Anda di halaman 1dari 162

Bagian Satu

HOPE
BAB
1

SEMUA buku yang kaubaca mengenai Ivy State College pasti


menyebutkan bahwa tempat tersebut tenang dan cantik. Bukan
universitas top, tapi perguruan ini merupakan tempat belajar yang
menyenangkan, dengan para pengajar yang ramah dan sekitar tiga ribu
mahasiswa dari seluruh penjuru negeri.
Itu yang tertulis dalam buku dan pamflet.
Keduanya tidak menyebut-nyebut soal Fear Hall.
Namaku Hope Mathis, dan aku bisa menceritakan tentang Fear
Hall kepadamu—karena aku tinggal di sana.
Fear Hall asrama mahasiswa yang paling besar di Ivy State.
Gedungnya tinggi dan terbuat dari batu bata. Tampilannya agak
ketinggalan zaman, dengan tanaman rambat ivy yang menjalar di
kedua sisinya sampai merambat ke dalam jendela-jendela.
Kuperkirakan ada sekitar lima puluh cewek yang tinggal di
kamar-kamar di lantai yang sama denganku, lantai ketiga belas. Fear
Hall hanya satu blok dari The Triangle. The Triangle adalah area
berumput yang luas di tengah kampus.
Namun, meskipun asrama kami amat dekat dengan pusat
kampus, asrama tersebut hanya terisi separonya.
Tahu kenapa?
Karena reputasinya jelek.
Begitu aku memindahkan barang-barang ke dalam kamarku—
13-B—pada bulan September, cewek-cewek yang lain langsung
menceritakan kisah-kisah mengenai Fear Hall padaku. Kisah-kisah
seram.
Mereka bilang asrama itu dinamai menurut nama Duncan Fear.
Dia penyandang dana pembangunan gedung ini. Orang itu berasal dari
keluarga kaya yang tinggal di Shadyside, kota yang jauhnya kira-kira
delapan puluh kilometer dari sini.
Keluarga Fear keluarga yang tidak beruntung, terkutuk, atau
semacamnya. Dan aku menebak telah terjadi hal-hal yang tidak
menyenangkan dan aneh di asramaku.
Maksudku bukan suara-suara aneh di malam hari. Pintu yang
berderik-derik. Bukan hal-hal seperti itu.
Yang kumaksud misalnya gadis yang melihat hantu. Dan
makhluk-makhluk aneh melayang di lorong-lorong. Dan anak-anak
yang lenyap dan tak pernah muncul lagi.
Entahlah apakah aku percaya pada cerita-cerita itu.
Tapi toko kampus menjual T-shirt dan sweatshirt yang
bertuliskan: SELAMATKAN FEAR HALL.
Sungguh, ini pasti lelucon. Tapi banyak anak di Ivy State tidak
yakin bahwa itu cuma lelucon. Dan kurasa, karena semua lelucon dan
cerita-cerita aneh itulah asrama tersebut cuma terisi separo.
Beberapa lantai kosong total. Namun kamarku yang mungil di
lantai tiga belas cukup sesak.
Teman sekamarku ada tiga orang—Angel, Eden, dan Jasmine.
Kami semua mahasiswa tahun pertama. Kami baru sebulan di
sini. Tapi hubungan kami sangat dekat. Kami seperti keluarga sebab
kami sudah saling mengenal sejak di SMU.
Sungguh menyenangkan hubungan kami bisa sedekat ini. Sebab
kami berempat dimasukkan ke kamar yang nyaris tidak muat untuk
ditempati satu orang!
Haruskah aku menceritakan teman-teman sekamarku?
Baik, kumulai dengan aku saja. Tinggiku kira-kira 165
sentimeter. Tidak tinggi-tinggi amat, tapi juga tidak pendek.
Rambutku pirang—panjang dan lurus, karena aku tidak suka
menghabiskan waktu untuk merawatnya.
Mataku cokelat terang dan wajahku lumayan. Menurutku, raut
wajahku agak kelewat bulat. Dan rasanya mataku agak terlalu dekat
dengan hidungku.
Kukira badanku agak sedikit kelebihan berat beberapa gram.
Mungkin lebih dari sekadar beberapa gram. Tapi aku tidak keberatan
sedikit gemuk.
Biar saja. Aku bukan jenis orang yang rela berlama-lama
mengaca di depan cermin.
Setidak-tidaknya aku malas meributkan setiap potong makanan
yang masuk ke mulutku seperti yang dilakukan Angel. Angel kurus,
pirang, dan sangat memesona. Semua cowok tergila-gila padanya.
Suaranya lembut kecil yang kedengarannya seperti dengkuran
anak kucing. Cowok-cowok menganggap suaranya itu sangat seksi.
Dia ke mana-mana memakai celana ketat dan baju atasan berpotongan
rendah, bahkan di musim gugur sekalipun.
Teman sekamarku yang lain, Eden, adalah kebalikan dari
Angel. Dia jenis orang yang sederhana dan tak peduli pada
penampilan. Tahu kan? Dia sangat suka mengenakan sweter dan
sweatshirt gombrong. Juga kemeja flanel keluaran L.L. Bean. Dia tak
pernah memakai riasan wajah. Rambutnya cokelat terang, sangat ikal,
seolah-olah menumpuk di kepalanya.
Suara Eden serak dan seperti diseret-seret. Dia bawel. Dia
selalu langsung mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Dan
dia tak pernah kekurangan lelucon.
Eden kerap menulis surat buat ibunya. Nyaris setiap malam.
Tampaknya hubungan mereka sangat dekat—tidak seperti
hubunganku dengan ibuku.
Tidak seperti Angel, dia tampaknya sama sekali tidak berminat
kepada cowok-cowok di Ivy State. Malahan aku tidak pernah
melihatnya mengobrol dengan cowok.
Eden memanggil Angel "Nona Sempurna." Buatku Angel tidak
seperti itu. Tapi dia dan Eden memang serasi—karena sifatnya yang
berlawanan itu.
Jasmine pendiam. Aku telah mengenalnya selama tiga tahun.
Aku tinggal bersamanya di kamar mungil ini sejak September, dan
aku hampir tidak bisa menceritakan apa-apa mengenainya.
Dia sangat pemalu. Nyaris tidak mungkin membuat dia mau
bercerita tentang dirinya sendiri. Kurasa masa kecilnya dihabiskan di
wilayah barat. Tapi aku sendiri tidak yakin.
Dia cantik sekali. Matanya yang hijau terang menyipit bila dia
tersenyum. Senyumnya yang memamerkan seluruh giginya sungguh
menawan. Rambutnya yang berombak dan berwarna jerami jatuh
dengan sempurna di pundaknya.
Namun Jasmine begitu pemalu dan sadar diri, kurasa dia tidak
tahu betapa cantiknya dirinya. Dia tidak banyak bergaul. Dia yang
paling pintar di antara kami. Fotonya selalu terpampang di buku
tahunan universitas.
Jasmine mengambil mata kuliah yang sulit-sulit. Mata kuliah
lanjutan. Jasmine ingin masuk ke sekolah kedokteran, tapi dia tidak
yakin dia cukup pintar.
Percayalah padaku—dia cukup pandai. Kalau saja kami bisa
membantu menumbuhkan kepercayaan dirinya!
Nah, itulah kelompok kecil kami. Empat sekawan di kamar 13-
B.
Kami memiliki sifat yang berbeda-beda. Tapi kami benar-benar
bahagia.
Sampai suatu malam ketika masalah mulai.
Malam itu, semuanya berubah.
Aku tidak pernah melupakan saat aku terbangun malam itu.
Sepasang tangan menggoyang-goyang tubuhku dengan kasar.
Dengan terkantuk-kantuk, kubuka mataku. Kukerjap-kerjapkan
mataku di tengah kegelapan.
Tatapanku menumbuk jam yang menghiasi radio. Hampir jam
01.00.
Tangan itu menggoyang-goyangku lagi. Aku terduduk di tempat
tidur.
"Darryl—apa yang kaulakukan di sini?" bisikku.
Kerongkonganku terasa tersumbat.
Darryl cowokku. Dia membungkuk mendekat. Tangannya tetap
mencengkeram pundakku. Napasnya bau bir.
Aku menoleh ke sekeliling, kalau-kalau dia membangunkan
teman-teman sekamarku. Untungnya tidak.
"Darryl...," bisikku. "Kembalilah ke kamarmu. Kau kan tahu
kalau cowok dilarang berada di lantai cewek selewat jam 22.00."
Dia bergeming. Tangannya semakin erat mencengkeram
pundakku. Bahkan di kamar yang remang-remang ini, aku bisa
melihat ekspresi ketakutan di wajahnya.
"Apa yang kaulakukan di sini?" tanyaku lagi.
"Hope, aku dalam kesulitan besar," jawabnya.
BAB
2

AKU berdiri dan berusaha membebaskan diri dari pegangannya.


Tenggorokan terasa sulit menelan. "Kesulitan?" Mulutku terasa sangat
kering. Napasku bau masam.
Dia mengangguk dan melangkah mundur. Teriakan keras dan
serak keluar dari kerongkongannya.
"Kau harus membantuku," ujarnya, suaranya meninggi.
Aku meletakkan telunjuk di bibirku. "Shhhh. Bisa-bisa Angel,
Eden, dan Jasmine terbangun."
Tatapan matanya kosong. Seolah-olah dia tak mengerti apa
yang kukatakan. "Aku tak peduli," akhirnya dia menjawab juga.
"Maksudku—aku dalam kesulitan, Hope. Aku—aku melakukan
sesuatu yang mengerikan."
Punggungku serasa dialiri air dingin. Tanganku merinding.
Aku berdiri dan menarik gaun malam kartun warna putih
panjang yang sedang kukenakan.
Rambutku kusibakkan ke belakang. Kamarku dingin. Tapi
keningku penuh butiran keringat. "Apa yang kaulakukan?" tuntutku
dengan bisikan keras.
Matanya yang biru pucat berkilat, tampak kelabu diterpa
penerangan yang temaram. Mulutnya membuka dan menutup. Tak ada
suara yang keluar.
Dia menggeleng. Poninya jatuh di mukanya. Dia menyibakkan
rambutnya yang panjang ke balik bagian pundak jaket kulitnya. "Aku
mengikutimu," dia mengaku. "Aku membuntutimu malam ini. Aku
melihatmu keluar bersama Brendan."
Aku menghela napas. "Tapi itu bukan aku!" protesku. "Bukan
aku yang pergi dengan Brendan. Itu Angel."
Darryl merenggutku. Jemarinya memegang erat di sekeliling
lenganku. "Jangan bohong!" serunya. "Aku melihatmu'.''
"Pergilah," bisikku. "Tolong, Darryl..."
Darryl punya tabiat yang mengerikan. Kadang dia benar-benar
membuatku takut.
Satu detik dia benar-benar tenang. Detik berikutnya dia sudah
tenggelam dalam kemarahan yang menyeramkan. Persis orang tidak
waras.
Dia juga bisa sangat penuh pengertian. Amat baik.
Aku bertemu Darryl di SMU. Dia menyelamatkan aku dari
seorang cowok bernama Mark.
Tapi ceritanya sangat panjang.
Aku begitu gembira ketika Darryl memutuskan untuk kuliah di
Ivy State. Sungguh menyenangkan bisa bersama dia di sini. Dia dan
tiga teman sekamarku betul-betul telah membantuku melewati
perubahan drastis dari kehidupan SMU ke kehidupan kampus.
Jika saja dia tidak kelewat cemburuan. Sangat posesif.
Dia tidak pernah membiarkan cowok lain melihatku.
Pada mulanya aku merasa tersanjung. Maksudku tak ada cowok
lain yang punya perhatian seperti itu kepadaku sebelumnya.
Tapi, kalau aku melihat betapa cemburunya Darryl... kalau aku
melihatnya lepas kontrol... aku tahu aku mesti hati-hati.
Aku tahu bahwa Darryl bisa jadi orang yang pantas ditakuti.
"Darryl—pergilah," pintaku. "Bukan aku yang kaulihat bersama
Brendan. Itu Angel. Sumpah."
Dia mengeluh. Cengkeramannya di lenganku mengendur.
"Aku—aku melakukan sesuatu yang mengerikan," katanya sambil
tergagap-gagap.
"Apa?" desakku. "Apa yang telah kaulakukan?"
Mata pucatnya menatapku lekat-lekat. "Aku mencincangnya,
Hope," bisik Darryl. Aku mencincangnya."
BAB
3

AKU tidak bisa menahan diri. Aku langsung terpekik.


Dan mengempaskan diriku ke tempat tidur, menggelengkan
kepalaku kuat-kuat.
Kamarku langsung gempar. Eden mengerang. "Apa yang
terjadi?"
"Siapa yang menjerit?" keluh Angel.
Lampu menyala. Semua teman sekamarku langsung terperanjat
begitu melihat Darryl berdiri di sebelahku.
"Kau tidak diizinkan berada di sini!" Eden berteriak. Dia
menarik selimutnya hingga ke dagu.
Jasmine menatap Darryl sembari ternganga, tanpa mampu
berkata-kata. Rambut pirangnya yang kusut menutupi mukanya.
"Darryl, apa masalahmu?" tanya Angel dengan suara pelan. Dia
melompat ke lantai. "Kenapa Hope menjerit?"
Darryl berpaling, mulutnya terbuka. Kini semua orang bisa
melihat kengerian yang terpancar di wajahnya.
Eden bergerak menjauh. Jasmine memandang Darryl dengan
curiga. Angel menyilangkan lengannya di depan piamanya dan
memandang tajam ke arah Darryl.
"Darryl kira dia melihatku keluar bersama Brendan malam ini,"
jelasku. "Dia pikir..."
"Tapi aku yang keluar bersama Brendan!" protes Angel. "Aku
memakai baju merah milik Hope. Kau aneh betul, Darryl. Bagaimana
mungkin kau mengira..."
Tatapan marah Darryl langsung membuat Angel bungkam.
"Rasanya aku membunuhnya," gumam Darryl.
"Tidaaak!" pekik Eden sambil menutup mukanya.
"Kau tidak sungguh-sungguh—kan?" bisik Angel penuh harap.
Ekspresi Darryl menunjukkan bahwa dia tidak main-main.
"Kau harus membantuku," pinta Darryl, sambil menoleh
kembali kepadaku. "Aku yakin betul bahwa aku telah membunuhnya.
Aku telah mencincangnya habis-habisan. Aku benar-benar lupa diri."
Dia mengeluh. "Kau kan tahu bagaimana sifatku yang kadang-
kadang muncul itu, Hope."
Aku menatap Darryl. Eden menutupi mukanya dengan kedua
tangannya. Aku bisa melihat bahwa Jasmine gemetaran di seberang
kamar. Pipinya menggigil. Tangisnya hampir meledak.
Tubuh Angel serasa membeku, lengannya melingkari tubuhnya.
Dia menggigit-gigit bibir bawahnya dan memandang Darryl lekat-
lekat.
"Kami tidak bisa membantumu," kata Angel. "Apa yang
kauharapkan dari kami? Menyembunyikanmu di kolong tempat
tidur?"
"Kalian harus membantuku!" Darryl langsung berteriak keras.
Dia merobek-robek jaket kulitnya dan melemparkannya ke dinding.
"Aku—aku rasa ada orang yang melihat. Aku tidak yakin. Aku panik
dan langsung lari ke sini."
Matanya yang pucat memandangku dengan tatapan memohon.
"Aku tidak tahu lagi mesti ke mana," tambahnya dengan suara pelan.
"Darryl, kami tidak bisa melakukan apa-apa," tegas Eden
sambil menurunkan tangan dari wajahnya. Matanya merah dan basah.
"Kau membunuh temanku," bentak Angel. Dia bergerak ke arah
telepon di meja. "Kami harus menelepon polisi."
"Tidak!" teriak Darryl. "Jangan!"
Dia bergerak menghalangi Angel.
"Kita tidak punya pilihan," desak Eden.
"Menyingkirlah," perintah Angel. Dia berusaha melewati Darryl
untuk meraih telepon.
Namun Darryl mendorongnya dengan kasar.
"Aku tidak akan membiarkanmu, Angel!" teriaknya. Matanya
melotot. Wajahnya yang biasanya pucat memerah. "Aku akan
membunuhmu juga!"
Angel membuka mulutnya, siap untuk berteriak.
Ketukan keras di pintu kamar membuat kami serempak
menoleh.
Polisi!
BAB
4

TUBUHKU membeku.
Jantungku serasa berhenti berdetak.
Aku melihat seberkas cahaya putih. Rasanya aku benar-benar
berhenti bernapas.
Suara ketukan beruntun bernada mendesak segera membuatku
tersadar. Aku menarik napas panjang—dan mendorong Darryl ke
dalam lemari pakaian. "Cepat—masuk!" perintahku.
Dia tersandung tumpukan pakaian kotor di tengah lantai.
Kemudian meraba-raba pintu lemari dan menyelinap masuk.
Aku berpaling ke arah pintu.
Bagaimana mungkin polisi ke sini begitu cepat? Aku bingung.
Kok mereka bisa tahu kalau Darryl sembunyi di kamarku?
Suara ketukan kembali datang bertubi-tubi.
"Siapa itu?" tanyaku tanpa bernapas.
"Ini aku—Melanie," jawab suara di luar.
Salah satu dari gadis-gadis yang suka ikut campur yang tinggal
di kamar 13-A seberang lorong. Trio M—Melanie, Mary, dan Margie.
Aku sama sekali tidak suka pada mereka.
Ketiga gadis itu merupakan tipe orang yang puas diri dan
merasa superior. Betul-betul tipe preppie. Maksudku, dari jenis yang
paling payah. Mereka semua lulusan SMU swasta yang mahal. Dan
mereka benar-benar merendahkan anak-anak lulusan SMU negeri
seperti aku dan teman-teman sekamarku.
Beberapa kali aku mengalami kejadian tak enak dengan
Melanie. Beberapa minggu yang lalu, terjadi kekacauan di tempat cuci
pakaian. Entah bagaimana dipikirnya aku yang telah mencuri sweter
sutranya.
Itu salah besar. Tapi dia dengan jahatnya menuduhku demikian.
Kayak aku suka dengan sweter J. Crew-nya yang jelek itu.
Aku pikir kami berteman di asrama itu. Maksudku, kok bisa-
bisanya dia menuduhku mencuri?
Dia dan teman sekamarnya Mary sama-sama masuk tim renang.
Dan mereka suka memamerkan tubuh mereka yang ramping dan
sempurna. Seakan-akan mereka hiu putih yang elok dan kami-kami
yang lain adalah ikan teri atau semacam itu.
Benar-benar menyebalkan.
Aku benci mereka. Sungguh-sungguh benci. Terutama pada
Melanie.
Dan sekarang inilah dia, mengetuk-ngetuk pintu kamarku
dengan tak sabar di tengah malam, seperti biasanya mau memata-
matai.
Aku mengecek untuk memastikan bahwa pintu lemari pakaian
tempat Darryl bersembunyi benar-benar telah tertutup. Lalu aku
membuka pintu kamar.
"Apa semua baik-baik saja?" tanya Melanie. Dia mengenakan
mantel mandinya yang berwarna hijau dan terbuat dari sutra, tampak
sempurna seperti biasanya—bahkan pada jam 01.00.
Rambut Melanie berwarna cokelat, lurus, dengan poni
menghiasi keningnya. Bahkan poninya pun tetap lurus sempurna. Di
balik bajunya yang mengilat, aku dapat melihat pundaknya yang lebar
dan kuat berkat latihan berenang.
"Yeah. Semua baik-baik," sahutku kaku. Dia tahu aku tidak
menyukainya. Jadi, untuk apa menyembunyikannya?
"Aku mendengar suara ribut-ribut," jawab Melanie. Matanya
mencoba-coba melirik ke arah dalam kamar.
Aku tahu dia pasti ingin masuk ke dalam. Jadi, aku berdiri di
tengah-tengah pintu, menghalangi jalannya.
"Suara itu membuat kami terbangun," dia menambahkan, dia
menunjuk dengan kepalanya ke arah kamarnya di seberang lorong
yang berkarpet warna gelap. "Kupikir siapa tahu kau kenapa-kenapa."
Dia tak jera berusaha melihat ke dalam kamar. Aku sengaja
menghambat jalannya.
"Maaf kalau kalian terbangun," sahutku. "Tadi cuma obrolan
tengah malam yang biasa kami lakukan."
Dia menyipitkan matanya. Memandang dengan tatapan
menyelidik.
"Kadang-kadang kami mulai tertawa-tawa dan saling olok
sampai lupa kalau hari sudah larut malam," tambahku. Aku tersenyum
dan mengangkat bahu. "Maaf saja."
Melanie tetap menatapku tajam. Seolah-olah dia berusaha
mencari tahu dari mataku kalau-kalau aku berbohong.
Aku menatap lantai.
"Kau... eh... betul-betul tidak butuh bantuan?" dia bertanya
pelan.
Aku menggeleng.
Aku berpikir-pikir apakah Darryl tidak kekurangan udara di
dalam lemari pakaian. Lemari itu sempit sekali, dan penuh dengan
baju kami berempat.
Aku ingin tahu apa yang dipikirkannya di dalam sana. Aku
belum pernah melihatnya begitu ketakutan dan lepas kontrol
sedemikian rupa.
Aku ngeri.
Kasihan Darryl. Selalu cemburu kapan saja. Mungkin karena
dia terlalu perhatian kepadaku.
"Baiklah kalau begitu. Aku cuma ingin mengecek," ujar
Melanie. "Mary belum pulang. Tapi aku dan Margie agak ketakutan.
Maksudku, aku mendengar ribut-ribut di sini, dan..." Suaranya
menggantung.
Aku hanya memandangnya.
Dia bergerak mundur. "Oke, selamat malam, Hope."
Aku mau mengucapkan selamat tidur.
Tapi suara jerit ketakutan yang penuh kengerian membatalkan
niatku.
BAB
5

SUARA itu mirip lengkingan binatang yang terluka. Gemanya


memenuhi sepanjang lorong asrama.
"Hah?" Melanie terenyak ketakutan.
Aku mencengkeram kusen pintu—bersamaan dengan itu Mary
menghambur dari sudut ruang duduk.
"Tolong!" pekiknya. "Oh, tolong-tolong!"
Melanie berlari ke arahnya. "Mary—ada apa?"
"Pembunuhan!" jerit Mary. "Ada cowok— dia terbunuh!"
Pintu-pintu terbentang lebar.
Ruang duduk dipenuhi jeritan-jeritan ketakutan. Suara-suara
kebingungan.
"Dia ada di luar!" Mary berteriak. "Cowok itu! Dia—dia
dicincang habis!"
Sebelum aku menyadari apa yang sedang terjadi, aku ikut
berlari bersama-sama anak-anak lain. Lari menuju lift. Lari menuju
pintu depan Fear Hall.
Kami berlari berebutan bagaikan ternak yang digiring.
Kami semua, kalau tidak pakai gaun malam, ya pakai piama
atau mantel mandi. Rambut kami berkibar-kibar. Menjerit. Memekik.
Aku tak pernah mendengar suara seperti itu.
Aku belum pernah merasa senang, gusar, dan ngeri—pada saat
yang sama.
Kami menghambur keluar pintu depan. Menuju malam yang
dingin menggigit di bulan Oktober. Tanah terasa keras. Rerumputan
berkilau-kilau di bawah butir-butir embun yang keperakan. Bulan
yang pucat menggantung rendah di balik pepohonan kampus. Pohon
ivy yang merambat di tembok meliuk-liuk tertiup angin.
Kaki-kaki telanjang bergedebukan menghantam jalan. Kaki-
kaki telanjang menimbulkan suara berdentam-dentam.
Kami berlarian ke arah samping asrama. Daun-daun
beterbangan terempas kaki kami.
Melayang menuju deretan semak-semak rendah yang
mengelilingi Fear Hall.
Dan itu dia, tergeletak di atas semak, dengan perut di bawah,
lengannya terbuka lebar seolah-olah sedang memeluk semak tersebut.
Di sanalah tubuh itu.
Atau sebagian yang tersisa darinya.
Dicincang. Semua dicincang. Disayat-sayat, dirobek-robek, dan
dicincang.
Dicincang. Dicincang.
"Aku kenal dia!" teriak Mary. Tangannya menarik-narik rambut
merahnya yang keriting. "Oh tidaaak! Aku kenal dia!"
"Itu Brendan!" Melanie terperangah.
Jerit ketakutan segera membahana. Teriakan dan helaan napas.
Aku melihat seorang gadis membalikkan badannya, mual
melihat pemandangan itu. Di sudut bangunan, seorang gadis yang lain
jatuh berlutut dan muntah ke rerumputan dengan suara keras.
Aku mendengar suara sirene meraung-raung di kejauhan.
Teriakan dan tangisan di mana-mana. Sangat keras. Sangat
menakutkan.
Kututup kedua belah telingaku dengan telapak tangan.
Dan menatap ke arah Brendan lagi. Tubuhnya yang teriris-iris
menggantung di semak-semak. Memeluk semak-semak itu.
Memeluknya.
Pelukan terakhir.
Ketika aku berpaling untuk mengambil napas, aku mendapati
Melanie menatapku.
"Apa?" tanyaku tajam.
Tatapannya mengeras. "Hope, bukankah kau keluar bersama
Brendan malam ini?"
"Apa?" teriakku marah. "Apa kau telah memata-matai aku?"
Melanie ternganga. "Memata-matai? Tentu saja tidak. Untuk
apa aku memata-mataimu?"
Dia menoleh ke arah mayat Brendan, wajahnya terlihat jijik,
dan kemudian kembali memandangku. "Rasanya aku melihatmu
bersama Brendan menyeberangi The Triangle setelah makan malam."
"Tidak. Itu bukan aku," sahutku dingin. "Mungkin matamu
perlu diperiksa, Melanie."
Dia menelan ludah. Mary berada di sampingnya, menggigil, air
matanya bercucuran.
"Aku kenal dia. Aku kenal dia," Mary terus bergumam. "Aku
tak bisa mempercayai ini. Seseorang yang kukenal... seseorang yang
kukenal... telah dibunuh!"
Melanie melingkarkan lengannya ke pundak Mary yang
gemetaran. Aku melihatnya membimbing Mary kembali ke asrama.
Raungan sirene semakin keras.
Cewek-cewek menangis. Menutupi matanya. Saling menghibur
satu sama lain.
Aku memikirkan Darryl. Aku ingin tahu apakah dia masih
bersembunyi di lemari pakaian kami.
Tiba-tiba aku merasakan ada dorongan untuk membungkam
semua orang. Aku ingin berdiri di depan mereka semua dan berteriak,
"Ini semua hanya kekeliruan! Cuma kekeliruan! Darryl menyangka itu
aku—tapi itu benar-benar Angel!"
Tapi, tentu saja, itu tidak bisa membantu Brendan yang malang,
kan? Sudah terlambat untuk menolong Brendan.
Aku menggigil. Dan menyadari bahwa aku sudah setengah
beku, berdiri di udara dingin bertelanjang kaki serta hanya
mengenakan gaun malam.
Kupalingkan wajahku dari mayat Brendan yang mengenaskan.
Kudekap diriku sendiri dan buru-buru kembali menuju ke dalam
asrama yang hangat. Ketika kulangkahkan kaki di lobi, mataku
menangkap cahaya lampu merah yang terpantul di pintu kaca. Aku
menoleh ke belakang ke arah dua buah ambulans yang berhenti di
depan sambil mengeluarkan bunyi berdecit-decit.
"Sudah terlambat," gumamku.
Aku naik lift ke lantai tiga belas dan cepat-cepat menuju
kamarku, terus mendekap diriku sendiri agar tubuhku tetap hangat.
Aku menemukan Darryl sedang duduk di tempat tidurku,
kepalanya menunduk dan tangannya memegang kepala, kemurungan
menyelimuti wajahnya.
Dengan hati-hati kututup pintu di belakangku dan menghambur
ke arahnya. "Bisa-bisanya kau melakukannya," sentakku. "Bagaimana
bisa? Sudah gilakah kau?"
Dia tidak mendongak. "Mungkin," sahutnya sambil berkomat-
kamit.
"Mungkin?" aku menjerit marah. "Mungkin kau gila? Kau pikir
memotong-motong cowok baik, cowok yang kita semua mengenalnya
tindakan orang normal?"
"Mungkin aku memang gila," ulang Darryl pelan. Kemudian dia
mengangkat kepalanya dan dengan pandangan mengancam ia
menyipitkan matanya kepadaku.
"Kuperingatkan kau, Hope," rahangnya mengeras. "Mungkin,
aku benar-benar gila. Tapi aku ingin memperingatkanmu. Jangan
lakukan itu lagi. Jangan berkencan dengan cowok lain."
"Tapi—tapi..." aku tergagap-gagap. "Sudah kubilang—cewek
itu bukan aku. Itu Angel."
Dia melompat. Nyaris menghantamku. Matanya yang pucat
tampak berkilat-kilat marah. "Pokoknya jangan berkencan dengan
cowok lain," tukasnya. "Atau aku akan melakukannya lagi. Itu
mungkin saja."
Dia berjalan sempoyongan ke arah pintu sebelum aku sempat
berkata-kata.
Kurang dari semenit kemudian, seseorang mengetuk pintuku
keras-keras.
"Siapa?" tanyaku. "Melanie? Kau kembali lagi?"
"Polisi," seseorang menjawab suara berat. "Kami ingin
mengajukan beberapa pertanyaan."
Aku menoleh ke arah Angel. "Lebih baik kau yang
menjawabnya," kataku padanya. "Mereka pasti mau bercakap-cakap
denganmu."
Kulihat dia membuka pintu. Namun aku berpikir tentang
Darryl. Berpikir keras.
Apa yang harus kulakukan terhadapnya?
Bagian Dua
JASMINE
BAB
6

"KOPINYA tambah lagi sedikit, Jasmine." Mrs. Jacklin


mengangsurkan cangkirnya ke mukaku.
Aku meletakkan lap yang kupakai untuk membersihkan meja
konter. Kemudian dengan menggunakan celemek aku mengeringkan
tangan. Dan mengisi cangkir wanita tua itu dengan kopi dari cerek
yang dipanaskan di atas kompor sejak tadi pagi.
Mrs. Jacklin datang ke Campus Corner setiap sore untuk
menikmati kopi dan kue manis. Dulu dia mengajar di Ivy State. Mata
kuliah sejarah. Dia senang menceritakan kisah-kisah mengenai
kampus di masa lalu.ebukulawas.blogspot.com
Tapi aku jarang punya kesempatan untuk mendengarkan.
Campus Corner cukup ramai di penghujung sore. Kedai kopi ini salah
satu yang paling populer di kampus.
Dan karena aku satu-satunya pelayan yang bertugas dari pukul
16.00 hingga pukul 19.00, aku tak henti-hentinya hilir mudik. Marty
Dell, pemilik sekaligus juru masak, terus-menerus mengawasiku dari
dapur. Dia tidak akan membiarkan aku mengobrol meskipun hanya
sejenak. Kurasa matanya mengikuti setiap gelas yang kubawa.
Tapi aku tidak mengeluh. Aku beruntung bisa mendapatkan
pekerjaan ini. Upahnya cukup untuk menyambung hidup dari minggu
ke minggu. Untuk membeli buku teks dan keperluan kuliah lainnya.
Dan, sekali-sekali, aku bahkan mampu membeli baju baru.
Jadi aku berusaha membetah-betahkan diri terhadap Marty, si
tukang perintah. Aku bekerja sebaik mungkin. Dan aku tidak protes
atau membantah kalau dia sedang mengomeliku.
Kurasa pekerjaan ini malah membantuku dalam mengatasi sifat
pemaluku. Pekerjaan ini memaksaku berbicara dengan orang lain. Aku
harus beramah-ramah pada mereka, tersenyum, dan bercakap-cakap.
Keterampilan yang tidak kukuasai.
Ibuku selalu memanggilku si Ikan.
Sebutan yang menjijikkan, kan? Beliau menyebutku seperti itu
karena katanya aku memiliki kepribadian seekor ikan. Ikan mati.
Sikap ibuku tidak terlampau baik kepadaku. Dia tidak pernah
melakukan apa-apa untuk menumbuhkan kepercayaan diriku.
Malahan, dia selalu berusaha membuatku kecil hati.
Aku benci dengan sifat pemaluku. Aku tidak dapat mengerti apa
yang membuatku berbeda, apa yang kurang pada diriku.
Kenapa anak-anak lain bisa saling tertawa dan bersenda gurau,
sementara aku sendirian dan merasa malu? Mengapa aku tidak bisa
menggabungkan diri ke dalam sekelompok anak-anak lain dan
memulai percakapan, seperti yang mereka lakukan.
Kini aku memahami bahwa ada orang-orang tertentu yang
memiliki pembawaan pemalu.
Tapi memahami tidak banyak membantu. Juga tidak
membuatku merasa lebih nyaman dengan diriku sendiri.
Aku ingin seperti Angel. Begitu bebas dan mudah bergaul.
Angel dapat bercakap-cakap dengan siapa saja. Dan dia membuat
cowok-cowok terpesona!
Dia bercakap-cakap dengan cowok-cowok dengan suaranya
yang seperti berbisik dan kecil bagai suara anak kucing. Dan mereka
tidak peduli apa yang diucapkannya. Nyaris seolah-olah Angel telah
menghipnotis mereka.
Sungguh kekuatan yang menakjubkan!
Kadang-kadang aku meminjam bajunya yang seksi. Baju atasan
berpotongan rendah, rok mini, dan celana ketat. Aku mencoba meniru
suaranya yang mirip dengkuran anak kucing, bercakap-cakap dengan
suara lambat dan lembut. Dan aku berusaha meniru cara berjalannya
yang gemulai seperti gerak kucing.
Tapi itu hanya membuatku merasa tidak nyaman. Dan tolol.
Aku akan selalu menjadi Jasmine, kataku pada diriku sendiri.
Aku takkan pernah menjadi Angel. Karena itu aku harus mencari cara
agar sedapat-dapatnya aku bisa menjadi Jasmine yang terbaik.
Dan itulah salah satu alasan mengapa aku mempertahankan
pekerjaan pelayan kedai ini.
Angel dan Hope sangat penuh pengertian. Mereka menerimaku
meskipun aku pemalu dan tidak banyak bicara.
Eden kerap menertawakan aku dan melontarkan lelucon
mengenai penampilanku. Tapi itulah dia.
Aku beruntung bahwa aku sangat menyukai teman-teman
sekamarku. Aku merasa benar-benar dekat dengan mereka.
"Tolong tambahkan sedikit kopi, Jasmine," Mrs. Jacklin
kembali mengulurkan cangkirnya padaku. Tanganku tampak begitu
tua, merah, dan berbercak-bercak.
Warna merah itu mengingatkanku pada Brendan.
Brendan. Dan darah. Darah Brendan.
Kini, setiap kali aku melihat warna merah terang, ingatanku
melayang ke cowok malang itu. Aku melihat tubuhnya tersayat-sayat
dan hancur, seakan-akan seekor binatang buas telah mencabik-
cabiknya.
Dia dibunuh dua hari yang lalu, dan aku tidak bisa berhenti
memikirkannya.
Tidak seorang pun yang bisa.
Dan pada saat aku memikirkan dia, aku mendengar seseorang
menyebut namanya.
Aku menuangkan kopi ke cangkir Mrs. jacklin. Aku harus
membersihkan teko kopi karena isinya sudah hampir habis. Begitu aku
selesai menuang, pandanganku melayang ke sudut dekat dinding.
Dan aku lihat Trio M: Melanie, Mary, dan Margie—cewek-
cewek yang tinggal di seberang lorong. Mereka membungkuk
membaca menu, kepala mereka saling berdekatan, wajah mereka
tampak murung. Dan mereka membicarakan Brendan.
Bicara dengan suara pelan.
Dan tiap beberapa detik mereka mendongak—ke arahku!
Hei, ada apa ini? Aku bertanya-tanya.
Mengapa mereka menatapku?
BAB
7

PADA mulanya aku mengira jangan-jangan di seragam


pelayanku terdapat noda atau sesuatu. Atau mungkin rambutku kusut.
Itulah cara berpikirku. Aku terlampau rendah diri.
Aku mendengar Mary berkata bahwa dia setiap malam
mengalami mimpi buruk. Dia menggelengkan kepala dan rambutnya
yang ikal dan merah jadi bergoyang-goyang.
Dan kemudian Melanie berkata bahwa dia tidak bisa
berkonsentrasi sama sekali saat mengikuti kuliah. Dia memegang-
megang anting-anting peraknya yang panjang berkilauan dan selalu
dikenakannya.
Margie tidak berkata apa-apa. Tapi dia terus menatap ke arahku,
seperti yang lainnya.
"Brendan cowok baik," kata Melanie. Kukunya yang panjang
dan merah serta sempurna memegang daftar menu yang berlapiskan
plastik.
Kuku merah. Merah seperti darah.
Mengapa mereka terus memandangku?
"Aku tak percaya ada orang yang membunuhnya persis di luar
asrama kita," ujar Margie dengan suaranya yang mirip tikus mencicit.
Dia mirip betul dengan tikus. Hidungnya yang kecil dan mendongak
pun bergerak-gerak seperti hidung tikus.
"Fear Hall," gumam Mary. "Aku selalu berpikir bahwa kisah-
kisah seram itu hanya lelucon."
"Beberapa memang lelucon," desah Margie.
Mereka semua menatapku lagi.
Aku mengambil notes dan berjalan menuju meja mereka. Aku
mendengar gemerincing uang kembalian di konter di belakangku.
Mrs. Jacklin sedang menaruh uang tipnya yang selalu sebesar 35 sen.
"Kenapa kalian melihatku terus?"
Aku tidak bermaksud untuk berkata demikian. Niatku
mengucapkan, "Kalian mau pesan apa?" Namun kalimat itu meluncur
begitu saja dari mulutku.
"Kenapa kalian melihatku terus?"
Margie ternganga saking terkejutnya. Aku dapat melihat bahwa
dia tak menyangka aku akan bertanya seperti itu.
Tapi Melanie dengan sigap menjawab, seperti biasanya.
"Kami... kami cuma ingin kau mencatat pesanan kami," ujarnya,
pipinya bersemu merah. Dia menggoyang-goyang anting-antingnya
dengan sikap tegang.
Aku mengambil notes dan pensil dari saku seragamku. Mary
dan Margie memesan kentang goreng dan Coke. Melanie memesan
salad dan Diet Coke. Seperti biasanya.
Aku bisa melihat Marty mengawasiku melalui jendela terbuka
yang berhubungan dengan dapur. Aku tahu kalau aku terlampau lama
mengobrol dengan mereka, dia akan melontarkan tatapan marah.
Aku menyerahkan pesanan kepada Marty dan mengambil tip
sebesar 35 sen dari Mrs. Jacklin yang tergeletak di meja dan
memasukkannya ke saku celemekku. Setiap sen sangat berarti.
"Hai!" seruku kepada Eden dan Angel yang sedang mengambil
tempat duduk di tempat yang berseberangan dengan Trio M.
Aku meletakkan cerek baru berisi kopi di kompor. Kemudian
aku melepaskan celemek dan menggantungkannya di gantungan yang
terdapat di pintu dapur. "Aku istirahat sepuluh menit," kataku pada
Marty.
Dia melihat ke arah arlojinya. Setiap hari aku punya
kesempatan beristirahat selama sepuluh menit pada pukul 17.30. Dan
tiap hari Marty melihat arlojinya.
Eden menggeser tubuhnya ke arah dinding, dan aku
menjatuhkan bokongku di sebelahnya. "Ada apa?" tanyaku pada
mereka.
Mereka berdua menggelengkan kepala dengan wajah suram.
Perasaan takut menghantam dadaku. "Ada apa?" tanyaku.
"Hope," gumam Eden.
"Hah?" aku terenyak. "Apa yang terjadi pada Hope?"
BAB
8

"TIDAK. Hope baik-baik saja," jawab Angel pelan. "Hanya


saja... kami mencemaskannya."
"Dan Darryl," tambah Eden, keningnya berkerut.
Angel menarik benang yang putus pada sweter putihnya
menggunakan kukunya yang dicat ungu. Lipstiknya serasi dengan cat
kukunya. Di kedua daun telinganya ia mengenakan anting-anting
warna ungu.
Angel mau bersusah payah bagi penampilannya.
"Hope begitu tergila-gila pada Darryl, dia tak mau mendengar
alasan apa pun," keluh Angel.
Eden mengangguk. "Darryl betul-betul menakutkan," katanya.
"Dia gila. Benar-benar tidak waras. Harusnya dia dikurung."
Aku kembali teringat pada Brendan, menggeletak di atas semak
di samping asrama.
"Kau benar," kataku pada Eden. "Darryl harus dikurung."
"Dia berbahaya. Dia harus disingkirkan— sebelum dia melukai
orang lain lagi," sahut Eden.
"Sebelum dia membunuh orang lain lagi," kata Angel, matanya
memancarkan rasa takut.
"Tapi Hope tidak akan mau mendengarkan kita," kata Eden
padaku. "Hope tidak akan membiarkan kita melapor ke polisi. Dia
takkan membolehkan kita menyerahkan Darryl."
"Ini karena kejadian ketika di SMU dulu," tambah Angel.
"Karena begitu berartinya bantuan Darryl baginya di SMU."
"Bukan. Ini gara-gara dia terpikat pada Darryl," bantah Eden.
"Tapi Hope membuat kesalahan besar telah menyembunyikannya,
telah melindunginya. Kesalahan besar."
Aku mengangguk setuju. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa.
Ini perkara kami bertiga melawan Hope.
"Mungkin kalau kita bertiga berbicara padanya...," ujarku.
Angel menggelengkan kepala. "Dia tidak akan mau tahu. Aku
tahu dia takkan mau. Dia sudah mengambil keputusan. Dia akan
melindungi Darryl."
"Tapi bukankah itu dapat membuat kita dianggap sebagai kaki-
tangan?" tanyaku.
Mereka melotot ke arahku. "Kaki-tangan?"
"Ya," jawabku. "Bukankah kita bisa mengalami kesulitan
karena telah membantu seorang pembunuh? Karena kita tidak
memberitahu polisi apa yang kita tahu? Bukankah ini kejahatan
serius?"
"Kita harus berbicara pada Hope," ujar Eden dengan tegas.
"Begitu kita sampai ke kamar."
Aku memandang ke sekeliling. Di sisi seberang restoran, Trio
M menatap kami dengan tajam. Mereka berhenti bercakap-cakap.
Mereka memandang kami tanpa berkata apa pun.
"Jasmine—?"
Suara Marty membuatku menoleh ke arah dapur. Aku
mendapatinya sedang menatapku juga. Wajahnya menampakkan
ekspresi yang sungguh ganjil.
"Jasmine—kau baik-baik?" tanyanya.
"Yeah. Tidak apa-apa," sahutku padanya.
Aku membungkuk ke arah meja tempat kedua temanku duduk.
Aku berbisik, "Lebih baik kalian pergi saja. Kalian bisa membuatku
kehilangan pekerjaan."
**************
Aku tidak bisa meninggalkan restoran sebelum pukul 19.30.
Mesin pencuci piring sedang rusak. Dan Marty menyuruhku mencuci
semua cangkir dan gelas secara manual.
Aku sebenarnya tidak keberatan. Dia selalu memberiku uang
lembur kalau aku bekerja lewat waktu.
Tapi aku tidak mengerti kenapa dia menatapku terus-menerus
sepanjang sore ini. Tatapannya penuh selidik. Seakan-akan aku
serangga yang berada di bawah batu atau entah apa.
Beberapa kali aku berpikir untuk bertanya ada masalah apa
dengannya. Tapi setiap kali, nyaliku menciut.
Jasmine, jangan cari gara-gara.
Itu nasihatku bagi diriku sendiri.
Aku mengeringkan tangan dan menggantungkan handuk.
Kemudian aku mengambil ranselku dari lemari sepen dan berjalan
menuju pintu belakang.
Marty mengunci pintu depan pada pukul 19.00. Jadi aku selalu
pulang lewat pintu belakang.
"Kau masuk besok?" tanya Marty ketika aku melangkah ke
gang.
Dia tahu jadwalku. Dia tahu bahwa aku bekerja empat hari
seminggu di sore hari. Tapi dia selalu bertanya apakah aku akan
bekerja keesokan hari.
Aku mengangguk. "Ya. Sampai besok."
"Mau ketemu teman?" tanyanya. Kenapa dia memandangku
seperti itu?
"Aku langsung pulang ke asrama," kataku padanya. Aku
berbalik dan berjalan menuju gang sempit.
Begitu Marty menutup pintu restoran, sekelilingku seketika
gelap total. Tak ada lampu dari belakang sana.
Dinding batu bata bangunan di satu sisi. Pagar kayu yang tinggi
di satu sisinya lagi.
Angin dingin berembus melalui gang, rambutku jadi berkibar-
kibar, mendorongku mundur. Aku berusaha menembus kencangnya
angin dan berusaha tetap berjalan.
Gang ini selalu membuatku takut. Pernah seekor tikus besar
melompat dari tong sampah dan menyelinap cepat melalui sepatuku.
Aku hanya perlu berjalan setengah blok di gang yang gelap ini.
Ujung gang ini adalah Pine Street, asrama hanya dua blok ke arah
utara.
Aku sudah dekat dengan Pine Street ketika kudengar bunyi
jatuhnya tutup tong sampah di belakangku.
Bunyi itu membuatku terperanjat, aku sampai melompat.
Aku tidak berbalik. Aku yakin angin yang sangat kencang telah
menerbangkan tutup seng itu.
Aku yakin—sampai akhirnya kudengar bunyi gedebukan
langkah-langkah di gang.
Kemudian aku tahu ada seseorang berlari ke arahku.
Aku berpaling ke belakang dan memicingkan mataku ke arah
kegelapan. "Marty—kaukah itu?"
Apakah aku melupakan sesuatu di restoran? Apakah Marty
membawakannya?
"Marty—?"
Suaraku tercekat di tenggorokan.
Kalau saja aku bisa melihat.
"Marty?"
Langkah-langkah kaki itu terdengar mengentak-entak di lantai
beton gang tersebut.
Kemudian ada dua tangan merenggutku. Mencengkeram
pundakku dengan erat.
Tangan itu menjepit pinggangku. Dan mulai memepetku ke
dinding bangunan.
Aku membuka mulutku siap berteriak.
BAB
9

SEBELUM aku sempat berteriak, tangan itu sudah


membungkam mulutku.
Aku menggeram ketakutan. Aku berusaha menggigit tangan itu,
tapi tangan tersebut malah semakin kencang menekan mukaku.
Menekan leherku. Mencekikku.
Aku menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri.
Tapi tangan yang satu lagi mendorongku ke dinding batu bata
yang kasar.
Sesosok wajah menekankan mukanya ke wajahku.
Seorang cowok.
Napasnya bau peppermint. Aku mencium bau permen.
Dan kemudian aku bisa melihat wajahnya.
Darryl.
Aku memberontak dan mendorongnya kembali. Teriakan marah
keluar dari kerongkonganku. "Darryl!" sentakku. "Lepaskan aku!
Apa-apaan kau ini?"
Sebuah mobil lewat di depan kami di Pine Street. Cahaya pucat
kuning dari lampu depan menyorot bangunan, menyorot kami.
Mata biru Darryl menatapku. Di balik jaket kulitnya tampak
dadanya bergerak naik-turun. Napasnya memburu. Wajahnya begitu
dekat dengan wajahku. Aku mencium bau peppermint lagi.
"Jasmine..." Suaranya seperti tercekik. "Kau mau melaporkan
aku?"
"Hah? Aku?" teriakku. Kerongkonganku tercekat. Pinggangku
yang dicengkeramnya terasa sakit.
"Ya, tidak?" desaknya. Wajahnya mengarah ke kegelapan. "Kau
dan teman-teman sekamarmu mau melaporkan aku ke polisi?"
Aku menghela napas dalam. Aku harus menjawab apa?
"Tidak," kataku. Tatapanku jatuh ke tanah. "Tidak. Kami tidak
berniat untuk bilang kepada siapa pun."
Mukanya berubah-ubah dari terang ke gelap dan sebaliknya
akibat terpaan cahaya pucat dari jalanan. Matanya tak berkedip.
Tatapannya terkunci ke arahku. Bibir atasnya bergerak-gerak.
Semua diam.
Waktu seakan berhenti.
"Sungguh," tegasku. "Sumpah. Kami akan tutup mulut, Darryl."
Kalau saja bibirku tidak gemetaran seperti ini.
Apakah baginya kedengaran seolah-olah aku sedang
berbohong?
Wajahnya bergeming. Dia tetap tak berkedip. Ekspresi
mukanya kosong. Seolah-olah dia tidak lagi berada di sana.
Bibirnya bergerak-gerak lagi.
"Oke," akhirnya dia menjawab. Dia menghela napas dan
mengelap keringat di keningnya dengan lengan jaketnya. "Baik."
"Tapi kau harus mencari bantuan," ujarku.
Kututup mataku. Apakah aku telah mengucapkan sesuatu yang
keliru? Apakah dia akan marah lagi? Apakah dia akan melukaiku?
Dia menggeram. Tubuhnya melemas. Kepalan tangannya
mengendur, kedua tangannya kini di samping badannya.
Aku mengambil napas lega. "Kau harus mengendalikan
emosimu," kataku pelan.
Darryl mengangguk. Dia tetap tak berkedip. "Aku sedang
mengusahakannya," sahutnya.
"Aku boleh pergi sekarang?" tanyaku takut-takut.
Mata pucatnya berkilau di tengah penerangan yang remang-
remang. "Hei, Jasmine?"
"Apa?" tanyaku tak sabar.
"Aku berjanji."
"Berjanji apa?"
"Aku janji tak akan membunuh lagi," katanya.
Kemudian dia mencengkeram pergelangan tanganku dan
meremasnya kuat-kuat. Dan berbisik, "Kecuali kalau perlu."
Bagian Tiga
EDEN
BAB
10

"EDEN, sedang apa kau?" tanya Hope dari sisi seberang kamar.
"Merajut kaus kaki. Memangnya aku kelihatannya sedang
ngapain?" jawabku dengan sarkastis.
Dia tahu betul apa yang sedang kukerjakan. Aku sedang
membungkuk di meja tulisku yang kecil, menulis surat ke ibuku.
Tapi Hope selalu meremehkan apa pun.
Dia menyeberangi kamar dan berdiri di belakangku, membaca
suratku. Aku menyembunyikannya ke dadaku.
Hope tertawa. Tawa pahit. "Eden, kau memang anak baik,"
katanya. "Menulis surat ke Mom."
Aku diam saja. Aku tahu Hope tidak cocok dengan ibunya. Dia
selalu bercerita pada Angel, Jasmine, dan aku mengenai kisah masa
kecilnya yang tidak menyenangkan.
Di belakangku, Jasmine telentang di tempat tidurnya, wajahnya
tenggelam di balik buku teks, seperti biasanya. Aku tidak tahu di
mana Angel. Mungkin sedang berkencan. Itu tebakan paling aman.
Hope menghela napas. Aku mulai menulis lagi, tapi dia tidak
beranjak. "Tahu tidak apa panggilan yang diberikan ibuku buatku?"
tanyanya. "Tahu nggak julukanku kalau di rumah?"
"Tak mungkin lebih jelek ketimbang si Ikan," sahut Jasmine.
Aku menoleh dan mendapati ekspresi getir di wajah Hope. "Dia
menyebutku Tong Lemak," ujarnya sembari mengatupkan gigi.
"Apa?" teriakku, bolpoinku sampai terjatuh. "Kenapa Tong
Lemak?"
Mata Hope berkaca-kaca, seakan-akan dia akan menangis.
"Karena aku gendut," jawabnya. "Padahal aku sama sekali tidak
gemuk. Aku cuma sedikit montok. Seperti aku sekarang ini."
"Dan ibumu memanggilmu Tong Lemak?" tukasku. "Kapan
pun?"
"Biasanya kalau ada temanku di dekat-dekatku," sahut Hope.
Dia berpaling dan menghapus air matanya. Dia tidak ingin aku
melihat betapa menggusarkannya kenangan tersebut.
Dalam beberapa hal, Hope sangat tertutup.
Jasmine mengangkat kepalanya dari buku. "Dia melakukan itu?
Sungguh? Ibumu memanggilmu dengan julukan itu di depan teman-
temanmu?"
Hope mengangguk. "Dia suka mempermalukanku. Cuma itu
hobinya."
Dia menghela napas lagi, menyilangkan lengannya di depan
sweter birunya, dan mulai melangkah di kamar mungil kami. Aku
mengikuti gerakannya dengan mataku.
Hope tampak tidak sehat. Rambutnya berantakan. Wajahnya,
yang normalnya berwarna kemerahan, kini berwarna kekuningan.
Matanya kelihatan basah dan muram.
Aku tahu, dia benar-benar bingung dan khawatir soal Darryl.
Aku selalu tahu. Setiap kali Hope cemas akan Darryl, dia mulai bicara
tentang ibunya.
Pokoknya dua orang itu selalu memenuhi pikirannya. Dua
orang yang berkarakter payah, kukira.
Namun aku baru tahu bahwa Hope betul-betul khawatir soal
Darryl.
"Aku tidak habis mengerti kenapa Mom memberiku julukan
seperti itu," ujar Hope, sembari mondar-mandir dalam kamar. "Tapi
itu bukan hal paling buruk yang dilakukannya."
Aku sadar Hope tidak sedang bicara pada aku dan Jasmine.
Sebetulnya dia bicara pada dirinya sendiri.
Jasmine memalingkan muka dan kembali menekuni bukunya.
Tapi aku mengalihkan pandangan dari meja tulis untuk mendengarkan
Hope.
"Mom begitu terobsesi dengan berat badanku," lanjut Hope,
kepalanya menggeleng-geleng. "Mom sangat kurus seperti tiang
listrik. Sungguh. Dia sama kurusnya dengan Angel. Dan aku tak habis
pikir kenapa dia sangat terganggu punya anak gendut. Siapa tahu aku
mirip ayahku atau sesuatu. Aku tidak tahu."
Jasmine mendongak kembali. "Kau tidak tahu bagaimana rupa
ayahmu?"
Hope menggeleng. "Aku tidak pernah ketemu dengannya. Dan
Mom tidak punya fotonya sama sekali." Dia tertawa getir dan mulai
mondar-mondir lagi.
"Suatu hari aku membawa tiga temanku ke rumah sepulang
sekolah," lanjut Hope. "Kalau tidak salah waktu aku kelas empat atau
kelas lima. Aku lupa."
Dia terdiam sejenak, kemudian melanjutkan ceritanya. "Waktu
itu hari panas sekali, dan kami semua kelaparan. Jadi aku mengambil
kotak es krim yang berisi 2,5 liter dari kulkas. Dan membagi teman-
temanku masing-masing satu mangkuk besar es krim cokelat.
"Lalu, kami semua makan ramai-ramai di dapur. Kami baru saja
makan es krim ketika Mom muncul. Dia memandang semua temanku.
Begitu melihat aku makan es krim, amarahnya langsung meledak.
"Dia berteriak-teriak dan memaki-maki, menyebutku Tong
Lemak di depan teman-temanku. Lalu dia merebut mangkuk es krim
mereka. Mengambil semua es krim temanku dan menyorongkan
semua mangkuk itu ke hadapanku.
'"Kau suka es krim, kan?' jerit Mom. 'Kalau begitu, nih—makan
semua.'
"Dia mendesak dan memaksaku untuk menghabiskan keempat
mangkuk es krim itu," lanjut Hope, mulutnya bergerak-gerak marah
sewaktu dia mengingat cerita itu.
"Teman-temanku ingin pergi. Maksudku, ibuku membuat
mereka ketakutan! Tapi ibuku memaksa mereka tetap di tempat dan
menontonku.
"Aku mulai menangis. Tapi Mom tidak peduli. Dia tetap
memaksaku makan meskipun aku menangis. Dia memaksaku makan
keempat mangkuk es krim itu sementara teman-temanku memandang
dengan muka syok.
"Lalu, ketika aku selesai menelan suapan terakhir, Mom
merenggut kepalaku—dan menyorongkan mukaku ke depan kotak es
krim. Dia menekankan kepalaku ke dalam kotak itu dan memaksaku
memakan sisa es krim yang ada dalam kotak. Memaksaku untuk
menjilatinya—seperti anjing—sampai seluruh es krim itu habis."
Aku terperangah. "Kau bercanda!"
Tapi dari ekspresi mukanya aku bisa melihat bahwa dia tidak
bohong. Cerita mengerikan itu memang nyata.
"Wow," gumam Jasmine dari tempat tidurnya. "Wow."
Hope membelakangi kami. Pundaknya bergetar hebat.
Tangannya menyapu rambut pirangnya yang berantakan.
"Itu sebabnya kau tak menulis surat kepada Mom," katanya
dengan suara tercekat.
Aku memandangi surat yang baru mulai kutulis.
Mom sayang, bunyinya. Terjadi masalah kecil di kampus. Ada
mahasiswa dibunuh di luar asrama kami. Tapi Mom tidak usah
khawatir. Kupikir…
Baru segitu yang kutulis.
"Hei—keluar yuk," ajak Hope. Dia memaksakan diri untuk
tersenyum. "Ayo. Cari udara segar. Yuk."
"Aku tidak bisa," jawab Jasmine. "Aku mesti menyelesaikan
bab ini. Lagi pula, sekarang sudah larut malam."
Muka Hope tampak kecewa. Ia memandangku. "Kau mau,
Eden?"
Aku ragu-ragu. Aku ingin merampungkan suratku dan mandi
lama-lama. Tapi aku memutuskan lebih penting membuat Hope
senang.
"Oke," kataku, melompat bangun. "Aku ambil dulu baju
hangatku. Lalu kita keluar."
Senyumnya langsung terkembang.
Aku menyeberangi kamar menuju lemariku dan mengambil
sweter Ivy State yang berwarna biru dan emas. "Hope—apa yang
ingin kaulakukan?" tanyaku.
Matanya berkilat. "Cari masalah, jawabnya.
BAB
11

KAMI berjalan beberapa blok menuju Blue Tavern. Tidak


seperti namanya, Blue Tavern bukanlah tavern betulan. Tempat ini
lebih mirip kedai pizza yang menyediakan bir. Blue Tavern adalah
salah satu tempat di kota yang masih buka di atas jam 22.00.
Setiap meja dipenuhi oleh mahasiswa. Di situ tercium bau asap
rokok, saus pizza, dan bir. Cahaya biru dari lampu di langit-langit
mencetak bayangan gelap pada setiap pengunjung.
Restoran ini hanya punya lampu warna biru. Tempat ini selalu
gelap dan suasananya nyaris tampak muram. Kapan pun kau masuk ke
dalam Blue Tavern, suasananya selalu tampak seolah-olah sedang
tengah malam.
Yang, aku kira, itu sebabnya kami menyukainya.
Hope dan aku menunggu di bar selama beberapa saat,
menunggu meja kosong. Kami memandang ke sekeliling, memandang
tajam-tajam di antara cahaya biru yang bersemburat asap.
Semua pramusajinya mengenakan rok pendek warna biru dan
blus putih. Mereka lalu-lalang sambil bergegas. Mereka membawa
pizza dan pitcher berisi bir di atas baki metal yang besar, dan berusaha
menyelinap di antara meja-meja yang penuh sesak.
Setelah menunggu kira-kira selama dua puluh menit, sebuah
meja di bagian belakang akhirnya ditinggalkan tamu. Hope dan aku
langsung mendudukinya. Kami memesan pizza begitu pelayan datang,
"Hei—apa kabar?"
Dua cowok di meja sebelah kami nyengir ke arah kami. Salah
satu di antara mereka sekelas denganku di mata kuliah sosiologi.
Tampangnya keren. Rambutnya yang kemerahan dipotong sangat
pendek dan dia punya jenggot kecil di dagunya. Dan senyumnya
sangat menarik.
Temannya agak-agak mirip bajak laut. Sehelai bandana warna
merah terikat di kepalanya, di bawah rambutnya yang hitam dan ikal.
"Hai," sahutku.
Hope memandang ke arah meja.
"Apa kabar?" cowok yang keren menanyaku.
Aku mengangkat bahu. "Biasa saja."
Aku menoleh kembali ke arah Hope. Tubuhnya membungkuk,
tampangnya tampak resah. Matanya terus-menerus melihat ke bawah.
"Kenapa sih kau?" tanyaku. "Posturmu semakin hari semakin
jelek."
Dia tidak tertawa atas leluconku. Aku tiba-tiba menyadari
bahwa dia tidak pernah tertawa atau tersenyum kalau aku melucu.
Aku melucu setiap saat. Maksudku benar-benar setiap saat.
Begitulah aku. Aku memandang diriku sendiri sebagai orang yang
sarkastik, orang yang lucu.
Kita butuh rasa humor—betul tidak? Itulah caraku menghadapi
segala hal. Dan orang-orang.
Namun sebelum ini aku tidak pernah menyadari kalau Hope
tidak pernah tersenyum atas leluconku.
Apa ya yang dipikirkannya tentangku? Tiba-tiba aku ingin tahu.
Apakah dia ingin aku berhenti melontarkan lelucon konyol?
"Hei—siapa namamu?" tanya cowok yang memakai bandana.
Dia mesti berteriak untuk mengalahkan suara jukebox yang
menggelegar.
"Eden," jawabku. "Kau sendiri siapa?"
"Gideon," sahutnya.
Dia tidak mirip Gideon. Tiba-tiba aku ingin tahu apa nama
panggilan yang bagus untuk Gideon. Gid? Giddy?
Hope mengerutkan kening dan menggelengkan kepala. "Lebih
baik kita pulang saja," gumamnya.
"Hah? Kau bilang pulang?" aku membungkuk ke arahnya agar
bisa mendengar lebih jelas.
Beberapa meja di sana, sekelompok cowok menumpahkan
segelas bir. Gelas itu langsung pecah berantakan dengan suara keras di
lantai. Semua orang langsung bertepuk tangan dan tertawa keras-
keras.
Begitu banyak wajah-wajah cerah. Cahaya biru menyapu semua
pengunjung.
"Ada apa, Hope?" tanyaku. "Kita baru saja duduk. Pizza
pesanan kita juga belum datang. Kenapa kau ingin pulang?"
Dia mengarahkan pandangannya ke depan restoran, tapi tetap
membisu.
Tiba-tiba aku menggigil.
"Darryl?" tanyaku.
Dia mengangguk.
"Darryl mengawasi?" tanyaku. Aku berbalik dan mencari-cari
di antara awan asap yang kebiruan. Dia tak ada.
"Dia mengawasi," ujar Hope pelan. Pipinya gemetar. "Aku
tidak ingin dapat masalah, Eden."
"Hai." Terdengar suara menyapa. Amat dekat. Dan terasa ada
tangan berada di atas pundakku.
Aku memutar tubuh dan cowok keren berjenggot tadi nyengir
ke arahku. "Kau sekelas denganku di mata kuliah sosiologi," sapanya.
"Aku Dave. Dia Gideon." Gideon juga berdiri. Sama-sama
nyengir.
"Boleh bergabung denganmu?" tanya Dave. "Emm...." aku
ragu-ragu. "Sori, tapi temanku..."
Senyum Dave menghilang. "Teman mana?" tanyanya.
"Hah?" aku menoleh kembali ke arah meja. Hope telah lenyap.
BAB
12

DENGAN napas tersentak, aku melompat berdiri, nyaris


tersandung meja.
Aku memandang ke sekeliling restoran. Sambil menyipitkan
mata di antara cahaya kebiruan yang menyilaukan, aku mencari-cari
Hope.
Apakah Darryl muncul dan menyeret Hope?
Tidak. Tidak mungkin.
Aku pasti mendengarnya. Aku pasti melihatnya.
Lagi pula, Darryl tidak punya alasan untuk cemburu. Kecuali...
Kecuali dia melihat kami dan mengira kami di sini bersama
Dave dan Gideon.
Ya ampun. Tenang, aku mengingatkan diriku sendiri.
Hope melihat Darryl di seberang kedai, dan dia menghampiri
Darryl. Cuma itu. Pasti itu alasannya.
Dia tidak dalam kesulitan. Dia tidak dalam bahaya.
Lalu kenapa dia tidak bilang padaku ketika mau pergi?
Jantungku berdebar-debar. Tiba-tiba perasaanku tidak enak.
Aku baru sadar kalau dua cowok tadi masih memandangiku.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Dave.
"Ya. Baik-baik saja," jawabku. "Temanku pergi, dan aku tidak
sadar..." Suaraku melemah.
"Setengah plain, setengah pepperoni," terdengar suara pelayan
menghidangkan pizza.
Seorang pelayan dengan rok biru menurunkan pizza panas yang
masih mengepul-ngepul ke mejaku.
"Aku—aku mesti pulang," kataku tergagap-gagap.
Pelayan itu tidak mendengarku. Dia sudah berjalan kembali ke
arah dapur.
"Kau tidak mau makan?" tanya Gideon. Matanya memandang
ke arah pizza dengan tatapan kelaparan.
"Yah..."
Hope pasti baik-baik saja, kataku pada diriku sendiri.
Aku benar-benar suka pada senyum Dave.
Aku perlu seorang cowok dalam hidupku. Cowok yang baik.
Bukan cowok semacam Darryl. Cowok dengan sedikit jenggot warna
merah dan senyum yang manis. Dan seorang teman yang lebih mirip
seorang bajak laut.
Aku menyilakan mereka untuk duduk. "Kalian kutraktir,"
kataku, sambil tersenyum pada Dave. "Kalau kau mau membelikan
satu pitcher Diet Coke."
"Oooh, Diet Coke! Kau yakin dengan pilihanmu itu?" goda
Dave. Dia dan Gideon mengetuk gelas.
Kami bertiga langsung menyantap pizza. Tiba-tiba aku merasa
jauh lebih lapar ketimbang yang kuduga.
Kami mengobrol, tertawa-tawa, serta bersenang-senang.
Aku menyingkirkan Hope dari pikiranku. Aku berkata pada
diriku sendiri bahwa dia mungkin sudah kembali ke kamar dengan
selamat dan kini sehat-sehat saja. Atau entah di mana sedang berdua-
duaan dengan Darryl.
Hope dapat menjaga dirinya sendiri, putusku.
Aku menarik jenggot Dave. Aku tak bisa menahan diri. "Aku
ingin tahu apa ini palsu," kataku padanya.
"Jenggotku asli," katanya. "Yang lain di kepalaku yang palsu!"
Kami tertawa terbahak-bahak. Bukan karena saking lucunya.
Tapi cara dia ngomong yang lucu.
Aku menarik jenggotnya sekali lagi, dan kami semakin
terbahak-bahak.
Gideon bilang bahwa bandananya mengikat semua yang ada di
kepalanya agar tidak lepas. Kami juga tertawa atas leluconnya.
Dan kami menghabiskan pizza yang kedua.
Restoran tersebut mulai kosong. Sekarang kami bisa berbicara
tanpa perlu berteriak-teriak. Cahaya biru restoran mulai redup.
Bayangan ungu gelap menimpa meja kami.
"Kau tinggal di kampus?" tanya Dave, menghabiskan pitcher
Diet Coke kami yang kedua.
"Yeah. Kalau itu bisa disebut tinggal!" aku melucu. Aku
menelan pepperoni, kemudian mendorong piringku ke samping. Aku
merasa kenyang. Dan tiba-tiba merasa mengantuk.
"Aku tinggal di Fear Hall," kataku pada mereka.
Kedua cowok itu langsung tersentak. "Wah! Hebat betul!" seru
Gideon.
"Kau pernah melihat hantu di sana?" tanya Dave.
Aku menatapnya tajam-tajam, mencoba mencari tahu apakah
dia serius atau tidak. "Kau percaya bahwa hantu ada?" tanyaku.
Dia mengangkat bahu. "Aku percaya pada cerita-cerita tentang
asrama itu," sahutnya dengan serius.
"Kau ada di sana malam itu ketika ada cowok dibunuh?" tanya
Gideon. ËBÜKÜLÄWÄS.BLÖGSPÖT.CÖM
Pertanyaan itu membuat punggungku terasa dingin.
Hope. Hope dan Darryl.
Aku benar-benar senang malam ini sampai-sampai lupa sama
sekali dengan teman sekamarku.
Aku melompat. "Aku harus pulang sekarang," kataku. "Aku—
aku lupa sesuatu."
Perlu beberapa menit untuk saling mengucapkan selamat
tinggal. Dave menawarkan untuk belajar bersama beberapa malam
lagi. Itu membuatku bahagia. Aku benar-benar menyukainya. Aku
senang dia ingin bertemu denganku lagi.
Kedua cowok itu tinggal di apartemen di sebelah barat kampus.
Tapi mereka menawarkan diri untuk menemaniku pulang ke asrama.
Aku menolak tawaran mereka. Fear Hall hanya dua blok
jauhnya dari sini. Lagi pula, aku ingin berjoging.
Aku terburu-buru. Aku benar-benar ingin memastikan bahwa
Hope baik-baik saja.
Udara malam yang dingin membuatku terenyak. Kulitku terasa
panas dan basah.
Aku mencium bau asap rokok yang menyesakkan. Aku begitu
tertarik pada Dave dan Gideon sampai-sampai tidak menyadari betapa
kumuhnya restoran itu.
Aku menerobos angin, menyeberang jalan, dan mulai berjoging.
Udara dingin yang berembus di wajahku terasa sangat menyegarkan.
Sebuah mobil membunyikan klaksonnya keras-keras, tapi aku
tidak menoleh. Aku tetap berjoging tanpa menengok-nengok,
sepanjang toko-toko dan restoran-restoran kampus yang sudah tutup.
Aku melihat ada pasangan bersandar di pintu yang gelap, saling
berpelukan, berciuman, tak bergerak, diam seperti patung. Pada
mulanya kukira mereka itu Hope dan Darryl.
Tapi ketika aku berlari melewatinya, aku tidak mengenali
mereka.
Aku ingin tahu mungkinkah aku dan Dave akan berciuman
seperti itu.
Di restoran tadi, ketika aku menarik jenggotnya, aku merasakan
dorongan yang sangat kuat untuk menarik wajahnya ke wajahku dan
menciumnya dengan penuh gelora. Aku tersenyum memikirkan
tentang hal ini.
Beberapa detik kemudian, dinding Fear Hall yang tinggi dan
gelap mulai menampakkan diri. Ketika aku melihat ke atas, ternyata
sebagian besar kamar telah gelap. Aku berada di Blue Tavern jauh
lebih lama daripada yang kusadari.
Aku melangkah masuk ke dalam gedung. Melambai ke Ollie, si
penjaga malam yang sudah tua, yang sudah setengah tidur di meja
depan. Dan naik ke lift.
Begitu lift terbuka di lantai tiga belas, aku menyilangkan jariku
Hope, semoga kau baik-baik saja, aku memohon.
Aku melangkah keluar dan memandangi lorong yang panjang.
Dua cewek dalam pakaian tidur sedang mengobrol di ujung satunya.
Mereka bersandar ke dinding, berbicara dengan suara pelan,
keduanya mengobrol sambil menggerak-gerakkan tangannya.
Salah satu lampu langit-langit padam, membentuk bayangan
gelap di depan kamarku. Di seberang lorong, terdengar suara musik
dari kamar Trio M. Musik klasik.
Aku mengambil napas dalam-dalam dan memutar tombol pintu
di kamarku. Terdengar derit pelan ketika pintu terbuka dan aku
mengintip ke dalam.
Lampu meja di dinding membentuk bayangan segitiga di lantai.
Semua lampu lainnya padam.
Aku melihat Angel telah lelap di tempat tidur bawah dan
mendengar dengkuran Jasmine di tempat tidur atas.
Lalu aku melihat Hope dan Darryl berdempet-dempetan di
kasurnya. Matanya membuka lebar ketika dia melihatku. "Eden..."
bisiknya.
Sebelum aku bisa menjawab, Darryl telah melangkah ke dekat
meja. Dia bergerak dengan cepat, dan aku melihat kerutan marah di
wajahnya.
"Aku sudah lama menunggumu, Eden," geramnya.
"Darryl—apa yang kaulakukan di sini?" desakku. "Kau tahu
cowok dilarang masuk ke lantai ini."
"Eden—jangan membuatnya marah," Hope memperingatkan
dengan suara gemetar. Dia mengangkat tangannya dan mencengkeram
rambut pirangnya.
Aku melangkah menuju Darryl. Aku tidak takut padanya. Yang
kurasakan hanyalah marah.
Apa haknya menyerobot masuk ke dalam kamar kami dan
mencoba menakut-nakuti kami?
Bukannya dia harusnya berterima kasih karena telah kami
lindungi? Karena kami telah menutup mulut atas kejahatannya yang
mengerikan itu?
"Kenapa sih kau ini, Darryl?" tanyaku sambil mengatupkan
gigi.
Dia mengambil sehelai kertas dari meja tulis. Wajahnya
tersembunyi dalam bayangan, namun mata biru pucatnya tampak
berkilat-kilat. "Apa kau menulis ini?" tanyanya.
Aku melihat ke arah kertas itu. "Apa itu? Surat yang baru
kutulis?"
Dia mengangguk.
"Berikan itu padaku!" teriakku. "Kau tidak berhak membaca
suratku. Kau tidak punya hak..."
Aku menghambur ke depan dan berusaha merebut kertas itu
darinya.
Tapi dia mengulurkan tangan satunya dan menjepit pergelangan
tanganku.
"Aduh! Lepaskan!" aku menggeliat-geliat berusaha melepaskan
diri.
Tapi dia menelikung tanganku. Menyentakkannya kuat-kuat.
Dan tetap menelikungnya sampai aku menjerit lagi.
"Apa lagi yang akan kautulis, Eden?" bisik Darryl di dekat
telingaku. Napasnya yang panas menyapu wajahku. Membuat kulitku
berkeringat.
"Tidak ada..." aku tersedak. "Lepaskan. Kau menyakiti aku."
"Lepaskan dia!" teriak Hope.
"Apa lagi yang akan kautulis di suratmu?" ulang Darryl. "Kau
akan menulis ke ibumu tentang aku? Kau akan bercerita padanya
tentang hal mengerikan yang terjadi di depan asrama?"
Dia memutar lenganku lagi sampai aku menjerit kesakitan.
"Tidak. Tidak... tentu saja tidak!" bisikku.
Dia menggeram marah—dan mendorongku keras-keras ke arah
dinding.
Aku berbalik, terengah-engah. Pundakku terasa nyeri.
Dia meremas suratku dan melemparnya ke arahku. Surat itu
mengenai keningku dan terpental jatuh ke lantai.
Dia menyeringai. Seringai kemenangan.
Dan saat itulah aku memutuskan untuk membunuhnya.
BAB
13

WELL... tidak.
Aku tidak ingin membunuhnya. Aku hanya ingin
menyingkirkannya.
Aku ingin dia keluar dari kehidupan kami. Aku ingin
menelepon polisi dan mengatakan pada mereka apa yang telah
dilakukannya.
Aku ingin Darryl menjauh. Jauh sekali, ke tempat aku tidak
perlu takut lagi padanya.
Ketukan keras di pintu membuat kami terlompat.
Darryl menyelinap ke dalam kamar mandi. Diikuti Hope. Dia
membanting pintu di belakang mereka.
Dengan sembari mengantuk Angel mengangkat kepalanya dari
bantal. "Siapa di sini?" tanyanya sambil mengedip-ngedipkan mata.
Kemudian dia memalingkan mukanya ke arah dinding. Jasmine tetap
tidur nyenyak di tempat tidur atas.
Pintunya tetap terbuka sedikit sewaktu aku menutupnya tadi.
Ketika aku berjalan menuju pintu, pintunya membuka lebar. Melanie
dan Mary melongokkan kepalanya.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Mary.
Aku memungut remasan surat dari lantai. "Yeah. Memangnya
ada apa?" sahutku.
"Kami... mendengar suara-suara," kata Melanie. "Kami ingin
tahu..."
"Maaf. Apa suara radioku kelewat keras?" tanyaku sambil
berpikir kilat.
Pandangan Melanie mengarah ke boom box di ambang jendela.
"Tapi radionya tidak menyala," katanya, memandangku dengan
curiga.
"Aku—ah—mematikannya ketika kau mengetuk," kataku
padanya. "Maaf kalau suaranya mengganggu. Aku..."
"Mary dan aku merasa betul-betul ketakutan," kata Melanie,
menarik antingnya yang berkilauan. "Maksudku—sejak Brendan
dibunuh."
"Ada bunyi sedikit saja sudah membuat kami terlompat,"
tambah Mary. "Tak seorang pun dari kami yang bisa tidur. Margie
merasa dia gagal dalam tes bahasa Prancis kemarin. Kami semua
betul-betul ketakutan."
"Kami juga," kataku padanya.
Kedua gadis itu menyipitkan matanya ke arahku. Tatapannya
menyelidik. Mereka saling berpandangan.
Apa omonganku ada yang salah? Aku ingin tahu.
Mengapa mereka memandangku seperti itu?
"Ini sangat menakutkan," akhirnya Melanie membuka mulut.
"Kami tidak bisa bersantai di kamar kami sendiri."
"Kami sedang berusaha belajar," tambah Mary. "Tapi kami
mendengar suara cowok. Dari kamarmu. Jadi..." Suaranya
menghilang.
"Suara cowok? Di atas sini?" jeritku. Aku menggelengkan
kepala. "Kurasa tidak."
Aku melirik ke arah kamar mandi. Rasanya ada dorongan kuat
untuk mengatakan kepada Melanie dan Mary, "Lihat saja di kamar
mandi. Kalian akan melihat seorang cowok di sana. Kalian akan
menemukan seorang pembunuh di sana!"
Tapi aku menggigit bibir bawahku dan tetap diam.
"Pasti itu dari radio," kata Melanie dengan suara lemah. "Maaf."
Mereka berbalik ke arah kamarnya. Tapi sesampainya di pintu,
Mary kembali menoleh ke arahku. "Kami sedang berusaha
mengadakan pertemuan," katanya padaku.
"Pertemuan?"
"Semacam pertemuan yang membicarakan keamanan," kata
Mary. "Kau tahu. Untuk membicarakan bagaimana kita melindungi
diri kita sendiri. Dan mungkin bisa memaksa college untuk lebih
meningkatkan keamanan di asrama. Menyewa lebih banyak penjaga."
"Ollie memang orang tua yang baik. Tapi dia tidak terlalu baik
sebagai penjaga. Dia lebih sering tertidur di mejanya," keluh Melanie.
"Siapa pun bisa berjalan di depannya."
Aku mengangguk. "Benar."
Mary terkikik. "Ada orang yang bercerita tentang Ollie.
Katanya dia sudah meninggal tiga puluh tahun yang lalu. Tapi
hantunya tidak mau meninggalkan Fear Hall. Dia menempati pos
jaganya setiap malam, meskipun dia sudah meninggal."
Aku memaksakan diri untuk tertawa. "Mungkin saja benar. Dia
tampak sudah mati."
"Ini tidak lucu," kata Melanie dengan tajam. "Orang-orang
menganggap Fear Hall lelucon. Tempat yang penuh dengan kisah-
kisah hantu. Yang pasti, kita semua tahu ada cowok yang tewas di luar
pintu depan asrama kita. Dan college tidak melakukan apa-apa sama
sekali untuk memastikan bahwa kita semua aman-aman saja."
"Jadi kau akan datang ke pertemuan itu?" tanya Mary.
"Pasti," kataku padanya, kembali melirik ke arah kamar mandi.
"Kami semua akan datang."
Sekali lagi, ekspresi mereka berubah. Mereka memandangku
seolah-olah aku mengatakan sesuatu yang keliru.
Kenapa sih mereka? aku ingin tahu.
"Kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Melanie.
"Tentu," kataku padanya. Aku menguap. "Hanya sedikit
mengantuk. Sampai besok."
Mereka mengucapkan selamat malam dan menyeberangi lorong
menuju kamar 13-A. Aku menutup pintu dan bersandar ke pintu. Aku
menarik napas panjang. "Aneh," gumamku pada diriku sendiri.
"Sungguh aneh."
Keesokan harinya malah lebih aneh lagi.
BAB
14

ESOK paginya, aku berlari ke arah Dave ketika sedang menuju


kelas sejarah. Dia tersenyum sangat manis. Hari sangat dingin dan
berangin. Tapi senyumnya membuatku merasa hangat.
Meskipun angin dingin bertiup di The Triangle, jaket kulit Dave
dibuka sehingga kemeja flanelnya yang berwarna merah dan hijau
terlihat.
Dia tampak begitu hangat dan menggemaskan. Aku terdorong
untuk memeluknya.
"Bagaimana kabarmu, Eden?" tanyanya. "Kau semalam tidak
mabuk karena Diet Coke, kan?"
Kami berdua tertawa.
"Aku terlambat masuk kelas sejarah," ujarku padanya, sambil
memandang ke arah gedung Fine Arts di seberang The Triangle.
"Bagaimana kalau kita minum kopi bersama setelah kau selesai
kuliah?" tanya Dave. Angin membuat rambutnya berantakan.
"Oke. Aku akan menemuimu di sini," sahutku. Aku
memindahkan ranselku ke punggung, berbalik, dan bergegas menuju
kelas.
Mr. Clumberland, profesor sejarah, mengintip dari balik
kertasnya ketika aku mendaratkan bokongku ke kursi. Usianya
setengah baya dengan rambut mulai botak. Setiap hari dia
mengenakan sweter abu-abu dan celana baggy.
Di ujung hidungnya bertengger kacamata baca kecil tanpa
bingkai. Dia selalu menatap dari balik kacamatanya bila berbicara
dengan kami. Itu membuatnya jadi mirip burung yang rabun.
Aku sangat tertarik dengan mata kuliah ini, Sejarah Abad XIX.
Aku merasa kehidupan seratus tahun yang lalu sangat menarik.
Hope selalu menggodaku mengenai hal ini. Katanya, "Eden,
kau tidak bisa kembali ke masa lalu. Kalau kau hidup seratus tahun
yang lalu, saat ini kau pasti sudah mati!"
Sayangnya, Mr. Clumberland bukan guru yang menarik.
Sebagian besar waktu mengajarnya dihabiskan di belakang meja dan
membaca catatan kuliahnya. Dia tidak pernah membiarkan
mahasiswanya mengajukan pertanyaan. Bahkan, dia nyaris tak pernah
berbicara dengan mahasiswanya.
Satu-satunya waktu dia tampak memperhatikan kami adalah
ketika dia mengecek denah tempat duduk. Ya, memang tampaknya
menggelikan. Tapi dia punya denah tempat duduk bagi kami—persis
seperti guru SD.
Aku mengambil buku catatanku dan membalik halaman yang
masih kosong. Bolpoinku entah terselip di mana, jadi aku meminjam
dari gadis di sebelahku.
Ketika aku kembali melihat ke depan kelas, Mr. Clumberland
sedang berjalan sepanjang barisan kursi. Tampaknya dia sedang
mengecek nama-nama yang ada pada denah tempat duduknya.
Dia berhenti di depan kursiku dan memandang dari balik
kacamatanya yang kecil tak bergagang. Kemudian matanya berpindah
ke denah yang sedang dipegangnya. "Kau Hope Mathis?"
"Bukan," jawabku padanya. "Saya Eden Leary."
Dia memandang denahnya. "Kau bukan Hope Mathis?"
Aku menggeleng. "Dia teman sekamarku," kataku.
Semua orang menatapku. Aku tiba-tiba merasa tidak enak.
Kenapa nama Hope ada dalam denahnya?
Dia tidak mengambil mata kuliah ini. Aku mengambilnya sejak
awal semester.
Jadi kenapa nama Hope bisa muncul di denah tempat duduk?
"Eden Leary..." gumam Mr. Clumberland. Dia menatap tajam
dari balik kacamatanya, matanya menyapu deretan kotak-kotak di
denahnya.
"Kau masuk untuk menggantikan teman sekamarmu?"
tanyanya.
"Tidak," sahutku. Aku bisa merasakan wajahku memanas dan
pipiku memerah. "Saya tidak tahu mengapa namanya bisa masuk ke
dalam denah Anda. Dia tidak mengambil mata kuliah ini."
"Saya cek dulu di daftar mahasiswa," kata Mr. Clumberland,
sambil menggaruk-garuk kepalanya yang botak. Dia berbalik dan
berjalan menuju mejanya, langkahnya panjang-panjang.
Kemudian dia mengaduk-aduk tumpukan kertas. Menarik
sehelai di antaranya. Dan memeriksanya.
"Eden Leary..." dia mengulang namaku.
Aku mendengar anak-anak sekelilingku berbisik-bisik.
Beberapa di antaranya memandangku. Yang lain membaca buku
sejarahnya secara sambil lalu.
"Maaf, Miss Leary," kata Mr. Clumberland. Dia mengerutkan
kening ke arahku.
"Maaf?" aku mengulang.
"Tampaknya kau tidak terdaftar di kelasku," ujarnya.
"Tapi itu tidak mungkin!" jeritku. Suaraku terhenti. Aku
merasakan pipiku kembali memerah. "Saya telah mengikuti kuliah
Anda dari awal semester."
"Mungkin juga," jawab Mr. Clumberland dengan suara pelan.
"Tapi namamu tidak ada dalam daftar mahasiswa. Dan namamu juga
tidak terdapat di denah tempat duduk."
"Tapi—tapi..." aku tergagap. "Kenapa bisa begitu? Pasti ada
kesalahan."
"Ya, itu pasti." Dia mengangguk. "Sebaiknya kau membereskan
dulu masalah ini di kantor Dekan."
Jantungku berdebar-debar. "Maksud Anda— saya harus
keluar?" teriakku.
Dia mengangguk lagi. "Bereskan dulu masalah ini. Saya yakin
ini pasti kesalahan komputer. Sekarang ini kalau ada masalah apa-
apa, pasti itu kesalahan komputer."
Aku menyerahkan bolpoin yang kupinjam ke gadis sebelahku.
Dia tersenyum penuh simpati.
Aku mengambil ranselku dan memasukkan buku teks ke
dalamnya. Tanganku gemetar. Aku benar-benar merasa gusar.
"Anda yakin saya tidak terdaftar di mata kuliah ini?" tanyaku.
"Saya tidak menemukan namamu," jawab Mr. Clumberland.
"Maaf."
Dia berbalik dariku dan mengambil catatan kuliahnya. "Hari ini
kita akan memulai bahasan mengenai awal gerakan buruh," ucapnya.
Aku mengangkat ranselku dan menyelinap keluar. Aku melihat
anak-anak memandangku.
Beberapa di antara mereka menggelengkan kepala, seolah-olah
aku tertangkap basah mencontek atau semacamnya. Seolah-olah aku
semacam penjahat.
Kepalaku pusing begitu aku melangkah keluar dari gedung Fine
Arts, kembali ke udara dingin. Aku berkedip-kedip terkena silau
cahaya matahari yang terang.
Aku mengambil mata kuliah tersebut, kataku pada diriku
sendiri. Ya, kan?
Apa benar bahwa aku seharusnya tidak ke sana? Apakah itu
memang kuliah yang diambil Hope?
Apakah aku benar-benar salah masuk kelas?
Kenapa aku begitu bingung?
Cahaya kuning terang berkilau-kilauan menerangi rerumputan
di The Triangle. Tiba-tiba aku merasa pening. Aku memejamkan
mataku, tapi cahaya tersebut tetap berkilauan di kelopak mataku.
Begitu banyak yang harus dipikirkan, kataku pada diriku
sendiri. Begitu banyak yang harus dicemaskan.
Ini salah Darryl.
Aku begitu ketakutan padanya. Aku menghabiskan banyak
waktu untuk memikirkan tentang dia, betapa jahatnya dia.
Aku tidak bisa berpikir dengan jernih sama sekali.
Aku harus melakukan sesuatu mengenai Darryl. Harus.
Aku membuka mataku. Segumpal awan melayang menutupi
matahari. Sebuah bayangan menyapu bangunan-bangunan kelas yang
berbaris mengelilingi The Triangle. Angin yang berembus terasa lebih
dingin.
Aku harus menelepon polisi sekarang, putusku.
Aku akan mencari pesawat telepon dan menelepon mereka. Dan
menceritakan kepada mereka tentang Darryl. Dengan begitu aku tak
perlu takut lagi kepadanya.
Dengan begitu aku bisa berpikir jernih lagi.
Aku berbalik dan kembali ke gedung Fine Arts. Aku ingat di
lobi gedung tersebut terdapat sederetan telepon umum.
Sepatuku mengeluarkan bunyi di atas lantai marmer. Mataku
pelan-pelan menyesuaikan keadaan ruang yang penerangannya suram.
Aku melihat deretan telepon di dinding belakang dan berjalan ke sana.
Apa yang harus kukatakan? Aku bingung. "Saya menelepon
dari Ivy State? Saya tahu siapa yang membunuh seorang pemuda di
depan Fear Hall?"
Ya.
Lebih baik bila langsung ke pokok masalah.
Aku melangkah menuju pesawat pertama. Aku menarik napas
dalam-dalam dan mengangkat gagang telepon.
Aku mengangkat jariku untuk menekan angka 0 yang
menghubungkanku dengan operator.
Tapi ada tangan mencengkeram tanganku dan menjauhkannya
dari telepon.
Darryl!
BAB
15

BUKAN. Bukan Darryl.


Hope.
"Oh—!" aku menjerit ketakutan.
Dia melepaskan tanganku. "Maaf. Aku tidak bermaksud
membuatmu takut, Eden. Kupikir kau melihatku."
"Tidak, aku..." Aku mengeluarkan napas lega. Aku begitu
senang yang kulihat adalah Hope bukan Darryl.
Matanya yang cokelat menatap menyelidik. "Kupikir kau ada
kuliah sekarang."
"Aku—ya memang," jawabku. "Tapi ada kesalahan komputer
yang aneh."
Aku mengembalikan gagang telepon ke hak-nya.
Dia menarik sehelai daun cokelat dari rambutnya dan
meremasnya. "Kesalahan komputer?"
"Kau mengambil mata kuliah sejarah semester ini?" tanyaku
padanya.
Hope menggelengkan kepala. "Tidak. Kau kan tahu jadwalku,
Eden. Kau yang mengambil sejarah. Bukan aku."
"Jadi memang ada kesalahan komputer," ulangku. "Di daftar
yang dipegang profesor yang ada adalah namamu bukan namaku."
"Aneh," sahut Hope. "Kenapa yang ada namaku? Pasti terjadi
kekeliruan di kantor pengajaran."
Matanya berpindah ke kotak telepon. "Siapa yang kautelepon,
Eden?"
Aku diam sejenak. "Uh... anu..."
Dia menunggu.
"Bolehkah aku berterus terang, Hope?" tanyaku. Aku tak
menunggu jawabannya. "Aku sedang menelepon polisi. Aku tak bisa
lagi menyimpan rahasia tentang Darryl. Maaf. Aku tak bisa."
Kata-kata itu meluncur begitu saja seperti air terjun. Aku tahu
Hope takkan senang dengan keputusanku. Tapi aku tak peduli. Aku
telah membuat keputusan.
Sinar di matanya meredup, seolah-olah mendung telah
mengusirnya. Dagunya bergetar. "Maksudmu kau tak ingin bertanya
dulu padaku?"
Aku memandangnya kembali. "Tidak."
"Kau tidak akan memberitahu aku? Kau tidak mau
memperingatkan aku?" Suaranya meninggi dan terdengar marah. "Kau
langsung akan menelepon polisi?"
"Aku... harus melakukannya, Hope," aku tergagap-gagap. "Aku
tak bisa lagi menyimpan rahasia itu. Itu membuatku serasa gila.
Aku— aku terus-menerus merasa ketakutan."
"Tapi kau tahu betapa pentingnya Darryl bagiku!" jerit Hope.
Dia merenggut lengan jaketku dan memegangnya erat-erat seolah-
olah menggenggam pelampung penyelamat. "Tolong, Eden..."
"Aku tak tahu harus bilang apa," aku mengakui. "Aku tahu kau
mencintai Darryl. Aku tahu betapa berartinya dia untukmu. Tapi dia
bukan orang baik, Hope. Dia melakukan hal yang mengerikan. Dia
pantas mendapatkan ganjarannya."
"Maukah kau menunda dulu sebentar?" Hope memohon,
sembari tetap memegangi lengan jaketku. "Bagaimana kalau kita
membicarakannya malam ini? Kita berempat. Kita membicarakannya,
dan kita adakan pemungutan suara. Bagaimana, Eden?"
Dia tidak memberiku kesempatan untuk menjawab. "Kita
adakan pemungutan suara yang adil," tambahnya buru-buru. "Aku
akan mematuhi keputusan yang diambil. Janji. Kukira keliru kalau kau
memutuskan sendiri. Aku ingin kita memutuskannya bersama-
sama—bagaimana?"
Tenggorokanku tercekat. Aku tetap belum menjawab.
"Bagaimana, Eden?" desak Hope. "Bagaimana? Iya?"
Dari balik pintu kaca, aku melihat Dave menungguku di The
Triangle. Tangannya dimasukkan ke saku jaketnya. Dia mondar-
mandir sepanjang jalan setapak yang sempit di rerumputan.
"Oke," kataku. "Aku akan menunggu."
"Thanks!" teriak Hope. Dia memelukku erat-erat.
"Aku harus pergi," kataku. "Nanti kita ngo-mong lagi."
"Ya. Nanti," jawabnya.
Aku buru-buru menuju pintu. Dave masih mondar-mandir di
depan gedung.
Aku melambai ke arahnya. Kudorong pintu masuk. Aku
memanggilnya sembari menghambur ke luar. "Dave—hai!"
Kalau saja aku mengabaikan Hope. Kalau saja aku bertahan
untuk menelepon polisi....
Kalau saja aku sudah melaporkan Darryl ke polisi...
Mungkin aku bisa menyelamatkan nyawa Dave.
BAB
16

MALAM itu, aku dan Dave makan bersama. Rencananya kami


akan makan cepat-cepat, lalu pergi ke perpustakaan untuk belajar.
Kami berjalan menuju Murphy's, kedai kopi beberapa blok dari
kampus. Angin dingin telah berhenti bertiup, dan udara terasa hangat
dan nyaman. Hampir-hampir seperti musim semi.
Ketika kembali ke Fear Hall, aku kebingungan memutuskan
pakaian apa yang mesti kukenakan. Ini semacam kencan pertama, dan
aku ingin kelihatan oke.
Aku tidak ingin tampak benar-benar berdandan. Maksudku, aku
ingin tampil santai. Aku ingin tampil seperti apa aku adanya. Tapi aku
juga tak mau kelihatan seolah-olah aku tak memedulikan
penampilanku.
Yah, saat-saat panik seperti itulah.
Sampai akhirnya Hope menawarkan untuk meminjamkan atasan
sutra warna hitam dan rok pendek hitam miliknya. Aku menemukan
tights warna ungu—dan lengkaplah dandananku.
Aku memeriksa lagi penampilanku lewat cermin yang ada di
pintu lemari. "Keren," kataku pada diriku sendiri. Seksi, tapi tidak
terlampau vulgar.
Aku bertemu Dave di lantai bawah. Dia sedang mengobrol
dengan dua cewek yang kerap kulihat di asrama. Mereka tertawa-
tawa. Kemudian salah satu dari mereka mendorong Dave dengan
main-main.
Memandang mereka, aku langsung merasa cemburu. Kedua
gadis itu tampak lebih mengenal Dave ketimbang aku.
Aku juga agak kecewa karena dia tidak ganti baju. Celana dan
kemeja flanel gombrong yang dikenakannya adalah setelan yang
dipakainya ketika mengikuti kuliah sosiologi tadi siang.
Tapi ketika dia tersenyum ke arahku, aku melupakan semua
kekecewaanku.
Aku benar-benar menyukainya, pikirku sembari buru-buru
menyeberangi lobi asrama menuju tempatnya berdiri. Aku benar-
benar ingin kencan ini berjalan mulus.
"Hei—kau tampak cantik," sambutnya, senyumnya semakin
lebar.
"Teman sekamarku yang meminjamkannya," aku mengaku,
sambil memandang ke arah rok dan baju atasanku.
Dia tertawa. "Teman sekamar seperti itulah yang paling enak.
Teman sekamar yang ukuran bajunya sama dengan kita!"
Dia menarik seuntai benang dari rambutku. Jemarinya menyapu
keningku. Kulitku menggeleyar di tempat yang tersentuh olehnya.
Kami keluar asrama dan disambut udara malam yang hangat.
Kami langsung menuju ke kedai kopi. Beberapa anak sedang bermain
layang-layang di The Triangle. Dua layang-layang bergambar naga
merah saling menjerat. Keduanya seolah-olah sedang bergulat, kepala
keduanya melayang-layang dan saling beradu dalam pertarungan
tanpa suara.
Sebuah frisbee biru terbang ke arah kami. Dave melompat
tinggi-tinggi dan menangkapnya. Dia melemparkannya kembali ke
pemiliknya, yang datang sambil berlari-lari di rerumputan.
"Benar-benar serasa musim semi," ujar Dave sambil menyengir.
"Menyenangkan. Setiap orang kejangkitan demam musim semi—
padahal sekarang hampir musim dingin!"
"Aku menyukainya," kataku sembari menggamit lengannya.
Ketika kami tiba di depan Murphy's, Trio M—Melanie, Mary,
dan Margie—keluar. "Hei, Hope—apa kabar?" sapa Melanie.
Aku tertawa. "Ini aku! Aku cuma pinjam bajunya!" jawabku.
Mary bicara sesuatu kepada Margie tapi aku tak bisa
mendengarnya. Mereka melambai dan bergegas pergi.
Dave membuka pintu restoran untukku.
"Bisa-bisanya aku disangka Hope," keluhku. "Rasanya kami
tidak mirip-mirip amat—ya, kan?"
Dave mengangkat bahu dan mengikutiku masuk ke dalam.
"Aku tidak pernah bertemu Hope," jawabnya. "Tapi aku yakin kau
pasti jauh lebih cantik."
Aku tertawa. Dan mengambil tempat duduk di meja dekat
dinding. "Terima kasih banyak atas pujiannya," godaku.
Makan malam kami berjalan menyenangkan. Aku merasa
nyaman dan santai dekat Dave. Kami mengobrol dan tertawa-tawa,
seolah-olah kami sudah lama saling mengenal.
Aku menceritakan padanya tentang Hope, Angel, dan Jasmine.
Tentang betapa berbeda-bedanya kami. Namun betapa dekatnya
hubungan kami berempat.
Dan aku cerita tentang kekacauan di kelas sejarah tadi pagi.
Betapa malunya aku karena harus keluar ruangan.
"Apa kau belum mengurusnya?" tanya Dave.
"Aku belum punya waktu," jawabku. "Aku akan menemui
Dekan besok pagi."
Dave bercerita tentang kakaknya, Michael. Dia bilang dia
cemas akan kakaknya.
Michael bintang basket ketika di perguruan tinggi. Profilnya
pernah dimuat di majalah Sports Ilustrated, dan dia kerap jadi
pembawa acara program-program olahraga di televisi.
Dia pemain yang disegani semasa di perguruan tinggi—namun
dia tidak cukup tinggi atau cukup kuat untuk bermain di NBA.
Michael lulus musim semi tahun lalu, ungkap Dave. Dan dia tidak
melakukan apa-apa sejak saat itu.
Dia rindu menjadi seorang bintang. Dia rindu akan semua
perhatian, sorak-sorai, dan tepuk tangan.
"Seakan-akan hidupnya sudah berakhir," ujar Dave dengan
sedih. "Dia seorang bintang ketika kuliah. Sekarang jalan seolah-olah
sudah tertutup baginya."
Ekspresi wajah Dave berubah. "Itu sebabnya aku senang aku
bukan siapa-siapa. Aku tak punya bakat dan keterampilan apa-apa.
Karena itulah aku orang yang bahagia."
Dia tertawa.
"Hei, salah itu!" protesku.
"Oh, ya?" godanya. "Apa bakatku?"
"Ehm...," aku nyengir padanya. "Kau punya jenggot yang
keren."
Aku mengelus rambut halus merah di bawah dagunya.
Dia pura-pura tersinggung. "Keren? Keren? Kau pikir aku
berusaha tampak keren?" Dia menyingkirkan tanganku. "Jangan
ditarik-tarik. Lemnya kurang nempel."
Menyenangkan sekali duduk-duduk di restoran ini, tertawa dan
saling menggoda dengan cowok yang menyenangkan ini. Aku ingin
tahu apakah dia benar-benar menyukaiku. Aku ingin tahu apakah
nantinya kami akan sering bertemu.
Aku tahu aku tidak secantik Jasmine. Dan aku tidak segemulai
dan seseksi Angel.
Tapi Dave tampaknya tidak keberatan.
Setelah kami menghabiskan cangkir kedua, kami membayar
tagihan sendiri-sendiri. Kemudian kami berjalan keluar.
Matahari tenggelam ketika kami sedang berada di restoran.
Langit tampak ungu dengan semburat merah muda. Udara masih
terasa hangat dan seolah-olah sedang musim semi.
Lampu jalan belum menyala. Cahaya dari etalase-etalase toko
menerangi trotoar. Lampu-lampu mobil menyorot terang ke depan
bangunan.
"Suasananya terlalu bagus untuk dihabiskan belajar di
perpustakaan," kata Dave sambil memandang ke arah langit.
Aku berjalan mendekat ke arahnya. "Apa yang ingin
kaulakukan?"
Sebelum dia sempat menjawab, ada sosok melompat keluar dari
toko sepatu.
Wajahnya tersembunyi di balik bayangan.
Tubuhnya dibalut jas hujan panjang yang nyaris menyentuh
tanah.
"Hei..." aku menjerit sewaktu dia meluncur cepat ke arah Dave.
Melompat dari kegelapan, sosok itu merundukkan bahunya—
dan menumbukkannya kuat-kuat ke perut Dave.
Dave berteriak kesakitan. Ia memegangi perutnya.
Dan terhuyung-huyung menyandar ke dinding.
"Jangaaaaan!" serunya—sewaktu sosok itu bersiap-siap untuk
menyerang kembali.
BAB
17

AKU membeku ketakutan.


Dave memegangi kepalanya untuk melindungi diri.
Sebuah mobil menderum di pojokan. Lampu depannya
menyorot sosok tinggi bermantel hujan.
Sosok tersebut mendongakkan kepalanya, menyengir, matanya
bersinar-sinar.
"Gideon!" teriak Dave dengan marah. "Brengsek!"
"Hah?" aku terkesiap, menyipitkan mata ke arah ke kegelapan.
Ya. Dia memang teman Dave di restoran waktu itu. Kali ini dia tidak
memakai bandana, tapi aku mengenalinya sekarang.
Tanpa disangka Dave menjauh dari dinding bangunan dan
langsung melingkarkan lengannya ke leher Gideon. "Kau memang
brengsek!" ulangnya. "Kau membuatku nyaris mati ketakutan!" Dia
berpura-pura akan mencekik Gideon.
Gideon tertawa dan melepaskan diri dari cengkeraman Dave.
Mantel panjangnya berkibar-kibar. "Kau begitu ketakutan sampai-
sampai jenggotmu lepas!"
"Dari mana kau?" tanya Dave.
"Cleveland," gurau Gideon. Dia tertawa geli dengan leluconnya
sendiri. "Tidak kok. Sebenarnya, aku cuma kebetulan lewat. Aku mau
ke apartemen temanku. Aku melihat kalian di Murphy's. Jadi,
kuputuskan untuk menunggumu. Mau memberi kejutan kecil."
Dia menoleh dan tampak seakan-akan baru melihatku untuk
pertama kali. "Hai, Eden." Dia menyisir rambutnya dengan jari-
jemarinya, kemudian mengancingkan mantel hujannya.
"Kau juga membuatku ketakutan," aku mengaku.
"Aku memang orang yang menakutkan," sahut Gideon.
"Mau bergabung sama kami?" tanya Dave. "Aku dan Eden
sedang mencari alasan agar kami tidak perlu pergi ke perpustakaan."
Gideon tertawa terbahak-bahak. "Aku punya segudang alasan
buat seorang cowok dan seorang cewek agar tidak perlu ke
perpustakaan."
"Mungkin kita bisa pergi ke tempat latihan golf di Fulton," kata
Dave, tak menghiraukan makna kata-kata Gideon. "Main untuk
beberapa sesi." Dia menoleh ke arahku. "Kau main golf?"
"Ah, tidak," jawabku. "Tapi aku selalu ingin mencobanya."
"Aku guru yang baik," ujar Dave. Dia menggerakkan tangannya
seolah menggenggam tongkat golf, sedikit membungkuk ke depan,
dan mengayunkan tongkat golf imajiner itu. Lalu dia menoleh ke arah
Gideon. "Bagaimana? Mau ikut?"
Gideon menggelengkan kepalanya. "Ingin sih. Aku bisa
memberimu petunjuk yang oke. Tapi seperti sudah kubilang, aku mau
ke apartemen temanku. Ingat Joanne? Dia baru kembali dari
rumahnya."
Dia melihat arlojinya. "Aku baru telat setengah jam."
Dave menggodanya. "Itu tepat waktu buatmu."
"Sampai nanti," Gideon bergegas pergi, mantelnya melambai-
lambai di belakangnya.
"Aku berutang satu padanya," gumam Dave, memandangi
temannya lenyap di sudut jalan. "Aku berutang kejutan seram baginya.
Jantungku masih berdebar-debar."
**********
Di tempat latihan golf itu hanya ada aku dan Dave. Pemuda di
ruang penerimaan yang sempit itu memberi kami seember bola golf.
Tapi dia mengingatkan kami supaya main cepat-cepat. Dia mau
menutup tempat itu.
Aku mau mengambil sebatang tongkat golf yang menempel di
dinding. Tapi Dave melarangku.
"Jangan yang itu," perintahnya. "Yang itu tongkat kayu. Kau
belum siap untuk menggunakan tongkat kayu."
"Kayu? Tapi ini terbuat dari logam!" protesku.
"Tapi tetap saja disebut tongkat kayu," ulang Dave. Dia
memberi tongkat yang lebih kecil. "Ini five iron. Kita mulai dengan
yang ini."
Sambil membawa ember berisi bola golf, dia berjalan menuju
deretan booth yang kosong. Lampu sorot yang terang benderang
membuat lapangan golf tampak lebih terang ketimbang di siang hari.
Embun mulai turun. Rumput di bawah kaki kami berkilau-kilau.
"Kita mulai dengan belajar memegang tongkat golf," ungkap
Dave begitu berhenti di tee yang paling ujung. "Baru setelah itu,
kuperlihatkan bagaimana mengayunkan tongkat."
Dia menjatuhkan beberapa bola golf ke rumput. "Perhatikan
baik-baik."
Dia mengambil tongkat golf, memegangnya, menempatkan
tangannya dengan cermat, memegangnya agak ke atas sehingga aku
bisa melihatnya. Kemudian dia membungkuk ke arah bola.
Mengambil ancang-ancang. Mengayunkan bahunya ke belakang—dan
memukul bolanya.
Aku menyipitkan mata ke cahaya yang amat terang dan melihat
bola itu melambung ke atas dan melenceng ke kanan.
Dave nyengir. "Tidak terlalu bagus. Aku agak lupa caranya."
Dia memberi isyarat padaku untuk mendekat ke tee. Aku
mengambil tongkat golf yang diberikannya dan mulai berlatih di
dekatnya.
Tapi sesuatu membuatku berhenti.
Ada suara.
Perasaan. Perasaan bahwa kami tidak lagi hanya berdua.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kami—dan
melihatnya, melihat matanya yang pucat, tubuhnya yang kaku karena
amarah.
"Darryl!" aku tercekat. "Darryl—apa yang kau lakukan di sini?"
BAB
18

"HAL paling penting untuk diingat adalah," kata Dave, "jangan


menggerakkan kepalamu."
Dave berdiri membelakangiku. Dia tidak melihat Darryl
bergerak menuju kami.
"Darryl—jangan!" jeritku. "Ini aku—Eden. Aku cuma
meminjam baju Hope!"
Darryl tidak menghiraukan aku. Matanya menatap ke tongkat
golf di tanganku.
Aku mengacungkannya, seolah-olah akan menantangnya
berkelahi.
Tapi dia menariknya dengan satu tangan. Merampasnya dan
mendorongku ke samping.
"Dave—!" aku mencoba memperingatkannya.
Tapi kepalanya sedang menunduk, tubuhnya membungkuk,
sedang bersiap-siap mengayunkan tongkatnya lagi.
"Dave—jeritku.
Terlambat.
Darryl mengacungkan tongkat golf yang terbuat dari logam—
mengayunkan tongkat golf dari arah belakang seolah-olah sedang
mengayunkan tongkat bisbol.
Mengayunkannya ke kepala Dave.
Terdengar bunyi tunnng yang keras ketika pukulan itu menemui
sasarannya. Lalu aku mendengar suara barang robek yang sungguh
menyeramkan.
"Ohhhhh!" aku mengerang ngeri ketika tongkat golf tersebut
mengenai Dave tepat di belakang telinganya.
Suara robekan... robekan yang menyeramkan... seolah-olah
pelekat Velcro sedang saling dilepaskan....
Dan telinga Dave melambung... ke atas... ke lampu sorot yang
bercahaya menyilaukan.
Aku memalingkan muka sebelum telinga itu jatuh.
Dave berteriak. Teriakan kesakitan. Teriakan keterkejutan.
Darah mengalir deras di sisi kepalanya. Matanya membelalak,
mulutnya ternganga, Dave mencoba menutupi lubang telinganya
dengan tangannya.
Tapi Darryl mengayunkan tongkatnya lagi.
Kali ini tongkat tersebut mengenai pipi Dave.
Dave menjerit kembali. Ia berlutut.
"Jangaaaaaaaan!" Lolong kesakitan keluar dari tenggorokanku.
"Darryl—jangaaaaaaan!"
Darryl mengayunkan tongkatnya lagi. Pukulan itu menyentuh
ujung kepala Dave. Sebagian rambut Dave yang pirang tercabut.
"Tolong! Tolooooong!" erangku.
Dave berlutut sambil membungkuk. Tubuhnya terayun-ayun.
Tangannya diangkat. Darah menetes dari kepalanya. Mengalir
membasahi jaketnya.
Darryl menarik tongkatnya belakang. Dia melenguh sewaktu
mengayunkan tongkatnya dengan sekuat tenaga.
Tongkat golf itu menghunjam tenggorokan Dave.
Dia mengeluarkan bunyi berdeguk.
Matanya berputar ke atas. Dan dia ambruk tertelungkup di
rerumputan yang penuh darah.
"Darryl—jangan! Jangan! Jangan!"
Aku melihat dengan tak berdaya sewaktu Darryl memukul dan
memukul lagi tubuh Dave yang sudah tak bergerak.
"Jangan! Jangan! Jangan!''
Aku memalingkan muka. Aku tak bisa melihat lagi.
Perutku terasa mual. Aku mulai limbung.
Berusaha mencari keseimbangan.
Dan berusaha untuk lari.
Lari. Menjauh.
Sepatuku terasa licin di rumput yang basah dan bersinar
keperakan.
Aku lari. Tubuhku penuh darah. Darah Dave yang masih
hangat.
Aku lari.
Dan tidak menoleh-noleh lagi.
Bagian Empat
HOPE
BAB
19

AKU memeluk Eden. Kubiarkan dia menangis di pundakku.


Aku memeluknya.
"Hope... Hope...," dia mengulang-ulang namaku seakan-akan
sedang menyanyikan lagu sedih.
Aku membawanya ke kamar mandi. Aku membantunya
melepas bajunya yang penuh darah. Bajuku yang penuh darah.
Aku membantunya membersihkan rambutnya dari darah yang
lengket.
Dia begitu gemetar sampai-sampai tidak bisa melakukan apa-
apa sendirian. Dia begitu tak berdaya. Benar-benar tak berdaya.
"Kita harus menghentikannya," bisik Eden ketika aku
membantunya mengenakan baju tidur. "Dia membunuh Dave. Kita
harus menghentikannya."
"Aku ingin menceritakan sesuatu padamu," kataku, berusaha
tetap terdengar tenang. Aku berusaha agar suaraku tetap pelan dan
lancar.
Aku membimbingnya berjalan menuju tempat tidurnya. Aku
memeluk pundaknya yang gemetaran. Aku berusaha
menenangkannya.
"Aku tidak ingin mendengar cerita, Hope," ujar Eden. "Aku
ingin menelepon polisi—sekarang."
Aku membaringkannya di tempat tidurnya. "Ceritanya pendek
saja," kataku pelan. "Berbaringlah, Eden. Pejamkan matamu. Kau baru
saja mengalami ketegangan."
"Darryl sudah gila," bisiknya. Air mata mengalir ke pipinya.
"Gila. Apa dipikirnya aku ini kau? Itukah sebabnya dia membunuh
Dave? Benarkah?"
"Eden—sshhh," jawabku. Aku mengelus rambutnya yang
cokelat terang. "Tariklah napas dalam-dalam. Kau baik-baik saja. Kau
aman dan baik-baik saja sekarang."
"Tapi Dave..." Dia tersedu-sedu. Dia mengangkat kepalanya
dari bantal. "Telepon polisi sekarang Hope. Tolonglah—sekarang."
"Aku tidak bisa," jawabku, berusaha mempertahankan agar
suaraku tetap pelan dan menenangkan. "Dengarkan ceritaku, Eden.
Ceritanya singkat saja."
Dia berbaring kembali. Dadanya bergerak naik-turun. Dia
mendesah pelan setiap kali menarik napas.
Sambil membelai rambutnya, aku mulai bercerita. "Ketika aku
masih kecil, ibukulah yang membeli baju-baju untukku. Bahkan di
SMU, ibuku tak mengizinkan aku untuk memilih pakaianku sendiri.
"Aku tahu, itu kedengarannya jahat. Karena semua anak suka
memilih sendiri baju yang ingin dipakainya. Tapi, percayalah padaku,
Eden, memilihkan baju untukku bukanlah hal paling jahat yang
dilakukan ibuku.
"Yang paling jahat adalah ukuran yang dipilihnya untukku.
Tahu tidak, ibuku selalu membeli baju yang ukurannya kelewat kecil.
Yang kumaksud bukanlah satu atau dua baju. Yang kumaksud adalah
semua yang harus kupakai.
"Semua rokku, baju atasan, dan T-shirt-ku, serta jinsku. Bahkan
sepatuku juga. Bertahun-tahun—sepanjang masa kanak-kanakku—
aku mesti memaksakan diri supaya bajuku bisa muat.
"Ketika ukuran bajuku nomor enam, ibuku membelikan aku
baju nomor empat. Dan ketika ukuranku nomor sepuluh, ibuku
membelikan yang nomor delapan. Dan kalau aku memprotes, kalau
aku rewel soal ukuran bajuku, ibuku mengancam akan membuang
semua bajuku dan membiarkan aku tak punya baju sama sekali.
"Dan demikian aku jadi terbiasa memaksakan diri supaya
bajuku bisa muat, Eden," lanjutku, berusaha untuk menutupi perasaan
marahku, berusaha mempertahankan suaraku tetap tenang. "Aku
terbiasa selalu merasa tidak nyaman. Selalu tampak gendut dan
menggelikan.
"Aku terbiasa merasa tidak bahagia," kataku. "Dan tahukah kau
kenapa ibuku melakukannya? Tahukah kau mengapa ibuku selalu
memaksaku untuk memakai baju yang kekecilan? Kau tahu
jawabannya, kan?
"Karena pikir ibuku aku terlalu gemuk. Dan ibuku tidak mau
aku melupakan itu sesaat pun. Setiap kali aku berpakaian, aku jadi
teringat. Setiap kali..."
Suaraku menghilang. Aku tak sanggup meneruskannya. Begitu
banyak kenangan buruk. Begitu banyak hal menyedihkan yang
kupendam.
"Kenapa...?" gumam Eden, menatapku. "Hope—kenapa
kauceritakan hal itu padaku sekarang?"
"Tidak tahukah kau?" tanyaku dengan pelan. "Kuceritakan itu
padamu karena Darryl adalah orang pertama dalam hidupku yang
tidak peduli bahwa aku gemuk."
"Tapi, Hope..." bantah Eden.
Aku mengelus rambutnya. Dengan lembut. Berusaha tetap
mempertahankan irama yang sama.
"Dia satu-satunya orang yang pernah menyukaiku apa adanya,"
ujarku padanya. "Dan itu amat berarti buatku. Dia segala-galanya
bagiku. Aku tak bisa membiarkan dia pergi begitu saja. Mengertikah
kau Eden?
"Aku takkan membiarkannya pergi apa pun yang
dilakukannya," aku mengaku. "Karena dialah satu-satunya yang
kumiliki."
Eden membisikkan sesuatu. Aku tak dapat mendengar kata-
katanya. Aku mengusap air mataku. Aku bahkan tidak sadar aku
sudah menangis.
Aku duduk di samping tempat tidur Eden, menenangkannya,
berusaha untuk membuatnya merasa nyaman. Entah untuk berapa
lama.
Akhirnya, dia jatuh tertidur.
Aku menatapnya, memandang dadanya yang turun-naik di
bawah selimut, mendengar napasnya yang pendek-pendek.
Dan kemudian terdengar suara serak di belakangku, "Oke,
Hope. Lakukan sekarang. Kau bisa mencekiknya sekarang."
BAB
20

DENGAN cepat aku berbalik. "Darryl..." bisikku.


Dia berdiri di belakangku, napasnya tersengal-sengal,
rambutnya berantakan, sweternya penuh dengan noda darah.
"Keluar!" jeritku. "Aku sungguh-sungguh. Keluar! Kembalilah
ke kamarmu."
"Dia melihatku, Hope," bisik Darryl sambil menatap Eden,
lingkar sekeliling matanya merah. Mata marah. "Dia melihatku. Aku
tak bisa membiarkannya tetap hidup. Aku tak percaya padanya. Aku
harus..."
Dia mengulurkan tangannya seolah-olah akan mencekik Eden.
Aku mendorongnya.
"Keluar," ulangku. "Keluarlah sekarang, Darryl. Tinggalkan
Eden. Pergilah."
"Aku ingin cerita padamu apa yang terjadi," desaknya. "Aku
melihat bajumu. Aku melihat cowok itu. Aku..."
"Pergilah," sahutku kaku, menatapnya lekat-lekat.
"Aku harus menjelaskannya," protesnya. "Hope—kau selalu
mau mendengarkan aku sebelum ini. Berilah aku kesempatan."
Dia menarik tubuhku. Menyelipkan lengannya sekeliling
pinggangku dan memelukku erat-erat. "Kau selalu mau mendengarkan
aku," bisiknya. "Kau selalu penuh pengertian."
Kubiarkan dia memelukku untuk sesaat. Lalu aku melepaskan
tangannya dan mendorongnya. "Darryl, tidak ada yang perlu
dijelaskan," bisikku.
Mulutnya ternganga. Dia mengibaskan rambut pirangnya yang
tebal dari keningnya. "Tidak. Aku ingin menjelaskan. Beri aku
kesempatan, Hope."
Aku memandang Eden, tidurnya begitu tenang. Mendesah
dalam tidur.
"Jelaskan," kataku pada Darryl. "Ayo."
Dia kembali menatapku, mulutnya masih ternganga. Darah
lengket mengotori lehernya. Dagunya.
"Jelaskan," ulangku, menantangnya.
Raut mukanya berubah. Dia berdiri dengan kaku. Dia menyapu
rambutnya kembali. "Aku—aku tidak bisa menjelaskan." Dia
menghela napas. "Kau benar. Tidak ada yang bisa dijelaskan. Aku
tidak sadar, Hope. Hanya itu."
Matanya memandang mataku. "Apa yang harus kulakukan?"
tanyanya. Suaranya merengek seperti anak kecil. "Apa yang harus
kulakukan, Hope? Katakan."
"Pergilah ke kamarmu," perintahku padanya.
Dia mengangguk dengan patuh.
"Kau tidak boleh tepergok di lantai untuk anak perempuan,"
lanjutku. "Apalagi dengan noda darah di seluruh tubuhmu."
Dia mengusap bagian depan sweternya.
"Buanglah semua bajumu," ujarku padanya. "Taruh semua di
kantong sampah. Buang ke tempat pembakaran. Lalu bersihkan
tubuhmu. Dan mandilah dengan air hangat. Mandilah yang lama."
Dia mengangguk lagi. "Lalu apa?"
Aku mengangkat bahu. "Aku tak tahu."
Dia kembali memandang ke arah Eden. "Apa yang harus kita
lakukan padanya? Jangan sampai dia melapor ke polisi."
"Aku akan buat perjanjian dengan Eden," janjiku.
"Bagaimana caranya?" teriak Darryl. "Bagaimana caranya?
Kalau dia melaporkan aku, polisi mengurungku untuk selamanya. Kita
tidak akan pernah bertemu lagi."
"Kita—kita tidak bisa membicarakan hal itu sekarang," aku
tergagap. Aku merasa ditusuk oleh perasaan marah. "Kau harusnya
memikirkan dulu sebelumnya," ujarku pada Darryl. "Sebelum kau
membunuh orang."
Sinar di matanya meredup. "Aku melakukannya demi kau,"
gumamnya, berbalik pergi.
Kemudian di kembali memandangku, mulutnya menyeringai.
"Dan aku akan membunuh lagi, Hope. Itu pasti. Katakan pada
temanmu Eden. Aku takkan membiarkan sipa pun memisahkan kita.
Katakan padanya aku akan membunuh lagi bila perlu."
Kata-katanya membuat tubuhku gemetar hebat.
Aku takkan membiarkan dia membunuh lagi.
Tapi apa yang harus kulakukan? Bagaimana cara menghentikan
perbuatannya?
BAB
21

RADIO sekaligus beker membangunkan aku pada jam 08.00


esok paginya. Dan hal pertama yang ingin kudengar adalah laporan
berita tentang teman Eden.
Aku duduk, merasa kedinginan. Menggigil. Aku langsung
waspada begitu kata-kata di radio menerpa pikiranku. Dan terus
terngiang-ngiang dalam pikiranku. Aku ingat setiap kata yang
diucapkan oleh si reporter:
"Semalam, ditemukan mayat yang hancur dan terpotong-potong
di Garrison Corners Driving Range dekat kampus Ivy State. Mayat
tersebut dikenali sebagai mahasiswa perguruan tinggi yang
bersangkutan. Nama mahasiswa tersebut tidak diumumkan sampai
polisi menemukan orangtuanya.
"Polisi kini sedang mencari-cari seorang gadis untuk keperluan
penyelidikan. Pegawai di tempat latihan golf yang bertugas malam itu
melihat gadis tersebut bersama sang korban pembunuhan.
"Karena ini merupakan peristiwa pembunuhan sadis yang kedua
yang menimpa mahasiswa dalam dua minggu terakhir, polisi kini
memperluas penyelidikannya. Para pejabat perguruan tinggi
mengadakan pertemuan pagi ini untuk membahas langkah-langkah
yang akan diambil untuk menenangkan para mahasiswa yang
ketakutan."
Kata-kata tersebut membuatku gemetaran. Aku duduk kaku di
tempat tidurku. Membayangkan Darryl. Membayangkan korban yang
malang itu.
Teman Eden.
Polisi sedang mencari Eden.
Aku berusaha mengusir rasa mengigilku.
Eden... Eden... Eden...
Aku menoleh ke arah tempat tidurnya. Dia berbaring miring,
mendengkur pelan. Salah satu lengannya menggantung di sisi tempat
tidur, rambutnya yang cokelat terang sedikit menutupi wajahnya.
Aku tahu apa yang akan dilakukan Eden begitu dia bangun.
Begitu dia mendengar bahwa polisi sedang mencarinya.
Dia akan melapor. Dia akan pergi ke kantor polisi dan
mengungkapkan semuanya. Dia akan menyerahkan Darryl. Dan
mengatakan apa yang telah dilakukan Darryl.
Dan aku takkan bisa bertemu Darryl lagi. Tidak akan pernah
bertemu dengan satu-satunya cowok yang sayang padaku.
"Aku takkan membiarkanmu melakukannya, Eden," gumamku
keras-keras.
Aku turun dari tempat tidur. Meregangkan tubuh. Merapikan
baju tidurku.
Lalu aku berjalan menuju tempat tidur Eden dan menggoyang-
goyangkan pundaknya dengan lembut. "Eden—bangun. Kita harus
bicara."
Dia bangun dengan malas-malasan. Membuka matanya lebar-
lebar. "Apa?" Dia memandangku seakan-akan tidak mengenaliku.
Seolah-olah dia tidak tahu dia sedang di mana.
"Ini aku," kataku. "Aku harus membicarakan sesuatu
denganmu."
"Oh." Dia menelan ludah. "Oh, wow. Hope—aku mengalami
mimpi paling buruk."
Aku menghela napas. "Kehidupan nyata mungkin lebih
menakutkan ketimbang mimpimu," kataku dengan nada sedih.
Dia bangun dengan pelan. Praktis aku bisa menduga apa yang
ada dalam pikirannya. Aku bisa melihatnya... sedang mengingat
sesuatu... pemandangan mengerikan di tempat latihan golf.
Berita di radio seakan-akan menggumam malas. Di kejauhan
terdengar raungan sirene yang menembus jendela kamar yang terbuka.
"Dave...," ucap Eden pelan. Suaranya masih serak akibat tidur.
Dia menelan ludah lagi dan menoleh ke arahku. "Tolong ambilkan
telepon, Hope."
Aku bergeming. "Untuk apa?" tanyaku.
"Aku harus menelepon polisi," sahutnya dengan tegas.
"Kita harus bicara mengenai hal ini," desakku. Aku memegang
bahunya. Tapi dia menepis tanganku.
"Tidak ada yang mesti dibicarakan," jawabnya dengan suara
sedih. Matanya menatap kosong. Mati. Dia berbicara tanpa semangat,
nyaris seolah-olah sedang berbicara dalam tidur.
"Aku tak dapat berpikir dengan jernih," lanjutnya. "Aku tak
dapat berpikir sama sekali. Aku tak dapat memikirkan apa-apa kecuali
Dave. Dan Darryl. Darryl begitu sadis. Seperti binatang buas yang
haus darah."
Dia menarik napas. "Ambilkan telepon, Hope."
Aku menggeleng. "Tidak. Tunggu, Eden."
"Tunggu? Menunggu apa?" tukasnya dengan tajam. Dia
menurunkan kakinya ke lantai. Tangannya memegang pinggiran
tempat tidur erat-erat, kuat-kuat.
"Aku tak mau kau melaporkan Darryl," kataku, dengan pelan
dan lambat. "Pokoknya, tidak sekarang."
"Aku tak punya pilihan," ujar Eden dengan suara bergetar.
"Benar-benar tak punya."
"Aku akan membuat perjanjian dengan Darryl," desakku. "Aku
akan mencari bantuan yang dibutuhkannya."
"Bantuan? Bantuan?" Tawa Eden yang mencemooh langsung
meledak. "Dia tidak butuh bantuan. Yang dibutuhkannya adalah
kurungan. Dia harus dipenjara—untuk selamanya."
"Eden—tolong, dengarkan...," pintaku.
Tapi dia melompat bangkit. Mendorongku ke samping. Berjalan
menuju meja tulis, kakinya yang telanjang bergedebuk di karpet.
"Dia berbahaya, Hope," katanya, rahangnya mengatup rapat.
"Dia sadis."
Aku memburu ke sisinya. Dia akan mengambil pesawat telepon
di meja tulis. Tapi aku menepis tangannya.
"Tunggu. Kuceritakan padamu sesuatu," pintaku. "Tidak lama
kok. Lalu..."
Dia menjerit. "Tidak! Aku tak mau cerita apa-apa, Hope! Sudah
terlambat untuk bercerita macam-macam."
Dia menoleh ke arahku dan memegang pundakku. Wajahnya
didekatkan pada wajahku. Matanya menyala-nyala. "Aku mengerti
perasaanmu," ucapnya dengan suara bergetar. "Setidak-tidaknya
begitulah."
"Tidak, kau tidak mengerti," desakku. "Kalau kau..."
"Aku tahu betapa sayangnya kau pada Darryl," lanjutnya. "Aku
mengerti betapa inginnya kau untuk tetap bersamanya."
Ekspresi wajahnya mengeras. "Tapi sekarang sudah waktunya
untuk melihat kenyataan, Hope. Sekarang sudah waktunya untuk
menyadari bahwa kau tidak bisa melindungi Darryl. Kau tidak bisa
melindunginya, dan kau tidak bisa menyembunyikan dia. Dia harus
mendapat balasan atas perbuatannya. Dan kau harus bisa
melupakannya."
"Jangan... Jangan, Eden. Tolong..." aku memohon.
Tapi dia tetap mengangkat pesawat telepon dan
menempelkannya ke telinganya.
Dia menekan angka 0.
Aku takkan membiarkannya! kataku dalam hati.
Jantungku berdegup. Ruangan jadi serasa miring dan
bergoyang-goyang.
Aku takkan membiarkannya menelepon polisi!
"Eden—tolonglah!" aku merasa begitu pening. Ruangan serasa
bergoyang-goyang, seolah-olah sedang terjadi gempa bumi. Seolah-
olah seluruh duniaku akan runtuh....
"Eden..."
Dia tidak menghiraukan aku. Dia kembali berpaling.
Menempelkan pesawat telepon ke telinganya. "Halo? Operator?"
Panik, aku menoleh ke sekeliling.
Mengambil alat pengering rambut milik Angel.
Kupegang bagian tabungnya—dan mengayunkan pegangannya
yang berat ke kepala Eden.
Terdengar bunyi tunnnng yang keras.
Terdengar suara tulang tengkorak retak. Seperti cangkang telur
yang pecah.
Eden mengerang.
Matanya terbuka lebar, menyorotkan pandangan tak percaya.
Kemudian matanya berputar ke atas.
Sambil mengerang, dia jatuh tergeletak tak berdaya ke karpet.
Tubuhnya telungkup, salah satu kakinya berada di bawah
tubuhnya.
Pesawat telepon yang dipegangnya jatuh dan menimpa lantai.
"Ohhh." Aku menjatuhkan alat pengering rambut yang berat itu.
Aku memegang kedua pipiku dengan perasaan kalut.
Kupandang tubuh temanku yang tak bergerak lagi.
Memandangnya dengan perasaan tak percaya.
"Apa yang telah kulakukan?" jeritku.
"Apa yang telah kulakukan?"
BAB
22

EDEN merintih.
Tangannya bergerak-gerak.
"Oh, syukurlah!" seruku.
Aku tidak membunuhnya. Dia masih hidup. Dia hanya pingsan.
Aku berlutut di sampingnya. Persis di bawah garis batas rambut
terdapat memar merah gelap yang tampak baru.
Yang penting dia hidup, pikirku dengan penuh rasa syukur.
Sekarang bagaimana?
Jantungku berdegup keras. Ruangan seakan miring kembali,
dan aku kehilangan keseimbangan.
Kuusap keningku. Aku berkedip-kedip, berupaya agar ruangan
tidak bergoyang-goyang.
Tiba-tiba aku merasa kepanasan. Gerah sekali. Mukaku.
Leherku. Seluruh tubuhku.
Seolah-olah demam hebat sedang menjalar di seluruh tubuhku.
Mirip sungai lava panas yang merah menyala seperti yang bisa kita
lihat di film-film tentang letusan gunung berapi.
Aku gemetaran akibat kepanasan. Aku berusaha mati-matian
agar bisa berdiri. Tapi ruangan di sekelilingku bergoyang-goyang
terus. Dan gelombang panas—yang semakin lama semakin hebat—
membuatku amat pusing.
Kepalaku... seolah melayang... melayang...
Kadang-kadang, kalau kita sedang menderita demam tinggi,
kita melihat hal-hal yang tak masuk akal. Warna-warna yang amat
terang. Benda-benda aneh.
Dan pikiran kita pun jadi tak keruan. Kita yakin kita baik-baik
saja, bahwa kita bisa berpikir dengan jernih. Tapi, pikiran kita susah
dikendalikan. Pokoknya sama sekali tak waras.
Kurasa itulah yang sedang menimpaku sekarang ini.
Kurasa itulah akibat demam tinggi yang sedang kuderita
sekarang ini.
Karena sewaktu aku berusaha menjaga agar ruangan tidak
berputar-putar dan miring... sewaktu aku berusaha menghentikan
degup jantungku yang begitu kencang... berusaha agar tidak gemetar...
tidak berkeringat... tidak menggigil akibat panas yang semakin hebat...
Sewaktu aku berusaha untuk berpikir jernih, aku bertindak.
Aku bergerak.
Aku bertindak tanpa berpikir. Bahkan tanpa menyadari apa
yang sedang kulakukan.
Dan ketika pikiranku akhirnya jernih kembali, baru kusadari
apa yang telah kulakukan. Aku telah mengikat lengan Eden.
Lengannya kutekuk di punggungnya. Pergelangan kakinya pun kuikat
jadi satu.
Aku mengikatnya menggunakan handuk mandi. Handuk
mandinya mengikat dengan kuat. Aku telah mengikat temanku dan
menyelotip mulutnya supaya dia tidak bisa berteriak.
Dia terikat dalam posisi duduk.
Matanya kini terbuka. Matanya memancarkan kebingungan.
Berusaha untuk berbicara tapi yang bisa dilakukannya hanyalah
mengeluarkan bunyi mmm... mmm...
Dia memandangku, alis matanya terangkat, pandangannya
menyorotkan keheranan. Tidak bisa mempercayai apa yang telah
kulakukan.
Apa yang kaulakukan, Hope? Apa yang kaulakukan padaku?
Pertanyaan bisu yang tak bisa kujawab.
Karena aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan.
Dicengkeram demam tiba-tiba. Dicengkeram oleh keinginan
yang amat kuat untuk melindungi satu-satunya cowok yang peduli
padaku.
Dicengkeram oleh kekuatan di luar akal yang tak tampak, aku
tak menyadari apa yang sedang kulakukan. Atau apa yang kemudian
kulakukan.
Aku membungkuk di samping Eden. Menyelipkan lenganku di
bawah ketiaknya. Dan menyeretnya.
Kuseret Eden sepanjang lantai.
Dia menggeliat-geliat dan berusaha menendangku. Tapi aku
telah mengikatnya erat- erat. Dia tidak bisa membebaskan diri. Dia tak
bisa melarikan diri.
Kuseret Eden dengan sekuat tenaga. Kuseret. Kuseret...
Dia berusaha menahan. Tapi tubuhnya tetap menggelincir di
atas karpet.
"Aku takkan menyakitimu!" tukasku. Suaraku meninggi dan
melengking.
"Mmmmmm! Mmmmmmpppf!" dia berusaha memprotes. Dia
mencoba untuk berteriak melalui selotip yang menghalanginya.
Aku menyeretnya sepanjang kamar. Melewati tempat tidur
susun yang dipakai Angel dan Jasmine.
Untung saja mereka ada kuliah pagi-pagi, pikirku.
Lalu aku berpikir: Kalau mereka ada di kamar, apakah aku akan
melakukan semua ini? Apa yang akm kulakukan?
Eden menendang-nendang menggunakan kedua kakinya. Dia
berusaha mencengkeram karpet dengan tumitnya.
Tapi aku menyeretnya melewati tempat tidur susun.
Kusorongkan Eden ke dalam lemari pakaian yang menempel di
dinding belakang.
"Mmmmmppp! Mmmmmmmppph!"
Pintu lemari langsung kututup supaya aku tak perlu mendengar
suaranya. Kubanting pintu lemari keras-keras. Kusandarkan tubuhku
di dinding untuk mengambil napas. Jantungku masih berdebar-debar...
berdegup begitu kencang, seolah-olah mau meledak.
Mulutku terasa kering. Kerongkonganku sakit. Semua otot
tubuhku gemetaran.
Kuusap keringat di keningku dengan lengan baju tidurku.
Menarik napas dalam. Lambat-lambat. Lambat-lambat.
Aku menunggu sampai napasku kembali normal. Dan mencoba
mendengarkan.
Apakah suara Eden kedengaran dari luar pintu lemari? Apakah
suara kakinya yang menendang-nendang lantai lemari terdengar dari
luar?
Tidak.
Kamar kini sunyi. Yang terdengar hanya napasku yang
terengah-engah.
Lalu bagaimana? tanyaku pada diri sendiri.
Apa yang harus kulakukan sekarang?
Demamku sudah turun. Panasnya sudah menguap. Semua sudah
berlalu. Aku mulai bisa melihat dengan jernih kembali.
Dan berpikir dengan jernih.
Lalu bagaimana? Lalu bagaimana?
Aku tak mungkin menyembunyikan dia terus-terusan.
Apa yang harus kukatakan pada Angel dan Jasmine?
Kenapa aku melakukannya? Ke mana pikiranku tadi?
Mungkin aku harus bilang pada Darryl mengenai apa yang telah
kulakukan, putusku. Mungkin dia punya ide apa yang harus dilakukan
setelah ini.
"Tidak!" Aku menjerit keras-keras. "Tidak!" Aku menarik-narik
rambutku.
Darryl pasti ingin membunuhnya.
Bagi Darryl, membunuh adalah pemecahan untuk masalah yang
dihadapinya. Dia pasti tidak punya gagasan lain.
Dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tak mau. Bagaimanapun
Eden sahabatku. Salah satu di antara sahabat-sahabatku.
Jadi, aku tak mungkin bilang pada Darryl. Aku pun tidak bisa
bilang pada Angel dan Jasmine.
Jadi, apa yang mesti kulakukan?
Kupejamkan mataku, berusaha untuk berpikir jernih.
Suatu suara di seberang ruangan membuatku membuka mata
kembali.
"Hah?" Kupandang sosok di depan pintu yang terbuka.
Melanie.
Melanie memandangku dengan mulut ternganga dan mata
membelalak.
Sudah berapa lama dia ada di sana? Apa saja yang sudah
dilihatnya?
BAB
23

"PINTU—pintunya terbuka," ujar Melanie tergagap.


"Oh." Kuluruskan punggungku. Baju tidurku kurapikan. Aku
bisa merasakan wajahku terasa panas, dan aku tahu pipiku memerah.
Apakah dia melihatku menyeret Eden ke dalam lemari?
Melihatkah dia?
Kusapu dahiku dari rambut yang menjuntai. Keningku basah
kuyup. "Panas sekali di sini," gumamku.
Melanie menyipitkan matanya. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.
"Cuma sangat... gerah," jawabku. "Entahlah. Mungkin udaranya
atau apa."
Kualihkan pandanganku ke arah pintu lemari pakaian.
Sudahkah kututup dengan baik?
Sudah berapa lama Melanie berdiri di sana? Apa aku mesti
mengurungnya dalam lemari juga?
Pertanyaan sinting. Tapi aku tetap belum bisa berpikir dengan
jernih. Keseimbanganku belum pulih.
"Ada perlu apa?" aku bertanya tanpa pikir. Kedengarannya
lebih jahat dari yang kuperkirakan. "Maksudku... pagi ini aku sibuk
sekali," tambahku. "Aku... ketiduran dan..."
"Aku cuma mau mengingatkan mengenai pertemuan asrama
nanti malam," jawab Melanie, matanya tetap memandangku dengan
curiga. "Kita akan berusaha untuk mencari pemecahan mengenai
keamanan kampus."
"Bagus," jawabku.
Melanie menggelengkan kepalanya. "Dua pembunuhan. Dua
anak dibunuh tanpa perikemanusiaan sama sekali," ujarnya penuh
emosi. "Mengerikan sekali. Dapatkah kaubayangkan bagaimana
perasaan orangtua mereka?"
"Tidak," jawabku sambil berbisik, aku menundukkan kepala.
"Aku tak bisa membayangkannya."
"Aku—aku takut berjalan di The Triangle kalau malam hari,"
kata Melanie. Dia mengedikkan bahu. Antingnya yang berwarna gelap
ikut bergoyang.
Dia mengenakan sweter wol warna biru gelap dengan bawahan
legging hitam. Dia tampak sempurna seperti biasanya.
Lagi-lagi kusapukan rambutku ke belakang. Aku tahu
tampangku pasti seperti baru diterjang badai.
"Yang penting, kita harap bisa mendapatkan pemecahannya
malam ini," katanya. "Dekan berjanji akan datang. Ada juga polisi
yang menghadirinya. Dan juga direktur keamanan kampus."
"Bagus kalau begitu," jawabku kaku.
"Pertemuannya mulai jam 19.00. Di lobi lantai bawah,"
katanya.
"Oke. Aku akan datang," jawabku. "Aku— kuharap pelakunya
segera tertangkap. Kita semua ketakutan di sini."
Lagi-lagi, dia memandangku dengan mata menyelidik. "Kau
yakin kau baik-baik saja, Hope?"
Aku mengangguk. "Ya. Pasti. Aku baik-baik saja. Aku baru saja
bersih-bersih," ungkapku padanya. "Aku harus buru-buru supaya tidak
kesiangan."
Aku memegang daun pintu kamar, berharap Melanie
menangkap maksudku.
"Oke. Sampai nanti," katanya. Dia memaksakan diri untuk
tersenyum dan menyingkir.
Melanie sungguh mencurigakan, pikirku sembari menutup
pintu. Dia terus-terusan menyelidiki aku, mengintai setiap tindakanku.
Apa yang didengarnya? Apa yang dilihatnya?
Mungkin dia melihat Darryl menyusup keluar-masuk kamar,
putusku. Mungkin dipikirnya aku sedang menyembunyikan Darryl.
Darryl. Aku harus bilang padanya. Bahwa Melanie curiga....
Darryl harus menyingkir untuk sementara waktu, putusku.
Aku pasti akan sedih. Tapi dia mesti menyingkir dari kampus.
Menjauh sejauh-jauhnya. Bersembunyi di suatu tempat yang aman
sampai segala kekacauan ini berakhir.
Ya. Tiba-tiba aku merasa lebih baik.
Akhirnya aku punya ide bagus. Benar-benar bagus.
Darryl harus menyingkir.
Tapi apakah dia akan setuju? Aku bertanya-tanya. Apa yang
akan dikatakannya kalau ideku ini kusampaikan padanya?
Apakah dia akan marah-marah dan mengamuk seperti
biasanya? Apakah dia akan menolak gagasanku? Apakah dia akan
bilang bahwa dia takkan pernah meninggalkanku— takkan pernah?
Ataukan dia menyadari bahwa inilah cara terbaik? Apakah dia
akan memahami bahwa aku hanya memikirkan keamanannya? Bahwa
aku hanya memikirkan masa depan kami?
Dari balik jendela, tampak awan bergerak menjauhi dari
matahari. Cahaya matahari pagi yang kekuningan menyapu ruangan.
Aku mendekati jendela dan merasakan kehangatan sinar
matahari di wajahku. Ketika mengintip ke arah kampus di bawah sana,
kulihat sosok berseragam warna gelap berjalan terburu-buru.
Polisi!
Apa yang terjadi? tanyaku.
Aku mengintai melalui kaca jendela. Dan kulihat tiga polisi
mengelilingi seseorang berambut gelap.
Darryl?
Ya. Darryl.
"Oh, jangan!" jeritku, kutekankan tanganku pada kaca jendela.
Apa yang mereka lakukan padanya?
Wajahku kutekankan pada jendela dan berusaha melihat lebih
jelas. Salah satu petugas polisi memegang pundak Darryl. Dua yang
lainnya menjejerinya.
Apakah mereka menangkapnya? aku bertanya-tanya.
Apakah mereka tahu? Apakah mereka tahu kalau Darryl-lah
pelakunya?
Aku harus turun ke sana, putusku. Aku harus membantu Darryl.
Mungkin aku bisa memberi alibi. Mungkin aku bisa
meyakinkan para petugas polisi itu bahwa Darryl bersamaku ketika
dua pembunuhan itu terjadi.
Aku harus melakukannya, kataku pada diriku sendiri.
Aku tak boleh hanya duduk-duduk di sini menyaksikan Darryl
ditangkap.
Jantungku berdebar-debar. Kuseberangi kamar. Menyentakkan
pintu kamar. Baru saja aku akan berlari ke lorong, aku sadar bahwa
aku masih mengenakan baju tidur.
Di lorong, ada dua cewek yang memandangku dengan heran.
Aku memandang ke sekeliling dan berbalik menuju kamar.
"Ayo, cepat ganti baju. Buru-buru," kataku pada diriku sendiri.
Aku harus sampai di bawah sana sebelum polisi membawa
Darryl pergi.
Aku berlari menuju lemari pakaian untuk mengambil baju ganti.
Kurenggut pegangan pintu lemari, memutarnya—dan teringatlah aku
pada Eden.
Eden. Tawananku.
Temanku. Tawananku.
Jerit sedih keluar dari tenggorokanku.
Bagaimana mungkin aku melakukan hal itu padanya?
Sintingkah aku? Sudah gilakah aku?
Aku akan melepaskannya, putusku. Aku akan menjelaskan
padanya. Aku akan minta maaf dan memohon agar dia mau
memaafkan aku.
Eden akan mau mengerti. Siapa tahu...
Aku menarik napas dalam dan menarik pintu lemari pakaian.
"Eden—?"
Dia telah lenyap.
BAB
24

AKU melihat bagian lantai lemari. Memandang jins yang


tergeletak di lantai. Dan sepasang sepatu kets hitam di dekatnya.
"Eden—?"
Lemari pakaian di depanku tampak semakin gelap, seolah-olah
ada awan hitam menutupinya. Aku merasakan diriku ditarik, ditarik ke
dalam kegelapan yang menganga.
Seakan-akan lemari pakaian itu terbuka lebar, menampakkan
lubang amat gelap di belakangnya. Terbuka lebar dan siap menelanku
bulat-bulat. Menerkamku menuju kegelapan tak berujung.
"Eden—?"
Di mana dia? Di mana?
Aku mendengar desahan halus. Di belakangku.
"Hah?"
Aku memandang ke sekeliling. Berkedip dua kali. Tiga kali.
Eden sedang berguling di tempat tidurnya. Dia mengangkat
kepalanya dari bantal dan membuka sebelah matanya. "Jam berapa
sekarang?" tanyanya dengan suara mengantuk. "Sudah siang ya?"
Aku begitu tertegunnya sampai-sampai tidak bisa menjawab.
Kucengkeram sisi-sisi lemari dengan kedua tanganku. Mulutku
ternganga.
Eden membuka matanya yang satu lagi. "Hope—kau baik-baik
saja?"
"Tid-tidak," jawabanku terlontar begitu saja.
Rasanya lemari pakaian itu menarikku ke dalam. Menelanku.
Menelanku bulat-bulat. Kurasakan kegelapan mengurungku. Begitu
dingin....
"Tidak!" ulangku.
Kupaksakan diriku menjauh dari lemari pakaian. Menghambur
ke cahaya terang.
Aku berjalan terhuyung-huyung menyeberangi kamar, tidak
bisa bernapas. Tidak bisa berpikir..
"Eden?"
Dia memandang dari tempat tidurnya, masih setengah tidur.
"Ada apa, Hope?" tanyanya.
"Kau tidak di lemari," gumamku.
Ekspresi wajahnya berubah menjadi bingung. Dia langsung
bangun dan duduk di tempat tidur. "Apa, Hope?"
Aku ikut duduk di sampingnya. Aku merasa begitu senang
sekaligus merasa amat ketakutan.
Senang karena Eden baik-baik saja. Senang karena dia tidak
terkurung di lemari pakaian.
Takut akan diriku sendiri, akan pikiranku.
Apakah aku gila? Apa aku sudah hilang ingatan?
Aku tahu aku tidak mimpi ketika aku memukul kepala Eden dan
mengikatnya. Itu bukan mimpi. Aku benar-benar sedang sadar.
Lalu, apakah aku cuma membayangkannya?
Bagaimana mungkin aku membayangkan sesuatu dengan begitu
hidupnya? Aku benar-benar bingung. Bagaimana mungkin sesuatu
yang kubayangkan tampak begitu nyata?
Kupejamkan mataku erat-erat dan kubenamkan wajahku ke
kedua telapak tanganku.
Aku tidak mau memikirkan hal ini. Aku ingin semuanya lenyap.
Aku ingin bangun dan menemukan bahwa segalanya kembali
berjalan baik.
"Oh!" Aku terlompat, tiba-tiba ingat akan Darryl. Darryl
dikelilingi tiga polisi.
Aku harus ganti pakaian. Aku mesti turun dan membantunya.
Darryl. Kasihan Darryl.
"Hope—ada apa?" desak Eden. "Ada apa ini?"
Aku tak menjawab pertanyaannya. Kuputar kepalaku. Kakiku
terasa lunglai dan lemah. Tapi aku berlari menuju jendela dan
mengintip ke arah kampus.
Dan kulihat Darryl. Kini dia sendirian.
Tidak ada polisi. Mereka sudah pergi.
Dan Darryl berdiri sendirian. Memandang ke atas, ke arahku.
Memandang ke arahku, ke arah jendela.
Dengan ekspresi wajah penuh kebencian yang sungguh
menyeramkan.
Bagian Lima
JASMINE
BAB
25

AKU berjoging sepanjang Pine Street dan menyeberang tanpa


menoleh-noleh, tak menghiraukan lampu merah. Sebuah mobil
mengklakson keras-keras, tapi aku tak berhenti untuk melihat ada
kejadian apa.
Papan neon di depan Campus Corner terpampang di tengah-
tengah blok depan. Aku merundukkan kepalaku untuk menghindari
angin yang dingin dan berputar-putar, dan mulai lari secepat-cepatnya.
Aku sudah terlambat masuk kerja. Dan aku yakin Marty akan
langsung memarahiku begitu aku sampai di pintu kaca.
"Jasmine—ke mana saja kau?"
"Jasmine—kau kan tahu kau satu-satunya pelayan. di sini
setelah jam 16.00. Kok kau tega-teganya melakukan ini padaku?"
"Jasmine—tidak adakah orang yang mengajarimu tentang
tanggung jawab?"
Aku sudah pernah mendengar semua itu. Aku sudah pernah
mendengarnya marah, mengutuk, bahkan mengancam untuk
membakarku.
Aku berusaha untuk datang tepat waktu. Dan aku berupaya
untuk melakukan pekerjaanku dengan sebaik-baiknya, meskipun
pekerjaan ini membosankan dan menyedihkan.
Tapi kadang-kadang waktu berlalu begitu saja dan aku tidak
menyadarinya. Kadang-kadang aku begitu mencurahkan perhatianku
pada hal lain yang lebih penting dan tidak mau mengakui bahwa aku
tak punya pilihan lain. Bahwa aku harus tetap mempertahankan
pekerjaan ini kalau aku mau tetap bisa kuliah di Ivy State.
Yang jelas, napasku nyaris habis begitu aku sampai di restoran.
Dan mulai mengikat rambut pirangku. Marty menyuruh kami semua
mengenakan jaring rambut, yang benar-benar kubenci. Dia tidak
mengenakan satu pun— padahal dia kokinya!
Aku melepaskan parka dan menggantungkannya di gantungan
mantel. Dan menuju ke dapur di belakang konter makan siang untuk
mengambil celemek.
Mrs. Jacklin, pelanggan harianku, sedang duduk di mejanya
yang biasa. Aku memandang ke teko kopi untuk memastikan bahwa
kopinya masih cukup. Mrs. Jacklin, setahuku, akan meminum kopinya
sedikit demi sedikit setidak-tidaknya dalam waktu satu jam.
Mataku menyapu ke arah restoran. Sepasang mahasiswa dari
college duduk di meja bagian belakang menikmati kue pai dan Coke.
Tidak ada orang lain lagi.
Marty sedang duduk di kursi kayu dekat tempat cuci piring,
membaca majalah. Dia mengangkat kepalanya ketika aku masuk, dan
ekspresinya berubah menjadi masam.
"Jasmine, ada yang harus kubicarakan denganmu," katanya
dengan suara pelan. Pip¬nya menjadi merah. Dia menggulung
majalahnya dan menepuk-nepuk pahanya dengan majalah tersebut.
"Maaf, saya terlambat," gumamku sembari mengambil celemek.
"Aku benar-benar membutuhkan pelayan pada jam 16.00," kata
Marty. Dia memandang jam di atas tempat cucian piring. Jam 4 lewat
20 menit.
"Jam itu terlalu cepat," kataku, menghindari matanya.
"Kau benar-benar membuatku kecewa," katanya seraya
melemparkan majalah yang tergulung tadi ke konter.
"Maaf," ujarku. Apa lagi yang bisa kuucapkan?
"Aku tahu kau gadis pintar," lanjut Marty, sambil mengerutkan
kening kepadaku. "Sungguh, kau pendiam. Tidak banyak orang
sepertimu..."
Kau tidak perlu membuatku tersinggung hanya karena aku
terlambat beberapa menit! pikirku dengan marah. Tapi aku
membiarkannya.
"Tapi aku berharap kau bisa lebih bertanggung jawab,"
lanjutnya.
Berapa lama dia mau mengomel? pikirku sambil bertanya-
tanya. Aku kan sudah bilang minta maaf.
"Saya—saya harus melayani Mrs. Jacklin," ujarku seraya
tergagap.
Marty menggelengkan kepalanya. "Tidak, tidak perlu. Aku
yang akan melayaninya. Kau duduk di sini saja."
Dia bangkit dari kursinya. Menghilang ke depan untuk beberapa
lama. Terdengar bunyi denting cangkir kopi. Mendengar dia
mengatakan sesuatu pada Mrs. Jacklin.
Ketika dia kembali ke dapur, pipinya memerah kembali. Dia
menutup pintu dapur.
Oh-oh, pikirku. Tampaknya ada kabar buruk.
"Aku mesti memecatmu," katanya. "Aku sungguh-sungguh
menyesal, Jasmine."
"Oh, tunggu. Tolonglah...," kataku. Aku benar-benar tidak mau
kehilangan pekerjaanku ini. "Saya tidak akan terlambat lagi, Mr. Dell.
Saya berjanji."
Kedengarannya seperti rengekan anak umur lima tahun. Tapi
aku tak peduli.
Marty menggelengkan kepala. "Terlambat itu satu perkara,
Jasmine," dia menjawab dengan pelan. "Tapi ke mana kau kemarin?"
"Maaf?" Mulutku ternganga.
"Kau sama sekali tidak muncul kemarin," katanya sambil
mengeluh. Dia mengambil majalahnya dan menggulungnya kuat-kuat.
"Aku cuma sendirian di sini. Dan kemarin ramai sekali."
"Kemarin?" ulangku. Aku tiba-tiba merasa sakit. Kakiku terasa
lemah. Tenggorokanku sakit.
"Ya. Ke mana kau kemarin?" desaknya.
Kupandang Marty. "Eh..." Aku berpikir keras. Ke mana aku
kemarin sore? Ke mana?
"Saya tidak ingat," kataku padanya.
Wajahnya berubah menjadi jijik. "Kau bahkan tidak punya
alasan? Hanya itu yang bisa kaulakukan? Kau tidak ingat? Kenapa kau
tidak bilang kalau kemarin kau sakit? Atau kau harus ikut tes? Buat
alasan yang baik, Jasmine."
Aku menggeleng. Aku merasa pusing. "Tapi... itu betul,"
tegasku. "Saya betul-betul tidak ingat ke mana saya kemarin sore."
Aku menelan ludah. "Bahkan, saya tidak ingat apa pun mengenai hari
kemarin," aku megap-megap. "Sama sekali."
Marty mengeluh. Dia mengambil celemek dari genggamanku.
"Nih. Aku telah menulis cek gajimu."
Aku menerima cek darinya tanpa melihatnya sama sekali.
Dapur tampak kabur. Aku sedang berkonsentrasi... berkonsentrasi
mengenai hari kemarin.
Ke mana aku? Ke mana?
Aku harus keluar dari dapur. Aku harus pergi ke suatu tempat
dan berpikir.
"Selamat tinggal, Jasmine," kata Marty, menepukkan
majalahnya dengan gugup ke kakinya. "Maafkan kalau alasanmu sama
sekali tidak bisa kuterima. Aku sungguh-sungguh minta maaf."
Aku menggumamkan sesuatu padanya. Aku bahkan tidak bisa
mendengar diriku sendiri.
Kemudian aku berjalan menuju restoran untuk mengambil
parka. Mrs. Jacklin menyapaku sewaktu aku melewati mejanya. Tapi
aku tak menyahut.
Kuambil parka dari gantungan dan aku melangkah keluar tanpa
mengenakannya.
"Ke mana aku kemarin?" tanyaku pada diriku sendiri keras-
keras.
Bagaimana mungkin aku tidak ingat?
Kenapa aku ini?
BAB
26

DALAM keadaan linglung, aku berjalan sekeliling kampus.


Melewati petugas-petugas polisi berseragam warna gelap dan
beberapa kelompok mahasiswa yang berkumpul, berbicara dengan
riang gembira.
Aku menemukan meja kosong di bagian belakang kafeteria di
Student Union, dan duduk di sana sambil minum kopi dan makan roti
manis. Duduk sambil berpikir. Sambil mengingat-ingat.
Mulai dari suatu tempat, perintahku pada diriku sendiri.
Cobalah untuk mengingat sesuatu.
Aku menyesap kopiku lama-lama. Kental dan pahit. Aku
membutuhkannya untuk membangunkan otakku.
Aku ingat Hope gusar akan sesuatu. Ya, aku sedang tidur,
selimutku kutarik hingga kepala. Dan Hope marah-marah karena
sesuatu yang mengerikan terjadi.
Lagi.
Tetap berpikir, kataku pada diriku sendiri. Ini tergantung
padamu.
Tapi sebelum aku sempat mengingat lebih lanjut, seseorang
tiba-tiba melompat dari arah seberang ke mejaku. Aku melihat kemeja
kotak-kotak warna gelap. Rambut hitam lurus, tak disisir dan
berantakan. Mata biru pucat. Mata yang menatap dengan dingin dan
tak berkedip.
"Darryl—!"
Aku menggeser kursiku ke belakang. Aku ingin pergi.
Dia menarik lenganku. "Jangan marah, Jasmine. Aku hanya
ingin duduk sebentar. Aku hanya ingin bicara."
Aku membebaskan lenganku dari cengkeramannya dan duduk
kembali ke kursiku. Aku tidak ingin duduk bersama Darryl. Dia
membuatku takut. Matanya yang dingin membuatku ngeri.
Aku sama sekali tidak bisa mengerti mengapa Hope begitu
memujanya. Buatku dia seperti bom waktu. Dia selalu tampak siap
meledak.
Dan kalau sudah begitu, selalu ada orang yang menjadi
korbannya.
"Ada apa?" tanyaku sambil memegang cangkir kopi dengan
kedua tanganku. "Apa yang terjadi? Di mana-mana di kampus ini ada
polisi."
Matanya berputar-putar. "Katakan padaku," ujarnya. Dia
mengancingkan kemeja flanelnya, seolah-olah dia kedinginan.
Aku menghirup kopi. Kuharap dia tidak melihat tanganku
gemetar ketika mengangkat cangkir.
Dia benar-benar membuatku takut.
"Ada tiga polisi menyetopku," lanjutnya sambil menggelengkan
kepala. "Aku sedang akan menemui Hope, dan mereka menyetopku.
Dan menyelidikku. Tentang orang yang terbunuh. Tahu kan, yang di
tempat latihan golf."
Aku tidak tahu. Apakah itu terjadi kemarin? aku bertanya-tanya.
Apakah itu terjadi selama waktu yang tidak bisa kuingat?
Aku memandang dari pundak Darryl dan melihat Margie
beberapa meja di seberang. Dia sedang bersama beberapa gadis yang
tak kukenal. Entah dengan alasan apa, dia memandangku lekat-lekat.
Ketika aku melihat ke arahnya, dia segera berpaling.
Kenapa dia? aku bertanya-tanya.
"Hope ingin aku menyingkir." Suara Darryl menembus
pikiranku.
Aku menoleh ke arahnya. "Apa?"
"Hope ingin aku menyingkir," ulangnya dengan tidak sabaran.
"Dia ingin aku bersembunyi untuk sementara waktu."
Aku berusaha keras untuk memahami kata-katanya. Aku tidak
percaya Hope akan membiarkannya pergi. Hope membutuhkan Darryl
dekat-dekat dengannya. Dia begitu membutuhkan Darryl.
"Apa—apa yang kaukatakan padanya?" tanyaku sambil
tergagap. Ketika aku menjangkau cangkir kopi, tanganku menyentuh
roti manis. Aku baru sadar bahwa aku belum menyentuhnya.
"Aku bilang tak akan!" ucap Darryl dengan marah. Matanya
berkilat. Tangannya dikepalkan.
Aku bergerak mundur. Apakah dia akan melampiaskan
kemarahannya padaku?
"Aku takkan melarikan diri," teriaknya.
Sekali lagi, kulihat Margie menatapku dari seberang kafetaria.
"Aku takkan pergi ke mana-mana," ulang Darryl. "Itu yang
kukatakan pada Hope." Matanya berputar-putar lagi. "Apa aku
kelihatan butuh nasihatnya? Aku tak butuh nasihatnya."
"Lalu apa yang dikatakannya ketika kau menolak untuk
bersembunyi?" tanyaku.
Darryl mengalihkan pandangannya ke arah lantai. Dia memukul
meja dengan kepalan tangannya.
"Apa yang dikatakan Hope?" ulangku.
"Kami... bertengkar," gumam Darryl, tetap menghindari
mataku. "Kami bertengkar mengenai hal ini."
Aku tiba-tiba merasakan tusukan rasa takut. "Lalu?"
Ketika dia mengangkat mukanya, wajahnya tampak pucat.
Dagunya bergetar. Dia menyibakkan rambutnya yang menjuntai di
keningnya. "Kami bertengkar dan akn—aku melakukan sesuatu yang
mengerikan."
"Oh tidak!" aku terperanjat.
Dia mengangguk. Matanya berkaca-kaca. "Aku menyakitinya,
Jasmine. Aku benar-benar menyakitinya."
Bagian Enam
HOPE
BAB
27

AKU nyaris tak pernah menangis. Aku tahu ada gadis-gadis


yang sedikit-sedikit menangis. Mereka menangis kalau hasil ujiannya
jelek. Mereka menangis kalau ada cowok yang tidak memenuhi
janjinya. Mereka menangis kalau kuku mereka patah.
Aku tidak mudah menangis. Kukira itu karena aku sudah
kenyang menangis ketika masih kecil. Aku menangis sampai akhirnya
aku sadar kalau ibuku begitu menikmati saat-saat aku menangis.
Jadi aku berhenti menangis. Dan Sejak saat itu tidak pernah
menangis lagi.
Tapi hari ini aku duduk membungkuk di tepi tempat tidur,
mengusap pipiku yang penuh dengan bekas-bekas air mata ketika
Jasmine datang menghambur ke kamar.
Sudah tidak ada waktu untuk menyembunyikan fakta bahwa
aku sedang menangis. Mataku sembap dan basah. Pipiku merah dan
bengkak. T-shirt-ku basah kuyup.
"Hope—?" Mata Jasmine membelalak dan dia menutup
mulutnya. "Apa yang terjadi?" tanyanya. "Kau tidak apa-apa?"
Aku mengangguk, menyingkirkan rambut yang basah dari
mukaku. "Ya. Kurasa begitu."
"Apa yang dilakukannya padamu?" Jasmine menjatuhkan diri di
sampingku dan merangkulkan lengannya ke pinggangku. "Apa yang
dilakukannya?"
Aku berkedip beberapa kali. "Bagaimana kau tahu bahwa
Darryl penyebabnya?" tanyaku, suaraku masih bergetar akibat
menangis, kerongkonganku tercekat.
"Aku—aku ketemu dia. Di kafeteria," jawab Jasmine sembari
memelukku. "Dia tampak kacau. Dia bilang kalau dia menyakitimu."
Aku menarik napas panjang. "Ya. Dia menyakiti aku. Dia
menyakiti perasaanku."
Dia tampak terkejut. "Perasaanmu? Maksudmu—dia tidak
memukulmu atau semacam itu?"
Aku tak ingin menjerit atau menangis lagi. Tapi aku tak bisa
menyembunyikan kepedihanku. "Tidak. Dia tidak memukulku. Yang
dilakukannya lebih buruk lagi, Jasmine. Dia bilang yang tidak-tidak!"
aku menjerit.
Mulut Jasmine ternganga.
"Dia meneriaki aku dengan julukan yang menyakitkan!" seruku
dengan suara memekik, aku tak dapat menahan air mataku lagi. Air
mataku mengalir deras ke pipiku yang panas.
"Dia bilang aku gemuk. Dia menyebutku sapi. Dia tak pernah
melakukan ini sebelumnya, Jasmine! Tidak pernah! Aku—aku
sungguh sakit hati!"
"Tapi—tapi..." sahut Jasmine dengan tergagap-gagap. "Paling
tidak, dia tidak..."
"Mendingan aku dipukul!" aku menjerit sambil mendorongnya.
"Aku memilih dipukuli ketimbang diberi julukan yang menyakitkan
olehnya!"
"Tapi kenapa dia begitu marah padamu, Hope?" tanyanya.
"Karena aku menasihatinya untuk menyingkir," sahutku sambil
tersedu. "Aku bilang padanya lebih baik dia pergi ke suatu tempat
sejauh-jauhnya. Dan tinggal di sana. Itu demi kebaikannya. Tapi dia
pikir—dia pikir..."
"Dia pikir kau ingin putus darinya?" tanya Jasmine.
"Aku... aku rasa begitu," sahutku. Kututupi wajahku dengan
kedua tanganku. Kulitku terasa basah, bengkak, dan kotor.
Jasmine menenangkan aku. "Kacau sekali," gumamnya.
"Aku begitu mengkhawatirkannya," ujarku padanya. "Aku tak
pernah melihatnya kehilangan kendali seperti itu. Dia tak mau
mendengarkan kata-kataku. Dia tak mendengarkan seseorang yang
tujuannya hanyalah demi untuk menolongnya. Aku tak tahu apa yang
akan dilakukannya."
Aku menarik napas dalam-dalam. Kupaksakan diriku untuk
tidak menangis lagi. Sudah cukup banyak air mata yang terkuras,
kataku pada diriku sendiri. Lagi pula, menangis tidak menyelesaikan
persoalan.
Aku berusaha bangkit. Dan memandang ke arah jam beker.
"Pertemuan," gumamku.
Jasmine menyipitkan matanya padaku. "Pertemuan?"
"Rapat asrama," jawabku. "Tentang keamanan. Tentang apa
yang harus dilakukan berkaitan dengan pembunuhan." Aku menghela
napas dengan sikap pahit. "Aku bisa mengatakan pada mereka apa
yang harus dilakukan untuk mencegah pembunuhan-pembunuhan itu.
Aku tahu persis bagaimana menghentikannya—iya kan?"
Jasmine mengangguk pelan. "Ya. Kita semua tahu bagaimana
menghentikan pembunuhan ini."
"Bagaimana mungkin aku ikut rapat bodoh ini dan berpura-pura
tidak tahu apa-apa?" tanyaku padanya. "Bagaimana mungkin aku rapat
bersama mereka yang sedang ketakutan padahal aku tahu siapa
pembunuhnya? Padahal aku tahu bahwa pembunuhnya adalah orang
yang paling kusayangi?"
"Mungkin Eden benar," sahut Jasmine dengan suara berbisik.
"Mungkin kita tidak punya pilihan, Hope. Mungkin kita harus melapor
ke polisi dan memberitahu mereka tentang Darryl."
"Ohhhh." Aku mendesah letih. Tiba-tiba aku merasa begitu
lelah, begitu sakit dan lelah.
Kalau saja kami bisa kembali ke waktu dua minggu
sebelumnya. Kalau saja kami bisa memutar balik hidup kami kembali
ke waktu lampau. Kalau saja kami bisa kembali ke dua minggu lalu,
aku bisa mencegah Darryl sebelum dia membunuh Brendan. Aku bisa
mencegah Darryl. Juga mencegahnya membunuh Dave, teman Eden.
Dan dengan demikian kami semua akan bahagia kembali. Dan
dengan demikian kami akan hidup normal kembali.
Tapi untuk apa memikirkan hal yang mustahil.
Aku harus berhenti melamun. Dan berusaha mengambil
keputusan apa yang harus kulakukan dalam dunia nyata. Dunia yang
mendadak menjadi begitu menyeramkan.
Sambil menggelengkan kepala, aku menyeberangi kamar
menuju lemari pakaian dan mulai memilih baju yang akan kupakai.
Kuambil beberapa sweter. Kukenakan. Lalu aku mengempaskan pintu
lemari pakaian.
"Aku tak bisa," kataku pada Jasmine. "Aku tak bisa pergi. Tidak
mungkin. Aku—aku pasti akan menyesalinya nanti."
Jasmine mengangguk pelan tapi tidak menjawab.
Aku membayangkan Darryl. Wajahnya yang manis dan serius.
Dan sesuatu dalam batinku menyentak keluar.
Kurasa aku terlalu banyak memendam ketakutan dalam batinku.
Dan kini, semuanya memberontak keluar.
Aku menengadah sambil menjerit, jeritan seram dan lama. Yang
keluar bukan suara manusia, tapi lolongan hewan yang amat putus asa.
Lalu aku berjalan-jalan terburu-buru melewati Jasmine, nyaris
menubruknya. Aku berlari ke luar pintu dan berjalan di lorong asrama
yang panjang, bergabung dengan kerumunan cewek yang sedang
berjalan menuju ke tempat pertemuan.
"Hei—Hope!" aku mendengar namaku dipanggil. Melanie,
kurasa. ebukulawas.blogspot.com
Aku tidak menoleh. Aku terus berlari.
Aku berlari menuju tangga dan menuruninya, setiap kalinya aku
melompat dua undakan.
Aku mendengar namaku dipanggil. Teriakan terkejut.
Sepatuku berdebum keras setiap kali aku menginjak undakan
beton itu.
Turun, turun.
Dinding-dinding kelabu tampak kabur.
Ke mana aku pergi?
Aku tak tahu.
Aku hanya harus berlari.
Aku tak menyadari bahwa aku takkan pernah tinggal di Fear
Hall lagi.
Bagian Tujuh
ANGEL
BAB
28

UNTUK beberapa menit pertama, kubiarkan cowok itu


menciumku. Lalu kurengkuh bagian belakang lehernya dan membalas
ciumannya.
Bibirnya menekan lebih kuat. Lengannya yang kokoh memeluk
erat pinggangku.
Setelah beberapa menit, dia melepaskan ciumannya. Dia
tersenyum dan menarik napas dalam-dalam.
Kami berdua terengah-engah.
Jantungku berdegup kencang. Aku masih bisa merasakan
ciumannya. Asin sekaligus manis.
"Siapa namamu?" tanyanya, lengannya masih merangkul
pinggangku dengan erat.
Aku menyandar ke kap mobilnya dan memandang ke bulan di
langit. Udara dingin malam yang menyapu wajahku yang panas terasa
menyegarkan. Embun berjatuhan ke rambutku.
"Apakah kau tidak punya nama?" godanya.
"Angel," sahutku.
"Angel," ulangnya. Jarinya menelusuri pipiku. "Aku suka
namamu." Dia menyengir lebar. "Kau bergairah malam ini, Angel?"
Kutempelkan pipiku ke pipinya. "Mungkin," bisikku sambil
tersenyum padanya.
Kami berciuman kembali.
"Siapa namamu?" tanyaku dengan napas tersengal ketika kami
akhirnya melepaskan ciuman.
"Billy Joe," jawabnya sambil merapikan lengan sweter Ivy
State-nya. "Tapi semua orang memanggilku B.J."
Aku tertawa. "Kau dari Texas, B.J.? Orang- orang yang berasal
dari sana selalu dipanggil B.J. atau TJ. atau semacamnya."
"Oklahoma," sahutnya pelan. Ekspresi wajahnya mengeras.
Aku tahu dia tidak suka digoda.
Kumain-mainkan rambut pirangnya yang berantakan.
"Hei..." Dia menepis tanganku.
Aku menoleh ketika mendengar ada pintu mobil diempaskan
dekat-dekat kami.
Aku dan B.J. sedang berada di tempat parkir di belakang
deretan toko di kota. Tempat parkir yang gelap ini kosong. Mobil
yang kudengar pasti dari jalan, pikirku.
Aku merapatkan tubuhku ke B.J. Dia terasa begitu hangat dan
baunya enak. Aku begitu bahagia bisa menyingkir sejenak dari
kampus.
Menyingkir dari semua mahasiswa yang ketakutan.
Semua pembicaraan kalut tentang pembunuhan.
Semua ketakutan. Ketakutan yang mencekam.
"Kau selalu menarik cowok-cowok seperti ini?" tanya B.J.
sambil nyengir. Dia mengelus dan menyingkirkan rambut pirangku
yang lurus dari wajahku.
"Ya. Selalu," godaku.
Dia tertawa. "Dan mereka memanggilmu Angel?"
Aku mendorongnya dan menjauh beberapa langkah dari mobil.
"Aku suka kau," kataku padanya. "Karena senyummu, kurasa."
Aku pergi ke kedai kopi jauh dari kampus karena aku tidak tahu
lagi ke mana harus pergi. Aku tak ingin kembali ke asrama. Dan aku
tak ingin duduk-duduk di Student Union atau di perpustakaan.
Jadi aku pergi ke kedai kopi—Java Jim's. Aku sedang memesan
secangkir kopi di konter ketika kulihat B.J. berdiri di meja kecil dekat
jendela. Menatapku. Tersenyum padaku.
Tahu-tahu kami sudah saling berpelukan di Toyota tuanya,
berciuman di tempat parkir di belakang kedai kopi itu.
Aku butuh dia malam ini, pikirku.
Aku butuh seseorang memelukku. Seseorang yang membuatku
bahagia.
Seseorang yang membuatku lupa segala yang kutahu tentang
pembunuhan mengerikan di kampus.
Oke. Memang betul.
Aku sering melakukan hal ini. Aku bertemu cowok-cowok di
restoran, di bioskop, dan di toko. Dan ujung-ujungnya kami berkencan
di tempat parkir yang gelap.
Tapi apa ruginya?
Apa ruginya merasakan sedikit kehangatan, sedikit
kebahagiaan?
Hope pasti mengerti. Dia tahu bahwa kadang-kadang kita tidak
selalu bisa mengendalikan perbuatan kita. Kadang-kadang kita harus
menyerah pada perasaan kita.
Eden bilang aku hidup di alam khayal.
Tapi apa salahnya?
Aku kembali merapat ke tubuh B.J. "Di mana kau tinggal?"
bisikku. "Di asrama?"
"Tidak. Di apartemen tua di utara kampus," jawabnya. Dia
melingkarkan lengannya ke pinggangku lagi. "Aku ingin
menunjukkannya padamu, tapi... aku tinggal bersama dua orang lagi."
"Tidak apa. Aku suka di sini," sahutku. "Sangat nyaman."
Kami berciuman lagi.
Dan ketika kami berciuman, kudengar suara gesekan. Seperti
gesekan sepatu di atas beton.
Kubuka mataku. Dan kulihat sosok gelap berlari menyeberangi
tempat parkir. Tubuhnya membungkuk ke depan, tangannya terayun-
ayu di samping tubuhnya.
Kuangkat mukaku dari muka B.J.
"Darryl—!" seruku. "Apa yang kaulakukan di sini?"
"Hah?" Dengan cepat B.J. berbalik, dia nyaris tersandung.
Darryl berdiri dengan kaku, kakinya terbuka, tangannya
mengepal di samping tubuhnya. Seolah-olah mencari gara-gara.
Seakan-akan siap berkelahi.
"Darryl—untuk apa kau menguntitku?" teriakku, merenggut
lengan sweter B.J. Meremasnya. Meremasnya.
Darryl tidak berkata apa-apa. Matanya berkilat seram, pertama
ke arah B.J. kemudian ke arahku.
B.J. menarik lengan sweternya dan menatapku. "Angel—ada
apa ini?" tanyanya.
Aku masih memandang Darryl. Kulihat tubuhnya mengejang.
Kulihat tinjunya pelan-pelan diangkat.
"Darryl—kau tidak punya urusan di sini," jeritku. "Pergi sana—
sekarang! Sekarang juga!"
Darryl bergeming. Dia tidak berbicara. Dia tidak berkedip.
"Aku—aku tidak suka ini, Angel," kata B.J. seraya tergagap
sambil melangkah mundur. Matanya memancarkan perasaan takut.
"Darryl—pergi!" seruku. "Kau tak punya hak apa pun! Kau tak
berhak membuntutiku—mengintaiku! Apa pikirmu yang kaulakukan
ini?"
Darryl merengut dan meludah ke lantai beton. Dia mendekat ke
arahku dan B.J. dengan sikap mengancam.
"Ada apa ini?" tanya B.J. lagi. "Angel, aku tidak suka ini. Kau
membuatku takut. Sumpah."
Darryl tertawa dengan nada kejam. Dia mengangkat tinjunya,
matanya menatap B.J..
"Jangan—!" aku menjerit. "Jangan sakiti dia, Darryl!
Kuperingatkan kau—jangan sakiti dia!"
"Maaf," gumam B.J. "Kau benar-benar membuatku takut."
Dia mendorongku. Menyentakkan pintu mobil, duduk di
belakang kemudi, dan membanting pintu di belakangnya.
"Jangan—biarkan aku masuk!" lolongku. "B.J.—jangan
tinggalkan aku di sini bersamanya!"
Darryl mendongakkan kepalanya dan tertawa.
"B.J.—tolong!" jeritku. "Jangan tinggalkan aku!"
Aku mengetuk-ngetuk jendela mobil. Memukul-mukulnya
dengan tinjuku.
Tapi mobil B.J. meraung pergi. Aku melompat mundur supaya
tidak tertabrak.
"B.J.—tolonglah! Tolonglah!"
Mobil B.J melompati pinggiran tempat parkir. Terguncang-
guncang keluar tempat parkir Dan menghilang dengan suara
mendecit-decit.
Aku berbalik, dengan gemetar, menghadapi Darryl. "Sekarang
apa?" bisikku. "Apa yang akan kaulakukan padaku?"
Bagian Delapan
HOPE
BAB
29

AKU kembali asrama sekitar jam 23.00, bingung dan letih. Aku
melangkah masuk ke dalam lift, menekan tombol tiga belas—dan
mendengar seseorang memanggilku.
"Hope—!"
Aku menoleh dan melihat Melanie sedang berdiri di bagian
belakang lift. Dia sedang membawa kantong cucian yang besar sekali.
Kurasa dia baru akan naik ke kamarnya sehabis mencuci di ruang cuci
di basement.
"Hope, aku tak melihatmu di rapat asrama," omelnya.
Aku mengangkat pandanganku ke arah angka penunjuk lantai di
atas pintu. "Yeah. Aku tahu," sahutku. "Aku—aku harus pergi."
"Pertemuannya berjalan lancar," kata Melanie. "Kami sudah
mengeluarkan unek-unek kami kepada Dekan dan orang-orang bagian
keamanan."
"Bagus kalau begitu," gumamku.
Kenapa lift ini jalannya lama betul? Aku sama sekali tidak ingin
mengobrol dengan Melanie tentang masalah keamanan kampus.
"Mereka berjanji akan menempatkan petugas jaga ekstra,"
Melanie mencerocos terus. "Mulai besok."
Dia memindahkan kantong cuciannya ke tangan satunya.
"Meskipun begitu, banyak anak yang masih tetap ketakutan,"
lanjutnya. "Tidak ada yang ingin keluar malam. Sungguh
mengherankan. The Triangle jadi mirip kota hantu setelah jam 20.00."
Aku menggelengkan kepala. "Mengerikan," gumamku.
Kuangkat pandanganku ke angka penunjuk lantai. Delapan...
sembilan...
"Tahukah mereka siapa pembunuhnya?" tanyaku, berusaha
keras agar suaraku kedengaran biasa-biasa saja. "Sama sekali tidak
tahu? Apakah dia orang semacam orang gila begitu?"
Melanie menelan ludah. "Mereka tak tahu," jawabnya dengan
suara pelan. "Ini sangat mengerikan, betul tidak? Mereka tidak tahu
harus dimulai dari mana untuk menemukan pelakunya. Dia—dia bisa
di mana saja. Mungkin saja dia sedang bersembunyi di kampus
sekarang ini."
Aku berpura-pura mengedikkan bahu. "Maaf aku tidak
menghadiri rapatnya," gumamku. Kutahan pintu lift agar Melanie bisa
keluar dengan mudah. Dia menyeret kantong cucian dengan kedua
tangannya.
"Rasanya menyenangkan bisa mencuci," katanya sewaktu aku
mengikutinya berjalan sepanjang lorong. "Tahu kan? Membuat
pakaian jadi bersih dan harum. Aku jadi bisa melupakan pembunuhan
itu untuk sementara waktu."
Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku tak bisa melupakan
pembunuhan itu sesaat pun. Aku tidak bisa memikirkan hal lain sama
sekali.
Sepanjang malam aku berjalan tak tentu arah dalam udara
berkabut, tidak mampu berpikir, tidak bisa mengambil keputusan apa
pun.
Aku harus berbicara dengan teman-teman sekamarku, putusku.
Aku ingin mengadakan rapat untuk kami pribadi.
Aku ingin mendengar apa pendapat Angel, Jasmine, dan Eden.
Aku ingin tahu bagaimana perasaan mereka sekarang. Tentang Darryl.
Tentang keinginan untuk menyerahkan dia ke polisi.
Aku tahu aku tak bisa terus-terusan begini.
Aku tak bisa menyimpan rahasia mengerikan ini lebih lama
lagi.
Jika teman-teman sekamarku sepakat untuk melapor ke polisi,
aku takkan mencegah mereka. Akan kubiarkan mereka melaporkan
Darryl.
Ini akan membuatku sangat sedih. Tapi aku takkan menahan
mereka.
Aku mengambil napas panjang. Mendorong pintu kamar 13-B.
Dan melangkah masuk.
BAB
30

KAMARKU gelap dan kosong. Kutekan tombol lampu. Lalu


kubuka jendela agar udara segar bisa masuk. Aku memeriksa tangga
darurat di dekat jendela. Kukira aku sedang memastikan bahwa Darryl
tidak bersembunyi di sana.
Kau jadi paranoid, Hope, omelku pada diriku sendiri.
Kenapa Darryl harus bersembunyi darimu?
Merasa tegang dan kesal dan sedikit takut, aku pergi ke kamar
mandi dan mandi berlama-lama.
Air yang hangat terasa begitu menyegarkan. Aku merasakan
dorongan untuk mandi sebersih mungkin. Untuk mengguyur semua
perasaan bersalah dalam hatiku. Untuk mengguyur semua rahasia
kotor tentang Darryl.
Setelah mandi, kukenakan sweter bersih dan celana jins yang
bersih. Kusisir rambutku lama-lama sembari memandangi wajahku di
cermin. Berpikir... berpikir keras apa yang harus dilakukan.
Ketiga teman sekamarku muncul beberapa menit kemudian.
Angel masuk dengan lipstik belepotan, rias matanya mengotori
pipinya.
"Dari mana kau?" tanyaku.
Dia mengangkat bahu. "Tidak ke mana-mana. Hanya keluar."
Lalu dia menambahkan, "Aku bertemu seorang cowok."
"Jadi apa yang baru?" sela Eden sembari melirik ke sana
kemari.
Jasmine tidak berkata apa-apa. Dia duduk di tepi tempat
tidurnya dan dengan wajah tegang sedang memain-mainkan sejuntai
rambutnya yang pirang.
"Darryl brengsek itu mengikutiku," kata Angel sambil
bersungut-sungut. Dia mengaca di depan cermin lemari. Dia mulai
membersihkan rias matanya dari pipinya dengan sehelai tisu.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Kita harus membicarakan
masalah Darryl," ujarku. Aku menarik kursi meja tulis dan duduk di
sana dengan posisi menghadap punggung kursi. Kutatap ketiga
temanku.
"Ya. Harus," Angel menyetujui. "Dia kehilangan kendali, Hope.
Ini harus dihentikan."
Kucengkeram punggung kursi dengan kedua tanganku.
"Menurutmu apa yang harus kita lakukan?" tanyaku.
Ketiga-tiganya mulai bicara dengan serempak.
"Sudah sejak mula, aku bilang bahwa kita harus menelepon
polisi," kata Eden. "Aku tahu ini sangat sulit buatmu, Hope."
"Kita semua tahu betapa sulitnya hal ini," Angel menyetujui.
"Tapi dia sudah membunuh dua orang. Dan dia membuntuti kita ke
mana-mana."
"Dia akan membunuh lagi," ujar Jasmine dengan suara rendah.
"Kita tidak mau bertanggung jawab untuk perbuatan itu."
"Dia benar," kata Eden dengan bernafsu. "Kalau sekali lagi ada
yang terbunuh gara-gara Darryl, ini akan menjadi salah kita. Kita akan
sama salahnya dengan dia. Karena kita tidak menyerahkannya."
Aku menelan ludah. Mereka semua telah sepakat mengenai apa
yang harus kami lakukan. Mereka sepakat untuk memberitahu polisi
tentang rahasia kami.
Tapi bisakah aku melakukannya?
Mungkinkah aku menelepon polisi dan melaporkan orang yang
paling kucintai di dunia ini?
"Mungkin aku bisa membicarakannya dengan Darryl," ujarku,
berusaha dengan upaya terakhir untuk menyelamatkannya. "Mungkin
aku bisa meyakinkan dia untuk mendapatkan pertolongan."
Eden mengeluh. "Mereka tak bisa membantu apa-apa," katanya
sambil menggeleng.
"Dia takkan mau mendengarkanmu," kata Angel dengan
lembut. "Kau tahu dia takkan mendengarkan omonganmu, Hope. Tak
pernah. Kalau kau mencoba menasihatinya, dia akan marah lagi."
"Ingatlah ketika saat terakhir kau mencoba membantunya,"
tambah Eden. "Dia memakimu—ya kan? Dia menyebutmu dengan
julukan yang menyakitkan."
Ya. Ya, memang.
Kata-katanya membuatku mengingat kembali kejadian itu.
Kulihat lagi kemarahan Darryl. Mendengar dia mengucapkan kata-
kata tak pantas kepadaku. Melihatnya memandangi jendela kamarku
dengan wajah penuh kebencian. Dan kurasakan sakit hati menyelimuti
diriku.
"Kalau kau mencoba membantunya," lanjut Eden. "Tidak ada
gunanya memberinya nasihat apa yang harus dilakukannya."
"Dia sangat berbahaya," gumam Jasmine. Dia mengedikkan
bahu.
Aku mendengar suatu suara di lorong. Dengan napas tertahan,
aku menoleh ke arah pintu, berharap Darryl muncul.
Tapi itu cuma seseorang yang lewat di depan kamar kami.
Aku mengambil napas panjang. Mulutku terasa amat kering.
"Baik," bisikku. "Kita tidak bisa hidup dengan ketakutan seperti ini.
Bertanya-tanya perbuatan kejam apa lagi yang akan dilakukan Darryl.
Siapa yang akan disakitinya. Siapa yang akan dibunuhnya."
Kucengkeram sandaran kursi dengan lebih erat lagi, begitu
kencangnya sampai-sampai tanganku sakit. "Oke. Oke. Oke. Oke,"
kataku berulang-ulang. "Kita harus menelepon polisi. Kita harus
menghentikan mimpi buruk ini."
Kuarahkan pandanganku ke pesawat telepon di atas meja.
Pesawat itu hanya beberapa kaki jauhnya dari tempatku duduk. Tapi
kusadari aku tak bisa melakukannya.
Aku tak mau menjadi orang yang menyerahkan Darryl.
"Eden—maukah kau yang menelepon?" tanyaku.
Dia mengangguk sambil cemberut. "Baik." Dia bangkit dari
kursinya dan berjalan bergegas ke arah pesawat telepon. "Baik, Hope.
Aku yang menelepon."
Dia mengangkat gagang telepon.
Dan seseorang mengetuk pintu kamar keras-keras.
BAB
31

JASMINE menjerit. Eden menggenggam erat gagang telepon


dan menoleh ke arah pintu. Aku terlompat.
"Siapa—siapa itu?" aku berusaha berteriak, tapi suara yang
keluar hanyalah bisikan.
"Itu bukan Darryl," kata Eden sambil mengerutkan dahi. "Dia
tidak pernah mengetuk. Dia langsung menerobos masuk."
Dia benar. Aku menarik napas dalam dan berjalan menuju
pintu. Aku membukanya sedikit.
Dan kulihat Ollie, petugas jaga malam.
"Ada masalah?" tanyaku.
"Ada seorang pemuda menitipkan ini," jawab Ollie. Dia
mengangsurkan sehelai jaket. Milik Angel. "Apakah ini punyamu?
Dia bilang seorang gadis berambut pirang meninggalkannya di
mobilnya."
Jadi Angel telah berkencan di mobil bersama seorang cowok,
pikirku. Mungkin berkencan di tempat parkir mobil, yah begitulah
Angel.
"Ini jaket teman sekamarku." Kuambil jaket tersebut dari tangan
Ollie. "Terima kasih banyak. Akan kuberikan padanya," kataku.
Dia menganggukkan kepala botaknya dan kembali menuju lift.
Aku menutup pintu di belakangku dan kembali memandang
teman-teman sekamarku. Eden sedang berbicara di telepon.
Kulemparkan jaket Angel kepadanya. "Kau lupa
membawanya," kataku.
"Ssstt." Eden meletakkan jarinya di bibirnya. "Aku sedang
berbicara dengan seorang sersan polisi."
Aku mendekatinya, jantungku tiba-tiba berdegup kencang.
Apakah kami melakukan hal yang benar?
Ya. Akhirnya. Kami akhirnya melakukan hal yang seharusnya
sudah lama kami lakukan.
Kasihan Darryl...
Pacarku yang manis...
"Ya. Saya ada di kamar 13-B," Eden sedang memberitahu
petugas yang menerimanya. "Teman sekamar? Ya. Saya sekamar
berempat." Dia menyebutkan nama-nama kami.
"Nama anak itu Darryl Hoode," lanjut Eden. Dia
memandangku. "Dia tinggal di lantai dasar Fear Hall," lapornya. "Ya.
Di lantai khusus mahasiswa putra."
Aku mendengar suara berderak di belakang jendela. Angin
menerpa pagar tangga darurat.
"Tolong cepat datang," kata Eden pada polisi. "Kami—kami
tidak tahu di mana Darryl berada saat ini. Tapi dia benar-benar
berbahaya. Tolong—kami sangat ketakutan. Kami berempat—sangat
ketakutan."
Dia meletakkan pesawat telepon dan kembali memandang kami.
Dagunya bergetar. Mukanya pucat.
"Ber—berhasil," serunya.
"Apa yang dikatakan polisi?" tanyaku sambil menahan napas.
"Apakah dia bilang akan mengirim orang?"
Eden mengangguk. "Dia menyuruh kita mengunci pintu
kamar," katanya. "Dia bilang agar kita jangan membukanya untuk
siapa pun—sampai mereka datang."
"Tapi—pintunya tidak bisa dikunci!" seru Jasmine. "Kuncinya
rusak!"
"Tidak usah panik. Mereka akan datang dalam waktu sepuluh
menit," tukas Eden. "Kita akan baik-baik saja, Jasmine. Kita harus..."
Dia menghentikan kata-katanya dengan mulut terbuka sewaktu
kami mendengar suara berderak-derak di belakang jendela.
Kami semua menoleh—dan melihat Darryl memanjat dari
tangga darurat.
"Ada apa?" tanyanya.
BAB
32

"DARRYL—apa yang kaulakukan di sana?" tanyaku. Aku


berusaha agar suaraku tetap tenang. Normal. Aku tak mau
membangkitkan kecurigaannya.
Dia menyeringai dengan sikap mencurigakan. "Tak usah
dipikirkan," sahutnya. "Apa yang kaulakukan di sini?"
"Aku—aku tak tahu apa maksudmu," jawabku tergagap.
Dia melangkah masuk ke dalam kamar. Dan menoleh ke arah
Eden. "Hai, Eden," katanya dengan kehangatan yang berlebihan.
"Bagaimana kabarmu?"
Eden beringsut mundur sewaktu Darryl bergerak menuju ke
arahnya. "Ada masalah apa?" tanyanya.
"Untuk apa kau menelepon?" tanya Darryl. Senyumnya
menghilang. Matanya berkilat marah.
"Jangan ganggu Eden, Darryl," aku memperingatkannya. Aku
sudah berusaha agar suaraku terdengar tegas, tapi suaraku gemetaran.
"Untuk apa menelepon, Eden?" ulang Darryl, tetap berjalan
menuju Eden. Dia mendorong Eden ke belakang. Ke arah jendela.
"Untuk apa menelepon?"
"Darryl—tunggu!" seru Eden.
"Kaupikir aku tidak mendengarnya?" teriak Darryl, tiba-tiba
dilanda amarah. "Kaukira aku tidak di luar sana tadi? Kaupikir aku tak
tahu kau berusaha menelepon?"
"Darryl—mundur!" seruku. "Jangan sentuh Eden! Kami semua
memutuskan..."
Dia meraung marah.
Eden mengangkat tangannya untuk melindungi dirinya sendiri.
"Tega-teganya kau?" raung Darryl. "Sampai hati kau
melaporkan aku ke polisi?"
"Darryl—kami putuskan kami tidak punya pilihan lagi," ujarku.
"Kami tidak boleh membiarkanmu..."
Aku tidak sempat meneruskan ucapanku.
Aku justru menjerit ketakutan ketika melihat Darryl merenggut
Eden.
"Lepaskan! Lepaskan dia!" jerit Angel.
Eden membuka mulut untuk berteriak.
Tapi Darryl langsung membungkamnya.
Lengan Darryl yang satunya memegang erat pinggangnya. Dia
memegang Eden dari arah belakang.
"Lepaskan! Jangan lakukan! Jangan!" jeritku.
Matanya berubah liar. Dia meraung. Dia mengangkat Eden dari
lantai.
Mengangkatnya. Mengangkatnya.
Mengangkatnya di atas kepalanya dengan kedua tangannya.
Eden menggeliat-gejiat dan memukul-mukulkan lengan dan kakinya.
"Lepaskan dia!"
"Turunkan dia!"
Dia mengangkat Eden lebih tinggi lagi. Memegangnya di atas
kepalanya.
Dan kemudian menjatuhkannya ke atas lututnya yang
dinaikkan.
Aku mendengar suara krek yang membuat merinding.
"Ohhh." Erangan kesakitan keluar dari kerongkongan Eden.
Dia meremukkan punggung Eden.
Dia meremukkan Eden. Jadi dua.
Mata Eden mendelik ke atas. Dia jatuh dengan kepala terlebih
dahulu.
Dan kemudian, dengan meraung keras-keras, Darryl kembali
mengangkat tubuh Eden.
Kali ini Eden tidak memberontak. Kali ini dia tergantung
lunglai di lengan Darryl.
Darryl mengangkat Eden kembali, mengangkat dia. Lengan
Eden tergantung lunglai. Mulutnya ternganga. Matanya terpejam.
Mengangkatnya. Mengangkatnya.
Dan melemparnya keluar melalui jendela yang terbuka.
Sedetik kemudian, kudengar suara buk dari trotoar di bawah.
Tiga belas lantai dari atas sini.
"Tidaaaaaak!" Lengking ngeri keluar dari paru-paruku.
Jasmine menangis. Angel menatap dengan mulut ternganga,
tubuhnya membeku.
"Tidaaaaaaak!"
Aku menghambur ke arah Darryl. "Kau membunuhnya! Kau
membunuh Eden!" jeritku.
Kurenggut bagian depan kemeja flanelnya.
Dia menatap marah ke arahku, membungkuk, napasnya pendek-
pendek seperti seekor binatang. Seperti binatang buas.
Dengan kemarahan yang amat sangat kutarik kemejanya dengan
kedua tangan. Tanganku terulur siap mencakar mukanya.
Meleset.
Dia berkelit. Dan berhasil membebaskan diri.
"Kau membunuh Eden! Kau membunuh Eden!" jeritku.
Darryl yang masih terengah-engah mengangguk. Rambut
berantakan. Matanya membelalak. Keringat mengalir deras di
keningnya.
Aku menghambur ke arahnya lagi. Aku ingin menyakitinya.
Aku ingin membunuhnya.
Dia mengelak. Melompat ke arah ambang jendela. Dan
melompat keluar.
Dia mendarat di tangga darurat.
Dan lenyap.
"Dia membunuh Eden. Dia membunuh Eden..." ulangku.
Jasmine menangis, tangannya menutupi wajahnya. Angel masih
tetap tak bergerak. Terdengar pintu diketuk.
Dan ada suara berteriak, "Polisi."
BAB
33

"OH—"
Petugas polisi menggedor pintu.
Aku menoleh ke arah jendela. Ruangan seperti berputar.
Lantainya miring.
Aku melihat wajah Eden yang ketakutan lagi. Dan sekali lagi
kudengar bunyi krek yang mendirikan bulu roma ketika Darryl
meretakkan punggung Eden.
Jasmine dan Angel kini berdiri. Keduanya saling berdempetan
dan lengan mereka saling melingkar.
Wajah mereka tampak kabur. Kamar tampak amat kabur dan
mulai gelap.
Aku akan pingsan, pikirku.
"Jangan—!"
Kupaksa diriku agar tetap mampu berdiri.
Aku berusaha bergerak menuju pintu—tapi sesuatu menahanku.
Suatu kekuatan yang tak tampak memaksaku untuk tetap
berdiam diri.
Rasa takutku? Pemandangan mengerikan yang baru
kusaksikan?
Aku pasti mengalami syok.
"Buka! Polisi!" seru suara di luar.
"Cepat..." bisikku pada Angel dan Jasmine. "Ayo, cepat..."
Aku bergerak menuju jendela.
"Cepat..." ulangku.
Kuangkat lututku ke atas ambang jendela. Pemandangan malam
segera menyambutku.
Semuanya tampak buram. Langitnya. Bintangnya. Bangunan-
bangunan kampus di sekitarnya.
Buram sekali.
Aku melompat ke tangga darurat. "Buruan," bisikku.
Dan kedua teman sekamarku bergabung denganku di tangga
besi yang sempit.
Kami memegang pegangan tangga. Punggung kami menempel
pada dinding bata.
Dan mendengar ketika pintu dibuka.
Aku mengintip ke dalam dan melihat dua orang polisi
berseragam gelap. Diikuti oleh Melanie.
Mereka memandang ke arah jendela yang terbuka. Aku menarik
tubuhku sebelum mereka melihatku.
Jantungku berdebar-debar, kutempelkan punggungku ke
dinding dan berusaha mendengarkan percakapan mereka.
"Kami menerima telepon dari seorang gadis bernama Eden,"
ujar polisi pada Melanie.
"Hah?" Kudengar reaksi Melanie yang terkejut. "Dia bilang
namanya siapa?"
"Eden," ulang sang polisi.
"Eden? Saya tidak mengenal gadis bernama Eden di sini," sahut
Melanie. "Anda yakin memang itu nama yang disebutkannya?"
Polisi tersebut terdiam sesaat. Kemudian dia berkata, "Ya.
Eden. Dia bilang dia dan ketiga teman sekamarnya menempati kamar
13-B."
Hening lagi.
Kemudian Melanie berkata, "Teman sekamar? Dia bilang dia
menempati kamar 13-B bersama teman sekamarnya?"
"Ya, benar," jawab sang polisi sambil berkomat-kamit.
"Yang tinggal di sini adalah gadis bernama Hope, Pak," ujar
Melanie padanya. "Tapi, lihat—ini kamar untuk satu orang. Satu
tempat tidur—benar, kan? Hope tidak punya teman sekamar. Dia
tinggal di sini sendirian."
BAB
34

AKU mendengar langkah-langkah kaki. Lebih banyak suara.


Aku mengintip ke dalam kamar dan melihat Margie dan Mary
di dalam kamar. Ketiga gadis itu berbicara berbarengan sehingga
kedua petugas polisi itu meminta mereka untuk diam.
"Satu-satu," salah satu polisi itu berkata dengan tak sabar. Aku
melihat dia memeriksa buku notesnya yang kecil. "Kalau Angel dan
Jasmine?" tanyanya pada ketiga cewek tersebut.
Mereka semua menggelengkan kepala. "Saya tidak mengenal
ada gadis yang namanya demikian," kata Melanie.
"Hope orangnya aneh," tambah Margie. "Dia selalu tampak
sedang bercakap-cakap dengan seru. Kadang-kadang kami mendengar
dia bercakap-cakap sampai larut malam. Tapi dia selalu sendirian di
sini."
"Dia bekerja di sebuah restoran," ungkap Melanie. "Campus
Corner, di Pine Street. Dia pelayan di sana. Suatu kali saya pernah
melihatnya duduk di salah satu meja, bercakap-cakap sendirian.
Akhirnya, bosnya sampai perlu memanggilnya supaya dia kembali ke
dapur."
"Hmmm." Kulihat polisi tersebut menulis sesuatu di notesnya.
"Aku melihat Hope di kafeteria beberapa waktu lalu," Margie
menimbrung. "Dia duduk di sana berbicara sendirian. Aneh sekali."
"Beberapa kali saya bertanya padanya apakah dia baik-baik
saja," ujar Melanie pada petugas polisi. "Maksud saya, saya kira dia
mungkin membutuhkan pertolongan. Tapi dia tidak pernah mau
membicarakannya dengan saya."
Margie melihat ke arah jendela. Kutarik kepalaku.
"Kalau pemuda ini, Darryl?" polisi yang satunya bertanya pada
Trio M.
"Siapa? Darryl?" sahut Melanie. "Saya tidak mengenal pemuda
bernama Darryl. Apakah dia mahasiswa Ivy State?"
"Kami diberitahu bahwa dia tinggal di lantai dasar," ujar
petugas polisi itu. "Di lantai khusus untuk mahasiswa putra."
Margie dan Mary tertawa tergelak-gelak. "Tidak ada mahasiwa
putra di asrama ini!" seru Mary.
"Tidak ada lantai untuk mahasiswa putra," sambung Melanie.
"Ini asrama khusus putri."
"Ya ampun!" seru Mary. "Jangan-jangan Hope mengarang
sendiri orang-orang itu. Jangan-jangan,dia membayangkan mereka."
"Tampaknya ada orang gila di sini," kata salah satu polisi itu.
"Orang gila yang berbahaya."
"Mungkin dia berkepribadian ganda," sahut partnernya.
"Mungkinkah gadis bernama Hope ini adalah keempat gadis itu? Dan
juga Darryl?"
"Mungkin saja," kata polisi yang satunya dengan pelan.
"Pertanyaannya adalah—apakah Hope yang membunuh kedua
pemuda itu? Mereka bukan khayalan. Keduanya nyata. Dan mereka
dibunuh oleh orang yang nyata."
"Kita harus segera menemukan Hope—segera," kata
partnernya.
"Aku tahu Hope memang gila!" Kudengar seruan Margie.
"Tapi mungkinkah dia pembunuhnya?" kata Melanie.
Aku tidak mau mendengar lebih banyak lagi.
Aku merasa begitu marah—amat sangat marah—aku ingin
melompat kembali ke dalam kamar dan mencekik Melanie dan dua
teman sekamarnya dengan tangan kosong.
Betapa teganya mereka berbicara tentang aku seperti itu.
Sungguh-sungguh tak berperasaan.
Kutempelkan punggungku ke dinding bata dan menoleh ke arah
Angel dan Jasmine. "Mereka tidak akan menemukan kita—ya kan,
kawan-kawan?" bisikku. ebukulawas.blogspot.com
Mereka berdua menggelengkan kepala.
"Dan pada saat polisi menemukan kita," lanjutku, "Melanie dan
kedua temannya sudah mati. Mereka harus mendapatkan balasan
karena telah mengata-ngatai kita gila. Mereka akan mendapatkan
balasannya—ya kan?"
"Ya," bisik Jasmine.
"Ya," sepakat Angel.
"Ya kan, Darryl?" bisikku. "Kita akan membalas perbuatan Trio
M—ya kan, Darryl?"
Dia muncul di sebelahku. Dia selalu muncul kapan pun aku
ingin.
Itulah salah satu alasan mengapa aku sangat mencintainya.
Pada saat aku membutuhkannya, aku cukup memikirkan tentang
dia—dan secara ajaib dia muncul.
"Kita akan membalas mereka—ya kan, Darryl?" ulangku.
"Ya," bisik Darryl di telingaku.
Dan kemudian aku mendengar teriakan keras dari dalam kamar.
Dan salah satu polisi itu berseru, "Itu dia! Di tangga darurat! Tangkap
dia!"
bersambung

Anda mungkin juga menyukai