Anda di halaman 1dari 8

Selasa, 10 Maret 2021

Mengisahkan kehidupan Lyzard pasca peristiwa perebutan tahta kerajaan keluarganya.


Bercerita tentang bagaimana ia kembali menerima semuanya. Mencoba menghapus luka lama, dan
membuka lembar kehidupan yang baru. Berusaha kuat dan tegar menghadapi takdir yang selalu
mempermainkannya. Bersama seluruh temannya, Lacerta terus menapaki kerasnya jalan kehidupan.
Berbagi luka dan sedih di setiap bangunan benteng. Mengumbar canda tawa, dan menanggung
setiap kepedihan. Melukiskan jutaan mimpi diatas lapangan groot. Menciptakan drama dan kisah
romansa di bawah naungan langit cerah dan mendung. Berlatih tiap fajar hingga senja datang
menyapa. Tak peduli air hujan memeluk dan matahari memamerkan teriknya, mereka tetap berlatih
bersama. Berusaha mewujudkan tiap impian yang pernah mereka gambarkan. Mereka juga saling
membebaskan perasaan yang dimiliki. Tak ingin mengikat perasaan itu hanya pada satu insan saja.
Karena semestinya, semua orang berhak memiliki perasaan itu.

Ini kisah Lacerta. Yang selalu berusaha untuk membebaskan perasaannya. Karena ia tak mau
menjadi bimbang karenanya.
Ahad, 7 Maret 2021

Malam ini aku memutuskan, untuk memberi tahu sesuatu yang harus Ara tahu

***

Malam ini angin selatan cukup kencang. Mungkin kemarau akan datang lebih cepat. Aku
masih berada di kamar, sedang bersiap-siap untuk menemui seseorang di halaman paling belakang
benteng. Aku sudah mandi, memakai sabun yang banyak hingga berbusa, dan busanya menyebar
sampai keluar ruangan. Aku juga sudah menggosok gigiku sapai putih bersih, tak lupa juga aku
membersihkan wajahku dari sisa debu tadi sore. Aku lalu berganti pakaian secepat kilat, memakai
sepatu, lalu menyelipkan satu benda penting yang selalu kubawa kemana-mana. Pukul 7 tepat,
semua sudah siap. Aku juga meyampirkan selendang kecil berwarna merah dipundakku.

Aku membuka pintu kamarku. Kamarku ada di paling ujung koridor bangunan barat lantai 3.
Ini sudah malam, lampu-lampu minyak sudah ditiup semua oleh para pemiliknya. Hampir saja aku
lupa untuk membawa lampu minyak milikku. Aku menyusuri lorong sepanjang 200 meter, lalu turun
menuruni anak tangga sampai lantai paling bawah. Malam ini cukup sepi. Hanya terlihat satu dua
pengawal yang berjaga di tiap lantai, dan anak-anak yang baru kembali dari latihannya. Mereka
sedang mempersiapkan diri untuk ujian praktek dua bulan lagi.

Setelah aku sampai di lantai dasar, selanjutnya aku pergi menemui penjaga bangunan barat,
untuk minta dibukakan gerbang, karena kami tidak diperbolehkan membuka gerbang sendiri.
Ringkas saja, aku hanya diminta menyebutkan nama kode, letak kamarku, dan yang terakhir aku
diminta untuk menunjukkan wajahku tanpa kelir. Setelah semua beres, gerbang barat itu dibuka.

Keluar dari gerbang bangunan barat, aku melewati lapangan groot. Lapangan ini tepat di
tengah-tengah antara bangunan barat, utara dan tenggara. Biasanya kami menggunakan ini untuk
upacara kegiatan, berlatih, atau hanya sekedar bersantai di sore hari. Luasnya tak kurang dari dua
kali luas lapangan sepakbola. Jika di musim hujan tanahnya akan becek, dan rumputnya selalu hijau
basah, beda cerita jika dimusim panas, tanahnya akan kering keronta dan rumputnya berwarna
kuning juga layu. Aku harus melalui lapangan groot ini, yang sekaligus mengharuskanku untuk
melewati bangunan utara dan tenggara.

Setelah sampai diujung bagunan tenggara, ada belokan kecil yang hanya muat dilalui satu
orang saja. Setelah berbelok, aku harus melalui lorong sempit nan licin juga gelap ini. Untung saja
tadi aku sempat membawa lampu minyak. Aku hampir saja terpeleset beberapa kali, tapi setiap akan
terpeleset aku akan meraih tanaman rambat di dinding gang ini. Lampu minyak milikku ada di
ambang batas antara hidup dan mati. Walaupun aku berada di lorong yang diapit dua dinding tebal
dan tinggi, angin masih bisa masuk menyelinap lewat celah-celah di dinding.

Begitu aku sampai diujung lorong, ada gerbang kecil yang menghubungkan lorong depan-
tempatku berdiri sekarang- dengan lorong belakang. Tidak ada penjaga di sepanjang lorong ini.
Suasana didalam lorong ini sangat sunyi. Kalian tidak akan mendangar suara dari luar, kecuali suara
lolongan serigala liar diluar benteng dan derik serangga malam. Di lorong ini hanya ada tiga suara
yang bisa kalian dengar. Yang pertama adalah sura detak jantung milik kalian sendiri, yang kedua
adalah suara orang yang berada dibalik gerbang ini, dan yang ketiga adalah suara panggilan alam.
Percaya atau tidak percaya, pernah sekali aku hampir membuang hajatku di tengah lorong ini.
Mungkin jika bukan karena rasa hormat yang kujunjung tinggi pada pembangunan konstruksi lorong
ini, pasti sudah kubuang hajatku saat itu juga. Dinding lorong ini juga lembab dan berlumut. Belum
lagi para hewan pengerat yang akan muncul secara tiba-tiba seenak jidat mereka.

Pernah sekali, aku terpeleset dan berteriak macam orang dikejar setan dilorong ini karena
ada tikus yang tiba-tiba menabrak kakiku. Mungkin karena terikan nyaringku, sosok dari balik pagar
itu menampakkan wujud tubuhnya. Sosok yang mungkin tak akan pernah kulupakan seumur
hidupku. Karena sosoknya-lah yang mengubah kehidupanku 180 derajat. Tapi gara-gara tikus itu juga
aku terpeleset sampai tak bisa berjalan hingga 3 hari. Akibatnya aku harus meninggalkan kelas, dan
menerima tambahan tugas. Entah aku harus sedih atau bersyukur dengan adanya hewan pengerat
ini.

Oh iya, hampir lupa aku memberitahu kalian satu hal. Jangan pernah sekali-kali kalian
masuk lorong ini jika tak siap mental. Karena hal-hal diluar akal bisa jadi membuat jiwa kalian
menjadi tertekan karenanya. Pernah aku membawa temanku kemari di siang hari. Tak sengaja ia
melihat hewan berwajah manusia, dengan kepala yang diameter nya 2 kali lipat dari diameter
ukuran kepala manusia biasa. Kaki seperti badak dan memiliki ekor seperti salamander. Dan jangan
lupakan warna bulunya yang, cukup menyayat hati. Memang tidak terlalu menyeramkan, tapi cukup
untuk membuatnya demam tinggi dan mengigau selama beberapa hari kemudian.

'Oke, aku tinggal membuka gerbang ini, dan menemuinya didalam. Kemudian mengajaknya
berbicara. dan aku akan keluar dari lorong belakang ini.' Batinku

Aku baru saja memegang jeruji gerbang ini, lalu bermaksud membuka gerbang ini dengan kunci
duplikat yang berwarna keemasan namun sudah berkarat dan diberi ukiran tanaman rambat, yang
kudapatkan dari sang pemilik kunci asli gerbang ini, tapi suara dari dalam lebih dulu mendahului
maksudku.

"Hei, siapa kau? Bagaimana kau bisa sampai disini? Tak ada seorangpun yang bisa meraih tempat ini.
Kecuali mereka yang dapat menetralkan detektor kehidupan milikku dan memiliki hati yang bersih.
Jadi, siapa kau?"

Aku sempat tertawa mendengar kata detektor kehidupan yang dilontarkan Ara barusan. Mengapa ia
harus memberi julukan para hewan pengerat dan makhluk aneh didepan tadi dengan julukan keren
seperti itu? Mereka ‘para detektor kehidupan’ , sempat membuat hidupku menjadi kacau selama
beberapa hari.

"Hei, Ara. Ini aku-"

"Oh, kau sudah sampai? Mengapa lama sekali? Apa para hewan imut itu mengajakmu bermain? Atau
kau masih tidak terbiasa dengan para makhluk disini?"

"Ah, tidak. Tidak semuanya, Ara. Tadi aku hanya-"

"Tak perlu kau lanjutkan, aku juga tau mengapa kau sampai kemari lama sekali. Kau masih berdiri
lama didepan gerbang ini bukan? Memutar ulang semua kejadian yang pernah kau alami disini.
Lantas membayangkan apa jadinya jika kau melawan semua takdir buruk yang kau miliki. Dan
berharap semua ini hanyalah mimpi buruk semata. Tapi kau malah memilih untuk menjalani ini
semua. Kau tak ingin melawannya, benar-benar tak ingin melawannya. Malahan kau ingin mendekap
mereka semua. Memeluk semua ingatan pahit dan potongan kejadian dimasa lalu yang
menyesakkan hati. Padahal kau diberi kesempatan untuk melupakan itu semua. Tapi kau-"

"Cukup Ara. Aku hanya tak ingin membuat semua ini semakin rumit. Aku hanya ingin menjalani
hidupku dengan semestinya. Aku tak mau menyakiti orang lain lebih dari ini. Jadi kumohon, aku tak
ingin mendengar apapun lagi tentang ini." Aku terpaksa untuk menyela pembicaraan Ara. Hening
setelahnya. Aku tau Ara masih di dalam. Masih dengan posisi yang sama sedari tadi. Aku tau ia
mendengar perkataanku barusan. Tapi entahlah, ia tak menyahut. Mungkin sekarang ia marah
padaku, karena sempat kupotong perkataannya.

"Tapi kau menolaknya. Menolak untuk melupakan semua itu. Ketika mereka datang lagi, lalu
memberikan penawaran yang sama, kau tetap menolaknya. Tak pernah kulihat kau goyah dari
pendirianmu. Kau, tetap sama. Selalu seperti ini sejak dulu, memilih untuk memaafkan semua orang,
lalu membentuk ikatan dengan mereka, lantas menjalani takdir kehidupan yang seharusnya tak kau
jalani. Kau tak pernah berubah. Selalu sama."

Ternyata dugaanku salah. Ara masih tetap melanjutkan pembicaraannya. Tapi, ada yang berbeda.
Nada diakhir kalimatnya menurun, disertai isakan kecil yang menyayat hati. Ya, Ara sedang berusaha
menahan tangis

Selasa, 10 maret 2021


Selasa, 10 maret 2021

Setelah mendengar isakan Ara, aku segera membuka gerbang yang memisahkan lorong
depan dan lorong belakang. Begitu aku memasukkan kunci kelubang pintu lalu memutarnya,
tanaman sulur hijau bak tirai itu menyambutku. Aku menyibaknya lalu menempatkan diriku duduk
bersama Ara ditanah yang hanya berlapiskan jerami. Posisi duduk kami pun hanya dipisahkan lampu
minyak tanah yang kubawa dari kamar tadi. Disuratnya, Ara mengatakan bahwa aku harus
membawa lampu minyak. Karena dimalam hari, obor diruangan ini dimatikan oleh para penjaga. Cih,
penjaga macam apa itu yang membiarkan Ara kedinginan didalam, bagaimana jika nanti ada hewan-
hewan pengerat nakal yang menggigiti kakinya. Aku yang dulu, takut sekali jika Ara terkena rabies.

"Kau memanggilku kemari, Ara? Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan? Aku akan mendengarkan."

Ara menghapus buliran air mata di pelupuk matanya. Belum sampai jatuh ke pipi apalagi
sampai mengalir lalu jatuh kebawah dagu. Setelahnya Ara tersenyum, berdiri dari duduknya dan
menghampiriku yang ada diseberang lampu minyak. Ara memelukku. Aroma timun segar dari tubuh
Ara, menusuk hidungku dan menguar keseluruh ruangan. Aroma Ara selalu sama. Dari awal pertama
kita bertemu, sampai Ara ada diruangan ini. Aroma mentimun segar yang tetap sama.

"Aku tak ingin berbicara apapun padamu. Aku sengaja mengirim surat padamu agar kau datang
kemari. Karena jika aku tak meminta, kau selalu enggan kemari dengan kemaumanmu sendiri.
Padahal kau sampai kuberi kunci duplikat pintu ini."

"Emm, sebenarnya aku ingin sekali mengunjungimu setiap hari. Tapi, aku selalu takut menganggu
waktumu. Jadi, aku selalu berharap surat darimu datang tiap hari ke kamarku. Maaf."

Lagi-lagi Ara hanya tersenyum.

"Jadi, ada yang ingin kau ceritakan? Aku akan mendengarkan"

Aku tersentak kaget. Ara meniru gaya bicaraku di awal tadi. Aku sedikit kikuk mendengar apa yang
Ara katakan. Sekarang aku bingung ingin bercerita apa pada Ara.

"Emm, tak ada. Aku tak ingin bercerita apapun, sungguh." Aku memang benar-benar tak tau ingin
membicarakan apa dengan Ara.

"Eehh, mustahil kau tak punya sepotong cerita untuk kau ceritakan padaku. Kau tahu, dunia ini
penuh dengan cerita. Aku yang didalam sini saja punya banyak cerita untuk kuceritakan. Apalagi kau
yang hidup diluar sana?"

Nada bicara Ara seperti merajuk. Dulu aku memang berjanji untuk selalu bercerita tentang
apapun dengannya. Tapi sekarang, rasanya aku seperti kehabisan ide untuk bercerita.

"Kalau begitu, mengapa tak kau ceritakan saja ceritamu selama diruangan ini? Bagaimana
menurutmu dengan ruangan ini? Ku pikir ini cukup nyaman dan hangat. Lagipula, kau tak harus
diatas jerami ini, Ara. Kau bisa duduk di kursi atau ranjangmu. Mari kubantu untuk berpindah"
Ucapku sambil mengulurkan tangan seraya berdiri. Tapi ara menepis tanganku. Sambil
tersenyum ia menggelengkan kepalanya. Memberi ku isyarat 'tak usah, aku bisa berdiri sendiri'

"Yaa, ruangan ini cukup nyaman dan hangat. Tapi aku agak kesepian disini. Mereka jarang sekali
menemuiku. Hanya para penjaga, tabib, dan kau yang selalu rajin mengunjungiku kemari. Yah,
setidaknya setiap para penjaga kemari, mereka membawa makanan dan tabib untuk sesekali
memeriksaku. Dan setiap kau datang kesini, kau selalu membawakan sepotong cerita dari luar sana.
Tapi tak apa jika kau tak ingin bercerita hari ini. Simpan saja ceritamu untuk kunjungan minggu
depan. Aku tak sabar menantikannya!"

Ara mengatakan semua ini sambil tersenyum. Seperti tidak ada beban berat yang
mengganggunya. Aku hanya bisa tersenyum getir saat pandangannya mengarahku.

"Ung! Aku pasti aku akan menyiapkan cerita untukmu dikunjungan berikutnya, Ara"

Ara hanya menanggapi sekedarnya. Lalu bangkit berdiri dan mengambil lampu minyak yang
kuletakkan dibawah tadi dan menggantungnya ditengah ruangan. Rantai gantungan itu terlalu tinggi
untuk Ara. Jadi ia butuh bantuan kursi untuk menggantungkan lampu minyak itu.

"Kau tunggu disini ya. Aku akan menyiapkan minuman dan camilan untukmu."

Aku hanya mengangguk, dan tak mungkin untukku tolak tawaran itu. Ara menuju ke pojok
ruangan, tempat dapur kecilnya berada. Ara membuka lemari dapur kecil yang ada diatas kepalanya.
Ada 2 lemari yang diletakkan bersebelahan. Satu lemari untuk menyimpan makanan basah, dan
satunya lagi untuk menyimpan makanan kering. Lemari itu menempel pada dinding. Tidak terlalu
tinggi, sehingga Ara bisa meraihnya tanpa bantuan kursi sekalipun. Karena masing-masing lemari
mempunyai fungsinya masing-masing, untuk membedakan, mereka memberikan ukiran tanaman
sulur pada lemari yang berisi makanan basah. Dan menempelkan ranting juga dedaunan kering,
pada lemari satunya.

Ara membuka lemari yang berhiaskan ranting dan daun kering. Lalu mengambil beberapa
irisan roti gandum kering, kemudian mengoleskan mentega diatasnya, lalu menatanya diatas
nampan kayu. Ara juga meletakkan dua gelas berukuran sedang disampingnya. Setelah semua
beres, Ara membawa nampan ini hanya dengan satu tangan bak pelayan di istana. Piawai sekali ia
membawakan nampan hanya dengan satu tangan. Lalu sambil sedikit membungkuk, ia
menyerahkannya padaku.

"Silahkan tuan putri, ini roti dan susu sesuai menu malam ini" Tentu saja Ara mengucapkannya
dengan menirukan nada biacara seorang pelayan.

Seketika aku bangkit dari dudukku dan mengambil nampan dari tangannya. Aku mencubit
kecil pipi Ara gemas. Kami duduk hampir bersamaan dan duduk bersebelahan. Ara meletakkan
kepalanya di bahuku, dan meraih tanganku. Ara menggenggamnya. Erat sekali

"Dingin. Dingin sekali disini. Padahal jendela sudah kututup sejak petang tadi. Tapi tanganmu hangat.
Jadi, boleh aku menggenggamnya?"

"Kau seharusnya meminta izin padaku sebelum kau menggenggamnya, Ara. Bukan setelah kau
genggam baru kau bilang. Aku ini bukan gagang panci yang bisa kau pegang-pegang sesukamu.
Lagipula, malam ini tidak terlalu dingin. Kau hanya tidak memakai mantel dan kaus kakimu. Bisa kau
pindahkan kepalamu sebentar? Aku akan mengambilkannya untukmu"

Belum sempat aku berdiri. Ara malah memelukku. Bilang ,

"Tak apa, asal ada Lyzard, aku tak akan kedinginan. Tubuh Lyzard hangat. Lebih hangat dari
perapian milik keluargaku dulu. Jadi, boleh aku memeluknya?"

Aku hanya diam. Tak berani menjawab. Sungguh, aku merasa tak perlu menjawabnya.
Karena Ara tau persis jawabannya. Aku hanya bisa membiarkannya untuk memelukku.

"Lyzard? Apa kau kurang nyaman? Kamu tak suka kupeluk?"

Ara mengendurkan pelukannya. Mulai merajuk. Menarik tangannya, hingga tak menyentuh
lenganku. Aku tau, Ara mulai merasa tak enak. Tapi dengan cepat, aku memeluknya, membawa
kedalam dekapanku. Menyalurkan segenap rasa hangat yang ada di dalam tubuhku, ke tubuh Ara.
Ara benar, tubuhnya terasa dingin. Dingin sekali. Ia tak berbohong. Sekalipun tak pernah. Sekalipun
ia pernah berkata, bahwa ia akan pergi selama-lamanya. Tak akan kembali lagi. Pergi menemui adik
kecilnya yang dulu pernah dikurung juga disini.

Dan kini, aku hanya memeluk angin malam yang dingin namun kering. Dingin karena Ara tak
akan memelukku lagi. Dan kering, karena Ara tak akan pernah lagi menangis dipundakku. Malam ini,
aku melakukan hal bodoh lagi. Meminta Ara untuk kembali, dan menetap bersama kami. Perlahan,
bayangan Ara mulai mengabur dari penglihatanku, bersamaan dengan datangnya tim pemburu. Tim
pemburu, dimana Ara dan aku memulai kehidupan kami dari awal. Dan membentuk semua ikatan
cerita. Sial, mereka semua juga ikut berpamitan padaku. Menyusul Ara dan adiknya.

Kini mereka hanya menatapku sedih dari atas sana. Tanpa bisa melakukan apapun. Aku tau,
karena aku bisa melihat mereka. Melihat mereka melambaikan tangan dan tersenyum ke arahku.
Mereka terbang semakin jauh, jauh sekali. Sampai aku tak bisa melihatnya lagi. Dan akhirnya,
ceritaku dengan Ara, hanyalah imajinasi belaka. Ceritaku dengan Ara, tak akan pernah kutemukan
akhirnya. Karena aku, tak ingin semua ini berakhir.

Sabtu, 13 Maret 2021

Anda mungkin juga menyukai