kataku lembut.
Kami menundukkan kepala dalam, hati kami malam ini terasa ditimpa
batu besar, harapan kami terasa dihantam kenyataan. Sesak rasanya apabila
membayangkan kami pulang tidak membawa piala, memang benar bahwa patokan
kami lomba bukan ini, tetapi tetap saja mendapatkan kejuaraan adalah suatu hal
yang diinginkan.
Aku dan teman-temanku melotot kaget, dengan keras kami bersorak saat
mendengar nama sekolah kami disebutkan. Aku berdiri dari dudukku karena
teman-temanku menyuruhku untuk menjadi perwakilan ke atas panggung, aku
berlari menuju panggung, di atas sana aku masih tidak menyangka. Apabila ini
hanya imajinasi atau mimpi semata, aku akan marah sejadi-jadinya kepada diriku
sendiri.
“Selamat ya,” ucap bapak-bapak yang memberikan piala tersebut. Aku
tersenyum mencium tangan bapak itu dengan air mata berlinang.
Setelah selesai sesi pemberian piala dan pemotretan, aku turun dari
panggung lalu berjalan mendekati rombonganku. Mereka menyambut dengan
antusias kedatanganku, senyuman kebahagiaan terbit dari bibir mereka. Ini, benar-
benar tidak aku sangka.