0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
16 tayangan19 halaman
Dokumen tersebut merupakan cerita perjalanan seorang perempuan bernama Vel ke Amsterdam bersama Rigel untuk merayakan ulang tahunnya. Vel bertemu Rigel setahun sebelumnya di museum seni dan belajar bahasa Belanda darinya. Mereka mengunjungi makam ayah Rigel di Amsterdam sebelum menikmati pertunjukan orchestra di Gedung Opera Nasional.
Dokumen tersebut merupakan cerita perjalanan seorang perempuan bernama Vel ke Amsterdam bersama Rigel untuk merayakan ulang tahunnya. Vel bertemu Rigel setahun sebelumnya di museum seni dan belajar bahasa Belanda darinya. Mereka mengunjungi makam ayah Rigel di Amsterdam sebelum menikmati pertunjukan orchestra di Gedung Opera Nasional.
Dokumen tersebut merupakan cerita perjalanan seorang perempuan bernama Vel ke Amsterdam bersama Rigel untuk merayakan ulang tahunnya. Vel bertemu Rigel setahun sebelumnya di museum seni dan belajar bahasa Belanda darinya. Mereka mengunjungi makam ayah Rigel di Amsterdam sebelum menikmati pertunjukan orchestra di Gedung Opera Nasional.
Sore ini dengan suara rintik hujan yang kian mereda,
pandanganku menatap beberapa foto polaroid yang sengaja kutempel pada dinding dekat meja. Namun aku hanya menatap pada potret dua orang tersenyum dengan latar negara kincir angin. Pandangan sendu, pikiranku seperti secara otomatis memutar memori lama itu, layaknya kaset lama yang telah kupendam kini menampilkan video masa lalu. Dada terasa menyesakkan, marah, sedih, dan kecewa bercampur menjadi satu. Ya, aku mengakui kalah, segala hal kulakukan untuk mengubur kenangan itu semua. Kini tergali dan merekah kembali. 2018. Rambut cokelat yang telah kuikat dengan gaya messy bun. Bersiap untuk mengunjungi salah satu pameran yang sudah kunantikan sejak lama. Seorang diri menuju ke sana bukanlah masalah untukku. Dikala kulihat semua orang berseru ria bersama kekasih dan teman-temannya menikmati lukisan-lukisan luar biasa itu. Tujuan utamaku pun sama, aku berdecak kagum begitu sampai pada space My Eternal Soul, karya salah satu tokoh Indonesia yang aku suka, Yayoi Kusama. Wangi parfum aqua merebah seperti sedang melewati posisiku. Meskipun tercium namun aku tak memperdulikan dan tetap melihat lukisan indah tersebut sembari memotretnya dengan kamera. Selang beberapa menit, bisikan suara bariton menusuk telinga hingga membuatku terperanjat kaget. Kemudian, aku baru tersadar bahwa diriku sudah lama berdiri terpaku pada lukisan abstrak setelah apa yang dikatakan oleh lelaki itu, ia penasaran apa yang mampu membuatku terhipnotis pada lukisan tanpa rupa tersebut. Aku hanya meneliti lelaki itu dari ujung rambut hingga sepatu yang ia gunakan. Tanpa berniat untuk membalas pertanyaannya. Jentikan jari yang ia berikan tepat di depan wajah berhasil membuat fokusku terpecah. Pada akhirnya, aku bertukar cerita dengan lelaki yang baru aku kenal secara tak sengaja. Dari situ aku mengetahui, nama Rigel dan pelukis Abenk Alter sebagai tokoh idolanya dalam seni rupa. “Aku menyukainya karena model lukisan yang menggunakan metode fastline itu, sangat sesuai dengan seleraku”. Tak terasa aku dan dirinya bercengkrama sambil berkeliling museum hingga matahari sudah mulai terbenam. Sebelum pulang, kami bertukar nomor telepon sekedar untuk menambah lingkungan pertemanan. Dan ia menawari makan malam bersama di daerah blok M. 2019. De Jong, marga yang tak heran terpaut pada nama Rigel. Lelaki blasteran dari jurusan sastra Belanda di Universitas Indonesia itu adalah mahasiswa yang fasih berbahasa Belanda. Suatu kebetulan aku dan dirinya bertemu setahun yang lalu. Karena aku yang kini duduk di bangku kelas 12 tak perlu resah lagi memikirkan masa depan yang gelap. Impian akan Eindhoven University di negara kincir angin itu, seperti mudah kugapai. Berulang kali aku membujuk Rigel untuk membantu diriku menguasai bahasa Belanda namun jawabannya selalu sama “Aku sibuk, lebih bagus kalau kamu cari beasiswa dan mendalami pengetahuan tentang jurusan favoritmu itu Vel”. Aku menyerah, untuk terakhir kalinya aku membujuk dirinya lagi. Helaan napas panjang terdengar, setelah itu Rigel memberikan jawaban yang berhasil membuatku tersenyum senang. Jadwal belajar dengannya meskipun hanya tiga kali pertemuan sudah cukup untukku. Aku memakluminya karena ia mahasiswa semester delapan yang terus berkutat dengan skripsi. Sehabis satu jam berkutat dengan tumpukan buku dan kamus, kami berdua memutuskan untuk pulang dengan MRT. Sembari berjalan kaki menuju ke stasiun MRT, kami menikmati pemandangan city light ibukota pada malam hari yang mengagumkan. Kami pun berpisah di pemberhentian stasiun daerah Senayan, aku pun turun dari kereta cepat itu dan menoleh ke belakang, dapat kubaca gerak bibir Rigel yang berkata tanpa suara “hati-hati di jalan Vel, welterusten” aku pun hanya tersenyum kepadanya. Dari pertemuan-pertemuan itu, aku memiliki kemajuan dalam memahami kosakata Belanda. Selain itu juga, aku semakin mengetahui dirinya. Satu hal yang akhirnya kuketahui tentang sosok laki- laki yang kutemui di museum kala itu adalah Kota Amsterdam sebagai rumah tempat pulangnya, kota dimana ia menghabiskan masa kecil dengan seorang ayah hebat, aku tahu ia seperti menahan rasa sedih setiap kali mengingat figur ayah yang sangat ia sayangi. Bulan depan adalah hari ulang tahun Rigel, ia memiliki rencana untuk terbang ke Belanda bertemu dengan ayahnya. Mendengar hal itu aku merasa senang karena obat rindu yang paling ampuh adalah bertemu. Namun hal yang membuatku terkejut, dua buah tiket yang dia tunjukkan kepadaku. Ia berharap aku mau menemaninya disana “Sekalian kamu bisa mengasah kemampuan berbahasa Belanda secara langsung” itu yang dia katakan saat memberikan tiket pesawat. Rigel sungguh berhasil membuatku diam membeku akan semua kejutan yang diberikan. Waktu 1 bulan sangatlah cukup untuk menyiapkan segala keperluan selama 5 hari di negara orang. Hingga waktu yang kunantikan pun tiba, bohong jika aku bilang tidak antusias mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke negara impianku. Tiba di bandara, sudah ada Rigel yang menunggu dengan baju turtle neck hitam dilengkapi dengan blazer warna coklat muda. Aku berpamitan dengan mama dan papa, Rigel juga ikut berpamitan kepada orang tuaku dengan senyum ramahnya hingga nampak lesung pipi di sebelah kiri. Setelah mengantre pada loket check in untuk memeriksa seluruh dokumen, kami menuju ke gate keberangkatan untuk menunggu pesawat datang. Akhirnya aku tiba di Amsterdam dan Rigel bisa kembali ke ‘rumah’-nya setelah 14 jam perjalanan yang cukup membuat pinggulku terasa sakit dan pegal. Mataku menatap sekeliling Schiphol Airport yang ramai akan lautan manusia berlalu lalang. Hawa dingin yang menusuk kulit dan membuat bulu kuduk merinding, aku segera merapatkan coat tebal yang kugunakan. Perjalanan dari bandara ke Hotel Vossius Vondelpark memakan waktu 21 menit, sangat cukup untuk menikmati arus lalu lintas malam ini yang sedikit ramai. Lampu-lampu jalan serta lampu-lampu gedung yang tinggi menghiasi indahnya tepi jalan Kota Amsterdam. Sengaja kami memilih hotel itu karena lokasinya yang dekat dengan tujuan utama yaitu Rijksmuseum. Esok paginya, aku bangun lebih awal dan melihat pemandangan pagi hari Amsterdam dari balkon kamar hotel. Sekitar pukul 9 pagi aku memutuskan keluar dan mengetuk pintu kamar Rigel yang terletak persis di depan kamarku. Kami sudah berjanji untuk bersiap merayakan hari ulang tahun Rigel pada pukul 9 pagi. Tak lama pintu itu terbuka menampakkan sosok laki- laki, dimana blazer dan kemeja seperti menjadi ciri khasnya. Aku menyapa dan tersenyum kepadanya. “Sudah siap?” aku pun menganggukkan kepala dengan semangat. Sesuai dengan niat Rigel kembali ke sini adalah bertemu dengan ayahnya, aku cukup terkejut mengetahui bahwa sosok ayah itu sudah tiada. Ya, kami berada di area pemakaman. Sebuket bunga yang awalnya berada di tangan lelaki itu kini ia letakkan di bagian tengah batu nisan yang terlihat sudah menua dan berlumut. Dapat kudengar sapaan lirih darinya “Hai ayah, El udah pulang”. Isakan kecil dan tubuhnya bergetar sembari mengusap lembut pada nisan itu. Aku segera memeluk pundak lelaki itu dari samping untuk memberikan sedikit rasa tenang. Ia menatap kepadaku dengan keadaan mata yang berlinang lalu menarik tanganku yang berada pada pundaknya untuk ia genggam hingga dapat kurasakan pula perasaan duka yang Rigel rasakan. Kami melangkah keluar dari area pemakaman, lalu tiba-tiba sebuah tangan memegang pergelangan tanganku “Vella” panggilan lirih dari Rigel membuatku menoleh ke samping “Ya?” aku bertanya dengan tetap memberikan tatapan hangat. “Terima kasih untuk tadi” senyuman merekah pada wajahku sebagai jawaban dari pernyataan itu. Agenda selanjutnya adalah Rijksmuseum, destinasi yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Hal ini juga cukup untuk menghibur Rigel dari kesedihannya. Keadaan di tempat itu ramai akan pengunjung. Meskipun bulan ini adalah winter season, namun tidak menyurutkan jumlah pengunjung yang justru terlihat semakin ramai. Museum dengan model bangunan klasik nan megah khas Belanda itu menyajikan berbagai macam lukisan dan patung karya pelukis Belanda termasuk karya Rembrandt. Kami saling berfoto di area museum yang terdiri dari 4 lantai itu menggunakan kamera yang kubawa yang tentunya tidak kami telusuri setiap lantainya dengan detail. Berakhir di cafetaria museum, untuk mengisi perut dan beristirahat. Lima hari sudah terlewati di Belanda ditemani dengan musim dingin yang menyenangkan. Mengingat malam ini adalah malam terakhir, kami berencana mengunjungi salah satu tempat untuk kembali mengenang sosok ayah Rigel. Ia menceritakan kepadaku, ayahnya adalah seorang pemusik dan tergabung menjadi anggota orchestra sebagai pemain violin. Karena itulah sewaktu kecil, ayah seakan seorang idola baginya. Dapat kupastikan, tempat yang mengingatkannya akan sosok ayah adalah sebuah gedung opera. Nationalle Opera & Ballet, gedung pertunjukan teater dan seni, aku sungguh terkagum begitu sampai di sana untuk menyaksikan pertunjukan orchestra. Begitu banyak pengunjung yang datang bersama teman, keluarga, pasangan, ataupun orang yang baru saja mereka kenal. Seorang konduktor mulai memimpin lantunan melodi yang memainkan musik Swan Lake Suite Op.20 karya Tchaikovsky. Mereka terlihat menikmati alunan musik klasik itu yang memiliki irama melakonlis di beberapa bagian. Aku pun turut terhipnotis dari melodinya yang terasa megah. “Ayah pernah ngajarin aku cara main piano, dia pingin aku bisa bermusik,” mendengar hal itu aku sedikit terkejut “Oh ya? Kamu serius?” dia hanya tertawa kecil melihat reaksiku lalu memberikan anggukan. Tentu saja aku penasaran mendengar Rigel memainkan alat musik itu. Entah suatu saat nanti mungkin aku akan mendengarnya. Setelah beberapa menit, para pengunjung memberikan tepuk tangan meriah sebagai tanda berakhirnya pertunjukkan orchestra tersebut. “You like it?” tanya Rigel sembari merangkul pundakku supaya tidak terdorong dengan pengunjung lain yang sedang keluar dari ruangan tersebut. “Ya i like it so much” aku membalasnya begitu kami berhasil keluar dari ruangan orchestra itu pula. Dan di malam itu juga, Rigel memberikan secarik kertas kepadaku berisi pengakuan pernyataan cinta. Semua perkataannya di kertas itu, berhasil membuatku diam terpaku lagi atas semua kejutan yang dia miliki. Meskipun ia memalingkan wajah untuk menahan malu, masih dapat kulihat telinganya yang memerah. Tanpa aku harus bicara pun aku yakin ia telah mengerti apa jawabanku atas pernyataannya. Wajahku turut memerah, sontak Rigel memelukku “Gini dulu sampe wajahmu kembali normal” kata Rigel sembari menenggelamkan kepalaku ke dekapannya. Aku menutup mata merasakan pelukan hangat yang ia berikan, sangat nyaman dengan postur tubuhku yang pendek dan Rigel yang cukup tinggi. 2020. Setahun kami menjalin hubungan dan selama hubungan itu, tak selamanya berjalan sesuai keinginan kita tanpa ada masalah ataupun pertengkaran- pertengkaran kecil. Semua permasalahan seperti lonjakan dan jalan curam yang tidak semudah itu untuk dijalani. Dan selalu mengarah kepada satu hal. Rigel yang kini sedang menghadapi sidang skripsi. Selain itu pula, dia sudah menekuni alat musik piano untuk berusaha mewujudkan keinginan sang ayah. Aku sungguh bangga kepadanya karena dirinya seperti junior version of his dad, memberikan tampilan di berbagai panggung acara orchestra. Aku dapat dengan jelas menyaksikan dirinya yang selalu berada di bagian center bermain dengan tuts-tuts piano itu. Namun kemudian, aku sering kali melewatkan penampilan-penampilan Rigel karena diriku mulai terfokus untuk persiapan mengikuti pendaftaran mahasiswa baru di universitas impianku. Dan disinilah semua permasalahan selalu menuju kepada satu hal yaitu komunikasi kami yang kian memburuk. Waktu bersama kami tersita dengan kesibukan masing-masing. Aku yang berkutat dengan buku, kamus, serta laptop dari siang hingga malam. Sedangkan dia yang dalam setahun ini tergabung dalam organisasi OSUI Mahawaditra, Orkes Simfoni Universitas Indonesia. Lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-teman kampusnya untuk berlatih ataupun sebagai pengurus aktif di organisasi itu. Ditambah lagi ia melanjutkan studi untuk gelar S2. Jarang sekali aku mendapatkan kabar tentangnya ataupun notif chat darinya. Awalnya aku mencoba memahami dan mengerti dengan kesibukan Rigel, dunianya tidak hanya tentang aku. Dan hari terasa begitu cepat, berjalan layaknya kain terbawa angin. Hanya terbang begitu saja, tanpa ada sesuatu yang istimewa. Begitu pun dengan keadaan diantara Rigel dan aku. Seiring berjalannya hari itu pula, aku mulai terbiasa dengan kondisi hubungan kami yang entah rasanya seperti berada di ambang jurang yang siap untuk kapan pun memberikan luka apabila terjatuh. Akhir-akhir yang menyibukkan untuk persiapan mengikuti tes kuliah itulah yang membuatku sedikit melupakan situasi yang tengah terjadi. Setiap hari aku hanya mendengar permintaan maaf darinya yang sungguh telah membuat sebagian diriku merasa jengah. Segala pesan chat yang kuberikan kepadanya untuk memberikan dukungan ataupun perhatian atas segala kesibukannya, tak lagi menyentuh. Rasanya seperti ia adalah Rigel yang berbeda. Hingga di suatu sore kami bertemu. “Maaf Vel, kita baru bisa hangout bareng lagi sekarang” Ia tersenyum kepadaku namun masih dapat kulihat wajahnya yang terlihat letih dan tubuhnya yang menjadi lebih kurus. Aku berusaha meredam semua emosi yang awalnya ingin kuluapkan tetapi urung kuniatkan setelah melihat kondisinya saat ini. Sebagai balasan dari perkataannya, aku hanya menganggukkan kepala. Selama hampir 5 menit kami hanya saling menatap tanpa ada yang memulai percakapan. Dari tatapan itu rasanya seperti banyak makna yang tersirat, rasa rindu, dan juga sorot mata penuh pertanyaan. Hingga pada akhirnya, Rigel membuka suara untuk memecah keheningan diantara kami berdua. “Ada sesuatu yang harus aku sampaikan ke kamu” Rigel nampak mengubah posisi tempat duduknya menjadi lebih nyaman dan wajahnya yang menjadi sedikit lebih serius. Aku mengangkat sebelah alisku tanda bertanya. Lalu ia mengatakan kepadaku bahwa ia akan pergi ke luar kota selama 4 hari untuk acara pagelaran orchestra. Dari situ aku tersenyum getir mengetahui tujuan kami bertemu hanyalah untuk memberi tahu kepergiannya tanpa sedikit pun Rigel bertanya tentang bagaimana dengan diriku, apakah aku baik-baik saja ataupun sekedar menanyakan kabar pun tidak. “Kamu nyadar nggak sih kalau hubungan kita ini udah nggak seperti dulu lagi? Hidup yang jarang banget ngasih kabar ke aku, sesusah itu ya El?” Rigel tampak menunduk dan menghela napas panjang lalu menatapku lagi dengan tatapan yang sulit diartikan “Vella, maaf tapi aku memang lagi banyak kegiatan kampus akhir-akhir ini dan ada sesuatu yang harus aku urus” Aku mengangguk dan mencoba untuk memahaminya, lagi. “See? kamu bahkan nggak cerita soal masalah yang kamu hadapi sekarang. Aku cuma pingin terlibat di setiap kamu merasa bahagia atau sedih” Aku berusaha untuk tetap tenang meskipun nafasku terasa tercekat karena menahan air mata yang dapat kapan saja luruh dari pelupuk mata. Dan Rigel memberikan jawaban yang justru berhasil membuat air mataku jatuh “Aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri Vel, kamu bahkan nggak perlu memikirkan itu” Perselisihan yang terjadi, lagi. Aku memang prioritasnya tetapi untuk saat ini prioritas utamanya adalah studi dan cita-cita sang ayah. Sebenarnya, apakah kamu hanyalah tokoh figuran atau aku yang menjadi tokoh figuran di dalam duniamu El? Rasanya seperti hanya aku yang menjalani hubungan ini. Lalu untuk apa aku menunggu dan memahami semua keadaan di saat ia bahkan tidak berusaha untuk memahamiku? Dan disaat itu juga aku menginginkan hubungan 1 tahun ini diakhiri. Rigel sontak terkejut dengan rahang yang mengeras untuk menahan emosi. Selang beberapa detik ia berkata dengan suara serak nan lirih “Kenapa pilihanmu adalah mengakhiri semuanya?” “Karena cinta yang ada sekarang nggak bikin kita bahagia. Kita saling membebani disaat sakit” mendengar jawaban itu ia menunduk dan diam terpaku karena bagaimana pun apa yang kukatakan adalah fakta dari kondisi hubungan kita yang semakin merenggang. 2 bulan setelahnya, aku mendapatkan kabar pengumuman mahasiswa baru lewat email bahwa diriku sukses menjadi ‘mahasiswa’ di universitas yang telah kuimpikan sejak lama. Aku seharusnya mengucapkan terima kasih kepada Rigel karena bimbingan darinya selama 2 tahun terakhir. Namun aku tak bisa melakukannya karena pagi ini pun di saat aku benar- benar akan meninggalkan tanah air, ia tidak ada di sini. Aku tidak berharap lebih lagi padanya, seperti yang ia katakan aku bukan lagi berada di urutan pertama. Diluar dugaan, apa yang kupikirkan ternyata salah. Ia datang menemuiku, di sini, Bandara Soekarno-Hatta. Ia menyebut namaku, lalu berjalan menghampiri dengan nafas memburu yang tampak seperti sehabis berlari. Kakiku ikut bergerak menghampiri dirinya dengan langkah pelan. Tanpa disadari, air mataku jatuh begitu saja tanpa permisi “Jangan nangis, Vella” tangan Rigel bergerak menghapus jejak air mata di pipiku. Ia selalu tersenyum kepadaku, begitu pun dengan hari ini. Tapi entah mengapa rasanya senyuman yang ia ukir sekarang jauh lebih hangat dari sebelumnya. Ia tak banyak bicara, hanya diam menatap hingga tangisanku mereda. Setelah tenang, Rigel hendak mengatakan sesuatu. “Vella Aluna” untuk pertama kalinya, ia memanggil dengan nama lengkap. Sontak aku menoleh kepadanya dengan keadaan mata memerah. Ia mengatakan sesuatu yang mengabulkan keinginanku kala itu, mengakhiri hubungan ini. Bahkan kita sudah saling menjauh, perbedaan dan jalan yang tak lagi sama antara kami berdua. Dari awal yang menginginkan berakhir memang aku, namun saat ia mengatakan dan menyetujui keinginanku itu, rasanya sungguh berbeda. Sebenarnya, sebagian diriku tak benar-benar ingin mengakhirinya tetapi keputusan yang telah kami ambil ini, aku hanya berharap adalah satu-satunya jalan yang benar. “Kita sama-sama istirahat ya Vel. Perjalanan kita sampai di sini saja ya?” Kami menyadari, di dalam keheningan yang menyakitkan ini. Hubungan kami telah diakhiri. Aku juga telah mengetahui tentang perkataan orang-orang bahwa manusia itu datang dan pergi dan memang benar adanya. Namun hal yang kusayangkan, kenapa orang itu harus kamu? 2024. Polesan makeup tipis dan pakaian toga yang sudah kugunakan. Aku menatap pantulan diri dari cermin dan terkesima. Studi yang kutempuh selama hampir 4 tahun kini telah memberikan gelar BCs pada namaku. Akhirnya, diriku dapat menikmati suasana hari ini. Berdiri di tengah-tengah podium bersama dengan teman-teman dan puluhan mahasiswa lainnya. Berbagai macam penampilan dipertontonkan untuk turut serta memeriahkan. Termasuk pertunjukan orchestra yang mampu membuatku terhipnotis. Lebih tepatnya, dengan sang pianis yang tepat berada di tengah panggung. Tangannya lincah memainkan tuts-tuts piano memainkan lagu Perfect karya Ed Sheeran. Sang pianis itu adalah seseorang yang 4 tahun lalu berjanji kepadaku bahwa suatu saat kita akan bertemu di titik hari penting bagiku, lelaki dengan penampilannya yang tak pernah berubah, Rigel Gautama De Jong. Selesai penampilan orchestra itu, aku keluar menuju lapangan kampus yang juga ramai akan mahasiswa berpakaian toga. Sesekali aku menyapa beberapa teman. Hingga secara tak sengaja pandanganku menyorot ke arah lelaki yang pernah menjadi bagian di hidupku, Rigel. Ia sungguh menepatinya janjinya kala itu. Dengan jarak sekitar 2 meter, aku bisa melihatnya dengan jelas. Ia tersenyum kepadaku hingga menampakkan lesung pipi andalannya. Pandangan hangat yang masih ia berikan hingga saat ini, tak pernah berubah. Aku turut terseyum kepadanya sebagai tanda menyapa. “Long time no see, El” dia menganggukkan kepala sembari berjalan mendekat. Sebuket bunga ia berikan kepadaku, sebagai hadiah kelulusan “Selamat wisuda perempuan SMA yang tak sengaja kutemui di museum” aku tertawa kecil dan kembali mengingat bagaimana pertemuan awal kita yang dimulai dari dua orang asing secara kebetulan memiliki selera sama akan lukisan abstrak tanpa rupa. Hening setelah Rigel berbicara, hanya terdengar alunan tarikan napas antar kami berdua menemani keheningan yang tercipta. Benar-benar suasana yang canggung, apalagi dengan jarak yang cukup dekat dan dirinya yang terlihat seperti memperhatikanku. Aku menunduk menatap ke arah buket bunga yang berada di genggamanku, menghindari kontak mata dengannya. “Besok aku sudah pulang ke Indonesia” Rigel berkata membuka obrolan, memecahkan keheningan. Mendengar hal itu, aku akhirnya menatap kearahnya. Ia datang kesini murni hanya untuk datang ke hari kelulusanku dan bertemu dengan ayahnya sebelum pulang esok hari. Maka hari ini…adalah waktu 1 jam yang kudapatkan untuk melihatnya lagi. Aku menutup mata dan menghela napas panjang. Menghilangkan rasa sesak di dada, menyadari saat ini adalah ujung pertemuanku dengannya. Aku mendongak dan melihat ke arahnya yang kini tidak memberikan tatapan hangat melainkan sorot mata sedih dan penyesalan “Vel…maaf untuk semuanya, maaf aku gagal jadi pasanganmu yang seharusnya bisa bikin kamu bahagia. Maaf sudah banyak beri kamu luka, sakit banget ya selama setahun itu?” ia berkata dengan pelupuk mata yang sudah berlinang. Aku menggeleng pelan mendengar perkataannya, ini bukanlah kesalahan salah satu pihak. Melainkan sikap egois yang sejak awal mendominasi perasaanku dan juga Rigel. Jalan yang kami tempuh pun sudah berbeda arah. Pemikiran dan pendapat kami yang saling bertentangan. Semua perdebatan karena sikap egois kita yang menuntut memahami satu sama lain, namun tak pernah terkabulkan. Hingga menuju kata pisah dengan rasa saling menyayangi satu sama lain yang tak bisa terlepaskan. “Vella…for the last time, can I hug you?” selama beberapa detik aku hanya terdiam, kemudian mengangguk pelan. Ia tersenyum kembali lalu mendekat dan mendekap tubuhku dengan erat. Dapat kudengar isak tangisnya, aku membalas pelukan itu untuk merasakan kehangatan yang selalu ia berikan untuk terakhir kalinya. Sungguh aku merindukan pelukan ini, yang kudapatkan setiap kali aku menangis dan ia pasti berada di sampingku dan berkata bahwa semua baik-baik saja. Aku hanya berharap, kita berdua tidak terlalu menderita dengan ini semua. 2025. Setiap kali aku mengingat sosoknya tak lagi menangis namun hanya mampu tersenyum mengingat semua kenangan yang kami lalui bersama. Meskipun begitu, rasa sakit itu masih ada hingga sekarang. Setelah puas menatap pada foto polaroid itu, tanganku tergerak mengambil salah satu buku pada tatanan rak buku di sebelah meja. Sebuah sketchbook yang ia berikan padaku tepat di hari kelulusan kala itu. Judul yang tertulis di sana terpampang jelas, Belangrijk Onderdeel Van Mijn Leven. Kubuka dengan perlahan yang memperlihatkan sketsa perempuan di setiap halamannya. Ukiran pensil yang ia bubuhkan di setiap kertasnya, aku tersenyum melihat gambaran diriku sendiri pada lembar-lembar itu. Semua hal yang pernah kami lakukan bersama, masih membekas di dalam ingatanku. Bahkan wangi parfumnya, potongan rambut andalannya, senyum manisnya yang membuat muncul lesung pipinya, cara dia menatap, postur tubuhnya dari belakang, caranya saat menjelaskan sesuatu, suaranya saat memanggil namaku, sifatnya yang menenangkan, dan kacamata oval yang selalu ia gunakan. Semuanya masih terekam jelas dalam ingatan yang aku punya. I realize that the fact is we never meet again since my graduation. The Last Page. Aku membaca beberapa kutipan “Perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh rindu” sepertinya aku mulai menyadari bahwa itu memang benar adanya setelah aku merasakannya sendiri. “Jika kamu mencintai mereka maka biarkan mereka pergi”. Kamu tahu, aku tidak pernah benar-benar mengerti ungkapan itu sampai sekarang. Tapi akhirnya aku sadar di sini menangisimu tidak akan membantu. Aku harus merelakanmu pergi dan mencari kebahagiaanku meski tidak bersamamu. Dan terima kasih untuk semua rasa cinta yang pernah kamu berikan kepadaku. Terima kasih selalu ada di sampingku saat aku merasa jatuh. Terima kasih juga sudah membuatku mengetahui tentang caranya untuk berbagi rasa. Aku sangat lega bahwa sekarang kamu sudah menemukan kebahagianmu El. Meskipun terlambat tapi aku ingin mengatakan selamat atas pernikahanmu, Gautama De Jong. Selamat menempuh kehidupan baru. Maaf aku tidak bisa hadir. Jika kau membaca tulisan ini, artinya aku sudah pernah jatuh kepadanya. Jatuh kepada lelaki that always making me feel loved.