Kegiatan yang terkait dengan masa remaja, sebut saja, tindak kriminal
seperti mengutil ataupun tawuran, hanya akan dicap sebagai
'kenakalan remaja'.
"Katakan, Hikigaya. Kau ingat tema untuk esai yang Ibu suruh
kerjakan ini?"
"Sudah jelas, 'kan? Lalu kenapa esai ini malah seperti surat ancaman?
Memangnya kau ini teroris? Atau cuma orang bodoh, hah?"
Kini aku jadi berpikir, memakai kata Ibu untuk panggilan Ibu Guru
kedengarannya lebih menambah daya tarik seksual ketimbang sekadar
Guru Perempuan saja.
"I-iya."
"Nak? ...yah, memang benar, sih, beda umur antara saya dengan Bu
Hiratsuka memang jauh, jadi, tak masalah jika Ibu memanggil Nak."
"Asal kau tahu, ini bukan berarti Ibu marah." ...oh, ternyata begitu
jawabnya. Terkadang, orang-orang selalu berkata, Aku enggak marah,
kok. Jadi bicara saja. Padahal, mereka tetap saja merasa marah. Tapi
tak disangka, beliau memang tak benar-benar marah. Yah, terkecuali
waktu kusinggung umurnya tadi.
"Ya, belum."
Seakan-akan beliau sudah tahu kalau aku memang tak punya teman.
"Jadi memang benar enggak punya, ya? Tepat seperti dugaan Ibu.
Hanya dari tatapan kosongmu saja sudah ketahuan, kok!"
Lagi pula, untuk apa beliau mempertanyakan hal barusan? Apa beliau
memang seorang guru yang begitu peduli pada muridnya?
Apa beliau ingin menyampaikan padaku jika suatu saat aku bisa
menjadi nila setitik, yang bisa merusak susu sebelanga?
"Baik."
Aku paham sekarang. Kali ini tulisanku pasti sesuai dengan yang
diharapkan; aku harus menulisnya tanpa menyinggung pihak mana
pun. Yang isinya tak beda jauh dengan ocehan yang ada di blog para
model vulgar maupun aktris pengisi suara semacamnya, contoh:
Itu memang hal yang tak bisa dibenarkan... meski begitu, bisa-bisanya
ada orang yang begitu senangnya saat memberi hukuman?
"Klub Layanan Sosial? ...memangnya Ibu mau suruh apa saya di
sana?"
Selidik demi selidik. Yang kutahu, kegiatan itu mungkin saja hal-hal
semacam membersihkan selokan, atau yang terburuk, menculik orang.
Amit-amit jabang bayi, deh.
"Ayo jalan!"
— II —
Aje gile.
Dari sudut pandang orang luar, mereka sudah terlihat seperti para
pemeran drama remaja yang berusaha tampil maksimal lewat
perannya. Memikirkannya saja membuatku merinding. Andai aku ikut
serta pun, paling-paling aku memilih peran sebuah pohon atau
semacamnya.
"Jika yang kaumaksud itu Hernia, tak usah khawatir. Ibu tak
melibatkanmu dalam pekerjaan kasar, kok."
"Lalu, siapa anak yang tampak lola yang bersama Ibu itu?"
Tentu saja aku hanya tahu nama dan wajahnya. Kami tak pernah
terlibat pembicaraan sebelum ini. Sebuah kejadian langka jika aku
bisa terlibat pembicaraan dengan orang-orang di sekolah, itu
sebabnya, mustahil bila hal tersebut sampai terjadi.
Saat UTS maupun UAS, nilai tinggi yang ia peroleh secara konsisten,
mencantumkan namanya sebagai juara umum di angkatan kelas kami.
Seakan belum cukup, penampilan menawan yang ia miliki
membuatnya selalu dihujani perhatian sekitarnya. Singkatnya, ialah
contoh nyata gadis paling cantik dan sempurna di sekolah ini, dan
semua orang pun mengakuinya.
Itu sebabnya ia tak mengenalku, meski aku tak begitu peduli. Namun
tetap saja, aku masih merasa sakit hati karena disebut lola. Aku cukup
yakin kalau sebutan itu mirip dengan nama merek sebuah permen
zaman dulu, yang sekarang sudah jarang kulihat.[7] Walau aku sudah
berusaha mengalihkan hal itu, tetap saja tak mengubah fakta kalau
perkataannya memang menyakitkan.
"Namaku Hachiman Hikigaya dari Kelas 2-F. Eng... hei. Apa maksud
Ibu dengan bergabung?" Siapa juga yang mau gabung? Lagi pula,
sebenarnya klub apa ini?
"Ini hukuman atas perbuatanmu tadi, jadi kau harus ikut serta dalam
kegiatan klub ini. Ibu takkan menanggapi segala bentuk keberatan,
bantahan, protes maupun keluhanmu. Gunakan saja waktumu itu
untuk menjernihkan pikiran serta merenungi perbuatanmu."
Pernyataan tegas yang tak bisa dibantah, tanpa menyisakan ruang
untukku memberi alasan.
"Jika itu memang harus, dari dulu pasti sudah Ibu lakukan, tapi di
zaman sekarang, hal tersebut bakal jadi masalah. Dan juga, kekerasan
secara fisik sudah tak lagi diperbolehkan."
"Bagi saya itu sama sekali bukan pujian. Ketimbang memakai istilah
untung rugi dan menahan diri, saya lebih memilih jika Ibu memakai
istilah punya akal sehat dalam mengambil keputusan."
— II —
Eh, tunggu, yang benar saja? Apa cerita ini tiba-tiba berkembang ke
kisah komedi romantis? Semuanya justru jadi tampak konyol. Walau
sebenarnya aku tak punya keluhan mengenai situasi ini.
Aku jadi teringat lagi kenangan pahitku saat masih SMP dulu.
Sampai dengan saat ini, suara perempuan itu masih terngiang jelas di
telingaku.
Grrrr!—
Tatapan seperti itu bisa membunuh lima orang tak berdosa. Sama
halnya yang menimpa penyanyi, Tomoko Matsuhima yang pernah
diterkam binatang buas.[8]Apa tanpa kusadari — tanpa sengaja — aku
memohon ampun padanya? Meski ia tak punya niat
mengintimidasiku, namun Yukinoshita sudah menjadikanku layaknya
seorang tawanan. Dengan hati yang terguncang ini, kuambil sebuah
kursi kosong kemudian duduk.
"Bingung?"
"Permainan?"
Dan aku merasa jika ini bukan sesuatu yang akan menjurus ke adegan
mesum. Daripada disebut permainan yang seru, suasana yang
ditampakkan Yukinoshita lebih seperti sedang mengasah belati hingga
tajam. Saking tajamnya sampai-sampai aku berpikir akan mati jika
aku kalah di permainan ini. Hilang ke mana suasana komedi romatis
yang tadi? Bukannya ini malah seperti adegan di dalam manga
Kaiji?[9]
"Tak ada."
"Klub Sastra?"
Hal itu harusnya membuat sang Nona Yukino merasa kagum dan
berkata Begitu rupanya... sambil diselingi sedikit rasa kesal.
"Salah."
Ia bilang tadi tak ada lagi anggota klub selain dirinya. Meski begitu,
klub ini masih bisa tetap aktif.
Dengan kata lain, bisa saja ada anggota tak terlihat, contohnya seperti
hantu, ya 'kan? Lalu yang ganjil dalam cerita ini adalah, anggota tak
terlihat itu ternyata memang benar-benar hantu. Akhirnya kisah
komedi romantis ini pun berkembang ke hubungan antara diriku
dengan seorang hantu perempuan jelita.
— II —
Tiba-tiba saja ia keluar dari topik dan menanyakan hal tersebut untuk
mengalihkan perhatian. Sungguh perempuan yang lancang.
Tamat
Seperti itulah contohnya. Yah, dan sejak saat itu ia cuma mau
mengobrol dengan perempuan di belakangku saja. Manusia memang
cenderung lebih mengingat hal-hal yang tak menyenangkan. Sampai
sekarang pun, jika teringat kembali kejadian itu, cepat-cepat saja aku
menutup seluruh tubuhku dengan selimut lalu menjerit.
"Perempuan ini..."
Kalau saja aku ini bukan orang jenius yang peduli budaya dan
mendapat peringkat ketiga dalam ujian Bahasa Jepang, mungkin aku
tak tahu cerita apa yang ia singgung. Terlebih, cerita itu memang
cerita favoritku, makanya aku bisa ingat. Cerita yang sangat tragis
hingga sempat membuatku menangis. Jenis cerita yang mungkin saja
bisa dinikmati semua orang.
"Menyedihkan sekali kalau kau bisa merasa sepuas itu hanya karena
pernah mendapat peringkat ketiga. Terlebih lagi, menggunakan nilai
ujian sebagai satu-satunya acuan justru membuatmu terdengar tak
intelek."
"Aku tak bilang begitu, ya. Aku hanya bilang, kenyataan kadang
memang kejam..."
"Jangan lari dari kenyataan. Kalau kau mau lihat yang sebenarnya,
bercermin sana."
"Kau ini bodoh, ya? Yang namanya ketampanan itu tak dinilai hanya
dari pendapat pribadi. Intinya, karena cuma ada kita berdua saja di
ruangan ini, maka pendapatku yang lebih objektif inilah yang paling
benar."
"Benar juga, perkataanku tadi sudah kelewatan. Ini pasti hal berat
bagi orang tuamu."
"...dasar payah."
— II —
"Iya, iya. Jangan diambil hati, lanjutkan saja. Ibu cuma mampir
memeriksa keadaan."
"Memang Ibu ini Golgo, apa?[16] Lagi pula, apanya yang refleks?
Jangan langsung tiba-tiba begitu, dong!"
"Ya, Ibu itu sumber masalahnya... terus, apa maksud Ibu dengan
program rehabilitasi? Itu malah terdengar seolah-olah saya ini anak
bermasalah, ya 'kan? Sebenarnya ini tempat apa, sih?"
"Ilustrasi yang Ibu berikan malah tambah bikin bingung... secara tak
langsung malah memberi tahu berapa usia Ibu."
Rasanya aku tak sanggup berada di tempat ini lebih lama lagi. Ini
terasa seperti ketika orang tuaku menemukan koleksi majalah porno
milikku sewaktu aku masih kelas 6 SD yang membuat mereka
menceramahiku habis-habisan.
Tapi jika kupikir lagi, mungkin ini tak sampai seburuk itu.
"Kau ini bicara apa?" Tegas Yukinoshita. "Jika kau tak bisa berubah,
nantinya kau akan kesulitan dalam bermasyarakat."
"Bukan begitu... hanya saja, aku tak mau orang lain terus memaksaku
agar berubah, memaksaku supaya sadar akan diriku sendiri. Lagi pula,
jika akhirnya aku berubah karena nasihat orang lain, maka aku takkan
bisa jadi diriku sendiri, ya 'kan? Dikatakan jika sebuah jati diri—"
"Hal tersebut tak bisa dilihat dari pendapat satu orang saja."
Usahaku agar terlihat hebat dengan mengutip ucapan Descartes, justru
langsung disela oleh Yukinoshita... padahal aku sedang mengatakan
hal yang lumayan keren.
"Yang kaulakukan hanyalah lari dari masalah. Jika kau masih belum
berubah, kau takkan bisa maju."
"Memangnya kenapa kalau aku lari dari masalah? Kau sendiri dari
tadi hanya terus-menerus menyuruhku untuk berubah. Lagi pula,
memangnya kau bisa menghadap matahari dan berkata, Hei,
Matahari, Kau terlalu lama terbenam di barat dan orang-orang jadi
terganggu, jadi mulai sekarang terbenam saja di timur. Begitu?"
"Jika seperti itu... maka permasalahan ini tak bisa terselesaikan dan
tak seorang pun bisa diselamatkan."
"Hal ini mulai semakin menarik. Ibu suka perkembangan yang seperti
ini. Terasa JUMP banget deh. Ya 'kan?"[20]
"Tapi kita kan tak sedang di dalam shounen manga..." Tak ada yang
memerhatikanku bicara.
"Agar pertandingan kalian tak terasa sia-sia, akan Ibu beri sesuatu
yang bisa menambah motivasi kalian. Bagaimana kalau begini? Pihak
yang menang boleh menyuruh pihak yang kalah untuk melakukan apa
saja keinginannya."
"Saya menolak. Saya merasa jika bertanding dengan anak ini bisa
membahayakan kesucian saya."
"Itu cuma prasangkamu! Tak semua anak kelas dua SMA khususnya
laki-laki selalu berpikir ke arah sana!"
"Tak ada gunanya meminta pendapatmu, dan tak ada juga yang
memintamu menyengir." Balas Yukinoshita.
Ya sudah...
Tentunya, setelah itu ruangan menjadi sepi dan tak ada perbincangan
lagi di antara kami. Suasana hening ini lalu sirna oleh suara dari
siaran radio sekolah. Bunyi bel tiruan mulai bergema. Seiring dengan
melodi yang berangsur tersamar, Yukinoshita langsung menutup buku
bacaannya. Bunyi bel barusan pasti pertanda berakhirnya kegiatan
sekolah.
Dan sekarang, tinggal diriku sendiri yang ada di ruangan ini. Apa hari
ini memang hari sialku, ya? Dipanggil ke ruang guru, dipaksa
bergabung ke klub misterius, dikata-katai oleh gadis yang hanya
cantik di luarnya saja... Yang tertinggal di sini hanyalah diriku yang
terluka parah secara mental.
Bukankah hati kita akan berdegup kencang bila sedang bicara dengan
seorang gadis? Tapi yang terjadi, ia justru membuat hatiku tenggelam
dalam keputus-asaan.
Jika terus begini, lebih baik aku bicara dengan hewan peliharaan saja.
Hewan peliharaan takkan pernah membantah dan selalu tersenyum
pada majikannya. Kenapa aku tak terlahir menjadi seorang masokis
saja, ya?[23]
Dan di atas semua itu, kenapa aku dipaksa ikut dalam pertandingan
yang tak ada gunanya ini? Jika Yukinoshita yang jadi lawanku, kurasa
aku juga takkan bisa menang. Jangan-jangan pertandingan tadi itu
salah satu kegiatan klub. Saat berpikir tentang kegiatan klub, yang
kubayangkan justru sekumpulan gadis-gadis yang membentuk sebuah
grup band, seperti cerita dalam DVD yang pernah kutonton.[24] Kalau
kegiatan yang seperti itu, sih, menurutku masih masuk akal.
Tapi jika ceritanya berlanjut seperti ini, bagaimana kami bisa akur?
Boro-boro, deh. Mungkin bisa saja ia dengan santai menyuruhku
sambil berkata, Napasmu bau, jadi bisa tidak, jangan bernapas dulu
sampai tiga jam ke depan?
Mengacu pada ucapan Date Masamune dalam serial Sengoku BASARA yang sering memakai
kata-kata "Engrish". Yang mengisyaratkan sebuah keantusiasan, yang dalam konteks narasi ini
mengarah ke hal-hal seksual.
Yang dimaksud Bu Hiratsuka ialah Usopp dari serial One Piece yang karakternya berhidung
panjang.
Manga yang ditujukan untuk pembaca laki-laki di kisaran umur 13 tahun ke atas, meski
tujuannya untuk kalangan remaja, terkadang semua umur masih membacanya.[1]
Berdasarkan serial Ginga Tetsudou 999 di mana tokoh utamanya, Tetsuro selalu berkeinginan
untuk memperoleh tubuh seperti mesin agar dirinya bisa hidup abadi. Bahkan Ratu Promethium
pernah berencana ingin memindahkan kesadaran Tetsurou ke dalam sebuah sekrup.
Dalam versi Bahasa Jepang (asli), Yukinoshita memakai istilah nubouttoshita (ぬぼうっとした)
untuk menggambarkan sosok Hikigaya, yang artinya "bengong" atau "tampak linglung". Permen
yang dimaksud di sini yaitu permen yang bermerek NuuBou, yang pernah diproduksi Perusahaan
Permen Morinaga. Sengaja memakai kata lola (loading lambat) untuk lokalisasi istilah, karena
terdengar seperti nama permen, dan istilahnya juga cocok untuk menggambarkan orang yang
linglung.
Tomoko Matsuhima adalah penyanyi dari Jepang yang pernah diserang oleh singa dan macan
tutul saat pengambilan gambar untuk sebuah acara varietas di Kenya.
Yang dimaksud adalah tokoh Conan Edogawa dari serial Detective Conan.
Sebenarnya Manusia Super itu berasal dari kata Chojin yang sering muncul dalam serial
Kinnikuman.
Bagian dari otak besar yang berperan pada kegiatan mengingat dan navigasi ruangan[2].
Bintang Yotaka (よだかの星, Yotaka no Hoshi) adalah dongeng dari Negara Jepang yang
mengisahkan seekor burung Yotaka (夜鷹/Caprimulgus Indicus) yang sering diejek karena wajahnya
yang cacat dan buruk rupa. Hingga suatu saat ia terbang ke tempat yang sangat tinggi untuk
menghindar dari ancaman Rajawali yang ingin membunuhnya, akan tetapi ia pun akhirnya mati
karena tak mampu lagi mengepakkan sayap. Namun sesaat sebelum merengang nyawa, Yotaka
sempat melihat tubuhnya bersinar indah layaknya sebuah bintang.
Hachiman sedang membahas peribahasa, "Bau amis ikan akan tercium juga meski sedemikian
rupa ditutupi".
Berdasarkan manga Golgo 13, yang tokoh utamanya adalah pembunuh profesional yang
mempunyai julukan Golgo 13.
Mengacu pada sebuah lokasi di dalam manga Dragon Ball Z yaitu Seishin to Toki no Heya
(精神と時の部屋), sengaja memakai istilah Ruang Jiwa dan Waktu, karena istilah tersebut sudah
melekat pada pembaca manga Dragon Ball Z di Indonesia, dan juga secara harfiah artinya pun sama.
Berdasarkan cerita dalam manga Shoujo Kakumei Utena, yang hubungannya dengan maksud Bu
Hiratsuka adalah tokoh utamanya mendapat tujuan hidup karena pertolongan seseorang yang
akhirnya jadi inspirasi hidupnya.
Teori yang menyebutkan bahwa matahari sebagai pusat tata surya dan planet-planet lainnya
termasuk Bumi berputar mengelilingi matahari.[3]
Maksud Bu Hiratsuka yaitu situasi yang ia tangkap ketika kejadian ini mirip seperti cerita-cerita
manga yang biasanya ada di dalam majalah Shounen JUMP.
Kata-kata yang digunakan dalam serial Mobile Fighter G Gundam ketika para mobile fighter
hendak saling bertarung dalam turnamen Gundam Fight.
Mengacu pada istilah dalam serial Medarot/Medabots di mana para medafighter saling
bertarung satu sama lain.
Masokis adalah istilah yang dikenakan pada pihak yang mendapat peran sebagai yang
disakiti/tersakiti saat berhubungan seks. Tapi seiring waktu, konotasi istilah ini jadi meluas, dan bisa
diterapkan ke beberapa situasi, salah satunya dalam pergaulan sehari-hari.
Tsundere adalah istilah di mana sebuah karakter bersikap kasar di luarnya, padahal dalam hatinya
ia punya perasaan yang lembut.
BAB 2
Saat keluar dari ruang kelas setelah jam pelajaran berakhir, kulihat Bu
Hiratsuka sedang menungguku sambil menyandarkan dirinya ke
tembok. Beliau sudah tampak seperti sipir penjara yang berdiri tegap
sambil melipat kedua tangannya. Kalau boleh bilang, pasti akan terasa
cocok apabila beliau berpakaian militer dan memegang cambuk di
tangannya. Yah, yang namanya sekolah memang mirip seperti
penjara, setidaknya itu bukan imajinasi yang terlalu berlebihan.
Maksudku, sekolah pun bisa disamakan seperti Alcatraz ataupun
Cassandra.[1] Pastinya aku akan bersyukur andai sang Penyelamat
Akhir Zaman[2] bergegas datang menolong.
Yukinoshita itu orang yang angkuh sejak lahir, kata-kata yang terucap
dari mulutnya bagaikan ular berbisa. Sangat kasar, bahkan tak ada
manis-manisnya. Apa makhluk sepertinya itu bisa disebut tsundere?
Yang benar saja. Ia cuma gadis kurang ajar.
"Eng... asal Ibu tahu... jika saya pikir-pikir lagi, yah, di antara sekian
banyak hal, sistem pendidikan di negara kita ini harusnya saling
mendukung juga menghormati kebebasan murid-muridnya, oleh
karena itu... saya merasa keberatan jika dipaksa-paksa begini."
Kali ini bukan sebuah pukulan biasa yang beliau lesatkan, melainkan
sebuah serangan telak dari sebuah tinju yang terpilin dan menusuk
tubuhku. Sangat kuat, sampai-sampai aku tak bisa bernapas. Tanpa
menyia-nyiakan momentum, beliau berhenti menyerang dan langsung
merangkul lenganku.
"Kau tahu apa jadinya jika coba membangkang, bukan? Jadi jangan
coba-coba memancing tinju Ibu ini, ya."
"Oh, iya. Jika kau mencoba kabur lagi, maka secara tak langsung kau
dianggap kalah dari Yukinoshita. Segala bentuk keberatan takkan Ibu
terima, lo. Jadi, jika kau tetap tak menghiraukannya, maka jangan
harap kau bisa lulus di tahun ketigamu."
Aku sudah tak mungkin lagi bisa lari dari beliau, bahkan dari segi
mental sekalipun. Bu Hiratsuka berjalan di sampingku, suara ketukan
dari hak sepatu berbunyi di setiap langkahnya. Dan yang terburuk,
beliau merangkul pergelangan tanganku. Kalau dilihat lagi, ini
tampak seolah Bu Hiratsuka menjadi seorang wanita penghibur yang
memakai kostum guru sekolah dan sedang menggandengku ke
kabaret cosplay miliknya.[3]
Meski begitu, ada tiga hal yang membedakannya, yaitu: Aku tak bisa
membayar beliau sepeser pun, beliau sebenarnya hanya merangkul
ujung sikutku bukan seluruh lenganku, dan aku tak merasa senang
maupun tertarik sama sekali. Yah, terkecuali fakta kalau ujung
sikutku sempat menyentuh payudara Bu Hiratsuka.
Satu-satunya tempat yang ingin beliau tuju sekarang hanyalah ruang
klub.
"Eng... saya takkan coba kabur lagi kok, jadi biar saya jalan sendiri
saja, ya. Ibu juga pasti sudah tahu kalau selama ini saya selalu sendiri.
Jadi tak akan apa-apa jika saya jalan sendiri. Lagi pula, kalau tak
melakukannya sendiri, saya justru tak bisa tenang."
"Membiarkanmu kabur bisa bikin Ibu gregetan. Jadi, meski tak tega,
Ibu harus memaksamu pergi ke sana supaya stres Ibu ini bisa
berkurang."
"Mau bagaimana lagi? Meski Ibu sebenarnya sudah capek, Ibu masih
harus menemanimu sampai ke sana. Semua ini demi kelancaran
program rehabilitasimu itu sendiri. Bisa dibilang, ini salah satu contoh
dari ikatan kasih sayang seorang guru terhadap muridnya."
"Ibu bilang yang begini ini kasih sayang? Maaf, Bu, saya enggak
butuh."
"Padahal, kau bisa tampak lebih manis kalau mau sedikit menurut.
Kau tak bisa menikmati hidup kalau masih punya pandangan
menyimpang seperti itu."
"Yah, dunia itu kan tak selalu dipenuhi padang bunga matahari dan
aster. Jika masyarakat terbentuk oleh pikiran kalau orang harus selalu
bahagia, tentunya Hollywood takkan membuat film-film sedih, ya
'kan? Soalnya, ada sebagian orang yang juga senang dengan tragedi."
"Argumen seperti itu memang ciri khasmu. Wajar, sih, bagi remaja
kalau berpikiran sinis, tapi kalau kau ini sudah jadi penyakit namanya.
Jenis penyakit yang sering diidap anak kelas dua SMA. Kalau dipikir
lagi, ternyata kau memang pengidap kounibyou."[5] Ujar Bu Hiratsuka
sambil tersenyum bangga.
"Eng, soalnya... itu mewakili kebudayaan Jepang. Itu juga bagian dari
budaya modern yang bisa jadi kebanggaan Jepang. Aneh kalau saya
tak mengakui fakta tersebut, ya 'kan? Pangsa pasar domestik bisa
semakin berkembang karenanya, maka dari itu sisi ekonomi pun harus
disangkut-pautkan di sini."
"Saya juga baca, tapi jujur, saya lebih senang karya yang ditulis oleh
mereka ketika masih belum terkenal."
"Gagaga... Kodansha Box juga. Saya tak tahu apakah Ibu juga
menggolongkan Kodansha Box sebagai salah satu penerbit light
novel.[7] Oh, iya, untuk apa Ibu tanya-tanya hal barusan?"
"Yah, kau memang seperti yang Ibu duga. Tapi dalam artian negatif.
Contoh sempurna seorang pengidap kounibyou."
"Kau memang terlihat sedang mengatakan hal-hal keren tapi itu justru
menandakan karakteristik asli seorang kounibyou."
"Oh... benarkah?"
"Sebenarnya Ibu tak mau kau jadi besar kepala, tetapi Ibu memang
sedang memujimu kok. Ibu senang dengan orang yang memegang
teguh pendiriannya, meskipun orang itu menyimpang."
"Ia tak selalu benar, tapi saya yakin sebagian besar orang-orang akan
setuju dengan Ibu."
...ampun, deh. Lagi-lagi aku kesulitan untuk lari dari jurus beliau yang
satu ini. Sungguh menjengkelkan, tapi lama-lama aku pun akhirnya
terpaksa pasrah.
— II —
Ujung gedung paviliun ini sudah dipenuhi hawa dingin dan rasa sunyi
yang mencekam.
Harusnya ada klub lain di sekitar sini, tapi tak sekalipun aku pernah
mendengarnya. Mungkin saja ini karena perempuan itu, atau mungkin
ini dampak dari aura aneh yang dipancarkan Yukino Yukinoshita.
Andai tak ada sesuatu di antara kami, tak mungkin aku merasa
canggung dan tak nyaman begini. Karenanya, hari ini akan kugunakan
satu-satunya cara untuk melenyapkan rasa takut akan kesendirian itu:
Jika kau melihat orang asing, anggaplah ia memang benar-benar
orang asing. Sayangnya, tak ada cara lagi selain cara tersebut.
Jika aku masih berpikiran seperti itu, maka semua ini takkan bisa
berakhir. Semoga saja ia tetap diam dan asyik membaca bukunya.
"..."
Baiklah, pintu sudah kubuka, jadi apa aku juga perlu membuka
pembicaraan? Pada akhirnya, aku pun hanya membungkuk kemudian
berjalan melewatinya.
"Itu salam yang aneh. Kalau boleh tahu, itu salam dari suku mana,
ya?"
Karena tak tahan akan kata-kata pedasnya, lebih baik kuucapkan saja
salam yang kupelajari sewaktu TK dulu.
"...selamat siang."
"Selamat siang. Kupikir kau tak mau lagi datang ke sini." Itu senyum
yang melecehkan, sebuah pelanggaran yang setingkat dengan Gol
Tangan Tuhan Maradona.[11]
"Ja-jangan terlalu dipusingkan! Kalau aku tak kemari, sama saja aku
mengaku kalah, cuma itu! Ja-jangan salah paham dulu!"
"Bukan..."
"Kalau begitu, penguntit?"
"Ya, soalnya aku sempat yakin kalau kau suka padaku." Ujar
Yukinoshita dengan ekspresi datar di wajah dinginnya.
— II —
Dari benakku yang terdalam, aku jadi sedikit merasa kasihan padanya.
Sebaiknya aku berhati-hati dalam memilih kata-kata dan langsung
menyampaikan intinya saja.
"Yukinoshita. Kau memang enggak normal. Kau benar-benar suka
berhalusinasi. Bedah dulu otakmu sana."
Yah, yang penting aku tak mengatainya dengan kata-kata sampah atau
umpatan semacamnya. Setidaknya ia sempat memujiku tadi. Jujur,
andaikata ia tak punya wajah yang manis, mungkin dari dulu
perempuan ini sudah kuhajar.
"Ya, begitulah. Kau memang benar. Tak salah jika kubilang kalau
kehidupan sekolahku masih lebih baik." Jawab Yukinoshita.
Pada saat memandangnya, aku jadi tersadar sesuatu. Yah, jika tetap
bersikap seperti biasa, aku pasti akan langsung memerhatikan hal tadi,
namun sifat angkuh dari lahir yang selalu jadi pembawaan
Yukinoshita itu tak mungkin bisa membuat orang betah berhubungan
dengan dirinya. Oleh karenanya, tidaklah mungkin juga ia punya
kehidupan sekolah semenyenangkan itu.
Contohnya aku.
Jika dipikir baik-baik, aku sungguh tak tahu seperti apa batasan
seorang teman itu. Kuharap ada yang mau menjelaskan padaku di
mana letak perbedaan antara yang namanya teman dengan kenalan.
Apakah orang yang cuma sesekali kita temui bisa kita sebut sebagai
teman dan yang setiap hari kita temui bisa kita sebut sebagai saudara?
Mido faado reshi sorao?[12] Kenapa cuma bunyi o saja yang tak ada
dalam solmisasi di lagu itu? Hal yang demikian sudah terlalu
mengusik pikiranku.
Bahkan untuk mereka yang masih satu kelas, rupanya ada jenjang
tersendiri yang menggolongkan antara teman sekelas, teman main dan
sahabat karib. Jika demikian, berarti ini hanya masalah soal dari mana
perbedaan itu berasal. Tapi aku cuma asal bicara saja, sih.
"Yah, karena kurasa kau tak punya teman, maka tak jadi masalah."
"Aku tak pernah bilang begitu. Lagi pula, sekalipun aku tak punya
teman, itu juga takkan membuatku rugi."
"Iya, iya. Kau benar." Cepat-cepat saja kusanggah agar terhindar dari
kata-katanya yang hampir keluar seiring dengan tatapan sinis yang ia
tujukan padaku.
"Yang kumaksud, kenapa kau yang begitu disukai banyak orang ini,
justru tak punya teman?" Tanyaku. Yukinoshita tampak sedikit kesal.
Setelahnya, ia memalingkan pandangannya karena tak senang dan
mulai bicara.
"..."
"Meski kau suka menyendiri, namun bila tahu-tahu ada yang sok
perhatian padamu pasti kau akan merasa terganggu. Aku paham kok
perasaanmu itu." Kataku.
"Aku heran kenapa kau bertingkah seolah kita ini sejajar. Justru itulah
yang membuatku terganggu." Yukinoshita mengibaskan rambutnya
ke belakang, mengisyaratkan bahwa ia memang sedang terganggu.
"Yah, meski kau dan aku ada di standar yang berbeda, kurasa sedikit
banyak kita punya perasaan yang sama dalam menyikapi kesendirian.
Walau itu terasa sedikit menjengkelkan." Saat memberitahukan
kejengkelannya itu, Yukinoshita tampak seolah menyunggingkan
sebuah senyum getir. Bisa dibilang, ia lebih terlihat muram ketimbang
terlihat tenang.
"Apa maksudmu kalau kita ada di standar yang berbeda... aku sendiri
punya pandangan pribadi mengenai makna kesendirian. Bahkan kau
bisa menjulukiku sang raja penyendiri. Lagi pula, hal konyol jika
kausebut dirimu itu penyendiri."
"Hah... kau bisa setegar itu menerima keadaanmu meski sadar jika itu
sia-sia..." Yukinoshita terkejut dan melihatku dengan penuh
keheranan.
"Tenang saja, aku sudah kenyang kalau soal yang begitu." Aku
menjawab. Yukinoshita pun langsung menarik napas dalam-dalam.
Tak mungkin aku bisa lebih kenyang lagi. Pikiranku sudah penuh
dengan perdebatan kecil tadi. Ini terasa seperti aku bisa memakan mi
ramen sebanyak apa pun itu.
"Karena dari dulu aku punya paras yang manis, para lelaki cenderung
mendekatiku, karena mereka semua memendam rasa kepadaku."
"Aku yakin kalau hal itu bermula saat tahun terakhirku di SD dulu.
Ya, memang semenjak itu..." Ekspresi Yukinoshita tampak berbeda
dari sebelumnya. Kini ia jadi terlihat sedikit murung.
Kalau dihitung, itu sudah sekitar lima tahun yang lalu. Bisa-bisanya ia
bercerita seakan dirinyalah yang dilimpahi kasih sayang oleh lawan
jenis?
Jujur, tak pernah sekalipun kupahami alasan kenapa aku dicap jijik
oleh lawan jenis selama lebih enam belas tahun hidupku ini. Begitu
pula alasan kenapa tak ada cokelat yang kudapatkan saat Hari
Valentine bahkan dari ibuku sendiri, yang membuatku semakin tak
memahami dunia ini. Perkataannya tadi tampak seolah menunjukkan
bahwa ia merupakan satu dari sekian banyak orang yang bersorak atas
gemilangnya hidup mereka. Apa ia sengaja ingin pamer di depanku?
— II —
Aku teringat dulu ketika kuberdiri sendirian di depan papan tulis, dan
seisi kelas mengelilingku sambil menyerukan, Min-ta-ma-af! Min-ta-
ma-af! Dengan nyaringnya disertai tepuk tangan yang bergemuruh.
Keadaan saat itu bisa dibilang seperti di neraka.
"Pertanyaan konyol. Aku kan enggak punya teman, jadi enggak perlu
risau mengenai itu." Jawabku menggebu-gebu. Seperti yang biasanya
pria dewasa lakukan. Meski itu hasil pikiranku sendiri, aku sempat
kaget karena bisa secepat itu menyanggah ucapannya.
"Kubunuh anak itu." Aku tak tahu apakah jawaban spontan itu bisa
memuaskannya, namun Yukinoshita menganggukkan kepalanya
seolah mengerti.
"Lihat, kau pun mau menyingkirkan temanmu itu, 'kan? Orang yang
berperilaku begitu memang tak jauh beda dengan orang barbar yang
tak berakal. Bahkan lebih tak berakal dari hewan sekalipun... dan
sekolah tempatku belajar banyak diisi oleh orang-orang seperti itu.
Walau aku yakin jika mereka berbuat demikian supaya orang-orang
mau mengakui keberadaan mereka." Yukinoshita pun segera tertawa
seakan mengejek.
"Tak perlu bilang begitu, aku juga tak berniat ingin tahu, kok!"
Kali ini, entah kenapa aku tak merasa jengkel saat mendengar ucapan
yang disertai senyum getirnya tadi.
"Namun apa boleh buat. Tak ada manusia yang sempurna. Mereka
lemah, berpikiran jelek dan gampang iri. Bahkan mereka berusaha
menjatuhkan sesamanya. Anehnya lagi, semakin diberkati seseorang,
maka semakin sulit baginya untuk hidup di dunia ini. Bukankah itu
hal yang ironis? Itu sebabnya aku ingin mengubah dunia ini beserta
orang-orang di dalamnya." Tatapan Yukinoshita tampak begitu serius
dan di dalamnya tersimpan sebuah kesinisan yang mampu
membekukan orang yang memandangnya.
"Mungkin kau benar. Tapi itu masih lebih baik ketimbang rencanamu
yang hanya berdiam diri, membusuk kemudian mati... Aku benci
caramu yang menganggap kelemahan sebagai hal positif." Ucap
Yukinoshita sambil memalingkan pandangannya ke arah luar jendela.
Aku memang tak begitu saja percaya dengan apa yang dikatakan Bu
Hiratsuka. Tapi untuk seseorang yang begitu diberkati, Yukinoshita
ternyata cukup menderita.
Bukan aku mau memuji sikapnya. Namun lebih karena kami punya
kesamaan.
Rasanya detak jantung ini berdetak semakin cepat. Seakan ingin lebih
cepat dari irama jarum jam.
Mungkin...
Yang dimaksud adalah pertunjukkan hiburan berupa musik, komedi, sandiwara, bahkan tari-
tarian yang menggunakan cosplay. Cosplay sendiri berarti hobi mengenakan pakaian beserta
aksesori dan rias wajah seperti yang dikenakan tokoh-tokoh dalam anime, manga, dongeng,
permainan video, penyanyi dan musisi idola, dan film animasi.
Berdasarkan karakter Souza/Souther dari manga Hokuto no Ken (Tinju Bintang Utara) yang
memiliki kelainan tubuh Dextrocardia Situs Inversus Totalis di mana jantung serta titik vital tubuh
lainnya menjadi terbalik dari kiri ke kanan. Karakter tersebut memiliki kenangan tragis yaitu
membunuh gurunya sendiri, oleh karena itu ia menampik segala bentuk perasaan cinta dan kasih
sayang. Ia kemudian menyebut dirinya sebagai Kaisar Suci (聖帝, Seitei) dan memperbudak anak-
anak untuk membangun Makam Kaisar Salib Suci (聖帝十字陵, Seitei Juuji Ryou), sebuah tempat
pemujaan yang diperuntukkan bagi gurunya.
Kounibyou (高二病) secara harfiah diterjemahkan menjadi Penyakit Murid SMA Kelas 2.
Dicirikan mirip dengan chuunibyou (Penyakit Murid SMP Kelas 2) di mana para pengidapnya memiliki
rasa percaya diri yang terlalu berlebih.
Keigo Higashino adalah penulis novel kawakan dari Jepang yang terkenal dengan karya-karya
misterinya sedang Koutarou Isaka adalah penulis khusus kisah-kisah detektif.
Gagagaga Bunko adalah label penerbit light novel dari Perusahaan Penerbit Shogakukan.
Oregairu adalah salah satu light novel terbitannya. Sedang Kodansha Box adalah bagian dari
Perusahaan Penerbit Kodansha.
Pernyataan menurut buku aslinya (Bahasa Jepang) adalah Hataraita make (働いたら負け). Itu
adalah ucapan yang umum dilontarkan para pelajar maupun pengangguran yang meyakini bahwa
tak ada gunanya bekerja jika hasil yang didapat tak sepadan dengan yang dikerjakan.
Otaku adalah istilah yang ditujukan untuk para penggemar fanatik subkultur asal Jepang seperti
anime dan manga.
Concrete road adalah lagu yang dibuat oleh Shizuku yang merupakan karakter utama dari film
Mimi wo Sumaseba produksi Studio Ghibli. Seiji Amasawa yang merupakan lawan main Shizuku,
bersikap kejam pada awalnya dan menyuruh Shizuku untuk menyerah ketika menggubah lagu
Concrete Road. Setelahnya, Shizuku menggerutu sambil berkata, Kurang ajar berkali-kali sepanjang
perjalanan pulang ke rumahnya. Hachiman berpikir begitu untuk menggambarkan sedemikian
bencinya ia pada Yukinoshita. Concrete Road sendiri adalah parodi dari lagu Take Me Home, Country
Road yang dipopulerkan oleh John Denver.
Mengacu pada kejadian sewaktu Maradona mencetak gol dengan tangannya saat pertandingan
perempat final Piala Dunia Tahun 1986 antara Argentina melawan Inggris, dan seharusnya gol
tersebut dinyatakan sebagai pelanggaran Handball.
Merupakan salah satu penggalan lirik dari lagu tema acara anak-anak, ‘Do-Re-Mi-Fa-Donuts’.
Hachiman bermaksud menekankan fakta bahwa dalam solmisasi (do-re-mi-fa-sol-la-si) seharusnya
tak diakhiri dengan bunyi 'o', melainkan bunyi 'si'.
Refleks Spinalis adalah refleks yang jika konektornya ada pada sumusum tulang belakang,
contohnya: Gerakan menarik tangan saat menyentuh benda panas atatu menarik kaki ketika terkena
duri. Sedangkan Refleks Kranialis adalah refleks yang jika konektornya terdapat di otak, contohnya:
Gerakan mata terpejam karena kilat.
Vektor adalah istilah dalam matematika dan fisika yang mengacu pada sebuah obyek geometri
yang memiliki besaran dan arah.
BAB 3
"Biar Ibu tebak, jangan-jangan kau punya trauma saat di kelas Tata
Boga, ya?"
"Pertama, Ibu mau dengar alasanmu bolos dari kelas Tata Boga.
Jelaskan dengan singkat."
"Yah, saya hanya tak habis pikir kenapa dalam kelas Tata Boga saya
mesti kerja berkelompok dengan murid lain..."
"Jelas tidak. Bu Hiratsuka ini bicara apa? Ini kan cuma tentang
pelatihan memasak dalam kelas Tata Boga. Artinya, pelatihan
semacam ini tak berguna jika diterapkan dalam kehidupan nyata.
Contohnya ibu saya. Beliau bisa memasak karena belajar sendiri.
Dengan kata lain, memasak adalah hal yang harus dipelajari sendiri!
Sebaliknya, menghubungkan antara pelatihan memasak dengan kerja
berkelompok adalah hal yang keliru!"
"Hal yang kaubicarakan tadi jelas berbeda dengan yang Ibu maksud."
"Maaf, Bu! Jadi Bu Hiratsuka mau bilang kalau ibu saya salah?!
Sungguh keterlaluan! Sudahlah, tak ada yang perlu dijelaskan lagi!
Saya mau keluar!" Jawabku seraya berpaling pergi.
"Hei! Jangan buat seolah Ibu yang jahat di sini, terus kau mencak-
mencak tak keruan begitu padahal Ibulah yang harusnya marah!"
"Cara Membuat Kari Yang Lezat — untuk bagian ini tak ada
masalah. Justru bagian setelah ini yang jadi masalahnya. 1. Potong
bawang merah secara melintang, lalu iris tipis dan bumbui. Irisan
tipis bawang merah akan mudah meresap dengan bumbu, sama
halnya orang awam yang gampang terpengaruh dengan sekitarnya...
kenapa hal itu malah kaucampur dengan sarkasme? Harusnya itu
kaucampur dengan daging."[1]
"Meski Ibu sudah tak ada niat lagi untuk membacanya. Paling-paling
kau sudah tahu kalau Ibu bakal menyuruhmu untuk mengerjakan
ulang." Bu Hiratsuka benar-benar terlihat sangar ketika sebatang
rokok terhimpit di antara bibirnya.
"Jadi maksudmu, kau sudah di umur yang wajar untuk hidup sendiri,
begitu?"
Mungkin bukan ide bagus jika aku menjawab, Harusnya Ibu lebih
khawatir tentang masa depan Ibu sendiri. Karena itu aku memilih
untuk mengalah dengan memberi jawaban logis.
"Yah, saya akan coba berkuliah di perguruan tinggi mana pun yang
mau menerima saya."
"Akan saya cari wanita cantik nan terpandang untuk dinikahi, jadi
wanita tersebut bisa selalu mendukung saya hingga akhir hayat
nanti."
"Yang Ibu tanya itu kerja! Jawab dengan spesifik!"
"Kalau seperti itu, hidupmu malah tak jauh beda seperti gigolo!
Sebuah cara hidup yang mengerikan untuk dijalani. Mereka
menyinggung tentang masalah pernikahan pada pasangan mereka,
lalu tanpa disadari mereka sudah tinggal dalam satu rumah, bahkan
mereka membuat kunci duplikat dan mulai menaruh barang-barang
mereka ke dalam rumah pasangannya. Lalu ketika saatnya mereka
berpisah, tanpa tanggung-tanggung mereka ikut membawa pergi
perabotan pasangannya seperti gelandangan yang sedang menjarah
toko!" Cerocos Bu Hiratsuka, yang tanpa sadar menguak rahasianya
sendiri dengan begitu detail. Sambil menggebu-gebu beliau
menceritakan hal tersebut, air matanya pun berlinang.
"Tenang saja, Bu! Saya takkan mungkin seperti itu. Saya tetap akan
mengurus segala urusan rumah tangga dan menjadi gigolo terbaik
yang pernah ada!"
Kurasa aku berhasil menarik perhatian beliau. Berarti aku kini hanya
harus lanjut bicara saja.
"Betul..."
"Ambil contoh, ada sebuah perusahaan yang lima puluh tahun lalu
memiliki tenaga kerja yang sepenuhnya diisi oleh seratus orang pria.
Jika kemudian lima puluh orang wanita dipekerjakan di perusahaan
tersebut, berarti lima puluh orang pria sisanya harus mencari
pekerjaan di tempat lain. Namun itu hanyalah perhitungan yang
benar-benar sederhana. Bila Ibu mempertimbangkan kemerosotan
ekonomi yang terjadi seperti saat sekarang, maka hanya masalah
waktu hingga para tenaga kerja pria jatuh dalam masa kemunduran."
"Lanjutkan."
Baru saja aku hendak berbalik dan mengeluh, tahu-tahu pintu sudah
dibanting dengan keras. Kurasa itu artinya, Segala bentuk keberatan,
bantahan, protes maupun keluhan takkan Ibu terima.
Saat-saat itu rasanya bagai diriku habis didepak dari sekolah saja,
bahuku terasa begitu nyeri sewaktu Bu Hiratsuka menguncinya... bila
saja waktu itu aku mencoba melarikan diri, mungkin aku bakal
dihabisi.
— II —
Rambut coklatnya yang ikal dan sepanjang bahu itu berayun ketika ia
berjalan. Tatapannya cemas menjelajahi sekitar ruangan. Lalu ketika
pandangannya tertuju padaku, ia terhenyak.
Atau harusnya aku bilang saja, Kenapa kau memanggilku Hikki? Lalu
yang terpenting, perempuan ini siapa?
Aku tak punya urusan dengan perempuan semacam itu. Nyatanya, aku
memang tak punya urusan dengan perempuan mana pun.
"Ka-kau mengenalku?"
"Kau pasti banyak tahu, ya... jangan-jangan kau tahu nama semua
orang di sekolah ini?" Tanyaku.
"Jelas aku bisa bicara. Dasar kau ini..." Memangnya aku tampak
seperti orang yang punya keterbatasan dalam berkomunikasi, apa?
Sial.
Tak ada yang paham bagaimana sakitnya tak dikenali oleh teman
sekelas lebih dari aku. Karenanya, sebelum ia ikut merasakan sakit
yang sama, kucoba untuk menutupi salah paham tadi.
Kini aku ingat perempuan sinis ini. Tentu saja, para perempuan lain di
kelasku juga memandang hina diriku. Pasti ia salah satu dari
kelompok yang sering bergerombol di sekitar Klub Sepak Bola.
"A-aaahhh, berhenti! Kau ini bicara apa?! Untuk ukuran anak kelas 2
SMA, itu jelas memalukan! Yukinoshita, di mana sisi
kewanitaanmu?!"[5]
"Kau berkata begitu lagi! Mengatai orang lain bispak itu enggak
sopan, tahu! Hikki, kau menjijikkan!" Yuigahama lalu menampakkan
wajah geram mengejek dan melihatku dengan mata berkaca-kaca.
Padahal sudah bersikap sopan, yang ada, aku malah jadi bersikap
keras begini, bahkan aku terpaksa bungkam setelah mendengar
ucapannya.
Di dunia ini ada banyak kata yang harusnya tak boleh diucapkan
begitu saja, terutama yang menyangkut nyawa manusia. Jika belum
siap memikul tanggung jawab atas nyawa, maka seseorang tak ada
hak untuk berkata demikian.
"Sekali lagi kaubilang mati saja atau kubunuh kau seenak udelmu,
'kan kucincang kau."
"Tidak juga. Hakikatnya, tujuan klub ini terletak pada cara memberi
pertolongan bagi orang lain. Terkabul atau tidaknya keinginanmu
tergantung dari dirimu sendiri." Tanggapan Yukinoshita tampak
dingin dan penuh penyangkalan.
Pidatonya barusan persis seperti yang termuat pada buku nilai moral,
sebuah prinsip tanpa arti yang sering digaungkan di berbagai sekolah
— Kegiatan klub akan memberi kesempatan pada para murid untuk
mempertunjukkan kemampuannya dalam hal kemandirian
sebagaimana murid lainnya. Begitulah pemahaman baruku mengenai
sebuah kegiatan klub. Dan, yah, Bu Hiratsuka juga sempat bicara
mengenai pekerjaan, itu artinya, klub pun ikut berjuang demi
kepentingan murid.
Aku ini bukan kue kering, tahu. Sebenarnya aku tahu kalau anak-anak
di kelas memperlakukanku layaknya angin lalu, meski terdengar
sama, namun artinya berbeda.[8]
Kira-kira itu mata pelajaran yang seperti apa, ya? Hal-hal yang begitu
itu masih mengusik pikiranku sampai sekarang.
Aku harus menunjukkan kalau aku orang yang sangat pengertian, bisa
membaca situasi dan bertindak tanpa perlu pamer. Andai aku seorang
perempuan, pasti aku sudah jatuh cinta dengan diriku sendiri.
Seraya tanganku menempel ke pintu untuk pergi keluar, Yukinoshita
memanggilku. Mungkinkah ia punya perasaan yang ingin
disampaikannya padaku?
— II —
Tak butuh waktu sampai sepuluh menit untuk menuju lantai satu
paviliun lalu kembali lagi ke lantai tiga. Bila aku berjalan dengan
santai dan tak tergesa-gesa, mungkin pembicaraan mereka sudah
selesai duluan sebelum aku datang.
Tak masalah seperti apa orangnya; yang jelas Yuigahama adalah klien
pertama kami. Dengan kata lain, kedatangannya adalah tanda
dimulainya pertandingan antara diriku dengan Yukinoshita.
Yah, aku juga tak begitu ingin menang, kok. Jadi bukan masalah
kalau aku hanya berfokus pada meminimalkan luka saja.
Pasti terasa aneh jika di antara tiga orang yang berkumpul, hanya dua
orang saja yang menenggak minuman. Karena alasan itu, kuputuskan
untuk membeli lagi minuman buat Yuigahama.
— II —
Tentu itu adalah ucapan terima kasih yang paling berkesan yang
pernah kuterima sepanjang hidupku. Ucapan itu memang hanya
bernilai Rp. 10.000; tapi bisa dibilang kalau ia membayarku lebih
dengan senyum di wajahnya tadi.
Dan tentunya itu adalah ucapan terima kasih yang paling tak berkesan
yang pernah kuterima sepanjang hidupku.
"Ruang PKK?"
"Hah? Kue kering?" Aku tak mengerti yang ia ucapkan, makanya aku
hanya bisa menjawab seperti tadi.
"Kenapa kita juga harus ikut-ikutan bantu? ...minta saja bantuan sama
teman-temanmu sana."
"Eng... ya-yah, soalnya... aku enggak mau jika mereka sampai tahu,
bisa-bisa aku jadi bahan ejekan bila mereka tahu tentang hal ini...
mana bisa mereka memaklumi hal yang serius begini..." Tatapan
tajam Yuigahama terarah kepadaku saat ia menjawabnya.
Jujur, yang namanya masalah asmara itu tak mudah untuk diatasi. Tak
sekadar masalah siapa suka sama siapa, bagiku menghafal sebuah
kosakata justru lebih bermanfaat. Semestinya, hal semacam
membantu mengatasi masalah asmara seorang gadis bukanlah sesuatu
yang wajar. Dan, yah, aku pun tak begitu tertarik dengan kisah
asmara, apalagi memikirkannya.
"Ah... ahaha. Pa-pasti tampak aneh, ya? Orang sepertiku sampai mau
coba membuat kue kering buatan sendiri... rasanya seperti ingin
berusaha melakukan hal yang biasanya perempuan lakukan... maaf,
ya, Yukinoshita. Enggak apa-apa, kok. Aku enggak memaksa."
"Yah, jika kau memang mau, aku tak keberatan... oh, aku tahu. jika
kau mencemaskan anak itu, maka tak perlu kaupikirkan. Ia sama
sekali tak punya standar moral,[11] karena itu akan kupaksa ia ikut
serta."
"...yah, aku tak bisa bilang kalau... yang mau kaulakukan itu aneh, tak
cocok buatmu, atau itu bukan bagian dari dirimu. Sebenarnya, aku
hanya tak bisa untuk pura-pura tak peduli. Itu saja."
"Malah kata-kata barusan itu tak layak untuk kaupakai. Kata-kata itu
lebih pantas diucapkan oleh ibumu sambil berlinangan air mata. Ibu
selalu mengira kalau kau pasti bisa asal mau serius... tapi nyatanya,
kau memang tak bisa. Begitu, deh."
Aku jadi merasa tak enak sudah merusak suasana hati Yuigahama,
padahal ia sudah berterus terang menjelaskan keinginannya untuk
membuat kue kering. Terlebih, pertandingan antara diriku dengan
Yukinoshita ini masih berlangsung.
"Yah, aku memang hanya bisa memasak kari, tapi aku tetap akan
membantumu." Dengan setengah hati kutawarkan bantuanku.
Yah, jika Yukinoshita yang bilang begitu dan sudut pandang anak
lelaki memang dibutuhkan, berarti sudah jelas kalau hal yang baru
disinggung tadi bakal jadi tugasku. Ada banyak sekali anak lelaki
yang tak suka memakan kue, jadi tugasku di sini adalah mencocokkan
rasa kue tersebut dengan selera anak lelaki. Terlebih, kupikir sebagian
besar makanan akan terasa nikmat andai saja aku bukan orang yang
pemilih.
— II —
"Ikatan tali celemekmu kusut. Apa kau sungguh tak tahu caranya
mengikat celemek?"
"Maaf. Terima kasih... eh, apa?! Kalau cuma mengikatnya saja, aku
bisa, kok!"
"Kalau begitu, tolong ikat celemeknya dengan benar. Jika tidak, nanti
kau bisa berakhir seperti anak itu – yang tak bisa kembali lagi ke titik
balik hidupnya."
"Jangan menggunakanku sebagai contoh negatif. Memangnya aku ini
Namahage?"[12]
"Padahal ini pertama kalinya kau bisa tampak berguna bagi orang
lain, harusnya kau sedikit senang... oh, tapi jangan cemas; meski kau
membandingkan dirimu dengan Namahage, aku takkan mau macam-
macam dengan kulit kepalamu, jadi tenang saja."
"He-hei, Hikki..."
"Bukannya aku enggak suka, sih. Bukan pula seolah para lelaki
menganggap itu sebagai hal yang menarik."
Meski aku bukan orang yang ahli dalam seni memasak, tapi bisa
kulihat dengan jelas kalau kemampuan Yuigahama masih jauh dari
normal. Aku yakin, bagi dirinya, membuat kue kering adalah hal yang
berada di luar jangkauan. Padahal itu hal yang sangat sederhana, jadi
bukan hal sulit untuk mengetahui seberapa jauh kompetensi dirinya
dari standar normal. Kemampuan Yuigahama yang sebenarnya, tanpa
ditutup-tutupi, telah terpampang jelas.
"Eh? Bukan begitu. Justru ini bahan rahasianya. Anak lelaki enggak
suka makanan manis, 'kan?" Wajah Yuigahama memerah sembari
melanjutkan perkerjaannya. Dengan pandangan terfokus pada
tangannya, adonan hitam segera terbentuk di tengah-tengah
mangkuknya.
"Waduh!? Ih. Biar nanti kutambahkan tepung saja supaya jadi lebih
bagus." Nyatanya, ia cuma mengganti adonan hitam itu menjadi
adonan yang lebih putih. Kemudian, gelombang besar dari kocokan
telur mulai menyapu adonan tersebut, yang seakan menggambarkan
kejinya neraka.
Akhirnya benda itu pun selesai dipanggang, dan keluarlah kue panas
yang terlihat gosong. Dari baunya saja bisa kutebak kalau rasanya
pahit.
"Ko-kok bisa?" Yuigahama terpaku ngeri saat melihat sebuah aib di
hadapannya.
"Kau benar. Di sini kita punya orang yang bertugas untuk itu."
"Kok racun, sih?! ...racun ...ya, mungkin saja ini memang beracun?"
Dibandingkan sangkalan yang dipaksakannya di awal, Yuigahama
kini malah tampak cemas sambil memiringkan kepalanya, seakan
ingin bertanya, Bagaimana ini?
Hal tersebut sudah tak perlu dijawab lagi. Kupalingkan wajahku dari
ekspresi Yuigahama yang seperti anak anjing itu dan coba menarik
perhatian Yukinoshita.
"Hei, apa ini benar-benar harus kumakan? Ini sangat mirip dengan
batu arang yang dijual di Joyful Honda."[13]
"Serius? Jangan-jangan kau ini memang orang baik, ya? Atau jangan-
jangan kau memang suka padaku?"
"...setelah kupikir lagi, lebih baik kau makan semuanya dan mati
sendiri saja sana."
"Maaf. Tadi aku sempat kaget, makanya aku jadi mengoceh tak
jelas." Semua gara-gara kue kering ini... meski patut dipertanyakan,
apakah aib yang ada di hadapan kami ini masih bisa disebut kue
kering.
— II —
Kami pun selesai mencicipi kue kering buatan Yuigahama. Jika ini di
dalam manga, riwayat kami pasti bakal tamat, kami akan jatuh sakit
lalu tak sadarkan diri setelah memakannya. Kalau boleh bilang,
saking buruknya benda tersebut, sampai-sampai kita akan merasa
senang andai cuma jatuh pingsan saja. Kalau aku, lebih baik memilih
jatuh sakit daripada harus memakannya lagi.
"Akan lebih baik jika itu disterilkan dulu dan sebisa mungkin jangan
mengunyahnya. Berhati-hatilah untuk tidak membiarkan lidahmu
tersentuh olehnya. Kue kering itu memang seperti racun mematikan."
"Usaha terakhir? Jadi semua ini akan berakhir begitu saja?!" Ekspresi
Yuigahama yang terkejut segera berubah jadi putus asa. Tampak
murung, bahunya terturun dan ia menghela napas panjang. "Kurasa,
memasak memang enggak cocok buatku... orang-orang menyebut itu
sebagai bakat, 'kan? Nyatanya, aku memang enggak punya bakat."
"Kausebut itu solusi?" Sejauh yang kuamati, itu justru jadi solusi
paling buruk. Di titik ini, memang tak ada lagi yang bisa dilakukan
selain memaksanya untuk lebih serius, sebab cuma itu pilihan yang
tersisa.
Tapi jujur saja, hal tersebut akan selalu jadi percobaan yang sia-sia.
Pasti akan lebih mudah jika ia tinggal bilang, Hentikanlah, tak perlu
berharap lagi. Mencoba begitu keras dan berusaha tanpa arti pada hal
semacam ini, akan berakhir sia-sia. Jika Yukinoshita memang ingin
menyerah terhadap Yuigahama, maka ia bisa memanfaatkan
waktunya itu untuk bekerja keras pada hal lain. Pastinya itu akan
lebih efisien.
"Ta-tapi, eng... zaman sekarang sudah enggak ada lagi orang yang
melakukan hal begini... sudah pasti itu enggak cocok buatku."
Seiring tawa malu-malu Yuigahama yang berangsur tersamar,
terdengar suara berdenting dari cangkir yang diletakkan ke atas meja.
Suaranya begitu tenang, terdengar pelan, dan masih bergemerincing
pada lapisan kristalnya, yang secara tak sadar memaksa pandangan
kami untuk tertuju ke arahnya. Ialah Yukinoshita, yang memancarkan
hawa dingin ini, dan menghimpun aura di sekitarnya.
"Lu-lu..."
Kurasa ia mau bilang, Lupakan saja kue keringnya. Suaranya yang
parau dan terbata terdengar seperti sedang menangis. Karena bahunya
yang gemetar, suaranya pun ikut gemetar.
"Luar biasa..."
"Bi-bicara apa kau... apa kau tak dengar yang kukatakan tadi? Aku
cukup yakin kalau kata-kataku tadi terdengar kasar."
"Biar begitu, aku sungguh berpikir kalau kau cuma ingin bersikap
jujur padaku. Maksudku, bahkan ketika kau berbicara pada Hikki,
kalian memang saling melontar kata-kata pedas, namun kalian
berbicara satu sama lain dengan begitu wajar. Yang selama ini
kulakukan hanyalah berusaha mencocokkan diri dan berkata sesuai
dengan pikiran orang-orang terhadapku, jadi ini hal baru bagiku..."
Benda itu terpanggang dalam balutan warna coklat muda yang sedap
dipandang mata dan sudah jelas kalau itu bisa disebut kue kering. Kue
itu dibuat dengan baik, mirip seperti yang dibuat bibiku. Itu sebabnya,
kue kering tersebut kuterima dengan senang hati.
Saat kuambil salah satunya dan coba memakannya, tanpa sadar
wajahku tersenyum.
"Tentu saja. Itu jika kau mengikuti apa kata resep." Yukinoshita tak
lupa mengingatkannya. Dengan demikian, dimulailah percobaan
Yuigahama yang kedua.
— II —
Jika ada orang yang percaya kalau seseorang yang benar-benar pandai
harusnya juga bakal pandai dalam mengajari orang lain, tak peduli
betapa bodohnya yang diajari, maka orang tersebut salah. Tak peduli
bagaimanapun cara mengajarinya, sekali bodoh tetaplah bodoh, itu
sebabnya orang bodoh sulit untuk mengerti. Biar berkali-kali pun
diajari, satu pun mungkin tak ada yang menyangkut.
"Se-bispak itukah dirimu sampai enggak tahu apa-apa? Kau ini bodoh
kali, ya?"
Kalau bicara itu yang jelas, tahu? Jangan bilang kalau ia mau meniru
tingkahku sewaktu aku dicibir guru di kelas.
"Kau ini mengoceh apa... ini bukan main-main. Aku ini serius, tahu!"
Mungkin ia merasa tersinggung atas penolakan kue kering buatannya
itu, namun meski ia berkata demikian, ia malah mengajak
Yukinoshita untuk keluar dari ruangan dan menuju koridor.
Segera setelah itu, ruang PKK telah terselimuti oleh hawa yang tak
mengenakkan.
"Yah, kalau kau memang sudah berusaha sekeras itu..." Sambil malu-
malu Yuigahama memasukkan kue kering itu ke mulutnya. Tanpa
bicara apa-apa, Yukinoshita pun ikut mengambilnya sepotong.
"Begitu, ya. Jadi, kue keringnya enggak enak... padahal sudah susah
payah membuatnya."
"Tu-tunggu sebentar."
"...oh. Jadi kau sudah cukup puas dengan kue kering ini?"
Kusunggingkan sebuah senyuman, dan Yuigahama menganggukkan
kepalanya tanpa bersuara, lalu memalingkan pandangannya. Diikuti
sinar senja yang memancar dari jendela, bisa kulihat kalau wajahnya
kini sedang tersipu.
"Sejujurnya, ini adalah kue kering yang kaubuat sebelumnya,
Yuigahama." Ucapku jujur dengan santai, tanpa terbata-bata. Aku tak
pernah bilang kalau aku yang membuatnya, jadi aku tak berbohong.
— II —
"Hikigaya, aku tak yakin dengan yang hendak kaulakukan ini. Apa
ada maksud lain dari leluconmu tadi?" Yukinoshita menatapku risih.
"Ada sebuah kutipan yang berbunyi... Asal ada cinta, cinta saja tak
masalah!!" Kusunggingkan senyum bangga sambil mengacungkan
jempol.
"Ibarat lomba lari halang rintang, fokus kalian hanya tertuju pada
melompati rintangannya saja." Tanpa sadar aku tersenyum. Wah,
perasaan superior apa ini? Seakan hanya aku saja yang tahu jawaban
yang benar. Bikin aku geregetan saja.
...aku tak begitu paham yang barusan ia katakan. Namun, aku yakin
kalau ia mau mengatakan hal yang sama, karena itu aku mengangguk
dan lanjut berbicara.
"Diam dan dengarkan saja dulu. Pada saat itu, dipilihlah salah
seorang anak perempuan. Perempuan itu punya wajah yang manis.
Dan dengan demikian, maka pasangan ketua kelas yang baru pun
diresmikan. Sang wakil perempuan kemudian tersenyum senang
sambil berkata; Mohon kerja samanya untuk satu tahun mendatang.
Setelah itu, ia mulai membicarakan berbagai hal dengan temannya
temanku ini. Jadi, si temannya temanku ini mulai berpikir: Wah, apa
ia suka padaku, ya? Mungkin ia sengaja agar terpilih karena aku
juga ikut terpilih. Ia begitu akrab saat bicara denganku, maka sudah
jelas kalau ia memang suka padaku! Dan tak makan waktu lama
baginya untuk meyakinkan hal tersebut. Yah, kira-kira satu minggu."
"Ya iya, lah. Kau tak boleh berlama-lama jika menyangkut soal
asmara. Jadi, seusai jam pelajaran, saat mereka sedang mengambil
fotokopi materi yang diminta guru, temannya temanku ini mencoba
mengutarakan perasaannya:
...menurutmu siapa?
Kalau begitu kasih inisial namanya saja. Inisial nama atau marga
juga tak apa-apa, kok. Ayolah!
...H.
Hah? Kau ini bicara apa? Jelas tak mungkin! Menjijikkan banget.
Sudah, tak usah dibahas lagi.
Eng... soalnya tadi kau tampak serius, sih... baiklah, karena sudah
selesai, aku pulang dulu.
O-oke.
Lalu setelahnya, hanya tinggal diriku saja yang ada di dalam kelas,
kutatap matahari yang terbenam sambil berlinangan air mata. Tapi
yang lebih mengejutkan, keesokan harinya saat di sekolah, semua
teman-teman sekelasku sudah tahu akan hal tersebut."
"Eh, apa? Ya bukan, lah. Aku tak cerita tentang diriku, kok. Kalau
yang barusan itu, yah, cuma berandai-andai kalau misal itu aku."
"Apa kaubilang?!"
"Mengenyampingkan pengalaman traumatismu, sebenarnya apa
tujuanmu menceritakan hal barusan?"
"Kurang ajar kau, Hikki! Kau membuatku jengkel. Aku pergi saja!"
Yuigahama menatap tajam ke arahku, sambil menenteng tasnya, ia
lalu berdiri. Ia menuju ke pintu sambil berucap, Huh! sembari
berjalan keluar. Kedua bahunya tampak gemetaran.
"Yah, asal kautahu saja... jika kau memberi kesan kalau kau sudah
berusaha keras saat membuat kue kering ini, bukankah itu bisa
membuat hati anak lelaki tersentuh?"
Yuigahama yang sudah berada di depan pintu langsung menoleh ke
belakang. Aku tak bisa melihat ekspresi wajahnya karena silau oleh
sinar matahari senja.
"Hah? Tentu saja aku sangat tersentuh! Maksudku, hanya dengan kau
bersikap baik padaku saja, aku sudah ada di situasi di mana aku bakal
jatuh cinta padamu. Dan berhentilah memanggilku Hikki."
Tanggapku langsung ke intinya.
"Oh, enggak usah cemas, sudah bukan masalah lagi, kok. Lain kali,
akan kucoba dengan caraku sendiri. Terima kasih, ya, Yukinoshita."
Yuigahama lalu berbalik menghadap Yukinoshita sambil tersenyum.
"Sampai ketemu besok." Ia pun beranjak sambil melambaikan
tangan, kemudian berlalu pergi dengan celemek yang masih terpasang
di seragamnya.
— II —
Akhirnya aku mengerti seperti apa inti dari kegiatan Klub Layanan
Sosial. Singkatnya, ini adalah klub yang memberi saran serta
membantu para murid untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
Meski begitu, keberadaan klub ini masih jarang diketahui. Bahkan,
aku sendiri sempat tak tahu kalau klub ini ada. Tapi itu bukan berarti
kalau aku tak mengenal sekolahku sendiri.
Jika dilihat dari sikap Yuigahama yang seolah tak menyadari
keberadaan klub ini sebelumnya, maka harusnya ada orang yang
bertindak sebagai perantara dan mengarahkan orang-orang yang
membutuhkan saran tersebut agar datang ke tempat ini. Perantara itu
pastilah Bu Hiratsuka.
Yah, tampaknya tak ada seorang pun di dunia ini yang ingin dirinya
dibenci. Dilihat dari luar, Yuigahama memang terlihat seperti
perempuan bispak kebanyakan, tapi melihat tanggapannya tadi, ia
malah lebih seperti perempuan biasa pada umumnya.
"Eng, kau tahu, enggak, kalau belakangan ini aku mulai serius dalam
memasak?"
"Saat ini aku tak sedang begitu berselera, jadi terima kasih. Kuterima
niat tulusmu itu dengan senang hati." Yukinoshita mungkin jadi
hilang selera karena ucapan Yuigahama yang menyebutkan kalau ia
sudah membuatkan kue kering untuknya. Karena Yukinoshita orang
yang baik, makanya ia tak mengatakannya dengan blakblakan.
"Tidak, aku lebih senang kalau makan sendirian, jadi aku menolak...
dan tolong jangan memanggilku Yukinon. Terdengar kurang enak di
telinga."
Rasanya tak sopan kalau aku ikut campur, jadi kututup saja buku
bacaanku dan langsung beranjak dari kursi. "Sampai ketemu besok."
Kalimat perpisahan itu kugumamkan pelan-pelan agar tak didengar
oleh mereka. Setelahnya, aku lalu bersiap pergi.
"Ah, Hikki!"
Huruf kanji untuk kata sarkasme adalah 皮肉 (hiniku) yang di dalamnya memuat huruf kanji 肉
(niku) yang berarti daging. Sehingga pada kalimat tersebut, Bu Hiratsuka memang sengaja bermain
kata-kata.
Teori Superstring merupakan teori untuk menyelesaikan masalah dimensi dalam ilmu fisika,
karena saat terjadi Big Bang sewaktu semesta kita terbentuk, diketahui bahwa terdapat sepuluh
dimensi dalam semesta kita, padahal saat ini kita hidup dalam empat dimensi. Dalam teori ini
lintasan dimensi digambarkan sebagai string (tali) dengan panjang tak terhingga. Karena adanya
dimensi yang lebih dari empat itulah kemudian muncul angan-angan ilmuwan untuk bisa pergi
sejauh ribuan hingga jutaan tahun cahaya dalam waktu singkat, yaitu dengan cara lintas dimensi.
Sebenarnya kata yang dipakai pada novel aslinya adalah ビッチ (bitchi), kata serapan dari Bahasa
Inggris yaitu bitch. Tapi untuk kata tersebut, di Jepang konotasinya berbeda dengan arti kata
sebenarnya dari Bahasa Inggris (yang berarti semacam pekerja seks komersial), dan lebih condong
kepada perempuan yang gampang untuk diajak berhubungan seks dengan lawan jenis. Di sini
sengaja memilih istilah bispak (bisa dipakai), karena memang pengertiannya serupa, juga untuk
lokalisasi istilah.
Untuk pergaulan di zaman sekarang, yang membedakan perempuan bisa disebut sebagai
seorang gadis atau seorang wanita, biasanya dilihat dari perawan atau tidaknya perempuan
tersebut. Seorang perempuan bisa disebut sebagai wanita jika sudah pernah berhubungan seks.
Sedang kalau masih disebut sebagai gadis, berarti perempuan tersebut masih perawan dan
cenderung masih dianggap anak kecil.
Hikikomori adalah sebutan bagi orang-orang yang kehidupannya mengurung diri di dalam
kamar. Biasanya mereka menjauhi orang-orang dan sulit bergaul di lingkungan masyarakat.
Ryuu Murakami adalah pengarang novel Almost Transparent Blue yang isi ceritanya memuat
masalah pergaulan bebas dan narkoba di kalangan pemuda Jepang.
Pada LN aslinya kata yang dipakai adalah クッキー (kukkii), kata serapan dari Bahasa Inggris
cookie, dan terdengar seperti 空気 (kuuki) yang berarti udara. Harfiahnya, Hachiman berkata, anak-
anak di kelas memperlakukanku seperti udara.
Sportop adalah merek minuman energi yang populer di kalangan anak SMA.
Standar moral merupakan sebuah dasar dalam memutuskan apakah suatu tindakan atau
aktivitas yang dilakukan benar atau salah.
Namahage adalah orang yang memakai kostum iblis guna menakut-nakuti anak-anak yang
punya kelakuan buruk.
Acara yang dimaksud adalah Ai no Epuron (愛のエプロン), yang di mana saat acara tersebut akan
berakhir, sang pembawa acara menutupnya dengan kalimat, "Memasak adalah sebuah bentuk cinta,
asal ada cinta, cinta saja tak masalah."
Pada novel aslinya, julukan Hachiman adalah Narugaya (ナルが谷), Naru (ナル) di sini adalah
sebuah plesetan yang berarti: Bersikap narsis. Kebetulan cocok dengan kata 'gaya'.
BAB 4
Karena terpaksa, akhirnya kumakan saja roti yang kubeli dari toko
kelontongan ini sendirian. Kalau cuaca sedang hujan begini, biasanya
jam istirahat kuisi dengan membaca novel atau manga, tapi ternyata,
buku-buku itu ketinggalan waktu aku membacanya di ruang klub
kemarin. Ya sudahlah, nanti saja kuambil kalau sudah cukup
istirahatnya.
Saat aku sudah di rumah, banyak hal yang bisa kulakukan bila
sendirian. Contohnya, aku sering beryanyi keras-keras dengan penuh
semangat. Dan ketika adikku datang, biasanya akan kualihkan seperti,
Motto! Mott— ...selamat datang. Tentu saja, aku tak pernah bernyanyi
di dalam kelas.
Biarpun begitu, aku ini ahli dalam memainkan game yang dianggap
sulit oleh para anak lelaki di kursi depan kelasku ini. para anak lelaki
yang kumaksud yaitu mereka yang dengan sengaja membawa PSP ke
sekolah. Kalau tidak salah, mereka itu Oda dan Tahara.
Sewaktu SMP dulu, pernah kulihat ada beberapa orang yang sedang
membahas soal anime, jadi kucoba untuk ikut bergabung dalam
pembicaraan mereka, namun terlihat jelas kalau mereka langsung
bungkam ketika melihatku. Itu hal yang sungguh kejam buatku... di
saat itulah aku berhenti mencoba bergabung dalam keramaian itu.
Dan aku tak pernah menjadi lelaki yang berusaha ingin membuat
orang-orang agar mengikutsertakan diriku, karena itu justru lebih
buruk. Sewaktu kami bermain sepak bola ataupun bisbol saat
pelajaran Olahraga, dua anak lelaki yang cukup populer akan
melakukan suten untuk menentukan siapa yang hendak dipilih. Dan
aku selalu kebagian pilihan terakhir. Saat kuingat kembali diriku yang
masih berumur sepuluh tahun, saat kukenang betapa gugupnya aku
sewaktu mereka mau memilih anggota tim... hal itu hampir bisa
membuatku menangis, serius.
Aku bukanlah orang yang sering sakit-sakitan, tapi itu sebabnya aku
mulai payah dalam hal olahraga. Aku menyukai bisbol, namun aku
tak bisa menemukan orang yang mau bermain denganku... Jadi
sewaktu masih kecil, aku selalu bermain dengan tembok atau berlatih
penguasaan lapangan seorang diri. Aku benar-benar telah terbiasa
bermain bisbol sendirian; aku sempat berpura-pura ada para pemain
khayalan di lapangan ataupun di area pemukul.
Bahkan di dalam grup tersebut, terdapat dua orang yang bersinar lebih
terang dibanding yang lainnya:
Hayato Hayama.
"Enggak, deh, hari ini aku enggak bisa. Aku ada latihan."
"Masa enggak bisa izin sehari, sih? Hari ini double scoop di Baskin-
Robbins sedang diskon, lo~~ aku mau beli yang rasa chocolate-
cocoa."
"Eh? Ya jelas beda, lah! Lagi pula, sekarang aku benar-benar lapar,
nih."
Rambut pirangnya ditata ikal melingkar, dan bila dilihat dari caranya
berseragam yang tak beraturan hingga ke pundaknya itu, kita pasti
berpikir kalau ia bangga akan hal tersebut. Haruskah ia berdandan
seperti PSK atau semacamnya? Dan roknya begitu pendek sampai-
sampai sulit menebak maksud dari caranya berbusana.
Ia punya tubuh yang bagus juga wajah yang cantik, tapi kelakuan
konyol dan penampilan hebohnya kian menegaskan ketidaksukaanku
padanya. Atau bisa saja, aku cuma takut pada dirinya. Kita tak pernah
bisa tahu apa yang bakal ia katakan pada kita.
Yah, konon, kita tak perlu punya alasan untuk berbicara dengan orang
lain, jadi itu bukanlah masalah.
Sementara itu, Hayama dan Miura masih saja saling bersenda gurau.
"Bwaha..."
"Tapi tetap saja, Yumiko. Kalau terlalu banyak makan nanti kau
bakal menyesal."
"Asal tahu saja, sebanyak apa pun aku makan, aku enggak akan jadi
gemuk. Ahh, kurasa aku harus ke sana, terus makan yang banyak. Ya
'kan, Yui?"
"Dengar sendiri, 'kan? Hari ini aku mau makan yang banyaaak
sekali!"
"Ehh, masa, sih? Tapi bukankah anak yang bernama Yukinoshita itu
juga punya kaki yang memesona?"
"Ah, benar juga. Yukinon juga punya kaki yang cukup memesona..."
"..."
"Yah, lagi pula, menurutku itu enggak akan jadi masalah. Kalau mau
menunggu hingga usai latihan, kita bisa pergi bareng."
"Oh, ya? Kalau begitu sekalian titip belikan aku teh lemon saat kau
kembali nanti, ya. Aku benar-benar lupa bawa minum hari ini. Kau
tahu sendiri, 'kan? Bekal yang kubawa itu roti, jadi sulit kalau enggak
dibarengi sama minum teh."
"A-ah, ta-tapi aku mungkin enggak bisa kembali sampai jam kelima,
jadi bisa-bisa jam makan siangnya sudah selesai, dan juga, eng... kau
tahu, lah..."
Saat Yuigahama mengatakannya, wajah Miura pun langsung
menegang.
"Eh? Tunggu, tunggu, ada apa ini? Kau sadar, enggak, Yui?
Belakangan ini kau sering sekali telat pulang. Entah hanya perasaanku
atau kau sepertinya enggak mau lagi kumpul-kumpul bareng kita?"
"Ah, yah, soalnya, eng... aku masih ada urusan dan yah, urusan
pribadi juga, sih, jadinya, aku benar-benar minta maaf, tapi, eng..."
Dalam emosi tiba-tiba sang ratu, seisi kelas langsung jatuh dalam
keheningan. Bahkan Oda dan Tahara (atau siapalah namanya)
mengecilkan suara PSP-nya hingga di volume terendah. Hayama
beserta komplotan lainnya dengan canggung menundukkan
pandangan matanya ke lantai.
"Yah, mana mungkin aku tahu soal urusanmu itu, ya 'kan? Kalau ada
yang ingin kausampaikan, katakan saja. Kita ini teman, 'kan? Kau
juga tahu sendiri, menyembunyikan sesuatu dari teman itu enggak
baik. Aku benar, 'kan?"
"Maaf..."
"Bukan, bukan, bukan itu yang mau kudengar. Ada sesuatu yang tadi
mau kausampaikan padaku, 'kan?"
Tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa berkata apa-apa saat
dihadapkan pada pernyataan tersebut. Miura tak punya niat untuk
mengobrol, bahkan ia tak mengajukan satu pun pertanyaan. Ia hanya
ingin Yuigahama meminta maaf kemudian menyerang perempuan itu.
Tindakan yang sangat konyol. Jika ia mau saling bunuh seperti itu,
setidaknya lakukan sewaktu tak ada orang.
Jangan salah sangka. tak sedikit pun aku berniat menolong perempuan
itu. Tapi ketika perempuan yang kita kenal hampir mau menangis di
hadapan kita, itu bisa membuat perut teraduk-aduk dan selera makan
langsung hilang. Aku hanya ingin menikmati makan siangku...
Dan juga, diserang seperti itu adalah hakku. Aku tak bisa begitu saja
menyerahkan hakku pada orang lain.
"Hei, kau—"
"Berisik!"
"...tahu, tidak, kapan hujannya berhenti? Ka-kalau saja tadi aku bawa
payung, ya, hahaha."
"Asal kautahu, aku berkata begini itu demi kau, Yui. Tapi sikap plin-
planmu itu benar-benar membuatku kesal."
"...maaf."
"Begitu lagi?"
Duh, sudahlah, hentikan saja. Apa ia tak begitu peduli dengan orang-
orang yang menonton kejadian ini? Aku tak tahan lagi dengan
suasana penindasan ini. Bisakah ia berhenti membuat orang-orang
terpaksa menonton drama remaja yang dimainkannya ini?
"Hei, Yui, kau sedang lihat ke mana? Kau tahu, dari tadi yang
kaulakukan itu cuma meminta maaf saja."
—
Suara yang menggema di seisi ruangan itu bahkan lebih dingin dan
kejam dibanding suara Miura sebelumnya. Semua yang
mendengarnya pun gemetar ketakutan. Suara itu bagai badai yang
berhembus dari Kutub Utara, sekaligus begitu indah layaknya aurora.
Tak ada seorang pun di planet ini yang mampu bersuara seperti itu
selain Yukino Yukinoshita.
Sang Ratu Api naik pitam, dan kobaran apinya semakin memanas.
"Ada apa? Aku tak punya banyak waktu untuk meladenimu. Aku
masih belum menikmati makan siangku."
"Ha-hah? Kau sendiri yang tiba-tiba muncul, tapi malah enggak sadar
dengan ucapanmu? Aku ini sedang bicara dengan Yui!"
"Ap—?!"
"Maaf, aku tak menyadari sebelumnya. Kuakui kalau aku tak begitu
paham mengenai cara hidupmu, jadi jangan salahkan aku jika yang
kaulakukan tadi kuanggap sama seperti primata yang berusaha
mengintimidasi sesamanya."
Bahkan Sang Ratu Api pun membeku di hadapan Sang Ratu Es.
"Ooo..."
"...eh, kau ini bicara apa? Aku sama sekali enggak paham."
Tak seorang pun mencoba bicara pada gadis itu dalam suasana seperti
ini. Bahkan Hayama sekalipun yang biasanya pandai dalam menjaga
suasana, hanya bisa menguap seolah berusaha membuyarkan
kecanggungan yang ada.
"Baik."
Hei, hei. Suasana macam apa ini... situasi begini benar-benar terasa
tak nyaman, dan rasanya sesak kalau berlama-lama di sini. Dan tanpa
kusadari, lebih dari separuh teman sekelasku sudah mulai pergi dari
ruangan ini, dengan alasan kalau mereka haus atau sedang ingin ke
kamar kecil. Yang masih tersisa hanyalah Hayama, Miura dan
grupnya, serta beberapa anak yang masih diliputi rasa penasaran.
Kurasa aku harus mengambil kesempatan ini untuk mengikuti arus
besar yang menuju pintu keluar! Serius, andai suasana di sini menjadi
tambah kelam, bisa-bisa aku akan kehabisan napas kemudian mati.
— II —
[...eng, maaf. Kau tahu, aku jadi agak resah sewaktu enggak bisa
mendekatkan diri sama orang lain... yah, anggap saja kalau aku selalu
merasa was-was... mungkin kau jadi jengkel karena hal itu.]
[...]
Sesekali bisa kudengar suara mirip isakan dari dalam kelas. Setiap
kali itu terdengar, bisa kulihat bahu Yukinoshita tersentak. Ia buka
sedikit kelopak matanya dan berusaha mengetahui keadaan kelas
hanya dengan melihat saja. Sungguh konyol, apanya yang bisa dilihat
kalau dari sana? Jika ia memang cemas, ya masuk saja ke dalam.
Perempuan ini sungguh tak jujur akan perasaannya sendiri, dasar...
[Setelah melihat hal itu, aku mulai berpikir kalau usahaku untuk
selalu berusaha mendekatkan diri dengan semua orang itu ternyata
salah... maksudku, Hikki tetaplah seorang Hikki. Sewaktu istirahat ia
habiskan waktunya untuk membaca sambil terkikih-kikih... memang
menjijikkan sih, tapi ia terlihat menikmatinya.]
"Kupikir hanya di ruang klub saja kau berkelakuan aneh begitu, tapi
rupanya di ruang kelasmu pun kau tetap sama. Sungguh perilaku yang
menjijikkan, sebaiknya kau hentikan itu."
"Mana mungkin aku mau. Siapa pula yang sudi menegurmu saat kau
bersikap semenjijikkan itu?"
[Jadi kupikir, mungkin aku enggak mesti berusaha sekeras itu dan
lebih santai menghadapinya... atau semacam itu, lah. Bukan berarti
aku membencimu, Yumiko. Setelah ini... kita masih bisa... akrab lagi,
'kan?]
[...hmm. Ya, sudah. Terserah saja. Aku juga enggak masalah.]
Maksudku, aku yang begini pun bisa merasa sedih kalau dihujani
cacian sebanyak itu. Dan tak perlu ia tegaskan bagian terakhirnya itu
dengan wajah serius. Sial... rasanya kini aku benar-benar terluka.
Aku jadi berbicara sendiri. Aku memang sendirian, jadi itu hal yang
wajar.
Dan untuk menjadi seorang riajuu, kita harus selalu peka terhadap
jenjang sosial dan pemilahan kekuasaan, karenanya, hal tersebut
sangatlah sulit.
Dalam LN aslinya Hachiman membandingkan antara kalimat 後の祭り, ato no matsuri dengan
祭りの後, matsuri no ato, yang merupakan sebuah ungkapan, yang jika dalam Bahasa Indonesia mirip
seperti ungkapan 'nasi sudah menjadi bubur', yang menandakan sesuatu yang sudah terlambat.
Mengacu pada serial Ojamajo Doremi.
BAB 5
Mungkin agak telat mengatakan hal ini, tapi yang kutahu, Klub
Layanan Sosial punya peran untuk mendengarkan masalah para murid
dan berusaha membantu mereka.
"Eh? Ah, soalnya aku lagi punya banyak waktu senggang 'gitu, lo."
" 'gitu, lo? Aku tak paham yang kaukatakan. Lagi pula, apa-apaan
itu? Memangnya kau ini orang Hiroshima, apa?"
"Huh. Hanya karena kau lahir di Chiba, bukan berarti bisa seenaknya
saja mengaku kalau kau orang Chiba."
"Hei, Hikigaya. Aku sungguh tak mengerti apa maksudmu tadi..."
"Kutu kayu!"
"Miso kedelai!"
"Kalau hanya dari situ sampai ke situ saja, bukan Chiba namanya!"
"Ramen... aku tak begitu sering memakan ramen, jadi aku kurang
begitu tahu..."
"Hmm? Dengar, kok. Ah, tapi di sekitar sini juga ada beberapa kedai
yang mantap, lo. Soalnya di sini itu dekat sama rumahku, makanya
aku mengerti betul daerah ini. Rumahku jaraknya kira-kira lima menit
dari sini. Aku juga sering melihat ada beberapa kedai sewaktu jalan-
jalan sama anjingku."
Cih.
— II —
"Hyaaah!"
Reaksi macam apa itu? Itu mengingatkanku tentang hal yang bakal
terjadi kalau aku menjumpai kucing peliharaanku di ruang tamu saat
tengah malam.
"Cukup sampai di situ. Bisakah kau berbaik hati masuk ke dalam dan
menanyakan siapa dirinya?"
Kulakukan saja apa yang sudah diminta, berdiri di depan kedua gadis
tersebut dan dengan hati-hati membuka pintu. Aku lalu melangkah
masuk.
Sewaktu aku membuka pintu, semilir angin melewati kami. Itu adalah
ciri khas angin dari sekolah yang dibangun di daerah sekitar laut, dan
angin tersebut membuat pusaran di sekeliling ruang klub,
menghamburkan kertas-kertas.
"Ku ku ku, sungguh tak disangka kita akan bertemu di tempat seperti
ini. Telah lama aku menantimu, Hachiman Hikigaya."
Dan pada akhirnya, sosok tersebut ternyata... oh, tidak, lupakan saja.
Aku tak punya urusan dengan Yoshiteru Zaimokuza.
Aku sudah tak tahan lagi hingga melontarkan bantahan tersebut, yang
membuat Zaimokuza sampai menyengir.
Yah, karena sudah sejauh ini, kita mungkin bisa bilang kalau anak ini
begitu menggebu-gebu. Kita mungkin bisa bilang kalau ia adalah
salah satu dari orang-orang itu.
"Nama anak ini Yoshiteru Zaimokuza... kami dulu pernah jadi rekan
saat senam."
"Hmm... aku pun harus bilang setuju. Betul sekali, aku memang tak
punya teman... aku memang sendirian. (hik)"
"Yah, kurasa itu bukan masalah. Lagi pula, kelihatannya ada sesuatu
yang temanmu inginkan darimu."
Untuk apa sebenarnya ia tertawa tadi? Baru pertama kali kudengar hal
yang seperti itu.
"Lalu apa yang terjadi pada malaikat pelayan tadi? Lagi pula, kenapa
kau cuma melihat ke arahku?"
"Goram, goram! Hal sepele semacam itu tak begitu punya arti di
hadapan kita! Aku akan membuat pengecualian untuk kasus ini."
"Aku minta maaf. Jika dibandingkan masa lalu, tampaknya hati para
pria telah dikotori di masa kini. Oh, betapa aku merindukan masa-
masa suci sewaktu Era Muromachi... tidakkah kau ikut merasakannya,
Hachiman?"
"Ku, ku, ku... seolah kematian bisa membuatku takut. Itu hanya
memberikanku sebuah dunia baru untuk kutaklukan!"
"Uwaaah..."
"Ada apa sebenarnya ini? Ada apa dengan si jenderal ahli pedang
atau apalah namanya itu?"
Menghadapi itu, aku merasa jika satu kalimat saja sudah cukup untuk
menjawab pertanyaan tersebut.
"Chuu-ni-byou?"
Terserah, deh, kurasa setiap orang yang pernah melalui masa SMP,
setidaknya pernah sekali berpikir begitu di dalam hidupnya. Kurasa di
satu titik, setiap orang pernah berdiri di hadapan cermin dan
mengatakan hal semacam, Selamat malam para pemirsa setia
countdown TV. Eng... kali ini kami punya lagu baru yang bercerita
tentang cinta, dan saya sendiri yang menulis liriknya...
Dengan kata lain, chuunibyou adalah contoh ekstrim dari hal tersebut.
Lewat ucapanku tadi, aku telah menjelaskan secara singkat apa itu
chuunibyou, dan Yukinoshita kelihatan puas atas jawabanku. Sering
sekali aku memikirkan hal ini, tapi aku selalu kagum akan betapa
cepatnya perempuan ini berubah pikiran. Baru sebentar saja aku
menjelaskan sebuah hal dan ia sudah sepuluh langkah di depanku,
biarpun begitu, ia tak pernah membutuhkan penjelasan panjang kalau
ia belum mengerti betul situasinya.
"Aku enggak mengerti maksudnya..."
"...yah, begitulah."
"...jadi maksudmu, masih ada lagi yang lebih parah dari itu?"
"Benar."
"Menjijikkan..."
"E-eh..."
Yang jelas aku tak berusaha mengelak. Karena aku tak sama dengan
Zaimokuza. Kutatap balik Yukinoshita dengan penuh percaya diri.
Karena yang dikatakannya itu tidaklah benar.
Aku tak lagi mengkhayalkan hal-hal konyol, dan tak lagi menulis
buku harian dunia roh maupun laporan pemerintah. Satu-satunya yang
belakangan ini masih kutulis dalam ingatanku yakni Daftar Orang-
Orang Yang Takkan Kumaafkan. Tentu saja, orang pertama dalam
daftar itu ialah Yukinoshita.
Aku tak lagi memainkan model plastik Gundam sambil membuat efek
suara dengan mulutku sendiri, dan aku tak lagi bermain-main dengan
jepitan baju untuk menciptakan sosok robot terkuat. Aku pun sudah
tak lagi menggunakan karet gelang serta kertas alumunium sebagai
senjata pertahanan diri. Aku juga sudah berhenti mencoba ber-cosplay
dengan mantel ayahku serta syal berbulu milik ibuku.
Yah, bukan berarti kalau aku tak punya simpati. Sebelum aku tahu
seperti apa sosok asli Yukinoshita, aku pun sering merasa gugup dan
tak bisa menatap langsung wajahnya setiap kali ia bicara padaku.
"..."
"Ba-baik..."
"Lalu kenapa kau mengenakan sarung tangan fingerless? Apa itu ada
kegunaannya? Kau tak bisa melindungi jari-jarimu kalau seperti itu."
"...ah, iya. Eng... ini adalah sesuatu yang kuwarisi dari kehidupanku
yang sebelumnya, satu dari kedua belas alat surgawi milikku, zirah
istimewa yang bisa menembakkan berlian, jadi agar lebih mudah
digunakan saat bertarung, kubiarkan saja jari-jariku tak terlindungi...
pastinya begitu! Fuwahahaha!"
Mungkin saja di titik itu ia merasa tak tega pada Zaimokuza, soalnya
Yukinoshita mendadak berubah dan memperlihatkan ekspresi
bersahabat.
Uh! Aku sungguh tak sanggup lagi menyaksikan hal ini! Zaimokuza
sudah begitu menyedihkan. Entah kenapa aku jadi ingin melemparkan
rakit penyelamat ke arahnya.
Saat kuambil kertas tersebut, kulihat kumpulan aksara sulit kanji yang
saling berjejer, dan perhatianku benar-benar tercuri oleh lembaran
kertas ini.
"Lo, ini..."
"Itu apa?"
"Ini apa?"
Jadi, sama sekali bukan hal aneh bagiku jika Zaimokuza berkeinginan
menjadi seorang penulis light novel.
"Di internet, ada situs tempat kau bisa memajang karyamu sekaligus
meminta tanggapan dari para pembaca, jadi kenapa kau tak
mencobanya saja dulu?"
"Percuma. Orang-orang di sana tak punya belas kasihan. Terlalu
banyak kritikan, bisa-bisa aku bakal mati."
...dasar lemah.
"Biar begitu..."
— II —
Kalau aku boleh menebak langsung genre dari light novel karangan
Zaimokuza, aku akan bilang kalau itu adalah novel aksi kekuatan
super yang berlatar di sekolah.
Ceritanya berlangsung di sebuah kota kecil di Jepang, di sebuah
tempat di mana organisasi rahasia kegelapan yang terselubung beserta
orang-orang berkekuatan super dengan kenangan masa lalu mereka
saling berjuang satu sama lain. Di tengah-tengah itu, seorang pemuda
yang biasa-biasa saja mendadak bangkit kekuatan tersembunyinya
dan secara spektakuler mulai menumbangkan satu persatu musuhnya.
"Eh?"
— II —
Wuah... rasanya aku baru saja tersadar. Hampir saja aku lepas kendali
setelah terpedaya penampilan cantiknya tadi. Serius, aku lebih senang
kalau disuruh membuat gadis ini agar tertidur selamanya.
"Tak semua light novel sama seperti yang dibuat Zaimokuza itu. Ada
lumayan banyak yang bagus untuk dibaca."
"Maaf. Aku tak begitu paham mengenai hal semacam ini, tapi..."
"Oofgh!"
"H-hmm... baiklah, untuk referensiku, bisa kau beri tahu bagian mana
yang membosankan?"
"Ufgh! O-ooo... kau salah paham! Belakangan ini, semua novel aksi
supernatural memang sering menggunakan banyak furigana..."
"Kau melakukan ini sesuai dengan seleramu saja. Hal seperti ini
takkan mampu membuat siapa pun mengerti. Apa kau benar-benar
ingin agar orang lain membaca karyamu ini? Jujur, kalau kau ingin
agar orang lain membacanya, kau harus membuat cerita ini supaya
sedikit sulit ditebak. Aku bisa memprediksi yang akan terjadi pada
cerita khayalan macam ini dan tak ada tanda-tanda ceritanya akan jadi
lebih menarik. Dan juga, kenapa tokoh utama perempuannya sampai
melepas pakaian di sini? Sama sekali tak ada gunanya."
"Heng...! Ta-tapi novel yang tak memasukkan unsur semacam itu, tak
bakal laku... jadi mau tak mau harus... begitu..."
"Pnnghyahhh!!"
"Kita hentikan saja dulu. Bisa gawat kalau kau melakukan semua itu
dalam sekali duduk."
"Padahal masih banyak yang ingin kukatakan... tapi, ya sudahlah.
Kurasa berikutnya giliran Yuigahama."
"Eh? A-aku?!"
"Uwaaagghhhh!!"
"Kau benar-benar menghabisinya..."
Bagi seorang novelis ambisius, komentar tersebut sama saja seperti
penolakan. Lagi pula, jika dipikir baik-baik... cuma itu saja satu-
satunya hal bagus yang ada di novel Zaimokuza. Itu kalimat yang
wajar diucapkan oleh orang-orang yang tak begitu mengenal light
novel saat mereka dimintai pendapat oleh sang penulis. Dan itu benar-
benar tak ada bedanya dengan berkata bahwa karya tersebut sama
sekali tak menarik.
"...kau memang tak kenal ampun. Itu jelas lebih kejam dari
pendapatku tadi."
"...hei..."
"Yah, yang penting itu ilustrasinya. Tak usah terlalu cemas soal
penulisannya."
— II —
Aku tak percaya dengan yang kudengar. Aku terdiam, tanpa mampu
memahami yang ia ucapkan. Ia mengulanginya kembali, tapi kali ini
lebih jelas dan lebih keras terdengar.
"Setelah semua yang kaualami hari ini, kau masih mau melakukannya
lagi?"
"Ya, aku mengerti maksudmu. Aku pun bakal merasa ingin mati
kalau ada yang bicara sekejam itu padaku."
Tak mungkin aku bisa menolaknya. Lagi pula, ini merupakan fase
terakhir dari keadaan mental Zaimokuza setelah ia bergumul dengan
chuunibyou yang diidapnya selama ini. Meski orang-orang
menganggapnya sakit, meski orang-orang memandang sinis dirinya,
meski orang-orang mengabaikan ataupun mengejeknya, ia takkan
pernah meyurutkan tekadnya, ia takkan pernah menyerah, dan ia akan
terus berusaha membuat khayalannya itu agar menjadi kenyataan.
— II —
Setelah kejadian itu, beberapa hari pun berlalu.
"Jangan terlalu percaya diri dulu. Pikirkan itu kalau kau sudah
menjuarai kompetisinya."
Ultra Quiz Lintas Prefektur Chiba merupakan plesetan dari kuis terkenal yang bertajuk 'America
Oudan Ultra Quiz (アメリカ横断ウルトラクイズ)'
Mengenai soal pemetaan wilayah Chiba, silakan dilihat di tautan ini
BAB 6
Apa Jepang akan baik-baik saja jika terus seperti ini? Artikel tadi
sungguh tak berkelas, tapi tetap saja adikku mengangguk-anggukan
kepala sewaktu membacanya. Bagian mana yang sebenarnya ia
setujui itu?
"Uwaah... gawat!"
Setelah berteriak begitu, Komachi segera menutup majalahnya lalu
berdiri.
Adik perempuan adalah makhluk yang aneh. Tak peduli semanis apa
mereka, kita takkan pernah merasakan apa-apa. Bagiku, pakaian
dalamnya tak lebih dari sekadar potongan kain. Ia memang manis,
tapi pada akhirnya yang muncul di pikiranku adalah fakta kalau ia
mirip denganku... adik perempuan yang sebenarnya memang seperti
itu.
Meski begitu, saat aku menekankan bagian susu yang diminum adikku
seperti tadi, kedengarannya justru agak erotis dan tak bermoral.
Terserahlah, aku sama sekali tak peduli.
Bukan berarti aku mengambil gula dan susu ini karena terpengaruh
susu yang diminum adikku tadi. Aku cuma ingin menambahkan
bahan-bahan tersebut pada kopiku saja.
Biarpun begitu, andai disuruh, aku masih bisa meminum kopi hitam,
kok.
"Hidup sudah terlalu pahit, paling tidak kopi harus terasa manis..."
Hal ini berlangsung sejak beberapa bulan lalu, tapi adikku yang bodoh
ini memang sering telat bangun, dan kalau sudah ada tanda-tanda ia
bakal telat, kududukkan ia di sadel belakang lalu kuantar ia ke
sekolah.
Sejak saat itu, sedikit demi sedikit, frekuensi aku mengantar dirinya
ke sekolah semakin meningkat.
Tak ada yang lebih membuat kita tak tega selain air mata seorang
perempuan. Terutama bagi Komachi, yang rupanya diberkati berbagai
keahlian yang biasanya dimiliki oleh seorang adik perempuan, yang
juga lihai memanipulasi kakak laki-lakinya. Karena dirinya itu, di
benakku pun telah tertanam sebuah pemikiran kalau semua
perempuan di dunia ini sama seperti Komachi, yang suka
memanfaatkan lelaki demi kepentingannya sendiri.
"Kalau aku sampai tak percaya lagi sama perempuan, itu salahmu, lo,
ya. Bagaimana jadinya kalau sampai tua nanti aku masih tetap
melajang?"
Kuteguk sisa kopiku yang ada di gelas lalu berdiri. Sewaktu aku
melakukannya, Komachi mulai mendorongku dari belakang.
Dengan kata lain, tak hanya di sekolah saja aku berada di lapisan
terbawah dalam pergaulan, tapi di keluargaku sendiri pun aku tetap
ada di posisi terbawah.
"Let's go!"
"Hari ini jangan sampai tabrakan, ya. Soalnya Komachi ini lagi
boncengan bareng Kakak, lo."
"Bukan, bukan begitu. Duh, Kakak ini... kadang mata Kakak itu
seperti ikan mati, makanya aku khawatir. Ini yang dinamakan kasih
sayang seorang adik, paham?"
Sambil mengatakannya, Komachi membenamkan wajahnya di
punggungku. Kalau saja ia tak mengucapkan kalimat kejam di awal
tadi, mungkin aku bakal tergoda menyebut dirinya manis, tapi yang
ada, kini aku merasa kalau ia cuma anak yang licik.
Jelas aku tak mau mengulangi hal yang seperti itu lagi. Soalnya yang
selalu kudengar hanyalah keluhan, Aduh, sakit! Kena bokongku, nih!
Kalau begini, aku takkan bisa menikah! Makanya aku mengambil
jalan yang cukup datar. Akibat semua rengekannya itu, aku jadi
sempat mendapat reputasi buruk di lingkunganku...
Kira-kira saat itu masih sekitar jam tujuh pagi. Seorang perempuan
yang sedang jalan-jalan bersama anjingnya di seputaran sekolah tahu-
tahu kehilangan pegangan atas tali kekang anjingnya. Nahasnya, di
saat yang sama, sebuah mobil limusin mewah juga tengah melintas di
jalan raya. Tanpa kusadari, sepedaku sudah meluncur kencang ke
arahnya.
Andai aku seorang pemain sepak bola, mungkin suasana kelam akan
menyelimuti dunia persepakbolaan Jepang kala itu. Untunglah aku
bukan pemain sepak bola.
Aku juga merasa beruntung karena cedera yang kualami tak begitu
parah.
Mereka menjengukku setiap tiga hari sekali. Sial, harusnya mereka itu
menjengukku setiap hari...
Semenjak kecelakaan itu, adik dan kedua orang tuaku mulai sering
makan di luar. Setiap kali adikku datang menjenguk dan membahas
soal mereka yang pergi makan sushi ataupun barbeque ala Korea,
rasanya aku jadi ingin mendekati lalu mematahkan kelingkingnya itu.
"Tapi syukurlah Kakak cepat sembuh. Aku yakin, gips itu pasti
sangat membantu. Gips memang mujarab untuk menyembuhkan luka
memar!"
"Dasar bodoh, jangan disamakan gips dengan salep. Lagi pula, aku
itu kena patah tulang, bukan luka memar."
"'Gini, Kak..."
"Eh? ' Gini? Kau sudah ketularan Issei Fuubi Sepia, ya? Jadul
banget, deh."[3]
"Begini, Kak... kayaknya ada yang enggak beres sama kuping
Kakak."
"Soalnya Kakak waktu itu lagi tidur. Ia juga bawa kue, lo. Rasanya
enak banget."
"Hei, aku benar-benar tak ingat kalau ada kue. Teganya kau
memakan semuanya tanpa bilang-bilang?"
"Padahal perempuan itu satu sekolah kok sama Kakak, masa belum
pernah ketemu? Ia bilang mau berterima kasih langsung pada Kakak
saat sudah di sekolah nanti."
"...kau ini, kenapa tak memberi tahu aku sebelumnya? Kau ada
pernah menanyakan nama atau hal lain padanya?"
"Memangnya kita lagi bahas Festival Bon, apa? Jangan bicara seakan
kau itu penjual dendeng. Jadi siapa namanya?"
"Hmm... aku lupa. Ah, sudah dekat sekolahku, nih. Komachi duluan,
ya!"
Segera setelah berkata begitu, Komachi melompat dari sepedaku lalu
berlari menuju gerbang sekolahnya.
"Anak ini..."
Akan tetapi, fakta bahwa kami tak pernah bertemu setelah kejadian itu
selama setahunan ini membuatku berpikir kalau ia memang tak begitu
ingin bertemu denganku... yah, memang hal yang wajar, sih. Yang
kulakukan cuma menyelamatkan anjingnya dengan mengorbankan
tulang kakiku. Jadi sudah cukup baginya untuk mengirimkan tanda
terima kasih ke rumahku.
"...dasar bodoh."
Dan sewaktu aku memutar sepedaku lalu bergegas melaju ke arah
berlawanan, kulihat Komachi sudah berlari ke arahku sambil
berlinang air mata.
— II —
Hingga bulan kemarin, kami harus memilih antara bola voli ataupun
lari. Dan untuk sekarang, pilihannya adalah tenis atau sepak bola.
Akan tetapi, tampaknya tahun ini banyak sekali anak yang ingin
bermain tenis. Lalu setelah melewati pertarungan suten yang heroik,
akhirnya aku pun bertahan dalam grup tenis sedangkan Zaimokuza
terpaksa masuk ke grup sepak bola.
"Baik, sekarang ayo kita praktikkan. Buat pasangan, lalu tiap anak
tempati masing-masing sisi lapangan."
Aku tidak takut. Aku sudah mengembangkan trik khusus untuk saat-
saat seperti ini.
"Eng... saya sedang tak enak badan, Pak. Jadi boleh saya berlatih
sendiri dengan tembok? Soalnya saya tak mau merepotkan yang
lain."
Pernyataan, Tak enak badan serta Tak mau merepotkan yang lain,
punya efek sinergi yang besar. Dan dengan memakai kalimat itu aku
juga bisa bersikap santai seolah aku memang punya motivati untuk
berusaha keras.
Begitulah. Ini tindakan pencegahan yang kudapatkan setelah melalui
begitu banyak pelajaran Olahraga sewaktu disuruh berpasangan
dengan siapa saja sesukanya. Mungkin kapan-kapan aku akan
mengajari ini ke Zaimokuza... aku yakin anak itu akan senang dan
menangis bahagia.
Lalu kudengar sorakan riuh dari sekitarku sewaktu para anak lelaki
lain sedang memainkan tenis yang tampak heboh itu.
"Uryoaah! Wuoh?! Itu pukulan yang hebat, 'kan?! Luar biasa, 'kan?!"
"Iya, hebat! Enggak ada yang bisa memukul kayak begitu! Keren!"
Berisik, mati saja sana... Pikirku sewaktu aku menoleh dan melihat
Hayama.
"Ah, kurasa tadi aku tak sengaja memilin bolanya... maaf, itu
salahku."
Hayama mengangkat tangannya untuk meminta maaf, namun kata-
katanya justru tenggelam oleh sikap berlebihan si rambut pirang
sebelahnya.
"Hayama juga hebat bermain tenis, ya? Bola yang melengkung tadi...
bisa ajari aku caranya, enggak?"
Anak yang bicara lalu mulai berjalan mendekati Hayama tadi punya
rambut yang dicat cokelat, dan anehnya ia terlihat cukup kalem. Kami
mungkin satu kelas. Aku juga tak tahu namanya, jadi itu tak begitu
penting.
"Melengkung!"
"Ah, maaf, maaf! E-eng... hei, Hikitani, ya? Hikitani, bolanya lempar
ke sini, dong."
Tapi aku tak ingin membenarkan ucapannya, jadi kuambil saja bola
yang menggelinding ke arahku itu kemudian kulemparkan padanya.
...bicara soal itu, aku masih penasaran kenapa istilah tembok berlapis
sering ditujukan untuk payudara kecil?
Baiklah, anggap saja kami seri hari ini... yak, rasanya juga memang
begitu.
— II —
Dengan santai kumakan wiener roll, onigiri isi tuna, dan Neapolitan
roll yang kubeli dari kantin ini.
Para gadis dari Klub Tenis memulai latihan pribadinya di siang hari,
itu sebabnya mereka berada di sisi luar dekat tembok; mereka
memukul bolanya lalu dengan heroik mengejar untuk
mengembalikannya, kemudian mereka memukulnya kembali.
Angin yang sama ikut membawa suara yang tak asing ke telingaku.
Saat aku menoleh, kulihat Yuigahama sudah berdiri sambil
menggenggam roknya supaya tak tertiup angin.
"..."
"Oh, iya! Sebenarnya aku kalah main suten sama Yukinon, jadi... bisa
dibilang ini hukumannya."
"Awalnya Yukinon enggak mau. Aku bisa beli makan sendiri. Lagi
pula, apa untungnya bagiku memenangkan permainan tak penting
ini? Begitu katanya."
"Betul, terus aku bilang, Jadi kau merasa kalau enggak bisa menang,
ya? Habis itu ia setuju mau ikut."
Perempuan itu biasanya terlihat begitu kalem, namun beda cerita jika
ada yang menantangnya, soalnya ia benci sekali kalah. Ia langsung
setuju mengikutinya sama seperti waktu Bu Hiratsuka menantangnya
dulu.
"Kurasa ini pertama kalinya aku merasa begitu senang saat mengikuti
permainan hukuman."
"Cih, rupanya itu sudah jadi klub yang agak eksklusif bagimu."
Tapi itu adalah bukti kalau ia telah berubah, walaupun itu hanya
sedikit.
"Maksudnya?"
"Hmm? Begini, tak terelakkan itu mengacu pada suatu wujud atau
keadaan yang mustahil ditentang oleh kemampuan manusia. Maaf
kalau aku memakai kata-kata sulit."
"Uhuk uhuk uhuk! Eh...? Ah, aku tak begitu ingat, soalnya hari itu
aku kecelakaan."
"Kecelakaan..."
Mungkin ada yang sudah kulebih-lebihkan pada cerita itu, tapi tak
mungkin juga ada orang lain yang tahu... sekalipun ada yang tahu,
paling-paling juga tak ada yang mau membahasnya. Karena itu, di
situasi begini ada baiknya bagiku untuk terlihat sedikit lebih keren.
"Mi-milik orang bodoh, ya... jadi Hikki sama sekali enggak ingat
wajahnya?"
"Karena saat itu aku kesakitan, makanya aku tak begitu ingat. Yah,
yang jelas tak ada kesan yang begitu membekas di ingatanku, jadi
kurasa ia orang yang biasa-biasa saja."
"Ada apa?"
"Begitulah, seperti yang tadi kubilang, aku memang tidak ingat... eh,
tunggu. Memangnya tadi aku ada bilang kalau itu perempuan?"
"Eh?! I-iya, tadi kau bilang begitu, kok! Benaran! Soalnya, dari tadi
yang kaubahas, ...perempuan ini, perempuan itu, perempuan ini,
perempuan itu!!"
"Memangnya aku semenjijikkan itu, ya...?"
Kurasa saat itu waktunya para gadis dari klub Tenis untuk
menghentikan latihan mereka; mereka menyeka keringatnya lalu
kembali ke kelas.
"Hei! Sai~~!"
"Iya. Saat ini tim kami benar-benar lemah, karena itu kami harus
berlatih saat istirahat makan siang... kami sudah berulang kali
meminta izin dari pihak sekolah supaya bisa menggunakan lapangan
ketika istirahat, untunglah mereka akhirnya memperbolehkannya. Oh,
iya. Yuigahama dan Hikigaya sedang apa di sini?"
"Sai, kau enggak hanya bermain tenis saat pelajaran Olahraga, tapi
saat istirahat makan siang juga... rasanya pasti berat."
"Iya, tapi aku juga memang mau, kok, jadi tidak masalah... oh, iya,
Hikigaya, ternyata kau cukup hebat bermain tenis, ya."
"Masa, sih?"
"Dasar bodoh, tentu saja aku tahu! Tadi aku hanya lupa! ...soalnya
laki-laki dan perempuan dipisah saat pelajaran Olahraga!"
"A-ah, maaf kalau begitu. Soalnya kita baru saja naik kelas dua, jadi
aku agak sulit mengenali murid lain... haha."
"Bukan, bukan begitu... oh, aku mengerti! Itu karena aku jarang
sekali bergaul dengan perempuan di kelas kita! Asal tahu saja, aku
pun masih tak tahu nama lengkap perempuan yang ada di sebelahku
ini!"
"Eh?"
Pikiran dan tubuhku seketika itu juga terhenti. Aku segera menoleh ke
arah Yuigahama. Itu bohong, 'kan? Tatap mataku menanyakan itu.
Namun Yuigahama, yang masih kesal dan tampak merah pipinya itu,
hanya memberi anggukan tegas kepadaku.
"Pokoknya... aku minta maaf. Aku sama sekali tidak tahu, biarpun
begitu, aku sungguh minta maaf jika sudah membuatmu tak nyaman."
"Kok bisa?"
"Tapi Hikigaya memang hebat bermain tenis, kok. Kau sudah sering
memainkannya, ya?"
"Oh, yang dimainkan bareng-bareng itu, 'kan? Aku juga pernah main,
lo. Bermain ganda menyenangkan banget, deh~~"
"Ayo balik."
Bukan hal aneh kalau aku pergi bareng mereka, 'kan? Hampir saja
kutanyakan hal itu, namun kuhentikan.
"Eh? ...ahhh!!"
— II —
Ini memang benar-benar latihan reli terakhirku, jadi kupikir aku akan
melakukannya dengan sungguh-sungguh, tapi kemudian, aku merasa
ada yang mencolek bahu kananku.
Apa mungkin ada seekor peri di belakangku? Lagi pula, tak ada yang
mau bicara denganku, jadi ini pasti semacam fenomena supernatural.
Yah, memang benar kalau ia tak punya payudara yang besar, tapi tak
berarti Yukinoshita juga punya.
Setelah agak mereda, aku lalu bicara pada Totsuka yang sudah berdiri
sambil tersenyum di sana.
"Ah. Begini, anak yang biasanya kuajak berpasangan hari ini tak
masuk sekolah. Jadi, eng... kalau boleh, mau tidak kau jadi
partnerku?"
"Ahh, boleh. Lagi pula, aku juga sedang tak punya pasangan."
"Ayo."
Kami lalu duduk bareng. Kenapa ia harus duduk di sampingku?
Rasanya agak aneh, 'kan? Ketika ada dua anak lelaki duduk bareng,
bukankah lebih normal jika mereka duduk saling berhadapan atau
saling bersilangan? Bukankah ia duduk terlalu dekat? Bukankah
sudah terlalu dekat?
"Saran, ya...?"
"Iya. Ini sebenarnya tentang Klub Tenis kami... kau tahu, 'kan? Kami
memang tak begitu hebat. Kami juga tak punya banyak anggota. Dan
jika para anak kelas tiga lulus pada turnamen berikutnya, kami akan
jadi lebih lemah. Ada banyak murid baru yang bergabung namun
mereka belum pernah bermain tenis sebelumnya, jadi mereka masih
belum terbiasa... dan karena kami begitu lemah, motivasi kami pun
berkurang. Maksudku, Maksudku, bukan berarti orang-orang perlu
bersaing dalam olahraga yang dimainkannya, jadi..."
"Begitu."
Itu masuk di akal. Sebenarnya, itu mirip seperti masalah yang biasa
dihadapi oleh tim olahraga kecil dan lemah.
Kalau tim kita tak begitu hebat, orang-orang takkan bergabung. Dan
kalau tak banyak orang di dalamnya, maka takkan ada yang mau
bersaing untuk posisi inti.
Bahkan andai kita izin atau bolos saat latihan, kita masih bisa bermain
saat turnamen. Dan selama kita masih dimainkan dalam pertandingan,
kita akan merasa bahwa kita sudah cukup berkontribusi. Tentunya ada
banyak orang yang sudah merasa puas dengan hal demikian meski
mereka tak memenangkan pertandingan apa pun.
Pemain-pemain yang seperti itu takkan bisa berkembang. Dan karena
hal tersebut, timnya tak punya harapan untuk menarik perhatian
pemain-pemain baru. Dan itu akan terus berlanjut seperti lingkaran
setan.
"...hah?"
"...apa?"
Aku tak merasa akan bisa pergi ke klub setiap harinya, dan aku tak
yakin bakal mau melakukan aktifitas fisik di setiap paginya. Satu-
satunya yang mau melakukan hal tersebut hanyalah para manula yang
melakukan tai chi di taman. Lagi pula, ucapan, Aku sudah tak
sanggup, nih~~... telah menjadi moto favoritku. Walau terdengar
seperti meniru Korosuke, yang merupakan karakter dari seri
Kiteretsu, namun yang kutekankan di sini adalah kalau ujung-
ujungnya aku juga bakal keluar dari klub itu. Bahkan saat pertama
kalinya aku bekerja paruh waktu, aku justru mangkir selama tiga hari.
Jika orang sepertiku bergabung dalam Klub Tenis, aku yakin kelak
bakal membuat Totsuka lebih depresi lagi.
"...begitu..."
"Eng, yah... tak perlu cemas. Aku akan memikirkan cara lain."
"Terima kasih. Aku jadi merasa sedikit lebih baik setelah bicara
denganmu, Hikigaya."
Totsuka lalu tersenyum padaku, tapi aku tahu kalau rasa tenang di
pikirannya itu hanyalah sementara. Di saat bersamaan, sebagian
diriku juga merasakan hal yang sama, meski itu cuma sementara, jika
Totsuka merasa tenang, pada hakikatnya hal tersebut cukuplah
bermakna.
— II —
"Mustahil."
Itulah hal pertama yang Yukinoshita ucapkan padaku.
Ini semua bermula saat aku menceritakan soal Totsuka dan meminta
saran pada Yukinoshita.
"Uguu..."
Memang benar. Keluar dari klub juga bukan perkara besar, namun
jika melihat orang-orang bermalasan sewaktu kegiatan klub dan
bersenang-senang sendiri, mungkin aku akan menghajar mereka
dengan raketku.
"Kau benar-benar tak paham apa artinya berada dalam kelompok, ya?
Benar-benar ahli menyendiri."
"Ya. Aku kembali dari luar negeri saat masih SMP, jadi tentu saja
aku mulai bersekolah di tempat yang baru, namun semua anak
perempuan di kelasku... tepatnya, semua anak perempuan di
sekolahku begitu ingin menyingkirkanku. Tapi tak satu pun dari
mereka berusaha menjadi lebih baik supaya bisa mengalahkanku...
anak-anak bodoh itu..."
"Tapi pasti akan bagus bagi Totsuka jika ada yang bisa dilakukan
untuk membuat Klub Tenisnya biar jadi lebih baik lagi..."
"Tumben sekali... sejak kapan kau jadi tipe orang yang peduli
sesama?"
"Hah? Maksudmu?"
"Jika aku memberi tahu siapa yang aku sukai, maka orang di
sekitarku akan mulai berhati-hati, 'kan? Itu seperti menandai wilayah
kekuasaan. Sekali kau sudah mengetahuinya dan mencoba masuk ke
dalam wilayah tersebut, maka kau akan diperlakukan seperti pencuri
dan diasingkan dari kelompok. Bahkan jika kau yang menerima
pernyataan cintanya, kau tetap akan diasingkan. Apa aku masih perlu
menjelaskan lebih detail lagi...?"
Lagi pula, pepatah yang benar harusnya, Bahkan saat memburu anak-
anaknya, singa pun harus mengerahkan seluruh tenaganya.
"Maksudmu, aku?"
Aku pun sempat terhenyak saat kudengar suara bantingan pintu yang
dibuka
"Heyoo~~!!"
"Ah... Hikigaya!"
Ia tersenyum senang saat melihatku, lalu rona wajahnya tampak
kembali pucat. Sewaktu ia tersenyum tadi, akhirnya aku sadar siapa
dirinya. Kenapa ia terlihat murung begitu...?
"Totsuka..."
"Oh, aku anggota klub ini... kau sendiri sedang apa di sini?"
"Ayolah. Aku juga anggota klub ini, 'kan? Anggap saja ini balas budi.
Lagi pula, Sai kelihatan sedang banyak pikiran, makanya aku bawa ia
kemari."
"Yuigahama."
"Yukinon, kau enggak perlu berterima kasih padaku. Inilah yang bisa
kulakukan sebagai anggota klub."
"Bukan?!"
"Benar. Kau tak pernah menyerahkan surat pengajuan diri, dan guru
pembimbing kami belum mengakui keanggotaanmu, jadi kau
bukanlah anggota klub."
Yuigahama jadi kaku saat dihadapkan pada peraturan itu.
Baru saja aku memikirkannya, walau aku yakin itu bukan untuk
membantuku, tapi Yukinoshita menanggapinya menggantikanku.
"Aku tak tahu apa yang sudah Yuigahama katakan padamu, tapi Klub
Layanan Sosial tak begitu saja mengabulkan keinginanmu. Tugas
kami di sini hanya membantu dan mendorong kemandirian. Entah apa
Klub Tenis akan jadi lebih baik atau tidak, itu semua tergantung
padamu."
"Oh... begitu..."
Yukinoshita tertawa. Ahh, tampaknya ada tombol aneh yang baru saja
terpencet dalam dirinya... Yukino Yukinsoshita memang tipe orang
yang mau menerima semua tantangan dan berusaha sekuat tenaga
untuk memenangkannya. Gilanya lagi, bahkan ia akan membabat
habis musuhnya meski tidak sedang terprovokasi. Ia orang yang
takkan segan menghabisi orang yang cinta damai bak Gandhi seperti
diriku ini.
Itu benar, saat memohon bantuan pada sang ratu es, sudah sewajarnya
kita merasa takut. Hampir bisa kubayangkan Yukinoshita berkata,
Aku akan buat dirimu menjadi kuat, sebagai gantinya akan kuambil
nyawamu. Atau ucapan semacamnya. Memangnya ia itu penyihir
apa?
Saat jarakku kian dekat dengan Totsuka, bisa kucium aroma sampo
dan deodoran. Wangi tubuhnya sangat mirip dengan perempuan SMA
kebanyakan. Sampo jenis apa yang sebenarnya ia gunakan?
"Tak masalah kalau mau bantu, tapi apa yang akan kita lakukan?"
"Siap~~!"
"Tentu saja. Lagi pula, kau juga tak punya acara apa-apa saat istirahat
makan siang, 'kan?"
Dengan itu, maka diputuskan bahwa sesi latihan neraka kami akan
dimulai besok.
Lalu apa bedanya dengan masa remaja yang kuanggap hina itu?
Contohnya Yukinoshita. Aku tak tahu hal macam apa yang sudah
membebani pikirannya, tapi aku yakin hal tersebut takkan hilang
hanya karena ia diasingkan ke tempat ini.
Jadi saat semua anak sedang memakai seragam biasa mereka, cuma
aku satu-satunya yang tampak mencolok seperti orang bodoh dengan
seragam olahraga ini.
"Beruntung sekali aku bertemu denganmu di sini. Aku baru saja ingin
menyerahkan karya baruku. Silakan manjakan matamu dan
saksikanlah!"
Kenapa semua orang berkata begitu padaku? Apa aku terlihat seperti
orang yang hanya sedikit memanfaatkan waktu dalam hidupnya?
...yah, walau itu memang benar...
"Hemh, aku paham, Hachiman. Kau hanya ingin tampil sedikit keren
saja, makanya kau sampai berbohong. Lalu demi mencegah agar
kebohongan tadi terungkap, kau pun berbohong lagi. Tapi itu akan
menjadi siklus yang tak ada habisnya, siklus kebohongan tanpa henti
yang tragis. Tapi lihatlah, Hachiman, spiral ini tak mengarah ke mana
pun. Dan umumnya, hubungan antarmanusia itu memang tak
mengarah ke mana-mana. Tapi masih ada waktu bagimu untuk
menarik diri! ...kau sudah pernah menolongku, jadi sekarang giliranku
untuk menolongmu!"
Aku merasa urat kepalaku benar-benar keluar karena marah, dan aku
sudah mempersiapkan kata-kata untuk menundukkan Zaimokuza.
Tapi rupanya...
"Hikigaya!"
"A-ayo..."
Aku memang penyendiri, makanya pada bagian terakhir tadi aku tak
bisa mengelak.
"Pertanyaan bagus..."
"Hemh. Mana mungkin aku akan menganggap orang macam kau ini
sebagai teman."
Tapi bukan berarti aku tak tahu dari mana kemarahannya itu berasal.
Sudah sewajarnya kita merasakan warna kesedihan dan
pengkhianatan jika tahu bahwa orang yang kita anggap layak diberi
simpati berubah menjadi seseorang dengan tolak ukur yang benar-
benar berbeda.
Aku jadi sedikit murung karena keadaan ini. Suatu hari nanti, kurasa
Zaimokuza dan aku bisa berada di titik di mana kami bisa saling
mengerti dan tertawa bersama.
"Ayo, Totsuka."
"Zaimokuza... 'kan?"
"Fu... ku, ku ku ku ku. Sudah pasti Hachiman dan aku adalah teman
dekat. Tepatnya, rekan seperjuangan. Tidak, tidak, yang benar, aku
majikan dan ia pelayannya... yah, karena kau yang meminta, aku jadi
tak punya pilihan. Aku akan... eng... menghadiahimu dengan ikatan
pertemanan. Bahkan kita pun bisa menjadi sepasang kekasih."
"Eng... rasanya itu... bukan ide bagus. Kita berteman saja, ya?"
"Hm, begitu... hei, Hachiman. Apa menurutmu anak yang di sana itu
menyukaiku? Apa itu artinya kini aku jadi populer? Iya, 'kan? Begitu,
'kan?"
— II —
"Mo-mohon bimbingannya."
"Yang benar saja, kami ini bukan bangsa Saiya atau sejenisnya..."
"Metabolisme tubuh?"
"Intinya, itu adalah cara untuk membuat tubuhmu agar lebih cocok
berolahraga. Jika metabolisme tubuhmu meningkat, maka akan lebih
mudah bagimu dalam membakar kalori. Sederhananya, hal tersebut
bisa meningkatkan efisiensi energi pada tubuhmu."
Jantungku berdetak semakin cepat, sampai pada titik di mana ini bisa
dianggap sebagai gejala aritmia.[11]
"Saat kau melakukannya, rasanya ini seolah seperti cara baru dalam
menyembah sesuatu."
Kurang ajar, apa yang sudah dikatakannya tadi? Bahkan bagi orang
yang cinta damai sepertiku, sesuatu dalam diri ini bisa bangkit kalau
mendengar provokasi macam tadi. Eh... apanya yang bangkit, ya? Jika
memang ada yang bangkit, kemungkinan besar itu adalah perasaan
moe terhadap push-up...
Max Coffee adalah merek minuman kopi dalam kemasan yang terkenal di Jepang
Kita no Kuni kara adalah judul drama televisi Jepang
Issei Fuubi Sepia adalah grup musik asal Jepang yang populer di era Tahun 80-an
Sebutan bagi pemain sepak bola yang bisa melakukan hal-hal yang sulit dibayangkan manusia
ketika bermain sepak bola.
QED (Quod Erat Demonstrandum) berarti "sudah terbukti", singkatan ini menandai akhir dari
suatu pembuktian.
Di negara Jepang, untuk mengesahkan surat atau semacamnya tidak hanya sekadar tanda
tangan, tapi memerlukan juga stempel cap keluarga.
Momotetsu (Momotaro Dentetsu) adalah game yang punya gaya bermain mirip seperti
permainan Monopoli
Supercompensation adalah masa-masa di mana bagian tubuh yang dilatih setelah berolah raga
mempunyai performa lebih baik dari masa sebelumnya.
Jadi begitulah, hari-hari pun berlanjut dan kami melaju ke fase dua
dari pelatihan tenis ini.
Yah, bukan berarti kami bisa mengimbangi anggota Klub Tenis, itu
sebabnya kami hanya menghabiskan waktu sesuka kami saja.
Aku tak tahu apa yang dipikirkan makhluk kecil ini sampai segelisah
itu ke sana kemari, tapi yang jelas, mereka hanya menjalani hidup
mereka dengan penuh kesibukan. Kurasa itulah yang membuat diriku
seakan sedang melihat ke bawah dari gedung perkantoran yang
menjulang tinggi.
Apa suatu hari nanti aku juga akan menjadi bintik-bintik hitam tadi
yang bakal dilihat oleh orang lain dari ketinggian yang sama seperti
gedung-gedung tinggi di Tokyo? Sebenarnya pikiran macam apa yang
sedang kurenungkan ini?
Tentu saja aku sadar betul mengenai kekurangan dari menjadi seorang
karyawan kantoran. Aku selalu kagum ketika melihat ayahku pulang
dari kerja dengan wajah penuh kelelahan. Begitu mengagumkan
melihat beliau yang setiap harinya berangkat kerja meski beliau
sendiri tak merasa bahagia.
Syukurlah.
Di saat bersamaan.
Wuuusss!*
"Ayaaah~~!!!"
Terserah sajalah. Aku tak peduli soal Zaimokuza maupun semut itu.
Meskipun begitu...
"...oke!"
"Hore~~ eh, sekadar info, saat bola keenam nanti, rasanya bakal
membosankan, lo. Jadi siap-siap saja."
Aku berbalik mengahadap sumber suara riang itu, dan kulihat ada
segerombolan anak dengan Hayama dan Miura sebagai pusatnya.
Mereka berjalan menuju ke arah kami, dan sewaktu melewati
Zaimokuza, mereka tampak menyadari keberadaanku dan
Yuigahama.
"Kalau begitu enggak masalah kalau kita ikut main di sini. Iya, 'kan?
"...tapi..."
Yah, kurasa memang tak ada lagi orang yang bisa ia andalkan.
Yukinoshita sedang pergi entah ke mana, Yuigahama memalingkan
pandangannya dengan wajah gelisah, dan tak ada yang memedulikan
keberadaan Zaimokuza... jadi kurasa memang cuma aku.
"Oh, maaf, tapi Totsuka sudah meminta izin guru untuk memakai
lapangan ini. Jadi orang lain tak boleh menggunakannya."
"Hah? Makanya tadi aku tanya, padahal kau bukan anggota Klub
Tenis tapi kok boleh menggunakannya?"
"Bakal lebih seru kalau semuanya bisa ikut main. Begitu saja enggak
apa-apa, 'kan?"
Kata-kata Hayama langsung mengusik pikiranku. Miura sudah
mengokang senapannya dan Hayama yang menarik pelatuknya.
"Semuanya... apa-apaan itu? Itu sama saja seperti saat kau merengek
meminta sesuatu pada orang tuamu dan memakai alasan, Semuanya
sudah punya, kok! Jadi siapa yang kaumaksud semuanya itu...? Aku
jarang berteman, jadi aku tak terbiasa dengan kalimat itu..."
Itu adalah makna ganda antara kata tembak (撃つ) dan murung (鬱)!
Sebuah kombinasi yang mengagumkan!
"Ah, eng... bukan begitu maksudku. Eng... maaf, deh. Kalau memang
ada yang mau kaukatakan, bilang saja padaku."
Hayama memang orang yang baik. Aku hampir terharu dan hendak
berterima kasih padanya.
Tapi...
Jika aku bisa tertolong karena simpati murahan macam itu, maka dari
awal aku tak perlu ditolong. Jika permasalahanku bisa teratasi karena
kata-kata barusan, berarti sebenarnya aku tak punya masalah.
"Kau begitu diberkati dan sangat bersinar, tapi kenapa masih saja mau
merebut lapangan tenis ini dari kami yang tak punya apa-apa ini? Apa
kau tak malu berbuat seperti itu?"
"Kalau mereka bersama, situasinya malah jadi dua kali lebih suram
dan menyedihkan..."
Dan anak bodoh berambut ikal itu pun datang. Apa ada yang salah
dengan sel otaknya? Sial, harusnya ia menghargai orang bicara... jelas
ia tipe orang yang sulit membedakan antara pedal gas dengan rem, ya'
kan?
"Hmm... baiklah, begini saja. Semua yang bukan anggota Klub Tenis
akan bertanding. Dan yang menang, mulai dari sekarang boleh
memakai lapangan ini selama istirahat makan siang. Tentu saja, yang
menang akan membantu Totsuka berlatih. Pasti lebih bagus kalau ia
berlatih dengan pemain yang lebih baik, ya 'kan? Jadi semua bisa
sama-sama senang."
— II —
Bukan aku saja yang berpikir demikian. Saat Totsuka berjalan dengan
lemahnya tadi, kudengar para perempuan di sekitar kami sudah
menjeritkan, "Pangeran~~!!" ataupun "Sai~~!!"
"Hah? Ya, iyalah. Dari awal, yang mau main tenis itu sebenarnya aku.
Masa lupa, sih?"
"Aku tahu, tapi... tim di sebelah sana mungkin diwakili anak lelaki.
Kau kenal, eng... Hikitani, 'kan? Anak itu. Kalau kau bermain
dengannya, bakal enggak adil nanti."
Siapa itu Hikitani? Yang bermain itu bukan Hikitani, tapi Hikigaya...
mungkin.
Ku ku ku, ku ku ku... uh, kuakui rasanya perih sekali, tapi yang tadi
itu memang tepat sasaran. Bisa kurasakan diriku terjun bebas ke
dalam kegelapan.
Zaimokuza ini tak mau diam. Tapi yang dikatakannya memang benar,
makanya aku tak bisa menyangkalnya.
Kita sudah melewati sebuah masa di mana aku bisa tinggal pergi
sambil berkata, Ahahaha, maaf~~ sudah, kita lupakan saja soal ini.
(kedip <3). Awalnya aku ingin meminta bantuan Zaimokuza, tapi ia
hanya menoleh ke sana kemari dan mulai bersiul.
"..."
"Hikigaya, maaf. Kalau saja aku anak perempuan, aku pasti akan
senang bermain denganmu, tapi..."
"...tenang saja."
Aku adalah penyendiri, tapi bukan berarti aku iri dengan orang-orang
yang akrab dengan sesamanya. Bukan berarti pula aku mengharapkan
hal buruk terjadi pada mereka... sungguh bukan itu. Aku tidak
bohong.
Bukan berarti kami ini sekumpulan teman atau semacamnya, dan aku
juga takkan menganggap mereka sebagai teman. Kami hanyalah
bentuk kekacauan dari sekelompok acak orang-orang yang berkumpul
bersama, atau mungkin kami berkumpul di sini karena alasan yang
acak pula.
Aku sadar betul kalau itu adalah pemikiran yang egosentris. Tapi aku
memang orang yang egosentris jika sedang sendirian. Bahkan aku
bisa berteleportasi dan menghembuskan api saat sedang sendirian.
Namun aku tak mau menolak masa laluku sendiri ataupun masa yang
sedang kujalani ini. Aku takkan pernah percaya bahwa menghabiskan
waktu seorang diri adalah sebuah dosa atau hal yang dianggap salah.
"...mau."
Kudengar desahan lembut, amat sangat lembut hingga lenyap oleh
riuhnya sorakan.
"Hah?"
"Kenapa kau mau melakukannya? Kau ini bodoh, ya? Atau jangan-
jangan kau suka padaku?"
"Ma-ma-ma-maaf! Maaf!"
"Eh, serius?"
Yuigahama menegang dan menoleh ke arah grup Hayama. Hampir
bisa kudengar suara lehernya yang berderak sewaktu menolehkan
kepala. Aku sempat mau menyarankannya agar memakai pelumas
Kure 556 atau semacamnya.
Terasa aura permusuhan pada mata besar Miura yang sudah ditebali
oleh maskara dan eyeliner. Gulungan rambut pirangnya yang mirip
bor itu berayun tak senang. Memangnya ia itu Nyonya Kupu-Kupu
apa?
"Yui, asal kau tahu, kalau kau memihak sana berarti kau melawan
kami. Kau paham, 'kan?"
"...bukan begitu... mauku. Tapi, klub... klub ini penting buatku! Jadi
aku akan melakukannya."
"Hei, Hikitani."
"Ya?"
"Boleh. lagi pula ini juga tenis untuk pemula. Kita pukul saja bolanya
dan tetap hitung angkanya. Bagaimana? Ini mirip seperti bola voli."
"Rasanya seragam tenis ini agak... bukannya rok ini terlalu pendek,
ya?"
"Eh? Hikki, kau enggak tahu, ya? Yumiko sudah bermain tenis sejak
SMP. Ia terpilih masuk ke dalam tim yang mewakili prefektur, tahu?"
Sewaktu mendengarnya, aku langsung melirik ke arah Nyonya Kupu-
Kupu (alias Yumiko). Postur tubuhnya cukup proporsional, dan
pergerakan tubuhnya tampak begitu luwes. Mengetahui itu,
Zaimokuza bicara sambil terbata-bata.
— II —
Di setiap reli panjang yang saling berganti, dengan poin yang saling
berbalas, bisa kurasakan kegelisahan yang semakin mengikis
syarafku.
"Apa kubilang."
"...kau... kau jarang main tenis tapi memaksakan diri ikut bermain?"
"Yuigahama, kau jaga bagian depan. Biar aku yang urus bagian
belakang."
"Oke."
Bola itu pun dismes keras dengan sekuat tenaga ke arah kami.
Nyonya Kupu-Kupu tersenyum sadis saat bola tersebut menyerempet
pipi Yuigahama dan melaju ke arah pojok kosong lapangan.
"Ha...?! Bukan, bukan begitu! Yang tadi itu wajar-wajar saja, kok!
Enggak mungkin aku sekejam itu!"
"Kalau kita kalah, nanti bisa jadi masalah buat Sai... ah, gawat, kalau
begini bisa gawat... kalau sampai gagal, minta maaf saja enggak bakal
cukup... uh!"
"Benar juga... begini saja... kau istirahat dulu di luar. Biar sisanya aku
yang urus."
"...terus?"
"...ya sudah, jika situasinya memang jadi buruk, aku akan bersikap
serius. Kalau sudah serius, aku bisa menjadi ahli dalam bersujud dan
menjilat kaki lawanku."
"Konyol sekali... selama ini aku tak pernah bertengkar dengan siapa
pun. Dan aku tak punya kedekatan dengan siapa pun sampai bisa
bertengkar dengan mereka."
"Eh..."
Oh, aku paham. Humor merendahkan diri barusan hanya berlaku pada
orang yang sudah dekat dengan kita saja...
...bajingan itu mau melarikan diri, ya...? Pada situasi begini, aku
sekalipun pasti akan berlagak cuek dan melarikan diri. Totsuka pun
sampai memandangku dengan tatapan memelas.
Untuk bisa mengambil hati orang lain, kita memang harus membuang
harga diri dan sebisa mungkin menjilat mereka... aku bangga bisa
melakukannya.
"Rasanya kesal kalau kita kalah padahal sudah sampai sejauh ini,
makanya Yukinon akan bermain untuk kita."
"Te... teman?"
"Yak, teman."
"Apa kau meminta tolong temanmu untuk melakukan hal seperti ini?
Rasanya kau hanya memanfaatkannya saja..."
"Eh? Untuk yang begini, aku hanya bisa meminta tolong temanku
saja. Kenapa juga kita harus memohon pada orang yang enggak
peduli untuk melakukan hal-hal penting buat kita?"
Tapi Yuigahama ini beda cerita. Intinya, anak ini terlalu polos.
"Hei, mungkin ia hanya bersikap jujur. Lagi pula, anak ini terlalu
polos."
"Aku tak keberatan diminta bermain tenis, tapi... bisa aku minta
waktu sebentar?"
"Yukinon, jadi tadi kau pergi untuk mengambil itu... kau memang
baik."
"Ke-kenapa kau bisa tahu... Argh! Kau membaca Daftar Orang yang
Takkan Kumaafkan milikku, ya?!"
"Aku terkejut. Jadi kau benar-benar menjulukiku begitu? ... yah, aku
juga tak peduli orang berpikir apa."
"Yukinon!"
"Sip! ...yah, aku juga enggak bisa berbuat banyak agar Hikki bisa
menang."
Ya, itu memang benar... kurasa sudah jelas kalau Yukinoshita takkan
tahu apa itu tsundere... terlebih, perempuan itu takkan berbohong —
ia akan selalu berkata sejujurnya, tak peduli betapa kejamnya itu. Jadi
kemungkinan ia tak berbohong saat berkata kalau ini bukan demi
diriku.
Yah, bukan berarti aku ingin ia agar menyukaiku atau semacam itu,
jadi ya, sudahlah.
— II —
Tim Hayama dan Miura yang pertama kali jalan. Nyonya Kupu-Kupu
alias perempuan gulungan vertikal alias Miura yang melakukan
servis.
"Oh, iya, Yukinoshita. Entah kau tahu soal ini atau enggak, tapi aku
benaran jago dalam tenis."
"...gampang."
"Entah kau tahu soal ini atau tidak, tapi aku juga benar-benar jago
dalam tenis."
"Wajah perempuan itu mirip sekali seperti wajah para senior yang
dulu pernah mengerjaiku. Mudah untuk mengetahui betapa rendahnya
orang tersebut."
Saat aku dan Yuigahama yang bermain tadi, kami merasa benar-benar
sedang bermain di kandang lawan, tapi perlahan kini para penonton
berpihak ke sisi Yukinoshita. Soalnya, semua anak lelaki kini tengah
memandang Yukinoshita dengan menggebu-gebu.
Akan tetapi, sikap jujurnya yang kolot dan kebaikannya yang apa
adanya itu mampu menggetarkan hati Yukinoshita. Yuigahama satu-
satunya manusia yang sanggup meyakinkan Yukinoshita agar bisa
datang kemari hari ini, dan Yukinoshita pun bermain dengan segenap
kemampuannya demi membalas keberanian Yuigahama itu. Ia
mungkin takkan datang andai aku yang memintanya.
Yukinoshita terbang.
Ia melangkah ke depan dengan kaki kanannya, membuat dorongan
dengan kaki kiri, lalu melompat saat kedua kakinya sejajar. Itu
merupakan langkah ringan layaknya staccato.
"Kau memang luar biasa. Tetap seperti itu dan kita menangkan ini
dengan mudah."
Aku begitu yakin hingga bisa berkata begitu, namun Yukinoshita tiba-
tiba merengut.
"Yukinoshita."
Kupikir bola itu lebih baik kuserahkan padanya, makanya tadi aku
memanggil namanya. Namun ia tidak menanggapiku. Yang kudengar
justru suara datar dari pantulan bola yang jatuh di antara kami.
"He-hei!"
"Sejauh yang bisa kuingat, aku selalu bisa melakukan segala hal,
karena itu aku tak pernah berlama-lama menanganinya."
"Wah, kau mirip kebalikan dari pengangguran tiga hari. Dan ternyata
kau memang cuma mau sesumbar! Jadi maksudnya semua ini apa?"
Namun karena dari awal ia bisa melakukan segala hal dengan begitu
baik, makanya ia tak pernah berlatih. Dan itu sebabnya ketahanan
fisik yang dimiliki perempuan itu begitu lemah.
"Uh, tapi kau tak harus mengatakannya dengan suara sekeras itu,
'kan...?"
Aku menoleh ke arah Hayama dan Miura, lalu melihat Ratu Hewan
Buas itu sedang tersenyum bengis.
"Ap—? Hei, Hayato, kau itu bicara apa? Ini pertandingan, lo. Kita
harus serius dan melakukannya sampai selesai."
Semua yang di sini meragukan apa yang baru didengar mereka tadi.
Tentu saja termasuk diriku... malahan, akulah yang paling terkejut di
sini.
Mendadak semua mata tertuju padaku. Hingga tadi, keberadaanku
tidaklah diakui, tidak pula diinginkan. Namun mendadak aku merasa
keberadaanku kini begitu menguat.
Ya, aku tahu itu... yang berbohong di sini hanyalah aku dan mereka
saja.
— II —
Aku bisa... aku bisa... aku meyakinkan diriku — tidak, aku sudah
yakin akan diriku.
Lagi pula, tak ada alasan bagiku untuk kalah di sini.
Aku adalah orang yang sudah bertahan seorang diri dari sia-sia,
menyedihkan dan menyakitkannya kehidupan sekolah, yang sudah
menjalani pahit dan menderitanya masa remaja ini seorang diri. Jadi
tak ada alasan bagiku kalah dari mereka yang menggantungkan diri
pada orang banyak di setiap langkahnya.
Tak bisa kudengar suara mengejek Miura; tak bisa kudengar suara
sorakan para penonton...
Tapi aku mendengar suara itu... suara yang aku, dan mungkin hanya
aku yang bisa mendengarnya sepanjang tahun ini.
Itu adalah servis ringan, mudah dan tak bertenaga yang melambung
tinggi ke angkasa.
"Hyaaahh!!"
Miura menjerit layaknya seekor ular buas dan akhirnya sampai di
posisi bola akan mendarat.
Cuma aku satu-satunya yang tahu soal ini. Aku, yang sepanjang tahun
duduk di sana seorang diri, yang tak berbicara dengan siapa pun, yang
hanya menghabiskan waktu tanpa ada yang tahu... dan hanya angin itu
satu-satunya yang tahu tentang masa-masa tenang yang kuhabiskan
seorang diri.
Dan itulah bola melengkung ajaib yang hanya aku, dan memang cuma
aku, yang sanggup melakukannya.
"Eng-enggak mungkin..."
Aku benar-benar tak tahu harus seperti apa menanggapi situasi seperti
ini.
"Eh...? Kalau enggak sampai delapan belas orang, kau enggak bisa
bermain bisbol."
"Ya, sudah kuduga... tapi asal tahu saja, selama ini aku
memainkannya seorang diri."
"Eh? Maksudmu?"
Tanya balik Hayama, tapi kupikir ia takkan mengerti andai
kujelaskan.
Kutekuk satu kaki ke depan dan menarik kencang satu sisi tubuhku ke
belakang layaknya busur yang siap menembak. Lalu kulambungkan
bola ke udara. Kugenggam erat raketku dengan kedua tangan dan
memosisikannya di belakang leherku.
Lagit yang biru, musim semi yang hendak berlalu, dan musim panas
yang akan menghampiri... aku sudah muak dan mengutuk semua itu.
Bola itu pun naik semakin tinggi. Pada titik tertentu, bolanya terlihat
seperti bintik yang lebih kecil dari sebutir beras.
Biar kujelaskan. Saat masih kecil, aku tidak punya banyak teman,
maka dari itu kukembangkan sebuah olahraga baru dari bisbol tunggal
— aku melempar, memukul, dan menangkap bolanya sendiri. Saat
berusaha merancang skema agar permainan bisa berlangsung lebih
lama, aku sadar bahwa cara terbaik untuk memperlama irama
permainan adalah dengan skema pukul-tangkap itu sendiri.
Namun itulah simbol dari terasingnya diriku, dan itu pula yang
menjadi senjata terkuatku.
Itu adalah palu yang jatuh dari kehampaan dan menghancurkan
mereka yang mengagungkan masa remaja.
"A-apa itu?"
"Yumiko! Mundur!"
Teriak Hayama pada Miura yang kini terpaku dengan wajah syok.
Sudah kuduga, Hayama sadar dengan yang sedang terjadi...
sayangnya, ia sudah terlambat.
Bola tenis itu pun terus melaju ke atas, tapi kecepatannya berangsur
berkurang akibat pengaruh gravitasi, hingga dua daya itu mencapai
titik keseimbangan lalu membuat laju bola terhenti.
"Ugh!"
Lalu kepulan debu tersebut perlahan menghilang, dan dua anak tadi
kembali terlihat.
Pada akhirnya semua orang sudah diliputi oleh rasa puas dan
kelelahan. Mereka seperti habis menonton sebuah film heroik yang
menegangkan atau membaca sebuah komedi romantis remaja yang
menghibur.
Dan begitulah, para murid menyanjung dua anak itu dengan sorakan,
"Hore! Hore!" Lalu sosok mereka menghilang ke dalam gedung
sekolah.
— II —
Setelah itu, tinggal kami sendiri yang tersisa di sini.
"Jangan konyol. Tak ada yang perlu dipersoalkan antara aku dengan
mereka."
"Hmm... itu benar. Ini semua gara-gara Hikki. Sayang sekali harus
jadi begini. Padahal kita yang menang."
Yah, Yui memang benar, tak ada yang perlu direnungkan. Sejak awal
orang-orang seperti Hayama dan Miura tak pernah berpikir untuk
menang. Andaikata mereka kalah pun, itu justru akan jadi sebuah
kenangan indah bagi masa remaja mereka.
"Rupanya masih ada orang yang bisa mengambil hal positif dari
tindakan bodohmu. Sungguh disayangkan."
"Ya..."
Kisah komedi romantis seperti ini tak akan jadi kenyataan, dan itu
juga berlaku untuk jenis kelamin Totsuka. Lagi pula, rasa terima
kasihnya itu salah sasaran.
Aku pun mulai pergi mencari mereka, lalu kulihat rambut yang
dikuncir dua itu berayun masuk ke arah ruang Klub Tenis.
Pakaian dalam berwarna hijau jeruk limau terlihat dari balik blusnya.
Ia masih mengenakan rok tenis, memperlihatkan jelas tubuh
langsingnya yang kurang berisi itu.
"WA, WA WA WA WA WA!!"
Kaus kaki panjang berwarna biru laut yang dipadukan dengan celana
dalam merah muda menutupi paha mulusnya hingga ke pergelangan
kaki.
Daaang...!
Hachiman sedang membandingkan dirinya dan Hayama lewat dua buah film. Yaitu, James Bond yang
di mana tokoh utamanya seorang flamboyan yang selalu didampingi wanita-wanita cantik dan The A-
Team yang di mana tokoh-tokohnya punya wajah garang dan hanya sedikit menampilkan tokoh
wanita di dalam filmnya.
BAB 8
Masa remaja
Ini hanya kata sederhana, namun itu adalah sebuah kata yang begitu
keras mengerakan hati manusia. Memberikan kemapanan,
kedewasaan, tanggung jawab, kenangan pahit, memberikan gadis
remaja rasa rindu abadi, dan memberikan orang-orang sepertiku rasa
kecemburuan dan kebencian mendalam.
Namun, aku bahkan tidak memiliki satu ons penyesalan pun. Bahkan,
kamu bisa mengatakan bahwa aku memiliki rasa sangat bangga pada
diriku sendiri.
Aku tidak akan pernah menolak saat aku telah menghabiskan satu
tahun sekolah tinggi "masa remaja" yang aku tinggalkan. Tidak, aku
bahkan akan menerimanya dengan sepenuh hati. Dan keyakinan itu
pasti tidak akan berubah, hari ini atau besok.
Namun, aku ingin membuat ini jelas: meskipun demikian, aku tidak
akan menolak cara hidup orang lain. Aku tidak akan menolak cara
orang-orang yang merayakan masa remaja.
Dalam hal ini, mungkin masa mudaku sendiri dapat diwarnai dengan
warna komedi romantis. Mungkin tidak semua salah. Dan mungkin,
suatu hari nanti, aku juga akan melihat Warna di kehidupanku,
bahkan jika aku melihat warna melalui mata berkaca-kaca dari ikan
mati. Aku bisa merasakan, tumbuh dalam diriku, sesuatu yang
memungkinkan ku untuk setidaknya berharap bahwa sesuatu seperti
itu akan terjadi.
-
Dengan itu, aku berhenti menulis dengan pena di tanganku.
Ini tidak seperti aku sedang diganggu atau apa ... Aku hanya menulis
ulang esai, salah satu yang ditugaskan Hiratsuka-sensei pada kami.
Aku menulis jujur di sini, oke? Aku benar-benar tidak diganggu, oke?
Tulisan ulang ku berjalan sangat lancar, tapi aku punya sedikit
kesulitan pada kesimpulan, sehingga akhirnya sedikit telat di akhir
hari.
Saat aku berpikir itu, aku dengan cepat memasukan kertas kotak kanji
dan alat tulis ke dalam tas dan meninggalkan ruang kelas yang sudah
kosong di belakangku.
Sangat, sangat jarang, mungkin ada beberapa orang aneh yang datang
mencari kami, tapi itu jarang terjadi; kebanyakan orang lebih suka
pergi dengan seseorang yang akrab, seseorang yang mereka percaya,
atau mereka hanya akan terus memberikan tantangan untuk diri
mereka sendiri dan menangani dengan cara itu.
Itu mungkin jawaban yang tepat. Bahwa apa yang orang harus
lakukan secara umum untuk mencapai cita-cita. Namun, kadang-
kadang ada orang yang tidak bisa melakukan itu, orang-orang seperti
ku, atau Yukinoshita, atau Yuigahama, atau Zaimokuza.
— II —
Aku menarik kursi yang jauh dari Yukinoshita dan duduk. Ini adalah
posisi kami yang biasa. Aku mengeluarkan kertas dari tas dan
meletakkannya di meja. Yukinoshita, sedang menonton ku dengan
seksama, tampaknya dia tidak senang.
"Sepertinya dia pulang dengan Miura-san dan yang lain hari ini."
Hal ini adalah kejutan ... atau mungkin tidak. Mereka adalah teman,
dan sejak pertandingan tenis, aku merasa bahwa Miura-san sudah
mulai berperilaku lebih lembut. Itu mungkin karena Yuigahama
akhirnya bisa mengatakan perasaan nya dengan jelas.
"Aku mengulangi pertanyaan yang sama, Hikigaya-kun. kamu tidak
berpasangan dengan pasangan mu hari ini? "
Artinya aku tidak bisa berbicara dengan dia terlalu banyak. Kenyataan
ini membuat hatiku sedih.
"...... Siapa?"
"... Hah, jangan konyol ... Tidak ada hal yang namanya hantu di dunia
ini."
"Maksudku orang itu. Za ... Zai ... Zaitsu-kun? Sesuatu seperti itu ... "
"oh, Zaimokuza? Dia bukan pasangan ku. "
ah, aku bahkan tidak tahu apakah aku harus memanggilnya teman.
"Dia bilang 'Aku sedang kehabisan waktu sekarang ... Maaf, tapi aku
harus memprioritaskan deadlines ku untuk hari ini dan ia pulang ke
rumah terlebih dahulu."
"Aku masuk"
"...... aah."
Aku sudah lupa ... Sebenarnya, aku tidak ingat pernah menetap apa-
apa, sehingga alami jika aku lupa.
"Aku mati? Bagaimana hal ini sampai ke titik itu ...? Umm, dan, dua
kemenangan masing-masing? aku tidak ingat pernah menang, dan
kami hanya punya tiga orang yang datang untuk meminta bantuan. "
"Menurut hitungan ibu, sudah ada empat orang. Kau dengar aku, kan?
ibu akan memutuskan segala sesuatu dengan penilaian ku sendiri. "
"Hm ..."
Hiratsuka-sensei jatuh terdiam dan berpikir sebentar.
"Nah, mari kita lihat ... Jika kamu mengambil kanji untuk 'masalah',
radikal untuk 'hati' di sebelah kiri dan kanji untuk fasik sebelahnya.
Dan kanji untuk orang fasik mempunyai tutup di atasnya. " [4]
Nah, dengan kata lain, pemenang dan pecundang dari game ini akan
hanya sewenang-wenang. Hiratsuka-sensei tampak bingung akan
pemenangnya antara aku dan Yukinoshita dan tampaknya dia sedikit
ngambek.
"Ibu yakin ada beberapa serangga di suatu tempat yang suatu hari
akan mulai menyukai Hikigaya-kun."
Ini cukup rendah hati, bahkan untuk ku, tidak memintanya untuk
memilih manusia, kan ... Tapi Yukinoshita dengan sombongnya
mengepalkan tangan, dia tampak cukup bangga dengan dirinya
sendiri.
Aku pikir akan menuliskan apa yang ku rasakan pada saat ini, jadi aku
mengemgam penaku. Yukinoshita melihat apa yang ku lakukan.
Giant disini adalah karakter dari anime Doraemon. karena Giant selalu seenaknya sendiri
" Masalah "di sini merupakan kanji 悩. Ini memiliki arti hati jika dibaca dari sisi kiri..