Anda di halaman 1dari 6

Aku dan tari

Dunia seni sudah aku geluti sejak umur tiga tahun. Itupun dari bimbingan
ayahku yang bisa dibilang biasa aja dalam menari. Aku penasaran juga dengan
bakat yang aku miliki ini. Dari mana asalnya? Setelah itu aku tahu bahwa ayahku
memang menyukai dunia tari. Ibuku the best penari di sekolahnya waktu di SPG
(sekolah pendidikan guru). Bahkan pernah dijadiin asisten sama pelatihnya. Jadi
pengen liat ibuk nari. Belum pernah sama sekali.
Kemudian budheku dari simbah Keni, keluarga ayah adalah seorang
seniman. Tepatnya seniman ketoprak. Wayang orang yang manggung jika ada
syukuran maupun pernikahan. Kalau dari pihak keluarga ibu, tidak ada yang
spesial. Cuman simbah uti aja yang suka banget sama seni.
Karirku dimulai waktu Pak Lik ku menikah. Aku disuruh ayah mentas untuk
pertama kalinya. Nari bondan tani. Tari yang membuatku hapal diluar kepala
saking berulang-ulangnya latihan. Tari yang aku hafal pertaama kali saat empat
tahun. Kebayang nggak tuh? Empat tahun ternyata bisa nari sesulit itu. Andai
dulu ada IMB wah pasti ayahku masukin aku ke IMB. Haha...
Waktu itu semua keluarga besar berkumpul. Bagaimana rasanya waktu
itu? Entahlah, aku lupa. Pastinya aku gugup dong. Secara the first time
manggung di depan umum sob. Dan aku yang paling inget tuh, alm mbah
Sungep sampe nangis terharu waktu aku tampil di atas panggung. Aduh merasa
tersanjung. Walaupun aku nggak liat langsung bagaimana bisa beliau bisa
menangis. Tapi beliau adalah satu-satunya orang yang pernah nangis melihat
tarianku. Bukan menangis karena saking jeleknya, itu mah banyak. Haha.. LOL.
Beliau jadi inget mbah Kung, karena mbah kung nggak bisa lihat cucu paling
cantiknya menari dengan indahnya di atas panggung. Hahaha... Mereka berdua
sudah hidup damai di alam yang berbeda denganku. Rizma selalu doain mbah
semoga mbah Sungepp dan mbah Kung senantiasa nyaman di sana. Hikz...
Dilanjutkan yaa, sedih sedihnya sudah usai. Kemudian, aku dan tari
semakin dekat. Beberapa kali mentas di acara syukuran panen di desa. Banyak
juga yang ikut berpartisipasi. Tapi sayang, sekarang pada lebih suka tari modern
daripada tari jawa.
Saat kelas tiga esde, lomba pertama yang aku ikuti adalah memperingati
hari kartini se kecamatan (06/03/01). Tepatnya di salah satu SMP di
kecamatanku. Guess what? Aku nari apa? Yaap.. Nari bondan tani (lagi). Aku
sebenernya bosen, tapi ya mau gimana lagi. Referensi tari belum banyak. Waktu
itu aksesoris yang ada di kepala jatuh. Haha... Aku biarin aja. Saat pengumuman
tiba, alhamdulillah sob, bawa pulang piala juara tiga. Sayangnya piala itu ditaruh
di esde sob, huhu... Di sana sebenernya aku ketemu sama mbak Hani yang
nantinya waktu SMA aku bisa bekerjasama dengan dia.
Kelas empat, aku dipaksa Ayah masuk sanggar di kecamatan sebelah.
Sanggar Taman Budaya. Awalnya aku nggak mau, secara anak dusun ya, di
suruh gabung sama anak-anak kota tuh mindernya masyaallah nggak

ketulungan. Begitulah anak dusun. Tapi kemudian, mbak Fitri mau menemaniku
ke sana. Jadilah kami berdua bertemu dengan anak-anak kota. Not bad
sebenernya. Bahkan sampai ada yang aku jadikan sahabat sampai sekarang.
Hehe... Terima kasih kepada alm pak Sundoro, pak Rukito, mbak Ida, mbak Lusi,
mbak Tantin yang memebrikan banyak ilmu kepadaku dan teman-teman satu
sanggar. Banyak banget pentas-pentas yang aku ikuti. Masuk tipi juga pernah
dua kali lho. Haha... Tapi sayang, aku nggak bisa lihat semuanya. Habisnya live
sih. Disanalah aku ketemu sama Ferika, Anis, Anisa, mbak Dhanik yang menjadi
teman seperjuangan di SMA castra jayecwara. Hehe... Sampai pada akhirnya
langkahku terhenti di kelas dua SMA. Udah nggak ada anak gedhe lagi sob. Malu.
Anak kecil semua.
Kelas lima esde, lomba kedua yang aku ikuti. Di kecamatan juga. Bari
pemburu kidang. Awalnya aku nggak kepilih sob. Tapi salah satu yang kepilih
terlalu lembut karakternya untuk dijadiin pemburu maupun kidangnya sob.
Alhasil aku dimasukin ke dalam tim. Aku jadi kidang mbak Dhanik jadi
pemburunya. Dengan bimbingan alm pak Joko, dan ternyata dulu beliau juga
pernah tinggal satu desa dengan ibuk. Dunia tak seluas daun talas ya. Para
maestro satu persatu menjadi almarhum. Sedih sob. Jarang banget ada yang
nerusin. Awalnya aku mau banget nerusin, tapi ya begitulah sob. Keinginan anak
yang tak sejalan dengan keinginan orang tua akan berakhir bagaimana.
Latihan demi latihan yang keras, tiap hari ninggalin pelajaran. Wah seneng
banget sob. Hahaha... Oh ya ada cerita lucu waktu aku pertama kali latihan. Aku
dianter oleh mbah Sadi, tukang kebun esdeku. Nah sampai di sana, tepatnya di
kantor guru. Ada seorang guru yang bertanya kepada mbah Sadi.
Guru: Loh kok bukan Putri?
Mbah sadi: ini Putri kok Bu.
Guru: o, jadi namanya Putri.
Mbah Sadi: eh, bukan namanya Rizma.
Aku ngakak sendiri, kan aku tahu sebelumnya bahwa aku akan
menggantikan Putri. Simbah Sadi salah nangkep kata Putri. Beliau nangkep
putri=perempuan. Sedangkan guru itu putri=nama orang. LOL
Kami hanya mendapatkan juara tiga sob di tingkat kabupaten. Nggak
papa. Aku di sana sempat memperhatikan sepasang anak laki-laki yang juga
akan mengikuti lomba tari Jaranan. Waktu itu mereka bersiap-siap disebelahku.
Aku sempat bergumam dalam hati. Mata tuh anak bulet dan gedhe banget. Dan
beberapa tahun kemudian baru aku tahu bahwa tuh anak adalah musuh di dunia
pertarian SMP serta partner nariku selanjutnya di SMA. Ah, dunia memang tak
selebar daun pisang ya. Kebetulan yang wow sekali. Kebetulan banget kalo dia
adalah jodohku adalah sangat cetar membahana. Wkwkw... Tidak tidak.. Dia suka
keju dan aku suka cokelat. Tak akan pernah bisa nyambung. Hehe

Menginjak SMP (espero Rembang tercinta). Aku juga mengikuti ekskul tari.
Dengan bimbingan pak Jendro dan bu Lasmi. Pasanga suami istri yang sangat
aku suka. Sama-sama suka seni. Sama-sama satu tempat kerja. Cucok deh
pokoknya. Beliau mengantarkanku pada petualangan keluar kota pertama kali.
Kelas satu aku belum mendapat kesempatan. Karena masih ada kakak
kelas yang berkompeten. Mbak Ajeng dan mbak Anggi. Aku harus puas dengan
menjadi cadangan. Tak apa yang penting aku bisa menyerap ilmu sebanyakbanyaknya.
Kelas dua, sepertinya aku menjadi cadangan (lagi). Awalnya aku, Agnes,
Hakim atau biasa kupanggil Lalapo, serta Fattah dilatih sebuah tari yang
fenomenal dikehidupanku. Tari Srikandi Cakil. Tari paling sulit yang pernah aku
pelajari selama sepuluh tahun aku mengenal dunia tari. Agnes dan Lalapolha
yang sebenarnya dipilih oleh pak Jendro. Tapi karena ada masalah diantara
keduanya dan hanya kau yang tahu, maka Agnes mundur. Dia lebih rela nggak
nari demi meraih perasaan nyamannya. Ya nggak papa sih sebenarnya itu hak
dia. Malah aku bersyukur karenanya, aku menjadi kandidat utama dalam
perlombaan yang telah dipersiapakan latihannya tiga bulan sebelumnya.
Pertaama-tama latihan memang susah. Tapi setelah banyak berlatih,
berkali-kali berlatih. Di kecroki (istilah di Solo) di wadan-wadani (istilah rumahku)
apa ya bahasa Indonesianya. Pokoknya di jodoh-jodohiin sama Lalapo oleh
temen-temenku. Pernah boncengan bareng naik sepeda buat latihan ke pendopo.
Akhirnya kau yang boncengin dia, takutnya kalau dia yang boncengin aku, malah
tambah parah keusilan temen-temenku.
Maju di kabupaten (10/4/07) di dukung sahabat-sahabat dan temen ekskul
udah kayak di IMB pokoknya-. Sampai salah satu sahabatku yang bukan
anggota ekskul pura-pura jadi anggota ekskul untuk melihatku, makasih Anggi :*.
Juara pertama kami dapetin. Alhamdulillah yaah.
Tingkat karisidenan (30/4/07). Nah ini yang mempertemukanku dengan si
mata belok, mas Danuh. Aku akui. Emang dia keren banget. Lebih keren dari
Lalapo (narinya lho). Tapi si dedek Vizta yang juga bakalan jadi temenku SMAkurang kuat. Jadi kami juara pertama lagi. Alhamdulillah.
Tingkat provinsi Jawa Tengah (21/07/07). Pertama kali menginjak dunia
luar karena tari nih sob. Bangga banget, dengan segala macem usaha latihan,
usaha doa, minta restu ke keluarga besar. Dengan berjuta-juta rasa grogi
memenuhi hati dan fikiran, seluruh tubuh pokoknya. Aku dan Lalapo berhasil
membawa piala juara tiga. Lagi lagi juara tiga. Ada apa dengan angka tiga?
Hehe... Sebelumnya sempat di training adik iparnya pak Jendro sih di Solo 2 hari.
Terima kasih ya pak Didik, entah beliau inget aku apa nggak. Yang jelas pas
beliau jadi Juri di kompetisi tari gambyong di Pati, beliau nggak inget sama
wajahku. Huhu...
Di kelas sembilan. Aku dan teman-teman berkesempatan untuk membuka
acara jambore daerah di salah satu bumi perkemahan. Dan di sana ternyata ada

ada salah satu temen yang jadi classmate ku di SMA kelak. Mas Zaman. Di ikut
dari kontingen kab Jepara. Aku mengetahuniya setelah menjadi temen
sekelasnya. Kebetulan ia memakai kaos bertuliskan jamda 2007 di bumi
perkemahan Karangsari. Itu pertama kalinya nari dilihat pak gubernur. Yang
kedua tapi gubernurnya udah ganti- waktu beliau pak Bibit Waluyo, yang
semboyannya bali deso mbangun deso. Pas nari disinilah aku ketemu mbak Hani,
juara dari kompetisi dalam rangka Kartininan dulu di SD.
Yang ketiga, waktu parade seni budaya se Jawa Tengah di Semarang.
Semua kabupaten mempersembahkan tarian khas daerah masing-masing. Aku
dan teman-teman sanggar Taman Budaya dengan senang hati menjadi
perwakilan kabupaten Pati. Itu kesempatan kedua menari di hadapan pak Bibit,
tapi juga kesempatan ketiga menari dihadapan pak Gubernur.
Kesempatan yang keempat aku dapetin saat acara yang sama tapi dua
tahun kemudian. Yang kelima juga sempat bertemu pak Bibit di sebuah acara di
Semarang. Tapi aku hanya menari di depan bu Bibit, ibu Gubernur.
Nah masuk SMA, aku mengikuti ekskul tari bareng temen-temen
sanggarku dulu dan juga yang lainnya. Disitulah aku ketemu Vizta yang kedua
kalinya. Setelah versus dengannya beberapa tahun silam di SMP. Dengan sedikit
keberanian aku tanyalah sama dia.
Aku: kamu dulu pernah ikut lomba Srikandi Cakil di Rembang ya?
Tanyaku yang mempunyai modus lain.
Vizta: iya. Kok tahu?
Aku: karena kamu telah mensrikandi Cakilkan hatiku #lupakan. Jaman dulu
belum ada kayak beginian.
Yang sebenarnya adalah,
Aku: aku juga ikut, dari kontingen Rembang.
Kemudian Vizta ngangguk-ngangguk. Beberapa saat kemudian ia
menceritakan percakapanku kepada Mamahnya, bu Ani. Guru tari kami tercinta.
Yess, modus berhasil. Nama baik didapatkan. Hahahaha... Dengan bu Ani
mengetahui latar belakang kemampuanku yang pernah mengalahkan anaknya,
setidaknya aku cukup berkompeten untuk diikutkan dalam beberapa even.
Haha... Cerdas dan super sekali ide saya kan? #lupakan.
Dan ternyata benar. Beberapa even lomba, pentas, menghasilkan uang
ataupun nggak, bu Ani selalu mengingat namaku. Hahaha...
Pertama kali itu, Vizta seharusnya yang mau mentas. Tapi dia nggak bisa
karena harus pergi ke Bali bareng bu Ani dan pak Warno. Jadi aku menjadi
cadangan lagi. Kebetulan narinya adalah SC. Aku dipertemukan dengan Danuh si

bernard bear ketiga kalinya (23/03/09). Hehe... Kami bekerja sama dengan baik
walopun awalnya rival kompetisi.
Beberapa bulan kemudian, kami dipertemukan lagi untuk mengikuti
porseni tingkat Jawa Tengah. Langsung ke provinsi men! Tanpa harus ke
kabupaten dan karisidenan dulu. Kabupaten kami ditunjuk langsung tanpa audisi
untuk maju ke tk provinsi. Soalnya tahun lalunya mas Hang, mbak Hani dkk yang
memenangkan lomba tk karisidenan. Jadi berterima kasihlah kami kepada
mereka. Jadi Pati langsung diberi kepercayaan tanpa audisi langsung ke provinsi.
Dengan latihan hanya dua minggu, ditambah lagi waktu puasa. Dengan
segala upaya meningkatkan asupan makanan, susu, agar menghasilkan energi
yang maksimal. Delapan Oktober 2009. Untuk pertama kalinya smansapa dapet
juara II se Jawa Tengah di porseni cabang seni tari dengan mempersembahkan
tari Puri sari. Alhamdulillah. Tim kami yang kemudian saya beri nama the OST
yang terdiri dari Rizma, Vizta, Erha, Danuh dan Andra sangat bangga
mempersembahkan piala ke bu Ani. Pengennya sih tak bawa pulang. Ohya, disini
aku ketemu sama Oik idola cilik.
Tahu ke dua di smansapa, the OST diberi kesempatan untuk mengikuti
lomba lagi. Tapi sayang harus ganti personil, karena Danuh bukan dari sekolah
kami, terpaksa kami menggantinya dengan dek Topik. Anak axelerasi yang aku
rekomendasikan ke bu Ani dikarenakan dia pernah masuk sanggar Taman
Budaya. Karena kami harus memasuki babak penyisihan dari kabupaten dulu,
makanya kami nggak bisa menggunakan Danuh. Siapa tahu sekolahnya juga
nunjuk Danuh sebagai wakil. Tapi di hari H (03/04/10) ternyata sekolahnya nggak
ikut. Dia hanya nitip semangat lewat sms. Dia nggak bisa dateng karena
menyemangati temannya yang juga lomba cabang bola voli.
Namun, setelah maju perang eh maju nari Mina Tani aku menemukan
sosoknya berdiri tanpa dosa melihat kami. Entah sejak kapan dia berdiri di situ.
Dasar, katanya nggak bisa hadir, eh ini hadir. Ah... Kamu memang the best deh.
Hehe
Di tingkat karisidenan (27/05/10) kami mendapat kesempatan untuk juara
pertama (lagi). Setelah takut sama anak-anak Rembang yang juga saya
mengenal keempat personilnya. Temen-temen nari waktu aku masih di
Rembang. Aku sempet ngintip lomba mereka tingkat kabupaten. Sebagai matamata gitu, siapa tahu bisa menambah semangat waktu menghadapi
pemenangnya di tk karisidenan. SMA Agnes dan Lalapo pun kalah. Yang menang
ya dek Galuh dkk. Kali ini Danuh benar-benar nitip doa lewat sms.
Nah sebelum ke tk provinsi, sempet ada problem sama dek Topik. Awalnya
dia nggak mau lagi ikut. Kemudian akan diganti Danuh. Aku sempet senang
dong, secara kemampuna Danuh lebih dari dek Topik. Hehe.. Tapi kemudian dek
Topik kembali mau untuk latihan. Malam, 29 Juni 2010 kami harus berperang
sekali lagi. Danuh juga nitip semangat lewat sms.

Sampai di ruangan tempat kami lomba eh, Danuh sama bapaknya sudah
santai duduk di bangku paling belakang. Dasar pembohong! Haha... Terima kasih
yaa, walopun kamu kali ini nggak ikut tapi the OST tetep kumpul. Hehe... Kami
harus puas mendapatkan juara Harapan II. Ya nggak papa ynag penting ada
pialanya. Eh, pialanya di rumah bu Ani ding. Padahal pengen loh minta satu. Kan
bu Ani dah punya banyak. Wkwkw...
Kebersamaan the OST tak berhenti sampai di sini. Kami di undang ke
peringatan hari tujuh belas agustus di pendopo kabupaten. Kali ini dek Topik
bener-bener nggak mau ikut. Alhasil dengan hari H yang mepet tinggal dua hari
lagi, Danuh kembali ke the OST. Dengan hanya latihan dua hari dia cukup sukses
menghibur pak Bupati serta masyarakat. Daebak!
Pentas demi pentas, honor demi honor kami terima. Sekarang juga masih
membuka lowongan. Hehe... Kemaren aku dan Danuh diberi kesempatan nari SC
lagi di ulang tahun BRI. Serasa jadi maskot. Di hampiri beberapa masyarakat
untuk minta foto bareng. Harusnya buka stan aja. Satu jepret 10ribu. Haha... Kan
enak bisa buat tambah uang jajan.itu pertama kali manggung dilihat pak Bupati
yang baru yang juga merupakan ayah dari adik kelasku. Pak Haryanto.
Sekarang dan selamanya masih pengen tetep berkontribusi di dunia seni
terutama tari. Impian yang aku bangun adalah bisa berkolaborasi atau
setidaknya bisa menari dilihat para maestro tari Indonesia seems like om Didi
nini towok. Aamiin.. Apalagi kolaborasi dengan Ardhy Dwiki IMB. Wkwkw... Siapa
tahu???

Anda mungkin juga menyukai