Anda di halaman 1dari 6

Payung Biru Brokoli

Hujan ini tak berhenti di sini saja rupanya. Sudah lima belas menit aku menunggu di koridor
sekolah. Berharap dia datang kemudian berbagi payung denganku. Ah, beberapa hari ini dia selalu
menghindariku. Tak pernah sekalipun membalas sms ataupun sapaanku. Ada apa denganmu?
Biarlah dulu, mungkin dia butuh waktu untuk sendiri tanpa diganggu siapapun.

“Flo...”

Seseorang memanggilku. Reno, berdiri di sampingku sambil mengulurkan sebuah payung.


Dan sepertinya aku kenal pemiliknya.

“Surya nitipin ini buat kamu,” katanya.

Aku menerima payung biru bertuliskan nama sebuah bank –ketahuan banget kalau dapetnya
gratisan-. “Mana teman sebangkumu itu?”

“Udah pulang duluan. Kalian kenapa sih? Aku lihat akhir-akhir ini kalian renggang. Biasanya
kan tuh bocah pulang bareng kamu.”

Aku mengangkat bahu. “Tanya aja sendiri. Makasih ya, aku pulang dulu!”

Aku meninggalkan Reno yang sedang bingung. Tuh kan, orang lain aja merasa kalau aku dan
Surya si brokoli itu sedang renggang.

Aku memilah-milah jalan mana yang harus aku lewati, hujan lima belas menit ini telah
berdampak buruk buat lingkungan sekitar. Genangan air di mana-mana. Mungkin juga penataan
selokan yang buruk menambah parah situasi ini. Jadi inget, dulu saat kami –aku dan Surya- masih
baluta alias bawah sepuluh tahun suka sekali main hujan. Walaupun di tangan kami ada payung,
tidak kami gunakan. Ibu selalu marah-marah jika aku pulang bareng Surya diwaktu hujan. Ibu pasti
tahu, malamnya aku akan bersin-bersin sampai membuat Ayah dan Ibuku tidak bisa tidur.

Aku dan Surya sudah berteman bahkan bisa dibilang bersahabat sejak kecil. Aku tak punya
saudara di rumah. Surya hanya punya nenek yang yaah bisa dibilang sakit-sakitan (penyakit tua). Dan
saat kami menginjak 12 tahun nenek Surya meninggalkannya untuk kembali ke Sang Pencipta. Ia
sempurna tidak memiliki siapapun di dunia ini. Aku menjadi semakin sayang kepadanya. Untungnya
Ibu bersedia membagi kasih sayangnya untuk Surya. Namun ia tak mau meninggalkan rumah
tercintanya itu. Ini salah satu-satunya peninggalan neneknya.
Tapi, apa balasannya akhir-akhir ini. Huuh... Dia malah menjauh dariku. Padahal untuk saat
ini aku sangat membutuhkannya. Aku mengikuti sebuah lomba karya ilmiah. Brokoli jenius ini sangat
mengerti tentang tema yang dilombakan. Tanaman. Tentu saja aku sangat butuh bantuannya.
Rumahnya saja sudah seperti hutan. Ia pantas dijuluki sebagai brokoli jenius penyelamat hutan.

Perjalanan pulang aku penuhi dengan mengutuki Surya. Awas saja kalau aku ketemu
dengannya. Akan kulempar dia ke negeri pohon sana. Astaga bahkan aku tidak bisa tidur sekarang
karena masih memikirkannya. Beberapa kali aku mencoba memejamkan mata dan beberapa kali
juga berpindah posisi dari miring, posisi janin, tengkurap dan yang lainnya. Bahkan sempat mau coba
tidur dengan kepala di bawah. Apapun itu aku coba untuk tetap bisa tidur.

Surya benar-benar membuat aku gila kali ini. Aku mencoba mengirim sms yang mungkin
tidak akan dibalesnya juga.

Heeyyy brokoliii....

Terkirim. Nggak berharap juga di bales. Beberapa detik kemudian ada sms masuk. Astaga...
Dibales... Aku segera membukanya dan ternyata sebuah sms penipuan minta transfer uang. Oh, ya
ampun apa pula manfaatnya kirim sms beginian mengganggu orang saja. Tanpa pikir panjang aku
matikan saja handphoneku. Aku sudah terlanjur sebel.

Aku mencari buku diariku di laci. Sudah lama aku tidak menulisinya. Mencurahkan semua
perasaanku. Kubuka lembar demi lembar dan sedikit tertawa karena dulu ternyata aku alay banget
menaggapi sesuatu. Namun tanganku terhenti membalikkan kertas. Tulisan tangan Surya. Aku ingat
dia dulu maksa meminjam buku diariku. Padahalkan ini sangat vital bagi perempuan. Karena dia
sudah aku anggap sebagai saudaraku sendiri jadi aku memperbolehkannya. Kemudian ia menuliskan
janji-janji. Bahkan janji-janji ini aku ragu dia akan menepatinya lagi.

Kau tahu Flo, aku beruntung mempunyai sahabat sepertimu. Kau selalu memberikan warna
dihidupku. Entah bagaimana caranya aku berterima kasih. Tapi aku benar-benar berterima kasih
atas semuanya. Kau tempatku bersandar. Kau tempatku belajar arti keceriaan, kau tempatku belajar
arti ketulusan. Kau tempatku belajar semuanya.

Ijinkanlah aku juga menjadi tempat yang nyaman untukmu. Aku akan selalu ada jika kau
butuh. Aku akan selalu berhenti dari kesibukanku untuk mendengarkanmu. Aku berjanji akan
lakukan itu Flo.

Air mataku jatuh tepat di bawah kalimat terakhir.


“Apa kau tak ingat ini Brokoli? Apa kau sudah melupakan janji-janjimu ini?”

Kemudian aku tertidur sambil memeluk buku diari kecilku. Aku terlalu lelah.

***

Lagi-lagi aku berangkat sendirian. Aku melewati rumah Brokoli. Terlihat sepi. Kelihatannya
dia sudah berangkat.

“Sampai kapan kau akan menghindariku brokoli???”

Aku selalu suka memanggilnya seperti itu. Rambutnya yang keriting seperti brokoli serta
kesukaanya terhadap tumbuh-tumbuhan semakin membuat dia mirip dengan brokoli. Ah, aku rindu
memanggilnya dengan itu secara langsung.

Saat istirahat aku memutuskan untuk pergi ke taman sebelah perpustakaan. Tempat di mana
aku dan Brokoli itu menghabiskan sisa istirahat. Saling mengejek atau belajar bersama. Kami
memang tidak satu kelas, makanya berbagi dengan siswa kelas lain tentang pelajaran itu selalu
menyenangkan.

Apa aku tak salah lihat? Surya sedang duduk membelakangiku di bangku yang jaraknya
sudah hanya beberapa meter dariku. Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus melabraknya
sekarang? Tidakkah ini kesempatan yang bagus? Aku memberanikan diri mendekatinya, tinggal dua
langkah lagi, tiba-tiba Surya berdiri dan berbalik. Kami saling tatap terkejut, kemudian Surya
membuang pandangannya.

Aku harus menyelesaikan masalah ini. Dia tak bisa seenaknya memperlakukanku seperti ini.
Aku juga punya perasaan. Ia hendak berbalik dan berjalan menjauhiku.

“Hei brokoli!!! Diam di sana!! Ini permintaan!!! Tidakkah kau merindukanku??”

Surya tak bergeming dari tempatnya berdiri.

“Heii!!! Mana janjimu kau selalu ada untukku, berhenti sejenak dari kesibukanmu dan
mendengarkan keluh kesahku. Mana? Aku menagihnya sekarang. Bukankah janji adalah hutang?”

Sekali lagi ia tak bergerak sesentipun.

“Apa salahku? Bilang saja, aku akan dengan lapang dada menerimanya. Surya... Aku
mohon...”
Sesak sudah, air mataku seenaknya jatuh. Dan kubiarkan ia mengalir sesukanya. Agar Surya
mengerti, agar ia tahu aku benar-benar tulus memintanya kembali.

Surya mendengar isakanku, kemudian ia berbalik menatapku.

“Kau mau tahu jawabannya?” tanya Surya yang akhirnya membuka mulutnya.

Aku mengangguk sambil menyeka air mata.

“Karena kau telah mencuri hatiku...”

Aku langsung menatapnya tajam.

“Yaa, akhir-akhir ini aku menyadarinya. Sebenarnya apa yang aku rasakan padamu. Aku
melihatmu bersama Ray dua minggu lalu. Kalian semakin dekat karena hal itu, aku semakin tak bisa
tidur memikirkanmu Flo. Ya, aku cemburu. Sangat cemburu.”

“Mungkin kamu hanya cemburu sebagai sahabat Sur. Maafkan aku.”

“Tidak Flo. Aku sudah memastikannya berulang-ulang. Aku takut kehilanganmu. Rasanya
beda saat kau dulu dekat dengan Weni. Sampai dulu bahkan kau melupakan janjimu main
bersamaku. Dan kau main bersama Weni. Tidak, seratus persen beda. Kau hanya tak mengerti Flo.”

“Tapi kau tahu kan aku tak akan mengencani sahabatku sendiri. Rasanya akan berbeda. Dan
aku menyayangimu selamanya sebagai sahabat Sur.”

“Iya aku tahu, sangat tahu. Maafkan aku telah mencintaimu Flo...”

Kami diam beberapa menit. Hanya berdiri, menatap jauh kemanapun, asal tidak menatap
lawan bicara.

“Lalu, kenapa kau malah menjauhiku?”

“Karena aku tahu, kau tidak akan menyukainya. Jika bersamamu terus, rasa cinta itu akan
tetap ada Flo. Maka sebentar saja aku berusaha menjauhimu untuk melupakan perasaan liar yang
muncul dari hatiku kepadamu.”

“Tau kah kau jika hal itu malah menyakitiku Sur?”

“Maafkan aku. Aku juga tahu, aku semakin tak bisa berkonsentrasi dengan pelajaran dan hal
apapun karena ini.”
“Tetaplah ada disampingku, tidakkah kau mencoba untuk berdamai dengan perasaanmu?
Tidak bisakah aku hanya menjadi sahabatmu dan adikmu?”

Surya diam. Ia menatapku lamat-lamat.

“Surya... Kali ini aku memohon padamu.”

Ia menghela nafas panjang. Kemudian pergi meninggalkanku. Percakapan ini berakhir tanpa
kesimpulan. Aku mengerti, mungkin ia butuh memikirkannya sendiri. Maafkan aku Brokoli. Kamu
tahu sendiri alasan mengapa aku tak akan menjadikan sahabatku menjadi seorang kekasih.

Satu tahun yang lalu, aku juga mempunyai teman. Emma. Ia mempunyai sahabat kecil,
Danuh. Namun, pada akhirnya mereka berdua jadian. Apa masalahnya? Bukankah hal itu baik?
Bukankah mereka sudah memahami tabiat masing-masing?

Suatu hari entah karena apa mereka bertengkar hebat. Aku tak tahu persis asal muasalnya,
karena memang aku tak suka menggosip. Aku hanya mendengarnya dari Emma bahwa ia putus
dengan Danuh, saat aku tahu ada yang aneh dengan mereka berdua. Sampai sekarang, mereka tidak
pernah akur lagi. Saling sapa pun tidak. Mereka menjadi musuh.

Aku tak tahu jika aku membiarkan Brokoli menyukaiku akhirnya akan seperti apa. Tapi aku
takut, sangat takut jika Brokoli meninggalkanku bahkan membenciku.

###

Pelajaran berakhir, tapi hujan juga nggak mau berakhir. Untung aku masih membawa
payung milik Brokoli. Aku menunggunya di depan kelas. Sampai sepi sekali, ia tak muncul.
Bagaimana dia pulang? Bahkan payungnya aku bawa. Setahuku dia tak punya payung lain selain
payung biru hadiah doorprise milik neneknya ini. Ah, bodo amat, dia kan laki-laki, sudah 17 tahun, ia
bisa mengurus dirinya sendiri.

Aku menyusuri halaman sekolah dengan masih memikirkan percakapan tak berujung dengan
Brokoli tadi pagi.

“Boleh aku numpang pulang? Ini kan payungku!” Tiba-tiba seseorang sudah berada
disampingku menarik-narik payung ke tubuhnya.

Aku berhenti berjalan dan memandangnya.

“Kenapa? Kau mulai menyukaiku?” Ia menyelidik.


Aku melotot.

“Sini aku yang pegang payungnya tuan putri. Ini sebagai permintaan maaf dariku. Maukah
kau menjadi sahabatku selamanya sampai ke akhirat?”

Aku tersenyum dan mengangguk semangat.

Kami berjalan pulang dengan banyak bergurau sambil sesekali bermain air. Brokoli yang
lebih tinggi dariku sengaja meninggikan payungnya agar aku basah kena air hujan.

“Brokolii!!! Aku basaaah, nanti kalau semalaman aku bersin-bersin Ibu dan Ayah nggak bisa
tidur lagi.

Ia malah tertawa terbahak-bahak sengaja betul memainkan payung biru kesana-kemari.

“Hei Flo, selama ini aku belum memberikan julukan padamu kan. Kau seenaknya saja
memanggilku brokoli. Sekarang kau kupanggil Miss Bersin. Hahahahaha...”

“Nggak mau, jelek tauukk...”

Aku memukulinya.

Sekarang Ia malah kabur membawa pergi payungnya dan meninggalkanku kebasahan. Tapi,
aku lega, akhirnya kami akan tetap menjadi sahabat. Selamanya.

Anda mungkin juga menyukai