Anda di halaman 1dari 5

EX-BOYFRIEND

Kau boleh saja mengenang, boleh saja merindukan. Asal jangan pernah kembali.

-Audry Dyanti

“Diabaikan.”

Aku mencoba menyibukkan diriku, dengan mengikuti segala macam hal yang berkaitan
dengan kampus. Mulai dari himpunan mahasiswa, UKM ataupun acara di luar kampus.
Namaku Audrey Dyanti, berumur 20 tahun yang tengah mengampu program study
pendidikan semester 4 di universitas swasta di Indonesia. Akhir-akhir ini aku tengah
menyibukkan diri setelah mengalami putus cinta. Beberapa dari temanku berkata jika aku
terlalu lebay karena merasa paling tersakiti. Tunggu, mereka seperti tidak pernah putus cinta
saja. Bukankah nyatanya putus cinta itu menyakitkan, dan aku tengah merasakan hal itu
sekarang.

Malam ini seperti biasa aku sedang keluar dengan temanku, menikmati makan malam di luar
sesekali mengobrol hal-hal yang tidak berfaedah. Rasya temanku yang satu ini sangat
cerewet, jorok tapi sayangnya dia cantik, pintar dan aktif dalam berbagai kegiatan, entah di
kampus ataupun di desanya sendiri.

“Bagaimana? Mau mencoba dekat dengan Rano tidak?”

Rasya memang tengah mengenalkanku dengan seorang lelaki, tapi lagi-lagi aku tidak
memiliki rasa ketertarikan sedikitpun pada seorang lelaki setelah putus cinta. Jangan salah
paham. Bukan aku tidak tertarik pada lelaki, tapi kalian pasti tau sendiri bukan, bagaimana
perasaan kalian setelah putus cinta. Untuk mencoba hal baru tentang cinta bagiku terasa
hambar dan malas.

“Dia baik, ganteng, dan mengerti agama, jarang-jarang loh cowo kaya gitu.” Lanjutnya
sembari menatapku meyakinkan.

“Sya, bukan aku ngga mau. Tapi aku belum siap.” Kataku jujur.

“Kamu gimana mau move-on, kenalan sama orang saja ngga mau.” Dengusnya padaku.

“Bukan ngga mau, tapi emang belum siap aja.”

“Dy, sayang hidupmu kalau dipake buat nginget dia terus.”

Aku tau jika yang dikatakan Rasya padaku memang benar, entah mengapa aku kesulitan
pergi dari mantan pacarku ini, padahal jika dipikir-pikir tampan saja tidak, dia baik tapi dulu
saat masih jadi pacar. Sekarang boro-boro baik, menyapaku saja seakan enggan.

“Kenapa ngga kamu aja, kamu juga kan lagi cari imam yang baik dan sholeh, jangan lupakan
dia juga tampan.” Ujarku menggoda, Rasya hanya mendecak dan melanjutkan makannya.
Rasya juga sedang mencari tambatan hati, dia itu aneh. Banyak sekali yang dekat tapi tidak
ada satupun yang sreg dihatinya katanya, padahal yang mendekatinya orang-orang tampan
dan juga kaya pastinya. Tidak sepertiku yang punya kenalan laki-laki saja engga.

“Kamu kenapa sih ngga mau lepas darinya?”


“Bukan ngga mau, aku juga sedang berusaha. Apa move-on harus umbar-umbar, hey aku
udah move-on gitu?”

Rasya terkekeh mendengar ucapanku. Beberapa saat kemudian dia memanggil nama yang
tidak asing ditelingaku, melambaikan tangannya dan tersenyum ke arahku. Aku mengerutkan
dahi, tidak lama dua lelaki datang dan membuatku terkejut.

“Kenapa lama?” Tanya Rasya pada dua orang lelaki yag masih berdiri.

Aku mengenal mereka, satu lelaki berpostur tinggi itu bernama Andi, dan yang satunya dia
mantan pacarku. Entah dapat pikiran dari mana Rasya mengundang mereka, aku sudah ingin
menangis saja karena tidak tau jika mereka datang. Rasya ini apa-apaan si, baru saja
menyuruhku untuk tidak mengingatnya tapi justru mempertemukan aku dengannya.

“Wuiiih, makan mulu mba, awas gendut.” Goda Andi padaku yang sudah duduk di depan
Rasya, aku mendecih kearahnya. Dia memang suka banget menggodaku, katanya aku ini
lucu dan mudah terpancing.

“Sadar diri dong.”

“Tuh kan, sewot amat. Santai dong Dy.”

Aku mendengus, tidak menanggapi lagi dan memilih menyantap makananku yang sialnya
sudah hilang selera karena kedatangan Andi dan mantanku.

“Sudah jadi mantan ngga boleh diem-dieman gitu dong.” Ujar Rasya sembari terkekeh pelan.

Aku meliriknya, ia tersenyum mengejek padaku.

“Siapa juga yang diem-dieman, ya nggak Bam.”

Abraham, dia nama mantan pacarku. Orangnya kurus dengan wajah yang ngga begitu mulus,
tapi urusan narik perhatian cewek dia jagonya. Buktinya sekarang aja dia udah punya pacar
lagi setelah putus dariku. Padahal tampangnya ngga oke-oke banget.

“Yah dikacangin.” Celetuk Andi, aku tersadar jika Abraham sama sekali tidak menanggapi
perkataanku. Ya tuhan demi apapun aku benci sekali diabaikan. Aku mendengus tidak ingin
diambil hati lagi.

“Kamu ngga ajak pacarmu bam?” Tanya Rasya pada Abraham, aku sih diam aja sesekali
melirik menunggu jawabannya, penasaran juga soalnya.

“Males.” Jawabnya singkat.

Lihat kan, dia itu cowok brengsek memang. Kasian banget pacarnya, padahal baru jadian
sebulanan deh kayanya. Rasya mengernyitkan dahinya, masih belum cukup dengan jawaban
Abraham.

“Kenapa?”

“Ya males aja. Bosen juga harus bareng terus.”

Ubun-ubunku memanas, kenapa rasanya jadi emosi begini. Ini yang aku ngga suka darinya,
kalau ngomong ngga dipikir dulu. Aku mendengus sudah akan protes jika Andi tidak
menatapku, seakan mengatakan padaku untuk sabar. Apa jangan-jangan dulu saat pacaran
denganku sikapnya dibelakangku juga seperti ini, ah lupakan lagian juga sudah jadi mantan.
Nafsu makanku benar-benar hilang sekarang, aku memainkan ponselku lantas berdiri setelah
mengirim pesan pada temanku untuk menjemputku di café ini. Kebetulan juga dia lagi keluar
dan mau pulang ke kos katanya.

“Eh mau kemana?” Tanya Rasya.

“Aku duluan, udah selesai makan.”

“Lah kan kamu ngga bawa motor?” Rasya menatapku dengan raut bingung, aku memang
datang bareng Rasya tadi.

“Tenang aja, udah ada yang jemput kok. Udah ya.” Aku pamit pada Rasya dan Andi, sengaja
aku ngga melirik sama sekali ke Abraham. Lelaki itu bahkan seperti ngga merasakan
kehadiranku.

Terkadang aku suka aneh sendiri, disini kan aku yang disakiti tapi kenapa dia yang seakan
membenciku. Dalam hati nyesek sendiri, harusnya ngga perlu sebegitunya juga kan. Kita
memang satu jurusan, dan setiap hari ketemu. Aku selalu mencoba baik-baik aja, meskipun
ngga memungkiri kalau hatiku sakit dan perih saat melihatnya bareng cewe lain.

Tidak begitu lama jemputanku datang, Daisy membuka helm lalu menyuruhku untuk
membonceng.

“Mba, bukannya tadi sama mba Rasya?” Tanyanya diperjalanan.

“Ya. Tapi aku duluan.”

“Tumben banget sih.”

Aku hanya diam, males menjelaskan alasanku mengapa pulang lebih dulu. Ngga berapa lama
motor kami sampai di halaman kos.

“Mba, jangan lupa pintunya langsung dikunci aja.”

Aku hanya mengangguk, mengikuti motornya yang turun ke bawah untuk masuk ke garasi.
Kamarku lebih dekat jika lewat garasi, kalau lewat pintu depan aku harus melewati beberapa
kamar dulu baru sampai kamarku.

“Mba.” Panggilnya setelah aku menutup pintu.

“Kenapa Des?”

“Aku boleh tidur bareng mba ngga? Aku habis nonton horror soalnya.”

Melihat ekspresi Daisy yang masih ketakutan membuatku terkekeh pelan, Daisy ini adik
tingkatku, dia beda jurusan tapi kami cukup dekat karena seringkali pergi bareng ataupun
tidur bareng. Dia bukan satu-satunya penghuni kos yang dekat denganku, masih banyak yang
lain juga sebenarnya, hanya saja yang paling sering numpang tidur di kamarku itu Daisy
karena dia penakut.

“Udah tau takut horror kenapa ditonton?”

“Aku ngga enak nolak ajakan temen tadi, ya mba ya?”

“Ya sudah. Sana beres-beres dulu, aku juga mau bersih-bersih.”

“Oke mba.”
Daisy melesat ke dalam kamarya yang berada tidak jauh dari kamarku. Aku membuka
gembok, lalu mengucapkan salam masuk ke dalam kamarku. Aku merebahkan diri sebentar,
lelah juga seharian ini. Pandanganku tertuju pada dream catcher berwarna merah muda tua,
sejenak kenangan itu kembali terasa. Itu benda pemberian dari Abraham saat kita baru jadian
dan pergi ke pantai dulu, aku sengaja masih menyimpannya karena menganggapnya sebagai
kenang-kenangan darinya. Hatiku seketika sesak ketika kenangan itu kembali terlintas, masih
terasa sampai hari ini.

Hatiku sulit membenci Abraham setelah apa yang dilakukan pria itu terhadapku. Aku selalu
mencoba yang terbaik dan masih mencoba memperbaiki apa yang salah dariku saat itu, tapi
pada akhirnya aku kalah. Dia memutuskanku dengan banyak alasan yang membuatku sedih
berkepanjangan.

Kuusap air mata yang menetes tiba-tiba, selalu seperti ini. Setelah menyibukkan diri dengan
segala hal namun lagi-lagi aku teringat tentangnya ketika semua aktivitas sudah kulalui. Aku
pikir dengan aku sibuk aku bisa melupakannya, tapi nyatanya dia masih terngiang
dikepalaku, apalagi kita baru saja bertemu tadi.

Dering ponsel menginterupsi ruanganku, aku melihat layar ponsel dan menemukan nama
Rasya.

“Halo.” Uajrku malas.

“Dy, kamu marah ya sama aku?”

Aku tidak menanggapi, hanya diam sembari melepas hijabku dan mulai membersihkan
wajahku dengan milk cleanser.

“Aku ngga bermaksud buat kamu sedih lagi, aku cuma ingin ngetes kamu beneran udah
move-on belum.”

Mendengarnya berbicara membuatku menghela nafas jengah, aku males jika harus
membicarakan tentang Abraham.

“Kalau kamu begitu, gimana aku mau move-on sya?”

“Eh, jadi kamu belum move-on?” Tanyanya sedikit terkejut.

“Bukan belum, tapi gagal. Aku sedang mencoba menghindar biar ngga sakit hati, tapi kamu
malah mengajak dia makan bareng kita.”

“Maaf dy..” Ujarnya disebrang telefon.

“Sudahlah, aku mau tidur.”

“Ya sudah, goodnight..”

Aku menghela nafas, sedikit termenung ketika mengingat kembali wajah dari Abraham
sampai-sampai aku terekjut ketika Daisy yang masuk ke dalam kamarku.

“Loh mba, kok belum bersih-bersih.”

“Iya ini mau kok.” Ujarku melangkah keluar menuju kamar mandi untuk membersihkan
wajah dan mengambil air wudlu karena belum sholat isya pula.

Anda mungkin juga menyukai