Anda di halaman 1dari 176

1 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.

com
PROLOG
Menyusun rencana. Itu keahliannya sejak kecil. Menentukan sasaran,
lalu merencanakan bagaimana mencapainya, selangkah demi
selangkah. Tentu saja rencananya tidak selalu berhasil. Ia memang
sering bernasib buruk. Terkadang ada yang menghalanginya.
Merusak rencananya yang sudah matang.

Namun kali ini tak akan terjadi lagi. Inilah rencananya yang paling
hebat. Tak mungkin gagal. Siapa pun takkan ia biarkan
menggagalkannya. Kala ia duduk di kegelapan, sibuk memikirkan
rencananya, wajahnya menyeringai. Perbuatannya itu memang tidak
baik, dan sebenarnya ia tak ingin menyakiti orang lain.

Tapi mau bilang apa? Ia harus mendahulukan kepentingannya


sendiri. Siapa lagi yang akan memperhatikannya kalau bukan dirinya
sendiri? Itu kenyataan pahit yang sudah disadarinya sejak ia masih
tinggal bersama orangtuanya.

Kini tiba saat beraksi, tak perlu lagi memikirkan masa lampau. Lagi
pula, bukan salahnya kalau ia selalu terjerumus dalam kesulitan.
Segalanya akan berubah. Mulai detik ini semua akan berjalan seperti
yang diinginkannya. Rencananya sudah matang. Sepintas, segalanya
tampak wajar. Tapi seseorang akan dibuatnya sangat terkejut.
Kejutan yang mematikan.

Yang harus ia lakukan hanyalah bersabar. Bersabar dan menunggu


sampai saat itu tiba....

2 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


1
Minggu pertama September

GUMPALAN gel itu bagai sesuatu yang keluar dari dasar rawa
yang busuk. Menyebar dan mengendap di kemasannya, menggeliat-
geliut, seolah mencari jalan keluar atau tempat lain untuk berpindah.

Deena Martinson memasukkan tangannya ke wastafel dan menekan


gel itu pelan-pelan. “Ih!” katanya jijik. “Yakin kau ingin memakai gel
ini di rambutmu?”

“Ya. Teruskanlah,” kata Jade Smith, kawannya. Jade duduk di


bangku kayu di depan cermin kamar mandi. Bahunya ditutupi
handuk. Rambutnya yang pirang, ikal, dan basah tergerai di
punggungnya.

“Aku tahu ibumu penata rambut profesional,” kata Deena. “Tapi gel
ini seperti makanan cacing. Hii, tak kubayangkan bagaimana
rasanya.”

“Ayo teruskanlah,” desak Jade. “Ibuku sudah lama memakai-nya, dan


rambutnya kelihatan menarik. Tebal dan berkilauan”

“Kenapa sih kau ikut-ikutan?” keluh Deena. Ia mulai mengoleskan


gel itu ke rambut temannya. Tak lama kemudian rambut ikal Jade
tertutup bahan lengket itu, dan terciumlah aroma khas gel yang
menusuk hidung. “Apa lagi sekarang?” tanya Deena setelah selesai
mengoleskan gel itu ke rambut Jade.

3 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Menunggu sampai kering,” jawab Jade. “Setelah itu aku akan
tampak memikat. Kau tak ingin mencoba? Aku bisa mengeriting
rambutmu.”

Deena menyentuh rambutnya yang pendek, pirang, dan lurus.


Karena rambutnya tipis, Deena memilih gaya “bersusun-susun”.
Ibunya bilang potongan rambut begitu membuatnya tampak seperti
malaikat. Deena sendiri kurang yakin, tapi dikeriting pun belum
tentu bagus. “Tidak, terima kasih,” katanya. “Tanpa ramuan aneh-
aneh pun rambutku sudah cukup bermasalah.”

“Cobalah. Mungkin kau bisa tambah menarik,” kata Jade, tapi ia tak
memaksa, bahkan tampak tak peduli. Suaranya terdengar bosan—
seperti perasaan Deena.

“Malam Minggu kelabu,” keluh Deena sambil menghela papas.

“Yeah,” sahut Jade setuju. “Aneh ya, aku malah senang sekolah akan
dimulai lagi lusa. Asyik rasanya bertemu teman-teman, pergi ke
pesta dansa, dan menonton pertandingan.”

“Ya, kurasa begitu,” kata Deena.

“Hai, semangatlah sedikit.”

“Aku tak mau banyak berharap,” kata Deena. “Segala sesuatunya


akan berubah.”

“Apa maksudmu?”

“Aku baru saja diberitahu bahwa Chuck, kakakku, akan tinggal di


sini.”
4 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
“Kakakmu? Kau kan tidak punya kakak!”

“Kakak tiri, maksudku. Ia putra ayahku dari perkawinan pertama.


Aku baru beberapa kali bertemu dengannya. Kata Dad ia akan
bersekolah di Shadyside.”

“Benarkah?” Jade kini mendengarkan dengan sungguh-sungguh.


Cowok memang selalu menarik perhatiannya.

“Tenang, Jade,” kata Deena. “Chuck tak ada istimewanya kecuali


sebagai pembuat onar. Justru karena itu ia dikirim ke sini. Kalau
tidak dikeluarkan, tahun lalu ia seharusnya sudah lulus dari Central
City. Ibunya dan ayahku lalu memutuskan untuk memindahkannya
ke sini. Mungkin ia bisa berubah jika tinggal di kota kecil.”

“Dikeluarkan?” tanya Jade. “Kenapa?”

“Aku tak tahu. Mungkin ia sering keluyuran dengan anak-anak


berandal, bahkan pernah ditangkap polisi. Hhh, sejak kecil ia selalu
membuat masalah.”

“Kedengarannya menarik,” Jade berkomentar sambil tersenyum


nakal.

“Bagimu, Freddy Krueger juga menarik,” ejek Deena, berjalan


menuju kamarnya.

“Habis semua cowok di Shadyside membosankan, mudah ditebak apa


maunya,” kata Jade, mengikuti Deena. “Semuanya MENJEMUKAN,”
tegasnya.

5 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Ia merenggut handuk dibahunya, mengagumi dirinya dengan
menggoyang-goyangkan rambutnya sambil berputar-putar di depan
cermin panjang pada pintu lemari Deena. Jade memakai gaun terusan
berlengan pendek, warnanya pink dan putih. Kata orang, gadis
berambut merah tidak pantas memakai warna pink, tapi Jade selalu
tampak memukau tak peduli warna apa pun yang dipilihnya. Jade
tahu kelebihannya itu. Ia sangat membanggakannya. Deena harus
mengakui, Jade memang punya banyak alasan untuk berbangga hati.

“Bagaimana rambutmu?” tanya Deena, mengubah topik pembicaraan.

“Masih dalam proses,” sahut Jade. Ia menahan diri untuk tidak


menguap, kemudian duduk di tempat tidur Deena. Ia mengambil
kikir dan mengikir kukunya yang sudah rapi. Dilayangkannya
pandangannya ke sekitarnya. Matanya langsung tertuju pada benda
plastik biru manyala yang terletak di meja samping. “Apa ini?”
tanyanya.

“Telepon baruku,” jawab Deena. “Ketika ayahku dipromosikan jadi


wakil presiden perusahaan telepon, mereka menghadiahi kami
pesawat telepon model terbaru ini.”

“Bagus sekali,” kata Jade, mengambil telepon itu. “Bentuknya seperti


panel pengontrol di pesawat jet saja. Untuk apa tombol-tombol ini?”

“Untuk memprogram nomor-nomor telepon. Bila kau tekan tombol


ini, secara otomatis telepon akan memutar nomor yang kau program.
Tombol itu untuk menunggu kalau orang yang kau cari sedang
dipanggil. Dan tombol ini-” Deena menunjuk sebuah tombol di

6 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


pegangan telepon, “-untuk memindahkan suara ke alat pengeras di
telepon hingga semua orang di ruangan bisa mendengar
pembicaraan.”

“Betulkah?” seru Jade. “Jadi telepon ini multifungsi. Aku dapat ide.
Nomor-nomor telepon siapa saja yang sudah kau program?”

“Belum banyak,” kata Deena. “Cuma nomor telepon nenekku, Mrs.


Weller—tetangga sebelah rumahku—dan kau tentu.”

“Aku? Benarkah? Bagaimana cara menggunakannya?”

“Tekan saja nomor tiga.”

“Hmm, aku akan mengerjai adik perempuanku yang sedang menjaga


anak-anak.” Jade menekan nomor tiga, kemudian memijat tombol
pengeras suara. Senyum aneh menghiasi wajahnya. “Halo,” katanya,
memencet hidungnya sehingga suaranya kedengaran seperti orang
sakit flu. “Tolong dengan Miss Cathy Smith.”

“Ini Cathy Smith,” sahut suara di seberang. Dari pengeras suara


telepon, suara Cathy terdengar bergema dan jauh, seperti berasal
dari dasar sumur.

“Ini dari Division Street Mall,” lanjut Jade, masih memencet


hidungnya. “Miss Smith, saya menyesal karena harus memberitahu
Anda bahwa Anda yang terpilih sebagai pengunjung berpakaian
terburuk bulan ini.”

“Apa?” jerit Cathy. “Aku bahkan tidak pergi ke mall hari ini!”

7 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Anda resmi dipilih oleh selusin pengunjung kami. Saya beri waktu
satu jam untuk mengambil hadiahnya, selusin bunga aster layu.”

“Selusin apa?” tanya Cathy. Kemudian suaranya berubah curiga.


“Tunggu. Aku tahu siapa kau. Ini bukan dari mall. Jade, aku tahu
kau...”

“Saya benar-benar tak mengerti apa yang Anda bicarakan,” kilah


Jade, memencet hidungnya lebih keras. “Ini...”

“Kau tak bisa membodohi aku,” lanjut Cathy. “Lain kali carilah orang
yang setolol dirimu!” Terdengar bunyi klik di ruangan itu saat Cathy
menutup telepon.

“Sialan!” maki Jade. “Aku harus mencobanya pada orang yang tak
kenal baik suaraku. Seseorang yang tak mengharapkan-nya... itu dia!
Deena, tolong lihatkan nomor telepon Henry Raven.”

“Henry Raven?” kata Deena. “Ia sangat menyebalkan! Kegemarannya


cuma komputer. Kenapa kau ingin menelepon-nya?”

“Tunggu saja,” sahut Jade. “Atau, dengarkan saja!” Ia mengambil


buku telepon yang dipegang Deena dan menekan tujuh nomor.
Dering telepon memenuhi ruangan itu, kemudian bunyi klik, dan
suara Henry Raven pun terdengar amat jelas.

“Halo?”

“Halo, Henry ya?” Jade bicara amat pelan, hampir berbisik. Menurut
Deena suara Jade itu misterius dan seksi.

“Ya, siapa ini?”


8 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
“Kau tak akan pernah tahu siapa aku, Henry,” desah Jade, “tapi sejak
lama aku selalu memperhatikanmu.” Jade membisikkan kata lama
sedemikian rupa hingga terdengar jadi “l-a-m-a”.

“Siapa ini?”

“Seseorang... yang akan menjadi teman akrabmu. Aku suka gayamu,


Henry...”

“Apakah ini cuma olok-olok?”

“Bukan. Ini bukan olok-olok,” kata Jade. “Aku sangat serius. Kaulah
satu-satunya cowok idaman gadis seperti diriku....”

Hening lama di seberang sana. Kemudian Henry tiba-tiba berkata,


“Carilah cowok lain! Aku tak punya waktu untuk olok-olokmu ini!”
Dan ia membanting telepon.

Kedua gadis itu menjatuhkan diri ke tempat tidur, tertawa terbahak-


bahak. “Nah, kau sudah dengar, kan? Ia tak punya waktu!” Deena
berhenti mengikik.

“Hasilnya lebih baik dari yang kuharapkan,” sahut Jade setelah


berhenti tertawa.

“Sekarang giliranmu.”

“Giliranku?” tanya Deena.

“Ya. Kau cuma harus mengangkat telepon dan...”

“Tidak, Jade!” kata Deena. “Berbicara secara langsung pun aku tak
sanggup!”

9 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Itu masalahnya. Akan lebih mudah kalau kau bicara di telepon. Ayo
buktikanlah,” lanjut Jade, menyambar buku telepon Deena.
“Bagaimana kalau Rob Morell?”

“Rob Morell?” jerit Deena. “Ia salah satu cowok paling beken di
sekolah!”

“Lalu kenapa? Bukankah kau menyukainya?”

“Benar sih,” jawab Deena. “Tapi ketika tahun lalu ia ikut pelajaran
geometri di kelasku, sekali pun aku tak pernah mengobrol
dengannya.”

“Nah, sekarang bicaralah dengannya.”

“Tapi bagaimana kalau ia tahu siapa aku?”

“Berbisiklah, seperti yang kulakukan tadi, ia pasti tak akan


mengenalimu,” kata Jade. Mengabaikan protes-protes Deena, Jade
menekan nomor telepon Rob Morell dan memberikan telepon itu
pada Deena.

“Oh, aku harus bilang apa?” ujar Deena, ngeri.

“Apa saja yang muncul di pikiranmu. Aturlah suaramu hingga


terdengar seksi.”

“Halo?” bisik Deena. Ia mengambil napas dalam-dalam lalu


merendahkan suaranya. “Bisakah saya bicara dengan Rob Morell?”

Bagus! puji Jade tanpa suara. Beberapa saat kemudian suara cowok
yang mengantuk terdengar di alat pengeras suara, “Halo?”

10 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Halo, Rob?” bisik Deena, berusaha keras mengubah suaranya.
“Cowok ganteng seperti kau kenapa ada di rumah pada malam
Minggu begini? Kau sedang apa?”

“Aku menyewa beberapa film,” jawab Rob. “Siapa ini?”

“Seseorang yang diam-diam mengagumimu,” sahut Deena. Kata-kata


itu meluncur begitu saja.

“Apa? Siapa namamu?”

“Aku tak mungkin memberitahukannya.” Deena kagum pada dirinya


sendiri. Kata-katanya semakin lama semakin lancar, seolah-olah ia
hanya mengikuti skenario.

“Jika kau tak mau menyebutkan namamu, katakan seperti apa


dirimu,” pinta Rob. Suaranya tidak lagi terdengar mengantuk,
melainkan penuh minat.

Deena memejamkan matanya dan bersandar ke tempat tidur. “Seperti


apa diriku?” ulangnya. “Tinggiku 160 senti, beratku 52,5 kilo.
Rambutku pirang, sepinggang. Mataku hijau dan bibirku penuh.
Orang-orang bilang aku seperti Kim Basinger.”

“Hei, bagaimana kalau kita mengadakan pertemuan?” tanya Rob.

“Usul yang bagus. Kau memang cowok yang menarik, Rob. Aku
akan meneleponmu lagi, suatu malam dalam waktu dekat ini.”

“Bagaimana kalau nanti malam? Atau bisakah kuminta nomor


teleponmu?”

11 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Oh, aku harus menyudahi pembicaraan ini sekarang, Rob,” kata
Deena. “Ingat, aku akan meneleponmu lagi.” Deena mencondongkan
tubuhnya ke depan untuk meletakkan telepon.

Ia memandang Jade sesaat, lalu keduanya menjatuhkan diri ke


tempat tidur, tertawa histeris. “Kena!” seru Deena. “Sungguh aku tak
percaya! Ia benar-benar tertarik padaku!”

“Kau hebat!” kata Jade. “Bicaramu terdengar wajar. Ia pasti tak


berani ke mana-mana, menunggu teleponmu sampai bulan depan!”

“Kau benar, Jade. Ternyata lebih mudah bicara di telepon.”

“Apa kubilang. Hm, siapa lagi yang akan kita telepon? Bagaimana
kalau...”

“Tidak malam ini, Jade,” kata Deena, melihat arlojinya. “Sudah


malam. Sebentar lagi ayah-ibuku pulang.”

“Bagaimana kalau besok malam?”

Deena menggeleng. “Besok malam Dad dan aku akan menjemput


Chuck ke bandara.”

“Berjanjilah untuk menyampaikan salamku padanya,” kata Jade.

“Ia belum pernah mengenalmu.”

Jade tersenyum. “Sekarang memang belum,” katanya. “Tapi


perasaanku bilang... ia akan segera mengenalku.”

12 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


2
DALAM perjalanan ke bandara, Deena merasa gembira sekaligus
gelisah. Ia mulai menyukai gagasan bahwa kakak laki-lakinya yang
hilang itu akan tinggal bersamanya. Ia pasti akan mendapat banyak
keuntungan—misalnya kakaknya bisa mengenalkannya pada teman-
temannya. Kemudian ia teringat cerita tentang kelakuan buruk
Chuck. Ulu hatinya tiba-tiba berdesir.

Ayahnya juga tampak gelisah, melebihi kegelisahannya. “Bersikap


ramahlah padanya, Deena,” kata ayahnya. “Tapi berusahalah tetap
menjaga jarak. Ingat, ia dibesarkan di kota besar yang tak kenal
keramahan orang-orang kota kecil.”

“Baik, Dad,” sahut Deena. Mungkin ia menganggap kami ini orang


udik, pikir Deena.

Kesan pertamanya tentang Chuck cukup “menjanjikan”. Ketika


terakhir kali Deena bertemu dengannya, Chuck baru berusia sepuluh
tahun. Kini ia telah menjadi pemuda jangkung yang gagah. T-shirt
dan jins ketatnya memperlihatkan tubuhnya yang atletis dan berotot.
Rambutnya tebal dan berwarna pirang kemerahan, kontras dengan
matanya yang biru cerah. Jade, pikir Deena, pasti akan
menganggapnya kece. Tapi ketika Deena mendekatinya, ia melihat
sesuatu yang tidak wajar. Ekspresi Chuck sangat aneh. Deena tak
tahu pasti bagaimana harus menyebutnya. Sepertinya Chuck
menyeringai sambil cemberut. Ceringai? Deena kebingungan.

13 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Ketika Dad akan menyalaminya, Chuck pura-pura tak melihat-nya.
Dad bingung dan tersenyum ragu. “Chuck, kau masih ingat pada
Deena, adik perempuanmu?”

Chuck memandangnya seolah-olah ia anak katak atau makhluk lain


yang amat rendah derajatnya. “Halo, kid,” sapanya. Kid—gadis cilik?
Celaka, hari-hari di depanku pasti akan sangat menyebalkan, pikir
Deena. Namun detik berikutnya Chuck tersenyum padanya, senyum
konyol yang membuatnya tampak berbeda. Dengan gugup Deena
balas tersenyum, sambil menduga-duga apa yang akan terjadi
sesudah itu.

Perjalanan ke rumah terasa semakin membingungkan Deena. Ia


duduk di belakang, mendengarkan percakapan Chuck dengan
ayahnya. Atau lebih tepat, Dad yang bicara. Chuck hanya melenguh.
Suatu kali ia mengeluh, “Ini benar-benar pemaksaan, Dad. Aku tak
mengerti kenapa aku tak boleh bersekolah lagi di Central City High.”

“Karena mereka tak mau menerimamu,” jawab Mr. Martinson. “Asal


kau tahu, ibumu dan aku sudah berulang kali membujuk mereka.”
Baru kali ini Deena mendengar ayahnya bicara dengan nada jengkel,
atau bahkan marah. Deena berharap ia bisa lebih banyak mendengar
tentang kenapa Chuck dikeluar-kan dari sekolahnya. “Aku ingin
jelaskan padamu...,” ayahnya memulai.

Mendadak terdengar derit rem dan decit ban mobil yang membuat
Dad tak menyelesaikan kalimatnya.

14 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Deena menjerit saat terdengar bunyi tabrakan. Ia mendengar bunyi
kaca pecah. Kemudian logam beradu. Klakson mobil bersahut-
sahutan. Seseorang menjerit. Ban mobil berdecit-decit. Deena
menutup telinganya dengan tangan.

Wajah Mr. Martinson kelihatan ngeri, mulutnya ternganga, dengan


serta-merta ia menginjak rem. BMW cokelatnya meluncur menuju
mobil-mobil yang bertabrakan, berhenti hanya beberapa senti di
belakangnya. Mobil-mobil yang mengikuti mereka dengan susah
payah menghindar dari tabrakan itu. “Keluar!” perintah Mr.
Martinson. “Lebih aman di luar!”

Deena dan Chuck cepat-cepat keluar dan menjauh dari onggokan


mobil itu. Di langit, jutaan bintang berkerlap-kerlip. Chuck menuju
orang-orang yang berkerumun di sumber kemacetan itu. Deena
mengikutinya dengan penuh rasa ingin tahu.

“Hei... kembalilah!” teriak ayahnya.

Chuck tak menggubrisnya dan terus berlalu. Deena ragu-ragu,


menoleh ke ayahnya, kemudian membuntuti Chuck. Di deretan
paling depan, tampaklah Plymouth merah yang ringsek karena
menabrak pembatas jalan. Mesinnya mengeluarkan asap. Ketika
Deena dan Chuck tiba di sana, api dari bagian bawah mobil itu mulai
menjilat pintu-pintunya.

“Awas!” teriak seseorang. “Mobil itu terbakar!”

Kerumunan orang itu menjauh. Deena melihat api yang semakin


membesar. Dengan perasaan ngeri, ia bergegas menjauh, sejauh
15 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
mungkin dari mobil itu. Saat itu sadarlah ia bahwa Chuck tidak
bersamanya. Di kerumunan itu, Chuck berdiri paling depan. Bagai
terhipnotis, ia menatap ke api.

Tiba-tiba terdengar jerit pilu, “Oh, Tuffy masih ada di sana!” Deena
menoleh dan melihat anak laki-laki kecil yang memegangi dahinya
dengan handuk yang berdarah.

“Tuffy!” panggil anak itu. “Tolong selamatkan Tuffy!”

“Ada anjing di dalam mobil itu!” teriak orang-orang.

Deena kini bisa melihat kepala anjing kecil berbulu hitam-putih di


jendela belakang mobil itu. Anjing kecil itu melompat-lompat,
menggonggong dengan panik. Sementara, itu, api menjilat semakin
tinggi. Tiba-tiba ada orang yang keluar dari kerumunan dan berlari
menuju mobil yang terbakar itu.

“Kembalilah!” jerit seorang laki-laki. “Mobil itu mau meledak!” Orang


itu tetap berlari, kemudian menghilang di balik asap tebal.

Betapa ngerinya Deena ketika ia menyadari bahwa orang itu Chuck.


“Chuck! Chuck! Kembalilah!” seru Deena. Tapi seruan-nya sia-sia.
Mobil itu meledak, menyemburkan gumpalan api berwarna merah
dan oranye yang sangat mengerikan.

16 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


3
LEWAT tengah malam baru mereka tiba di rumah. Esok pagi Deena
harus bersekolah, tapi ia tak bisa tidur. Ia berbaring di tempat
tidurnya, memikirkan kembali kejadian tadi. Sewaktu orang-orang
memandang ngeri ke mobil yang meledak itu, Chuck keluar dari
gumpalan asap tebal dan api yang berkobar-kobar.

Mr. Martinson muncul, “Ada apa?” tanyanya.

Tak seorang pun menyahut. Pandangan mereka tertuju pada Chuck.


Wajah dan tangan Chuck hitam oleh asap. Kemejanya robek. Ia
berlari ke tepi jalan. Tangannya memeluk anjing kecil berbulu
hitam-putih.

“Tuffy! Tuffy!” jerit anak laki-laki itu.

“Chuck! Demi Tuhan! Apa yang kaulakukan?” teriak Mr. Martinson.

Beberapa saat Chuck tampak tak peduli pada orang-orang di situ. Ia


memeluk anjing kecil itu, berbisik-bisik menenang-kannya.
Wajahnya yang hitam berada sangat dekat dengan kepala anjing itu.
Setelah itu ia berdiri tegak, mengembali-kan anjing itu pada
pemiliknya. “Ini anjingmu,” katanya.

Ibu si anak laki-laki, yang sebelah wajahnya memar, dengan serta-


merta memeluk Chuck. “Oh, terima kasih banyak,” katanya. “Anjing
kecil itu sangat berarti bagi Timmy. Kau adalah pahlawan.”

17 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Hei, tenanglah,” kata Chuck, kelihatan malu. “Aku juga pernah
punya anjing.”

Deena memandang kakak tirinya dengan kesan baru. Chuck tidak


terluka, meskipun ia baru saja menerobos ke dalam mobil yang
terbakar. Senyum konyol tersungging di bibirnya. Kini, saat
terbaring di ranjang, Deena teringat pada ucapan wanita itu. Bagi
orang-orang yang berkumpul di tempat kecelakaan itu, Chuck adalah
pahlawan.

Ia benar-benar pemberani, pikir Deena. Atau sinting.

®LoveReads

Esok paginya, ketika sarapan, Deena ingin menunjukkan rasa


bangganya pada Chuck. Ia juga ingin membuat Chuck betah di
rumah barunya. Dad sudah pergi bekerja. Mom seperti biasa sedang
bersiap-siap ke kantor. Tak ada waktu untuk menyiapkan sarapan
yang “wah”.

Deena menuang sereal ke dalam dua mangkuk, mencuci seikat


blueberry, dan menabur-kannya di atas sereal. Sarapannya hampir
habis ketika Chuck muncul sambil menguap.

“Hai, Chuck,” sapanya hangat. “Aku sudah menyiapkan sereal


untukmu. Jika kau bergegas, kita bisa tiba di sekolah lebih awal.
Kalau mau, aku akan mengenalkanmu pada teman-temanku.”

18 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Chuck memandangnya sejenak. “Jangan mencemaskan aku, kid,”
katanya. “Aku tak perlu diajari bergaul.”

“Tapi aku hanya ingin...” Deena tak melanjutkan kata-katanya.


Pipinya memerah seolah-olah baru ditampar Chuck. Chuck
menuangkan susu ke serealnya, tak peduli apakah susu itu tumpah ke
meja.

Beberapa saat kemudian, ibu Deena masuk ke dapur sambil


memasang anting-antingnya. “Cepatlah, anak-anak,” katanya.
“Sebelum ke kantor, aku akan mengantar kalian ke sekolah.”

Tanpa berkata-kata, Chuck berdiri dan melemparkan sereal-nya ke


keranjang sampah. Deena memandangnya. Kenapa dia? Apakah dia
sudah sinting?

®LoveReads

Pada saat makan siang, Deena hampir melupakan ulah Chuck tadi.
Asyik juga kembali ke sekolah, pikirnya. Saat ia mencari tempat
duduk setelah mengisi nampannya, Rob Morell lewat bersama
teman-teman seregunya. Gerak-geriknya anggun dan memikat.

Dulu, Deena menganggap Rob berada di luar jangkauannya. Cowok


itu begitu tampan, cerdas, dan merupakan bintang atletik.
Mendambakan cowok seperti itu sama saja seperti pungguk
merindukan bulan. Tapi hari ini Deena berpikir lain. Ia tersenyum
sendiri kala teringat teleponnya dan bagai-mana reaksi Rob pada

19 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


malam Minggu kemarin. Hal itu memberinya kekuatan dan rasa
percaya diri.

Deena tersenyum pada Rob, tak peduli apakah Rob mem-


perhatikannya atau tidak. Kaukira dirimu cowok paling keren di
Shadyside, tapi sedikit pun kau mungkin tak mengira bahwa akulah
cewek impianmu. Ya, aku. Deena si pemalu.

“Yuhu! Ada orangkah di sini?”

Deena menengadah, tersadar dari lamunannya. Jade berdiri di


sebelahnya, memegang nampan. Ia mengenakan gaun musim panas
bergaris-garis kuning-putih. Rambutnya yang kemerahan diikat
dengan pita putih. Ia tampak menakjubkan. Setiap cowok di ruangan
itu pasti memelototinya. “Hm, bolehkah aku bergabung denganmu?
Atau kau ingin meng-habiskan siang ini dengan bermuram durja?”

“Tentu boleh, Jade, duduklah,” kata Deena.

Jade meletakkan nampannya, lalu duduk di sebelah teman-nya.


“Kupikir kau sedang makan siang bersama kakakmu,” katanya.
Deena mengangkat bahu.

“Sudah jelas ia tak ingin bergaul dengan adiknya,” ujarnya seakan-


akan tak peduli.

“Oh,” kata Jade, kelihatan kecewa. Namun seketika itu pula


ekspresinya berubah ceria dan ia memandang ke sekitarnya. “Wah,
seperti apa ya dia? Di mana dia?”

20 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Dia...” Deena menoleh ke sekelilingnya, tapi tak menemukan Chuck
di ruangan itu. “Aku tak tahu,” katanya cemberut. Ia tiba-tiba cemas.
Kenapa Chuck tak makan siang? Bukankah waktu makan siang
mereka sama?

“Aku akan menemuinya lain kali,” ujar Jade. Lalu ia men-condongkan


diri ke depan. “Tebaklah siapa pasangan paling serasi bulan ini!”
tanyanya.

“Siapa?” Deena balas bertanya.

“Bruce Kipness dan Sherry Murdoch!”

“Betulkah?” tanya Deena tanpa emosi. Bruce dan Sherry adalah dua
murid tergemuk di sekolah.

“Keduanya ikut pelajaran geografi. Pagi ini mereka masuk kelas


sambil bergandengan tangan,” jelas Jade.

“Wah, menyenangkan sekali,” ujar Deena lesu.

“Mungkin tak ada orang lain yang mau berkencan dengan mereka,”
lanjut Jade. “Oh, akan kuceritakan pula bagaimana penampilan Mrs.
Overton. Ia memotong rambutnya pendek sekali—mirip rambut
cowok.”

“Apa?” tanya Deena.

“Aku bilang Mrs. Overton... kau ini kenapa sih?” Jade meng-hentikan
ucapannya dengan jengkel.

21 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Entahlah,” sahut Deena. “Kurasa aku mencemaskan Chuck. Entah
kenapa aku punya firasat dia...” Sebelum Deena selesai berucap,
terdengar pintu kafetaria dibuka dengan keras. Ia menoleh, namun
yang dilihatnya hanya dua cowok menubruk tumpukan nampan
kotor di dekat pintu.

“Ada anak berkelahi!” teriak seseorang.

Ruangan itu segera dipenuhi dengan bunyi kursi-kursi terbalik dan


gemerencing mangkuk-mangkuk serta pecah belah di meja. Orang-
orang berdiri, berkerumun di dekat pintu.

Deena berjinjit, berusaha melihat siapa yang berkelahi.

“Itu Bobby McCorey,” Jade berteriak di antara suara anak-anak yang


bersorak-sorai. “Ia berkelahi dengan anak baru.”

Uh-oh, pikir Deena. Ia naik ke kursi. “Oh, tidak,” dengusnya. “Itu


Chuck.”

“Awas!” gadis di sebelahnya berteriak.

“Anak baru itu memegang pisau!”

22 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


4
OKE, oke. Ia mengalami sedikit kesulitan dalam mengatur segala
sesuatunya. Tak jadi soal. Rencananya masih berlangsung, sesuai
dengan yang dijadwalkan. Tak ada orang yang mencurigainya.

Tinggal seminggu lagi. Seminggu lagi dan langkah akhir dari


rencananya akan dilaksanakan.

Seminggu lagi dan semua masalahnya akan beres.

Tak ada yang bisa menghentikannya.

Tak seorang pun bisa mencegahnya.

Akan buruk akibatnya bagi siapa pun yang mencoba melakukannya.

23 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


5
Minggu kedua September

TAHUN ajaran baru ini akan membawa petaka. Deena yakin itu.
Sabtu sore di akhir musim panas, Deena berdiri di jalan lingkar di
halaman rumahnya. Ia memakai baju renang usang dan celana
pendek, sedang mencuci Honda Civic abu-abu milik ibunya. Tapi
pikirannya tidak tertuju ke situ, melainkan pada kejadian-kejadian
yang tidak mengenakkan minggu lalu.

Pertama, pelajaran-pelajaran sekolahnya—lebih sulit dari yang


dibayangkannya. Kenapa ia ambil trigonometri? Rasanya ia tak
mungkin lulus dalam sejuta tahun. Kedua, masalah pergaulannya.
Pasti seburuk tahun sebelumnya, ketika ia diundang ke pesta-pesta
hanya karena ia teman Jade. Tahun ini ia bahkan semakin
“melempem” waktu berhadapan dengan cowok. Dan yang terakhir,
tapi justru merupakan masalah terbesar... Chuck!

Deena sungguh tak habis mengerti bagaimana kakaknya itu bisa


begitu tolol. Berkelahi di hari pertama sekolah. Lebih buruk lagi, ia
membawa pisau. Chuck mengamuk tak terkendali hingga perlu tiga
guru untuk melerainya. Ia pasti sudah dikeluarkan dari sekolah
seandainya ayahnya tidak menghadap kepala sekolah dan menjamin
bahwa Chuck tak akan membuat keributan lagi.

Pada malam harinya, Deena mencuri dengar saat ayahnya memarahi


Chuck. “Satu hal lagi!” teriak Mr. Martinson. Baru satu-dua kali

24 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Deena mendengar ayahnya berteriak seperti itu. “Sekali lagi kau
membuat kesalahan—meskipun cuma kecil—kau akan didepak dari
sekolah! Mengerti?”

Deena tak mendengar jawaban Chuck, tapi ia bisa membayangkan


seperti apa ekspresinya— menyeringai sambil cemberut. “Ceringai”
itu memang tak pernah lepas dari wajah Chuck selama seminggu ini.
Bukannya berusaha memperbaiki kesalahan dan bergabung dengan
keluarga, setiap pulang sekolah ia malah langsung menghilang ke
lantai bawah tanah, ke kamarnya.

Seharian ia mendekam di sana, muncul sebentar pada waktu makan


malam, tanpa berkata sepatah pun. Chuck seperti tak pernah ada di
rumah itu. Bagi Deena ini sebenarnya bukan masalah, hanya saja
suasana di rumahnya lantas berubah.

Setiap orang jadi tegang. Dad yang biasanya sangat cuek jadi
gampang naik darah. Ia membentak Deena atau ibunya yang tak
bersalah. Mom yang memang selalu tegang karena pekerjaannya
sebagai kepala administrasi Departemen Sosial Shadyside, jadi lebih
tegang lagi. Deena mendesah. Siapa bilang masa remaja adalah yang
terindah dalam hidup ini, pikirnya. Ia melihat air sabun yang
mengalir turun ke sisi mobilnya yang berkilat. Lalu ia memutar
keran dan me-nyemprotkannya ke mobil.

“Hai, Deena!”

Deena berpaling. Jade sedang menyusuri jalanan berbatu menuju ke


jalan lingkar. “Hai, Jade,” sahut Deena. “Ada apa?”

25 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Jade mengangkat bahu. Ia memakai kemeja rajutan putih, tanpa
lengan, dan celana pendek hijau. Rambutnya bercahaya seperti cairan
tembaga di kala matahari terbenam. “Tadinya aku akan keluar
dengan Mike Kamiskey malam ini,” katanya, “tapi ia baru saja
membatalkannya. Ia sedang flu—pokoknya begitulah yang
dikatakannya—lalu aku ke sini untuk melihat kalau-kalau kau tidak
punya acara.”

“Maksudmu, kau tahu pasti aku tak punya teman kencan,” tukas
Deena.

“Lho, kok kau tersinggung? Aku kan cuma mampir.”

Deena mematikan keran dan memperhatikan mobilnya. “Sudahlah,”


ujarnya. “Kebetulan ayah-ibuku sedang keluar, nonton konser di
kota. Mereka memberiku uang untuk membeli piza dan menyewa
film. Kau boleh bergabung denganku.”

“Bagus,” jawab Jade. Lalu ia tersenyum nakal. “Mana Chuck?”

“Lupakan dia,” kata Deena. “Dia itu Mr. Antipergaulan. Dia hanya
keluar kamar kalau makan.”

“Aku berani bertaruh, aku bisa mengubahnya.”

“Lupakanlah!”

“Oke, oke,” kata Jade. “Sayang sekali cowok ganteng begitu hobinya
mengurung diri di kamar!”

®LoveReads

26 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Oh, serasa tak percaya aku telah mencuci mobil itu,” kata Deena,
melihat ke luar jendela.

Malam semakin larut, hujan turun dengan deras selama satu jam
terakhir.

“Ibuku bilang, mencuci mobil malah menyebabkan hujan turun,


meskipun langit cerah,” sahut Jade.

“Mau piza lagi?” tanya Deena beberapa saat kemudian. Ia


menyodorkan kotak besar segi empat ke seberang meja.

“Aku masih lapar,” jawab Jade. “Tapi kurasa Chuck juga perlu
ditawari beberapa potong.”

“Maukah kau melupakannya? Ia pasti ada di kamarnya,


merencanakan cara merobohkan sekolah. Ayo lihat film saja.”

“Aku punya ide yang lebih bagus. Kupikir ini saat yang tepat untuk
menelepon Rob Morell lagi.”

“Aku tak mau, Jade,” kata Deena. Jantungnya berdetak cepat, seolah-
olah ia baru saja ikut lomba lari.

“Ayolah, Deena,” rengek Jade. “Rahasiamu tak akan terbongkar.”

“Baiklah, ini toh cuma permainan yang tak berbahaya.”

“Benar,” sambar Jade. “Permainan yang tak berbahaya.”

Jade langsung membuka buku telepon dan memencet nomor yang


dituju. Ia mendengarkan sesaat, kemudian memberikan gagang
telepon pada Deena. “Ini!” ujarnya senang.

27 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Kejadiannya berlangsung seperti minggu lalu, tapi lebih lancar.
Deena tidak gugup sedikit pun. Yang gugup justru Rob Morell!
Lidahnya serasa kelu. “Oh, bisakah kita keluar untuk minum kofi?”
tanyanya setelah mereka mengobrol beberapa lama.

“Maksudmu minum kopi, Rob,” kata Deena dengan suara mendesah.


“Pasti aku mau, tapi tidak sekarang. Aku ingin meyakinkan diri
dulu...”

“Meyakinkan diri bagaimana?”

“Aku harus yakin bahwa kau bersungguh-sungguh.”

Tengah Deena memikirkan kelanjutan obrolannya, tiba-tiba telepon


bergemeresik. “Halo?” kata Rob. “Halo, apakah kau masih di situ?”
Suara Rob terdengar cemas, takut kalau-kalau Deena memutuskan
hubungan.

“Pasti ada yang tak beres,” kata Deena. “Sori, Rob, sampai di sini
dulu, ya. Aku akan meneleponmu lagi.” Deena meletakkan telepon,
merasa dirinya berada di atas angin.

“Luar biasa!” puji Jade. “Tapi itu tadi suara apa, ya?”

“Entahlah,” sahut Deena. “Mungkin teleponnya rusak.”

“Semoga saja tidak. Kemarikan teleponnya, sekarang giliranku.”

“Kau mau menelepon siapa?”

“Mike Kamiskey. Aku ingin mengecek apakah ia benar-benar sakit.”


Jade memencet nomor telepon, tapi sebelum selesai, terdengar tiga

28 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


kali ketukan keras di pintu. Pintu terbuka. Chuck berdiri di sana,
memakai celana pendek dan T-shirt REM biru kehijauan. Ia
tersenyum konyol.

“Halo, gadis-gadis,” sapanya.

“Chuck, ini kamarku!” tegur Deena.

“Hei... kita kan keluarga!” protes Chuck. Lalu ia berpaling pada Jade.
“Siapa namamu?”

Deena memandang Jade. Jade malah memandang Chuck, sepertinya


Chuck itu penyanyi andalan kelompok band rock. Deena menghela
napas. “Chuck,” katanya, “ini...”

“Aku Jade Smith,” potong Jade, tersenyum lebar dan manis.

“Aku Chuck,” ujar Chuck, balas tersenyum.

Oh, aku muak sekali, pikir Deena. Chuck duduk di bangku antik yang
terletak di depan kaca rias Deena. Dengan tubuh kokoh dan berotot,
Chuck bagai boneka mebel di situ. “Mau apa kau ke sini?” tanya
Deena.

“Bergabung,” kata Chuck. “Aku tahu kalian sedang membuat ulah.”

“Apa maksudmu?” tanya Deena. “'ini dari seseorang yang diam-diam


mengagumimu, Rob',” kata Chuck menirukan suara seksi Deena.
“’Pasti aku mau minum kopi bersamamu...’”

“Oh, kau yang menyadap telepon kami!” seru Deena. Mukanya


memerah sampai ke akar-akar rambutnya.

29 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Sekarang sudah terjawab kenapa telepon itu tadi berisik,” ujar Jade.

“Aku tak menyadap telepon,” kata Chuck. “Aku tadi mau menelpon.
Aku yakin Dad pasti tertarik pada permainanmu.”

“Chuck, jangan!” pinta Deena. “Jangan melaporkannya! Dad akan


menyingkirkan teleponku!”

“Lalu harus bagaimana?” kata Chuck. “Kau tak memerlukan-nya


kalau yang kau telepon cuma cowok-cowok tolol di sekolahmu. Kalau
ingin bermain telepon, paling tidak kau harus punya imajinasi.”

“Huh, apakah kau punya ide yang lebih bagus?”

“Mungkin,” sahut Chuck.

“Jangan berdebat terus,” kata Jade tenang. Ia melempar senyum


nakal pada Chuck. “Kenapa tak kautunjukkan idemu itu pada kami?”

“Tunggu,” cegah Deena. “Kenapa tak kita lupakan saja. Kurasa...”

“Ayolah, Deena,” bujuk Jade. “Ini kan cuma permainan tak


berbahaya. Kau yang bilang begitu, kan. Apa salahnya membiarkan
Chuck mencobanya?”

Oh, tidak, pikir Deena. Gagasan Chuck selalu mengundang bahaya,


tapi ia tak mampu mencegahnya. Kalau sampai Chuck mengadu pada
Dad, telepon itu pasti disingkirkan. “Kisah cinta”-nya dengan Rob
pun akan tamat. Lagi pula, Chuck tampak bersikap ramah. Mungkin
ia hanya perlu teman.

30 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Baiklah,” kata Chuck, “tapi tidak untuk hal kecil seperti, 'Oh, Rob,
kau amat rupawan. Ayo kita berkencan.'“

“Lalu seperti apa?” tanya Jade.

“Kulihat buku telepon dulu,” kata Chuck. Ia membolak-balik buku


telepon Shadyside. “Benar-benar kota kecil,” gumam-nya “Bagaimana
cara orangorang disini mencari kesenangan?”

“Sama seperti di kota,” sahut Deena kesal. “Nonton film, berdisko,


golf, boling....”

“Boling. Itu ide bagus,” kata Chuck. Ia memeriksa halaman kuning.


“Ini dia—Shadyside Lanes.” Ia memencet nomor telepon. Beberapa
saat kemudian, terdengarlah suara wanita dari pengeras suara.

“Selamat malam, Shadyside Lanes.”

“Cukup kuberitahukan sekali,” kata Chuck. Ia merendahkan suaranya


hingga terdengar seram. “Ada bom yang diletakkan pada suatu
tempat di wilayahmu. Bom itu akan meledak pada pukul sepuluh.”

“Siapa ini?” tanya wanita itu, ketakutan.

“Ingat, kau cuma punya waktu lima belas menit untuk


mengosongkan tempat itu,” kata Chuck, menutup telepon.

“Chuck!” jerit Deena, shock dan terkejut.

“Kau keterlaluan! Ancaman bom adalah masalah serius!”

31 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Hei, ini mungkin satu-satunya kejadian menarik selama berbulan-
bulan ini, di sini,” sahut Chuck. Ia terbahak-bahak dan mulai
membuka-buka buku telepon lagi.

“Ini baru ide lucu,” kata Jade. “Bayangkan, orang-orang bersepatu


boling itu berhujan-hujan ria.”

“Jade!” seru Deena. “Demi Tuhan! Menyebarkan berita bohong


tentang bom adalah tindakan kriminal!”

“Kau benar,” kata Jade. “Chuck,” katanya dengan manis, “aku tak mau
terlibat kesulitan. Kita menelepon teman-teman sekolah kita saja.”

“Ya, ya, ya,” sahut Chuck. Kemudian ia menjentikkan jarinya.


“Tunggu, aku punya ide lain. Apa nama tempat yang dikenal sangat
angker di kota ini?”

“Maksudmu, Fear Street?” tanya Deena.

“Ya, itu dia. Nama yang aneh!” Chuck tertawa lagi.

“Dinamai begitu mengikuti nama mantan penghuninya yang


terkenal eksentrik dan misterius,” jelas Deena. “Sebaiknya kau tidak
menertawakannya,” tambahnya.

“Banyak peristiwa mengerikan terjadi di Fear Street. Sungguh.”

“Apa misalnya?” tanya Chuck, menyeringai.

“Orang hilang,” kata Jade. “Dan peristiwa pembunuhan yang tak


terungkap. Di tengah malam orang-orang sering mendengar jeritan
mengerikan dari hutan Fear Street.”

32 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Chuck menyeringai pada Deena. “Ah, masa?” katanya mengejek.
“Belum tahu ya kalau setiap kota kecil pasti punya tempat angker
seperti Fear Street? Itu cuma omong kosong, cerita rekaan orang-
orang agar kota kecil yang membosankan ini bisa lebih menarik.”

“Fear Street itu benar-benar ada, Chuck,” kata Deena.

“Orang-orang di sini tak pernah menganggapnya cerita bohong,”


Jade menambahkan. Deena yakin kali ini Jade serius, bicaranya tidak
genit.

“Benar atau tidak,” kata Chuck, “aku tak takut pada Hantu Fear
Street. Ayo kita buktikan,” katanya, terus membalik-balik buku
telepon. “Kau mau menelepon teman-teman sekolah, kan? Siapa yang
berkelahi denganku dulu?”

“Bobby McCorey,” jawab Jade cepat. “Ia dan gengnya selalu merasa
jagoan. Mereka mempermainkan yang lemah.”

“Baik, ayo sekarang kita ganti mempermainkannya,” tukas Chuck.


“Lihat seberapa besar nyalinya sebenarnya.”

Sebelum Deena sempat mencegah, Chuck telah memutar nomor


telepon Bobby.

“Bisa bicara dengan Bobby McCorey?” tanyanya dengan suara


angker.

Tengkuk Deena merinding. Beberapa saat kemudian terdengar


suara, “Ini Bobby.”

33 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Aku Hantu Fear Street,” kata Chuck. “Aku akan selalu memata-
mataimu.”

“Hantu... siapa ini?” tanya Bobby.

“Aku akan terus memata-mataimu,” ulang Chuck.

“Apa maksudmu?” Tiba-tiba suara Bobby terdengar ragu-ragu.

“Dengar baik-baik,” kata Chuck. “Aku akan terus memata-mataimu—


dengan mata setanku. Jika aku jadi kau, setiap malam akan kuperiksa
jendela dan pintu rumahmu, apakah sudah tertutup rapat.”

“Katakan, siapa kau?” desak Bobby serak.

Deena baru saja mau merebut telepon dari tangan Chuck, ketika
Chuck tertawa terkekeh-kekeh dan menutup telepon.

“Kau benar, Jade,” katanya masih sambil tertawa. “Lebih


menyenangkan menelepon teman-teman sekolah.”

“Aku tak percaya kau telah meneleponnya!” seru Deena. “Bobby


McCorey itu jahat. Bagaimana jika ia mengenali suaramu?”

“Jangan kuatir,” kata Chuck. “Ini cuma permainan tak berbahaya.


Kau takut pada Hantu Fear Street, ya!” Ia tertawa tergelak-gelak
kemudian lari ke jendela dan membukanya. Di luar luijan turun amat
deras, halilintar bersahut-sahutan. “Hantu Fear Street!” Chuck
berteriak lantang. “Kau dengar aku! Kutunggu kau! Di sini!
Kemarilah, temui aku!”

34 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Ia sinting, pikir Deena. Wajahnya mengerikan dan seluruh
kepribadiannya berubah. Sepertinya Chuck punya dua pribadi yang
setiap saat bisa berubah-ubah. Tiba-tiba kilat menyambar diiringi
halilintar yang mengguntur. Lampu padam. Kegelapan pun
dipecahkan oleh jeritan mengerikan. Tak lama kemudian lampu
menyala lagi. Kedua gadis itu berpandangan dengan mata terbelalak
dan mulut ternganga.

“Petir itu begitu dekat!” seru Deena dengan suara bergetar. “Jangan-
jangan ada yang tersambar.”

“Deena!” teriak Jade panik.

“Mana Chuck?” Deena memperhatikan ruangan—Chuck tak ada di


situ! Kemudian terdengarlah lenguhan di dekat jendela.

“Di situ,” kata Jade. “Cepat!”

Kedua gadis itu berlari ke jendela yang terbuka. Hujan menerobos


masuk. Kilat berkelebat menerangi Chuck yang meringkuk lemah di
lantai.

35 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


6
BEBERAPA saat Deena menatap kakaknya yang tak bergerak-
gerak. “Chuck!” serunya. “Chuck!”

“Oh, tidak!” jerit Jade, suaranya bergetar. Ia membungkuk di atas


tubuh Chuck. “Oh, apakah ia... apakah ia... aaahhhh!”

Jade dan Deena melompat mundur ketika Chuck tiba-tiba duduk


tegak, serunya, “Boooga, boooga!” Kemudian ia berbaring lagi di
lantai, tertawa terbahak-bahak sampai terbatuk-batuk. “Kalian pasti
mengira yang bukan-bukan,” katanya terengah-engah di antara
tertawa dan lerbatuk. “Hantu Fear Street itu pasti yang membuat
kalian ketakutan, nyaris setengah mati!”

Deena belum pernah mengalami perasaan yang campur aduk seperti


itu. Mula-mula ketakutan—sangat ketakutan. Lalu terkejut,
kemudian lega ketika sadar Chuck cuma main-main. Tetapi yang
dirasakannya sekarang adalah amarah yang amat sangat. Kemarahan
yang menyebabkan badannya serasa akan meledak. “Chuck! Kau
makhluk yang menyebalkan!” teriak Deena.

“Kau biang kekacauan, mempermainkan orang sampai sedemikian


rupa!”

“S-o-r-i,” kata Chuck, bernapas dalam-dalam setelah puas tertawa.


Tapi nadanya sama sekali tak menunjukkan penyesalan. “Aku
memang benar-benar tak mampu menahan kemauanku itu.”

36 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Semua kegembiraan beberapa saat lalu menguap seketika. Jade
mendekatkan wajahnya ke jendela, memandang sekilas ke luar.
“Hujan sudah reda,” katanya. “Aku mau pulang.”

“Aku akan mengantarmu,” kata Chuck. “Setelah kejadian tadi,


mungkin kau ngeri pulang sendirian malam ini,” Chuck mulai
tertawa lagi sambil memamerkan senyum konyolnya.

Deena masih marah, tapi Jade sudah kelihatan biasa-biasa saja. Ia


menatap Chuck dengan penuh arti seakan-akan tak peduli kalaupun
cowok itu benar-benar Hantu Fear Street.

®LoveReads

Hari berikutnya Chuck minta maaf dan menawarkan diri untuk


menolong Deena mengerjakan pe-er matematikanya. Chuck itu
seperti berkepribadian ganda, pikir Deena. Chuck yang satu—yang
suka tersenyum konyol—sangat baik, pemberani, dan lucu. Chuck
yang satunya licik dan kekanak-kanakan. Deena mulai jatuh sayang
pada Chuck yang pertama itu. Ia harus berusaha agar pribadi yang
baik itu lebih sering muncul.

Esok harinya Deena masih memikirkan Chuck yang ber-kepribadian


ganda itu. la hampir bertubrukan dengan Rob Morell di koridor
menuju kelas bahasa Prancis.

“Oh, sori,” katanya.

37 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Aku yang salah,” sahut Rob. “Apa kabar, Deena?” tanyanya,
tersenyum lebar dan ramah padanya.

Jantung Deena berdegup kencang ketika ia menjawab dengan


tergagap-gagap. Ia teringat kejadian minggu lalu, waktu itu ia
merasa kuat dan percaya diri setelah mengobrol dengan Rob di
telepon. Tapi setelah kejadian malam Minggu kemarin, kekuatan dan
rasa percaya dirinya lenyap.

Sebaliknya ia merasa dirinya licik dan tak pantas berhadapan dengan


Rob. Ia tak yakin apa yang menyebabkan perubahan itu, kecuali
perasaannya bahwa telepon iseng yang dilakukan Chuck
mengandung bahaya. Telepon iseng itu kini bukan permainan lagi.
Dan ia tak ingin meneruskannya. Ia harus bicara dengan Jade dan
Chuck, meyakinkan mereka untuk menghentikan permainan itu.
Kesempatan yang ditunggu-tunggunya datang pada saat makan
siang. Ia baru saja menggigit sandwich-nya ketika Jade meletakkan
nampan makan siangnya di seberangnya.

“Deena, sudahkah kaubaca koran pagi ini?” tanya Jade, matanya


mengerjap-ngerjap nakal.

“Belum,” jawab Deena. “Dengar, Jade, ada yang harus ku katakan


padamu...”

“Oke, tapi lihat ini dulu!” Jade mengangsurkan koran Shadyside,


Morning Press, pada Deena. Koran itu hampir menumpahkan kotak
susu Deena. Salah satu artikel di lembar paling depan koran itu

38 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


diberi lingkaran merah. Ketika membacanya, jantung Deena serasa
mau copot.

MENURUT POLISI BOM ITU CUMA CERITA BOHONG

Kepolisian Shadyside menyelidiki bom yang katanya diletakkan


di Shadyside Lanes pada pukul 21.45, Sabtu malam kemarin.
Meskipun seluruh bangunan sudah diperiksa, polisi tak
menemukan tanda-tanda bom akan meledak. Louise Cameron,
manajer yang bertugas malam itu, melaporkan bahwa seorang
laki-laki bersuara parau menelepon tentang bom itu.
“Kedengarannya pria itu bersungguh-sungguh,” tuturnya.

Cory Brooks, pelajar Shadyside High School, berada di antara


lebih dari tiga puluh orang yang menunggu di luar saat
bangunan itu diperiksa.

“Tak seorang pun panik,” katanya. “Tapi saya menyesal sekali


karena harus keluar ketika permainan sedang asyik-asyiknya”

Meskipun tak menemukan petunjuk yang berarti, juru bicara


polisi, Letnan Evan Frazier, menegaskan penyelidikan itu akan
terus dilakukan.

“Barangkali ini cuma telepon gelap,” katanya pada wartawan.


“Tapi kita tak boleh meremehkan perbuatan teroris. Kami tetap
menanggapi cerita bohong ini dengan serius.”

39 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Selesai membaca berita itu Deena merasa malu dan terpukul. Ia
memandang Jade, berharap Jade juga berperasaan begitu. Namun
mata Jade tampak berbinar-binar, wajahnya berseri-seri. Ia kelihatan
amat puas.

“Hebat, kan?” katanya. “Berita kita dimuat di halaman depan!”

Beberapa saat Deena cuma bisa memandang temannya itu dengan


tatapan mata tak percaya. “Kau gila?” akhirnya ia berkata. “Ini serius.
Polisi telah menegaskan akan terus mengusutnya.”

“Mereka pasti tak bisa menemukan kita.”

“Kau bilang 'kita'? Chuck yang menelepon tentang bom itu.”

“Tenanglah,” kata Jade. “Bukankah tak ada yang terluka?”

“Memang tidak,” Deena setuju, “tapi sebaliknya bisa saja terjadi, kan?
Kalau mereka panik, kemungkinan besar akan ada yang terluka.
Bagaimana pula dengan telepon gelap Chuck yang lain—ketika ia
juga mengaku sebagai Hantu Fear Street?”

Wajah Jade kini berubah. Deena bisa menangkap perasaan takut di


matanya. “Apanya yang bagaimana?” tanya Jade akhirnya.

“Itu bukan lagi permainan yang tak berbahaya. Telepon itu sungguh-
sungguh menyeramkan. Chuck memang berniat menakut-nakuti
Bobby McCorey.”

Jade cemberut. “Oke, Chuck mestinya tak membawa-bawa Fear


Street ketika ia bermain telepon. Tapi aku suka permainannya. Kau
juga kan, Deena, akuilah.”
40 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
“Menelepon teman-teman sekolah memang menyenangkan, tapi
Chuck sudah menghadapi banyak kesulitan. Jangan sampai ia
terjerumus lebih dalam lagi. Lagi pula telepon iseng itu sebenarnya
perbuatan yang tidak baik. Kita harus menghentikannya, Jade.”

“Oh, begitukah pendapatmu?” sergah Jade.

“Sejak kapan kau jadi pengambil keputusan? Kita kan bertiga, aku
dan Chuck juga punya hak suara.”

“Tapi telepon itu milikku,” bantah Deena.

“Baik, kalau begitu Rob Morell mungkin perlu tahu siapa yang diam-
diam selalu meneleponnya.” Jade berhenti sebentar, tersenyum keji
pada Deena yang ketakutan. “Atau,” Jade meneruskan, “tunggu
sampai malam Minggu. Chuck, kau, dan aku bisa mendiskusikannya
lagi.”

®LoveReads

Malam Minggunya Deena semakin yakin bahwa ia telah mengambil


keputusan yang tepat. Bermain telepon adalah perbuatan yang tidak
baik, bagaimanapun ia harus meng-hentikannya. Lagi pula ia hampir
merasa pasti Chuck tidak akan sungguh-sungguh mengadu pada
ayahnya. Chuck kan juga ikut terlibat. Dan Jade... sahabatnya itu tak
mungkin mengkhianatinya, kan? Barangkali ia hanya terbawa emosi.

Yang menyenangkan, hubungan Chuck dan dirinya kini makin


akrab. Seminggu ini Chuck sudah dua kali membantunya

41 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


mengerjakan pe-er trigonometri. Chuck juga menolongnya mencuci
piring-piring kotor kalau malam hari. Jade mungkin benar. Chuck
kesepian. Barangkali ia sedang berusaha menyesuaikan diri dengan
Shadyside.

Sabtu malam, seperti biasa, orangtua Deena berkunjung ke rumah


teman-temannya. Agar diskusi itu berjalan lancar, Deena membuat
barbecue. Malam itu cuaca cerah, cocok untuk makan di luar. Deena
membuat hamburger isi keju dan salad kentang spesial dengan
bawang, tomat, serta irisan buah zaitun hitam. Sementara itu, di luar,
Chuck menyiapkan kayu bakar.

Pintu gerbang diketuk. Jade masuk dengan membawa sekotak besar


es krim. “Hm, baunya lezat,” kata Jade. Ia mengenakan salah satu
gaun terusannya, terbuat dari kain dril kusam beraplikasi manyala.
Deena melihat Chuck memandang Jade dengan kagum, sebelum
cowok itu menerus-kan pekerjaannya. Hamburger itu pas, hangus
sebelah luar-nya dan lunak bagian dalamnya. Jade dan Chuck sampai
dua-tiga kali menambah salad kentang buatan Deena. Setelah makan
malam, Chuck kelihatan santai. Sejak kedatangannya di Shadyside,
baru kali inilah Chuck terlihat begitu santai. Mungkin semuanya
akan berlangsung baik, pikir Deena.

Ketiga remaja itu duduk-duduk di kursi panjang di pekarangan


belakang. Mereka makan es krim sambil men-dengarkan musik dari
tape Deena. Ketika malam tiba, langit pun menggelap dengan warna
ungu tua. Deena menyandarkan kepalanya, memandang bintang
yang satu per satu muncul di langit. “Makan malam yang

42 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


menyenangkan, Deena,” kata Chuck, membuat Deena tersenyum.
Biasanya Chuck tak mau memanggil namanya, hanya menyebutnya
kid.

“Aku suka salad-nya,” tambah Jade. “Semua terasa amat lezat.”

Hm, pikir Deena, ini mungkin saat yang tepat untuk mem-
bicarakannya. “Hai, teman-teman,” katanya. “Kita harus mengadakan
pembicaraan serius. Menurutku acara telepon-teleponan itu harus
diakhiri.”

“Oke,” jawab Chuck.

“Baik,” sahut Jade.

“Sebetulnya,” Deena meneruskan, “kurasa...” Ia tiba-tiba


menghentikan kalimatnya. “Kalian mau bilang apa?” tanyanya.

“Kami setuju.” jawab Jade, “Chuck dan aku telah mem-bicarakannya.”

“Ya,” sahut Chuck. “Jade telah meyakinkan aku. Telepon gelap itu
bisa mengundang bahaya. Lebih-lebih karena ayah kita bekerja di
perusahaan telepon.”

Deena memandang Chuck dan Jade bergantian. Benarkah Jade sudah


meyakinkan Chuck? Kapan mereka membicara-kannya? Suka atau
tidak suka, sepertinya Jade punya pengaruh besar atas diri Chuck.

“Apa lagi yang mau kaubicarakan?” tanya Jade.

“Tak ada lagi,” jawab Deena. Ia tak pernah mengira kemenangan


dengan begitu mudah dapat diraihnya. Saat itu sudah gelap, tapi

43 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Deena bisa melihat tangan Chuck yang menggenggam tangan Jade.
Deena iri dan mulai memikirkan Rob Morell. Hm, ia seharusnya tak
boleh iri. Ia harus gembira melihat keakraban Chuck dan Jade.
Kelihatannya mereka akan menjadi pasangan serasi. Menurut Deena,
menyenangkan sekali kalau bisa berada di situ selamanya, berkumpul
sambil makan es krim.

Ketika lagu terakhir berhenti mengalun, Deena bangkit untuk


mengganti kasetnya. Baru saja ia akan menekan tombol eject, sesuatu
yang gelap menerpa wajahnya. Ia menjerit sambil melompat ke
belakang. “Ada apa?” tanya Chuck.

“Ada kelelawar!” jerit Deena ketakutan. Ia menghindar, lewat pintu


sorong, dan bersembunyi di ruang baca. Di luar, kelelawar itu
terbang dengan gelisah mengitari lampu beranda belakang.

“Kelelawar? Hii!” jerit Jade. Ia melompat mundur dan lari menyusul


Deena.

“Hai, gadis-gadis!” seru Chuck. “Jangan takut. Binatang itu tidak


bersenjata kok.”

“Nggak lucu!” teriak Deena dari dalam. “Bagiku kelelawar itu


makhluk yang menjijikkan.”

“Menurutku juga begitu,” tambah Jade. “Chuck, masuklah kemari.”

“Baiklah.” Chuck mendorong pintu, berdiri di ambangnya beberapa


saat, membiarkan pintu itu tetap terbuka.

44 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Tutup pintu!” seru Jade dan Deena. “Cepat, tutuplah pintu!
Kelelawar itu akan ikut masuk ke sini!”

“Kelelawar, kemarilah!” seru Chuck. Tapi ia menutup pintu juga dan


menjatuhkan dirinya di kursi berlengan di dekat perapian. “Kenapa
kalian takut pada kelelawar?” tanyanya. “Apakah gadis-gadis di kota
kecil ini selalu takut apa-apa?”

“Manusia yang punya akal sehat biasanya takut pada kelelawar,”


sahut Deena. “Ia penyebar rabies.”

“Hm, kurasa bukan itu penyebabnya. Kalian takut gara-gara


takhayul. Sama seperti omong kosong tentang Fear Street itu.”

“Fear Street bukan omong kosong,” bantah Jade. Ia duduk pada


lengan kursi di sebelah Chuck. Menurut Deena, di bawah sinar
lampu, Jade tampak cantik sekali sekaligus ketakutan.

“Masa kalian tak mengerti juga?” sergah Chuck. “Cerita-cerita yang


pernah kalian dengar tentang Fear Street itu semuanya cuma rekaan
yang dibesar-besarkan. Semuanya isapan jempol yang sengaja dibuat
untuk menakut-nakuti orang.”

“Sekadar informasi untukmu,” kata Deena, “di hutan Fear Street tak
ada burung-burung. Para ilmuwan tak bisa menemukan sebabnya.”

Chuck tertawa mengejek. “Tak ada burung-burung. Itu masalah


yang s-a-n-g-a-t besar.”

“Orang-orang lenyap begitu saja,” tambah Jade. “Rumah-rumah


terbakar secara misterius...”

45 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Aha!” seru Chuck. “Ada rumah-rumah. Jadi ada orang yang tinggal
di sana?”

“Ya,” jawab Deena.

“Siapa mereka? Monster, raksasa, penyihir, dan drakula?”

“Aku tak tahu,” jawab Deena. Obrolan itu membuatnya gelisah. “Aku
tak kenal seorang pun yang tinggal di situ.”

“Itulah masalahnya,” tukas Chuck. “Kini akan kubuktikan bahwa


Fear Street tidak menakutkan. Akan kubuktikan bahwa yang tinggal
di situ adalah orang-orang seperti kita.” Chuck menyalakan lampu
meja dan mengambil buku telepon.

“Chuck, mau apa kau?” tanya Deena. “Kau sudah janji...”

“Aku janji takkan bermain telepon lagi,” jawab Chuck. “Yang


kulakukan ini berbeda—aku mau mengubah pandangan kalian.
Setelah itu, pasti kalian tak akan ketakutan lagi.” Jari Chuck terhenti
pada sebuah nomor. Ia meraih telepon.

“Kau mau menelepon siapa?” tanya Jade. Wajahnya berseri-seri,


seperti pada malam Minggu yang lalu.

“Aku belum tahu. Mungkin seseorang di Fear Street yang namanya


pertama kali kutemukan di buku telepon ini.” Chuck menghidupkan
pengeras suara dan menekan nomor telepon. Dering telepon pun
memenuhi kamar itu. “Akan kubuktikan bahwa tak ada yang perlu
ditakutkan.” Telepon itu terus berdering, sampai lima belas kali—
Deena menghitungnya.

46 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Akhirnya Chuck berkata, “Kurasa tak ada orang di rumah itu. Aku
akan menelepon rumah yang lain...”

Pada dering yang keenam belas terdengar suara telepon diangkat,


disusul suara terengah-engah ketakutan. Deena mendengar bisikan
ketakutan,

“Tolong! Tolong, cepatlah kemari! Ia akan membunuhku!”

47 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


7
“SIAPA Anda?” desak Chuck.

“Tolong,” pinta wanita itu. “Siapa pun kau, cuma kau yang bisa
menolongku! Sewaktu-waktu ia bisa...” Tapi suara wanita itu
terpotong oleh teriakan marah seorang pria.

Ketika ketiga remaja itu ketakutan, terdengarlah jeritan ngeri dan


gelas-gelas pecah dari pengeras suara telepon.

“Halo? Halo?” seru Chuck. Dan wanita itu membalasnya.

“Tolong kemarilah!” pintanya lagi. “Tolonglah aku! Kau satu-satunya


yang bisa kuharapkan...”

Terdengar suara tamparan, dan suara orang lain yang bicara dengan
kasar di telepon. “Siapa kau?” tanyanya menggeram.

“Apa yang terjadi di situ?” balas Chuck.

“Bukan urusanmu,” geram pria itu. “Kau salah sambung, mengerti?”

“Tapi kudengar...”

“Salah sambung!” ulang pria itu, menutup telepon.

Deena, Chuck, dan Jade saling berpandangan.

Jade yang kemudian memecahkan keheningan itu, suaranya pelan


dan ketakutan. “Itu tadi cuma main-main, kan, Chuck?” tanyanya.

Deena berpikir—atau berharap—yang sama.

48 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Tapi ketika ia melihat wajah Chuck yang pucat, ia tahu kejadian tadi
bukan main-main. “Itu sungguh-sungguh terjadi,” sahut Chuck.
“Kecuali kalau orang itu ingin main-main denganku.” Ia kelihatan
marah dan geram.

“Oh, tidak,” ujar Deena, kakinya tiba-tiba terasa lemah. “Apa yang
harus kita lakukan sekarang?”

“Kita harus menelepon polisi,” jawab Jade, meraih telepon.

“Tunggu,” cegah Chuck, merenggut pergelangan tangan Jade.


“Bagaimana kita menjelaskan telepon iseng itu pada polisi? Apakah
mereka akan mempercayai kita? Mereka pasti menganggap kita ini
cuma anak-anak yang membuat ulah.”

“Seperti berita bohong mengenai bom itu,” bisik Jade.

“Betul,” jawab Chuck.

“Kita harus memberitahu seseorang,” ujar Deena.

“Suara wanita itu begitu mendesak, seolah-olah ia benar-benar ada


dalam bahaya. Katanya orang itu akan... akan membunuhnya!”

“Mungkin yang dikatakannya itu juga bagian dari permainan


mereka,” kata Jade, ragu-ragu.

“Itu tadi bukan main-main,” tegas Deena. Ia berdiri. “Jika kalian tak
mau berbuat sesuatu, aku akan menelepon...”

Chuck mengambil telepon dari atas meja. “Bisakah kau bersikap lebih
tenang?” tegurnya. Ia meraih buku telepon.

49 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Deena memberitahu Chuck, “Nomor telepon kantor polisi sembilan-
satu-satu.”

“Aku tak mau menelepon polisi,” jawab Chuck. “Aku akan cari
alamat.” Ia membanting buku itu hingga tertutup lalu berdiri

“Kau mau pergi ke sana?” tanya Deena ngeri.

“Aku harus ke sana,” sahut Chuck. “Aku harus tahu apa yang terjadi
di sana.”

“Biarkan yang berwenang yang menanganinya. Bagaimana jika


benar-benar ada pembunuh di sana?”

“Aku harus menghentikannya. Kau dengar permintaan wanita

tadi. Aku satu-satunya harapannya.”

“Aku ikut,” kata Jade. Ia mengenakan mantel flanelnya. “Kau tak


boleh ke sana sendirian, Chuck.”

Deena menarik napas dalam-dalam. “Kalian berdua memang sinting.


Mungkin aku juga. Aku yang akan menyopir. Chuck belum tahu
jalan di Shadyside.”

Deena mengambil kunci serep mobil ibunya yang tergantung di


bawah papan pengumuman di dapur, kemudian ia keluar menyusul
Chuck dan Jade.

Malam itu cerah, dingin, dan berbulan sabit. Deena duduk di


belakang kemudi, Chuck di sebelahnya, Jade duduk di belakang. “Di

50 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


mana alamatnya?” tanya Deena, mengendarai mobilnya melalui jalan
lingkar di halaman rumahnya.

“Fear Street Nomor 884,” sahut Chuck. “Nama penghuninya


Farberson.”

“Delapan-delapan-empat!” seru Jade. “Rumah itu pasti terletak di


dekat kuburan.”

Deena merinding. Ia belum pernah ke Fear Street malam hari,


seperti umumnya penduduk Shadyside, ia selalu berusaha
menghindar dari sana. Ia membelok ke Division Street, yang
membelah Shadyside menjadi bagian utara dan selatan, kemudian ke
selatan menuju Mill Road, dan langsung menuju Fear Street.
Meskipun lampu-lampu menerangi jalanan dan hutan di situ, Deena
seperti melihat bayangan yang bergerak-gerak.

Perasaan Chuck dan Jade pasti sama dengannya, karena tak seorang
pun berkata-kata sampai Deena membelokkan mobil ke Fear Street.
Jalan itu sekilas tak tampak berbeda dengan jalan-jalan lain, ada
rumah-rumah tua dan halaman-halaman kosong. Tapi setelah
diamati lebih dekat, terasa sekali perbedaannya.

Salah satunya, di situ tampak reruntuhan rumah tua Simon Fear,


yang habis terbakar beberapa tahun silam—tapi masih diisukan
berhantu. Hal lainnya, Fear Street tampak lebih gelap dan angker
dibanding tempat-tempat lain di kota itu. Suasananya sunyi senyap,
seperti tak ada kehidupan. Halaman berumput tak lagi hijau tapi
kecokelatan, pohon-pohon gundul, beberapa daunnya dimakan ulat.

51 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Walaupun terlihat lampu-lampu menyala dari jendela rumah-rumah
di kedua sisi jalan itu, serasa tak ada kehangatan, kegembiraan
orang-orang yang tinggal di balik tirai jendela itu.

“Di mana alamatnya?” tanya Deena lagi. Ia berharap suaranya tak


terdengar setakut perasaannya.

“Delapan-delapan-empat,” jawab Chuck.

“Tiga-lima-nol, empat-dua-dua,” Jade membaca nomor-nomor yang


tertulis di kotak surat. “Jalan terus.”

Deena menjalankan mobilnya lebih jauh menyusuri Fear Street.


Biasanya ia sangat suka mengendarai mobil mungil ibunya, tapi
malam itu ia berharap mobilnya bisa menjadi lebih besar dan lebih
kuat—seperti tank!

Di kejauhan terlihat hutan Fear Street yang sunyi dan gelap.


Tinggal beberapa rumah lagi yang tersisa, dan Deena mulai berharap
Chuck keliru mencatat alamat rumah yang dicarinya. Mungkin
bukan Fear Street Nomor 884, sama sekali bukan Fear Street, tapi
Hawthorne, Mill Road, Canyon Drive, atau...

“Itu rumahnya, di atas sana!” seru Chuck. Hanya tinggal sebuah


rumah di depan mereka, letaknya terpisah dari rumah-rumah di
sekitarnya. Rumah itu bertingkat dua, bergaya Victoria dengan
atapnya yang hampir runtuh dan halamannya yang tak terurus. Di
belakangnya tak ada bangunan lagi—cuma kuburan. Lampu mobil
Deena menerangi kotak surat berkarat dengan nomor “884”.

52 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Ia memarkir mobil di depan rumah itu lalu mematikan lampu-nya.
Chuck, Deena, dan Jade mengamati rumah yang diliputi kegelapan
itu. Rumah itu tampak terbengkalai, seolah-olah telah bertahun-
tahun ditinggalkan penghuninya!

“Sepertinya tak ada orang di sana, Chuck,” kata Deena. “Mungkin


kau keliru mencatat alamatnya.”

“Mungkin,” jawab Chuck ragu-ragu. “Tapi aku harus mengeceknya.”

“Deena benar, Chuck,” kata Jade, sangat gugup. “Pasti bukan ini
rumahnya.”

“Aku hanya ingin berkeliling sebentar. Kalian tunggu saja di sini.”


Chuck membuka pintu mobil dan bersiap-siap keluar.

Deena langsung teringat kejadian yang lalu, ketika Chuck tanpa rasa
takut berlari menuju mobil yang terbakar, hanya untuk
menyelamatkan seekor anjing. Deena tahu, sekarang pun Chuck tak
dapat dibujuk untuk mengurungkan niatnya.

“Ada senter di laci mobil,” katanya pada Chuck.

“Terima kasih,” sahut Chuck. Ia mengeluarkan senter dari laci, lalu


di bawah sinar lampu mobil, ia memamerkan senyum konyol. Setelah
menutup pintu, ia menuju jalanan mobil yang telah rusak di rumah
itu.

Deena dan Jade menunggu dalam kegelapan. Deena bermaksud


mengunci semua pintu mobilnya, tapi kemudian membatalkannya.

53 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Sebentar lagi Chuck mungkin akan kembali dengan tergesa-gesa,
pikirnya.

Di seberang jalan, yang tampak hanyalah kegelapan dan pohon-


pohon hutan Fear Street. Salah satu sisi rumah itu dibatasi oleh
pagar tembok yang mengelilingi kuburan. Di belakang rumah
terlihatlah bulan yang bersinar redup dan suram.

“Aku tak mau menunggu lebih lama lagi di sini!” kata Jade tiba-tiba.
“Aku akan menyusul Chuck.”

“Aku ikut,” kata Deena.

Kedua gadis itu keluar dari mobil dan menyusuri jalanan menuju
rumah itu, menyusul Chuck. Menurut Deena, kerikil yang diinjaknya
itu seperti bongkahan-bongkahan tulang dan ia pun jadi merinding.
Mereka menemukan Chuck di beranda, sedang menempelkan
telinganya ke pintu.

“Belnya mati,” katanya. Ia mengetuk pintu, mula-mula pelan-pelan,


kemudian lebih keras.

“Semua tirainya tertutup rapat,” katanya lagi. “Ayo ke belakang


rumah, mungkin kita bisa menemukan sesuatu.”

Kedua gadis itu mengikuti Chuck, meninggalkan beranda dan


berjalan lewat samping rumah. Sesuatu yang lembut dan lengket
mengenai wajah Deena, ia pun menjerit tertahan. Ketika di-lapnya,
ternyata cuma sarang labah-labah. Deena bertanya-tanya sebesar apa
labah-labah yang bisa membuat sarang sebesar itu.

54 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Jendela-jendela di samping rumah itu semuanya tertutup. Tapi
ketika mereka tiba di belakang rumah, Chuck mendadak memberi
isyarat dengan tangannya. “Sst!” bisiknya.

Kaca pintunya pecah setengah, daun pintunya nyaris terlepas.


Dikerumuni Jade dan Deena, Chuck menyorotkan senternya ke
dalam, terlihatlah dapur kuno. Di tengahnya terlihat meja yang
terguling. Lantai di sekitarnya penuh dengan pecahan mangkuk.

Chuck menyorotkan senternya ke rak dapur. Kaleng-kaleng dan


botol-botol terguling, tepung, gula, serta bumbu-bumbu tumpah ke
rak dan ke lantai. Chuck bersiul pelan. “Tempat ini seperti habis
dirampok,” katanya. “Aku mau masuk.”

Ketika pintu dibuka, engsel-engsel pintu itu berderit seperti ratapan


seseorang yang sedang menunggu ajalnya.

Jantung Deena berdetak kencang, sangat kencang hingga ia yakin


Chuck dan Jade pasti mendengarnya. Sambil menahan napas, ia
mengikuti Chuck dan Jade memasuki dapur. Chuck maju selangkah
demi selangkah, menyorotkan senternya tepat di depan kakinya.
Kemudian ia mendadak berhenti hingga Deena dan Jade nyaris
menubruknya.

Di balik pintu ruang tengah, terlihat tangan yang terjulur. Di


sebelahnya tergeletak gagang telepon. Di antara keduanya
terlihatlah percikan darah, mengalir dan mengental, menggenang di
karpet.

55 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


8
BEBERAPA saat tak seorang pun bergerak. Lalu Chuck dengan
senternya mendekati pemandangan yang mengerikan itu. “Mundur!”
serunya pada kedua gadis itu. Ia membungkuk, dan berdiri kembali
dengan cepat. “Wanita,” katanya dengan suara kering. “Kurasa ia
ditikam.”

“Ditikam?” jerit Jade.

“Kembali ke mobil!” kata Chuck. “Wanita ini pasti jadi begini karena
memergoki si pencuri. Mungkin pencuri itu masih ada di sini!”

Deena belum pernah merasa setakut itu. Kakinya menjadi lemah


bagaikan spageti yang terlalu lembek. “Ayolah,” bisiknya. “Jade...
Chuck... ayo cepat pergi dari sini!”

“Kalian pergi duluan,” sahut Chuck. “Aku akan menelepon.”

“Telepon saja dari tempat lain,” kata Jade.

“Tak sempat lagi!” jawab Chuck. “Kita harus memanggil ambulans!”


Ia meraba-raba dinding dan menekan tombol lampu. Terang yang
seketika itu menyebabkan Deena harus mengerjap-ngerjapkan mata,
barulah ia bisa melihat dengan jelas. Deena merasa pusing. Ia dan
Jade melangkah dengan hati-hati ke ruang keluarga. Wanita itu
tengkurap di lantai. Di sampingnya tergeletak pisau besar,
berlumuran darah.

“Ohh...,” rintih Jade, mau pingsan. Ia menggenggam tangan Deena.

56 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Deena melihat ke sekeliling ruangan, tapi pandangannya
menghindari si korban. Ruangan itu tampak seperti habis dilanda
angin topan. Lampu-lampu dan asbak-asbak pecah berkeping-keping
di lantai. Sofa robek, kapuknya berantakan keluar. Hiasan-hiasan
dinding miring semua letaknya.

Chuck bersandar ke salah satu meja, untuk menelepon. “Halo,”


katanya. “Aku ingin melaporkan...”

Belum selesai ia bicara, terdengar langkah kaki dari arah tangga di


sebelah kirinya. “Ada orang!” pekik Jade.

Seseorang yang tinggi besar, berjas panjang hijau dan memakai


kedok ski hitam, muncul di tangga. Tangan kanannya memegang
pembuka ban yang terbuat dari besi. “Apa yang kalian lakukan di
sini?” tanyanya menggeram, suaranya bergema.

“Kau yang menikamnya!” seru Chuck. “Kau ribut dengannya dan


menikamnya! Kau tak bisa meloloskan diri!”

“Letakkan telepon itu,” kata laki-laki itu mengancam. Tergesa-gesa


ia menuruni anak tangga yang terbawah. Pembuka ban itu
dipegangnya di depan dadanya, dan, ketika Jade dan Deena dengan
ngeri memandangnya, ia meng-hantamkan benda itu pada Chuck.

“Chuck!” jerit Deena. “Awas!”

Chuck melompat ke samping tepat ketika pembuka ban itu terayun


ke bawah, nyaris mengenai kepalanya. Mata Chuck jelalatan ke
sekeliling ruangan, kemudian tertuju pada wanita yang terkapar. Ia

57 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


melompat ke situ, laki-laki itu mengejar-nya. Dengan cepat Chuck
memungut pisau, lalu mengancam laki-laki itu. “Menyerahlah,
Mister!”

Laki-laki itu tertegun sejenak, lalu mengangguk pelan-pelan. “Kau


tak akan bisa menggunakan pisau itu,” katanya. “Ayo, letakkanlah.”

“Cepat lari!” seru Chuck pada kedua gadis itu. Deena dan Jade lari
melewati laki-laki berkedok itu menuju pintu depan. Chuck
mengarahkan pisau yang besar, berat, dan berlumuran darah itu ke
arah si penjahat.

“Letakkan pisau itu,” ulang laki-laki itu dengan suara berat. “Kau tak
bisa menggunakannya.” Diulurkannya sebelah tangannya yang
bersarung seolah-olah mau mengambil pisau itu dari tangan Chuck.
Chuck melompat ke pintu depan. Setiba di sana, ia melempar-kan
pisau ke laki-laki berkedok itu. Pisau melewati kepala orang itu,
menghantam dinding, dan terjatuh ke lantai. Chuck melesat ke luar,
dan ketiga remaja itu berlari—menyelamat-kan diri.

“Ayo cepat masuk ke mobil!” seru Chuck. Ia mendorong kedua gadis


itu ke bangku belakang, lalu ia lari berputar dan duduk dibelakang
kemudi. “Deena, mana kuncinya!” teriaknya.

Dengan kalut Deena memeriksa semua kantong jaketnya. Di bawah


sinar bulan mereka bisa melihat laki-laki berkedok itu menyusuri
halaman rumah, mengejar mereka. Menyadari hal itu, Deena
langsung teringat. “Kuncinya masih menempel di lubangnya.” Chuck
menghidupkan mesin mobil dan menginjak pedal gas dalam-dalam.

58 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Mobil melonjak ke depan dengan berdecit. Chuck ngebut ke ujung
jalan—ternyata buntu!

“Chuck!” seru Jade. “Cepat, Chuck! Laki-laki itu masuk ke mobilnya.”


Deena menoleh dan melihat laki-laki itu masuk ke sedan kuno yang
diparkir di halaman rumah.

Chuck memutar mobil. “Pegangan kuat-kuat!” teriaknya. Ia memacu


mobil sekencang-kencang.

Mobil laki-laki itu keluar halaman dan mengejar mereka.

Chuck menginjak pedal gas dalam-dalam. Mobil bagai terbang


melewati rumah-rumah yang gelap di sepanjang Fear Street menuju
Mill Road. Oh, terlambat! Dari arah selatan, Deena melihat truk
besar melaju dengan cepat. “Awas!” jeritnya.

Chuck membanting kemudi, Honda itu pun selamat. Truk terus


melaju, meninggalkan mereka sambil membunyikan klakson. Mobil
kecil itu pun terus melaju.

“Awas tercebur ke got!” seru Deena.

Akhirnya Chuck bisa menguasai kemudi. Sambil menarik napas lega,


ia mengendarai mobilnya ke utara, ke Mill Road. “Laki-laki itu masih
mengejar kita!” teriak Jade.

“Lebih cepat lagi, Chuck!”

“Lewat mana?” seru Chuck.

“Belok kiri!” sahut Deena.

59 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Mobil kecil itu terlonjak ketika Chuck membelokkannya ke Canyon
Drive. Laki-laki berkedok itu masih membuntuti mereka.

“Belok kanan!” jerit Deena. “Sekarang belok kiri!”

Mobil kecil itu membelok dengan kencang hingga Deena berpikir


bisa-bisa mobil itu terguling dan bagian-bagiannya terlepas. Mobil
menerjang lubang di jalanan, hingga kepala Deena terbentur atap.
Sebelum Deena sempat mengembalikan keseimbangannya, Chuck
telah membelokkan mobil, dan membelokkannya lagi ke jalan yang
sempit dan kotor.

“Apakah ia kehilangan jejak kita?” tanya Jade lemah.

“Kurasa begitu,” sahut Chuck, berusaha keras melihat ke belakang


melalui kaca spion mobilnya.

“Ayo pulang saja,” pinta Deena, sangat letih. “Kita akan aman setelah
berada di rumah.”

Chuck mengarahkan mobilnya menuju Park Drive dan kemudian ke


North Hills, tempat keluarga Martinson tinggal. Ketiga remaja itu
menarik napas dalam-dalam ketika mobil mereka akhirnya memasuki
jalan lingkar rumah Deena. Chuck mematikan mesin mobil.

Beberapa saat mereka tinggal di mobil, mengatur napas. Tiba-tiba


mereka mendengar decit ban dan suara mobil yang menanjak menuju
rumah mereka. Dengan takut-takut, Deena memandang ke jalan di
bawah sana dan melihat sorot lampu mobil yang bergerak mendekat.

“Oh, celaka!” seru Chuck. “Itu pasti dia!”

60 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


9
“AYO masuk ke rumah!” seru Chuck. “Kita akan aman di sana.”

Ketiga remaja itu bergegas keluar mobil menuju beranda. Tapi


sebelum mereka sempat masuk rumah, mobil yang ditumpangi laki-
laki itu meraung menuju beranda, lampunya bersinar terang bagai
mata setan. Mobil itu membelok ke jalan lingkar di halaman rumah
Deena, meninggalkan kerikil beterbangan di belakangnya. Tapi
mobil itu tidak berhenti, cuma melewati jalan lingkar, lalu kembali
melaju ke Pine Road ke arah kota.

“Ia sudah pergi,” kata Jade, suaranya bergetar.

“Ayo masuk,” ajak Chuck. “Kita sudah selamat.” Deena ikut masuk. Ia
berharap orangtuanya sudah tiba di rumah. Ia juga berharap,
tangannya berhenti gemetaran.

Chuck menelepon 911. “Halo,” katanya. “Tolong kirimkan ambulans


ke Fear Street Nomor 884. Ada wanita yang ditikam. Namaku?
Sebut saja aku... Hantu Fear Street.”

Chuck menutup telepon. “Chuck!” seru Deena terkejut. “Kenapa


kausebut namamu begitu!”

“Aku tak bisa memberitahukan namaku. Bisa-bisa aku malah celaka.


Mereka pasti ingin tahu kenapa kita ke rumah itu. Bagaimana
menjelaskannya?”

“Tapi lelaki itu” protes Deena “Tak bisakah melaporkannya?”

61 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Kita tak melihat wajahnya,” tegas Chuck. “Kita tak bisa
mengidentifikasi dia—sebaliknya dia tahu rumah kita. Moga-moga
polisi segera menangkapnya.”

Deena merasa aneh karena mereka tak berbuat sesuatu. Tapi ia


berharap Chuck benar. Ia menguap, kejadian malam itu membuatnya
amat letih.

Chuck duduk di sofa di sebelah Jade, membelai rambut Jade dengan


lembut. Deena terkejut melihat bekas air mata di wajah temannya.
“Kejadian tadi sungguh mengerikan,” kata Jade. “Aku berharap
segera terbangun dan menyadari itu cuma mimpi seram!”

“Itu tadi sungguh-sungguh, Jade, bukan mimpi,” tegas Chuck, “tapi


kini semuanya telah berakhir.” Deena melihat Jade agak santai
setelah mendengar perkataan Chuck. Tapi ia sendiri tak yakin
apakah pendapat kakaknya itu benar. Benarkah masalahnya telah
tuntas?

®LoveReads

Larut malam Deena terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Ia


mendengar decit ban mobil. Jantungnya berdegup kencang, tapi ia
segera tenang kembali. Aku pasti sedang memimpikan kejadian tadi,
pikirnya. Ia menduga Chuck dan Jade mungkin sedang mimpi seram
juga.

Sebelum tengah malam, ia dan Chuck mengantarkan Jade pulang.

62 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Ketika tiba kembali di rumah, orangtua mereka belum juga pulang.
Deena gelisah sebentar di tempat tidurnya lalu segera tertidur
dengan sangat nyenyak. Tapi sekarang—ia mendengar bunyi itu
lagi. Ada mobil yang melewati jalan lingkar rumahnya yang
berkerikil. Terdengar pintu mobil ditutup, lalu seseorang menyusuri
jalan lingkar itu menuju rumahnya. Ohhh, keluh Deena dalam hati.
Semoga ia bukan laki-laki berkedok itu....

Bel berbunyi. Tak lama terdengar langkah-langkah kaki menuju


pintu. Deena masih berbaring di tempat tidur, takut bangun. Lalu ia
mendengar suara ayahnya yang mengantuk, “Tunggu sebentar!”
Kemudian terdengar ayahnya menuruni tangga. “Tunggu sebentar!”

“Dad, jangan! Jangan buka pintu!” Deena melompat dari tempat tidur
dan berlari menyusuri koridor, tapi sudah terlambat. Ayahnya telah
memutar anak kunci lalu membuka pintu.

Dengan kalut, Deena mencari-cari sesuatu untuk dipakai sebagai


senjata. Ia menemukan vas bunga hijau besar di anak tangga teratas.
Dengan tangan gemetar, ia merenggut vas itu dari tempatnya. Lalu
pelan-pelan ia menuruni tangga.

Ketika pintu terbuka, Deena mengira akan melihat laki-laki berkedok


itu lagi di beranda. Ternyata bukan dia, melainkan dua laki-laki
berjas. Yang satu tinggi kurus, yang lain gemuk pendek. Mereka
kelihatan seperti pelawak.

“Mr. Albert Martinson?” tanya si jangkung.

“Ya,” jawab ayah Deena.


63 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
“Saya Detektif Frazier dari Kepolisian Shadyside,” kata si jangkung.
“Ini partner saya, Detektif Monroe. Kami minta maaf karena
membangunkan Anda di tengah malam begini, tapi kunjungan kami
ini amat penting. Apakah di sini tinggal tiga remaja—satu pemuda
dan dua gadis?”

“Anak saya cuma dua,” sahut Mr. Martinson. “Laki-laki dan


perempuan. Ada apa sebenarnya?”

“Bisakah kami berbicara dengan mereka sebentar?”

“Tahukah Anda pukul berapa sekarang?” tanya Mr. Martinson.


“Mereka sudah tidur. Kenapa tidak...”

“Kami cuma ingin menanyakan beberapa hal kepada mereka,” desak


Frazier. “Ayolah, Sir. Kami tak ingin masuk dengan paksa.”

“Baiklah, baiklah,” gumam Mr. Martinson.

Deena melihat ayahnya menyilakan kedua laki-laki itu masuk ke


rumah. Mula-mula ia lega karena yang datang bukan laki-laki
berkedok melainkan dua orang detektif. Tapi rasa lega itu segera
berubah menjadi ketakutan yang lain. Ia tak tahu apa yang tengah
terjadi, tapi ia merasakan adanya bahaya.

Ia mengembalikan vas bunga ke tempatnya lalu menuruni tangga.


“Daddy,” katanya. Mr. Martinson meletakkan lengan di bahunya
seakan-akan ingin melindunginya.

“Mereka ini detektif,” jelasnya “Mereka ingin menanyakan sesuatu


padamu dan Chuck.”

64 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Mrs. Martinson yang ikut terbangun sedang menuruni tangga. Ia
mengenakan baju tidur warna perak. Mom tampak seperti bintang
film kalau rambutnya yang lebat itu tergerai, pikir Deena. “Albert,
ada apa?” tanyanya.

“Detektif-detektif ini mau menanyakan sesuatu pada Deena dan


Chuck.”

“Pukul dua dini hari begini?” protes Mrs. Martinson.

“Mereka bilang ini sangat penting,” jawab suaminya.

“Ajaklah mereka ke dapur,” ujar ibu Deena. “Akan kusiapkan kopi.”

Ketika melewati pintu ruang bawah, Mr. Martinson berteriak


membangunkan Chuck, “Ada orang yang ingin bertemu denganmu!”
Beberapa saat kemudian Chuck memasuki dapur, mengusap-usap
matanya yang mengantuk. Ia mengenakan celana pendek jins dan T-
shirt hijau. Saat ia melihat polisi tersirat rasa takut di matanya. Tapi
rasa takut itu langsung digantikan oleh sikap menantang dan
angkuh.

Ibu Deena membuat kopi. “Silakan duduk,” ujarnya pada kedua polisi
itu.

“Terima kasih, Ma'am,” sahut Monroe. “Kami berdiri saja.” Ia dan


Frazier memilih bersandar di pintu.

Mrs. Martinson duduk di sebelah Deena di balik meja dapur yang


besar. Ia dan suaminya tampak cemas, tapi kedua detektif itu tetap
berwajah dingin.

65 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Ada apa? pikir Deena. Apakah ada hubungannya dengan kejadian di
Fear Street tadi malam? Mungkin polisi ingin menjadikan Chuck dan
dirinya saksi. Tapi bagaimana mungkin polisi bisa menemukan
mereka?

Detektif Frazier mencatat semua yang ditanyakan rekannya pada


Deena dan Chuck, nama, umur, dan sekolah mereka. Kemudian
ekspresi wajahnya berubah serius. “Kalian ada di mana antara pukul
21.30-23.00 tadi malam?” tanyanya.

Deena mau buka mulut, tapi Chuck lebih dulu menyahut. “Kami ada
di rumah,” katanya. “Kami memanggang hamburger kemudian
mengobrol dan nonton teve.”

Dengan wajah bertanya Deena memandang Chuck, tapi Chuck tak


mau balas memandangnya. Ia tahu kenapa Chuck harus berbohong.
Jika ayahnya sampai tahu apa yang mereka lakukan, Chuck akan
menghadapi bahaya besar. Tapi Deena mempunyai firasat, Chuck
kini sudah dalam bahaya besar!

Detektif itu berpaling ke Deena. “Benarkah begitu, Miss?” tanyanya.


“Benarkah kau bersamanya?”

Deena menelan ludah. “Ya,” bisiknya.

“Apa?” tanya Detektif Monroe. “Bicaralah yang jelas.”

“Ya,” ulang Deena.

“Apakah ada orang lain bersama kalian?” tanya Frazier.

“Tidak,” sahut Chuck. “Ya,” sahut Deena bersamaan dengan Chuck.


66 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
“Hmm,” ujar detektif. “Mana yang benar? Ya atau tidak?”

“Tidak,” gumam Deena. “Kami cuma berdua.”

Beberapa saat tak seorang pun dari kedua polisi itu bersuara.
Kemudian mereka bertukar pandang. Akhirnya Detektif Frazier
yang berbicara. “Kalian kenal dengan Mr. atau Mrs. Farberson yang
tinggal di Fear Street Nomor 884?” tanyanya.

“Tidak,” sahut Chuck.

Dengan terkejut Deena memandang kakaknya. Perutnya mulai


terasa tak enak. Kebohongan itu semakin menjadi. Sang detektif
mengarahkan pertanyaan-pertanyaannya ke suatu hal... tapi apa?

“Apakah salah satu dari kalian pernah berbicara dengan Mr. dan Mrs
Farberson melalui telepon?” tanya Detektif Monroe

“Tidak,” sahut Chuck.

“Atau mengunjungi mereka di rumahnya di Fear Street?”

“Tidak,” jawab Chuck meledak. “Sudah kukatakan kami tak kenal


siapa Farberson! Berapakali kami harus menegaskan?”

Deena memandang Chuck. Ia tampak, marah, tapi ekspresi-nya tidak


sepenuhnya marah. Deena tiba-tiba sadar, Chuck ketakutan—sama
seperti dirinya. Mr. Martinson menghampiri kedua detektif itu.
“Anda telah mendengar keterangan mereka,” katanya dengan nada
marah. “Anak-anak saya bukan pembohong. Sekarang cepat katakan
terus terang apa sebenarnya yang Anda inginkan!”

67 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Sekali lagi kedua polisi itu bertukar pandang. “Kami punya saksi
yang keterangannya bertentangan dengan keterangan kedua anak
muda ini,” kata Monroe.

“Benarkah kau tak ingin mengubah penjelasanmu?”

“Aku telah menceritakan yang sebenarnya,” sahut Chuck. Ia menatap


lurus ke depan. Deena melihat otot-otot pipinya menegang. Dad
berdiri dengan masygul, tangannya mengepal. Sementara ibu Deena
duduk dengan gelisah sambil mencabik-cabik tisu.

Siapa yang jadi saksi? Deena berpikir. Jade-kah? Rasanya tidak


mungkin, sebab ia juga terlibat. Atau barangkali ada tetangga yang
melihat kejadian itu? Tapi kami tadi tak melihat seorangpun. Kami
tak melakukan sesuatu yang keliru, Deena mengingatkan dirinya.
Apa pun yang terjadi, kami tak bersalah.

Detektif Frazier mendesah. “Mr. Stanley Farberson adalah saksi itu,”


katanya. “Menurutnya, kalian berdua dan seorang remaja lain masuk
ke rumahnya dan merampok di sana. Lalu, istrinya yang tak
disangka-sangka pulang, kalian bunuh.”

Deena terperangah. “Hah?”

“Itu cerita ngawur!” kata Chuck. “Pertama, kami tidak pergi ke Fear
Street. Kedua, untuk apa kami mencuri apalagi membunuh?”

“Ia mengaku telah melihat kalian,” kata Detektif Frazier. “Ia


memberikan nomor mobil kalian—dan nomor itu ternyata cocok.”

“Tapi bagaimana dengan pria...” celetuk Deena.

68 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Deena, tenanglah!” potong Chuck.

“Detektif Frazier!” seru ayah Deena. Meskipun mengenakan baju


tidur usang, ia kelihatan galak dan mengerikan, pikir Deena.
“Apakah anak-anak saya dituduh melakukan tindakan kriminal?”

“Dituduh?” tanya Frazier. “Belum. Tapi kami punya...”

“Tunggu!” potong Mr. Martinson. Ia memandang Deena.

“Deena,” katanya, “apakah kau melakukan sesuatu yang


menyebabkan dia menuduhmu?”

“Tentu saja tidak, Dad,” sahut Deena “Yang terjadi adalah...”

Dad memotong kata-katanya dengan gelengan kepala. Ia berpaling


ke Chuck. “Chuck, apakah kau yang melakukannya?”

“Tidak,” jawab Chuck, cemberut. “Aku tak tahu apa-apa.”

Dengan cemas, Deena memandang sekilas pada Chuck. Ayah-nya


menghampiri Detektif Frazier.

“Saya tak tahu apa yang telah terjadi malam ini,” katanya, “tapi saya
kenal anak-anak saya sendiri. Mereka tak mungkin melakukan
perbuatan seperti itu, dan mereka takkan berbohong pada saya. Saya
tahu Anda hanya menjalankan tugas, tapi tak saya izinkan mereka
berkata apa-apa lagi tanpa pengacara.”

Detektif Frazier mengangguk, tak terkejut mendengar ucapan Dad.


“Saya akan membawa mereka.”

69 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Untuk apa?” teriak Mr. Martinson. “Karena ada orang gila yang
bilang bahwa ia melihat mereka di suatu tempat? Anda tak punya
bukti...”

“Bukti yang kami miliki sudah cukup untuk mengadakan


pemeriksaan lanjutan” kata Frazier “Kami telah mengecek mobil
Anda. Bumper depan dan semua bannya tertutup lumpur berpasir
hijau yang hanya terdapat di Fear Street tempat Farberson tinggal.
Lumpur itu masih lembap, mobil Anda itu baru dari sana.”

Detektif itu memandang Deena dan Chuck dengan agak prihatin.


“Jangan membuat masalah lebih rumit,” katanya. “Ikutlah ke kota,
tanpa paksaan. Kalau tidak mau, aku akan kembali lagi—dengan
surat penahanan!”

70 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


10
SEJAUH ini, semuanya beres.

Rencananya berhasil dilaksanakan, bahkan dengan lebih gemilang


daripada yang dapat dipikirkannya.

Nasib baik sedang berpihak padanya. Semua yang terjadi jelas-jelas


memberinya keuntungan.

Kini ia hanya perlu menunggu seminggu lagi.

Menunggu tanpa berbuat sesuatu—kecuali bila ada orang yang


menghalangi jalannya.

Kalau itu terjadi—hmm, tak sulit untuk melakukan satu


pembunuhan lagi. Malah bisa-bisa itu akan lebih mudah dibanding
yang pertama.

71 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


11
Minggu ketiga September

HARI Minggu, Deena bangun pukul dua siang. Ia berbaring


sebentar di tempat tidur, kebingungan. Lalu kejadian tadi malam
teringat kembali olehnya bagai mimpi buruk. Kedua detektif itu
menyita Honda Civic ibunya untuk bukti. Ia dan Chuck disuruh
duduk di bangku belakang mobil mereka, lalu dibawa ke kantor
polisi. Mr. dan Mrs. Martinson membuntuti mereka dengan BMW.
Sebelum turun, Chuck berbisik ketus, “jangan cerita apa-apa, Deena.
Kita tak bersalah. Apa pun yang kau katakan bisa memperburuk
keadaan.”

Kantor polisi itu tampak seperti yang ada di film. Ada petugas
bertampang galak, sersan jaga berambut kelabu, dan sederet meja
kerja abu-abu metalik penuh berkas-berkas. Meskipun malam sudah
sangat larut, masih ada juga petugas berseragam yang mengisi
laporan dan berbicara di telepon. Cuma sebentar Deena sempat
mengamati tempat itu. Begitu tiba ia dan Chuck langsung
dipisahkan. Ia dibawa ke ruangan kecil yang tak berjendela. Ia duduk
di salah satu bangku yang mejanya berlapis linoleum, sementara
kedua detektif itu menginterogasinya.

Mereka mencecarnya untuk mencari tahu di mana Jade kini berada.


Deena ingin bercerita jujur, tapi ia teringat pesan Chuck. Ia juga tak
mau melibatkan Jade. Beberapa saat kemudian Sidney Roberts,
pengacara ayahnya, muncul. Ia membicarakan beberapa istilah
72 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
hukum dengan para detektif itu. Tak lama mereka pun meninggalkan
ruangan.

Deena amat letih hingga ia tak peduli pada apa yang terjadi. Ia
membayangkan dirinya di penjara. Tapi paling tidak di situ masih
ada tempat untuk berbaring, pikirnya. Ia terbangun ketika ayahnya
mengguncangnya. Ia tertidur di meja, tangannya menopang
kepalanya.

“Ayo, Nak,” ujar ibunya. “Kita pulang sekarang.”

Deena berdiri dengan sempoyongan, masih mengantuk. “Apa yang


terjadi?” tanyanya.

“Kami membebaskanmu—untuk sementara,” kata Detektif Monroe


dari pintu. “Tapi kami akan menginterogasimu lagi. Jangan
meninggalkan kota ini.”

Deena ingin tertawa. Tentu saja, pikirnya, memangnya aku

mau ke mana? Lagi pula, adakah tempat di mana aku dapat terbebas
dari mimpi buruk ini? Ia berjalan mengikuti kedua orangtuanya,
menyusuri koridor sampai ke luar bangunan.

Udara dingin. Di ufuk timur, matahari mulai terbit. Baru kali ini ia
bergadang. Ketika tiba di tempat parkir, tiba-tiba ia teringat.
“Chuck!” serunya. “Mana Chuck?”

“Mereka menahan Chuck,” jawab ayahnya, muram.

“Apa?” ujar Deena, matanya terbuka lebar karena shock.

73 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Ini bukan kali pertama ia berurusan dengan polisi,” lanjut ayahnya,
cemas dan sedih. “Di Center City tahun lalu, Chuck dan beberapa
temannya ditangkap ketika mereka sedang berhura-hura dengan
mobil curian.”

“Tapi,” protes Deena, “itu sama sekali tak ada kaitannya dengan
kejadian tadi malam!”

Tiba-tiba ayahnya tampak sangat tua, sangat renta. “Polisi telah


memeriksa file Chuck di Center City,” tuturnya. “Disitu tercantum
sidik jari Chuck. Dan... sidik jari itu sama dengan yang terdapat pada
pisau yang dipakai membunuh Mrs. Farberson.”

74 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


12
DEENA berdiam diri sepanjang perjalanan ke rumahnya. Ia
memandang ke langit yang masih gelap. Susah payah ia men-coba,
tapi ia tetap tak bisa melupakan kejadian mengerikan di Fear Street.
Semuanya terekam terus dalam ingatannya. Ruang keluarga yang
berantakan, wanita yang tergeletak di lantai, pisau, dan darah. Ingin
sekali ia menceritakan semua itu pada orangtuanya. Mungkin ia bisa
melupakan kejadian mengerikan itu kalau ia mengeluarkan unek-
uneknya. Tapi bagaimana menjelaskannya? Dari mana ia harus
memulai?

Ayahnya yang kemudian memecahkan keheningan itu. “Aku benar-


benar tak mengerti,” katanya bingung. “Kalau kalian tak terlibat,
bagaimana mungkin sidik jari Chuck bisa ada di pisau itu?”

“Aku... mmm...” Deena tiba-tiba merasa ketakutan. Serasa ia itu balon


yang mau meletus.

“Apa?” tanya ayahnya tak sabar.

Deena tak bisa menahan diri lagi.

“Tentu saja sidik jari Chuck ada di pisau itu!” jeritnya. “Tapi ia bukan
pembunuhnya! Wanita itu sudah meninggal! Dad harus percaya
padaku! Harus!” Lalu ia menangis tersedu-sedu.

“Tenanglah, tenang,” bujuk ibunya lembut. “Kita akan mem-


bicarakannya setiba di rumah nanti.” Mr. Martinson terus

75 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


mengemudikan mobil. Pandangannya lurus ke depan. Dari kaca
spion, Deena bisa melihat mata ayahnya yang dingin dan beku.

®LoveReads

Meskipun hari masih pagi-pagi buta, Jade langsung datang setelah


Deena meneleponnya. “Mungkin kita berdua bisa menjelaskannya
pada orangtuaku,” kata Deena ketika mem-bukakan pintu. “Kalau
sendirian, aku tak yakin bisa menjelas-kan dengan baik.”

Jade ketakutan. Matanya memerah. Ia sepucat hantu. Sweter usang


yang dipakainya berlubang. Salah satu lengan-nya bernoda.
“Benarkah Chuck dipenjara?” bisiknya saat menuju dapur untuk
menemui orangtua Deena.

“Ya. Umurnya sudah delapan belas tahun. Jadi mereka


menganggapnya sudah dewasa.”

“Tapi ia tak bersalah!” protes Jade. “Bagaimana dengan uang


jaminan? Apakah ayahmu bisa membebaskannya?”

“Uang jaminan tak berlaku untuk kasus pembunuhan,” sahut Deena.


Pembunuhan. Ia sendiri tak yakin bisa mengucapkan-nya. “Kau harus
menolongku,” pinta Deena, meremas tangan Jade. Mereka masuk ke
dapur yang terang. Mr. dan Mrs. Martinson menyambut Jade tanpa
senyum. Mrs. Martinson segera menuangkan secangkir kopi untuk
Jade.

76 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Oke. Kalian sudah ada di sini,” kata Mr. Martinson dengan nada
suram. “Berceritalah dari awal.”

Sambil menahan tangis dan menghirup kopi dengan tangan gemetar,


Deena dan Jade bercerita. Mulai dari telepon iseng sampai
kunjungan mereka ke Fear Street, dan pria mengeri-kan yang
mengejar mereka. Usai mendengar cerita itu, kedua orangtua Deena
berdiam diri lama sekali. Mereka memandang ke lantai sambil
menggeleng-geleng.

“Jadi kejadiannya bermula dari telepon iseng?” tanya Mr. Martinson


akhirnya.

“Dan berakhir pada pembunuhan itu,” bisik Jade sedih.

“Tapi keduanya tak berhubungan!” desah Deena sedih. Sulit


dipercaya bahwa telepon iseng yang dilakukannya pada Rob Morell
dan teman-teman sekolahnya baru terjadi dua minggu lalu. Rasanya
seperti dua tahun lalu.

“Sungguh, kami tak bermaksud jahat, Mr. Martinson,” kata Jade.


“Kami cuma menggoda teman-teman sekolah.”

“Aku tak mengerti. Bagaimana Chuck sampai bisa ikut-ikutan?”


tanya ibu Deena.

“Ia menyadap telepon kami,” jelas Jade. “Lalu... mmm... ia ikut


menelepon. Secara tak sengaja ia menelepon rumah Farberson.”

“Maksudmu?” tanya Mr. Martinson.

“Itu dilakukannya karena kelelawar itu,” kata Deena.


77 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
“Kelelawar?” seru ibunya kesal. “Deena, tolong jangan mengarang-
ngarang cerita!” Deena mendesah. Ceritanya itu memang kedengaran
tak masuk akal. Kalau orangtuanya saja tak percaya, bagaimana
dengan polisi?

®LoveReads

“Jelas sekali gadis itu ingin melindungi kakaknya,” bisik Detektif


Monroe pada Detektif Frazier. Cukup keras hingga Deena
mendengarnya.

Waktu itu Minggu siang. Deena dan Jade baru saja menutur-kan
segalanya, mulai dari awal. Tapi ekspresi wajah kedua detektif itu
jelas-jelas menunjukkan bahwa mereka hanya mempercayai sebagian
cerita Jade dan Deena—bagian yang kelihatannya semakin
memperburuk keadaan Chuck.

“Coba ceritakan dengan lebih terperinci,” pinta Detektif Frazier.


“Kapan Chuck melakukan teror lewat telepon itu—sebelum atau
sesudah ia mengarang cerita bohong mengenai bom?”

“Sepertinya Anda ingin menambah rumit masalah!” kata Deena. Ia


berusaha menguasai diri untuk tidak menangis. “Telepon iseng itu
cuma dilakukannya beberapa kali.”

“Bagaimanapun, cerita bohong tentang bom itu merupakan masalah


serius,” ujar Detektif Frazier. “Kau bilang, ia menyebut dirinya
Hantu Fear Street?”

78 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Cuma pada satu atau dua kali telepon isengnya,” sahut Deena.

“Ada orang yang menyebut dirinya Hantu Fear Street ketika


menelepon 911, setelah peristiwa pembunuhan di rumah Farberson,”
ujar Frazier.

“Itu Chuck,” kata Jade.

“Kenapa ia menyebut dirinya begitu?” tanya Frazier. “Kalau memang


ia bukan pembunuhnya, kenapa tak mau menyebut-kan namanya?”

“Sebab... oh, kami telah menceritakannya pada Anda!” Deena amat


kesal sampai menjerit. “Ia sudah bermasalah. Ia dikeluarkan dari
sekolahnya, ia berkelahi di kafetaria...”

“Benar-benar sosok pemuda kota metropolitan,” kata Frazier kasar.

“Teruskanlah,” pinta Detektif Monroe, “kembali ke malam


pembunuhan itu. Kau bilang, Chuck menemukan nomor Farberson
secara acak dari buku telepon?”

“Betul,” jawab Jade dan Deena serentak.

“Dan itu dilakukannya karena kalian takut kelelawar?” Wajah


Monroe kelihatan tak percaya. Deena cuma bisa mengangguk. Tak
heran kalau polisi tak mempercayainya. Di telinganya sendiri pun
cerita itu kedengaran sinting. Tapi memang begitulah yang terjadi.
“Lalu kalian putuskan untuk ke Fear Street—sendirian?”

“Kami sempat berpikir untuk menelepon polisi,” sahut Jade. “Tapi


kata Chuck, kalian pasti tak mempercayai kami. Dan ia betul! Anda
tak percaya!”
79 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
“Hhh,” desah Detektif Monroe. “Lalu kalian ke sana, mendobrak
pintu belakang...”

“Pintu itu sudah didobrak,” kata Deena.

“Baik,” ujar Monroe. “Lalu kalian temukan mayat Mrs. Farberson.”

“Kami tak tahu siapa dia,” ujar Deena.

“Chuck mengira ia masih hidup,” tambah Jade.

“Chuck lalu menelepon ambulans,” kata Deena.

“Pada saat itulah laki-laki dalam dongeng itu muncul,” ujar Detektif
Frazier.

“Ia bukan tokoh dongeng!” kata Deena. “Ia benar-benar ada! Ia yang
masuk dan merampok rumah itu. Ia membunuh Mrs. Farberson. Ia
masih ada di sana ketika kami tiba! Kenapa bukan dia yang kalian
cari, malah Chuck yang kalian penjara?”

“Siang tadi, Farberson mengidentifikasi Chuck sebagai pelakunya,”


jawab Monroe datar. “Sidik jari Chuck ditemu-kan pada pisau yang
dipakai untuk membunuh,” kata Frazier. “Tak ada sidik jari lain.”

“Tapi kami telah jelaskan!” protes Deena. “Ketika laki-laki berkedok


itu... oh, apalah gunanya dijelaskan lagi?” Ia me-ngerjapkan mata
agar tak menangis, lalu mencuri pandang melihat Jade. Seperti
dirinya, Jade juga tampak bingung. Ia kelihatan pucat, seperti akan
jatuh sakit.

Selama beberapa saat tak seorang pun dari kedua polisi itu berbicara.

80 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Kemudian Monroe memulai, “Pencuri saja akan kabur kalau melihat
tiga orang masuk ke rumah yang dijarahnya, apalagi pembunuh.
Tapi kata kalian itulah yang terjadi. Masuk akalkah itu?”

“Benar-benar tak masuk akal,” tambah Frazier. “Kenapa ia biarkan


kalian melihatnya? Kenapa ia tak bersembunyi sampai kalian pergi
dari sana? Atau kabur saja sebelum terlihat oleh kalian?”

“Kenapa ia justru mengejar kalian?” ujar Monroe. “Kalau benar ia


pembunuhnya, ia pasti tak akan mengejar-ngejar kalian lalu
melepaskannya begitu saja.”

“Kami tak tahu kenapa ia berbuat begitu!” seru Deena. “Tapi yang
kami ceritakan itu semuanya benar!”

Detektif Monroe mendesah. “Dengarkan aku, Deena, Jade. Kesetiaan


itu penting. Aku juga selalu menanamkannya pada anak-anakku.
Tapi kesetiaan itu akan jadi tak baik, kalau menyebabkan dirimu
berbohong, cuma karna ingin melindungi orang yang bersalah. Kami
tahu, kalian sangat ingin menolong Chuck, tapi cerita omong kosong
ini tak akan bisa meringan-kan kesalahannya.”

“Itu tadi bukan omong kosong,” protes Deena. “Itu cerita yang
sebenarnya.”

“Sudahlah, gadis-gadis,” Detektif Frazier menasihati. “Dusta itu akan


semakin membuat kalian bersedih. Chuck cuma bisa kalian tolong
kalau kalian bersedia menceritakan kejadian sebenarnya. Pikirkanlah
baik-baik, lalu ceritakan pada kami.”

81 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


13
MINGGU malamnya, Deena tak bisa tidur. Kejadian Sabtu malam
dan Minggu dini hari memenuhi pikirannya. Sungguh sial, polisi tak
mempercayainya dan Jade. Padahal ia harus tetap masuk sekolah dan
bertemu teman-temannya. Mereka pasti segera tahu bahwa ia, Jade,
dan Chuck terlibat kasus pembunuhan.

Senin pagi, ia bertemu Jade di tempat parkir. Jade memakai gaun


tanpa lengan berwarna biru tua dan jaket wol merah muda pucat.
Pakaiannya berwarna-warni seperti biasanya, tapi ekspresinya
muram. Senyum menggoda yang selalu menghias bibirnya, pagi ini
tak kelihatan.

“Kau sudah baca ini?” tanyanya, menyodorkan Morning Press pada


Deena.

Deena membuka koran itu. Di kanan atas terdapat sebuah artikel.


Judulnya ditulis dengan huruf cetak tebal, bunyinya:

REMAJA SETEMPAT DITUDUH SEBAGAI PEMBUNUH

Pemuda 18 Tahun Terlibat Telepon Gelap

Dengan hati berdebar-debar, Deena mulai membaca.

Charles A. Martinson, putra Albert B. Martinson—eksekutif


perusahaan telepon—ditangkap di rumahnya pada Minggu dini
hari. Ia dituduh sebagai pembunuh Edna Lemley Farberson
(45) yang baru pindah ke Shadyside enam bulan lalu. Pada

82 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Sabtu malam Edna ditemukan tewas oleh Stanley (46),
suaminya, di Fear Street 884, rumah mereka yang dijarah oleh
tersangka. Menurut sumber kepolisian, Mrs. Farberson
memergoki tersangka ketika ia sedang melakukan aksinya.
Dalam pergulatan yang kemudian terjadi, wanita itu tewas
tertikam pisau sepanjang 25 sentimeter yang menurut
suaminya berasal dari dapur mereka.

Mr. Farberson tiba di rumahnya sewaktu pembunuh itu hendak


kabur. “Bulan bersinar di atas rumah kami, jadi saya bisa
melihat wajahnya dengan jelas dan sempat mencatat nomor
mobilnya,” kata Farberson. Farberson tidak mengejar
pembunuh itu. Ia langsung masuk ke rumah untuk memastikan
apakah istrinya selamat. Malam itu Farberson pulang lebih
awal dari Alberga III, restoran Italia terkenal. Ia adalah pemilik
sekaligus pengelola restoran itu. “Biasanya saya pulang lewat
tengah malam, tutur Farberson pada Press. “Malam itu Edna
tak menjawab telepon saya. Saya jadi cemas, rasanya ada yang
tak beres.”

Martinson muda ditahan tanpa uang jaminan sambil menunggu


penyelidikan selanjutnya. Sempat ditahan pula dua gadis yang
kemudian dibebaskan. Keduanya kini berada di bawah
pengawasan orangtua mereka. Menurut sumber kepolisian,
ketiga remaja itu juga terlibat sejumlah kasus telepon gelap
yang terjadi di Shadyside belakangan ini. Termasuk berita
bohong tentang bom di Shadyside Lanes Sabtu malam. Sumber

83 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


yang sama menyebutkan, Charles Martinson menyebut dirinya
Hantu Fear Street di telepon. Sementara kedua gadis itu cuma
melakukan telepon iseng pada beberapa pemuda.

Selesai membaca, Deena mengulangnya sekali lagi. Ia berharap bisa


menemukan perbedaan. Dengan muram ia mengembalikan koran itu
pada Jade. “Hari ini aku tak mau masuk sekolah,” katanya. Ia yakin
Jade bisa memahaminya.

“Mengerikan, ya?” jawab Jade. “Menurutmu, tahukah teman-teman


bahwa kita pelakunya?”

“Siapa lagi kalau bukan kita?” Deena balas bertanya. “Chuck itu
kakakku. Setiap murid juga tahu kau dan aku bersahabat karib. Yang
tak kumengerti, bagaimana Farberson bisa melihat Chuck. Waktu itu
kita tak melihat Farberson, kan?”

“Deena, habislah kita!” kata Jade. Dibacanya koran itu lagi. “Di sini
ditulis bahwa kita ditangkap. Tapi, bukankah aku tak bersama
kalian?”

“Sudahlah, Jade,” ujar Deena. “Berita ini membuat kita semakin


terpojok. Sementara, orang-orang cuma percaya saja”

“Seperti polisi itu,” kata Jade.

“Betul,” sahut Deena, berkesah.

®LoveReads

84 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Seperti yang ditakutkan Deena dan Jade, topik di sekolah hari itu
berkisar pada Chuck dan peristiwa pembunuhan itu. Chuck baru dua
minggu bersekolah di Shadyside, jadi hanya sedikit yang mengenal-
nya. Namun ketika pelajaran pertama berakhir, setiap siswa sudah
tahu Chuck itu kakak Deena. Mereka juga tahu bahwa ia dan Jade
bersama Chuck pada malam pembunuhan itu. Tapi anehnya, tak
seorang pun menyalahkan Deena dan Jade. Sejumlah murid malah
bersimpati pada mereka.

Jam pertama, Deena dikejutkan oleh surat Kathy Narida. “Jangan


cemas,” tulisnya. “Aku sekelas dengan Chuck dalam pelajaran
geografi. Aku yakin ia tak bersalah.”

Hampir semua murid ingin tahu kejadian sebenarnya. Deena tak tahu
bagaimana Jade bersikap, tapi ia sendiri berusaha berbicara sesedikit
mungkin pada mereka. Masalah baru muncul antara jam kedua dan
ketiga. Lisa Blume, asisten editor koran sekolahnya, berusaha
mengorek keterangan. “Kubaca berita tentang kakakmu,” kata Lisa.
“Benar-benar menyedihkan.”

“Ya,” jawab Deena. “Terima kasih.”

“Aku yakin, ia tak bersalah,” lanjut Lisa.

“Tentu saja ia tak bersalah,” jawab Deena, berusaha menghindari


Lisa dengan berjalan menuju kelas.

Tapi Lisa menahannya. “Ngomong-ngomong,” katanya, “setiap


orang tahu, kau dan Jade bersamanya saat pembunuhan itu terjadi.
Spectator ingin menurunkan laporan khusus tentang itu.”
85 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
“Sori,” kata Deena, “detektif-detektif itu melarang kami berbicara.”

“Tidakkah kau ingin meyakinkan orang-orang bahwa kakakmu tak


bersalah?” desak Lisa.

“Tentu!” jawab Deena. “Tapi setiap kali mencobanya, aku malah


memperburuk keadaan! Tolonglah, Lisa, jangan memaksaku!”

“Sori,” ujar Lisa. “Aku maklum. Tapi mungkin kau bisa sedikit
bercerita tentang kejadian itu. Tentu saja kau tak perlu
menyinggung-nyinggung soal pembunuhannya.”

“Maksudmu?”

“Bagaimana kalau kasus telepon gelap itu?”

Deena merasa jantungnya mau copot. “Itu kan cuma permainan yang
tak membahayakan siapa pun,” sahutnya. “Sama sekali tak ada
sangkut-pautnya dengan pembunuhan itu.”

“Bisakah kausebutkan siapa-siapa yang telah kalian telepon?”

“Tidak!” jawab Deena. Lalu ia tersenyum dan berkata sambil lalu,


“Lebih tepatnya, polisi melarangku berbicara. Sekarang bukan saat
yang tepat untuk berbicara! Maaf, aku harus masuk kelas.”

“Baiklah,” kata Lisa. “Tapi setelah perkara itu tuntas, aku ingin
mewawancaraimu secara eksklusif.”

“Oke,” janji Deena. Jika perkara itu tuntas, pikirnya.

®LoveReads

86 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Deena cuma menangkap sebagian pelajaran sinus, cosinus, dan
tangen yang diterangkan Mr. Spencer, guru trigono-metrinya. Ia
terus memikirkan kejadian Sabtu malam dan nasib buruk yang
menimpa Chuck. Juga laki-laki berkedok yang tinggi besar itu. Si
perampok. Si pembunuh yang sebenarnya. Jika ia berhasil
menemukannya, polisi mungkin akan membebaskan Chuck. Tapi
bagaimana caranya? Dari mana ia harus mulai? Usai pelajaran, ia
menyusuri koridor dengan pikiran penuh.

Tiba-tiba seseorang menabraknya, keras dan disengaja. Dengan


terkejut dan kesal, ia mengangkat kepala. Ternyata Bobby McCorey,
yang sedang melotot padanya.

“Maaf,” gumamnya, meskipun cowok itu yang menabraknya. Ia ingin


berlalu, tapi Bobby menghalangi langkahnya. Dua cowok lagi, Eddie
Mixon dan Ralph Terry, berdiri tepat di belakang Bobby. Deena
balas melotot. Mau apa dia? Bobby kan tak mengenalnya. Seumur
hidup, mereka bahkan belum pernah bertegur sapa. Lalu ia teringat.
Bobby pernah berkelahi dengan Chuck. Lebih parah lagi, Chuck
pertama kali menyebut dirinya Hantu Fear Street ketika
meneleponnya.

“Bolehkah aku lewat?” pinta Deena, sopan tapi tegas.

“Tentu,” jawab Bobby. “Setelah kaudengar kata-kataku ini.”

“Baiklah,” ujar Deena, tetap berbicara tegas. “Akan ku dengarkan.”

“Sampaikan ini pada kakakmu. Katakan pada Hantu Fear Street.


Kalau ia bisa lolos dari penjara, perkara lain sudah menunggunya.
87 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
Jelas?” Deena tak menyahut. “Sampaikan itu,” ulang Bobby.
“Barangkali ia tak akan pernah dibebaskan,” Bobby menambahkan
dengan suara jijik. “Menurut koran-koran, ia bersalah. Bisa-bisa ia
mendekam di penjara seumur hidup.”

Mata Deena berkaca-kaca hingga ia tak memperhatikan Bobby pergi.


Bobby dan kedua konconya menyusuri koridor sambil tertawa-tawa.

Dengan linglung, Deena menuju kafetaria dan mengantre. Biasanya,


ia yang pertama tiba di situ, sebab ia paling suka makan lebih awal
lalu pergi jalan-jalan kalau cuaca cerah, atau ke perpustakaan kalau
cuaca dingin atau hujan. Tapi hari ini ia nyaris berada di antrean
paling belakang. Ia memilih makanan secara sembarangan lalu
membawa nampannya ke meja Jade yang sedang duduk sendirian.
“Kupikir kau puasa,” kata Jade. “Aku sudah selesai makan.”

“Kalau masih lapar, ambil saja makananku,” kata Deena. “Hari ini aku
tak berselera makan.”

“Aku maklum,” kata Jade. “Hampir semua orang mem-bicarakan


berita pembunuhan itu.”

“Juga telepon gelap itu,” tambah Deena. Ia mengambil roti dan


sayur, tanpa dirasakan langsung ditelannya.

“Oh, aku baru ingat,” kata Jade. “Tadi pagi aku bertemu Rob Morell.
Ia menanyakan tentang gadis bersuara seksi itu.”

“Oh!” seru Deena. “Tak kaukatakan kalau...”

“Aku cuma bilang itu bukan aku.”

88 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Tapi koran menyebutkan bahwa kita...”

“Kurasa ia akan menanyakannya sendiri padamu,” jawab Jade. “Lihat.


Ia menuju ke sini.” Deena melihat Rob Morell yang membawa
nampan, menghampirinya sambil tersenyum ramah. Dengan gugup
Deena berdiri, mau kabur. “Duduklah,” kata Jade. “Kau belum makan
apa-apa.” Jade memaksa Deena duduk kembali di kursi. “Sori, aku tak
bisa menemani kalian. Aku harus mengembalikan buku ke
perpustakaan.”

“Jade!” seru Deena. Terlambat. Jade sudah pergi sambil tersenyum


jail.

Rob Morell duduk di tempat Jade. “Hai, Deena,” sapanya.

“Hai,” gumamnya. Deena tak mau memandangnya.

Tapi Rob bersikap ramah, tidak marah atau gelisah. “Kubaca kabar
tentang kakakmu,” katanya. “Mengerikan.”

“Ia tak bersalah,” kata Deena.

“Aku tahu,” kata Rob. “Aku memang belum kenal dia, tapi
kelihatannya ia pemuda yang menyenangkan.”

Deena tak menjawab. Setiap kali bersama cowok, ia selalu kikuk.

“Tahukah kau” lanjut Rob “sejak samasama di kelas geometri tahun


lalu, aku selalu menunggu kesempatan untuk mengobrol bersamamu.
Kapan-kapan maukah kau pergi denganku?”

89 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Mudah-mudahan,” jawab Deena, tak percaya mendengar pengakuan
Rob.

“Kau pasti sangat sibuk sampai masalah kakakmu selesai,” kata Rob.
“Aku akan sering-sering meneleponmu, boleh kan?”

“Tentu,” sahut Deena.

“Bagus,” kata Rob, berdiri. “Entah apa sebabnya, ingin sekali aku
meneleponmu.”

®LoveReads

Malam harinya, Deena mencoba berkonsentrasi pada pe-er


trigonometrinya. Tapi tak bisa. Walaupun bersikeras me-
ngerjakannya, pikirannya terus tertuju pada Chuck atau Rob Morell.
Kalau mau jujur, ia lebih banyak memikirkan Rob Morell. Sesudah
itu ia baru memikirkan Chuck. Apa maksud Rob ketika mengatakan
bahwa ia ingin menelponku? Tahukah Rob kalau penelepon gelap itu
adalah dirinya? Apakah ia cuma menebak-nebak? Atau barangkali
Rob memang suka padanya? Bukankah menurut pengakuannya, ia
ingin sekali mengobrol dengannya sejak sama-sama ikut pelajaran
geometri tahun lalu. Deena ingat sekarang, selama pelajaran
berlangsung, Rob beberapa kali tersenyum padanya.

Deena menguap, menutup buku trigonometrinya, lalu naik ke tempat


tidur. Ketika telepon berdering, ia langsung melompat dan meraih
gagang telepon. “Halo?” katanya, berharap penelepon itu Rob.

90 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Ternyata Jade. Suara Jade mendesak dan bersemangat. “Deena,
nyalakan televisi! Saluran tujuh! Sekarang!” Telepon pun ditutupnya.

Dengan bingung, Deena menyalakan televisi kecil di mejanya.

Ternyata siaran berita lokal. Reporter tengah mewawancarai


seorang laki-laki bertubuh besar dengan hidung bengkok. Deena
serasa pernah mengenalnya. Padahal Deena yakin belum pernah
kenal dia. Tapi ia merasa pernah melihatnya di suatu tempat.

“Bagaimana perasaan Anda terhadap tersangka?” terdengar reporter


bertanya.

“Kuharap ia diberi hukuman maksimal!” jawab laki-laki itu dengan


suara dalam, menggeram, suaranya asing tapi amat dikenal Deena.
“Sebagai orang beragama mestinya kita saling mengampuni, tapi aku
tak mungkin memaafkan orang yang telah bertindak sekejam itu.”

“Yah, itulah pertanyaan terakhir kami,” ujar sang reporter.

“Terima kasih, Mr. Farberson. Kini kita kembali ke studio.”

Deena menatap televisi dengan nanar. Mr. Farberson?

Kini Deena tahu di mana ia pernah melihat Mr. Farberson. Ia kenal


suaranya. Mr. Farberson adalah laki-laki berkedok itu.

91 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


14
DEENA langsung menelepon Jade.

“Itu tadi dia, kan, Jade?” tanya Deena, begitu mendengar suara Jade.

“Ya. Aku tak lupa suaranya.”

“Aku juga. Kita harus memberitahu polisi.”

“Begitukah?” kata Jade sengit. “Mereka tak mempercayai satu pun


keterangan kita. Kalau sikap mereka sudah begitu, untuk apa kita
melapor? Mereka pasti mengira kita nekat.”

“Tapi itu dia, kan, Jade!” tegas Deena. “Aku akan memberitahu
Detektif Frazier besok pagi.”

“Tak ada gunanya,” sahut Jade. “Lebih-lebih karena polisi tak mau
percaya bahwa laki-laki berkedok itu bukan tokoh rekaan.”

“Orang itu kan betul-betul ada,” kata Deena, “kita telah melihatnya.
Kalau benar itu Mr. Farberson, berarti ia sendiri yang merampok
rumahnya.”

“Dan membunuh istrinya,” tambah Jade lirih.

“Kenapa ia melakukannya?”

“Aku tak tahu. Pasti ada alasannya.”

Deena terdiam sesaat, memikirkan alasan apa yang bisa


menyebabkan terjadinya pembunuhan itu. “Mungkin ia dan Mrs.
Farberson bertengkar seru.”
92 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
“Mungkin,” sahut Jade, “dan ia membunuhnya ketika pertengkaran
itu sedang seru-serunya. Tapi kenapa ia merampok rumahnya
sendiri? Sama sekali tak masuk akal.”

“Tunggu,” kata Deena. “Bagaimana kalau ia sengaja melaku-kannya


untuk mengelabui polisi?”

“Hah! Maksudmu?”

“Bisa saja ia membuat rumahnya seperti habis dirampok untuk


memberi kesan bahwa pembunuhnya adalah si perampok! Itu
termasuk bagian rencananya untuk membunuh istrinya.”

Jade diam beberapa saat. “Aku mulai bisa memahami maksudmu”


katanya “Tapi kenapa ia membunuh istrinya?”

“Entahlah. Tapi kurasa polisi bisa menemukan sebabnya, kemudian


membebaskan Chuck.”

“Kuharap juga begitu,” kata Jade ragu-ragu.

“Mereka pasti melakukannya. Kau lihat saja nanti. Lalu kita lupakan
segalanya dan memulai hidup baru.”

Kalau polisi itu mau mendengar keteranganku, pikirnya tak seyakin


tadi.

®LoveReads

“Sekarang mari kita telaah,” kata Detektif Frazier lambat-lambat. Itu


terjadi esok paginya, ketika Deena bermaksud me-ninggalkan pesan

93 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


untuk detektif itu. Tapi Frazier sendiri yang menjawab teleponnya.
Dari nada bicaranya, Deena hampir bisa memastikan bahwa polisi itu
tak mempercayai keterangannya. “Kau dan temanmu sependapat
kalau laki-laki berkedok di rumah Farberson itu adalah Mr.
Farberson sendiri?”

“Ya,” jawab Deena. “Ketika kami melihatnya di teve kemarin malam,


kami langsung tahu, terutama dari suaranya. Sudah pasti dia
orangnya.”

“Suaranya,” ulang Frazier kering.

Deena cepat-cepat memanfaatkan kesempatan. “Dialah pelakunya—


dia yang merampok rumahnya dan membunuh istrinya.”

“Apakah dari suaranya pula kau bisa menjawab kenapa ia melakukan


kejahatan itu?” tanya Frazier.

“Aku tak tahu. Mungkin istrinya punya polis asuransi yang besar.
Atau mereka habis bertengkar. Kurasa Anda pasti lebih tahu
jawabannya.”

“Oh ya?” Sang detektif terdiam sebentar, lalu mendesah. “Ceritamu


tadi sungguh menarik. Tapi sayang itu cuma cerita. Sekadar
informasi untukmu, Mr. Farberson pengusaha terkemuka di kota ini.
Aku maklum betapa besar keinginanmu untuk mengalihkan
kecurigaan kami dari kakakmu, tapi kami tak akan terkecoh.”

Deena menutup telepon, merasa sangat sakit hati. Jade benar—polisi


tak mau mendengar keterangan mereka. Semuanya tergantung

94 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


padanya dan Jade. Mereka harus bisa membuktikan bahwa Mr.
Farberson adalah laki-laki berkedok itu. Tapi bagaimana caranya?
Deena menguap, tapi segera bersiap-siap ke sekolah. Sebelum
berangkat, ia menelepon Jade.

“Apa yang harus kita lakukan, Jade?” tanyanya setelah selesai


menceritakan pendapat si detektif.

“Aku belum tahu,” jawab Jade. “Kita ketemu di ruang locker sebelum
makan siang nanti. Aku punya ide.”

®LoveReads

Sebelum makan siang, Deena menemui Jade di ruang locker. Ia


sedang memasukkan dua kotak besar ke locker-nya yang sempit.
“Hai,” sapa Jade, menengadah. “Rasanya kita perlu locker yang lebih
besar, ya.”

“Apa yang kaumasukkan?” tanya Deena.

“Perlengkapan sandiwara,” jawab Jade.

“Perlengkapan sandiwara?”

Jade menutup pintu locker dan menguncinya. Lalu, ia memandang


Deena sambil tersenyum nakal. Jade, pikir Deena, jelas sudah punya
ide. Apa itu? Jade memaparkan rencananya dengan bersemangat.

“Setelah pembicaraan kita di telepon pagi tadi, aku baca lagi berita di
Shadyside Press,” katanya.

95 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Oh, aku tak ingin membacanya lagi!” kata Deena.

“Itu berita terburuk yang pernah kubaca.”

“Tapi, berita itu penuh informasi tentang Mr. dan Mrs. Farberson.
Misalnya, di situ dikatakan bahwa Farberson adalah pemilik
sekaligus pengelola Alberga III.”

“Lalu?” tanya Deena.

“Lalu,” sahut Jade “dimana lagi kita bisa mencari keterangan tentang
Farberson kalau bukan di tempat kerjanya?”

“Jadi kau akan ke Alberga dan berbicara dengannya? Kau sudah


sinting, ya?”

“Biarlah orang-orang mengira begitu. Tapi rencanaku itu bagus, kan.


Deena, Farberson adalah pemilik dan manajer restoran itu. Dalam
berita itu disebutkan bahwa pada Sabtu malam ia pulang ke rumah
lebih awal. Jadi kalau siang hari ia mungkin tak ada di restorannya.”

“Aku mulai paham,” kata Deena.

“Bagus,” jawab Jade. “Kita akan naik mobil ke sana setelah

pulang sekolah. Ayahku sedang ke luar kota, jadi mobilnya bisa


kupakai. Kita akan berputar-putar, melihat-lihat barang-kali kita bisa
menemukan sesuatu.”

“Oh,” gumam Deena. “Kedengarannya rencanamu itu masih


mengandung bahaya, Jade. Bagaimana kalau Farberson lebih awal
tiba di sana? Ia pasti bertemu kita.”

96 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Betul. Tapi ia mengira aku gadis berambut merah panjang, sedang
kau gadis berambut pirang pendek.”

“Kita kan memang begitu,” kata Deena dongkol.

“Nanti siang tidak,” ujar Jade. Ia menunjuk locker-nya yang tertutup.


“Tadi pagi aku singgah ke salon ibuku untuk meminjam dua rambut
palsu. Kubilang saja aku memerlukan-nya untuk berlatih drama.”
Jade tersenyum nakal. “Percaya-lah, Deena, orangtua kita tak akan
bisa mengenali kita—apalagi Farberson!”

®LoveReads

Sepulang sekolah, Deena menemui Jade di ruang drama. Ia


meninggalkan pesan buat orangtuanya bahwa ia langsung pergi ke
perpustakaan. Sambil melihat ke kaca rias, gadis-gadis itu memasang
wig dan merias wajah. Selesai berhias, menurut Deena, mereka
tampak luar biasa.

Jade kini berambut pirang panjang. Penampilannya semakin berbeda


dengan eyeshadow hijau. Sedangkan Deena berambut cokelat
keriting. Jade membubuhkan tahi lalat di pipi Deena dengan pensil
alis.

“Kita jadi kelihatan seperti berumur delapan belas,” kata Jade.


“Tenanglah. Pasti beres.”

®LoveReads

97 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Alberga III berjarak beberapa mil, terletak di Old Village. Jade
belum pernah ke situ, tapi orangtuanya kadang-kadang makan di
restoran itu. Meski sudah menyamar, Deena tetap merasa gugup
ketika Jade memarkir Corvette merahnya di depan Alberga. “Oh,
Jade,” katanya. “Kurasa ini bukan ide yang bagus....”

“Hmm,” kata Jade. “Kita tak punya pilihan lain, Deena. Tak
seorangpun percaya pada kita. Padahal kita harus membebaskan
Chuck dari tuduhan. Ayo, ikutlah aku.”

Alberga III tutup pada siang hari. Restoran itu kosong, gelap, dan
dingin. Meja-mejanya berlapis beludru warna gelap dan setiap meja
dilengkapi dengan lilin. Salah satu dindingnya dihiasi lukisan besar
bergambar Italia.

“Ayo kita pesan piza pepperoni,” kata Deena, mencairkan


ketegangan.

“Jangan macam-macam,” tegur Jade. “Ingat, jangan bicara, serahkan


semuanya padaku.”

Tak lama kemudian, seorang wanita bertubuh tinggi dan berambut


gelap menyambut mereka. Ia mengenakan blus satin putih dan rok
hijau sebetis; ia tampak anggun, seanggun restorannya. “Bisa
kubantu?” tanyanya.

“Kami mau melamar pekerjaan,” jawab Jade.

Wanita itu memandang kedua gadis di hadapannya, tanpa


menyembunyikan rasa terkejutnya.

98 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Apakah kalian dari Kantor Penyalur Tenaga Kerja?”

“Ya,” sahut Jade.

“Tapi kami cuma butuh seorang karyawan,” ujar wanita itu,


keberatan “MrFarberson cuma memerlukan seorang asisten.”

“Aku pelamarnya,” kata Jade. “Temanku ini cuma menemani aku.”

“Kurasa kau... oh, baiklah,” kata wanita jangkung itu, “Kau kelihatan
sangat muda, tapi terus terang kami repot sekali sejak Miss
Morrison berhenti kerja minggu lalu. Kau bisa steno dan
pembukuan, kan?”

“Tentu,” sahut Jade.

“Ayo ikut aku,” ajak wanita itu. “Kau bisa mengisi formulir
lamaranmu di kantor.”

Jade berpaling dan mengerling pada Deena. Lalu keduanya


mengikuti wanita itu melalui dapur restoran menuju koridor sempit.
Di depan sebuah ruangan, wanita itu mengetuk pintu, lalu berseru,
“Mr. Farberson?”

“Kupikir ia hanya bekerja di malam hari!” kata Jade, panik.

“Ia harus tiba lebih awal,” jelas wanita itu. “Itulah sebabnya kami
butuh asisten pada malam hari.” Diketuknya pintu itu lagi.

Deena dan Jade bertukar pandang. Deena bersiap-siap berbalik dan


kabur. Tapi sebelum ia sempat berbuat sesuatu, pintu itu sudah
terbuka. Di hadapannya berdiri laki-laki berhidung bengkok. Laki-

99 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


laki yang disebut-sebut televisi sebagai Mr. Farberson. Laki-laki
yang dilihat Jade dan Deena sebagai laki-laki berkedok.

“Ada apa?” tanyanya dengan suara rendah.

“Salah satu gadis muda ini mau melamar pekerjaan, meng-gantikan


Linda,” jelas wanita itu. “Kantor Penyalur Tenaga Kerja yang
mengirimnya ke sini.”

“Oh, ya?” ujar Farberson. Ia memandang Jade kemudian berpaling


menatap Deena. Jantung Deena serasa berhenti berdetak. Farberson
memandangi kedua gadis itu beberapa saat. Lalu tanyanya, “Berapa
umurmu?”

“Sembilan belas,” jawab Jade. “Kubawa ijazah dari Sekolah Bisnis


yang bermutu.”

“Oh, ya?” kata Farberson. Deena mulai jengkel mendengar kata-


katanya yang itu-itu saja. “Baiklah. Isi dulu formulir lamarannya,”
lanjut Farberson. Deena bernapas dengan lega. “Silakan,” ujar
Farberson, menunjuk ke dua kursi lipat. Ia mengangsurkan selembar
formulir lamaran pada Jade. “Isilah,” katanya. “Aku akan kembali
beberapa menit lagi.”

Ia berpaling pada wanita tadi. “Ayo, Katie,” ajaknya. “Kita cek dulu
persediaan anggur sebelum Ernie tiba.” Mr. Farberson dan wanita
itu menutup pintu dan meninggalkan kantor.

Deena dan Jade bertukar pandang lagi.

“Oh, sungguh aku tak percaya,” kata Deena.

100 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Yah, beginilah kejadiannya,” desah Jade. “Ayo cepat—kita tak punya
banyak waktu!” Jade buru-buru pergi ke balik meja kerja Mr
Farberson yang terbuat dari kayu lebar dan berdebu.

Deena mengikutinya. “Apa yang akan kita cari?” tanyanya.

“Tak tahu,” jawab Jade. “Apa saja. Apa saja yang bisa memberikan
keterangan lebih banyak tentang Mr Farberson”

“Astaga!” kata Deena, melihat ke kertas-kertas yang berantakan. Ia


mengambil selembar. “Jadwal kerjanya,” katanya.

Jade melihatnya. “Menurut jadwal ini, Mr. Farberson hanya bekerja


pada Sabtu malam dua kali dalam sebulan. Berarti Sabtu kemarin ia
libur!”

“Cukup menarik, tapi itu tak membuktikan apa-apa,” ujar Deena.


“Percuma, Jade. Kaupikir kita...”

“Sst! Tetaplah mencari.” Kedua gadis itu mengambil kertas-kertas,


menelitinya, lalu menyusunnya serapi mungkin. Jangan sampai
Farberson tahu mereka memeriksa mejanya. Baik Deena maupun
Jade tak menemukan apa-apa yang berkaitan dengan Mr. Farberson
atau istrinya. Deena melihat arlojinya. Mereka sudah berada di situ
sekitar sepuluh menit. Jade mengerutkan dahi, lalu membuka laci
satu per satu.

“Cepat,” bisik Deena. “Sewaktu-waktu ia bisa kembali.”

“Aku tahu. Tapi aku masih ingin mencari... Tunggu. Aku punya cara
lain.”

101 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Kuharap kau cepat menemukannya.”

“Kalau ibuku ingin menyembunyikan sesuatu—misalnya kunci


serep—ia meletakkannya di bawah alas laci....” Jade menarik laci-laci
itu lagi dan meraba-raba sebelah bawah alasnya.

“Cepat!” bisik Deena.

Jade baru sempat memeriksa sebuah laci.

Deena mendengar suara dari koridor, kemudian terdengar seruan


Mr. Farberson memanggil Ernie.

“Jade...”

“Aha!” seru Jade. Tangannya masih di dalam laci. “Tunggu. Aku


menemukan sesuatu!” Ekspresi wajahnya yang gembira segera
berubah kecewa. “Cuma gumpalan permen karet.” Dengan
menggeleng sedih, ia menutup laci.

Pada saat itu matanya tertumbuk pada sebuah amplop yang tertutup.
Di amplop itu tercetak: Biro Perjalanan Shadyside. Jade
mengambilnya tapi belum sempat memeriksanya. Jade menyelipkan
amplop itu ke sakunya lalu bergegas-gegas kembali ke kursinya.
Pada saat itu Mr. Farberson membuka pintu dan masuk ke ruangan.

Deena memaksa diri memandangnya. Badannya terasa dingin.

“Hai, gadis-gadis,” geram Farberson dengan wajah marah.


“Berhentilah berpura-pura. Sejak pertama melihat, se-sungguhnya
aku sudah tahu siapa kalian.”

102 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


15
“KALIAN dengar?” ulang Mr. Farberson. “Aku tahu siapa kalian
sebenarnya.”

Jade tiba-tiba bisa bersuara. “Aku benar-benar tak mengerti Anda ini
bicara apa,” jawabnya.

“Jangan membuatku kesal,” geram Farberson.

Deena baru kali ini melihat wajah mengerikan seperti wajah


Farberson. Ia mencoba tak memikirkan apa yang akan dilaku-kan
laki-laki ini pada mereka—sekarang setelah Farberson tahu siapa
dirinya dan Jade. Deena terkejut sekali ketika ternyata Farberson
hanya melewati mereka, lalu duduk di belakang meja kerjanya. Ia
masih kelihatan marah, tapi tak mengerikan lagi.

“Ayolah, gadis-gadis,” desaknya sambil menghela napas. “Aku tahu


kalian bukan dari Kantor Penyalur Tenaga Kerja. Aku tidak yakin
umur kalian sudah delapan belas. Apa sebenarnya motif kalian
melakukan ini?” Deena amat lega. Wajahnya tetap memandang ke
depan, tapi sesekali ia melirik Jade.

Jade benar-benar bisa jadi aktris berbakat, pikir Deena. Ia balas


menatap Mr. Farberson, alisnya dinaikkan dengan angkuhnya.
“Bisakah Anda jelaskan dari mana Anda tahu kami bukan dari kantor
Penyalur Tenaga Kerja?” tanyanya.

“Aku bukan anak kemarin sore,” sahut Mr. Farberson. “Begitu pula
Katie, karyawanku. Ia mencurigai penampilan kalian yang ganjil.
103 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
Kami lalu menelepon Kantor Penyalur Tenaga Kerja. Mereka bilang
tak mengirim kalian ke sini.”

“Baiklah,” kata Jade, “akan kukatakan yang sebenarnya.” Ia


mengucapkannya dengan begitu rupa seolah ia sedang ber-murah
hati pada Farberson. “Aku dengar tentang lowongan itu dari
sepupuku. Ia teman Linda Morrison, mantan asisten Anda. Sepupuku
itu bilang Linda tak bekerja lagi di sini, sedangkan aku butuh
pekerjaan. Aku baru tahu Anda sudah pesan karyawan pada Kantor
Penyalur Tenaga Kerja ketika aku tiba di sini.”

Farberson terus memandangi Jade, sekarang wajahnya ber-ubah


kagum. “Aku harus mengakui keberanianmu. Aku nyaris tergoda
untuk mencobamu.”

“Terimakasih,” jawab Jade, “tapi aku sudah tidak berminat

lagi. Aku tak senang bekerja pada seseorang yang pencuriga”

“Hei, dengarlah,” kata Mr. Farberson. “Aku kan cuma ber-sikap hati-
hati. Kau akan terkejut kalau kusebutkan berapa banyak orang yang
suka memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.”

“Oh ya?” ujar Jade dengan suara sedingin es. “Ayo, Sally,” katanya
pada Deena. “Ayo kita cari pekerjaan lain yang lebih
menyenangkan.” Jade berdiri, meraih formulir lamarannya yang baru
mulai diisi, lalu menuju pintu.

Deena, dengan kaki lemas, mengikutinya ke pintu, menyusuri


koridor, melintasi restoran, dan masuk ke mobil. Selama itu

104 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


keduanya sama-sama membisu. Setelah berada satu blok dari Alberga
III, barulah Deena melepas napas lega. “Jade, kau betul-betul hebat!”
jeritnya.

“Aku sendiri tak percaya kalau aku bisa!” Jade tertawa. “Waktu ia
bilang tahu siapa kita, kupikir ia...”

“Aku juga berpikir begitu,” potong Deena. “Aku hampir mati


ketakutan. Tapi kau tampak sedingin ketimun.”

“Kau berolok-olok?” tanya Jade. “Jantungku juga nyaris ber-

henti berdenyut! Tapi aku harus terus bicara.”

“Dari mana kau tahu nama lengkap asistennya?”

“Karyawati bernama Katie itu yang mengatakannya. Mula-mula ia


menyebutnya Miss Morrison, lalu Linda.”

“Wow!” seru Deena. “Tadi aku sangat ketakutan sampai sama sekali
tak mendengarnya. Kau patut menerima Academy Award, Jade.”
Deena tertawa. “Aku tak senang bekerja pada seseorang yang
pencuriga,” katanya, menirukan mimik Jade. “Luar biasa! Juga
caramu yang dengan tenang memeriksa laci-laci mejanya, benar-
benar mengagumkan.”

“Oh, aku jadi ingat sesuatu,” kata Jade, menginjak rem dan berhenti
di depan 7-Eleven. Ia mengambil dompet, menge-luarkan amplop
yang tadi dicurinya dari laci Mr. Farberson. Dengan hati-hati Jade
membuka amplop itu, mengeluarkan selembar kertas yang terlipat.

“Apa itu?” tanya Deena.


105 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
Jade mempelajari kertas itu. “Surat pesanan tiket pesawat.”

“Surat pesanan tiket pesawat?”

“Ini dia,” lanjut Jade. “Tujuannya ke Buenos Aires Argentina

Satu kali jalan.”

“Wow!” seru Deena. “Sepertinya Mr. Farberson akan melaku-kan


perjalanan.”

“Dan ia merencanakan untuk tidak kembali ke sini,” tambah Jade.


“Tiket ini untuk Sabtu pagi.”

“Sabtu! Sekarang sudah hari Selasa. Jade, kita harus menyerahkan


surat itu pada polisi.”

“Tidak.” Jade memandang surat itu dengan heran. “Pesanan tiket ini
untuk dua orang. Bukan seorang.”

“Hah?” Deena merebut kertas itu dan membacanya. “Apa


maksudnya?”

“Entahlah. Mungkin ia merencanakan untuk bepergian dengan


istrinya.”

“Ke Argentina dan tak kembali ke sini?”

“Mungkin ia akan pulang naik kapal laut atau yang lain,” kata Jade.
Ditepuknya bahu Deena. “Sori, Nak. Kertas yang ku curi ini tak ada
artinya. Ini bukan barang bukti. Kita harus cari bukti lain. Kalau kita
tunjukkan kertas ini pada polisi, mereka akan menertawai kita.”

106 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Kalau begitu sebaiknya kita laporkan bahwa Mr. Farberson akan
bepergian ke luar negeri tiga hari lagi,” usul Deena.

“Bagaimana kita menjelaskan dari mana kertas itu?” tanya Jade.


“Ingat, Mr. Farberson pengusaha terkemuka! Sedang-kan kita cuma
dua remaja pembohong yang baru mengobrak-abrik kantornya.”

Deena menatap surat pesanan tiket pesawat di tangannya. “Tapi


kalau Farberson minggat dari kota ini, kita takkan pernah bisa
membuktikan bahwa Chuck tak bersalah,” ratapnya. “Apa yang harus
kita lakukan, Jade?”

Jade tampak berpikir sesaat, “Kita harus mencari lebih banyak


informasi tentang Farberson. Linda Morrison mungkin bisa
menolong kita.”

“Siapa?”

“Asisten pribadi Farberson,” jelas Jade. “Lupa, ya? Wanita yang


pekerjaannya kulamar hari ini.”

“Oh,” kata Deena. “Baiklah. Tapi mungkinkah ia bisa menolong kita?


Bukankah kita belum kenal dia.”

“Bisakah kau pinjam mobil besok pagi?”

Jade mengabaikan pertanyaan Deena. Senyum nakalnya kembali


tersungging. Tahulah Deena bahwa Jade sudah menemukan ide lain.

“Entahlah,” jawab Deena. “Orangtuaku masih marah karena kasus


telepon gelap itu. Mobil ibuku juga masih ditahan polisi.”

107 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Dengar, besok kita punya waktu seharian—guru-guru rapat, kan?
Ayahku pulang besok pagi, karena itu mobilnya tak bisa kupinjam.
Usahakan pinjam mobil. Antarkan ayahmu ke tempat kerjanya.
Bilang saja bahwa kau harus mencari data di perpustakaan pusat di
Waynes-bridge.”

“Apa kau bilang?”

“Sekarang ini memang bukan waktu untuk membuat makalah,” kata


Jade. “Tapi demi Chuck, kau harus melakukan penelitian lain yang
lebih penting.”

®LoveReads

“Aku tak percaya kita melakukan semua ini,” ujar Deena. Pukul
sebelas keesokan harinya, ia dengan gelisah me-ngendarai BMW
ayahnya. Ia benar-benar sulit ber-konsentrasi, padahal biasanya ia
paling suka mengendarai mobil orangtuanya. Tapi kejadian
belakangan ini, ditambah dengan rencana gilanya bersama Jade kali
ini, membuatnya sakit perut.

“Santailah,” kata Jade. “Lihatlah ke depan. Miss Morrison bilang, di


Lakewood kita harus belok kanan.”

“Kau bilang apa padanya?” tanya Deena. “Bagaimana ia langsung


mau ditemui?”

“Kubilang saja bahwa kita sedang mengadakan survei,” jawab Jade


puas.

108 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Aku tak mau menggali informasi lewat telepon karena kupikir cara
ini lebih efektif.”

“Bagus. Mula-mula kita melamar pekerjaan, sekarang kita melakukan


survei. Aku stres karena harus terus berpura-pura jadi orang lain.
Aku tak sanggup, Jade.”

“Ini satu-satunya cara untuk menolong Chuck. Lagi pula, yang kita
lakukan ini kan memang bisa disebut survei. Kita ber-usaha
mengorek keterangan darinya. Kalau tak mau berpura-pura, pakailah
namamu sendiri.”

“Dari mana kau tahu alamatnya?” tanya Deena.

“Kucari di buku telepon. Di buku itu cuma ada dua L. Morrison, dan
ketika aku menghubungi yang pertama, ternyata dia orangnya.”

Deena mengangkat bahu. Jade benar, mereka melakukan semua itu


demi Chuck. Tapi di hati kecil Deena ada setitik kecurigaan. Ia
merasa semua ini dianggap sebagai permainan saja oleh Jade,
kesempatan baginya untuk unjuk gigi dan mempermainkan orang
lain.

“Belok sini,” kata Jade. “Terus sampai ke blok berikutnya.”

Deena memarkir mobilnya di pinggir jalan di depan rumah Miss


Morrison. Rumah Miss Morrison kecil, bertingkat satu, terbuat dari
kayu. Ada vas bunga cantik di depan jendela-nya.

“Ingat,” ujar Jade. “Biarkan aku yang bicara.”

“Baik,” jawab Deena.


109 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
Ia mengambil kertas catatannya dan mengikuti Jade. Pintu segera
terbuka. Seorang wanita berpenampilan menarik dengan rambut
dicat pirang dan senyum manis, muncul.

“Halo, Miss Morrison?” sapa Jade. “Saya Jade Smith dari Asosiasi
Riset S&S. Saya yang bicara dengan Anda di telepon kemarin sore.
Ini rekan kerja saya, Deena Martinson.” Sampai sejauh ini Jade
berperan sangat meyakinkan, pikir Deena. Siapa kira ia bisa
menggunakan istilah rekan kerja?

“Kalian begitu muda,” kata Miss Morrison. “Silakan masuk.”

“Kami masih kuliah,” jelas Jade. “Kami bekerja paro waktu.” Kedua
gadis itu mengikuti Miss Morrison ke ruang duduk yang didominasi
warna cokelat dan kuning tua. Jade duduk di kursi berlengan,
mengeluarkan pensil, sikapnya resmi dan sopan. Deena meniru
tingkah laku Jade, tapi merasa dirinya seperti orang tolol.
“Perusahaan kami sedang melakukan survei tentang bisnis restoran
di Shadyside,” tutur Jade pada Miss Morrison. “Kami
mengkhususkan pada penelitian hubungan kerja antara atasan dan
bawahan. Anda pernah bekerja di Restoran Alberga III, bukan?”

“Betul. Tapi dari mana kau tahu?”

“Kami baru saja mewawancarai atasan Anda, Mr. Stanley


Farberson,” kata Jade. “Bisakah Anda ceritakan seperti apa bos Anda
itu?”

Deena merasa wajah Miss Morrison berubah, sepertinya ada


bayangan gelap pada penampilannya yang menarik.
110 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
“Ia baik-baik saja,” jawabnya tajam. “Bukan bos yang buruk.”

Jade pura-pura menuliskan sesuatu di kertasnya. “Lebih jelasnya


bagaimana?”

Miss Morrison tampak bingung. “Cuma itu. Ia baik. Bersikap adil


pada setiap karyawan.”

“Begitu.” Jade mencatat lagi, ia kelihatan serius dan cakap. Deena


hampir tak percaya! “Anda kenal istrinya?”

“Apa?” Pipi Miss Morrison bersemu merah.

“Istrinya. Anda kenal padanya?”

“Maaf. Ya. Kau harus memaafkan aku. Hari ini aku agak gelisah. Aku
mengalami sesuatu yang tak mengenakkan.”

“Baiklah, akan saya teruskan,” kata Jade. “Jadi Anda kenal istrinya?”

“Kadang-kadang ia ke restoran.” Miss Morrison memandang ke vas


bunga di jendela.

“Bagaimana hubungan dia dan Mr. Farberson?” tanya Jade.

Bukannya menyahut, Miss Morrison menatap Jade dengan curiga.


Oh, Jade sudah terlalu jauh bertanya, pikir Deena. “Apa hubungan
pertanyaan itu dengan survei yang kau lakukan?” tanya Miss
Morrison. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan, tapi telepon di
meja sebelahnya berdering. Ia mengangkat telepon dengan cepat.

“Halo? Oh, terima kasih, Tuhan, ternyata kau, Sayang. Perasaanku


tak enak sepanjang hari ini. Aku... oh.” Tiba-tiba ia teringat pada

111 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Deena dan Jade yang ada di ruangan itu. Sambil berdiri, ia
menyerahkan telepon pada Jade. “Aku akan bicara di telepon lain.
Tolong letakkan kalau aku sudah mengangkatnya. Cuma sebentar
kok.”

“Baik,” kata Jade. Ia memegang gagang telepon, menunggu sampai


Miss Morrison mengangkat telepon yang lain.

“Kau masih di situ?” terdengar suara laki-laki bertanya.

Jade membeku. Ia kenal suara itu. Ia mendekatkan gagang telepon ke


telinganya.

Ketika Miss Morrison melanjutkan percakapan, Jade memencet


tombol penerima, tapi ia tak meletakkan telepon.

“Jade?” tanya Deena.

“Ssstt.” Jade menempelkan telunjuk ke bibirnya.

“Oh, Sayang, aku benar-benar sial,” kata Miss Morrison emosional.


“Kau harus segera ke sini untuk mengambilnya.”

“Tapi aku dalam perjalanan ke restoran,” sahut laki-laki itu.

Jade yakin benar, itu suara Farberson! Ia lebih mendekatkan gagang


telepon ke telinganya. “Aku tak bisa menyimpannya terlalu lama di
sini. Kau harus ke sini dan membawanya pergi. Tolonglah, Stanley.
Tolonglah. Ke sini dan bawa pergi!”

“Baiklah,” geram Farberson. “Aku akan tiba disitu lima menit lagi.”

Lima menit? Jade dengan pelan meletakkan gagang telepon.

112 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Deena... kita harus segera pergi dari sini!”

“Apa? Bagaimana kita...”

Miss Morrison kembali. Ia tampak gelisah. “Sori karena pembicaraan


kita terpotong sebentar.” Ia duduk kembali di kursinya. “Sampai
mana tadi?”

Jade dan Deena berdiri. “Sayang sekali kami harus segera pergi,” kata
Jade, dengan gelisah ia melihat ke luar jendela.

“Bagaimana dengan survei itu?”

“Oh... ada kekeliruan,” kata Jade.

“Kami harus menemui seseorang sekarang. Saya keliru


menjadwalkan acara.” Ia melihat ke catatannya seolah-olah memang
ada yang keliru di situ. “Kapan-kapan kami akan ke sini lagi.”

“Oh, tidak bisakah kita bicara cepat?” tanya Miss Morrison.

“Aku yakin lima menit sudah cukup. Kau pasti tak akan terlambat
tiba di sana.”

“Tak mungkin,” tegas Jade, melihat ke jendela, wajahnya tampak


panik. “Ayo, Deena. Kita harus ngebut. Kami benar-benar minta
maaf, Miss Morrison. Terima kasih atas pengertian Anda.”

Tanpa memedulikan Miss Morrison yang kebingungan, Deena


mengikuti Jade ke pintu. “Hei... kenapa mesti buru-buru?” tanyanya
saat Jade lari dan duduk dikursi penumpang.

“Farberson akan ke situ beberapa menit lagi,” Jade berbisik keras.

113 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Cuma itu yang perlu Deena dengar! Ia segera duduk di belakang
kemudi, menstarter mobilnya, dan langsung tancap gas.

“Putarilah blok ini lalu kembalilah,” suruh Jade.

“Apa?”

“Parkirlah kira-kira setengah blok dari sini. Kita harus lihat apa yang
dilakukan Farberson. Apa yang terjadi di sini.”

“Apa yang terjadi di sini?” tanya Deena. “Apa yang kau dengar di
telepon tadi?”

“Ia memanggil Farberson 'Sayang',” kata Jade, memasang mata


untuk melacak mobil Farberson.

“Ia menyebutnya begitu? Maksudmu...”

“Kurasa ada hubungan khusus antara mereka. Ia menyuruh


Farberson ke situ untuk membawa pergi sesuatu. Ia bilang ia tak
tahan menyimpannya lebih lama di rumahnya. Farberson mengomel,
tapi ia berjanji akan mengambilnya.”

“Ada apa sebenarnya?” tanya Deena. Ia memutari blok dan memarkir


mobilnya di seberang jalan, beberapa rumah dari tempat tinggal
Miss Morrison.

Beberapa saat kemudian sedan tua Farberson memasuki halaman


rumah Miss Morrison yang sempit. “Tunduk. Merunduklah dalam-
dalam!” bisik Jade. “Jangan sampai ia melihat kita.” Sewaktu mereka
mengintai dari dashboard mobil, Farberson berjalan ke rumah tanpa
menoleh.
114 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
Miss Morrison menyambutnya di pintu, keduanya berciuman,
ciuman yang lama dan penuh kerinduan. Miss Morrison menarik
Farberson ke dalam rumah. Pintu pun tertutup.

“Wow!” seru Deena.

“Dua kali 'wow',” kata Jade.

“Keduanya jelas-jelas berpacaran.”

“Apakah menurutmu Miss Morrison penyebab Farberson membunuh


istrinya?” tanya Deena.

“Aku tak tahu.” Jade memandang pintu rumah Miss Morrison yang
tertutup seolah-olah sedang mencari jawaban per-tanyaan Deena.
“Aku jadi memikirkan sesuatu. Tentang surat pesanan tiket pesawat
ke Argentina.”

“Apa hubungannya dengan mereka, Jade?”

“Mungkin tiket yang satu itu untuk Miss Morrison.”

“Maksudmu Farberson merencanakan untuk meninggalkan negeri


ini bersama Miss Morrison. Ya! Bisa jadi begitu!” kata Deena
bersemangat “Ia bunuh istrinya, lalu minggat bersama Miss
Morrison. Kini kita punya alasan untuk melapor ke polisi.”

“Tidak, jangan dulu,” cegah Jade, menggeleng. “Semua data yang


kita punyai cuma rekaan. Mungkin Farberson punya affair dengan
Miss Morrison. Bisa jadi begitu. Tapi itu tak bisa dipakai untuk bukti
bahwa ia yang membunuh istrinya. Kita belum bisa membuktikan
apa-apa, Deena.”
115 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
“Kalau begitu kita harus cari bukti lain. Kenapa kita duduk-duduk di
sini? Seharusnya kita menyelinap lalu mengintai lewat jendela,” kata
Deena, membuka pintu mobil.

“Jangan ke mana-mana. Farberson hanya ke situ sebentar. Ia mampir


sebelum ke restorannya.” Baru saja Jade berkata begitu, pintu rumah
Miss Morrison terbuka.

Farberson muncul. Mereka mendengar ia berpamitan pada


kekasihnya. Lalu terlihat ia menutup pintu. “Apa yang di-bawanya?”
tanya Deena.

Farberson membawa bungkusan kecil. Kelihatannya seperti kantong


kertas yang diikat dengan tali. Ia membuka tong sampah di dekat
beranda rumah Miss Morrison, akan membuang bungkusan itu.
Tiba-tiba ia mengurungkan niatnya.

Ditutupnya kembali tong sampah dan dibawanya bungkusan itu ke


mobilnya.

“Aneh sekali,” kata Deena, menunduk dalam-dalam di bawah kemudi.


“Ia bermaksud membuangnya, tapi kemudian mem-bawanya pergi.
Apa isi bungkusan itu?”

Mereka melihat mobil Farberson berlalu.

“Ikuti dia, Deena,” perintah Jade. “Ayo kita awasi ke mana dia
membawa pergi bungkusan itu.”

Deena menghidupkan BMW-nya dan membuntuti mobil Farberson.


Ia terus menjaga jarak agar selalu berada setengah blok di

116 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


belakangnya. “Aku tahu apa isi bungkusan itu,” kata Deena,
membelok di tikungan.

“Apa?”

“Aku tahu isinya, Jade. Aku bisa memastikan isinya.”

“Cepatlah katakan. Jangan membuatku bertanya-tanya.”

“Itu pasti kedoknya,” jawab Deena, matanya memandang ke mobil


Farberson. “Itu pasti kedok dan kemeja berlumuran darah yang
dipakainya pada malam pembunuhan istrinya!”

117 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


16
“AWAS ada bus!”

Deena menghindar tepat pada waktunya. Sopir bus yang marah


membunyikan klakson-nya. “Sori,” Deena minta maaf pada Jade.
“Aku terlalu mem-perhatikan mobil Farberson sampai tak sadar
kalau keluar jalur.”

“Kita hampir tiba di restorannya,” kata Jade.

“Aku yakin dugaanku tentang isi bungkusan itu tidak keliru,” jawab
Deena, berhenti di lampu lalu lintas. “Kedok dan kemejanya memang
harus disembunyikannya, kan?”

“Betul.”

“Selama ini Miss Morrison yang menyembunyikannya.”

“Ya. Mungkin begitu,” kata Jade. “Kudengar di telepon tadi, ia tak


mau menyimpannya lebih lama di rumahnya. Ia minta Farberson
cepat mengambilnya. Mungkin kau benar, Deena. Bungkusan itu
isinya kedok.”

“Berarti kita sekarang punya bukti,” kata Deena, tersenyum setelah


lama tegang.

“Polisi akan percaya bahwa cerita kita benar. Chuck pasti akan
dibebaskan.”

“Wooo. Pelan-pelan.”

118 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Tapi aku yakin...”

“Bukan. Maksudku lambatkan laju mobilmu,” kata Jade. “Itu restoran


Farberson. Ia parkir di depannya.”

Deena menginjak rem dengan tiba-tiba. Untung tak ada mobil di


belakangnya. Ia melihat ke tempat parkir di seberang jalan. Setelah
sebuah mobil barang lewat, ia memutar, menuju ke tempat parkir itu.
Kedua gadis itu keluar mobil dan merunduk di belakang halte bus.

Mereka melihat Farberson keluar dan mengunci mobilnya. Ia


membawa bungkusan cokelat itu lalu melangkah ke deretan tong
sampah di pinggir jalan. “Bagus!” bisik Jade. “Kalau bungkusan itu
dibuangnya di tong sampah, kita akan mudah mengambilnya setelah
ia masuk ke restorannya.”

Tapi lagi-lagi Farberson mengurungkan niatnya. Ia me-mindahkan


bungkusan itu ke tangan kanannya, lalu meninggal-kan deretan tong
sampah itu menuju gang sempit di samping restorannya.

“Ayo... kita buntuti dia,” ajak Jade, menoleh ke kiri-kanan lalu


menyeberang.

“Tapi... bagaimana kalau ia melihat kita?” seru Deena, mengikuti


Jade.

“Merapatlah ke dinding,” pesan Jade.

Mereka bergeser di sepanjang dinding, mengikuti Farberson ke


belakang restoran. Sampai di sudut bangunan, mereka melihat
Farberson menuju lapangan kecil bersemen yang dibatasi oleh

119 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


keempat dinding bangunan di sekelilingnya. Sebuah tong sampah
tinggi berwarna kuning berada di tengah-tengah lapangan itu.
Farberson melihat ke sekitar-nya, memastikan bahwa tak ada yang
memperhatikannya.

Jade dan Deena semakin merapatkan diri ke dinding bata yang kotor
sambil menahan napas. Farberson melemparkan bungkusan itu ke
tong sampah, lalu cepat-cepat menghilang masuk ke restoran lewat
pintu belakang. “Ayo ambil,” bisik Deena. Ia gemetar saking
bersemangatnya. Jantungnya berdetak cepat hingga membuatnya
sesak napas.

“Ssstt. Tunggu sebentar,” kata Jade, menahan bahu teman-nya


“Tunggu, sampai ia sudah di dalam.” Semenit terasa lama sekali bagi
kedua gadis itu. Ketika yakin tempat itu sudah sepi, mereka saling
mengangguk, lalu lari menuju tong sampah.

Baru setengah jalan tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang berseru


marah, “Hei... sedang apa kalian di situ?”

Deena membeku. Jantungnya serasa hampir copot. Ia menoleh.

“Mau apa kalian berkeliaran di sini?” Pintu dapur restoran terbuka.


Dua laki-laki bercelemek putih berdiri di balik meja panjang, sedang
memotong-motong sayur. Salah seorang—yang berteriak tadi—
berjalan ke pintu.

“Oh... kami kira ini jalan masuk, ternyata pintu belakang,” jawab
Jade, setelah berpikir cepat seperti biasanya.

120 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Laki-laki itu mempermainkan tusuk gigi dimulutnya dan me-
mandang mereka dengan curiga. “Restoran tutup,” kata-nya. “Kami
tak buka pada siang hari.” Ia meludahkan tusuk giginya

“Oh, baiklah. Sampai jumpa,” kata Jade. Ia mengikuti Deena, yang


sudah lebih dulu angkat kaki dari situ. Mereka kembali berlari
menyusuri gang sempit itu. Tak seorang pun bicara sampai mereka
berada kembali di mobil, pulang ke rumah Deena.

“Gagal,” gumam Jade, masih tampak shock. “Tukang masak itu


kelihatan sangat tidak ramah.”

“Apa yang akan kita lakukan, Jade?” ratap Deena. “Kita nyaris
mendapatkan bungkusan itu. Kita sudah amat dekat! Kalau saja...”

“Kita akan kembali lagi ke sana.”

“Tapi pintu dapur itu kan terbuka. Laki-laki itu pasti tak akan
mengizinkan kita mendekati tong sampahnya.”

“Tidak sekarang,” kata Jade, berpikir keras. “Kita akan kembali lagi
nanti malam. Tukang masak itu pasti sibuk. Mereka pasti tak
memperhatikan kalau ada dua gadis mengais sampahnya.”

Mereka mengendarai mobil sambil berdiam diri. “Apa yang sedang


kaupikirkan?” tanya Jade. “Rencanaku bagus, kan?”

Roman muka Deena tampak mengeras. “Tak ada pilihan lain,”


katanya tenang.

®LoveReads

121 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Parkirlah sedekat mungkin dengan gang itu,” kata Jade, “siap-siap
kalau kita harus kabur.” Jade mengangkat bahu. “Sekadar berjaga-
jaga. Jangan terlalu takut. Masa sih kita akan disiksa hanya gara-
gara mengais sampah.”

“Bagaimana kalau Farberson tahu?” Deena menghindari anak


perempuan bersepeda yang menyeberang jalan tanpa mem-
perhatikan tanda-tanda lalu lintas. “Huh, kalau saja lampu mobil ini
lebih terang. Malam sangat gelap.”

“Tak ada bulan,” sahut Jade, memandang ke langit melalui kaca


mobil.

“Hampir pukul sembilan, Deena. Kurasa Farberson sedang sibuk-


sibuknya.”

“Kuharap begitu,” kata Deena, tak sanggup mengusir ketakutan yang


mencekam. Restoran itu sudah kelihatan. “Ramai sekali malam ini,”
kata Deena, memperlambat mobil dan mencari tempat parkir.
“Tempat parkir di sisi jalan itu sudah penuh.”

“Oh,” ujar Jade, kecewa. “Parkirlah di tempat kosong di seberang


jalan sana. Mungkin kita bernasib baik hingga tak perlu kabur.”

“Jangan bergurau,” tegur Deena, menuju tempat parkir dan


memarkir mobilnya sedekat mungkin dari restoran. “Bagai-mana kau
bisa segembira itu, Jade?”

“Aku bukan gembira,” kata Jade serius. “Aku cuma ber-semangat


karena kupikir perkiraanmu tentang isi bungkusan itu benar. Kalau

122 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


kita bisa menemukan kedok itu malam ini, Chuck akan segera
dibebaskan—pembunuh sebenarnya akan ditangkap!”

Deena melakukan tos dengan Jade. “Ayo, cepat!”

Beberapa saat kemudian keduanya sudah menyusuri gang sempit itu.


Kelihatannya semakin sempit, semakin panjang, semakin menjijikkan
di malam hari. “Kenapa kita tak bawa senter?” tanya Deena, berjalan
di belakang Jade sambil merapat ke dinding.

“Dengan senter kita akan terlihat orang,” bisik Jade. “Jangan cemas.
Pasti di situ terang oleh lampu-lampu bangunan di sekitarnya.”

Mereka tiba di belakang restoran. Halaman belakang itu cuma


diterangi sebuah bola lampu di atas pintu dapur. Kedua gadis itu
bersyukur karena pintu dapur tertutup.

“Istirahat sebentar,” bisik Deena. “Berdoalah semoga tak ada yang


membuka pintu selama kita berada di sini,” kata Jade, condong ke
belakang hingga hampir jatuh mengenai Deena.

“Jade... ada apa?” jerit Deena, ketakutan.

“Ada... ada yang mengenai kakiku. Mungkin...”

Deena melihat ke bawah. Seekor tikus abu-abu besar bergegas-gegas


melewati mereka lalu menghilang di gang yang gelap.

“Oh, mengerikan sekali,” kata Jade terengah-engah.

“Pasti ada lebih banyak tikus lagi di sini,” ujar Deena dengan suara
bergetar. “Mereka ke sini karena sampah-sampah itu.”

123 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Oh!”

Tikus lain muncul di bibir tong sampah. Suaranya mencericit ketika


ia melompat ke lapangan bersemen, lalu bergegas-gegas menyusul
rombongannya. “Ayo, Deena. Ayo kita lihat apakah tikus-tikus itu
masih menyisakan sesuatu untuk kita.”

Ketika tiba di tong sampah yang tinggi itu Deena me-nengadah ke


bangunan di sekelilingnya. Tampak beberapa lampu bersinar terang
dari beberapa jendela. Ia berharap tak seorang pun kebetulan melihat
mereka di situ.

“Ayo,” desak Jade. “Terlalu dalam untuk melihat dasarnya. Kita


harus masuk.”

“Apa? Masuk?” Deena menarik napas dalam-dalam. Bau busuk sisa-


sisa makanan itu menyergap hidungnya. “Ohhh.”

“Kau akan terbiasa,” kata Jade, memencet hidungnya. “Ayo. Dorong


aku, lalu akan kutarik kau.”

“Menjijikkan,” protes Deena, seperti akan sakit. “Aku... aku tak tahan
mencium baunya.”

“Deena... lupakan bau itu. Jangan kau pikirkan terus. Ayo cepat ambil
bungkusan itu lalu pergi dari sini.”

“Dorong aku,” perintah Jade.

Deena mendorongnya ke puncak tong sampah. Jade meraih bibir


tong sampah, lalu menjatuhkan diri ke dasarnya. “Kalau diluar saja

124 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


sudah kau bilang bau busuk, tunggulah, di sini lebih bau lagi!” seru
Jade.

“Kelihatankah bungkusan itu?” tanya Deena penuh harap. “Yang


kulihat cuma sisa-sisa kubis,” sahut Jade. “Hari ini pasti banyak
pesanan salad!”Jade bergeser ke samping lalu mengulurkan
tangannya pada Deena. “Ayo. Bantu aku di sini. Lebih enak kalau
kita berdua yang mencarinya.”

“Ada tikuskah di situ?” tanya Deena, memegang tangan Jade.

“Ada beberapa,” sahut Jade kering. Ia menarik Deena dan tak lama
Deena pun sudah ada di sampingnya. Lutut mereka terpendam di
sampah.

“Cepat cari.” Mereka mengais-ngais sisa makanan yang basah dan


membusuk.

“Benar-benar menjijikkan!” keluh Deena. “Begitu sampai di rumah


nanti aku akan mandi enam kali.”

“Kubur saja pakaian kita,” kata Jade. “Mana bungkusan itu? Pasti
terpendam di dasar tong sampah. Oh. Sampah ikan-ikan ini yang
paling busuk baunya!”

Tiba-tiba terdengar suara ribut. Mereka berhenti mengais-ngais lalu


merunduk dalam-dalam. Pintu dapur terbuka. Deena menahan napas.
Seseorang mendekati tong sampah. Jangan, jangan... oh, pergilah,
pintanya dalam hati. Tiba-tiba dua kantong plastik besar melayang
masuk ke tong sampah. Jade tersungkur ke sampah. Deena berusaha

125 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


tegak. Keduanya tak bersuara. Langkah kaki itu terdengar menjauh.
Pintu dapur ditutup.

“Jade... di mana kau?” bisik Deena, menyingkirkan sebuah kantong


sampah ke samping.

“Di mana aku?” Suara Jade cuma terdengar bergumam. “Oh, Tuhan.
Aku tersungkur ke sampah. Kenapa tak semua orang mau
memasukkan sampahnya ke kantong sebelum membuang-nya?” Jade
mau berdiri tapi tak jadi.

“Ada apa?” tanya Deena.

Sampah di dasar tong itu tampak bergerak-gerak. Itu pasti tikus


lapar. “Aku menemukan sesuatu,” kata Jade sambil meraba-raba
dasar tong. Lalu ia tersenyum dan menunjukkan bungkusan cokelat
itu. “Aku sudah mendapatkannya.”

“Cepat... bukalah!” seru Deena tak sabar. “Apakah isinya kedok?”

“Tidak... aku tak mau membukanya di sini,” kata Jade. “Ayo ke


mobil.”

Deena setuju. Ia melompat dari tong sampah lalu menolong Jade.


Pintu dapur restoran itu masih tertutup.

Dengan aroma sampah masih tercium di hidung mereka, berlarilah


mereka di sepanjang gang sempit itu. Sampai di trotoar mereka
nyaris bertubrukan dengan pasangan tua yang baru keluar dari
restoran.

“Hati-hati kalau jalan!” teriak laki-laki tua itu.


126 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
Tapi mereka terus berlari sampai tiba di tempat parkir. Keduanya
bersandar ke mobil, mengatur napas.

“Bukalah. Cepat,” desak Deena. “Kita harus membukanya, Jade.


Sekarang kita punya bukti. Chuck akan segera dibebaskan!”

Bungkusan itu terikat erat. Jade berusaha menggeser talinya.


“Kurasa terlalu berat untuk kedok,” katanya.

“Kemejanya pasti juga ada di situ,” jawab Deena, dengan tak sabar
melihat pada Jade yang sedang membuka bungkusan itu.

Akhirnya Jade berhasil melepaskan tali bungkusan itu dan merobek


kertas pembungkusnya.

Kedua gadis itu langsung menjerit ketika tahu apa isinya!

127 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


17
KUCING mati itu seolah-olah melotot pada mereka. Padahal kedua
matanya terbenam dalam-dalam di kepalanya. Baunya lebih busuk
dari sampah. Jade menjatuhkan bangkai kucing yang masih
terbungkus kertas cokelat itu ke tanah.

“Oh, aku tak percaya,” ratap Deena. “Kucing mati. Farberson


membuang kucing mati.”

“Miss Morrison bilang hari ini ia lagi apes. Pasti kucingnya mati. Ia
tak sanggup mengurusnya. Karena itu ia menyuruh Farberson
membuangnya.”

“Aku tak percaya,” ulang Deena, menggeleng-geleng. Ia berusaha


sekuat tenaga untuk menahan air matanya. “Aku sangat kecewa,
Jade.”

“Aku juga” Jade bersandar ke bagasi mobil sambil memejam-kan


mata. “Aku sungguh-sungguh percaya pada dugaanmu, Deena.
Kupikir kita akan segera mendapatkan kedok itu. Kupikir... oh, apa
arti semua ini?” keluh Jade. Ia menunduk, menatap bangkai kucing
itu.

“Sekarang bagaimana?” tanya Deena muram. “Apa hasil pelacakan


kita yang gemilang ini?”

“Kita tahu Farberson punya rencana minggat pada hari Sabtu. Kita
tahu ia dan Miss Morrison...”

128 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Sia-sia,” potong Deena putus asa. “Usaha kita sia-sia. Kita takpunya
bukti. Tak ada bukti bahwa ia itu laki-laki berkedok Tak ada bukti
bahwa ia pembunuh istrinya. Benar-benar sial.”

“Mungkin bukan dia pembunuhnya,” renung Jade.

“Hah?” Deena menatap Jade dengan tercengang.

“Mungkin kita keliru menarik kesimpulan karena suara Farberson


mirip dengan laki-laki berkedok itu. Tapi renung-kanlah kembali,
Deena, seperti yang kau bilang tadi, kita tak punya bukti.”

“Tidak. Aku yakin dia orangnya. Farberson,” tegas Deena. “Aku


yakin betul.”

Jade memandangnya. “Betulkah?” Deena tak menyahut. Ia mendesah


resah. “Ayo kita pulang.” Mereka masuk ke mobil.

Deena mencari-cari kuncinya. “Kenapa tak dipasang beberapa lampu


di tempat parkir ini? Tempat ini segelap gang!”

Jade mengangkat bahu. “Jangan ingatkan aku pada gang itu.”


Akhirnya Deena menemukan kunci. Ia berusaha memasuk-kannya ke
lubangnya. “Ayo, cepat pergi dari sini” desak Jade.

“Ya, ya.” Deena menghidupkan mesin dan menjalankan mobil-nya. Ia


menengok ke kaca spion ketika akan mundur. Tiba-tiba sebuah
tangan yang kokoh terjulur dari jok belakang lalu merenggut
bahunya.

“Oh, tidak!” jeritnya, cepat-cepat menginjak rem. Jade menoleh,


matanya terbelalak. Ia melihat laki-laki berkedok yang kini
129 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
merenggut bahunya dengan tangannya yang lain. “Ohh... kau
menyakiti aku!”

Laki-laki itu mencengkeram bahu mereka kuat-kuat. Wajah-nya


yang berkedok didekatkan pada Jade dan Deena “Jangan sampai aku
melihat kalian lagi,” katanya dengan suara rendah dan menggeram
penuh ancaman. “Kuingatkan sekali ini saja.” Napasnya terasa hangat
dan bau bawang putih. Laki-laki itu mendorong Jade dan Deena, lalu
menyelinap keluar mobil.

Lenyaplah ia di kegelapan dengan meninggalkan pintu belakang


mobil tetap terbuka.

130 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


18
ESOK harinya Deena serasa tak tahan duduk di kelas. Suara laki-laki
berkedok itu terus terngiang-ngiang di telinganya. Pundaknya yang
dicengkeram laki-laki itu masih terasa nyeri. Kenapa ia tak
membunuh kami? pikirnya. Kenapa ia harus repot-repot? Deena
menjawab sendiri pertanyaannya. Sabtu nanti ia akan minggat ke
luar negeri, dan Chuck yang akan mendapat ganjaran atas kejahatan
yang dilakukannya. Sebelum makan siang, Deena pergi ke locker-
nya. Buku-buku yang dipegangnya berjatuhan ketika ia membuka
locker. Saat membungkuk untuk memungutinya, dompetnya
terjatuh. Isinya berhamburan ke lantai.

“Mau kubantu?” Seseorang bertanya ramah.

Deena menengadah. Rob Morell tersenyum ramah padanya. Deena


sangat capek dan bingung, maka ia cuma bilang terima kasih. Tapi
Rob tampak tak peduli. Ia membungkuk dan membantu Deena
memunguti barang-barangnya, lalu ia mengajak Deena minum Coca-
Cola sepulang sekolah nanti. Deena serasa mau menangis.

“Terima kasih, Rob. Tapi aku ada keperluan lain,” jawabnya.

Rob kecewa lalu mengangkat bahu. “Baiklah, lain kali saja,” katanya,
lalu berjalan ke koridor.

Deena memandanginya, merasa tak enak. Tapi mana mungkin ia


ceritakan keperluannya itu pada Rob? Bagaimana ia dapat
mengatakan bahwa ia mau menengok kakaknya di penjara?

131 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Kakaknya yang malang, kakaknya yang akan menjalani hukuman
atas kejahatan yang sama sekali tak pernah di lakukannya. Sewaktu
keluar dari sekolahnya, Deena dilanda perasaan bersalah. Seharusnya
dari dulu-dulu ia menengok Chuck, tapi ia tak sanggup ke sana
sendirian. Ia tak ingin melihat Chuck di penjara yang mengerikan
itu. Ia tak tahu harus bilang apa kalau ke sana. Tapi Chuck sudah
menanyakannya. Ia benar-benar tak punya pilihan. Ia harus meng-
hilangkan kegelisahan-nya dan menemui Chuck. Ia harus mencerita-
kan pada Chuck bahwa polisi tak mempercayai sepatah kata pun
yang diucap-kannya, dan menceritakan bagaimana kacaunya
perasaannya ketika ia gagal menjadi detektif.

®LoveReads

Pintu besi yang berat itu menutup di belakangnya dengan suara


berdentang, membuatnya terlompat kaget. Jantungnya berdegup
keras. Ia mengikuti penjaga berjalan melalui koridor yang panjang
dan gelap. Ubinnya kusam dan penuh jejak kaki. Mereka melewati
dua pintu besi lagi, lalu tiba di ruangan yang luas, hampir kosong,
dan berpenerangan lampu pijar.

“Silakan duduk,” kata penjaga wanita itu. “Sebentar lagi kakakmu


akan dibawa keluar.” Ia tersenyum ramah pada Deena.

Deena cuma memandangnya. Bagaimana mungkin seseorang masih


bisa bersikap ramah di tempat seperti ini? Penjaga itu meninggalkan
Deena sendirian. Ruang itu berbentuk persegi panjang dan tidak

132 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


berjendela, tengah-tengahnya diberi penyekat berlapis formika. Ada
kasa nyamuk di antara penyekat dan plafon agar tamu-tamu dan
tahanan tak bisa bersentuhan.

Di ujung ruangan itu, seorang wanita muda terlihat mem-bungkuk


di dekat sekat, tersedu-sedu sambil mengusap air matanya dengan
saputangan. Deena tak melihat lawan bicara wanita itu, tapi ia bisa
mendengar suara laki-laki yang rendah dan monoton di balik kasa
itu. Dengan lutut gemetar Deena duduk di kursi kayu tua di ruang
itu. Ini pertama kalinya ia berada di tempat suram begini, dan ia
benar-benar merasa tak nyaman. Seperti apa Chuck sekarang?
pikirnya. Apakah ia sudah tampak berbeda? Apakah tingkah lakunya
lain—lebih keras, mungkin? Deena gelisah, berharap bisa kabur dari
situ.

Setelah beberapa menit, seorang penjaga bersenjata mem-bawa


Chuck masuk ke ruangan di balik kasa nyamuk itu. Chuck memakai
kemeja katun warna biru manyala dan celana jengki. Ia tampak pucat
dan kurus. Mula-mula Chuck tak melihatnya, tapi begitu melihat, ia
langsung meninggalkan penjaga itu dan berlari mendekati Deena.

“Deena...”

Deena berdiri menyambutnya. “Berhenti di situ!” teriak penjaga.


“Kau sudah tahu peraturannya.”

Chuck berhenti beberapa senti dari kasa dan menjatuhkan dirinya di


kursi lipat. “Jangan mendekat lagi, dengar?” teriak penjaga sambil
bersedekap, mengawasi Chuck dan Deena.

133 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Hai, Chuck,” kata Deena risi. Ia memaksa diri untuk memandang ke
mata Chuck. Kedua mata Chuck merah dan berair.

“Kau harus mengeluarkan aku dari sini,” bisik Chuck cukup keras.

“Apa?” Deena tak yakin pada apa yang didengarnya.

“Aku tak bisa menerima semua ini, Deena. Tak bisa. Aku bisa gila.”
Mata Chuck terpejam dan dahinya menekan ke kasa.

“Mundur!” teriak penjaga, melepaskan tangannya yang ber-sedekap


dan melangkah mendekati Chuck.

“Sori,” jawab Chuck keras-keras sambil mundur. “Peringatan


berikutnya, kau harus kembali ke selmu,” kata penjaga itu.

“Di sini sungguh mengerikan,” kata Chuck, tetap berbisik. “Ada


seratus penghinaan seharinya. Orang-orangnya keba-nyakan
penjahat. Penjahat betulan. Perampok dan penyalur obat bius.
Bahkan ada pria yang dengan bangganya bercerita bagaimana ia
membunuh satu keluarga yangsedang berkemah di State Park.
Seluruh anggota keluarga itu dihabisinya!”

Deena menatap Chuck, berusaha menahan air matanya. “Sungguh-


sungguh mengerikan,” akhirnya ia berucap.

“Aku harus keluar dari sini. Harus! Tak pernah kubayangkan ini
terjadi padaku. Benar-benar tak adil!”

“Dad bilang pengacara akan segera mengeluarkanmu. Ia sedang


mengusahakannya,” kata Deena, tapi kedengaran tak meyakinkan.

134 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Aku tak tahan berada lebih lama lagi di sini!” jerit Chuck. “Aku
harus keluar sekarang!”

“Jade dan aku juga mencoba membantu,” kata Deena.

Untuk pertama kalinya wajah Chuck tampak cerah. “Bagaimana


kabar Jade?”

“Ia sangat mencemaskanmu.”

“Itu juga yang kurasakan,” katanya murung.

“Kami sudah menemukan sesuatu,” bisik Deena.

“Dua menit lagi,” potong penjaga, melihat ke jam bundar dan besar
di dinding. Deena cepat-cepat bercerita tentang Farberson, pesanan
tiket, dan pertemuannya dengan Miss Morrison.

“Wah!” seru Chuck. “Kalian benar-benar hebat. Tak pernah kusangka


kalian mau melakukannya untukku.”

“Kau kan kakakku,” ujar Deena. “Selain itu, Jade dan aku ikut
terlibat.”

“Ya. Tapi kalian tak ditahan,” kata Chuck, kembali bersedih. “Huh,
kalau saja aku bebas, aku akan langsung ke Fear Street, ke rumah
Farberson. Akan kuperiksa tempat itu sampai kutemukan bukti
bahwa ia bersalah.”

“Oke,” kata Deena.

“Apa? Apa maksudmu bilang oke?” Chuck tampak bingung.

“Jade dan aku akan ke rumah itu.”

135 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Tidak... jangan! Aku tak menyuruh kalian melakukannya. Ku bilang
tadi, kalau aku di luar sana, aku akan melakukannya.”

“Hm, kami kan bebas, sedang kau tidak, jadi...”

“Jangan!” jerit Chuck. “Jangan! Itu sangat berbahaya! Laki-laki itu


pembunuh! Jangan! Tak kubiarkan kalian pergi ke sana!” Chuck
melompat dan menekankan dahinya ke kasa.

“Hei...,” panggil penjaga.

“Kami akan pergi. Kau tak bisa melarang kami!” Deena ber-sikeras.
“Kita cuma punya waktu sampai besok malam untuk membuktikan
bahwa ia bersalah.”

“Jangan! Jangan kaulakukan!” teriak Chuck. “Jangan!”

“Kuingatkan lagi,” kata penjaga. Kedua tangannya merenggut Chuck


dan menariknya dari kasa.

“Lepaskan aku!” Dengan marah Chuck membentak penjaga itu. Ia


meronta-ronta. “Jangan ke Fear Street!” teriaknya pada Deena.

Penjaga itu mencengkeram bahu Chuck kuat-kuat. “Haruskah aku


bersikap kasar, Nak?”

“Lepaskan aku!” pekik Chuck gusar.

Deena tak tahan mendengarnya. Ia segera berdiri dan berbalik pergi.

Penjaga yang lain tiba-tiba muncul dan membiar-kannya keluar


ruangan. Sewaktu pintu ditutup, ia masih bisa mendengar Chuck
bergumul dengan penjaganya.

“Deena! Deena... kaudengar aku?” jeritnya.

136 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


19
SEPULANG dari penjara, perasaan Deena amat kacau. Kepalanya
pusing. Perutnya mual. Aku mungkin akan ter-serang flu, pikirnya.
Aku perlu tidur dan berselimut tebal agar penyakitku hilang. Tapi
Deena yakin tak semudah itu. Satu-satunya cara mengatasinya
adalah pergi ke Fear Street untuk mencari bukti bahwa Farberson-
lah pembunuh-nya. Waktu makan malam, Deena tak bisa merasakan
lezat-nya hidangan. Ibunya memperhatikannya.

“Ada apa, Sayang?” tanyanya. “Kau sakit?”

“Aku baik-baik saja,” jawab Deena. Agar ibunya percaya di-lahapnya


pure kentangnya. Pure kentang itu biasanya sangat disukainya, tapi
malam itu terasa seperti serbuk gergaji.

“Aku tahu kenapa kau begini,” kata ibunya. “Kau mencemas-kan


Chuck, kan?”

Deena mengangguk. Ia tak sanggup berkata-kata. “Kami juga


mencemaskannya, Deena,” ujar ayahnya. “Tapi semuanya salah
Chuck sendiri. Kalau saja kalian tak bermain telepon...”

“Ia tak membunuh siapa pun!” teriak Deena yang kemudian terkejut
sendiri mendengar teriakannya. “Ia bukan penjahat! Tapi polisi
menahannya seperti pembunuh. Kini Dad juga bilang ia patut
menerima ganjaran!”

“Sabar, Nona Muda,” potong ayahnya. “Aku tidak bilang begitu!


Maksudku...”
137 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
Deena tak menunggu ayahnya menyelesaikan kata-katanya. Ia
berdiri, berlari menaiki tangga, menjatuhkan dirinya di tempat tidur,
dan menangis tersedu-sedu di kamarnya. Tak lama kemudian, ibunya
mengetuk pintu. “Boleh aku masuk?” tanyanya.

“Silakan,” gumam Deena.

Ibunya duduk di tepi tempat tidur sambil mengelus-elus punggung


Deena. “Jangan marah pada ayahmu,” bujuknya. “Persoalan ini
sangat membebani ayahmu. Chuck adalah satu-satunya anak laki-
lakinya.”

“Maaf, Mom. Aku tak mau membicarakannya lagi. Aku letih. Aku
ingin sendirian.”

Ibunya menepuk-nepuknya lalu berdiri dengan wajah cemas.


“Baiklah, Sayang. Kutunggu di bawah kalau kau ingin ngobrol.”

Beberapa saat barulah Deena berhenti menangis. Ia mem-basuh


wajahnya lalu mulai mengerjakan pe-er trigonometri-nya, tapi ia tak
bisa berkonsentrasi. Sia-sia. Bagaimanapun ia berusaha, pikirannya
selalu tertuju pada yang satu ini: ia harus pergi ke Fear Street.
Telepon berdering, ia terlompat. Jantungnya berdegup kencang.
Bagaimana kalau dari dia?

Ternyata Jade. “Bagaimana Chuck?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Marah dan terluka,” sahut Deena. “Tapi siapa bisa me-


nyalahkannya? Ia kirim salam untukmu.”

“Seperti apa ia sekarang?”

138 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Seperti tahanan,” ujar Deena emosional. “Pikirmu seperti apa?”

“Kau tak perlu bersikap ketus begitu.”

“Maaf,” ujar Deena. “Aku sedang kacau.”

“Aku juga,” kata Jade. “Apa yang harus kita lakukan?”

“Kembali ke Fear Street.”

Jade tak menyahut.

®LoveReads

Saking lelahnya, Deena tertidur nyenyak malam itu. Ketika


terbangun esok paginya, ia sudah merasa segar dan ber-tenaga lagi.
Namun semangatnya langsung merosot ketika ia teringat hari apa
sekarang dan rencananya bersama Jade nanti malam. Pasti tak
terlalu berbahaya, katanya menghibur diri. Kemungkinan besar
Farberson ada di restorannya. Jadi mereka punya banyak waktu
untuk mencari bukti yang dapat mengaitkannya dengan
pembunuhan itu.

Waktu makan siang Jade malah kelihatan riang. “Sudah siap


bertualang lagi?” tanyanya sambil meletakkan nampan. Deena jelas
tak menganggap acara nanti malam suatu petualangan, tapi sikap
Jade yang riang membuatnya agak santai. Ia merasa lebih gembira
lagi ketika Rob Morell melambai dan mengerling padanya sewaktu
memasuki kafetaria.

139 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Hari merambat semakin siang. Deena masih merasa agak gugup, tapi
rasa percaya dirinya kian tebal. Ia yakin rencana-nya nanti malam
akan berhasil. Ia hanya sedikit cemas melihat cuaca yang mendung.
Namun hujan bukan penghalang bagi dua remaja yang sudah
bertekad bulat, bukan? Pulang sekolah hujan benar-benar turun.
Rumahnya gelap gulita.

Ibunya, seperti biasa, bekerja lembur setiap Jumat. Ayahnya belum


pulang. Deena meletakkan buku-bukunya. Ketika sedang
memanaskan sup di dapur, telepon berdering.

Ternyata ayahnya. “Halo, Deena.”

“Hai, Dad,” katanya secerah mungkin.

“Cuaca buruk, ya?” komentar ayahnya. “Perusahaan telepon kami


sedang punya masalah. Guntur menyambar transfor-mator. Jaringan
telepon di bagian selatan kota terputus. Se-tiap karyawan akan
tinggal sampai persoalannya bisa diatasi. Tolong sampaikan ke
ibumu agar tak menunggu-nunggu aku.”

“Oke, Dad,” kata Deena. “Bekerjalah baik-baik.” Deena buru-buru


menghabiskan supnya, lalu menukar pakaiannya dengan celana
panjang dan jaket bertopi.

Sebelum berangkat ia menulis pesan untuk ibunya, mengata-kan ia


akan belajar di rumah Jade. Lalu ia berjalan kaki ke Division Street
Mall, tempat ia berjanji akan menemui Jade. Payah, gerutunya, justru
malam ini ia tak punya mobil.

140 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Setiba di pertokoan itu Deena basah kuyup. Jade sudah me-
nunggunya di depan restoran piza. Ia mengenakan jas hujan kuning
terang, tapi ia tetap tampak modis dan tak basah kuyup. “Aku basah
kuyup seperti bebek,” protes Deena.

“Kau memang kelihatan seperti itu,” Jade setuju. “Sudah siap?”

“Siap. Tapi, Jade, teleponlah dulu untuk memastikan bahwa


Farberson tak ada di rumahnya.”

Jade memasukkan koin ke telepon umum, kemudian meletak-kan


kembali gagang telepon ke tempatnya. Wajahnya me-ngerut. “Aneh,”
katanya. “Sama sekali tak ada nadanya—deringan atau nada sibuk.”

“Oh, ya, aku lupa,” ujar Deena. “Ayahku tadi menelepon—jaringan


telepon di bagian selatan kota ini terputus.”

“Oh,” kata Jade. “Apa yang akan kita lakukan?”

“Kita harus tetap ke sana. Alternatif apa lagi yang bisa kita pilih?
Kalau lampu di rumahnya menyala, baru kita pikirkan rencana lain.”

Jade mengangguk. “Kurasa ia pasti ada di restorannya. Ia tak


mungkin melakukan sesuatu di luar kebiasaannya—apalagi pada
malam menjelang kepergiannya, kan?”

“Betul,” kata Deena, berharap ucapan Jade itu benar.

Kedua gadis itu meninggalkan mall, lalu naik bus ke Waynes-bridge,


lewat Division Street, menuju selatan ke Mill Road. Bus itu hangat
dan nyaman. Deena berusaha tak memikirkan ke mana bus itu akan
membawanya pergi.
141 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
Tak lama kemudian, Jade menyentuhnya. “Kita turun di halte
berikutnya.”

Dengan malas, Deena membunyikan bel tanda berhenti. Bus itu


segera menepi ke pinggir jalan yang kosong. Di situ sunyi sekali,
hanya ada semak-semak liar yang lebat dan pohon-pohon tinggi di
tepi jalan. Air hujan menitik-nitik. Meskipun malam belum larut,
awan-awan tampak kelam, sekelam tengah malam. Kilat menyambar
di langit, dan suara guntur yang menggelegar menggetarkan tanah.
Anak sungai mengalir deras di selokan di sepanjang Mill Road.

“Daerah yang menyenangkan,” ujar Jade.

“Tidak lucu,” sahut Deena. Ia menatap tajam menembus ke-


remangan malam, barulah terlihat petunjuk jalan, beberapa meter
dari situ. “Lewat sini,” katanya. Kedua gadis itu mengarungi jalanan
berlumpur menuju perempatan. Salah satu papan petunjuk jalan itu
bertuliskan huruf-huruf tak beraturan, “The Mill Road.” Pada papan
petunjuk yang lain terbaca: “Fear Street.”

Kedua gadis itu bertukar pandang. Deena berharap ia tak kelihatan


setakut Jade.

“Hei, ini cuma jalan, kan?” ujar Jade, berusaha tersenyum.

“Betul,” jawab Deena.

142 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


20
DENGAN basah kuyup dan bersusah payah, kedua gadis itu berjalan
ke arah timur, ke rumah Farberson di Fear Street. Agar tidak merasa
terlalu ngeri Deena bersikap seolah-olah ia sedang menyusuri jalan
lain di kota itu. Memang, di bawah curah hujan itu, jalan mana pun
akan tampak sesuram Fear Street.

Setelah berjalan lebih dari satu blok, hujan turun lebih lebat lagi.
Angin menderu-deru, kilat sambar-menyambar.

“Apa itu?” jerit Jade, tiba-tiba meremas tangan Deena.

Deena menoleh dan melihat sesuatu—sesuatu yang gelap dan


berkilat-kilat—menghilang di halaman seberang. “Mungkin anjing,”
katanya. “Apa pun dia, dia sudah pergi kok.”

Mereka terus berjalan, menembus lumpur dan air di se-panjang jalan


aspal yang rusak itu. “Bukankah seharusnya kita sudah sampai?”
tanya Jade.

“Itu rumahnya,” tunjuk Deena.

Rumah Farberson sangat gelap. Kedua gadis itu menuju beranda dan
mengintip ruang keluarganya lewat jendela. Tak terlihat apa-apa.

“Ia pasti masih ada di restorannya,” kata Jade.

“Terima kasih, Tuhan.” Deena menghampiri pintu depan yang


bertempelkan tulisan kuning TEMPAT PEMBUNUHAN. Ia
memutar handel pintu, tapi terkunci.

143 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Kita harus masuk dengan memecahkan kaca jendelanya,” ujar Jade.

“Jangan. Jangan lewat depan. Jangan-jangan ada yang melihat kita.


Ayo memutar ke belakang.”

Mereka bergegas ke belakang, terpeleset-peleset di jalan samping


rumah yang berlumpur.

Hujan agak reda, tapi guntur masih terus menggemuruh sewaktu


mereka tiba di pintu belakang. Kaca pintu dapur yang pecah itu
belum diganti. Lubangnya ditutup dengan tripleks yang lembek dan
nyaris hancur sewaktu Deena menekannya. Deena menempelkan
telinganya ke pintu. Tak terdengar suara dari dalam.

“Halo!” serunya, bersiap-siap kabur kalau ada yang menyahut.

Cuma terdengar desir angin dan bunyi air yang menetes. Dengan
hati-hati ia memasukkan lengannya ke lubang itu, meraih tangkai
pintu, lalu memutarnya.

“Beres,” katanya, mendorong pintu itu pelan-pelan. “Ayo masuk.”

Kedua gadis itu bertukar pandang ketakutan, lalu memasuki rumah


yang kosong dan gelap. Kelihatannya sejak Sabtu malam yang lalu
Mr. Farberson sama sekali belum memberes-kan rumahnya. Meja
dapurnya memang sudah tegak, tapi tepung dan bumbu-bumbu
masih tercecer di lemari dan lantai. Senter mereka menunjukkan
jejak-jejak tikus pada remah-remah yang tercecer itu.

“Hii!” seru Deena. “Benar-benar menjijikkan!”

144 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Kalau dapur itu menjijikkan, lihatlah ruang keluarganya!” panggil
Jade. Deena menyusul temannya ke tempat kejadian mengerikan
Sabtu malam lalu. Bercak darah masih terlihat di karpet. Tanda-
tanda kapur kuning yang dibuat polisi me-nunjukkan di mana tubuh
Mrs. Farberson tergeletak. Lantai masih penuh dengan pecahan
lampu dan asbak. Mr. Farberson pasti tak sempat membersihkannya.

“Berantakan sekali,” kata Deena. “Aku bingung harus mulai dari


mana.”

“Apakah kaulihat meja?” tanya Jade. “Mungkin kita bisa menemukan


berkas-berkas—asuransi, buku harian, atau yang lain.”

Kedua gadis itu menerangi ruangan itu dengan senter, tapi di situ
tak terlihat meja tulis. “Lihat ini,” kata Jade, menunjuk dengan
cahaya senternya. Pada salah satu sisi sofa terdapat sekeranjang
majalah.

“Pegang senternya, aku akan memeriksanya.” Jade berlutut lalu


dengan cepat memeriksa setengah lusin majalah itu. Kebanyakan
majalah tentang bagaimana menurunkan berat badan dan majalah
tata ruang—Your Modern Home—yang dikirimkan untuk Mrs.
Farberson.

“Huh, ini tak ada gunanya,” gerutu Jade, mengibaskan debu di


tangannya.

Deena menghampiri tempat telepon. Di situ cuma terlihat telepon


dan buku telepon. Ia menarik lacinya, tapi macet. Dengan putus asa

145 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


dipukulnya laci itu lalu kembali menariknya kuat-kuat. Laci itu
tercabut, teleponnya ikut terjatuh.

Jade memekik terkejut, “Hei, hati-hati!”

“Aku menemukan sesuatu!” kata Deena, tiba-tiba ber-semangat


ketika sebuah notes kecil terjatuh dari laci. Dipungutnya notes itu
dan diperiksanya di bawah cahaya senter. “Sialan,” gumamnya.
“Cuma notes kosong.”

“Hm,” kata Jade kesal. “Ayo kita ke atas.”

Sewaktu menaiki tangga yang tua dan berderak-derak, Deena


mendengar bunyi menakutkan yang membuat bulu kuduknya
meremang. “Apakah kau juga mendengarnya?” bisiknya.

Jade berhenti melangkah. “Bunyi berderak-derak itu?”

“Kedengarannya seperti ada orang yang duduk di kursi goyang,”


kata Deena. “Menurutmu...”

“Tapi siapa?” tukas Jade. “Mr. Farberson bekerja dan istrinya sudah
meninggal.”

“Tak ada apa-apa,” kata Deena, berusaha meyakinkan diri. Mereka


tiba di anak tangga teratas. “Sepertinya bunyi itu berasal dari
belakang pintu.” Dengan menahan napas, Deena berjingkat-jingkat
menuju kamar itu. Ia mendorong pintunya hingga terbuka. Ternyata
kamar tidur, dengan sebuah tempat tidur besar dan dua lemari besar.
Di seberang kamar terlihat jendela yang terbuka. Tiupan angin
terus-menerus menerpanya, menimbulkan bunyi berisik menakutkan.

146 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Rumah ini sangat seram,” kata Jade dari ambang pintu.

“Ini rumah menyeramkan yang pertama dan terakhir kali akan


kudatangi,” ujar Deena. Ia mendekat ke jendela, hampir terpeleset di
genangan air hujan yang masuk ke dalam kamar itu. “Kabar baik,
Jade, hujan sudah reda,” katanya.

“Apa kabar buruknya?” tanya Jade.

“Jendela ini tak bisa kututup. Di luar sana ada pohon besar.
Dahannya tersangkut ke sini.”

“Ayo kubantu,” kata Jade. Ia mendorong dahan pohon maple itu, lalu
Deena menutup jendelanya.

“Bagus,” ujar Deena. “Bunyi itu membuatku gila!” Lalu ia


menyorotkan senternya ke sekeliling ruangan itu. “Apakah kita akan
menemukan sesuatu di sini?” tanyanya.

“Tak ada apa-apa di lemari,” lapor Jade dengan suara teredam.

“Cuma setumpuk pakaian wanita. Semuanya berbau kapur barus.”

Kamar berikutnya lebih kecil ukurannya. Ketika membukanya Deena


serasa mendapat undian. “Ini pasti kamar kerja Farberson,” katanya
bersemangat.

“Bagus!” sahut Jade sama bersemangatnya.

Di depan jendela terdapat meja tulis tua terbuat dari logam. Meja itu
penuh kertas. Lemari arsip berlaci dua terletak di sudut, kedua
lacinya terbuka dan kosong. Di seberang meja tulis tampak dipan

147 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


yang juga penuh dengan tumpukan kertas. Beberapa kotak dan
kantong plastik sampah berwarna hijau teronggok acak-acakan,
isinya kertas-kertas dan arsip.

“Lihat, sepertinya Mr. Farberson baru membongkar arsip-arsipnya,”


kata Jade puas.

“Tapi kita perlu waktu berminggu-minggu untuk memeriksa-nya,”


ujar Deena, “dan kita sama sekali tak tahu mana yang kita butuhkan.”

“Kita tak usah memeriksa semuanya. Periksa saja bagian yang


teratas. Berkas-berkas yang baru diperiksa Farberson mungkin
ditumpuknya di bagian atas. Kauperiksa yang di dipan, aku yang di
meja.”

Deena duduk di dipan dan mulai memeriksa tumpukan kertas itu. Ia


memeriksa beberapa kertas yang terlipat, ke-banyakan bon-bon
rumah tangga, kuitansi pajak penghasilan, dan potongan cek. Ia
hampir berpindah ketika dilihatnya selembar kertas yang lipatannya
sudah sering dibuka hingga mudah robek kalau tersentuh.

“Kurasa aku sudah menemukannya,” katanya pada Jade.

“Maksudmu kita,” tegas Jade. “Apa itu?”

“Sepucuk surat. Dari Mrs. Farberson untuk Mr. Farberson.


Dengarlah, akan kubacakan!” Deena mulai membaca,

Dear Stan,

Tak ada gunanya lagi kita terus berdebat.

148 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Aku sudah memutuskan untuk meninggalkanmu. Tak ada lagi yang
bisa mengubah keputusanku. Aku yakin kau tak akan dapat
mempertahankan restoranmu. Ketika ku-berikan uang untuk
membelinya, aku yakin kelak kau pasti sukses. Tapi kau gagal lagi.

Aku tak mau memberimu uang lagi. Selama lima tahun ini kau telah
menghabiskan hampir semua warisanku. Aku harus menyimpan
sebagian untukku.

Aku akan mengambil barang-barangku pada Sabtu malam.

Selamat tinggal, Edna.

“Itu dia!” seru Jade. “Itulah sebabnya Mr. Farberson membunuhnya.


Ia punya uang, dan ia akan meninggalkannya.”

“Kisah yang menyedihkan,” kata Deena. “Aku mendapat kesan bahwa


Mrs. Farberson pernah sangat mencintai suaminya.”

“Dan akibatnya ternyata fatal,” tambah Jade. “Pokoknya, kita telah


menemukan apa yang kita cari. Ayo cepat keluar.”

“Ayo,” jawab Deena. “Tapi beri aku waktu lima menit lagi. Aku akan
memeriksa lemari.”

“Apa yang akan kaucari? Kita sudah punya cukup bukti untuk
polisi...”

“Aku mau cari kedoknya,” kata Deena.

“Baiklah,” sahut Jade. “Tapi cepatlah.”

149 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Deena membuka lemari dan menyorotkan senternya. “Ada koper di
sini.”

“Lupakanlah,” desak Jade. “Aku mendengar suara mobil.”

“Mungkin cuma mobil lewat,” sahut Deena. Ia membuka koper itu


dan menemukan kemeja, kaus kaki, serta celana panjang. Ia mencari-
cari lagi, tapi tak menemukan yang lain. Dengan kecewa, ia menutup
koper dan mulai memeriksa rak-rak.

“Mobil itu kian dekat,” seru Jade gugup. “Lupakanlah kedok itu.”

“Baik,” jawab Deena.

Ia meninggalkan lemari itu dan menyelipkan surat ke ikat


pinggangnya. Lalu ia diam membeku. Kini ia juga mendengar suara
mobil.

Mobil itu berjalan pelan lalu membelok ke halaman rumah


Farberson.

“Tak mungkin dia!” bisik Deena. “Masih terlalu sore!”

Pintu mobil dibuka kemudian ditutup kembali. Langkah-langkah


berat menuju rumah. Lalu terdengar anak kunci diputar, dan pintu
depan pun terbuka dengan berderak.

150 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


21
KEDUA gadis itu diam membeku, menahan napas. Mereka
mendengar langkah kaki dan melihat cahaya terang lampu di ruang
bawah.

“Kita harus melakukan sesuatu,” bisik Jade.

“Apa misalnya?” tanya Deena. “Kita cuma bisa menunggu.


Barangkali ia pulang untuk mengambil sesuatu.” Dengan gugup
Deena meraba-raba surat di ikat pinggangnya. Surat itu adalah bukti
yang amat penting-bukti yang bisa menyelamat-kan Chuck.
Bagaimanapun mereka harus bisa menyerahkan-nya pada polisi. Tapi
bagaimana caranya kabur? Mereka mendengar Mr. Farberson
berjalan ke dapur.

“Bagaimana kalau ia tidak berniat pergi lagi?” tanya Jade,


menyuarakan ketakutan yang berkecamuk di hati Deena.
“Restorannya mungkin tutup lebih sore. Atau ia sakit.”

“Kalau begitu kita harus menunggu sampai ia tidur,” ujar Deena. “Ia
pasti tak menyangka kita ada di sini. Ayo kita kenakan jas hujan dan
jaket, siapa tahu kita harus sembunyi”

Tanpa bersuara Jade berjingkat-jingkat ke meja. Ia mengambil jas


hujannya dan jaket Deena dari kursi. Ketika akan kembali, kakinya
tersandung lantai papan. Keduanya menahan napas beberapa saat,
tapi tak terdengar reaksi dari bawah.

151 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Ibuku pasti akan mengamuk,” bisik Jade, mengenakan jas hujannya.
“Aku bilang akan pulang pukul sepuluh.”

“Jade, ibumu bukan masalah penting sekarang,” bisik Deena.

Kedua gadis itu dengan hati-hati duduk di pinggir dipan, menunggu


dan menunggu. Semenit serasa satu jam. Berjaket terasa gerah,
meskipun kamar itu amat dingin.

Deena merasakan punggungnya berkeringat. Kalau saja ada jalan


keluar lain di rumah itu! Sedang apa Mr. Farberson sekarang?
pikirnya. Sejak tadi tak terdengar suara apa pun.

“Aku tak bisa menunggu lagi,” bisik Jade tiba-tiba. “Aku akan pergi
menyelidik kalau-kalau ada kesempatan untuk lari. Siapa tahu yang
di bawah itu bukan Mr. Farberson.”

Sebelum Deena sempat mencegah, Jade menyelinap ke koridor. Tak


lama ia kembali, di bawah sinar lampu remang-remang wajahnya
terlihat sangat cemas.

“Ia ada di bawah. Kepalanya tersandar di lengan sofa,” lapor-nya. “Ia


mendengkur.”

Deena menarik napas dalam-dalam. “Mungkin kita bisa me-nyelinap


pergi. Bagaimana pendapatmu?”

Jade mengangguk. Kedua gadis itu menghirup udara banyak-banyak,


lalu berjingkat-jingkat menyusuri koridor menuju tangga. Lantai
papan itu sudah tua, dan menurut perasaan Deena, setiap langkah
kaki mereka menimbulkan bunyi ber-derak sekeras sirene ambulans.

152 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Mereka tiba di tangga. Deena bisa mendengar suara dengkuran Mr.
Farberson di bawah sana. Ia mulai menuruni tangga, diikuti Jade.

Kini ia bisa melihat kepala Mr. Farberson yang tersandar di lengan


sofa. Ia melangkah lagi. Dan suara dengkuran itu pun berhenti. Mr.
Farberson menggeram, duduk tegak, dan meregangkan badannya. Ia
menguap keras sekali lalu kembali bersandar.

Deena dan Jade tak berani bergerak-gerak. Lalu, pelan-pelan, mereka


berbalik ke lantai atas dan menyusuri koridor. Ketika tiba di kamar
kerja Mr. Farberson, tangan Deena gemetaran. Ia masuk ke kamar
kerja, diikuti Jade. Dan tersandung tong sampah. Tong sampah itu
jatuh berdentang, bersamaan dengan geraman Mr. Farberson di
bawah.

“Setan apa itu?” katanya dengan suara rendah.

Deena dan Jade saling memandang dengan mata lebar, ketakutan


setengah mati. Cepat-cepat Jade menegakkan tong sampah itu.

“Sembunyi di lemari!” bisiknya.

Kini Deena mendengar Mr. Farberson melangkah menaiki tangga.


Kelihatannya ia tak buru-buru, tapi langkahnya berat, dan ingatlah
Deena betapa besar tubuhnya. Ia menyelinap ke lemari, diikuti Jade.
Mereka bersembunyi di balik mantel-mantel panjang dan kemeja-
kemeja. Langkah kaki itu kian dekat, lalu terdengar bunyi klik, dan
terlihat seberkas sinar dari celah-celah pintu lemari.

“Halo?” gumam Mr. Farberson. “Ada orang di sini?”

153 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Mereka mendengar pria itu berputar-putar di kamar kerja-nya,
bergumam sendiri. Lalu langkahnya menjauh, menuju koridor,
memeriksa kamar lainnya. Ia berkeliling sebentar, lalu kedua gadis
itu mendengar bunyi berderak saat ia duduk di kursi di kamar
kerjanya.

Beberapa saat tak terdengar suara apa-apa, lalu terdengar-lah suara


lenguhan yang memecahkan keheningan itu. “Hei!” Mr. Farberson
berteriak. “Ada bekas air di mana-mana!”

Lalu kursi itu terdengar berderak lagi, dan langkah berat


menyeberangi ruangan. Pintu lemari terbuka.

Deena mengerjap-ngerjap karena sinar terang yang menerpa


membuatnya silau. Baru kemudian ia bisa melihat Mr. Farberson,
yang menatapnya dengan garang. Ekspresi wajah-nya itu pelan-
pelan berubah—kemarahannya lenyap diganti-kan oleh senyum jahat
yang penuh ejekan.

“Wah, wah, ternyata gadis-gadis,” katanya. “Kalian benar-benar usil,


ya?”

154 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


22
DEENA sangat ngeri hingga tak bisa bergerak atau berpikir.
Kemudian Jade menjerit memekakkan telinga. Mr. Farberson
terkejut dan melangkah mundur.

Jade buru-buru mendorongnya dan keluar dari lemari. Ia


menyeberangi kamar itu, tapi Mr. Farberson lebih cepat tiba di pintu
dan menghalang-halanginya dengan badannya. Deena mengintip
dari lemari. Dilihatnya Jade berdiri di balik meja tulis Mr. Farberson.
Pipinya memerah dan sorot matanya nekat bercampur takut.

“Biarkan kami pergi!” pintanya. “Kami sudah tahu tentang dirimu!”

“Aku tak peduli,” jawab Mr. Farberson, sama sekali tak kelihatan
takut. Sambil melipat kedua tangannya di depan dada, ia terus
berjaga di depan pintu.

“Kau pembohong!” lanjut Jade. “Kau pembunuh istrimu!”

Mata Farberson menyipit, tapi wajahnya segera kelihatan santai


kembali. “Kau tak perlu menuduhku seburuk itu,” kata-nya. “Lebih-
lebih karena aku telah memergokimu masuk ke rumahku—untuk
yang kedua kalinya!”

“Kuingatkan kau. Biarkan kami pergi, atau...”

“Atau apa?” tanya Farberson mengejek.

Deena kagum pada keberanian Jade yang berhadapan dengan Mr.


Farberson. Tapi Deena langsung putus asa, ketika di-lihatnya Jade

155 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


sudah kehabisan bahan ancaman. Gesit bagai kucing, Mr. Farberson
merenggut pergelangan tangan Jade. “Lepaskan aku!” pekik Jade.
Tangannya yang bebas mengambil asbak lalu menghantamkannya
pada Mr. Farberson. Asbak itu terlepas dari tangannya lalu terjatuh
ke lantai tanpa sempat melukai Mr. Farberson.

Mr. Farberson merenggut pergelangan tangan Jade yang lain, Jade


pun menjerit. “Kau memaksaku berbuat kasar, ya?” seru pria itu.

Dengan kalut Deena mencari akal untuk menolong temannya.


“Lepaskan dia!” teriaknya. Ia melemparkan senternya ke Mr.
Farberson. Senter itu mengenai bahunya, tapi Mr. Farberson cuma
menggeram dan mengeratkan cengkeramannya pada pergelangan
tangan Jade.

Jade mencakari dan menggigiti Mr. Farberson, tapi dengan mudah


pria itu bisa menghentikannya. Tiba-tiba ia tampak bosan dan
mengguncang-guncang Jade. “Baik!” katanya. “Cukup sudah
permainan ini! Sekarang aku akan memberimu pelajaran!” Ia
mengempaskan Jade keras-keras ke meja.

Jade megap-megap lalu menjerit, “Lari, Deena! Cari pertolongan!”

Deena tak mau meninggalkan Jade, tapi ia sadar tak mungkin


menang kalau berkelahi dengan Mr. Farberson. Ia segera kabur dari
kamar itu dan menuruni tangga. Di belakangnya, ia bisa mendengar
suara Jade dan Mr. Farberson yang masih bergelut. Di kaki tangga
Deena berhenti sebentar, me-nimbang-nimbang. Ke mana ia akan
pergi mencari per-tolongan? Rumah-rumah di dekat situ semuanya

156 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


sunyi. Kemudian ia melihat telepon. Lebih baik menghubungi polisi
dari sini, pikirnya. Ia mengangkat telepon, memutar nomor... tapi tak
terdengar bunyi apa-apa. Terlambat, ia baru ingat bahwa telepon
mati. Semua ini berawal dari telepon gelap, pikirnya. Dan mungkin
akan berakhir di sini juga—karena ia tak bisa menggunakan telepon
ini! Ketika mendengar langkah berat di belakangnya, Deena
menoleh. Ia melihat Mr. Farberson di dekatnya.

“Menelepon piza, heh?” ejeknya.

Deena menatapnya dengan waswas, jantungnya serasa melompat ke


kerongkongan. “Mana Jade?” tanyanya, me-langkah mundur.

“Tidur sebentar, mungkin begitu istilahnya. Kau pasti senang


menemaninya.”

Deena mundur pelan-pelan, kemudian dengan hati-hati ia berbalik,


lari ke dapur. Tapi Mr. Farberson mengikutinya. Dengan kalut ia
mengambil sesuatu—apa saja—untuk senjata. Tangannya meraih
gagang penggorengan di dekatnya lalu memegangnya erat-erat.
Bayangan Mr. Farberson berjalan lambat-lambat menghampirinya.
Tangannya terulur seperti dalam film monster. Ini pasti mimpi
buruk, pikir Deena. Tak mungkin benar-benar dialaminya!

Tapi ia bukan sedang bermimpi. Buktinya Mr. Farberson me-


nyergapnya beberapa saat kemudian. Dengan menjerit lirih,
diayunkannya penggorengan itu sekuat-kuatnya hingga mengenai
Mr. Farberson. Lelaki itu berteriak marah dan kesakitan, lalu
merenggut sisi lain penggorengan itu dan memutar-mutarnya. Besi

157 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


kasar itu melukai jari-jari Deena, sehingga ia terpaksa melepaskan-
nya. Mr. Farberson merenggut pundaknya, menangkapnya bagai bo-
neka. “Kau si idiot kecil—kau lukai tanganku dengan penggorengan
itu!” teriaknya. “Siapa kira dua gadis bisa amat merepotkan aku?”

Deena berusaha meloloskan diri, tapi tak berhasil. Ia menangis tanpa


bisa berhenti. Farberson membawanya ke ruang keluarga dan
mendudukkannya di anak tangga ter-bawah. Tangannya
mencengkeram lengan Deena.

“Ayo!” katanya. “Aku tak peduli kalau lenganmu patah.” Farberson


mulai menaiki tangga, setengah membimbing dan setengah
menyeretnya.

Deena harus melangkah cepat agar lengannya tak tercabut dari


sendinya. Di lantai atas, pria itu berhenti di depan pintu pertama
yang tadi sudah dibukanya bersama Jade—pintu kamar tidur. Mr.
Farberson memeriksa sakunya, mencari-cari kunci. Deena ingat
benar, pintu itu tadi tak terkunci. Apakah Jade ada di dalam?

Deena tak sempat berpikir lagi karena ia langsung teringat untuk


kabur ketika Mr. Farberson membuka pintu kamar itu. Ini kesem-
patannya yang terakhir. Ia berlari lewat koridor, tapi Mr. Farberson
yang bertubuh besar itu berhasil menyusul dan menjegalnya.

Ia jatuh telentang. Dengan kalut sebisa-bisanya ia berkelahi dengan


Mr. Farberson. Ia mendengar Mr. Farberson me-robek jaketnya lalu
mengikatkannya ke badannya, hingga kedua tangannya sama sekali
tak bisa digerakkan.

158 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


23
AKU benar-benar terperangkap, pikir Deena. Apa yang akan
dilakukannya padaku sekarang?

“Hei... apa ini?” tanya Mr. Farberson. Jaket Deena yang robek
memperlihatkan surat di ikat pinggangnya. Ia me-renggutnya, dan
wajahnya tampak semakin garang.

“Jadi!” katanya. “Ini yang kaucari!” Dengan kasar ia menarik Deena


hingga berdiri dan mendorongnya masuk ke kamar. Lalu ia ikut
masuk, membanting pintu, dan berdiri tegak beberapa saat,
menghela napas.

Deena jatuh menabrak lemari. Ia memaksa diri untuk duduk dan


melihat ke sekitarnya. Jade meringkuk di kaki tempat tidur. “Jade!”
pekiknya ketakutan. Jade tak bergerak-gerak. “Jade!”

Kali ini Deena benar-benar menjerit. “Kaubunuh temanku!” teriaknya


pada Mr. Farberson. Ia amat ketakutan dan marah hingga sesak
napas.

“Ia cuma K.O.,” sahut Farberson enteng. “Pasti ia hanya berpura-


pura. Pukulanku tadi tak akan membuatnya mati— paling tidak
belum sekarang.”

Jade mengerang. Deena berusaha melepaskan jaketnya, lalu ia


menghampiri temannya. Dahi Jade memar, dan ia amat pucat, tapi
tak lama kemudian ia membuka matanya “Deena?”

159 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Jade!” seru Deena. “Jade, kau baik-baik, kan?”

“Kepalaku terluka,” jawab Jade. “Apa yang terjadi... oh!” Jade


mendesah ketika melihat Mr. Farberson berdiri di depan pintu. Ia
memegang surat itu lalu mengetuk-ngetuk-nya, darah menetes dari
luka akibat hantaman penggorengan.

“Ia menemukan bukti kita,” tutur Deena, masih menangis, “Sori,


Jade.”

“Surat yang kutemukan ini milikku,” kata Mr. Farberson. “Kalian


mau mencurinya. Aku harus menyerahkan kalian pada polisi.”
Beberapa saat Deena terus berharap-harap. Mungkin ia tak akan
melukai mereka. Mungkin ia akan menyerahkan mereka pada polisi.
Tapi paling tidak mereka akan selamat.

“Katakan apa yang kalian tahu,” perintah Farberson.

“Kami tak tahu apa-apa,” jawab Deena cepat.

“Oh, ya?” tanya Farberson, matanya menyipit.

“Hei... aku sungguh-sungguh. Katakan apa saja yang kalian ketahui.”


Ia mendekati mereka. “Aku tak perlu menyakiti kalian untuk
mendapatkan jawaban itu, kan!”

“Kau sudah tahu,” jawab Deena, amarahnya timbul lagi. Ia merasa


Mr. Farberson sengaja mempermainkan mereka, seperti kucing
mempermainkan tikus yang sudah berhasil di-tangkapnya. “Kau
membunuh istrimu untuk mendapatkan uangnya—lalu membuatnya
seperti kasus perampokan!”

160 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Mr. Farberson diam sesaat, lalu menegakkan badan, sepertinya ia
sudah mengambil keputusan. “Hm, kalian sungguh pintar,” katanya.
“Sangat pintar. Aku akan lebih hati-hati sekarang.”

“Apa maksudmu?” bisik Jade. “Mungkin kau benar... tentang semua


itu,” katanya. “Mungkin aku yang membunuh Edna.”

Rasa dingin menjalari sekujur tubuh Deena. Farberson pasti takkan


mengaku seperti itu kalau ia berniat melepaskan dirinya dan Jade.
Bagaimana mereka dapat meloloskan diri? Deena berpikir keras,
namun satu-satunya cara yang terpikir olehnya adalah memancing
Farberson untuk terus bicara, agar mereka punya waktu untuk
bertindak.

“Kau membunuhnya lalu meyakinkan polisi bahwa Chuck yang


melakukannya?” tanyanya.

Senyum aneh menghiasi wajah Farberson. “Ketika kalian bertiga


muncul malam itu, aku seperti mendapat anugerah dari surga. Kalian
memberiku lebih banyak waktu—waktu untuk menuntaskan
pekerjaanku dan angkat kaki dari kota ini. Terus terang aku
berutang budi pada kalian.”

“Sekarang pun kau masih bisa pergi,” jawab Deena cepat. “Jade dan
aku tak akan membongkar rahasiamu sampai pesawatmu terbang
besok pagi.”

“Usul bagus,” sahut Farberson. “Aku sempat memikirkannya.


Tadinya aku berencana untuk meninggalkan kalian terkunci di sini

161 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


sampai tiba waktu berangkat. Tapi kalian tahu terlalu banyak Aku
tak berani ambil risiko yang akan menghalangiku”

“Tunggu,” kata Deena. “Bagaimana kalau...”

Terlambat. Mr. Farberson menuju pintu. “Kalian tak akan bisa


kabur,” katanya menyeringai. Ia membanting pintu.

Deena mendengar anak kunci berputar di lubangnya. Lalu langkah


kaki Farberson menyusuri koridor.

162 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


24
DEENA lari ke pintu dan membukanya, tapi pegangan pintu itu tak
bisa diputar. “Cepat,” katanya pada Jade. “Kita harus keluar dari sini!”

“Tapi bagaimana caranya?” tanya Jade.

“Lewat situ.” Deena menunjuk ke jendela. “Ingatkah ketika kucoba


menutupnya tadi? Ada dahan yang menghalanginya, kan? Pohon
besar itu pasti dekat dengan rumah ini—mungkin cuma setengah
meter dari sini.”

“Jadi kita harus turun lewat pohon?” tanya Jade.

“Kita tak punya pilihan lain! Jade, ia akan membunuh kita!” Deena
menggeser gerendel lalu mendorong jendela, tapi jendela itu tak
bergerak.

“Cepat, Deena,” desak Jade. “Ia sudah kembali!”

Kini Deena juga mendengar langkah kaki Mr. Farberson di tangga.


“Kenapa tadi kututup, ya?” gerutu Deena.

Didorongnya jendela itu sekuat-kuatnya, tapi tetap tak mau


bergerak.

“Kita harus menghalang-halangi dia!” ujar Jade terengah-engah.


“Kemarilah bantu aku!”

Deena melihat Jade sedang mendorong lemari berlaci yang amat


berat. Ia lari membantu temannya. Kedua gadis itu mendorong

163 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


lemari itu kuat-kuat hingga benda yang berat itu bergeser pelan di
lantai. Di luar, terdengar gema suara langkah kaki Mr. Farberson
yang kian dekat.

“Cepat!” seru Jade. Lemari itu mereka dorong sesenti demi sesenti—
hingga tepat berada di balik pintu ketika Mr. Farberson memutar
anak kunci.

Deena kembali berusaha membuka jendela. Terdengar suara berisik


ketika Mr. Farberson mencoba membuka pintu yang terhalang
lemari. Deena mendengar sumpah serapahnya. Lalu suara gebrakan
keras ketika pria itu menubrukkan tubuhnya ke pintu. Lemari berlaci
itu bergeser sedikit demi sedikit.

Pintu mulai terkuak sekarang. Mr. Farberson memasukkan


tangannya. “Kau tak bisa menahanku di luar sini!” katanya dari balik
pintu. Lalu ia tertawa—tawa menyeramkan!

Dengan tekad baru kedua gadis itu kembali mendorong jendela, kali
ini langsung terbuka. Deena melihat ke luar. Pohon itu licin karena
basah. Cabang-cabang pohon di dekat jendela terlalu kurus untuk
dijadikan tempat berpijak. Kira-kira semeter di bawah jendela baru
terlihat dahan yang kokoh. Lemari itu tiba-tiba bergerak. Kalau saja
Mr. Farberson bertubuh lebih kecil, ia pasti sudah bisa masuk ke
kamar itu.

“Lompat, Deena!” seru Jade ketakutan.

Deena mengambil napas dalam-dalam lalu memanjat ambang


jendela. Ia berbalik, tangannya berpegang pada ambang jendela, lalu
164 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
bergelayutan. Ia merasa lega ketika kakinya menyentuh dahan kokoh
di bawahnya. Ia melepaskan pegangannya di ambang jendela, lalu
berdiri di dahan. Dengan gembira ia berpegang pada dahan di
atasnya lalu mengulur-kan sebelah tangannya pada Jade.

Beberapa saat setelah Jade dan Deena berada di pohon, Mr.


Farberson muncul di ambang jendela. “Kalian tak akan pernah bisa
melarikan diri!” bentaknya, lalu menghilang.

“Ia keluar!” bisik Jade. “Cepat turun!”

Deena melihat ke bawah dan menyadari betapa tinggi ia berada.


Dahan berikutnya agak jauh di bawahnya. Kenapa dulu ia tak
berlatih senam? tanyanya menyesali diri. “Aku tak bisa!” ujarnya
pada Jade. “Terlalu jauh dan licin.”

“Aku lebih tinggi,” kata Jade. “Akan kucoba. Kalau... oh!” Mata Jade
membelalak ketakutan. Dari sinar lampu jendela dapur, keduanya
bisa melihat Mr. Farberson sedang berjalan ke pohon. Ia memegang
benda panjang dan besar. Ketika ia mendekat, Deena melihat benda
itu ternyata gergaji!

“Oh, tidak,” gumam Jade. “Aku tak percaya!”

“Rasanya tak mungkin ia gunakan gergaji itu di malam hari begini!”


kata Deena, tak yakin. “Ia bisa membangunkan penduduk Fear
Street. Sudah sintingkah dia?”

“Ya,” bisik Jade. “Ia memang sinting. Maksudku, ia sudah nekat.


Lihat matanya.”

165 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Deena mengintip ke bawah dan melihat apa yang dimaksud Jade.
Wajah Mr. Farberson masih kelihatan marah. Tapi ada sesuatu yang
tersirat di wajahnya—kebengisan yang muncul di luar kontrol. Di
bawah sinar lampu itu, bagian putih matanya tampak membesar. Ia
tertawa mengerikan lagi.

Deena menggigil. Bagaimanapun Farberson yang ini lebih


menyeramkan dibanding laki-laki yang telah memperdayai mereka.
Ia mulai menggergaji. Sebelum bunyi memekakkan itu berakhir,
Deena mendengar raungan sirene. Pohon itu bergetar ketika Mr.
Farberson menggergajinya. Deena dan Jade berpegang erat-erat
agar tak ikut terguncang—dan terjatuh ke mata gergaji yang
bergerak-gerak itu.

“Ia benar-benar menggergaji pohon ini!” jerit Deena, hampir terlepas


dari dahan.

“Kita akan terjatuh!” kata Jade, melihat ke bawah.

Di bawah sana Farberson menarik gergajinya, menancapkan-nya


lagi, menengadah melihat kedua gadis itu, lalu kembali menggergaji.
Gergaji itu menimbulkan bunyi memekakkan saat memotong batang
pohon. Serbuk gergaji dan serpihan kayu beterbangan.

Deena mendengar bunyi berderak.

“Kita akan terjatuh!” jeritnya.

166 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


25
TIBA-TIBA Jade memegang lengan Deena. “Lihat!” katanya.

Deena menoleh. Di kejauhan, dari arah Mill Road, tampak


pemandangan paling indah yang pernah dilihatnya. Lampu sirene
mobil polisi! Terdengar bunyi berderak lagi. Pohon itu akan
tumbang. Pertolongan sudah datang, tapi akankah tiba tepat waktu?
Detik berikutnya segalanya seperti terjadi bersamaan. Pohon itu
mulai tumbang. Deena memejamkan mata dan berpegang erat ke
dahan, berharap dalam waktu singkat segalanya akan berakhir.

Halaman rumah itu tiba-tiba berubah jadi mencekam. Cahaya terang


mobil polisi menyorotinya. Seorang polisi berlari menyeberangi
halaman sambil menodongkan pistol. Deena lega ketika tahu polisi
itu adalah Detektif Frazier. Pistol itu meletus beberapa kali. Mr.
Farberson berdiri tak bergerak-gerak, lalu roboh ke belakang.
Gergaji di tangannya masih meraung-raung.

Dengan cepat detektif itu berlari men-dekatinya dan mematikan


mesinnya. Bunyi mengerikan dan getaran sudah berhenti—keadaan
yang tiba-tiba sunyi itu menyebabkan telinga Deena serasa tuli.
“Kalian baik-baik saja?” tanya Detektif Monroe dari bawah pohon,
menenga-dah pada mereka.

Di belakangnya terlihat Detektif Frazier sedang membungkuk di


depan Mr Farberson. “Bertahanlah,” kata Monroe. “Aku akan
mengambil tangga.”

167 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Deena lemas. Jade juga kelihatan lemas. Keduanya menangis lega.

Namun ketika pohon itu bergoyang lagi, Deena sadar bahwa bahaya
belum lewat. Halaman itu dipenuhi seruan laki-laki, bunyi mesin
mobil, dan suara radio panggil. Dari celah dedaunan yang rimbun,
Deena melihat seseorang sedang berbicara di walkie-talkie.

Di belakangnya berdiri—tak salah kah penglihatannya?—ayahnya


dan Chuck! Detektif Monroe kembali dengan membawa tangga. Ia
memanjat, polisi ber-seragam lainnya memeganginya. Ia tiba diatas
pohon. Dengan gembira Deena melingkarkan lengannya ke leher
polisi itu yang dengan mudah membawanya menuruni tangga.

Tak lama ia turun lagi bersama Jade. Baru saja ia mendudukkan Jade
di tanah, terdengar seseorang berteriak, “Awas!”

Pohon itu tumbang, mula-mula pelan-pelan lalu benar-benar roboh.


Dahan-dahannya yang kokoh menghantam jendela belakang rumah
Mr. Farberson.

Deena sempat melihatnya beberapa saat. Jantungnya berdetak cepat,


lalu ia pingsan.

168 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


26
KETIKA tersadar lima menit kemudian, Deena terbaring di beranda
rumah Mr. Farberson beralaskan mantel panjang. Jade duduk
bersilang kaki di sebelahnya sambil memegangi dahinya dengan
kain. Chuck duduk mencangkung di sebelah Jade, menatapnya sambil
tersenyum lembut.

Deena berusaha duduk, lalu melihat ke sekelilingnya dengan tak


percaya. Detektif Frazier dan Monroe, tiga polisi ber-seragam, dan
ayahnya berkumpul di beranda itu, memandang-nya dan Jade.

“Bagaimana keadaanmu, Sayang?” tanya ayahnya, membungkuk dan


memeluknya.

“Dad!” serunya. “Chuck! Apa yang terjadi?”

Chuck menyeringai padanya. “Ceritanya sangat panjang,” jawabnya.

“Mana Mr. Farberson?” tanya Deena pada mereka. “

“Di sana,” sahut Frazier, menunjuk ke samping halaman. “Ia terluka,


tapi akan segera sembuh kembali—setelah itu baru akan diadili.”
Detektif itu bersandar ke tembok lalu bersedekap. “Kalian pasti
punya banyak cerita untuk kami,” katanya. “Ceritakanlah sambil
menunggu ambulans tiba!”

“Kami sebisa-bisanya berusaha mencari informasi tentang Mr.


Farberson,” jawab Deena.

“Lalu apa yang kalian temukan?” tanya Frazier dengan wajah lugu.

169 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Deena tak tahu apa yang sedang dipikirkannya.

“Ia yang membunuh istrinya,” sahut Jade. “Ia membunuhnya untuk


memperoleh uangnya.”

“Kau yakin itu?” tanya Frazier. Detektif Monroe yang ada di


sebelahnya mulai mencatat.

“Periksalah saku Mr. Farberson!” kata Deena. “Ada surat dari


istrinya yang mengatakan bahwa ia akan meninggalkannya. Kami
juga menemukan surat pesanan tiket pesawat ke Amerika Selatan.
Mr. Farberson berniat melarikan diri.”

“Selain itu,” tambah Jade, “ia bilang pada kami bahwa ia yang
membunuh istrinya.” Mendengar suaranya yang mantap, Deena
yakin bahwa Jade sudah pulih. Apalagi ketika ia meliriknya dan
melihat wajah Jade yang berseri-seri.

“Kau bilang, Farberson mengatakan ia yang membunuh istrinya,”


kata Frazier. “Apakah ia juga mengungkapkan penyebabnya?” Suara
Frazier terdengar agak sinis, membuat Deena gusar.

“Istrinya punya banyak uang,” jelas Deena, suaranya mencerminkan


kekesalan hatinya. “Istrinya tak mau memberinya uang lagi. Mr.
Farberson juga punya pacar gelap. Namanya Linda Morrison, asisten
pribadinya.”

“Bagaimana cara kalian memperoleh semua informasi itu?” tanya


Frazier.

“Kami mencarinya,” sahut Jade dengan nada tersinggung.

170 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Kami ke tempat kerja Mr. Farberson, ke rumah Miss Morrison, dan
ke sini.”

“Kalian nekat sekali!” seru Frazier. “Tidak tahukah kalian bahwa itu
pekerjaan polisi?”

“Kami tahu,” sahut Deena. “Tapi kalian tak mau dengar cerita kami.
Kami yakin Chuck tak bersalah. Satu-satunya yang bisa menolong-
nya cuma kami.” Deena terkejut ketika melihat Frazier tersenyum.

“Kurasa perlu kubeberkan sekarang, sebenarnya Farberson adalah


orang yang paling kami curigai,” katanya. “Kami menunggu-nunggu
kesempatan sambil terus mencari bukti.”

“A... Anda... me... nunggu-nunggu?” kata Deena menggagap. “Tapi


bagaimana dengan Chuck? Anda seenaknya saja menahannya!”

“Tenanglah, Deena,” kata Chuck. “Aku baik-baik kok.”

“Bagaimana kau bisa baik-baik?” protes Deena. “'Kalau polisi tahu


kau tak bersalah, kenapa mereka...”

“Mulanya kami tidak yakin,” potong Frazier. “Kami terkecoh oleh


siasat Farberson, lebih-lebih ketika sidik jari Chuck terdapat pada
pisau itu. Namun kemudian kami mulai mencurigai Farberson. Kami
mengawasinya dengan diam-diam agar ia tak tahu bahwa ia
dicurigai.”

“Jadi seminggu ini kakakku dipenjarakan hanya demi penyelidikan


kalian?” Deena amat marah hingga ia ingin melemparkan sesuatu
padanya.

171 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Hei, Deena, tenanglah,” bujuk Chuck. “Biarkan Detektif Monroe
menjelaskannya.”

“Tidak. Aku yang akan menjelaskannya,” kata Mr. Martinson.

Deena menatap ayahnya dengan menyelidik, bertanya-tanya apakah


setiap orang di situ sudah sinting. “Rencananya, pengacaraku akan
memberikan uang jaminan agar Chuck dibebaskan pada hari Rabu,”
tutur ayahnya. “Tapi Detektif Frazier menerangkan masalahnya
padaku. Katanya, untuk mempermudah penangkapan Farberson,
Chuck harus tetap ditahan. Akan lebih baik kalau Farberson terus
mengira bahwa Chuck yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan
itu.”

“Dan Dad menyetujuinya?” Deena teringat bagaimana keadaan


Chuck sewaktu ia mengunjunginya di tahanan. Betapa sedih dan
ketakutan dia. Kini, tiba-tiba, ia merasa geram pada ayahnya.
Segeram perasaannya pada kedua detektif itu.

Mr. Martinson kelihatan malu lalu mengangkat bahu. “Aku ingin


membantu polisi. Itu cuma butuh waktu beberapa hari kok. Rencana-
nya Chuck besok memang akan dibebaskan. Kupikir ada baiknya juga
kalau Chuck diberi pelajaran.”

“Tak apa-apa, Dad,” kata Chuck. “Aku bisa mengerti.” Sebelah


tangan Chuck melingkar di leher Jade. Menurut Deena, Chuck kini
sangat berbeda dibanding tiga minggu lalu ketika ia baru tiba di
Shadyside. Wajah Chuck kini lebih dewasa, lebih serius. Seringai
cemberutnya sudah lenyap.

172 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Tampak ambulans memperlambat kecepatannya lalu berbelok ke
halaman rumah Mr. Farberson. Detektif Frazier dan Monroe
menyambutnya lalu membantu petugas-petugas medisnya. Deena
dan Jade melihat Mr. Farberson diletakkan ke tandu lalu dimasukkan
ke ambulans.

“Aku tak percaya semuanya telah berakhir,” kata Deena.

“Kau harus percaya,” sahut Chuck. “Terima kasih untuk semua


bantuanmu dan Jade hingga polisi tahu siapa yang benar. Kini
mereka yakin aku tak bersalah. Mereka juga sudah punya bukti-bukti
untuk memenjarakan Farberson seumur hidup.”

Ambulans itu keluar halaman dan kembali menuju Mill Road. Lampu
sirenenya berputar-putar dan berpendar-pendar. Polisi-polisi yang
berpengalaman itu sudah menyelesaikan tugasnya. Mereka pun
berkemas-kemas.

“Anda tak memerlukan kami lagi?” Mr. Martinson bertanya pada


Detektif Frazier.

“Tidak, silakan pulang,” sahut sang detektif. “Tapi Saya akan


berbicara lagi dengan gadis-gadis itu besok pagi.”

“Baiklah. Kalian siap, kan?”

Deena berdiri. “Siap,” katanya, lalu berbalik pada Detektif Frazier.


“Masih ada satu yang tak kumengerti,” katanya.

“Apa itu?” tanya Detektif Frazier.

173 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


“Tak seorang pun tahu kami di sini. Bagaimana Anda bisa
menyelamatkan kami tepat pada waktunya?”

“Kau harus berterima kasih pada Chuck,” kata Detektif Frazier. “Dia
menelepon orangtuamu untuk menceritakan rencanamu, tapi tak
berhasil. Lalu ia menelepon ke rumahku. Katanya ia mau mengaku.”

“Kau mau apa?” tanya Jade dan Deena bersamaan, menatap Chuck.

Chuck tersenyum konyol. “Aku ingin bertemu dia secepatnya,”


jelasnya. “Satu-satunya cara agar ia mau datang adalah dengan
mengatakan bahwa aku mau mengaku.”

Deena dan Jade bertukar pandang, lalu menatap Chuck. Jade tertawa.

“Aku tak percaya kau melakukannya lagi, Chuck!” katanya sambil


mendesah.

“Mengingat janji yang pernah kauucapkan... mengingat pengalaman


pahit kita...”

“Apa maksudmu?” tanya Chuck kebingungan.

“Maksudku,” kata Jade, masih tertawa, “kok berani-beraninya kau


membual lagi di telepon!”

174 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


27
PADA hari Senin kejadian itu menjadi buah bibir di seluruh sekolah.

Sebenarnya berita penangkapan Mr. Farberson hanya disinggung


sedikit di koran, namun entah bagaimana peran Deena, Chuck, dan
Jade dalam kasus itu telah tersebar luas. Mereka bertiga pun dielu-
elukan sebagai pahlawan. Ketika Deena kembali ke locker-nya
sebelum makan siang, ia dicegat banyak orang. Sepertinya setiap
murid di sekolahnya ingin tahu kisah lengkapnya.

“Selamat, Deena!” ucap Della O'Connor.

“Benarkah kaubantu polisi mengungkap kasus pembunuhan itu?”


tanya Corry Brooks ingin tahu.

“Oke, setiap orang harap antre!” ujar Deena bercanda.

Pada saat itu Lisa Blume tampil, siap dengan notesnya. “Selamat
siang, Deena,” katanya. “Kau sungguh hebat!”

“Aku gembira karena semuanya sudah berakhir,” kata Deena


sungguh-sungguh.

“Aku siap menulis berita menggembirakan itu,” ujar Lisa.

“Bisakah kita bicara sepulang sekolah saja?” pinta Deena. “Aku lapar”

“Baik. Tapi benar kakakmu membuat pengakuan palsu?” desak Lisa.

“Itu dia,” sahut Deena, menutup locker-nya. “Kenapa kau tak tanya
saja padanya?”

175 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com


Chuck tiba di sudut ruangan, bergandengan tangan dengan Jade.
Jade mengenakan gaun warna-warni yang membuatnya tampak
menakjubkan. Ia terus tersenyum pada Chuck seolah-olah tak ingin
melepaskan pandangannya dari cowok itu. Lisa langsung mencecar
Chuck. Deena terkejut ketika Chuck mau menjawab pertanyaannya
sambil tersenyum.

Deena sedang menuju ke arah Jade ketika Rob Morell menghampiri-


nya. “Hai, bagaimana ceritanya?” tanyanya dengan senyum lebar.

“Hai, Rob,” sahut Deena malu-malu.

“Kemarin aku meneleponmu. Kini tahulah aku kenapa kau tak men-
jawab teleponku.” Deena cuma tersenyum, tak tahu harus bilang apa.
“Begini,” lanjut Rob, “beberapa teman akan ke rumahku untuk non-
ton video bersama-sama. Aku ingin bertanya apakah kau mau ikut?”

“Aku... aku mau,” kata Deena dengan hati berdebar.

“Bagus,” ujar Rob. “Kujemput kau sekitar pukul tujuh nanti. Dan
kalian,” katanya pada Chuck dan Jade. “Ikutlah juga.”

“Terima kasih,” jawab Jade. “Tapi pe-er-ku banyak sekali. Akan


kuberi kabar nanti. Aku akan menelepon Deena sepulang sekolah.”

“Oke,” kata Deena sambil menyusuri koridor, kemudian mendadak


berhenti. “Kupikir,” katanya pada Jade, “beberapa hari ini aku tak
ingin menggunakan telepon, Jade. Aku kapok. Mungkin lebih baik
kau mengirimkan kartu pos saja padaku.”

-END-

176 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai