HOPE
BAB
1
TUBUHKU membeku.
Jantungku serasa berhenti berdetak.
Aku melihat seberkas cahaya putih. Rasanya aku benar-benar
berhenti bernapas.
Suara ketukan beruntun bernada mendesak segera membuatku
tersadar. Aku menarik napas panjang—dan mendorong Darryl ke
dalam lemari pakaian. "Cepat—masuk!" perintahku.
Dia tersandung tumpukan pakaian kotor di tengah lantai.
Kemudian meraba-raba pintu lemari dan menyelinap masuk.
Aku berpaling ke arah pintu.
Bagaimana mungkin polisi ke sini begitu cepat? Aku bingung.
Kok mereka bisa tahu kalau Darryl sembunyi di kamarku?
Suara ketukan kembali datang bertubi-tubi.
"Siapa itu?" tanyaku tanpa bernapas.
"Ini aku—Melanie," jawab suara di luar.
Salah satu dari gadis-gadis yang suka ikut campur yang tinggal
di kamar 13-A seberang lorong. Trio M—Melanie, Mary, dan Margie.
Aku sama sekali tidak suka pada mereka.
Ketiga gadis itu merupakan tipe orang yang puas diri dan
merasa superior. Betul-betul tipe preppie. Maksudku, dari jenis yang
paling payah. Mereka semua lulusan SMU swasta yang mahal. Dan
mereka benar-benar merendahkan anak-anak lulusan SMU negeri
seperti aku dan teman-teman sekamarku.
Beberapa kali aku mengalami kejadian tak enak dengan
Melanie. Beberapa minggu yang lalu, terjadi kekacauan di tempat cuci
pakaian. Entah bagaimana dipikirnya aku yang telah mencuri sweter
sutranya.
Itu salah besar. Tapi dia dengan jahatnya menuduhku demikian.
Kayak aku suka dengan sweter J. Crew-nya yang jelek itu.
Aku pikir kami berteman di asrama itu. Maksudku, kok bisa-
bisanya dia menuduhku mencuri?
Dia dan teman sekamarnya Mary sama-sama masuk tim renang.
Dan mereka suka memamerkan tubuh mereka yang ramping dan
sempurna. Seakan-akan mereka hiu putih yang elok dan kami-kami
yang lain adalah ikan teri atau semacam itu.
Benar-benar menyebalkan.
Aku benci mereka. Sungguh-sungguh benci. Terutama pada
Melanie.
Dan sekarang inilah dia, mengetuk-ngetuk pintu kamarku
dengan tak sabar di tengah malam, seperti biasanya mau memata-
matai.
Aku mengecek untuk memastikan bahwa pintu lemari pakaian
tempat Darryl bersembunyi benar-benar telah tertutup. Lalu aku
membuka pintu kamar.
"Apa semua baik-baik saja?" tanya Melanie. Dia mengenakan
mantel mandinya yang berwarna hijau dan terbuat dari sutra, tampak
sempurna seperti biasanya—bahkan pada jam 01.00.
Rambut Melanie berwarna cokelat, lurus, dengan poni
menghiasi keningnya. Bahkan poninya pun tetap lurus sempurna. Di
balik bajunya yang mengilat, aku dapat melihat pundaknya yang lebar
dan kuat berkat latihan berenang.
"Yeah. Semua baik-baik," sahutku kaku. Dia tahu aku tidak
menyukainya. Jadi, untuk apa menyembunyikannya?
"Aku mendengar suara ribut-ribut," jawab Melanie. Matanya
mencoba-coba melirik ke arah dalam kamar.
Aku tahu dia pasti ingin masuk ke dalam. Jadi, aku berdiri di
tengah-tengah pintu, menghalangi jalannya.
"Suara itu membuat kami terbangun," dia menambahkan, dia
menunjuk dengan kepalanya ke arah kamarnya di seberang lorong
yang berkarpet warna gelap. "Kupikir siapa tahu kau kenapa-kenapa."
Dia tak jera berusaha melihat ke dalam kamar. Aku sengaja
menghambat jalannya.
"Maaf kalau kalian terbangun," sahutku. "Tadi cuma obrolan
tengah malam yang biasa kami lakukan."
Dia menyipitkan matanya. Memandang dengan tatapan
menyelidik.
"Kadang-kadang kami mulai tertawa-tawa dan saling olok
sampai lupa kalau hari sudah larut malam," tambahku. Aku tersenyum
dan mengangkat bahu. "Maaf saja."
Melanie tetap menatapku tajam. Seolah-olah dia berusaha
mencari tahu dari mataku kalau-kalau aku berbohong.
Aku menatap lantai.
"Kau... eh... betul-betul tidak butuh bantuan?" dia bertanya
pelan.
Aku menggeleng.
Aku berpikir-pikir apakah Darryl tidak kekurangan udara di
dalam lemari pakaian. Lemari itu sempit sekali, dan penuh dengan
baju kami berempat.
Aku ingin tahu apa yang dipikirkannya di dalam sana. Aku
belum pernah melihatnya begitu ketakutan dan lepas kontrol
sedemikian rupa.
Aku ngeri.
Kasihan Darryl. Selalu cemburu kapan saja. Mungkin karena
dia terlalu perhatian kepadaku.
"Baiklah kalau begitu. Aku cuma ingin mengecek," ujar
Melanie. "Mary belum pulang. Tapi aku dan Margie agak ketakutan.
Maksudku, aku mendengar ribut-ribut di sini, dan..." Suaranya
menggantung.
Aku hanya memandangnya.
Dia bergerak mundur. "Oke, selamat malam, Hope."
Aku mau mengucapkan selamat tidur.
Tapi suara jerit ketakutan yang penuh kengerian membatalkan
niatku.
BAB
5
"EDEN, sedang apa kau?" tanya Hope dari sisi seberang kamar.
"Merajut kaus kaki. Memangnya aku kelihatannya sedang
ngapain?" jawabku dengan sarkastis.
Dia tahu betul apa yang sedang kukerjakan. Aku sedang
membungkuk di meja tulisku yang kecil, menulis surat ke ibuku.
Tapi Hope selalu meremehkan apa pun.
Dia menyeberangi kamar dan berdiri di belakangku, membaca
suratku. Aku menyembunyikannya ke dadaku.
Hope tertawa. Tawa pahit. "Eden, kau memang anak baik,"
katanya. "Menulis surat ke Mom."
Aku diam saja. Aku tahu Hope tidak cocok dengan ibunya. Dia
selalu bercerita pada Angel, Jasmine, dan aku mengenai kisah masa
kecilnya yang tidak menyenangkan.
Di belakangku, Jasmine telentang di tempat tidurnya, wajahnya
tenggelam di balik buku teks, seperti biasanya. Aku tidak tahu di
mana Angel. Mungkin sedang berkencan. Itu tebakan paling aman.
Hope menghela napas. Aku mulai menulis lagi, tapi dia tidak
beranjak. "Tahu tidak apa panggilan yang diberikan ibuku buatku?"
tanyanya. "Tahu nggak julukanku kalau di rumah?"
"Tak mungkin lebih jelek ketimbang si Ikan," sahut Jasmine.
Aku menoleh dan mendapati ekspresi getir di wajah Hope. "Dia
menyebutku Tong Lemak," ujarnya sembari mengatupkan gigi.
"Apa?" teriakku, bolpoinku sampai terjatuh. "Kenapa Tong
Lemak?"
Mata Hope berkaca-kaca, seakan-akan dia akan menangis.
"Karena aku gendut," jawabnya. "Padahal aku sama sekali tidak
gemuk. Aku cuma sedikit montok. Seperti aku sekarang ini."
"Dan ibumu memanggilmu Tong Lemak?" tukasku. "Kapan
pun?"
"Biasanya kalau ada temanku di dekat-dekatku," sahut Hope.
Dia berpaling dan menghapus air matanya. Dia tidak ingin aku
melihat betapa menggusarkannya kenangan tersebut.
Dalam beberapa hal, Hope sangat tertutup.
Jasmine mengangkat kepalanya dari buku. "Dia melakukan itu?
Sungguh? Ibumu memanggilmu dengan julukan itu di depan teman-
temanmu?"
Hope mengangguk. "Dia suka mempermalukanku. Cuma itu
hobinya."
Dia menghela napas lagi, menyilangkan lengannya di depan
sweter birunya, dan mulai melangkah di kamar mungil kami. Aku
mengikuti gerakannya dengan mataku.
Hope tampak tidak sehat. Rambutnya berantakan. Wajahnya,
yang normalnya berwarna kemerahan, kini berwarna kekuningan.
Matanya kelihatan basah dan muram.
Aku tahu, dia benar-benar bingung dan khawatir soal Darryl.
Aku selalu tahu. Setiap kali Hope cemas akan Darryl, dia mulai bicara
tentang ibunya.
Pokoknya dua orang itu selalu memenuhi pikirannya. Dua
orang yang berkarakter payah, kukira.
Namun aku baru tahu bahwa Hope betul-betul khawatir soal
Darryl.
"Aku tidak habis mengerti kenapa Mom memberiku julukan
seperti itu," ujar Hope, sembari mondar-mandir dalam kamar. "Tapi
itu bukan hal paling buruk yang dilakukannya."
Aku sadar Hope tidak sedang bicara pada aku dan Jasmine.
Sebetulnya dia bicara pada dirinya sendiri.
Jasmine memalingkan muka dan kembali menekuni bukunya.
Tapi aku mengalihkan pandangan dari meja tulis untuk mendengarkan
Hope.
"Mom begitu terobsesi dengan berat badanku," lanjut Hope,
kepalanya menggeleng-geleng. "Mom sangat kurus seperti tiang
listrik. Sungguh. Dia sama kurusnya dengan Angel. Dan aku tak habis
pikir kenapa dia sangat terganggu punya anak gendut. Siapa tahu aku
mirip ayahku atau sesuatu. Aku tidak tahu."
Jasmine mendongak kembali. "Kau tidak tahu bagaimana rupa
ayahmu?"
Hope menggeleng. "Aku tidak pernah ketemu dengannya. Dan
Mom tidak punya fotonya sama sekali." Dia tertawa getir dan mulai
mondar-mondir lagi.
"Suatu hari aku membawa tiga temanku ke rumah sepulang
sekolah," lanjut Hope. "Kalau tidak salah waktu aku kelas empat atau
kelas lima. Aku lupa."
Dia terdiam sejenak, kemudian melanjutkan ceritanya. "Waktu
itu hari panas sekali, dan kami semua kelaparan. Jadi aku mengambil
kotak es krim yang berisi 2,5 liter dari kulkas. Dan membagi teman-
temanku masing-masing satu mangkuk besar es krim cokelat.
"Lalu, kami semua makan ramai-ramai di dapur. Kami baru saja
makan es krim ketika Mom muncul. Dia memandang semua temanku.
Begitu melihat aku makan es krim, amarahnya langsung meledak.
"Dia berteriak-teriak dan memaki-maki, menyebutku Tong
Lemak di depan teman-temanku. Lalu dia merebut mangkuk es krim
mereka. Mengambil semua es krim temanku dan menyorongkan
semua mangkuk itu ke hadapanku.
'"Kau suka es krim, kan?' jerit Mom. 'Kalau begitu, nih—makan
semua.'
"Dia mendesak dan memaksaku untuk menghabiskan keempat
mangkuk es krim itu," lanjut Hope, mulutnya bergerak-gerak marah
sewaktu dia mengingat cerita itu.
"Teman-temanku ingin pergi. Maksudku, ibuku membuat
mereka ketakutan! Tapi ibuku memaksa mereka tetap di tempat dan
menontonku.
"Aku mulai menangis. Tapi Mom tidak peduli. Dia tetap
memaksaku makan meskipun aku menangis. Dia memaksaku makan
keempat mangkuk es krim itu sementara teman-temanku memandang
dengan muka syok.
"Lalu, ketika aku selesai menelan suapan terakhir, Mom
merenggut kepalaku—dan menyorongkan mukaku ke depan kotak es
krim. Dia menekankan kepalaku ke dalam kotak itu dan memaksaku
memakan sisa es krim yang ada dalam kotak. Memaksaku untuk
menjilatinya—seperti anjing—sampai seluruh es krim itu habis."
Aku terperangah. "Kau bercanda!"
Tapi dari ekspresi mukanya aku bisa melihat bahwa dia tidak
bohong. Cerita mengerikan itu memang nyata.
"Wow," gumam Jasmine dari tempat tidurnya. "Wow."
Hope membelakangi kami. Pundaknya bergetar hebat.
Tangannya menyapu rambut pirangnya yang berantakan.
"Itu sebabnya kau tak menulis surat kepada Mom," katanya
dengan suara tercekat.
Aku memandangi surat yang baru mulai kutulis.
Mom sayang, bunyinya. Terjadi masalah kecil di kampus. Ada
mahasiswa dibunuh di luar asrama kami. Tapi Mom tidak usah
khawatir. Kupikir…
Baru segitu yang kutulis.
"Hei—keluar yuk," ajak Hope. Dia memaksakan diri untuk
tersenyum. "Ayo. Cari udara segar. Yuk."
"Aku tidak bisa," jawab Jasmine. "Aku mesti menyelesaikan
bab ini. Lagi pula, sekarang sudah larut malam."
Muka Hope tampak kecewa. Ia memandangku. "Kau mau,
Eden?"
Aku ragu-ragu. Aku ingin merampungkan suratku dan mandi
lama-lama. Tapi aku memutuskan lebih penting membuat Hope
senang.
"Oke," kataku, melompat bangun. "Aku ambil dulu baju
hangatku. Lalu kita keluar."
Senyumnya langsung terkembang.
Aku menyeberangi kamar menuju lemariku dan mengambil
sweter Ivy State yang berwarna biru dan emas. "Hope—apa yang
ingin kaulakukan?" tanyaku.
Matanya berkilat. "Cari masalah, jawabnya.
BAB
11
WELL... tidak.
Aku tidak ingin membunuhnya. Aku hanya ingin
menyingkirkannya.
Aku ingin dia keluar dari kehidupan kami. Aku ingin
menelepon polisi dan mengatakan pada mereka apa yang telah
dilakukannya.
Aku ingin Darryl menjauh. Jauh sekali, ke tempat aku tidak
perlu takut lagi padanya.
Ketukan keras di pintu membuat kami terlompat.
Darryl menyelinap ke dalam kamar mandi. Diikuti Hope. Dia
membanting pintu di belakang mereka.
Dengan sembari mengantuk Angel mengangkat kepalanya dari
bantal. "Siapa di sini?" tanyanya sambil mengedip-ngedipkan mata.
Kemudian dia memalingkan mukanya ke arah dinding. Jasmine tetap
tidur nyenyak di tempat tidur atas.
Pintunya tetap terbuka sedikit sewaktu aku menutupnya tadi.
Ketika aku berjalan menuju pintu, pintunya membuka lebar. Melanie
dan Mary melongokkan kepalanya.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Mary.
Aku memungut remasan surat dari lantai. "Yeah. Memangnya
ada apa?" sahutku.
"Kami... mendengar suara-suara," kata Melanie. "Kami ingin
tahu..."
"Maaf. Apa suara radioku kelewat keras?" tanyaku sambil
berpikir kilat.
Pandangan Melanie mengarah ke boom box di ambang jendela.
"Tapi radionya tidak menyala," katanya, memandangku dengan
curiga.
"Aku—ah—mematikannya ketika kau mengetuk," kataku
padanya. "Maaf kalau suaranya mengganggu. Aku..."
"Mary dan aku merasa betul-betul ketakutan," kata Melanie,
menarik antingnya yang berkilauan. "Maksudku—sejak Brendan
dibunuh."
"Ada bunyi sedikit saja sudah membuat kami terlompat,"
tambah Mary. "Tak seorang pun dari kami yang bisa tidur. Margie
merasa dia gagal dalam tes bahasa Prancis kemarin. Kami semua
betul-betul ketakutan."
"Kami juga," kataku padanya.
Kedua gadis itu menyipitkan matanya ke arahku. Tatapannya
menyelidik. Mereka saling berpandangan.
Apa omonganku ada yang salah? Aku ingin tahu.
Mengapa mereka memandangku seperti itu?
"Ini sangat menakutkan," akhirnya Melanie membuka mulut.
"Kami tidak bisa bersantai di kamar kami sendiri."
"Kami sedang berusaha belajar," tambah Mary. "Tapi kami
mendengar suara cowok. Dari kamarmu. Jadi..." Suaranya
menghilang.
"Suara cowok? Di atas sini?" jeritku. Aku menggelengkan
kepala. "Kurasa tidak."
Aku melirik ke arah kamar mandi. Rasanya ada dorongan kuat
untuk mengatakan kepada Melanie dan Mary, "Lihat saja di kamar
mandi. Kalian akan melihat seorang cowok di sana. Kalian akan
menemukan seorang pembunuh di sana!"
Tapi aku menggigit bibir bawahku dan tetap diam.
"Pasti itu dari radio," kata Melanie dengan suara lemah. "Maaf."
Mereka berbalik ke arah kamarnya. Tapi sesampainya di pintu,
Mary kembali menoleh ke arahku. "Kami sedang berusaha
mengadakan pertemuan," katanya padaku.
"Pertemuan?"
"Semacam pertemuan yang membicarakan keamanan," kata
Mary. "Kau tahu. Untuk membicarakan bagaimana kita melindungi
diri kita sendiri. Dan mungkin bisa memaksa college untuk lebih
meningkatkan keamanan di asrama. Menyewa lebih banyak penjaga."
"Ollie memang orang tua yang baik. Tapi dia tidak terlalu baik
sebagai penjaga. Dia lebih sering tertidur di mejanya," keluh Melanie.
"Siapa pun bisa berjalan di depannya."
Aku mengangguk. "Benar."
Mary terkikik. "Ada orang yang bercerita tentang Ollie.
Katanya dia sudah meninggal tiga puluh tahun yang lalu. Tapi
hantunya tidak mau meninggalkan Fear Hall. Dia menempati pos
jaganya setiap malam, meskipun dia sudah meninggal."
Aku memaksakan diri untuk tertawa. "Mungkin saja benar. Dia
tampak sudah mati."
"Ini tidak lucu," kata Melanie dengan tajam. "Orang-orang
menganggap Fear Hall lelucon. Tempat yang penuh dengan kisah-
kisah hantu. Yang pasti, kita semua tahu ada cowok yang tewas di luar
pintu depan asrama kita. Dan college tidak melakukan apa-apa sama
sekali untuk memastikan bahwa kita semua aman-aman saja."
"Jadi kau akan datang ke pertemuan itu?" tanya Mary.
"Pasti," kataku padanya, kembali melirik ke arah kamar mandi.
"Kami semua akan datang."
Sekali lagi, ekspresi mereka berubah. Mereka memandangku
seolah-olah aku mengatakan sesuatu yang keliru.
Kenapa sih mereka? aku ingin tahu.
"Kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Melanie.
"Tentu," kataku padanya. Aku menguap. "Hanya sedikit
mengantuk. Sampai besok."
Mereka mengucapkan selamat malam dan menyeberangi lorong
menuju kamar 13-A. Aku menutup pintu dan bersandar ke pintu. Aku
menarik napas panjang. "Aneh," gumamku pada diriku sendiri.
"Sungguh aneh."
Keesokan harinya malah lebih aneh lagi.
BAB
14
EDEN merintih.
Tangannya bergerak-gerak.
"Oh, syukurlah!" seruku.
Aku tidak membunuhnya. Dia masih hidup. Dia hanya pingsan.
Aku berlutut di sampingnya. Persis di bawah garis batas rambut
terdapat memar merah gelap yang tampak baru.
Yang penting dia hidup, pikirku dengan penuh rasa syukur.
Sekarang bagaimana?
Jantungku berdegup keras. Ruangan seakan miring kembali,
dan aku kehilangan keseimbangan.
Kuusap keningku. Aku berkedip-kedip, berupaya agar ruangan
tidak bergoyang-goyang.
Tiba-tiba aku merasa kepanasan. Gerah sekali. Mukaku.
Leherku. Seluruh tubuhku.
Seolah-olah demam hebat sedang menjalar di seluruh tubuhku.
Mirip sungai lava panas yang merah menyala seperti yang bisa kita
lihat di film-film tentang letusan gunung berapi.
Aku gemetaran akibat kepanasan. Aku berusaha mati-matian
agar bisa berdiri. Tapi ruangan di sekelilingku bergoyang-goyang
terus. Dan gelombang panas—yang semakin lama semakin hebat—
membuatku amat pusing.
Kepalaku... seolah melayang... melayang...
Kadang-kadang, kalau kita sedang menderita demam tinggi,
kita melihat hal-hal yang tak masuk akal. Warna-warna yang amat
terang. Benda-benda aneh.
Dan pikiran kita pun jadi tak keruan. Kita yakin kita baik-baik
saja, bahwa kita bisa berpikir dengan jernih. Tapi, pikiran kita susah
dikendalikan. Pokoknya sama sekali tak waras.
Kurasa itulah yang sedang menimpaku sekarang ini.
Kurasa itulah akibat demam tinggi yang sedang kuderita
sekarang ini.
Karena sewaktu aku berusaha menjaga agar ruangan tidak
berputar-putar dan miring... sewaktu aku berusaha menghentikan
degup jantungku yang begitu kencang... berusaha agar tidak gemetar...
tidak berkeringat... tidak menggigil akibat panas yang semakin hebat...
Sewaktu aku berusaha untuk berpikir jernih, aku bertindak.
Aku bergerak.
Aku bertindak tanpa berpikir. Bahkan tanpa menyadari apa
yang sedang kulakukan.
Dan ketika pikiranku akhirnya jernih kembali, baru kusadari
apa yang telah kulakukan. Aku telah mengikat lengan Eden.
Lengannya kutekuk di punggungnya. Pergelangan kakinya pun kuikat
jadi satu.
Aku mengikatnya menggunakan handuk mandi. Handuk
mandinya mengikat dengan kuat. Aku telah mengikat temanku dan
menyelotip mulutnya supaya dia tidak bisa berteriak.
Dia terikat dalam posisi duduk.
Matanya kini terbuka. Matanya memancarkan kebingungan.
Berusaha untuk berbicara tapi yang bisa dilakukannya hanyalah
mengeluarkan bunyi mmm... mmm...
Dia memandangku, alis matanya terangkat, pandangannya
menyorotkan keheranan. Tidak bisa mempercayai apa yang telah
kulakukan.
Apa yang kaulakukan, Hope? Apa yang kaulakukan padaku?
Pertanyaan bisu yang tak bisa kujawab.
Karena aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan.
Dicengkeram demam tiba-tiba. Dicengkeram oleh keinginan
yang amat kuat untuk melindungi satu-satunya cowok yang peduli
padaku.
Dicengkeram oleh kekuatan di luar akal yang tak tampak, aku
tak menyadari apa yang sedang kulakukan. Atau apa yang kemudian
kulakukan.
Aku membungkuk di samping Eden. Menyelipkan lenganku di
bawah ketiaknya. Dan menyeretnya.
Kuseret Eden sepanjang lantai.
Dia menggeliat-geliat dan berusaha menendangku. Tapi aku
telah mengikatnya erat- erat. Dia tidak bisa membebaskan diri. Dia tak
bisa melarikan diri.
Kuseret Eden dengan sekuat tenaga. Kuseret. Kuseret...
Dia berusaha menahan. Tapi tubuhnya tetap menggelincir di
atas karpet.
"Aku takkan menyakitimu!" tukasku. Suaraku meninggi dan
melengking.
"Mmmmmm! Mmmmmmpppf!" dia berusaha memprotes. Dia
mencoba untuk berteriak melalui selotip yang menghalanginya.
Aku menyeretnya sepanjang kamar. Melewati tempat tidur
susun yang dipakai Angel dan Jasmine.
Untung saja mereka ada kuliah pagi-pagi, pikirku.
Lalu aku berpikir: Kalau mereka ada di kamar, apakah aku akan
melakukan semua ini? Apa yang akm kulakukan?
Eden menendang-nendang menggunakan kedua kakinya. Dia
berusaha mencengkeram karpet dengan tumitnya.
Tapi aku menyeretnya melewati tempat tidur susun.
Kusorongkan Eden ke dalam lemari pakaian yang menempel di
dinding belakang.
"Mmmmmppp! Mmmmmmmppph!"
Pintu lemari langsung kututup supaya aku tak perlu mendengar
suaranya. Kubanting pintu lemari keras-keras. Kusandarkan tubuhku
di dinding untuk mengambil napas. Jantungku masih berdebar-debar...
berdegup begitu kencang, seolah-olah mau meledak.
Mulutku terasa kering. Kerongkonganku sakit. Semua otot
tubuhku gemetaran.
Kuusap keringat di keningku dengan lengan baju tidurku.
Menarik napas dalam. Lambat-lambat. Lambat-lambat.
Aku menunggu sampai napasku kembali normal. Dan mencoba
mendengarkan.
Apakah suara Eden kedengaran dari luar pintu lemari? Apakah
suara kakinya yang menendang-nendang lantai lemari terdengar dari
luar?
Tidak.
Kamar kini sunyi. Yang terdengar hanya napasku yang
terengah-engah.
Lalu bagaimana? tanyaku pada diri sendiri.
Apa yang harus kulakukan sekarang?
Demamku sudah turun. Panasnya sudah menguap. Semua sudah
berlalu. Aku mulai bisa melihat dengan jernih kembali.
Dan berpikir dengan jernih.
Lalu bagaimana? Lalu bagaimana?
Aku tak mungkin menyembunyikan dia terus-terusan.
Apa yang harus kukatakan pada Angel dan Jasmine?
Kenapa aku melakukannya? Ke mana pikiranku tadi?
Mungkin aku harus bilang pada Darryl mengenai apa yang telah
kulakukan, putusku. Mungkin dia punya ide apa yang harus dilakukan
setelah ini.
"Tidak!" Aku menjerit keras-keras. "Tidak!" Aku menarik-narik
rambutku.
Darryl pasti ingin membunuhnya.
Bagi Darryl, membunuh adalah pemecahan untuk masalah yang
dihadapinya. Dia pasti tidak punya gagasan lain.
Dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tak mau. Bagaimanapun
Eden sahabatku. Salah satu di antara sahabat-sahabatku.
Jadi, aku tak mungkin bilang pada Darryl. Aku pun tidak bisa
bilang pada Angel dan Jasmine.
Jadi, apa yang mesti kulakukan?
Kupejamkan mataku, berusaha untuk berpikir jernih.
Suatu suara di seberang ruangan membuatku membuka mata
kembali.
"Hah?" Kupandang sosok di depan pintu yang terbuka.
Melanie.
Melanie memandangku dengan mulut ternganga dan mata
membelalak.
Sudah berapa lama dia ada di sana? Apa saja yang sudah
dilihatnya?
BAB
23
AKU kembali asrama sekitar jam 23.00, bingung dan letih. Aku
melangkah masuk ke dalam lift, menekan tombol tiga belas—dan
mendengar seseorang memanggilku.
"Hope—!"
Aku menoleh dan melihat Melanie sedang berdiri di bagian
belakang lift. Dia sedang membawa kantong cucian yang besar sekali.
Kurasa dia baru akan naik ke kamarnya sehabis mencuci di ruang cuci
di basement.
"Hope, aku tak melihatmu di rapat asrama," omelnya.
Aku mengangkat pandanganku ke arah angka penunjuk lantai di
atas pintu. "Yeah. Aku tahu," sahutku. "Aku—aku harus pergi."
"Pertemuannya berjalan lancar," kata Melanie. "Kami sudah
mengeluarkan unek-unek kami kepada Dekan dan orang-orang bagian
keamanan."
"Bagus kalau begitu," gumamku.
Kenapa lift ini jalannya lama betul? Aku sama sekali tidak ingin
mengobrol dengan Melanie tentang masalah keamanan kampus.
"Mereka berjanji akan menempatkan petugas jaga ekstra,"
Melanie mencerocos terus. "Mulai besok."
Dia memindahkan kantong cuciannya ke tangan satunya.
"Meskipun begitu, banyak anak yang masih tetap ketakutan,"
lanjutnya. "Tidak ada yang ingin keluar malam. Sungguh
mengherankan. The Triangle jadi mirip kota hantu setelah jam 20.00."
Aku menggelengkan kepala. "Mengerikan," gumamku.
Kuangkat pandanganku ke angka penunjuk lantai. Delapan...
sembilan...
"Tahukah mereka siapa pembunuhnya?" tanyaku, berusaha
keras agar suaraku kedengaran biasa-biasa saja. "Sama sekali tidak
tahu? Apakah dia orang semacam orang gila begitu?"
Melanie menelan ludah. "Mereka tak tahu," jawabnya dengan
suara pelan. "Ini sangat mengerikan, betul tidak? Mereka tidak tahu
harus dimulai dari mana untuk menemukan pelakunya. Dia—dia bisa
di mana saja. Mungkin saja dia sedang bersembunyi di kampus
sekarang ini."
Aku berpura-pura mengedikkan bahu. "Maaf aku tidak
menghadiri rapatnya," gumamku. Kutahan pintu lift agar Melanie bisa
keluar dengan mudah. Dia menyeret kantong cucian dengan kedua
tangannya.
"Rasanya menyenangkan bisa mencuci," katanya sewaktu aku
mengikutinya berjalan sepanjang lorong. "Tahu kan? Membuat
pakaian jadi bersih dan harum. Aku jadi bisa melupakan pembunuhan
itu untuk sementara waktu."
Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku tak bisa melupakan
pembunuhan itu sesaat pun. Aku tidak bisa memikirkan hal lain sama
sekali.
Sepanjang malam aku berjalan tak tentu arah dalam udara
berkabut, tidak mampu berpikir, tidak bisa mengambil keputusan apa
pun.
Aku harus berbicara dengan teman-teman sekamarku, putusku.
Aku ingin mengadakan rapat untuk kami pribadi.
Aku ingin mendengar apa pendapat Angel, Jasmine, dan Eden.
Aku ingin tahu bagaimana perasaan mereka sekarang. Tentang Darryl.
Tentang keinginan untuk menyerahkan dia ke polisi.
Aku tahu aku tak bisa terus-terusan begini.
Aku tak bisa menyimpan rahasia mengerikan ini lebih lama
lagi.
Jika teman-teman sekamarku sepakat untuk melapor ke polisi,
aku takkan mencegah mereka. Akan kubiarkan mereka melaporkan
Darryl.
Ini akan membuatku sangat sedih. Tapi aku takkan menahan
mereka.
Aku mengambil napas panjang. Mendorong pintu kamar 13-B.
Dan melangkah masuk.
BAB
30
"OH—"
Petugas polisi menggedor pintu.
Aku menoleh ke arah jendela. Ruangan seperti berputar.
Lantainya miring.
Aku melihat wajah Eden yang ketakutan lagi. Dan sekali lagi
kudengar bunyi krek yang mendirikan bulu roma ketika Darryl
meretakkan punggung Eden.
Jasmine dan Angel kini berdiri. Keduanya saling berdempetan
dan lengan mereka saling melingkar.
Wajah mereka tampak kabur. Kamar tampak amat kabur dan
mulai gelap.
Aku akan pingsan, pikirku.
"Jangan—!"
Kupaksa diriku agar tetap mampu berdiri.
Aku berusaha bergerak menuju pintu—tapi sesuatu menahanku.
Suatu kekuatan yang tak tampak memaksaku untuk tetap
berdiam diri.
Rasa takutku? Pemandangan mengerikan yang baru
kusaksikan?
Aku pasti mengalami syok.
"Buka! Polisi!" seru suara di luar.
"Cepat..." bisikku pada Angel dan Jasmine. "Ayo, cepat..."
Aku bergerak menuju jendela.
"Cepat..." ulangku.
Kuangkat lututku ke atas ambang jendela. Pemandangan malam
segera menyambutku.
Semuanya tampak buram. Langitnya. Bintangnya. Bangunan-
bangunan kampus di sekitarnya.
Buram sekali.
Aku melompat ke tangga darurat. "Buruan," bisikku.
Dan kedua teman sekamarku bergabung denganku di tangga
besi yang sempit.
Kami memegang pegangan tangga. Punggung kami menempel
pada dinding bata.
Dan mendengar ketika pintu dibuka.
Aku mengintip ke dalam dan melihat dua orang polisi
berseragam gelap. Diikuti oleh Melanie.
Mereka memandang ke arah jendela yang terbuka. Aku menarik
tubuhku sebelum mereka melihatku.
Jantungku berdebar-debar, kutempelkan punggungku ke
dinding dan berusaha mendengarkan percakapan mereka.
"Kami menerima telepon dari seorang gadis bernama Eden,"
ujar polisi pada Melanie.
"Hah?" Kudengar reaksi Melanie yang terkejut. "Dia bilang
namanya siapa?"
"Eden," ulang sang polisi.
"Eden? Saya tidak mengenal gadis bernama Eden di sini," sahut
Melanie. "Anda yakin memang itu nama yang disebutkannya?"
Polisi tersebut terdiam sesaat. Kemudian dia berkata, "Ya.
Eden. Dia bilang dia dan ketiga teman sekamarnya menempati kamar
13-B."
Hening lagi.
Kemudian Melanie berkata, "Teman sekamar? Dia bilang dia
menempati kamar 13-B bersama teman sekamarnya?"
"Ya, benar," jawab sang polisi sambil berkomat-kamit.
"Yang tinggal di sini adalah gadis bernama Hope, Pak," ujar
Melanie padanya. "Tapi, lihat—ini kamar untuk satu orang. Satu
tempat tidur—benar, kan? Hope tidak punya teman sekamar. Dia
tinggal di sini sendirian."
BAB
34