Anda di halaman 1dari 23

PROLOG

Kata orang, ada pepatah tak kenal maka tak sayang. Maka
dari itu perkenalkan aku Aroena Pramoedya, ayahku seorang
dosen. Bagiku ini sudah sulit untuk masa remaja ku yang tidak
stabil karena setiap orang tua ku dinas keluar aku mau tidak mau
harus mengikuti ayahku berdinas. Lelah berkenalan dengan orang
baru dan itu terjadi pada hari ini, aku harus ikut dengan ayahku
untuk kembali pada kota kelahiran, iya itu di Bandung.

Sungguh senang namun aku takut akan tidak ada yang mau
nerima orang yang berasal dari ibu kota yang bisa dibilang
terkesan angkuh dan sombong, aku tidak seperti yang pikir. Aku
hanya anak yang nurut dengan orang tua dan ingin berteman
dengan siapa saja, maksudnya aku ini anak ramah, baik dan tidak
sombong.

Mau percaya atau tidak aku sebenernya mahasiswi yang


akan menjadi mahasiswi pindahan, aku menjadi siswi pindahan di
ITB bandung karena dinas ayahku, sebenernya aku takut karena
kepindahan ini membuat aku tidak akan mempunyai teman karena
bantuan ayahku. Dan hari ini aku memulai hidup baru aku di ITB
sebagai mahasiswi semester 3.
Aku? Aruna .

“Non, Kita sudah sampai di kampus.” Ucap pak supir yang


berusaha memanggilku di saat aku sibuk dengan buku diariku
sendiri. Aku pun terkejut saat mendengar supirku memanggil, dan
lekas siap-siap untuk turun dari mobil.

“Pak Budi, terimakasih sudah mengantarkan saya.”


Ucapku dengan memberikan senyuman kepada Pak Budi, Pak
Budi pun membalas senyumanku lalu lekas pergi
meninggalkanku.

“Gapapa Run…Cuma sebentar aja, sekarang ayo kita cari tau


kelasnya dimana”. Batinku dengan wajah kebingungan.

Aku bahkan baru menyadari kalau aku belum pernah sama


sekali ke kampus yang sekarang aku injak dan datangi,
PERTAMA KALI. Dengan wajah penuh memohon aku berharap
ada orang yang ingin membantuku untuk mengajak keliling atau
mengantarkan aku ke kelas.

Akhirnya, doaku pun terkabul tiba tiba saja ada dua orang
yang menghampiriku yang terlihat sedang kebingungan.
“Permisi, kenapa kamu teh seperti kebingungan gitu.
Kamu teh anak baru ya? Mau saya bantu? Kebetulan saya sama
temen saya lagi senggang.” Ucap salah satu pemuda bertubuh
tinggi.

Mendengar itu aku sangat terkejut, permohonanku


langsung terkabul dengan hitungan beberapa menit saja.

“W-Wah…boleh banget, kebetulan aku juga lagi butuh


bantuan. Kalian gak keberatan kan?, Maksudnya aku anak baru
dan pasti agak merepotkan kalian hehe.” Jawabku dengan tertawa
kecil yang menunjukan parasku yang begitu cantik, mata yang
agak menyipit karena tertawa membuat lawan bicara di depanku
terkagum melihat parasnya.

“Aduh masyaAllah meuni geulis pisan, cerah gini masa depan


aing depan mata.” Batin Jeral

“Aduh meuni geulis pisan, naon sih inggris na teh…oh heeh


beautiful.” Batin Veron

‘beautiful = cantik, aing = saya (Bahasa kasar untuk diri ke teman), naon = apa, heeh = iya’.

Aku yang melihat nya langsung menyadarkan keduanya,


“Kalian gapapa? Kurang sehat atau gimana? Kalau keberatan
gapapa aku bisa tanya-tanya ke satpam aja kal-…” ucapanku
langsung terpotong oleh salah satu dari orang yang hendak
menolongku.
“Eh gapapa kok santai aja, btw ada pepatah tak kenal maka
tak sayang. Walaupun pertemuan kita tak sengaja boleh kah saya
memperkenalkan diri dengan kamu,” belum selesai
mengatakannya

matanya pun melihat kalau aku sedari tadi tertawa mendengarkan


apa yang dia katakan.

‘btw = ngomong-ngomong’.

“Hampura pisan kalau agak rada-rada, teman saya ga


biasanya kayak gini. Malah saya baru dengar teman saya
ngegombal begini sama kamu, hampura pisan.” Ucap seorang
sebelah yang dari tadi diam mengamati temannya yang sedang
percaya diri itu.

‘hampura = maaf banget, ampun’.

“Hahaha iya gapapa, lucu juga ya. Salam kenal aku Aroena
Pramoedya, aku anak baru disini seperti yang kalian lihat, kalau
kalian berdua?.” Ucapku dengan berkontak mata dengan mereka
berdua.

“Salam kenal ya? saya teh Alveron Chesar Diwangkara


dan orang yang teu jelas daritadi ini Khajeral Malendra
Pramuswara, mohon maklum ya Aruna emang agak rada-rada aja
anaknya.” Ucapan Veron pun langsung dibalas dengan pukulan di
punggungnya.
‘teu = tidak, rada-rada = sifat kemiringan seseorang, gila, tidak waras ).’

“Naon ai maneh, gak kok Run, saya anak baik kok, jadi
kamu mau kita bantu apa dulu nih? Bantu cerita tentang kampus?
Denah kampus? Letak kelas kamu atau mau letak hati kamu di
hati saya? Hahaha.” Dengan nada bercanda dan percaya diri.

‘naon ai maneh = apa sih’.

Satu pukulan kembali menghantam punggung Jeral.

“Nu baleg ai maneh, gak usah macem-macem”. Jawab


Veron dengan nada menahan kesal dan malu karena tingkah
temannya itu.

‘nu baleg ai maneh = yang bener aja kamu’.

Veron pun mengajakku untuk berkeliling kampus dengan


menjelaskan Sejarah dan tempat nya.

“Jadi gini Run, di depan kamu ada dua gedung. Gedung


satu buat Fakultas seni satu lagi buat Teknik gitu, sebenernya
masih banyak tapi kita pelan-pelan aja ya. Kampus kita berdiri
pada 1920 tepatnya 22 tahun yang lalu ya.” Aku yang menyimak
Veron dari tadi sambil melihat sekeliling kampus yang memang
sangat luas dan megah membuat aku terkagum karena bagunan
klasik yang indah itu.

Lalu Jeral melanjutkan “Terus ada satu tempat yang paling


saya suka.” Ucap Jeral dengan muka percaya dirinya.
“Nggak dan gamau tau, dah dah maneh ganggu tour aing.”
Sahut Veron dengan nada malas, membuatku kembali tertawa
kecil karena tingkah mereka berdua seperti kakak-beradik yang
sedang meributkan hal sepele.

‘maneh = kamu, tour = wisata, aing = saya’.

“Seru juga dengan mereka, aku merasa lega tidak kesepian untuk
kali ini. Semoga kalian mau berteman terus denganku.” Batinku..

Veron memandangiku dan ia sedang tersenyum, membuat


aku sedikit terkejut. “Eh-hm gimana kalau kalian antar aku ke
warung yang ada di sebelah sana?.” Jawabku dengan menunjuk
ke arah belakang mereka.

Jeral yang melihat arah itu langsung sontak merangkul


mereka berdua “Hayu ah, aing juga lapar nih. Aing traktir deh
kalian berdua sebagai ganti ke rada-rada an aing tadi.”

‘hayu = ayo’.

“Yuk.” Balas mereka berdua dengan senang.


Dia yang memandangiku….

“Ayo Run, duduk aja masalah makanan sama saya saja


yang pesan. saya ahlinya disini tenang aja.” Aku tersenyum dan
mengangguk mendengar ucapan Jeral, sambil menunggu Jeral aku
memandangi sekitar dan melihat lihat kanan kiriku, tanpaku sadari
ada perempuan yang sedang mengamatiku dari jauh. lalu lama
kelaman perempuan itu beranjak dan menghampiri meja mereka
bertiga.

Suara dobrakan di meja mereka bertiga membuat


pandangan semua orang tertuju pada meja mereka. Dengan nada
kesal perempuan itu berkata “Woi!! Aing cari kalian pada kemana
taunya disini sama cewe bukannya ajak aing malah ninggalin gitu
aja di aula”. Dengan raut wajah kesal sambil menatap mereka
bertiga, Perempuan itu membuatku terkejut dan takut.

“Hampura ya Res, aing sama Veron gak bermaksud buat


ninggalin maneh, cuman aing sama Veron lagi bantu Aruna karena
dia mahasiswa baru disini.” Jawab Jeral sambil menunjukku
dengan artian dia memperkenalkan aku pada Perempuan itu.
“Pas banget maneh disini, udah maneh duduk disni aja
sebelah Aruna”. Aku yang mendenganya pun sontak kaget, aku
mencoba menahan rasa takutku karena perempuan itu
memandangiku dengan sinis.

“Aduh maaf ya, aku cuma mau minta tolong aja sama
mereka, tidak ada maksud lain kok suer.” Spontan aku berkata
seperti dengan menunjukan tanganku yang sudah seperti
‘peace’dengan maksud aku tidak berbohong kepada Resa.

“Oh iya keliatan kok, santai aja”. Jawab Resa dengan


senyum paksa. Sangat terlihat jelas olehku kalau senyum itu
sangat terpaksa dan membuatku kembali untuk tidak berpikir
positif.

Aku yang sedari tadi menelan air ludahnya memberanikan


diri untuk memulai percakapan. “Halo aku Aroena Pramoedya
kamu bisa panggil aku Runa aja, aku anak baru disini, kamu
temannya Veron dan Jeral ya?”. Ucapku dengan mengulurkan
tanganku kepada Resa dengan tersenyum.

Resa terlihat sangat terkejut saat mendengar nama


belakangku “Pramoedya”.

“h-hah?Pramoedya, persis seperti nama teman masa kecil aku


waktu di rumah nenek.” Batin Resa.
Resa yang melihat uluran tanganku pun lansung
membalas jabatan tangan tersebut “Halo juga, aku Tharesa Radya
Pradipta, panggil aja Resa. Ga usah sungkan sama aku, Veron dan
Jeral, senyaman kamu aja Run.” Jawab Resa dengan tersenyum.

“Hah?”

“Tharesa? Kaya pernah denger namanya tapi siapa.” Batinku.

aku pun menghiraukan pikiran itu dan melihat Veron yang


sedang mengamatiku dari tadi, aku terheran dan ingin sekali
bertanya dan memulai percakapan yang dari tadi sudah kehabisan
topik pembahasan.

“Psst ver…kamu tadi lihat apa? Ke arah aku soalnya.”


Tanyaku dengan nada berbisik dan hati hati agar Jeral dan Resa
tidak mendengar percakapanku pada Veron.

Veron yang mendengarnya pun langsung tersenyum dan


menjawab “Kamu…cantik Run.” Disaat itu juga tanpa aku sadari
pipiku mendadak menjadi merona karena mendengar ucapan
Veron.

“Eh kamu kenapa Run? Kok mukanya ditutupin, kamu


lihat apa?.” Tanya Resa dengan keheranan sambil memegangi
tangan yang ditutupi di wajahku.
Veron yang melihat Aruna yang sedang tersipu malu malah
tertawa dan menghampiri Aruna “Run kenapa? Kamu malu?
Hahaha lucu banget.” Jeral yang melihat dari kejauhan langsung
menghampiriku karena bingung kenapa teman-temannya sangat
heboh dengan tindakanku.

“Eh-eh aya naon euy, Run kamu kenapa? Sama siapa?.”


Kehebohan Jeral yang membuat orang-orang sekitar warung
memandangi mereka.

‘aya naon euy = ada apa ini’.

“Eh engga engga aku gapapa, tenang aja.” Jawabku seolah


tidak terjadi apa-apa. Jeral mendengar jawaban tesebut
membuatnya semakin penasaran kepadaku, terlihat jelas dari raut
wajahnya ia terlihat sangat penasaran kepadaku. Disaat yang
bersamaan aku tidak sengaja melirik Veron yang sedang
memandangiku sedari tadi saat Jeral datang.

“Perasaan baru pertama kali Aruna sama Veron bertemu, kok


seperti ada sesuatu ya… apa perasaan aing aja.” Batin Veron

Keadaan yang tadi nya heboh akhirnya mereda juga, Resa


yang tadinya fokus padaku pandangannya beralih saat ada tukang
bakso yang hendak menghampiri meja mereka.

“Eh-eh itu mang Bakso nya sudah mau kesini, ayo duduk
duduk.” Aku pun yang mendengarnya langsung bersiap
mengambil bakso yang sudah di pesan oleh Jeral begitupun
dengan Resa dan Veron mereka pun mengambil bakso tersebut.

“Nuhun mang, Ngeunah pisan baksonya seperti biasa.” Ujar Jeral.

“Nuhun mang.” Ujar Veron.

“Sami-sami…” Jawab tukang bakso.

‘nuhun = terima kasih, mang = pak, sami-sami = sama sama, ngeunah = enak’.

Aku hanya mengangguk kecil kepada tukang bakso


tersebut begitupun Resa, mereka pun menikmati bakso yang sudah
di hidangkan.

“Gimana Run? Enak ya? Pasti enak soalnya bakso disini


udah terkenal banget saking enaknya.” Aku yang mendengar itu
langsung mengangguk dan mengacungkan jempol.

“Enak enak, keren aku baru pertama kali makan bakso dan
jadi tahu ternyata bakso seenak ini… terima kasih lho kalian.”
Jawabku dengan wajah senang menikmati bakso tersebut.

Tak terasa waktu mulai sore dan mereka masih asik untuk
berbincang memperkenalkan diri mereka satu sama lain. Resa
yang menyadari waktu telah sore dia pun bersiap untuk pulang,
begitu pun aku, Veron dan Jeral.

“Aing duluan ya? Udah sore banget ibu udah nunggu di


rumah, takut ayahanda pulang kan bahaya .” Ucap Resa dengan
terburu-buru siap siap memberekan barangnya untuk Bersiap
pulang.

“Oh iya Res hati-hati maneh, salam ke ibu.” Ujar Jeral

“Aman, sip dah.” Jawab Resa yang hendak berlari untuk pulang.

“Run, kamu pulang sama siapa?.” Tanya Veron kepada aku


yang membuat Jeral tidak mau kalah, dia pun berusaha
menanyakan dan mengajakku untuk pulang bersama.

“Iya Run sama siapa? Saya kosong nih, kalau kamu mau
boleh sama saya aja.” Tanya jeral kepadaku, kedua pertanyaan
tersebut membuatku semakin bingung dan tidak enak kepada
mereka berdua.

“Sungguh tidak enak jika aku mengiyakan permintaan salah satu


dari mereka. Mungkin jika aku memilih salah satu itu akan
membuat salah satunya menjadi berpikir kalau aku pilih-pilih
orang. Ah tidak-tidak aku tidak boleh egois.” Pikirku.

Setelah lama berpikir akhirnya aku menjawab kedua


pertanyaan tersebut. “Sepertinya aku pulang sama supirku saja
deh, kalian tau letak telepon umum dimana?.” Jawabku kepada
mereka.

“Oh gitu ya Run, itu telepon nya di pojok kanan dekat


ruang seni. Mau aku antar sampai kesana?.” Itu bukan jawaban
yang di inginkan oleh Jeral dan Veron, tanpa basa-basi Veron pun
berinisiatif untuk mengantarkan aku ke tempat telepon umum
tersebut.

“Ayo Run, saya antar kebetulan saya parkir mobil dekat-


dekat sana.” Ajak Veron dan aku pun mengiyakan ajakan tersebut
dan berpamitan dengan Jeral.

“Makasih udah mau bantu aku Jeral, hari ini aku tau
banyak tentang tempat ini… aku pamit ya, kamu hati-hati di
jalan.” Ucapku dengan tersenyum kepada Jeral.

Dengan perasaan sedih dan kecewa karena realita tidak


sesuai dengan apa yang ia pikirkan, Jeral pun membalas
senyumanku dan meninggalkan mereka dengan perlahan.
Begitupun aku dan Veron pun berjalan bersama menuju tempat
telepon umum itu.

Sampainya disana aku memang melihat telepon itu di


depan, tetapi aku melirik Veron yang masih ada di sebelahku. Aku
menghiraukannya dan langsung memasuki tempat telepon itu dan
memasuki uang logam ke dalam lubang disamping telepon
tersebut. Terdengar bunyi KRING saat koin hendak dimasukkan,
lalu aku pun menekan nomer telepon rumah untuk mencoba
menghubungi Pak Budi.
“Halo Pak Budi, ini saya Aruna. Bapak bisa tolong jemput
saya di kampus? Tanyaku kepada Pak Budi.

“Oh iya bisa Non… mohon tunggu ya Non saya siapkan


mobil dulu.” Jawab pak Budi.

“Baik pak saya tunggu, hati-hati pak.”

Aku langsung menutup telepon tersebut dan membalikan


badanku untuk berjalan keluar dari ruangan tersebut, saat hendak
membuka pintu keluar aku melihat ada Veron yang dari tadi
menunggu diriku menyelesaikan telepon nya, sikap Veron yang
seperti itu membuat aku menjadi terheran dan bingung. Aku pun
membuka pintu tersebut dan menghampiri Veron yang sudah
berdiri di luar.

Aku mengkerutkan dahi dan bertanya pada Veron. “Kamu


dari tadi nungguin aku? Kenapa tidak langsung pulang saja? Aku
bisa sendiri kok.” Pertanyaanku tidak dijawab justru Veron
menghampiri Aruna dan mendekat, dia terlihat santai dan
tersenyum padaku.

“Tidak Run, saya tidak bisa meninggalkan kamu sendiri


disini, apalagi udah sore banget.” Jawab Veron dengan nada yang
menyakinkanku dan membuat aku terkesima dengan nya.

Bim bim …
Mendengar suara itu membuat aku tersadar dari terkesima
sesaat itu, aku hafal sekali suara klakson ini yang tak lain adalah
Pak Budi. Setelah itu aku langsung berpamitan dengan Veron.

“Aku pamit pulang ya Ver, Terima kasih sudah mengantar


aku kesini.” Setelah mendengar itu tanpa basa-basi Veron
menghampiri mobil yang sudah ada di depan nya dan langsung
membukakan pintu untukku. Dengan hati-hati aku masuk ke
dalam mobil, sebelum Veron menutup mobilnya dia
memadangiku.

“Sama-Sama Run, hati-hati ya.” Ia pun langsung menutup


pintu mobil dan mundur selangkah dari jarak mobil, aku yang
mendengar nya dari dalam hanya mengangguk dan tersenyum
tipis.

Pak Budi yang menyadari itu ikut tersenyum tipis dan


mulai menjalankan mobil meninggalkan tempat tersebut.

“Senang sekali melihat Non Aruna tersenyum seperti ini,


jarang-jarang saya melihatnya apalagi di tempat yang baru Non
lihat. Terus-terus begini ya Non Hahaha.” Aku terkejut
mendengarnya langsung ikut tertawa.

“Hahaha… Bapak dari tadi mengamati saya ya? Bapak


jangan salah paham ya, dia teman saya dan dia juga yang
membantu saya disini.” Aku berusaha menyakinkan Pak Budi
seolah kalau aku dan Veron tidak ada maksud apa-apa, jawaban
yang aku berikan malah kembali membuat Pak Budi semakin
tertawa bahkan lebih nyaring dari yang sebelumnya.

“Hahaha Non saya juga pernah masa muda atuh saya juga
paham Non.” Ujar Pak budi dengan nada yang mengejek, aku
yang mendengarnya langsung memajukan badan kedepan dan
menengok ke arah Pak Budi.

“Pak saya beneran lho, saya tidak ada apa-apa. Bapak


jangan ngejek gitu dong.” Aku menjawab itu dengan nada
merengek agar Pak Budi percaya dan akhirnya Pak Budi pun
mengalah kepadaku.

“Iya Non saya percaya Hahaha… mangga Non kita udah


sampai.” Mendengar itu aku langsung mengambil tas dan
membuka pintu mobil, lalu keluar dan memasuki rumah. Aku
terkejut kalau kedatanganku di sambut oleh Ayah.

“Gimana di kampus Run? Baik-baik saja kan?.”tanya


ayahku yang sedang membaca buku dan duduk di ruang tamu itu
langsung menutup buku dan beranjak berdiri untuk menghampiri
aku yang berdiri di depan pintu.

“Aman kok Yah, Runa juga jadi kenal sama anak-anak


disana.” Mendengar jawaban itu, tanpa disadari Pak Budi masuk
dan menghampiri Ayah untuk memberi tahu siapa anak yang di
maksud.

“Lalaki Pak… Kasep.” Bisik Pak Budi kepada Ayah. Ayah


yang mendengarnya langsung terkejut dan menatap kepadaku.

‘lalaki = laki-laki, kasep = tampan’.

Aku yang mendengarnya hanya bisa menghela nafas


melihat tingkah ayah dan supirnya lalu berjalan mendekati
kamarnya. Aku pun merebahkan tubuhnya di kasur sambil
menatap dinding langit atap kamarnya, tidak lama tedengar suara
ketukan pintu kamar nya.

“Aruna, kamu lagi apa nak? Ayo makan dulu.” Terdengar


suara ayah dibalik pintu tersebut, mendengarnya aku langsung
bangun dari rebahanku untuk duduk.

“Iya Yah, sebentar.” Jawabku sambil beranjak berdiri dari


duduk dan bergegas bersiap-siap untuk makan malam.

Aku membuka pintu kamar dan menghampiri meja makan


dan duduk berhadapan dengan ayah, saat hendak mau makan
terdengar suara dering telepon rumah.

“Tumben, biasanya tidak ada yang menelpon.” Batinku.

“Biar ayah yang angkat teleponnya.” Ayah langsung berdiri dari


duduknya dan langsung menghampiri telpon dan mengangkatnya,.
Aku yang melihat mencoba untuk menyimaknya dari
ruang makan. Namun anehnya ayah tampak terkejut mendengar
telepon tersebut entah siapa yang menelepon. Terlihat dengan
jelas wajah panik ayah dan meletakkan telepon itu dan
menghampiriku.

“Nak, ayah pergi dulu. Kamu disini sama Pak Budi dulu
ya? Ayah cuma sebentar perginya.” Aku yang mendengarnya
terheran dan bertanya kepada ayah.

“Ayah mau kemana? Ada apa malam-malam begini?.’


Tanyaku dan membuat ayah memperlihatkan raut wajah paniknya
kepada aku dan menghampiriku sambil memegangi pundakku.

“Nak, ayah harus balik ke rumah disana, ibu dirumah


sakit. Kamu tidak perlu khawatir, ibu tidak apa-apa. Kamu cukup
disini sama pak Budi.” Ayah pun mengalikhkan pandangannya ke
pak Budi.

“Ayo Pak, kita langsung berangkat.” Ayah langsung


memelukku dan mencium keningku meninggalkanku sendiri
diruang makan. Aku hanya bisa terdiam dan khawatir bagaimana
kondisi ibuku sekarang, ayah bahkan tidak membiarkanku untuk
ikut pergi bersamanya.

“Semoga ibu tidak apa-apa disana.” Batinku.


Teman masa kecilku

“Runa, ayo kejar aku.” Ucap seorang anak yang memanggil aku
untuk dikejar olehnya.

Saat hendak mengejarnya, aku terkejut melihat ada mobil


yang melintas tepat saat anak itu lari meninggalkannya. Aku
terkejut mobil itu menabrak anak itu tepat di depan mataku, aku
terjatuh dan menangis melihat kejadian itu.

“Hah”

Aku terkejut, ternyata itu hanya mimpi, namun mimpi


tersebut rasanya seperti nyata. Tanpa aku sadari badanku sudah
berkeringat saking ketakutannya, aku pun langsung duduk dan
berpikir.

“dipikir-pikir mimpinya mirip kejadian yang waktu aku masih


kecil deh, tapi kok muncul secara tiba-tiba? Apa aku melupakan
kejadian itu ya? Makanya aku jadi mimpi ini, wajah anak itu
sangat familiar dengan seseorang, tapi aku tidak ingat.” Batinku
sambil berpikir.

Aku pun tidak melanjutkan pikiranku dan langsung


bergegas mandi untuk bersiap-siap pergi ke kampus. Seperti biasa
aku diantar oleh pak Budi, pak Budi sudah tiba dirumah saat aku
sedang tertidur. Pak Budi melihatku yang sedang memakan satu
helai roti yang sudahku oleskan dengan selai strawberry
kesukaanku.

“Pak Budi mau?.’ Aku menawarkan roti yang tadi udah


kuberi selai di piring. Pak budi hanya mengangguk dan
tersenyum.

”Tidak terimakasih Non, mangga dihabiskan nanti kalau


sudah selesai saya ada di luar ya.” Pak budi langsung
meninggalkanku dan aku langsung bergegas menghabiskan
makananku dan pergi.

Aku jadi teringat dengan kondisi ibuku bagaimana, aku


langsung menanyakan nya kepada pak budi.”Gimana kondisi ibu
pak? Baik-baik aja akan?.” Tanyaku kepada pak budi.

“Ibu baik-baik aja Non, sekarang lagi masa pemulihan aja.


Non jangan khawatirnya da Ayah Non disana yang menemani
ibu.” Jawab pak budi dengan menyakinkanku untuk merasa baik-
baik saja.
“Oh gitu ya pak.” Saat aku menjawab ucapan pak budi aku
tidak sengaja melihat Resa. “Pak, saya turun disini saja. Saya lihat
teman saya.” Pak budi pun langsung memberhentikan mobilnya
dan aku langsung membuka pintu mobil dan menghampiri Resa.

“Resa tunggu aku!.” Aku berlari menghampiri dia, Resa


yang mendengarnya terkejut karena aku berlari lumayan jauh dari
jarak dia berjalan. Resa yang melihatku berlari tampak
kebingungan.

“Kamu ngapain Run?.” Aku yang berlari dengan ngos


ngosan pun menjawab Resa yang sedang kebingungan. “Aku
gapapa kok cuma tadi aku lihat kamu jalan jadi aku turun deh mau
jalan bareng kamu.” Aku langsung menyeka keringat di dahiku
dan menggandeng tangan Resa.

“Ayo Res, aku lagi pengen jalan kaki ke kampus.” Terlihat


dengan jelas wajah Resa terlihat senang dan tersenyum kepadaku.
“Hahaha Ayo!!!.” Seru Resa kepadaku.

“Aku sempat berpikir Perempuan yang kumaksud seram dan sinis


ini ternyata sangat baik padaku, dia ramah, dan apa adanya.
Maafkan aku Res, waktu itu aku berprasangka buruk sama
kamu.” Ucap batinku.

Aku dan Resa pun berjalan menuju kampus dan


berbincang sedikit tentang gaya hidup di kampus mereka itu,
tanpa mereka sadari mereka melihat Jeral dan Veron sedang
memparkirkan kendaraan mereka. Melihat hal itu kita langsung
menghampiri mereka berdua disana.

“Wih ada yang pergi berdua nih.” Ujar Jeral kepadaku dan
Resa.

“Iya nih, tadi aing ga sengaja ketemu Aruna dijalan jadi


kita bareng aja.” Jawab Resa sambil menyenggol pundakku. Aku
yang mendengarnya tertawa dan aku tidak sengaja berkontak mata
dengan Veron yang sedang sibuk dengan bukunya, mengingat
kejadian kemarin membuat aku menjadi tambah bingung dan
heran.

“Semudah itukah dia melupakan yang kemarin? Apa dia pura-


pura? Ah sudahlah itu gak penting.” Aku pun menghiraukan
pertanyaan dari pikiranku.

“Eh Run kamu hari ini ada kelas apa?.” Tanya Jeral
kepadaku, aku pun langsung berpikir dan mencoba mengingat
jadwal kelasku hari ini. “Ohhh…hari ini aku kelas pertamanya
seni tapi masih ada sejam lagi sih.” Setelah aku menjawab itu
Resa terlihat terkejut dan kali ini dia merangkulku.

“Woyyyy!!! Kelas kita sama, aing juga yang pertama seni.


Bareng lah yuk.” Jawab Resa dengan nada semangat sambil
merangkul pundakku. “Saya juga ada kelas seni, kita bisa bareng
pergi kesana. Sorry Ral, kali ini aing yang hoki, maneh mah hus
hus sana ke kelas.”

Jeral yang mendengarnya pun kesal dengan ujaran Veron


kepadanya. “Awas ya maneh monyet.” Aku yang mendengarnya
tertawa karena tingkah laku mereka berdua.

“Kita duluan ya Jeral, Semangat.” Ucapku kepada jeral


dengan tersenyum lalu meningglkan nya . lalu Veron merangkul
kita brtiga berjalan menuju kelas, aku sedikit terkejut dan
jantungku berdebar saat merasakan tangan Veron yang merangkul
di pundakku.

“Kalian udah sarapan kah?.” Tanya Veron kepada kita


berdua.

Anda mungkin juga menyukai