com
PROLOG
Menyusun rencana. Itu keahliannya sejak kecil. Menentukan sasaran,
lalu merencanakan bagaimana mencapainya, selangkah demi
selangkah. Tentu saja rencananya tidak selalu berhasil. Ia memang
sering bernasib buruk. Terkadang ada yang menghalanginya.
Merusak rencananya yang sudah matang.
Namun kali ini tak akan terjadi lagi. Inilah rencananya yang paling
hebat. Tak mungkin gagal. Siapa pun takkan ia biarkan
menggagalkannya. Kala ia duduk di kegelapan, sibuk memikirkan
rencananya, wajahnya menyeringai. Perbuatannya itu memang tidak
baik, dan sebenarnya ia tak ingin menyakiti orang lain.
Kini tiba saat beraksi, tak perlu lagi memikirkan masa lampau. Lagi
pula, bukan salahnya kalau ia selalu terjerumus dalam kesulitan.
Segalanya akan berubah. Mulai detik ini semua akan berjalan seperti
yang diinginkannya. Rencananya sudah matang. Sepintas, segalanya
tampak wajar. Tapi seseorang akan dibuatnya sangat terkejut.
Kejutan yang mematikan.
GUMPALAN gel itu bagai sesuatu yang keluar dari dasar rawa
yang busuk. Menyebar dan mengendap di kemasannya, menggeliat-
geliut, seolah mencari jalan keluar atau tempat lain untuk berpindah.
“Aku tahu ibumu penata rambut profesional,” kata Deena. “Tapi gel
ini seperti makanan cacing. Hii, tak kubayangkan bagaimana
rasanya.”
“Cobalah. Mungkin kau bisa tambah menarik,” kata Jade, tapi ia tak
memaksa, bahkan tampak tak peduli. Suaranya terdengar bosan—
seperti perasaan Deena.
“Yeah,” sahut Jade setuju. “Aneh ya, aku malah senang sekolah akan
dimulai lagi lusa. Asyik rasanya bertemu teman-teman, pergi ke
pesta dansa, dan menonton pertandingan.”
“Apa maksudmu?”
“Betulkah?” seru Jade. “Jadi telepon ini multifungsi. Aku dapat ide.
Nomor-nomor telepon siapa saja yang sudah kau program?”
“Apa?” jerit Cathy. “Aku bahkan tidak pergi ke mall hari ini!”
“Kau tak bisa membodohi aku,” lanjut Cathy. “Lain kali carilah orang
yang setolol dirimu!” Terdengar bunyi klik di ruangan itu saat Cathy
menutup telepon.
“Sialan!” maki Jade. “Aku harus mencobanya pada orang yang tak
kenal baik suaraku. Seseorang yang tak mengharapkan-nya... itu dia!
Deena, tolong lihatkan nomor telepon Henry Raven.”
“Halo?”
“Halo, Henry ya?” Jade bicara amat pelan, hampir berbisik. Menurut
Deena suara Jade itu misterius dan seksi.
“Siapa ini?”
“Bukan. Ini bukan olok-olok,” kata Jade. “Aku sangat serius. Kaulah
satu-satunya cowok idaman gadis seperti diriku....”
“Sekarang giliranmu.”
“Tidak, Jade!” kata Deena. “Berbicara secara langsung pun aku tak
sanggup!”
“Rob Morell?” jerit Deena. “Ia salah satu cowok paling beken di
sekolah!”
“Benar sih,” jawab Deena. “Tapi ketika tahun lalu ia ikut pelajaran
geometri di kelasku, sekali pun aku tak pernah mengobrol
dengannya.”
Bagus! puji Jade tanpa suara. Beberapa saat kemudian suara cowok
yang mengantuk terdengar di alat pengeras suara, “Halo?”
“Usul yang bagus. Kau memang cowok yang menarik, Rob. Aku
akan meneleponmu lagi, suatu malam dalam waktu dekat ini.”
“Apa kubilang. Hm, siapa lagi yang akan kita telepon? Bagaimana
kalau...”
Mendadak terdengar derit rem dan decit ban mobil yang membuat
Dad tak menyelesaikan kalimatnya.
Tiba-tiba terdengar jerit pilu, “Oh, Tuffy masih ada di sana!” Deena
menoleh dan melihat anak laki-laki kecil yang memegangi dahinya
dengan handuk yang berdarah.
®LoveReads
®LoveReads
Pada saat makan siang, Deena hampir melupakan ulah Chuck tadi.
Asyik juga kembali ke sekolah, pikirnya. Saat ia mencari tempat
duduk setelah mengisi nampannya, Rob Morell lewat bersama
teman-teman seregunya. Gerak-geriknya anggun dan memikat.
“Betulkah?” tanya Deena tanpa emosi. Bruce dan Sherry adalah dua
murid tergemuk di sekolah.
“Mungkin tak ada orang lain yang mau berkencan dengan mereka,”
lanjut Jade. “Oh, akan kuceritakan pula bagaimana penampilan Mrs.
Overton. Ia memotong rambutnya pendek sekali—mirip rambut
cowok.”
“Aku bilang Mrs. Overton... kau ini kenapa sih?” Jade meng-hentikan
ucapannya dengan jengkel.
TAHUN ajaran baru ini akan membawa petaka. Deena yakin itu.
Sabtu sore di akhir musim panas, Deena berdiri di jalan lingkar di
halaman rumahnya. Ia memakai baju renang usang dan celana
pendek, sedang mencuci Honda Civic abu-abu milik ibunya. Tapi
pikirannya tidak tertuju ke situ, melainkan pada kejadian-kejadian
yang tidak mengenakkan minggu lalu.
Setiap orang jadi tegang. Dad yang biasanya sangat cuek jadi
gampang naik darah. Ia membentak Deena atau ibunya yang tak
bersalah. Mom yang memang selalu tegang karena pekerjaannya
sebagai kepala administrasi Departemen Sosial Shadyside, jadi lebih
tegang lagi. Deena mendesah. Siapa bilang masa remaja adalah yang
terindah dalam hidup ini, pikirnya. Ia melihat air sabun yang
mengalir turun ke sisi mobilnya yang berkilat. Lalu ia memutar
keran dan me-nyemprotkannya ke mobil.
“Hai, Deena!”
“Maksudmu, kau tahu pasti aku tak punya teman kencan,” tukas
Deena.
“Lupakan dia,” kata Deena. “Dia itu Mr. Antipergaulan. Dia hanya
keluar kamar kalau makan.”
“Lupakanlah!”
“Oke, oke,” kata Jade. “Sayang sekali cowok ganteng begitu hobinya
mengurung diri di kamar!”
®LoveReads
Malam semakin larut, hujan turun dengan deras selama satu jam
terakhir.
“Aku masih lapar,” jawab Jade. “Tapi kurasa Chuck juga perlu
ditawari beberapa potong.”
“Aku punya ide yang lebih bagus. Kupikir ini saat yang tepat untuk
menelepon Rob Morell lagi.”
“Aku tak mau, Jade,” kata Deena. Jantungnya berdetak cepat, seolah-
olah ia baru saja ikut lomba lari.
“Pasti ada yang tak beres,” kata Deena. “Sori, Rob, sampai di sini
dulu, ya. Aku akan meneleponmu lagi.” Deena meletakkan telepon,
merasa dirinya berada di atas angin.
“Luar biasa!” puji Jade. “Tapi itu tadi suara apa, ya?”
“Hei... kita kan keluarga!” protes Chuck. Lalu ia berpaling pada Jade.
“Siapa namamu?”
Oh, aku muak sekali, pikir Deena. Chuck duduk di bangku antik yang
terletak di depan kaca rias Deena. Dengan tubuh kokoh dan berotot,
Chuck bagai boneka mebel di situ. “Mau apa kau ke sini?” tanya
Deena.
“Aku tak menyadap telepon,” kata Chuck. “Aku tadi mau menelpon.
Aku yakin Dad pasti tertarik pada permainanmu.”
“Kau benar,” kata Jade. “Chuck,” katanya dengan manis, “aku tak mau
terlibat kesulitan. Kita menelepon teman-teman sekolah kita saja.”
“Benar atau tidak,” kata Chuck, “aku tak takut pada Hantu Fear
Street. Ayo kita buktikan,” katanya, terus membalik-balik buku
telepon. “Kau mau menelepon teman-teman sekolah, kan? Siapa yang
berkelahi denganku dulu?”
“Bobby McCorey,” jawab Jade cepat. “Ia dan gengnya selalu merasa
jagoan. Mereka mempermainkan yang lemah.”
Deena baru saja mau merebut telepon dari tangan Chuck, ketika
Chuck tertawa terkekeh-kekeh dan menutup telepon.
“Petir itu begitu dekat!” seru Deena dengan suara bergetar. “Jangan-
jangan ada yang tersambar.”
®LoveReads
“Memang tidak,” Deena setuju, “tapi sebaliknya bisa saja terjadi, kan?
Kalau mereka panik, kemungkinan besar akan ada yang terluka.
Bagaimana pula dengan telepon gelap Chuck yang lain—ketika ia
juga mengaku sebagai Hantu Fear Street?”
“Itu bukan lagi permainan yang tak berbahaya. Telepon itu sungguh-
sungguh menyeramkan. Chuck memang berniat menakut-nakuti
Bobby McCorey.”
“Sejak kapan kau jadi pengambil keputusan? Kita kan bertiga, aku
dan Chuck juga punya hak suara.”
“Baik, kalau begitu Rob Morell mungkin perlu tahu siapa yang diam-
diam selalu meneleponnya.” Jade berhenti sebentar, tersenyum keji
pada Deena yang ketakutan. “Atau,” Jade meneruskan, “tunggu
sampai malam Minggu. Chuck, kau, dan aku bisa mendiskusikannya
lagi.”
®LoveReads
Hm, pikir Deena, ini mungkin saat yang tepat untuk mem-
bicarakannya. “Hai, teman-teman,” katanya. “Kita harus mengadakan
pembicaraan serius. Menurutku acara telepon-teleponan itu harus
diakhiri.”
“Ya,” sahut Chuck. “Jade telah meyakinkan aku. Telepon gelap itu
bisa mengundang bahaya. Lebih-lebih karena ayah kita bekerja di
perusahaan telepon.”
“Sekadar informasi untukmu,” kata Deena, “di hutan Fear Street tak
ada burung-burung. Para ilmuwan tak bisa menemukan sebabnya.”
“Aku tak tahu,” jawab Deena. Obrolan itu membuatnya gelisah. “Aku
tak kenal seorang pun yang tinggal di situ.”
“Tolong,” pinta wanita itu. “Siapa pun kau, cuma kau yang bisa
menolongku! Sewaktu-waktu ia bisa...” Tapi suara wanita itu
terpotong oleh teriakan marah seorang pria.
Terdengar suara tamparan, dan suara orang lain yang bicara dengan
kasar di telepon. “Siapa kau?” tanyanya menggeram.
“Tapi kudengar...”
“Oh, tidak,” ujar Deena, kakinya tiba-tiba terasa lemah. “Apa yang
harus kita lakukan sekarang?”
“Itu tadi bukan main-main,” tegas Deena. Ia berdiri. “Jika kalian tak
mau berbuat sesuatu, aku akan menelepon...”
Chuck mengambil telepon dari atas meja. “Bisakah kau bersikap lebih
tenang?” tegurnya. Ia meraih buku telepon.
“Aku tak mau menelepon polisi,” jawab Chuck. “Aku akan cari
alamat.” Ia membanting buku itu hingga tertutup lalu berdiri
“Aku harus ke sana,” sahut Chuck. “Aku harus tahu apa yang terjadi
di sana.”
Perasaan Chuck dan Jade pasti sama dengannya, karena tak seorang
pun berkata-kata sampai Deena membelokkan mobil ke Fear Street.
Jalan itu sekilas tak tampak berbeda dengan jalan-jalan lain, ada
rumah-rumah tua dan halaman-halaman kosong. Tapi setelah
diamati lebih dekat, terasa sekali perbedaannya.
“Deena benar, Chuck,” kata Jade, sangat gugup. “Pasti bukan ini
rumahnya.”
Deena langsung teringat kejadian yang lalu, ketika Chuck tanpa rasa
takut berlari menuju mobil yang terbakar, hanya untuk
menyelamatkan seekor anjing. Deena tahu, sekarang pun Chuck tak
dapat dibujuk untuk mengurungkan niatnya.
“Aku tak mau menunggu lebih lama lagi di sini!” kata Jade tiba-tiba.
“Aku akan menyusul Chuck.”
Kedua gadis itu keluar dari mobil dan menyusuri jalanan menuju
rumah itu, menyusul Chuck. Menurut Deena, kerikil yang diinjaknya
itu seperti bongkahan-bongkahan tulang dan ia pun jadi merinding.
Mereka menemukan Chuck di beranda, sedang menempelkan
telinganya ke pintu.
“Kembali ke mobil!” kata Chuck. “Wanita ini pasti jadi begini karena
memergoki si pencuri. Mungkin pencuri itu masih ada di sini!”
“Cepat lari!” seru Chuck pada kedua gadis itu. Deena dan Jade lari
melewati laki-laki berkedok itu menuju pintu depan. Chuck
mengarahkan pisau yang besar, berat, dan berlumuran darah itu ke
arah si penjahat.
“Letakkan pisau itu,” ulang laki-laki itu dengan suara berat. “Kau tak
bisa menggunakannya.” Diulurkannya sebelah tangannya yang
bersarung seolah-olah mau mengambil pisau itu dari tangan Chuck.
Chuck melompat ke pintu depan. Setiba di sana, ia melempar-kan
pisau ke laki-laki berkedok itu. Pisau melewati kepala orang itu,
menghantam dinding, dan terjatuh ke lantai. Chuck melesat ke luar,
dan ketiga remaja itu berlari—menyelamat-kan diri.
“Ayo pulang saja,” pinta Deena, sangat letih. “Kita akan aman setelah
berada di rumah.”
“Ayo masuk,” ajak Chuck. “Kita sudah selamat.” Deena ikut masuk. Ia
berharap orangtuanya sudah tiba di rumah. Ia juga berharap,
tangannya berhenti gemetaran.
®LoveReads
“Dad, jangan! Jangan buka pintu!” Deena melompat dari tempat tidur
dan berlari menyusuri koridor, tapi sudah terlambat. Ayahnya telah
memutar anak kunci lalu membuka pintu.
Ibu Deena membuat kopi. “Silakan duduk,” ujarnya pada kedua polisi
itu.
Deena mau buka mulut, tapi Chuck lebih dulu menyahut. “Kami ada
di rumah,” katanya. “Kami memanggang hamburger kemudian
mengobrol dan nonton teve.”
Beberapa saat tak seorang pun dari kedua polisi itu bersuara.
Kemudian mereka bertukar pandang. Akhirnya Detektif Frazier
yang berbicara. “Kalian kenal dengan Mr. atau Mrs. Farberson yang
tinggal di Fear Street Nomor 884?” tanyanya.
“Apakah salah satu dari kalian pernah berbicara dengan Mr. dan Mrs
Farberson melalui telepon?” tanya Detektif Monroe
“Itu cerita ngawur!” kata Chuck. “Pertama, kami tidak pergi ke Fear
Street. Kedua, untuk apa kami mencuri apalagi membunuh?”
“Saya tak tahu apa yang telah terjadi malam ini,” katanya, “tapi saya
kenal anak-anak saya sendiri. Mereka tak mungkin melakukan
perbuatan seperti itu, dan mereka takkan berbohong pada saya. Saya
tahu Anda hanya menjalankan tugas, tapi tak saya izinkan mereka
berkata apa-apa lagi tanpa pengacara.”
Kantor polisi itu tampak seperti yang ada di film. Ada petugas
bertampang galak, sersan jaga berambut kelabu, dan sederet meja
kerja abu-abu metalik penuh berkas-berkas. Meskipun malam sudah
sangat larut, masih ada juga petugas berseragam yang mengisi
laporan dan berbicara di telepon. Cuma sebentar Deena sempat
mengamati tempat itu. Begitu tiba ia dan Chuck langsung
dipisahkan. Ia dibawa ke ruangan kecil yang tak berjendela. Ia duduk
di salah satu bangku yang mejanya berlapis linoleum, sementara
kedua detektif itu menginterogasinya.
Deena amat letih hingga ia tak peduli pada apa yang terjadi. Ia
membayangkan dirinya di penjara. Tapi paling tidak di situ masih
ada tempat untuk berbaring, pikirnya. Ia terbangun ketika ayahnya
mengguncangnya. Ia tertidur di meja, tangannya menopang
kepalanya.
mau ke mana? Lagi pula, adakah tempat di mana aku dapat terbebas
dari mimpi buruk ini? Ia berjalan mengikuti kedua orangtuanya,
menyusuri koridor sampai ke luar bangunan.
Udara dingin. Di ufuk timur, matahari mulai terbit. Baru kali ini ia
bergadang. Ketika tiba di tempat parkir, tiba-tiba ia teringat.
“Chuck!” serunya. “Mana Chuck?”
“Tapi,” protes Deena, “itu sama sekali tak ada kaitannya dengan
kejadian tadi malam!”
“Tentu saja sidik jari Chuck ada di pisau itu!” jeritnya. “Tapi ia bukan
pembunuhnya! Wanita itu sudah meninggal! Dad harus percaya
padaku! Harus!” Lalu ia menangis tersedu-sedu.
®LoveReads
®LoveReads
Waktu itu Minggu siang. Deena dan Jade baru saja menutur-kan
segalanya, mulai dari awal. Tapi ekspresi wajah kedua detektif itu
jelas-jelas menunjukkan bahwa mereka hanya mempercayai sebagian
cerita Jade dan Deena—bagian yang kelihatannya semakin
memperburuk keadaan Chuck.
“Pada saat itulah laki-laki dalam dongeng itu muncul,” ujar Detektif
Frazier.
“Ia bukan tokoh dongeng!” kata Deena. “Ia benar-benar ada! Ia yang
masuk dan merampok rumah itu. Ia membunuh Mrs. Farberson. Ia
masih ada di sana ketika kami tiba! Kenapa bukan dia yang kalian
cari, malah Chuck yang kalian penjara?”
Selama beberapa saat tak seorang pun dari kedua polisi itu berbicara.
“Kami tak tahu kenapa ia berbuat begitu!” seru Deena. “Tapi yang
kami ceritakan itu semuanya benar!”
“Itu tadi bukan omong kosong,” protes Deena. “Itu cerita yang
sebenarnya.”
“Siapa lagi kalau bukan kita?” Deena balas bertanya. “Chuck itu
kakakku. Setiap murid juga tahu kau dan aku bersahabat karib. Yang
tak kumengerti, bagaimana Farberson bisa melihat Chuck. Waktu itu
kita tak melihat Farberson, kan?”
“Deena, habislah kita!” kata Jade. Dibacanya koran itu lagi. “Di sini
ditulis bahwa kita ditangkap. Tapi, bukankah aku tak bersama
kalian?”
®LoveReads
Hampir semua murid ingin tahu kejadian sebenarnya. Deena tak tahu
bagaimana Jade bersikap, tapi ia sendiri berusaha berbicara sesedikit
mungkin pada mereka. Masalah baru muncul antara jam kedua dan
ketiga. Lisa Blume, asisten editor koran sekolahnya, berusaha
mengorek keterangan. “Kubaca berita tentang kakakmu,” kata Lisa.
“Benar-benar menyedihkan.”
“Sori,” ujar Lisa. “Aku maklum. Tapi mungkin kau bisa sedikit
bercerita tentang kejadian itu. Tentu saja kau tak perlu
menyinggung-nyinggung soal pembunuhannya.”
“Maksudmu?”
Deena merasa jantungnya mau copot. “Itu kan cuma permainan yang
tak membahayakan siapa pun,” sahutnya. “Sama sekali tak ada
sangkut-pautnya dengan pembunuhan itu.”
“Baiklah,” kata Lisa. “Tapi setelah perkara itu tuntas, aku ingin
mewawancaraimu secara eksklusif.”
®LoveReads
“Kalau masih lapar, ambil saja makananku,” kata Deena. “Hari ini aku
tak berselera makan.”
“Oh, aku baru ingat,” kata Jade. “Tadi pagi aku bertemu Rob Morell.
Ia menanyakan tentang gadis bersuara seksi itu.”
Tapi Rob bersikap ramah, tidak marah atau gelisah. “Kubaca kabar
tentang kakakmu,” katanya. “Mengerikan.”
“Aku tahu,” kata Rob. “Aku memang belum kenal dia, tapi
kelihatannya ia pemuda yang menyenangkan.”
“Kau pasti sangat sibuk sampai masalah kakakmu selesai,” kata Rob.
“Aku akan sering-sering meneleponmu, boleh kan?”
“Bagus,” kata Rob, berdiri. “Entah apa sebabnya, ingin sekali aku
meneleponmu.”
®LoveReads
“Itu tadi dia, kan, Jade?” tanya Deena, begitu mendengar suara Jade.
“Tapi itu dia, kan, Jade!” tegas Deena. “Aku akan memberitahu
Detektif Frazier besok pagi.”
“Tak ada gunanya,” sahut Jade. “Lebih-lebih karena polisi tak mau
percaya bahwa laki-laki berkedok itu bukan tokoh rekaan.”
“Orang itu kan betul-betul ada,” kata Deena, “kita telah melihatnya.
Kalau benar itu Mr. Farberson, berarti ia sendiri yang merampok
rumahnya.”
“Kenapa ia melakukannya?”
“Hah! Maksudmu?”
“Mereka pasti melakukannya. Kau lihat saja nanti. Lalu kita lupakan
segalanya dan memulai hidup baru.”
®LoveReads
“Aku tak tahu. Mungkin istrinya punya polis asuransi yang besar.
Atau mereka habis bertengkar. Kurasa Anda pasti lebih tahu
jawabannya.”
“Aku belum tahu,” jawab Jade. “Kita ketemu di ruang locker sebelum
makan siang nanti. Aku punya ide.”
®LoveReads
“Perlengkapan sandiwara?”
“Setelah pembicaraan kita di telepon pagi tadi, aku baca lagi berita di
Shadyside Press,” katanya.
“Tapi, berita itu penuh informasi tentang Mr. dan Mrs. Farberson.
Misalnya, di situ dikatakan bahwa Farberson adalah pemilik
sekaligus pengelola Alberga III.”
“Lalu,” sahut Jade “dimana lagi kita bisa mencari keterangan tentang
Farberson kalau bukan di tempat kerjanya?”
®LoveReads
®LoveReads
“Hmm,” kata Jade. “Kita tak punya pilihan lain, Deena. Tak
seorangpun percaya pada kita. Padahal kita harus membebaskan
Chuck dari tuduhan. Ayo, ikutlah aku.”
Alberga III tutup pada siang hari. Restoran itu kosong, gelap, dan
dingin. Meja-mejanya berlapis beludru warna gelap dan setiap meja
dilengkapi dengan lilin. Salah satu dindingnya dihiasi lukisan besar
bergambar Italia.
“Kurasa kau... oh, baiklah,” kata wanita jangkung itu, “Kau kelihatan
sangat muda, tapi terus terang kami repot sekali sejak Miss
Morrison berhenti kerja minggu lalu. Kau bisa steno dan
pembukuan, kan?”
“Ayo ikut aku,” ajak wanita itu. “Kau bisa mengisi formulir
lamaranmu di kantor.”
“Ia harus tiba lebih awal,” jelas wanita itu. “Itulah sebabnya kami
butuh asisten pada malam hari.” Diketuknya pintu itu lagi.
Ia berpaling pada wanita tadi. “Ayo, Katie,” ajaknya. “Kita cek dulu
persediaan anggur sebelum Ernie tiba.” Mr. Farberson dan wanita
itu menutup pintu dan meninggalkan kantor.
“Tak tahu,” jawab Jade. “Apa saja. Apa saja yang bisa memberikan
keterangan lebih banyak tentang Mr Farberson”
“Aku tahu. Tapi aku masih ingin mencari... Tunggu. Aku punya cara
lain.”
“Jade...”
Pada saat itu matanya tertumbuk pada sebuah amplop yang tertutup.
Di amplop itu tercetak: Biro Perjalanan Shadyside. Jade
mengambilnya tapi belum sempat memeriksanya. Jade menyelipkan
amplop itu ke sakunya lalu bergegas-gegas kembali ke kursinya.
Pada saat itu Mr. Farberson membuka pintu dan masuk ke ruangan.
Jade tiba-tiba bisa bersuara. “Aku benar-benar tak mengerti Anda ini
bicara apa,” jawabnya.
“Aku bukan anak kemarin sore,” sahut Mr. Farberson. “Begitu pula
Katie, karyawanku. Ia mencurigai penampilan kalian yang ganjil.
103 | THE WRONG NUMBER – Ratu-buku.blogspot.com
Kami lalu menelepon Kantor Penyalur Tenaga Kerja. Mereka bilang
tak mengirim kalian ke sini.”
“Hei, dengarlah,” kata Mr. Farberson. “Aku kan cuma ber-sikap hati-
hati. Kau akan terkejut kalau kusebutkan berapa banyak orang yang
suka memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.”
“Oh ya?” ujar Jade dengan suara sedingin es. “Ayo, Sally,” katanya
pada Deena. “Ayo kita cari pekerjaan lain yang lebih
menyenangkan.” Jade berdiri, meraih formulir lamarannya yang baru
mulai diisi, lalu menuju pintu.
“Aku sendiri tak percaya kalau aku bisa!” Jade tertawa. “Waktu ia
bilang tahu siapa kita, kupikir ia...”
“Wow!” seru Deena. “Tadi aku sangat ketakutan sampai sama sekali
tak mendengarnya. Kau patut menerima Academy Award, Jade.”
Deena tertawa. “Aku tak senang bekerja pada seseorang yang
pencuriga,” katanya, menirukan mimik Jade. “Luar biasa! Juga
caramu yang dengan tenang memeriksa laci-laci mejanya, benar-
benar mengagumkan.”
“Oh, aku jadi ingat sesuatu,” kata Jade, menginjak rem dan berhenti
di depan 7-Eleven. Ia mengambil dompet, menge-luarkan amplop
yang tadi dicurinya dari laci Mr. Farberson. Dengan hati-hati Jade
membuka amplop itu, mengeluarkan selembar kertas yang terlipat.
“Tidak.” Jade memandang surat itu dengan heran. “Pesanan tiket ini
untuk dua orang. Bukan seorang.”
“Mungkin ia akan pulang naik kapal laut atau yang lain,” kata Jade.
Ditepuknya bahu Deena. “Sori, Nak. Kertas yang ku curi ini tak ada
artinya. Ini bukan barang bukti. Kita harus cari bukti lain. Kalau kita
tunjukkan kertas ini pada polisi, mereka akan menertawai kita.”
“Siapa?”
®LoveReads
“Aku tak percaya kita melakukan semua ini,” ujar Deena. Pukul
sebelas keesokan harinya, ia dengan gelisah me-ngendarai BMW
ayahnya. Ia benar-benar sulit ber-konsentrasi, padahal biasanya ia
paling suka mengendarai mobil orangtuanya. Tapi kejadian
belakangan ini, ditambah dengan rencana gilanya bersama Jade kali
ini, membuatnya sakit perut.
“Ini satu-satunya cara untuk menolong Chuck. Lagi pula, yang kita
lakukan ini kan memang bisa disebut survei. Kita ber-usaha
mengorek keterangan darinya. Kalau tak mau berpura-pura, pakailah
namamu sendiri.”
“Kucari di buku telepon. Di buku itu cuma ada dua L. Morrison, dan
ketika aku menghubungi yang pertama, ternyata dia orangnya.”
“Halo, Miss Morrison?” sapa Jade. “Saya Jade Smith dari Asosiasi
Riset S&S. Saya yang bicara dengan Anda di telepon kemarin sore.
Ini rekan kerja saya, Deena Martinson.” Sampai sejauh ini Jade
berperan sangat meyakinkan, pikir Deena. Siapa kira ia bisa
menggunakan istilah rekan kerja?
“Kami masih kuliah,” jelas Jade. “Kami bekerja paro waktu.” Kedua
gadis itu mengikuti Miss Morrison ke ruang duduk yang didominasi
warna cokelat dan kuning tua. Jade duduk di kursi berlengan,
mengeluarkan pensil, sikapnya resmi dan sopan. Deena meniru
tingkah laku Jade, tapi merasa dirinya seperti orang tolol.
“Perusahaan kami sedang melakukan survei tentang bisnis restoran
di Shadyside,” tutur Jade pada Miss Morrison. “Kami
mengkhususkan pada penelitian hubungan kerja antara atasan dan
bawahan. Anda pernah bekerja di Restoran Alberga III, bukan?”
“Maaf. Ya. Kau harus memaafkan aku. Hari ini aku agak gelisah. Aku
mengalami sesuatu yang tak mengenakkan.”
“Baiklah, akan saya teruskan,” kata Jade. “Jadi Anda kenal istrinya?”
“Baiklah,” geram Farberson. “Aku akan tiba disitu lima menit lagi.”
Jade dan Deena berdiri. “Sayang sekali kami harus segera pergi,” kata
Jade, dengan gelisah ia melihat ke luar jendela.
“Aku yakin lima menit sudah cukup. Kau pasti tak akan terlambat
tiba di sana.”
“Apa?”
“Parkirlah kira-kira setengah blok dari sini. Kita harus lihat apa yang
dilakukan Farberson. Apa yang terjadi di sini.”
“Apa yang terjadi di sini?” tanya Deena. “Apa yang kau dengar di
telepon tadi?”
“Aku tak tahu.” Jade memandang pintu rumah Miss Morrison yang
tertutup seolah-olah sedang mencari jawaban per-tanyaan Deena.
“Aku jadi memikirkan sesuatu. Tentang surat pesanan tiket pesawat
ke Argentina.”
“Ikuti dia, Deena,” perintah Jade. “Ayo kita awasi ke mana dia
membawa pergi bungkusan itu.”
“Apa?”
“Aku yakin dugaanku tentang isi bungkusan itu tidak keliru,” jawab
Deena, berhenti di lampu lalu lintas. “Kedok dan kemejanya memang
harus disembunyikannya, kan?”
“Betul.”
“Polisi akan percaya bahwa cerita kita benar. Chuck pasti akan
dibebaskan.”
“Wooo. Pelan-pelan.”
Jade dan Deena semakin merapatkan diri ke dinding bata yang kotor
sambil menahan napas. Farberson melemparkan bungkusan itu ke
tong sampah, lalu cepat-cepat menghilang masuk ke restoran lewat
pintu belakang. “Ayo ambil,” bisik Deena. Ia gemetar saking
bersemangatnya. Jantungnya berdetak cepat hingga membuatnya
sesak napas.
“Oh... kami kira ini jalan masuk, ternyata pintu belakang,” jawab
Jade, setelah berpikir cepat seperti biasanya.
“Apa yang akan kita lakukan, Jade?” ratap Deena. “Kita nyaris
mendapatkan bungkusan itu. Kita sudah amat dekat! Kalau saja...”
“Tapi pintu dapur itu kan terbuka. Laki-laki itu pasti tak akan
mengizinkan kita mendekati tong sampahnya.”
“Tidak sekarang,” kata Jade, berpikir keras. “Kita akan kembali lagi
nanti malam. Tukang masak itu pasti sibuk. Mereka pasti tak
memperhatikan kalau ada dua gadis mengais sampahnya.”
®LoveReads
“Dengan senter kita akan terlihat orang,” bisik Jade. “Jangan cemas.
Pasti di situ terang oleh lampu-lampu bangunan di sekitarnya.”
“Pasti ada lebih banyak tikus lagi di sini,” ujar Deena dengan suara
bergetar. “Mereka ke sini karena sampah-sampah itu.”
“Menjijikkan,” protes Deena, seperti akan sakit. “Aku... aku tak tahan
mencium baunya.”
“Deena... lupakan bau itu. Jangan kau pikirkan terus. Ayo cepat ambil
bungkusan itu lalu pergi dari sini.”
“Ada beberapa,” sahut Jade kering. Ia menarik Deena dan tak lama
Deena pun sudah ada di sampingnya. Lutut mereka terpendam di
sampah.
“Kubur saja pakaian kita,” kata Jade. “Mana bungkusan itu? Pasti
terpendam di dasar tong sampah. Oh. Sampah ikan-ikan ini yang
paling busuk baunya!”
“Di mana aku?” Suara Jade cuma terdengar bergumam. “Oh, Tuhan.
Aku tersungkur ke sampah. Kenapa tak semua orang mau
memasukkan sampahnya ke kantong sebelum membuang-nya?” Jade
mau berdiri tapi tak jadi.
“Kemejanya pasti juga ada di situ,” jawab Deena, dengan tak sabar
melihat pada Jade yang sedang membuka bungkusan itu.
“Miss Morrison bilang hari ini ia lagi apes. Pasti kucingnya mati. Ia
tak sanggup mengurusnya. Karena itu ia menyuruh Farberson
membuangnya.”
“Kita tahu Farberson punya rencana minggat pada hari Sabtu. Kita
tahu ia dan Miss Morrison...”
Rob kecewa lalu mengangkat bahu. “Baiklah, lain kali saja,” katanya,
lalu berjalan ke koridor.
®LoveReads
“Deena...”
“Kau harus mengeluarkan aku dari sini,” bisik Chuck cukup keras.
“Aku tak bisa menerima semua ini, Deena. Tak bisa. Aku bisa gila.”
Mata Chuck terpejam dan dahinya menekan ke kasa.
“Aku harus keluar dari sini. Harus! Tak pernah kubayangkan ini
terjadi padaku. Benar-benar tak adil!”
“Dua menit lagi,” potong penjaga, melihat ke jam bundar dan besar
di dinding. Deena cepat-cepat bercerita tentang Farberson, pesanan
tiket, dan pertemuannya dengan Miss Morrison.
“Kau kan kakakku,” ujar Deena. “Selain itu, Jade dan aku ikut
terlibat.”
“Ya. Tapi kalian tak ditahan,” kata Chuck, kembali bersedih. “Huh,
kalau saja aku bebas, aku akan langsung ke Fear Street, ke rumah
Farberson. Akan kuperiksa tempat itu sampai kutemukan bukti
bahwa ia bersalah.”
“Kami akan pergi. Kau tak bisa melarang kami!” Deena ber-sikeras.
“Kita cuma punya waktu sampai besok malam untuk membuktikan
bahwa ia bersalah.”
“Ia tak membunuh siapa pun!” teriak Deena yang kemudian terkejut
sendiri mendengar teriakannya. “Ia bukan penjahat! Tapi polisi
menahannya seperti pembunuh. Kini Dad juga bilang ia patut
menerima ganjaran!”
“Maaf, Mom. Aku tak mau membicarakannya lagi. Aku letih. Aku
ingin sendirian.”
®LoveReads
“Kita harus tetap ke sana. Alternatif apa lagi yang bisa kita pilih?
Kalau lampu di rumahnya menyala, baru kita pikirkan rencana lain.”
Setelah berjalan lebih dari satu blok, hujan turun lebih lebat lagi.
Angin menderu-deru, kilat sambar-menyambar.
Rumah Farberson sangat gelap. Kedua gadis itu menuju beranda dan
mengintip ruang keluarganya lewat jendela. Tak terlihat apa-apa.
Cuma terdengar desir angin dan bunyi air yang menetes. Dengan
hati-hati ia memasukkan lengannya ke lubang itu, meraih tangkai
pintu, lalu memutarnya.
Kedua gadis itu menerangi ruangan itu dengan senter, tapi di situ
tak terlihat meja tulis. “Lihat ini,” kata Jade, menunjuk dengan
cahaya senternya. Pada salah satu sisi sofa terdapat sekeranjang
majalah.
“Tapi siapa?” tukas Jade. “Mr. Farberson bekerja dan istrinya sudah
meninggal.”
“Jendela ini tak bisa kututup. Di luar sana ada pohon besar.
Dahannya tersangkut ke sini.”
“Ayo kubantu,” kata Jade. Ia mendorong dahan pohon maple itu, lalu
Deena menutup jendelanya.
Di depan jendela terdapat meja tulis tua terbuat dari logam. Meja itu
penuh kertas. Lemari arsip berlaci dua terletak di sudut, kedua
lacinya terbuka dan kosong. Di seberang meja tulis tampak dipan
Dear Stan,
Aku tak mau memberimu uang lagi. Selama lima tahun ini kau telah
menghabiskan hampir semua warisanku. Aku harus menyimpan
sebagian untukku.
“Ayo,” jawab Deena. “Tapi beri aku waktu lima menit lagi. Aku akan
memeriksa lemari.”
“Apa yang akan kaucari? Kita sudah punya cukup bukti untuk
polisi...”
“Mobil itu kian dekat,” seru Jade gugup. “Lupakanlah kedok itu.”
“Kalau begitu kita harus menunggu sampai ia tidur,” ujar Deena. “Ia
pasti tak menyangka kita ada di sini. Ayo kita kenakan jas hujan dan
jaket, siapa tahu kita harus sembunyi”
“Aku tak bisa menunggu lagi,” bisik Jade tiba-tiba. “Aku akan pergi
menyelidik kalau-kalau ada kesempatan untuk lari. Siapa tahu yang
di bawah itu bukan Mr. Farberson.”
“Aku tak peduli,” jawab Mr. Farberson, sama sekali tak kelihatan
takut. Sambil melipat kedua tangannya di depan dada, ia terus
berjaga di depan pintu.
“Hei... apa ini?” tanya Mr. Farberson. Jaket Deena yang robek
memperlihatkan surat di ikat pinggangnya. Ia me-renggutnya, dan
wajahnya tampak semakin garang.
“Sekarang pun kau masih bisa pergi,” jawab Deena cepat. “Jade dan
aku tak akan membongkar rahasiamu sampai pesawatmu terbang
besok pagi.”
“Kita tak punya pilihan lain! Jade, ia akan membunuh kita!” Deena
menggeser gerendel lalu mendorong jendela, tapi jendela itu tak
bergerak.
“Cepat!” seru Jade. Lemari itu mereka dorong sesenti demi sesenti—
hingga tepat berada di balik pintu ketika Mr. Farberson memutar
anak kunci.
Dengan tekad baru kedua gadis itu kembali mendorong jendela, kali
ini langsung terbuka. Deena melihat ke luar. Pohon itu licin karena
basah. Cabang-cabang pohon di dekat jendela terlalu kurus untuk
dijadikan tempat berpijak. Kira-kira semeter di bawah jendela baru
terlihat dahan yang kokoh. Lemari itu tiba-tiba bergerak. Kalau saja
Mr. Farberson bertubuh lebih kecil, ia pasti sudah bisa masuk ke
kamar itu.
“Aku lebih tinggi,” kata Jade. “Akan kucoba. Kalau... oh!” Mata Jade
membelalak ketakutan. Dari sinar lampu jendela dapur, keduanya
bisa melihat Mr. Farberson sedang berjalan ke pohon. Ia memegang
benda panjang dan besar. Ketika ia mendekat, Deena melihat benda
itu ternyata gergaji!
Namun ketika pohon itu bergoyang lagi, Deena sadar bahwa bahaya
belum lewat. Halaman itu dipenuhi seruan laki-laki, bunyi mesin
mobil, dan suara radio panggil. Dari celah dedaunan yang rimbun,
Deena melihat seseorang sedang berbicara di walkie-talkie.
Tak lama ia turun lagi bersama Jade. Baru saja ia mendudukkan Jade
di tanah, terdengar seseorang berteriak, “Awas!”
“Lalu apa yang kalian temukan?” tanya Frazier dengan wajah lugu.
“Selain itu,” tambah Jade, “ia bilang pada kami bahwa ia yang
membunuh istrinya.” Mendengar suaranya yang mantap, Deena
yakin bahwa Jade sudah pulih. Apalagi ketika ia meliriknya dan
melihat wajah Jade yang berseri-seri.
“Kalian nekat sekali!” seru Frazier. “Tidak tahukah kalian bahwa itu
pekerjaan polisi?”
“Kami tahu,” sahut Deena. “Tapi kalian tak mau dengar cerita kami.
Kami yakin Chuck tak bersalah. Satu-satunya yang bisa menolong-
nya cuma kami.” Deena terkejut ketika melihat Frazier tersenyum.
Ambulans itu keluar halaman dan kembali menuju Mill Road. Lampu
sirenenya berputar-putar dan berpendar-pendar. Polisi-polisi yang
berpengalaman itu sudah menyelesaikan tugasnya. Mereka pun
berkemas-kemas.
“Kau harus berterima kasih pada Chuck,” kata Detektif Frazier. “Dia
menelepon orangtuamu untuk menceritakan rencanamu, tapi tak
berhasil. Lalu ia menelepon ke rumahku. Katanya ia mau mengaku.”
“Kau mau apa?” tanya Jade dan Deena bersamaan, menatap Chuck.
Deena dan Jade bertukar pandang, lalu menatap Chuck. Jade tertawa.
Pada saat itu Lisa Blume tampil, siap dengan notesnya. “Selamat
siang, Deena,” katanya. “Kau sungguh hebat!”
“Bisakah kita bicara sepulang sekolah saja?” pinta Deena. “Aku lapar”
“Itu dia,” sahut Deena, menutup locker-nya. “Kenapa kau tak tanya
saja padanya?”
“Kemarin aku meneleponmu. Kini tahulah aku kenapa kau tak men-
jawab teleponku.” Deena cuma tersenyum, tak tahu harus bilang apa.
“Begini,” lanjut Rob, “beberapa teman akan ke rumahku untuk non-
ton video bersama-sama. Aku ingin bertanya apakah kau mau ikut?”
“Bagus,” ujar Rob. “Kujemput kau sekitar pukul tujuh nanti. Dan
kalian,” katanya pada Chuck dan Jade. “Ikutlah juga.”
-END-