Anda di halaman 1dari 305

Prolog

"Menilik Kembali Masa-Masa di SMA"

Karya Hachiman Hikigaya, Kelas 2-F

Masa remaja tak lain hanyalah sebuah kebohongan — sesuatu yang


jahat.

Mereka yang terpersona olehnya senantiasa tertipu oleh diri mereka


sendiri maupun orang-orang di sekitarnya. Mereka membenamkan
diri mereka ke dalam keramaian, lalu berkubang dalam 'pengakuan'
orang lain. Bahkan parahnya sebuah kegagalan atau hal semacamnya,
justru dianggap sebagai salah satu 'penanda' dari masa remaja — yang
seluruhnya membekas ke dalam lembar kenangan masing-masing dari
mereka.

Salah satu dari sekian contoh.

Kegiatan yang terkait dengan masa remaja, sebut saja, tindak kriminal
seperti mengutil ataupun tawuran, hanya akan dicap sebagai
'kenakalan remaja'.

Kegagalan yang mereka alami saat ujian sekolah, hanya akan


disangkal dengan ucapan, "Sekolah tak lebih dari sekadar tempat
untuk belajar".

Dengan mengatasnamakan 'masa remaja', mereka mampu


memutarbalikkan segala bentuk norma atau hal yang sudah berlaku di
masyarakat. Bagi mereka, kebohongan, rahasia, kejahatan, bahkan
kegagalan sekalipun, mereka anggap sebagai 'bumbu penyedap' dari
'masa remaja'. Segala kecacatan maupun keburukan dari perbuatan

tersebut, mereka cap sebagai pengecualian semata. Sedangkan,


kumpulan dari setiap kegagalan itu mereka anggap sebagai bagian
dari indahnya masa remaja. Dan mereka mencap segala yang bukan
'hasil' dari masa remaja tersebut, tak lain sebagai 'kegagalan' itu
sendiri.
'Kegagalan' yang menjadi penanda dari masa remaja itu, bukankah
bisa dianggap pula sebagai 'esensi masa remaja' bagi 'mereka yang tak
bisa berteman'? Kesemuanya itu penuh dengan standar ganda.[1]

Oleh karenanya, hal tersebut hanyalah omong kosong. Sebuah


kebohongan, dusta, hal yang ditutup-tutupi, serta kecurangan yang
pantas untuk dikutuk.

MEREKA sesuatu yang jahat.

Oleh karenanya, tersembunyi keadilan sejati, yang sifatnya


paradoks,[2] bagi mereka yang menghindari 'masa remaja'.

Kesimpulan yang bisa kutarik:


BAB 1

Biar Bagaimanapun, Hachiman Hikigaya Memang Busuk

Sambil mengernyitkan alis matanya, Bu Shizuka Hiratsuka selaku


guru Bahasa Jepang di kelasku, membacakan dengan nyaring esaiku
ini tepat di depanku. Saat mendengarkannya, kusadari bahwa keahlian
menulisku masih jauh dari yang diharapkan. Tadinya kupikir, aku
bakal terdengar intelek jika merangkai kata-kata berbobot di
dalamnya, namun yang ada, itu malah seperti cara murahan yang
biasanya dipakai para penulis di awal karirnya.

Jadi... itukah yang membuatku dipanggil ke ruang guru? Sepertinya


bukan. Aku juga sadar kalau itu adalah esai amatiran.

Selesai membaca, Bu Hiratsuka menempelkan tangan ke dahinya lalu


menghela napas panjang.

"Katakan, Hikigaya. Kau ingat tema untuk esai yang Ibu suruh
kerjakan ini?"

"...ya, temanya Menilik Kembali Masa-Masa di SMA."

"Sudah jelas, 'kan? Lalu kenapa esai ini malah seperti surat ancaman?
Memangnya kau ini teroris? Atau cuma orang bodoh, hah?"

Bu Hiratsuka lalu menggaruk kepalanya sambil mendesah.

Kini aku jadi berpikir, memakai kata Ibu untuk panggilan Ibu Guru
kedengarannya lebih menambah daya tarik seksual ketimbang sekadar
Guru Perempuan saja.

Aku menyengir selagi melamunkannya, hingga gulungan kertas


menghantam kepalaku.

"Perhatikan kalau Ibu bicara!"

"I-iya."

"Tatapanmu kosong, persis seperti ikan mati."


"Berarti tubuh saya kaya omega-3 dong, Bu? Berarti saya jenius
banget."

Bu Hiratsuka hanya terbengong mendengarnya.

"Hikigaya, esai murahan apa ini? Beri Ibu penjelasan."

Tatapan tajamnya mengarah padaku, dan pandangan geramnya cukup


memberi kesan mematikan. Hanya wanita yang dikutuk oleh
kecantikan saja yang mampu menampakkan ekspresi seberbahaya itu,
hingga tanpa sadar memaksa dan membuat tertekan siapa saja yang
melihatnya. Bisa dibilang, itu benar-benar mengerikan.

"Eng... bagaimana, ya... saya memang sudah merenungi kehidupan


SMA saya, 'kan? Memang seperti itulah kehidupan SMA zaman
sekarang! Esai yang saya tulis sedikit banyak sudah menyinggung hal
tersebut." Jawabku sambil terbata-bata. Aku bisa gugup hanya karena
bicara dengan orang lain, tapi aku lebih gugup lagi jika lawan
bicaraku seorang perempuan yang lebih tua.

"Biasanya, tugas semacam ini butuh perenungan atas pengalaman


pribadimu, tapi kenapa justru begini?"

"Kalau begitu, harusnya Bu Hiratsuka menyisipkan maksud Ibu itu di


kata pengantar, dong. Jika seperti itu, pasti akan saya kerjakan betul-
betul. Berarti ini salah Ibu yang sudah memberi tugas menyesatkan,
ya 'kan?"

"Hei, Nak. Jangan berlagak pintar di depan Ibu, ya."

"Nak? ...yah, memang benar, sih, beda umur antara saya dengan Bu
Hiratsuka memang jauh, jadi, tak masalah jika Ibu memanggil Nak."

Wuuusshhh. Yang barusan ternyata sebuah tinju. Tinju yang begitu


saja dilesatkan secara tiba-tiba. Lebih penting lagi, sebuah keajaiban,
karena tinju itu hanya menyerempet di samping pipiku.

"Berikutnya tak akan meleset." Tatapannya penuh keseriusan.


"Ma-maaf, Bu. Saya kerjakan lagi, deh." Aku harus bijak dalam
berkata-kata jika ingin menunjukkan rasa sesalku. Dilihat dari
keadaannya, Bu Hiratsuka ternyata orang yang sulit untuk merasa
puas. Tampaknya tak ada lagi cara selain berlutut dan membungkuk
di hadapannya.

Kucoba untuk menyapu lipatan celanaku, dan selagi merapikannya,


kutekuk kaki kananku hingga menempel ke lantai, pergerakan yang
mulus dan sempurna.

"Asal kau tahu, ini bukan berarti Ibu marah." ...oh, ternyata begitu
jawabnya. Terkadang, orang-orang selalu berkata, Aku enggak marah,
kok. Jadi bicara saja. Padahal, mereka tetap saja merasa marah. Tapi
tak disangka, beliau memang tak benar-benar marah. Yah, terkecuali
waktu kusinggung umurnya tadi.

Diam-diam kuamati reaksi beliau sembari mengangkat lutut kananku


dari lantai.

Bu Hiratsuka merogoh kantung bajunya yang tampak menonjol


karena payudaranya, lalu mengambil sebungkus Seven Stars[1] dari
dalamnya dan mengetuk-ngetuk filter-nya ke atas meja — kelakuan
orang-orang yang sudah berumur. Setelah mengambil rokok sebatang,
beliau nyalakan pemantik Rp.10.000-an lalu membakar rokoknya.
Beliau lalu menghisapnya sambil memandangku dengan wajah yang
serius.

"Kau masih belum bergabung pada klub mana pun, 'kan?"

"Ya, belum."

"...oh, ya, apa kau punya teman?"

Seakan-akan beliau sudah tahu kalau aku memang tak punya teman.

"Se-sepertinya Ibu harus tahu kalau saya menganut azas


ketakberpihakan, oleh karenanya, saya tak boleh memiliki hubungan
dekat dengan orang lain!"

"Singkatnya, kau tak punya teman, 'kan?"


"Ya-yah, begitu, deh..."

Mendengar jawabanku, wajah Bu Hiratsuka pun berubah sumringah.

"Jadi memang benar enggak punya, ya? Tepat seperti dugaan Ibu.
Hanya dari tatapan kosongmu saja sudah ketahuan, kok!"

Kalau sudah tahu, ya enggak usah sampai tanya-tanya seperti tadi,


'kan?

Sambil mengangguk karena sudah mengerti, beliau memandang


wajahku dengan ekspresi yang ditahan.

"...lalu, kalau pacar atau semacamnya? Sudah punya, belum?"

Semacamnya? Apa maksudnya itu? Kira-kira apa tanggapan beliau


jika kubilang kalau pacarku itu seorang lelaki?

"Sekarang, masih belum."

Karena itu kutegaskan kata sekarang, dengan mempertimbangkan


segala harapan yang kelak terjadi di masa mendatang.

"Kasihan, jadi begitu, ya..."

Sambil menjauhkan pandangannya, mata beliau pun tampak berkaca-


kaca. Kuyakin itu hanya karena asap rokok. Sudahlah, hentikan.
Berhenti memandangku dengan tatapan sentimentil itu.

Lagi pula, untuk apa beliau mempertanyakan hal barusan? Apa beliau
memang seorang guru yang begitu peduli pada muridnya?

Apa beliau ingin menyampaikan padaku jika suatu saat aku bisa
menjadi nila setitik, yang bisa merusak susu sebelanga?

Atau mungkin beliau pernah bermasalah sewaktu masih menjadi


murid SMA, lalu kembali ke sekolah lamanya ini sebagai seorang
guru?[2] Bisa, tidak, kita kembali dulu ke pokok permasalahan?
"Ya sudah, kalau begitu, kerjakan lagi saja esaimu."

"Baik."

Dan memang akan kukerjakan.

Aku paham sekarang. Kali ini tulisanku pasti sesuai dengan yang
diharapkan; aku harus menulisnya tanpa menyinggung pihak mana
pun. Yang isinya tak beda jauh dengan ocehan yang ada di blog para
model vulgar maupun aktris pengisi suara semacamnya, contoh:

Makan malam kali ini apa, ya...? Ya ampun! Ternyata kari!

Begitulah. Tunggu, lalu untuk apa ada pernyataan, Ya ampun! tadi?


Jika hanya untuk menandakan ekspresi terkejut, jelas tak ada
gunanya.

Sampai di titik ini, segalanya sudah kuperhitungkan. Namun yang


terjadi setelah ini, justru lebih dari yang kubayangkan.

"Biar bagaimanapun, ucapan kasar dan sikapmu barusan sudah


menyakiti perasaan Ibu. Apa tak ada yang mengajarimu, kalau kau tak
boleh membahas masalah umur di depan wanita? Karena sikapmu
tadi, jadi Ibu memaksamu untuk bergabung ke Klub Layanan Sosial.
Lagi pula, yang namanya salah juga harus dihukum, 'kan?"

Untuk seseorang yang telah dilukai perasaannya, Bu Hiratsuka tak


tampak seperti orang yang berwibawa layaknya seorang guru.
Kenyataannya beliau justru lebih ceria dari biasanya, bahkan cara
bicaranya pun dibuat lebih menggoda dan menggairahkan.

Itulah yang kupikirkan sekarang. Kata menggairahkan biasanya


membuat kita berpikir ke arah yang tak jauh-jauh dari payudara, 'kan?
Kenyataannya, mataku sekarang malah tertuju ke arah blus yang
menonjolkan payudara Bu Hiratsuka.

Itu memang hal yang tak bisa dibenarkan... meski begitu, bisa-bisanya
ada orang yang begitu senangnya saat memberi hukuman?
"Klub Layanan Sosial? ...memangnya Ibu mau suruh apa saya di
sana?"

Selidik demi selidik. Yang kutahu, kegiatan itu mungkin saja hal-hal
semacam membersihkan selokan, atau yang terburuk, menculik orang.
Amit-amit jabang bayi, deh.

"Ikuti saja Ibu."

Bu Hiratsuka lalu mematikan rokoknya ke asbak dan segera bangkit


dari tempat duduknya. Aku masih diam tak bergerak, berpikir
mengenai pengajuan yang tanpa penjelasan maupun pengenalan tadi,
namun rupanya, Bu Hiratsuka sudah ada di depan pintu seraya
menoleh ke hadapanku.

"Ayo jalan!"

Disertai alis yang berkerut dan kebingungan di wajahku ini, kuikuti


beliau dari belakang.

— II —

Gedung sekolah SMA Soubu di Kota Chiba ini mempunyai gaya


bangunan yang sedikit berbeda dari lainnya. Bila dilihat dari atas,
kurang lebih bentuknya agak mirip dengan huruf kanji 口 (kuchi)
yang berarti mulut — berbentuk seperti bujur sangkar — tapi
mungkin lebih mirip dengan huruf katakana untuk suku kata ロ (ro)
— bujur sangkar dengan beberapa garis yang keluar dari sudut
sisinya. Lalu sepasang kaki pada bujur sangkar itu adalah gedung
audio visual yang melengkapi pemandangan lansekap sekolah kami.
Gedung untuk kelas mengajar menghadap ke jalan raya, sementara
paviliunnya menghadap ke arah sebaliknya. Jembatan yang
menghubungkan dua bangunan tersebut terletak di lantai dua, yang
kesemuanya membentuk pola seperti bujur sangkar.
Gedung sekolah ini mengapit sebuah tempat di keempat sisinya,
sebuah halaman terbuka yang diperuntukkan sebagai tanah suci para
riajuu. Di tempat itu, mereka — baik anak lelaki maupun perempuan
— saling berbaur satu sama lain saat jam istirahat makan siang.
Dilanjutkan bermain bulutangkis untuk melancarkan pencernaan.
Sepulang sekolah, dengan ditemani remangnya matahari senja,
beberapa pasang kekasih saling melontar ucapan gombal sambil
memandang bintang-bintang seiring desiran angin laut yang
menyelimutinya.

Aje gile.

Dari sudut pandang orang luar, mereka sudah terlihat seperti para
pemeran drama remaja yang berusaha tampil maksimal lewat
perannya. Memikirkannya saja membuatku merinding. Andai aku ikut
serta pun, paling-paling aku memilih peran sebuah pohon atau
semacamnya.

Bu Hiratsuka menyusuri sepanjangan lantai linoleum itu tanpa


berucap sepatah kata pun, langkah kakinya beriring menuju ke
paviliun.

Aku punya firasat buruk tentang ini.

Terlebih lagi, tampaknya belum ada kejelasan mengenai seperti apa


kegiatan Klub Layanan Sosial.

Yang kutahu, Layanan Sosial bukanlah seperti kegiatan yang biasanya


dilakukan sehari-hari; sebaliknya, ini seperti layanan yang disediakan
dalam situasi-situasi tertentu. Contohnya, seorang pelayan yang
melayani sang majikannya. Dalam kasus ini, layanan bisa berupa
ucapan Selamat datang, yang bisa membuat perasaan sang majikan
jadi menggebu-gebu hingga bisa menyerukan LETSA PARTY![3]

Tapi di kenyataannya, hal itu takkan mungkin terjadi. Tunggu.


Sebenarnya itu bukan hal mustahil asal ada kesepakatan harga
sebelumnya. Tetapi jika segalanya bisa dibeli dengan uang, berarti
mimpi dan cita-cita sudah tak berlaku lagi di dunia yang busuk ini.
Biar bagaimanapun, yang namanya Layanan bukanlah hal yang baik.
Lalu yang ada sekarang, kami sudah berada di paviliun. Sudah pasti
aku bakal disuruh bersih-bersih di sana, seperti memindahkan piano
ke ruang musik, membuang limbah sisa-sisa laboratorium biologi,
menyusun koleksi katalog perpustakaan, dan sebagainya. Kalau
memang begitu, berarti aku harus sesegera mungkin mengambil
langkah antisipasi.

"Asal Ibu tahu, saya punya penyakit kronis di sekitar selangkangan,


lo. Kalau enggak salah namanya... Her-Her-Herpes, ya? Iya, itu..."

"Jika yang kaumaksud itu Hernia, tak usah khawatir. Ibu tak
melibatkanmu dalam pekerjaan kasar, kok."

Beliau menoleh ke belakang sambil menatapku dengan ekspresi


mengejek, layaknya sedang melihat orang bodoh.

Aku paham. Berarti kegiatan yang dimaksud itu semacam penelitian


atau pekerjaan administrasi, 'kan? Jika benar, maka kegiatan tersebut
justru lebih sulit ketimbang kerja fisik. Siksaan ini ibarat seperti
keluar dari kandang singa, masuk ke kandang buaya.

"Penyakit ini kadang kambuh ketika saya memasuki ruang kelas,


Bu."

"Kau kok sekarang justru terdengar seperti sniper berhidung panjang,


ya? Memangnya kau ini anggota Bajak Laut Topi Jerami?"[4]

Oh, ternyata beliau juga senang membaca shounen manga,[5] ya?

Terserahlah. Selama bisa mengerjakannya, akan kukerjakan sendiri.


Aku bisa mengubah diriku ini layaknya sebuah mesin. Takkan jadi
masalah andai kutiadakan hasrat manusiawiku. Kalau perlu, aku bisa
menjadi sebuah sekrup.[6]

"Kita sudah sampai."

Ruangan di mana Bu Hiratsuka menghentikan langkahnya ini, dari


luar sudah terlihat tak biasa. Tak ada tulisan apa pun yang tertera pada
pelat pintunya. Selagi kutatap pelat tersebut dengan penuh keheranan,
tiba-tiba saja Bu Hiratsuka menggeser pintu untuk membukanya.
Meja dan bangku tertumpuk rapi di pojok ruangan. Mungkin ini
dulunya gudang. Jika dibandingkan dengan ruang kelas lainnya, tak
ada yang tampak istimewa dengan isi di dalamnya. Tak lebih, ini
hanyalah ruang kelas biasa. Meski begitu, yang sangat jelas berbeda
dari segala yang ada di ruangan ini, adalah sosok seorang gadis.

Gadis itu membaca bukunya sembari dibalut sinar senja.


Pemandangan itu tampak bagai sebuah ilusi maupun adegan dalam
sebuah lukisan. Seolah ia akan tetap duduk di sana sambil membaca,
meski dunia ini berakhir.

Saat melihatnya, tubuh maupun jiwaku serasa membeku.

Tak sengaja aku merasa kagum karenanya.

Menyadari ada yang datang, ia pun menyelipkan pembatas buku pada


bacaannya lalu menengadahkan kepalanya menghadap kami.
"Bu Hiratsuka. Saya yakin sudah memberitahu Ibu untuk mengetuk
pintu terlebih dulu sebelum masuk."

Ciri yang dimilikinya begitu menarik. Rambut hitamnya panjang


menjuntai. Meski saat di sekolah ia mengenakan seragam perempuan
pada umumnya, namun ia seakan berada dalam golongannya sendiri.

"Kau juga tak merespon meski sudah Ibu ketuk."

Tampak ada kesan tak puas saat ia mendengar jawaban Bu Hiratsuka


tadi.

"Lalu, siapa anak yang tampak lola yang bersama Ibu itu?"

Tatapan dinginnya tertuju padaku.

Aku tahu perempuan ini.

Yukino Yukinoshita dari Kelas 2-J.

Tentu saja aku hanya tahu nama dan wajahnya. Kami tak pernah
terlibat pembicaraan sebelum ini. Sebuah kejadian langka jika aku
bisa terlibat pembicaraan dengan orang-orang di sekolah, itu
sebabnya, mustahil bila hal tersebut sampai terjadi.

SMA Soubu memiliki sembilan kelas yang menyesuaikan standar


pendidikannya. Salah satunya yaitu kelas dengan standar international
— Kelas J. Standar rata-rata yang dimiliki kelas tersebut bisa sampai
dua atau tiga tingkat di atas kelas reguler, dan kelas itu diisi dengan
murid-murid yang pernah belajar di luar negeri maupun mereka yang
ingin berencana melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.

Di antara murid-murid tersebut, ada satu yang begitu menonjol, atau


bisa dibilang, tanpa sadar menarik perhatian orang-orang, ialah
Yukino Yukinoshita.

Saat UTS maupun UAS, nilai tinggi yang ia peroleh secara konsisten,
mencantumkan namanya sebagai juara umum di angkatan kelas kami.
Seakan belum cukup, penampilan menawan yang ia miliki
membuatnya selalu dihujani perhatian sekitarnya. Singkatnya, ialah
contoh nyata gadis paling cantik dan sempurna di sekolah ini, dan
semua orang pun mengakuinya.

Itu sebabnya ia tak mengenalku, meski aku tak begitu peduli. Namun
tetap saja, aku masih merasa sakit hati karena disebut lola. Aku cukup
yakin kalau sebutan itu mirip dengan nama merek sebuah permen
zaman dulu, yang sekarang sudah jarang kulihat.[7] Walau aku sudah
berusaha mengalihkan hal itu, tetap saja tak mengubah fakta kalau
perkataannya memang menyakitkan.

"Ini Hikigaya. Ia akan bergabung ke klub ini."

Seolah terpengaruh kata-kata beliau, tanpa sadar aku


membungkukkan badan. Kuyakin tanpa sengaja aku memperkenalkan
diri.

"Namaku Hachiman Hikigaya dari Kelas 2-F. Eng... hei. Apa maksud
Ibu dengan bergabung?" Siapa juga yang mau gabung? Lagi pula,
sebenarnya klub apa ini?

Seperti tahu apa yang akan kukatakan, Bu Hiratsuka langsung


memotong.

"Ini hukuman atas perbuatanmu tadi, jadi kau harus ikut serta dalam
kegiatan klub ini. Ibu takkan menanggapi segala bentuk keberatan,
bantahan, protes maupun keluhanmu. Gunakan saja waktumu itu
untuk menjernihkan pikiran serta merenungi perbuatanmu."
Pernyataan tegas yang tak bisa dibantah, tanpa menyisakan ruang
untukku memberi alasan.

"Lihat saja, dari penampilannya sudah terlihat kalau ia sudah busuk


dari dalam. Alhasil, ia selalu berada dalam dunianya sendiri. Kasihan
sekali, 'kan?"

Jadi aku hanya dinilai dari penampilan luarku saja.

Bu Hiratsuka lalu menoleh ke arah Yukinoshita dan berkata. "Ibu


pikir, jika berbaur dengan orang lain, mungkin ia bisa sedikit belajar
memperbaiki sikapnya. Ibu serahkan ia padamu. Tolong perbaiki
sikap menentang dan menjauhi orang lainnya itu."
"Jika demikian, saya rasa bukan masalah kalau Ibu memakai
kekerasan untuk mendisiplinkan anak ini."

...perempuan yang mengerikan.

"Jika itu memang harus, dari dulu pasti sudah Ibu lakukan, tapi di
zaman sekarang, hal tersebut bakal jadi masalah. Dan juga, kekerasan
secara fisik sudah tak lagi diperbolehkan."

...rasanya seolah beliau mau bilang, kalau kekerasan secara mental


masih bisa diperbolehkan.

"Dengan segala hormat, saya menolak. Saya merasa ada motif


terselubung di balik tatapan matanya yang busuk. Saya merasa sedang
dalam bahaya, Bu."

Sambil menatap tajam ke arahku, Ia pun langsung membetulkan kerah


bajunya, padahal tak ada yang tampak berantakan pada caranya
berbusana. Terlebih, tak ada juga yang mau melihat dadanya yang
biasa-biasa saja itu. Sungguh, takkan ada orang yang mau. Andaikata
aku tak sengaja melihatnya pun, paling-paling itu cuma dalam
hitungan detik.

"Tak usah cemas, Yukinoshita. Mata dan hatinya memang sudah


busuk, makanya ia bisa menahan diri dan memperhitungkan untung
rugi dari segala tindakan yang ia lakukan. Ia takkan berani melakukan
hal-hal yang bisa berurusan dengan aparat berwajib. Bisa dibilang, ia
tak lebih dari preman kampung."

"Bagi saya itu sama sekali bukan pujian. Ketimbang memakai istilah
untung rugi dan menahan diri, saya lebih memilih jika Ibu memakai
istilah punya akal sehat dalam mengambil keputusan."

"Oh... preman kampung toh..." Ucap Yukinoshita.

"Kau malah percaya kata-kata Bu Hiratsuka daripada


penjelasanku..."

Apa mungkin kata-kata Bu Hiratsuka berhasil membujuknya ataukah


memang ia percaya kalau aku ini seorang preman kampung? Apa pun
itu, sosokku di pikiran Yukinoshita sudah jauh dari yang aku
harapkan.

"Jika itu memang permintaan Ibu, saya tak bisa menolaknya...


baiklah, saya terima." Tanggapnya dengan penuh rasa penolakan.

Meski begitu, Bu Hiratsuka tampak tersenyum puas.

"Bagus. Kalau begitu, Ibu serahkan sisanya padamu."

Beliau pun pergi setelahnya. Meninggalkanku yang masih berdiri


termenung.

— II —

Sejujurnya, meninggalkanku sendiri seperti ini justru membuatku


lebih nyaman. Berada di lingkungan yang dikucilkan seperti ini juga
sudah biasa bagiku, malah bisa membuatku merasa tenang. Bunyi
jarum jam di dinding yang bergerak perlahan pun semakin jelas
terdengar.

Eh, tunggu, yang benar saja? Apa cerita ini tiba-tiba berkembang ke
kisah komedi romantis? Semuanya justru jadi tampak konyol. Walau
sebenarnya aku tak punya keluhan mengenai situasi ini.

Aku jadi teringat lagi kenangan pahitku saat masih SMP dulu.

Jam pelajaran telah berakhir; menyisakan dua orang murid di dalam


ruang kelas.

Tirai terkibar dengan lembutnya seiring dengan semilir angin dan


remang-remang matahari senja yang memenuhi ruangan. Kemudian,
terucaplah sebuah pernyataan cinta dari seorang anak lelaki.

Sampai dengan saat ini, suara perempuan itu masih terngiang jelas di
telingaku.

Kita berteman saja, ya?


Sungguh sebuah kenangan pahit. Setelahnya, kami memang berteman
tapi tak pernah ada percakapan semenjak itu. Berkat kejadian tersebut,
aku jadi tak pernah lagi berniat mencari teman, bercakap-cakap, apa
lagi berpacaran. Bisa dibilang, kisah komedi romantis yang
melibatkan diriku dengan perempuan cantik dalam ruangan tertutup,
tak pernah berjalan lancar di kehidupan nyata.

Terbiasa akan hal itu, membuatku bisa menghindari perangkap


semacamnya hingga saat ini. Para perempuan cenderung
menunjukkan ketertarikannya hanya pada hal-hal sensual atau para
riajuu dan makhluk sejenisnya, lalu menjalin hubungan yang tak
sehat dengan mereka.

Singkat kata, mereka musuhku.

Sampai sekarang aku selalu berusaha supaya kenangan itu tak


kualami kembali. Cara tercepat agar bisa terhindar dari situasi yang
seperti kisah komedi romantis ini yaitu membuat diriku menjadi orang
yang dibenci. Mungkin aku akan terluka, namun demi harga diri ini,
sikap bijak dan semacamnya tak lagi kuperlukan!

Menurut teori, sebaiknya aku mengintimidasi Yukinoshita dengan


tatapan benci. Membiarkannya terbunuh oleh tatapan hewan buas!

Grrrr!—

Spontan membalas, Yukinoshita menatap hina padaku seakan aku ini


onggokan sampah. Ia memicingkan mata diselingi desahan panjang.
Dan dengan suaranya yang kecil ibarat desiran sungai, ia menegurku,

"...daripada berdiri sambil menggerutu di situ, kenapa kau tak ambil


kursi lalu duduk?"

"Hah? Oh, benar juga. Maaf."

Wuih... apa-apaan barusan itu? Memangnya ia itu hewan buas, apa?

Tatapan seperti itu bisa membunuh lima orang tak berdosa. Sama
halnya yang menimpa penyanyi, Tomoko Matsuhima yang pernah
diterkam binatang buas.[8]Apa tanpa kusadari — tanpa sengaja — aku
memohon ampun padanya? Meski ia tak punya niat
mengintimidasiku, namun Yukinoshita sudah menjadikanku layaknya
seorang tawanan. Dengan hati yang terguncang ini, kuambil sebuah
kursi kosong kemudian duduk.

Setelahnya, ia tak begitu menunjukkan perhatiannya lagi padaku. Di


saat yang sama ia kembali membuka buku bacaannya. Terdengar
suara dari lembar halaman yang ia balik. Jika hanya melihat dari
sampulnya saja, aku tak bisa tahu buku apa yang sedang ia baca,
namun mungkin itu semacam karya sastra. Mungkin saja karya
Salinger, atau Hemingway, atau bisa saja Tolstoy. Seperti itulah kesan
yang ia tunjukkan.

Yukinoshita terlihat layaknya seorang perempuan terhormat, itu


karena ia memang seorang murid teladan, dan tanpa embel-embel apa
pun, ia akan selalu jadi gadis yang cantik. Namun layaknya orang dari
kalangan elit, Yukino Yukinoshita pun terasingkan dari segala
lingkungan sosial. Seperti halnya namanya, yuki no shita no yuki
(salju di bawah salju), seberapa pun cantik dirinya, takkan ada yang
bisa menyentuh ataupun menjangkaunya. Yang bisa orang-orang
lakukan hanyalah membayangkan kecantikannya saja.

Sejujurnya, aku tak pernah mengira bakal bisa duduk berdekatan


dengannya. Kalau saja aku punya teman, pasti aku membanggakan
hal ini pada mereka; mungkin aku akan bertanya apa yang harus
kuperbuat dengan si Nona Cantik di ruangan ini.

"Ada apa?" Tanyanya.

Mungkin karena aku terlalu sering menatapnya, Yukinoshita jadi


mengeryitkan alis matanya karena tak senang dan balas menatapku.

"Oh, maaf. Aku hanya bingung harus berbuat apa."

"Bingung?"

"Soalnya, tanpa penjelasan apa-apa aku dipaksa kemari."

Disertai suara berdecak dari mulutnya, dengan tegas Yukinoshita


menutup buku bacaannya; seolah ingin menunjukkan kekesalannya ke
seluruh dunia. Lalu setelah menyayatku dengan tatapan tajamnya, ia
pun menghela napas karena pasrah dan mulai berbicara.

"Benar juga... ya sudah, kita adakan permainan."

"Permainan?"

"Benar. Permainan menebak identitas klub ini. Jadi menurutmu, klub


apa ini?"

Permainan di ruang tertutup bersama seorang gadis cantik...

Dan aku merasa jika ini bukan sesuatu yang akan menjurus ke adegan
mesum. Daripada disebut permainan yang seru, suasana yang
ditampakkan Yukinoshita lebih seperti sedang mengasah belati hingga
tajam. Saking tajamnya sampai-sampai aku berpikir akan mati jika
aku kalah di permainan ini. Hilang ke mana suasana komedi romatis
yang tadi? Bukannya ini malah seperti adegan di dalam manga
Kaiji?[9]

Karena takutnya diriku akan kalah, keringat dingin mengucur dari


tubuhku. Aku pun akhirnya meninjau baik-baik ruangan ini untuk
mencari petunjuk.

"Apa ada anggota lagi selain dirimu di klub ini?"

"Tak ada."

Jika memang demikian, lalu bagaimana caranya klub ini bisa


bertahan, ya? Pertanyaan bagus.

Cukup sudah. Tak ada petunjuk sama sekali.

Eh, tunggu. Sebaliknya, hal tersebutlah petunjuknya. Bukan


bermaksud sombong, sih, namun karena sedari kecil aku sudah jarang
berteman, bisa dibilang aku benar-benar jago jika dalam permainan
satu orang. Aku cukup percaya diri jika menyelesaikan soal semacam
TTS atau sejenisnya. Malah kupikir, mungkin aku pun bisa menang
dalam lomba cerdas cermat antar-SMA. Jadi inilah perkiraanku: Jika
ini adalah klub yang tak bisa lagi merekrut anggota baru, maka
anggota lain selain dirinya takkan pernah ada. Banyak yang bisa aku
tangkap dari hal tesebut. Dan jika menyatukan fakta-fakta barusan,
maka jawabannya sudah jelas—

"Klub Sastra?"

"Oh? Lalu alasannya?" Yukinoshita bertanya penuh antusias.

"Lingkungannya yang khas; tak begitu memerlukan perlengkapan


khusus dalam kegiatannya; dan fakta kalau klub ini tak dibubarkan
meski kekurangan anggota. Singkatnya, kegiatan klub ini tak
membutuhkan banyak biaya. Terlebih, kau sedang membaca buku.
Jawabannya pun sudah kautunjukkan dari awal."

Menurutku itu hipotesis yang sempurna. Meski tanpa bantuan dari


anak SD berkaca mata,[10] aku masih bisa menjelaskannya dengan
gamblang. Ini perkara mudah.

Hal itu harusnya membuat sang Nona Yukino merasa kagum dan
berkata Begitu rupanya... sambil diselingi sedikit rasa kesal.

"Salah."

Dengan nada tegas ia menjawab, yang kemudian diselingi tawa sinis.

Kini ia malah membuatku jengkel. Memangnya dirinya itu Manusia


Super Sempurna yang tanpa cela, apa? Justru ia tampak seperti
Manusia Super Kejam.[11]

"Jadi, ini klub apa?"

Yukinoshita tampak tak peduli dengan tanggapanku yang sedikit


mengesankan rasa jengkel tadi. Ia kemudian memberi penjelasan,
sebagai tanda bahwa permainan ini masih tetap berjalan.

"Baiklah, akan kuberi petunjuk. Kegiatan klub ini melibatkan


keikutsertaan diriku."
Akhirnya petunjuk yang ditunggu-tunggu muncul. Tapi tetap saja tak
sedikit pun membantu. Ujung-ujungnya aku malah kembali ke
jawabanku sebelumnya — Klub Sastra.

Tunggu dulu... tunggu sebentar dan tenanglah dulu. Santai saja.


Santailah dulu, Hachiman Hikigaya.

Ia bilang tadi tak ada lagi anggota klub selain dirinya. Meski begitu,
klub ini masih bisa tetap aktif.

Dengan kata lain, bisa saja ada anggota tak terlihat, contohnya seperti
hantu, ya 'kan? Lalu yang ganjil dalam cerita ini adalah, anggota tak
terlihat itu ternyata memang benar-benar hantu. Akhirnya kisah
komedi romantis ini pun berkembang ke hubungan antara diriku
dengan seorang hantu perempuan jelita.

"Komunitas Penelitian Hal Gaib!"

"Yang kutanyakan adalah klub."

"Eng... Klub Penelitian Hal Gaib!"

"Salah..." Ia pun menghela napas. "Konyol sekali. Mana ada yang


namanya hantu."

Padahal ia bisa saja berkata layaknya gadis manis seperti, Ma-mana


ada yang namanya hantu! A-aku bilang begitu, bu-bukannya karena
aku takut lo, ya. Yang terjadi justru ia memandangku dengan
pandangan yang begitu menghina. Seolah matanya berkata Orang-
orang bodoh, mati saja sana.

"Aku menyerah. Aku benar-benar tak tahu."

— II —

Yah, andai aku bisa mengira-ngira apa maksudnya. Mestinya ia bisa


membuat hal ini jadi lebih mudah, 'kan? Minimal petunjuk semacam,
Di atas rumahmu ada banjir air mata, tapi di bawahnya ada panas
yang menyala-nyala — Kenapa bisa begitu? Sudah jelas karena
rumahmu sedang kebakaran. Tapi kalau yang begini namanya bukan
lagi tebak-tebakan; ini malah seperti teka-teki.

"Hikigaya. Kapan terakhir kali kau bicara dengan seorang gadis?"

Tiba-tiba saja ia keluar dari topik dan menanyakan hal tersebut untuk
mengalihkan perhatian. Sungguh perempuan yang lancang.

Aku cukup yakin dengan kemampuan mengingatku. Bahkan aku bisa


mengingat beberapa omongan tak penting yang sering dilupakan
orang, jadinya malah banyak perempuan di kelasku yang menganggap
aku seperti seorang penguntit.

Berdasarkan daya ingat hipokampus[12] milikku yang di atas rata-rata


ini, terakhir kalinya aku berbincang dengan seorang gadis yaitu pada
Bulan Juni dua tahun lalu.

Gadis: Tempat ini rasanya panas banget, ya?

Aku: Iya... seperti dikukus, ya?

Gadis: Hah? ...ah, iya. Sepertinya begitu...

Tamat

Seperti itulah contohnya. Yah, dan sejak saat itu ia cuma mau
mengobrol dengan perempuan di belakangku saja. Manusia memang
cenderung lebih mengingat hal-hal yang tak menyenangkan. Sampai
sekarang pun, jika teringat kembali kejadian itu, cepat-cepat saja aku
menutup seluruh tubuhku dengan selimut lalu menjerit.

Belum pula selesai ingatan tentang kenangan pahit tersebut,


Yukinoshita langsung memberi penjelasan dengan suara lantang,

"Orang yang sering menawarkan bantuan sebagai bentuk amal bagi


mereka yang kekurangan. Ialah yang orang-orang sebut sebagai
Sukarelawan. Menyediakan bantuan dalam hal pembinaan bagi
negara-negara berkembang; menyediakan makanan bagi para
tunawisma; membuat para lelaki yang tak populer agar bisa
bercengkerama dengan perempuan; tangan yang selalu terulur bagi
mereka yang membutuhkan. Seperti itulah kegiatan klub ini."

Tanpa kusadari, Yukinoshita pun telah berdiri dan tentu saja


pandangannya tertunduk ke arahku.

"Selamat datang di Klub Layanan Sosial. Dengan senang hati aku


menyambutmu."

Tanpa tedeng aling-aling ia berkata demikian di depanku.


Perkataannya bahkan sampai membuat mataku berkaca-kaca. Seperti
sedang menabur garam pada sebuah luka, yang ia katakan justru
membuatku semakin depresi.

"Sesuai ajaran Bu Hiratsuka, sudah jadi tugas bagi orang yang


diberkati untuk menyelamatkan orang yang tak berdaya. Sebagai
bentuk tanggung jawabku, akan kupastikan permintaan beliau ini
terpenuhi. 'Kan kuperbaiki masalah yang kaualami. Jadi,
bersyukurlah."

Mungkin yang dimaksudkannya itu Noblesse Oblige, yang dalam


Bahasa Perancis berarti wewenang yang dimiliki kaum bangsawan
sebagai wujud keluhuran serta kedermawanan. Kenyataannya, meski
hanya dinilai dari peringkat kelas serta penampilan luarnya saja,
namun tidaklah berlebihan jika Yukinoshita dianggap layaknya
seorang bangsawan.

"Perempuan ini..."

Namun sayangnya, sebagai lelaki aku harus membalas perkataannya


tadi agar tak menjadi satu-satunya pihak yang dikasihani di sini.

"Asal kau tahu, ya... mungkin kelihatannya saja begini, tapi


sebenarnya aku lumayan berbakat! Aku mendapat peringkat ketiga
dalam ujian Bahasa Jepang untuk jurusan IPS tahun ini! Cukup hebat
untuk orang dengan tampang sepertiku, 'kan? Jika kau
mengenyampingkan fakta tentang diriku yang tak punya teman
maupun pacar, standar diriku ini lumayan tinggi, tahu!"

"Aku yakin kalau yang kudengar darimu tadi adalah sebuah


kesalahan besar... meski begitu, hal yang luar biasa bila kau sampai
bisa sepercaya diri itu. Kau ini memang aneh. Sampai-sampai
membuatku jijik."

"Berisik. Aku tak minta pendapat dari perempuan aneh sepertimu."

Memang dasar perempuan aneh... atau apalah sebutan yang


digosipkan ke dirinya. Dari yang orang bilang, Yukino Yukinoshita
memang sangat bertolak belakang dengan yang ia tampakkan di luar.
Orang-orang pasti mengira ia hanya seorang gadis jelita yang
bersahaja. Padahal kini ia sedang menyunggingkan senyum dingin.
Atau jika ada kata yang lebih tepat mendekripsikannya, mungkin
sebuah senyum kejam.

"Hmm... sejauh yang kuamati, terlihat kalau kesendirianmu itu akibat


dari pikiran busuk serta sikap menentangmu sendiri." Simpul
Yukinoshita dengan begitu cepat. "Pertama-tama, akan kucarikan
tempat bagimu di masyarakat. Aku tak bisa meninggalkanmu sendiri
dengan ketakberdayaan dirimu itu. Kau tahu? Tempat yang tepat akan
menyelamatkanmu dari takdir menyedihkan seperti membakar diri
agar berpijar seperti bintang."

"Bintang Yotaka,[13] maksudmu, 'kan? Kolot banget."

Kalau saja aku ini bukan orang jenius yang peduli budaya dan
mendapat peringkat ketiga dalam ujian Bahasa Jepang, mungkin aku
tak tahu cerita apa yang ia singgung. Terlebih, cerita itu memang
cerita favoritku, makanya aku bisa ingat. Cerita yang sangat tragis
hingga sempat membuatku menangis. Jenis cerita yang mungkin saja
bisa dinikmati semua orang.

Mata Yukinoshita terbelalak kaget setelah mendengar jawabku.

"Sungguh tak disangka... tak pernah kubayangkan jika rata-rata


pelajar SMA seperti kau juga membaca karya Kenji Miyazawa."
"Jadi kau menyepelekanku, begitu?"

"Maaf, kalau aku berlebihan. Mungkin lebih tepat jika kubilang di


bawah rata-rata?"

"Masa bodoh dengan anggapanmu! Bukannya tadi kubilang kalau


aku mendapat peringkat ketiga di tahun ini?"

"Menyedihkan sekali kalau kau bisa merasa sepuas itu hanya karena
pernah mendapat peringkat ketiga. Terlebih lagi, menggunakan nilai
ujian sebagai satu-satunya acuan justru membuatmu terdengar tak
intelek."

Merendahkan orang lain juga ada batasnya, tahu. Memperlakukan


orang yang baru dikenal seperti memperlakukan ras rendahan.
Memangnya aku harus punya pengetahuan setingkat Pangeran Bangsa
Saiya baru mau ia akui, begitu?[14]

"Tahu, tidak? Cerita Bintang Yotaka memang mirip dengan dirimu,


kok. Ambil contoh, ya rupa si Yotaka itu."

"Jadi maksudmu wajahku ini cacat...?"

"Aku tak bilang begitu, ya. Aku hanya bilang, kenyataan kadang
memang kejam..."

"Itu sama saja!"

Di titik ini, Yukinoshita memasang wajah serius sembari menaruh


tangannya di bahuku.

"Jangan lari dari kenyataan. Kalau kau mau lihat yang sebenarnya,
bercermin sana."

"Tunggu, tunggu. Bukan bermaksud pamer, tapi bisa dibilang kalau


wajahku ini memang lumayan tampan. Adikku juga pernah berkata
begitu, meski dengan embel-embel, Itu kalau Kakak sedang diam,
sih... tapi itu tandanya, ia mau bilang jika hal menarik di diriku ini, ya
tampangku."
Adikku memang hebat. Matanya memang jeli... tak seperti
kebanyakan perempuan di sekolah ini.

Yukinoshita menempelkan tangan di pelipis wajahnya, layaknya


orang yang sedang sakit kepala.

"Kau ini bodoh, ya? Yang namanya ketampanan itu tak dinilai hanya
dari pendapat pribadi. Intinya, karena cuma ada kita berdua saja di
ruangan ini, maka pendapatku yang lebih objektif inilah yang paling
benar."

"Me-meski agak membingungkan, entah kenapa pendapatmu tadi


terasa ada benarnya..."

"Sekarang kita bahas mulai dari kedua matamu, soalnya, masalahmu


ini bersumber dari mata yang persis ikan mati itu. Dari situ saja sudah
bisa memberi berbagai kesan negatif. Yang kumaksud ini bukanlah
ciri wajahmu, melainkan ekspresi wajahmu yang memang sama sekali
tak menarik. Itu adalah tanda dari pembawaanmu yang sudah
menyimpang."

Yukinoshita memasang wajah manis saat ia berbicara, padahal di


dalamnya sendiri begitu bertolak belakang. Ekspresi yang ia
tampakkan justru lebih seperti seorang penjahat. Nah, siapa yang
lebih mirip orang baik-baik sekarang?

...lagi pula, memangnya mataku ini benar-benar mirip ikan, begitu?


Andai aku seorang perempuan, mungkin aku akan berpikir positif
dengan bilang, Masa, sih? Kalau begitu aku mirip putri duyung,
dong.

Dengan diriku yang masih merenungi hal barusan, Yukinoshita


mengibaskan rambutnya ke belakang dan berkata seolah-olah ia telah
menang,

"Pada intinya, merasa percaya diri hanya karena hal-hal sepele


semacam peringkat kelas ataupun penampilan fisik, sungguh tidaklah
keren. Dan dari yang kusebut tadi masih belum termasuk mata
busukmu itu lo, ya."
"Sudah, jangan terus-menerus membahas mataku!"

"Kau benar. Meski aku terus-menerus membahasnya, matamu juga


tetap takkan berubah."

"Minta maaf dulu sama orang tuaku sana."

Kuakui wajahku menyengir saat mendengar jawabnya. Yukinoshita


pun langsung berlagak murung seolah-olah merenungi perkataannya
tadi.

"Benar juga, perkataanku tadi sudah kelewatan. Ini pasti hal berat
bagi orang tuamu."

"Sudah-sudah, hentikan!" Aku memohon, dengan mata yang hampir


menangis. "Ini memang salahku! Bukan, ini salah wajahku! Puas?"

Yukinoshita langsung menghentikan kata-kata pedasnya. Aku pun


segera sadar bahwa sia-sia jika berusaha membalas perkataannya.
Sejenak, aku terhanyut dalam imajinasi diriku yang bersemedi di
bawah pohon Buddha guna mendapat pencerahan. Dan Yukinoshita
kembali melanjutkan pembicaraannya.

"Baiklah, simulasi perbincangan ini telah selesai. Jika kau mampu


mengobrol sampai sebanyak ini denganku, maka kau pun mampu
berbuat hal yang sama dengan orang lain." Sembari merapikan
rambut dengan tangan kanannya, ekspresi wajah Yukinoshita tampak
dipenuhi rasa puas. Ia pun tersenyum senang setelahnya. "Mulai
sekarang kau bisa menjalani hidup yang lebih baik dengan berbekal
kenangan berharga ini, meski itu tanpa bantuan dari siapa-siapa."

"Kau ini sedang berkhayal, ya?"

"Yah, kalau begitu, berarti permintaan Bu Hiratsuka belum


terpenuhi... mau tak mau, memang harus memakai pendekatan yang
lebih mendasar, seperti... membuatmu berhenti datang ke sekolah."

"Itu namanya bukan solusi, tapi cuma menutup-nutupi bau busuk."[15]

"Wah, jadi kau sudah sadar kalau kau itu busuk?"


"Begitu, ya? Pantas saja selama ini aku dipandang sebelah mata dan
dijauhi orang-orang." Tak masalah, sih, lebih baik kuladeni saja
perkataannya.

"...dasar payah."

Setelah kutertawa kecil karena komentarku yang menyindir tadi,


Yukinoshita menatapku seakan hendak berkata, Kenapa juga orang
seperti ini masih hidup? Dan seperti yang pernah kubilang,
tatapannya memang membunuh.

Lalu keheningan pun mulai menghinggapi ruangan, cukup hening


untuk membuat telingaku sakit, mungkin sakit ini karena aku selalu
saja membiarkan Yukinoshita berkata seenaknya.

Akan tetapi, keheningan ini mendadak pecah karena suara menggema


dari gebrakan pintu yang ditarik paksa oleh seseorang.

— II —

"Yukinoshita. Ibu masuk, ya."

"Tolong kalau Ibu mau masuk, ketuk du—"

"Iya, iya. Jangan diambil hati, lanjutkan saja. Ibu cuma mampir
memeriksa keadaan."

Bu Hiratsuka menyandarkan badannya ke tembok sambil


melemparkan senyum pada Yukinoshita. Lalu beliau pun kembali
mengarahkan pandangannya pada kami berdua.

"Wah, wah, tampaknya kalian sudah akrab." Bisa-bisanya beliau


berkesimpulan begitu? "Hikigaya, tetap semangat, ya. Tetap fokus
pada program rehabilitasi sikap menentangmu dan juga penyembuhan
mata busuk milikmu itu. Ibu mau balik dulu. Jaga diri kalian saat
pulang nanti, ya."
"Eh, eh, tunggu dulu!"

Spontan kugenggam tangan Bu Hiratsuka agar beliau tak pergi.


Namun tiba-tiba—

"Aduh! Aduh-duh-duh! Ampun! Ampun, Bu, saya menyerah!"

Tahu-tahu lenganku sudah terkunci. Setelah meronta-ronta dan


memohon ampun, beliau akhirnya melepaskanku.

"Oh. Rupanya kau toh, Hikigaya. Jangan tiba-tiba berdiri di belakang


Ibu, dong... Ibu jadi refleks, deh."

"Memang Ibu ini Golgo, apa?[16] Lagi pula, apanya yang refleks?
Jangan langsung tiba-tiba begitu, dong!"

"Bukannya kau yang mulai duluan? ...memangnya ada masalah apa?"

"Ya, Ibu itu sumber masalahnya... terus, apa maksud Ibu dengan
program rehabilitasi? Itu malah terdengar seolah-olah saya ini anak
bermasalah, ya 'kan? Sebenarnya ini tempat apa, sih?"

Bu Hiratsuka memegang dagunya sejenak.

"Yukinoshita sudah menjelaskannya padamu, 'kan? Intinya, tujuan


utama klub ini adalah membantu mengatasi permasalahan seseorang
dengan cara mendorongnya agar berkembang. Anggap saja tempat ini
seperti Ruang Jiwa dan Waktu.[17] Atau gampangnya, seperti cerita
dalam Shoujo Kakumei Utena itu, lo."[18]

"Ilustrasi yang Ibu berikan malah tambah bikin bingung... secara tak
langsung malah memberi tahu berapa usia Ibu."

"Kau tadi bilang apa?"

"...eh, bukan apa-apa."

Aku langsung mengecilkan suaraku, mencoba menghindar dari


tatapan dingin Bu Hiratsuka. Beliau lalu menghela napasnya sembari
mengamatiku.
"Yukinoshita, kelihatannya program rehabilitasimu menemui
kesulitan."

"Itu semua karena ia tak sadar kalau pada kenyataannya dirinya


sendiri bermasalah." Dengan ketus Yukinoshita menjawab.

Rasanya aku tak sanggup berada di tempat ini lebih lama lagi. Ini
terasa seperti ketika orang tuaku menemukan koleksi majalah porno
milikku sewaktu aku masih kelas 6 SD yang membuat mereka
menceramahiku habis-habisan.

Tapi jika kupikir lagi, mungkin ini tak sampai seburuk itu.

"Maaf, ya... dari tadi kau dan Bu Hiratsuka membahas tentang


program rehabilitasi, lalu pengembangan diri, lalu revolusi, lalu gadis
revolusioner, lalu apalah lagi itu namanya, padahal tak sekalipun aku
pernah meminta hal tersebut..."

"Hmm..." Bu Hiratsuka memiringkan kepalanya karena tak mengerti.

"Kau ini bicara apa?" Tegas Yukinoshita. "Jika kau tak bisa berubah,
nantinya kau akan kesulitan dalam bermasyarakat."

Tampak dari wajahnya jika pendapat yang ia lontarkan itu seolah


menyiratkan hal seperti, Tak ada gunanya berperang, jadi buang
semua senjatamu.

"Sudah terlihat kalau sisi kemanusiaanmu itu benar-benar rendah bila


dibandingkan orang lain. Apa kau tak pernah terpikir ingin mengubah
sisi tersebut?"

"Bukan begitu... hanya saja, aku tak mau orang lain terus memaksaku
agar berubah, memaksaku supaya sadar akan diriku sendiri. Lagi pula,
jika akhirnya aku berubah karena nasihat orang lain, maka aku takkan
bisa jadi diriku sendiri, ya 'kan? Dikatakan jika sebuah jati diri—"

"Hal tersebut tak bisa dilihat dari pendapat satu orang saja."
Usahaku agar terlihat hebat dengan mengutip ucapan Descartes, justru
langsung disela oleh Yukinoshita... padahal aku sedang mengatakan
hal yang lumayan keren.

"Yang kaulakukan hanyalah lari dari masalah. Jika kau masih belum
berubah, kau takkan bisa maju."

Ucapan Yukinoshita terasa sangat menusuk. Kenapa ia harus selalu


bersikap kasar begitu? Memangnya orang tuanya itu kepiting, apa?

"Memangnya kenapa kalau aku lari dari masalah? Kau sendiri dari
tadi hanya terus-menerus menyuruhku untuk berubah. Lagi pula,
memangnya kau bisa menghadap matahari dan berkata, Hei,
Matahari, Kau terlalu lama terbenam di barat dan orang-orang jadi
terganggu, jadi mulai sekarang terbenam saja di timur. Begitu?"

"Kau melantur. Tolong jangan menyimpang dari pokok


permasalahan. Bukan matahari yang bergerak mengelilingi bumi,
melainkan bumi yang bergerak mengelilingi matahari. Kau tak pernah
tahu Teori Heliosentris, ya?"[19]

"Itu hanya perumpamaan! Kalau kaubilang aku melantur, berarti


ucapanmu selama ini juga melantur, dong. Bila aku akhirnya berubah,
berarti sama saja aku lari dari masalah, ya 'kan? Lalu untuk apa kau
menyuruhku agar tak lari dari masalah? Kalau memang aku tak
berniat mau lari dari masalah, maka aku takkan mengubah diriku yang
sekarang. Lagi pula, kenapa kau tak bisa menerima apa adanya diriku
ini?"

"Jika seperti itu... maka permasalahan ini tak bisa terselesaikan dan
tak seorang pun bisa diselamatkan."

Seiring kata-kata yang terlontar dari mulut Yukinoshita, ekspresi


wajah yang ia tampakkan sudah seperti orang yang sedang naik pitam.
Tak sengaja diriku tersentak. Mungkin saja aku sudah siap meminta
maaf dan langsung berkata, Ma-ma-ma-maaf, ya!. Bicara soal itu,
yang ia katakan tadi bukanlah hal yang biasa dibicarakan oleh murid-
murid SMA. Aku hanya tak mengerti alasan ia berbuat sampai sejauh
ini.
"Kalian berdua tenanglah dulu." Suara Bu Hiratsuka mulai
menenangkan suasana, atau sebaliknya, malah membuat suasana jadi
lebih tak mengenakkan. Bahkan beliau sekilas menyengir
menampakkan harapan dan kegembiraannya.

"Hal ini mulai semakin menarik. Ibu suka perkembangan yang seperti
ini. Terasa JUMP banget deh. Ya 'kan?"[20]

Entah kenapa hanya Bu Hiratsuka saja yang merasa antusias.


Daripada disebut sebagai wanita dewasa, tatapan beliau lebih seperti
seorang anak kecil.

"Sejak zaman dahulu kala, ketika dua pihak saling beradu


mengatasnamakan keadilan, maka dalam shounen manga mereka
akan menyelesaikan permasalahannya itu dengan cara bertanding."

"Tapi kita kan tak sedang di dalam shounen manga..." Tak ada yang
memerhatikanku bicara.

Beliau pun tertawa sembari mengalihkan pandangannya ke arahku


dan Yukinoshita, kemudian memberi pengumuman dengan suara
keras.

"Baiklah, begini saja. Mulai sekarang, Ibu akan menggiring domba-


domba tersesat untuk datang ke klub ini, di mana kesemuanya itu
akan berada dalam pengawasan Ibu. Tugas kalian adalah berusaha
menolong mereka dengan cara kalian sendiri. Dengan begini, kalian
bisa segenap hati membuktikan kebenaran yang kalian yakini itu
kepada orang-orang. Jadi, kira-kira siapakah yang bisa menolong
mereka?! Gundam Fight. Ready — Go!"[21]

"Saya menolak." Jawab Yukinoshita dengan nada ketus.

Tampak di matanya sebuah tatapan dingin yang sempat ia tujukan


padaku barusan. Yah, aku pun setuju dengannya, makanya aku
menganggukkan kepala. Lagi pula, serial G Gundam juga bukan dari
generasi kami.

Bu Hiratsuka melihat keengganan kami dan menggigit kukunya


karena frustasi.
"Cih. Mungkin bisa lebih gampang dipahami jika ini Robattle..."[22]

"Bukan itu masalahnya..."

Hal seperti Medabots itu sudah terlalu mainstream...

"Maaf, Bu. Tolong jangan bertingkah terlalu kekanak-kanakan. Hal


itu tak pantas untuk orang seumuran Ibu dan itu juga sangat
memalukan."

Kata-kata menusuk yang terlontar dari mulut Yukinoshita bagaikan


paku-paku es yang tajam. Tak begitu jelas apakah Bu Hiratsuka mulai
berangsur tenang, yang pasti wajah beliau langsung memerah karena
malu. Beliau lalu berdeham untuk menutupi rasa malunya.

"Po-pokoknya, cara untuk membuktikan kebenaran yang kalian


yakini yaitu dengan tindakan kalian sendiri! Jika Ibu suruh kalian
bertanding, maka harus kalian turuti. Kalian tak punya hak untuk
menolak."

"Itu terlalu otoriter..."

Beliau memang seperti anak kecil! Bagian yang tampak dewasa di


dirinya hanya payudaranya saja. Yah, jika itu adalah hal konyol
seperti bertanding, maka dengan senang hati aku akan mengalah. Lagi
pula, hanya mendapat bintang jasa untuk kerja kerasku bukanlah hal
yang buruk... cukup naif dan berlebihan jika beranggapan bahwa ada
maksud tersendiri mengenai keikutsertaan dalam pertandingan ini.

Meski begitu, komentar konyol bertemakan shounen manga masih


saja dimuntahkan oleh wanita kekanak-kanakan ini.

"Agar pertandingan kalian tak terasa sia-sia, akan Ibu beri sesuatu
yang bisa menambah motivasi kalian. Bagaimana kalau begini? Pihak
yang menang boleh menyuruh pihak yang kalah untuk melakukan apa
saja keinginannya."

"Apa saja, ya!?"


Apa saja itu, maksudnya apa saja boleh, 'kan? Jangan-jangan yang
begituan juga boleh, ya? Glek.

Mendadak kudengar suara kursi yang terdorong ke belakang.


Yukinoshita sudah mundur dua meter, menutupi tubuhnya dengan
kedua tangan dalam posisi melindungi diri.

"Saya menolak. Saya merasa jika bertanding dengan anak ini bisa
membahayakan kesucian saya."

"Itu cuma prasangkamu! Tak semua anak kelas dua SMA khususnya
laki-laki selalu berpikir ke arah sana!"

Masih banyak hal lain, contohnya... oh, iya! Perdamaian dunia,


mungkin? Atau hal-hal semacamnya, begitu? Yah, setidaknya itulah
yang kupikirkan.

"Wah, wah. Bahkan seorang Yukino Yukinoshita pun bisa merasa


takut... apa kau tak yakin bisa menang?" Bu Hiratsuka
mengatakannya dengan tampang mengejek. Yukinoshita terlihat
sedikit tersinggung.

"...baiklah. Meski provokasi murahan itu terasa mengganggu, tapi


akan saya terima. Kalau ada apa-apa, saya juga bisa menyerahkan
segala urusan anak ini kepada Ibu."

Wuih... bicara soal pecundang yang tersakiti. Rupanya Yukinoshita


orang yang benci terhadap kekalahan, seolah ia berkata, Aku tahu apa
niatmu sesungguhnya, namun ia masih saja mau mengikutinya. Lalu,
apa maksudnya ia berkata Menyerahkan segala urusan? Sudahlah, tak
usah selalu bersikap sekejam itu.

"Kalau begitu, sudah diputuskan." Bu Hiratsuka menyengir tanpa


menghiraukan tatapan Yukinoshita.

"Tunggu, saya kan belum bilang setuju..." Aku menyela.

"Tak ada gunanya meminta pendapatmu, dan tak ada juga yang
memintamu menyengir." Balas Yukinoshita.
Ya sudah...

"Ibulah yang menentukan siapa yang berhak menang. Keputusan


yang Ibu ambil tentunya didasari penilaian Ibu sendiri, tapi kalian
jangan cemas... lakukan saja cara kalian itu dengan patut dan wajar,
lalu berikanlah yang terbaik."

Setelah berkata demikian beliau pun lalu pergi, meninggalkan kesan


tak menyenangkan pada diriku serta Yukinoshita.

Tentunya, setelah itu ruangan menjadi sepi dan tak ada perbincangan
lagi di antara kami. Suasana hening ini lalu sirna oleh suara dari
siaran radio sekolah. Bunyi bel tiruan mulai bergema. Seiring dengan
melodi yang berangsur tersamar, Yukinoshita langsung menutup buku
bacaannya. Bunyi bel barusan pasti pertanda berakhirnya kegiatan
sekolah.

Bersamaan dengan bunyi itu, Yukinoshita segera bersiap untuk pergi.


Dengan hati-hati ia memasukkan buku bacaannya ke dalam tas. Ia
sekilas memandang ke arahku. Tanpa mengucapkan Sampai jumpa
atau Sampai ketemu lagi, ia pergi begitu saja. Aku pun tak punya
kesempatan untuk membalas sikap dinginnya.

Dan sekarang, tinggal diriku sendiri yang ada di ruangan ini. Apa hari
ini memang hari sialku, ya? Dipanggil ke ruang guru, dipaksa
bergabung ke klub misterius, dikata-katai oleh gadis yang hanya
cantik di luarnya saja... Yang tertinggal di sini hanyalah diriku yang
terluka parah secara mental.

Bukankah hati kita akan berdegup kencang bila sedang bicara dengan
seorang gadis? Tapi yang terjadi, ia justru membuat hatiku tenggelam
dalam keputus-asaan.

Jika terus begini, lebih baik aku bicara dengan hewan peliharaan saja.
Hewan peliharaan takkan pernah membantah dan selalu tersenyum
pada majikannya. Kenapa aku tak terlahir menjadi seorang masokis
saja, ya?[23]
Dan di atas semua itu, kenapa aku dipaksa ikut dalam pertandingan
yang tak ada gunanya ini? Jika Yukinoshita yang jadi lawanku, kurasa
aku juga takkan bisa menang. Jangan-jangan pertandingan tadi itu
salah satu kegiatan klub. Saat berpikir tentang kegiatan klub, yang
kubayangkan justru sekumpulan gadis-gadis yang membentuk sebuah
grup band, seperti cerita dalam DVD yang pernah kutonton.[24] Kalau
kegiatan yang seperti itu, sih, menurutku masih masuk akal.

Tapi jika ceritanya berlanjut seperti ini, bagaimana kami bisa akur?
Boro-boro, deh. Mungkin bisa saja ia dengan santai menyuruhku
sambil berkata, Napasmu bau, jadi bisa tidak, jangan bernapas dulu
sampai tiga jam ke depan?

Sudah kuduga, masa remaja tak lain hanyalah sebuah


kebohongan.

Setelah kalah dalam turnamen bisbol di tahun ketiga, mereka


menitikkan air matanya supaya bisa terlihat keren. Setelah gagal di
ujian masuk perguruan tinggi, mereka bersikukuh menganggap bahwa
kegagalan hanyalah bagian dari pengalaman hidup. Setelah ditolak
saat menyatakan cinta pada orang yang disukai, mereka menipu diri
sendiri dan berpura-pura lugu dengan berkata kalau mereka rela asal
itu demi kebahagiaan orang tersebut.

Lalu ada juga yang begini: Sesuatu yang ditunggu-tunggu seperti


kisah komedi romantis dengan gadis tsundere[25] yang tak ramah dan
menjengkelkan, ternyata takkan pernah terjadi. Aku pun tak yakin jika
esaiku ini perlu diperbaiki.

Sudah kuduga, masa remaja hanyalah omong kosong, penipuan,


dan penuh kecurangan.
Catatan Penerjemah
 Merek sebuah rokok dari Jepang.
  Berdasarkan serial drama jepang "Drop-out Teacher Returns to School" (ヤンキー母校に帰る,
Yankee Boukou ni Kaeru). Yang menceritakan seorang mantan anggota geng yang akhirnya kembali
ke sekolah lamanya dengan peran sebagai seorang guru. Diceritakan ia menjadi guru yang begitu
peduli dengan muridnya agar mereka bisa menghadapi dunia ketika sudah lulus SMA.

  Mengacu pada ucapan Date Masamune dalam serial Sengoku BASARA yang sering memakai
kata-kata "Engrish". Yang mengisyaratkan sebuah keantusiasan, yang dalam konteks narasi ini
mengarah ke hal-hal seksual.

  Yang dimaksud Bu Hiratsuka ialah Usopp dari serial One Piece yang karakternya berhidung
panjang.

  Manga yang ditujukan untuk pembaca laki-laki di kisaran umur 13 tahun ke atas, meski
tujuannya untuk kalangan remaja, terkadang semua umur masih membacanya.[1]

  Berdasarkan serial Ginga Tetsudou 999 di mana tokoh utamanya, Tetsuro selalu berkeinginan
untuk memperoleh tubuh seperti mesin agar dirinya bisa hidup abadi. Bahkan Ratu Promethium
pernah berencana ingin memindahkan kesadaran Tetsurou ke dalam sebuah sekrup.

  Dalam versi Bahasa Jepang (asli), Yukinoshita memakai istilah nubouttoshita (ぬぼうっとした)
untuk menggambarkan sosok Hikigaya, yang artinya "bengong" atau "tampak linglung". Permen
yang dimaksud di sini yaitu permen yang bermerek NuuBou, yang pernah diproduksi Perusahaan
Permen Morinaga. Sengaja memakai kata lola (loading lambat) untuk lokalisasi istilah, karena
terdengar seperti nama permen, dan istilahnya juga cocok untuk menggambarkan orang yang
linglung.

  Tomoko Matsuhima adalah penyanyi dari Jepang yang pernah diserang oleh singa dan macan
tutul saat pengambilan gambar untuk sebuah acara varietas di Kenya.

  Kaiji adalah manga yang bercerita tentang seni berjudi.

  Yang dimaksud adalah tokoh Conan Edogawa dari serial Detective Conan.

  Sebenarnya Manusia Super itu berasal dari kata Chojin yang sering muncul dalam serial
Kinnikuman.

  Bagian dari otak besar yang berperan pada kegiatan mengingat dan navigasi ruangan[2].

  Bintang Yotaka (よだかの星, Yotaka no Hoshi) adalah dongeng dari Negara Jepang yang
mengisahkan seekor burung Yotaka (夜鷹/Caprimulgus Indicus) yang sering diejek karena wajahnya
yang cacat dan buruk rupa. Hingga suatu saat ia terbang ke tempat yang sangat tinggi untuk
menghindar dari ancaman Rajawali yang ingin membunuhnya, akan tetapi ia pun akhirnya mati
karena tak mampu lagi mengepakkan sayap. Namun sesaat sebelum merengang nyawa, Yotaka
sempat melihat tubuhnya bersinar indah layaknya sebuah bintang.

  Yang dimaksud di sini adalah Bezita/Vegeta dalam karakter Dragonball Z.

  Hachiman sedang membahas peribahasa, "Bau amis ikan akan tercium juga meski sedemikian
rupa ditutupi".
  Berdasarkan manga Golgo 13, yang tokoh utamanya adalah pembunuh profesional yang
mempunyai julukan Golgo 13.

  Mengacu pada sebuah lokasi di dalam manga Dragon Ball Z yaitu Seishin to Toki no Heya
(精神と時の部屋), sengaja memakai istilah Ruang Jiwa dan Waktu, karena istilah tersebut sudah
melekat pada pembaca manga Dragon Ball Z di Indonesia, dan juga secara harfiah artinya pun sama.

  Berdasarkan cerita dalam manga Shoujo Kakumei Utena, yang hubungannya dengan maksud Bu
Hiratsuka adalah tokoh utamanya mendapat tujuan hidup karena pertolongan seseorang yang
akhirnya jadi inspirasi hidupnya.

  Teori yang menyebutkan bahwa matahari sebagai pusat tata surya dan planet-planet lainnya
termasuk Bumi berputar mengelilingi matahari.[3]

  Maksud Bu Hiratsuka yaitu situasi yang ia tangkap ketika kejadian ini mirip seperti cerita-cerita
manga yang biasanya ada di dalam majalah Shounen JUMP.

  Kata-kata yang digunakan dalam serial Mobile Fighter G Gundam ketika para mobile fighter
hendak saling bertarung dalam turnamen Gundam Fight.

  Mengacu pada istilah dalam serial Medarot/Medabots di mana para medafighter saling
bertarung satu sama lain.

  Masokis adalah istilah yang dikenakan pada pihak yang mendapat peran sebagai yang
disakiti/tersakiti saat berhubungan seks. Tapi seiring waktu, konotasi istilah ini jadi meluas, dan bisa
diterapkan ke beberapa situasi, salah satunya dalam pergaulan sehari-hari.

  Hachiman sedang menyinggung serial K-On!.

 Tsundere adalah istilah di mana sebuah karakter bersikap kasar di luarnya, padahal dalam hatinya
ia punya perasaan yang lembut.
BAB 2

Sampai Kapan pun, Yukino Yukinoshita Tetap Keras Kepala

Saat keluar dari ruang kelas setelah jam pelajaran berakhir, kulihat Bu
Hiratsuka sedang menungguku sambil menyandarkan dirinya ke
tembok. Beliau sudah tampak seperti sipir penjara yang berdiri tegap
sambil melipat kedua tangannya. Kalau boleh bilang, pasti akan terasa
cocok apabila beliau berpakaian militer dan memegang cambuk di
tangannya. Yah, yang namanya sekolah memang mirip seperti
penjara, setidaknya itu bukan imajinasi yang terlalu berlebihan.
Maksudku, sekolah pun bisa disamakan seperti Alcatraz ataupun
Cassandra.[1] Pastinya aku akan bersyukur andai sang Penyelamat
Akhir Zaman[2] bergegas datang menolong.

"Hikigaya. Waktunya kegiatan klub."

Seketika itu darahku langsung membeku. Sial, aku tertangkap. Kalau


aku sampai digiring ke ruang klub, mungkin kehidupan sekolahku ini
sudah tak punya harapan lagi.

Yukinoshita itu orang yang angkuh sejak lahir, kata-kata yang terucap
dari mulutnya bagaikan ular berbisa. Sangat kasar, bahkan tak ada
manis-manisnya. Apa makhluk sepertinya itu bisa disebut tsundere?
Yang benar saja. Ia cuma gadis kurang ajar.

Sambil tersenyum cuek, Bu Hiratsuka tak menghiraukan


keenggananku yang tampak jelas ini.

"Ayo pergi." Ujar Bu Hiratsuka sembari berusaha merangkul


lenganku. Aku menghindar. Tak tanggung-tanggung, beliau langsung
menjulurkan tangannya lagi. Aku pun kembali mengelak.

"Eng... asal Ibu tahu... jika saya pikir-pikir lagi, yah, di antara sekian
banyak hal, sistem pendidikan di negara kita ini harusnya saling
mendukung juga menghormati kebebasan murid-muridnya, oleh
karena itu... saya merasa keberatan jika dipaksa-paksa begini."

"Sayangnya, sekolah merupakan sebuah institusi yang dirancang


untuk melatih murid-murid agar bisa menjadi bagian dari masyarakat
yang baik. Di kehidupan sesungguhnya, pendapatmu barusan tak
mungkin akan dihiraukan. Karena itu, kau pun harus terbiasa untuk
dipaksa-paksa orang."

Kali ini bukan sebuah pukulan biasa yang beliau lesatkan, melainkan
sebuah serangan telak dari sebuah tinju yang terpilin dan menusuk
tubuhku. Sangat kuat, sampai-sampai aku tak bisa bernapas. Tanpa
menyia-nyiakan momentum, beliau berhenti menyerang dan langsung
merangkul lenganku.

"Kau tahu apa jadinya jika coba membangkang, bukan? Jadi jangan
coba-coba memancing tinju Ibu ini, ya."

"Jadi Ibu benar-benar serius mau memakai tinju itu?"

Perih ini tak mungkin bisa lebih buruk lagi.

Selagi berjalan, mulut Bu Hiratsuka mendadak terbuka seakan beliau


baru teringat sesuatu.

"Oh, iya. Jika kau mencoba kabur lagi, maka secara tak langsung kau
dianggap kalah dari Yukinoshita. Segala bentuk keberatan takkan Ibu
terima, lo. Jadi, jika kau tetap tak menghiraukannya, maka jangan
harap kau bisa lulus di tahun ketigamu."

Aku sudah tak mungkin lagi bisa lari dari beliau, bahkan dari segi
mental sekalipun. Bu Hiratsuka berjalan di sampingku, suara ketukan
dari hak sepatu berbunyi di setiap langkahnya. Dan yang terburuk,
beliau merangkul pergelangan tanganku. Kalau dilihat lagi, ini
tampak seolah Bu Hiratsuka menjadi seorang wanita penghibur yang
memakai kostum guru sekolah dan sedang menggandengku ke
kabaret cosplay miliknya.[3]

Meski begitu, ada tiga hal yang membedakannya, yaitu: Aku tak bisa
membayar beliau sepeser pun, beliau sebenarnya hanya merangkul
ujung sikutku bukan seluruh lenganku, dan aku tak merasa senang
maupun tertarik sama sekali. Yah, terkecuali fakta kalau ujung
sikutku sempat menyentuh payudara Bu Hiratsuka.
Satu-satunya tempat yang ingin beliau tuju sekarang hanyalah ruang
klub.

"Eng... saya takkan coba kabur lagi kok, jadi biar saya jalan sendiri
saja, ya. Ibu juga pasti sudah tahu kalau selama ini saya selalu sendiri.
Jadi tak akan apa-apa jika saya jalan sendiri. Lagi pula, kalau tak
melakukannya sendiri, saya justru tak bisa tenang."

"Jangan bicara begitu. Ibu memang mau pergi bareng, kok." Bu


Hiratsuka tersenyum lembut sambil mendesah pelan.

Ini membuatku kaget; ini bukan ekspresi yang biasanya beliau


tunjukkan padaku.

"Membiarkanmu kabur bisa bikin Ibu gregetan. Jadi, meski tak tega,
Ibu harus memaksamu pergi ke sana supaya stres Ibu ini bisa
berkurang."

"Alasan yang tak masuk akal!"

"Mau bagaimana lagi? Meski Ibu sebenarnya sudah capek, Ibu masih
harus menemanimu sampai ke sana. Semua ini demi kelancaran
program rehabilitasimu itu sendiri. Bisa dibilang, ini salah satu contoh
dari ikatan kasih sayang seorang guru terhadap muridnya."

"Ibu bilang yang begini ini kasih sayang? Maaf, Bu, saya enggak
butuh."

"Nah, jawabanmu semacam itu yang malah menunjukkan kalau kau


memang sudah menyimpang, kau tahu? ...apa saking menyimpangnya
sampai-sampai titik urat nadimu jadi terbalik? Lalu kau mau coba
membangun sesuatu semacam Makam Kaisar Salib Suci, begitu?"[4]

Bu Hiratsuka ini memang penggila manga...

"Padahal, kau bisa tampak lebih manis kalau mau sedikit menurut.
Kau tak bisa menikmati hidup kalau masih punya pandangan
menyimpang seperti itu."
"Yah, dunia itu kan tak selalu dipenuhi padang bunga matahari dan
aster. Jika masyarakat terbentuk oleh pikiran kalau orang harus selalu
bahagia, tentunya Hollywood takkan membuat film-film sedih, ya
'kan? Soalnya, ada sebagian orang yang juga senang dengan tragedi."

"Argumen seperti itu memang ciri khasmu. Wajar, sih, bagi remaja
kalau berpikiran sinis, tapi kalau kau ini sudah jadi penyakit namanya.
Jenis penyakit yang sering diidap anak kelas dua SMA. Kalau dipikir
lagi, ternyata kau memang pengidap kounibyou."[5] Ujar Bu Hiratsuka
sambil tersenyum bangga.

"Jadi Ibu memperlakukanku seperti orang penyakitan, begitu? Kejam


banget. Lagi pula, apa itu kounibyou?"

"Kau suka manga dan anime, enggak?" Beliau mengganti topik


pembicaraan dan mengabaikan pertanyaanku.

"Yah, bukannya saya enggak suka, sih."

"Lalu apa yang kau suka dari hal itu?"

"Eng, soalnya... itu mewakili kebudayaan Jepang. Itu juga bagian dari
budaya modern yang bisa jadi kebanggaan Jepang. Aneh kalau saya
tak mengakui fakta tersebut, ya 'kan? Pangsa pasar domestik bisa
semakin berkembang karenanya, maka dari itu sisi ekonomi pun harus
disangkut-pautkan di sini."

"Begitu rupanya. Lalu kalau karya sastra umum? Seperti Keigo


Higashino dan Koutarou Isaka contohnya?"[6]

"Saya juga baca, tapi jujur, saya lebih senang karya yang ditulis oleh
mereka ketika masih belum terkenal."

"Terus, kalau label penerbit light novel favoritmu?"

"Gagaga... Kodansha Box juga. Saya tak tahu apakah Ibu juga
menggolongkan Kodansha Box sebagai salah satu penerbit light
novel.[7] Oh, iya, untuk apa Ibu tanya-tanya hal barusan?"
"Yah, kau memang seperti yang Ibu duga. Tapi dalam artian negatif.
Contoh sempurna seorang pengidap kounibyou."

"Makanya tadi saya tanya, apa itu kounibyou?"

"Kounibyou ya kounibyou, sebuah ungkapan umum terhadap kondisi


mental yang dialami murid-murid SMA. Mereka pikir kalau bersikap
sinis itu terlihat keren dan mereka selalu memberi tanggapan dengan
kalimat-kalimat yang populer di internet, contohnya, Bekerjalah dan
kau 'kan dipercundangi.[8] Ketika sedang membahas tentang
pengarang novel dan manga, mereka berkata, Aku lebih senang karya
yang ditulis oleh mereka ketika masih belum terkenal. Mereka
mencemooh sesuatu yang sedang digandrungi orang-orang dan
memuja hal-hal yang sifatnya tak jelas. Dan terlebih lagi, mereka
mengejek para otaku[9] padahal mereka sendiri sebenarnya tak
berbeda jauh. Mereka menerka-nerka seakan tahu segalanya lalu
menyebarkan logika-logika sesat. Intinya, mereka tak disukai orang-
orang."

"Tak disukai orang-orang... cih! Logis sekali, sampai-sampai tak bisa


saya sangkal lagi!"

"Oh, bukan begitu, Ibu ini sedang memujimu. Murid-murid zaman


sekarang sudah pintar-pintar dan mudah menerima kenyataan.
Sebagai guru, Ibu takkan mengejek kesalahan yang kauperbuat.
Maksudnya, Ibu menganggapmu layaknya orang yang sudah dewasa,
jadi ini sama seperti kita sedang berbisnis."

"Murid-murid zaman sekarang, ya?" Aku hanya bisa tersenyum


kecut. Pernyataan barusan itu sudah tampak jelas dan aku jadi merasa
sedikit jengkel, karena itu aku sempat berniat membantahnya. Meski
begitu, kusadari Bu Hiratsuka sudah menatap mataku dengan
pandangan serius dan aku pun cuma bisa menundukkan bahu.

"Kau memang terlihat sedang mengatakan hal-hal keren tapi itu justru
menandakan karakteristik asli seorang kounibyou."

"Oh... benarkah?"
"Sebenarnya Ibu tak mau kau jadi besar kepala, tetapi Ibu memang
sedang memujimu kok. Ibu senang dengan orang yang memegang
teguh pendiriannya, meskipun orang itu menyimpang."

Mendengar beliau yang tiba-tiba berkata senang malah membuatku


terbengong layaknya orang bodoh. Aku jadi bingung harus menjawab
seperti apa.

"Jadi, sebagai orang yang sudah menyimpang, bagaimana


pendapatmu tentang Yukino Yukinoshita?"

Langsung kujawab. "Gadis kurang ajar." Aku membencinya seperti


ingin memberi racun pada orang yang berkata, Lebih baik kau
menyerah saja menggubah lagu Concrete Road.[10]

"Begitu rupanya." Bu Hiratsuka menyengir. "Yukinoshita memang


murid yang luar biasa, tetapi... yah, bagi mereka yang mereka
diberkati sesuatu, tentunya akan ada penderitaan tersendiri ketika
memiliki sesuatu itu. Biar bagaimanapun, ia tetap gadis yang sangat
manis."

Dalam hal apa? Pertanyaan itulah yang mencuat di benakku.

"Ia pun pasti mengidap penyakit yang hampir sama denganmu.


Yukinoshita orang yang jujur dan senantiasa benar, namun
sekelilingnya tak demikian dan justru bersikap tak adil. Ibu yakin
hidupnya penuh kesulitan."

"Ia tak selalu benar, tapi saya yakin sebagian besar orang-orang akan
setuju dengan Ibu."

Bu Hiratsuka langsung melihatku seolah ingin berkata, Itulah yang


Ibu pikirkan.

"Sudah Ibu duga seperti itu — kalian berdua saling bertolak


belakang. Ibu jadi khawatir. Tak ada satu pun di antara kalian yang
bisa berbaur dengan baik di masyarakat, karena itu Ibu
mengumpulkan kalian dalam satu tempat."

"Ternyata itu memang ruang karantina..."


"Ya, begitulah. Sungguh menyenangkan ketika melihat tingkah
murid-murid seperti kalian berdua ini. Mungkin Ibu cuma sekadar
mau tahu bagaimana jadinya kalau kalian akrab." Beliau lalu tertawa
dengan senangnya.

Kemudian, seperti yang sudah-sudah, beliau dengan cepat mengunci


pergelangan tanganku. Kedua lengan beliau sudah menguciku di
seputaran tubuhnya, merangkul tanganku di setiap sisinya. Bela diri
campuran ini pasti pengaruh dari manga. Sikutku sampai
mengeluarkan bunyi patahan seiring dengan payudara besar Bu
Hiratsuka yang menggesek-gesek lenganku.

...ampun, deh. Lagi-lagi aku kesulitan untuk lari dari jurus beliau yang
satu ini. Sungguh menjengkelkan, tapi lama-lama aku pun akhirnya
terpaksa pasrah.

Sudah cukup, aku tak tahan lagi.

Saat itu sesuatu terlintas di pikiranku, karena jumlahnya ada dua,


maka seharusnya kata itu disebut dengan lengkap, yaitu, sepasang
payudara.

— II —

Sesampainya di paviliun, Bu Hiratsuka akhirnya melepaskanku.


Mungkin beliau tak lagi cemas kalau aku bakal lari. Biar begitu,
beliau pergi tanpa melepas pandangannya padaku. Tak ada sedikit
pun rasa kasihan yang beliau tampakkan, bahkan tak ada ucapan
seperti, Maaf, Ibu harus meninggalkanmu di sini, atau, Ibu benci
harus berpisah denganmu... yang ada justru beliau memberi kesan
membunuh, seolah hendak berkata, Kau tahu apa jadinya kalau
mencoba lari, bukan?

Aku lanjut berjalan sambil tersenyum masam.

Ujung gedung paviliun ini sudah dipenuhi hawa dingin dan rasa sunyi
yang mencekam.
Harusnya ada klub lain di sekitar sini, tapi tak sekalipun aku pernah
mendengarnya. Mungkin saja ini karena perempuan itu, atau mungkin
ini dampak dari aura aneh yang dipancarkan Yukino Yukinoshita.

Kutempelkan tanganku pada pintu, bermaksud ingin membukanya.


Hal semacam ini bisa membuatku depresi, namun aku benci kalau
harus lari. Semua akan baik-baik saja andai aku tak membiarkannya
berlaku semena-mena terhadapku. Aku tak boleh menganggap jika
berduaan dengannya di tempat ini bukanlah sebuah masalah. Aku
harus berpikir bagaimana cara untuk membiasakan diri sekaligus
menjaga jarak darinya.

Andai tak ada sesuatu di antara kami, tak mungkin aku merasa
canggung dan tak nyaman begini. Karenanya, hari ini akan kugunakan
satu-satunya cara untuk melenyapkan rasa takut akan kesendirian itu:
Jika kau melihat orang asing, anggaplah ia memang benar-benar
orang asing. Sayangnya, tak ada cara lagi selain cara tersebut.

Rasa canggung timbul akibat persepsi semacam, Kalau aku tak


membuka pembicaraan... atau, Jika aku tak berusaha mencoba akrab
dengannya... yang selalu muncul di dalam pikiran.

Sama halnya ketika ada seseorang yang tiba-tiba duduk di sebelah


kita saat di dalam kereta, dan kita berpikir Sial! Kami jadi berduaan
begini! Canggung banget rasanya!

Jika aku masih berpikiran seperti itu, maka semua ini takkan bisa
berakhir. Semoga saja ia tetap diam dan asyik membaca bukunya.

Begitu pintu ruang itu terbuka, kulihat Yukinoshita sedang asyik


membaca, posisi duduknya masih sama persis seperti kemarin.

"..."

Baiklah, pintu sudah kubuka, jadi apa aku juga perlu membuka
pembicaraan? Pada akhirnya, aku pun hanya membungkuk kemudian
berjalan melewatinya.

Yukinoshita memandangku sekilas lalu segera beralih kembali pada


buku bacaannya.
"Kau sudah ada di tempat terasing begini — jangan-jangan kau ini
memang diasingkan, ya?"

Ia benar-benar tak menghiraukanku dan rasanya diriku ini dianggap


angin lalu saja. Kok situasi ini mirip seperti waktu aku di ruang kelas?

"Itu salam yang aneh. Kalau boleh tahu, itu salam dari suku mana,
ya?"

Karena tak tahan akan kata-kata pedasnya, lebih baik kuucapkan saja
salam yang kupelajari sewaktu TK dulu.

"...selamat siang."

Yukinoshita langsung tersenyum. Ini mungkin pertama kalinya ia


menunjukkan senyumnya padaku. Ketika ia tersenyum, kusadari
lesung pipi dan gigi taring yang mirip vampir itu jadi tampak terlihat.
Memang kelihatan manis, sih, namun aku tak peduli hal sepele
semacam itu.

"Selamat siang. Kupikir kau tak mau lagi datang ke sini." Itu senyum
yang melecehkan, sebuah pelanggaran yang setingkat dengan Gol
Tangan Tuhan Maradona.[11]

"Ja-jangan terlalu dipusingkan! Kalau aku tak kemari, sama saja aku
mengaku kalah, cuma itu! Ja-jangan salah paham dulu!"

Pembicaraan tadi justru agak mirip pembicaraan yang ada dalam


kisah komedi romantis. Bedanya, aku yang jadi pihak perempuan dan
Yukinoshita yang jadi pihak laki-lakinya. Dan bukan seperti ini yang
aku mau.

Komentarku tak tampak menarik perhatiannya. Sebaliknya, ia malah


melanjutkan pembicaraan seakan tak peduli dengan tanggapanku.

"Padahal sudah dilecehkan sedemikian rupa, wajar kalau tak mau


datang lagi... jangan-jangan kau masokis, ya?"

"Bukan..."
"Kalau begitu, penguntit?"

"Jelas bukan. Hei, kenapa kaukira aku mau menguntitmu?"

"Oh, jadi bukan, ya?"

Kurang ajar... ia memiringkan kepalanya dan memasang wajah seolah


bingung! Kuakui saat itu ia tampak manis, tapi aku tak peduli sama
sekali!

"Ya iyalah! Aku tak terima kau langsung beranggapan begitu."

"Ya, soalnya aku sempat yakin kalau kau suka padaku." Ujar
Yukinoshita dengan ekspresi datar di wajah dinginnya.

Yukinoshita memang punya wajah yang manis, bahkan untuk orang


sepertiku yang tak punya teman ini, sampai ikut mengakuinya.

Sudah pasti ia perempuan paling cantik di sekolah ini.

Meski demikian, sikap percaya dirinya itu sudah di luar kewajaran.

— II —

"Bagaimana bisa kau berpikiran senaif itu? Memangnya ulang


tahunmu itu dirayakan tiap hari? Atau kau mau bilang, kalau kau
disayang Sinterklas, begitu?" Jika bukan, berarti ia sedang terjebak
dalam halusinasi kehidupan bahagianya sendiri.

Bila dirinya masih terus-terusan bersikap begini, maka keadaan yang


sekarang sudah pasti tak jauh beda seperti sedang mengalami hal
menyakitkan. Sebaiknya ia mengganti sikapnya itu sebelum datang
kata terlambat.

Dari benakku yang terdalam, aku jadi sedikit merasa kasihan padanya.
Sebaiknya aku berhati-hati dalam memilih kata-kata dan langsung
menyampaikan intinya saja.
"Yukinoshita. Kau memang enggak normal. Kau benar-benar suka
berhalusinasi. Bedah dulu otakmu sana."

"Jadi kau bermaksud bicara blakblakan begitu demi kebaikanku?"


Yukinoshita tertawa kecil sembari menatap ke arahku, padahal ia tak
tampak seperti sedang terhibur – menakutkan.

Yah, yang penting aku tak mengatainya dengan kata-kata sampah atau
umpatan semacamnya. Setidaknya ia sempat memujiku tadi. Jujur,
andaikata ia tak punya wajah yang manis, mungkin dari dulu
perempuan ini sudah kuhajar.

"Jika dilihat dari rendahnya sisi pergaulanmu, kau boleh saja


menganggapku layaknya orang aneh. Meski begitu, sudah sewajarnya
kalau aku sampai berpikir seperti tadi. Itu sesuatu yang kudapatkan
dari pengalaman." Yukinoshita tertawa sambil mengangkat bahunya
dengan bangga. Fakta bahwa Yukinoshita tetap terlihat menarik meski
dengan sikap yang seperti itu masih menjadi misteri.

"Dari pengalaman, kaubilang..."

Ia pasti mau menyinggung soal pengalaman asmara. Hal yang sudah


tampak jelas jika melihat dari penampilan luarnya.

"Jadi kau mau bilang kalau kehidupan sekolahmu itu lebih


menyenangkan..." Gerutuku.

"Ya, begitulah. Kau memang benar. Tak salah jika kubilang kalau
kehidupan sekolahku masih lebih baik." Jawab Yukinoshita.

Mengenyampingkan hal tersebut, entah kenapa seperti ada perasaan


terasing yang tampak di mata Yukinoshita saat ia menatap ke arahku.
Karenanya aku sempat berpikir bila lekukan halus yang tergurat dari
dagu hingga ke lehernya itu terlihat begitu indah. Aku malah
memikirkan hal yang tidak-tidak, mati aku.

Pada saat memandangnya, aku jadi tersadar sesuatu. Yah, jika tetap
bersikap seperti biasa, aku pasti akan langsung memerhatikan hal tadi,
namun sifat angkuh dari lahir yang selalu jadi pembawaan
Yukinoshita itu tak mungkin bisa membuat orang betah berhubungan
dengan dirinya. Oleh karenanya, tidaklah mungkin juga ia punya
kehidupan sekolah semenyenangkan itu.

Mungkin hal ini harus kutanyakan sendiri...

"Hei, memangnya kau punya banyak teman?"

Yukinoshita langsung menoleh.

"...kalau begitu, pertama-tama, tolong jelaskan seperti apa posisi


seseorang yang bisa disebut sebagai teman?"

"Ah, sudah-sudah, tak usah dibahas. Itu kalimat yang harusnya


diucapkan oleh seseorang yang tak punya teman saja."

Contohnya aku.

Jika dipikir baik-baik, aku sungguh tak tahu seperti apa batasan
seorang teman itu. Kuharap ada yang mau menjelaskan padaku di
mana letak perbedaan antara yang namanya teman dengan kenalan.
Apakah orang yang cuma sesekali kita temui bisa kita sebut sebagai
teman dan yang setiap hari kita temui bisa kita sebut sebagai saudara?
Mido faado reshi sorao?[12] Kenapa cuma bunyi o saja yang tak ada
dalam solmisasi di lagu itu? Hal yang demikian sudah terlalu
mengusik pikiranku.

Dan yang paling penting, ada sedikit perbedaan mendasar antara


istilah teman dengan kenalan. Hal yang sudah jelas kelihatan,
terutama bagi kalangan perempuan.

Bahkan untuk mereka yang masih satu kelas, rupanya ada jenjang
tersendiri yang menggolongkan antara teman sekelas, teman main dan
sahabat karib. Jika demikian, berarti ini hanya masalah soal dari mana
perbedaan itu berasal. Tapi aku cuma asal bicara saja, sih.

"Yah, karena kurasa kau tak punya teman, maka tak jadi masalah."

"Aku tak pernah bilang begitu. Lagi pula, sekalipun aku tak punya
teman, itu juga takkan membuatku rugi."
"Iya, iya. Kau benar." Cepat-cepat saja kusanggah agar terhindar dari
kata-katanya yang hampir keluar seiring dengan tatapan sinis yang ia
tujukan padaku.

"Yang kumaksud, kenapa kau yang begitu disukai banyak orang ini,
justru tak punya teman?" Tanyaku. Yukinoshita tampak sedikit kesal.
Setelahnya, ia memalingkan pandangannya karena tak senang dan
mulai bicara.

"...kau takkan pernah mengerti." Yukinoshita sedikit


menggembungkan pipinya lalu berpaling.

Itu karena aku dan Yukinoshita adalah pribadi yang benar-benar


berbeda dan aku tak pernah tahu sedikit pun apa yang ada di
pikirannya. Sulit untuk mencerna maksud perkataan yang ia tujukan
padaku. Tak peduli sekeras apa aku berusaha, pada akhirnya kita
takkan pernah saling mengerti.

Meskipun ada satu hal dari Yukinoshita yang mungkin bisa


kupahami, yaitu kesendiriannya.

"Bukannya aku berlagak sok mengerti. Menjadi penyendiri berarti


kau punya banyak waktu berharga untuk dirimu sendiri. Kau bisa
meyakinkan dirimu kalau menjadi penyendiri tidaklah menjijikkan."

"..."

Hanya dalam hitungan detik Yukinoshita melihat ke arahku, sebelum


ia kembali mengarahkan wajahnya ke depan dan memejamkan mata.
Dilihat dari sikapnya, aku merasa kalau ia sedang memikirkan
sesuatu.

"Meski kau suka menyendiri, namun bila tahu-tahu ada yang sok
perhatian padamu pasti kau akan merasa terganggu. Aku paham kok
perasaanmu itu." Kataku.

"Aku heran kenapa kau bertingkah seolah kita ini sejajar. Justru itulah
yang membuatku terganggu." Yukinoshita mengibaskan rambutnya
ke belakang, mengisyaratkan bahwa ia memang sedang terganggu.
"Yah, meski kau dan aku ada di standar yang berbeda, kurasa sedikit
banyak kita punya perasaan yang sama dalam menyikapi kesendirian.
Walau itu terasa sedikit menjengkelkan." Saat memberitahukan
kejengkelannya itu, Yukinoshita tampak seolah menyunggingkan
sebuah senyum getir. Bisa dibilang, ia lebih terlihat muram ketimbang
terlihat tenang.

"Apa maksudmu kalau kita ada di standar yang berbeda... aku sendiri
punya pandangan pribadi mengenai makna kesendirian. Bahkan kau
bisa menjulukiku sang raja penyendiri. Lagi pula, hal konyol jika
kausebut dirimu itu penyendiri."

"Hah... kau bisa setegar itu menerima keadaanmu meski sadar jika itu
sia-sia..." Yukinoshita terkejut dan melihatku dengan penuh
keheranan.

"Lalu kau sendiri, padahal disukai banyak orang, tapi malah


menyebut dirimu sebagai penyendiri. Kau itu aib bagi seluruh
penyendiri di dunia ini, tahu." Jawabku dengan penuh rasa
kemenangan dan puas saat melihat ekspresinya.

Akan tetapi Yukinoshita segera tertawa sambil memasang wajah


menghina.

"Sebenarnya itu perkara biasa. Kalau kulihat lagi, ternyata tubuhmu


hanya bisa menangkap Refleks Spinalis saja ketimbang Refleks
Kranialis.[13] Maksudku, memangnya kau mengerti rasanya disukai
oleh banyak orang? Astaga aku lupa, kau tak pernah mengalami hal
tersebut, ya? Maaf, aku kurang menjaga perasaan."

"Kalau dari awal kau memang berniat mau menjaga perasaanku,


mestinya tak mungkin kau sampai bersikap begitu..."

Memangnya sikap seperti itu masih bisa dianggap sopan? Perempuan


ini memang kurang ajar.

"Terus, seperti apa rasanya jadi pujaan banyak orang?" Tanyaku.


Yukinoshita lalu memejamkan matanya seakan sedang memikirkan
jawaban atas hal tersebut.
Setelah sedikit berdeham, ia kemudian mulai bicara. "Bagi orang
yang tak populer seperti dirimu, ini mungkin hal yang kurang enak
untuk didengar."

"Tenang saja, aku sudah kenyang kalau soal yang begitu." Aku
menjawab. Yukinoshita pun langsung menarik napas dalam-dalam.

Tak mungkin aku bisa lebih kenyang lagi. Pikiranku sudah penuh
dengan perdebatan kecil tadi. Ini terasa seperti aku bisa memakan mi
ramen sebanyak apa pun itu.

"Karena dari dulu aku punya paras yang manis, para lelaki cenderung
mendekatiku, karena mereka semua memendam rasa kepadaku."

Aku menyerah, deh. Rasanya seperti ia menambah dua kali lipat


sayuran dan vetsin ke dalam mi ramenku. Walau sudah berusaha tegar
dan berlagak kuat, aku tak boleh menyerah begitu saja. Aku harus
menahan diri dan bersabar mendengarkannya bicara.

"Aku yakin kalau hal itu bermula saat tahun terakhirku di SD dulu.
Ya, memang semenjak itu..." Ekspresi Yukinoshita tampak berbeda
dari sebelumnya. Kini ia jadi terlihat sedikit murung.

Kalau dihitung, itu sudah sekitar lima tahun yang lalu. Bisa-bisanya ia
bercerita seakan dirinyalah yang dilimpahi kasih sayang oleh lawan
jenis?

Jujur, tak pernah sekalipun kupahami alasan kenapa aku dicap jijik
oleh lawan jenis selama lebih enam belas tahun hidupku ini. Begitu
pula alasan kenapa tak ada cokelat yang kudapatkan saat Hari
Valentine bahkan dari ibuku sendiri, yang membuatku semakin tak
memahami dunia ini. Perkataannya tadi tampak seolah menunjukkan
bahwa ia merupakan satu dari sekian banyak orang yang bersorak atas
gemilangnya hidup mereka. Apa ia sengaja ingin pamer di depanku?

Namun cuma itu saja, 'kan?

Meskipun ini hanya masalah perbedaan yang digambarkan layaknya


vektor positif yang terarah dari vektor negatif pada skala ukur, [14]
tetap saja akan kurang manusiawi jika aku menanggapinya dengan
terus terang. Itu sama saja seperti berdiri telanjang di tengah hujan
badai. Akan terasa kurang manusiawi sama halnya seperti melecehkan
dirinya ketika di tengah diskusi kelas.

— II —

Aku teringat dulu ketika kuberdiri sendirian di depan papan tulis, dan
seisi kelas mengelilingku sambil menyerukan, Min-ta-ma-af! Min-ta-
ma-af! Dengan nyaringnya disertai tepuk tangan yang bergemuruh.
Keadaan saat itu bisa dibilang seperti di neraka.

...pengalaman yang benar-benar menyakitkan. Itulah kali pertama dan


terakhirku menangis di sekolah.

Namun kini aku baik-baik saja.

"Setidaknya, disukai banyak orang, masih lebih baik ketimbang terus-


menerus dibenci. Kau memang enggak beres. Benar-benar enggak
beres." Umpatku ketika kenangan pahit barusan terlintas kembali di
pikiranku.

Yukinoshita sedikit berdesah. Ia lebih terlihat seolah sedang


tersenyum, walau ekspresi yang ditunjukkannya jelas berbeda.

"Bukan berarti seakan akulah yang menginginkan hal itu." Tegas


Yukinoshita yang kemudian lanjut berbicara. "Sebaliknya, jika
mereka memang tulus suka padaku, bisa jadi itu hal yang bagus."

"Apa?" Tanpa sadar aku memintanya untuk mengulangi ucapan yang


tak begitu jelas terdengar tadi. Dengan tampang serius, ia lalu
menoleh ke arahku.

"Bagaimana sikapmu, jika di antara temanmu ternyata ada yang


begitu populer di kalangan perempuan?"

"Pertanyaan konyol. Aku kan enggak punya teman, jadi enggak perlu
risau mengenai itu." Jawabku menggebu-gebu. Seperti yang biasanya
pria dewasa lakukan. Meski itu hasil pikiranku sendiri, aku sempat
kaget karena bisa secepat itu menyanggah ucapannya.

Yukinoshita tampak terkejut. Ia terbengong seolah kehilangan kata-


kata.

"...tunggu sebentar, kupikir kau mau mengatakan hal keren tadi."


Yukinoshita menempelkan tangan di dahinya sembari menundukkan
kepala. "Anggaplah kalau itu hanya pengandaian, dan beri aku
jawaban."

"Kubunuh anak itu." Aku tak tahu apakah jawaban spontan itu bisa
memuaskannya, namun Yukinoshita menganggukkan kepalanya
seolah mengerti.

"Lihat, kau pun mau menyingkirkan temanmu itu, 'kan? Orang yang
berperilaku begitu memang tak jauh beda dengan orang barbar yang
tak berakal. Bahkan lebih tak berakal dari hewan sekalipun... dan
sekolah tempatku belajar banyak diisi oleh orang-orang seperti itu.
Walau aku yakin jika mereka berbuat demikian supaya orang-orang
mau mengakui keberadaan mereka." Yukinoshita pun segera tertawa
seakan mengejek.

Perempuan yang dibenci oleh kalangannya sendiri. Kategori seperti


itu sudah pasti ada. Tak percuma aku bersekolah sampai dengan
sepuluh tahun ini. Bukan berarti aku bisa paham karena berada di
tengah-tengah mereka, melainkan karena berada di luar kalangan
tersebutlah makanya aku bisa mengerti.

Dan posisi Yukinoshita hampir selalu berada di tengah-tengahnya,


alhasil, sudah pasti ia dikepung dari segala arah. Tak bisa
kubayangkan seperti apa hidup yang sudah dijalaninya selama ini.

"Sewaktu SD dulu, sepatu sekolahku disembunyikan sebanyak enam


puluh kali, yang lima puluh di antaranya merupakan ulah para
perempuan di kelasku."

"Aku jadi penasaran seperti apa sepuluh sisanya."


"Tiga di antaranya perbuatan anak lelaki. Dua lagi, karena guru yang
menyimpankannya untukku. Lalu lima sisanya, seekor anjing
pelakunya."

"Ternyata persentase perbuatan anjing lumayan tinggi."

Hal itu sudah di luar jangkauan imajinasiku.

"Namun hal tadi bukanlah bagian yang paling mengejutkan."

"Tak perlu bilang begitu, aku juga tak berniat ingin tahu, kok!"

"Berkat kejadian tersebut, setiap hari aku selalu membawa pulang


sepatu sekolahku ke rumah, bahkan sampai serulingku pun ikut
kubawa pulang." Ujar Yukinoshita dengan nada memelas. Tak
sengaja aku jadi merasa simpati padanya.

Bukankah ia berbuat demikian karena sebuah alasan? Yaitu sebuah


fakta yang mirip dengan yang pernah kulakukan dulu. Sebuah fakta
yang terjadi ketika masih SD, yang membuatku merasa bersalah
karena sewaktu tak ada siapa-siapa di kelas aku bebas menukar
corong serulingku dengan corong milik anak lain.

Aku jadi merasa prihatin terhadap Yukinoshita.

Itu benar. Itu benar. Hachiman. Jangan. Berkata. Bohong.

"Itu pasti hal berat bagimu."

"Ya, memang berat. Semua itu karena parasku yang manis."

Kali ini, entah kenapa aku tak merasa jengkel saat mendengar ucapan
yang disertai senyum getirnya tadi.

"Namun apa boleh buat. Tak ada manusia yang sempurna. Mereka
lemah, berpikiran jelek dan gampang iri. Bahkan mereka berusaha
menjatuhkan sesamanya. Anehnya lagi, semakin diberkati seseorang,
maka semakin sulit baginya untuk hidup di dunia ini. Bukankah itu
hal yang ironis? Itu sebabnya aku ingin mengubah dunia ini beserta
orang-orang di dalamnya." Tatapan Yukinoshita tampak begitu serius
dan di dalamnya tersimpan sebuah kesinisan yang mampu
membekukan orang yang memandangnya.

"Bukankah itu terlalu gila, memaksakan dirimu ke dalam rencana


yang tak wajar itu?"

"Mungkin kau benar. Tapi itu masih lebih baik ketimbang rencanamu
yang hanya berdiam diri, membusuk kemudian mati... Aku benci
caramu yang menganggap kelemahan sebagai hal positif." Ucap
Yukinoshita sambil memalingkan pandangannya ke arah luar jendela.

Yukino Yukinoshita memang perempuan yang cantik. Sebuah fakta


tak terbantahkan yang sampai memaksaku untuk mengakuinya. Dari
luar ia tampak begitu mengagumkan dengan nilai sempurna dan tanpa
cela yang ia miliki. Akan tetapi, pribadinya yang keras justru menjadi
sebuah borok bagi pencitraan karakternya. Hal demikian memang bisa
membuat jelek citra seseorang. Namun ada alasan tersendiri kenapa ia
masih mau memendam borok tersebut.

Aku memang tak begitu saja percaya dengan apa yang dikatakan Bu
Hiratsuka. Tapi untuk seseorang yang begitu diberkati, Yukinoshita
ternyata cukup menderita.

Pasti tak sulit menyembunyikan hal tersebut dengan berbohong pada


diri sendiri dan orang di sekitarnya. Hampir semua orang di dunia ini
berbuat begitu. Seperti halnya murid yang mendapat nilai tinggi di
ujian, dan berkata kalau ia cuma beruntung saat mengerjakan soal.
Begitu pula dengan gadis bertampang pas-pasan yang iri pada gadis
yang lebih cantik, dan memaksakan anggapan bahwa dirinya jelek
karena lemak yang ada di tubuhnya.

Tapi Yukinoshita tak seperti itu.

Ia tak pernah membohongi dirinya sendiri.

Bukan aku mau memuji sikapnya. Namun lebih karena kami punya
kesamaan.

Dan selepas pembicaraan ini berakhir, Yukinoshita mengarahkan


kembali pandangan pada buku bacaannya.
Ketika melihatnya, tiba-tiba ada perasaan aneh yang kurasakan.

Ada keyakinan tersendiri bahwa aku dan dirinya memang punya


kesamaan. Kupikir ini akan bertentangan dengan prinsipku.

Namun entah kenapa keheningan seperti ini terasa nyaman bagiku.

Rasanya detak jantung ini berdetak semakin cepat. Seakan ingin lebih
cepat dari irama jarum jam.

Mungkin...

Mungkin ia dan aku bisa...

"Begini, Yukinoshita... jika kau mau, aku bisa jadi te—"

"Maaf. Itu mustahil."

"Haaah? Tapi aku belum selesai bicara!"

Yukinoshita spontan menolak. Dan parahnya lagi, ia memasang wajah


yang seakan jijik terhadapku.

Begitulah, gadis ini memang tak ada manis-manisnya. Kisah komedi


romantis beserta isinya mending meledak saja sana.
Catatan Penerjemah
 Mengacu pada penjara besar Cassandra yang dikuasai oleh Ken-Oh (Raoh sang Raja Tinju, 拳王)
yang ada dalam manga Hokuto no Ken (Tinju Bintang Utara) Penjara itu juga dikenal dengan sebutan
Kota Ratapan Iblis dan digunakan untuk memenjarakan para ahli bela diri yang gulungan kunonya
telah direbut oleh Ken-Oh. Semua itu dilakukan demi ambisi Ken-Oh yang ingin menciptakan aliran
bela diri pamungkas.
  Merujuk pada julukan yang disematkan untuk Kenshiro dalam manga Hokuto no Ken (Tinju
Bintang Utara). Karena reputasinya yang sering menyelamatkan kaum lemah dari kumpulan geng
yang berkeliaran di wilayah yang porak-poranda karena bencana, sehingga orang-orang pun
menjulukinya sebagai Penyelamat Akhir Zaman (世紀末救世主, Seikimatsu Kyuuseishu).

  Yang dimaksud adalah pertunjukkan hiburan berupa musik, komedi, sandiwara, bahkan tari-
tarian yang menggunakan cosplay. Cosplay sendiri berarti hobi mengenakan pakaian beserta
aksesori dan rias wajah seperti yang dikenakan tokoh-tokoh dalam anime, manga, dongeng,
permainan video, penyanyi dan musisi idola, dan film animasi.

  Berdasarkan karakter Souza/Souther dari manga Hokuto no Ken (Tinju Bintang Utara) yang
memiliki kelainan tubuh Dextrocardia Situs Inversus Totalis di mana jantung serta titik vital tubuh
lainnya menjadi terbalik dari kiri ke kanan. Karakter tersebut memiliki kenangan tragis yaitu
membunuh gurunya sendiri, oleh karena itu ia menampik segala bentuk perasaan cinta dan kasih
sayang. Ia kemudian menyebut dirinya sebagai Kaisar Suci (聖帝, Seitei) dan memperbudak anak-
anak untuk membangun Makam Kaisar Salib Suci (聖帝十字陵, Seitei Juuji Ryou), sebuah tempat
pemujaan yang diperuntukkan bagi gurunya.

  Kounibyou (高二病) secara harfiah diterjemahkan menjadi Penyakit Murid SMA Kelas 2.
Dicirikan mirip dengan chuunibyou (Penyakit Murid SMP Kelas 2) di mana para pengidapnya memiliki
rasa percaya diri yang terlalu berlebih.

  Keigo Higashino adalah penulis novel kawakan dari Jepang yang terkenal dengan karya-karya
misterinya sedang Koutarou Isaka adalah penulis khusus kisah-kisah detektif.

  Gagagaga Bunko adalah label penerbit light novel dari Perusahaan Penerbit Shogakukan.
Oregairu adalah salah satu light novel terbitannya. Sedang Kodansha Box adalah bagian dari
Perusahaan Penerbit Kodansha.

  Pernyataan menurut buku aslinya (Bahasa Jepang) adalah Hataraita make (働いたら負け). Itu
adalah ucapan yang umum dilontarkan para pelajar maupun pengangguran yang meyakini bahwa
tak ada gunanya bekerja jika hasil yang didapat tak sepadan dengan yang dikerjakan.

  Otaku adalah istilah yang ditujukan untuk para penggemar fanatik subkultur asal Jepang seperti
anime dan manga.

  Concrete road adalah lagu yang dibuat oleh Shizuku yang merupakan karakter utama dari film
Mimi wo Sumaseba produksi Studio Ghibli. Seiji Amasawa yang merupakan lawan main Shizuku,
bersikap kejam pada awalnya dan menyuruh Shizuku untuk menyerah ketika menggubah lagu
Concrete Road. Setelahnya, Shizuku menggerutu sambil berkata, Kurang ajar berkali-kali sepanjang
perjalanan pulang ke rumahnya. Hachiman berpikir begitu untuk menggambarkan sedemikian
bencinya ia pada Yukinoshita. Concrete Road sendiri adalah parodi dari lagu Take Me Home, Country
Road yang dipopulerkan oleh John Denver.
  Mengacu pada kejadian sewaktu Maradona mencetak gol dengan tangannya saat pertandingan
perempat final Piala Dunia Tahun 1986 antara Argentina melawan Inggris, dan seharusnya gol
tersebut dinyatakan sebagai pelanggaran Handball.

  Merupakan salah satu penggalan lirik dari lagu tema acara anak-anak, ‘Do-Re-Mi-Fa-Donuts’.
Hachiman bermaksud menekankan fakta bahwa dalam solmisasi (do-re-mi-fa-sol-la-si) seharusnya
tak diakhiri dengan bunyi 'o', melainkan bunyi 'si'.

  Refleks Spinalis adalah refleks yang jika konektornya ada pada sumusum tulang belakang,
contohnya: Gerakan menarik tangan saat menyentuh benda panas atatu menarik kaki ketika terkena
duri. Sedangkan Refleks Kranialis adalah refleks yang jika konektornya terdapat di otak, contohnya:
Gerakan mata terpejam karena kilat.

 Vektor adalah istilah dalam matematika dan fisika yang mengacu pada sebuah obyek geometri
yang memiliki besaran dan arah.
BAB 3

Berulang Kali, Yui Yuigahama Bersikap Gelisah

"Biar Ibu tebak, jangan-jangan kau punya trauma saat di kelas Tata
Boga, ya?"

Sudah kuserahkan makalah untuk mata pelajaran PKK sebagai


pengganti absenku saat di kelas Tata Boga, namun entah kenapa aku
masih dipanggil ke ruang guru.

Rasanya ini lebih mirip déjà vu saja. Kenapa yang menceramahiku


justru Bu Hiratsuka?

"Maaf, Bu, bukannya Ibu ini guru Bahasa Jepang?"

"Ibu merangkap sebagai guru BK di sini. Bu Tsurumi yang memberi


wewenang pada Ibu untuk menyelesaikan masalah ini."

Kulihat Bu Tsurumi sedang asyik menyiram bunga penghias di pojok


ruangan. Bu Hiratsuka pun sejenak memandang beliau sebelum
mengarahkan pandangannya kembali padaku.

"Pertama, Ibu mau dengar alasanmu bolos dari kelas Tata Boga.
Jelaskan dengan singkat."

"Yah, saya hanya tak habis pikir kenapa dalam kelas Tata Boga saya
mesti kerja berkelompok dengan murid lain..."

"Hikigaya, jawabanmu itu tak masuk akal. Apa sesakit itu


kenanganmu saat kerja berkelompok? Atau jangan-jangan tak ada
yang mau mengajakmu berkelompok?" Bu Hiratsuka memandangku,
berlagak seolah cemas.

"Jelas tidak. Bu Hiratsuka ini bicara apa? Ini kan cuma tentang
pelatihan memasak dalam kelas Tata Boga. Artinya, pelatihan
semacam ini tak berguna jika diterapkan dalam kehidupan nyata.
Contohnya ibu saya. Beliau bisa memasak karena belajar sendiri.
Dengan kata lain, memasak adalah hal yang harus dipelajari sendiri!
Sebaliknya, menghubungkan antara pelatihan memasak dengan kerja
berkelompok adalah hal yang keliru!"

"Hal yang kaubicarakan tadi jelas berbeda dengan yang Ibu maksud."

"Maaf, Bu! Jadi Bu Hiratsuka mau bilang kalau ibu saya salah?!
Sungguh keterlaluan! Sudahlah, tak ada yang perlu dijelaskan lagi!
Saya mau keluar!" Jawabku seraya berpaling pergi.

"Hei! Jangan buat seolah Ibu yang jahat di sini, terus kau mencak-
mencak tak keruan begitu padahal Ibulah yang harusnya marah!"

...rencanaku gagal, ya? Soalnya Bu Hiratsuka langsung merentangkan


lengannya dan menarik bagian belakang kerah bajuku. Untuk
beberapa saat wajah kami saling berhadapan, dan beliau menggantung
kerahku layaknya mengangkat seekor anak kucing. Sial. Andai saja
saat itu kujawab, Salah, toh? Saya ini bodoh banget, ya? Sambil
menjulurkan lidah keluar, mungkin saja aku tak bakal jadi begini.

Beliau lalu menghela napas dan menepuk lembar makalahku dengan


bagian belakang tangannya.

"Cara Membuat Kari Yang Lezat — untuk bagian ini tak ada
masalah. Justru bagian setelah ini yang jadi masalahnya. 1. Potong
bawang merah secara melintang, lalu iris tipis dan bumbui. Irisan
tipis bawang merah akan mudah meresap dengan bumbu, sama
halnya orang awam yang gampang terpengaruh dengan sekitarnya...
kenapa hal itu malah kaucampur dengan sarkasme? Harusnya itu
kaucampur dengan daging."[1]

"Maaf, Bu, tolong berhenti bermain kata-kata... saya yang


mendengarnya pun jadi ikut malu."

"Meski Ibu sudah tak ada niat lagi untuk membacanya. Paling-paling
kau sudah tahu kalau Ibu bakal menyuruhmu untuk mengerjakan
ulang." Bu Hiratsuka benar-benar terlihat sangar ketika sebatang
rokok terhimpit di antara bibirnya.

"Memangnya kau bisa masak?" Tanya Bu Hiratsuka. Ekspresi beliau


tampak sedikit kaget sewaktu membalik makalahku.
Pernyataan tersebut sudah terlalu melecehkan. Murid SMA zaman
sekarang setidaknya sudah bisa memasak kari sendiri.

"Bisa, dong. Jika mempertimbangkan rencana masa depan, tentu saja


saya bisa."

"Jadi maksudmu, kau sudah di umur yang wajar untuk hidup sendiri,
begitu?"

"Bukan, bukan itu alasannya."

"Eh?" Tampang beliau seakan ingin bertanya, Lalu, apa?

"Soalnya, memasak adalah keahlian yang wajib dikuasai oleh bapak


rumah tangga."

Setelah mendengar jawabku, beliau lalu mengedipkan mata bulatnya


yang digarisi dengan maskara itu sekitar dua sampai tiga kali.

"Oh, kau mau jadi bapak rumah tangga, toh?"

"Ya begitu, deh, itu salah satu pilihan..."

"Setidaknya hentikan dulu tatapan mesummu itu selagi kau bicara


tentang impian. Kalau mau membahas hal tersebut, harusnya kau
menatap dengan mata penuh harap... Ibu cuma mau tahu saja, kok.
Memangnya seperti apa sih rencanamu terhadap masa depan?"

Mungkin bukan ide bagus jika aku menjawab, Harusnya Ibu lebih
khawatir tentang masa depan Ibu sendiri. Karena itu aku memilih
untuk mengalah dengan memberi jawaban logis.

"Yah, saya akan coba berkuliah di perguruan tinggi mana pun yang
mau menerima saya."

"Oh, begitu." Bu Hiratsuka mengangguk, isyarat setuju akan


jawabanku. "Lantas, selesai kuliah kau mau cari kerja apa?"

"Akan saya cari wanita cantik nan terpandang untuk dinikahi, jadi
wanita tersebut bisa selalu mendukung saya hingga akhir hayat
nanti."
"Yang Ibu tanya itu kerja! Jawab dengan spesifik!"

"Kan sudah saya bilang: Bapak rumah tangga."

"Kalau seperti itu, hidupmu malah tak jauh beda seperti gigolo!
Sebuah cara hidup yang mengerikan untuk dijalani. Mereka
menyinggung tentang masalah pernikahan pada pasangan mereka,
lalu tanpa disadari mereka sudah tinggal dalam satu rumah, bahkan
mereka membuat kunci duplikat dan mulai menaruh barang-barang
mereka ke dalam rumah pasangannya. Lalu ketika saatnya mereka
berpisah, tanpa tanggung-tanggung mereka ikut membawa pergi
perabotan pasangannya seperti gelandangan yang sedang menjarah
toko!" Cerocos Bu Hiratsuka, yang tanpa sadar menguak rahasianya
sendiri dengan begitu detail. Sambil menggebu-gebu beliau
menceritakan hal tersebut, air matanya pun berlinang.

Sungguh kasihan aku melihat beliau... sampai-sampai aku ingin


menghiburnya.

"Tenang saja, Bu! Saya takkan mungkin seperti itu. Saya tetap akan
mengurus segala urusan rumah tangga dan menjadi gigolo terbaik
yang pernah ada!"

"Teori Superstring gila macam apa itu?!"[2]

Saat mendengar cita-citaku yang telah dilecehkan sebegitu hinanya,


diriku merasa seolah dipaksa berada di ujung perbatasan. Impianku
sudah seperti di ambang kehancuran, karena itu aku mencoba
berargumen untuk membela diri.

"Kedengarannya malah enggak enak kalau Ibu menyebut saya gigolo,


soalnya kan, menjadi bapak rumah tangga juga enggak buruk-buruk
amat."

"Hmm..." Bu Hiratsuka menatap tajam ke arahku sambil bersandar


pada kursinya yang berdecit. Sikap tubuh beliau seakan berkata,
Baiklah, kemukakan pendapatmu.

"Berkat kehidupan masyarakat yang telah mengakui kesetaraan


gender seperti sekarang, sebuah hal yang wajar jika kaum wanita
sudah membuat kemajuan di dalamnya. Bu Hiratsuka sampai bisa
berprofesi sebagai guru begini adalah bukti nyata dari hal tersebut."

"...yah, Ibu pikir kau benar."

Kurasa aku berhasil menarik perhatian beliau. Berarti aku kini hanya
harus lanjut bicara saja.

"Meski begitu, hanya butuh matematika sederhana untuk mengetahui


fakta bahwa besarnya jumlah wanita yang memasuki dunia kerja
ternyata berbanding lurus dengan jumlah pria yang kehilangan
pekerjaan. Maksud saya, bukankah jumlah lapangan kerja akan selalu
terbatas?"

"Betul..."

"Ambil contoh, ada sebuah perusahaan yang lima puluh tahun lalu
memiliki tenaga kerja yang sepenuhnya diisi oleh seratus orang pria.
Jika kemudian lima puluh orang wanita dipekerjakan di perusahaan
tersebut, berarti lima puluh orang pria sisanya harus mencari
pekerjaan di tempat lain. Namun itu hanyalah perhitungan yang
benar-benar sederhana. Bila Ibu mempertimbangkan kemerosotan
ekonomi yang terjadi seperti saat sekarang, maka hanya masalah
waktu hingga para tenaga kerja pria jatuh dalam masa kemunduran."

Bu Hiratsuka merenung sembari menggaruk dagunya sewaktu


mendengar argumenku.

"Lanjutkan."

"Bagi pihak perusahaan sendiri, yang ada justru mereka mengurangi


jumlah tenaga kerjanya. Semua ini akibat dari meluasnya penggunaan
komputer dan berkembangnya Internet yang memungkinkan sebuah
efisiensi kerja teroptimal dalam rangka meningkatkan tingkat efisiensi
per kapita secara besar-besaran. Jika Ibu bertanya pada masyarakat
tentang pendapat mereka, mungkin Ibu akan menemukan jawaban
semacam, Memang tak ada salahnya jika kau bekerja keras, tapi itu
malah merepotkan... kemudian, hal-hal seperti istilah, saling berbagi
tugas kerja pun mulai bermunculan. Yah, kurang lebih seperti itu,
deh."

"Ya, pendapat itu bisa diterima."

"Karena peralatan rumah tangga sudah semakin jauh berkembang dan


juga lebih beraneka ragam, alhasil, takkan jadi masalah walau siapa
pun yang menggunakannya. Bahkan kaum pria dapat melakukan
berbagai pekerjaan rumah dengan baik."

"Eh, tunggu sebentar." Potong Bu Hiratsuka saat kujelaskan


argumenku dengan penuh semangat tadi. Beliau lalu sedikit berdeham
dan langsung menatap ke arahku. "Memang cukup sulit untuk tahu
cocok atau tidaknya suatu hal, itu sebabnya... hal tersebut tak selalu
berjalan sesuai dengan keinginanmu..."

"Yah, mungkin itu hanya berlaku bagi Ibu."

[Keadaan hening seketika.]

"...apa?" Kursi yang sempat beliau duduki tadi mendadak berputar


sewaktu beliau mendaratkan tendangannya di pergelangan kakiku.
Sakitnya bukan main. Setelah itu, tatapan geram beliau tertuju ke
arahku. Aku kemudian lanjut berbicara untuk memperjelas maksud
perkataanku sebelumnya.

"Ja-jadi intinya! Sewaktu Ibu memikirkan bagaimana beratnya


membangun masyarakat yang ternyata di dalamnya ada orang yang
bisa sukses tanpa bekerja, maka akan terasa konyol dan salah kalau
ada yang terus-menerus menggerutu tentang pekerjaan atau mengeluh
karena tak cukupnya lapangan kerja yang tersedia!"

Kesimpulan yang sangat tepat. Bekerjalah dan kau 'kan


dipercundangi. Bekerjalah dan kau 'kan dipercundangi.

"...benar-benar, deh. Kau memang benar-benar sudah busuk." Bu


Hiratsuka lalu menghela napas panjang. Kemudian, segera setelahnya,
beliau menyengir dan tertawa kecil seakan baru terpikir sesuatu.
"Andai saja ada anak perempuan yang pernah menawarkanmu
masakan buatannya sendiri, Ibu yakin kau akan mengubah cara
pikirmu yang sudah busuk itu..."

Bersamaan dengan itu, Bu Hiratsuka lalu berdiri dan mulai menarik


bahuku menuju pintu.

"Tu-tunggu dulu! Ibu ini mau apa?! Aduh-duh! Sakit, Bu!"

"Kembalilah kemari saat kau sudah belajar tentang martabat seorang


tenaga kerja di Klub Layanan Sosial." Kemudian, dengan kuncian
jepit pada bahuku, beliau lalu mengekang tubuh ini dengan sekuat
tenaga dan menarikku keluar pintu.

Baru saja aku hendak berbalik dan mengeluh, tahu-tahu pintu sudah
dibanting dengan keras. Kurasa itu artinya, Segala bentuk keberatan,
bantahan, protes maupun keluhan takkan Ibu terima.

Saat-saat itu rasanya bagai diriku habis didepak dari sekolah saja,
bahuku terasa begitu nyeri sewaktu Bu Hiratsuka menguncinya... bila
saja waktu itu aku mencoba melarikan diri, mungkin aku bakal
dihabisi.

Orang yang mengekang tubuhku dengan gerak refleks cepat dan


terukur seperti tadi adalah makhluk yang benar-benar mengerikan.

Dan tanpa menyisakan pilihan, kuputuskan untuk datang ke klub yang


mengatasnamakan Layanan Sosial itu, yang menurut pengamatanku,
salah satu kegiatannya adalah memecahkan teka-teki. Walau disebut
sebagai sebuah klub, namun aku tak pernah tahu seperti apa kegiatan
utama klub tersebut. Ditambah lagi, sosok ketua klubnya sendiri pun
jauh lebih misterius. Sebenarnya ada apa sih dengan perempuan itu?

— II —

Seperti biasa, Yukinoshita sedang asyik membaca bukunya.


Setelah saling bertukar salam, aku bergerak sedikit menjauh, kutarik
sebuah kursi, kemudian duduk. Lalu kuambil sebuah buku dari dalam
tasku.

Yang ada sekarang, Klub Layanan Sosial sudah berubah menjadi


Klub Membaca Untuk Kawula Muda.[3] Tapi kesampingkan dulu
leluconnya... memangnya kegiatan apa yang pernah dilakukan klub
ini? Lalu sebenarnya bagaimana kelanjutan dari pertandingan yang
harus kami ikuti tempo hari?

Tak disangka, suara ketukan pintu menjawab pertanyaanku.


Yukinoshita tertahan sewaktu membalik lembar bukunya, dengan
sigap ia menaruh pembatas ke dalamnya.

"Silakan masuk." Jawabnya seraya mengahadap pintu.

"Pe-permisi." Suara itu terdengar sedikit gelisah... gugup, mungkin?


Pintu hanya bergeser sedikit, lalu seorang perempuan menyelipkan
tubuhnya melalui celah kecil itu. Pasti ia tak mau jika sampai ada
orang yang melihatnya masuk ke tempat ini.

Rambut coklatnya yang ikal dan sepanjang bahu itu berayun ketika ia
berjalan. Tatapannya cemas menjelajahi sekitar ruangan. Lalu ketika
pandangannya tertuju padaku, ia terhenyak.

...memangnya aku ini apa? Monster?

"Ko-kok ada Hikki di sini?!"

"...sebenarnya aku bagian dari klub ini."

Atau harusnya aku bilang saja, Kenapa kau memanggilku Hikki? Lalu
yang terpenting, perempuan ini siapa?

Jujur, aku sungguh tak tahu, namun dari penampilannya, ia tampak


seperti perempuan gaul kebanyakan — perempuan norak yang heboh
di masa remajanya. Aku sering melihat perempuan sejenis ini: Rok
pendek, tiga kancing blus yang terbuka, rambut yang disemir pirang,
dan kilauan kalung dengan liontin hati yang sengaja ia perlihatkan di
sekitar dadanya. Penampilan tersebut benar-benar melanggar aturan
sekolah.

Aku tak punya urusan dengan perempuan semacam itu. Nyatanya, aku
memang tak punya urusan dengan perempuan mana pun.

Meski begitu, sikapnya menunjukkan seolah ia ada di lingkungan


yang mengenalku. Aku ragu apakah tak apa jika kubilang, Maaf, kau
ini siapa, ya?

Aku juga menyadari kalau pita yang tergantung di dadanya itu


ternyata berwarna merah. Di sekolah kami, setiap kelas dapat dikenali
lewat warna pitanya. Pita berwarna merah menandakan kalau ia
duduk di kelas 2 sama sepertiku.

...bukan berarti aku menyadari itu karena aku menatap dadanya.


Soalnya jalur pandangku saat itu sedang tertuju ke sana... lagi pula,
dadanya juga cukup besar, sih...

"Baiklah, untuk sementara duduk saja dulu." Dengan santai kutarik


sebuah kursi dan mempersilakannya duduk. Perlakuan sopanku ini
bukan bermaksud untuk menutupi rasa bersalah tadi. Wajar jika aku
ingin memberi kesan baik padanya lewat sikap tulusku. Aku ini lelaki
terhormat. Itu semua sudah tampak dari cara berpakaianku.

"Te-terima kasih..." Ia tampak kebingungan saat menanggapi


tawaranku dan perlahan mulai duduk.

Yukinoshita yang duduk di hadapannya, mulai melakukan


pendekatan. "Yui Yuigahama, bukan?"

"Ka-kau mengenalku?"

Si Yui Yuigahama ini langsung merasa senang, seakan-akan ada


status tersendiri bagi orang-orang yang dikenali Yukinoshita.

"Kau pasti banyak tahu, ya... jangan-jangan kau tahu nama semua
orang di sekolah ini?" Tanyaku.

"Tidak juga. Aku tak tahu kalau kau sekolah di sini."


"Begitu, toh..."

"Jangan berkecil hati; itu salahku. Akulah yang tak menyadari


lemahnya hawa keberadaanmu, lagi pula, tak ada niat bagiku untuk
berharap agar perhatianku tak tertuju padamu. Itu semua hanya karena
lemahnya pikiranku saja."

"Jadi maksud dari kata-kata tadi hanya untuk membesarkan hatiku,


begitu? Cara menghibur yang payah. Ujung-ujungnya, kau juga
memberi kesimpulan kalau semua itu salahku."

"Aku tak bermaksud menghiburmu. Aku memang sedang


menyindirmu." Ucap Yukinoshita sambil berpaling seraya
mengibaskan rambutnya ke belakang.

"Kelihatannya... klub ini menyenangkan." Ujar Yuigahama dengan


tatapan berbinar yang tertuju ke arah kami berdua.

Perempuan ini... pikirannya pasti hanya dipenuhi padang bunga


matahari dan aster saja.

"Komentar barusan sama sekali tak mengenakkan... di sisi lain,


kesalahpahamanmu itu benar-benar mengganggu." Tatapan dingin
Yukinoshita membuat gugup Yuigahama.

"Oh, bukan, bagaimana bilangnya, ya?" Ia melambaikan tangannya


tanda menyangkal. "Aku hanya berpikir sikap kalian berdua begitu
alami! Eng, maksudku, Hikki jadi berbeda sekali dengan yang di
kelas. Ternyata ia bisa bicara panjang lebar."

"Jelas aku bisa bicara. Dasar kau ini..." Memangnya aku tampak
seperti orang yang punya keterbatasan dalam berkomunikasi, apa?

"Oh, iya benar. Yuigahama juga duduk di kelas F."

"Hah, yang benar?" Tanyaku.

"Jangan-jangan kau memang tak pernah tahu, ya?" Yukinoshita balik


bertanya.
Yuigahama tampak terkejut oleh ucapan Yukinoshita.

Sial.

Tak ada yang paham bagaimana sakitnya tak dikenali oleh teman
sekelas lebih dari aku. Karenanya, sebelum ia ikut merasakan sakit
yang sama, kucoba untuk menutupi salah paham tadi.

"Te-tentu saja aku tahu."

"...lalu kenapa kau memalingkan mata?" Tanya Yukinoshita.

Yuigahama kemudian menatapku dengan pandangan sinis.


"Bukannya itu yang membuatmu jadi tak punya teman, Hikki?
Maksudku, tingkahmu aneh dan itu rasanya menjijikkan."

Kini aku ingat perempuan sinis ini. Tentu saja, para perempuan lain di
kelasku juga memandang hina diriku. Pasti ia salah satu dari
kelompok yang sering bergerombol di sekitar Klub Sepak Bola.

Apa-apaan itu? Berarti ia salah satu musuhku, dong? Percuma saja


tadi aku bersikap baik padanya.

"...dasar bispak."[4] Tanpa sengaja aku mengumpat.


"Apa? Siapa yang kausebut bispak?!" Yuigahama spontan berseru.
"Aku ini masih pera— aaahhh! Lupakan!" Wajahnya langsung
memerah dan tangannya bolak-balik melambai, seakan berusaha
menarik kembali kata-katanya. Dasar plinplan.

Yukinoshita mulai bicara, seolah ingin meredakan kepanikan


Yuigahama. "Itu bukan hal yang memalukan. Di usia kita ini, jika
masih pera—"

"A-aaahhh, berhenti! Kau ini bicara apa?! Untuk ukuran anak kelas 2
SMA, itu jelas memalukan! Yukinoshita, di mana sisi
kewanitaanmu?!"[5]

"...hal yang tak penting."

Buset. Entah bagaimana, tapi Yukinoshita baru saja meningkatkan


tingkat kesinisannya beratus kali lipat.

"Biar kau bilang begitu, kata kewanitaan justru semakin terdengar


bispak bagiku." Tambahku.

"Kau berkata begitu lagi! Mengatai orang lain bispak itu enggak
sopan, tahu! Hikki, kau menjijikkan!" Yuigahama lalu menampakkan
wajah geram mengejek dan melihatku dengan mata berkaca-kaca.

"Mengataimu bispak tak ada hubungannya dengan menjijikkannya


diriku. Dan jangan memanggilku Hikki."

Soalnya panggilan itu terdengar seperti hikikomori, 'kan?[6] ...oh, pasti


ia juga bermaksud menyindirku. Itu pasti semacam nama ejekan
buatku yang beredar di kelas.

Kejam sekali, 'kan? Sampai-sampai aku ingin menangis


mendengarnya.

Bergosip di belakang orang itu enggak baik.

Itu sebabnya aku langsung berkata blakblakan dengan suara lantang.


Jika suaraku tak terdengar, maka perkataanku ini tak ada efeknya!
"Dasar bispak."

"Ka-kau! Menjengkelkan! Benar-benar menjijikkan! Kenapa tak mati


saja sana?!"

Padahal sudah bersikap sopan, yang ada, aku malah jadi bersikap
keras begini, bahkan aku terpaksa bungkam setelah mendengar
ucapannya.

Di dunia ini ada banyak kata yang harusnya tak boleh diucapkan
begitu saja, terutama yang menyangkut nyawa manusia. Jika belum
siap memikul tanggung jawab atas nyawa, maka seseorang tak ada
hak untuk berkata demikian.

Sejenak keheningan berlalu, dengan maksud menegurnya,


kulontarkan tanggapan serius dengan nada menggebu-gebu.

"Sekali lagi kaubilang mati saja atau kubunuh kau seenak udelmu,
'kan kucincang kau."

"Ah... ma-maaf, bukan maksud... eh, apa?! Kau barusan bilang


begitu! Kau barusan sungguh-sungguh berkata ingin membunuhku!"

Yuigahama mungkin terlambat sadar, ternyata ia memang orang yang


plinplan. Meski begitu, aku sempat terkejut. Ia terlihat seperti
perempuan yang bisa meminta maaf dengan sopan.

Ia tampak berbeda dari penampilan yang dikesankannya. Aku sempat


yakin kalau ia sama saja dengan para gadis di kelompoknya, para
lelaki di Klub Sepak Bola dan semua orang di sekitarnya. Awalnya
kupikir, di kepalanya itu hanya berisi hal-hal seperti yang ada di
dalam novel karya Ryuu Murakami,[7] yang selalu dipenuhi seks,
narkoba dan hal bejat lainnya.

Yuigahama lalu menghela napas. Bersikap terlalu aktif pasti


membuatnya capek.

"Eng, begini. tadi aku sempat mendengarnya dari Bu Hiratsuka, tapi...


katanya klub ini bisa mengabulkan keinginan para murid, ya?"
Yuigahama memecah keheningan sesaat.
"Masa, sih?" Aku malah yakin kalau ini hanya klub membaca yang
tak ada habisnya.

Yukinoshita benar-benar mengabaikan pertanyaanku dan justru


menjawab pertanyaan Yuigahama.

"Tidak juga. Hakikatnya, tujuan klub ini terletak pada cara memberi
pertolongan bagi orang lain. Terkabul atau tidaknya keinginanmu
tergantung dari dirimu sendiri." Tanggapan Yukinoshita tampak
dingin dan penuh penyangkalan.

"Bedanya di mana?" Tanya Yuigahama dengan wajah penuh ragu.


Sebenarnya itulah yang ingin kutanyakan tadi.

"Apakah kau akan memberi ikan pada orang kelaparan atau


mengajarinya cara menangkap ikan? Di situlah letak perbedaannya.
Intinya, seorang sukarelawan tak memberi hasil melainkan
menyediakan cara. Kurasa, mendorong seseorang untuk mandiri
adalah jawaban yang paling tepat."

Pidatonya barusan persis seperti yang termuat pada buku nilai moral,
sebuah prinsip tanpa arti yang sering digaungkan di berbagai sekolah
— Kegiatan klub akan memberi kesempatan pada para murid untuk
mempertunjukkan kemampuannya dalam hal kemandirian
sebagaimana murid lainnya. Begitulah pemahaman baruku mengenai
sebuah kegiatan klub. Dan, yah, Bu Hiratsuka juga sempat bicara
mengenai pekerjaan, itu artinya, klub pun ikut berjuang demi
kepentingan murid.

"Wah, hebat banget!" Seru Yuigahama dengan tatapan yang seakan


berkata, Kau sudah membuka mataku, aku jadi mengerti sekarang!
Aku sedikit cemas kalau di masa depan nanti otaknya mungkin bakal
dicuci oleh sekte pemuja setan.

Penjelasan Yukinoshita tadi tak punya dasar ilmiah, apalagi untuk


perempuan berdada besar seperti Yuigahama ini, pastinya sulit untuk
paham... setidaknya itu anggapan yang berkembang di masyarakat,
namun jika ditanya, dengan yakin akan kujawab kalau perempuan ini
adalah salah satu buktinya.
Di sisi lain... Yukinoshita punya kecerdasan mumpuni, akal sehat
yang tak tertandingi, juga dada yang rata seperti tembok.

"Aku tak bisa menjanjikan kalau keinginanmu dapat terkabul, tapi


sebisa mungkin aku akan membantumu."

Yuigahama lalu mulai bicara seakan baru teringat tujuannya datang ke


tempat ini.

"Eng, begini! Aku mau coba membuat kue kering..." Ujar


Yuigahama sembari menatapku.

Aku ini bukan kue kering, tahu. Sebenarnya aku tahu kalau anak-anak
di kelas memperlakukanku layaknya angin lalu, meski terdengar
sama, namun artinya berbeda.[8]

"Hikigaya." Yukinoshita lalu mengarahkan wajahnya ke lorong


sambil menggerakkan mulutnya tanpa bersuara. Pergi sana. Padahal
ia bisa saja berkata baik-baik. Seperti, Kau mengganggu
pemandangan, jadi bisa tidak, kau pergi dari sini? Aku akan
menghargainya andai kau tak pernah kembali lagi kemari.

Jika ia sedang ingin berbicang mengenai masalah perempuan, maka


apa boleh buat. Memang ada hal tertentu di dunia ini yang hanya bisa
diperbincangkan antar sesama perempuan saja. Ambil contoh saat
mata pelajaran Penjaskes, yang di dalamnya ada hal-hal seperti,
Lelaki dilarang masuk, Ruang kelas sedang digunakan untuk mata
pelajaran khusus perempuan. Jumlah contohnya pun cukup banyak.

Kira-kira itu mata pelajaran yang seperti apa, ya? Hal-hal yang begitu
itu masih mengusik pikiranku sampai sekarang.

"...aku mau beli Sportop dulu."[9]

Aku harus menunjukkan kalau aku orang yang sangat pengertian, bisa
membaca situasi dan bertindak tanpa perlu pamer. Andai aku seorang
perempuan, pasti aku sudah jatuh cinta dengan diriku sendiri.
Seraya tanganku menempel ke pintu untuk pergi keluar, Yukinoshita
memanggilku. Mungkinkah ia punya perasaan yang ingin
disampaikannya padaku?

"Aku titip Yasai Seikatsu 100 Strawberry Mix, ya."[10]

Ternyata ia sudah terbiasa menyuruh orang seenak dengkulnya...


dasar Yukinoshita. Perempuan ini memang sulit ditebak.

— II —

Tak butuh waktu sampai sepuluh menit untuk menuju lantai satu
paviliun lalu kembali lagi ke lantai tiga. Bila aku berjalan dengan
santai dan tak tergesa-gesa, mungkin pembicaraan mereka sudah
selesai duluan sebelum aku datang.

Tak masalah seperti apa orangnya; yang jelas Yuigahama adalah klien
pertama kami. Dengan kata lain, kedatangannya adalah tanda
dimulainya pertandingan antara diriku dengan Yukinoshita.

Yah, aku juga tak begitu ingin menang, kok. Jadi bukan masalah
kalau aku hanya berfokus pada meminimalkan luka saja.

Kantin sekolah punya mesin minuman mencurigakan yang berada di


luar gedung. Mesin itu menjual beberapa minuman bersoda aneh
dalam kemasan kotak yang jarang dijual di toko-toko pada umumnya.
Tampilan minuman tersebut sangat bagus untuk ukuran minuman
bermerek tiruan, itu sebabnya aku jadi tertarik.

Yang membuatku tertarik adalah minuman bersoda yang bermerek


Sportop. Aromanya mirip seperti permen biasa dan komposisinya
mengikuti tren yang sedang marak saat ini, nol kalori dan bebas gula.
Rasanya pun cukup enak.

Saat kumasukkan dua koin bernilai Rp. 10.000 ke dalam mesin


minuman, terdengar suara menderu layaknya sebuah kapal induk
udara, yang kemudian menjatuhkan Yasai Seikatsu serta Sportop
yang tadi kupilih. Setelahnya, kembali kumasukkan koin bernilai Rp.
10.000 dan menekan tombol Otoko no Café au Lait.

Pasti terasa aneh jika di antara tiga orang yang berkumpul, hanya dua
orang saja yang menenggak minuman. Karena alasan itu, kuputuskan
untuk membeli lagi minuman buat Yuigahama.

Biaya yang sudah kukeluarkan untuk minuman-minuman ini


berjumlah Rp. 30.000, itu artinya, aku sudah menghabiskan separuh
dari uang sanguku. Bangkrut, deh.

— II —

"Lambat sekali." Ucap Yukinoshita sambil merebut Yasai Seikatsu


dari tanganku. Ia lalu menusuk minuman tersebut dengan sedotan dan
mulai meminumnya. Hanya tinggal Sportop dan Otoko no Café au
Lait saja yang tersisa.

Tampaknya Yuigahama sadar kalau Otoko no Café au Lait ini


untuknya.

"...oh, iya." Katanya, sembari mengambil uang senilai Rp. 10.000


dari dalam dompetnya yang mirip kantung koin.

"Ah, enggak usah."

Maksudku, Yukinoshita saja tak mengganti uangku, lagi pula, aku


membelinya atas dasar kemauanku sendiri. Walau mungkin cukup
wajar jika aku menerima uang dari Yukinoshita, namun untuk
Yuigahama, aku tak punya hak untuk menerima uang darinya. Jadi
daripada aku mengambil uang Rp. 10.000 yang dipegangnya itu, lebih
baik kuserahkan saja Otoko no Café au Lait ini langsung ke
tangannya.

"Ta-tapi aku masih belum mengganti uangmu!" Yuigahama


bersikeras menyodorkan uangnya padaku. Pasti akan terasa
mengganggu bila terus memperdebatkan masalah tersebut, karena itu
aku menjauh lalu duduk di dekat Yukinoshita.

Yuigahama tampak sedikit berat hati saat menaruh kembali uangnya.

"...terima kasih." Ucapnya dengan suara pelan, lalu tersenyum senang


sambil malu-malu menggenggam Otoko no Café au Lait itu dengan
kedua tangannya.

Tentu itu adalah ucapan terima kasih yang paling berkesan yang
pernah kuterima sepanjang hidupku. Ucapan itu memang hanya
bernilai Rp. 10.000; tapi bisa dibilang kalau ia membayarku lebih
dengan senyum di wajahnya tadi.

"Pembicaraan kalian sudah selesai?" Dengan rasa puas, kucoba


membuat Yukinoshita untuk ikut memberikan apresiasi yang
semestinya kudapatkan.

"Sudah. Berkat tak adanya dirimu, pembicaraan kami bisa berjalan


dengan lancar. Jadi, terima kasih."

Dan tentunya itu adalah ucapan terima kasih yang paling tak berkesan
yang pernah kuterima sepanjang hidupku.

"...oh, baguslah. Jadi, apa yang mau kalian lakukan sekarang?"

"Kami mau ke ruang PKK. Kau juga harus ikut."

"Ruang PKK?"

Itu adalah ruang siksaan yang mengatasnamakan kelas Tata Boga, di


mana setiap jam pelajarannya harus membentuk kelompok yang
anggotanya dipilih sendiri oleh para murid. Itu memang ruang
siksaan. Di tempat itu pun terdapat bermacam pisau juga tempat
pembakaran. Ruang yang memang sangat berbahaya dan harusnya tak
sembarang orang boleh masuk ke sana.

"Lalu, mau apa kita di sana?"


Selain kelas Senam dan karyawisata, kelas Tata Boga adalah satu dari
tiga kegiatan sekolah yang dikenal paling bisa menimbulkan trauma.
Tak mungkin ada penyendiri yang benar-benar bisa merasa senang
akan tiga hal tersebut. Maksudku, bayangkanlah sekelompok orang-
orang yang dengan senangnya mengobrol satu sama lain dan saling
mengakrabkan diri di antara sesama mereka... lalu bayangkan
keheningan yang mendadak muncul ketika aku mencoba bergabung di
kelompok tersebut... ya, rasanya sungguh tak tertahankan.

"Kue kering... aku mau membuat kue kering."

"Hah? Kue kering?" Aku tak mengerti yang ia ucapkan, makanya aku
hanya bisa menjawab seperti tadi.

"Rupanya Yuigahama ingin membuat kue kering buatannya sendiri


untuk diberikan pada seseorang. Namun, karena tak percaya diri
dengan kemampuannya, makanya ia meminta bantuan kita. Begitulah
permintaannya." Jelas Yukinoshita, yang langsung menyingkirkan
keraguanku.

"Kenapa kita juga harus ikut-ikutan bantu? ...minta saja bantuan sama
teman-temanmu sana."

"Eng... ya-yah, soalnya... aku enggak mau jika mereka sampai tahu,
bisa-bisa aku jadi bahan ejekan bila mereka tahu tentang hal ini...
mana bisa mereka memaklumi hal yang serius begini..." Tatapan
tajam Yuigahama terarah kepadaku saat ia menjawabnya.

Kuhela napas barang sebentar.

Jujur, yang namanya masalah asmara itu tak mudah untuk diatasi. Tak
sekadar masalah siapa suka sama siapa, bagiku menghafal sebuah
kosakata justru lebih bermanfaat. Semestinya, hal semacam
membantu mengatasi masalah asmara seorang gadis bukanlah sesuatu
yang wajar. Dan, yah, aku pun tak begitu tertarik dengan kisah
asmara, apalagi memikirkannya.

Tapi kupikir-pikir lagi... tentang pembicaraan serius yang mereka


perbincangkan sebelumnya... sudah pasti itu tentang masalah tadi...
Ya ampun.

Sejujurnya, bila ada orang yang sedang punya sesuatu mengenai


masalah asmara, yang bisa kita lakukan hanyalah berkata: Jangan
menyerah! Semua pasti akan berjalan lancar, kok! Dan jika akhirnya
tak berjalan lancar, maka kita hanya tinggal berkata: Ternyata orang
itu memang benar-benar berengsek!

"Huh." Desahku saat menatap mata Yuigahama.

"Ah..." Yuigahama tertunduk, kehilangan kata-kata. Ia lalu


menggenggam lipatan di pinggir roknya, bahunya sedikit gemetar.

"Ah... ahaha. Pa-pasti tampak aneh, ya? Orang sepertiku sampai mau
coba membuat kue kering buatan sendiri... rasanya seperti ingin
berusaha melakukan hal yang biasanya perempuan lakukan... maaf,
ya, Yukinoshita. Enggak apa-apa, kok. Aku enggak memaksa."

"Yah, jika kau memang mau, aku tak keberatan... oh, aku tahu. jika
kau mencemaskan anak itu, maka tak perlu kaupikirkan. Ia sama
sekali tak punya standar moral,[11] karena itu akan kupaksa ia ikut
serta."

Entah bagaimana, rasanya undang-undang negara ini tak berlaku


untukku. Maksudku, kerja paksa macam apa ini?

"Bukan begitu, sungguh enggak apa-apa, kok! Maksudku, membuat


kue kering memang enggak cocok buatku dan pasti terasa aneh... aku
sudah pernah bertanya pada Yumiko dan Mari, tapi mereka bilang
kalau itu sudah ketinggalan zaman." Sesekali Yuigahama melirik ke
arahku.

"...ya. Aku juga tak akan menyangka jika perempuan yang


penampilannya heboh sepertimu, sampai mau membuat kue kering."
Ujar Yukinoshita, seakan ingin membuat terpuruk Yuigahama yang
sebelumnya memang sudah terpuruk.

"Be-benar! Rasanya aneh, 'kan?!" Yuigahama tertawa gelisah seolah


menunggu reaksi dari kami. Ia langsung menundukkan pandangannya
ketika melihatku, seolah hendak menantangku. Rasanya ia seperti
ingin memintaku supaya memberi tanggapan.

"...yah, aku tak bisa bilang kalau... yang mau kaulakukan itu aneh, tak
cocok buatmu, atau itu bukan bagian dari dirimu. Sebenarnya, aku
hanya tak bisa untuk pura-pura tak peduli. Itu saja."

"Yang kaukatakan itu malah lebih buruk!" Bentak Yuigahama.


"Hikki, aku sungguh enggak menyangka! Kau benar-benar
membuatku jengkel. Asal kau tahu, sebenarnya aku bisa kalau aku
serius!"

"Malah kata-kata barusan itu tak layak untuk kaupakai. Kata-kata itu
lebih pantas diucapkan oleh ibumu sambil berlinangan air mata. Ibu
selalu mengira kalau kau pasti bisa asal mau serius... tapi nyatanya,
kau memang tak bisa. Begitu, deh."

"Alah, paling-paling ibumu sendiri sudah angkat tangan!"

"Kesimpulan yang masuk akal." Yukinoshita segera mengangguk.


Sementara, air mata Yuigahama sudah mulai berlinang.

Ah, biarkan saja. Meski bersikap pasrah rasanya juga menyakitkan...

Aku jadi merasa tak enak sudah merusak suasana hati Yuigahama,
padahal ia sudah berterus terang menjelaskan keinginannya untuk
membuat kue kering. Terlebih, pertandingan antara diriku dengan
Yukinoshita ini masih berlangsung.

"Yah, aku memang hanya bisa memasak kari, tapi aku tetap akan
membantumu." Dengan setengah hati kutawarkan bantuanku.

"...te-terima kasih." Yuigahama lalu menghela napas lega.

"Kami memang tak berharap apa pun dari kemampuan memasakmu.


Kami hanya ingin agar kau mencicipi kue keringnya dan memberi
pendapat."

Yah, jika Yukinoshita yang bilang begitu dan sudut pandang anak
lelaki memang dibutuhkan, berarti sudah jelas kalau hal yang baru
disinggung tadi bakal jadi tugasku. Ada banyak sekali anak lelaki
yang tak suka memakan kue, jadi tugasku di sini adalah mencocokkan
rasa kue tersebut dengan selera anak lelaki. Terlebih, kupikir sebagian
besar makanan akan terasa nikmat andai saja aku bukan orang yang
pemilih.

...kira-kira itu bakal membantu, enggak, ya?

— II —

Ruang PKK kini sudah dilputi oleh aroma vanili. Yukinoshita


membuka lemari pendingin, seakan ia sudah tahu apa yang harus
dilakukannya, lalu mengambil beberapa liter susu juga telur. Ia
mengeluarkan timbangan dan sebuah mangkuk besar, kemudian
menyiapkan beberapa butir telur, serta menggunakan bermacam
peralatan memasak yang belum begitu kukenal.

Entah bagaimana, tampaknya manusia super sempurna ini juga


sungguh hebat dalam hal memasak.

Setelah selesai dengan persiapan cepatnya tadi, ia kenakan


celemeknya, seolah ingin menunjukkan kalau saat ini adalah
waktunya memasak. Yuigahama pun ikut mengenakannya, namun
sepertinya sudah kelihatan kalau ia belum pernah sekalipun
mengenakan celemek; ia mengikat talinya dengan sembrono, sampai-
sampai jadi kusut.

"Ikatan tali celemekmu kusut. Apa kau sungguh tak tahu caranya
mengikat celemek?"

"Maaf. Terima kasih... eh, apa?! Kalau cuma mengikatnya saja, aku
bisa, kok!"

"Kalau begitu, tolong ikat celemeknya dengan benar. Jika tidak, nanti
kau bisa berakhir seperti anak itu – yang tak bisa kembali lagi ke titik
balik hidupnya."
"Jangan menggunakanku sebagai contoh negatif. Memangnya aku ini
Namahage?"[12]

"Padahal ini pertama kalinya kau bisa tampak berguna bagi orang
lain, harusnya kau sedikit senang... oh, tapi jangan cemas; meski kau
membandingkan dirimu dengan Namahage, aku takkan mau macam-
macam dengan kulit kepalamu, jadi tenang saja."

"Siapa juga yang cemas soal... hei, hentikan. Jangan pandang


rambutku dengan senyum mencurigakan itu." Dengan maksud
menghindar dari senyumnya – sebuah ekspresi yang biasanya tak
pernah ia tunjukkan – kulindungi rambut ini dengan tanganku.

Kudengar tawa cekikik dari Yuigahama. Dan sudah ditebak, ia masih


berusaha mengikat celemeknya sembari menyaksikan perdebatanku
dengan Yukinoshita dari kejauhan.

"Jadi kau masih belum mengikatnya? Atau jangan-jangan kau


memang tak bisa? ...ya ampun, ayo sini. Kubantu kau mengikatnya."
Yukinoshita tampak frustasi, sekilas memberi isyarat pada
Yuigahama.

"...ah, enggak apa-apa, kok." Gumam Yuigahama, menampakkan


sedikit keraguan, dan bolak-balik melihat ke arahku dan ke arah
Yukinoshita. Ia tampak seperti anak kecil yang sedang tersesat dan
gelisah.

"Cepat sini." Nada bicara Yukinoshita yang dingin seakan


menyingkirkan keraguan Yuigahama. Aku tak tahu apakah ia sedang
marah atau tidak, yang pasti ia terlihat sedikit menakutkan.

"Ma-ma-ma-maaf!" Jawab Yuigahama dengan suara terpekik, lalu


berjalan mendekat pada Yukinoshita. Memangnya ia anak anjing,
apa?

Yukinoshita lalu bergerak ke belakang Yuigahama dan segera


mengikat ulang tali celemek perempuan itu.

"Yukinoshita... rasanya kau jadi seperti kakakku saja, ya?"


"Yang jelas adikku takkan jadi separah dirimu." Yukinoshita
mendesah dan tampak tak senang, namun entah kenapa, aku
sebenarnya setuju dengan pemikiran Yuigahama.

Kalau melihat Yukinoshita yang dewasa bersanding dengan


Yuigahama yang kekanak-kanakan, rasanya memang seperti sedang
melihat pasangan kakak-beradik. Kalau dilihat lagi, memang terasa
ada semacam jalinan kekeluargaan di antara mereka.

Di sisi lain, jika kebanyakan pria setengah baya menganggap bahwa


perempuan akan tampak bagus bila mengenakan celemek tanpa
memakai apa-apa di baliknya, justru menurutku akan terlihat sangat
bagus jika ada seragam sekolah di balik celemek tersebut.

Saat membayangkannya, hatiku terasa begitu hangat dan tanpa sadar


aku menyengir sendiri.

"He-hei, Hikki..."

"A-apa?" Suaraku terbata. Sial. Mungkin tampang di wajahku sempat


terlihat menjijikkan tadi. Dan tanpa sengaja, jawaban gugupku malah
menambah betapa jijiknya hal tersebut.

"Ba-bagaimana pendapatmu terhadap perempuan yang pandai


memasak?"

"Bukannya aku enggak suka, sih. Bukan pula seolah para lelaki
menganggap itu sebagai hal yang menarik."

"Be-begitu, toh..." Setelah mendengarnya, Yuigahama tersenyum


lega. "Baiklah! Kita mulai sekarang!" Ia gulung lengan bajunya,
memecahkan telur dan mulai mengocoknya. Lalu ditambahkannya
tepung terigu, kemudian gula, mentega dan sedikit perisa, termasuk
aroma vanili di dalamnya.

Meski aku bukan orang yang ahli dalam seni memasak, tapi bisa
kulihat dengan jelas kalau kemampuan Yuigahama masih jauh dari
normal. Aku yakin, bagi dirinya, membuat kue kering adalah hal yang
berada di luar jangkauan. Padahal itu hal yang sangat sederhana, jadi
bukan hal sulit untuk mengetahui seberapa jauh kompetensi dirinya
dari standar normal. Kemampuan Yuigahama yang sebenarnya, tanpa
ditutup-tutupi, telah terpampang jelas.

Yang pertama, kocokan telur. Masih ada cangkang yang ikut


tercampur di dalamnya. Yang kedua, perisanya masih menggumpal.
Yang ketiga, menteganya masih keras. Bisa ditebak, ia keliru
mengganti tepung dengan garam, dan berlebihan menuang susu
beserta aroma vanilinya hingga tumpah dari mangkuk.

Ketika sekilas pandanganku tertuju ke Yukinoshita, bisa kulihat


wajahnya yang pucat sembari menaruh tangan di dahinya. Bahkan
untuk juru masak payah sepertiku saja, sampai merinding. Apalagi
Yukinoshita yang memang hebat dalam memasak, hal ini pasti sebuah
aib besar.

"Sekarang kita perlu..." Yuigahama terhenti dan mengambil bubuk


kopi.

"Kopi? Kukira itu untuk diminum, mungkin akan mudah dicerna


kalau dijadikan makanan, ya? Ide yang hebat."

"Eh? Bukan begitu. Justru ini bahan rahasianya. Anak lelaki enggak
suka makanan manis, 'kan?" Wajah Yuigahama memerah sembari
melanjutkan perkerjaannya. Dengan pandangan terfokus pada
tangannya, adonan hitam segera terbentuk di tengah-tengah
mangkuknya.

"Pastinya itu tak lagi jadi bahan rahasia."

"Waduh!? Ih. Biar nanti kutambahkan tepung saja supaya jadi lebih
bagus." Nyatanya, ia cuma mengganti adonan hitam itu menjadi
adonan yang lebih putih. Kemudian, gelombang besar dari kocokan
telur mulai menyapu adonan tersebut, yang seakan menggambarkan
kejinya neraka.

Biar kusimpulkan: Kemampuan memasak Yuigahama memang


payah. Ini bukan tentang masalah mampu atau tidaknya – untuk
kemampuan dasar saja ia tak punya. Sikap plinplannya di luar
kewajaran, bahkan untuk melakukan hal yang mudah saja, ia gagal. Ia
adalah orang yang tak ingin kujadikan partner saat tugas di
laboratorium. Yang ada, ia cukup plinplan untuk membuat dirinya
sendiri terbunuh.

Akhirnya benda itu pun selesai dipanggang, dan keluarlah kue panas
yang terlihat gosong. Dari baunya saja bisa kutebak kalau rasanya
pahit.
"Ko-kok bisa?" Yuigahama terpaku ngeri saat melihat sebuah aib di
hadapannya.

"Aku sungguh tak mengerti... bagaimana mungkin ada kesalahan


yang bisa terjadi secara berturut-turut...?" Gumam Yukinoshita.
Kurasa ia berkata pelan begitu agar tak didengar Yuigahama. Meski
begitu, ia tadi terlihat keceplosan karena geregetan.

Yuigahama mengambil aib itu dan meletakkannya di atas piring.


"Mungkin kelihatannya saja begini, tapi... mana kita tahu sebelum
mencicipinya!"

"Kau benar. Di sini kita punya orang yang bertugas untuk itu."

Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. "Yukinoshita. Benda


aneh ini kausuruh aku... kalau yang begini, namanya pengujian
racun."

"Kok racun, sih?! ...racun ...ya, mungkin saja ini memang beracun?"
Dibandingkan sangkalan yang dipaksakannya di awal, Yuigahama
kini malah tampak cemas sambil memiringkan kepalanya, seakan
ingin bertanya, Bagaimana ini?

Hal tersebut sudah tak perlu dijawab lagi. Kupalingkan wajahku dari
ekspresi Yuigahama yang seperti anak anjing itu dan coba menarik
perhatian Yukinoshita.

"Hei, apa ini benar-benar harus kumakan? Ini sangat mirip dengan
batu arang yang dijual di Joyful Honda."[13]

"Karena kami tak memakai bahan-bahan yang tak layak konsumsi,


mestinya kau akan baik-baik saja. Setidaknya begitu. Dan..."
Yukinoshita terhenti sejenak, lalu mulai berbisik. "...aku juga akan
memakannya, jadi kau tak perlu risau."

"Serius? Jangan-jangan kau ini memang orang baik, ya? Atau jangan-
jangan kau memang suka padaku?"

"...setelah kupikir lagi, lebih baik kau makan semuanya dan mati
sendiri saja sana."
"Maaf. Tadi aku sempat kaget, makanya aku jadi mengoceh tak
jelas." Semua gara-gara kue kering ini... meski patut dipertanyakan,
apakah aib yang ada di hadapan kami ini masih bisa disebut kue
kering.

"Aku memintamu untuk mencicipinya, bukan justru


mempersoalkannya. Terlebih, aku sudah terlanjur menyetujui
permintaan Yuigahama. Setidaknya aku harus bertanggung jawab."
Yukinoshita menarik piring itu ke sisinya. "Jika tak bisa menemukan
akar permasalahannya, situasi seperti ini takkan berakhir. Walau itu
tak bisa dianggap sebagai harga yang dibutuhkan untuk sebuah rasa
ingin tahu."

Yukinoshita memandangku setelah mengambil satu dari aib berwarna


hitam itu – yang mungkin akan salah dikira batu bara. Matanya
tampak sedikit berkaca-kaca. "Kita takkan mati, 'kan?"

"Justru itu yang mau kutanyakan..." Kupandangi Yuigahama, yang


juga sedang memandang kami, yang seolah juga ingin ikut bergabung.

...bagus. Alangkah baiknya jika ia saja yang memakan semuanya. Ia


pun harus mengerti penderitaan orang lain.

— II —

Kami pun selesai mencicipi kue kering buatan Yuigahama. Jika ini di
dalam manga, riwayat kami pasti bakal tamat, kami akan jatuh sakit
lalu tak sadarkan diri setelah memakannya. Kalau boleh bilang,
saking buruknya benda tersebut, sampai-sampai kita akan merasa
senang andai cuma jatuh pingsan saja. Kalau aku, lebih baik memilih
jatuh sakit daripada harus memakannya lagi.

Lalu sebuah pikiran terlintas di benakku. Apa ia memasukkan jeroan


sebagai bahan di kue keringnya ini, ya? Tapi kurasa takkan sampai
seburuk itu, setidaknya itu tak langsung membunuh kami semua.
Namun, jika dipikir lebih dalam lagi, bukan hal mustahil kalau itu
lambat laun akan memicu sel-sel kanker.

"Ih... sudah pahit, menjijikkan pula..." Ujar Yuigahama sambil


mengunyah kue keringnya dengan air mata yang berlinang.
Yukinoshita langsung menyodorkan cangkir teh padanya.

"Akan lebih baik jika itu disterilkan dulu dan sebisa mungkin jangan
mengunyahnya. Berhati-hatilah untuk tidak membiarkan lidahmu
tersentuh olehnya. Kue kering itu memang seperti racun mematikan."

Hei, jangan seenaknya saja berkata hal-hal mengerikan begitu.

Yukinoshita lalu menuangkan air panas dari ceret pemanas dan


menyeduh seteko teh hitam. Seusai ia menuangkannya ke cangkir
kami masing-masing, teh itu segera kami minum supaya rasa yang tak
enak pada lidah kami ini bisa segera hilang. Paling tidak, semuanya
sudah kembali normal, dan aku pun bisa bernapas lega.

Kemudian, Yukinoshita segera membuka mulutnya, seakan ia ingin


mengganggu suasana santai yang kini tengah kami nikmati. "Nah
sekarang, ayo pikirkan cara untuk membuat ini jadi lebih baik."

"Bagaimana kalau Yuigahama tak usah memasak lagi?"

"Kau memang enggak mau memberiku kesempatan, ya?!"

"Hikigaya, yang tadi itu adalah usaha terakhir kita."

"Usaha terakhir? Jadi semua ini akan berakhir begitu saja?!" Ekspresi
Yuigahama yang terkejut segera berubah jadi putus asa. Tampak
murung, bahunya terturun dan ia menghela napas panjang. "Kurasa,
memasak memang enggak cocok buatku... orang-orang menyebut itu
sebagai bakat, 'kan? Nyatanya, aku memang enggak punya bakat."

Yukinoshita spontan sedikit berdesah. "...begitu, ya. Kurasa aku


punya solusi"

"Solusi apa?" Tandasku.


"Berusaha lebih keras" Jawab Yukinoshita dengan tenang.

"Kausebut itu solusi?" Sejauh yang kuamati, itu justru jadi solusi
paling buruk. Di titik ini, memang tak ada lagi yang bisa dilakukan
selain memaksanya untuk lebih serius, sebab cuma itu pilihan yang
tersisa.

Tapi jujur saja, hal tersebut akan selalu jadi percobaan yang sia-sia.

Pasti akan lebih mudah jika ia tinggal bilang, Hentikanlah, tak perlu
berharap lagi. Mencoba begitu keras dan berusaha tanpa arti pada hal
semacam ini, akan berakhir sia-sia. Jika Yukinoshita memang ingin
menyerah terhadap Yuigahama, maka ia bisa memanfaatkan
waktunya itu untuk bekerja keras pada hal lain. Pastinya itu akan
lebih efisien.

"Berusaha keras adalah solusi paling tepat. Jika kita melakukannya


dengan benar, itu akan berhasil." Tanggap Yukinoshita yang seakan
sudah membaca pikiranku. Apa ia punya indra keenam, ya?
"Yuigahama, tadi kaubilang kalau kau tak punya bakat, bukan?"

"Hah? Ah, kau benar."

"Tolong singkirkan pemikiranmu itu. Mereka yang tak pernah


berjerih payah tak pantas iri pada mereka yang berbakat. Mereka yang
gagal, berpikir seperti itu, karena mereka tak bisa membayangkan
perihnya kerja keras yang dilakukan oleh mereka yang berhasil."
Kata-kata Yukinoshita terasa begitu dingin. Tak terbantahkan jika
kata-kata itu memang benar, hingga tak menyisakan ruang untuk
mengelak.

Yuigahama kehilangan kata-kata. Pasti tak seorang pun pernah


melontarkan kenyataan seperti itu padanya. Ekspresi panik dan
kebingungan terlintas di wajahnya, hingga ia menutupinya dengan
sebuah cengiran.

"Ta-tapi, eng... zaman sekarang sudah enggak ada lagi orang yang
melakukan hal begini... sudah pasti itu enggak cocok buatku."
Seiring tawa malu-malu Yuigahama yang berangsur tersamar,
terdengar suara berdenting dari cangkir yang diletakkan ke atas meja.
Suaranya begitu tenang, terdengar pelan, dan masih bergemerincing
pada lapisan kristalnya, yang secara tak sadar memaksa pandangan
kami untuk tertuju ke arahnya. Ialah Yukinoshita, yang memancarkan
hawa dingin ini, dan menghimpun aura di sekitarnya.

"...tolong berhenti untuk selalu menyesuaikan diri dengan


sekelilingmu. Sungguh tak enak didengar. Apa kau tak malu
membebankan sikap plinplan, ketidakmampuan, serta kebodohan
yang kaumiliki itu kepada orang lain?" Ujar Yukinoshita dengan nada
keras. Ia jelas terlihat jengkel, sampai-sampai aku pun tersentak,
hingga mau berseru, Wu-wuah...

Yuigahama yang tak berdaya, jatuh dalam keheningan. Ia


menundukkan kepala hingga tak bisa lagi kulihat wajahnya, namun
tangannya menggenggam erat ujung roknya seolah sedang
menyingkap emosinya.

Pastinya ia orang yang cakap dalam berkomunikasi. Lagi pula, untuk


dapat bergaul dengan anak-anak populer, penampilan menarik saja
tidaklah cukup; kita harus bisa bersikap baik pada orang-orang.
Dengan kata lain, perempuan ini memang pandai dalam
menyesuaikan diri dengan orang lain. Yang juga berarti, ia tak punya
cukup keberanian untuk menjadi dirinya sendiri, karena itu sangat
beresiko baginya.

Akan tetapi, sementara Yuigahama menyesuaikan diri dengan


sekelilingnya, Yukinoshita justru berusaha melangkah di jalannya
sendiri. Ia memang orang yang keras kepala.

Mengingat kecenderungan mereka menjadi seorang penyendiri,


mereka adalah dua tipe perempuan yang sangat berbeda. Jika kita
membahas siapa yang lebih kuat, sudah jelas kalau itu Yukinoshita.
Dari argumennya saja sudah terlihat.

Mata Yuigahama sudah berkaca-kaca.

"Lu-lu..."
Kurasa ia mau bilang, Lupakan saja kue keringnya. Suaranya yang
parau dan terbata terdengar seperti sedang menangis. Karena bahunya
yang gemetar, suaranya pun ikut gemetar.

"Luar biasa..."

"Hah?!" Tanggapku dan Yukinoshita dalam satu harmoni. Bicara apa


perempuan ini? Tanpa sengaja kami pun saling bertukar pandang.

"Kau langsung berkata apa adanya... dan itu rasanya, sungguh...


sangat keren..." Yuigahama menatap ke arah Yukinoshita dengan
ekspresi menggebu-gebu. Wajah Yukinoshita menegang seiring ia
mundur dua langkah ke belakang.

"Bi-bicara apa kau... apa kau tak dengar yang kukatakan tadi? Aku
cukup yakin kalau kata-kataku tadi terdengar kasar."

"Enggak, kok! Sama sekali enggak! Yah, maksudku, kata-katamu


memang kasar, dan jujur, aku sempat tersentak."

Ya, itu memang benar. Sebenarnya, tak kusangka Yukinoshita akan


mengatakan hal semacam itu ke sesama perempuan. Kata-kata yang
diucapkannya lebih dari sekadar kasar, bahkan sempat membuatku
tersentak. Meski aku yakin, yang dialami Yuigahama lebih dari
sekadar tersentak.

"Biar begitu, aku sungguh berpikir kalau kau cuma ingin bersikap
jujur padaku. Maksudku, bahkan ketika kau berbicara pada Hikki,
kalian memang saling melontar kata-kata pedas, namun kalian
berbicara satu sama lain dengan begitu wajar. Yang selama ini
kulakukan hanyalah berusaha mencocokkan diri dan berkata sesuai
dengan pikiran orang-orang terhadapku, jadi ini hal baru bagiku..."

Yuigahama masih melanjutkan. "Aku minta maaf. Akan kulakukan


lagi dengan benar." Ketika ia meminta maaf, tatapannya kembali
tertuju ke Yukinoshita.

"..." Tak disangka, kali ini yang kehilangan kata-kata justru


Yukinoshita. Mungkin ini pertama kalinya ia mengalami hal semacam
ini. Ternyata masih ada segelintir orang yang setelah dicecar dengan
sebuah kebenaran, tapi malah meminta maaf. Biasanya, wajah kita
akan memerah dan jadi benar-benar marah karena itu.

Tiba-tiba Yukinoshita memalingkan kepalanya ke samping dan


mengibaskan rambut dengan tangannya. Gelagatnya seakan sedang
mencari-cari sesuatu tapi masih belum bisa menemukannya. Astaga...
ia benar-benar payah saat memberi tanggapan spontan.

"...ajari ia cara yang benar. Dan kau, Yuigahama, pastikan kau


sungguh-sungguh menuruti apa yang dikatakannya." Sesaat kucoba
memecah kesunyian di antara mereka, Yukinoshita sedikit berdesah
dan mengangguk setuju.

"Aku akan mencontohkannya padamu, jadi kau bisa mencoba dan


membuatnya persis seperti yang kubuat." Yukinoshita lalu berdiri dan
memulai persiapan. Ia gulung lengan bajunya ke atas, memecahkan
beberapa telur ke dalam mangkuk, kemudian mengocoknya. Ia ayak
sejumlah tepung terigu dalam takaran tepat dan mencampurnya
hingga tak menggumpal. Lalu ia tambahkan gula, mentega, perisa,
dan aroma vanili secukupnya.

Keahliannya membuat kecil hati Yuigahama. Ia bisa membuat adonan


kue kering dalam sekejap mata dan mencetaknya dalam bentuk
lingkaran, bintang, maupun hati. Kertas panggangan pun sudah siap di
atas loyang pemanggang. Dengan hati-hati ia tempatkan adonan yang
telah dicetak itu pada loyang, dan memasukkannya ke dalam oven
yang telah dipanaskan.

Beberapa saat kemudian, aroma sedap tak tertahankan telah


memenuhi ruangan. Mudah untuk menyimpulkan bahwa persiapan
yang diselesaikan dengan tepat, akan memberi hasil yang bagus. Dan
sesuai dugaan, kue kering yang baru matang ini segera memanjakan
mataku yang sempat perih sebelumnya. Yukinoshita lalu
meletakkannya ke atas piring dan segera menyajikannya.

Benda itu terpanggang dalam balutan warna coklat muda yang sedap
dipandang mata dan sudah jelas kalau itu bisa disebut kue kering. Kue
itu dibuat dengan baik, mirip seperti yang dibuat bibiku. Itu sebabnya,
kue kering tersebut kuterima dengan senang hati.
Saat kuambil salah satunya dan coba memakannya, tanpa sadar
wajahku tersenyum.

"Enak sekali! Kau ini seorang pâtissier, ya?"[14] Kubiarkan pujianku


terlontar padanya. Aku tak bisa menahan diri untuk tak memakannya
lagi. Soalnya itu sangat enak. Mungkin takkan ada lagi gadis yang
membuatkanku kue buatannya sendiri, karena itu kuambil kesempatan
ini untuk memakannya sekali lagi. Buatan Yuigahama tadi tak bisa
disebut kue kering, makanya itu tak kuhitung.

"Rasanya benar-benar enak... Yukinoshita, kau luar biasa."

"Terima kasih." Yukinoshita tersenyum tanpa menyisipkan sarkasme


di dalamnya. "Perlu kau tahu, aku hanya mengikuti apa kata resep.
Maka dari itu, mestinya kau mampu membuat seperti apa yang kubuat
ini. Jika masih belum berhasil, mungkin saja ada semacam
kekeliruan."

"Boleh kue kering ini kupakai sebagai contoh?"

"Tak masalah. Kalau begitu, mari sama-sama berusaha, Yuigahama."

"Ba-baik... menurutmu, apa aku bisa membuatnya? Maksudku,


membuat seperti yang kaubuat itu?"

"Tentu saja. Itu jika kau mengikuti apa kata resep." Yukinoshita tak
lupa mengingatkannya. Dengan demikian, dimulailah percobaan
Yuigahama yang kedua.

— II —

Yuigahama menirukan pengerjaan maupun tindakannya, seolah ia


setengah berhasil menyalin apa yang Yukinoshita lakukan. Begitulah,
karena ia cuma mengulang pembuatan kue keringnya, jadi itu terasa
seperti memutar-mutar kata saja. Aku yakin kue kering yang sudah
jadi nanti bakal tak enak dimakan. Dan yang kulakukan kini hanyalah
memutar-mutar kata yang tak ada juntrungnya.
Biarpun begitu...

"Yuigahama, bukan begitu caranya. Saat kau mengayak tepungnya,


cobalah untuk mengayaknya dalam pola lingkaran. Lingkaran,
kubilang, lingkaran. Kau paham, tidak? Apa sewaktu SD kau tak
diajari tentang lingkaran?"

"Sewaktu mencampur bahan-bahannya, pastikan kau memegang


mangkuknya dengan benar. Kau justru memutar-mutar mangkuknya,
bahan-bahannya jadi tak tercampur sama sekali. Jangan diaduk,
gulung mengikuti campuran bahannya."

"Tidak, tidak, yang kaulakukan itu keliru. Kau tak perlu


menambahkannya walau itu untuk menguatkan rasa. Bahan seperti
persik kalengan tak perlu ditambahkan sekarang. Lagi pula, bahan
tersebut mengandung banyak air, adonannya bisa hancur. Dan itu tak
bisa diperbaiki lagi."

Yukinoshita – Sang Yukino Yukinoshita – benar-benar pusing


dibuatnya. Ia tampak sungguh tertekan.

Ketika Yukinoshita selesai memasukkan adonannya ke dalam oven, ia


menarik napas. Sikap galaknya perlahan menghilang, dan setetes
keringat mengalir di dahinya.

Saat Yuigahama membuka ovennya, aroma yang sedap menyeruak;


ini hampir mirip seperti kue kering yang dibuat Yukinoshita
sebelumnya. Akan tetapi...

"Kue keringnya kelihatan beda..." Putus asa, bahu Yuigahama pun


terturun.

Setelah mencicipinya, aku bisa bilang kalau kue keringnya jelas


berbeda dengan buatan Yukinoshita. Meski begitu, buatan Yuigahama
ini masih layak disebut kue kering. Dibandingkan dengan batu arang
yang ia buat sebelumnya, ini jauh lebih baik. Jujur, aku tak keberatan
memakannya.
"...harus kuajari seperti apa lagi supaya kau bisa paham?"
Kebingungan, Yukinoshita pun memiringkan kepalanya seolah
sedang berpikir.

Sewaktu menyaksikannya tadi, kusadari sebuah alasan yang jelas: Ia


memang payah dalam hal menjelaskan sesuatu.

Kalau boleh jujur, Yukinoshita memang orang yang jenius, dan


karena hal itu, ia jadi tak mau memahami perasaan orang biasa. Ia
hanya tak dapat menerima alasan di balik kegagalan mereka.

Sebagai contoh, penerapan yang tepat untuk sebuah resep mirip


seperti sebuah rumus dalam matematika. Orang-orang yang payah
dalam matematika pasti tak mengerti cara kerja sebuah rumus hingga
bisa menghasilkan sebuah jawaban. Mereka bahkan tak paham kenapa
rumus itu perlu untuk digunakan.

Yukinoshita hanya tak bisa mengerti alasan kenapa Yuigahama masih


belum bisa paham. Bila aku berkata begitu padanya, itu malah
terdengar seolah aku yang menyalahkan dirinya. Padahal bukan.
Yukinoshita sudah berusaha semampunya; masalahnya ada pada
Yuigahama.

"Kenapa masih belum benar juga? ...padahal aku sudah membuatnya


sesuai yang kauajarkan." Yuigahama menundukkan kepalanya,
tertegun sembari mengambil kue keringnya.

Jika ada orang yang percaya kalau seseorang yang benar-benar pandai
harusnya juga bakal pandai dalam mengajari orang lain, tak peduli
betapa bodohnya yang diajari, maka orang tersebut salah. Tak peduli
bagaimanapun cara mengajarinya, sekali bodoh tetaplah bodoh, itu
sebabnya orang bodoh sulit untuk mengerti. Biar berkali-kali pun
diajari, satu pun mungkin tak ada yang menyangkut.

"Hmm... ini beda sekali dengan buatanmu, Yukinoshita." Yuigahama


sudah tampak patah semangat, dan Yukinoshita telah membenamkan
kepala dalam dekapan tangannya sendiri.
Sewaktu kusaksikan sulitnya keadaan mereka, kukunyah kembali
salah satu kue kering tadi. "Hei, eng... aku jadi berpikir, kenapa
kalian sampai sebegitunya ingin membuat kue kering yang enak?"

"Apa?" Ekspresi Yuigahama tampak seolah ingin berkata, Bicara


apa kau, dasar perjaka? Ekspresi yang begitu melecehkan, hingga
membuatku sedikit geram.

"Se-bispak itukah dirimu sampai enggak tahu apa-apa? Kau ini bodoh
kali, ya?"

"Sudah kubilang, berhenti memanggilku bispak!"

"Soalnya kau memang enggak mengerti cara pikir anak lelaki."

"Ya jelaslah! Aku kan enggak pernah sekalipun pacaran! Maksudku,


teman-temanku banyak yang sudah punya pacar... jadi aku cuma
mengikuti apa yang pernah mereka lakukan dulu dan seperti inilah
jadinya..." Suara yuigahama perlahan-lahan semakin mengecil,
hingga akhirnya tak dapat kudengar lagi.

Kalau bicara itu yang jelas, tahu? Jangan bilang kalau ia mau meniru
tingkahku sewaktu aku dicibir guru di kelas.

"Ini tak ada hubungannya dengan tubuh bagian bawah Yuigahama.


Jadi apa maksudmu bicara begitu, Hikigaya?"

Tunggu dulu, apa maksudnya dengan tubuh bagian bawah? Padahal,


tak pernah lagi kulihat ada poster yang memamerkan hal tersebut di
dalam kereta. Berapa sebenarnya umur perempuan ini?

Aku terdiam sejenak untuk memberi kesan dramatis sebelum tertawa


terbahak-bahak, seolah aku sudah menguasai keadaan. "Huh.
Tampaknya kalian berdua tak pernah tahu bagaimana nikmatnya
memakan kue kering buatan sendiri. Kembalilah sepuluh menit lagi.
Akan kuhidangkan rasa sesungguhnya dari kue kering buatan
sendiri."

"Kau ini mengoceh apa... ini bukan main-main. Aku ini serius, tahu!"
Mungkin ia merasa tersinggung atas penolakan kue kering buatannya
itu, namun meski ia berkata demikian, ia malah mengajak
Yukinoshita untuk keluar dari ruangan dan menuju koridor.

Nah, kalau begitu, sekarang adalah giliranku untuk mengambil


langkah di pertandingan ini. Dengan kata lain, kini waktunya
membeberkan solusi pamungkas dan jitu untuk masalah ini.

Segera setelah itu, ruang PKK telah terselimuti oleh hawa yang tak
mengenakkan.

"Inikah kue buatan sendiri sesungguhnya, yang sempat kausebut tadi?


Teksturnya tak merata dan gosong di sana-sini. Kalau yang begini
ini..." Tatap Yukinoshita penuh keraguan pada benda yang ada di
hadapannya.

Tiba-tiba Yuigahama melongok dari samping. "Yah, padahal tadi kau


sudah bicara sehebat itu, tapi ternyata ini enggak ada istimewanya.
Bikin ketawa saja! Dimakan saja rasanya kurang layak!" Tiba-tiba
saja ia tertawa mengejek... atau boleh kubilang, tawa yang
menggelegar. Kurang ajar... awas saja, ya.

"Sebelum komentar, cicipi dulu, dong." Ujarku sambil tersenyum


santai dengan ekspresi datar. Dengan senyum itu, aku berlagak seolah
persiapanku ini telah sempurna, seolah tak ada yang tahu tentang
strategiku ini, seolah aku sudah memastikan kemenanganku ini.

"Yah, kalau kau memang sudah berusaha sekeras itu..." Sambil malu-
malu Yuigahama memasukkan kue kering itu ke mulutnya. Tanpa
bicara apa-apa, Yukinoshita pun ikut mengambilnya sepotong.

Setelah berakhirnya suara kunyahan dari mereka, kesunyian pun


segera meliputi ruangan ini. Tak diragukan lagi, inilah yang disebut
ketenangan sebelum badai.

"E-eh, ini!" Mata Yuigahama terbelalak. Sambil mengingat-ingat


kembali dengan indera pengecapnya, ia seakan sedang mencari kata-
kata yang tepat untuk mengekspresikan tanggapannya. "Ini memang
enggak ada istimewanya, maksudku, ada yang begitu keras di
beberapa bagian! Jujur, ini enggak begitu enak!" Emosi Yuigahama
berubah 360 derajat dari terkejut menjadi menggebu-gebu. Aku tak
begitu yakin kalau rasa kue tersebut sampai bisa mengubah emosinya,
meski begitu, tatapan Yuigahama sedang tertuju ke arahku.

Yukinoshita tak berkata apa-apa; yang ada, ia justru melihatku dengan


curiga. Entah kenapa, sepertinya ia menyadari sesuatu.

Seusai memerhatikan ekspresi mereka masing-masing, perlahan


kutundukkan pandanganku.

"Begitu, ya. Jadi, kue keringnya enggak enak... padahal sudah susah
payah membuatnya."

"-ah... maaf." Yuigahama jadi salah tingkah, lalu menundukkan


pandangannya di hadapan diriku yang sedang termenung.

"Lebih baik kue keringnya kubuang saja." Kataku sambil menyambar


piring yang berisi kue kering tersebut dari dirinya, kemudian berbalik
dan pergi menjauh.

"Tu-tunggu sebentar."

"...mau apa lagi?"

Yuigahama lalu memegang tanganku ini untuk mencegahku pergi.


Tanpa membiarkanku beranjak, ia mengambil sepotong kue kering
tersebut dan segera memakannya. Wajahnya berubah muram, dan ia
pun menggertakkan giginya.

"Kau enggak perlu membuangnya. Rasanya enggak buruk-buruk


amat, kok... dan rasanya enggak semenjijikkan seperti yang kubuat
sebelumnya."

"...oh. Jadi kau sudah cukup puas dengan kue kering ini?"
Kusunggingkan sebuah senyuman, dan Yuigahama menganggukkan
kepalanya tanpa bersuara, lalu memalingkan pandangannya. Diikuti
sinar senja yang memancar dari jendela, bisa kulihat kalau wajahnya
kini sedang tersipu.
"Sejujurnya, ini adalah kue kering yang kaubuat sebelumnya,
Yuigahama." Ucapku jujur dengan santai, tanpa terbata-bata. Aku tak
pernah bilang kalau aku yang membuatnya, jadi aku tak berbohong.

"...hah?" Matanya terbelalak dan mulutnya menganga. Bisa dibilang,


ia memang orang yang plinplan. "A-apa?" Mata Yuigahama
berkedip-kedip. Yukinoshita dan aku saling bertukar pandang.
Rupanya Yuigahama sama sekali tak mengerti apa yang sedang
terjadi.

— II —

"Hikigaya, aku tak yakin dengan yang hendak kaulakukan ini. Apa
ada maksud lain dari leluconmu tadi?" Yukinoshita menatapku risih.

"Ada sebuah kutipan yang berbunyi... Asal ada cinta, cinta saja tak
masalah!!" Kusunggingkan senyum bangga sambil mengacungkan
jempol.

"Acara itu kan jadul banget."[15] Tanggap Yuigahama dengan suara


pelan. Yah, itu memang acara yang disiarkan waktu aku SD dulu.
Yukinoshita pun sepertinya tak mengerti maksud ucapanku dan
memiringkan kepalanya karena kebingungan.

"Ibarat lomba lari halang rintang, fokus kalian hanya tertuju pada
melompati rintangannya saja." Tanpa sadar aku tersenyum. Wah,
perasaan superior apa ini? Seakan hanya aku saja yang tahu jawaban
yang benar. Bikin aku geregetan saja.

"Begini... tujuan utama lari halang rintang bukanlah melompati


rintangannya, tapi untuk sampai ke garis finis dengan waktu secepat
mungkin. Tak ada aturan yang mengatakan kalau rintangan tersebut
wajib dilompati. Da-dan tak per-" Tanpa sengaja bicaraku mulai
terbata.

"Cukup, aku sudah paham maksudmu."


-lu cemas soal menabrak, menggulingkan atau menghancurkan
rintangannya. Itulah yang akan kukatakan andai Yukinoshita tak
memotong ucapanku.

"Jadi kau mau bilang kalau kami sudah mencampuradukkan maksud


dan tujuan kami yang sebenarnya, begitu?"

...aku tak begitu paham yang barusan ia katakan. Namun, aku yakin
kalau ia mau mengatakan hal yang sama, karena itu aku mengangguk
dan lanjut berbicara.

"Inti sesungguhnya dari hal tersebut yaitu pada seberapa kerasnya


usaha kalian saat membuat kue kering. Jika kalian tak mengalami
stres saat membuatnya, maka semua itu akan terasa hambar.
Bagaimana orang bisa senang kalau rasanya sama saja seperti beli
dari toko. Bahkan boleh dibilang, kue kering yang dibuat sendiri itu
masih lebih baik walau rasanya kurang enak."

"Kurang enak?" Tanya Yukinoshita sambil menampakkan wajah


kebingungan.

"Kalau kalian bisa membuat orang yang menerimanya berpikir. Yah,


meski hasilnya kurang bagus tapi ia sudah berusaha semampunya.
Maka orang tersebut akan salah sangka dan berpikir dengan wajah
penuh harap, Ternyata ia sudah susah payah membuat kue kering ini
demi aku..."

"Aku yakin tak sesederhana itu..."

Yuigahama melihatku curiga, seolah menyiratkan, Perjaka ini


sebenarnya mau apa, sih?

Apa boleh buat. Mungkin harusnya kutambahkan saja sesuatu yang


lebih menarik.

"...ini cerita tentang temannya temanku... ini cerita ketika ia baru


memasuki masa SMA. Karena masih di awal semester, maka ketika
itu adalah saat diadakannya pemilihan ketua kelas. Seperti yang sudah
diduga, semua anak lelaki kala itu sedang di masa-masa gelisahnya,
jadi mereka bakal menolak kalau ditunjuk menjadi ketua kelas. Tentu
saja, mereka akhirnya memilih seseorang secara acak. Lalu, secara
kebetulan temannya temanku itu pun terpilih. Guru lalu menyerahkan
wewenang kepada anak tersebut dan memberinya tugas untuk
memilih wakil perempuan. Itu merupakan beban berat bagi seorang
anak pemalu, penakut dan pendiam seperti dirinya."

"Penjelasanmu terlalu bertele-tele. Cerita pembukamu juga terlalu


panjang."

"Diam dan dengarkan saja dulu. Pada saat itu, dipilihlah salah
seorang anak perempuan. Perempuan itu punya wajah yang manis.
Dan dengan demikian, maka pasangan ketua kelas yang baru pun
diresmikan. Sang wakil perempuan kemudian tersenyum senang
sambil berkata; Mohon kerja samanya untuk satu tahun mendatang.
Setelah itu, ia mulai membicarakan berbagai hal dengan temannya
temanku ini. Jadi, si temannya temanku ini mulai berpikir: Wah, apa
ia suka padaku, ya? Mungkin ia sengaja agar terpilih karena aku
juga ikut terpilih. Ia begitu akrab saat bicara denganku, maka sudah
jelas kalau ia memang suka padaku! Dan tak makan waktu lama
baginya untuk meyakinkan hal tersebut. Yah, kira-kira satu minggu."

"Wah! Cepat banget." Yuigahama menaikkan volume suaranya


sembari menganggukkan kepala.

"Ya iya, lah. Kau tak boleh berlama-lama jika menyangkut soal
asmara. Jadi, seusai jam pelajaran, saat mereka sedang mengambil
fotokopi materi yang diminta guru, temannya temanku ini mencoba
mengutarakan perasaannya:

He-hei, apa sudah ada anak yang kautaksir?

Ha-hah? Tak ada, kok!

Jawabanmu tadi malah menunjukkan kalau itu memang ada! Jadi


siapa?

...menurutmu siapa?

Mana aku tahu. Kasih petunjuk, dong! Petunjuk!


Ah, tak mau, ah...

Kalau begitu kasih inisial namanya saja. Inisial nama atau marga
juga tak apa-apa, kok. Ayolah!

Eng... kurasa itu tak jadi masalah.

Serius?! Sip! Jadi, apa inisialnya?

...H.

Eh... jangan-jangan itu... aku, ya?

Hah? Kau ini bicara apa? Jelas tak mungkin! Menjijikkan banget.
Sudah, tak usah dibahas lagi.

Ah... haha... iya, iya. Aku cuma bercanda.

Eng... soalnya tadi kau tampak serius, sih... baiklah, karena sudah
selesai, aku pulang dulu.

O-oke.

Lalu setelahnya, hanya tinggal diriku saja yang ada di dalam kelas,
kutatap matahari yang terbenam sambil berlinangan air mata. Tapi
yang lebih mengejutkan, keesokan harinya saat di sekolah, semua
teman-teman sekelasku sudah tahu akan hal tersebut."

"Oh, ternyata itu cerita tentang dirimu..." Gumam Yuigahama, sambil


bersikap canggung saat mengalihkan tatapannya.

"Eh, apa? Ya bukan, lah. Aku tak cerita tentang diriku, kok. Kalau
yang barusan itu, yah, cuma berandai-andai kalau misal itu aku."

Tanpa memerhatikan penjelasanku, Yukinoshita pun berdesah karena


merasa jengkel. "Dari awal ketika kaubilang kalau itu cerita
temannya temanku, aku sudah bisa menebaknya. Karena setahuku,
kau itu tak punya teman."

"Apa kaubilang?!"
"Mengenyampingkan pengalaman traumatismu, sebenarnya apa
tujuanmu menceritakan hal barusan?"

Sudah pasti ini ujung-ujungnya bakal buruk. Soalnya, kejadian itu


adalah penyebab para anak perempuan mulai semakin membenciku.
Para anak lelaki bahkan memberi julukan Narsisgaya padaku dan...
yah, aku rasa itu bukan masalah besar. Kucoba untuk bersikap tegar
dan lanjut berbicara.[16]

"Yang ingin kusampaikan adalah, anak lelaki itu makhluk yang


sederhana. Mereka bakal salah paham hanya karena kalian bicara
dengan mereka, dan mereka akan kegirangan hanya karena diberi kue
kering. Jadi..." Aku berhenti sementara untuk melihat Yuigahama.
"...kue kering ini bukanlah sesuatu yang istimewa... meski di
beberapa bagian agak keras saat dikunyah, tapi sejujurnya tak
masalah asal itu tak menjijikkan."

"Be-berisik!" Wajah Yuigahama memerah karena marah. Beberapa


kantong plastik dan kertas kedap minyak dilemparkannya ke arahku.
Meski itu mengenaiku, nyatanya ia memilih melempar benda yang
takkan menyakitiku, itu tandanya kalau ia memang orang yang baik.
Eh... apa mungkin ia menyukaiku, ya? Atau itu hanya sekadar main-
main? Yah, jangan sampai kejadian waktu itu terulang lagi, deh.

"Kurang ajar kau, Hikki! Kau membuatku jengkel. Aku pergi saja!"
Yuigahama menatap tajam ke arahku, sambil menenteng tasnya, ia
lalu berdiri. Ia menuju ke pintu sambil berucap, Huh! sembari
berjalan keluar. Kedua bahunya tampak gemetaran.

Cih. Mungkin bicaraku sudah kelewatan... kini aku malah jadi


kepikiran karena sudah berbicara seenaknya. Karena itu kucoba lanjut
bicara dengan bahasa yang lebih baik.

"Yah, asal kautahu saja... jika kau memberi kesan kalau kau sudah
berusaha keras saat membuat kue kering ini, bukankah itu bisa
membuat hati anak lelaki tersentuh?"
Yuigahama yang sudah berada di depan pintu langsung menoleh ke
belakang. Aku tak bisa melihat ekspresi wajahnya karena silau oleh
sinar matahari senja.

"...Hikki, memangnya kue kering itu membuatmu tersentuh?"

"Hah? Tentu saja aku sangat tersentuh! Maksudku, hanya dengan kau
bersikap baik padaku saja, aku sudah ada di situasi di mana aku bakal
jatuh cinta padamu. Dan berhentilah memanggilku Hikki."
Tanggapku langsung ke intinya.

"Oh... baiklah." Jawab Yuigahama dengan santai, sebelum ia


langsung memalingkan kembali wajahnya ke arah pintu. Lalu sewaktu
tangannya sudah di gagang pintu, Yukinoshita memanggilnya.

"Yuigahama, bagaimana dengan permintaanmu?"

"Oh, enggak usah cemas, sudah bukan masalah lagi, kok. Lain kali,
akan kucoba dengan caraku sendiri. Terima kasih, ya, Yukinoshita."
Yuigahama lalu berbalik menghadap Yukinoshita sambil tersenyum.
"Sampai ketemu besok." Ia pun beranjak sambil melambaikan
tangan, kemudian berlalu pergi dengan celemek yang masih terpasang
di seragamnya.

"...apa kira-kira yang tadi itu sudah cukup untuknya?" Bisik


Yukinoshita, sambil menatap ke arah pintu. "Menurutku, agar bisa
berkembang, orang-orang harus berusaha keras hingga mencapai
batas kemampuan mereka. Karena pada akhirnya semua itu juga akan
bermanfaat bagi mereka."

"Yah, itu memang benar. Usaha keras takkan pernah


mengkhianatimu. Walaupun, itu mungkin akan mengkhianati mimpi-
mimpimu."

"Apa bedanya?" Angin lalu membelai wajah Yukinoshita sewaktu ia


menoleh ke arahku. Rambutnya pun berayun lembut mengikuti
hembusan angin.

"Meski kau sudah berusaha keras, tak berarti mimpi-mimpimu akan


jadi kenyataan. Faktanya, masih ada banyak kejadian yang berujung
ke arah itu. Namun setidaknya, kau bisa mendapat kepuasan atas
usaha kerasmu tadi."

"Itu hanya sekadar pemuasan diri."

"Yah, paling tidak itu tak mengkhianati dirimu sendiri."

"Menghibur diri sendiri, rupanya... membuatku jijik saja."

"Orang-orang, termasuk kau di dalamnya, sudah bersikap terlalu


kejam padaku. Harusnya kau bisa sedikit membiarkanku untuk
menghibur diriku sendiri. Dan kurasa orang-orang mestinya juga
harus bersikap lebih lembut pada diri mereka sendiri. Jika semua
orang nantinya jadi putus asa, maka dunia ini sudah takkan lagi punya
harapan."

"Ini pertama kalinya aku bertemu seorang idealis yang punya


pandangan sepesimis itu... jika pemikiranmu tadi diterapkan oleh
orang-orang, maka dunia bisa jatuh dalam kehancuran." Tandas
Yukinoshita dengan ekspresi terkejut, tapi aku justru senang dengan
pemikiranku ini.

Pada akhirnya, para pengangguran ingin mendirikan sebuah negara


yang dibangun khusus untuk golongan mereka sendiri. Yang diberi
nama: Penganggurantopia... dan mungkin akan runtuh hanya dalam
kurun waktu tiga hari.

— II —

Akhirnya aku mengerti seperti apa inti dari kegiatan Klub Layanan
Sosial. Singkatnya, ini adalah klub yang memberi saran serta
membantu para murid untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
Meski begitu, keberadaan klub ini masih jarang diketahui. Bahkan,
aku sendiri sempat tak tahu kalau klub ini ada. Tapi itu bukan berarti
kalau aku tak mengenal sekolahku sendiri.
Jika dilihat dari sikap Yuigahama yang seolah tak menyadari
keberadaan klub ini sebelumnya, maka harusnya ada orang yang
bertindak sebagai perantara dan mengarahkan orang-orang yang
membutuhkan saran tersebut agar datang ke tempat ini. Perantara itu
pastilah Bu Hiratsuka.

Terkadang, beliau harus mengarahkan murid-murid yang memiliki


kesulitan juga masalah supaya datang kemari. Tepatnya ke ruang
isolasi ini.

Di dalam ruang karantina ini, yang selalu kulakukan hanyalah


membaca buku. Soalnya, meminta nasihat sama artinya seperti
membeberkan masalah pribadi. Jika hal itu didiskusikan dengan
teman sebaya, yang ada, itu justru jadi penghalang bagi para murid
yang berperasaan sensitif.

Semenjak kedatangan Yuigahama yang kemari atas anjuran Bu


Hiratsuka, sudah tak pernah lagi ada orang yang datang ke tempat ini.
Meski saat ini tak ada pengunjung yang datang, tapi kegiatan klub
masih berjalan seperti biasanya. Aku maupun Yukinoshita seolah tak
keberatan dengan kesunyian semacam ini, menghabiskan waktu
dengan membaca buku begini, rasanya begitu damai.

Itu sebabnya, ketika ada yang mengetuk pintu, suara ketukannya


terdengar menggema.

"Yahalo!" Terdengar sebuah salam konyol dan tak bermutu seiring


Yuigahama yang menggeser pintu masuk. Saat kualihkan pandangan
dari paha mulusnya yang cuma sedikit tertutupi rok mini itu, mataku
sekarang tertuju pada blusnya yang terbuka lebar di bagian dada.
Sudah kuduga, ia memang perempuan yang dipenuhi oleh aura
bispak.

Yukinoshita berdesah sembari memejamkan matanya. "...mau apa


lagi?"

"Hah? Apa aku enggak begitu diterima di sini? ...jangan-jangan,


kau... membenciku, ya, Yukinoshita?" Bahu Yuigahama gemetar usai
ia mendengar gumaman Yukinoshita.
Yukinoshita menghela napasnya sembari berpikir sejenak. Ia lalu
menjawab dengan suara datar. "Aku tak membencimu... hanya saja,
kurasa akan merepotkan bila berurusan denganmu..."

"Bagi perempuan, itu sama saja kalau kau membenciku!"

Yah, tampaknya tak ada seorang pun di dunia ini yang ingin dirinya
dibenci. Dilihat dari luar, Yuigahama memang terlihat seperti
perempuan bispak kebanyakan, tapi melihat tanggapannya tadi, ia
malah lebih seperti perempuan biasa pada umumnya.

"Jadi, ada perlu apa kemari?"

"Eng, kau tahu, enggak, kalau belakangan ini aku mulai serius dalam
memasak?"

"Tidak tahu. Baru kali ini aku mendengarnya."

"Yah, pokoknya begitu, deh. Aku berterima kasih atas bantuanmu


tempo hari. Oh, iya, aku juga sudah membuatkan beberapa kue
kering, lo..."

Seketika itu juga wajah Yukinoshita memucat. Jika memikirkan


seperti apa kue buatan Yuigahama, hal yang pertama terlintas adalah
sekumpulan batu bara hitam pekat yang sempat ia buat sebelumnya.

Bahkan, hanya dengan mengingatnya saja, kerongkongan juga otakku


langsung mengering.

"Saat ini aku tak sedang begitu berselera, jadi terima kasih. Kuterima
niat tulusmu itu dengan senang hati." Yukinoshita mungkin jadi
hilang selera karena ucapan Yuigahama yang menyebutkan kalau ia
sudah membuatkan kue kering untuknya. Karena Yukinoshita orang
yang baik, makanya ia tak mengatakannya dengan blakblakan.

Mengenyampingkan penolakan sopan yang dilakukan Yukinoshita,


Yuigahama malah bersenandung seolah tak memerhatikan sewaktu ia
mengeluarkan sebuah kemasan plastik dari dalam tasnya. Jelas terlihat
kalau itu adalah kue kering berwarna hitam pekat yang dibungkus
dalam kemasan cantik.
"Ternyata terasa menyenangkan sewaktu membuatnya. Kapan-kapan
aku mau coba buat bekal makan siang juga, deh! Nah, kalau begitu,
kita makan siang bareng yuk, Yukinon."

"Tidak, aku lebih senang kalau makan sendirian, jadi aku menolak...
dan tolong jangan memanggilku Yukinon. Terdengar kurang enak di
telinga."

"Serius?! Kau enggak merasa kesepian? Yukinon, kau makan siang di


mana?"

"Di ruang klub... hei, kau ini tidak mendengarku, ya?"

"Baiklah, karena aku juga enggak punya kegiatan sepulang sekolah,


jadi aku akan bantu-bantu di klub ini. Yah, anggap saja ini semacam...
balas budi. Jadi jangan terlalu dipikirkan."

"...kau ini memang tidak dengar, ya?" Yukinoshita benar-benar telah


hilang terbawa oleh arus pembicaraan Yuigahama. Ia terus menatapku
seolah ingin berkata, Lakukan sesuatu padanya!

Memangnya aku bersedia membantunya, apa? Selama ini ucapannya


selalu menyakitiku dan ia pun belum membayar Yasai Seikatsu yang
kubeli tempo hari... lagi pula, Yuigahama itu kan temannya.

Kalau boleh jujur, sebenarnya Yukinoshita sudah setulus hati mau


mengatasi permasalahan Yuigahama, jadi kupikir, itulah alasan yang
membuat Yuigahama sampai bersikeras mau membalas budi padanya.
Maka dari itu, Yukinoshita sesungguhnya punya hak serta kewajiban
untuk menerima pemberiannya.

Rasanya tak sopan kalau aku ikut campur, jadi kututup saja buku
bacaanku dan langsung beranjak dari kursi. "Sampai ketemu besok."
Kalimat perpisahan itu kugumamkan pelan-pelan agar tak didengar
oleh mereka. Setelahnya, aku lalu bersiap pergi.

"Ah, Hikki!"

Saat aku berbalik, benda hitam pekat melayang terbang ke arah


wajahku. Dengan spontan kutangkap benda tersebut.
"Karena kau sudah ikut membantu, kurasa aku juga perlu berterima
kasih padamu."

Benda hitam pekat itu dicetak dalam bentuk hati. Mencurigakan


sekali. Yah, walau mencurigakan, tapi karena ia mau berterima kasih
padaku, jadi kuterima saja.

Oh, dan berhenti memanggilku Hikki.


Catatan Penerjemah

 Huruf kanji untuk kata sarkasme adalah 皮肉 (hiniku) yang di dalamnya memuat huruf kanji 肉
(niku) yang berarti daging. Sehingga pada kalimat tersebut, Bu Hiratsuka memang sengaja bermain
kata-kata.
  Teori Superstring merupakan teori untuk menyelesaikan masalah dimensi dalam ilmu fisika,
karena saat terjadi Big Bang sewaktu semesta kita terbentuk, diketahui bahwa terdapat sepuluh
dimensi dalam semesta kita, padahal saat ini kita hidup dalam empat dimensi. Dalam teori ini
lintasan dimensi digambarkan sebagai string (tali) dengan panjang tak terhingga. Karena adanya
dimensi yang lebih dari empat itulah kemudian muncul angan-angan ilmuwan untuk bisa pergi
sejauh ribuan hingga jutaan tahun cahaya dalam waktu singkat, yaitu dengan cara lintas dimensi.

  Mungkin di kalimat ini Hachiman sedang menyinggung serial 青年のための読書クラブ (Seinen no


Tame no Dokusho Club). yang bisa diartikan secara harfiah menjadi Klub Membaca Untuk Kawula
Muda.

  Sebenarnya kata yang dipakai pada novel aslinya adalah ビッチ (bitchi), kata serapan dari Bahasa
Inggris yaitu bitch. Tapi untuk kata tersebut, di Jepang konotasinya berbeda dengan arti kata
sebenarnya dari Bahasa Inggris (yang berarti semacam pekerja seks komersial), dan lebih condong
kepada perempuan yang gampang untuk diajak berhubungan seks dengan lawan jenis. Di sini
sengaja memilih istilah bispak (bisa dipakai), karena memang pengertiannya serupa, juga untuk
lokalisasi istilah.

  Untuk pergaulan di zaman sekarang, yang membedakan perempuan bisa disebut sebagai
seorang gadis atau seorang wanita, biasanya dilihat dari perawan atau tidaknya perempuan
tersebut. Seorang perempuan bisa disebut sebagai wanita jika sudah pernah berhubungan seks.
Sedang kalau masih disebut sebagai gadis, berarti perempuan tersebut masih perawan dan
cenderung masih dianggap anak kecil.

  Hikikomori adalah sebutan bagi orang-orang yang kehidupannya mengurung diri di dalam
kamar. Biasanya mereka menjauhi orang-orang dan sulit bergaul di lingkungan masyarakat.

  Ryuu Murakami adalah pengarang novel Almost Transparent Blue yang isi ceritanya memuat
masalah pergaulan bebas dan narkoba di kalangan pemuda Jepang.

  Pada LN aslinya kata yang dipakai adalah クッキー (kukkii), kata serapan dari Bahasa Inggris
cookie, dan terdengar seperti 空気 (kuuki) yang berarti udara. Harfiahnya, Hachiman berkata, anak-
anak di kelas memperlakukanku seperti udara.

  Sportop adalah merek minuman energi yang populer di kalangan anak SMA.

  Yasai Seiktasu adalah merek populer minuman jus sayuran di Jepang.

  Standar moral merupakan sebuah dasar dalam memutuskan apakah suatu tindakan atau
aktivitas yang dilakukan benar atau salah.

  Namahage adalah orang yang memakai kostum iblis guna menakut-nakuti anak-anak yang
punya kelakuan buruk.

  Nama toko di Jepang.


  Pâtissier adalah chef yang ahli dalam membuat kue-kue.

  Acara yang dimaksud adalah Ai no Epuron (愛のエプロン), yang di mana saat acara tersebut akan
berakhir, sang pembawa acara menutupnya dengan kalimat, "Memasak adalah sebuah bentuk cinta,
asal ada cinta, cinta saja tak masalah."

 Pada novel aslinya, julukan Hachiman adalah Narugaya (ナルが谷), Naru (ナル) di sini adalah
sebuah plesetan yang berarti: Bersikap narsis. Kebetulan cocok dengan kata 'gaya'.
BAB 4

Meski Begitu, Kelas Berjalan Seperti Biasanya

Bel berakhirnya jam pelajaran keempat pun berbunyi. Mendadak,


suasana kelas menjadi lebih santai. Sebagian murid sudah
berhamburan keluar membeli jajanan di kantin, sementara,
sebagiannya mencari-cari kotal bekal mereka di dalam laci meja. Lalu
sisanya, ada yang pergi ke kelas lain. Selama istirahat makan siang,
ruang kelas kami memang selalu dipenuhi kehebohan. Dan tak ada
tempat yang bisa kutuju jika hujan begini. Biasanya, aku punya
tempat bagus untuk menikmati makan siangku, tapi mana aku mau
kalau makan sambil basah-basahan.

Karena terpaksa, akhirnya kumakan saja roti yang kubeli dari toko
kelontongan ini sendirian. Kalau cuaca sedang hujan begini, biasanya
jam istirahat kuisi dengan membaca novel atau manga, tapi ternyata,
buku-buku itu ketinggalan waktu aku membacanya di ruang klub
kemarin. Ya sudahlah, nanti saja kuambil kalau sudah cukup
istirahatnya.

Aku jadi ingat kalau kalimat, Melakukan sesuatu di akhir festival,


berbeda dengan, Melakukan sesuatu saat festival telah berakhir.[1]

Lelucon yang bahkan aku sendiri tak menganggapnya lucu. Yah,


memang sebanyak itulah waktu senggang yang kupunya saat istirahat.
Walau selalu kepikiran macam-macam, sebenarnya cukup wajar bila
aku menghabiskan waktuku ini untuk diriku sendiri, makanya,
terkadang aku selalu membuat kesimpulan untuk berbagai hal.

Saat aku sudah di rumah, banyak hal yang bisa kulakukan bila
sendirian. Contohnya, aku sering beryanyi keras-keras dengan penuh
semangat. Dan ketika adikku datang, biasanya akan kualihkan seperti,
Motto! Mott— ...selamat datang. Tentu saja, aku tak pernah bernyanyi
di dalam kelas.

Sebenarnya aku pun sering memikirkan banyak hal. Bisa dibilang,


para penyendiri itu ahli dalam pemikiran. Seperti yang kita tahu,
manusia itu makhluk berakal, dan setiap manusia pasti akan berpikir.
Namun di antara mereka, ada para penyendiri yang tak mau
membuang waktunya untuk memikirkan manusia lain, sehingga
pemikiran yang mereka miliki secara alami menjadi kian mendalam
dan lebih ilmiah.

Alhasil, para penyendiri punya pola pikir yang sangat berbeda


dibanding manusia lain. Karenanya, di saat tertentu, para penyendiri
kerap melontarkan konsep maupun gagasan yang berada di luar nalar
manusia biasa.

Sulit untuk menyampaikan banyaknya informasi dengan keterbatasan


komunikasi verbal yang dimiliki oleh para penyendiri. Fenomena
tersebut mirip dengan sistem operasi sebuah komputer.

Butuh cukup waktu dalam mengunggah sejumlah besar informasi


pada server untuk mengirim sebuah surel, hal yang sama juga dialami
oleh para penyendiri yang kurang pandai berkomunikasi. Seperti
itulah keadaannya. Menurutku, hanya karena lemahnya salah satu
penunjang, bukan berarti itu jadi hal buruk. Mengirim surel bukan
satu-satunya keutamaan dari sebuah komputer. Padahal masih ada
Photoshop dan Internet, ya 'kan?

Pembahasan ini kini malah berubah menjadi penilaian yang


didasarkan hanya pada salah satu faktor saja. Yah, walau aku
menggunakan perumpamaan sebuah komputer, tapi aku bukan orang
yang ahli dalam hal tersebut.

Biarpun begitu, aku ini ahli dalam memainkan game yang dianggap
sulit oleh para anak lelaki di kursi depan kelasku ini. para anak lelaki
yang kumaksud yaitu mereka yang dengan sengaja membawa PSP ke
sekolah. Kalau tidak salah, mereka itu Oda dan Tahara.

"Makanya, pakai hammer saja!"

"Enggak ah, gunlance sudah lebih dari cukup, kok."

Mereka tampak sedang bersenang-senang. Padahal aku juga


memainkan game itu, dan kalau boleh jujur, aku juga mau bergabung
bareng mereka.
Di masa lalu, para penyendiri adalah orang yang bisa memonopoli
manga, anime maupun game untuk diri mereka sendiri. namun
keadaannya sekarang, beberapa media telah berubah menjadi wadah
yang mengharuskan para penyendiri untuk berkomunikasi dengan
sesamanya.

Sayangnya, akibat tampangku yang pas-pasan ini, maka ketika


kucoba bergabung dengan mereka, aku malah dianggap resek juga
cupu. Ya sudah, mau bagaimana lagi?

Sewaktu SMP dulu, pernah kulihat ada beberapa orang yang sedang
membahas soal anime, jadi kucoba untuk ikut bergabung dalam
pembicaraan mereka, namun terlihat jelas kalau mereka langsung
bungkam ketika melihatku. Itu hal yang sungguh kejam buatku... di
saat itulah aku berhenti mencoba bergabung dalam keramaian itu.

Dan aku tak pernah menjadi lelaki yang berusaha ingin membuat
orang-orang agar mengikutsertakan diriku, karena itu justru lebih
buruk. Sewaktu kami bermain sepak bola ataupun bisbol saat
pelajaran Olahraga, dua anak lelaki yang cukup populer akan
melakukan suten untuk menentukan siapa yang hendak dipilih. Dan
aku selalu kebagian pilihan terakhir. Saat kuingat kembali diriku yang
masih berumur sepuluh tahun, saat kukenang betapa gugupnya aku
sewaktu mereka mau memilih anggota tim... hal itu hampir bisa
membuatku menangis, serius.

Aku bukanlah orang yang sering sakit-sakitan, tapi itu sebabnya aku
mulai payah dalam hal olahraga. Aku menyukai bisbol, namun aku
tak bisa menemukan orang yang mau bermain denganku... Jadi
sewaktu masih kecil, aku selalu bermain dengan tembok atau berlatih
penguasaan lapangan seorang diri. Aku benar-benar telah terbiasa
bermain bisbol sendirian; aku sempat berpura-pura ada para pemain
khayalan di lapangan ataupun di area pemukul.

Namun ada pula orang-orang di kelas ini yang pandai dalam


komunikasi semacam itu.

Contohnya, orang-orang yang kini sedang berada di deretan kursi


belakang kelas.
Ada dua anak dari Klub Sepak Bola, tiga anak dari Klub Basket, dan
tiga anak perempuan. Hanya dengan sekali lihat pada suasana hidup
di sekitar grup tersebut, cukup untuk memberi tahu kalau posisi
mereka berada di puncak pergaulan kelas. (omong-omong,
Yuigahama juga bagian dari grup itu.)

Bahkan di dalam grup tersebut, terdapat dua orang yang bersinar lebih
terang dibanding yang lainnya:

Hayato Hayama.

Itulah nama anak yang berada di pusat grup tersebut. Ia adalah


pemain andalan dari Klub Sepak Bola, sekaligus kandidat kapten tim
selanjutnya pada semester depan. Ia bukanlah seseorang yang senang
kulihat dalam waktu yang lama.

Dengan kata lain, ia lelaki tampan yang penampilannya dibuat-buat.


Mati saja sana.

"Enggak, deh, hari ini aku enggak bisa. Aku ada latihan."

"Masa enggak bisa izin sehari, sih? Hari ini double scoop di Baskin-
Robbins sedang diskon, lo~~ aku mau beli yang rasa chocolate-
cocoa."

"Bukannya dua-duanya itu cokelat? (Hehe)"

"Eh? Ya jelas beda, lah! Lagi pula, sekarang aku benar-benar lapar,
nih."

Dan anak yang meninggikan suaranya tadi adalah rekan Hayama,


Yumiko Miura.

Rambut pirangnya ditata ikal melingkar, dan bila dilihat dari caranya
berseragam yang tak beraturan hingga ke pundaknya itu, kita pasti
berpikir kalau ia bangga akan hal tersebut. Haruskah ia berdandan
seperti PSK atau semacamnya? Dan roknya begitu pendek sampai-
sampai sulit menebak maksud dari caranya berbusana.
Ia punya tubuh yang bagus juga wajah yang cantik, tapi kelakuan
konyol dan penampilan hebohnya kian menegaskan ketidaksukaanku
padanya. Atau bisa saja, aku cuma takut pada dirinya. Kita tak pernah
bisa tahu apa yang bakal ia katakan pada kita.

Namun (setidaknya dari yang kuamati) Hayama tak merasa takut


terhadap Miura, malah ia seperti seseorang yang senang diajaknya
bicara. Itu sebabnya aku tak paham akan jalan pikiran para raja dan
ratu dari lapisan pergaulan ini. Tak peduli bagaimana kita melihatnya,
perempuan itu jelas menjadi orang menyenangkan hanya sewaktu
berbicara dengan Hayama saja. Andai aku yang bicara dengannya,
bisa-bisa aku dibunuhnya dengan sekali tatap.

Yah, konon, kita tak perlu punya alasan untuk berbicara dengan orang
lain, jadi itu bukanlah masalah.

Sementara itu, Hayama dan Miura masih saja saling bersenda gurau.

"Maaf, tapi untuk hari ini aku enggak ikut dulu."

Ujar Hayama; ia tampak kembali berkumpul dengan teman-temannya.


Miura menatapnya dengan pandangan kosong. Lalu Hayama pun
melantangkan sebuah pengumuman dengan senyum yang begitu
mengembang di wajahnya.

"Soalnya, target kami tahun ini adalah Kokuritsu!"

Eh? Kokuritsu... bukannya Kunitachi? Jadi ia tak sedang membahas


Kunitachi, bagian dari Tokyo yang bisa ditempuh lewat jalur Chuuou,
tapi malah Kokuritsu? Jadi maksudnya turnamen nasional?

"Bwaha..."

Di dalam hati aku tertawa. Melihat ia bersikap sebangga itu, berpura-


pura seolah mengatakan hal keren, itu benar-benar... benar-benar...
aku tak sanggup menahannya lagi. Itu buruk sekali.

"Tapi tetap saja, Yumiko. Kalau terlalu banyak makan nanti kau
bakal menyesal."
"Asal tahu saja, sebanyak apa pun aku makan, aku enggak akan jadi
gemuk. Ahh, kurasa aku harus ke sana, terus makan yang banyak. Ya
'kan, Yui?"

"Ahh, iya, Yumiko memang punya penampilan menarik... tapi


sekarang aku sedang ada janji, jadi aku harus—"

"Dengar sendiri, 'kan? Hari ini aku mau makan yang banyaaak
sekali!"

Saat Miura mengatakannya, tawa pun meledak di sekelilingnya. Tawa


itu terdengar kosong, seperti tawa yang biasanya ditambahkan pada
acara komedi. Hanya sekadar tawa yang keras, tak lebih; aku pun
hampir bisa melihat caption bar yang terpampang hingga ke bawah
layar.

Bukannya aku mau mendengarkan pembicaraan mereka atau


semacam itu, tapi suara mereka terlalu nyaring sampai dengan mudah
bisa kudengar. Kini aku jadi ingat, baik otaku maupun riajuu, bila
bergerombol, mereka selalu bicara dengan suara keras. Aku masih
mendiami kursiku yang terletak di tengah ruangan tanpa ada orang di
sekelilingku, biarpun begitu, suara semua orang di kelas ini begitu
ramai... seolah aku ini sedang berada di pusat badai.

Hayama lalu mengembangkan senyum yang menandakan kalau ialah


pusat perhatian, yang juga disukai semua orang.

"Pokoknya sudah kuperingatkan, ya. Jangan terlalu banyak makan


sampai perutmu meledak."

"Ku-bi-lang. Tak jadi masalah, walau sebanyak apa pun makanku!


Aku enggak akan jadi gemuk. Ya 'kan, Yui?"

"Ahh, penampilan Yumiko memang mengagumkan. Kakinya pun


sungguh indah. Tapi, aku harus..."

"Ehh, masa, sih? Tapi bukankah anak yang bernama Yukinoshita itu
juga punya kaki yang memesona?"

"Ah, benar juga. Yukinon juga punya kaki yang cukup memesona..."
"..."

"...ah, eh, maksudku, jelas Yumiko yang lebih keren!"

Yuigahama segera berusaha menyelamatkan dirinya sewaktu Miura


mengerutkan alis matanya. Apa-apaan itu?! Rasanya seperti melihat
seorang ratu yang ditemani dayangnya. Namun sepertinya persetujuan
Yuigahama tadi tak terlihat cukup untuk menenangkan suasana hati
sang ratu. Miura memicingkan matanya, dan ia terlihat tak senang.

"Yah, lagi pula, menurutku itu enggak akan jadi masalah. Kalau mau
menunggu hingga usai latihan, kita bisa pergi bareng."

Mungkin Hayama sempat merasakan suasana tegang tadi, tapi dengan


mudahnya ia memotong pembicaraan itu dengan kalimat barusan.
Sang ratu lalu sumringah sambil tersenyum.

"Oke, SMS aku kalau sudah selesai, ya!"

Yuigahama diam-diam mengelus dadanya karena lega.

Huh, itu terlihat begitu menyakitkan. Apa kita sedang kembali ke


abad pertengahan atau semacamnya? Jika kita memang harus
berusaha sekeras itu agar punya kehidupan pergaulan yang baik, maka
aku lebih memilih hidup menyendiri, jadi terima kasih.

Kemudian, Yuigahama dan aku saling bertatap mata. Saat ia


melihatku, Yuigahama tampak seolah sudah membulatkan tekad, ia
pun lalu menarik napas dalam-dalam.

"Eng... aku... aku harus pergi makan siang, jadi..."

"Oh, ya? Kalau begitu sekalian titip belikan aku teh lemon saat kau
kembali nanti, ya. Aku benar-benar lupa bawa minum hari ini. Kau
tahu sendiri, 'kan? Bekal yang kubawa itu roti, jadi sulit kalau enggak
dibarengi sama minum teh."

"A-ah, ta-tapi aku mungkin enggak bisa kembali sampai jam kelima,
jadi bisa-bisa jam makan siangnya sudah selesai, dan juga, eng... kau
tahu, lah..."
Saat Yuigahama mengatakannya, wajah Miura pun langsung
menegang.

Miura tampak seperti habis digigit oleh salah satu peliharaanya


sendiri. Mungkin selama ini Yuigahama tak pernah sekalipun
membantah ucapan Miura, namun baru hari ini ia tak memerhatikan
apa yang Miura ucapkan.

"Eh? Tunggu, tunggu, ada apa ini? Kau sadar, enggak, Yui?
Belakangan ini kau sering sekali telat pulang. Entah hanya perasaanku
atau kau sepertinya enggak mau lagi kumpul-kumpul bareng kita?"

"Ah, yah, soalnya, eng... aku masih ada urusan dan yah, urusan
pribadi juga, sih, jadinya, aku benar-benar minta maaf, tapi, eng..."

Yuigahama jadi benar-benar kebingungan saat berusaha


menanggapinya. Ya ampun, memangnya ia karyawan yang habis
dicecar pertanyaan oleh bosnya, apa?

Meski begitu, tanggapan Yuigahama tadi sepertinya punya efek yang


sebaliknya. Dan Miura pun mengetuk-ngetuk kukunya ke meja
dengan gaya yang menjengkelkan.

Dalam emosi tiba-tiba sang ratu, seisi kelas langsung jatuh dalam
keheningan. Bahkan Oda dan Tahara (atau siapalah namanya)
mengecilkan suara PSP-nya hingga di volume terendah. Hayama
beserta komplotan lainnya dengan canggung menundukkan
pandangan matanya ke lantai.

Yang terdengar hanyalah suara menggema dari kuku-kuku Miura


yang mengetuk-ngetuk di atas mejanya.

"Yah, mana mungkin aku tahu soal urusanmu itu, ya 'kan? Kalau ada
yang ingin kausampaikan, katakan saja. Kita ini teman, 'kan? Kau
juga tahu sendiri, menyembunyikan sesuatu dari teman itu enggak
baik. Aku benar, 'kan?"

Yuigahama segera menundukkan kepalanya.


Kata-kata Miura terlontar begitu saja dan apa adanya. Pada
kenyataannya, ucapannya tadi tampak hanya ingin mempertegas arti
persahabatan di antara dirinya dan Yuigahama. Mereka memang
berteman, mereka memang bersahabat, jadi mereka boleh saling
berbagi apa pun sesuka mereka. Tepatnya, itulah yang Miura
maksudkan. Namun di balik kata-katanya barusan juga tersirat makna,
Jika kau enggak mau berbagi denganku, berarti kita bukan teman.
Melainkan, musuh. Ini merupakan Inkuisisi Spanyol yang terulang
kembali.

"Maaf..."

Yuigahama masih menundukkan kepalanya sambil takut-takut


memohon maaf.

"Bukan, bukan, bukan itu yang mau kudengar. Ada sesuatu yang tadi
mau kausampaikan padaku, 'kan?"

Tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa berkata apa-apa saat
dihadapkan pada pernyataan tersebut. Miura tak punya niat untuk
mengobrol, bahkan ia tak mengajukan satu pun pertanyaan. Ia hanya
ingin Yuigahama meminta maaf kemudian menyerang perempuan itu.

Tindakan yang sangat konyol. Jika ia mau saling bunuh seperti itu,
setidaknya lakukan sewaktu tak ada orang.

Aku kembali menghadap ke depan, dan mulai memakan rotiku


sembari mengutak-utik telepon genggamku. Aku mengunyah sedikit
roti, kemudian kuteguk minumanku. Tapi entah kenapa... serasa ada
yang mengganjal di kerongkonganku, dan itu bukanlah roti.

...memangnya ada apa, sih?

Jam makan siang harusnya jadi waktu yang menyenangkan.


Memikirkannya malah seperti tokoh yang ada di manga Kodoku no
Gourmet.

Jangan salah sangka. tak sedikit pun aku berniat menolong perempuan
itu. Tapi ketika perempuan yang kita kenal hampir mau menangis di
hadapan kita, itu bisa membuat perut teraduk-aduk dan selera makan
langsung hilang. Aku hanya ingin menikmati makan siangku...

Dan juga, diserang seperti itu adalah hakku. Aku tak bisa begitu saja
menyerahkan hakku pada orang lain.

Ah, dan satu hal lagi.

...aku benar-benar tak suka perempuan bispak itu.

Kursiku berderak, lalu dengan gagahnya aku bangkit dari kursiku.

"Hei, kau—"

"Berisik!"

—hentikan. Itulah yang mau kuucapkan. Tapi sebelum aku sempat


mengatakannya, Miura sudah memancarkan tatapan iblis ke arahku.

"...tahu, tidak, kapan hujannya berhenti? Ka-kalau saja tadi aku bawa
payung, ya, hahaha."

Ya Tuhan! Memangnya ia ular anaconda, apa?! Aku terpaksa


menoleh ke belakang hanya untuk meminta maaf saja!

Aku pun kembali duduk karena depresi. Miura tampak sudah


melupakan keberadaanku dan berlanjut memandang rendah kepada
sosok Yuigahama yang telah berkecil hati.

"Asal kautahu, aku berkata begini itu demi kau, Yui. Tapi sikap plin-
planmu itu benar-benar membuatku kesal."

Ia bilang itu semua demi Yuigahama, tapi ujung-ujungnya itu justru


soal perasaan Miura semata. Kalimat yang diucapkannya tadi malah
bertentangan dengan dirinya sendiri. Tapi Miura tak merasa kalau ini
adalah hal yang bertentangan. Karena ia adalah ratu dari grup ini. Dan
di dalam sistem feodal seperti ini, sang penguasa punya kekuasaan
mutlak.

"...maaf."
"Begitu lagi?"

Dalam emosi yang bercampur antara marah dan pasrah, Miura


menghela panjang napasnya. Hal yang begitu saja sudah cukup untuk
membuat Yuigahama semakin berkecil hati.

Duh, sudahlah, hentikan saja. Apa ia tak begitu peduli dengan orang-
orang yang menonton kejadian ini? Aku tak tahan lagi dengan
suasana penindasan ini. Bisakah ia berhenti membuat orang-orang
terpaksa menonton drama remaja yang dimainkannya ini?

Sekali lagi kuhimpun sedikit keberanian yang kupunya. Maksudku,


bukan berarti mereka bisa tambah membenciku. Aku bisa menghadapi
pertarungan ini tanpa risiko apa pun, jadi ini bukanlah situasi yang
buruk bagiku.

Sewaktu aku berdiri dan menghadap ke belakang kelas, Yuigahama


melihatku dengan mata berkaca-kaca. Dan seolah ia menunggu waktu
yang tepat, Miura lalu bicara dengan dinginnya.

"Hei, Yui, kau sedang lihat ke mana? Kau tahu, dari tadi yang
kaulakukan itu cuma meminta maaf saja."

"Ia bukan orang yang pantas kaumintakan maaf, Yuigahama."


Suara yang menggema di seisi ruangan itu bahkan lebih dingin dan
kejam dibanding suara Miura sebelumnya. Semua yang
mendengarnya pun gemetar ketakutan. Suara itu bagai badai yang
berhembus dari Kutub Utara, sekaligus begitu indah layaknya aurora.

Perempuan itu berdiri di sudut kelas, di depan pintu masuk, meski


begitu, tatapan semua orang langsung tetuju ke dirinya seakan ia
adalah pusat dari seluruh dunia.

Tak ada seorang pun di planet ini yang mampu bersuara seperti itu
selain Yukino Yukinoshita.

Mendadak jadi lumpuh, kusadari diriku sudah dalam posisi setengah


berdiri. Dibandingkan dengan hal tadi, upaya intimidasi Miura
sebelumnya tampak seperti permainan anak kecil saja. Lagi pula,
kalau Yukinoshita yang jadi lawannya, kesempatan untuk merasa
takut saja kita takkan punya. Itu sudah di luar dari rasa takut, pada
intinya, yang tertinggal hanyalah perasaan kalau kita baru saja melihat
sesuatu yang begitu indah.

Kemudian, semua anak di kelas pun langsung terkesima pada


perempuan itu. Di satu sisi, suara ketukan kuku Miura pada meja
bahkan menghilang, dan ruang kelas pun jadi sunyi senyap. Tapi
sesegeranya, suara Yukinoshita mulai memecah keheningan yang ada.

"Yuigahama. Kau sungguh terlalu, menyuruhku untuk menunggumu


di suatu tempat dan hingga sekarang belum kunjung datang di waktu
yang dijanjikan. Bukankah paling tidak kau mengirim pesan padaku
terlebih dahulu bahwa kau akan telat?"

Mendegar itu, Yuigahama jadi tampak lega dan tersenyum. Ia mulai


menuju ke arah Yukinoshita.

"...ma-maaf. tapi, eng, sebenarnya aku enggak punya nomor ponsel-


mu..."

"...begitukah? Kurasa kau benar. Baiklah, aku tak sepenuhnya


menyalahkanmu di sini. Kali ini kumaklumi saja."
Yukinoshita sepertinya tak peduli dengan yang sedang terjadi di sini,
dan terus saja berbicara sesuka hatinya. Rasanya sedikit melegakan
melihat ia dengan santainya beranjak pergi.

"Tu-tungu dulu! Kami ini sedang bicara!"

Miura tampak telah lepas dari kelumpuhannya, dan mengarahkan


kegeramannya pada Yukinoshita dan Yuigahama.

Sang Ratu Api naik pitam, dan kobaran apinya semakin memanas.

"Ada apa? Aku tak punya banyak waktu untuk meladenimu. Aku
masih belum menikmati makan siangku."

"Ha-hah? Kau sendiri yang tiba-tiba muncul, tapi malah enggak sadar
dengan ucapanmu? Aku ini sedang bicara dengan Yui!"

"Bicara? Bukankah yang kaulakukan tadi hanya membentak? Itukah


yang kaumaksud dengan bicara? Yang tampak bagiku, kau hanyalah
berusaha membuat dirinya ketakutan dan memaksakan pendapatmu
secara sepihak padanya."

"Ap—?!"

"Maaf, aku tak menyadari sebelumnya. Kuakui kalau aku tak begitu
paham mengenai cara hidupmu, jadi jangan salahkan aku jika yang
kaulakukan tadi kuanggap sama seperti primata yang berusaha
mengintimidasi sesamanya."

Bahkan Sang Ratu Api pun membeku di hadapan Sang Ratu Es.

"Ooo..."

Miura menatap ke arah Yukinoshita, kemarahannya sudah tampak


jelas terlihat. Yukinoshita sendiri justru mengalihkan pandangannya
seolah tak peduli.

"Kau boleh mengeluh sesukamu dan bertingkah layaknya sang


penguasa istana, tapi tolong lakukan itu di ranah pribadimu sendiri.
Karena jika tidak, maka drama murahanmu itu akan hancur seiring
memudarnya riasan di wajahmu."

"...eh, kau ini bicara apa? Aku sama sekali enggak paham."

Berbicara layaknya orang yang tak mau dianggap kalah, akhirnya


Miura pun langsung kembali duduk di kursinya. Rambut ikal
melingkarnya berayun-ayun sewaktu ia mulai menggebu-gebu
mengetik di ponsel-nya.

Tak seorang pun mencoba bicara pada gadis itu dalam suasana seperti
ini. Bahkan Hayama sekalipun yang biasanya pandai dalam menjaga
suasana, hanya bisa menguap seolah berusaha membuyarkan
kecanggungan yang ada.

Dan setelah kejadian itu berakhir, Yuigahama masih berdiri terpaku.


Ia cengkeram erat keliman roknya dan seakan sedang ingin
mengucapkan sesuatu. Yukinoshita mungkin sudah mengira maksud
dari Yuigahama itu, karenanya, ia pun mulai beranjak pergi dari ruang
kelas,

"Aku pergi dulu."

"Nan-nanti aku menyusul..."

"...lakukan apa yang mau kaulakukan."

"Baik."

Mendengarnya, Yuigahama lalu tersenyum. Namun cuma ia seorang


saja yang tersenyum.

Hei, hei. Suasana macam apa ini... situasi begini benar-benar terasa
tak nyaman, dan rasanya sesak kalau berlama-lama di sini. Dan tanpa
kusadari, lebih dari separuh teman sekelasku sudah mulai pergi dari
ruangan ini, dengan alasan kalau mereka haus atau sedang ingin ke
kamar kecil. Yang masih tersisa hanyalah Hayama, Miura dan
grupnya, serta beberapa anak yang masih diliputi rasa penasaran.
Kurasa aku harus mengambil kesempatan ini untuk mengikuti arus
besar yang menuju pintu keluar! Serius, andai suasana di sini menjadi
tambah kelam, bisa-bisa aku akan kehabisan napas kemudian mati.

Setenang mungkin aku mulai berjalan ke arah pintu dan berpapasan


dengan Yuigahama. Dan di saat itu juga kudengar sebuah bisikan
kecil.

"Terima kasih, sudah mau berdiri demi aku."

— II —

Ketika kutinggalkan ruang kelas, kulihat ada Yukinoshita di luar. Ia


telah bersadar di tembok dekat pintu, melipat tangannya, dan
memejamkan matanya. Mungkin dikarenakan aura teramat dingin
yang dipancarkannya, hingga tak ada seorang pun berada di
sekitarnya. Rasanya sunyi sekali.

Karenanya, aku dapat mendengar pembicaraan yang tengah


berlangsung di ruang kelas.

[...eng, maaf. Kau tahu, aku jadi agak resah sewaktu enggak bisa
mendekatkan diri sama orang lain... yah, anggap saja kalau aku selalu
merasa was-was... mungkin kau jadi jengkel karena hal itu.]

[...]

[Eng... bagaimana bilangnya, ya? Aku memang selalu begitu. Bahkan


dulu sewaktu aku dan teman-temanku bermain pura-pura jadi
Ojamajo, aku ingin dapat peran Doremi atau Onpu, tapi anak lain juga
menginginkannya, ujung-ujungnya aku malah dapat peran Hazuki...
mungkin karena aku dibesarkan di komplek apartemen yang dipenuhi
banyak penghuni, jadinya kupikir itulah sikap yang paling tepat...][2]

[Aku enggak paham kau bicara apa.]


[Ya-yah, begitulah, haha. Aku juga enggak begitu paham apa yang
sedang kubicarakan... hanya saja, ketika aku melihat Hikki dan
Yukinon, aku jadi menyadari sesuatu. Enggak ada seorang pun yang
dekat dengan mereka, tapi mereka masih bisa bersenang-senang...
mereka mengutarakan pemikiran masing-masing, dan anehnya, meski
sering berselisih paham, mereka tampak cocok.]

Sesekali bisa kudengar suara mirip isakan dari dalam kelas. Setiap
kali itu terdengar, bisa kulihat bahu Yukinoshita tersentak. Ia buka
sedikit kelopak matanya dan berusaha mengetahui keadaan kelas
hanya dengan melihat saja. Sungguh konyol, apanya yang bisa dilihat
kalau dari sana? Jika ia memang cemas, ya masuk saja ke dalam.
Perempuan ini sungguh tak jujur akan perasaannya sendiri, dasar...

[Setelah melihat hal itu, aku mulai berpikir kalau usahaku untuk
selalu berusaha mendekatkan diri dengan semua orang itu ternyata
salah... maksudku, Hikki tetaplah seorang Hikki. Sewaktu istirahat ia
habiskan waktunya untuk membaca sambil terkikih-kikih... memang
menjijikkan sih, tapi ia terlihat menikmatinya.]

Menjijikkan, katanya... dan saat Yukinoshita mendengarnya, ia


langsung cekikikan.

"Kupikir hanya di ruang klub saja kau berkelakuan aneh begitu, tapi
rupanya di ruang kelasmu pun kau tetap sama. Sungguh perilaku yang
menjijikkan, sebaiknya kau hentikan itu."

"Kalau kau memang menyadarinya, ya beri tahu aku, dong..."

"Mana mungkin aku mau. Siapa pula yang sudi menegurmu saat kau
bersikap semenjijikkan itu?"

Kucoba untuk lebih berhati-hati mulai dari sekarang. Aku takkan


membaca 'light novel' bersama 'sang dewi iblis' lagi di sekolah.

[Jadi kupikir, mungkin aku enggak mesti berusaha sekeras itu dan
lebih santai menghadapinya... atau semacam itu, lah. Bukan berarti
aku membencimu, Yumiko. Setelah ini... kita masih bisa... akrab lagi,
'kan?]
[...hmm. Ya, sudah. Terserah saja. Aku juga enggak masalah.]

Kudengar suara Miuna menutup ponsel-nya.

[...sekali lagi maaf. Terima kasih.]

Dengan berakhirnya hal itu, pembicaraan di dalam ruang kelas lalu


terhenti, dan kudengar suara ketukan sepatu Yuigahama yang berjalan
mendekati kami. Seakan itu sebuah sinyal, Yukino pun berhenti
bersandar dan menegakkan badannya.

"...apa kubilang. Kau mampu melakukannya, 'kan?"

Untuk sesaat, aku sempat terkejut oleh sekilas senyuman yang


tersungging di wajah Yukinoshita.

Itu memang sebuah senyuman, tulus dan sederhana, tanpa


menyiratkan ejekan, sarkasme ataupun penyesalan.

Meski begitu, senyuman itu segera sirna, dan ekspresi Yukinoshita


kembali seperti sedia kala, ekspresi yang dingin. Sewaktu kupandangi
senyumannya, Yukinoshita pun segera berjalan dan beranjak ke sisi
lain ujung lorong, tanpa memerhatikanku sama sekali. Mungkin ia
hendak menuju ke tempat yang ia janjikan bersama Yuigahama.

...baiklah, apa yang harus kulakukan di sini? Aku mulai berjalan


menjauh, tapi di saat bersamaan, pintu ruang kelas pun terbuka.

"Eh? Ko-kok Hikki bisa ada di sini?"

Tubuhku jadi benar-benar membeku, tapi aku masih bisa mengangkat


tangan kananku sambil memberinya salam dengan harapan supaya
bisa kabur dari situasi ini. Saat menatap Yuigahama, kulihat semakin
lama wajahnya semakin memerah.

"Kau mendengarnya, ya?"

"De-dengar apa, ya...?"

"Kau tadi mendengarnya, 'kan? Kau tadi menguping, 'kan?!


Menjijikkan! Penguntit! Maniak! Eng, eng... sangat menjijikkan!
Enggak kusangka! Benar-benar menjijikkan. Kau memang... sangat
menjijikkan."

"Tunggu sebentar! Biar kujelaskan!"

Maksudku, aku yang begini pun bisa merasa sedih kalau dihujani
cacian sebanyak itu. Dan tak perlu ia tegaskan bagian terakhirnya itu
dengan wajah serius. Sial... rasanya kini aku benar-benar terluka.

"Huh... sudah telat penjelasannya. Memangnya kaupikir ini salah


siapa? Dasar bodoh."

Yuigahama lalu menjulurkan lidahnya yang berwarna sakura itu di


depanku, dan ia segera berlari setelah memprovokasiku dengan sikap
menggemaskannya itu. Memangnya ia anak SD, apa? Jangan lari-lari
di lorong.

"Salah siapa... itu salah Yukinoshita, 'kan?"

Aku jadi berbicara sendiri. Aku memang sendirian, jadi itu hal yang
wajar.

Saat kuperhatikan jam yang menempel dinding, kulihat hanya sedikit


saja waktu istirahat yang masih tersisa. Jam makan siang yang begitu
mendahagakan itu baru saja berakhir. Mungkin aku harus membeli
Sportop untuk menghilangkan dahaga ini, baik yang ada di
kerongkonganku maupun di hatiku.

Sewaktu aku menuju ke mesin penjual minuman, tiba-tiba saja


terlintas sesuatu

Otaku punya komunitasnya sendiri, jadi mereka bukanlah penyendiri.

Dan untuk menjadi seorang riajuu, kita harus selalu peka terhadap
jenjang sosial dan pemilahan kekuasaan, karenanya, hal tersebut
sangatlah sulit.

Jadi pada akhirnya, akulah satu-satunya yang tetap sendiri. Tak


perlulah Bu Hiratsuka mengisolasi diriku, karena sebenarnya, aku pun
sudah terisolasi di kelasku sendiri. Maka dari itu, tak ada gunanya
pula sampai capek-capek mengisolasiku di Klub Layanan Sosial.

...kesimpulan yang begitu mengecewakan. Kenyataan memang terlalu


kejam.

Satu-satunya yang terasa manis dalam hidupku hanyalah rasa dari


Sportop ini.
Catatan Penerjemah

 Dalam LN aslinya Hachiman membandingkan antara kalimat 後の祭り, ato no matsuri dengan
祭りの後, matsuri no ato, yang merupakan sebuah ungkapan, yang jika dalam Bahasa Indonesia mirip
seperti ungkapan 'nasi sudah menjadi bubur', yang menandakan sesuatu yang sudah terlambat.
 Mengacu pada serial Ojamajo Doremi.
BAB 5

Intinya, Yoshiteru Zaimokuza itu Agak Gila

Mungkin agak telat mengatakan hal ini, tapi yang kutahu, Klub
Layanan Sosial punya peran untuk mendengarkan masalah para murid
dan berusaha membantu mereka.

Kalau aku tak sesekali mengingatkan diriku sendiri mengenai hal


tersebut, aku bisa benar-benar lupa klub apa sebenarnya ini. Yang
biasanya aku dan Yukinoshita lakukan hanyalah membaca buku saja.
Sedangkan Yuigahama, masih saja bermain dengan ponsel-nya.

"Hm... ah, untuk apa kau kemari lagi?"

Perempuan itu begitu cepat membaur hingga kami tak pernah


mempertanyakan keberadaannya, tapi itu tak serta-merta menjadikan
Yuigahama sebagai anggota Klub Layanan Sosial. Sebenarnya, aku
sendiri tak cukup yakin kalau aku juga anggota klub ini. Apa aku
memang bagian dari klub ini, ya? Padahal aku ingin sekali keluar dari
sini...

"Eh? Ah, soalnya aku lagi punya banyak waktu senggang 'gitu, lo."

" 'gitu, lo? Aku tak paham yang kaukatakan. Lagi pula, apa-apaan
itu? Memangnya kau ini orang Hiroshima, apa?"

"Eh? Hiroshima? Aku ini orang Chiba, kok."

Yah, pada kenyataannya, orang-orang yang memakai dialek


Hiroshima selalu menambahkan 'gitu, lo di setiap akhir ucapannya,
namun ketika hal ini kubahas ke orang lain, mereka justru tampak
terkejut. Aku punya gambaran buruk di otakku mengenai cara bicara
orang-orang Hiroshima, tapi lain cerita kalau perempuan yang
berbicara dengan logat seperti itu, mereka malah terdengar
menggemaskan. Faktanya, logat Hiroshima ada di jajaran sepuluh
besar logat yang kuanggap paling menggemaskan.

"Huh. Hanya karena kau lahir di Chiba, bukan berarti bisa seenaknya
saja mengaku kalau kau orang Chiba."
"Hei, Hikigaya. Aku sungguh tak mengerti apa maksudmu tadi..."

Yukinoshita menatapku dengan begitu sinis. Tapi aku tak


menghiraukannya.

"Baiklah, Yuigahama. Pertanyaan pertama. Apa nama serangga hitam


yang akan menggelinding seperti bola jika kau menyentuhnya?"

"Kutu kayu!"

"Hmm... kau benar. Ternyata kau juga mengerti logat Chiba...


baiklah, lanjut ke pertanyaan kedua. Jika kau boleh memilih makanan
lain sebagai pendamping makan siangmu, kau akan memilih apa?"

"Miso kedelai!"

"Hmm... mungkin kau memang benar-benar orang Chiba..."

"Aku sudah bilang dari tadi 'gitu, lo."

Yuigahama meletakkan tangannya di atas paha dan menatapku sambil


memiringkan kepalanya, seakan ingin berkata, Anak ini kenapa, ya?
Yukinoshita duduk di sebelahnya sambil menyandarkan sikunya
sekaligus meletakkan tangannya ke dahi. Ia lalu mengela napas
panjang.

"...eng, kenapa tiba-tiba menanyakan itu? Memangnya kalau aku


jawab, aku dapat poin, ya?"

Jelas itu tak ada poinnya.

"Anggap saja ini Ultra Quiz Lintas Prefektur Chiba. Yang


kumaksud Lintas itu, mulai dari Matsudo hingga ke Choushi."[1]

"Kalau hanya dari situ sampai ke situ saja, bukan Chiba namanya!"

"Kalau begitu, anggap saja dari Sawara ke Tateyama."[2]

"Jadi kini diukurnya dari wilayah utara hingga ke selatan..."


...dua anak ini... padahal awalnya dari nama kota saja, tapi kenapa
malah dipersoalkan begini? Apa sebegitu sukanya mereka dengan
Kota Chiba?

"Baiklah, pertanyaan ketiga. Jika kau berpergian lewat Jalur


Sotoubou menuju Toke, maka, apa nama dari hewan langka yang bisa
tiba-tiba menampakkan dirinya di sekitar daerah itu?"

"Ah, Yukinon, bicara soal Matsudou, kudengar banyak kedai ramen


di daerah sana, lo. Kapan-kapan ke sana, yuk?"

"Ramen... aku tak begitu sering memakan ramen, jadi aku kurang
begitu tahu..."

"Enggak masalah, kok! Aku juga jarang makan ramen!"

"...eh? Lalu kenapa tadi kau menyarankannya? Tolong jelaskan dulu


maksudmu itu?"

"Hmm, lagi pula, apa hubungannya dengan Matsudou...? Memang


benar, di sana ada kedai bernama Nantoka. Kata orang, ramen yang
dijual di sana rasanya enak..."

"Kalian ini dengar yang tadi kutanyakan, enggak, sih?"

"Hmm? Dengar, kok. Ah, tapi di sekitar sini juga ada beberapa kedai
yang mantap, lo. Soalnya di sini itu dekat sama rumahku, makanya
aku mengerti betul daerah ini. Rumahku jaraknya kira-kira lima menit
dari sini. Aku juga sering melihat ada beberapa kedai sewaktu jalan-
jalan sama anjingku."

...jawaban yang benar adalah burung unta. Kalau kita berpergian


menggunakan kereta dan tiba-tiba melihat ada burung unta di luar
jendela, kurasa kita akan lebih merasa terkesan ketimbang terkejut.

Cih.

Kubiarkan saja dua perempuan tersebut larut dalam obrolan ramen


yang sudah salah kaprah tadi, dan kembali kubaca bukuku.
Padahal ada tiga orang di ruangan ini, tapi masih saja aku merasa
sendiri. Apa-apaan itu?

Biarpun begitu, bagiku menghabiskan waktu seperti ini membuatku


merasa seperti anak SMA pada umumnya. Dibandingkan anak-anak
SMP, anak-anak SMA lebih punya kebebasan dalam melakukan
sesuatu, hingga mereka cenderung tertarik dalam hal gaya maupun
kuliner. Jadi obrolan soal ramen ini serasa seperti obrolan anak SMA
banget.

...meski kuakui, pada umumnya anak-anak SMA tak melakukan hal


semacam Ultra Quiz Lintas Prefektur Chiba.

— II —

Keesokan harinya, ketika menuju ke ruang klub, aku terkejut melihat


Yukinoshita dan Yuigahama sedang berdiri menghadap ke arah pintu.
Aku jadi penasaran apa yang sedang mereka lakukan. Saat aku
mengira-ngira alasannya, ternyata pintu itu sedikit terbuka dan
mereka sedang mengintip ke dalam.

"Kalian sedang apa?"

"Hyaaah!"

Terdengarlah jeritan menggemaskan itu, dan di saat bersamaan dua


perempuan tersebut melompat kaget.

"Hikigaya... kau membuatku kaget..."

"Akulah yang harusnya kaget..."

Reaksi macam apa itu? Itu mengingatkanku tentang hal yang bakal
terjadi kalau aku menjumpai kucing peliharaanku di ruang tamu saat
tengah malam.

"Bisakah kau agar tidak tiba-tiba memanggil kami seperti itu?"


Tatapan jengkel Yukinoshita yang ditujukan padaku itu pun kian
mengingatkanku akan kucing peliharaanku. Kini aku jadi terpikir,
kucing tersebut begitu ramah terhadap semua orang di keluargaku
terkecuali aku. Itu juga salah satu hal dari diri Yukinoshita yang
mengingatkanku pada hewan tersebut.

"Iya, iya, maaf. Jadi, kalian ini sedang apa?"

Yuigahama sekali lagi menggeser pintu ruangan klub dan diam-diam


mengintip ke dalam. Ia orang yang menjawabku ketika kusodorkan
pertanyaan tadi.

"Di dalam ada orang yang mencurigakan."

"Yang mencurigakan itu malah kalian berdua."

"Cukup sampai di situ. Bisakah kau berbaik hati masuk ke dalam dan
menanyakan siapa dirinya?"

Yukinoshita menyuruhku dengan wajah tersinggung.

Kulakukan saja apa yang sudah diminta, berdiri di depan kedua gadis
tersebut dan dengan hati-hati membuka pintu. Aku lalu melangkah
masuk.

Yang menanti kami adalah hembusan angin.

Sewaktu aku membuka pintu, semilir angin melewati kami. Itu adalah
ciri khas angin dari sekolah yang dibangun di daerah sekitar laut, dan
angin tersebut membuat pusaran di sekeliling ruang klub,
menghamburkan kertas-kertas.

Pemandangan itu mengingatkanku akan sebuah trik sulap di mana


merpati-merpati putih keluar dari topi sang pesulap. Dan di tengah-
tengah hal tersebut, berdirilah sosok seseorang.

"Ku ku ku, sungguh tak disangka kita akan bertemu di tempat seperti
ini. Telah lama aku menantimu, Hachiman Hikigaya."

"Ka-kau ini bicara apa?!"


Ia sudah menantikan diriku, dan ia masih saja tak menyangkanya...?
Maksudnya itu apa, sih? Harusnya yang tak menyangka bakal ada
kejadian begini itu aku.

Kupaksa berjalan melewati pusaran kertas-kertas agar bisa melihat


jelas siapa lawan bicaraku.

Dan pada akhirnya, sosok tersebut ternyata... oh, tidak, lupakan saja.
Aku tak punya urusan dengan Yoshiteru Zaimokuza.

Terserah, deh, aku memang tak punya urusan dengan kebanyakan


orang di sekolah ini. Tapi di antara mereka, anak ini adalah orang
yang benar-benar tak ada urusannya denganku. Maksudku, lihat saja
dirinya. Padahal tak sedang di musim panas, tapi ia malah berkeringat
karena memakai mantel dan sarung tangan fingerless-nya.

Meski mengenalnya, aku akan berpura-pura saja kalau tidak tahu.

"Hikigaya, sepertinya anak yang di sana itu mengenalmu..."

Yukinoshita sudah bersembunyi di belakangku, dan bolak-balik


memandang curiga pada diriku serta anak yang di sana itu.
Zaimokuza meringkuk sesaat di hadapan tatapan menyindir
perempuan tersebut, tapi ia segera kembali mengarahkan
pandangannya padaku, menyilangkan lengannya dan sekali lagi mulai
tertawa dengan suara rendah.

Dengan gerakan yang dilebih-lebihkan, ia mulai mengangkat bahu


dan perlahan menggelengkan kepalanya.

"Sungguh kejam... kau sampai bisa melupakan rekan lamamu,


Hachiman."

"Barusan ia menyebutmu rekan lama..."

Yuigahama menatapku dingin. Tatapannya seakan ingin berkata, Mati


saja kau sana, Sampah!
"Itu sudah jelas, Rekan Lama. Kau masih mengingatnya, bukan?
Bagaimana saat kita dengan gagah berani menghadapi masa-masa
mengerikan itu bersama..."

"Orang-orang membuat kami berpasangan saat pelajaran Senam. Itu


saja..."

Aku sudah tak tahan lagi hingga melontarkan bantahan tersebut, yang
membuat Zaimokuza sampai menyengir.

"Hem... kejamnya sistem pilah-pilih tak lain hanyalah sebuah neraka.


Mereka bilang kita boleh berpasangan dengan siapa pun sesuka kita.
Ku ku ku, seolah aku punya hasrat untuk menjalani pertemanan
dengan raga fana ini! ...seolah aku pernah berniat mengalami
perpisahan yang akan menyakiti raga tersebut! Jika itu adalah cinta,
maka aku tak membutuhkannya!"

Ia memandang jauh ke arah luar jendela. Pasti ada semacam bayangan


seorang tuan putri yang jelita yang melayang-layang di langit kosong
di sana. Atau mungkin saja semua orang sudah terlalu menggemari
seri Hokuto no Ken.

Yah, karena sudah sejauh ini, kita mungkin bisa bilang kalau anak ini
begitu menggebu-gebu. Kita mungkin bisa bilang kalau ia adalah
salah satu dari orang-orang itu.

"Kau mau apa, Zaimokuza?"

"Heng... rupanya kau sudah menyebut nama yang terukir di jiwaku


ini. Betul sekali, akulah sang jenderal ahli pedang, Yoshiteru
Zaimokuza."

Dengan mencolok ia kibarkan mantelnya, sambil memasang ekspresi


heroik di wajah tambunnya sewaktu memandang balik ke arah kami.
Tampaknya ia sudah terlalu menghayati peran jendral ahli pedang
ciptaannya itu.

Hanya dengan melihatnya sudah membuat sakit kepalaku.


Atau bisa kubilang, hatikulah yang sebenarnya terasa sakit. Yang
lebih penting lagi, tatapan yang datangnya dari Yukinoshita dan
Yuigahama kepadaku ini justru terasa lebih menyakitkan.

"Hei... sebenarnya yang tadi itu maksudnya apa?"

Terlihat jelas kalau Yuigahama sedang merasa terganggu... atau bisa


kubilang merasa jengkel... dan ia mengarahkan pandangannya ke
arahku. Benar-benar, deh, maksudnya itu apa, sampai ia memandang
ke arahku segala?

"Nama anak ini Yoshiteru Zaimokuza... kami dulu pernah jadi rekan
saat senam."

Sebenarnya, cuma sampai di situ saja, sih. Hubunganku dengan


Zaimokuza tak pernah lebih dari itu... meski, tak sepenuhnya salah
jika berkata, kalau kami pernah jadi rekan yang sama-sama tak
dibolehkan menjalani hidup damai selama masa-masa mengerikan itu.

Rasanya memang seperti di neraka saat disuruh memilih siapa


pasangan kita. Serius.

Zaimokuza juga merasakan perih yang sama dan ia pun mengerti


betapa mengerikannya masa-masa itu.

Semenjak pertama kali mengikuti pelajaran Senam di mana


Zaimokuza dan diriku berpasangan dikarenakan hanya kami saja yang
tak dipilih, kami selalu bersama-sama. Sejujurnya, aku sangat ingin
menjual pengidap chuunibyou tambun ini ke salah satu tim lain, tapi
itu tak bisa kulakukan, jadi aku pun menyerah. Aku juga pernah
menyatakan diriku ini sebagai agen lepas, namun sayang, jika ada
orang yang mau menggunakan jasaku, orang tersebut takkan mampu
menyewaku karena mahalnya upahku. Baiklah, kuakui kalau yang
tadi itu bohong, alasan sebenarnya hanya karena aku dan Zaimokuza
saja yang tak punya teman.

Selagi Yukinoshita memerhatikan penjelasanku, ia memandang


bolak-balik ke arahku dan ke arah Zaimokuza. Setelahnya, ia pun
terlihat puas seraya mengangguk.
"Orang sejenis pasti saling berkumpul, ya 'kan?"

Tentu saja ia langsung memberi kesimpulan yang sangat kejam.

"Dasar bodoh, jangan hubung-hubungkan aku dengannya. Aku tak


sampai setersesat itu. Dan yang pasti, kami ini bukan teman, sialan."

"Hmm... aku pun harus bilang setuju. Betul sekali, aku memang tak
punya teman... aku memang sendirian. (hik)"

Zaimokuza berbicara dengan nada tersedu yang dibuat-buat. Eh, tapi,


ia sudah kembali lagi ke ekspresinya yang biasa.

"Yah, kurasa itu bukan masalah. Lagi pula, kelihatannya ada sesuatu
yang temanmu inginkan darimu."

Mendengar Yukinoshita berkata begitu hampir membuatku terharu.


Semenjak SMP, tak pernah aku seterharu ini sewaktu mendengar kata
teman...

Tak pernah aku seterharu ini semenjak Kaori mengatakannya sewaktu


SMP... Aku memang senang denganmu dan kau juga orang yang
baik, tapi kalau diajak pacaran, rasanya agak... kita berteman saja,
ya? Aku benar-benar tak butuh teman yang seperti itu...

"Muwahaha, aku jadi benar-benar lupa. Omong-omong, Hachiman.


Ini Klub Layanan Sosial, bukan?"

Zaimokuza telah kembali ke karakternya, tertawa aneh sambil


menatapku.

Untuk apa sebenarnya ia tertawa tadi? Baru pertama kali kudengar hal
yang seperti itu.

"Ya, ini memang Klub Layanan Sosial."

Yukinoshita menjawabnya menggantikanku. Ketika ia melakukannya,


pandangan Zaimokuza sesaat tertuju ke arahnya kemudian segera
kembali ke arahku. Kenapa ia harus melihat ke arahku segala?
"...be-begitukah? Jika saran dari Bu Hiratsuka ternyata benar, maka
kau berkewajiban mengabulkan permintaanku, benar bukan? Jika
mengingat kembali ratusan tahun yang kauabdikan sebagai
pelayanku... pastinya ini perbuatan Sang Bodhisatwa Agung
Hachiman."

"Bukan berarti Klub Layanan Sosial bisa mengabulkan


permintaanmu... kami hanya membantumu mewujudkannya."

"...he-hem... kalau begitu, Hachiman, ulurkanlah tanganmu. Fu, fu,


fu... kini aku merasa kalau kita setara. Kau merasakannya juga,
bukan? Setara sama seperti ketika Kehendak Lampau ingin
menaklukan segala yang bernaung di bawah langit!"

"Lalu apa yang terjadi pada malaikat pelayan tadi? Lagi pula, kenapa
kau cuma melihat ke arahku?"

"Goram, goram! Hal sepele semacam itu tak begitu punya arti di
hadapan kita! Aku akan membuat pengecualian untuk kasus ini."

Zaimokuza berdeham dengan cara yang sangat konyol, mungkin ia


berusaha menutupi salah bicaranya. Lalu tentu saja, ia kembali
menatap ke arahku.

"Aku minta maaf. Jika dibandingkan masa lalu, tampaknya hati para
pria telah dikotori di masa kini. Oh, betapa aku merindukan masa-
masa suci sewaktu Era Muromachi... tidakkah kau ikut merasakannya,
Hachiman?"

"Jelas tidak. Sudahlah, mati saja sana."

"Ku, ku, ku... seolah kematian bisa membuatku takut. Itu hanya
memberikanku sebuah dunia baru untuk kutaklukan!"

Zaimokuza mengangkat tangannya ke atas, mantelnya berkibar


dihembus angin.

Ia benar-benar menanggapi orang yang menyuruhnya mati...


Aku pun begitu... menurutku ketika kita sudah terbiasa dihina maupun
dilecehkan, kita bakal punya sanggahan bagus untuk membalas hal
tersebut. Keahlian yang rasanya begitu memilukan... sampai-sampai
bisa membuatku menangis.

"Uwaaah..."

Yuigahama tampak benar-benar syok. Bahkan wajahnya agak terlihat


pucat saat melihatku.

"Hikigaya, bisa aku bicara denganmu sebentar...?"

Setelah berkata begitu, Yukinoshita lalu menarik lenganku dan


berbisik di telingaku.

"Ada apa sebenarnya ini? Ada apa dengan si jenderal ahli pedang
atau apalah namanya itu?"

Wajah manis Yukinoshita begitu dekat dengan wajahku dan turut


menyibakkan aroma yang mengenakkan, namun suara yang
dibisikkannya tak sedikit pun mengandung rayuan.

Menghadapi itu, aku merasa jika satu kalimat saja sudah cukup untuk
menjawab pertanyaan tersebut.

"Itu chuunibyou. Cuma chuunibyou."

"Chuu-ni-byou?"

Yukinoshita memandangku sambil memiringkan kepalanya. Aku jadi


memerhatikannya, tapi ketika para perempuan melafalkan kata chuu,
bibir mereka terlihat begitu menggemaskan. Hal yang begitu langka
dijumpai.

Yuigahama juga ikut mendengarkan perbincangan kami, dan ia pun


bergabung di dalamnya.

"Itu semacam penyakit, ya?"

"Sebenarnya itu bukan penyakit sungguhan. Yah, itu semacam


pelesetan saja."
Intinya, chuunibyou mengacu pada rangkaian perilaku memalukan
yang cenderung terlihat di kalangan anak SMP.

Bahkan di antara kalangan tersebut, Zaimokuza menjadi salah satu


kasus chuunibyou yang terparah, hingga ia pantas menyandang gelar
Sang Mata Iblis.

Orang-orang semacam ini berpikir bahwa mereka punya kemampuan


maupun kekuatan aneh yang sama yang biasanya ada di berbagai
manga, anime dan game. Mereka pun bertingkah seakan mereka
memang memiliki kemampuan tersebut. Dan pastinya, karena hal
yang demikian itu, mereka jadi mengarang bermacam cerita supaya
kemampuan tersebut bisa diterima nalar. Itu sebabnya mereka sering
berpura-pura menjadi reinkarnasi salah seorang kesatria legendaris,
atau manusia pilihan dewa, ataupun agen rahasia. Dan mereka pun
bertindak sesuai dengan latar belakang cerita yang diceritakannya
tadi.

Kenapa mereka sampai berbuat seperti itu?

Karena hal tersebut tampak keren.

Terserah, deh, kurasa setiap orang yang pernah melalui masa SMP,
setidaknya pernah sekali berpikir begitu di dalam hidupnya. Kurasa di
satu titik, setiap orang pernah berdiri di hadapan cermin dan
mengatakan hal semacam, Selamat malam para pemirsa setia
countdown TV. Eng... kali ini kami punya lagu baru yang bercerita
tentang cinta, dan saya sendiri yang menulis liriknya...

Dengan kata lain, chuunibyou adalah contoh ekstrim dari hal tersebut.

Lewat ucapanku tadi, aku telah menjelaskan secara singkat apa itu
chuunibyou, dan Yukinoshita kelihatan puas atas jawabanku. Sering
sekali aku memikirkan hal ini, tapi aku selalu kagum akan betapa
cepatnya perempuan ini berubah pikiran. Baru sebentar saja aku
menjelaskan sebuah hal dan ia sudah sepuluh langkah di depanku,
biarpun begitu, ia tak pernah membutuhkan penjelasan panjang kalau
ia belum mengerti betul situasinya.
"Aku enggak mengerti maksudnya..."

Berbeda sekali dengan Yukinoshita, Yuigahama tampak tak begitu


senang dan bergumam tak jelas. Kalau boleh jujur, aku juga bakal tak
mengerti andai disuruh mendengarkan penjelasanku sendiri.
Sebenarnya, Yukinoshita-lah yang aneh karena bisa mengerti hal
semacam tadi.

"Hmm... jadi itu seperti menggunakan latar belakang cerita rekaan


kemudian bertingkah sesuai dengan hal tersebut, begitu?"

"Yah, semacam itulah. Dalam kasus anak ini, ia menggunakan sosok


Yoshiteru Ashikaga, shogun ketiga belas dari ke-shogun-an
Muromachi sebagai jati dirinya. Mungkin itu lebih mudah karena
mereka punya nama yang sama."

"Lalu kenapa ia menganggapmu sebagai rekannya?"

"Nama Hachiman itu mungkin diambil dari Bodhisatwa Agung


Hachiman, di mana Seiwa Genji begitu taat memuja dirinya sebagai
dewa perang. Kalian pasti pernah mendengar Kuil Tsurugaoka
Hachiman, bukan?"

Setelah aku menanggapinya, Yukinoshita langsung diam membisu.


Apa ada yang salah? Aku memasang wajah bertanya-tanya di
hadapannya, dan kulihat ia sudah menatap ke arahku dengan mata
terbelalak.

"Aku terkejut. Rupanya kau tahu banyak."

"...yah, begitulah."

Kenangan tak menyenangkan mulai mencuat di pikiranku, jadi


kupalingkan saja kepala ini. Lalu kuambil kesempatan tersebut untuk
mengganti topik pembicaraan.

"Memang menjengkelkan mendengar Zaimokuza mengoceh macam-


macam soal sejarah, tapi setidaknya, ia menggunakan karakter yang
ada di sejarah kehidupan nyata sebagai jati dirinya."
Mendengar itu, Yukinoshita sekilas menatap Zaimokuza lalu bertanya
padaku dengan wajah yang tak mengenakkan.

"...jadi maksudmu, masih ada lagi yang lebih parah dari itu?"

"Benar."

"Hanya ingin tahu saja, contohnya seperti apa?"

"Pada mulanya, di dunia ini berdiamlah tujuh dewa. Di antaranya tiga


dewa penciptaan: Garin Sang Kaisar Bijak, Mythica Sang Dewi
Pejuang, dan Heartia Sang Pelindung Para Jiwa. Lalu tiga dewa
kehancuran: Ortho Sang Raja Para Orang Bodoh, Rogue Sang Kuil
Yang Hilang, dan Lailai Sang Dewa Prasangka Palsu. Serta Dewa
Ketiadaan Abadi yang tak bernama. Di awal zaman, ketujuh dewa
tersebut berulang kali membawa kemakmuran juga kehancuran bagi
dunia. Kini dunia telah melalui pengulangan untuk keenam kalinya,
dan kali ini pemerintah Jepang berusaha mencegah kehancuran dunia
dengan cara menemukan wujud reinkarnasi dari dewa-dewa tersebut.
Di antara ketujuh dewa itu, yang paling diistimewakan ialah Dewa
Ketiadaan Abadi yang tak bernama, di mana kekuatan dewa tersebut
masih belum sepenuhnya dipahami, dan aku, Hiki— wuaaah... kau
pandai sekali membuat pertanyaan menjebak! Hahaha, aku benar-
benar syok. Kau hampir membuatku membeberkan segalanya tadi!"

"Tapi aku sama sekali tak berniat menjebakmu..."

"Menjijikkan..."

"Yuigahama, hati-hati dengan ucapanmu. Tak menutup kemungkinan


suatu hari nanti kau tanpa sengaja membunuh dirimu sendiri."

Yukinoshita berdesah kesal, kemudian kembali bolak-balik menatap


ke arahku dan ke arah Zaimokuza sebelum lanjut berbicara.

"Dengan kata lain, Hikigaya ternyata ada di golongan yang sama


dengan anak yang di sana itu. Makanya ia tahu banyak ketika
menyinggung soal jenderal ahli pedang atau apalah sebutannya tadi."
"Bukan, bukan, bukan, kau ini bicara apa, Yukinoshita? Jelas-jelas itu
keliru. Jelas ada alasan tersendiri kenapa aku sampai tahu banyak...
itu karena aku mengikuti pelajaran Sejarah Jepang. Itu karena aku
memainkan game Nobunaga no Yabou. Begitu."

"E-eh..."

Yukinoshita menatapku penuh keraguan. Tepatnya, aku seperti tetap


dijadikan tersangka sampai ada bukti kalau aku tak bersalah.

Yang jelas aku tak berusaha mengelak. Karena aku tak sama dengan
Zaimokuza. Kutatap balik Yukinoshita dengan penuh percaya diri.
Karena yang dikatakannya itu tidaklah benar.

Sudah pasti aku tak sama dengan Zaimokuza... lagi.

Nama Hachiman memang langka. Karenanya, ada saat di mana


sewaktu masa kecilku aku sempat bertanya-tanya, apakah aku ini
sebuah keberadaan yang istimewa. Dan sebagai bocah yang juga
menggemari anime dan manga, maka wajar kalau aku pernah terjebak
dalam khayalan semacam itu.

Sambil berbaring di atas futon, aku bisa membayangkan ada sebuah


kekuatan hebat yang bersemayam di dalam diriku, dan suatu hari
nanti, kekuatan tersebut tiba-tiba akan bangkit dan aku pun terlibat
dalam pertempuran yang mempertaruhkan nasib dunia. Demi
mempersiapkan datangnya hari itu, aku bahkan menyimpan sebuah
buku harian dunia roh dan tiap tiga bulannya, akan kutulis laporan
yang ditujukan untuk pemerintah. Semua orang pernah melakukan itu,
'kan? ...mereka pasti pernah, 'kan...?

"...yah, bagaimana menjelaskannya, ya...? Mungkin di masa lalu kami


ini sama, tapi untuk sekarang kami berbeda."

"Hm... begitu, ya..."

Yukinoshita tersenyum mengejek ke arahku kemudian berjalan


mendekati Zaimokuza.
Sewaktu kupandangi punggungnya yang kian menjauh itu, sebuah
pikiran mendadak terlitas di benakku.

Apa aku yang sekarang sudah benar-benar berbeda dibanding


Zaimokuza?

Jawabannya jelas, Iya.

Aku tak lagi mengkhayalkan hal-hal konyol, dan tak lagi menulis
buku harian dunia roh maupun laporan pemerintah. Satu-satunya yang
belakangan ini masih kutulis dalam ingatanku yakni Daftar Orang-
Orang Yang Takkan Kumaafkan. Tentu saja, orang pertama dalam
daftar itu ialah Yukinoshita.

Aku tak lagi memainkan model plastik Gundam sambil membuat efek
suara dengan mulutku sendiri, dan aku tak lagi bermain-main dengan
jepitan baju untuk menciptakan sosok robot terkuat. Aku pun sudah
tak lagi menggunakan karet gelang serta kertas alumunium sebagai
senjata pertahanan diri. Aku juga sudah berhenti mencoba ber-cosplay
dengan mantel ayahku serta syal berbulu milik ibuku.

Aku jelas berbeda dibanding Zaimokuza.

Seiring waktu, akhirnya aku berhasil mengatasi kebimbanganku dan


mencapai kesimpulan tersebut, Yukinoshita sendiri telah berdiri tepat
di depan Zaimokuza. Yuigahama lalu berbisik dengan keras,
"Yukinon, cepat menjauh!" Oh, lelaki yang malang...

"Kurasa aku mengerti. Kau kemari agar kami bisa membantumu


menyembuhkan penyakit ini, benar begitu?"

"...Hachiman. Aku bergabung denganmu di tempat ini agar bisa


mengetahui apa kau akan patuh pada perjanjian dan tetap
mengabulkan keinginan kita. Itu tak lain hanyalah hasrat angkuh
semata."

Zaimokuza mengalihkan pandangannya dari Yukinoshita dan


menatap ke arahku. Ia benar-benar mengganti kata ganti orang
pertama dengan kata kita pada kalimat barusan... memangnya
selinglung apa, sih, anak ini?
Kemudian aku pun menyadari sesuatu. Anak ini... setiap kali ia bicara
menghadap Yukinoshita, ia pasti segera berbalik menghadap ke
arahku.

Yah, bukan berarti kalau aku tak punya simpati. Sebelum aku tahu
seperti apa sosok asli Yukinoshita, aku pun sering merasa gugup dan
tak bisa menatap langsung wajahnya setiap kali ia bicara padaku.

Namun Yukinoshita tak memiliki kepekaan yang pada umumnya


orang awam miliki, dan bukan tipe yang bakal memikirkan tipe orang
panik seperti ini.

"Perhatikan aku bicara. Setidaknya, saat ada yang bicara denganmu,


kau pun harus memandang langsung lawan bicaramu."

Sambil mengatakannya dengan dingin, Yukinoshita mencengkeram


kerah baju Zaimokuza dan memaksa anak itu menghadap ke arahnya.

Tentu saja, meski Yukinoshita sendiri tak bersikap sopan, ia menjadi


begitu menjengkelkan jika menyangkut sopan santun orang lain.
Bahkan hal tersebut sampai pada tahap di mana aku memberi salam
setiap kali bertemu dengannya di ruang klub.

Ketika Yukinoshita melepaskan cengkeramannya, Zaimokuza pun


mulai terbatuk-batuk. Bisa ditebak, ini bukan waktu yang tepat
baginya untuk tetap menjadi karakter itu.

"...mu-muwahahaha... demi Tuhan..."

"Dan berhentilah bicara seperti itu lagi."

"..."

Sewaktu Zaimokuza dijatuhkan dengan cepatnya oleh Yukinoshita, ia


langsung terdiam dan tertunduk.

"Kenapa kau memakai mantel di musim seperti ini?"

"...he-hem... jubah ini melindungiku dari bermacam energi iblis yang


ada di dunia ini, dan ini adalah satu dari kedua belas alat surgawi
milikku. Namun ketika aku bereinkarnasi ke dunia ini, jubah tersebut
memberiku kemampuan untuk mengubah tubuhku ke dalam wujud
yang paling cocok. Fuwahahaha!"

"Berhenti bicara seperti itu."

"Ba-baik..."

"Lalu kenapa kau mengenakan sarung tangan fingerless? Apa itu ada
kegunaannya? Kau tak bisa melindungi jari-jarimu kalau seperti itu."

"...ah, iya. Eng... ini adalah sesuatu yang kuwarisi dari kehidupanku
yang sebelumnya, satu dari kedua belas alat surgawi milikku, zirah
istimewa yang bisa menembakkan berlian, jadi agar lebih mudah
digunakan saat bertarung, kubiarkan saja jari-jariku tak terlindungi...
pastinya begitu! Fuwahahaha!"

"Lagi-lagi berbicara seperti itu."

"Hahaha! Hahaha... hah..."

Mulanya Zaimokuza tertawa kencang, namun lambat laun berubah


menjadi desahan menyedihkan. Lalu, ia pun kembali terdiam.

Mungkin saja di titik itu ia merasa tak tega pada Zaimokuza, soalnya
Yukinoshita mendadak berubah dan memperlihatkan ekspresi
bersahabat.

"Jadi, apa itu bisa kami anggap sebagai pernyataanmu yang


menginginkan penyakit ini agar disembuhkan?"

"...ah, itu sesungguhnya bukan benar-benar penyakit..."

Zaimokuza masih tak berani menatap langsung wajah Yukinoshita


dan berbicara dengan suara rendah. Hanya sesekali ia melirik ke
arahku sambil memperlihatkan ekspresi kesulitan.

Ia benar-benar kembali ke jati dirinya yang asli.


Tampaknya Zaimokuza tak punya lagi daya untuk bertahan lebih lama
dalam karakternya sewaktu diserang langsung oleh tatapan berbinar
Yukinoshita.

Uh! Aku sungguh tak sanggup lagi menyaksikan hal ini! Zaimokuza
sudah begitu menyedihkan. Entah kenapa aku jadi ingin melemparkan
rakit penyelamat ke arahnya.

Kuputuskan bahwa yang terbaik saat ini adalah memisahkan


Zaimokuza dari Yukinoshita terlebih dahulu, lalu dengan niat
tersebut, segera kulangkahkan kakiku. Tapi aku merasa seperti
menginjak sesuatu.

Rupanya aku menginjak salah satu kertas yang sempat dihempaskan


badai di sekeliling ruangan ini sebelumnya.

Saat kuambil kertas tersebut, kulihat kumpulan aksara sulit kanji yang
saling berjejer, dan perhatianku benar-benar tercuri oleh lembaran
kertas ini.

"Lo, ini..."

Kutengadahkan pandanganku dari lembaran tersebut dan beralih ke


sisi tengah ruangan. Rupanya lembaran kertas ini mempunyai format
empat puluh dua huruf per baris serta mencakup tiga puluh empat
baris di tiap kolomnya. Kupunguti lembaran yang berserakan itu satu
demi satu dan mulai menyusunnya sesuai urutan.

"Hmm... sudah kuduga, tak perlu aku memberitahumu agar kau


menyadarinya. Aku yakin, ini bukti bahwa sewaktu kita menghadapi
masa-masa mengerikan bersama dulu bukanlah sebuah kesia-siaan."

Zaimokuza berbicara dengan suara yang cukup menggebu-gebu,


namun aku tak memedulikannya. Yuigahama lalu memerhatikan
kumpulan kertas yang sedang kupegang.

"Itu apa?"

Kusodorkan bundelan kertas itu kepadanya, dan ia pun mulai


membalik-balik halamannya, memeriksa apa isinya. Aku hampir
melihat gambaran tanda tanya melayang di atas kepalanya sewaktu ia
mencoba membaca tiap lembarnya, namun akhirnya ia menghela
napas panjang dan menyodorkan kembali kumpulan kertas itu
kepadaku.

"Ini apa?"

"Kurasa... rancangan konsep sebuah novel."

Terpancing oleh kata-kataku, Zaimokuza berdeham seolah berusaha


mengulang pembicaraan.

"Aku merasa sangat tersanjung oleh wawasan luasmu. Betul, itu


adalah manuskrip dari sebuah light novel. Aku berencana ikut serta
dalam sebuah kompetisi novel untuk para penulis baru. Karena aku
tak punya teman, jadi aku tak punya pendapat lain di luar pendapatku
sendiri. Karena itu, mohon dibaca."

"Entah kenapa, aku merasa perkataannya tadi begitu menyedihkan..."

Bisa dibilang, keinginan untuk menjadi penulis light novel adalah


sebuah konsekuensi wajar bagi mereka yang mengidap chuunibyou.
Hal tersebut cukup bisa dimengerti bagi mereka yang ingin
mewujudkan beberapa khayalannya. Ditambah, bukan hal aneh bagi
para pengidap chuunibyou jika mereka berpikir bisa menjadi novelis
hebat dikarenakan khayalan berlebihan mereka. Dan tentu saja,
sebuah hal menyenangkan bisa mendapat nafkah dari sesuatu yang
kita cintai.

Jadi, sama sekali bukan hal aneh bagiku jika Zaimokuza berkeinginan
menjadi seorang penulis light novel.

Yang lebih aneh adalah ia repot-repot kemari demi memperlihatkan


hasil karyanya itu kepada kami.

"Di internet, ada situs tempat kau bisa memajang karyamu sekaligus
meminta tanggapan dari para pembaca, jadi kenapa kau tak
mencobanya saja dulu?"
"Percuma. Orang-orang di sana tak punya belas kasihan. Terlalu
banyak kritikan, bisa-bisa aku bakal mati."

...dasar lemah.

Tapi memang, orang-orang di internet takkan menunjukkan rasa


sungkan dan akan berkata semau mereka saja. Sedangkan bagi teman,
mereka akan lebih memikirkan perasaan dan berusaha mengatakan
hal-hal yang bisa membuat kita lebih baik.

Pada umumnya, mengingat seperti apa hubungan di antara kami dan


Zaimokuza, pasti akan sulit bagi kami untuk bersikap tegas padanya.
Pasti sulit melontarkan kritikan-kritikan kalau berhadapan langsung
dengan orangnya. Mungkin kami harus melakukannya daripada tak
berbuat apa-apa. Namun itu hanyalah sesuatu yang umumnya bakal
terjadi...

"Biar begitu..."

Sekilas aku memandang ke samping dan sedikit menghela napas.


Yukinoshita menatapku dan kubalas menatapnya dengan ekspresi
datar.

"Yukinoshita mungkin lebih kejam daripada orang-orang di


internet."

— II —

Yukinoshita, Yuigahama, serta diriku masing-masing membawa


salinan manuskrip yang ditawarkan Zaimokuza pada kami dan
memutuskan untuk membacanya semalaman ini.

Kalau aku boleh menebak langsung genre dari light novel karangan
Zaimokuza, aku akan bilang kalau itu adalah novel aksi kekuatan
super yang berlatar di sekolah.
Ceritanya berlangsung di sebuah kota kecil di Jepang, di sebuah
tempat di mana organisasi rahasia kegelapan yang terselubung beserta
orang-orang berkekuatan super dengan kenangan masa lalu mereka
saling berjuang satu sama lain. Di tengah-tengah itu, seorang pemuda
yang biasa-biasa saja mendadak bangkit kekuatan tersembunyinya
dan secara spektakuler mulai menumbangkan satu persatu musuhnya.

Saat aku telah selesai membaca novelnya, tahu-tahu langit sudah


terang.

Alhasil, aku malah jadi sering mengantuk sepanjang pelajaran.


Terlepas dari itu, setelah jam keenam yang senggang dan sesi
bimbingan kelas yang singkat, kuputuskan untuk menuju ke ruang
klub.

"Hei! Tunggu, tunggu!"

Sewaktu berjalan menuju ke arah paviliun, kudengar sebuah suara


memanggilku dari belakang. Saat aku menoleh, Kulihat Yuigahama
mengejarku sambil menenteng tas sekolah yang tampak tipis itu di
bahunya.

"Hikki, kau kelihatannya kurang sehat. Ada apa, nih?"

"Ah, bagaimana, ya? Namanya juga telalu lama membaca, sudah


pasti capek... mengantuk sekali rasanya. Padahal sudah sebanyak itu
membaca, tapi kau kok masih kelihatan segar begitu, ya?"

"Eh?"

Yuigahama beberapa kali mengedipkan matanya.

"...ah... be-benar juga. Rasanya mengantuuuuk banget..."

"Kau pasti tak membacanya, 'kan...?"

Yuigahama tak menjawab pertanyaanku, ia malah bersenandung


sambil memandang ke luar jendela. Ia berpura-pura polos, tapi aku
bisa melihat keringat dingin mulai mengalir dari pipi hingga
lehernya... aku penasaran apa keringat itu bisa sampai
memperlihatkan yang ada di balik blusnya...

— II —

Ketika aku membuka pintu ruang klub, yang menyambutku adalah


sebuah pemandangan langka dari Yukinoshita yang menundukkan
kepala.

"Kerja bagus semalam."

Aku menegurnya tetapi Yukinoshita dengan nyamannya kembali


tertidur, bahkan napasnya pun terdengar lembut. Wajahnya yang
tampak hampir tersenyum itu sangat jauh berbeda dengan sikap tegas
dan tak ramah yang biasanya ia perlihatkan, dan aku merasa
jantungku berdetak lebih cepat saat melihat pemandangan tak biasa
itu.

Aku hampir merasa bakal terus berdiam di sini dan selamanya


menyaksikan ia tertidur. Melihat rambut hitamnya berayun ke sana
kemari dengan lembut, melihat kulit putihnya yang halus dan berseri,
melihat mata bulatnya yang berkaca-kaca, melihat bibir berwarna
merah mudanya yang elok...

Bibirnya sedikit bergerak.

"...aku terkejut. Begitu melihat wajahmu, rasa kantukku langsung


hilang."

Wuah... rasanya aku baru saja tersadar. Hampir saja aku lepas kendali
setelah terpedaya penampilan cantiknya tadi. Serius, aku lebih senang
kalau disuruh membuat gadis ini agar tertidur selamanya.

Yukinoshita menguap seperti anak kucing, lalu merenggangkan kedua


tangannya di atas kepala.

"Kelihatannya tadi malam kau juga sudah berjuang keras, ya?"


"Iya, sudah lama aku tak mengerjakan sesuatu sampai semalam
suntuk begini. Lagi pula, aku sama sekali tak pernah membaca yang
seperti ini... rasanya aku tak terlalu bisa menangani hal yang semacam
ini."

"Betul. Aku juga agak kesulitan."

"Kau sama sekali tak membacanya. Jadi baca dulu sana!"

Menanggapi ucapanku, Yuigahama mengerang marah dan ragu-ragu


mengeluarkan manuskrip dari dalam tasnya. Tak satu pun bekas
lipatan terlihat pada salinan yang dipegangnya; itu masih dalam
kondisi bagus. Yuigahama lalu mulai membalik tiap lembar halaman
manuskripnya itu dengan begitu cepat.

Ia tampak jenuh sekali sewaktu membacanya... kupandangi


Yuigahama dan mulai berbicara.

"Tak semua light novel sama seperti yang dibuat Zaimokuza itu. Ada
lumayan banyak yang bagus untuk dibaca."

Aku mengatakannya dengan penuh kesadaran tanpa maksud


menolong Zaimokuza. Yukinoshita memiringkan kepalanya dan
bertanya padaku.

"Maksudmu, seperti yang belakangan ini sering kaubaca di ruang


klub?"

"Betul, salah satunya itu. Coba saja baca Gaga—"

"Lain kali saja kalau ada waktu."

Aku merasa peraturan orang yang takkan mau membacanya benar-


benar berlaku di sini. Di saat yang sama, aku mendengar suara
ketukan yang keras pada pintu ruang klub.

"Ini orang yang memohon bantuanmu tempo hari..."

Zaimokuza lagi-lagi berbicara dengan gaya zaman kerajaan, lalu ia


pun masuk ke dalam ruangan.
"Baiklah, mari dengarkan seperti apa kesan kalian."

Zaimokuza mendudukkan dirinya ke kursi lalu menyilangkan kedua


lengannya dengan angkuh. Tampak di wajahnya semacam rasa
superior yang entah dari mana asalnya. Sebuah ekspresi yang
dipenuhi rasa percaya diri.

Meski duduk berseberangan dengan Zaimokuza, Yukinoshita justru


menampakkan ekspresi menyesal yang tak biasanya ia perlihatkan.

"Maaf. Aku tak begitu paham mengenai hal semacam ini, tapi..."

Yukinoshita memulai pembicaraan dengan kalimat itu, namun


Zaimokuza menanggapinya dengan kalem.

"Tak masalah. Bahkan orang sepertiku ini terkadang ingin


mendengarkan pendapat rakyat jelata. Ungkapkan saja."

"Begitu." Yukinoshita memberi tanggapan singkat dan menarik


napas dalam-dalam, bersiap untuk menjelaskan.

"Terasa membosankan. Jujur, membacanya hampir membuatku


tersiksa. Ini lebih membosankan dari yang kubayangkan."

"Oofgh!"

Zaimokuza tumbang dalam sekali serang...

Kursinya berderak sewaktu dirinya rebah ke belakang, tapi


Zaimokuza berhasil menjaga keseimbangannya dan kembali duduk
dengan tegak.

"H-hmm... baiklah, untuk referensiku, bisa kau beri tahu bagian mana
yang membosankan?"

"Pertama, tata bahasanya kacau. Kenapa kau sering sekali membolak-


balik urutan kalimatnya? Apa kau tak tahu cara menggunakan
partikel? Apa gurumu tak mengajari hal tersebut saat kau SD?"

"Heng... kupikir gaya tersebut akan lebih bisa membawa para


pembaca masuk ke dalam cerita..."
"Bukankah kau seharusnya memikirkan hal itu setelah mampu
menulis dengan standar tata bahasa Jepang yang benar? Lagi pula,
kau sering sekali keliru menggunakan furigana. Di sini kau menulis
kanji nouryoku (kemampuan) tapi furigana-nya tertulis chikara
(kekuatan)... tak seorang pun mengeja seperti itu. Dan juga, di sini
kau menulis Genkou Hasen yang harfiahnya berarti Tebasan Hantu
Merah Darah, tapi kau justru menulis furigana Penebas Mimpi Buruk
Berdarah di atasnya. Dari mana asalnya kata Mimpi Buruk tadi?"

"Ufgh! O-ooo... kau salah paham! Belakangan ini, semua novel aksi
supernatural memang sering menggunakan banyak furigana..."

"Kau melakukan ini sesuai dengan seleramu saja. Hal seperti ini
takkan mampu membuat siapa pun mengerti. Apa kau benar-benar
ingin agar orang lain membaca karyamu ini? Jujur, kalau kau ingin
agar orang lain membacanya, kau harus membuat cerita ini supaya
sedikit sulit ditebak. Aku bisa memprediksi yang akan terjadi pada
cerita khayalan macam ini dan tak ada tanda-tanda ceritanya akan jadi
lebih menarik. Dan juga, kenapa tokoh utama perempuannya sampai
melepas pakaian di sini? Sama sekali tak ada gunanya."

"Heng...! Ta-tapi novel yang tak memasukkan unsur semacam itu, tak
bakal laku... jadi mau tak mau harus... begitu..."

"Ditambah, narasinya juga terlalu panjang, begitu banyak kanji yang


berbelit, sehingga sulit sekali untuk dibaca. Dan juga, jangan
membuat orang lain membaca cerita yang belum selesai. Sebelum
lebih jauh membahas soal gaya penulisan, mungkin kau harus
memakai akal sehat terlebih dahulu."

"Pnnghyahhh!!"

Tungkai Zaimokuza pun menegang dan ia sampai membuat suara


pekikan. Bahunya mengejang dan matanya kosong menatap ke langit-
langit. Reaksi berlebihannya tadi sudah cukup mengganggu, ia harus
segera menghentikan tindakannya itu...

"Kita hentikan saja dulu. Bisa gawat kalau kau melakukan semua itu
dalam sekali duduk."
"Padahal masih banyak yang ingin kukatakan... tapi, ya sudahlah.
Kurasa berikutnya giliran Yuigahama."

"Eh? A-aku?!"

Yuigahama tampak terkejut, dan Zaimokuza menatapnya dengan


tampang memelas. Mata anak itu sudah berkaca-kaca. Mungkin
Yuigahama sadar dan merasa kasihan dengan lelaki malang ini, jadi ia
kelihatan berusaha memikirkan semacam pujian untuk menghiburnya.
Ia termenung selagi memandang ke atas lalu memberanikan diri
mengucapkan beberapa kata.

"E-eng... ba-banyak juga kata-kata sulitnya, ya..."

"Uwaaagghhhh!!"
"Kau benar-benar menghabisinya..."
Bagi seorang novelis ambisius, komentar tersebut sama saja seperti
penolakan. Lagi pula, jika dipikir baik-baik... cuma itu saja satu-
satunya hal bagus yang ada di novel Zaimokuza. Itu kalimat yang
wajar diucapkan oleh orang-orang yang tak begitu mengenal light
novel saat mereka dimintai pendapat oleh sang penulis. Dan itu benar-
benar tak ada bedanya dengan berkata bahwa karya tersebut sama
sekali tak menarik.

"Ba-baiklah... Hikki, silakan."

Yuigahama terlihat seolah ingin melarikan diri sewaktu ia berdiri dan


menawariku untuk di duduk di kursinya. Aku pun duduk menghadap
Zaimokuza lalu Yuigahama mengambil kursi lain dan duduk di
samping belakangku.

Tampaknya ia tak mampu lebih lama lagi menghadapi langsung


Zaimokuza yang sudah pucat tak berdaya itu.

"G-gnnghh.. Ha-Hachiman. Kau mengerti diriku, 'kan? Dunia yang


kuciptakan, pemandangan amat luas dari keagungan light novel ini...
kau mengerti itu, 'kan? Kau mengerti cerita mendalam yang
kuputarbalikkan ini agar mereka yang bodoh tak bakal berusaha
menghargainya... 'kan?"

Ya... aku mengerti betul dirinya.

Dengan meyakinkan kuanggukkan kepala ini. Zaimokuza lalu


menatapku dengan tatapan penuh percaya.

Kurasa sebagai lelaki aku harus menjawabnya dengan jujur. Kutarik


napas dalam-dalam dan berkata dengan ramah.

"Jadi... ini kau-copas dari mana?"

"Hnghh?! B-bngghh... (glup, glup)"

Zaimokuza menggeliat ke sana kemari di lantai, lalu berhenti setelah


menabrak tembok. Kemudian ia terbaring di sana, tanpa bergerak
sedikit pun. Tatapan kosongnya tertuju ke langit-langit, dan linangan
air mata mulai mengalir turun ke pipinya. Itu adalah pemandangan
dari seorang pria yang sudah siap untuk mati.

"...kau memang tak kenal ampun. Itu jelas lebih kejam dari
pendapatku tadi."

Yukinoshita tampak benar-benar terkejut.

"...hei..."

Yuigahama menyenggolkan sikutnya padaku. Terlihat kalau ia ingin


agar aku lanjut berbicara. Tapi apa yang harus kukatakan...? Sewaktu
berusaha memikirkannya, kusadari kalau aku telah lupa menyebutkan
salah satu dasar terpenting yang berhubungan dengan light novel.

"Yah, yang penting itu ilustrasinya. Tak usah terlalu cemas soal
penulisannya."

— II —

Hampir seolah sedang mengikuti kelas persalinan, Zaimokuza berlatih


pernapasan untuk menenangkan dirinya. Ia lalu bangkit dengan
tungkai yang gemetar layaknya anak rusa yang baru lahir.

Setelah itu, Zaimokuza membersihkan debu yang ada tubuhnya


dengan kedua tangan sambil melihat ke arahku.

"...apa kalian masih mau... membaca karyaku lagi?"

Aku tak percaya dengan yang kudengar. Aku terdiam, tanpa mampu
memahami yang ia ucapkan. Ia mengulanginya kembali, tapi kali ini
lebih jelas dan lebih keras terdengar.

"Maukah kalian membaca karyaku lagi?"

Ia memandang ke arahku dan ke arah Yukinoshita dengan penuh


semangat.
"Kau ini..."

"Kau benar-benar masokis, ya?"

Yuigahama sudah bersembunyi dalam bayanganku sambil menatap


Zaimokuza dengan jijik. Tatapannya seolah berkata, Mati saja kau
maniak! Padahal Yuigahama sudah salah paham mengenai
maksudnya.

"Setelah semua yang kaualami hari ini, kau masih mau melakukannya
lagi?"

"Tentu saja. Kritikan-kritikan tadi memang cukup kejam. Mereka


memang mau membuatku merasa ingin mati, merasa tak populer dan
tak punya teman. Atau lebih tepatnya, mereka mau membuatku
merasa ingin agar semua orang mati."

"Ya, aku mengerti maksudmu. Aku pun bakal merasa ingin mati
kalau ada yang bicara sekejam itu padaku."

Namun Zaimokuza tak terlalu menanggapinya, dan masih berbicara


dengan kami di sini.

"Biar begitu. Biarpun begitu, komentar-komentar tadi membuatku


senang. Mengetahui bahwa karya yang kutulis karena hobi ini sampai
dibaca dan dikritik oleh orang lain... jelas bukanlah sesuatu yang
buruk. Sulit bagiku untuk menggambarkan bagaimana perasaanku
saat ini... tapi mengetahui bahwa karyaku ini sampai dibaca oleh
orang lain, itu jelas membuatku senang."

Sambil mengatakannya, Zaimokuza pun tersenyum.

Itu bukanlah senyum milik sang jenderal ahli pedang, melainkan


sebuah senyum milik Yoshiteru Zaimokuza sendiri.

Ah... begitu rupanya.

Anak ini tak hanya mengidap chuunibyou. Ia juga mengidap


sakkabyou (sindrom penulis) yang parah.
Ia ingin menulis karena ada yang ingin ia ceritakan. Lalu jika ia
mampu membawa pengaruh pada seseorang lewat tulisannya itu, ia
akan merasa senang. Karena itu ia akan terus menulis dan menulis
kembali. Meski tak ada yang mengakui karyanya, ia akan terus
menulis. Itulah yang kumaksud dengan sakkabyou.

Oleh karena itu, cuma ada satu cara untuk menanggapinya.

"Baiklah, akan kubaca nanti."

Tak mungkin aku bisa menolaknya. Lagi pula, ini merupakan fase
terakhir dari keadaan mental Zaimokuza setelah ia bergumul dengan
chuunibyou yang diidapnya selama ini. Meski orang-orang
menganggapnya sakit, meski orang-orang memandang sinis dirinya,
meski orang-orang mengabaikan ataupun mengejeknya, ia takkan
pernah meyurutkan tekadnya, ia takkan pernah menyerah, dan ia akan
terus berusaha membuat khayalannya itu agar menjadi kenyataan.

"Jika novel baruku sudah selesai, akan kubawa kemari."

Setelah berkata demikian, Zaimokuza pun berbalik membelakangi


kami, lalu melangkah keluar ruangan dengan anggunnya.

Pemandangan pintu yang tertutup di belakangnya itu sungguh tak


enak dilihat.

Meskipun ia salah jalan atau menjadi pribadi yang kacau dan


kekanak-kanakan, jika ia mampu mengekspresikan idenya, maka ia
harus melakukan hal tersebut. Jika ia merasa ingin berubah hanya
karena seseorang telah menolak idenya, berarti impiannya itu
memang tak berharga, dan ia menolak menjadi dirinya sendiri.
Karenanya, Zaimokuza tak perlu mengubah dirinya yang sekarang.

Yah, kecuali bagian menjijikkan dari kepribadiannya itu.

— II —
Setelah kejadian itu, beberapa hari pun berlalu.

Waktu sudah memasuki jam pelajaran keenam. Pelajaran terakhir hari


ini adalah Senam.

Seperti biasanya, aku berpasangan dengan Zaimokuza. Sama sekali


tak ada yang berubah.

"Hachiman. Menurutmu siapa ilustrator yang paling hebat dan


populer saat ini?"

"Jangan terlalu percaya diri dulu. Pikirkan itu kalau kau sudah
menjuarai kompetisinya."

"Hmm... benar juga. Masalah utamanya adalah di mana aku harus


memulai debut..."

"Kenapa kau sampai beranggapan kalau kau bisa menang?"

"...jika novelnya laku, mungkin orang-orang akan membuat adaptasi


anime-nya dan aku bisa menikahi pengisi suaranya..."

"Cukup. Hentikan. Yang penting tulis saja manuskripnya, kau


paham?"

Selama Pelajaran Senam, aku dan Zaimokuza memulai perbincangan


yang isinya kurang lebih seperti itu. Hanya itulah satu-satunya hal
yang berubah.

Yah, walaupun isi perbincangan tadi memang tak begitu penting,


bukan berarti kami membicarakan hal-hal menyenangkan. Karena itu
kami tak pernah saling tertawa seperti para pasangan lainnya yang
juga saling berbincang.

Bahasan yang kami perbincangkan tidaklah keren ataupun gaul,


melainkan cuma diisi oleh hal-hal menyedihkan.
Aku sungguh berpikir bahwa kami memang bodoh karena berbuat
begini. Aku sungguh merasa bahwa jelas-jelas tak ada gunanya
berbuat begini.

Biarpun begitu... akhirnya Pelajaran Senam tak lagi menjadi waktu


yang tak menyenangkan.

Yah, memang begitulah kenyataannya.


Catatan Penerjemah

 Ultra Quiz Lintas Prefektur Chiba merupakan plesetan dari kuis terkenal yang bertajuk 'America
Oudan Ultra Quiz (アメリカ横断ウルトラクイズ)'
 Mengenai soal pemetaan wilayah Chiba, silakan dilihat di tautan ini
BAB 6

Akan Tetapi, Saika Totsuka Mau Saja Menurut

Komachi, adik perempuanku, memegang sepotong roti di tangannya


dan sudah tenggelam dalam majalah mode yang sedang dibacanya.
Aku mengamatinya dari samping selagi meminum secangkir kopi
hitam di pagi hari.

Frasa menjengkelkan semacam Cara Menggaet Cowok maupun


Paling Gaul berulang kali terlihat. Dan pada umumnya, artikel
tersebut tampak hanya diisi oleh luapan kebodohan. Mendadak aku
menganga dan bekas kopi yang kuminum membentuk sebuah garis di
sudut bibirku.

Apa Jepang akan baik-baik saja jika terus seperti ini? Artikel tadi
sungguh tak berkelas, tapi tetap saja adikku mengangguk-anggukan
kepala sewaktu membacanya. Bagian mana yang sebenarnya ia
setujui itu?

Majalah Heaventeen ini sepertinya telah menjadi majalah mode


terpopuler di kalangan anak SMP. Bahkan sampai di titik jika ada
yang tak membacanya... terlebih jika kita sampai tak membacanya,
bisa-bisa kita bakal ditindas di sekolah.

"Oooh..." Komachi seperti terkesan akan sesuatu, dan remah-remah


roti berjatuhan di lembar majalahnya. Apa ia sedang meniru dongeng
Hansel dan Gretel?

Kini sudah pukul 7:45 pagi.

"Hei, sudah waktunya, nih."

Adik perempuanku masih terpana akan majalahnya, karena itu aku


menyenggol bahunya dan mencoba memberi tahu bahwa sudah
waktunya untuk pergi ke sekolah. Ketika aku melakukannya,
Komachi langsung menengadah dan melihat ke arah jam dinding.

"Uwaah... gawat!"
Setelah berteriak begitu, Komachi segera menutup majalahnya lalu
berdiri.

"Tunggu, tunggu, tunggu, lihat dulu mulutmu. Masih penuh begitu."

"Eh, masa, sih? Lagi macet di tengah-tengah mungkin, ya?"

"Memangnya mulutmu itu senapan otomatis, apa? Pakai istilah macet


di tengah-tengah segala."

"Gawat, gawat." Adikku lanjut bergegas dan mengelap mulutnya


dengan lengan piyama yang dipakainya. Asal tahu saja, terkadang
adikku bisa jadi anak yang cukup maskulin...

"Omong-omong, Kak, terkadang Kakak sendiri enggak sadar apa


yang Kakak bicarakan, ya 'kan?"

"Sok tahu, deh! Dasar!"

Namun adikku sendiri tampak tak memerhatikan ucapanku, dan


sambil panik mulai mengganti piyamanya dengan seragam sekolah. Ia
lalu melepas piyamanya, memperlihatkan kulit putihnya yang halus,
beserta kutang dan celana dalam olahraganya.

Sial, jangan melepas baju di sini.

Adik perempuan adalah makhluk yang aneh. Tak peduli semanis apa
mereka, kita takkan pernah merasakan apa-apa. Bagiku, pakaian
dalamnya tak lebih dari sekadar potongan kain. Ia memang manis,
tapi pada akhirnya yang muncul di pikiranku adalah fakta kalau ia
mirip denganku... adik perempuan yang sebenarnya memang seperti
itu.

Dengan seragam sekolahnya yang tak berkelas, Komachi


memperlihatkan celana dalamnya yang tersingkap karena rok
pendeknya yang di atas lutut itu sewaktu ia memakai kaos kaki
panjang dan melipatnya sampai ke betis. Kupandangi dirinya dari
samping selagi aku mengambil gula dan susu.
Hampir seakan ia berusaha ingin memperbesar payudaranya,
belakangan ini Komachi banyak sekali meminum susu. Terserahlah,
aku sama sekali tak peduli.

Meski begitu, saat aku menekankan bagian susu yang diminum adikku
seperti tadi, kedengarannya justru agak erotis dan tak bermoral.
Terserahlah, aku sama sekali tak peduli.

Bukan berarti aku mengambil gula dan susu ini karena terpengaruh
susu yang diminum adikku tadi. Aku cuma ingin menambahkan
bahan-bahan tersebut pada kopiku saja.

Bagi seseorang yang lahir dan dibesarkan di Chiba, yang lebih


memilih mandi dengan Max Coffee, dan tumbuh besar dengan Max
Coffee ketimbang ASI, maka aku wajib menambahkan gula pada
kopiku. Lebih bagus lagi kalau dikentalkan dengan susu.[1]

Biarpun begitu, andai disuruh, aku masih bisa meminum kopi hitam,
kok.

"Hidup sudah terlalu pahit, paling tidak kopi harus terasa manis..."

Kugumamkan kalimat yang harusnya lebih cocok dipakai untuk iklan


Max Coffee itu sewaktu meminum kopi yang telah dimaniskan ini.

Kalimat tadi... terdengar bagus. Harusnya mereka menggunakan


kalimat itu untuk iklannya.

"Kakak! Aku sudah siap, nih!"

"Tapi kakakmu ini kan masih minum kopi..."

Aku menanggapinya dengan kesan memelas seperti adegan yang


pernah kutonton di penayangan ulang Kita no Kuni kara, namun
Komachi tak tampak memerhatikanku dan mulai bernyanyi dengan
riang. "Nanti telat, lo~~ nanti telat, lo~~" Ia itu punya niat tak mau
telat atau sebenarnya memang mau telat, sih...? Aku jadi bingung.[2]

Hal ini berlangsung sejak beberapa bulan lalu, tapi adikku yang bodoh
ini memang sering telat bangun, dan kalau sudah ada tanda-tanda ia
bakal telat, kududukkan ia di sadel belakang lalu kuantar ia ke
sekolah.

Sejak saat itu, sedikit demi sedikit, frekuensi aku mengantar dirinya
ke sekolah semakin meningkat.

Tak ada yang lebih membuat kita tak tega selain air mata seorang
perempuan. Terutama bagi Komachi, yang rupanya diberkati berbagai
keahlian yang biasanya dimiliki oleh seorang adik perempuan, yang
juga lihai memanipulasi kakak laki-lakinya. Karena dirinya itu, di
benakku pun telah tertanam sebuah pemikiran kalau semua
perempuan di dunia ini sama seperti Komachi, yang suka
memanfaatkan lelaki demi kepentingannya sendiri.

"Kalau aku sampai tak percaya lagi sama perempuan, itu salahmu, lo,
ya. Bagaimana jadinya kalau sampai tua nanti aku masih tetap
melajang?"

"Kalau nanti jadinya begitu, biar Komachi yang urus."

Komachi tersenyum ke arahku. Kupikir adik perempuanku ini


selamanya akan tetap jadi anak-anak, tapi melihat mimik dewasa yang
aneh pada wajahnya, justru membuat jantungku sedikit berdebar.

"Aku akan bekerja keras dan menabung lalu memasukkan Kakak ke


panti jompo."

Mungkin saja ia memang sudah dewasa... atau mungkin, ia hanya


bersikap sok dewasa saja.

"...kau ini memang benar adikku, 'kan...?"

Aku tak bisa berhenti berdesah.

Kuteguk sisa kopiku yang ada di gelas lalu berdiri. Sewaktu aku
melakukannya, Komachi mulai mendorongku dari belakang.

"Lambat banget, Kak. Sudah jamnya, nih! Komachi bakal telat,


lo~~!"
"Anak ini..."

Kalau saja ia bukan adikku, mungkin sudah kutendang jauh-jauh.


Biasanya sih, yang seperti itu malah jadi hal kebalikan, namun hal
tersebut benar-benar terjadi di dalam keluarga Hikigaya. Kadang
ayahku bisa jadi sosok penyayang kalau sedang berurusan dengan
adikku. Beliau pun sering berkata akan membunuh lelaki mana saja
yang mendekati adikku, sekalipun lelaki itu kakaknya sendiri.
Mendengar beliau berkata begitu membuatku merasa mual. Dan
ujung-ujungnya, kalau aku sampai berbuat macam-macam pada
adikku, bisa-bisa akulah yang ditendang jauh-jauh oleh keluargaku
sendiri.

Dengan kata lain, tak hanya di sekolah saja aku berada di lapisan
terbawah dalam pergaulan, tapi di keluargaku sendiri pun aku tetap
ada di posisi terbawah.

Kukayuh sepedaku lalu beranjak dari rumah. Komachi duduk di


belakangku. Ia melingkarkan tangannya di pinggangku dan
memelukku erat.

"Let's go!"

"Setidaknya bilang, Terima kasih, begitu."

Bersepeda sambil berboncengan seperti ini jelas melanggar aturan


lalu lintas, tapi karena pikiran Komachi masih kekanak-kanakan, jadi
ya, dimaklumi saja.

Aku sedikit tersentak ketika Komachi berbicara padaku.

"Hari ini jangan sampai tabrakan, ya. Soalnya Komachi ini lagi
boncengan bareng Kakak, lo."

"Jadi kalau aku sendirian, tak masalah kalau tabrakan, begitu...?"

"Bukan, bukan begitu. Duh, Kakak ini... kadang mata Kakak itu
seperti ikan mati, makanya aku khawatir. Ini yang dinamakan kasih
sayang seorang adik, paham?"
Sambil mengatakannya, Komachi membenamkan wajahnya di
punggungku. Kalau saja ia tak mengucapkan kalimat kejam di awal
tadi, mungkin aku bakal tergoda menyebut dirinya manis, tapi yang
ada, kini aku merasa kalau ia cuma anak yang licik.

Meski begitu, sejujurnya... aku juga tak ingin membuat keluargaku


merisaukan hal tak berguna.

"...ya, aku akan hati-hati."

"Yang pasti Kakak harus hati-hati, apalagi kalau sedang


memboncengku."

"Kau meminta kakakmu ini supaya memilih jalan bergelombang ke


sekolah, 'kan?"

Jelas aku tak mau mengulangi hal yang seperti itu lagi. Soalnya yang
selalu kudengar hanyalah keluhan, Aduh, sakit! Kena bokongku, nih!
Kalau begini, aku takkan bisa menikah! Makanya aku mengambil
jalan yang cukup datar. Akibat semua rengekannya itu, aku jadi
sempat mendapat reputasi buruk di lingkunganku...

Biar bagaimanapun, keselamatan itu di atas segalanya.

Aku mengalami kecelakaan lalu lintas di hari pertamaku masuk SMA.


Rasanya memang gugup saat akan memulai kehidupan baru di
sekolah baruku, namun aku justru menyegel takdirku sendiri dengan
berangkat lebih pagi demi menghadiri upacara penerimaan murid
baru.

Kira-kira saat itu masih sekitar jam tujuh pagi. Seorang perempuan
yang sedang jalan-jalan bersama anjingnya di seputaran sekolah tahu-
tahu kehilangan pegangan atas tali kekang anjingnya. Nahasnya, di
saat yang sama, sebuah mobil limusin mewah juga tengah melintas di
jalan raya. Tanpa kusadari, sepedaku sudah meluncur kencang ke
arahnya.

Alhasil, mereka lalu memanggil ambulans untuk membawaku ke


rumah sakit. Itu adalah momen yang membuatku ditakdirkan menjadi
penyendiri di SMA.
Karena kecelakaan tersebut, sepeda baruku yang masih mulus
menjadi rusak parah. Dan aku mengalami patah tulang pada kaki kiri
emasku.

Andai aku seorang pemain sepak bola, mungkin suasana kelam akan
menyelimuti dunia persepakbolaan Jepang kala itu. Untunglah aku
bukan pemain sepak bola.

Aku juga merasa beruntung karena cedera yang kualami tak begitu
parah.

Yang membuatku merasa kurang beruntung adalah fakta bahwa orang


yang menjengukku di rumah sakit hanyalah keluargaku sendiri.

Mereka menjengukku setiap tiga hari sekali. Sial, harusnya mereka itu
menjengukku setiap hari...

Semenjak kecelakaan itu, adik dan kedua orang tuaku mulai sering
makan di luar. Setiap kali adikku datang menjenguk dan membahas
soal mereka yang pergi makan sushi ataupun barbeque ala Korea,
rasanya aku jadi ingin mendekati lalu mematahkan kelingkingnya itu.

"Tapi syukurlah Kakak cepat sembuh. Aku yakin, gips itu pasti
sangat membantu. Gips memang mujarab untuk menyembuhkan luka
memar!"

"Dasar bodoh, jangan disamakan gips dengan salep. Lagi pula, aku
itu kena patah tulang, bukan luka memar."

"Lagi-lagi Kakak marah sambil bicara enggak jelas."

"Huh! Kau itu yang sok tahu!"

Namun Komachi tak tampak memerhatikanku, dan langsung


mengganti topik seakan itu hal paling lumrah di dunia ini.

"'Gini, Kak..."

"Eh? ' Gini? Kau sudah ketularan Issei Fuubi Sepia, ya? Jadul
banget, deh."[3]
"Begini, Kak... kayaknya ada yang enggak beres sama kuping
Kakak."

"Cara bicaramu itu yang enggak beres..."

"Tahu, enggak? Setelah kecelakaan itu, si pemilik anjing datang


untuk berterima kasih, lo."

"Kok aku tidak tahu...?"

"Soalnya Kakak waktu itu lagi tidur. Ia juga bawa kue, lo. Rasanya
enak banget."

"Hei, aku benar-benar tak ingat kalau ada kue. Teganya kau
memakan semuanya tanpa bilang-bilang?"

Ujarku sembari menoleh ke belakang, dan kulihat Komachi


tersenyum malu sambil berkata, "Tehehe..." Bocah ini benar-benar
bikin kesal...

"Padahal perempuan itu satu sekolah kok sama Kakak, masa belum
pernah ketemu? Ia bilang mau berterima kasih langsung pada Kakak
saat sudah di sekolah nanti."

Tanpa sadar, aku langsung mengerem mendadak. "Aaaw!" Kudengar


suara mengaduh di belakangku, dan wajah Komachi sudah menempel
di punggungku.

"Kok tahu-tahu mengerem mendadak, sih?"

"...kau ini, kenapa tak memberi tahu aku sebelumnya? Kau ada
pernah menanyakan nama atau hal lain padanya?"

"Eh? ...yah, ia macam tipikal gadis gulali, begitu..."

"Memangnya kita lagi bahas Festival Bon, apa? Jangan bicara seakan
kau itu penjual dendeng. Jadi siapa namanya?"

"Hmm... aku lupa. Ah, sudah dekat sekolahku, nih. Komachi duluan,
ya!"
Segera setelah berkata begitu, Komachi melompat dari sepedaku lalu
berlari menuju gerbang sekolahnya.

"Anak ini..."

Kupandangi punggung adikku yang sedang berlari, dan tepat sebelum


ia masuk ke dalam sekolah, Komachi berbalik lalu membungkuk
sebentar kepadaku.

"Aku duluan ya, Kak! Terima kasih tumpangannya!"

Mendengar ucapan serta lambaian tangan yang diikuti senyumnya


kepadaku itu, membuatku sempat merasa bahwa adikku ini lumayan
manis. Aku balas melambai, lalu kudengar adikku berkata. "Hati-hati
kalau ada mobil, ya!"

Kuhela napas dengan pasrah lalu kukayuh sepeda ini menuju


sekolahku.

Jika memang di sekolahku, kira-kira di mana si pemilik anjing itu


berada?

Bukan berarti aku sudah menyiapkan rencana mengenai yang akan


kulakukan setelah bertemu dirinya. Aku hanya sedikit penasaran saja.

Akan tetapi, fakta bahwa kami tak pernah bertemu setelah kejadian itu
selama setahunan ini membuatku berpikir kalau ia memang tak begitu
ingin bertemu denganku... yah, memang hal yang wajar, sih. Yang
kulakukan cuma menyelamatkan anjingnya dengan mengorbankan
tulang kakiku. Jadi sudah cukup baginya untuk mengirimkan tanda
terima kasih ke rumahku.

Pandanganku mendadak tertuju ke keranjang yang terpasang di depan


sepedaku ini, dan kulihat ada tas sekolah berwarna hitam yang bukan
kepunyaanku di sana.

"...dasar bodoh."
Dan sewaktu aku memutar sepedaku lalu bergegas melaju ke arah
berlawanan, kulihat Komachi sudah berlari ke arahku sambil
berlinang air mata.

— II —

Berganti bulan berarti ikut berganti pula kegiatan dalam pelajaran


Olahraga.

Di sekolahku, pelajaran Olahraga dilaksanakan serempak oleh tiga


kelas berbeda, dan enam puluh anak lelaki yang ada di kelompok
tersebut dipisah ke dalam dua kegiatan.

Hingga bulan kemarin, kami harus memilih antara bola voli ataupun
lari. Dan untuk sekarang, pilihannya adalah tenis atau sepak bola.

Baik aku maupun Zaimokuza adalah seorang fantasista di lapangan


hijau,[4] tetapi kami berdua lebih memfokuskan diri pada skill individu
masing-masing. Maka dari itu, kami beranggapan bahwa akan
merugikan bagi tim andai kami bergabung di dalamnya, sehingga
kami pun memilih tenis. Tentunya... aku adalah orang yang sudah
gantung sepatu dalam dunia sepak bola karena cedera lama yang
menghinggapi kaki kiriku ini. Dan itu bukan cedera yang kualami saat
bermain sepak bola...

Akan tetapi, tampaknya tahun ini banyak sekali anak yang ingin
bermain tenis. Lalu setelah melewati pertarungan suten yang heroik,
akhirnya aku pun bertahan dalam grup tenis sedangkan Zaimokuza
terpaksa masuk ke grup sepak bola.

"Hemh, Hachiman... sungguh disayangkan karena aku tak bisa


memperlihatkan bola melengkung ajaibku di sini. Tanpa dirimu...
siapa gerangan orang yang bisa kuajak berpasangan dalam latihan
mengumpan...?"

Ucapan tersebut meninggalkan kesan mendalam bagiku. Zaimokuza


yang biasanya tampil percaya diri kini terlihat begitu putus asa.
Siapa gerangan orang yang bisa kuajak berpasangan...? Pertanyaan
itu sebenarnya juga berlaku untukku.

Lalu kegiatan tenis pun dimulai.

Kulakukan peregangan secara serampangan kemudian mendengarkan


arahan mengenai tenis dari Pak Atsugi selaku guru Olahraga.

"Baik, sekarang ayo kita praktikkan. Buat pasangan, lalu tiap anak
tempati masing-masing sisi lapangan."

Setelah Pak Atsugi berkata demikian, semua anak menyebar ke dalam


kelompok kecil lalu pergi ke masing-masing sisi lapangan.

Bagaimana bisa mereka secepat itu berpasangan? Mereka bahkan tak


melihat sekitarnya dulu! Apa mungkin mereka juga ahli dalam umpan
tanpa melihat?

Radar penyendiriku yang sensitif mulai aktif, mendeteksi tingginya


tingkat peluang ditelantarkan.

Aku tidak takut. Aku sudah mengembangkan trik khusus untuk saat-
saat seperti ini.

"Eng... saya sedang tak enak badan, Pak. Jadi boleh saya berlatih
sendiri dengan tembok? Soalnya saya tak mau merepotkan yang
lain."

Ujarku demikian, dan tanpa menunggu tanggapan Pak Atsugi, aku


segera menuju ke arah tembok dan mulai mengayunkan raket.
Mungkin Pak Atsugi sadar kalau ia sudah melewatkan kesempatan
untuk menanggapiku, karena itu beliau sama sekali tak
mempersoalkannya.

Trik tersebut benar-benar ampuh...

Pernyataan, Tak enak badan serta Tak mau merepotkan yang lain,
punya efek sinergi yang besar. Dan dengan memakai kalimat itu aku
juga bisa bersikap santai seolah aku memang punya motivati untuk
berusaha keras.
Begitulah. Ini tindakan pencegahan yang kudapatkan setelah melalui
begitu banyak pelajaran Olahraga sewaktu disuruh berpasangan
dengan siapa saja sesukanya. Mungkin kapan-kapan aku akan
mengajari ini ke Zaimokuza... aku yakin anak itu akan senang dan
menangis bahagia.

Kukejar bolanya dan kupukul kembali ke arah tembok, gerakan


tersebut kulakukan berulang-ulang. Waktu berlalu seiring kulanjutkan
kegiatan monoton itu.

Lalu kudengar sorakan riuh dari sekitarku sewaktu para anak lelaki
lain sedang memainkan tenis yang tampak heboh itu.

"Uryoaah! Wuoh?! Itu pukulan yang hebat, 'kan?! Luar biasa, 'kan?!"

"Iya, hebat! Enggak ada yang bisa memukul kayak begitu! Keren!"

Sorakan tersebut jelas menandakan bahwa mereka sedang bersenang-


senang selama sesi latihan bebas.

Berisik, mati saja sana... Pikirku sewaktu aku menoleh dan melihat
Hayama.

Pasangan main Hayama - atau tepatnya, mereka yang sering terlihat


berempat - terdiri dari dirinya sendiri, si rambut pirang yang begitu
akrab dengannya di kelas, beserta dua anak lainnya yang tak begitu
kukenal. Mungkin mereka dari kelas 3-C atau kelas 3-I atau kelas
lainnya... pokoknya, bisa dibilang mereka memancarkan aura heboh
selama bermain tenis.

"Wuaah!" Si rambut pirang itu tak bisa mengembalikan pukulan


Hayama dan berteriak. Perhatian seluruh anak pun tertuju ke arahnya,
penasaran tentang yang sedang terjadi.

"Hayama, yang tadi itu benar-benar hebat! Bolanya tadi melengkung,


'kan? Benaran melengkung, 'kan?!"

"Ah, kurasa tadi aku tak sengaja memilin bolanya... maaf, itu
salahku."
Hayama mengangkat tangannya untuk meminta maaf, namun kata-
katanya justru tenggelam oleh sikap berlebihan si rambut pirang
sebelahnya.

"Gila?! Kau bisa memukul bola dengan teknik melengkung begitu?!


Hayama memang hebat! Benar-benar hebat!"

"Hahaha... masa, sih?"

Hayama segera masuk ke dalam pembicaraan kemudian tertawa riang.


Di saat yang sama, pasangan di sebelahnya juga ikut berkomentar.

"Hayama juga hebat bermain tenis, ya? Bola yang melengkung tadi...
bisa ajari aku caranya, enggak?"

Anak yang bicara lalu mulai berjalan mendekati Hayama tadi punya
rambut yang dicat cokelat, dan anehnya ia terlihat cukup kalem. Kami
mungkin satu kelas. Aku juga tak tahu namanya, jadi itu tak begitu
penting.

Dalam sekejap, kuartet Hayama tadi berubah menjadi sekstet.[5] Saat


ini mereka adalah geng penguasa terbesar di pelajaran Olahraga...
omong-omong, sekstet kok malah terdengar seperti sexaroid, ya? Ya,
ya, ya... memang terdengar mesum...

Pokoknya, itulah alasan kenapa pelajaran tenis berubah menjadi


Kerajaan Hayama. Rasanya seolah kita tak boleh mengikuti pelajaran
jika bukan bagian dari kelompok mereka. Tentu saja, semua anak di
luar kelompok Hayama jadi diam tak bersuara. Selamat tinggal,
kebebasan berbicara...

Kegaduhan yang dibuat oleh kelompok Hayama memberi kesan


begitu kuat, padahal Hayama sendiri tak begitu gaduh - justru orang-
orang di sekitarnya yang bikin gaduh. Lebih tepatnya, si rambut
pirang, yang secara sukarela menjadi kepala pelayan dari Kerajaan
Hayama itulah yang paling gaduh.

"Melengkung!"

Ya, 'kan? Anak itu benar-benar gaduh.


Padahal bola yang dipukul si rambut pirang itu tak melengkung sama
sekali, justru melayang jauh dari Hayama dan mengarah ke pojok
lapangan yang gelap dan lembab. Dengan kata lain, bola itu melayang
ke arahku.

"Ah, maaf, maaf! E-eng... hei, Hikitani, ya? Hikitani, bolanya lempar
ke sini, dong."

Siapa itu Hikitani?

Tapi aku tak ingin membenarkan ucapannya, jadi kuambil saja bola
yang menggelinding ke arahku itu kemudian kulemparkan padanya.

"Terima kasih, ya!"

Hayama tersenyum dan melambaikan tangannya padaku.

Aku menanggapinya dengan sedikit mengangguk.

...buat apa aku mengangguk?

Sepertinya naluriku menganggap bahwa Hayama berada lebih tinggi


di atasku... bahkan dengan standarku ini, aku jadi benar-benar tunduk.
Begitu tunduknya sampai-sampai membuatku berpikir bahwa aku
sudah dipercundangi oleh seseorang...

Kukumpulkan semua perasaan suram ini dan kulampiaskan semuanya


pada tembok.

Tembok adalah rekan terpenting dalam masa muda.

...bicara soal itu, aku masih penasaran kenapa istilah tembok berlapis
sering ditujukan untuk payudara kecil?

Terdapat satu teori, yakni tembok berlapis tersebut adalah siluman


tanuki, dan tembok itu sendiri adalah tanuki yang sedang
membentangkan alat kelaminnya. Memangnya tembok macam apa
itu? Hal yang barusan itu sebenarnya justru terdengar seperti benda
empuk... jadi dengan kata lain, dan cukup paradoks, ketika kita
mengejek seorang perempuan yang berpayudara kecil dengan sebutan
tembok berlapis, maka secara tak langsung kita berkata kalau
payudaranya itu cukup empuk. QED, jelas terlihat. Bodoh.[6]

Biarpun begitu, aku yakin Hayama tak pernah berpikir demikian.


Teori di luar nalar tadi hanya bisa diciptakan oleh rasa sakit hatiku
yang tak biasa ini.

Baiklah, anggap saja kami seri hari ini... yak, rasanya juga memang
begitu.

— II —

Saat itu jam istirahat makan siang.

Aku memakan bekalku di tempat biasanya. Markasku ini bertempat di


lantai satu paviliun, bersebelahan dengan ruang UKS dan terletak di
pojok belakang kantin. Untuk lebih jelasnya, itu adalah posisi di mana
aku bisa melihat langsung lapangan tenis.

Dengan santai kumakan wiener roll, onigiri isi tuna, dan Neapolitan
roll yang kubeli dari kantin ini.

Dan rasanya begitu damai.

Di saat yang sama, suara permainan drum yang berirama hendak


mengajakku masuk ke alam mimpi.

Para gadis dari Klub Tenis memulai latihan pribadinya di siang hari,
itu sebabnya mereka berada di sisi luar dekat tembok; mereka
memukul bolanya lalu dengan heroik mengejar untuk
mengembalikannya, kemudian mereka memukulnya kembali.

Sambil memakan bekalku, mataku mengikuti pergerakan mereka. Di


penghujung istirahat makan siang, kuhisap teh lemon dalam kemasan
ini lewat sedotan, dan bisa kurasakan hembusan angin sedang
membuai diriku.
Arah angin pun berubah.

Berubah-ubah seiring cuaca di hari-harinya, namun karena sekolah ini


dekat dengan laut, arah angin biasanya berganti sekitar siang hari.
Rasanya hampir seolah angin laut pagi hari sedang berhembus
kembali ke arah asalnya.

Menghabiskan waktu sendirian begini, merasakan angin tersebut


membelai diriku, rasanya tidak buruk-buruk amat.

"Eh? Hikki, ya?"

Angin yang sama ikut membawa suara yang tak asing ke telingaku.
Saat aku menoleh, kulihat Yuigahama sudah berdiri sambil
menggenggam roknya supaya tak tertiup angin.

"sedang apa di sini?"

"Aku biasa makan di sini."

"Eh, yang benar? Kenapa di sini? Bukannya lebih nyaman kalau


makan di kelas?"

"..."

Yuigahama tampak benar-benar bingung, tapi aku hanya


menanggapinya dengan diam. Kalau memang lebih nyaman di kelas,
tak mungkin aku sampai makan di luar begini... dasar, kenapa ia tak
peka begitu?

Kita ganti saja topiknya.

"Lebih penting lagi, kenapa kau ada di sini?"

"Oh, iya! Sebenarnya aku kalah main suten sama Yukinon, jadi... bisa
dibilang ini hukumannya."

"jadi hukumannya bicara denganku...?"

Memilukan sekali... rasanya ingin mati saja.


"Bu-bukan, bukan! Yang kalah harus membeli jus! Cuma itu!"

Yuigahama buru-buru mengibaskan tangannya, berusaha menyangkal


anggapanku. Baguslah; padahal aku sempat ingin bunuh diri tadi...

Yuigahama mengelus dadanya karena lega, kemudian mendudukkan


dirinya di sebelahku.

"Awalnya Yukinon enggak mau. Aku bisa beli makan sendiri. Lagi
pula, apa untungnya bagiku memenangkan permainan tak penting
ini? Begitu katanya."

Untuk alasan tertentu, Yuigahama tampak berusaha meniru


Yukinoshita. Sayangnya ia gagal.

"Yah, ia memang seperti itu."

"Betul, terus aku bilang, Jadi kau merasa kalau enggak bisa menang,
ya? Habis itu ia setuju mau ikut."

"...yah, ia memang seperti itu."

Perempuan itu biasanya terlihat begitu kalem, namun beda cerita jika
ada yang menantangnya, soalnya ia benci sekali kalah. Ia langsung
setuju mengikutinya sama seperti waktu Bu Hiratsuka menantangnya
dulu.

"Terus, waktu Yukinon menang, ia sedikit mengepalkan tangannya,


lo... lucu banget, deh..."

Yuigahama lalu menghela napas senang.

"Kurasa ini pertama kalinya aku merasa begitu senang saat mengikuti
permainan hukuman."

"Jadi kau sudah sering memainkannya?"

Saat aku menanyakan itu, Yuigahama mengangguk.

"Ya, sering beberapa kali..."


Mendengarkannya tiba-tiba membuatku teringat sesuatu. Di
penghujung istirahat makan siang, selalu saja ada pojok ruangan
konyol yang meributkan permainan suten...

"Cih, rupanya itu sudah jadi klub yang agak eksklusif bagimu."

"Kok reaksimu jelek begitu? Kau enggak suka, ya?"

"Ya jelas, lah. Aku benci orang-orang yang membuat kumpulannya


sendiri lalu bercanda dengan sesamanya... ah, tapi aku suka
perselisihan internal. Karena aku tak terlibat di dalamnya!"

"Alasanmu enggak hanya suram, tapi terdengar sangat rendahan!"

Berisik. Pergi saja sana...

Yuigahama lalu tersenyum sambil memegangi rambutnya,


menjaganya agar tak tertiup angin. Ekspresi tadi tampak berbeda
dengan yang biasanya ia perlihatkan sewaktu bersama Miura dan
kawan-kawannya di kelas...

Ahh, begitu. Kalau tidak salah, ia tak mengenakan riasan yang


berlebihan. Wajahnya jadi terlihat lebih alami. Mungkin perubahan
tersebut baru saja ia lakukan, meski begitu, bukan berarti aku jadi
punya kebiasaan memandangi wajah perempuan... ah, terserahlah.

Tapi itu adalah bukti kalau ia telah berubah, walaupun itu hanya
sedikit.

Mungkin itu dikarenakan riasan yang tak berlebihan di wajahnya,


tetapi... saat Yuigahama tersenyum, mata sayu dan wajah belianya itu
jadi tampak semakin muda.

"Tapi masa, sih? Kupikir Hikki juga sudah terbiasa membuat


kumpulan sendiri. Soalnya waktu di ruang klub, kau selalu tampak
senang jika mengobrol dengan Yukinon. A-aku pun selalu merasa
kalau aku enggak bakal bisa bergabung di perbincangan kalian..."

Sewaktu mengatakannya, Yuigahama merangkul kedua lututnya dan


membenamkan wajahnya di sana. Ia lalu melirik ke arahku.
"Yah, mungkin karena aku ingin ikut bergabung juga... ta-tapi bukan
dalam artian yang aneh-aneh lo, ya! Mak-maksudku, perbincangan
yang juga melibatkan Yukinon! Mengerti, 'kan?!

"Jangan khawatir... aku bukan orang yang gampang salah paham


kalau berurusan dengan orang sepertimu."

"Maksudmu itu apa?!"

Yuigahama lalu mengangkat kepalanya, tampak kalau ia kesal. "Ah,


sabar, sabar, tenang dulu!" Kutahan dirinya dengan tanganku,
kemudian berbicara.

"Yah, Yukinoshita itu lain cerita. Soalnya ia tak terelakkan."

"Maksudnya?"

"Hmm? Begini, tak terelakkan itu mengacu pada suatu wujud atau
keadaan yang mustahil ditentang oleh kemampuan manusia. Maaf
kalau aku memakai kata-kata sulit."

"Bukan! Aku sudah tahu artinya! Kau itu yang terlalu


meremehkanku! Asal tahu saja, ya, aku mengikuti ujian penerimaan
dan berhasil masuk ke SMA Soubu, sama sepertimu!"

Yuigahama lalu melayangkan chop-nya tepat ke tenggorokanku.


Sempurna mengenai jakunku, hingga membuatku terbatuk. Kemudian
Yuigahama menatapku sambil menjauh dan bertanya dengan nada
serius.

"...hei, bicara soal ujian penerimaan... kau masih ingat hari


pertamamu masuk SMA, enggak?"

"Uhuk uhuk uhuk! Eh...? Ah, aku tak begitu ingat, soalnya hari itu
aku kecelakaan."

"Kecelakaan..."

"Iya. Saat hari pertamaku masuk SMA, aku berangkat sambil


bersepeda, tahu-tahu ada anjing milik orang bodoh yang lepas
berkeliaran. Anjing itu hampir mau dilindas mobil, jadi aku
mengorbankan diri melindunginya... tentu saja, aksiku saat itu sangat
keren dan heroik."

Mungkin ada yang sudah kulebih-lebihkan pada cerita itu, tapi tak
mungkin juga ada orang lain yang tahu... sekalipun ada yang tahu,
paling-paling juga tak ada yang mau membahasnya. Karena itu, di
situasi begini ada baiknya bagiku untuk terlihat sedikit lebih keren.

Sewaktu ia mendengarnya, wajah Yuigahama menegang.

"Mi-milik orang bodoh, ya... jadi Hikki sama sekali enggak ingat
wajahnya?"

"Karena saat itu aku kesakitan, makanya aku tak begitu ingat. Yah,
yang jelas tak ada kesan yang begitu membekas di ingatanku, jadi
kurasa ia orang yang biasa-biasa saja."

"[Biasa-biasa saja... ya-yah, waktu itu aku memang tak memakai


riasan, sih... rambutku juga belum diwarnai, dan saat itu aku lagi
memakai piyama sekenanya... oh, di piyama itu juga ada gambar
beruang kecil, jadi aku mungkin agak kelihatan seperti orang bodoh
waktu itu...]"

Suara Yuigahama begitu pelan sampai-sampai tak bisa kudengar —


yang kulihat hanya gerak bibirnya yang menggumamkan sesuatu
sambil menatap ke lantai. Apa perutnya itu sedang mual?

"Ada apa?"

"Enggak... enggak apa-apa, kok... benaran! Jadi Hikki memang


enggak ingat sama perempuan itu, ya?!"

"Begitulah, seperti yang tadi kubilang, aku memang tidak ingat... eh,
tunggu. Memangnya tadi aku ada bilang kalau itu perempuan?"

"Eh?! I-iya, tadi kau bilang begitu, kok! Benaran! Soalnya, dari tadi
yang kaubahas, ...perempuan ini, perempuan itu, perempuan ini,
perempuan itu!!"
"Memangnya aku semenjijikkan itu, ya...?"

Saat mengatakannya, Yuigahama hanya tertawa keras dan terdengar


hampa, lalu dengan senyum yang masih tertinggal di wajahnya itu, ia
memalingkan muka ke arah lapangan tenis. Spontan, aku pun ikut
memalingkan muka.

Kurasa saat itu waktunya para gadis dari klub Tenis untuk
menghentikan latihan mereka; mereka menyeka keringatnya lalu
kembali ke kelas.

"Hei! Sai~~!"

Yuigahama memanggil sambil melambaikan tangan. Tampaknya ia


sedang menegur seseorang yang dikenalnya.

Perempuan itu melihat Yuigahama lalu berlari kecil menghampiri


kami.

"Wah, lagi latihan, ya?"

"Iya. Saat ini tim kami benar-benar lemah, karena itu kami harus
berlatih saat istirahat makan siang... kami sudah berulang kali
meminta izin dari pihak sekolah supaya bisa menggunakan lapangan
ketika istirahat, untunglah mereka akhirnya memperbolehkannya. Oh,
iya. Yuigahama dan Hikigaya sedang apa di sini?"

"Ahh, bukan apa-apa..."

Ujar Yuigahama sambil menoleh ke arahku seolah meminta


pembenaran. Yah, aku juga sudah selesai makan, dan urusannya
sendiri juga sudah mau selesai, 'kan? Apa kemampuan fokusnya itu
memang seperti burung...

"Oh, begitu." Perempuan itu, Sai atau siapalah namanya, tersenyum


pada kami.

"Sai, kau enggak hanya bermain tenis saat pelajaran Olahraga, tapi
saat istirahat makan siang juga... rasanya pasti berat."

"Iya, tapi aku juga memang mau, kok, jadi tidak masalah... oh, iya,
Hikigaya, ternyata kau cukup hebat bermain tenis, ya."

Mengejutkan, ia mengubah arah pembicaraannya kepadaku, makanya


aku langsung terdiam. Pertama kalinya aku mendengar yang seperti
ini. Lagi pula, siapa sebenarnya anak ini? Kenapa ia bisa tahu
namaku?

"Ohh...?" Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padanya, namun


sebelum aku sempat, Yuigahama sudah memotong duluan, seolah
terkesan.

"Masa, sih?"

"Iya, waktu ia bermain, form-nya benar-benar bagus."

"Ahh, kau membuatku malu, ha ha ha... [anak ini siapa, ya?]"

Kalimat terakhir tadi kuucapkan dengan sedikit berbisik agar hanya


Yuigahama saja yang bisa mendengarnya, namun ia justru membuat
usahaku jadi tak ada artinya.
"Haaahh?! Kau itu satu kelas dengannya, lo! Bahkan kau sama-sama
dengannya di pelajaran Olahraga! Kok bisa enggak tahu, sih?!
Keterlaluan banget!"

"Dasar bodoh, tentu saja aku tahu! Tadi aku hanya lupa! ...soalnya
laki-laki dan perempuan dipisah saat pelajaran Olahraga!"

Aku sudah berusaha untuk lebih peka, dan ia benar-benar


menghancurkan usahaku... kini semua orang di dunia bakal tahu kalau
aku tak tahu nama perempuan ini. Dan mungkin kini ia sedang dalam
suasana hati yang buruk...

Sewaktu memikirkan itu, aku memandang ke arah Sai dan melihat


matanya sudah berkaca-kaca... sial, ini gawat. Kalau diibaratkan
anjing, ia mirip seperti chihuahua, dan ibarat kucing, ia mirip seperti
munchkin... tampangnya sendu sekali dan itu menggemaskan.

"A-ahaha. Kurasa kau memang tak ingat namaku... aku Saika


Totsuka. Kita ada di kelas yang sama."

"A-ah, maaf kalau begitu. Soalnya kita baru saja naik kelas dua, jadi
aku agak sulit mengenali murid lain... haha."

"Kita juga sekelas waktu kelas satu, kok... ehehe, mungkin


keberadaanku tak begitu mencolok..."

"Bukan, bukan begitu... oh, aku mengerti! Itu karena aku jarang
sekali bergaul dengan perempuan di kelas kita! Asal tahu saja, aku
pun masih tak tahu nama lengkap perempuan yang ada di sebelahku
ini!"

"Sudah, ingat-ingat saja sana!"

Yuigahama lalu memukul kepalaku, tapi itu malah membuat Totsuka


bergumam sambil menyeringai.

"Kau pasti sudah berteman baik dengan Yuigahama..."


"E-ehh?! Sa-sama sekali enggak, kok! Yang ada, aku malah ingin
membunuh anak ini! Kubunuh Hikki terlebih dahulu lalu gantian aku
yang menyusul... ya, semacam itulah!"

"Ya, begitulah! ...omong-omong, yang tadi itu mengerikan! Kau


benar-benar mengerikan! Memangnya kita pasangan bunuh diri, apa?!
Amit-amit, deh!"

"Hah?! Ka-kau ini benaran bodoh, ya?! Bukan seperti itu


maksudku!"

"Kalian berdua benar-benar akrab, ya..."

Kata Totsuka dengan nada memelas, yang kali ini memandang ke


arahku.

"Omong-omong, aku ini laki-laki... apa menurutmu aku kelihatan


selemah itu?"

"Eh?"

Pikiran dan tubuhku seketika itu juga terhenti. Aku segera menoleh ke
arah Yuigahama. Itu bohong, 'kan? Tatap mataku menanyakan itu.
Namun Yuigahama, yang masih kesal dan tampak merah pipinya itu,
hanya memberi anggukan tegas kepadaku.

Tunggu... serius, nih? Mustahil. Itu pasti cuma lelucon.

Totsuka melihat tatapan penuh keraguanku dan wajahnya mulai


memerah. Ia menundukkan kepalanya, lalu menatapku sambil
menengadah.

Tangan Totsuka perlahan bergerak turun ke celana pendeknya.


Pergerakan kecil itu sudah cukup untuk memikatku.

"...kalau kau mau, aku bisa menunjukkan buktinya."

Aku merasa sesuatu di dalam hatiku ini tersentak.

Iblis kecil Hachiman lalu muncul di bahu kananku. "Wuoh, mantap,


lanjutkan saja, terus lihat baik-baik — siapa tahu kau beruntung, ya
'kan?" Yah, ada benarnya juga, sih... lagi pula, ini kesempatan yang
sangat langka. "Tunggu sebentar!" Ahh, kali ini malaikat Hachiman
yang muncul. "Selagi sempat, kenapa tak kauminta ia melepas
bajunya dulu?" Apa-apaan itu... malaikat hina macam apa yang bisa
bicara seperti itu?

Akhirnya, aku memilih untuk mendengarkan akal sehatku sendiri.

Benar, dengan karakter androgini semacam ini, seluruh daya tarik


yang bersemayam dalam jenis kelamin mereka terasa begitu ambigu!
Dan pada kesimpulan logis ini, aku pun mampu menenangkan diri
dan melanjutkan dengan kepala dingin.

"Pokoknya... aku minta maaf. Aku sama sekali tidak tahu, biarpun
begitu, aku sungguh minta maaf jika sudah membuatmu tak nyaman."

Saat Totsuka mendengarnya, ia lalu mengusap air mata yang sudah


bermuara di matanya itu dan tersenyum padaku.

"Ah, tidak apa-apa."

"Tapi, Totsuka... aku terkejut kau bisa tahu namaku."

"Eh, ahh... yah, soalnya Hikigaya tampak mencolok kalau di kelas."

Setelah Totsuka mengatakannya, Yuigahama lalu memandang ke


araku.

"Maaasa? Tapi tampangnya biasa-biasa saja... bahkan butuh usaha


lebih supaya bisa menyadari keberadaan anak ini."

"Dasar bodoh, tentu saja aku mencolok! Sama mencoloknya seperti


bintang-bintang yang bersinar di malam hari!"

"Kok bisa?"

Wah, ia kini menanggapiku tanpa melepas pandangannya padaku.

"...ya-yah, ketika seseorang duduk di pojok ruang kelas lalu berbicara


sendiri, bukankah itu akan membuatnya sedikit mencolok...?"
"Ah, jadi itu maksudnya menco—... ahh, eng... maaf sudah
bertanya..."

Yuigahama lalu mengalihkan pandangannya dariku. Sikap yang


seperti itu yang bisa membuatku jadi murung...

Suasana pun kembali menengang, karena itu Totsuka memilih untuk


mengalihkannya.

"Tapi Hikigaya memang hebat bermain tenis, kok. Kau sudah sering
memainkannya, ya?"

"Yah, aku pernah beberapa kali memainkan game Mario Tennis


waktu SD dulu, tapi untuk tenis yang asli, aku belum pernah."

"Oh, yang dimainkan bareng-bareng itu, 'kan? Aku juga pernah main,
lo. Bermain ganda menyenangkan banget, deh~~"

"...aku hanya bermain seorang diri."

"Eh? ...ah. Eng... maaf."

"Apa-apaan itu, memangnya kau itu penyapu ranjau pikiran, apa?


Apa kerjamu itu cuma menggali kepingan-kepingan trauma yang
kupunya saja, hah?"

"Hikki sendiri yang terlalu banyak menyimpan ranjau!"

Totsuka yang berdiri di samping kami, tampak begitu senang


menyaksikan perdebatanku dengan Yuigahama.

Dan begitulah, bel yang menandakan berakhirnya istirahat makan


siang pun berbunyi.

"Ayo balik."

Ucap Totsuka, dan Yuigahama pun mengikuti di belakangnya.

Kupandangi mereka dari belakang dan tiba-tiba aku merasa sedikit


aneh.
Oh, iya... mereka itu satu kelas, wajar saja kalau pergi bareng... tanpa
sadar aku jadi terikut mereka.

"Lo, Hikki? Kau sedang apa?"

Yuigahama menoleh ke arahku sambil kebingungan. Totsuka pun


menghentikan langkahnya lalu menghadap ke arahku.

Bukan hal aneh kalau aku pergi bareng mereka, 'kan? Hampir saja
kutanyakan hal itu, namun kuhentikan.

Yang ada, aku malah bertanya.

"Terus, bagaimana dengan jus yang mau kaubeli tadi?"

"Eh? ...ahhh!!"

— II —

Beberapa hari setelahnya, aku kembali mengikuti pelajaran Olahraga.

Karena sudah berulang kali melakukan sesi latihan dengan tembok,


aku pun menjadi ahli dalam memukul bola tenis ke tembok. Pada titik
ini, aku bisa memainkan reli dengan tembok tanpa perlu melangkah
ke mana-mana.

Seusai pelajaran esok nanti, kami akan mulai mengadakan beberapa


pertandingan tenis. Dengan kata lain, hari ini adalah terakhir kalinya
aku bisa berlatih tenis dengan reli saja.

Ini memang benar-benar latihan reli terakhirku, jadi kupikir aku akan
melakukannya dengan sungguh-sungguh, tapi kemudian, aku merasa
ada yang mencolek bahu kananku.

Apa mungkin ada seekor peri di belakangku? Lagi pula, tak ada yang
mau bicara denganku, jadi ini pasti semacam fenomena supernatural.

Aku menoleh, ketika kurasakan sebuah jari mencolek pipi kananku.


"Ahaha, kena, deh~"

Ternyata itu Saika Totsuka yang sedang tersenyum manis kepadaku.

Uuh, perasaan apa ini...? Hatiku berdegup kencang. Andai ia bukan


lelaki, mungkin aku sudah mengajaknya pacaran dan ditolak saat itu
juga. Waduh, jadi aku sudah mengira kalau bakal ditolak, nih?

Soalnya, saat melihat Totsuka mengenakan seragam biasa, rasanya


tak ada yang istimewa seperti lelaki kebanyakan, namun sewaktu ia
mengenakan seragam olahraga, yang tak ada bedanya biar lelaki
maupun perempuan, jenis kelamin yang dimilikinya begitu
meragukan. Kalau saja kaos kakinya berwarna hitam dan dilipat lebih
tinggi di atas pergelangan kakinya, keraguan itu pasti akan sirna.

Lengan, kaki, dan pinggangnya begitu ramping, dan kulitnya putih


langsat.

Yah, memang benar kalau ia tak punya payudara yang besar, tapi tak
berarti Yukinoshita juga punya.

Entah kenapa, aku merasa bulu kudukku merinding.

Setelah agak mereda, aku lalu bicara pada Totsuka yang sudah berdiri
sambil tersenyum di sana.

"Ada perlu apa?"

"Ah. Begini, anak yang biasanya kuajak berpasangan hari ini tak
masuk sekolah. Jadi, eng... kalau boleh, mau tidak kau jadi
partnerku?"

Sial, harusnya ia jangan melihat sambil menengadah begitu. Ia jadi


kelihatan begitu manis. Arghh, kenapa ia sampai tersipu segala?

"Ahh, boleh. Lagi pula, aku juga sedang tak punya pasangan."

Maaf, Tembok. Hari ini aku tak bisa main denganmu...

Setelah meminta maaf pada tembok dan beralih ke Totsuka, ia lalu


tampak lega. "Fiuh... syukurlah!" Gumamnya.
Sial, mendengarnya malah membuatku gugup. Dirinya terlihat benar-
benar manis.

Menurut cerita Yuigahama, karena penampilan Totsuka yang seperti


itu, beberapa perempuan di sekolah kami mulai menjulukinya Sang
Pangeran. Oh, jika melihat Totsuka sebagai lelaki manis yang punya
sisi feminin, nama itu memang sangat cocok. Ditambah, julukan Sang
Pangeran juga membuat kita ingin melindunginya.

Begitulah, latihan bebasku dengan Totsuka pun dimulai.

Totsuka merupakan bagian dari Klub Tenis, jadi tak mengejutkan


kalau permainannya bagus.

Ia bisa menangani servis yang telah kukuasai sewaktu sesi memukul


bola ke tembok, dan mengembalikannya ke arahku.

Seusai kami mengulang gerakan itu berkali-kali, Totsuka mulai


membuka pembicaraan, seakan ia hampir mulai merasa bosan.

"Sudah kuduga, Hikigaya cukup hebat."

Karena jarak kami agak jauh, Totsuka mengatakannya dengan


perlahan.

"Aku sangat hebat soal memukul bola ke tembok, jadi menguasai


tenis itu perkara mudah."

"Itu skuas, bukan tenis..."

Dengan perlahan, sambil saling melempar kalimat, Totsuka dan aku


lanjut bergantian memukul bola. Walau anak lain di sekitar kami
gagal memukul maupun mengembalikan bola mereka, namun reli
panjang kami tetap berlanjut.

Kemudian, reli kami pun berhenti. Totsuka menangkap bola yang


melambung ke arahnya.

"Ayo istirahat dulu."

"Ayo."
Kami lalu duduk bareng. Kenapa ia harus duduk di sampingku?
Rasanya agak aneh, 'kan? Ketika ada dua anak lelaki duduk bareng,
bukankah lebih normal jika mereka duduk saling berhadapan atau
saling bersilangan? Bukankah ia duduk terlalu dekat? Bukankah
sudah terlalu dekat?

"Begini... aku ingin meminta saran darimu, Hikigaya..."

Ujar Totsuka dengan tampang serius.

Begitu rupanya. Kalau ia ingin diam-diam meminta saran dariku,


maka kurasa kami memang harus sedekat ini. Itu sebabnya ia duduk
begitu dekat denganku, ya 'kan?

"Saran, ya...?"

"Iya. Ini sebenarnya tentang Klub Tenis kami... kau tahu, 'kan? Kami
memang tak begitu hebat. Kami juga tak punya banyak anggota. Dan
jika para anak kelas tiga lulus pada turnamen berikutnya, kami akan
jadi lebih lemah. Ada banyak murid baru yang bergabung namun
mereka belum pernah bermain tenis sebelumnya, jadi mereka masih
belum terbiasa... dan karena kami begitu lemah, motivasi kami pun
berkurang. Maksudku, Maksudku, bukan berarti orang-orang perlu
bersaing dalam olahraga yang dimainkannya, jadi..."

"Begitu."

Itu masuk di akal. Sebenarnya, itu mirip seperti masalah yang biasa
dihadapi oleh tim olahraga kecil dan lemah.

Kalau tim kita tak begitu hebat, orang-orang takkan bergabung. Dan
kalau tak banyak orang di dalamnya, maka takkan ada yang mau
bersaing untuk posisi inti.

Bahkan andai kita izin atau bolos saat latihan, kita masih bisa bermain
saat turnamen. Dan selama kita masih dimainkan dalam pertandingan,
kita akan merasa bahwa kita sudah cukup berkontribusi. Tentunya ada
banyak orang yang sudah merasa puas dengan hal demikian meski
mereka tak memenangkan pertandingan apa pun.
Pemain-pemain yang seperti itu takkan bisa berkembang. Dan karena
hal tersebut, timnya tak punya harapan untuk menarik perhatian
pemain-pemain baru. Dan itu akan terus berlanjut seperti lingkaran
setan.

"Jadi... jika Hikigaya tak keberatan, maukah kau bergabung ke Klub


Tenis?"

"...hah?"

Apa maksudnya itu...?

Totsuka melihat rasa bingung yang tampak di mataku ini, dan ia


terlihat berkecil hati sewaktu merangkul lututnya. Ia sesekali melirik
ke arahku dengan tatapan memohon.

"Hikigaya hebat bermain tenis, dan menurutku kau bisa berkembang


lebih baik lagi. Bahkan kurasa kau bisa memotivasi yang lainnya
juga. Dan... kalau bersamamu, Hikigaya, kurasa aku juga bisa
berusaha lebih keras lagi. E-eng... bukan dalam artian yang aneh-
aneh! Hanya saja, aku ingin lebih hebat lagi bermain tenis!"

"Tak masalah kalau kau lemah... aku akan melindungimu."

"...apa?"

"Ah, maaf. Cuma asal bicara."

Melihat kepolosan Totsuka malah membuatku mengatakan hal-hal tak


jelas, padahal harusnya aku bersikap serius tadi. Tapi mau bagaimana
lagi, dirinya begitu manis. Saking manisnya sampai-sampai aku
hampir setuju untuk bergabung ke klubnya. Aku hampir mengangkat
tanganku layaknya orang yang hendak bertarung demi
memperebutkan potongan kue terakhir di kantin.

Namun tak peduli seberapa manisnya Totsuka, ada permintaan yang


tak mungkin bisa kupenuhi.

"...maaf. Sepertinya aku tak bisa..."


Aku kenal baik siapa diriku.

Aku tak merasa akan bisa pergi ke klub setiap harinya, dan aku tak
yakin bakal mau melakukan aktifitas fisik di setiap paginya. Satu-
satunya yang mau melakukan hal tersebut hanyalah para manula yang
melakukan tai chi di taman. Lagi pula, ucapan, Aku sudah tak
sanggup, nih~~... telah menjadi moto favoritku. Walau terdengar
seperti meniru Korosuke, yang merupakan karakter dari seri
Kiteretsu, namun yang kutekankan di sini adalah kalau ujung-
ujungnya aku juga bakal keluar dari klub itu. Bahkan saat pertama
kalinya aku bekerja paruh waktu, aku justru mangkir selama tiga hari.

Jika orang sepertiku bergabung dalam Klub Tenis, aku yakin kelak
bakal membuat Totsuka lebih depresi lagi.

"...begitu..."

Totsuka tampak kecewa. Di sisi lain, aku sedang berusaha


menemukan kata-kata yang tepat untuk menghadapi situasi macam
ini.

"Eng, yah... tak perlu cemas. Aku akan memikirkan cara lain."

Padahal aku tak bisa berbuat apa-apa.

"Terima kasih. Aku jadi merasa sedikit lebih baik setelah bicara
denganmu, Hikigaya."

Totsuka lalu tersenyum padaku, tapi aku tahu kalau rasa tenang di
pikirannya itu hanyalah sementara. Di saat bersamaan, sebagian
diriku juga merasakan hal yang sama, meski itu cuma sementara, jika
Totsuka merasa tenang, pada hakikatnya hal tersebut cukuplah
bermakna.

— II —

"Mustahil."
Itulah hal pertama yang Yukinoshita ucapkan padaku.

"Mustahil, kaubilang... tapi, eng—"

"Sekali mustahil ya mustahil."

Dan sekali lagi aku ditolak dengan dinginnya.

Ini semua bermula saat aku menceritakan soal Totsuka dan meminta
saran pada Yukinoshita.

Rencanaku adalah mengarahkan pembicaraan ke arah pengunduran


diriku dari Klub Layanan Sosial, lalu mengumumkan niatku untuk
bergabung ke Klub Tenis. Setelahnya, sedikit demi sedikit, aku akan
menghilang secara perlahan dari klub itu. Tapi rencana itu kini benar-
benar terhalang.

"Soalnya aku melihat sendiri keadaan Totsuka saat ia mengajakku


bergabung ke Klub Tenis. Singkat kata, aku harus mengintimidasi
mereka agar lebih giat lagi. Pada akhirnya, jika ada orang baru yang
bergabung ke klub tersebut, bukankah akan ada perubahan?"

"Apa pikirmu kau bisa bertahan dalam pengaturan kelompok macam


itu? Apa kaupikir mereka akan menerima begitu saja makhluk
sepertimu itu?"

"Uguu..."

Memang benar. Keluar dari klub juga bukan perkara besar, namun
jika melihat orang-orang bermalasan sewaktu kegiatan klub dan
bersenang-senang sendiri, mungkin aku akan menghajar mereka
dengan raketku.

Yukinoshita lalu tertawa kecil yang seolah terdengar seperti desahan.

"Kau benar-benar tak paham apa artinya berada dalam kelompok, ya?
Benar-benar ahli menyendiri."

"Sudah, berhenti berkata begitu."


Yukinoshita benar-benar mengabaikan tanggapanku dan lanjut
berbicara.

"Kuakui mereka mungkin akan bersatu apabila dihadapkan dengan


musuh rendahan macam dirimu. Tapi mereka hanya akan berbuat hal-
hal yang sekiranya diperlukan saja demi membuangmu, dan itu tak
ada pengaruhnya terhadap perkembangan diri mereka. Jadi itu sama
sekali bulan solusi. Aku ini buktinya."

"Begitu... eh, kau buktinya?"

"Ya. Aku kembali dari luar negeri saat masih SMP, jadi tentu saja
aku mulai bersekolah di tempat yang baru, namun semua anak
perempuan di kelasku... tepatnya, semua anak perempuan di
sekolahku begitu ingin menyingkirkanku. Tapi tak satu pun dari
mereka berusaha menjadi lebih baik supaya bisa mengalahkanku...
anak-anak bodoh itu..."

Aku bersumpah telah melihat api hitam berkobar di belakang


Yukinoshita.

Sial, rasanya aku baru saja menginjak ranjau di sini...

"Ya-yah, kurasa itu masuk akal. Maksudku, saat hal tersebut


menimpa perempuan semanis dirimu, tak heran kalau kejadian seperti
itu bakal terjadi..."

"...ya-yah, itu benar. Dibandingkan anak perempuan lainnya, tak


berlebihan kalau menganggap penampilanku jauh lebih baik dari
mereka, dan itu bukan berarti kalau anak perempuan lain tak punya
nyali hingga pasrah dan menyerah terhadap hal tersebut, jadi bisa
dikatakan kalau itu hal yang wajar. Meski begitu, sebenarnya
Yamashita dan Shimamura juga punya wajah yang manis. Mereka
pun cukup populer di kalangan anak lelaki. Tapi anak seperti mereka
hanya mengandalkan wajah. Jika dihadapkan pada hal akademis,
kemampuan olahraga, sisi seni, bahkan etika dan kerohanian, mereka
pun tak sampai menjangkau lebih dari mata kakiku. Dan jika dengan
memutarbalikkan dunia saja masih belum cukup untuk
mengalahkanku, takkan aneh kalau mereka lebih fokus berusaha
untuk menjegal kakiku dan menjatuhkanku..."

Yukino sejenak tampak kehilangan kata-kata, namun ia segera


kembali ke ritme lamanya dan berturut-turut melontarkan pernyataan
angkuh nan menyombongkan diri. Ucapannya tadi memang bisa
dikatakan lancar bagai sungai yang mengalir, namun yang kudengar
itu justru seperti derasnya arus air terjun Niagara. Aku benar-benar
terkesan ia bisa mengatakan itu semua tanpa sedikit pun kehilangan
tempo.

Apa mungkin ini cara Yukinoshita menyembunyikan rasa malunya?


Tak menutup kemungkinan kalau ia juga punya sisi manis...

Yukinoshita lalu sedikit menarik napas, mungkin itu karena ia terlalu


lama berbicara. Wajahnya juga agak memerah.

"...bisakah kau berhenti membahas hal-hal aneh? Aku jadi gemetar


begini."

"Ahh, syukurlah. Sudah kuduga, kau memang tak ada manis-


manisnya."

Jujur, sebenarnya Totsuka terlihat lebih manis dibanding beberapa


gadis yang pernah kukenal... ya ampun.

Oh, iya. Kami seharusnya membahas soal Totsuka di sini.

"Tapi pasti akan bagus bagi Totsuka jika ada yang bisa dilakukan
untuk membuat Klub Tenisnya biar jadi lebih baik lagi..."

Yukinoshita lalu membelalakkan mata dan menatapku saat


mendengar pernyataan itu.

"Tumben sekali... sejak kapan kau jadi tipe orang yang peduli
sesama?"

"Ayolah. Ini pertama kalinya ada seseorang yang meminta saran


padaku..."
Ternyata diminta tolong bisa membuatku bahagia begini. Ditambah,
Totsuka memang manis... tanpa sadar bibirku menyimpulkan sebuah
senyuman. Yukinoshita langsung memotong, seakan ia ingin
menghentikan senyumku itu.

"Dulu aku sering sekali dimintai saran mengenai hal asmara."

Ucapnya sambil membusungkan dada, tapi ekspresinya berangsur-


angsur berubah kelam.

"...pada kenyataannya, ketika berurusan dengan masalah perempuan


maupun soal asmara, biasanya itu tak lebih dari sekadar tindakan
pencegahan."

"Hah? Maksudmu?"

"Jika aku memberi tahu siapa yang aku sukai, maka orang di
sekitarku akan mulai berhati-hati, 'kan? Itu seperti menandai wilayah
kekuasaan. Sekali kau sudah mengetahuinya dan mencoba masuk ke
dalam wilayah tersebut, maka kau akan diperlakukan seperti pencuri
dan diasingkan dari kelompok. Bahkan jika kau yang menerima
pernyataan cintanya, kau tetap akan diasingkan. Apa aku masih perlu
menjelaskan lebih detail lagi...?"

Sekali lagi kulihat api hitam berkobar di belakang Yukinoshita.


Padahal setelah ia berkata tentang masalah perempuan maupun soal
asmara, aku sempat mengharap sebuah cerita tetang pahit manis
kehidupan, namun yang terdengar dari dirinya hanyalah sebuah
kekesalan.

Kenapa ia sampai harus menghancurkan impian anak yang meminta


saranku ini? Apa itu cuma untuk kesenangannya semata?

Seolah ingin berusaha menghapus kenangan buruknya, Yukinoshita


tiba-tiba tertawa sinis.

"singkatnya, jangan langsung menganggap kalau mendengarkan


permintaan orang-orang dan mencoba membantunya adalah hal yang
baik. Karena ada pepatah, Bahkan singa pun membuang anak-
anaknya ke jurang yang dalam lalu membunuh mereka."
"Membunuh mereka malah menyia-nyiakan tujuannya..."

Lagi pula, pepatah yang benar harusnya, Bahkan saat memburu anak-
anaknya, singa pun harus mengerahkan seluruh tenaganya.

"Kalau itu kau, apa yang akan kaulakukan?"

"Maksudmu, aku?"

Yukinoshita yang bingung, beberapa kali mengedipkan matanya, lalu


termenung.

"Kurasa, aku akan menyuruh mereka berlari sampai mati, menyuruh


mereka latihan mengayun raket sampai mati, lalu menyuruh mereka
berlatih tanding sampai mati."

Ujarnya sambil sedikit tersenyum. Sungguh, itu sangat mengerikan.

Aku pun sempat terhenyak saat kudengar suara bantingan pintu yang
dibuka

"Heyoo~~!!"

Berbeda sekali dengan yang ditampakkan Yukinoshita, Yuigahama


justru datang dengan salam riang nan konyol itu.

Seperti biasanya, Yuigahama menunjukkan seringai bodohnya dan


terlihat tak peduli dengan sekitar.

Tetapi, di belakang Yuigahama tampak ada seseorang dengan


ekspresi tak berdaya pada wajahnya.

Tatapan yang tertuju ke bawah itu tak menyiratkan kepercayaan diri


sewaktu ia dengan lemah mencengkeram blazer Yuigahama. Kulitnya
tampak putih pucat. Mengingatkanku pada sebuah mimpi samar,
sesuatu yang akan menghilang sesaat kita menatap cahaya dari
bawah.

"Ah... Hikigaya!"
Ia tersenyum senang saat melihatku, lalu rona wajahnya tampak
kembali pucat. Sewaktu ia tersenyum tadi, akhirnya aku sadar siapa
dirinya. Kenapa ia terlihat murung begitu...?

"Totsuka..."

Perlahan ia melangkah kecil ke arahku, dan kali ini ia mencengkeram


erat lengan bajuku. Waduh, itu tidak boleh... walaupun aku tahu kalau
ia lelaki.

"Hikigaya, sedang apa di sini?"

"Oh, aku anggota klub ini... kau sendiri sedang apa di sini?"

"Hari ini aku bawa pengunjung baru, lo, fufu~~"

Payudara Yuigahama yang boros itu bergerak naik turun saat ia


dengan bangganya menjawab. Padahal aku tak bertanya pada dirinya.
Aku hanya ingin mendengar jawaban dari bibir menggemaskan milik
Totsuka itu saja...

"Ayolah. Aku juga anggota klub ini, 'kan? Anggap saja ini balas budi.
Lagi pula, Sai kelihatan sedang banyak pikiran, makanya aku bawa ia
kemari."

"Yuigahama."

"Yukinon, kau enggak perlu berterima kasih padaku. Inilah yang bisa
kulakukan sebagai anggota klub."

"Yuigahama, sebenarnya kau bukan anggota klub..."

"Bukan?!"

Bukan?! Mengejutkan sekali... kupikir sudah cukup jelas kalau


perlahan-lahan ia akan jadi bagian dari klub ini.

"Benar. Kau tak pernah menyerahkan surat pengajuan diri, dan guru
pembimbing kami belum mengakui keanggotaanmu, jadi kau
bukanlah anggota klub."
Yuigahama jadi kaku saat dihadapkan pada peraturan itu.

"Akan kutulis! Kalau memang perlu surat pengajuan diri, akan


kutulis sebanyak apa pun! Yang penting aku jadi anggota klub ini!"

Air mata Yuigahama berlinang sewaktu ia mengambil selembar kertas


dan mulai menulis, surat pengajuan diri... walah, harusnya itu ditulis
pakai huruf kapital.

"Jadi, Saika Totsuka... benar? Apa yang bisa kami lakukan


untukmu?"

Dengan tergesa Yuigahama menulis surat pengajuan dirinya, namun


Yukinoshita mengabaikannya dan beralih ke Totsuka. Totsuka mulai
gemetaran sesaat Yukinoshita menusuk dengan tatapan dinginnya.

"E-eng... aku ingin... membuat Klub Tenis... menjadi lebih baik


lagi..."

Awalnya pandangan Totsuka tertuju ke Yukinoshita, tapi seiring


kalimat yang perlahan diucapkannya, ia mulai memandang ke arahku.
Totsuka lebih pendek daripada diriku, makanya ia menengadah ke
arahku seakan ingin berusaha mengira-ngira reaksiku.

Kuharap ia berhenti memandangiku... hatiku jadi berdebar begini,


kenapa ia tak memandang yang lainnya saja?

Baru saja aku memikirkannya, walau aku yakin itu bukan untuk
membantuku, tapi Yukinoshita menanggapinya menggantikanku.

"Aku tak tahu apa yang sudah Yuigahama katakan padamu, tapi Klub
Layanan Sosial tak begitu saja mengabulkan keinginanmu. Tugas
kami di sini hanya membantu dan mendorong kemandirian. Entah apa
Klub Tenis akan jadi lebih baik atau tidak, itu semua tergantung
padamu."

"Oh... begitu..."

Totsuka tampak benar-benar kecewa, bahunya pun terturun. Pasti


Yuigahama berbicara yang muluk-muluk padanya.
"Stempel, stempel..."[7] Gumam Yuigahama sambil menggeledah isi
tasnya. Kuperhatikan dirinya, dan sewaktu ia mulai merasa sedang
diperhatikan, ia menengadah.

"Eh? Ada apa?"

"Memangnya apa lagi... kau sudah menjanjikan hal yang muluk-


muluk padanya, kami pun jadi harus memupuskan harapan dan
impian anak ini."

Yukinoshita melontarkan kata-kata pedas pada Yuigahama. Meski


begitu, Yuigahama hanya memiringkan kepalanya karena
kebingungan.

"Hm? Hmmm? Soalnya, kupikir Yukinon dan Hikki pasti akan


berbuat sesuatu. Betul, 'kan?"

Ujar Yuigahama dengan nada tak peduli. Terlepas dari bagaimana


kita menanggapi pernyataannya, itu hampir terdengar seperti sebuah
tantangan yang menyindir.

Sayangnya, di sini ada seseorang yang bisa dengan mudah terpancing


oleh tantangan itu.

"...hemh, kurasa kau ada benarnya, Yuigahama. Entah anak yang di


sana itu bisa berbuat banyak atau tidak, tapi tak kusangka kau akan
mengujiku seperti itu."

Yukinoshita tertawa. Ahh, tampaknya ada tombol aneh yang baru saja
terpencet dalam dirinya... Yukino Yukinsoshita memang tipe orang
yang mau menerima semua tantangan dan berusaha sekuat tenaga
untuk memenangkannya. Gilanya lagi, bahkan ia akan membabat
habis musuhnya meski tidak sedang terprovokasi. Ia orang yang
takkan segan menghabisi orang yang cinta damai bak Gandhi seperti
diriku ini.

"Baiklah, Totsuka. Akan kuterima permintaanmu. Jadi yang mesti


kulakukan di sini adalah meningkatkan kemampuanmu dalam
bermain tenis, benar begitu?"
"I-iya, benar. Ka-kalau aku bisa bermain lebih baik, kurasa teman-
teman di klub juga akan berusaha lebih keras lagi."

Mungkin karena tekanan yang dirasakannya lewat tatapan


Yukinoshita, makanya Totsuka menjawab sambil berlindung di
belakangku. Wajahnya sedikit mengintip dari atas bahuku, dan kulihat
ketakutan serta kegelisahan pada matanya. Rasanya hampir seperti
melihat kelinci liar yang sedang gemetaran... dan itu malah
membuatku ingin memakaikan kostum bunny girl padanya.

Itu benar, saat memohon bantuan pada sang ratu es, sudah sewajarnya
kita merasa takut. Hampir bisa kubayangkan Yukinoshita berkata,
Aku akan buat dirimu menjadi kuat, sebagai gantinya akan kuambil
nyawamu. Atau ucapan semacamnya. Memangnya ia itu penyihir
apa?

Bermaksud untuk meringankan kegelisahan Totsuka, aku


memberanikan diri untuk melindunginya.

Saat jarakku kian dekat dengan Totsuka, bisa kucium aroma sampo
dan deodoran. Wangi tubuhnya sangat mirip dengan perempuan SMA
kebanyakan. Sampo jenis apa yang sebenarnya ia gunakan?

"Tak masalah kalau mau bantu, tapi apa yang akan kita lakukan?"

"Bukankah tadi sudah kujelaskan? Kalau tak yakin dengan daya


ingatmu, harusnya tadi kau mencatatnya."

"Tunggu, jangan bilang kalau yang tadi itu serius..."

Aku jadi teringat lagi saat Yukinoshita membicarakan soal memaksa


orang-orang supaya bekerja sampai mati. Ketika kulihat ia tersenyum
balik kepadaku... rasanya seolah ia bisa membaca pikiranku. Sial,
senyumnya itu membuatku takut...

Kulit putih Totsuka semakin memucat dan dirinya mulai gemetaran.

"Apa aku... akan mati...?"

"Tenang saja. Aku akan melindungimu."


Tegasku sambil menepuk bahu Totsuka. Ia pun jadi tersipu dan
memandang manja setelah aku berbuat begitu.

"Hikigaya... apa kau sungguh-sungguh?"

"Ah, maaf... aku cuma ingin mengatakannya saja."

Aku akan melindungimu, ada di peringkat tiga besar pada daftar


Kalimat yang Ingin Diucapkan para anak lelaki. (Sekadar info,
peringkat pertamanya adalah, Serahkan padaku... kau duluan saja.)
Intinya, jika aku saja tak bisa menandingi Yukinoshita, bagaimana
aku bisa melindungi orang-orang dari perempuan itu? Hanya saja...
jika aku tak mengatakan sesuatu agar Totsuka merasa baikan, bisa-
bisa rasa gelisahnya tak kunjung hilang.

Totsuka sedikit menghela napasnya dan tampak cemberut.

"Kadang aku tak mengerti maksud Hikigaya... tapi..."

"Hmm... jadi Totsuka berlatih tenis sepulang sekolah, begitu bukan?


Baiklah, kita mulai sesi latihan khususnya saat jam istirahat makan
siang. Mungkin kita berkumpul di lapangan saja nanti."

Yukinoshita memotong kalimat Totsuka dan mulai menyusun agenda


untuk hari ke depannya.

"Siap~~!"

Jawab Yuigahama sambil menyerahkan surat pengajuan diri yang


baru selesai dibuatnya. Totsuka pun ikut mengangguk. Jadi... itu
artinya...

"Jadi... aku juga ikut, nih?"

"Tentu saja. Lagi pula, kau juga tak punya acara apa-apa saat istirahat
makan siang, 'kan?"

...bisa ditebak, sih.


— II —

Dengan itu, maka diputuskan bahwa sesi latihan neraka kami akan
dimulai besok.

Kenapa aku harus sampai ikut latihan segala?

Bukankah Klub Layanan Sosial ini justru hanya menjadi taman


perlidungan bagi kaum lemah agar bisa berkumpul dan beristirahat
dengan santai? Bukankah artinya klub ini cuma mengumpulkan
orang-orang tak berguna dan memberi ruang nyaman untuk ditinggali
sementara?

Lalu apa bedanya dengan masa remaja yang kuanggap hina itu?

Bu Hiratsuka mungkin berusaha membuat tempat ini agar menjadi


ruang karantina bagi pengidap penyakit seperti kami untuk diasingkan
dan dirawat.

Biarpun begitu, andai penyakit kami memang bisa disembuhkan


dengan hal yang tak penting macam begini, berarti kami sebenarnya
tidak sedang mengidap penyakit.

Contohnya Yukinoshita. Aku tak tahu hal macam apa yang sudah
membebani pikirannya, tapi aku yakin hal tersebut takkan hilang
hanya karena ia diasingkan ke tempat ini.

Satu-satunya cara agar luka-lukaku bisa terobati di tempat ini


sebenarnya adalah jikalau Totsuka itu seorang perempuan. Mungkin
akan beda ceritanya jika hal-hal seputar tenis ini bisa menumbuhkan
kisah komedi romantis di antara kami.

Sepengetahuanku, Saika Totsuka adalah sosok paling manis di dunia.


Sikapnya tulus, dan yang terpenting, ia baik kepadaku. Jika
kuhabiskan waktu sambil memupuk benih-benih cinta kami satu sama
lain, mungkin aku akan tumbuh dewasa seperti manusia lainnya.

...tapi sayangnya, Totsuka adalah lelaki. Dewa memang bertindak


konyol.
Aku jadi agak tertekan karena semua itu, tapi di saat yang sama aku
sudah berganti baju ke seragam olahraga dan menuju ke lapangan
tenis. Hei, aku masih berharap pada peluang tipis kalau dirinya adalah
perempuan. Akan kupertaruhkan segala harapan dan impian pada
peluang tersebut.

Seragam olahraga sekolah kami berwarna biru muda menyala dan


tampak begitu mencolok. Karena warna norak yang hampir
meninggalkan kesan itu, semua anak di sekolah jadi membenci
seragam tersebut dan tak pernah memakainya kecuali saat pelajaran
Olahraga atau saat latihan olahraga.

Jadi saat semua anak sedang memakai seragam biasa mereka, cuma
aku satu-satunya yang tampak mencolok seperti orang bodoh dengan
seragam olahraga ini.

Karena hal demikian, aku jadi dipandangi oleh seseorang yang


menyebalkan.

"Hah hah hah hah Hachiman."

"Jangan bawa-bawa namaku dalam tawamu..."

Di SMA Soubu, hanya Zaimokuza saja yang mungkin bisa tertawa


menjijikkan begitu. Ia berdiri, menyilangkan tangannya dan
menghalangi jalanku.

"Beruntung sekali aku bertemu denganmu di sini. Aku baru saja ingin
menyerahkan karya baruku. Silakan manjakan matamu dan
saksikanlah!"

"Ahh, maaf. Aku agak sibuk sekarang."

Aku menyelinap ke samping dan sedikit menghindari tumpukan


kertas yang hendak disodorkan padaku. Namun Zaimokuza pelan-
pelan mencegatku dengan bahunya.

"...jangan berbohong. Bagaimana mungkin kau sudah punya rencana


sendiri?"
"Aku tidak berbohong. Lagi pula, aku tak mau mendengar itu
darimu."

Kenapa semua orang berkata begitu padaku? Apa aku terlihat seperti
orang yang hanya sedikit memanfaatkan waktu dalam hidupnya?
...yah, walau itu memang benar...

"Hemh, aku paham, Hachiman. Kau hanya ingin tampil sedikit keren
saja, makanya kau sampai berbohong. Lalu demi mencegah agar
kebohongan tadi terungkap, kau pun berbohong lagi. Tapi itu akan
menjadi siklus yang tak ada habisnya, siklus kebohongan tanpa henti
yang tragis. Tapi lihatlah, Hachiman, spiral ini tak mengarah ke mana
pun. Dan umumnya, hubungan antarmanusia itu memang tak
mengarah ke mana-mana. Tapi masih ada waktu bagimu untuk
menarik diri! ...kau sudah pernah menolongku, jadi sekarang giliranku
untuk menolongmu!"

Zaimokuza baru saja mengucapkan kalimat yang menduduki


peringkat dua dari daftar Kalimat yang Ingin Diucapkan para lelaki.
Menjengkelkan sekali melihat dirinya mengacungkan jempol sambil
memasang wajah penuh percaya diri begitu.

"Serius, aku memang sudah punya rencana sebelumnya..."

Aku merasa urat kepalaku benar-benar keluar karena marah, dan aku
sudah mempersiapkan kata-kata untuk menundukkan Zaimokuza.
Tapi rupanya...

"Hikigaya!"

Kudengar sebuah suara sopran yang bersemangat, dan bisa kurasakan


Totsuka sudah menggapai lenganku.

"Pas sekali. Pergi bareng, yuk?"

"A-ayo..."

Totsuka menenteng tas raketnya di bahu kiri, dan entah kenapa ia


merangkulkan tangan kanannya di lengan kiriku. Waduh...
"Ha-Hachiman... si-siapa itu...?"

Zaimokuza bolak-balik melihat ke arahku dan Totsuka dengan


pandangan terkejut. Lalu ekspresi wajahnya perlahan berubah
menjadi sesuatu yang rasanya tak begitu asing... ah, aku tahu, itu
Kabuki, 'kan?[8] Hampir bisa kudengar efek suara Kabuki, Iyooo~~
pon pon pon seiring Zaimokuza membelalakkan matanya sambil
berpose aneh.

"Ke-keparat! Kau sudah berkhianat!"

"Apa maksudmu sudah berkhianat..."

"Diam! Dasar playboy jadi-jadian! Kau contoh gagal dari lelaki


keren! Selama ini aku mengasihanimu karena kau penyendiri, tapi
rupanya itu yang membuatmu jadi congkak!"

" Jadi-jadian? Contoh gagal? Itu sudah kelewatan..."

Aku memang penyendiri, makanya pada bagian terakhir tadi aku tak
bisa mengelak.

Zaimokuza memberi tatapan kejam ke arahku selagi ia menyeringai.

"Sungguh, aku takkan memaafkanmu..."

"Tenang dulu, Zaimokuza. Totsuka itu bukan perempuan. Ia lelaki...


kurasa."

"Ja-ja... ja-jangan main-main! Anak semanis ini tak mungkin seorang


lelaki!"

Ucapanku tak terdengar meyakinkan, dan Zaimokuza menanggapinya


dengan berteriak padaku.

"Begitulah, Totsuka itu lelaki yang manis."

"Sampai... dibilang manis... rasanya agak..."

Totsuka tersipu dan memalingkan wajahnya ke arah sebelahku.


"Eng... ini temannya Hikigaya, ya?"

"Pertanyaan bagus..."

"Hemh. Mana mungkin aku akan menganggap orang macam kau ini
sebagai teman."

Zaimokuza benar-benar merajuk. Wah, anak ini memang


menjengkelkan...

Tapi bukan berarti aku tak tahu dari mana kemarahannya itu berasal.
Sudah sewajarnya kita merasakan warna kesedihan dan
pengkhianatan jika tahu bahwa orang yang kita anggap layak diberi
simpati berubah menjadi seseorang dengan tolak ukur yang benar-
benar berbeda.

Di situasi macam begini, aku harus menanggapi seperti apa agar


hubungan kami bisa kembali seperti sedia kala? Sayangnya, karena
rendahnya pengalamanku terhadap area ini, makanya aku benar-benar
tak tahu.

Aku jadi sedikit murung karena keadaan ini. Suatu hari nanti, kurasa
Zaimokuza dan aku bisa berada di titik di mana kami bisa saling
mengerti dan tertawa bersama.

Namun tampaknya hal semacam itu takkan mungkin terjadi.

Bertanya tentang keadaan seseorang, berusaha membuat orang agar


merasa baikan, memastikan kalau kita takkan pernah kehilangan
komunikasi, lalu dengan hal-hal tersebut akhirnya kita bisa kian dekat
dengan seseorang... hal-hal berbau persahabatan seperti tadi bukanlah
persahabatan yang sebenarnya. Jika hal menyusahkan macam itu
disebut sebagai masa remaja oleh orang-orang, maka aku takkan
mempermasalahkannya.

Berkumpul bersama kelompok stagnan ini dan bertingkah seolah


sedang bersenang-senang tak lebih buruk dari sekadar pemuasan diri.
Dan itu tak lebih buruk dari membohongi diri sendiri. Sifat yang
sungguh buruk.
...soalnya, lihat saja; berurusan dengan Zaimokuza yang sedang
cemburu ini benar-benar menyebalkan.

Setelah memastikan sendiri kalau akal sehatku masih berfungsi,


kuabdikan diriku ini pada jalan kesendirian.

"Ayo, Totsuka."

Kutarik Totsuka dengan tanganku. "Ah, iya..." tanggapnya, tapi ia


tetap tak beranjak.

"Zaimokuza... 'kan?"

Zaimokuza tampak sedikit kebingungan, namun akhirnya ia


mengangguk.

"Kalau kau temannya Hikigaya, mungkin kita juga bisa... berteman?


Rasanya... pasti menyenangkan. Soalnya aku jarang punya teman
lelaki..."

Ucap Totsuka sambil tersenyum malu.

"Fu... ku, ku ku ku ku. Sudah pasti Hachiman dan aku adalah teman
dekat. Tepatnya, rekan seperjuangan. Tidak, tidak, yang benar, aku
majikan dan ia pelayannya... yah, karena kau yang meminta, aku jadi
tak punya pilihan. Aku akan... eng... menghadiahimu dengan ikatan
pertemanan. Bahkan kita pun bisa menjadi sepasang kekasih."

"Eng... rasanya itu... bukan ide bagus. Kita berteman saja, ya?"

"Hm, begitu... hei, Hachiman. Apa menurutmu anak yang di sana itu
menyukaiku? Apa itu artinya kini aku jadi populer? Iya, 'kan? Begitu,
'kan?"

Zaimokuza segera mendekat padaku dan berbisik di telingaku.

...sudah kuduga, anak seperti Zaimokuza tak pantas kujadikan teman.

Orang-orang yang bisa berubah seratus delapan puluh derajat hanya


karena ingin mendekati perempuan cantik tak pantas kujadikan teman.
"...Totsuka, ayo pergi. Kalau kita telat, Yukinoshita bisa murka."

"Hm, bisa gawat nanti. Kita harus cepat-cepat. Soalnya, perempuan


itu... sungguh menakutkan."

Zaimokuza mulai mengikuti diriku dan Totsuka. Tampaknya ia ingin


bergabung dalam kelompok kami. Lagi pula, ketika kami jalan
berbaris dan menuruni tangga seperti ini, setiap orang yang melihat
dari samping akan berpikir kalau kami grup dalam game Dragon
Quest. Atau mungkin... bukan Dragon Quest, tapi sesuatu seperti
King Bomby dari seri game Momotetsu...[9]

— II —

Sesampainya di lapangan tenis, kami melihat Yukinoshita dan


Yuigahama telah berdiam di sana.

Yukinoshita masih mengenakan seragam sekolahnya, namun


Yuigahama sudah berganti ke seragam olahraganya.

Mungkin mereka barusan makan siang di sini. Soalnya, ketika melihat


kami, mereka berdua segera merapikan kotak bekalnya yang mewah
itu.

"Baiklah, mari kita mulai."

"Mo-mohon bimbingannya."

Totsuka menghadap ke arah Yukinoshita dan sedikit membungkukkan


badan.

"Pertama, kita harus melatih kekuatan otot yang kurang begitu


dimiliki Totsuka. Termasuk otot biseps, deltoid, pektoral, abdomen,
obliqua, dorsal, dan femoral. Latihan akan kita fokuskan pada push-
up dan pembentukan otot... untuk sekarang, berlatihlah sekuat tenaga
sampai kalian mau mati."
"Wuaah, Yukinon memang serba tahu... eh, sampai kami mau mati?"

"Benar. Semakin kau merobek otot-ototmu, maka otot-otot tersebut


semakin berusaha untuk pulih dengan sendirinya, namun setiap kali
pulih, serat-serat otot itu akan menjadi semakin kuat. Inilah yang
orang sebut dengan supercompensation.[10] Dengan kata lain, jika kau
memaksakan tubuhmu bekerja hingga di ambang kematian, maka kau
akan bisa sekaligus memperkuat diri."

"Yang benar saja, kami ini bukan bangsa Saiya atau sejenisnya..."

"Yah, bukan berarti kau bisa langsung membentuk ototmu secepat


itu, tapi hal tersebut bisa berguna untuk meningkatkan metabolisme
tubuhmu."

"Metabolisme tubuh?"

Hampir bisa kulihat tanda tanya di atas kepala Yuigahama. Apa ia


benar-benar tidak tahu arti kata itu? Yukinoshita sedikit tercengang.
Mungkin karena ia lebih memilih menjelaskan artinya ketimbang
menyalahkan orang, makanya ia memberi rangkuman singkat.

"Intinya, itu adalah cara untuk membuat tubuhmu agar lebih cocok
berolahraga. Jika metabolisme tubuhmu meningkat, maka akan lebih
mudah bagimu dalam membakar kalori. Sederhananya, hal tersebut
bisa meningkatkan efisiensi energi pada tubuhmu."

Yuigahama mengangguk mendengar penjelasan itu. Tiba-tiba,


matanya berbinar.

"Lebih gampang membakar kalori, berarti... bisa mengurangi berat


badan?"

"...bisa jadi begitu. Dengan bernapas ataupun mencerna makanan


saja, kau bisa dengan mudah membakar kalori. Bahkan dengan
melakukan kegiatan biasa pun, badanmu bisa menjadi kurus."

Mendengar ucapan Yukinoshita tadi membuat mata Yuigahama


semakin berbinar. Entah kenapa, tampaknya Yuigahama kini lebih
termotivasi dibanding Totsuka. Motivasi Yuigahama tampaknya juga
memicu sesuatu di diri Totsuka yang sedang mengepalkan tangannya.

"A-ayo kita coba."

"A-aku juga ikut!"

Totsuka dan Yuigahama lalu menelungkupkan diri dan perlahan


mulai melakukan push-up.

"Nngh... khh, fuu, hah..."

"Ooo, khh... nnngh, hahh, hahh, nngh!"

Kudengar suara desah kepayahan dan penderitaan. Wajah mereka


sudah ditelan oleh kesengsaraan, memaksa mereka sedikit
berkeringat, dan memerahpadamkan pipi mereka. Mungkin karena
kurusnya lengan Totsuka, hingga dirinya pun kesusahan, namun
sesekali ia melihatku dengan tatapan memohon. Ketika ia
menengadah ke arahku dari posisi di bawah lantai itu... entah
kenapa... aku jadi merasa aneh.

Saat Yuigahama menekukkan lengannya, sekilas bisa kulihat kulitnya


yang berkilauan dari balik kerah seragam olahraganya. Gawat.
Pandanganku jadi ke mana-mana.

Jantungku berdetak semakin cepat, sampai pada titik di mana ini bisa
dianggap sebagai gejala aritmia.[11]

"Hachiman... ini latihan apa? Kok, aku jadi merasa benar-benar


damai..."

"Kebetulan sekali. Aku juga merasa begitu."

Selagi kami saling memandang dan bertukar senyum, sebuah suara


bernada sinis dari belakangku membuat diriku serasa disiram air yang
dingin.

"...bagaimana kalau kalian berdua ikut berlatih supaya pikiran kotor


itu bisa hilang?"
Sewaktu aku berbalik, kulihat Yukinoshita sudah menatapku dengan
ekspresi menghina. Pikiran kotor itu bisa hilang... apa ia membaca
pikiran kami...?

"He-hmm... terdapat sebuah aturan utama dalam sumpah prajurit agar


tak meninggalkan latihan. Jadi kurasa aku akan ikut bergabung!"

"Be-betul. Punya kondisi fisik yang buruk itu memang menakutkan.


Kau bisa kena diabetes, atau pirai, atau sirosis, atau semacamnya!"

Dengan semangat yang menurun, kami berdua lalu menjatuhkan diri


ke tanah dan mulai melakukan push-up. Sewaktu melakukannya,
Yukinoshita berjalan mengelilingiku.

"Saat kau melakukannya, rasanya ini seolah seperti cara baru dalam
menyembah sesuatu."

Ucap Yukinoshita sambil terkikih.

Kurang ajar, apa yang sudah dikatakannya tadi? Bahkan bagi orang
yang cinta damai sepertiku, sesuatu dalam diri ini bisa bangkit kalau
mendengar provokasi macam tadi. Eh... apanya yang bangkit, ya? Jika
memang ada yang bangkit, kemungkinan besar itu adalah perasaan
moe terhadap push-up...

...sebenarnya saat ini kita sedang apa, sih?

Apa mereka tahu ungkapan, Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi


bukit? Atau peribahasa, Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing?
Intinya, ketika orang-orang berkumpul bersama, mereka akan menjadi
lebih kuat dan lebih terlindungi.

Meski begitu, kami sendiri adalah kelompok gagal yang berkumpul


bersama untuk melakukan hal yang percuma.

Pada akhirnya, kami pun menghabiskan waktu istirahat makan siang


ini dengan berlatih push-up. Dan aku, kuhabiskan malamku dalam
penderitaan karena nyeri otot.
Catatan Penerjemah

 Max Coffee adalah merek minuman kopi dalam kemasan yang terkenal di Jepang
  Kita no Kuni kara adalah judul drama televisi Jepang

  Issei Fuubi Sepia adalah grup musik asal Jepang yang populer di era Tahun 80-an

  Sebutan bagi pemain sepak bola yang bisa melakukan hal-hal yang sulit dibayangkan manusia
ketika bermain sepak bola.

  Grup penyanyi atau orkes yg terdiri atas enam orang.

  QED (Quod Erat Demonstrandum) berarti "sudah terbukti", singkatan ini menandai akhir dari
suatu pembuktian.

  Di negara Jepang, untuk mengesahkan surat atau semacamnya tidak hanya sekadar tanda
tangan, tapi memerlukan juga stempel cap keluarga.

  Kabuki adalah seni teater tradisional khas Jepang.

  Momotetsu (Momotaro Dentetsu) adalah game yang punya gaya bermain mirip seperti
permainan Monopoli

  Supercompensation adalah masa-masa di mana bagian tubuh yang dilatih setelah berolah raga
mempunyai performa lebih baik dari masa sebelumnya.

 Aritmia adalah gangguan seputar kecepatan detak jatung.


BAB 7

Terkadang, Dewa Komedi Romantis Bisa Berbuat Hal Baik

Jadi begitulah, hari-hari pun berlanjut dan kami melaju ke fase dua
dari pelatihan tenis ini.

Mungkin kalimat barusan terdengar agak terlalu keren. Sederhananya,


kami sudah melalui pelatihan dasar dan akhirnya berlatih dengan
raket dan bola.

Meski sewaktu aku berkata kami, yang kumaksud sebenarnya adalah


Totsuka seorang. Karena hanya Totsuka-lah satu-satunya anak yang
menghabiskan waktunya untuk memukul bola ke tembok di bawah
pengawasan Instruktur Yukinoshita.

Yah, bukan berarti kami bisa mengimbangi anggota Klub Tenis, itu
sebabnya kami hanya menghabiskan waktu sesuka kami saja.

Yang dilakukan Yukinoshita hanyalah membaca buku di bawah


naungan pohon sekitar, namun sesekali ia terlihat sedang mengigatkan
Totsuka dan pergi mengamati serta memberi instruksi lebih lanjut.

Awalnya Yuigahama sempat mengikuti latihan bersama Totsuka,


namun ia segera bosan dan kini malah menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk tidur siang di sebelah Yukinoshita. Yang
dilakukannya mengingatkan kita sewaktu membawa anjing ke taman
yang kelelahan dan merebahkan dirinya di dekat salah satu kolam
penampungan air.

Lalu, Zaimokuza, dengan ciri khasnya, tampak sedang bersungguh-


sungguh mengembangkan teknik pukulan ajaib pamungkasnya. Sial,
harusnya ia berhenti melempar-lempar kenari. Dan harusnya ia juga
berhenti menggali tanah lapangan dengan raketnya.

Pada akhirnya, hanya hal yang tak berguna mengumpulkan begitu


banyak orang tak berguna ini ke dalam satu tempat.

Dan kalau aku, tak usah ditanya.


Aku bermalas-malasan di pojok lapangan sambil mengamati kawanan
semut. Rasanya begitu menyenangkan.

Benaran, deh. Rasanya sangat-sangat menyenangkan.

Aku tak tahu apa yang dipikirkan makhluk kecil ini sampai segelisah
itu ke sana kemari, tapi yang jelas, mereka hanya menjalani hidup
mereka dengan penuh kesibukan. Kurasa itulah yang membuat diriku
seakan sedang melihat ke bawah dari gedung perkantoran yang
menjulang tinggi.

Gambaran kawanan semut yang tergesa-gesa ini serta gambaran


karyawan kantoran berjas hitam terus terlintas di pikiranku.

Apa suatu hari nanti aku juga akan menjadi bintik-bintik hitam tadi
yang bakal dilihat oleh orang lain dari ketinggian yang sama seperti
gedung-gedung tinggi di Tokyo? Sebenarnya pikiran macam apa yang
sedang kurenungkan ini?

Bukan berarti aku tak suka menjadi karyawan kantoran. Malahan,


sebagian diriku ingin menjadi salah satunya. Profesi tersebut ada di
peringkat dua dari daftar cita-citaku, di mana peringkat satunya
adalah bapak rumah tangga siaga-sepanjang waktu. Peringkat tiganya
adalah mesin pengapian. Gila, memangnya aku ini mau menjadi
mobil, apa...?

Tentu saja aku sadar betul mengenai kekurangan dari menjadi seorang
karyawan kantoran. Aku selalu kagum ketika melihat ayahku pulang
dari kerja dengan wajah penuh kelelahan. Begitu mengagumkan
melihat beliau yang setiap harinya berangkat kerja meski beliau
sendiri tak merasa bahagia.

Karena itu tiba-tiba aku memproyeksikan gambaran akan ayahku


kepada salah satu dari kawanan semut ini dan mulai
menyemangatinya dalam hati.

Berjuanglah, Yah. Jangan menyerah, Yah. Jangan sampai botak, Yah.

Aku memimpikan masa depanku sendiri, kemudian mulai cemas akan


masa depan rambutku sendiri.
Mungkin doaku tadi terkabulkan, soalnya semut itu mulai berbalik
dan berjalan kembali ke arah lubang sarang tempat tinggalnya. Aku
yakin kehangatan keluarga telah menunggu kepulangannya.

Syukurlah.

Dipenuhi oleh perasaan, aku terisak lalu mengusap air mataku.

Di saat bersamaan.

 Wuuusss!*

"Ayaaah~~!!!"

Tanda-tanda kehidupan semut itu pun menghilang seiring bola yang


jatuh melesat dari sisi pojok jauh lapangan.

Dengan mata yang dipenuhi kemurkaan, kuarahkan pandanganku ke


sumber datangnya bola tadi.

"Hmm... jadi itu menciptakan kepulan debu untuk membingungkan


musuh, lalu menggunakan kesempatan tersebut untuk melesatkan bola
ke sana... tampaknya pukulan ajaibku ini telah sempurna. Ilusi elemen
bumi yang membawa kemakmuran hasil alam, Blasting Sand Rock!"

Zaimokuza, rupanya ini ulahnya... apa yang sudah ia lakukan pada


ayahku (versi semut)...? Terserah sajalah. Itu cuma seekor semut.
Kutepuk kedua tanganku dan mulai memanjatkan sedikit doa.

Sementara itu, Zaimokuza tampak sedang terkesima dengan


keberhasilan penyempurnaan teknik barunya, dan memutar raketnya
berkali-kali sebelum menempatkannya di atas bahu sambil berpose.
Rasanya seperti ia baru saja mendapat sejumlah EXP.

Terserah sajalah. Aku tak peduli soal Zaimokuza maupun semut itu.

...mungkin sebaiknya kuhabiskan saja waktu ini dengan melihat


betapa manisnya tingkah Totsuka.
Sewaktu memikirkannya, kulihat Yuigahama ternyata sudah bangun,
dan kini sedang disuruh-suruh oleh Yukinoshita untuk membawa
keranjang bola ke sana kemari.

Ia bertugas mengambil bola dari keranjang, melempar bolanya ke sisi


Totsuka, lalu Totsuka berusaha semampunya untuk mengembalikan
bolanya.

"Yuigahama, tolong arahkan bolanya ke tempat yang lebih sulit lagi,


seperti di sana atau di sana. Latihan macam tadi malah tak ada
artinya."

Tampak berbeda dengan kalem dan tenangnya Yukinoshita, Totsuka


terengah-engah sewaktu mengejar bola ke sisi garis lapangan maupun
ke dekat net.

Yukinoshita memang sungguh-sungguh. Dan ia memang sungguh-


sungguh gila.

...tidak, ia hanya sungguh-sungguh berusaha melatih Totsuka saja.


Dan kuharap ia berhenti memandangiku... rasanya ngeri sekali. Apa ia
memang bisa membaca pikiranku...?

Arah bola Yuigahama benar-benar acak (tak bermaksud menyinggung


form-nya), dan setiap bola yang dilemparnya benar-benar ke arah
yang tak bisa ditebak. Totsuka berlarian ke sana-sini dan berusaha
mengembalikan bolanya, namun kira-kira pada bola kedua puluh ia
jatuh ke tanah.

"Waduh, Sai, kau baik-baik saja?!"

Yuigahama berhenti melempar bola dan berlari ke arah net. Totsuka


mengusap lututnya yang lecet, namun sebuah senyum menghiasi
matanya yang berkaca-kaca itu dan berusaha menegaskan kalau ia
baik-baik saja. Rekanku ini memang berjiwa kesatria.

"Tidak apa-apa, teruskan saja."

Akan tetapi, Yukinoshita tampak muram saat mendengarnya.


"Kau... masih masih mau lanjut?"

"Iya... kalian sudah mau repot-repot membantuku, jadi aku akan


berusaha lebih keras lagi."

"...baiklah, kalau begitu. Yuigahama, kuserahkan sisanya padamu."

Saat mengatakannya, Yukinoshita berbalik dan dengan cepat


menghilang ke arah gedung sekolah. Totsuka memandang
kepergiannya dengan raut gelisah.

"Apa aku... sudah mengatakan sesuatu... yang membuatnya marah...?"

"Tidak, kok. Ia memang selalu seperti itu. Asalkan ia tak menyebutmu


bodoh atau tak berbakat, berarti suasana hatinya masih sedang bagus."

"Bukannya cuma Hikki saja yang dikata-katai seperti itu?"

Padahal ia sendiri juga sering dikatai-katai begitu... cuma Yuigahama


saja yang tidak sadar.

"Apa mungkin ia... sudah lelah menghadapiku...? Aku belum begitu


berkembang, dan aku hanya bisa push-up sebanyak lima kali saja..."

Bahu Totuska terturun, dan ia menundukkan pandangannya ke tanah.


Hmm... kurasa itu tak begitu berbeda dengan yang biasanya
Yukinoshita lakukan...

Meskipun begitu...

"Kurasa bukan itu deh masalahnya. Yukinon enggak bakal


menelantarkan orang yang minta bantuan padanya."

Ujar Yuigahama sambil memutar-mutar bola di tangannya.

"Yah, itu benar. Ia bahkan membantu Yuigahama dalam memasak.


Jadi setidaknya kau masih punya harapan. Aku ragu Yukinoshita
sudah menyerah padamu."

"Apa maksudmu tadi?!"


Yuigahama mengambil bola yang ia mainkan tadi lalu
melemparkannya ke kepalaku. Bolanya tepat mengenai sasaran
sampai menimbulkan bunyi dug!. Yang benar saja? Kontrol
lemparannya tadi benar-benar bagus. Aku takkan terkejut kalau ia
bakal masuk dalam daftar uji coba pemain inti.

Kuambil bola yang menggelinding di tanah itu lalu dengan pelan


melemparkannya kembali ke arah Yuigahama.

"Ia pasti akan datang. Jadi, mau dilanjutkan?"

"...oke!"

Jawab Totsuka bersemangat, dan ia pun kembali berlatih

Setelahnya, untuk sementara tak terdengar lagi ada keluhan maupun


tangis air mata.

Totsuka sedang berusaha semampunya.

"Uh, capek banget~~ Hikki, gantikan aku, dong."

Nyatanya, justru Yuigahama yang mulai mengeluh...

Yah, walau sebenarnya aku tak begitu berbuat banyak.

Satu-satunya pilihan bagiku kini hanyalah kembali mengamati semut-


semut.

Namun semut-semut tersebut sudah dibantai Zaimokuza, makanya


sekarang aku merasa bosan. Tak ada lagi yang bisa kulakukan.

"Boleh. Ayo gantian."

"Hore~~ eh, sekadar info, saat bola keenam nanti, rasanya bakal
membosankan, lo. Jadi siap-siap saja."

Bola keenam?! Cepat sekali. Seburuk itukah daya tahannya?


Sewaktu aku beranjak mengambil kumpulan bola dari Yuigahama,
kulihat senyum yang terpampang di wajahnya tadi berubah menjadi
suram dan sedikit samar.

"Wah, lihat! Ada yang main tenis!"

Aku berbalik mengahadap sumber suara riang itu, dan kulihat ada
segerombolan anak dengan Hayama dan Miura sebagai pusatnya.
Mereka berjalan menuju ke arah kami, dan sewaktu melewati
Zaimokuza, mereka tampak menyadari keberadaanku dan
Yuigahama.

"Eh... ada Yui..."

Ucap perempuan di sebelah Miura dengan suara pelan.

Miura sesaat memandang ke arahku dan Yuigahama sebelum


mengabaikan kami lalu beralih pada Totsuka. (Tampaknya ia benar-
benar tak menyadari keberadaan Zaimokuza.)

"Hei, Totsuka. Kami boleh ikutan main, enggak?"

"Miura, aku... tidak sedang bermain... aku sedang latihan..."

"Hah? Apa? Aku enggak dengar."

Ucapan Totsuka begitu pelan dan tampaknya Miura tak


mendengarnya. Totsuka terdiam mendengar balasan Miura.
Bagaimana tidak, jika seseorang bertanya padaku dengan cara seperti
itu, aku pun pasti akan ikut terdiam. Perempuan itu benar-benar
mengerikan.

Totsuka mengumpulkan sedikit keberanian yang masih dipunyainya


dan mencoba menjawab kembali.

"A-aku sedang latihan..."

Tapi sang tuan putri tak tampak puas.


"Hmm... tapi kok, ada orang selain anggota Klub Tenis di sini? Jadi
artinya, lapangan ini enggak disediakan khusus buat anak-anak Klub
Tenis saja, 'kan?"

"Me-memang benar, sih... tapi..."

"Kalau begitu enggak masalah kalau kita ikut main di sini. Iya, 'kan?

"...tapi..."

Setelah mengatakannya, Totsuka tampak panik dan melihat ke


arahku. Eh, aku?

Yah, kurasa memang tak ada lagi orang yang bisa ia andalkan.
Yukinoshita sedang pergi entah ke mana, Yuigahama memalingkan
pandangannya dengan wajah gelisah, dan tak ada yang memedulikan
keberadaan Zaimokuza... jadi kurasa memang cuma aku.

"Oh, maaf, tapi Totsuka sudah meminta izin guru untuk memakai
lapangan ini. Jadi orang lain tak boleh menggunakannya."

"Hah? Makanya tadi aku tanya, padahal kau bukan anggota Klub
Tenis tapi kok boleh menggunakannya?"

"Ah, eng... soalnya kami di sini membantu Totsuka latihan. Yah,


semacam tenaga kerja lepas begitu."

"Eh? Kau ini mengoceh apa? Menjijikkan, tahu."

Wuah, perempuan ini memang sama sekali tak punya niat


mendengarkanku. Makanya aku benci perempuan bispak macam
begini. Primata macam apa yang tak mengerti ucapan manusia?
Anjing saja bisa mengerti. Ya, Tuhan.

"Sudah, sudah, jangan bertengkar."

Sela Hayama ingin menengahi.

"Bakal lebih seru kalau semuanya bisa ikut main. Begitu saja enggak
apa-apa, 'kan?"
Kata-kata Hayama langsung mengusik pikiranku. Miura sudah
mengokang senapannya dan Hayama yang menarik pelatuknya.

Yah, aku hanya perlu balas menembak saja.

"Semuanya... apa-apaan itu? Itu sama saja seperti saat kau merengek
meminta sesuatu pada orang tuamu dan memakai alasan, Semuanya
sudah punya, kok! Jadi siapa yang kaumaksud semuanya itu...? Aku
jarang berteman, jadi aku tak terbiasa dengan kalimat itu..."

Itu adalah makna ganda antara kata tembak (撃つ) dan murung (鬱)!
Sebuah kombinasi yang mengagumkan!

Bahkan Hayama sekalipun harus mengalah karenanya.

"Ah, eng... bukan begitu maksudku. Eng... maaf, deh. Kalau memang
ada yang mau kaukatakan, bilang saja padaku."

Ucapnya ingin menenangkanku dengan begitu sigap.

Hayama memang orang yang baik. Aku hampir terharu dan hendak
berterima kasih padanya.

Tapi...

Jika aku bisa tertolong karena simpati murahan macam itu, maka dari
awal aku tak perlu ditolong. Jika permasalahanku bisa teratasi karena
kata-kata barusan, berarti sebenarnya aku tak punya masalah.

"...Hayama, aku hargai kebaikanmu. Aku tahu betul kalau


kepribadianmu memang bagus. Ditambah, kau pemain andalan Klub
Sepakbola. Wajahmu pun cukup tampan, ya 'kan? Aku yakin kau
cukup populer di kalangan anak perempuan!"

"Ke-kenapa kau berkata begitu...?"

Hayama jelas terguncang oleh sanjungan dadakanku. Bagus, bagus,


biar ia puaskan dirinya sendiri.

Aku yakin Hayama tak tahu soal ini.


Apa alasan seseorang sampai bisa memuji orang lain? Itu karena
semakin orang itu merasa tinggi, maka semakin keras jatuhnya.

Itulah yang disebut mati karena pujian.

"Kau begitu diberkati dan sangat bersinar, tapi kenapa masih saja mau
merebut lapangan tenis ini dari kami yang tak punya apa-apa ini? Apa
kau tak malu berbuat seperti itu?"

"Tepat sekali! Tuan Hayama! Yang kaulakukan itu benar-benar hina!


Ini penjajahan! Tunggu pembalasanku!"

Tanpa diduga, Zaimokuza datang dan mulai melontarkan kata-kata


heboh.

"Kalau mereka bersama, situasinya malah jadi dua kali lebih suram
dan menyedihkan..."

Yuigahama lalu tertegun berdiri di sebelah kami. Dan Hayama


menggaruk kepalanya sambil menghela napas.

"Hmm... yah, eng..."

Tanpa kusadari, seringai jahat terpampang di wajahku. Tepat sekali...


Hayama bukanlah orang yang suka membuat gara-gara di sembarang
tempat. Dan saat ini, di sembarang tempat itu ada dirinya, Zaimokuza,
dan diriku. Disudutkan oleh suara mayoritas, Hayama tak punya
pilihan selain merelakan tempat ini.

"Ayo, dong, Hayato~~"

Suara memelas terdengar dari sebelah kami.

"Sedang apa sih di sana? Aku mau main tenis, nih."

Dan anak bodoh berambut ikal itu pun datang. Apa ada yang salah
dengan sel otaknya? Sial, harusnya ia menghargai orang bicara... jelas
ia tipe orang yang sulit membedakan antara pedal gas dengan rem, ya'
kan?

Tentu saja, Miura sudah menginjak pedal gas ketimbang rem.


Karena komentarnya tadi, Hayama jadi punya sedikit waktu untuk
berpikir. Sedikit jeda barusan sudah cukup untuk menghidupkan
mesin di otaknya.

"Hmm... baiklah, begini saja. Semua yang bukan anggota Klub Tenis
akan bertanding. Dan yang menang, mulai dari sekarang boleh
memakai lapangan ini selama istirahat makan siang. Tentu saja, yang
menang akan membantu Totsuka berlatih. Pasti lebih bagus kalau ia
berlatih dengan pemain yang lebih baik, ya 'kan? Jadi semua bisa
sama-sama senang."

...ada apa dengan logika sempurna barusan? Apa ia seorang genius?

"Bertanding? ...wah, kedengarannya seru."

Miura tersenyum kejam layaknya Sang Ratu Api.

Dan semua pengikut mereka tampak begitu bersemangat oleh saran


Hayama tadi.

Lalu, tersapu oleh panasnya pertarungan yang akan terjadi, di bawah


hiruk-pikuk dan kekisruhan, kami pun melaju ke fase tiga dari
pelatihan tenis ini.

Mungkin kalimat barusan terdengar agak terlalu keren. Intinya, kami


mempertaruhkan lapangan tenis lewat sebuah pertandingan.

Kenapa malah jadi begini...?

— II —

Aku sudah berusaha melucu dengan memakai kata-kata seperti hiruk-


pikuk dan kekisruhan, namun kata-kata itu justru menjadi kenyataan.

Kini, ada beberapa orang sedang bersorak di sekitar lapangan tenis


yang berletak di pojok halaman sekolah.
Andai dihitung, mungkin mudahnya ada sekitar dua ratus orang di
sini. Tentu saja sebagiannya adalah kelompok Hayama, tapi ada lebih
banyak orang yang mungkin mendengar hal ini dari suatu tempat dan
penasaran ingin mencari tahu.

Sebagian besar penonton di sini adalah teman Hayama maupun


penggemarnya. Sebagian besarnya adalah anak kelas dua, namun ada
juga anak kelas satu yang berbaur, dan aku pun bisa melihat ada anak
kelas tiga di sana-sini.

Yang benar saja? Ia bahkan lebih populer dibanding politisi.

"HA~ YA~ TO~ GO!! HA~ YA~ TO~ GO!!"

Para penonton bersorak untuk Hayama, dan mereka mulai membuat


gelombang sorakan. Rasanya seperti sedang di tengah konser idola
saja. Meski kurasa sebagian orang di sini bukanlah penggemar
Hayama, tapi mereka kemari karena merasa ada sesuatu yang aneh
sedang berlangsung... iya, 'kan? Aku justru lebih meyakini hal itu.

Intinya, bulu kudukku langsung merinding sewaktu melihat ke arah


kerumunan. Rasanya seperti sebuah sekte keagamaan. Jemaat masa
remaja memang menyeramkan.

Dan di tengah wadah kekisruhan yang meleleh itu, Hayato Hayama


dengan percaya diri maju ke tengah lapangan. Terlepas dari riuhnya
penonton, ia tampak begitu tenang. Mungkin ia sudah terbiasa dengan
perhatian sebanyak ini. Kini tak hanya pengikutnya saja yang
mengerumuninya, namun juga beberapa anak lelaki dan perempuan
dari kelas lain.

Kami sudah benar-benar tertelan seutuhnya. Kami pun bolak-balik


saling beradu tatap. Kupejamkan mataku, dan kurasakan diriku
pening karena hiruk-pikuk yang memekakkan telinga itu.

Hayama sudah menggenggam raketnya dan berdiri di sisi lapangan. Ia


memandang kami dengan penuh ketertarikan, penasaran soal siapa di
antara kami yang akan maju duluan.

"Hei, Hikki. Bagaimana, nih?"


"Bagaimana, ya..."

Yuigahama tampak gelisah saat bertanya padaku tadi. Aku lalu


memandang ke arah Totsuka, dan ia sudah terlihat seperti kelinci
ketakutan yang baru saja dilepas di hutan yang asing.

Bahkan sewaktu berbicara padaku, ia tampak begitu malu-malu


sambil merapatkan kedua kakinya. Ya ampun, gemas sekali
melihatnya.

Bukan aku saja yang berpikir demikian. Saat Totsuka berjalan dengan
lemahnya tadi, kudengar para perempuan di sekitar kami sudah
menjeritkan, "Pangeran~~!!" ataupun "Sai~~!!"

Namun setiap kali Totsuka mendengar itu, bahunya langsung terturun.


Dan karena melihat hal itulah, para penggemar Totsuka semakin
menggeliat kesenangan. Aku pun jadi sedikit ikut terbawa mereka.

"Sepertinya Totsuka tak bisa ikut bertanding..."

Hayama bilang kalau ini adalah pertandingan antara orang-orang dari


luar Klub Tenis. Dengan kata lain, ini adalah pertandingan untuk
memenangkan lapangan dan Totsuka itu sendiri.

"...Zaimokuza, kau bisa main tenis?"

"Serahkan saja padaku. Aku sudah selesai membaca seluruh jilidnya,


bahkan aku sudah menonton drama musikalnya. Jadi aku cukup
superior bila berurusan dengan tenisu."

"Aku yang bodoh sudah bertanya padamu. Lagi pula, kalau


mengucapkan tenis dengan cara begitu, harusnya kau juga konsisten
sewaktu mengucapkan drama musikal tadi."

"Yah, kalau begitu, berarti memang terserah padamu... terus


bagaimana pengucapan drama musikal-nya?"

"Benar juga, kurasa memang harus aku..."


"Menurutmu kau punya kesempatan menang? ...serius deh, bagaimana
dengan pengucapan drama musikal-nya?!"

"Sama sekali tak ada... sudahlah, jangan cerewet. Kalau memang


tidak bisa, tinggal ubah saja karakter sialanmu itu. Parah sekali
kelihatannya."

"Be-begitu... Hachiman, memang pintar, ya?"

Zaimokuza tampak terkesan. Rupanya masalah tentang dirinya tadi


sudah bisa diatasi. Tapi tak satu pun dari masalahku sendiri sudah
teratasi. Ah... bagaimana ini?

Kubenamkan kepalaku dalam kedua tangan yang sedang menyilang.


Saat melakukannya, kudengar sebuah suara kasar nan menjengkelkan.

"Hei, bisa cepat enggak, sih?"

Ya Tuhan. Perempuan bispak ini benar-benar menjengkelkan.


Kutengadahkan kepalaku dan melihat Miura sudah menggenggam
raket sambil memeriksanya. Hayama pun tampak merasa aneh saat
melihat kelakuan perempuan itu.

"Eh? Yumiko mau main juga?"

"Hah? Ya, iyalah. Dari awal, yang mau main tenis itu sebenarnya aku.
Masa lupa, sih?"

"Aku tahu, tapi... tim di sebelah sana mungkin diwakili anak lelaki.
Kau kenal, eng... Hikitani, 'kan? Anak itu. Kalau kau bermain
dengannya, bakal enggak adil nanti."

Siapa itu Hikitani? Yang bermain itu bukan Hikitani, tapi Hikigaya...
mungkin.

Setelah diingatkan oleh Hayama, Miura lalu termenung sambil


memain-mainkan rambut ikalnya.
"Ah, kalau begitu, main ganda campuran saja! Wah, aku ini pintar
juga, ya? Tapi... memangnya ada perempuan yang mau main sama
Hikitani? Haha, konyol banget!"

Miura mulai mengeluarkan tawa vulgar bernada tinggi, lalu diikuti


oleh tawa para penonton. Mau tak mau aku juga ikut menertawakan
diriku sendiri.

Ku ku ku, ku ku ku... uh, kuakui rasanya perih sekali, tapi yang tadi
itu memang tepat sasaran. Bisa kurasakan diriku terjun bebas ke
dalam kegelapan.

"Hachiman, ini gawat. Kau sama sekali tidak punya teman


perempuan. Dan tak ada anak perempuan yang mau membantu
bajingan penyendiri berwajah datar sepertimu sekalipun kau
memohon. Jadi bagaimana ini?"

Zaimokuza ini tak mau diam. Tapi yang dikatakannya memang benar,
makanya aku tak bisa menyangkalnya.

Kita sudah melewati sebuah masa di mana aku bisa tinggal pergi
sambil berkata, Ahahaha, maaf~~ sudah, kita lupakan saja soal ini.
(kedip <3). Awalnya aku ingin meminta bantuan Zaimokuza, tapi ia
hanya menoleh ke sana kemari dan mulai bersiul.

Kuhela napasku, dan seolah tertular, Yuigahama dan Totsuka juga


ikut menghela napas.

"..."

"Hikigaya, maaf. Kalau saja aku anak perempuan, aku pasti akan
senang bermain denganmu, tapi..."

Benar sekali. Kenapa Totsuka bukan anak perempuan? Padahal ia


begitu manis...

"...tenang saja."

Tak boleh kubiarkan kecemasan ini tampak di wajahku, karena itu


lalu kubelai kepala Totsuka.
"Dan juga... kau tak perlu mencemaskan ini. Kalau kau punya tempat
untuk bernaung, maka kau harus melindungi tempat tersebut."

Saat aku mengatakannya, bahu Yuigahama jadi gemetar. Ia gigit


bibirnya dan melihatku dengan tatapan menyesal.

Yuigahama punya kedudukan sendiri di kelasnya. Tak sepertiku, ia


benar-benar hebat jika berurusan dengan pergaulan antarsesama. Itu
sebabnya ia masih ingin bisa berakrab ria dengan Miura serta anak
lainnya.

Aku adalah penyendiri, tapi bukan berarti aku iri dengan orang-orang
yang akrab dengan sesamanya. Bukan berarti pula aku mengharapkan
hal buruk terjadi pada mereka... sungguh bukan itu. Aku tidak
bohong.

Bukan berarti kami ini sekumpulan teman atau semacamnya, dan aku
juga takkan menganggap mereka sebagai teman. Kami hanyalah
bentuk kekacauan dari sekelompok acak orang-orang yang berkumpul
bersama, atau mungkin kami berkumpul di sini karena alasan yang
acak pula.

Yang mau kulakukan hanyalah ingin membuktikan sesuatu. Bahwa


para penyendiri ada bukan untuk dikasihani, mereka sama bergunanya
seperti yang lain.

Aku sadar betul kalau itu adalah pemikiran yang egosentris. Tapi aku
memang orang yang egosentris jika sedang sendirian. Bahkan aku
bisa berteleportasi dan menghembuskan api saat sedang sendirian.

Namun aku tak mau menolak masa laluku sendiri ataupun masa yang
sedang kujalani ini. Aku takkan pernah percaya bahwa menghabiskan
waktu seorang diri adalah sebuah dosa atau hal yang dianggap salah.

Karena itu aku akan berjuang melindungi rasa keadilanku sendiri.

Aku pun mulai maju ke lapangan sendirian.

"...mau."
Kudengar desahan lembut, amat sangat lembut hingga lenyap oleh
riuhnya sorakan.

"Hah?"

"Kubilang, aku mau!"

Yuigahama sedikit mengerang sewaktu wajahnya mulai memerah.

"Yuigahama? Bodoh. Kau ini bodoh, ya? Jangan main-main."

"Kenapa aku dibilang bodoh?!"

"Kenapa kau mau melakukannya? Kau ini bodoh, ya? Atau jangan-
jangan kau suka padaku?"

"E... eh? Ka-kau ini bicara apa? Bodoh! Dasar Bodoooooh!!"

Wajah Yuigahama memerah selagi mengataiku bodoh berulang kali


disertai kemarahan yang luar biasa. Ia lalu merebut raket dari
tanganku dan mulai mengayunkannya ke sana kemari.

"Ma-ma-ma-maaf! Maaf!"

Aku langsung meminta maaf sambil menghindari ayunan raketnya.


Mengerikan sekali saat mendengar suara ayunan raket yang begitu
dekat dengan telingaku. Tapi sewaktu aku meminta maaf,
kuperlihatkan rasa penasaran ini lewat ekspresiku. Yuigahama pun
mengalihkan wajahnya dengan malu-malu.

"...yah, bagaimana bilangnya, ya? Aku juga anggota Klub Layanan


Sosial... jadi bukan hal aneh bagiku berbuat seperti ini... soalnya, itu
tempatku bernaung."

"Tunggu, tenang dulu. Perhatikan dulu sekitarmu. Ini bukanlah satu-


satunya tempatmu bernanung, 'kan? Coba lihat, para perempuan
dalam grup langgananmu sedang menatap ke arahmu."

"Eh, serius?"
Yuigahama menegang dan menoleh ke arah grup Hayama. Hampir
bisa kudengar suara lehernya yang berderak sewaktu menolehkan
kepala. Aku sempat mau menyarankannya agar memakai pelumas
Kure 556 atau semacamnya.

Grup perempuan di sekitar Hayama, dengan Miura sebagai


pemimpinnya, sedang memandang kami. Sudah sewajarnya mereka
berbuat demikian, mengingat apa yang sudah Yuigahama lantangkan
tadi.

Terasa aura permusuhan pada mata besar Miura yang sudah ditebali
oleh maskara dan eyeliner. Gulungan rambut pirangnya yang mirip
bor itu berayun tak senang. Memangnya ia itu Nyonya Kupu-Kupu
apa?

"Yui, asal kau tahu, kalau kau memihak sana berarti kau melawan
kami. Kau paham, 'kan?"

Layaknya seorang ratu, Miura menyilangkan lengan dan


menghentakkan kakinya ke tanah. Itu adalah pose seorang ratu yang
sedang marah. Merasa tertekan oleh pose tersebut, perlahan
Yuigahama menundukkan pandangannya ke bawah. Ia lalu
menggenggam keliman roknya. Mungkin ia merasa gugup —
tangannya sudah gemetaran.

Sorakan pernonton mulai berubah menjadi riuh rendahnya suara


bisikan. Padahal ini bukan sebuah eksekusi di depan umum.

Namun Yuigahama mengangkat kepalanya dan dengan tegas menatap


ke depan.

"...bukan begitu... mauku. Tapi, klub... klub ini penting buatku! Jadi
aku akan melakukannya."

"Hmm... begitu. Jangan sampai kau malu sendiri, ya."

Tanggap Miura singkat. Namun aku melihat sebuah senyum


tersungging di wajahnya. Itu adalah senyuman api neraka yang
berkobar.
"Ayo ganti baju dulu. Biar kupinjamkan baju dari Klub Tenis Putri.
Ayo ikut."

Miura menolehkan kepalanya ke arah ruang Klub Tenis yang berada


di dekat lapangan. Mungkin ia mencoba bersikap baik, tapi yang
terdengar bagiku, ia seperti berkata, Akan kucekik kau di ruang klub
nanti. Yuigahama pun mengikutinya dengan wajah tegang, dan semua
anak di sekelilingnya memandang dirinya dengan tatapan iba.

Yah... senang bisa kenal dengan dirinya...

"Hei, Hikitani."

Sewaktu aku mendoakan Yuigahama, Hayama mengajakku bicara. Ia


pasti punya keahlian komunikasi yang cukup hebat hingga bisa bicara
denganku. Meskipun ia salah mengucapkan namaku.

"Ya?"

"Aku masih belum begitu tahu peraturan tenis. Bermain ganda


sepertinya juga cukup sulit. Jadi, apa kau keberatan kalau kita
membuat beberapa peraturan sederhana?"

"Boleh. lagi pula ini juga tenis untuk pemula. Kita pukul saja bolanya
dan tetap hitung angkanya. Bagaimana? Ini mirip seperti bola voli."

"Ah, itu lebih mudah dipahami. Aku setuju."

Hayama tesenyum senang. Kubalas dirinya dengan tersenyum masam.

Di saat bersamaan, dua perempuan tadi akhirnya kembali.


Wajah Yuigahama sudah memerah selagi ia susah payah
membetulkan roknya. Satu setelan dengan roknya, ia mengenakan
kaos polo untuk bagian atasnya.

"Rasanya seragam tenis ini agak... bukannya rok ini terlalu pendek,
ya?"

"Tapi rok yang kaupakai selalu sependek itu, kok..."

"Hah?! Apa maksudmu?! Ja-jangan bilang kalau kau selalu


memerhatikanku! Menjijikkan! Jijik banget! Benar-benar
menjijikkan!"

Yuigahama menatapku tajam dan mulai mengangkat raketnya di atas


kepala.

"Tenang saja! Aku tak memerhatikannya! Aku sama sekali tak


memerhatikanmu! Jangan khawatir! Dan jangan pukuli aku!"

"Entah kenapa... rasanya itu tetap membuatku kesal..."

Gumam Yuigahama sembari perlahan menurunkan raketnya.

Melihat kesempatan untuk membuka diskusi, Zaimokuza menyela


sambil berdeham.

"Ehem... Hachiman. Bagaimana strateginya?"

"Strategi terbaiknya adalah mengincar perempuan itu, 'kan?"

Soalnya perempuan sebodoh itu akan bisa langsung dihancurkan,


bukan? Jadi sudah pasti perempuan itu adalah celah dari pertahanan
mereka. Akan lebih efisien jika menyerang ke arahnya daripada
berhadapan satu lawan satu dengan Hayama. Namun sewaktu
mendengar rencana tersebut, Yuigahama langsung mengajukan
keberatan sambil bersuara panik.

"Eh? Hikki, kau enggak tahu, ya? Yumiko sudah bermain tenis sejak
SMP. Ia terpilih masuk ke dalam tim yang mewakili prefektur, tahu?"
Sewaktu mendengarnya, aku langsung melirik ke arah Nyonya Kupu-
Kupu (alias Yumiko). Postur tubuhnya cukup proporsional, dan
pergerakan tubuhnya tampak begitu luwes. Mengetahui itu,
Zaimokuza bicara sambil terbata-bata.

"Hm... jadi si gulungan vertikal itu tidak main-main."

"Sebenarnya, gaya rambut itu sebutannya pintalan longgar..."

— II —

Pertandingan pun dimulai, dan emosi-emosi saling bergesekan seiring


poin yang masuk dalam pasang surutnya serangan maupun
pertahanan.

Saat pertandingan baru dimulai, sorakan penonton begitu bergemuruh


dan dipenuhi teriakan histeris. Namun sejalan dengan berlangsungnya
pertandingan, mata mereka mengikuti ke mana arah pergerakan bola
sambil menahan napasnya. Kemudian mereka menghela napas dan
bersorak gembira saat poin tercipta. Ini benar-benar mirip seperti
pertandingan profesional yang disiarkan di TV.

Di setiap reli panjang yang saling berganti, dengan poin yang saling
berbalas, bisa kurasakan kegelisahan yang semakin mengikis
syarafku.

Pada akhirnya, keseimbangan tadi dihancurkan oleh servis si


gulungan vertikal itu.

 Ping!* Kudengar suara pukulan raketnya. Segera setelahnya,


bola melesat turun ke lapangan layaknya sebuah peluru dan
semakin membesar di penglihatanku.

Apa-apaan yang barusan itu...? Entah cuma aku, atau memang


bolanya juga melesat seperti gulungan vertikal?
Intinya, Nyonya Kupu-Kupu itu ternyata benar-benar pemain kelas
atas.

"Ternyata ia memang jago..."

Gumamku tanpa sadar.

"Apa kubilang."

Jawab Yuigahama dengan begitu bangga. Bukankah ia harusnya ada


di pihakku?

"Kau sendiri belum memukul satu bola pun sampai sekarang..."

"Ah, eng, sebenarnya... aku jarang main tenis."

Yuigahama terkikih gugup di depanku.

"...kau... kau jarang main tenis tapi memaksakan diri ikut bermain?"

"Eng... i-iya, aku salah!"

Justru sebaliknya... perempuan ini terlalu baik. Ia jarang bermain


tenis, dan ia masih memaksakan diri bermain di depan orang banyak
demi membela Totsuka... tak semua orang bisa berbuat begitu. Dan
itu bisa jadi lebih keren lagi andai ia memang jago bermain tenis. Tapi
hidup tak selalu sesuai dengan keinginan kita.

Aku masih bisa melawan dengan servis terarah dan pengembalian


bola terukur yang kuasah lewat latihan memukul bola ke tembok.
Namun saat mendekati paruh kedua, perbedaan skor kami kian
melebar.

Itu karena lawan kami hampir selalu terfokus pada Yuigahama.

Mereka mungkin terkejut karena aku bisa menangani dan mengubah


arah sasaran mereka... atau bisa jadi mereka yang tak menghiraukan
keberadaanku.

"Yuigahama, kau jaga bagian depan. Biar aku yang urus bagian
belakang."
"Oke."

Setelah menetapkan strategi dasar, kami pun bersiap di posisi yang


sudah direncanakan.

Servis Hayama yang keras dan cepat mengarah ke kami. Bolanya


melesat ke pojok jauh lapangan dengan akurasi terukur dan melayang
melewati kami. Aku melompat ke samping sambil bersusah payah
menggapainya. Kujulurkan raketku sejauh mungkin supaya bisa
mengenai bolanya. Lalu dengan sekuat tenaga kukembalikan bola itu.

Pengembalianku mendarat di sisi lawan, namun Nyonya Kupu-Kupu


seolah sudah bersiap. Ia lalu melesatkan bola ke arah berlawanan.
Aku bahkan tak menunggu untuk melihat arah datangnya bola. Aku
hanya bergegas maju ke sisi tersebut, yang kukira bolanya akan
mengarah ke sana.

Kakiku yang sulit kukendalikan ini masih mau menuruti kehendakku.


Kuhadapi bola itu, dan saat memantul kembali, kupukul keras ke arah
pojok lapangan.

Akan tetapi, Hayama sepertinya sudah mengetahui rencanaku — ia


menunggu pukulanku. Ia mengubah keadaan dengan sebuah drop shot
yang mengarah di antara Yuigahama dan aku.

Aku kehilangan keseimbangan hingga tak mungkin meraih bola itu.


Aku memandang Yuigahama dengan tatapan memohon, dan ia berlari
ke arah bola lalu mengembalikannya... namun ia terlalu kuat
memukul bolanya, sehingga bola itu pun melayang tinggi ke angkasa,
dan jatuh tepat di posisi Nyonya Kupu-Kupu berdiri.

Bola itu pun dismes keras dengan sekuat tenaga ke arah kami.
Nyonya Kupu-Kupu tersenyum sadis saat bola tersebut menyerempet
pipi Yuigahama dan melaju ke arah pojok kosong lapangan.

"Kau tak apa-apa?"

Tanpa mengambil bola aku langsung berseru pada Yuigahama yang


sudah jatuh terduduk di belakang.
"...yang tadi itu mengerikan sekali..."

Saat mendengar gumaman Yuigahama yang matanya sudah berkaca-


kaca itu, Nyonya Kupu-Kupu sesaat terlihat cemas.

"Yumiko, kau memang kejam."

"Ha...?! Bukan, bukan begitu! Yang tadi itu wajar-wajar saja, kok!
Enggak mungkin aku sekejam itu!"

"Ah, berarti kau memang manusia sadis."

Gurau Hayama dan Nyonya Kupu-Kupu sambil kemudian tersenyum.


Para penonton pun tampak terpengaruh oleh mereka dan ikut
tersenyum.

"...Hikki, ayo menangkan pertandingan ini."

Yuigahama lalu berdiri dan mengambil raketnya. "A-aduh!"


Kudengar ia sedikit mengaduh.

"Hei, yakin kau tak apa-apa?"

"Maaf... kurasa kakiku terkilir."

Yuigahama tersenyum malu-malu padaku. Matanya pun sudah


dipenuhi air mata.

"Kalau kita kalah, nanti bisa jadi masalah buat Sai... ah, gawat, kalau
begini bisa gawat... kalau sampai gagal, minta maaf saja enggak bakal
cukup... uh!"

Yuigama lalu menggigit bibirnya karena frustasi.

"Baiklah, kita pikirkan jalan keluarnya. Jika terpaksa, kita bisa


mendandani Zaimokuza dengan pakaian perempuan."

"Jelas langsung ketahuan, dong!"

"Benar juga... begini saja... kau istirahat dulu di luar. Biar sisanya aku
yang urus."
"...terus?"

"Sejak zaman dahulu kala, ada sebuah teknik terlarang dalam


olahraga tenis. Teknik itu bernama, Raketku jadi roket!"

"Itu jelas pelanggaran!"

"...ya sudah, jika situasinya memang jadi buruk, aku akan bersikap
serius. Kalau sudah serius, aku bisa menjadi ahli dalam bersujud dan
menjilat kaki lawanku."

"Itu memang serius tapi dalam cara yang salah..."

Yuigahama tampak terkejut dan berdesah lalu tersenyum. Matanya


sudah sembab karena air mata. Mungkin karena kakinya yang terkilir
atau mungkin karena ia tertawa hingga tanpa sadar menangis. Dengan
matanya yang sudah memerah, ia mengalihkan pandangannya ke
arahku.

"Ah, Hikki memang bodoh... kepribadianmu buruk, bahkan saat


terdesak pun tetap sama buruknya. Biar begitu, kau enggak mau
menyerah... kau tetap maju seperti orang bodoh dan menantang
lawanmu dengan cara menjijikkan dan menyedihkan... aku akan
mengingatnya."

"Kau ini bicara ap—"

"Kurasa aku sudah enggak sanggup lagi..."

Sela Yuigahama dengan nada kesal.

Ia lalu berbalik membelakangiku dan beranjak pergi. "Permisi,


permisi!" Serunya sewaktu membelah kerumunan penonton yang
sedang kebingungan.

"...perempuan itu bicara apa, sih...?"

Ditinggalkan sendiri di tengah lapangan, kupandangi Yuigahama


yang keluar seiring sosoknya yang mulai menghilang. Lalu kudengar
suara tawa menjengkelkan yang bergema di lapangan.
"Ada apa, nih? Bertengkar sama temanmu, ya? Terus ditinggalkan,
ya?"

"Konyol sekali... selama ini aku tak pernah bertengkar dengan siapa
pun. Dan aku tak punya kedekatan dengan siapa pun sampai bisa
bertengkar dengan mereka."

"Eh..."

Hayama dan Nyonya Kupu-Kupu tersentak karena ucapanku.

Hmm...? Harusnya mereka tertawa tadi...

Oh, aku paham. Humor merendahkan diri barusan hanya berlaku pada
orang yang sudah dekat dengan kita saja...

Hanya Zaimokuza satu-satunya yang berusaha menahan tawa. Aku


berdecak dan membalikkan badan hanya untuk melihat dirinya yang
berlagak cuek dengan berpura-pura sedang bicara pada seseorang di
tengah kerumunan penonton.

...bajingan itu mau melarikan diri, ya...? Pada situasi begini, aku
sekalipun pasti akan berlagak cuek dan melarikan diri. Totsuka pun
sampai memandangku dengan tatapan memelas.

Uh, baiklah... ini saatnya untuk memohon ampun. Akan kutunjukkan


kalau aku bisa serius.

Untuk bisa mengambil hati orang lain, kita memang harus membuang
harga diri dan sebisa mungkin menjilat mereka... aku bangga bisa
melakukannya.

Mungkin cuma aku satu-satunya yang merasakan sebuah dorongan


besar untuk mengeluarkan diriku dari suasana tegang ini... kemudian
kudengar penonton mulai ramai bergumam.

Dan tembok manusia itu pun perlahan terbelah dua.

"Ada apa sampai jadi ramai begini?"


Rupanya itu Yukinoshita — ia mengenakan seragam olahraga satu
setel dengan roknya, dan itu terlihat kurang mengenakkan. Ia datang
dengan membawa kotak P3K di tangannya.

"Ah, kau ini ke mana saja...? Terus kenapa bajumu begitu?"

"Aku juga kurang tahu... Yuigahama mendatangiku dan memintaku


memakai ini."

Ujar Yukinoshita sambil berbalik, kemudian Yuigahama muncul di


sampingnya. Tampaknya mereka saling bertukar pakaian, dan
Yuigahama sedang mengenakan seragam Yukinoshita. Mereka ganti
baju di mana? Masa di luar?! Hmm...

"Rasanya kesal kalau kita kalah padahal sudah sampai sejauh ini,
makanya Yukinon akan bermain untuk kita."

"Kenapa harus aku...?"

"Yah, soalnya Yukinon itu teman yang paling bisa diandalkan di


dunia!"

Yuikinoshita sedikit tersentak saat mendengar tanggapan Yuigahama


tadi.

"Te... teman?"

"Yak, teman."

Sanggah Yuigahama tanpa pikir panjang. Tunggu dulu, rasanya yang


tadi itu agak...

"Apa kau meminta tolong temanmu untuk melakukan hal seperti ini?
Rasanya kau hanya memanfaatkannya saja..."

"Eh? Untuk yang begini, aku hanya bisa meminta tolong temanku
saja. Kenapa juga kita harus memohon pada orang yang enggak
peduli untuk melakukan hal-hal penting buat kita?"

Jawabnya seolah itu adalah hal paling wajar untuk diucapkan.


Oh, begitu rupanya...

Di masa lalu, aku sering terpedaya untuk menggantikan tugas piket


anak lain karena mereka berkata, Kita ini teman, 'kan? Itu sebabnya
aku belum terbiasa dengan pemandangan yang diperlihatkan
Yuigahama ini. Begitu rupanya. Berarti aku memang berteman
dengan anak-anak itu... barangkali.

Tak menutup kemungkinan Yukinoshita memikirkan hal yang sama


denganku. Ia menempelkan jari di bibirnya seakan sedang
memikirkan sesuatu.

Kecurigaannya terlalu berlebihan; aku pun bukan tipe yang gampang


percaya orang lain.

Tapi Yuigahama ini beda cerita. Intinya, anak ini terlalu polos.

"Hei, mungkin ia hanya bersikap jujur. Lagi pula, anak ini terlalu
polos."

Saat aku berkata begitu, sikap tegas Yukinoshita langsung melunak.


Ia menyunggingkan senyum penuh makna pada kami dan
mengibaskan rambutnya dengan sebelah tangan seperti yang biasanya
ia lakukan.

"Tolong jangan anggap remeh diriku... mungkin kelihatannya saja


begini, tapi aku cukup jeli dalam menanggapi orang lain. Dan
mustahil seseorang yang bisa bersikap baik padaku maupun pada
Hikigaya adalah orang yang jahat."

"Logika yang cukup mengesalkan..."

"Tapi memang itu kenyataannya."

Sudah pasti begitu.

"Aku tak keberatan diminta bermain tenis, tapi... bisa aku minta
waktu sebentar?"

Tanya Yukinoshita, lalu ia berjalan mendekati Totsuka.


"Setidaknya kau bisa merawat lukamu dulu, ya 'kan?"

Totsuka tampak sedikit kebingungan sewaktu menerima kotak P3K


yang disodorkan padanya.

"Eh, ah, iya..."

"Yukinon, jadi tadi kau pergi untuk mengambil itu... kau memang
baik."

"Begitukah? Walau ada beberapa anak lelaki diam-diam menjulukiku


Ratu Es..."

"Ke-kenapa kau bisa tahu... Argh! Kau membaca Daftar Orang yang
Takkan Kumaafkan milikku, ya?!"

Sial. Aku sudah menyebut Yukinoshita dengan kata-kata buruk di


buku itu.

"Aku terkejut. Jadi kau benar-benar menjulukiku begitu? ... yah, aku
juga tak peduli orang berpikir apa."

Yukinoshita membalikkan badannya ke arahku. Meski begitu,


ekspresi dingin yang ia tunjukkan tak terlihat seperti biasanya,
melainkan sedikit diwarnai oleh keraguan. Suaranya perlahan beralih
dari kepercayaan diri menjadi sesuatu yang lebih rapuh. Ia tiba-tiba
memalingkan pandangannya.

"...dan... aku tak keberatan kalau kau menganggapku... temanmu..."


Hampir kudengar suara *pop* sewaktu pipi Yukinoshita mulai
tampak merah padam. Ia genggam raket yang diambilnya dari
Yuigahama tadi dan sekilas terlihat sedang menundukkan wajah.

Itu terlihat begitu menggemaskan hingga cukup layak untuk diberi


pelukan... oleh Yuigahama.

"Yukinon!"

"Hentikan... jangan menempel begitu padaku. Aku jadi tak bisa


bergerak..."

...eh? Bukankah ini titik di mana ia harusnya bersikap lembut padaku?


Entah hanya aku, atau ia cuma bersikap lembut pada Yuigahama saja?
Harusnya tak begitu, bukan? Apa kami sedang di dalam kisah komedi
romantis di mana lelaki mendapat cinta lelaki lain dan perempuan
mendapat cinta perempuan lainnya?

Semua dewa komedi romantis memang konyol.

Setelah Yukinoshita berhasil melepaskan diri dari Yuigahama, ia


berdeham beberapa kali dan lanjut berbicara.

"Sungguh sebuah penyesalan bisa berpasangan dengan lelaki ini, tapi,


yah... mau bagaimana lagi? Aku terima permintaanmu. Aku hanya
perlu memenangkan pertandingan ini saja, bukan?"

"Sip! ...yah, aku juga enggak bisa berbuat banyak agar Hikki bisa
menang."

"Maaf sampai membuatmu melakukan ini."

Kubungkukkan badan ini, tapi Yukinoshita hanya menatapku dingin.

"...jangan salah sangka. Aku melakukan ini bukan demi dirimu."

"Ha ha ha, kau memang tsundere."

Ha ha ha, ya ampun, ha ha ha ha... sudah lama aku tak mendengar hal


seklise itu.
"Tsundere...? Entah kenapa, kata-kata itu membuat bulu kudukku
merinding."

Ya, itu memang benar... kurasa sudah jelas kalau Yukinoshita takkan
tahu apa itu tsundere... terlebih, perempuan itu takkan berbohong —
ia akan selalu berkata sejujurnya, tak peduli betapa kejamnya itu. Jadi
kemungkinan ia tak berbohong saat berkata kalau ini bukan demi
diriku.

Yah, bukan berarti aku ingin ia agar menyukaiku atau semacam itu,
jadi ya, sudahlah.

"Yang penting, nanti perlihatkan padaku daftar yang kausebut tadi.


Akan kuperiksa dan kuperbagus untukmu."

Yukinoshita lalu tersenyum manis kepadaku, mengingatkanku akan


sebuah bunga yang mulai mekar. Tapi kenapa senyumnya tak sedikit
pun menghangatkan hatiku...?

Aku justru merasa ketakutan. Rasanya seperti sedang ditatap seekor


harimau.

Bila memang ada harimau di depanku... hmm... berarti ada serigala di


belakangku. Atau mungkin seekor kuda.

"Yukinoshita... ya? Maaf sebelumnya, tapi aku enggak akan menahan


diri siapa pun lawannya. Kau merasa seperti tuan putri, 'kan? Kalau
enggak mau terluka, mending pergi dan menyerah saja sana."

Aku berbalik dan melihat Miura sedang berdiri sembari memelintir


gulungan vertikalnya sewaktu melihat ke arah kami sambil tersenyum
kejam. Miura bodoh... menantang Yukinoshita sama saja mencari
mati...

"Percayalah, aku yang akan menahan diri untukmu. Akan


kuhancurkan kebanggaanmu itu sampai berkeping-keping."

Ujar Yukinoshita sambil tersenyum seolah ia tak mungkin dikalahkan.


Setidaknya ia tampak tak terkalahkan di hadapanku.
Ia adalah musuh yang mengerikan, tapi hati akan sangat tenang jika
berada di pihaknya... aku sungguh kasihan pada pihak yang
menjadikannya musuh.

Baik Hayama maupun Miura sudah mempersiapkan diri mereka.


Senyum penuh makna yang disunggingkan Yukinoshita pun tampak
indah sekaligus cukup dingin untuk membekukan orang lain.

"Cukup sudah kaulecehkan tema—"

Yukinsohita keceplosan bicara kemudian sedikit tersipu. Mungkin


masih terasa memalukan baginya untuk memakai kata itu, makanya ia
diam-diam menggelengkan kepalanya sebelum kembali berbicara.

"...cukup sudah kaulecehkan anggota klub kami. Bersiaplah... asal kau


tahu, mungkin kelihatannya saja begini, tapi aku adalah tipe
pendendam."

Bukan, bukan mungkin lagi... tapi seratus sepuluh persen ia tipe


pendendam.

— II —

Begitulah, semua pihak yang berhubungan dengan pertandingan tenis


ini pun berkumpul. Pertandingan ini akhirnya melaju ke fase final
yang sesungguhnya.

Tim Hayama dan Miura yang pertama kali jalan. Nyonya Kupu-Kupu
alias perempuan gulungan vertikal alias Miura yang melakukan
servis.

"Oh, iya, Yukinoshita. Entah kau tahu soal ini atau enggak, tapi aku
benaran jago dalam tenis."

Ujar Miura sewaktu berulang kali memantulkan bola tenis ke tanah


lalu menangkapnya, hampir seperti sedang mendribel bola basket.
Tapi Yukinoshita bergeming; matanya hanya menunggu kelanjutan
aksi Miura.

Miura tersenyum. Senyumnya itu sungguh berbeda dengan senyum


yang ditunjukkan Yukinoshita sebelumnya... itu adalah senyum
seekor hewan buas.

"Jangan salahkan aku kalau bolanya mengenai wajahmu."

...wuah, menakutkan. Ini pertama kalinya kudengar seseorang


membuat prediksi seperti itu.

Saat memikirkannya, kudengar suara *wuuuss* dan sedikit bunyi dari


bola yang dipukul.

Bolanya melesat kencang ke sisi kiri Yukinoshita dan menyerempet


garis sisi kiri lapangan. Yukinoshita adalah pengguna tangan kanan,
jadi pukulan itu ada di luar jangkauannya.

"...gampang."

Bersamaan dengan kudengarnya bisikan itu, Yukinoshita sudah


bersiap untuk mengembalikan bola. Ia memancangkan kaki kirinya ke
tanah dan menggunakannya sebagai tumpuan, lalu ia berputar seolah
sedang berdansa waltz. Itu adalah backhand sempurna yang
dilancarkan oleh raket yang digenggam tangan kanannya.

Raketnya berayun layaknya pedang samurai, dan bola yang


dikembalikannya melaju kencang ke arah Miura.

Bolanya jatuh ke sisi Miura, dekat di kakinya, dan ia sedikit terpekik


sewaktu bolanya memantul kembali. Pengembalian cepat tadi
membuat Miura tersentak.

"Entah kau tahu soal ini atau tidak, tapi aku juga benar-benar jago
dalam tenis."

Yukinoshita menghunuskan raketnya ke arah Miura dan menatap


dingin perempuan itu, hampir seakan sedang melihat seekor serangga.
Miura termundur ke belakang, menatap balik Yukinoshita dengan rasa
takut dan benci. Bibirnya sedikit menekuk dan ia mulai melontarkan
umpatan. Sampai bisa membuat Ratu Miura jadi terlihat seperti itu...
Yukinoshita memang luar biasa.

"...hebat juga kau bisa mengembalikan bola tadi."

Yukinoshita tak menunjukkan sedikit pun reaksi terhadap ekspresi


menggertak yang ditampakkan wajah Miura, melainkan hanya tertuju
tepat pada satu titik.

"Wajah perempuan itu mirip sekali seperti wajah para senior yang
dulu pernah mengerjaiku. Mudah untuk mengetahui betapa rendahnya
orang tersebut."

Yukinoshita menyunggingkan senyum kemenangan lalu mulai


menyerang.

Bahkan pertahanannya adalah serangan. Ini tak seperti yang biasanya


orang lawas katakan, Pertahanan terbaik adalah menyerang —
permainan bertahannya begitu agresif. Ia akan menjatuhkan servis
tepat ke sisi lapangan lawan sebagai balasannya, dan setiap bola yang
menuju ke arahnya akan dikembalikan sepenuh tenaga.

Para penonton pun menjadi kecanduan akan keindahan permainannya.

"Fuahaha! Anak buahku sungguh kuat! Ayo libas mereka semua!"

Zaimokuza terjebak dalam aroma kemenangan dan akhirnya kembali


ke pihak kami, dan kini ia benar-benar berada di pusat perhatian. Itu
membuatku jengkel... tapi di sisi lain, fakta bahwa Zaimokuza berada
di pihak kami adalah tanda kalau keadaan sudah berbalik.

Saat aku dan Yuigahama yang bermain tadi, kami merasa benar-benar
sedang bermain di kandang lawan, tapi perlahan kini para penonton
berpihak ke sisi Yukinoshita. Soalnya, semua anak lelaki kini tengah
memandang Yukinoshita dengan menggebu-gebu.

Yah, memang benar kalau Yukinoshita adalah spesies yang berbeda,


dan tak banyak yang tahu seperti apa sifat aslinya. Dan tentu saja ia
juga begitu cantik. Ia juga punya aura misterius yang
mengelilinginya; kesan yang dipancarkannya bagai sekuntum bunga
yang tumbuh di puncak tertinggi sebuah gunung, yang tak mungkin
untuk dipetik. Bukan berarti kalau ia terlihat menakutkan, tapi dirinya
terasa seperti sesosok makhluk yang tak tersentuh yang tak boleh
diajak bicara.

Sudah tentu Yuigahama punya keberanian yang besar hingga bisa


sedikit menembus penghalang itu... dan bisa jadi ia juga orang yang
sangat bodoh.

Akan tetapi, sikap jujurnya yang kolot dan kebaikannya yang apa
adanya itu mampu menggetarkan hati Yukinoshita. Yuigahama satu-
satunya manusia yang sanggup meyakinkan Yukinoshita agar bisa
datang kemari hari ini, dan Yukinoshita pun bermain dengan segenap
kemampuannya demi membalas keberanian Yuigahama itu. Ia
mungkin takkan datang andai aku yang memintanya.

Selisih angka kami yang besar perlahan menipis.

Sewaktu menyaksikan Yukinoshita yang berputar ke kiri dan ke


kanan di tengah lapangan, aku selalu membayangkan kalau ia tampak
seperti seekor peri. Gerak kakinya yang bagai tarian itu merupakan
atraksi seorang bintang di atas panggung. Aku hanya pemain figuran
di sini, dan setiap kali menerima bola, aku merinding saat semua
orang menatapku. Seakan mereka ingin berkata, Jangan kau!

Namun harapan para penonton terkabulkan — kini giliran


Yukinoshita yang melakukan servis.

Ia cengekeram bolanya lalu melambungkannya ke udara. Bola itu


hampir tampak seperti terisap oleh langit biru sewaktu melayang ke
tengah lapangan. Bola tersebut tampak takkan jatuh di dekat posisi
Yukinoshita berada.

Semua orang bakal mengira kalau bolanya luput, akan tetapi...

Yukinoshita terbang.
Ia melangkah ke depan dengan kaki kanannya, membuat dorongan
dengan kaki kiri, lalu melompat saat kedua kakinya sejajar. Itu
merupakan langkah ringan layaknya staccato.

Kemudian ia melayang ke udara dengan anggunnya. Posisi tubuhnya


bagai seekor elang yang dengan halusnya meluncur ke angkasa, dan
tak ada seorang pun yang tidak terkejut oleh pemandangan tadi.
Dirinya begitu gesit dan elok dipandang. Tak ada yang berkedip
sewaktu mereka merekam kejadian ini di ingatan mereka.

Suara melengking terpekik melalui udara, kemudian bolanya bergulir


jauh di atas tanah. Para penonton, aku, Hayama, Miura... tak seorang
pun yang sanggup menggerakkan diri.

"...ser... servis lompat..."

Ucapku, namun aku hampir kehilangan kata-kata. Menyaksikan hal


tak masuk akal yang dilakukan Yukinoshita itu membuatku tak bisa
menutup mulut yang menganga ini. Kami sempat jauh tertinggal, tapi
ia dengan mudah mengejarnya. Bahkan kini kami unggul dua angka,
dan jika kami berhasil meraih angka lagi, maka kami akan
memenangkan pertandingan ini.

"Kau memang luar biasa. Tetap seperti itu dan kita menangkan ini
dengan mudah."

Aku begitu yakin hingga bisa berkata begitu, namun Yukinoshita tiba-
tiba merengut.

"Mauku memang begitu, tapi... rasanya itu mustahil."

Ingin kutanyakan alasan ia berkata begitu, namun kulihat Hayama


sudah bersiap melakukan servis.

...terserahlah... tampaknya kami akan menang begitu Yukinoshita


melancarkan pengembalian bola andalannya. Aku takkan lengah, aku
yakin kalau kami akan menang sewaktu bersiap menghadapi servis
itu.
Hayama juga tampak kehilangan sedikit motivasi untuk bermain;
servisnya tak ia lakukan sekuat tenaga seperti sebelumnya. Servisnya
memang cukup cepat, tapi itu hanya servis biasa, dan bolanya melaju
ke ruang di antara aku Yukinoshita.

"Yukinoshita."

Kupikir bola itu lebih baik kuserahkan padanya, makanya tadi aku
memanggil namanya. Namun ia tidak menanggapiku. Yang kudengar
justru suara datar dari pantulan bola yang jatuh di antara kami.

"He-hei!"

"Hikigaya... apa kau tak keberatan jika aku sedikit sesumbar?"

"Hah? Lagi pula, ada apa dengan permainanmu barusan?"

Yukinoshita tak tampak peduli dengan ucapanku, tetapi justru


menghela napas panjang dan menjatuhkan diri di tengah lapangan.

"Sejauh yang bisa kuingat, aku selalu bisa melakukan segala hal,
karena itu aku tak pernah berlama-lama menanganinya."

"Terus kenapa mendadak bicara begitu?"

"Bahkan dalam tenis, ada seseorang yang melatihku di olahraga


tersebut, namun setelah tiga hari aku bisa melampauinya... tidak, tidak
hanya olahraga, bahkan musik juga. Aku bisa menguasainya hanya
dalam tiga hari saja."

"Wah, kau mirip kebalikan dari pengangguran tiga hari. Dan ternyata
kau memang cuma mau sesumbar! Jadi maksudnya semua ini apa?"

"Satu-satunya hal yang tak kuyakini adalah ketahanan fisikku."

Kudengar suara pantulan bola lainnya yang melesat dan berdesing di


dekat Yukinoshita.

Sudah sangat terlambat mengatakan hal tersebut di saat seperti ini...


Karena Yukinoshita bisa melakukan segala hal, ia tak pernah terjebak
dalam suatu hal, dan ia tak pernah berlama-lama dalam hal apa pun.
Itu berarti ketahanan fisiknya adalah titik lemahnya. Pantas saja yang
selalu ia lakukan hanyalah menonton kami sedang latihan saat
istirahat makan siang... yah, jika diingat kembali, ini memang sudah
kelihatan jelas. Jika ingin lebih baik dalam suatu hal, maka caranya
adalah dengan berlatih, dan semakin banyak berlatih, semakin kita
bisa meningkatkan ketahanan fisik kita.

Namun karena dari awal ia bisa melakukan segala hal dengan begitu
baik, makanya ia tak pernah berlatih. Dan itu sebabnya ketahanan
fisik yang dimiliki perempuan itu begitu lemah.

"Uh, tapi kau tak harus mengatakannya dengan suara sekeras itu,
'kan...?"

Aku menoleh ke arah Hayama dan Miura, lalu melihat Ratu Hewan
Buas itu sedang tersenyum bengis.

"Oh, tapi kami sudah dengar, lo~~"

Ujar Miura dengan agresif. Terlihat kalau semua kesulitannya baru


saja sirna. Tepat di sebelahnya, Hayama juga tertawa kecil.

Ini situasi yang paling buruk... sesaat setelah kami memimpin


pertandingan, mendadak perolehan angka menjadi deuce.

Kami memang pemain pemula dalam tenis yang memiliki peraturan


aneh ini. Tapi kami paham kalau dalam keadaan deuce, kemenangan
bisa diraih kalau bisa memimpin dengan selisih dua angka.

Andalan kami, Yukinoshita, sudah kehabisan seluruh staminanya dan


kini hanya terdiam. Tak hanya itu, lawan kami sudah sadar betul akan
situasi ini. Buktinya, servisku sudah tak ampuh lagi melawan mereka
— mereka dengan mudah mengembalikannya, dan akhirnya jadi
seperti itu.

"Ia boleh saja mengganggu jalannya pertandingan tadi, tapi sepertinya


semua sudah berakhir, ya 'kan?"
Aku tak bisa membalas ucapan agresif Miura tadi. Yukinoshita pun
masih terdiam... malahan, ia sempat mengangguk. Ia tampak
kelelahan. Apa-apaan itu? Memangnya ia itu Hiei, apa?

Miura memandang angkuh ke arah kami dan tertawa dengan


senangnya. Sepertinya ia ingin segera mengakhiri ini. Aku merasa
seperti sedang ditatap oleh seekor ular... memangnya perempuan ini
anaconda, apa?

Hayama merasakan suasana berbahaya ini dan mencoba menyela.

"Su-sudah, sudah, semuanya sudah berusaha keras... enggak usah


terlalu serius. Lagi pula pertandingannya menyenangkan, jadi kita
anggap seri saja, ya?"

"Ap—? Hei, Hayato, kau itu bicara apa? Ini pertandingan, lo. Kita
harus serius dan melakukannya sampai selesai."

Dengan kata lain, mereka akan memenangkan pertandingan dan


secara sah mengambil alih lapangan ini dari Totsuka. Ditambah,
ucapan, Melakukannya sampai selesai tadi... mengerikan sekali. Kira-
kira apa yang mau ia perbuat kepadaku... aku sama sekali tak suka
ini... jangan-jangan itu bakal menyakitkan? Aku tak suka saat
semuanya jadi terasa menyakitkan...

Seketika aku berdiri menunggu, kudengar ada seseorang yang


berdecak.

"Bisakah kalian tenang dulu?"

Ujar Yukinoshita terdengar tidak senang. Ia lalu lanjut berbicara


sebelum Miura sempat menanggapinya.

"Anak ini yang akan mengakhiri pertandingannya. Jadi kalahlah


dengan terhormat."

Semua yang di sini meragukan apa yang baru didengar mereka tadi.
Tentu saja termasuk diriku... malahan, akulah yang paling terkejut di
sini.
Mendadak semua mata tertuju padaku. Hingga tadi, keberadaanku
tidaklah diakui, tidak pula diinginkan. Namun mendadak aku merasa
keberadaanku kini begitu menguat.

Aku saling bertatapan dengan Zaimokuza. Untuk apa ia


mengacungkan jempol segala?

Aku saling bertatapan dengan Totsuka. Untuk apa ia menatapku


dengan penuh harap begitu?

Aku saling bertatapan dengan Yuigahama. Kuharap ia berhenti


menyorakiku, sial... malu sekali rasanya.

Aku saling bertatapan dengan Yukinoshi— ah, ia sudah berpaling. Ia


malah melemparkan bola padaku.

"Kau tahu sendiri, bukan...? Kadang aku memang melontarkan hinaan


maupun cacian, tapi aku tak pernah menggembar-gemborkan
kebohongan."

Angin pun terhenti, mungkin karena itu suaranya begitu jelas


terlantang.

Ya, aku tahu itu... yang berbohong di sini hanyalah aku dan mereka
saja.

— II —

Keheningan yang tak wajar menyelimuti lapangan. Satu-satunya yang


bisa terdengar hanyalah suara bola yang memantul di tanah.

Di tengah suasana tegang yang aneh itu, aku memaksa kesadaran


yang ada jauh dalam diriku.

Aku bisa... aku bisa... aku meyakinkan diriku — tidak, aku sudah
yakin akan diriku.
Lagi pula, tak ada alasan bagiku untuk kalah di sini.

Aku adalah orang yang sudah bertahan seorang diri dari sia-sia,
menyedihkan dan menyakitkannya kehidupan sekolah, yang sudah
menjalani pahit dan menderitanya masa remaja ini seorang diri. Jadi
tak ada alasan bagiku kalah dari mereka yang menggantungkan diri
pada orang banyak di setiap langkahnya.

Istirahat makan siang akan segera berakhir.

Biasanya di waktu seperti ini aku sudah menyantap habis makan


siangku di dekat ruang UKS di seberang lapangan.

Ingatan tentang pembicaraanku dengan Yuigahama di tempat itu,


obrolan pertamaku dengan Totsuka, semuanya terlintas di benakku.

Kubuka telingaku lebar-lebar.

Tak bisa kudengar suara mengejek Miura; tak bisa kudengar suara
sorakan para penonton...

Tapi aku mendengar suara itu... suara yang aku, dan mungkin hanya
aku yang bisa mendengarnya sepanjang tahun ini.

Di saat itu, kulancarkan sebuah servis.

Itu adalah servis ringan, mudah dan tak bertenaga yang melambung
tinggi ke angkasa.

Kulihat Miura bergegas menuju ke arah bola. Kulihat Hayama dengan


sigap mengikutinya. Kulihat para penonton yang tampak merasa
kecewa. Sekilas kulirik Totsuka yang pandangannya sudah tertunduk
ke tanah. Kuabaikan Zaimokuza yang sedang mengepalkan
tangannya. Aku saling bertatapan dengan Yuigahama yang mulai
berdoa. Lalu pandanganku pun tertuju pada senyum kemenangan
yang disunggingkan Yukinoshita.

Pukulan bolaku melayang ke arah yang tak tentu.

"Hyaaahh!!"
Miura menjerit layaknya seekor ular buas dan akhirnya sampai di
posisi bola akan mendarat.

Tepat pada saat itu, angin pun berhembus.

Miura mungkin tidak tahu...

...soal istimewanya angin laut yang berhembus di penghujung istirahat


makan siang, yang membuat unik SMA Soubu dan lingkungan
sekitarnya.

Bolanya goyah dan tersapu naik ke atas oleh angin. Membuatnya


menjauh dari Miura dan memantul di tepi lapangan, tetapi hayama
sudah berlari mengejar bolanya.

Hayama mungkin tidak tahu...

...kalau angin ini tak hanya berhembus satu kali saja.

Cuma aku satu-satunya yang tahu soal ini. Aku, yang sepanjang tahun
duduk di sana seorang diri, yang tak berbicara dengan siapa pun, yang
hanya menghabiskan waktu tanpa ada yang tahu... dan hanya angin itu
satu-satunya yang tahu tentang masa-masa tenang yang kuhabiskan
seorang diri.

Dan itulah bola melengkung ajaib yang hanya aku, dan memang cuma
aku, yang sanggup melakukannya.

Hembusan angin yang kedua menyapu naik bolanya, meskipun bola


itu telah memantul.

Setelah itu, bolanya jatuh ke tanah di pojok paling ujung lapangan


kemudian menggelinding.

Mulut semua orang pun terbungkam, telinga mereka pun terbuka


lebar, dan mata mereka pun terbelalak.

"Ah, kini aku ingat pernah mendengarnya... sebuah keahlian yang


membuat penggunanya bisa mengendalikan angin sesukanya, Pewaris
Angin, Eulen Sypheed!"
Cuma Zaimokuza satu-satunya anak yang tak mendapat arahan dan
malah berteriak keras.

Kuharap ia berhenti menamai secara acak pukulanku barusan. Sial...


suasananya malah jadi rusak gara-gara dirinya.

"Eng-enggak mungkin..."

Miura tampak sangat syok. Gumamannya mulai memancing reaksi


penonton; mulanya mereka hanya berbisik-bisik, namun perlahan
suara mereka berubah menjadi seruan, "Eulen Sylpheed! Eulen
Sylpheed!" Ya Tuhan, semoga itu tidak sampai jadi heboh...

"Kami gagal... yang tadi itu memang bola melengkung ajaib."

Hayama menghadapiku sambil tersenyum. Ia tersenyum layaknya


kami sudah berteman lama... sewaktu membalas senyumnya itu,
kugenggam erat bola dan berdiri tanpa bisa bergerak.

Aku benar-benar tak tahu harus seperti apa menanggapi situasi seperti
ini.

Yang ada, aku malah memulai percakapan sia-sia.

"Hayama. Apa saat kecil kau pernah memainkan bisbol?"

"Iya. Aku sering memainkannya... kenapa?"

Hayama tampak kebingungan akan pertanyaan yang tiba-tiba


kusodorkan padanya itu, tapi ia tetap menjawabku tanpa ragu.
Mungkin ia memang orang yang baik...

"Perlu berapa banyak orang supaya bisa memainkannya?"

"Eh...? Kalau enggak sampai delapan belas orang, kau enggak bisa
bermain bisbol."

"Ya, sudah kuduga... tapi asal tahu saja, selama ini aku
memainkannya seorang diri."

"Eh? Maksudmu?"
Tanya balik Hayama, tapi kupikir ia takkan mengerti andai
kujelaskan.

Maksudku tadi bukanlah permainan bisbol tunggal.

Apa mereka mengerti deritanya mengayuh sepeda sendirian layaknya


orang bodoh di tengah teriknya matahari musim panas dan
menusuknya hawa musim dingin? Yang biasanya mereka alihkan
dengan keluhan, Panas banget! Dingin banget! Gawat, nih! Dan
semua itu sudah kulalui seorang diri.

Memangnya mereka tahu... memangnya mereka mengerti betapa


menakutkannya saat tak bisa bertanya pada siapa-siapa mengenai
bahan ujian yang akan datang, dan akhirnya diam-diam belajar
sendirian lalu menerima langsung akibatnya. Mereka bisa sampai
seperti ini karena mereka saling memeriksa jawaban masing-masing,
saling membandingkan nilai ujian mereka, saling membodoh-bodohi
ataupun memuji satu sama lain dan lari dari kenyataan, sementara aku
menghadapi kenyataan itu seorang diri.

Apa kira-kira pendapat mereka? Bukankah aku tampak seperti


manusia paling tangguh?

Tersapu oleh emosi-emosi itu, aku bersiap melakukan servis.

Kutekuk satu kaki ke depan dan menarik kencang satu sisi tubuhku ke
belakang layaknya busur yang siap menembak. Lalu kulambungkan
bola ke udara. Kugenggam erat raketku dengan kedua tangan dan
memosisikannya di belakang leherku.

Lagit yang biru, musim semi yang hendak berlalu, dan musim panas
yang akan menghampiri... aku sudah muak dan mengutuk semua itu.

"Masa Remaja, sialan!!!"

Dengan segenap kekuatan, seiring bola turun mendekatiku, kupukul


bola ke udara dengan ayunan ke atas.
Bolanya sampai menimbulkan bunyi *takk!* sewaktu tepat
menghantam tepi rangka raketku, yang kemudian melesat naik ke atas
seakan langit yang mengisapnya.

Bola itu pun naik semakin tinggi. Pada titik tertentu, bolanya terlihat
seperti bintik yang lebih kecil dari sebutir beras.

"I-itu... sang roh kehancuran yang melambung tinggi menembus


langit, Meteor Strike!"

Seru Zaimokuza sambil mencondongkan badannya ke depan. Lagi-


lagi... kenapa ia harus memberi nama untuk pukulanku?

"Meteor Strike..." Beberapa anak lain di antara para penonton pun


mulai membisikkannya. Ya ampun, kenapa mereka juga ikut-ikutan?!

Itu bukan perkara besar... itu hanya sekadar permainan pukul-tangkap.

Biar kujelaskan. Saat masih kecil, aku tidak punya banyak teman,
maka dari itu kukembangkan sebuah olahraga baru dari bisbol tunggal
— aku melempar, memukul, dan menangkap bolanya sendiri. Saat
berusaha merancang skema agar permainan bisa berlangsung lebih
lama, aku sadar bahwa cara terbaik untuk memperlama irama
permainan adalah dengan skema pukul-tangkap itu sendiri.

Jika bolanya berhasil kutangkap, maka si pemukul dinyatakan out,


dan jika bolanya luput tapi bisa ditangkap setelah memantul, maka
pukulan itu dianggap masuk. Jika aku memukul bolanya terlalu jauh,
maka itu kuhitung sebagai home run. Salah satu kelemahan
permainan ini adalah sekali aku memutuskan bermain di pihak mana
(entah sebagai pemukul atau penangkap), maka permainan akan
cenderung berat sebelah. Untuk memainkan bisbol ini, sangatlah
penting untuk bersikap obyektif seolah sedang bermain suten dengan
diri sendiri. Yang seperti ini tak patut dicontoh; bermain dengan
teman-teman jauh lebih bijaksana.

Namun itulah simbol dari terasingnya diriku, dan itu pula yang
menjadi senjata terkuatku.
Itu adalah palu yang jatuh dari kehampaan dan menghancurkan
mereka yang mengagungkan masa remaja.

"A-apa itu?"

Miura mendongak ke atas sambil kebingungan. Hayama pun menatap


tinggi ke angkasa, namun ekspresinya mendadak berubah panik lalu
berteriak.

"Yumiko! Mundur!"

Teriak Hayama pada Miura yang kini terpaku dengan wajah syok.
Sudah kuduga, Hayama sadar dengan yang sedang terjadi...
sayangnya, ia sudah terlambat.

Bola tenis itu pun terus melaju ke atas, tapi kecepatannya berangsur
berkurang akibat pengaruh gravitasi, hingga dua daya itu mencapai
titik keseimbangan lalu membuat laju bola terhenti.

Ketika kemudian keseimbangan itu hancur, energi potensial bola


berubah menjadi energi kinetik. Bola itu pun mulai terjun bebas.
Seketika menghantam tanah, energi dari bola itu hendak meledak.

Setelah melayang begitu lama di angkasa, bola tersebut akhirnya


memecut tanah hingga menciptakan kepulan debu, lalu memantul
kembali, melambung tinggi ke udara.

Bermaksud ingin memukul balik, Miura mengejar bola itu sambil


menerobos kepulan debu dengan langkah tak beraturan. Bolanya
terbang tak menentu menuju pagar ram di belakang lapangan.

Gawat... Miura akan menabrak pagar ram tersebut.

"Ugh!"

Hayama membuang raketnya dan berlari mengejar Miura.

Apa ia akan sempat?! Ataukah tidak sempat?!

Sesaat dua anak tersebut menghilang dari pandangan di antara


kepulan debu.
Seketika suasana jadi sunyi senyap.

Kudengar suara seseorang menelan ludahnya... nyatanya, mungkin itu


diriku sendiri.

Lalu kepulan debu tersebut perlahan menghilang, dan dua anak tadi
kembali terlihat.

Punggung Hayama sudah menghantam pagar ram sambil memeluk


Miura untuk melindunginya. Wajah Miura tersipu sembari ia
mencengkeram lembut baju Hayama.

Sesaat kemudian, suasana meledak dalam sorakan keras dan tepuk


tangan yang bergemuruh. Itu adalah apresiasi penuh seluruh
penonton.

Hayama membelai kepala Miura untuk menenangkannya, dan wajah


Miura pun semakin memerah.

Sambil bersorak, para penonton pun mengelilingi Hayama dan Miura.

"HA~ YA~ TO~ GO!! HA~ YA~ TO~ GO!!"

Dalam suasana gegap gempita itu, bel penanda berakhirnya istirahat


makan siang pun berbunyi. Rasanya benar-benar seperti menyaksikan
adegan ciuman yang dilanjutkan dengan kredit penutup dalam sebuah
film.

Pada akhirnya semua orang sudah diliputi oleh rasa puas dan
kelelahan. Mereka seperti habis menonton sebuah film heroik yang
menegangkan atau membaca sebuah komedi romantis remaja yang
menghibur.

Dan begitulah, para murid menyanjung dua anak itu dengan sorakan,
"Hore! Hore!" Lalu sosok mereka menghilang ke dalam gedung
sekolah.

— II —
Setelah itu, tinggal kami sendiri yang tersisa di sini.

"Kita memang menang, tapi rasanya seperti kalah."

Aku hanya bisa meringis setelah mendengar ucapan memelas


Yukinoshita.

"Jangan konyol. Tak ada yang perlu dipersoalkan antara aku dengan
mereka."

Mereka yang bersenang-senang di masa remajanya memang akan


selalu dapat peran protagonis.

"Hmm... itu benar. Ini semua gara-gara Hikki. Sayang sekali harus
jadi begini. Padahal kita yang menang."

"Hei, Yuigahama, jaga omonganmu, ya. Apa kau sadar kalau


menumpahkan uneg-unegmu itu lebih menyakitkan ketimbang
mendengarmu bicara kasar?"

Aku memelototi Yuigahama, namun ia tak menggubrisnya.

Yah, Yui memang benar, tak ada yang perlu direnungkan. Sejak awal
orang-orang seperti Hayama dan Miura tak pernah berpikir untuk
menang. Andaikata mereka kalah pun, itu justru akan jadi sebuah
kenangan indah bagi masa remaja mereka.

Apa-apaan itu? Hei, masa remaja, meledak saja sana! Buruan


meledak!

"Wah, benar-benar deh, anak bernama Hayama itu, andai aku


dilahirkan dan dididik dengan cara berbeda seperti sekarang, mungkin
aku akan jadi seperti dirinya."

"Takkan ada pengaruhnya bagimu... namun kurasa, kau memang


harus menata ulang hidupmu."

Tatapan dingin Yukinoshita secara tak langsung mengatakan,


Mending mati saja sana.
"...tapi, eng, mungkin hal itu akan bagus buat Hikki. Yah... bukan
berarti yang sekarang ini enggak bagus."

Yuigahama bergumam seperti menelan kembali kata-katanya, aku


pun sama sekali tak bisa mendengar yang diucapkannya. Hei, kalau
bicara itu yang keras. Memangnya ia itu pegawai distro, apa!?

Sepertinya Yukinoshita mendengar ucapan Yui seraya tersenyum tipis


dan mengangguk.

"Rupanya masih ada orang yang bisa mengambil hal positif dari
tindakan bodohmu. Sungguh disayangkan."

Ia berpaling setelah berkata begitu. Di depanku kini ada Totsuka yang


khawatir dengan kakinya yang cedera, lalu di belakangku ada
Zaimokuza yang sudah tampak seperti seorang penguntit.

"Bagus, Hachiman, kau memang teman yang bisa kuandalkan.


Namun suatu hari, kita harus menentukan pemenangnya lewat sebuah
pertarungan..."

Tak kuhiraukan Zaimokusa yang menerawang sambil mengoceh tak


keruan itu dan mulai beralih pada Totsuka, lalu bertanya padanya,

"Apa lukamu baik-baik saja?"

"Ya..."

Aku baru sadar kalau aku sedang dikelilingi laki-laki. Jangan-jangan


ini semua gara-gara Zaimokuza yang datang bersamaan dengan
perginya Yukinoshita dan Yuigahama.

Hayama diperlakukan layaknya seorang James Bond, dikelilingi para


perempuan bak pahlawan, sementara aku, akhirnya hanya dikelilingi
oleh para lelaki, sehingga kami pun tampak seperti Pasukan Khsusus
A-Team.[1]

Kurasa Dewa Komedi Romantis itu hanyalah mitos.

"Hikigaya... eng, terima kasih."


Totsuka berdiri tepat di depanku, memandang ke arahku. Setelah itu,
ia berpaling dan terlihat malu-malu. Jujur, aku jadi ingin segera
memeluknya, sayangnya ia lelaki...

Kisah komedi romantis seperti ini tak akan jadi kenyataan, dan itu
juga berlaku untuk jenis kelamin Totsuka. Lagi pula, rasa terima
kasihnya itu salah sasaran.

"Aku tak berbuat apa-apa. Kalau mau berterima kasih,


berterimakasihlah pada para perempuan itu..."

Aku pun mulai pergi mencari mereka, lalu kulihat rambut yang
dikuncir dua itu berayun masuk ke arah ruang Klub Tenis.

Oh, ternyata mereka di sana.

Dengan maksud ingin berterima kasih, aku berjalan masuk ke ruang


klub.
"Yukinoshi... aah."
Mereka sedang berganti pakaian.

Pakaian dalam berwarna hijau jeruk limau terlihat dari balik blusnya.
Ia masih mengenakan rok tenis, memperlihatkan jelas tubuh
langsingnya yang kurang berisi itu.

"WA, WA WA WA WA WA!!"

Kenapa ia harus teriak? Berhenti dulu, aku ini sedang konsentrasi,


tahu! Apa yang terjadi jika kenangan seperti ini hilang begitu saja?
Kusadari ternyata kalau Yuigahama juga ada di sana.

Dan ia pun tampak sedang mau berganti pakaian.

Sepertinya Yuigahama terbiasa mengancing bajunya dari bawah


sehingga dadanya kelihatan jelas. Aku bisa melihat bra maupun
belahan dadanya. Tampak di tangannya sebuah rok yang tadi sempat
ia pinjam dari Yukinoshita, dengan kata lain, ia tak mengenakan rok
tersebut saat ini.

Kaus kaki panjang berwarna biru laut yang dipadukan dengan celana
dalam merah muda menutupi paha mulusnya hingga ke pergelangan
kaki.

"MATI SAJA KAU SANA!!!"

Daaang...!

Wajahku terhantam raket yang dilempar dengan kekuatan penuh.

...beginilah seharusnya. Kisah komedi romantis itu memang sudah


seharusnya begini.

Kerja bagus, Dewa Komedi Romantis. Kerja bagus...


Catatan Penerjemah

Hachiman sedang membandingkan dirinya dan Hayama lewat dua buah film. Yaitu, James Bond yang
di mana tokoh utamanya seorang flamboyan yang selalu didampingi wanita-wanita cantik dan The A-
Team yang di mana tokoh-tokohnya punya wajah garang dan hanya sedikit menampilkan tokoh
wanita di dalam filmnya.
BAB 8

Kemudian, Hikigaya Hachiman berpikir

Masa remaja

Ini hanya kata sederhana, namun itu adalah sebuah kata yang begitu
keras mengerakan hati manusia. Memberikan kemapanan,
kedewasaan, tanggung jawab, kenangan pahit, memberikan gadis
remaja rasa rindu abadi, dan memberikan orang-orang sepertiku rasa
kecemburuan dan kebencian mendalam.

Kehidupan SMA ku sendiri tidak begitu baik, dulu sudah kujelaskan.


kehidupan ini adalah pucat, suram,dunia hitam-putih. Pada hari
pertama sekolah, ketika aku mengalami kecelakaan lalu lintas,
kehidupan sekolahku menjadi suram. Setelah itu, aku hanya akan
pergi antara rumah dan sekolah, dan selama liburan aku hanya akan
pergi ke perpustakaan. Aku benar-benar menghabiskan hari-hariku
untuk menjalani hidup yang sangat jauh dari kehidupan
menyenangkan khas SMA. Dalam duniaku, komedi romantis itu tidak
ada sama sekali

Namun, aku bahkan tidak memiliki satu ons penyesalan pun. Bahkan,
kamu bisa mengatakan bahwa aku memiliki rasa sangat bangga pada
diriku sendiri.

Pergi ke perpustakaan dan menyelesaikan novel-novel fantasi super


panjang ... Menyalakan radio di malam hari dan menjadi terpesona
oleh cara kepribadian radio bercerita ... Menemukan bagian hangat di
laut elektronik yang didominasi oleh tulisan ... Semua hal ini
dimungkinkan justru karena aku telah hidup dalam kehidupan
semacam itu

Aku bersyukur, aku tergerak oleh, masing-masing dan setiap salah


satu penemuan dan pertemuan keberuntungan. Ada air mata juga, tapi
tidak air mata kesedihan.

Aku tidak akan pernah menolak saat aku telah menghabiskan satu
tahun sekolah tinggi "masa remaja" yang aku tinggalkan. Tidak, aku
bahkan akan menerimanya dengan sepenuh hati. Dan keyakinan itu
pasti tidak akan berubah, hari ini atau besok.

Namun, aku ingin membuat ini jelas: meskipun demikian, aku tidak
akan menolak cara hidup orang lain. Aku tidak akan menolak cara
orang-orang yang merayakan masa remaja.

Bagi orang-orang yang di puncak masa muda mereka, bahkan


kegagalan dapat diubah menjadi kenangan indah. Bahkan
pertengkaran, perselisihan, dan masalah dapat menjadi kenangan lain
masa remaja mereka. Dunia berubah ketika dilihat melalui hati muda
yang dimiliki setiap orang.

Dalam hal ini, mungkin masa mudaku sendiri dapat diwarnai dengan
warna komedi romantis. Mungkin tidak semua salah. Dan mungkin,
suatu hari nanti, aku juga akan melihat Warna di kehidupanku,
bahkan jika aku melihat warna melalui mata berkaca-kaca dari ikan
mati. Aku bisa merasakan, tumbuh dalam diriku, sesuatu yang
memungkinkan ku untuk setidaknya berharap bahwa sesuatu seperti
itu akan terjadi.

Memang, ada satu hal yang aku pelajari pada hari-hari ku


menghabiskan waktu dengan klub pelayanan sosial.

ini adalah kesimpulan ku

-
Dengan itu, aku berhenti menulis dengan pena di tanganku.

Aku menulis dengan bagus serta panjang. Aku satu-satunya orang


yang tersisa di sini, di kelas ini, setelah pulang sekolah.

Ini tidak seperti aku sedang diganggu atau apa ... Aku hanya menulis
ulang esai, salah satu yang ditugaskan Hiratsuka-sensei pada kami.
Aku menulis jujur di sini, oke? Aku benar-benar tidak diganggu, oke?
Tulisan ulang ku berjalan sangat lancar, tapi aku punya sedikit
kesulitan pada kesimpulan, sehingga akhirnya sedikit telat di akhir
hari.

Mungkin aku harus melanjutkan ini di ruang klub ...

Saat aku berpikir itu, aku dengan cepat memasukan kertas kotak kanji
dan alat tulis ke dalam tas dan meninggalkan ruang kelas yang sudah
kosong di belakangku.

Tidak ada orang di lorong yang mengarah ke gedung khusus,


meskipun aku masih bisa mendengar teriakan energik dari tim
olahraga yang berlatih di luar.

Yukinoshita mungkin di ruang klub sedang membaca lagi ... Dalam


hal ini, aku hanya bisa melanjutkan menulis di sana tanpa diganggu
oleh siapa pun.

Bagaimanapun, kita tidak berbuat apa-apa di klub itu

Sangat, sangat jarang, mungkin ada beberapa orang aneh yang datang
mencari kami, tapi itu jarang terjadi; kebanyakan orang lebih suka
pergi dengan seseorang yang akrab, seseorang yang mereka percaya,
atau mereka hanya akan terus memberikan tantangan untuk diri
mereka sendiri dan menangani dengan cara itu.

Itu mungkin jawaban yang tepat. Bahwa apa yang orang harus
lakukan secara umum untuk mencapai cita-cita. Namun, kadang-
kadang ada orang yang tidak bisa melakukan itu, orang-orang seperti
ku, atau Yukinoshita, atau Yuigahama, atau Zaimokuza.

Bagi kebanyakan orang, hal-hal seperti persahabatan atau cinta atau


mimpi itu indah. Bahkan saat-saat ketika dirimu bermasalah atau
tidak tahu apa yang harus dilakukan, dapat berubah dan terlihat
menjadi lampu positif.Memang, itulah yang kita sebut "masa remaja."

Namun, ada juga kritikus yang melihat orang-orang dan


menyimpulkan bahwa mereka mabuk dengan ide "remaja" dan hanya
melakukan apapun yang mereka inginkan. Sebagai senior aku akan
berkata, “masa remaja'? Apa itu? apa sejenis buah?” Tidak, itu akan
menjadi "yuzu".[1]"kamu melihat terlalu banyak kebun, kan?"

— II —

Ketika aku membuka pintu ruang klub, aku melihat Yukinoshita


membaca buku di tempat biasa. Dia mendengar suara pintu berderit
dan mengangkat kepalanya.

"Oh... Aku pikir kau tidak datang hari ini."

Dia meletakan bookmark[2] dalam bukunya. Dibandingkan dengan


hari pertama ku di sini, saat itu dia hanya akan benar-benar
mengabaikan ku dan terus membaca, kami telah membuat sedikit
kemajuan.
"Oh, ya ... aku juga berpikir tidak hadir hari ini, tapi masih ada
sesuatu yang ingin aku kerjakan."

Aku menarik kursi yang jauh dari Yukinoshita dan duduk. Ini adalah
posisi kami yang biasa. Aku mengeluarkan kertas dari tas dan
meletakkannya di meja. Yukinoshita, sedang menonton ku dengan
seksama, tampaknya dia tidak senang.

"... kamu berpikir untuk apa ke kelas ini?"

"Kau hanya membaca buku, kan ..."

Yukinoshita tampak sedikit malu. Tampaknya tidak ada yang datang


ke klub untuk meminta bantuan hari ini. Satu-satunya suara di kelas
yang tenang ialah detak jarum jam. Ketika aku berpikir tentang hal
ini, aku menyadari bahwa sudah cukup lama sejak begitu damai ...
Mungkin karena ada kebisingan tertentu

"Apa yang sedang Yuigahama lakukan?"

"Sepertinya dia pulang dengan Miura-san dan yang lain hari ini."

"Oh aku mengerti ......"

Hal ini adalah kejutan ... atau mungkin tidak. Mereka adalah teman,
dan sejak pertandingan tenis, aku merasa bahwa Miura-san sudah
mulai berperilaku lebih lembut. Itu mungkin karena Yuigahama
akhirnya bisa mengatakan perasaan nya dengan jelas.
"Aku mengulangi pertanyaan yang sama, Hikigaya-kun. kamu tidak
berpasangan dengan pasangan mu hari ini? "

"Saat ini Totsuka sedang latihan. Mungkin karena itu pelatihan


khusus, tapi dia sudah benar-benar bersemangat tentang prakteknya
akhir-akhir ini ... "

Artinya aku tidak bisa berbicara dengan dia terlalu banyak. Kenyataan
ini membuat hatiku sedih.

"Bukan Totsuka-kun, yang lain."

"...... Siapa?"

"Siapa, katamu ... Kau tahu, orang yang selalu bersembunyi di


bayangan mu."

"Hei, berhenti mengatakan hal-hal menakutkan ... Jangan bilang kamu


bisa melihat hantu atau semacamnya?"

"... Hah, jangan konyol ... Tidak ada hal yang namanya hantu di dunia
ini."

Yukinoshita mendesah dan memberi ku pandangan yang mengatakan


"Mungkin aku akan mengubah mu menjadi hantu" ... Ah, sudah lama
sejak aku bicara seperti ini dengan Yukinoshita.

"Maksudku orang itu. Za ... Zai ... Zaitsu-kun? Sesuatu seperti itu ... "
"oh, Zaimokuza? Dia bukan pasangan ku. "

ah, aku bahkan tidak tahu apakah aku harus memanggilnya teman.

"Dia bilang 'Aku sedang kehabisan waktu sekarang ... Maaf, tapi aku
harus memprioritaskan deadlines ku untuk hari ini dan ia pulang ke
rumah terlebih dahulu."

"Dia yakin seperti novelis professional saja ..."

Yukinoshita bergumam dengan ekspresi jijik yang jelas di wajahnya.

Hei, ayolah, setidaknya tunjuk kan sedikit simpati untuk ku -aku


orang yang harus membaca novelnya. Dia bahkan tidak menulis itu
dengan benar. dia hanya membawakan aku gambar dan dada, kau
tahu? "Hei, Hachiman! Aku pikir ada ide baru yang cukup keren!
Pahlawan terbuat dari karet dan teman pahlawannya memiliki
kekuatan untuk membatalkan kekuatan pahlawan itu! Ini akan
menjadi hit besar! "Kamu idiot. Itu bukan ide yang keren, itu omong
kosong. Bukankah itu plagiat?

Tapi, yah, pada akhirnya, bahwa memiliki kelompok hanya


berlangsung sebentar, dan akhirnya kami semua pindah kembali ke
tempat masing-masing. Jadi kamu bisa mengatakan bahwa kelompok
adalah kejadian sekali dalam seumur hidup.

Tapi jika kamu bertanya apakah ini adalah tempat di mana


Yukinoshita dan aku milik, maka aku mungkin akan menjawab bahwa
itu bukan tempatnya.
Percakapan mendalam kami berjalan tanpa tujuan dan biasa atmosfer
nya sedikit canggung.

"Aku masuk"

Pintu tiba-tiba terbuka lebar.

"...... aah."

Yukinoshita menempatkan satu tangannya di dahi dan mendesah. Dia


tampak pasrah. Aku mengerti ... Ketika kamu berada di sebuah ruang
yang tenang dan pintu tiba-tiba terbuka seperti itu, maka kamu tidak
ingin mulai melemparkan hinaan di sekitar...

"Hiratsuka-sensei ... tolong ketuk pintu ketika ibu ingin masuk"

"Hm? Bukankah itu seperti biasanya, Yukinoshita? "

Hiratsuka-sensei tampak sedikit bingung, tapi dia menarik kursi di


dekatnya dan duduk untuk dirinya sendiri.

"Apakah ibu menginginkan sesuatu?"

Yukinoshita mengajukan pertanyaan, matanya Hiratsuka-sensei mulai


berkilau dengan cara biasanya .

"Ibu ingin mengumuman pemenang game!"


"Ahh, itu ..."

Aku sudah lupa ... Sebenarnya, aku tidak ingat pernah menetap apa-
apa, sehingga alami jika aku lupa.

"Hasil pertempuran saat ini adalah dua kemenangan masing-masing,


jadi imbang. Ya, pertempuran seimbang adalah jiwa dari sebuah
manga pertempuran ... Secara pribadi, meskipun, ibu akan menyukai
untuk melihat Yukinoshita bangkit setelah melihat atas kematian
Hikigaya ... "

"Aku mati? Bagaimana hal ini sampai ke titik itu ...? Umm, dan, dua
kemenangan masing-masing? aku tidak ingat pernah menang, dan
kami hanya punya tiga orang yang datang untuk meminta bantuan. "

Apakah dia hanya tidak tahu bagaimana cara menghitung?

"Menurut hitungan ibu, sudah ada empat orang. Kau dengar aku, kan?
ibu akan memutuskan segala sesuatu dengan penilaian ku sendiri. "

"Ketika kamu bermain dengan aturan seperti itu, itu sebenarnya


sedikit melegakan ..."

Apakah dia ingin jadi Giant atau sebagainya ? [3]

"Hiratsuka-sensei ... Tolong jelaskan alasan di balik hitungan mu?


Sebagai salah satu orang yang protes. Kita bahkan belum benar-benar
menyelesaikan salah satu masalah orang yang dibawa ke kami. "

"Hm ..."
Hiratsuka-sensei jatuh terdiam dan berpikir sebentar.

"Nah, mari kita lihat ... Jika kamu mengambil kanji untuk 'masalah',
radikal untuk 'hati' di sebelah kiri dan kanji untuk fasik sebelahnya.
Dan kanji untuk orang fasik mempunyai tutup di atasnya. " [4]

“Sebenarnya Ibu sekolah di mana?”

"Yang ibu maksud adalah masalah sejatimu terletak didalam hatimu,


sehingga banyak orang yang mencari nasihat yang mungkin
menyembunyikan masalah sebenarnya."

"Jadi apa Intinya ?"

"Ini kan, seperti ibu yang paling pintar disini."

Yukinoshita dan aku sama-sama mendesak tanpa ampun, dan


Hiratsuka-sensei tampak sedikit sedih.

"ibu mengerti ... ibu berusaha keras untuk berpikir..."

Nah, dengan kata lain, pemenang dan pecundang dari game ini akan
hanya sewenang-wenang. Hiratsuka-sensei tampak bingung akan
pemenangnya antara aku dan Yukinoshita dan tampaknya dia sedikit
ngambek.

"Ugh ... Kalian berdua bekerja sama hanya untuk


menyerang orang lain ... Ini seperti teman-
teman lama ku atau sesuatu."
"Sampai dunia inipun kiamat ... aku tidak akan pernah berteman
dengan laki-laki itu."

Yukinoshita mengangkat bahunya. Aku yakin dia memberiku tatapan


keji , tapi kemudian aku melihat bahwa ia bahkan tidak menatapku.

"Hikigaya, jangan begitu murung... Mereka mengatakan bahwa ada


beberapa serangga yang suka makan rumput. Ini semua hanya
masalah selera. "

Sensei mencoba menghiburku. Aku bahkan tidak merasa sedih sama


sekali, sialan ... Dan mengapa kebaikan itu hanya merasa
menyakitkan ...?

"Memang benar ..."

Aku terkejutkan ,bahkan Yukinoshita juga bergabung di dalamnya ...


Tunggu, dia adalah orang pertama yang membuat ku tertekan.

Namun, Yukinoshita hanya mengatakan yang sebenarnya; dia tidak


akan berbohong tentang perasaannya sendiri, jadi dia mungkin benar-
benar percaya kata-kata Hiratsuka-sensei. Dia memberiku senyuman.

"Ibu yakin ada beberapa serangga di suatu tempat yang suatu hari
akan mulai menyukai Hikigaya-kun."

"Setidaknya pilih hewan yang lebih manis, sialan!"

Ini cukup rendah hati, bahkan untuk ku, tidak memintanya untuk
memilih manusia, kan ... Tapi Yukinoshita dengan sombongnya
mengepalkan tangan, dia tampak cukup bangga dengan dirinya
sendiri.

Mungkin dia benar-benar senang dengan apa yang dia katakan,


matanya juga berkilau; dia benar-benar tampak menikmatinya.

Aku, di sisi lain, berpikir sama sekali tidak menyenangkan .


Maksudku, berbicara dengan gadis seharusnya kan lebih merasa
senang? Bukankah ini benar-benar aneh?

Aku pikir akan menuliskan apa yang ku rasakan pada saat ini, jadi aku
mengemgam penaku. Yukinoshita melihat apa yang ku lakukan.

"Sebenarnya, apa yang telah kau tulis selama ini?"

"Diam, tidak ada apa-apa."

Dan kemudian, aku menuliskan kalimat terakhir esai ku:

Sudah kuduga, kisah komedi romantis remaja ku memang salah


kaprah.
Catatan Penerjemah
 sejenis tanaman jeruk yang berasal dari Asia Timur..
  penanda buku.

  Giant disini adalah karakter dari anime Doraemon. karena Giant selalu seenaknya sendiri

 " Masalah "di sini merupakan kanji 悩. Ini memiliki arti hati jika dibaca dari sisi kiri..

Anda mungkin juga menyukai