Perjalanan Sebu-WPS Office
Perjalanan Sebu-WPS Office
Aku pikir aku perlu menutup mulut untuk saat ini dan melihat lebih dekat, mendengarkan dengan
saksama lingkungan sekitarku. – Perjalanan Sebuah Botol Kosong.
Menyelesaikan studi dari program studi Belanda, Universitas Indonesia. Ia menaruh minat besar pada
penulisan dan penerjemahan. Tulisannya dapat ditemukan di beberapa media, tak jarang hanya
mendekam di buku tulisnya.
Sebuah pesawat. Saat ini, muncul sebuah pesawat di dalam tidurku. Biasanya keretalah yang berpacu di
dalam mimpiku. Sejumlah kereta itu memberiku mimpi buruk berkepanjangan.
Kereta api tiba. Kereta api pergi. Ia mengangkut penumpang menuju tempatku berada. Lalu ia kembali
lengang.
Sekarang, kereta api sudah tiada. Kereta terakhir telah membawa René pergi.
Duniaku terdiri dari dua bagian. Bagian yang satu terletak di antara pegunungan di tanah airku. Bagian
yang lainnya terletak di sini, di sebuah desa di sepanjang IJssel[1]. Aku tidak pernah menginginkan ini.
Tetapi, aku tidak punya pilihan. Ini di luar kehendakku.
Aku tinggal di sebuah rumah sudut. Di sebelah kanannya tidak terdapat rumah. René tinggal di sebelah
kiri. Aku pertama kali bertemu dengannya di halaman belakang. Hingga halaman belakang itu menjadi
satu-satunya tempat aku bertemu dengannya. Semua kenangan yang kumiliki tentangnya berkaitan
dengan halaman belakang kami.
Rene menghilang di kereta terakhir, tetapi halaman belakang itu masih hadir.
Aku tidak ingat lagi kapan tepatnya. Setidaknya pasti sekitar tujuh tahun yang lalu, pada bulan Maret
atau April, saat aku pertama kali bertemu René.
Sebagai seorang pengungsi, aku ditawari sebuah rumah. Kami dibawa ke sana oleh seseorang dari
pemerintah daerah. Meskipun jalan dari sisi lain cukup panjang, kami diantar olehnya melewati jalan
memutar di sepanjang IJssel, melewati tanggul. Ia ingin menunjukkan kepada kami lingkungan sekitar
rumah masa depan kami. Kemudian kami melewati jalan sempit, melewati padang rumput dan
pertanian. Ia berkendara melewati sebuah daerah. Secara tidak terduga, kami berhenti di depan sebuah
rumah sudut.
Aku meletakkan koper di ruang tamu yang kosong dan berdiri di depan jendela. Terdapat sebuah parit di
belakang rumah. Aku tidak terbiasa dengan pemandangan semacam itu. Segala sesuatu yang
ditunjukkan oleh lelaki utusan pemerintah daerah itu belum pernah kulihat hingga detik ini. Padang
rumput yang hijau. Traktor. Tumpukan jerami yang ditutupi plastik hitam. Sapi-sapi yang tengah
merumput. Tanggul yang kini tampak menghilang dari kejauhan di balik pepohonan. Dan orang-orang
yang mengajak anjing mereka jalan-jalan.
Aku biasa melihat pegunungan ketika menilik ke luar jendela. Aku ingin ke halaman belakang, tetapi aku
tidak tahu yang mana kuncinya. Petugas kami kemudian membukakan pintu belakang untukku.
Rerumputan di taman itu telah tumbuh tinggi. Sampai detik ini, aku belum pernah memijakkan kaki di
rerumputan Belanda.
Aku mengamati taman milik René, tetanggaku. Hal pertama yang kuperhatikan adalah pohon premnya.
Belum, pohon itu belum berbuah. Hanya saja, setelahnya, pada musim panas, aku melihat buah prem
bergantung di dahan dengan warna ajaibnya; biru, hitam, dan ungu, bersinar di bawah semburat
matahari.
Beberapa hari kemudian, aku bertemu René di taman. Ia tinggi, sejengkal lebih tinggi dariku. Empat
puluh tujuh tahun dan berambut pirang. Saat itu, aku sendiri berumur 33 tahun dan rambutku berwarna
hitam.
Di pusat perlindungan, aku telah sedikit mempelajari bahasa Belanda, namun aku belum bisa
mempraktikkannya.
Awalnya kukira René tinggal sendiri, tapi ternyata tidak demikian. Sesekali seorang gadis muncul dari
balik jendela. Seorang gadis berumur lima belas atau tujuh belas tahun.
“Apakah ia putrimu?”
“Mengapa kau tinggal sendiri dengan putrimu?”
Aku tidak mengucapkan kalimat-kalimat itu. Aku tidak punya urusan apa pun dengan kehidupan mereka.
Entah rasa penasaran ini normal atau tidak, pertanyaan-pertanyaan itu muncul secara tidak disengaja.
Aku tidak bertanya begitu. Umumnya, pertanyaan semacam itu tidak diujarkan. Kau memperoleh
informasi semacam itu dari tetangga, atau hanya mengambil kesimpulan dari lingkungan sekitar. Tetapi
kosakata dan frasa yang kukuasai masih terlalu minim untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaanku dengan cara demikian.
Kami adalah pendatang baru. Orang asing. Kami tidak diperhitungkan. Kami harus menunggu lama
sebelum kami bisa mendengar rahasia tempat ini.
Kami telah tinggal di lingkungan ini, di jalan ini, selama beberapa bulan sekarang. Para tetangga berjalan
melewati kami, seolah-olah kami tidak ada. Seolah-olah tidak ada orang asing di jalan mereka. Aku pun
tidak melihat ke arah mereka, jadi aku pun belum tahu rumah itu milik tetangga yang mana, dan
perempuan itu milik laki-laki yang mana.
Tetapi lingkungan ini selalu mengawasi kami. Para perempuan di jalan kami bersembunyi di balik tirai,
dan memeriksa apa-apa saja yang kami beli untuk rumah kami.
“Tirai.”
“Cermin.”
“Jam lonceng. Coba lihat, sebuah jam lonceng besar telah mereka beli. Buat apa mereka membutuhkan
benda seperti itu?”
Aku meletakkan kursi di taman dan duduk untuk belajar bahasa Belanda. Saat itu, rasanya panas. Musim
panas yang menyengat. Di negara asalku, aku bisa belajar di bawah sinar matahari, tetapi di musim
panas Belanda pertamaku, aku belum sanggup. Sulit bagiku untuk berkonsentrasi. Musim panas ini amat
baru bagiku. Burung-burung, jendela yang terlihat dari luar, pepohonan, rerumputan, semut-semut,
suara-suara, perempuan setengah telanjang di taman yang menarik perhatianku, yang tidak
membiarkanku mengingat kata-kata asing itu.
René berbaring di tamannya. Lewat gerbang rusaknya, aku menatap bagian punggungnya yang putih
susu. Ia berkulit putih. Aku berkulit gelap.
Ia berbalik. Sebilah rumput tergantung di pusarnya. Ia berpindah posisi sedikit, menghadap ke atas.
Tiba-tiba mencuat sebuah burung yang besar, tidak berwarna, dan keriput. Belum pernah kulihat burung
semacam itu, dari segi ukuran dan warnanya. Sebetulnya, aku tak pernah melihat burung siapa pun,
hingga detik ini. Oke, aku keliru. Aku pernah melihat burung sebelumnya. Hanya sekali. Dan tidak
terlihat cukup jelas dalam kegelapan. Burung itu milik Asgar de Kale, tukang reparasi sepeda di desa
asalku.
Bukannya itu sebuah ketabuan. Tetapi tidak ada burung telanjang yang bisa dilihat di daerah tempat
tinggalku saat itu. Ketika aku dan ayahku pergi berkunjung ke sebuah pemandian, setidaknya ada
seratus, seratus lima puluh lelaki yang hadir. Mereka duduk di lantai untuk membasuh tubuh mereka.
Mereka mengikatkan kain di pinggang mereka. Tetapi meskipun aku merasa penasaran, aku tidak
melihat seonggok penis yang secara tidak sengaja mencuat keluar dari bawah handuk.
Ayahku selalu menegur mengingatkan ketika kami berada di pemandian. “Duduklah dengan baik, Nak.
Duduk dengan sopan. Dengar! Aku bilang, duduk yang sopan!”
Aku telah diperingatkan berkali-kali oleh ayahku, bahwa tanganku harus senantiasa menjaga barang
milikku, kalau-kalau aku bakal mati mendadak.
Lambat laut kutemukan sejumlah hal ganjil lain di lingkungan ini. Dan aku harus terbiasa. Terbiasa
dengan semua keanehan ini. Parit itu membuatku takut. Aku takut kalau-kalau putraku tenggelam ke
sana. Lingkungan sekitar rumah orang tuaku memiliki warna seperti bebatuan. Bebatuan yang warnanya
berbeda di bawah pancaran sinar matahari daripada saat guyuran hujan. Aku pun harus beradaptasi
dengan warna hijau yang dominan itu. Seekor sapi yang berada dalam balutan kabut adalah hal baru
bagiku. Pancuran mandi khas Belanda juga tidak kupahami. Aku tidak ingin basah, tetap di dalam kamar
mandi hingga pancuran berhenti, tetapi benda itu tidak kunjung berhenti. Aku harus terbiasa dengan
kaki, perut, payudara, dan pantat telanjang, serta bahasanya. Dan René, tetanggaku, haruskah aku
terima tanpa pakaian dalam?
***
Aku bisa berbicara dalam bahasa Inggris, namun bahasa yang harus kupelajari adalah bahasa Belanda.
Aku ingin memberi kejutan pada seorang gadis yang sesekali datang ke taman di pagi hari, dengan
beberapa kalimat berbahasa Belanda yang tepat, ketika ia hendak memetik buah prem berwarna biru
tua.
Sepanjang hari, sepanjang malam, aku terlampau sibuk dengan bahasa ini. Aku mampu dalam soal
membaca, tetapi aku tidak mampu berbicara dengan benar. Aku merasa tidak yakin, berbicara dengan
penuh keragu-raguan.
Setelah enam bulan, aku masih belum memliki kontak nyata dengan René. Aku hanya menemuinya di
taman.
“Hei,” panggilnya.
“Halo,” jawabku.
Sesekali para perempuan Belanda mengetuk pintu rumahku. Karena kami pengungsi, mereka menawari
kami barang bekas.
“Musim panas sudah berlalu, aku tidak lagi membutuhkan benda ini. Apakah kau menginginkan ini?
Masih bersih, lho. Sudah kucuci dengan bersih.”
Aku tidak paham, apakah pemberian mereka atas dasar pendekatan semata atau hanya memberikan
kami sesuatu sebagai bentuk amal. Tapi kami memaknainya dalam arti lain. Kami justru menganggapnya
sebagai semacam penghinaan. Kami berasal dari budaya yang sama sekali tidak menerima barang bekas
dari orang lain.
“Ada apa?”
Ucapannya mengejutkanku.
“Oh, ya, terima kasih,” ucapku.
Sepeda itu memang kuinginkan, karena benda itu dapat membebaskanku dari rumah. Aku menerima
pemberiannya, karena sepertinya René sengaja menyimpan sebuah sepeda untukku.
Aku tidak lagi pernah bersepeda sejak kecil. René memiliki kaki yang jenjang, sementara aku tidak,
setidaknya tidak sepanjang kakinya. Tapi tidak masalah. Aku telah terbiasa dengan sepeda tinggi. Dulu
kami hanya memiliki satu sepeda, sebuah sepeda besar untuk semua laki-laki di rumah kami.
Sepeda itu selalu ada di lorong untuk orang yang membutuhkannya. Untuk keadaan darurat. Untuk
membawa orang sakit ke kota. Untuk mengambil obat. Untuk mengingatkan bidan.
Suatu hari, aku menaiki sepeda dan mengayuh menuju toko ayahku. “Yah, segera pulang! Kakek tidak
bangun lagi.”
Hari-hari berlalu. Begitu juga dengan malam. Zona waktu Belanda berbeda dengan zona waktu di tanah
airku. Hari-hari malammu berbeda. Anakmu ada di atas, di tempat tidur, dan kau berada di bawah
dengan istrimu di sofa. Terkadang kami membicarakan hal-hal yang sudah lampau. Terkadang kami tak
mengatakan apa-apa. Hanya menunggu. Menunggu apa? Menunggu siapa?
Tidak menunggu apa pun. Setiap malam akan tampak sama, tetapi hari selalu punya sesuatu yang baru
bagi kami.
Suatu pagi, aku bertemu dengan seorang lelaki di taman René. Ya, bertemu, aku melihatnya. Aku
melihat seorang pemuda yang mengenakan sepasang anting tengah berdiri di taman. Mata dan
parasnya kelabu dan ia merokok seperti cerobong asap.
“Selamat pagi, Tetangga.”
Tetangga? Aku tetangganya? Tetapi ia mengatakan yang sebenarnya. Ia juga tetanggaku. Seluruh
lingkungan tahu kecuali aku. Aku tidak tahu kalau aku punya dua tetangga laki-laki. Semua tetangga
perempuan telah membicarakan tetangga keduaku selama berbulan-bulan, tetapi aku tidak mendengar
sepatah kata pun tentangnya.
“Halo, Pak.”
“Tidak perlu menyebutku ‘Pak’,” ucap si pemuda, kemudian menyebutkan namanya. Namun, aku
langsung lupa siapa namanya. Beberapa nama tidak tersimpan di otakku. Aku bahkan tidak repot-repot
mempelajari bagaimana melafalkan nama-nama mereka. Ketika aku melihatnya, aku langsung tahu
bahwa aku tidak akan dapat mengingat namanya. Dalam kasus semacam itu, aku memberi nama sendiri
orang-orang yang namanya kulupakan. Aku menyebut pemuda itu Moka Moka.
Setahun tidak cukup. Aku harus menunggu beberapa musim untuk mengetahui rahasia tempat ini.
Tetapi sebelum semua musim itu datang dan pergi, terdengar ketukan. René berdiri di depan pintu. Ia
mengenakan setelan biru yang rapi dan dasi merah. Ikat pinggang kuningnya tampak mencolok. Tak
tampak adanya jejak burung besarnya.
“Aku berulang tahun. Apa kau mau datang ke rumahku malam ini?”
Aku tahu kata sulit ‘gefeliciteerd’ [2]. Tetapi saat itu aku belum mampu melafalkannya. Aku tidak
mengenal kata alternatif lain. Jadi aku mengulurkan tangan dan berkata, “Terima kasih.”
“Tetangga kita ulang tahun,” kataku dalam bahasa ibu kami. “Akankah kita mengunjungi rumahnya
malam ini?”
“Wah, betapa menyenangkannya,” ucapnya dengan mudah, dalam bahasa Belanda, kepada René. “Ya,
kami akan datang. Dengan senang hati.”
Ketika ia pergi, aku menutup pintu dengan hati-hati. Aku tak mampu menahan tawa. René, dengan
benda putih-susu besar di dalam celananya, ingin meniup lilin.
Di rumah kami, tidak ada yang merayakan kelahiran. Mati. Yang mati justru lebih penting bagi kami.
Kakekku telah lama meninggal dunia, namun topinya masih selalu tergantung di tempat gantungan topi.
Terkadang, kukenakan topinya dan berdiri di depan cermin.
Kami tidak mengetahui tanggal lahir Kakek, tetapi kami tahu betul hari pemakamannya. Hari itu, ibuku
menabur kuburan orang-orang dengan buah prem. Kami harus menyisakan buah prem berwarna biru
donker terakhir di pohon kami. Buah-buah itu dipetik oleh ibuku dan dimasukkannya ke dalam
keranjang. Aku diizinkan membopong keranjang itu menuju kuburannya.
Dengan ragu, kami mendatangi rumah René dengan seikat bunga. Aku mengintip ke dalam rumah dari
jendela. Tidak ada siapa-siapa, tidak ada tamu, tidak ada balon, tidak ada bunga, dan tidak ada lampu
tambahan. Aku takut ini bukan hari ulang tahunnya dan aku telah salah memaknai ucapannya. Aku
memanggilnya. Seorang pemuda membuka pintu.
“Saya ragu. Haruskah kami datang malam ini atau kami keliru?”
“Ayo, masuk. Kalian dipersilakan. René!” pekik pemuda itu. “Kemari, tetanggamu sudah hadir. Istrinya
juga.” Napasnya berbau nikotin, bir, dan lemak.
René datang. Awalnya ia hendak mengecup istriku, tetapi ia berhenti di tengah jalan.
Aku mencari gadis itu. Ia tidak ada di sini. Aku menduga ia mungkin akan datang nanti, namun ia tidak
datang. Aku menunggu hingga orang lain berdatangan, namun tak ada yang datang. Kamilah satu-
satunya tamu yang hadir. Tak ada lilin yang dinyalakan. Pun tidak ada sebuah kue. Mungkin René
merayakan ulang tahunnya pada malam yang berbeda, dan saat ini sengaja mengundang kami secara
terpisah.
Tempat tidur bekas berwarna hitam besar di bawah jendela itu menarik perhatianku. Sebenarnya, aku
tahu mengapa tempat tidur itu ada di sana. Dan sebetulnya tidak juga. Karena aneh bagiku, bahwa di
sebuah rumah tempat tinggal seorang gadis, terdapat tempat tidur semacam itu, tempat tidur untuk
para laki-laki. Aku memahami bahwa para lelaki itu berkeringat di pelukan satu sama lain, tetapi gadis
itu pasti tidak bisa tidur nyenyak di tempat tidurnya di lantai atas pada saat itu.
Moka Moka menoleh ke arah istriku. Dan aku melanjutkan ke ruangan lain. Tertempel foto lain. Sebuah
foto terpisah. Foto payudara seorang perempuan di kaca. Segenggam. Apa perempuan itu sudah
matang? Tidak, tidak begitu matang. Foto itu menarik penuh perhatianku.
Ungkapan apa pun tidak akan pernah terpikirkan olehku dalam bahasa Persia. Aku juga tidak pernah bisa
mengucapkannya dalam bahasa Belanda. Namun, aku berhasil menuliskannya di atas kertas.(*)
Catatan Kaki:
Baca juga:
Bagikan:
20 April 2020
dalam "PUISI"
My friends, the Carpenter and the Painter Carl Larsson Ilustrasi Cerpen - Aku Telah Menciptakan Sebuah
Mahakarya
15 Juli 2022
dalam "CERPEN"
22 12 - 10 sengat ibrahim ibrahim apa yang ingin kau tulis bacapetra
10 Desember 2022
dalam "PUISI"
Komentar Anda?
Navigasi pos
PREVIOUS
NEXT
Search
Ruang Baca
ULASAN
CERPEN
PUISI
TERJEMAHAN
BINCANG BUKU
SEKITAR KITA
JANGKA
FWF Merch
Terbaru
Program
Payung
Bacapetra
Kirim Tulisan
Redaksi
Terms of Service