Anda di halaman 1dari 476

HEY ROSE

A Horror Story by
Tsabitx

CV. DUA DELAPAN SEPTEMBER


Hey Rose

Tsabitx

ISBN : 978-623-5904-08-5

Penerbit :
CV. DUA DELAPAN SEPTEMBER
Jakarta, Indonesia
duadelapansept@gmail.com

Penulis : Tsabitx
Editor : Larasati
Tata Letak : Oktavia
Sampul : Arakim design
Penyelaras Akhir : Omijaa

Hak cipta dilindungi undang-undang


Cetakan pertama, Agustus 2022
Thanks to

Pertama, saya ucapkan terima kasih kepada diri saya


sendiri yang telah berani mengambil keputusan untuk
diterbitkannya buku ini, setelah banyak hal yang saya lalui
sendiri. Terima kasih kepada Tuhan yang paling terpenting.
Kepada kak Icha, Dinda, juga Kisma, beribu kata terima
kasih akan selalu saya ucapkan untuk setiap kalimat
semangat dan tak hentinya menjadi support system saya.
Terakhir dan yang terpenting, kawan-kawan pembaca
yang selalu memberi semangat and given me a lot of love, saya
tak bisa mengungkapkan kalimat indah yang lain selain saya
bersyukur atas kalian. Semoga kebahagiaan selalu
menyelimuti kawan-kawan semua!
Thank you so much!
Put back the mirror, we miss watching you.
BEFORE YOU GO

Suara osengan wajan di dapur, berpadu menjadi satu dengan gelak


tawa yang dihasilkan oleh sepasang kakak beradik. Sesekali
mereka beradu mulut membuat malam hari terasa lebih ramai dari
biasanya. Mengingat mereka hanya tinggal berdua di rumah tanpa
adanya orang tua atau orang dewasa lainnya. Keributan seperti itu
sudah menjadi sesuatu yang biasa bagi mereka. Layaknya kakak-
adik pada umumnya, sangat tidak mungkin bila dalam hubungan
tersebut tak ada pertikaian atau adu mulut hanya karena hal-hal
kecil. Sesuatu yang nantinya pula akan mereka rindukan.
“Kakak itu nugetnya gosong!” teriak Randika sembari
menunjuk kepulan asap dari wajan yang timbul akibat kurangnya
minyak goreng dan suhu yang terlalu panas.
Zemira yang tengah mengacak-acak rambut si bungsu,
sontak berlari mendekati kompor. Panik setengah mati karena
kejadian ini baru kali ini ia alami selama menggoreng nuget
kesukaan Randika. Saking paniknya ia hampir saja menyiram
wajan dengan air matang yang ada di teko.
“Zemira!” seseorang datang menahan tangan Zemira yang
tengah membawa teko berisi air matang.
Randika yang berteriak heboh seketika mengusap dada dan
menghela nafas lega perihal aksi nekat si sulung yang terhenti
paksa. Kekasih Zemira itu datang di waktu yang tepat. Dengan
cekatan Tio mematikan kompor, menghentikan proses pemasakan.
Mendiamkan wajan dengan nuget gosong di atas kompor beberapa
saat sebelum kemudian ia pindahkan benda itu dan membereskan
kekacauan yang terjadi.
“Kak gue nggak tau deh kalo nggak ada Kak Tio bakal
gimana.” ujar Randika memijat pelipis, seolah tengah menyudutkan
Zemira.

HEY ROSE | 1
“Ulah lo ini Dika, please deh sadar diri.” Sahut Zemira.
“Malem-malem minta temenin goreng nuget, ujung-ujungnya gue
yang gorengin. Mana ngajak ribut mulu ih!”
“Ya kan Dika laper? Salah kalo Dika laper?” Sulut Dika yang
selalu tak ingin kalah.
Tio masih mendengarkan perdebatan mereka, tertawa kecil
lantas angkat bicara. “Dua-duanya salah. Zemira salah karena
masak sambil ngeladenin Adiknya ngajak ribut, Randika juga salah
karena gangguin Kakaknya lagi masak. Udah kalo gini adil, kan?”
Randika berdecak. Ia tak menyalahkan atau membenarkan
apa yang dikatakan Tio. Sungguh ia sebenarnya tak setuju karena
Tio tak mau berpihak pada salah satu dari mereka. Hanya saja ia
bersyukur lelaki yang sudah ia anggap seperti kakak sendiri itu
datang tepat waktu, dan selalu ada di saat apa pun. Seseorang yang
selalu bisa Randika andalkan.
Bukan tanpa sebab pula Tio datang ke rumah mereka.
Sebelum mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya di
waktu yang larut ini, ia mengajak Zemira juga Randika duduk
santai di ruang tengah. Tenang, perut Randika yang keroncongan
sudah terisi dengan baik.
Memulai obrolan dengan melempar tanya bagaimana hari-
hari yang mereka jalani, mendengar cerita tentang Randika yang
hari ini mendapat hukuman berdiri di depan kelas karena tak
sengaja tertidur selama pelajaran biologi, dan masih banyak lagi.
Saat kalimat dan penjelasan sudah Tio susun dengan rapi di
dalam benaknya, ia mulai mengubah topik pembicaraan mereka.
Melirik gadisnya hingga keduanya bertemu pandang, seolah
memberi isyarat, Zemira yang sudah lebih dulu tau tentang hal
yang akan Tio sampaikan itu lantas beranjak pergi menyisahkan si
bungsu dan Tio di ruang tengah.
Tio membutuhkan ruang bicara empat mata dengan
Randika untuk membicarakan hal yang seharusnya tidak
mendadak seperti ini.

HEY ROSE | 2
“Dika, gue mau ngomong serius deh.” Ucap Tio menatap
Randika yang rupanya lebih dulu memberikan seluruh atensi
padanya. Lelaki dengan piyama coklat bermotif beruang itu hanya
mengangguk sebagai jawaban.
“Tapi emang dari tadi kita ngobrolnya nggak serius, Kak?
Aya naon?” tanya Randika merotasikan bola matanya melihat pintu
kamar Zemira baru saja tertutup. “Nggak ngobrol sama Kak Ze
juga?”
Tio menggeleng. “Sama Zemira udah, sama lo nih yang
belum.”
Randika mengernyit keheranan. Memang hal apa yang akan
Tio bicarakan? Pikirannya mendadak menjelajah ke sana ke mari
dan menerka-nerka sesuatu yang akan terjadi. Bila sudah serius
seperti ini pasti akan ada hal yang mengejutkan dirinya nanti.
Beberapa kali ponsel Randika berbunyi pun tak ia hiraukan.
Randika sedikit mencondongkan badan, menumpunya dengan
kedua siku tangan yang menempel pada lutut, jemari tangannya
saling mengait.
“Gue dapet beasiswa Leeds International Summer di Inggris.”
“Sebenernya berita ini udah lama, cuma gue baru bilang ke lo
sekarang. Zemira udah tau, makanya dia ngebiarin gue ngobrol
berdua sama lo.”
Pernyataan Tio itu sontak membuat Randika membungkam.
Mematung dengan wajah datar tanpa ekspresi. Bahkan penjelasan
yang Tio sampaikan setelahnya mungkin hanya ia dengar dengan
terpaksa. Atensinya masih berpusat pada Tio hingga lelaki itu
menyelesaikan obrolan meski fokusnya tak lagi ada.
“Dua minggu lagi gue berangkat, gue pengen banyak ngabisin
waktu main sama lo, sama Zemira juga.”
“Lo mau main ke mana? Ayo kita pergi ke sana. Banyak
tempat yang belum pernah gue datengin juga. Kita pergi bertiga.”
Imbuh Tio tanpa mengendurkan atensinya pula.
Dengan cepat Randika menggeleng. “Gue nggak mau ke
mana-mana.” Tukasnya. “Udah malem, Kak, besok gue harus

HEY ROSE | 3
sekolah. Gue tinggal nggak papa? Gue mau tidur.” Balasnya
menghentikan obrolan sepihak. Bukan ia tak ingin menghabiskan
dua minggunya bersama Tio dan Kakaknya, hanya saja ini terlalu
mendadak baginya.
Berita yang cukup membuat Randika terhenyak hingga
membuat mood-nya turun mendadak. Ia bahkan belum siap atas
jauhnya jarak Jakarta dengan Inggris.
Tio tak mencoba menahan Randika kala lelaki itu beranjak
dari duduknya dan berjalan menuju ruang kamarnya. Melihat
kepergian si bungsu membuat Tio ingat dengan perkataan Zemira
bahwa saat Randika marah atau kecewa dengan seseorang, lelaki
berumur 17 tahun itu akan memberikan silent treatment pada
lawannya. Menghela nafas, Tio membuka ponselnya dan
mengetikkan sesuatu di sana.
Randika hilang dari pandangan, suara pintu tertutup telah
terdengar, disusul suara decitan pintu dari ruangan lain. Kepala
Zemira mengintip keluar, memperhatikan Tio yang duduk sendiri
di ruang tengah. Lelaki itu menoleh dan melambai, menepuk kursi
kosong di sebelahnya, memberi titah Zemira untuk duduk
menemaninya.
“Gimana?” bisik Zemira seraya berjalan menghampiri Tio.
“Seperti yang kamu bilang.” Tersenyum kecut karena merasa
gagal atas perbincangannya dengan Randika.
Zemira mengusap punggung Tio, menenangkan. Ia tidak
pernah mengira jika Randika dan Tio memiliki ikatan yang
mungkin lebih dari seorang teman, sahabat, atau yang lainnya.
Mereka berdua sangat dekat hingga mampu membuat si bungsu
menyayangkan perginya Tio nanti.
“Randika beneran ngambek sih sama aku,” ujar Tio. “Bakal
mau diajak main nggak ya? Besok dia masih marah nggak kira-kira,
Ze?”
Zemira tertawa. “Harusnya yang kamu khawatirin aku,
sebagai pacar kamu yang nggak bisa jauh-jauh dari kamu! Apa-

HEY ROSE | 4
apaan malah khawatirin Adik aku?” protes Zemira setengah
bercanda.
“Nanti aku bisa bujuk Randika, tenang aja dia udah anggep
kamu Abang sendiri, nggak mungkin marahnya bakal selama itu.
Nanti aku tanyain deh berapa lama dia mau marah sama kamu.”
Ucap Zemira.
Tio mendengkus merasa dirinya mendapat sindiran. “Kamu
nggak lagi nyindir aku kan, Ze?”
“Nah itu tau haha, lagian marah kok dijadwal berapa lama
bakal marah.”
Keduanya saling melempar tawa, sesaat melupakan bahwa
waktu dua minggu sangatlah singkat untuk menghabiskan waktu
bersama. Dalam keadaan bahagia, semua akan terasa begitu cepat
hingga rasanya waktu sedang berusaha berlari mengejar.

Jika hari pertama tak berhasil membuat Randika luluh, maka


akan ada hari-hari berikutnya. Tio baru saja menghubungi Randika
untuk menunggunya di depan gerbang sekolah, karena Tio akan
mengajaknya untuk makan siang dan pergi ke supermarket
membeli snack kesukaan Randika tentu saja. Namun, adik dari
Zemira itu menolak, bahkan ia berkata cukup singkat dan lebih
seperti tak ingin mengobrol dengannya. Cukup menyakiti hati Tio,
tapi kegigihannya melunturkan rasa sakit itu.
Hari kedua, ketiga, hingga satu minggu pun tetap sama. Kali
ini Tio pergi ke hutan pinus atas permintaan Zemira. Berjalan di
bawah pepohonan yang rimbun membuat suasana hati Zemira
yang tadinya bergemuruh akibat kuis dadakan berubah menjadi
sejuk.
“Loh? Kaca aku ke mana ya?” Zemira merogoh tas kecilnya,
mencari benda yang tak pernah tertinggal dan akan selalu ia bawa.
“Ketinggalan di mobil kamu?”

HEY ROSE | 5
Tio menggeleng. “Kamu tadi ngaca di spion mobil bukannya?
Kaca yang bulet itu?”
Zemira mengangguk, masih berusaha mencari barangkali
terselip di antara buku-buku yang ia bawa.
“Padahal udah aku suruh buang aja, itu bahaya kaca tanpa
frame bisa goresin tangan kamu, Zemira.”
“Better than aku bawa cermin dinding.” Zemira memutar
bola matanya.
“Udah jangan kebanyakan ngaca, kamu cantik, nggak pernah
jelek juga.” Tio mengusak rambut Zemira, membuat gadis itu
mendengkus kesal karena anak-anak rambutnya jatuh menutupi
sebagian wajahnya.

Benar apa yang dikatakan semua orang tentang betapa


berharganya waktu. Setiap detik, setiap menit harus kita hargai
karena waktu yang berharga itu tak akan pernah bisa terulang
kembali, mereka hanya akan meninggalkan jejaknya tanpa tau
bagaimana caranya kembali.
Hari ke-13 yang artinya 24 jam lagi menuju perginya Tio ke
Inggris.
Selepas pulang dari kampus, Zemira memutuskan untuk tak
menemui Tio di hari terakhir. Gadis itu ingin agar kekasihnya bisa
bersiap-siap dan mengistirahatkan dirinya. Sangat melelahkan
mengingat 13 hari mereka berdua selalu menghabiskan waktu
bersama di luar. Kini saatnya Tio beristirahat untuk
keberangkatannya esok hari.
Di sebuah kamar kos, dua orang lelaki tengah membantu Tio
mengepak pakaian dan sesuatu lainnya untuk dimasukkan ke
dalam koper. Jefri dan Doni berada di kamar Tio. Jefri, teman
kampus sekaligus teman satu kosnya, sedangkan Doni salah satu
teman dekat Tio.

HEY ROSE | 6
“Tio, lo butuh mantel nggak? Gue ada kalo lo mau pinjem, gue
pinjemin.” Ujar Jefri menutup satu koper yang sudah penuh.
“Nggak usah gue bisa beli di sana. Lagian gue bentar doang
anjir! Kagak yang mau selamanya di Inggris.” Tukas Tio.
“Apa gue bilang Jef? Ngga usah perhatiin ini anak. Nggak
bakal digubris juga kecuali lo adalah Zemira.” Sahut Doni. “Udah nih
kelar, by the way gue besok nggak bisa anter lo ke bandara, ada
kelas.”
“Lo udah bilang ke gue tiga kali ini, Don. Sekali lagi dapet
piring cantik.”
Jefri dan Tio tertawa.
“Zemira doang yang dateng ke bandara udah cukup, Tio
nggak ngarepin lo juga.” ujar Jefri yang ia tujukan pada Doni.
Pernyataan Jefri membuat Tio mendengkus. Itu tidak benar,
dirinya juga ingin teman-teman yang lain bisa datang ke bandara
untuk mengantar kepergiannya, karena akan meredakan perasaan
buruk yang Tio miliki.
Tio membaringkan diri di atas kasur setelah selesai
mengemas barang dan mengantar Doni ke bawah untuk pulang. Ia
kembali menghubungi Randika yang rupanya sudah mulai surut
amarahnya, terbukti bahwa Randika sudah mau membalas
pesannya dan berjanji untuk ikut bersama Zemira esok hari.
Tio semakin lega.

Dua minggu yang berlalu dengan baik.


Kini saatnya Zemira harus berpisah jarak dengan
kekasihnya. Hanya berbeda negara, tak akan sulit bila mereka
tempuh hubungan jarak jauh dengan baik, dengan rasa saling
percaya yang menguat dan kejujuran dari masing-masing diri.
“Kak Ze ngaca dari tadi nggak kelar-kelar?!” protes Randika
yang tengah melihat si sulung belum juga selesai merapikan diri di
depan cermin.

HEY ROSE | 7
Zemira Avyanna, gadis yang setiap kali bertemu dengan
cermin dapat dipastikan akan menoleh atau berhenti
menyempatkan diri untuk melihat pantulan dirinya. Lagi pula,
cermin memang sangat akrab pada kehidupan, kan? Manusia tak
akan pergi keluar tanpa memandang diri mereka di cermin.
Bukankah salah satu alasan kita harus bercermin adalah untuk
memastikan diri kita baik sebelum pergi dari rumah? Begitu
prinsip gadis bernama Zemira—ia harus selalu terlihat rapi.
“Gue ke rumah Jendra aja deh, Kak. Dika nggak ikut aja ke
bandara.”
“Lo beneran nggak mau ketemu Tio? Jangan gitu ah, gue
ceweknya aja nggak ada ngambek kayak lo gini. Katanya kemaren
mau ikut?”
“Ish, ya Kak Ze nggak tau aja.” Randika melengos,
membalikkan badan mungilnya kemudian pergi.
Ya. Zemira memang tidak mengetahui bagaimana perasaan
sedih si bungsu kala ia jauh dari satu-satunya lelaki yang berperan
penting dalam hari-harinya.
Zemira berdecak melihat kelakuan adiknya yang masih labil
itu. Ia berjalan di belakang Randika, sesekali tertawa dan
menggeleng-gelengkan kepala karena si bungsu berjalan dengan
menghentak-hentakkan kakinya seolah menunjukkan bahwa
dirinya benar-benar kesal.
Rupanya taksi online yang mereka pesan pun sudah berada
di pelataran rumah. Kakak beradik itu langsung memasuki mobil
dan duduk berdampingan di bangku penumpang. Dalam perjalan
menuju bandara, tak ada sepatah kata yang mengudara, mereka
saling diam seperti tak memiliki hal untuk bahan obrolan, juga
tengah hanyut dengan alam pikir masing-masing.
Sepertinya, pergi ke bandara untuk mengantar kepergian Tio
adalah ide yang buruk. Kini perasaan Zemira yang naik turun,
melihat Tio berdiri dengan koper dan tas ransel, juga senyum yang
tak pernah surut membuatnya menghela nafas berat. Rasa sedih

HEY ROSE | 8
kembali menyelimuti dirinya. Rasa rindu mendadak muncul begitu
saja.
Bertemu tatap dari jauh, lelaki dengan kaos dan outer hitam
melambai pada dua orang yang tengah berjalan menujunya. Ia
terus memperhatikan keduanya hingga jarak terpangkas.
“Jangan gini, mukanya jelek.” Ujar Tio dengan satu tangan ia
daratkan di pipi putih Zemira.
“Beneran LDR?” tanya Zemira meyakinkan.
“Ya terus kalo nggak LDR gimana dong?”
Zemira mendengkus sebagai jawaban.
Kini Tio beralih pada Randika yang bekali-kali tertangkap
merotasikan bola matanya, seolah tak ingin bertemu tatap dengan
Tio. Ia terus menghindar, bersikap acuh tak acuh meski Tio
berusaha mencuri sedikit atensinya. Sikap yang begitu
menggambarkan anak-anak sekali. Bukan anak berumur 17 tahun,
tetapi anak kecil yang merajuk ketika tak dibelikan mainan oleh
kedua orang tuanya. Begitulah Randika saat ini di mata Tio.
“Widihhh jagoan gue masih betah ngambek?” Tio seraya
mengacak rambut Randika. “Padahal udah dua minggu masih tahan
gini?”
Randika berdecak, menepis tangan Tio.
“Gue udah nyiapin ini nih biar lo nggak ngambek.” Tio
mengeluarkan amplop putih dari ranselnya. “Buat jajan atau beli
apa aja bebas, anggep ganti rugi waktu gue selama ada di sana.
Terima ya? Kalo nggak mau nerima, udah gue beneran sedih, jadi
ngerasa nggak tega mau pergi.” Tio setengah memohon agar
Randika mau menerimanya.
Sebenarnya Randika tidak mengharapkan diberi uang atau
semacamnya. Ada rasa senang dan bangga kala Tio menceritakan
tentang beasiswa yang didapat. Tentu saja Randika mendukung
apa keputusan Tio. Namun, di sisi lain, ada rasa sedih berpadu rasa
marah karena ia harus jauh dari Kakak keduanya itu, terlebih Tio
memberitahu berita itu terlalu mendadak. Terlebih ia sudah sangat
bergantung pada Tio.

HEY ROSE | 9
Randika mengangguk menerima pemberian Tio.
“Jaga diri baik-baik ya?” pinta Tio pada Zemira yang hanya
dijawab dengan wajah sedih dan anggukan lesu.
“Jangan cemberut gini dong. Kan bentar doang.”
Mungkin bagi Tio waktu satu hingga dua tahun adalah waktu
yang sebentar. Tapi, bagi Zemira, itu waktu yang cukup lama,
mengingat ia tidak bisa saling jauh dengan kekasihnya.
“Iya iya, kamu juga jaga diri baik-baik.” Jawab Zemira.
“Adiknya jangan ditakut-takutin mulu.” Pinta Tio lagi.
Memang tak salah jika Zemira menakut-nakuti Randika,
karena memang pada dasarnya sang adik adalah lelaki yang
penakut. Takut dengan sosok yang tak bisa ia lihat. Randika
menjadi lebih penakut karena ulah Jendra, teman dekat Randika
yang selalu mendeskripsikan teman tak terlihatnya itu.
“Sumpah Kak, gue nggak bisa apa ikut Kak Tio aja?” kini
Randika angkat bicara. “Pasti sepi banget deh kagak ada yang
mabar sama gue, nggak ada yang bantuin Dika ngerjain tugas.”
“Hello? Gue juga sering kali bantuin lo ngerjain tugas!” protes
Zemira tak terima.
“Ya tapi Kak Ze nggak bisa sesabar Kak Tio!” decak Randika.
“Dikit-dikit marah kalo gue salah ngerjain, orang namanya minta
bantu ngerjain tugas tuh harusnya diajarin bukan dimarahin kitu.”
Tawa renyah Tio seketika merekah melihat kedua
kesayangannya saling mengolok di hadapannya. “Ya udah ayo ikut
gue biar Kakak lo sendirian di rumah. Tega?”
Randika tampak berfikir sembari melihat ke arah kakaknya
yang tengah menampakkan wajah memelas. “Nggak deh, Kak. Even
tho Kak Ze nyebelin, nggak sabaran, tapi gue nggak tega ninggalin
dia kalo mukanya kayak—akhhhh!”
Zemira seketika melingkarkan lengannya pada leher
Randika, membuatnya berhenti bicara. Gadis itu tau jika kalimat
yang akan si bungsu layangkan selanjutnya adalah kalimat ejekan.
“Eh tuh temen-temen kamu udah dateng!” Tunjuk Zemira.
“Buru sana check in.”

HEY ROSE | 10
Gadis itu benar. Maren, Dhirgam, dan Wira sudah melambai-
lambaikan tangannya tak sabar dari pintu masuk. Mereka
bertigalah yang akan berangkat bersama Tio. Teman yang akan
sama-sama berjuang. Tio mengangguk pada tiga temannya, lantas
tangannya bersiap untuk menarik koper. Pandangannya jatuh lagi
pada Zemira dan Randika. Ia tersenyum menatap mereka berdua
bergantian.
“I will see you at this place.” Pamitnya.
Entah mengapa kalimat Tio terdengar sangat menyesakkan.
Tak lupa lelaki itu mengusap pucuk kepala Zemira, juga menepuk
pelan bahu Randika.
Buru-buru ia menghampiri ketiga temannya. Tepat di depan
pintu keberangkatan, ia kembali membalikkan badannya dan
membuka mulutnya tanpa suara. Tangannya pun ia gerak-
gerakkan ke udara sebagai pendukung kalimat yang ia ucapkan.
Kalimat yang mengudara tanpa suara itu Zemira paham. Gadis itu
hanya mengangguk disertai senyum getir.
“Jangan kebanyakan ngaca, kamu selalu cantik.” Kalimat Tio
yang mengudara—mungkin dari tadi ia menyadari kekasihnya
selalu mengangkat ponsel hanya untuk merapikan beberapa anak
rambut yang jatuh.
Setelah mengungkapkan kalimat itu, senyum kepergian Tio
merekah lagi. Ia akan selalu mengingat kalimat kekasihnya. Yang
bukan sekali atau dua kali lelaki itu ucapkan, tetapi setiap kali
dirinya bercermin. Air mata Zemira berada di pelupuk mata,
berusaha ia tahan mati-matian dengan masih berada di posisinya
dalam waktu yang cukup lama. Entah mengapa ia menjadi sangat
takut. Bermacam-macam perasaan bercampur aduk jadi satu.
“Tio, I don’t know what I’m afraid of, to see you again or to
never see you again.”

HEY ROSE | 11
THE GIFT

Apa yang dirindukan dari hubungan jarak jauh sepasang kekasih?


Ya, bertemu muka, menghabiskan waktu berdua, atau bertengkar
dan saling ejek di depan umum. Hal yang selama satu tahun lebih
tak Zemira rasakan, akhirnya bisa ia dapatkan lagi. Rasa rindunya
pun tengah menumpuk tinggi hingga melebihi Gunung Puncak Jaya.
Kepulangan Tio kemarin, membuat hari-hari Zemira lebih
bersemangat dari biasanya. Tampak jelas di wajah dan perilakunya
hari ini, di mana ia selalu merekahkan senyumnya dan
bersenandung ria sembari berjalan melewati koridor kampus.
Berhasil membuat teman-temannya terheran-heran.
“Lihat tingkah Zemira hari ini nggak sih? Lagaknya kayak
orang kesetanan anjir senyum-senyum nggak jelas. Sumpah
cowoknya balik dianya makin aneh.” Ujar Jihan sembari mengikat
rambutnya.
“Nggak jadi putus?” tanya Lyra.
“Mulut lo bocor banget, Ra?! Emang ada tuh wacana Zemira
putus? Perasaan dia terakhir cerita lagi fine fine aja ya meskipun
setelah beberapa kali sempet tengkar.”
“Kalo putus juga nggak papa banget nggak sih? Masih ada
Jefri noh as mantannya yang katanya masih sayang sama dia.” Iren
menyahuti obrolan kedua temannya. “Lagian Tio tuh aneh kata
gue.”
Ketiga teman Zemira duduk berhadapan di gazebo kampus
seusai kelas. Suasana ramai mahasiswa yang berlalu lalang
membuat mereka tak menyadari bila ada seseorang yang berjalan
menuju mereka.
“Iya gue setuju sama lo sih.” Ungkap Lyra menyetujui
pernyataan Iren tentang Tio yang sedikit aneh.
“Ekhem. Udah belum ngomongin guenya?”

HEY ROSE | 12
Ketiganya menoleh ke arah sumber suara, Zemira tengah
berdiri dengan beberapa buku di dekapannya. Mereka hanya
menghela nafas, menampakkan wajah seolah tak terkejut dengan
kedatangan Zemira tiba-tiba.
“Udah belum ngomongin guenya?” Zemira mengulang
pertanyaannya.
“Sini-sini beb lo duduk dulu mending.” Jihan menepuk tempat
di sebelahnya, menarik lengan Zemira hingga ia terduduk. “Orang
ngomongin di depan lo juga nih.”
Zemira mengangguk. Melepas totebag yang ia pakai dan
meletakkan barang bawaan di pangkuannya.
“Anyways Ren, ngapain lo bilang Tio aneh parah? Eta yang
bener cakep parah.” Protes Zemira.
“Hadeh serius deh Ze, lo harus tau ini. Kemarin waktu kita ke
bandara bertiga, nemenin lo sampai bener-bener ketemu Tio, dia
tuh kayak natap gue tajem gitu.” Jelas Iren. “Maksud gue aneh
ngeliatin guenya. Cara dia natap tuh serem, Ze.” Imbuhnya. “Tapi,
gue nggak tau ya ini perasaan gue doang atau enggak kalo dia tuh
sedikit ... berubah?”
“Ah kalo gitu bener. Then I feel you, lo nggak sendiri. Gue pun
tiba-tiba takut buat ngeliat mata Tio.” Lyra tak mau kalah untuk
menjelaskan betapa takutnya ia ketika bertemu tatap dengan
kekasih temannya.
Zemira tertawa renyah mendengar cerita dari kedua
temannya. Berbeda dengan Jihan yang hanya mengernyit dan
berusaha mencerna semua yang pernyataan mereka. Tak setuju
dengan apa yang Lyra dan Iren katakan, Zemira menjelaskan
mengapa mereka berdua merasa seperti itu.
“Kalian berdua tuh ngapain takut? Kan emang matanya Tio
tajem gitu, biasa aja mah gue ngelihatnya. Absolutely nothing has
changed. Cuma tambah cakep aja.”
“Ya tetep aja gue takut mau lo bilang mata Tio emang gitu
atau enggak.” Lyra melengos

HEY ROSE | 13
“Udah-udah itu cuma perasaan kalian doang nggak perlu
dipikirin. By the way, gue mau nunjukin sesuatu ke kalian.”
Wajah Zemira berubah cerah. Ia merogoh totebag, berusaha
meraih sesuatu di dalam sana. Kemudian netra hitamnya menyorot
pada satu per satu temannya. Seperti tengah menyalurkan rasa
bahagianya.
“Tio ngasih sesuatu ke gue, cantik banget demi dah! Kata dia
sih ini hadiah ulang tahun gue.” Ucap Zemira penuh semangat.
“Taraaaa!!!” Gadis itu mengeluarkan hadiah pemberian dari
kekasihnya. Ketiga temannya tampak bingung dengan benda yang
saat ini Zemira pegang.
“Anjir cermin?” Iren sudah tak kuasa menahan gelitikan di
perutnya. Ia tertawa. “Gue udah mikir bakal dikasih baju, tas, atau
apa gitu yang—something special lah wujudnya. Dia kasih cermin?
Cindera mata dari Inggris? Beneran kasih kado lo cermin begini?”
tunjuknya.
Zemira mengangguk. “Dia ngasih ini karena tau kalo gue suka
ngaca kali ya?”
Sebuah cermin genggam dengan frame hitam motif mawar.
Benda refleksi yang Tio beri kepada kekasihnya. Zemira sangat
senang menerima apa pun pemberian Tio, bahkan tak merasa ada
sesuatu yang mengganjal atau aneh bila seseorang memberinya
cermin karena dirinya pun membutuhkan benda itu. Mengingat
cermin bulat tanpa frame yang selalu ia bawa itu hilang entah ke
mana.
Beberapa menit mereka asik dengan aktivitas masing-
masing setelah melempar ejekan dan menertawakan Zemira.
Seketika Lyra menyadari hal lain yang tiba-tiba terlintas di
benaknya.
“Tio balik ke Indo sendirian? Cowok kiciw gue kok nggak
keliatan balik juga?” ujar Lyra setengah melamun. Lelaki yang ia
maksud adalah Maren. “Dia berangkat sama Tio, kan? Tio, Maren,
Dhirgam, Wira? Bener nggak sih?”
“Baliknya beda-beda kali,” Jihan berasumsi.

HEY ROSE | 14
“Tuh kan gue bilang apa? Aneh udah kepulangan cowok lo itu,
Ze. Semuanya dah kata gue nggak cuma pandangan cowok lo, tapi
situasinya mendukung buat—“
“Mendukung buat berasumsi yang enggak-enggak?
Mendukung buat ngelancarin pikiran buruk lo? Iya?” sela Zemira
sekaligus membungkam pernyataan dari Iren. “Udahlah nggak
perlu ikut pusing, mereka lagi belajar juga kan di sana? Ya kalau
emang waktunya balik, mereka bakal balik, iya nggak sih?”
Jihan dan Lyra menganggukkan kepala seolah mereka setuju
dengan pernyataan Zemira. Berbeda dengan Iren yang masih
bertarung dengan pikirannya sendiri. Ia yakin bahwa dirinya lebih
benar dari pada Zemira. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal
sejak tatapnya bertemu dengan Tio kala itu, tapi Iren menahan diri
untuk berargumentasi lagi, ia hanya diam dan mengalah.
Menghindari adu argumen yang akan semakin sengit nantinya.

Jika satu tahun ini Zemira pergi dan pulang ke kampus


sendiri, kini keadaan kembali seperti semula di mana ia akan
pulang dan pergi ke mana pun bersama dengan Tio. Akan banyak
lagi waktu yang mereka nikmati berdua.
Perkiraan cuaca beberapa kota pada hari ini, pagi berawan
tebal, siang hujan sedang, dan malam hari berpotensi hujan petir.
Zemira mendengkus sebal mengetahui artikel perkiraan cuaca,
mengingat ia dan kekasihnya akan meluangkan waktu berdua
setelah sekian lama.
Rencana untuk jalan-jalan berdua, tanpa mengajak Randika.
Apa sebutannya? Quality time? Atau date? Yang lebih tepat untuk
menggambarkan wacana mereka.
Sebenarnya Zemira sendiri belum meminta ijin pada si
bungsu untuk pergi ke luar tanpa mengajaknya, karena biasanya
Zemira akan mengajak Randika kala ia pergi bersama Tio. Namun,
ia ingin sesekali bisa menghabiskan waktu berdua selepas

HEY ROSE | 15
hubungan jarak jauhnya. Dan sudah dapat dipastikan bila Randika
tak akan mau ditinggal sendirian di rumah. Terlebih pada malam
hari, karena si bungsu adalah seorang yang penakut.
“Randikaaaaa.” Seru Zemira. “Dek, dengerin gue dulu deh.”
Si bungsu mendongak, melepas satu kabel earphone yang
terpasang di telinganya. “Hah? Paan? Mau kasih duit?”
“Duit meleeeee.”
“Ya apa kalo nggak mau kasih duit, Kak? Cepet ngomong.”
“Lo jaga rumah ya? Gue mau jalan sama Tio. Please please kali
ini gue mau jalan berdua tanpa lo gitu, ya ya?” wajah Zemira
memelas, sembari menggoyang-goyangkan lengan Randika yang
raut wajahnya sudah terlipat.
“KENAPA NGGAK BILANG DARI TADI SIH?! Tau gitu Mbak
jangan boleh pulang dulu biar gue ada temennya di rumah!”
Randika meledakkan kekesalannya dengan kakak yang masih
cengengesan di sampingnya.
“Itu.... temen-temen lo ajakin ke sini aja nggak apa-apa. Hehe.
Ya?” rayu Zemira lagi.
“Mana mau temen-temen Dika dadakan suruh ke sini. Kakak
mah tidak berakhlak mulia sekali! Jinjja jinjja wanjeon geuleuh!
Bilang selalu ngedadak kayak gini tuh ahhhh au ahhhh!”
Randika mendengkus kesal, karena pasalnya hari mulai sore
dan ia tak yakin bila teman-temannya mau untuk pergi ke
rumahnya. Terlebih langitnya tampak mendung, gelap, seperti
akan datangnya hujan. Ia melengos, beranjak dari sofa lantas
memasang earphone-nya lagi.
“Iya udahlah kagak apa-apa, sono.” Usir Randika sembari
tangannya mengibas sebelum ia pergi ke kamarnya.
“Temen-temen lo suruh ke sini aja.” Pinta Zemira. Randika
hanya mengangkat ibu jarinya kemudian menutup pintu kamar.
Zemira sudah siap sejak tadi, namun ketika membaca pesan
yang dikirim oleh Tio ia mengernyit heran. Kekasihnya itu
mendadak meminta agar dirinya memakai pakaian bernuansa
hitam agar serasi dengan dirinya, alibinya. Padahal ia sudah rapi

HEY ROSE | 16
dengan dress cantik berwarna beige dengan rambut terurai. Mau
tak mau ia menuruti permintaan dari Tio.
Tak menunggu waktu lama, terdengar deru mobil memasuki
pelataran rumah. Zemira sangat hafal dengan suara yang
dihasilkan. Ia bergegas keluar sembari menyambar sling bag
kemudian pergi ke arah kamar Randika.
“Dekkk, gue berangkat ya!!” serunya dari luar kamar tanpa
membuka pintu ruangan.
Randika berdehem di tempatnya, meski begitu Zemira
mendengar responnya. Ia berjalan mengintip dari jendela kamar,
terlihat sang kakak berlarian kecil ke arah Tio yang tengah berdiri
bersandar di pintu mobil. Kedua manusia yang tampak bahagia.
Tak sadar senyum simpul tercetak di bibir Randika sebab Tio
memperlakukan Zemira sebaik itu.
Tio membukakan pintu mobil dengan satu tangannya
melindungi kepala Zemira agar tak terbentur dengan langit mobil.
Sungguh pemandangan yang membuat si bungsu merasa tak akan
khawatir dengan apa pun. Hatinya ikut menghangat. Lantas
Randika tak sengaja bertemu tatap dengan Tio kala asik melihat
mereka berdua. Lelaki itu melambai dan tersenyum ke arahnya.
Pun Randika yang mengantarkan keduanya dengan lambaian
tangan pula.
Mobil sudah keluar dari pelataran rumah, Randika kembali
menghempaskan tubuhnya di kasur empuk. Membuka sebuah
group chat yang namanya baru saja Jendra ganti menjadi ‘ghost
hunter genk’ yang entah apa alasannya ia merubah nama grup
tersebut.
Randika meminta mereka untuk pergi ke rumahnya untuk
mengusir rasa sepi yang tengah menyelimuti. Paling tidak
mengobrol melalui telepon atau video call jika memang mereka tak
bisa untuk menemaninya di rumah. Randika tak akan memaksa
mereka. Sialnya permintaan Randika malah membuat seluruh
penghuni grup saling melempar olokan untuknya.
“Hhh... lo udah biasa Dik, sabar... sabar....”

HEY ROSE | 17
Perihal rasa takutnya, Randika semakin terbiasa akan olokan
yang selalu mereka lontarkan. Meski begitu, kala Randika memulai
video call bersama teman-temannya, mereka tetap melancarkan
aksi olok mengolok sampai temannya satu ini memuncakkan
amarah. Ya memang itu tujuan Naja, Cakra, Aji dan Haikal.
“Halo woy ngapa lo Dik? Takut ye?” suara tawa Haikal di
seberang sana sesaat setelah panggilan video ia terima.
“Ututu bocil jaga rumah.” Sahut Cakra tak mau kalah.
“Lagian tumben amat kagak diajak sama Kak Ze?” itu Aji
sembari menyuap nasi.
Randika menghela nafas. “Nggak tauan katanya pengen main
berdua tuh sama Kak Tio.”
Beberapa temannya manggut-manggut mendengar jawaban
dari Randika, sedang dirinya kini membersihkan kamar yang sudah
sedikit kotor akibat terpaan angin melewati jendela kamar yang
membawa banyak debu masuk. Mereka mengobrol dengan asik,
kecuali Jendra yang dari tadi memperhatikan temannya yang sibuk
bersih-bersih.
“Randika.”
“Oet?” Randika mendekatkan dirinya ke layar ponsel ketika
Jendra memanggilnya, yang lain pun ikut diam seketika. Namun,
Jendra tak kunjung berkata apa-apa membuat mereka bertanya-
tanya.
“Gue ke rumah lo sekarang.” Tegas Jendra seraya mematikan
sesi video callnya.

Malam hari adalah waktu yang paling dibenci Randika.


Bagaimana malam tampak sangat gelap meski banyak penyinaran
untuk membuat sekitarnya terang. Bagaimana malam selalu
dihubungkan dengan sesuatu yang membuat bulu kuduknya
merinding. Dan bagaimana malam yang selalu memiliki aura
tersendiri. Dan bagaimana malam selalu berhasil menyita

HEY ROSE | 18
pikirannya yang mampu menjelajah isi dunia. Tentang rasa
parnonya dengan sisi ruang gelap rumahnya.
Duduk di teras dengan gigi yang sibuk mengikis kuku jari,
perasaan was-was dan rasa takut tak hentinya menyelimuti.
Jantungnya pun berdegup kencang melampaui batas normal. Sejak
Jendra menyadari ada sesuatu yang mengganjal tadi, lelaki itu
langsung mengakhiri video call dan langsung pergi ke rumah
Randika tanpa menyampaikan apa pun, meski saat ini butiran air
dari langit turun membasahi. Lagi pula, jarak rumah mereka tak
terlalu jauh.
“Please please Jendra cepet ke sini please.” Suara Randika
mulai bergetar. Matanya pun mulai membasah oleh butiran air
mata. Mungkin beberapa saat lagi ia akan menangis jika Jendra tak
kunjung datang.
Randika benar-benar menyapu teras rumahnya dengan kaki
telanjang yang berjalan mondar-mandir hingga nampak dua
sepeda gunung memasuki pelataran rumahnya. Mampu
menghilangkan rasa takut yang masih ia pikul.
Jendra dan Naja, langsung memarkirkan roda dua milik
mereka di sembarang tempat. Mereka berdua sama-sama terlihat
panik, tak jauh berbeda dengan Randika yang masih dengan raut
wajah ketakutan.
“Dika!! Weh lo kagak ngapa-ngapa?” tanya Naja yang masih
memakai jas hujan. Sengaja belum dilepas karena ia harus
berteduh dulu untuk melepas jas hujannya.
Randika mengangguk meski tak mengerti mengapa Naja
melempar kalimat tanya seperti itu. Lantas mereka bertiga buru-
buru memasuki rumah. Keduanya mengeringkan rambut yang
lepek akibat air hujan, kala sang empunya rumah membawakan
dua buah handuk.
Mendudukkan diri di ruang tamu, sembari menunggu ketiga
temannya yang lain datang.

HEY ROSE | 19
“Aneh banget lagian, kayak orang baru.” Ujar Jendra santai.
“Kak Ze lagi ke mana sih? Tumben lo nggak diajak? Belum pulang
sampai sekarang?”
“Keluar sama kak Tio kan tadi gue bilang.” Randika
mendengkus kesal.
“Ya maksud gue tujuan mereka ke mana? Padahal rumah lo
rame tuh tapi, masih aja lo ngerasa sendiri? Ngerasa kesepian?”
celetuk Jendra.
“Heh si borokokok! Gue nyuruh lo ke sini buat nemenin gue!
Bukan malah nakutin!” Randika tersulut emosi.
“Haha iya iya. Ya udah cemilannya dong?” Jendra tertawa
hingga matanya berbentuk bulan sabit.
“Ambil aja di dapur.” Titah Randika.
Jendra mengangguk lantas beranjak ke arah dapur, sesekali
ia mengarahkan pandangnya ke kanan dan kiri, seperti tengah
menyapa seluruh penghuni rumah—yang tak bisa dilihat oleh
panca indera manusia normal maksudnya. Keistimewaan yang
dimiliki, membuat Jendra bisa melihat hingga berteman dengan
mereka.
Namun, kala langkahnya melewati ruang kamar Zemira yang
pintunya sengaja tak ditutup, manik hitam Jendra menangkap
seorang wanita tengah duduk di ujung ranjang menghadap jendela,
dengan cermin berada dalam genggamnya. Sosok yang berani
menampakkan dirinya di kamar Randika tadi, saat panggilan video
masih terhubung.
Wanita itu tampak sangat cantik dari belakang. Memakai
dress hitam bercorak mawar bak tuan putri. Dengan keberanian
yang Jendra punya, berhasil membawa langkahnya untuk melihat
sosok itu lebih dekat. Kala Jendra mencoba melangkah untuk
memangkas jarak mereka, wanita itu melangkah pula. Sontak
Jendra menahan diri, menghentikan langkahnya dan mencoba
berjalan mundur selangkah demi selangkah, dan apa yang terjadi?
Wanita itu pun mengikuti ritme langkah Jendra.

HEY ROSE | 20
Jendra kembali di tempat ia pertama kali berdiri tadi, sosok
itu pun kembali duduk di ujung ranjang di mana titik awal ia duduk.
Aneh, pikir Jendra.
Hanya helaan nafas yang Jendra keluarkan, ia merasa bahwa
sosok wanita itu tak ingin diganggu, padahal ia ingin memastikan
apakah penghuni baru itu sosok yang baik atau tidak. Atau adakah
motif lain di balik kedatangannya itu?
Tak ambil pusing, Jendra berniat beranjak dari sana untuk
segera mengambil makanan di dapur, namun pada saat bersamaan
ia membalikkan tubunya, sosok wanita itu sudah berdiri tepat di
hadapannya.
“AAAAAAAAAAAAA!!” Jendra berteriak hingga dirinya
tersentak jatuh.
Sebelum Jendra terbangun dan pergi, ia bertemu tatap
seperkian detik dengan sosok yang kemudian pergi dari
hadapannya dan menghilang ke ruang kamar Zemira. Lelaki itu
masih sempat memandang punggung kepergiannya sebelum
akhirnya Jendra buru-buru memenuhi tujuan awal untuk
mengambil beberapa snack di dapur.
Kembali dari dapur, Jendra melihat kedua temannya terlihat
biasa saja. Padahal ia merasa bahwa suara teriakannya cukup
menggelegar melengking di telinga, namun mengapa Naja dan
Randika sama sekali tak terusik? Bahkan tak ada sedikit pun
mereka menunjukkan raut wajah khawatir.
“Muka lo kenapa gitu?” tanya Randika heran, saat Jendra
datang menjajarinya.
Jendra mengangguk seakan paham. Mereka berdua mungkin
memang tak mendengar suara yang ia hasilkan tadi atau
sebenarnya bukan panca indera mereka yang tak menangkap bias
suara Jendra, melainkan ia yang memberi sebuah tabir kala Jendra
mulai mencoba memangkas jaraknya tadi.
Meski hati ingin mengatakan yang sebenarnya tentang apa
yang Jendra lihat dan apa yang tengah terjadi di belakang, ia tetap
menjaga rasa takut dari sahabatnya itu. Jendra sudah menerka jika

HEY ROSE | 21
ia mengatakan dengan sejujurnya, Randika akan semakin
ketakutan dan bahkan tak ingin tinggal di rumah ini lagi.
“Lo kenapa sih, Jen?” desak Randika. “Muka lo pucet asli dah.”
“Kalian berdua dari tadi diem di sini, kan?”
“Ya menurut penglihatan lo gimana?” sahut Naja sembari
menyibakkan rambutnya.
Jendra mengangguk. “Ngomong-ngomong gue mau nunggu
sampe Kak Ze balik. Kalo lo gimana Na?” seraya menghempaskan
diri bersandar pada sofa ruang tengah, ia mengatur nafasnya. “Kalo
lo mau balik barengan anak-anak bae entar.”
“Ngikut lo dah palingan anak-anak juga pada ngikut lo, Jen.”
Randika sontak bertepuk tangan sembari menyunggingkan
senyumnya. Tak dapat dipungkiri bila ia sangat senang jika teman-
temannya akan menemani dirinya hingga si sulung pulang. Lantas
tanpa disuruh, Randika mengeluarkan stick playstation miliknya
untuk mengajak Naja bermain bersama.
Berbeda dengan Naja dan Randika yang tengah sibuk
memilih game apa yang akan mereka mainkan, Jendra justru masih
memusatkan atensinya pada pintu ruang kamar Zemira yang masih
terbuka itu. Ia memicingkan mata dan tanpa diduga, sosok wanita
itu menampakkan dirinya lagi, keluar dari sana seperti merasa
terpanggil. Tak menampakkan sepenuhnya, hanya sebagian tubuh
dan wajahnya saja. Mata hitam legam yang tajam dengan senyum
mengerikan.
Jendra bertemu tatap dengannya lagi.

Hutan pinus.
Sebuah objek wisata yang terletak di salah satu lereng
gunung, memang didominasi pohon pinus yang berjejer rapi.
Cukup cantik di malam hari, karena banyak lampu gantung
berwarna warm white yang sengaja dipasang sebagai pemanis dan

HEY ROSE | 22
penerang. Cahayanya yang remang memberi kesan hangat meski
udara terasa dingin akibat sisa-sisa hujan.
“Tio, demi apa pun besok-besok aku nggak mau diajak ke sini
malem-malem. Ngide banget lagian jam segini ke hutan pinus?”
protesnya sembari melingkarkan tangannya pada lengan Tio.
“Kenapa sih? Kan rame juga,” jawab Tio tanpa dosa.
Itu tidak benar. Menurut sudut pandang Zemira, tempat ini
sepi karena sebelumnya sempat terguyur hujan dan bisa dibilang
tak banyak pengunjung di malam hari. Hanya ada beberapa orang
yang tengah duduk bersantai di bawah pepohonan. Padahal
biasanya banyak wiasatawan yang menggunakan tempat ini untuk
berkemah sebab suasananya yang rindang. Sebenarnya Zemira pun
menyukai tempat ini, hanya saja waktu yang tidak tepat
membuatnya bergidik ngeri.
Tio mengajak Zemira ke sebuah warung kecil yang hanya
menyediakan kopi dan minuman hangat. Mereka berdua
menyeduh kopi sembari bertukar cerita satu sama lain.
“Oh iya waktu kamu pulang kok aku nggak ngelihat Maren,
Dhirgam, sama Wira ya? Apa mereka beda pesawat?” tanya Zemira
mendadak ingat. “Tapi, di kampus juga nggak kelihatan—“
“Mereka nerusin kuliah di sana.” Sela Tio.
“Oh gitu? Kenapa tiba-tiba?”
“Hmmm iya gitu, bukan urusan aku juga.”
Zemira hanya mengangguk tak ingin penjelasan lebih lanjut
karena ia pikir itu bukan ranahnya bertanya sampai sana. Di bawah
cahaya meremang, ia memperhatikan wajah kekasihnya lamat-
lamat. Kedua matanya memicing kala menangkap ada sesuatu di
dekat mata Tio.
“I-ini ... sejak kapan kamu—“
Seketika Tio menepis tangan Zemira yang hampir
menyentuh wajahnya hingga gadis itu terkejut.
“Habis kebentur, jangan pikirin, Ze.” Alibinya.
Ada sebuah bekas luka di dekat mata kanan Tio.
Menimbulkan rasa khawatir karena dapat dipastikan luka yang

HEY ROSE | 23
dihasilkan cukup parah dan sedalam itu hingga mampu memberi
scars yang mungkin akan tinggal dalam waktu yang cukup lama.
Atau bahkan bekas luka itu tak akan pernah bisa hilang.
“Kok bisa? Udah diobatin, kan? Ini bekas luka apa? Gimana
bisa kebentur? Kebentur apa? Lukanya dalem banget ini pasti.”
Jejeran pertanyaan dari Zemira tak ada satu pun yang
terjawab, padahal biasanya Tio akan menjawab satu persatu
kalimat tanya yang mengudara. Tapi, entah mengapa kini lelaki itu
memilih untuk tak berucap, hanya diam tanpa ekspresi sedikit pun.
Tanpa aba-aba sontak Tio menarik tubuh Zemira.
Direngkuhnya tubuh mungil gadisnya, membuat lawannya
terhenyak. “I miss you so badly.” Bisik Tio.
Zemira tersenyum sembari meletakkan dagunya pada bahu
Tio, berusaha menyamankan posisinya kala jemari lelakinya
mengusap lembut punggungnya.
“Ze, gimana cermin yang aku kasih? Cantik nggak? Kamu
suka?” Tio menjauhkan tubuhnya untuk memandang Zemira lagi.
“Hmm... cantik, aku suka. Makasih ya!” serunya dengan
senyum mengembang.
“Rose.”
Zemira mengernyit bingung.
“Cerminnya aku kasih nama Rose, kalo kamu lagi ngaca, coba
sambil disapa gitu.” Tangannya sembari merapikan anak rambut
Zemira yang berterbangan tertiup angin. “You are going to be
prettier.”
Zemira tertawa karena ucapan Tio. “Ngaco banget? You are
flirting with me, huh? Jadi itu dinamain Rose karena motifnya
mawar gitu ya?”
Tio hanya tersenyum tipis namun tatapannya kian menajam,
Zemira dapat merasakan perbedaannya. Seketika teringat dengan
apa yang Iren katakan mengenai kekasihnya. Ditatap cukup lama
oleh Tio membuatnya merasa tak nyaman—itu terlihat seperti
tatapan memangsa. Dengan cepat Zemira memalingkan
pandangannya.

HEY ROSE | 24
Hutan pinus semakin gelap seiring berjalannya waktu. Suara
binatang malam pun mulai terdengar. Tanpa sadar, kini hanya
mereka berdua saja pengunjung yang masih berada di tempat.
Zemira merogoh ponselnya, seketika terkejut karena waktu yang
bergerak begitu cepat.
“Tio udah malem, balik yuk?” Zemira beranjak dan menarik
lengan Tio, tetapi lelaki itu hanya mendongakkan kepala mengikuti
arah pandang Zemira tanpa mengatakan apa pun.
“Ih ayo! Randika kasihan di rumah.” Tambah Zemira yang
membuat Tio menggeleng kepala cepat seperti sedang
menyadarkan diri dari lamunannya.
“Iya ayo.” Jawabnya setuju.
Beberapa kali Zemira terjingkat karena suara nyaring yang
datang tiba-tiba. Sampai ia mengeratkan diri pada lengan Tio.
Anehnya, lelaki itu tak berusaha menenangkan atau membuat
gadisnya merasa tenang dan terjaga, pun membuat rasa takut
Zemira surut.
Tio kelewat tenang, tak banyak bicara, namun banyak
melamun dengan tatapan kosong seperti tak ada nyawa yang
bersarang dalam tubuhnya. Di dalam mobil pun meski Zemira
sering melempar pandang untuk mengajaknya bicara, Tio tak
memiliki ketertarikan untuk berbincang. Ia hanya menyanggupi
obrolan gadisnya dengan anggukan dan gelengan sebagai jawaban.
Juga raut wajah yang telah kehilangan senyumnya.
Banyak sesuatu yang hilang dalam diri Tio. Ia takut untuk
membenarkan perkataan Iren dan Lyra, pun ia takut untuk
berasumsi yang tidak-tidak. Karena baginya, Tio tetaplah sebuah
rumah yang akan tetap berdiri kokoh meski hujan badai menerpa.
Sampai di rumah, Zemira langsung masuk ke dalam kamar
dan merebahkan dirinya. Di luar cukup berantakan, enam bocah
laki-laki tertidur di sembarang tempat memenuhi ruang tengah.
Siapa lagi kalau bukan Randika dan teman-temannya. Mereka
tampak sangat pulas sampai tak terusik sama sekali saat Zemira
memanggil mereka beberapa kali, guna membangunkan agar

HEY ROSE | 25
setidaknya mereka berpindah tempat untuk tidur di kamar
Randika—di tempat yang lebih layak untuk mengistirahatkan diri,
dari pada tercecer di ruang tengah.
Zemira menghela nafas. Suasana hatinya cukup senang
karena akhirnya ia bisa menikmati waktu berdua lagi dengan Tio
setelah sekian lama. Hal yang paling ia tunggu-tunggu, melepas
segala rindu yang menyesakkan. Ia sudah membenarkan apa yang
Iren katakan bahwa kekasihnya itu berubah. Namun, Zemira belum
sepenuhnya menyadari perubahan dalam hal apa saja dan dari segi
mana.
Ia meraih cermin pemberian Tio. Cukup lama ia pandang
dirinya pada benda refleksi itu sambil merekahkan senyumnya.
Mengingat nama yang Tio berikan untuk cermin itu, Zemira merasa
geli untuk sekedar menyapanya. Tapi tetap saja ia lakukan.
“Hey Rose!” sapanya.
She heard and saw.
“Hey Rose! Hehe.” Sapanya lagi dengan gelak tawa.
Jendela kamarnya terbuka seketika kala angin
membenturkan diri cukup kencang. Ia terkejut lantas beranjak dari
tempat tidur dan dengan cepat menutup ruang ventilasinya agar
angin malam tak banyak masuk ke dalam ruangan.
Kembali merebahkan diri, Zemira bercermin lagi.
Mengangkat cerminnya dengan tidur terlentang. Cermin yang pas
digenggamannya.
“Hey Rose!” Tersenyum senang seraya kedua kaki
menggebuki kasur empunya. “Ih udah ah gue gila lama-lama
nurutin Tio.”
Kini ia meletakkan cermin di atas nakas, kemudian
mempersiapkan diri untuk pergi menjelajah mimpi. Berharap ia
mendapatkan mimpi yang indah karena suasana hatinya sedang
berbunga-bunga.
Zemira terlentang menatap langit-langit kamar sembari
menarik selimut hingga menutupi dadanya. Ia menghela nafas
panjang, kedua matanya sayup-sayup hampir menutup. Bayangan

HEY ROSE | 26
akan canda tawanya bersama Randika, teman-temannya, juga
senyum Tio beberapa tahun yang lalu terputar mengiringi
tidurnya. Mengantarkan dirinya ke alam bawah sadarnya. Sebuah
mimpi atau alam lain yang ia hadapi.
I’m here, I’m under your bed. I will take care of you tonight—
and forever.

HEY ROSE | 27
THE BEGINNING

Tumben sekali sinar sang surya berhasil menelusup masuk


melewati celah ventilasi ruang kamar Zemira.
Kedua matanya mengerjap sebab cahayanya mengetuk
kelopak mata yang membuatnya terasa hangat dan menyilaukan. Ia
tak bermimpi apa pun akhir-akhir ini, hanya melihat banyak
bayangan menutupi pandangannya—apakah itu termasuk sebuah
mimpi? Cukup gelap hingga dirinya sendiri tak yakin apa yang
sedang menghalangi arah pandangnya. Zemira mengucek matanya
berkali-kali sembari medudukkan diri.
Seperti biasa, rutinitas paginya setelah menyingkap gorden
dan membuka jendela kamar adalah melihat pantulan dirinya di
cermin yang tergantung di dinding kamar. Menyapa dirinya sendiri
seraya mengikat rambutnya yang terurai.
Hampir saja ia melupakan sesuatu. Celingukan ia mencari
benda cantik pemberian Tio. Sebenarnya jika Tio tak memberikan
benda itu pun ia akan selalu bercermin sesaat setelah bangun dari
tidurnya.
“Hey Rose~ jiah nyanyi dah gue.” Ia mencari cerminnya
dengan melantunkan cuplikan lagu Roses milik Finn Askew yang
sering dinyanyikan Tio.
Seingat Zemira, ia meletakkan cermin itu di atas nakas,
namun ia tak menemukannya di sana. Sembari menggaruk-garuk
kepala, ia jelas mengingat bahwa benda itu harusnya ada di sana.
Membuka laci, mengangkat bantal, menelisik hingga sudut kamar,
cerminnya tak ada di mana-mana.
“Apa jatuh ya?” Zemira berjongkok kemudian menengok di
kolong ranjang dan benar saja cermin itu ada di sana. Ia meraih
benda itu, mengulur-ulurkan lengannya. “Dih begimane cerite lo
ada di sini?” Meletakkan kembali cerminnya di atas nakas.

HEY ROSE | 28
Usai mandi dan merias diri, seperti biasa ia mengantar si
bungsu sebelum ia pergi ke kampus. Dengan motor matic hitam
dan helm abunya, Zemira mengendarai dengan cukup hati-hati.
Angin semilir sengaja membenturkan diri pada wajah
Randika yang tak tertutupi kaca helm, membuatnya terantuk-
antuk. Matanya sayup-sayup menutup hingga beberapa kali
helmnya terbentur dengan helm Zemira.
“Dek, yang bener lo ah jatuh entar!” Zemira sembari
menepuk lutut kiri Randika. “Ayo bangun nggak ini udah nyampe
di sekolah.”
Randika menegakkan tubuhnya sembari mengumpulkan
nyawanya kembali. Beberapa meter lagi sebelum sampai di
gerbang sekolah ia harus sepenuhnya sadar.
Kala motor yang Zemira kendarai berhenti, dengan langkah
yang berat Randika turun dari motor, memberikan helmnya pada
si sulung, lantas berpamitan dan berjalan memunggungi Zemira. Ia
mengusap wajahnya kasar, melewati teman-teman OSIS Jendra
yang ia kenal dan tak lupa menyapa mereka.
Zemira masih memperhatikan Randika dari belakang hingga
punggungnya mengecil dan menghilang. Gadis itu tersenyum
kemudian menyalakan kembali motornya dan pergi.

Mata pelajaran sejarah—kelas Randika kosong.


Meski guru pengajar berhalangan masuk kelas, tetap saja ada
tugas yang beliau tinggalkan mengharuskan para siswa untuk
menyelesaikan. Haikal, Aji, Naja, juga Cakra sudah menunggu di
perpustakaan sekolah. Mereka menunggu Randika dan Jendra yang
belum juga bergabung.
Randika duduk sendiri di gazebo sembari berdecak berkali-
kali karena keempat temannya cukup bawel menyuruhnya untuk
buru-buru menghampiri dan menuntaskan tugas kelompok

HEY ROSE | 29
mereka. Padahal ia sedang menunggu Jendra yang masih berada di
toilet sebab panggilan alam juga perlu segera dituntaskan.
“Lega gueeee.” Seru Jendra keluar dari kamar mandi
mengusap-usap perutnya. “Ayo dah ke perpus, jangan loyo gitu
ngapa sobat!” coleknya.
“Yeee gue gebuk juga lo! Gue loyo gara-gara nungguin lo
boker lama banget dah.”
“Ya lo kayak nggak tau orang boker gimana?” Jendra tertawa.
Berjalan menyamakan langkahnya dengan Randika. Ia menyapa
beberapa orang yang mereka kenal kala berjalan di koridor
sekolah.
Perpustakaan yang tampak lengang membuat Jendra dan
Randika dengan cepat menemukan keberadaan teman-temannya.
Mereka berdua baru saja duduk bersandar pada dinding dan
langsung menyambar pembagian tugas kelompok mereka.
“Gue, Naja, sama Aji nyari ini deh di situsnya. Lo, Randika,
sama Haikal yang bikin powerpoint, ngetik-ngetik dah lo sono.”
Titah Cakra seraya meraih laptopnya. Yang lain mengangguk setuju
tanpa ada yang keberatan.
“Lagian ini tugas teraneh kata gue.” Dengkus Haikal.
“Ya, kan? Sejarah Indonesia tapi tugasnya suruh nyari kabar
orang hilang lah enih kagak ada korelasinya pak! Dikata kita
detektif apa?” keluh Randika.
“Kagak usah pelajarannya, gurunya aja udah aneh.” Opini Aji
tak mau kalah.
“Lo pada nggak usah banyak ngomel udah nggak ngebantu
sama sekali. Ini situs cari orang hilang apa namanya? Gue kagak
tau.” Naja yang sudah berkutik dengan laptop.
“Mau pake situsnya UK nggak? Missingpeople gitu deh.” Sahut
Randika. “Soalnya ini situs sering banget muncul di fyp tiktok gue.”
Haikal mengernyit. “Apaan missing people? Cari orang hilang
atuh bukan merindukan seseorang gimana dah lo?!” ia menuding
Randika yang hanya dibalas jitakan pada dahi Haikal.
“Tendang aja lah ini bocah dari kelompok.” Cakra mulai kesal.

HEY ROSE | 30
“Lo ini manusia apa bintang kecil sih, Kal?”
“Ngapa lo jadi ngalusin gue Ji?”
“Lo tololnya jauh tinggi menghias angkasa sih.” Jawaban Aji
membuat mereka tertawa.
“Gini nih dikata gue tolol? Nih denger ye. Miss artinya apa?
Rindu, kan? Gue salahnya di mana?” protes Haikal.
“Kagak tauuuu udeh karburator supra mah diem aja paling
bener.” Cakra mulai meninggikan suara. “Sumpah gue lagi nggak
mau rusuh sama lo, Kal.”
“Nih iqro’ milea! Apaan nih missing people artinya?!” saking
gemasnya Aji membuka translate hanya untuk membuktikan
betapa rendahnya IQ Haikal. Lawannya hanya cengengesan kala
membaca layar ponsel Aji yang menunjukkan arti dari kata yang
jadi bahan ributnya.
Naja memijat pelipis melihat mereka yang malah membahas
sesuatu tak penting. Jika mereka tidak bisa diam, bisa-bisa guru
penjaga bisa menegur saking berisiknya dan mengusir mereka dari
sana. Gagal menuntaskan tugas—berakhir dengan nilai kosong.
Sungguh Naja tak ingin ada remidial dikemudian hari karena nilai
tugasnya yang kurang.
Beruntungnya mereka bisa segera menepis situasi gaduh
untuk kembali fokus mengerjakan tugas.
Cakra, Naja, dan Aji yang tengah menggulir situs seketika
berhenti pada berita utama yang masih hangat. Mereka bertiga
saling melempar tatap seperti sama-sama mengoneksikan diri,
kemudian berganti menatap Randika yang sibuk menahan tawa
perkara cerita Haikal dan Jendra—hh masih saja Haikal.
“Guys, I think I found something.” Ucap Cakra mengalihkan
atensi Randika.
“Ya jangan bilang lo nemu kabar orang hilang? Gue gebuk lo!”
jawab Randika yang emosian itu.
Naja berdesis. “Dik, lo pernah cerita tentang pacar Kak Ze
saha eta namanya?” sembari berusaha mengingat.
“Kak Tio? Kenapa deh?”

HEY ROSE | 31
“Yang dapet beasiswa di UK bukan?” sahut Cakra menambahi
kalimat tanya Naja.
Randika mengangguk. “Iya, kenapa sih? Ngomong jangan
setengah-setengah deh.”
Kemudian Naja menggeser laptopnya. Menunjukkan apa
yang telah mereka temukan. Haikal dan Jendra merapatkan duduk,
mendekatkan diri untuk melihat dengan jelas apa yang nampak di
layar.
Inisial nama dari empat orang mahasiswa asal Indonesia
yang hilang.
Demi Tuhan Randika tau keempat inisial itu. Ia menggeleng
tak percaya.
“Kak Tio sama tiga temennya kan kata lo waktu itu? Ini bener
mereka bukan? Tapi, dia udah balik? Kak Tio kan udah balik kemari
juga,” ujar Haikal yang sedikit melirik Randika. Temannya itu masih
terpaku pada layar laptop.
“T? W? M? D? Tio, Wira, Maren, Dhirgam.” Randika mengeja
lirih. “Kenapa ini inisial bisa pas sama nama mereka?”
Mereka hanya saling melempar pandang. Berbeda dengan
Jendra yang mengarahkan pandangnya pada Randika dari samping,
penuh dengan sesuatu yang harusnya ia katakan. Namun,
mengingat asumsinya tak bisa ia benarkan sepenuhnya, ia
menangguhkan sesuatu yang akan ia katakan.
“Jen?”
Yang dipanggil terkejut. “Hah? Apa Dik? Nggak usah dipikir.”
“Bener ini?” tanya Randika.
“Gue nggak yakin. Masih fifty fifty.”
Randika tersenyum kecut. “Salah info kali situsnya ya? Orang
jelas-jelas Kak Tio udah balik kemari dikira hilang. Haha. Nggak
masuk akal sumpah.”
“Lebih baik tanya Kakak lo deh, Kak Tio pernah hilang atau
gimana. Ya bisa aja sih ini situs belum diperbarui gitu.” Saran Aji.
Mereka sedikit setuju dengan Aji, yang mana sebuah situs
pasti ada keterlambatan untuk memperbarui berita-berita yang

HEY ROSE | 32
masuk. Tapi, tidak seharusnya kan situs seperti ini sampai belum
memperbarui berita?
“Dik, gue mau main ke rumah lo lagi boleh? Mau mastiin
sesuatu. I find a lot of strange things, lo tau kan makhluk yang nggak
bisa kita lihat sama kayak manusia. Ada dua jenis, ada yang baik
dan sebaliknya.”
Randika hanya manggut-manggut. Pikirannya masih
bercabang ke mana-mana. Tentang apa yang baru saja ia dan
teman-temannya temukan, juga Jendra yang menemukan sesuatu
aneh di rumah yang ia huni. Jika otak dapat berbicara, ia mungkin
akan meronta—belum lagi tugas sejarah hari ini yang harus segera
dituntaskan.

Sepulang sekolah Randika menceritakan apa yang ia


temukan tadi siang pada si sulung. Zemira dengan tegas menolak
mentah-mentah dan tak percaya pada cerita Randika. Ia
menganggap adik dan teman-temannya hanya iseng untuk
mengerjai dirinya. Tak ambil pusing, Randika pun lebih memilih
tidak mempercayai situs itu karena keyakinan si sulung. Dan
meskipun benar kekasih dari kakaknya itu hilang, mungkin saat ia
berada di Inggris, dan lagi situs itu belum diperbarui, sama seperti
yang dikatakan Aji di sekolah.
Sore yang lebih cepat dari biasanya mereka habiskan untuk
duduk bersama di teras rumah. Membagi keluh kesah si bungsu
pada si sulung. Mendapati sebuah nasehat yang selalu menghangat
dalam diri Randika. Jadi, hidup berdua dengan sang kakak dan jauh
dari kedua orang tua tak seburuk yang ia pikirkan pada hari
pertama ia jalani.
Tak dapat dipungkiri pula bila sejak tadi Zemira
menampakkan wajah khawatir hingga dahinya berlipat—menatap
ponsel. Berkali-kali Randika dapati kakaknya menyalakan dan
mematikan kembali benda ringan itu.

HEY ROSE | 33
Hingga petang tiba, Randika yang baru saja keluar dari kamar
menemukan Zemira tengah bergegas pergi. “Kak Ze mau ke mana
deh malem-malem begini?”
Zemira menoleh seraya memasukkan tangannya pada lengan
jaket. “Mau ke kosnya Tio. Bisa-bisanya dia nggak ngabarin gue dari
kemarin. Gue cari di kampus tadi juga nggak ada, ini lagi si Jefri
lagaknye kayak orang ilang.”
“Kak Tio sama Kak Jefri hilang?” tanya Randika sedikit
terkejut.
“Nggak gitu, Jefri terakhir chat gue lagi nyari Tio, sedangkan
Tio sendiri kagak lagi sama gue. Tau-tau Jefri offline waktu udah
ketemu sama yang dicari—eh malah berdua sekarang nggak ada
nongol di kampus.” Jelas Zemira.
“Kalo gitu Randika ikuttttt!!!” Serunya.
“Iya udah ayo cabut.” Jawab Zemira seraya berjalan keluar
rumah. “Gue tunggu di luar ya, Dek, jangan lama-lama.”
“Iya iya bentar, Kak, Randika mau ambil jaket dulu biar nggak
masuk angin.” Randika berlari ke kamar untuk mengambil
jaketnya, kemudian menyusul Zemira yang rupanya sudah berada
di atas motor untuk menyalakan mesinnya.
Selama hampir setengah jam perjalanan, Zemira dan Randika
berdiri di depan bangunan sederhana dengan dua lantai. Kos
tampak lebih sepi dan sunyi dari biasanya. Tak ada satu orang pun
yang keluar untuk membuka pintu kala berkali-kali bel berbunyi
nyaring. Dengan bel saja tidak ada penghuni kos yang keluar,
apalagi saat ini Zemira mencoba mengetuk pintunya dengan keras.
“Kak, udah sih yuk pulang, nggak ada orang juga emang
kayaknya lagi pada pulang kampung.” Rengek Randika yang tengah
duduk di kursi teras. “Kenapa ya gue merinding gini Kak lama-lama
di sini?”
Tapi, Zemira menolak ajakannya. Gadis itu tak bisa pulang
begitu saja sebelum bertemu dengan kekasihnya. Setidaknya ia tau
bahwa Tio baik-baik saja agar rasa khawatirnya mereda. Zemira

HEY ROSE | 34
mencoba menghubungi Tio lagi, namun tak ada balasan,
menghubungi Jefri pun sama saja.
Langit hitam pekat, tak mendung juga tak ada kabut yang
turun. Angin malam menusuk pori-pori kulit hingga Randika
mengusap-usap kasar lengan tangannya yang terbuka sebab ia
tanggalkan jaketnya. Ia bangun dari kursi, meregangkan tubuh,
merotasikan bola mata kesana kemari. Kala mata legamnya
berotasi ke arah bangunan, ia tak sengaja melihat jendela lantai
dua, ada sesuatu yang kontras—lampu yang tiba-tiba menyala lalu
padam setelahnya.
“Kakak!!” Randika berseru menunjuk ke arah jendela. “Itu
itu!!”
“Ngagetin gue aja lo. Kenapa? Ada apa?”
“Di antara dua jendela itu, kamar Kak Tio sebelah mana? Tadi
teh lampunya nyala terus mati gitu, Kak.” Jelas Randika.
Lantas Zemira mengarahkan telunjuknya pada jendela di
samping jendela ruang yang dimaksud Randika. “Yang itu.”
“Bukan yang itu?”
“Itu mah kamar Jefri. Gimana sih padahal lo pernah ke sini
tapi nggak inget?!”
“Ya lagian udah lama Kak ish,” dengkus Randika.
Mereka berdua saling bertukar tatap sebelum Zemira
mengomel dan mengeluarkan ponselnya lagi. Gadis itu mengernyit
tampak berpikir. Jika Jefri ada di kamar kosnya, mengapa lelaki itu
sama sekali tak bisa dihubungi? Pertanyaan tentang mengapa Jefri
juga tak membukakan pintu rumah kala seseorang dengan kasar
membunyikan bel berkali-kali, mengetuk pintu dengan keras
hingga tangan Zemira memerah.
“Kakkkkk!!!” Randika terjingkat, melingkarkan tangannya di
lengan Zemira.
“Apalagi sih, Dek?!” kesal Zemira karena dirinya ikut terkejut
sebab suara Randika mengusik keheningannya.
“Lo denger nggak barusan?” Randika sengaja memejamkan
matanya dengan masih memeluk satu lengan kakaknya. “Kak,

HEY ROSE | 35
sumpah horor banget ayo pulang aja mending. Ini gue udah
merinding sekujur tubuh tau nggak?!”
“Kak ... serius barusan gue denger kayak minta tolong gitu
deh. Di telinga gue, Kak. Ada yang ngebisikin gue.” Randika terus
merengek.
Zemira berdecak dan berusaha melepas tangan Randika
meski hasilnya nihil. Membuang nafas kasar setelahnya. “Dika
astaga please lepasin dulu deh ini. Ah lo! Tau gitu gue ke sini sendiri
aja!” Zemira benar-benar kesal sekarang.
Tak ada satu chat pun yang masuk. Baik dari Tio maupun
Jefri. Tak ada balasan dari mereka meski sudah mencoba
menghubungi lagi. Gadis itu mengeluarkan cermin pemberian Tio
yang selalu ia bawa ke mana saja. Memantulkan cahaya lampu teras
hingga sampai pada jendela kamar kekasihnya dengan maksud
memberi tanda bahwa ada seseorang tengah menunggunya di
bawah.
Nihil. Itu tak berhasil. Lantas diarahkannya cermin itu pada
jendela kamar Jefri. Belum sampai pantulan cahaya memantul ke
kaca jendelanya, suara khas seseorang yang ia kenal seketika
terdengar jelas di telinga Zemira. Membuatnya menjatuhkan
cermin yang ada di genggaman tangan.
Ze... tolong....
Randika yang masih memeluk lengan Zemira ikut terhenyak
kala mendengar suara benda jatuh membentur tanah. “Kak?”
“L-lo tadi bilang denger s-suara apa?” tanya Zemira dengan
terbata-bata.
“Kak ih kenapa?” rengek Randika.
“Denger suara apa gue tanya?!”
“Ada yang minta tolong.” Lirih Randika setengah ketakutan.
Zemira menatap adiknya, ia merasakan tangan Randika yang
sedikit bergetar dan kian mengerat karena ketakutan. Lantas ia
gandeng tangan si bungsu dan berjalan mendekat pintu utama.
“K-kak Ze mau ngapa—“
BRAKKK

HEY ROSE | 36
Suara pintu terbanting terdengar nyaring, entah memakai
kekuatan apa Zemira sampai ia bisa mendobrak dan membuka
paksa pintu bangunan itu. Dirinya tak peduli bila penghuni kos
akan marah padanya. Siapa suruh mereka tak membukakan pintu?
Pikirnya. Ini adalah kali pertama Zemira berbuat senekat ini.
“Tio?”
“Jefri?”
“Ini gue, Zemira. Sorry gue maksain diri buat masuk.”
Gadis itu memanggil Jefri juga Tio berulang kali tapi tak ada
yang merespon.
Lampu di dalam rumah sangat redup. Zemira tak ingat kapan
terakhir ia mengunjungi tempat ini karena semuanya cukup
berbeda dan tampak asing baginya. Mereka berdua naik ke lantai
dua. Hanya ada dua kamar saling berhadapan. Kamar Tio dan
kamar Jefri. Langkah mereka yang semakin dekat dengan kamar,
Zemira mencium aroma sesuatu yang aneh. Aroma yang tak asing
bagi siapa saja yang pernah menciumnya.
“Dika tutup hidung lo.” titah Zemira dan dengan cepat
dilaksanakan oleh adiknya.
Aromanya menguar semakin pekat saat jarak mereka yang
semakin terpangkas. Dupa dan bau anyir entah dari mana asalnya.
Ada sesuatu dari bau itu yang membuat Zemira mual. Jika dibilang
takut, saat ini ia sangat takut hingga ingin pingsan dan enyah saja
rasanya.
Sejak kapan dua orang yang ia kenal memberi aroma dupa di
ruang kamar mereka? Juga mengapa bau dupa bisa berpadu
dengan aroma anyir bak darah yang masih segar.
Setelah tepat berada di depan pintu kamar, baru Zemira
rasakan bahwa aroma dupa dan anyir berasal dari kamar Jefri.
“J-Jef? Lo ada di dalem?” bisik Zemira sesekali mengetuk
pintunya pelan.
Tak ada jawaban. Perasaan campur aduk dengan jantungnya
yang berdegup cukup kencang membuat tubuhnya bergetar hebat.
Ia tidak bisa berbohong dengan rasa khawatir yang kian memuncak

HEY ROSE | 37
karena aroma-aroma yang tengah ia hirup. Apakah Jefri ada di
dalam? Apakah ia baik-baik saja? Dengan berani, Zemira meraih
knop pintu kamar Jefri meski dirinya tak yakin antara iya dan tidak.
“Zemira?”
“AAAAAA!!” Zemira berjingkat kaget dan refleks menjerit. Ia
terkejut setengah mati karena tangannya tiba-tiba di tepis oleh
seseorang.
“AAAAAA KAK ZE APA KAK?!” Randika ikut berteriak tentu
saja dan hampir menangis menyembunyikan wajahnya di bahu
Zemira.
“Tio lo ngagetin!” dengkus gadis itu kesal.
Mendengar itu, Randika mengangkat wajahnya lantas
menghela nafas lega. Tangannya mengusap-usap dadanya,
berusaha mengembalikan ritme jantungnya agar kembali normal.
Dahinya sudah basah dengan titik-titik bening. Sembari mengusap
peluhnya, Randika menjajari Zemira, keluar dari balik tubuh
kakaknya.
“Ngapain di sini?” tanya Tio datar dengan wajah tanpa dosa.
“Nyariin lo an—“ hampir saja Zemira mengumpat.
“Kak Tio sumpah kos lo nyeremin, Kak!” dengkus Randika.
“Sini.” Tio langsung menggandeng tangan Zemira dan
Randika untuk masuk ke dalam kamarnya.
“Udah malem, kalian berdua tidur di sini aja. Besok subuh
aku anter.”
Tanpa basa-basi, Zemira meledakkan amarahnya. Rasanya
darah berdesir naik ke permukaan otak dan tengah mendidih. “Ke
mana aja sih?! Seharian ke mana aja? Nggak bisa dihubungi terus
nggak ketemu juga di kampus! Kamu ke mana? Nyamperin di kos
juga nggak dibuka-bukain pintunya, tau-tau ada di dalem!”
Tio menghela nafas. “Iya maaf,” jawabnya singkat. “Nih
cermin kamu.”
Tio memberikan cermin Zemira yang terjatuh di bawah tadi.
Gadis itu hanya mengernyitkan alisnya, kemudian ia berpikir. Ia
merasa bahwa menjatuhkan cerminnya di bawah dan tak sempat

HEY ROSE | 38
mengambil benda itu. Jika Tio sedari tadi berada di kamar,
bagaimana ia bisa mengambil barang yang ada di bawah? Kenapa
bisa? Kenapa juga ada bau dupa dan anyir di kamar Jefri?
Situasi tak masuk akal apa yang sedang ia hadapi kini?
Belum sempat Zemira bertanya, matanya tak lagi bisa
menahan rasa kantuk yang datang tiba-tiba. Ini aneh, gadis itu
sebenarnya sadar bila dirinya dalam keadaan tak ada rasa kantuk
saat pergi mengunjungi kekasihnya. Terlalu mendadak untuk
mencerna hal-hal yang masih mengganjal. Tapi, bagaimana lagi?
Baik Zemira atau Randika, keduanya kalah dengan rasa kantuk
yang menyerang.
Randika tengah terbaring di atas ranjang, sedang Zemira
masih berusaha menegakkan tubuhnya. Tio? hanya berdiri di
ambang pintu seperti menunggu mereka tertidur dan pergi ke
alam mimpi.
Gadis itu menguap beberapa kali. Ia rebahkan tubuhnya pula
saking lelahnya. Dan sebelum kelopak matanya terpejam, suara itu
datang lagi. Suara seseorang yang sedang memanggil namanya,
suara yang sangat ia kenali dan tak asing ditelinga.
Zemira....
Ayo bangun....
“Tio, aku baru saja tertidur tapi mengapa kamu menyuruhku
untuk segera bangun?”

Aneh rasanya bila Tio tiba-tiba menghadiahi seikat bunga


mawar pada Zemira karena biasanya lelaki itu memberikan bunga
pada hari-hari istimewa mereka saja. Selepas kelas, Jihan
memberikan seikat bunga hidup kepada Zemira, Tio sedang
terburu dengan urusannya sehingga lelaki itu menitipkan bunga
pada Jihan.

HEY ROSE | 39
“Gitu ceunah. Dia lagi mau ke mana gitu ya gue lupa.” Jelas
Jihan. “Sebenernya gue ketemu Tio aja takut, serem pisan ih
matanya.”
“Lo sama Iren nggak ada bedanya ye? Serem dari mana gitu?”
Jihan berdecak. “Oh iya ada pesannya ini. Bunganya nggak
bisa layu ceunah.” Imbuhnya tanpa menjawab pertanyaan yang
Zemira lontarkan.
“Ada banget bunga nggak bisa layu?”
“Ya itu kata cowok lo yang tidak masuk akal itu. Gue rasa dia
langi ngalus deh?” ujar Jihan. “Udah-udah gue buru-buru juga ini
masih ada kelas.”
Jihan melambaikan tangan tepat setelah Zemira
menganggukkan kepala.
Sepeninggalan temannya, ia merenung menatap seikat bunga
mawar putih yang ada pada genggamnya kini. Membolak-balikkan
dan memutar bunga itu, menghirup aroma yang menguar, lantas
menjauhkan lagi makhluk hidup itu dari indera penciumannya.
Zemira merogoh ponsel di saku celana sembari berjalan di koridor.
Tio mengirim sebuah pesan, rupanya ia tengah memastikan
bahwa bunga yang ia beri telah sampai di tangan Zemira. Tanpa
menyia-nyiakan kesempatan, gadis itu langsung saja
menyambungkan panggilan. Ada hal yang ingin ia tanyakan.
“Halo? Kenapa Ze? Gimana bunganya suka?” ujar Tio di
seberang sana.
“Iya suka, kenapa tiba-tiba gitu?”
“Emang kenapa? Nggak boleh ya?” yang ditanya malah
melempar tanya.
Zemira tertawa. “Ya aneh aja kamu ngasih bunga di hari yang
bukan anniversary kita atau hari spesial yang lain. Tapi, iya aku
suka.” Ia mengangguk meski lawannya tak dapat melihatnya.
Terdengar Tio merekahkan tawanya. “Taruh di vas kamar
ya?”

HEY ROSE | 40
“Iya.” Jawab Zemira singkat. “Oh iya kamu tau Jefri nggak?
Aku nggak pernah ketemu di kampus, dia ada di kos? Jangan
cemburu ya, aku lagi tanya aja soalnya terakhir dia chat—“
“Dia pulang kampung.” Suara Tio menyela, intonasi pria itu
terdengar berubah. Zemira dapat merasakannya.
“Suddenly? Dia nggak papa tiba-tiba pulang? Kayak bukan
Jefri banget deh.”
“Udahlah Ze nggak perlu urusin hidup orang.”
Jika Tio sudah berkata seperti itu, Zemira dengan berat hati
menyudahi obrolan mereka dari pada terjadi adu argumen dan
pertengkaran lainnya. Ia tak ingin menyakiti hati kekasihnya
dengan membahas perihal hilangnya Jefri, mantan kekasihnya itu.
Zemira memutus sambungan saat Tio pamit untuk mengikuti kelas
lagi.
Huh....

Akhir-akhir ini cuaca sedang buruk. Hujan disertai angin


kencang, terkadang dihadiri oleh gemuruh petir juga. Cuaca yang
sangat tidak disukai oleh Zemira meski ia menyukai hujan. Sendiri
di rumah, ia sedang menunggu kabar dari si bungsu. Adik dari
Zemira itu berada di rumah Naja. Sepulang sekolah tadi ia bersama
teman-temannya langsung pergi tanpa pulang ke rumah. Agar tak
menyia-nyiakan waktu dalam mengerjakan tugas kelompok
mereka, alibinya. Namun hingga detik ini ia tak kunjung meminta
Zemira untuk menjemputnya.
Pukul delapan malam Zemira menyusuri tiap sudut teras
rumahnya. Berjalan mondar-mandir sembari terus menghubungi
Tio untuk memintanya menjemput paksa si bungsu. Padahal kala
Zemira menghubungi Randika, lelaki itu meminta waktu lebih lama
lagi untuk berada di rumah Naja meski tugasnya telah diselesaikan.
Tetapi, Zemira tetap memaksa si bungsu untuk pulang karena
baginya sudah larut malam untuk Randika berada di luar rumah.

HEY ROSE | 41
Zemira tak pernah merasa sekhawatir ini. Banyak hari ia
lewati dengan rasa khawatir yang berlebihan meski ia sudah
berusaha menenangkan diri. Aneh saja rasanya jika jauh dari si
bungsu. Ada rasa takut dan tak ingin kehilangan sang adik tercinta.
Perasaan yang datang tiba-tiba tanpa ada sebab dan alasan yang
pasti. Namun gadis itu berfikir bila apa yang ia rasakan adalah hal
yang wajar karena emosinya yang sedang tidak stabil.
Sembari menunggu Tio datang memulangkan Randika, ia
kembali pergi ke ruang kamarnya untuk sekedar merebahkan diri.
Menatap langit-langit kamar dan larut dalam lamunan.
Tak lama terdengar suara seperti ketukan pintu yang ia
yakini berasal dari ruang kamarnya karena suara itu terdengar
jelas dan cukup keras. Ia bangun dari tidurnya, telinganya mencoba
fokus untuk menangkap bias suara itu namun sia-sia, ia tak dapat
mendengarnya lagi. Suara ketukan menghilang.
Gadis itu memutuskan untuk beranjak dan berjalan
mendekati jendela kamar. Ditatapnya jalanan sepi depan
rumahnya itu. Tak ada kendaraan yang lewat meski lampu jalan di
kompleksnya menyala dengan sangat terang. Pandangannya masih
berpendar keluar sana dan hanyut dalam lamunannya lagi.
Semakin ia larut dalam lamunan, semakin dirinya merasa seperti
tengah dikerumuni banyak orang. Tubuhnya mulai terasa gerah
dan sesak akan perasaannya sendiri.
Zemira lantas membuka kaca jendela kamar.
Suara angin berdesir lirih masuk melalui gendang telinganya.
Namun, bukan hanya suara segerombol angin saja, ada bias suara
lain menyerupai sebuah bisikan yang membuatnya terjingkat dan
sontak berjalan mundur menjauh dari daun jendela. Manik
hitamnya membulat, ia masih menatap jendela yang tengah
terbuka dengan gorden menari-nari akibat terpaan angin.
“S-siapa?” lirih Zemira.
Kedua mata Zemira masih terus terpusat pada luar jendela
dan sekelilingnya. Tiupan angin mulai berangsur reda terbukti
dengan gorden yang lelah akan tariannya.

HEY ROSE | 42
Zemira menelan ludah kasar ketika sang retina menangkap
sebuah bayang yang tiba-tiba menampakkan diri dari luar. Seketika
menembus jendela dan memijakkan diri tak jauh di depan Zemira.
Ia mematung dengan apa yang ia lihat.
Itu bayangannya sendiri—tidak! itu bukan bayangan Zemira
karena dirinya baru saja memastikan bila semu hitamnya masih
ada bersamanya. Sosok itu seperti refleksi dirinya kala tengah
bercermin.
Perempuan yang tengah menatap lekat Zemira adalah
dirinya sendiri. Mereka berdua hanya saling melempar tatap.
Apakah ini sebuah halusinasi? Atau memang Zemira tengah
bertemu dengan dirinya yang lain? Zemira hanya merasa kakinya
bergetar sebab tak kuasa menahan tubuhnya sendiri.
Sosok itu sama sekali tak mengedipkan diri, tak juga
membidik yang lain.
Tubuh Zemira lunglai, dirinya limbung hingga kesadarannya
menghilang.

Tik tok...
Tik tok...
Suara jarum jam dinding di kamar Naja terdengar begitu
nyaring.
“Jadi gitu, lo cuma perlu ngerasain.” Akhir kalimat Jendra.
Usai menyelesaikan tugas kelompok, mereka berkumpul
duduk melingkar. Ghost hunter genk, keenamnya ada di sana.
Duduk bersila, dengan satu lilin menyala berada di tengah-tengah
mereka. Tidak, mereka bukan sedang melakukan ritual atau hal
yang menyimpang lainnya, melainkan di kompleks Naja sedang
terjadi pemadaman lokal, yang membuat mereka mau tak mau
memakai lilin sebagai penerang sementara.
Berbeda dengan teman-temannya yang lain, Randika si
paling yang tak bisa duduk dengan santai. Si yang lebih penakut

HEY ROSE | 43
dari kelima temannya. Randika duduk berdempet di antara Jendra
dan Haikal, melingkarkan tangannya ke lengan Jendra. Mereka
tengah berbagi cerita, lebih tepatnya Jendra yang menceritakan
pada teman-temannya tentang sosok yang tak bisa dilihat dengan
panca indera.
Bagaimana mereka hanya perlu percaya saat merasakan
kehadirannya. Bagaimana mereka hanya perlu percaya bahwa
sosok yang tak bisa kita lihat juga selalu hidup berdampingan
dengan manusia.
Dengan cerita seperti ini ditambah suasana gelap yang
sebagai pendukung, membuat aura sekitar pun tak lagi sama.
Bukan hanya itu, suara gesekan ranting pohon turut serta membuat
si penakut Randika ini sesekali terkejut.
“Udah ah nggak perlu dilanjutin, demi Tuhan gue udah
merinding dari tadi.” Protes Randika.
“Dik, for your information nih, semakin lo takut biasanya
makhluk halus makin tertarik buat ngegoda lo.” ujar Cakra dengan
ujung bibir terangkat. Ia sangat suka menggoda temannya yang
penakut itu. “Kayak ... ihhh ini nih ada cowok penakut! Godain aja
apa ya?”
“Ck, lo mah sukanya nakutin gue mulu. Gue tuh masih
ngerasa merinding karena terus keinget kejadian di kos Kak Tio.”
Randika bergumam sembari menurunkan arah pandangnya.
Sejenak mereka semua diam memusatkan atensi pada
Randika karena mendengar apa yang lelaki itu gumamkan. Mereka
seperti siap menyimak cerita yang akan ia bagikan. Nampak jelas
raut wajah serius dengan manik yang enggan menatap objek lain.
Randika melempar pandang pada teman-temannya secara
bergantian. “Cie—nungguin?” Randika tertawa.
Ctakk!!! Satu sentilan dari Jendra mendarat di dahi Randika.
Ia sepertinya sudah kelewat kesal. “Cepet cerita nggak?!” Desaknya.
Randika berdecak dengan mengusap-usap dahinya. “Jadi,
waktu itu gue ke kos Kak Tio karena kakak yang minta. Sebenernya
dia mau pergi sendiri sih, tapi masa gue mau ditinggal sendiri di

HEY ROSE | 44
rumah? Nggak lah nggak mau! Kosnya tuh ya ternyata serem bener
sekarang, padahal gue dulu sering ke sana.”
“Kayak udah nggak berpenghuni. Udah tuh nunggu lama, gue
bosen akhirnya nengok ke arah lantai dua, gue pegel banget. Dan lo
tau? Salah satu jendela yang katanya kamar Kak Jefri itu lampunya
nyala bentar terus mati.”
“Gue udah nggak pernah ke kosnya jadi gue lupa gimana
bentukan ruangannya dulu sama yang sekarang. Kayaknya udah
beda gitu, dari auranya aja udah beda.” Ceritanya dengan mimik
yang meyakinkan.
“Ini sumpah serem karena gue tiba-tiba denger ada suara-
suara gitu, mana ada suara minta tolong lagi. Kalo kata lo tadi Jen,
kita cuma perlu ngerasain aja, kan? Kayaknya waktu itu beneran
gue bisa ngerasain kehadiran makhluk lain deh, even tho gue nggak
tau pasti rasanya mereka hadir itu gimana. Dan lebih seremnya lagi
waktu masuk ke kosnya, ada bau dupa woy anjir.”
“Gue beneran merinding waktu Kak Tio tiba-tiba muncul.
Kayak, lo ke mana aja sih Kak dari tadi dipanggilin kagak muncul-
muncul?” Randika tengah merasakan bulu halus di tangannya
menegakkan diri lagi.
Cerita singkat dari Randika cukup membuat kelima
temannya menganga.
“Sorry Dik kalo gue bilang ini, tapi kayaknya emang ada yang
aneh.” Tukas Jendra mengungkapkan sedikit tentang apa yang ia
rasa. “Dari yang kita temuin waktu itu di situs, terus ditambah ada
sosok yang nggak pernah gue temuin dan nggak pernah ada di
rumah lo tiba-tiba ada aja gitu.”
“Aduh bentar pelan-pelan elah otak gue makin malem makin
2G.” Itu Haikal yang baru saja menguap. “Terus ini maksudnya
pacar Kak Zemira yang aneh? Lieur ih.”
Jendra lagi-lagi harus bungkam dengan pertanyaan Haikal.
Bukan ia tak bisa menjawab, hanya saja ia perlu waktu setidaknya
untuk meyakinkan apakah asumsinya benar atau tidak.

HEY ROSE | 45
Percakapan mereka pun mendadak terjeda dan seketika hening,
larut dalam pikirannya masing-masing.
Ting tong
Bel rumah Naja berbunyi. Membuat seisi kamar terjingkat
kaget karena suara yang mendadak nyaring kala mereka sedang
serius-seriusnya membicarakan tentang kejadian itu. Mereka
saling melempar pandang satu sama lain.
“Kak Tio deh kayaknya, soalnya Kak Ze tadi maksa
ngejemput.” Randika menginterupsi.
“Lo jadi dijemput dia?” tanya Aji. “Kak Tio beneran?”
“Ya beneran, masa boongan?” Randika merapikan beberapa
bukunya yang masih berserakan, lantas memasukkannya ke dalam
tas. “Gue balik dulu ye Bos!”
“Lo beneran nggak papa, Dik? Beneran nih?!” seru Aji yang
seolah mengkhawatirkan temannya. Mengingat sedikit cerita yang
Randika bagikan tadi, juga sesuatu yang mereka temukan kapan
hari di situs UK.
Randika yang sudah beranjak itu hanya mengangkat ibu jari
dan berjalan membelakangi teman-temannya. Lantas Naja turut
mengantarkan sampai depan pintu utama. Ia sempat bertemu
dengan Tio, bahkan menjabat tangannya karena mereka bertemu
tatap dan Tio yang mengulurkan tangannya. Sempat pula Naja
menatap manik hitam Tio yang sorot matanya tak dapat ia jelaskan
dengan kata-kata.
Dingin.
Tangan Tio sangat dingin. Entah karena ia terlalu lama
terkena angin malam, atau ada alasan lain, Naja hanya menerka-
nerka.
Randika dan Tio berjalan menuju mobil yang terparkir di luar
halaman rumah Naja. Sembari berjalan, Tio membawa kepalanya
untuk menoleh ke belakang, bukan ke arah Naja yang masih berdiri
di teras, melainkan mengarah pada jendela ruang minim cahaya.
Menangkap Jendra yang tengah memperhatikan dari dalam sana.

HEY ROSE | 46
Seperti memiliki sebuah insting kuat, dengan tatapan tajam
yang khas, Tio menyeringai sebelum keluar dari pelataran dan
pergi dari sana.
Sepeninggalan Randika, Naja buru-buru masuk ke dalam dan
kembali mengunci pintu rumahnya.
“Woy woy woy tangan dingin artinya apa?!” Naja yang sangat
heboh usai mengantar Randika ke depan rumah. Ia berlarian
menuju ruang kamarnya.
“Tandanya lo abis ini dapet duit.” Jawab Cakra.
“Tangan gatel ieu mah. Lagian lo lagi ngode ke siapa sih, Na?
Di mari laki semua kagak bakal ada yang mau meluk lo,” ujar Haikal
sembari melempar selimut yang tersampir di ujung ranjang. “Tuh
selimut kalo lo kedinginan. Dasar aneh!”
Naja melempar balik selimutnya. “Tangan Kak Tio kata gue
yang dingin banget. Terus juga dia tadi smirk ke Jendra kalo gue
nggak salah lihat. Iya kan, Jen?”
Sontak mereka menoleh ke arah Jendra yang masih berdiri
bersandar dengan pandangan yang masih mengendar ke luar.
Lelaki itu hanya diam tak menjawab pertanyaan Naja. Tampaknya
ia tengah melamun dan berpikir.
“Woy Jen!” seru Aji yang langsung membuat lamunan Jendra
terpecah.
“Hm?” Jendra menatapi teman-temannya bergantian.
“Apaan? Lo pada mau tau?”
Sengaja memberi jeda. “Itu bukan Kak Tio.” Imbuhnya
singkat.
“Terus saha?” Haikal yang tengah berbaring pun seketika
mendudukkan diri mendengar kalimat yang dilontarkan oleh
Jendra.
Namun, lelaki itu lebih memilih untuk tidak menjawab
pertanyaan Haikal. Ia kembali melempar pandangnya pada luar
jendela. Seperti ada banyak yang Jendra tau dan sengaja ia
membungkam diri untuk menyembunyikan sebuah fakta atau opini
dari mereka semua. Bagi dirinya, tak akan membuahkan sesuatu

HEY ROSE | 47
yang baik bila ia bercerita pada teman-temannya. Ini bukan waktu
yang tepat untuk mereka tau.
Dan lagi, belum waktunya mereka menunjukkan jati diri
mereka.
He dealing with the same hell, just different devils.

HEY ROSE | 48
YOU ARE NEEDED

Keluar dari ruang dosen, bukannya langsung kembali ke kelas,


Zemira malah mengeluarkan cermin pemberian Tio.
Menyempatkan diri untuk merapikan rambutnya yang sama sekali
tak terlihat acak-acakan dan masih rapi itu. Berjalan dengan
menatap dirinya di cermin yang masih ia genggam sembari
bersenandung.
“Hey Rose~”
“Ahhh lagu kesukaan Tio itu mah. Tapi, nggak papa sih, suka
nggak lo kalo gue nyanyiin?”
Ya, Zemira berbicara pada benda mati itu. Mungkin jika orang
lain melihatnya seperti sekarang ini, mereka akan menganggap
Zemira terganggu kejiwaannya.
Gadis itu terus menatap pantulan wajah cantiknya di cermin,
lantas mengernyitkan alis kala menangkap pantulan lain di
belakangnya tengah terjadi keributan yang entah apa sebabnya.
Zemira menoleh, melihat dari jauh sepasang suami istri yang baru
saja masuk ke dalam ruang dosen. Dengan diikuti banyak
mahasiswa di belakangnya.
Awalnya ia tak ingin tau apa yang terjadi, ia hanya akan
mengandalkan gosip mulut ke mulut dari teman-temannya. Ia
simpan kembali cerminnya, lantas merogoh ponsel yang ada di
sakunya. Sambil berjalan keluar dari Gedung Rektorat, tak lupa ia
bertanya di group chat perihal keributan yang ada
“Ya kalo gue jadi bokap nyokapnya Maren juga bakal nuntut
kampus.”
Begitu yang Zemira dengar dari segerombol mahasiswa yang
baru saja melewati dirinya. Ia tak salah dengar kala mereka
menyebut nama Maren.
“Maren? Maren temennya Tio teh maksudnya?” gumamnya.

HEY ROSE | 49
Dengan langkah kaki cepat, ia memutar jalannya untuk
kembali menuju ruang dosen. Banyak mahasiswa berkerumun di
sana. Semakin langkahnya mendekat, semakin terdengar pula
seruan tak terima dan histeris dari seorang ibu yang meluapkan
rasa tidak terima dengan anaknya yang seharusnya sudah kembali
ke tanah air tercinta.
“Saya akan menuntut kampus ini jika perlu!”
Hanya kalimat lantang dengan intonasi tinggi itu yang masuk
ke dalam indera pendengaran Zemira. Ia masih bertanya-tanya,
sama halnya para mahasiswa yang berkerumun di sana. Sebelum
akhirnya pria paruh baya yang ia yakini sebagai ayah dari Maren
mengeluarkan kalimat yang bahkan membuat Zemira terkejut
kaget.
“Bagaimana bisa kalian lepas dari tanggung jawab?! Kalian
telah membunuh anak saya!”
Mulut Zemira menganga yang kemudian ia tutup dengan
kedua tangannya. Bahkan tubuhnya limbung sekarang. Maren
memang bukan teman dekatnya, tetapi ia mengenal baik teman-
teman dari kekasihnya. Terlebih, Maren adalah lelaki yang disukai
Lyra; sahabatnya.
Dengan langkah gusar dan tatapan tak percaya, Zemira
mencoba bersikap tenang dan mempersiapkan jawaban apa yang
akan ia ucapkan kala bertemu dengan ketiga temannya. Mereka
saja saat ini sudah heboh hanya melalui group chat perihal
keramaian yang terjadi.
“Ze.”
Seorang lelaki berdiri menghadang dirinya, membuat Zemira
yang tengah berjalan menunduk itu sedikit terjingkat. Ia seperti
kehilangan kesadaran. Melamun dan entah arah pikirannya ke
mana.
“Kenapa lo?” Doni, menghentikan langkah Zemira. “Ze?
Halo?” Ia menggerakkan tangannya tepat di depan wajah Zemira,
karena gadis itu.
“O-oh Doni? Kenapa? Eh?”

HEY ROSE | 50
“Ya lo yang kenapa? Lo nggak papa? Muka lo pucet banget.”
Zemira kebingungan. Apakah orang yang di hadapannya ini
sudah tau mengenai berita yang baru saja ia dengar tentang Maren?
Jika sudah mengapa Doni bisa setenang ini?
“G-gue nggak papa.” Jawab Zemira terbata-bata. “ Eh-eh Don,
Maren—“
“Meninggal.”
Deg!
Jantungnya bak dihantam sebuah batu yang besar. Sesak.
Dadanya terasa sesak mendengar satu kalimat dari Doni. Jadi
benar?
“Lo udah tau?” tanya Zemira awalnya ragu.
Doni mengangguk yakin. “Gue dari tadi nyariin lo juga karena
ini. Tio di mana? Dia pasti terpukul karena Maren deket banget
sama dia selama di UK.”
Bias suara Doni bergetar. Ia tak mampu melanjutkan
kalimatnya lagi. Doni benar, Maren adalah orang terdekat kala Tio
berada di UK. Bahkan kekasihnya itu tak pernah absen
menceritakan dirinya bersama Maren di sana. Kini pikiran Zemira
tertuju pada Tio.
Zemira memijat pelipisnya. “Gue baru inget kalo Maren
paling deket sama Tio selain lo.”
“Tio absen tadi, dia nggak bisa dihubungi sama sekali.”
Ungkap Doni. “Tapi, gue yakin dia belum balik ke kos. Lo nggak tau
Tio di mana sekarang? Siapa tau dia ngabarin lo.”
“Lagi? Dia absen lagi?” tanya Zemira dengan sedikit
menaikkan suaranya.
“Dia ke kampus kok, cuma absen satu matkul doang, Ze.”
Terang Doni. “Oh iya gue mau ketemu nyokap bokapnya Maren
dulu. Kalo lo ketemu Tio di kampus, coba tenangin ya? Gue takutnya
dia lagi sendirian sekarang,” pinta Doni yang langsung
meninggalkan Zemira dengan tepukan di bahunya.
Bagi Zemira, apa yang disampaikan Doni adalah sebuah
amanat. Amanat tentang bagaimana caranya ia harus menemukan

HEY ROSE | 51
Tio meski ia sendiri tak yakin akankah bisa ia mencari keberadaan
kekasihnya saat ini.
Tiap sudut kampus telah berjejak kaki Zemira. Tio masih tak
menampakkan batang hidungnya. Lelah, ia putuskan untuk duduk
di kursi taman sendirian dengan angin sepoi-sepoi yang
menerbangkan rambut terurainya dan tanpa permisi menelusup
pori-pori kulitnya.
Mengeluarkan cermin, ia penasaran dengan apa yang
dikatakan Doni tadi tentang wajahnya yang begitu pucat.
Ya. Wajah Zemira sangat pucat sekarang, padahal tubuhnya
sudah merasa lebih baik, dirinya hanya merasa kelelahan karena
mencari Tio kemana-mana. Dan mungkin juga karena berita
sempat mengejutkan dirinya.
Ia pejamkan kelopak mata indah dengan bulu lentiknya
sembari merasakan kesegaran udara yang tak ada habisnya.
Zemira duduk bersandar dengan sesekali meniup anak-anak
rambut yang berlarian menutupi wajahnya.
“Ze.”
Zemira membuka mata kala mendengar suara bisikan lelaki
yang sangat jelas terdengar di telinganya, namun kala ia menoleh
kesana kemari mencari sumber suara, tak ada siapa pun di sana.
Akhir-akhir ini, entah mengapa telinganya sangat sensitif dengan
suara-suara yang hadir entah dari mana. Sebenarnya bukan hanya
pendengarannya, tetapi juga indera penglihatannya. Zemira
mengerjapkan matanya berkali-kali. Mengucek kedua matanya
untuk memastikan bola matanya dalam keadaan normal.
Pandangannya memendar jauh ke depan sana.
Ia tak salah lihat. Postur tubuhnya sangat familiar.
Maren, berjalan memunggungi Zemira. Kemudian gadis itu
beranjak, berlari untuk mengejar teman dari kekasihnya. Berjalan
melangkah pada bekas ruang laboratorium yang sekarang kosong
dan tak lagi difungsikan.
Sendiri, lelaki itu sendiri. Kini berdua dengan Zemira yang
sengaja mengikutinya.

HEY ROSE | 52
“M-Maren?”
Lelaki yang dipanggil namanya sama sekali tak menoleh.
“Maren? It’s you?”
Zemira memanggilnya lagi sebelum ia sadar dengan kejadian
di Gedung Rektorat, juga kabar dari Doni. Maren sudah meninggal,
lantas siapa yang tengah ada di depannya kini? Gadis itu menelan
ludahnya, ia berjalan mundur selangkah demi selangkah. Demi
Tuhan ia sangat takut ketika sosok yang ia anggap Maren itu mulai
membalikkan badan.
Cairan merah keluar dari telinga kanannya, kemudian
separuh wajah juga lengannya. Zemira melihat dan mengingatnya,
lelaki itu tampak seperti Maren, tapi ia juga tidak yakin karena
setengah dari wajahnya tertutup oleh cairan kental itu.
“You are here?”
“I’m here waiting for you.”
“Get out of that mirror.”
“Come with me. Stay with me here. I’m on my own. Keep me
company so i’m not alone.”
Ia tidak sedang berbicara pada Zemira. Melainkan merapal
beberapa kalimat untuk memanggil sosok yang ada di dalam
cermin genggam milik Zemira. Lelaki itu menyeringai meski tak
sepenuhnya ia berbalik. “Look, she is happy to be around you.”
Tukasnya.
Tubuh Zemira lemas, kepalanya mendadak pening. Ia tak bisa
menahan tubunya. Kesadarannya mulai menghilang. Tubuhnya
terjatuh, bersamaan dengan itu ia mendengar suara langkah kaki
masuk ke dalam ruangan. Dalam kesadaran yang mulai
menghilang, Zemira merasakan ada uluran tangan yang kini
mengangkat tubuhnya. Kedua sorot matanya masih menghadap
pada sosok itu meski sebagian pandangannya tertutup oleh dada
seseorang yang tengah menolongnya.
“Zemira, bangun....”
Suara itu lagi.

HEY ROSE | 53
Demam, sakit menyerang Zemira lagi setelah kejadian yang
terjadi di ruang laboratorium. Saat itu rupanya Tio yang membawa
gadisnya keluar dari sana. Menggendongnya dan mengantarkan
Zemira pulang ke rumah. Lelaki yang dicari-cari hari itu
menampakkan diri di saat ia berada di ruang kosong sendirian.
Berkali-kali Zemira menceritakan apa yang terjadi hari itu
pada kekasihnya, tentang ia yang melihat Maren masuk ke dalam
ruangan itu, dan tentang apa yang ia lihat. Tio menyangkal dan
mengatakan bahwa semua yang terjadi hanyalah halusinasi Zemira
karena tubuhnya sedang dalam keadaan yang tidak baik. Zemira
pun ingin mempercayai apa yang Tio jelaskan, tetapi apa yang
terjadi dan ia lihat hari itu terlalu nyata baginya.
Sudah hampir lima hari Zemira tak kunjung sembuh. Suhu
tubuhnya kian melampaui batas normal. Randika sampai heran
mengapa demam si sulung tak kunjung reda. Meski begitu, adik dari
Zemira itu tetap merawat hingga rela direpotkan pergi kesana
kemari hanya untuk menuruti keinginan sang kakak. Sama halnya
dengan Tio yang selalu berada di samping Zemira, menjaganya kala
Randika pergi ke sekolah.
“Tio?”
“Tio?”
Suara Zemira memanggil kekasihnya dari ruang kamar. Tak
ada jawaban dari Tio, padahal ia hanya bilang pergi ke dapur untuk
menyiapkan beberapa buah untuk asupan Zemira.
Gadis itu masih terbaring di tempat tidurnya. Berbalut
selimut yang sengaja ia turunkan sampai lutut kaki. Karena yang
dipanggil tak kunjung datang, ia putuskan untuk bangun dan
menghampirinya meski dengan langkah yang sedikit gontai.
“Tio?” Zemira memanggil lagi.
Tak ada siapa pun di dapur. Lantas kemana Tio pergi? Jam
sudah menunjukkan pukul empat sore. Zemira berniat meminta
tolong Tio untuk menjemput sang adik di sekolah, tapi ia pun
bingung kenapa Tio tak ada di sana.

HEY ROSE | 54
Berjalan keluar rumah, mobil Tio masih terparkir di halaman.
Zemira celingukan.
“Tio ke mana sih?”
Dapur, ruang tengah, ruang tamu, hingga teras rumah,
Zemira tak menemukannya. Lantas ia putuskan untuk kembali ke
kamar karena kepalanya mulai terasa pusing lagi. Dengan langkah
menyeret dan kepala yang terus ia pijit-pijit, Zemira mendengar
suara Tio dari kamar tidurnya.
“Gue nggak bisa.”
“Jangan....”
“Gue nggak mau.”
Begitulah beberapa kalimat yang ia dengar. Zemira ingin
memastikan apakah benar itu Tio atau hanya halusinasinya saja.
Matanya mulai bergerak menjelajah ruang kamarnya, namun tak
seluruhnya terlihat karena ia hanya mengintip dengan satu mata
saja. Berniat untuk menampakkan sedikit wajahnya, Zemira malah
dikagetkan dengan Tio yang tengah terkapar di lantai.
“Tio!” buru-buru Zemira berlari menghampirinya. Tubuh Tio
sungguh sangat dingin ketika telapak tangan Zemira
menyentuhnya.
“Tio?! Kamu kenapa? I-ini kamu dingin banget? Tio?
Bangun!”
Zemira tampak panik. Ia memangku kepala Tio, mengusap
kepalanya lembut dengan berusaha membangunkannya. Menepuk-
nepuk kedua pipi putihnya. Pucat, Tio sangat pucat, bahkan luka di
dekat matanya kini semakin jelas dan nampak memerah.
Penasaran dengan itu, tangan hangat Zemira menyentuh bekas
luka itu—tertahan.
“Ze...,” panggil Tio lirih,
“Kamu udah bangun? Kamu kenapa?” tangan Zemira yang
melayang perlahan ia turunkan—urung menyentuh bekas luka
yang ada di dekat mata Tio. “Kok bisa tiduran di lantai?!”
Tio berusaha membangunkan diri.

HEY ROSE | 55
“Aku nggak papa.” Kemudian ia meraih lengan Zemira untuk
membantu gadisnya berdiri, menuntun untuk kembali beristirahat
di ranjang.
Zemira mengernyitkan alis mendengar Tio mengatakan
bahwa dirinya baik-baik saja. “Nggak papa apanya?! Kamu sakit?
Kamu pucet banget loh, bahkan tubuh kamu dingin. Kamu
kedinginan?”
Tio menggeleng.
“Kamu tadi ngobrol sama sia—“
“Aku jemput Randika ya? Kamu nggak papa aku tinggal
sendiri dulu? Aku bakal balik cepet kok.” Tio mengusap pucuk
kepala Zemira. Buru-buru lelaki itu menyambar hoodienya lantas
pergi dari ruang kamar.
Kebingungan.
Tentu saja Zemira bingung saat tiba-tiba Tio pergi
menjemput adiknya, Randika. Pasalnya gadis itu belum
memberitahunya dan belum meminta tolong padanya untuk
menjemput sang adik. Tak ambil pusing, Zemira berpikir bila
kekasihnya sudah hafal dengan jadwal kepulangan Randika.
“Kenapa sih Tio? Lo aneh.” Ucap Zemira lirih sembari
membaringkan dirinya lagi di kasur empuk. Saat ia akan menarik
selimut, ia melihat cermin pemberian Tio berada di lantai, tak jauh
dari tempat di mana Tio terkapar tadi.
“Hey, Rose? Kok lo ada di situ?”
Zemira turun dari tempat tidurnya lagi untuk mengambil
cerminnya. Seperti biasa ia bercermin sebelum kembali
mengistirahatkan dirinya. Paras akan wajah cantiknya memantul
sempurna, namun ada bayangan lain tepat di belakangnya yang tak
Zemira sadari.

Suara gelak tawa dan obrolan-obrolan cukup nyaring


menggema di seluruh ruangan membuat Zemira terbangun dari

HEY ROSE | 56
tidurnya. Terusik dengan itu, ia berjalan keluar kamar untuk
menuju ke sumber keramaian.
“Kak!” sapa Haikal yang langsung berdiri kala melihat Zemira
keluar dari kamar.
“Loh Kak Ze bangun.”
“Maaf Kak berisik banget ya?”
Teman-teman Randika yang lain saling bersahutan.
“Udah duduk aja, lanjutin mainnya. Gue kira rame apaan
dah.” Zemira terkekeh. “Kalo gitu gue balik ke kamar lagi. Eh
Randika temen lo jangan lupa dikasih makan!” titah si sulung pada
si bungsu sebelum akhirnya ia kembali memasuki kamar.
Baru saja Zemira duduk di tepian kasur, terdengar suara
ketukan pintu. Kepala Randika menyundul masuk. “Kakak.”
Sembari melebarkan pintu kamar. Ia tak sendiri, Jendra ada
bersamanya.
“Ngapa?” tanya Zemira singkat.
“Nggak papa ini Jendra mau nengokin Kak Ze.”
Zemira menarik sudut bibirnya kala Jendra melempar
senyum padanya. Lelaki itu meletakkan keranjang kecil berisi
buah-buahan di atas meja rias Zemira, dekat vas berisi bunga
mawar pemberian Tio kala itu.
“Ya elah ngerepotin amat Jen.” Ujarnya pada Jendra.
“Hehe enggak Kak, emang tadi sekalian mau jengukin Kak
Ze.”
Zemira mengangguk, menarik selimut yang dibantu oleh
Jendra. “Makasih ya.”
“Ini Jendra yang suka nakut-nakutin lo?” tunjuk Zemira pada
si bungsu.
Jendra melirik Randika yang cengengesan dan tengah
menggaruk tengkuk itu.
Kemudian Zemira berdecak. “Jangan lo takut-takutin adik
gue, Jen. Pan lo tau sendiri nih bocil penakutnya minta ampun.”
“Siape yang lo bilang bocil, Kak? Randika udah gede ya! Ish
Kak Ze mah selalu mempermalukan adiknya sendiri. Nggak like gue

HEY ROSE | 57
nih.” Omel Randika yang langsung menarik lengan Jendra untuk
membawanya pergi dari sana. “Ayo ayo udah ke depan lagi.”
Randika keluar dari kamar Zemira dengan mendorong tubuh
Jendra. Sesekali melirik si sulung yang tengah tertawa melihat
tingkahnya itu. Menutup pintu, Jendra menatap Randika datar. Air
mukanya berubah.
“Keluarin kursi yang ada di kamar Kak Ze.” Titahnya tanpa
disertai alasan.
Randika mengernyit tak paham dengan permintaan Jendra.
Mendadak menyuruhnya untuk mengeluarkan kursi yang ada di
kamar kakaknya. “Kenapa dah? Ini kenapa nggak lo aja yang
ngeluarin tadi?”
Jendra berdecak. “Ya masa gue? Adiknya kan lo.”
“Ya udah entar gue keluarin. Emang kenapa sih?” tanya
Randika lagi saking penasarannya.
Jendra hanya diam tak memberikan jawaban atas pertanyaan
Randika. Ia malah membawa tubuhnya untuk kembali bergabung
dengan teman-temannya yang sedang asik tertawa di ruang tengah.
Meninggalkan Randika yang berkecamuk dengan ribuan asumsi
dan tanya yang belum terjawab. Alhasil lelaki mungil itu mengekori
Jendra sembari terus bertanya mengapa ia menyuruh Randika
untuk mengeluarkan kursi milik Zemira. Jika Jendra memberitahu
alasannya, sudah dapat dipastikan Randika akan ketakutan,
mengingat temannya itu adalah lelaki yang penakut.
“Jendra cepet bilang nggak?! Kenapa anying!” emosi Randika
mulai meletup-letup.
Jendra menghela nafas sebelum kemudian mengutarakan
alasannya dan menceritakan apa yang ia lihat. “Pokoknya jangan
taruh kursi kosong di kamar.”
“Gusti nu Agung, Jen, di kamar gue juga ada tuh kursi kosong.
Kursi mah kalo nggak didudukin juga bakal kosong kali.” Jawab
Randika sewot.

HEY ROSE | 58
“Kita bagian ngeliatin aje ye udah kalo Randika udah begini
yang ada perang dunia.” Bisik Naja pada teman-temannya yang
dibalas dengan anggukan, juga tawa yang tertahan.
“Actually kalo ada kursi kosong di kamar waktu lo tidur that’s
where ghost sit while they watch you sleep. Lagian bukan itu aja, ini
Kak Ze habis dari mana sih? Kenapa dia diikutin terus sama sosok
itu. Rambutnya panjang tapi diiket, dress hitam motif mawar, she’s
carrying a sword.” Jelas Jendra panjang lebar.
“Apa Kak Ze dari tempat terlarang?” tanya Aji asal ceplos.
Randika masih mematung, mencoba menelan penjelasan
Jendra dan jika boleh jujur, ia tengah merinding kala temannya
memberitahu untuk tidak membiarkan kursi kosong berada di
dalam kamar, jika tak ingin ada sosok lain memandang kita saat
terlelap. Mengingat di dalam kamarnya pun terdapat kursi kosong,
yang artinya ia harus segera menyingkirkan kursi atau melipat
kursi setelah ia selesai menggunakan.
“Temenin Kakak lo terus.” Jendra menepuk bahu Randika.
Setelah kelima temannya pamit pulang, ia langsung
menerobos masuk ruang kamar Zemira tanpa mengetuk pintu.
Rupanya si sulung masih terjaga dan belum tidur. Gadis itu sibuk
menggulir ponsel meski tengah berbaring dengan selimut yang
sudah menutupi sebagian tubuh hingga dadanya.
Tanpa mengatakan apa pun Randika mengangkat kursi yang
ada di kamar Zemira satu per satu, kemudian pergi begitu saja
membuat si empunya mengernyit tak paham dengan apa yang baru
saja dilakukan sang adik. Randika kembali lagi, kini ia beranjak
mengangkat kursi rias.
“Heh heh!” seru Zemira menghentikan langkah Randika.
“Ngapain sih? Masuk kamar ngambilin kursi dibawa kemana coba?
Random banget kelakuan lo.”
“Shhhh.” Randika berdesis. “Kak Ze sakit mah sakit aja kagak
usah bawel dulu ya Kak, ini demi keselamatan lo,” imbuhnya
sembari keluar kamar, memindahkan kursi rias.

HEY ROSE | 59
“Kolerasinya di mana Dika?!” nada Zemira naik satu oktaf.
“Terus gue kalo mau duduk di mana atuh?”
Terdengar langkah kecil Randika mendekat. “Ya duduk di
kasur itu tuh kan bisa Kak elah nurut aja kenapa sih?”
Zemira hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat
kelakuan random Randika. Semua kursi yang ada di kamarnya telah
dipindahkan ke luar ruangan oleh si bungsu. Ia hanya pasrah, mau
bagaimana lagi? Ingin mengomel pun ia masih tak memiliki tenaga.
Zemira menutup kedua mata kala mendengar suara pintu
kamarnya tertutup. Namun beberapa detik kemudian pintu
terbuka lagi.
“Kak kak.” Randika mengintip.
Zemira berdehem. “Gue mau tidur, Dika.” Jawabnya dengan
kedua mata tertutup.
“Itu bunga mawar di vas Kak Ze awet bener gue lihat-lihat.”
“Iya, kayak cinta gue ke Tio.”
“Idih idih najis! Tau nggak sih kalo bunga mawar tuh cuma
bertahan paling lama 10 hari di vas, Kak,” ujar Randika sembari
memainkan daun pintu.
Zemira hanya mengangguk. “Ya karena itu dari Tio makanya
awet.”
Mendengar jawaban dari Zemira, Randika melengos. “Dasar
bucin akut nggak ada obat!”
Randika menutup pintu kamar lagi, ia berjalan menuju ruang
kamarnya sendiri. Sudah larut malam tetapi ia masih belum
melelapkan diri. Kedua matanya masih sanggup bila diajak untuk
bermain playstation di ruang tengah, tapi masa iya dirinya akan
bermain sendiri?
Lantas dengan berat hati lelaki itu memutuskan untuk
membaringkan diri—terlentang, kemudian menyerongkan tubuh
ke kanan dan ke kiri, ia tak bisa menuju alam mimpi meski telah
beberapa kali mencoba. Randika mendengkus kesal, ia meraih
ponselnya, menggulir akun sosial media dengan harapan rasa
kantuknya segera datang seperti biasa.

HEY ROSE | 60
Bukannya segera tidur, ia malah mendengar suara langkah
kaki dari luar sana. Awalnya Randika tak menghiraukan, hingga
rasa penasaran membuat lelaki 17 tahun itu memberanikan diri
untuk mengintip dari jendela kamar dan benar saja, seseorang
hendak keluar melewati pagar rumah mereka.
Buru-buru ia lari ke ruang kamar Zemira.
“Kakakkkkk!” teriak Randika kali ini benar-benar membuat
Zemira terbangun dalam keterkejutan hingga rasanya degup
jantungnya mendadak bergemuruh hebat.
“Gusti nu Agung apalagi Dika?! Lo nggak bisa ngebiarin gue
tenang apa?!” protesnya.
“I-itu Kak ada orang tadi di luar. Maling jangan-jangan?”
Zemira memijat pelipis. “Enggak ada. Udah ya ampun lo mah
gangguin gue mulu. Gue mau istirahat nggak jadi-jadi ini gara-gara
lo!” omelnya. “Sumpah ini gue baru aja bisa merem.”
“Cie udah bisa ngomel berarti udah sembuh nih.” Randika
duduk di tepi ranjang, memandang sang kakak yang mencoba
menidurkan diri lagi.
“Iya gue mendadak sembuh,” ucapnya dengan memejamkan
mata. “Di kompleks ini nggak pernah ada maling Dik, palingan tadi
satpam komplek lagi patroli.”
Randika mengangguk dengan pernyataan yang ia dengar dari
si sulung. Ia terus memandangi wajah Zemira sebelum akhirnya ia
ingat sesuatu yang belum sempat Randika sampaikan pada sang
kakak.
“Kak, gue besok pulang telat karena ada rapat Pecinta Alam.
Kak Ze dijagain siapa? Mbak lagi libur kan, terus Kakak gimana?”
Zemira mengibas-ngibaskan tangan. “Ada Tio, tenang. Gue
pasti dijagain.”
Randika kembali mengangguk. “Dulu waktu Kak Ze masih
sama Kak Jefri, lo nggak ada positifnya kayak gini dah. Palingan
bilang—nggak bisa Jefri sibuk, nggak bisa Jefri ada jadwal les, nggak
bisa Jefri nyenyenye.” Ia menirukan logat Zemira.

HEY ROSE | 61
“Yeee lo mah banding-bandingin orang bisanya. Udah sana
tidur.” Usir Zemira sembari mendorong pelan punggung Randika.
“Kak Jefri apa kabar, Kak? Nggak pernah kelihatan sampe gue
lupa wajahnya. Yang kasep pisan ieu, kan?” ingat-ingat Randika.
“Punten yang jadi pacar Zemira produk orang tuanya nggak
pernah gagal.” Pamernya. “Lagi pulang kampung kata Tio, dih udah
sana gue mau tidur.”
Terdengar decakan Randika sebagai jawaban atas titah
Zemira.
“Dika....” Zemira membuka matanya, masih ia temukan si
bungsu memandang dirinya. “Gue akhir-akhir ini ngerasa bingung
deh.”
Randika mengernyit. “Kenapa?”
“Gue bingung sama hari-hari gue, ini gue lagi mimpi apa lagi
bangun sih? Aneh aja.” Jelasnya lirih.
“Lo lagi sakit, Kak, makanya ngerasa gitu mulu. Udah ah gue
balik ke kamar ya? Istirahat aja.” Si bungsu lantas beranjak keluar
ruang kamar untuk kembali ke tempat nyamannya sendiri.
Mungkin apa yang dikatakan Randika benar adanya.
Sejenak Zemira kembali berpikir, jika bukan karena Randika,
ia juga tak akan memikirkan ini lagi. Tentang Jefri, terakhir kali ia
bersama Randika pergi mengunjungi kos Jefri dan Tio, memorinya
menangkap dengan jelas bagaimana bau lekat dupa dan anyir
menyeruak keluar kala ia mendekati kamar Jefri. Sebenarnya rasa
ingin kembali berkunjung sudah terbesit dalam pikiran Zemira,
namun apa daya tubuhnya masih lemas dan terhitung lima hari
sudah ia demam—tak kunjung sembuh.
“Gue sakit, tapi masih sempetnya mikirin lo, Jef.”

HEY ROSE | 62
DARK CLOUDS

I’m afraid to opening my eyes—aku tau kau ada di langit-langit,


menungguku untuk melihatmu—I won’t look.... I won’t look....

Gemuruh petir saling bersahutan di luar sana. Langit mendung


berubah menjadi sedikit gelap abu kehitaman. Rintikan hujan yang
tadinya turun beraturan berubah menjadi hujan lebat disertai
angin kencang.
Zemira duduk sendiri di sebuah kedai kopi siang ini. Selepas
sembuh dari sakitnya, gadis itu kembali menjalani aktivitas
sebagaimana mestinya—tidak, sebenarnya ia belum benar-benar
sembuh karena rasa lemas terkadang masih menjalar di sekujur
tubuhnya.
Kini ia tengah menunggu seseorang datang. Seseorang yang
akhir-akhir ini memenuhi ruang pikirnya. Yang akhir-akhir ini tak
ada kabar bahkan seperti menghilang ditelan bumi begitu saja.
Namun, pada akhirnya seseorang itu telah memberi Zemira kabar
akan hari-harinya yang katanya ‘cukup sulit’.
Cukup lama—bahkan sangat lama ia menunggu sendiri.
Zemira hampir saja tertidur di mejanya. Kopi yang ia pesan dua jam
yang lalu kini hanya menyisakan satu tegukan. Gadis itu duduk di
dekat jendela, kepalanya ia topang saking lelahnya. Pandangannya
sama sekali tak beranjak dari jalanan kota yang ramai meski tengah
diguyur hujan lebat. Jemarinya menggores lembut di kaca jendela
berselimut embun. Tercetak sebuah nama di sana.
Tio.
Nama yang Zemira goreskan di kaca berembun itu. Sambil
memikirkan beberapa hal yang dirasa kian berubah. Tio,
kekasihnya itu sudah jarang menghubunginya sejak ia berangsur
sembuh. Bahkan terakhir kali ia berpamitan pergi ke luar kota

HEY ROSE | 63
untuk sementara waktu. Liburan, alibinya. Anehnya lagi, Tio
meninggalkan satu botol kecil berbahan pecah belah dengan cairan
merah kehitaman penuh mengisinya. Ia tak tau pasti itu cairan apa,
dari mana asalnya, dan untuk apa. Tak hanya itu, sering kali Zemira
menemui kekasihnya tengah berbicara sendiri.
Segalanya memicu rasa khawatir.
Kling!
Suara bel pintu menandakan ada seseorang baru saja masuk
ke kedai kopi. Zemira menegakkan badannya, berharap itu adalah
orang yang sejak tadi ia tunggu kedatangannya. Namun, ia malah
dibuat kaget dengan sosok yang berjalan menujunya. Senyumnya
mendadak luntur, kedua bola matanya membulat. Berbeda dengan
lawannya, ia datang disertai senyum yang merekah. Kini tengah
berdiri di hadapan Zemira.
“Ze? Kok kaget gitu sih kamu?” ucapnya.
“Tio? Kok ada di sini?” Zemira bingung bagaimana harus
menanggapi. Apakah ia harus merasa senang karena akhirnya bisa
bertemu dengan kekasihnya? Atau apakah ia harus merasa takut
dan khawatir karena ia tengah menunggu lelaki lain tanpa
sepengetahuan Tio?
“Pacarnya ke sini bukannya seneng ih kamu.” Tio
mendudukkan dirinya di kursi kosong depan kursi Zemira. “Udah
lama di sini?”
“Ha?” Zemira mengernyitkan dahinya. “Tio, tapi aku—“
“Maaf ya nunggu lama.”
Sebentar—bukan Tio yang sedang Zemira tunggu. Ia masih
sangat terkejut hingga gadis itu hanya melongo dan mengerjap
beberapa kali memandang lelaki yang ada di depannya. Lawannya
pun menatap Zemira dengan begitu tajamnya seakan membidik
mangsa dan tak membiarkannya lepas.
Entah mengapa Zemira merasa atmosphere berubah menjadi
lebih dingin, membuat tubuhnya menggigil. Apakah kondisi
tubuhnya yang sering drop menyebabkan ia mendadak merasa
seperti ini? Atau karena hal lain?

HEY ROSE | 64
“Kamu mau ke mana?” seru Tio kala Zemira beranjak dari
tempat duduknya.
“A-aku mau ke toilet—sebentar.” Pamit Zemira dengan suara
terbata. Sedang Tio hanya mengangguk dan membiarkan Zemira
beranjak pergi. Pandangannya terus mengekori gadis itu hingga
punggungnya mengecil dan menghilang di balik pintu toilet.
Jangan tanyakan bagaimana keadaan Zemira saat ini. Ia yang
tengah melihat pantulan dirinya di cermin toilet pun sedikit
terkejut karena wajah yang kian memucat meski ia sudah memoles
bibirnya berkali-kali. Kepalanya mulai berdenyut sakit. Ia
benturkan punggungnya pada dinding, pelan-pelan ia
merendahkan dirinya—berjongkok, sembari tangannya memijat
pelipis dan tengkuk kepala.
“Kenapa bisa Tio tau gue di sini?”
“Kan gue nggak ada chat sama dia, masa—“
Gadis itu sibuk bergumam, menikmati pijitannya sendiri
seraya membuat dirinya tenang. Tak sadar bila ponselnya bergetar
sejak tadi. Lantas ia rogoh tas kecilnya, mencari keberadaan benda
yang menyita atensinya.
Ketemu! Ada tiga panggilan tak terjawab yang nampak di
notifikasi ponsel kala layarnya menyala. Ia hanya kembali bingung
sebelum kemudian ia mendapat panggilan masuk dari orang yang
sama. Cukup lama Zemira membiarkan panggilan itu hingga
akhirnya ia memutuskan untuk menerimanya.
“Ze, aku di depan rumah. Kamu di mana? Tumben rumahnya
dikunci?”
Kedua manik hitamnya melotot. Saking tidak percayanya ia
menjauhkan ponsel dan berulang kali ia memastikan nama
penelfon di layar ponselnya—Tio, ia yakin pemilik suara di
seberang sana juga sama.
“Ze? Zemira? Randika juga nggak ada di rumah ya? Emang
kamu udah beneran sembuh? Bisa-bisanya keluar rumah padahal
belum lama sembuh juga.”
“Tio...,” suara Zemira bergetar lemas.

HEY ROSE | 65
“Kamu di mana?”
“Halo? Ze?”
“Zemira?”
Tuttt.... tutt....
Zemira memutus panggilan sepihak. Ia terlalu lemas untuk
berusaha mencerna situasi ini. Siang menjelang sore harus dilewati
dengan perasaan takut tak karuan. Terlihat keringatnya mulai
mengucur deras dari kepalanya. Gadis itu masih terduduk lemas di
toilet. Entah berapa lama lagi ia sanggup berdiri untuk berlari ke
luar.
Baru saja ia menerima panggilan dari Tio, lantas siapa yang
datang dan tengah duduk di depan sana? Sebentar, biar Zemira
mengatur nafasnya dulu.
Tok tok tok
Seseorang tengah mengetuk pintu toilet pelan.
Zemira mendengarnya. Diam membungkam mulutnya
sendiri dengan kedua tangan agar tak menimbulkan suara. Sorot
matanya tak lepas dari daun pintu yang kalau-kalau terbuka dan
menampakkan sesuatu. Tubuhnya bergetar hebat saking
takutnya—ia mendengar suara baritone memanggil namanya
samar.
“Ze?” Dengan masih mengetuk pintu.
Rasa takut semakin menyelimuti gadis itu. Padahal Zemira
bukanlah gadis yang penakut, tetapi jika dihadapkan kejadian
seperti ini, di luar nalar dan ia alami sendiri, ia tak memiliki
keberanian lagi. Nyalinya menciut.
Zemira memeluk kedua kakinya, membenamkan wajahnya
kala knop pintu mulai bergerak.
Decitan pintu kayu terdengar saat seseorang berhasil
membukanya.
“Zemira?!”
Zemira mendongakkan kepala karena bias suara yang sangat
ia kenali.

HEY ROSE | 66
“Jef!!” serunya dengan sudut mata yang basah. Ia mulai
menangis seperti anak kecil saat tau seseorang yang ia tunggu
kehadirannya sejak tadi akhirnya menampakkan batang
hidungnya.
“Ze? Lo kenapa?” Dengan menumpu dirinya dengan satu
lutut, Jefri mengusap kepala Zemira. “Kenapa nangis? Dan lo
kenapa diem di sini?”
“Gue takut, Jef. Gue takut.”
“Takut? Apa yang bikin lo takut? Udah ayo keluar dari sini,
nggak lucu kita berduaan di toilet gini.”
Jefri berdiri dan berniat membantu Zemira dengan menarik
lengannya, namun gadis itu menahan pergelangan tangan Jefri.
“Di luar, ada ...,” kalimat Zemira menggantung.
“Ada apa? Siapa?”
“Ada Tio?” tanyanya.
Seperti tau apa yang telah gadis itu alami, Jefri hanya diam
sembari kembali membantu Zemira berdiri. Mengajaknya keluar
dan duduk di kursi yang hanya ada cangkir kopi Zemira di atas
meja. Tio tak ada di sana. Dan lagi, suasana kedai kopi pun berubah
cukup ramai, tak seperti pertama ia datang tadi.
Perasaan yang menyelimuti diri Zemira membuatnya
bingung. Ia merasa seperti segala sesuatu yang ia rasakan adalah
nyata, namun disisi lain ia seperti tak bernyawa merasa banyak
sekali kejanggalan yang sering terjadi seiring berjalannya waktu.
Jefri, lelaki yang ia tunggu sejak beberapa jam yang lalu kini
duduk di depannya. Saling melempar tatap beberapa saat tanpa ada
yang mau memulai obrolan. Sebelum pertemuan ini, Jefri
menghubungi Zemira untuk memastikan gadis itu masih dalam
keadaan yang baik. Tak hanya itu, ia juga memberitahu bahwa ada
seseorang yang melukai dirinya bahkan hampir merenggut
nyawanya. Hanya itu kabar menggantung dari Jefri yang Zemira
dapat dari sekian lamanya ia menghilang.
“Ze, kalo itu bukan Tio gimana?” tanya Jefri memecahkan
kesunyian.

HEY ROSE | 67
Belum selesai Zemira merasa khawatir dan takut, ia sudah
disuguhkan dengan pertanyaan yang menurutnya tak ada jawaban.
Tak ingin menjawab, gadis itu hanya melempar pandang ke arah
jalanan.
“Dan kalo gue bilang yang nyakitin gue adalah—“
“Siapa? Tio?” tembak Zemira.
Jefri mengangguk.
Manik hitam Zemira menelisik tiap sudut wajah Jefri yang
beberapa lukanya mulai kering. Turun pada telapak tangan kirinya
yang dibalut perban. Ia sedikit bergidik ngeri sembari
menggelengkan kepalanya cepat. Bisa-bisanya Jefri menuduh Tio
yang tidak-tidak.
Tak mungkin Tio, kan?
“Gue udah nggak satu kos sama Tio sekarang,” ujarnya. “Lo
mungkin nggak percaya sama apa yang gue ceritain. Tapi Ze,
semenjak Tio pulang dari UK, suasana kos gue udah nggak sama
kayak dulu. Lo nggak tau seberapa seringnya Tio ngebakar dupa,
ngelakuin hal aneh tiap malem yang nggak gue pahami.”
“Dia bakar lilin, naruh lilin itu di depan cermin kamar gue. I
think he’s lost his sanity, but the truth ... the more you realize that it
is not him, the closer you get to being hurt by him.”
“Jef, just stop it,” sela Zemira. “Stop!” Nada Zemira sedikit
melengking penuh dengan penekanan. “Gue nggak tau masalah
yang lo hadapi sebenarnya apa, but can you not make up a story like
this? Semua yang lo ceritain ini beneran nggak masuk akal. Ngapain
coba Tio ngelakuin itu?” Ia tak terima.
“Waktu itu gue tau lo ke kos bareng Randika. Gue mau tanya,
bau apa yang lo cium?” Kini Jefri memaksa Zemira untuk mengingat
malam itu. “Dupa. Ada bau anyir? Do you smell blood?”
“Sorry, but Tio hampir ngebunuh gue.”
“JEFRI, PLEASE STOP IT!”
Beberapa orang di kedai kopi menoleh ke arah mereka
berdua karena kerasnya suara Zemira kala membentak Jefri. Gadis
itu bahkan menggebrak meja dengan kedua tangan terkepal.

HEY ROSE | 68
“Lo perlu bukti? Gue paham. Lo nggak bakal percaya kalo
nggak ada bukti,” ucap Jefri sembari membuka balutan perban yang
menyelimuti telapak tangannya.
Ketika kain perban terbuka sepenuhnya, Zemira semakin
ngilu melihatnya. Terdapat kurang lebih 15 jahitan. Luka yang
masih sedikit basah dengan bercak darah kering berada di sekitar
lukanya. Luka yang sepertinya memang masih baru.
“Tio did this. Dia ngelukain gue. Tio ngelukain gue pake
cermin mawar yang dia bawa.”
Setiap pernyataan yang Jefri ucapkan penuh keyakinan,
seperti ia memang tidak berbohong dengan hal yang ia ucapkan.
“Lo tau? Ada sesuatu di tiap sudut langit-langit kamar gue. Samar,
gue nggak tau tapi gue ngerasa diawasi. At night, gue nggak mau
ngebuka mata sama sekali waktu gue kebangun tengah malem
karena gue tau mereka ada di sana.”
“I won’t look.” Imbuhnya. “Dan setiap gue kebangun, nggak
sengaja ngelihat cermin di kamar, there’s a hand out of the mirror.
Awalnya gue kira itu cuma mimpi, tapi nggak—Tio ada di sana juga,
dia berdiri di depan cermin. Sekarang gue jadi sering parno
sendiri.”
Penjelasan Jefri yang panjang lebar itu sama sekali tidak bisa
diterima oleh Zemira. Meski di sisi lain pun ia merasakan hal yang
sama—keanehan memang sering muncul semenjak Tio kembali
dari UK, contohnya saja beberapa waktu lalu Zemira alami sendiri.
“Jef, gue mau ketemu sama lo buat mastiin lo baik-baik aja.
Dengerin cerita lo dan berharap bisa ngasih solusi. But you give me
that shit? Bukan gue nggak percaya, tapi untuk apa juga Tio
ngelakuin hal konyol dan nggak masuk akal kayak gini?”
Jefri dapat menangkap air muka kekhawatiran dan ketakutan
dari lawannya karena Zemira tak bisa menyembunyikannya saat
ini. Lelaki itu mengangguk paham, Zemira tak akan mungkin
mempercayai dirinya. Dan memang akan lebih baik seperti itu.
“Ze, sorry, tapi emang ini kenyataannya.” Ia meraih pucuk
kepala gadis itu lantas diusapnya pelan. Tak apa bila Zemira belum

HEY ROSE | 69
bisa menerima pernyataannya, yang pasti ia lega bisa melihat
Zemira dalam keadaan baik.
“Maaf gue nggak bisa lama-lama juga. Gue lega ngelihat lo,
gue harap seterusnya lo bakal tetep baik-baik aja, ya?” Lelaki itu
kini merapikan perbannya lagi agar lukanya tertutup. Jefri
beranjak, namun lengannya tertahan oleh Zemira yang masih
duduk dengan kepala menunduk.
“Jef...,” lirihnya. “Can I hug you?” Zemira mendongakkan
kepala, tangannya turun menggenggam telapak tangan Jefri.
Jefri mengangguk memberi persetujuan, disertai dua lesung
pipi yang tercetak karena senyumnya merekah.
“Come here.” Genggamannya ia tarik pelan, menghantarkan
tubuh mungil Zemira ke dalam sisi hangatnya. Dengan lembut, ia
sisir surai hitam gadis itu—memberikan kenyamanan untuk
lawannya, ia tepuk-tepuk punggung Zemira.
“Jef, maaf gue nggak bisa sepenuhnya percaya sama lo,”
bisiknya yang tertangkap jelas di telinga Jefri. “Biar gue buktiin
sendiri—“
“Nggak!” Jefri menjauhkan tubuhnya kasar dengan kedua
tangan mengerat di bahu Zemira. “Lo nggak perlu ngebuktiin
sendiri, jangan, please don’t. Tetep jaga diri, sedikit pun jangan
sampe lo terluka, lakuin ini buat gue.”
Jefri lalu menggeleng cepat. “Enggak. Lakuin ini untuk adik lo,
Randika. Jangan pernah coba ngebuktiin apa pun. Then don’t believe
what I told you today. Ya? Nggak usah percaya sama gue kalo gitu.
Anggep semua yang lo denger hari ini adalah karangan gue doang.”
Zemira mencari kebohongan dari manik hitam Jefri, namun
ia tak menemukannya. “Jef, gimana mungkin gue tau itu karangan
lo doang atau bukan kalo gue nggak cari tau sendiri?”
“Ze, kita nggak tau berurusan dengan apa dan siapa. Gue
minta lo untuk tetep jaga diri, tetep kunci pintu rumah kalo lo sama
Randika lagi keluar. Kunci juga kalo lo sama Randika udah ada di
dalem rumah. Jangan biarin rumah lo bebas kebuka lagi,” pinta
Jefri.

HEY ROSE | 70
Jefri merapikan poni Zemira yang berantakan sebelum
akhirnya ia benar-benar beranjak pergi. “Gue balik ya? Lo langsung
pulang ke rumah, jangan ke mana-mana di luar hujan.” Ia
memamerkan lesung pipinya lagi.
“Jef...,” panggil Zemira saat Jefri berjalan memunggungi. “Lo
sekarang tinggal di mana?”
“Rahasia. Gue balik ya, dahh.”
Kedua insan yang saling melambaikan tangan menutup
perjumpaan mereka dengan rasa penasaran sebagai oleh-oleh yang
Jefri beri pada Zemira.

Air yang jatuh dari langit masih setia membasahi kota hingga
malam. Membuat penghuni rumah semakin betah untuk tetap
tinggal dan mengencangkan selimut mereka. Mengapa hujan lebat
disertai petir selalu identik dengan pemadaman lampu? Ya, sudah
satu jam berselang listrik di rumah Zemira padam.
Hanya mengandalkan satu buah lilin, kakak beradik ini
berdiam diri di kamar Zemira. Jangan tanya bagaimana kondisi
ruangan yang lain, karena Zemira malas membakar seluruh lilin
yang ia punya, maka dari itu hanya ada satu cahaya meremang di
rumah mereka, yaitu ruang kamar Zemira.
“Kak, kalo masih belum nyala listriknya, gue tidur di sini aja
ya?” pinta Randika yang hanya dibalas anggukan.
“Kak?”
Zemira berdehem.
“Tadi siang Kak Tio ke sini.”
“Iya dia bilang, tapi lo nggak ada di rumah, kan?”
Randika diam tak menjawab.
“Dika?” Zemira yang tengah duduk di pinggir jendela
menoleh ke arah adiknya yang sedang sibuk bermain ponsel di atas
kasur. “Lo di rumah nggak?”
“Gue di rumah, sama Jendra,” jawabnya.

HEY ROSE | 71
“Kenapa nggak lo suruh masuk Tionya?”
Randika menggeleng. “Gue takut.”
Ungkapan dari Randika membuat pikirannya berkecamuk.
Memikirkan hal-hal yang sudah dilakukan Tio pada Jefri—jika itu
semua benar. Sekarang ia berpikir bagaimana caranya mencari
kebenaran itu sendiri.
Kedua bola matanya berotasi pada sesuatu yang ada di atas
meja riasnya. Sebuah botol kecil berisi cairan merah kehitaman,
juga cermin pemberian Tio. Ia mengambil kedua benda itu.
Memutar dan menerawang botol kecil yang entah sebenarnya atas
dasar apa Tio memberikan ini padanya.
“... ngelakuin hal aneh tiap malem, ngebakar lilin dan naruh
lilin itu di depan cermin kamar gue.”
“Emang kenapa kalo lilin di taruh depan kaca?” gumam
Zemira sembari meletakkan cermin mawar itu di depan lilin yang
masih menyala.
“Nggak bakal ada apa-apa juga, kan?” gumamnya lagi.
Zemira masih duduk di jendela, melihat hujan di luar yang
tiada hentinya. Dirinya tak sadar bila sosok lain telah
menampakkan diri di cerminnya. Tersenyum miring ke arah
Zemira. Botol kecil yang ada di tangannya ia hirup tanpa membuka
tutupnya, lantas bau semerbak bunga mawar memenuhi ruang
kamar Zemira.
“KAK!!” seru Randika sembari terjingkat dari ranjang. Lantas
berlarian menghampiri kakaknya yang masih bersandar di dinding
jendela. Melingkarkan tangan pada lengan Zemira. “Kak itu siapa?!”
Jari telunjuknya mengarah pada langit-langit kamar.
“KAK ITU SIAPA!!” teriaknya lagi.
“Mana? Apa sih lo bikin gue kaget tau nggak!” protes Zemira.
“Kak dia makin deket, Kak!!”
Randika terus histeris hingga menenggelamkan wajahnya
pada lengan Zemira yang ia tarik-tarik agar pandangannya
tertutup. Dilihat berkali-kali pun, tidak ada siapa-siapa di sana.
Tapi, Randika tetap kukuh menunjuk langit-langit kamar.

HEY ROSE | 72
“Dika nggak ada apa-apa, ini lo kenapa sih?” Zemira berusaha
melepaskan lengan tangannya dari Randika. Si bungsu semakin
mencengkeram lengannya hingga ia meringis kesakitan. “Dika!
Sakit anjing! Udah nggak ada apa-apa, nggak ada siapa-siapa juga!”
“Dika?!”
Tak ada jawaban. Randika yang tengah menenggelamkan
wajahnya pada lengan Zemira itu semakin menarik kuat
genggamannya.
“Gusti nu Agung! Randika sakit!”
Mau tak mau Zemira menghentakkan tubuh sang adik hingga
dirinya pun ikut terjatuh, punggungnya terbentur sudut jendela,
tercetak jelas pula kuku jari Randika di lengan Zemira.
“Dik?”
“Randika?”
Beberapa kali ia memanggil si bungsu pun tak ada jawaban
membuat gadis itu nampak cemas dan kalut. Dengan tubuh
menggigil saking takutnya, Zemira memangkas jaraknya dengan
Randika, meraih bahu sang adik yang tengah duduk dengan kepala
tertunduk. Kala ia berhasil menegakkan kepala Randika, sorot mata
lelaki itu berubah—kedua sklera matanya penuh dengan warna
hitam pekat.
“D-Dika ...,” suara Zemira bergetar. Tangannya yang terulur
ia jauhkan dari sosok di depannya itu.
“Ze... bangun....”
Suara itu datang lagi, bisikan yang entah dari mana asalnya—
yang kerap kali ia dengar atau bahkan amat sering. Siapa yang
tengah menyuruhnya untuk bangun? Jika bangun yang dimaksud
adalah bangkit untuk menghindar saat ini, Zemira tak sanggup.
Kakinya terlalu lemas meski ingin rasanya berlari menjauh.
Randika tengah menatap Zemira dengan sorot mata yang
tajam, disertai seringai di sudut bibirnya. Terlihat cukup
mengerikan.
“Dika? Randika....”

HEY ROSE | 73
Zemira masih memanggil nama si bungsu meski rasa
takutnya lebih mendominasi diri. Kedua matanya berotasi pada
cermin genggam yang masih berada di depan lilin. Pikirannya
menuju pada suatu kesalahan yang baru saja ia coba lakukan,
menyebabkan hal yang tak diinginkan.
Dengan cepat Zemira meraih cermin itu—namun tertahan
karena Randika yang lebih dulu menangkap pergelangan tangan
Zemira yang kemudian ditarik hingga tubuh gadis itu terhuyung.
Randika ingin mengambil paksa cermin yang berada pada
genggaman Zemira.
“Dik!!”
“Lepasin.”
“Dika sakit.”
Air mata pun tak bisa terbendung lagi. Satu persatu buliran
menetes dengan teratur. Ia merintih kesakitan. Zemira tak
mengerti mengapa kuku jari Randika terasa sangat tajam hingga
rasanya mampu merobek pori-pori kulitnya.
Tanpa bersuara, Randika terus berusaha menarik
pergelangan tangan Zemira untuk merebut cermin itu. Tak mau
kalah, Zemira melakukan perlawanan hingga kemudian
membanting benda itu ke lantai.
Pranggg!
Berhasil. Kacanya terbelah menjadi kepingan-kepingan kecil.
Zemira jatuh ke lantai dan terkulai lemas dengan tubuh yang
mendadak menggigil kedinginan meski suhu badannya kian
meningkat. Ia terlalu lemas, mendengar suara samar Randika yang
tengah berulang kali memanggil namanya.
Kesadaran Zemira mulai hilang.
“Kak Ze bangun....”

Beberapa jam berlalu, pemadaman listrik masih


berlangsung. Zemira terbangun, mengerjapkan mata berulang kali

HEY ROSE | 74
sebelum akhirnya ia menyadari Randika terkulai lemas di lantai,
tepat di sampingnya. Sembari memegang kepalanya yang berat,
Zemira perlahan mendudukkan diri. Merasakan rasa perih di setiap
sisi lengannya, ia meringis kala melihat banyak bekas cakaran dan
cetakan kuku di sana.
Tanpa memedulikan rasa sakit dan lukanya, ia membopong
sang adik untuk memindahkannya ke atas kasur. Ia tetap berusaha
meski tubuhnya sendiri melemas.
Setelah Randika berhasil ia baringkan, sekarang gilirannya
untuk berbaring di samping si bungsu. Tak lupa ia menarik selimut
untuk menghangatkan dirinya juga lelaki di sebelahnya. Tubuhnya
menyamping, berhadapan langsung dengan Randika. Ia menatap
setiap inci muka tenang sang adik dengan dahi yang penuh dengan
peluh. Diusapnya perlahan—menyibakkan poni Randika yang kian
memanjang.
Ia tersenyum sendu. “Maafin gue... maaf...,” lirihnya. “Semoga
lo nggak inget sama kejadian hari ini.” Zemira terus mengusap
lembut kepala Randika hingga dirinya ikut terlelap.
Tik....
Tok....
Tik....
Tok....
Tik....
Tok....
Suara jarum jam di sebuah ruangan tanpa penerangan
terdengar nyaring dan menggema. Hanya ada satu jendela sebagai
akses keluar masuknya cahaya. Adanya satu jendela pun tak
berhasil menerangi ruangan itu.
Tak ada siapa pun di sana. Zemira terlihat bingung. Ia
berjalan menyusuri ruangan, sembari tangannya ikut meraba
dinding yang amat kasar. Ia tak tau sedang berada di mana. Apakah
ia sedang berada di dunia nyata atau ini adalah alam bawah
sadarnya? Zemira tak bisa membedakan keduanya. Ia hanya
merasa di sekitarnya semakin menghangat.

HEY ROSE | 75
Langkah kakinya terhenti kala retinanya menangkap
bayangan di depan sana. Sebuah ranjang dengan seorang
perempuan terbaring di atasnya. Rasa penasaran yang kini datang
membuat Zemira berusaha memangkas jarak untuk melihat apa
yang ada di sana. Namun, semakin ia mencoba memangkas jarak
guna menggapai keinginan atas rasa penasarannya itu, langkahnya
semakin jauh saja—hingga ia mencoba berlari pun tetap sama.
Ruangan itu semakin gelap, namun Zemira masih dapat
melihat orang yang tadinya terbaring kini mendudukkan diri dan
berusaha beranjak. Seketika rasa penasaran akan siapa yang
terbaring di sana, tergantikan oleh rasa takut yang menyerang tiba-
tiba kala seseorang itu berjalan menuju dirinya dengan gelap yang
seakan mengejarnya.
Zemira terjebak, ia tak bisa bergerak sedikit pun meski ia
ingin membalikkan tubuhnya. Gadis itu ketakutan karena
seseorang berjalan semakin dekat, namun ia tak dapat melihat
wajahnya.
“Kakak!!!”
“Kakak nggak papa?”
Ah, hanya mimpi. Sebuah mimpi yang membuat Zemira
terbangun dengan keringat bercucuran. Nafasnya tak beraturan. Ia
masih menatap langit-langit kamarnya dengan bola mata melebar.
Randika yang sudah berseragam rapi itu sejak tadi
mengguncang tubuh sang kakak untuk membangunkannya karena
suhu badan Zemira kian meninggi.
“Kakak badannya panas banget. Tadi Randika kompres terus
Kak Ze tiba-tiba menggigil, gue panik akhirnya gue bangunin deh,
maaf ya.”
Zemira mengusap wajahnya kasar lantas menggeleng.
“Enggak papa. Lo mau berangkat sekolah? Gue anter.”
“Nggak nggak! Kak Ze istirahat aja, gue barengan sama Jendra
kok tenang aja. Kakak nggak perlu berangkat kuliah ya? Istirahat
please Kak Ze demam lagi.”

HEY ROSE | 76
Zemira yang masih meraih kesadaran dirinya, hanya
mengangguk lemas sebagai jawaban dari ucapan Randika. Entah ia
akan menyetujui atau tidak perihal titah si bungsu.
“Kak, gue dari tadi merhatiin lengan lo ini kenapa? Semalem
gue habis ngapain lo sih, Kak?” tunjuk Randika.
Lantas Zemira menutupi sebagian lengannya dengan selimut.
“Nggak tau ya? Kayaknya habis jatuh deh kemarin, gue enggak inget
juga.”
Randika merenung, masih menunduk memandangi lengan si
sulung untuk memulihkan ingatannya. “Bukan karena gue?”
“Eh itu Jendra udah dateng!” seru Zemira menyela. “Iya
bukan? Temen lo kan? Udah sana berangkat sekolah keburu telat.”
Apa yang dikatakan Zemira benar. Terdengar suara Jendra
yang tengah memanggil nama Randika di luar sana. Lantas si
empunya nama beranjak dengan kepala yang masih menunduk.
“Ck. Udah ini beneran gue nggak papa,” ujar Zemira
meyakinkan. “Iya gue inget beneran ini gue jatuh di teras, Dika.
Kepentok ujung lantai tuh kan kemarin gelap.”
“Tapi Kak, gue kenapa inget kejadian aneh ya? Mimpi bukan?
Gue takut kalo gue yang nyakitin lo sampe kayak gitu.”
“Ya elah pasti ini ulah Jendra lagi ya yang nakut-nakutin lo
lagi, iya kan? Jadinya mimpi aneh-aneh. Ish, kurang-kurangin
percaya sama temen lo ah!”
Randika menghela nafas. “Beneran mimpi ya? Kejadian yang
gue inget beneran mimpi?” tanyanya yang masih saja tak yakin.
“Kayaknya semalem deh.”
Zemira mengangguk pasti. “Udah sana berangkat keburu
telat.”
“Kakak nggak perlu kuliah ya lagi demam tuh, awas aja kalo
nekat!” ancam Randika yang hanya dibalas tawa oleh Zemira.
Setelah melihat langkah kepergian Randika, Zemira kembali
merebahkan diri. Menyandarkan punggungnya di beberapa
tumpukan bantal dan menutupi sebagian pandangnya dengan
lengan tangan. Pikirannya tertuju pada sebuah mimpi yang selalu

HEY ROSE | 77
ia mimpikan hampir setiap malam, juga kesalahan yang telah ia
perbuat tadi malam.
Zemira mengedarkan pandangan, kemudian mencari sebuah
cermin yang ia yakini telah hancur berkeping-keping, mengingat
dirinya telah membanting benda itu. Ia akan memikirkan alasan
yang tepat untuk menjelaskan pada Tio tentang cermin
pemberiannya.
Zemira berjongkok untuk mencari benda refleksi itu.
Semalam ia ingat bahwa dirinya tak membersihkan serpihan
kacanya—atau Randika yang lebih dulu membersihkan dan
menyimpan cerminnya? Ia buka laci meja, tempat ia menyimpan
barang-barang kesayangannya termasuk cermin pemberian
kekasihnya. Dan benar, benda itu ada di sana, hal yang paling
mengejutkan lagi adalah cermin itu masih utuh, masih cantik tanpa
sedikit goresan.
“What the hell…,” gumam Zemira yang seketika menyimpan
kembali cermin di dalam laci. Ia mengubur benda itu dengan
tumpukan benda-benda lain.
Merinding. Itu yang tengah Zemira rasakan. Jantungnya
semakin berdegup kencang ketika ia dipaksa mengingat cerita dari
Jefri. Semuanya ia hubungkan, mulai dari pendengarannya yang
sensitif, keanehan yang Jefri alami, dan kejadian yang ia rasakan
sendiri semalam. Mendadak kepala Zemira pusing,
mengharuskannya untuk beristirahat sebentar sebelum ia pergi ke
kampus nanti siang.
Ya, meski tubuhnya demam, ia akan memaksakan diri pergi
ke kampus. Ia ingin bertemu Tio untuk menceritakan kejadian
semalam—terlebih ia ingin bertemu dengan Jefri kembali. Zemira
harap lelaki itu menampakkan batang hidungnya di kampus.

Terhitung lima hari berturut-turut Tio absen, ia lebih


memilih menghilang. Berkontak dengan temannya atau kekasihnya

HEY ROSE | 78
sendiri pun mulai jarang. Zemira mengkhawatirkan lelaki yang
masih berstatus sebagai kekasihnya itu. Setiap kali ia pergi untuk
menemui Tio dan Jefri di kelas, mereka berdua tidak ada di sana.
Baik Tio atau Jefri, sama-sama susah untuk menemukan kabar
mereka.
Zemira yang kini termenung di lobi fakultas, seketika
terlonjak kaget akibat seseorang yang tiba-tiba datang dan
menepuk bahunya.
“Hhhh Jihan kaget gue!” dengkus Zemira.
“Udah sembuh bestie?” tanyanya dengan sedikit gurauan.
“Lah emang gue sakit ya?”
Jihan berdecak, ia melingkarkan tangannya pada lengan
Zemira, membuat empunya meringis. Jihan mengarahkan
pandangannya pada lengan Zemira yang tertutup. Tak biasanya
gadis itu memakai baju dengan lengan panjang. Setelah menatap
Zemira heran, Jihan menyingkap lengan baju sahabatnya dan
terkejut dengan banyaknya luka di sana.
“Heh lo kenapa ini anjir?!”
Zemira berdecak. “Nggak papa abis jatuh.” Gadis itu
menurunkan kembali lengan bajunya.
“Jatuh apanya? Berantem sama Randika ya lo sampe cakar-
cakaran gini? Nggak mungkin jatuh sumpah ini yang bener lo abis
kenapa? Jujur nggak!”
Zemira hanya diam saja tak menanggapi. Beberapa saat
kemudian dua temannya yang lain datang. Iren dan Lyra datang
bersama—mereka asyik mengobrol ketika sampai di lobi. Lantas
Jihan menyambar mereka berdua, memberi tau Iren dan Lyra
terkait luka yang ada pada tangan Zemira.
“Buka nggak?!” tuding Iren yang sudah bersiap menarik
lengan baju Zemira.
Gadis itu terus mempertahankan dirinya agar teman-
temannya tak menyingkap kain yang menutupi luka di tangannya.
“Ih apaan sih! Jauh-jauh sana!”

HEY ROSE | 79
Ketiga temannya tak kalah untuk terus menarik tangan
Zemira hingga empunya kewalahan dan memilih menyerah. Iren
dengan kasar menyingkap kedua lengan baju Zemira dan
terbelalak melihat tangan yang sedikit membengkak itu. Lyra pun
tak kalah heboh.
“Anjir itu luka lo kenapa? Sampe ngebengkak gitu lieur gue
ngelihatnya.” Tunjuk Lyra dengan memicingkan mata. “Lo nggak
mau ke rumah sakit aja gitu biar diobatin? Infeksi ini ntar. Kenapa
sih?!”
“Jatuh gue,” jawab Zemira singkat, tak ingin memperpanjang.
“Nggak mungkin ah lo jatuh tapi, lukanya luka cakar begini.”
Tukas Iren.
“Tuh tuh iya kan, Ren? Kata gue juga itu luka cakar.” Jihan
menyetujui pernyataan Iren.
“Nggak percaya kalo gue jatuh? Gue jatuh beneran dah ini,”
ujar Zemira berusaha meyakinkan mereka.
Baik Jihan, Iren, maupun Lyra saat ini tengah menghela nafas
dan menatap Zemira ragu. Ditatap seperti itu membuat Zemira
merasa sedikit bersalah sebab tak mengatakan sejujurnya pada
ketiga temannya. Ia pun bingung apakah ia akan menceritakan
kejadian hari itu? Haruskah ia juga berbagi cerita tentang segala
keanehan yang ia jumpai akhir-akhir ini?
“Ze, kalo emang butuh pengobatan sama dokter, ke rumah
sakit aja please takut gue makin infeksi atau gimana itu. Lo juga
sering sakit akhir-akhir ini, sekarang pake acara jatuh lagi.” Iren
menghela nafas. “Nggak adik, nggak kakak gantian kalo sakit. Lo
berdua kenapa gitu sakit bisa barengan, entar siapa yang
ngerawat? Lo jauh dari orang tua, bisa lah jaga diri sendiri?”
Ujarnya Panjang lebar.
Lyra mendengkus. “Gue mau ikutan marah kayak percuma
kagak mempan.”
“Lo punya kita bertiga, jangan melulu nyusahin pacar lo!
Temen-temen lo dianggep kek. Nggak biasanya juga lo sering sakit

HEY ROSE | 80
dan lo tipe orang yang hati-hati, jadi nggak mungkin tiba-tiba
jatuh.” Tambah Lyra.
Benar, apa yang dikatakan Lyra semuanya benar. Memang
tidak biasa. Semua yang terjadi sangat tidak biasa. Zemira hanya
mengangguk dan tersenyum tipis pada ketiga temannya sebagai
jawaban. Ia tak ingin memperpanjang obrolan ini, takut mereka
akan khawatir berlebihan.
Selama masih bisa ia kendalikan sendiri, ia tak menginginkan
orang lain ikut campur dalam masalah yang ia hadapi.

“Kakak tadi ke kampus ya?” selidik Randika sembari


menyuapkan nasi ke mulutnya. “Udah enakan? Terus kenapa
sekarang jadi sering ngunci pintu sih? Lo harus tau kalo gue dari
jadi gembel di depan rumah karena Kak Ze nggak dateng-dateng.
Ya udah akhirnya gue pergi ke rumah Jendra.”
Zemira melamun, ia tak mendengarkan apa yang tengah
Randika katakan. Lelaki itu mendengkus kesal hingga
melemparkan sepotong nugget yang nyaris mengenai wajah
Zemira.
“Heh bocil kagak sopan!” protes Zemira.
“Abisan ngelamun bae. Ngelamunin paan sih?”
Zemira menggeleng. “Kagak apa-apa.”
Setelah menyelesaikan makan malamnya, Randika mencuci
piring dan kembali duduk di kursi makan. Duduk di depan Zemira
yang ia sadari tengah melamun lagi.
“Teteh, Randika mau ngobrol tapi dengerin ya jangan
ngelamun.”
Mendengar itu, Zemira mengangguk dan seketika
memusatkan atensinya pada lelaki yang duduk di depannya.
“Kak, cermin mawar yang ada di kamar lo boleh Dika buang?”
Zemira tersentak. “Jangan dong, dari Tio tuh.”

HEY ROSE | 81
“Tapi, jangan dibuat ngaca lagi ya? Kata Jendra tuh dia lihat
sesuatu di kaca itu. Sosok yang udah meninggal tapi rohnya masih
ada di sana,” jelas Randika.
“Jendra lagi ya? Lo tuh abis gini pasti takut karena dengerin
cerita dia mulu.”
“Ih Kak tapi Jendra emang bisa ngelihat. Dia itu spesial punya
indera yang lain.” Randika menekan kata spesial. “Terus Kak Tio
jangan sering-sering ke sini lagi. Dia banyak berubah semenjak
pulang dari Inggris. Lo tau nggak dia sering dateng malem-malem,
just standing in front of the fence and stare at out house, Kak. It’s
kinda creepy kayak film-film yang pernah kita tonton itu.”
Zemira mengangguk setuju. Ternyata setiap malam ia
menutup jendela bukan dirinya saja yang melihat bayangan Tio
sedang berdiri di luar sana, Randika pun melihat itu. Ia sudah lama
ingin melontarkan tanya akan hal itu pada Tio, tapi ia takut hanya
sebuah halusinasi yang ia lihat setiap malam.
“Kak, soal cermin, nurut aja please. Gue takut tau.”
“Sebenernya kacanya udah pecah, tapi gue nggak tau kenapa
balik utuh lagi,” gumamnya yang masih dapat Randika dengar.
“Terus gimana? Kalo gue ngelukain lo lagi gimana, Kak?”
tukas Randika yang berhasil membuat Zemira berhenti mengunyah
makanan.
“Apa sih? Emang kata siapa lo ngelukain gue? Kan gue bilang
abis jatuh ini,” sangkal Zemira.
“Kata Jendra bisa jadi gue yang ngelukain Kak Ze, karena
emang kalo dipikir tuh lo jatuh yang kayak gimana sih Kak sampe
lukanya begitu? Apalagi itu luka cakar, Dika nggak sebodoh itu juga
kali.”
Zemira mengatupkan bibirnya mendengar pernyataan dari
Randika dan sukses membuat dirinya kalah telak. Sebenarnya ia
hanya tak ingin bila adiknya menyalahkan diri sendiri karena telah
tak sengaja melukai Zemira—sejatinya semua yang terjadi
bukanlah kesalahan dari Randika.

HEY ROSE | 82
“Kak sorry kalo bikin lo tersinggung, tapi gue beneran takut
sama Kak Tio. Dan gue yakin kalo kejadian semalem itu juga bukan
mimpi. Dipikir berapa kali pun gue yakin it’s not a dream.”
“Udah nggak usah dibahas lagi. Anyways, gue boleh minta
nomernya Jendra?”
Randika tersedak. “Uhuk... uhuk... Kak jangan suka brondong
ah!”
Zemira menepuk dahi Randika hingga si empunya
mengaduh.
“Iya iya itu ambil di hp gue,” seru Randika seraya beranjak
dari meja makan untuk pergi mencuci piring.
Sesaat setelah Zemira menyimpan nomor ponsel Jendra,
layarnya kembali menyala akibat panggilan masuk dari seseorang
yang dari tadi menjadi bahan pembicaraan dirinya dengan
Randika.
Tio—mendadak menghubungi gadisnya, entah apa yang
akan ia katakan.
“Halo?” Zemira menerima panggilannya.
“Ze, nggak mau main ke kos?”
Zemira mengernyit tak mengerti mengapa mendadak Tio
bertanya seperti itu.
“Kamu aja ke sini, biasa juga ke sini,” ujar Zemira yang
langsung mendapatkan tatapan tajam dari Randika yang baru saja
kembali usai mencuci piring.
“Enggak deh. Oh iya besok ikut aku yuk? Kamu besok masuk
kuliah, kan? Ada kelas jam berapa? Aku jemput ya sekalian anter
Randika ke sekolah juga.”
Randika mendengar suara Tio di seberang sana, karena saat
ini ia tengah duduk berdekatan atau bisa dibilang menguping
pembicaraan mereka berdua, ia menggeleng cepat kala mengetahui
bahwa Tio akan mengantarnya ke sekolah besok.
“Gue bareng Jendra,” bisik Randika menolak. Zemira
menghela nafas dan mengangguk menanggapi.

HEY ROSE | 83
“Maaf, Dika mau berangkat bareng Jendra ceunah mulai
besok, jadi nggak perlu kamu anter lagi,” ujar Zemira sedikit
canggung. “Aku besok ada kelasnya siang, jadi kayaknya nggak
perlu dijemput juga kalo kamu kelasnya pagi.”
“Oh gitu? Nggak lagi takut sama aku, kan?”
Degg!
Bak dihantam sebuah benda yang keras, ulu hati Zemira
terasa nyeri. “Kenapa mikir gitu?” tanyanya.
“Soalnya tiap aku ke sana dia kayak takut gitu ngelihat aku.”
Kini Zemira yang dibuat bingung. “Kamu ke sini? Kapan? Kok
aku nggak tau?” tanyanya sekedar basa-basi dan untuk
memastikan bahwa apa yang ia dan Randika lihat setiap malam itu
adalah Tio, bukan makhluk lain.
“Aku tiap malem ke rumah kamu. Di depan doang, mastiin
kalian berdua.”
Zemira menghela nafas. Pantas jika Randika merasa takut
dengan Tio karena lelaki itu hanya berdiri di depan rumah tanpa
berniat masuk ke dalam.
“Kayaknya emang Dika takut karena kamu diem doang di
depan rumah, harusnya masuk gitu biar nggak salah paham. Tau
sendiri dia itu penakut sama hal-hal yang ....”
Kalimat Zemira menggantung sebab Randika tengah
memasang wajah galak dengan mata yang melotot. Rupanya ia
ingin si sulung untuk segera mengakhiri panggilannya.
“Aku kemaleman, lagian pintu rumah juga sekarang kamu
kunci terus. Ya udah kalo gitu besok kamu nggak mau dijemput
juga?”
Zemira menggeleng meski Tio tak dapat melihat reaksinya
saat ini. “Enggak...,” lirihnya.
“Ya udah kalo gitu aku tutup ya, Ze. Kamu percaya sama aku,
kan? Apa pun yang aku lakuin kamu percaya? Aku harap kamu
nggak ada pikiran jelek sama aku.”
“A-apa maksudnya?”
Tuuttt....

HEY ROSE | 84
Tuuttt....
“Halo? Tio?”
Pertanyaan terakhir Zemira tak terjawab karena kekasihnya
itu memutus panggilan sepihak. Sungguh tidak adil karena ia
bahkan belum sempat bertanya tentang hal yang ingin ia tanyakan
mengenai cermin pemberian Tio.
Pindah ke ruang tengah, Zemira menemani sang adik
menonton televisi. Ia kembali menatap layar ponsel, menggulir
beberapa nama di kontaknya dan berhenti pada satu nama kontak
yang baru ia simpan.
Jendra—sepertinya banyak yang ia ketahui.
Lantas Zemira mencoba untuk menghubunginya. Awalnya
hanya pertanyaan seputar apakah lelaki itu dapat melihat apa yang
tidak bisa ia lihat? Jendra membenarkan pertanyaan Zemira. Juga
pertanyaannya mengenai sosok yang ada di dalam cermin
pemberian Tio. Ia mencoba untuk mengajak teman Randika itu
untuk bertemu muka, agar Zemira sendiri pun dapat mendengar
penjelasan secara langsung dan mengerti apakah lelaki itu sedang
berbohong atau tidak.
Jendra menyetujui ajakan Zemira dan akan pergi ke
rumahnya meski jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Sepertinya pun banyak sesuatu yang ingin lelaki itu jelaskan pada
Zemira juga.
Melangkahkan kaki ke luar rumah, Zemira pergi ke teras
meninggalkan Randika yang tengah tertidur di ruang tengah. Gadis
itu duduk di teras sembari menatap jauh ke depan, ia merasa aneh
dengan setiap malam yang ia lewati. Meski banyak kendaraan yang
berlalu lalang, ia seperti merasa kosong dan sepi.
Tak menunggu lama, terlihat Jendra memasuki pelataran
rumah dengan mengayuh sepeda.
“Kak.” Seulas senyum Jendra terbit kala menyapa Zemira.
“Sini duduk.” Titah Zemira.
Tanpa basa-basi Jendra langsung menembak dengan
berbagai jawaban yang bahkan belum Zemira tanyakan. Ia sudah

HEY ROSE | 85
menjawab segala yang menjadi pertanyaan Zemira akhir-akhir ini.
Tak banyak, hanya saja hal yang dikatakan Jendra padanya mampu
sedikit mengurangi rasa penasarannya.
“Gue nggak tau awal mulanya gimana, Kak, tapi gue ngelihat
sosok yang nggak pernah ada di rumah Kak Ze atau bisa dibilang
makhluk baru? Gue nggak bisa jelasin dia jahat atau enggak karena
gue nggak tau. Waktu itu pasti Randika udah cerita, kan? Tugas
sekolah yang tiba-tiba aja bikin kita semua kaget karena di situs
orang hilang, ada inisial Kak Tio dan temen-temennya yang lain ada
di sana.”
“Tunggu—gimana lo bisa yakin kalo itu inisial Tio sama
temen-temennya padahal kalian semua belum kenal atau bahkan
nggak kenal. Randika aja lupa-lupa inget sama temennya Tio.”
Zemira menyela penjelasan Jendra.
“Karena tertera asal nama kampus dan negara, Kak. Nggak
mungkin kan kalo ada orang lain dengan inisial sama? Dan lagi
penerima beasiswa itu orang-orang yang kepilih aja kan, Kak?”
“Jen, situsnya belum diperbarui lagi kali.” Zemira terus
menyangkal, sedikit tak terima.
“Katakanlah begitu. Kak, tapi kenyataannya setiap hari gue
lihat situsnya terus update tentang informasi orang hilang dan
orang yang udah ditemuin. Nggak masuk akal kalo mereka nggak
perbaruin lagi info tentang hilangnya mahasiswa yang punya inisial
T dan temen-temennya.”
Zemira lagi-lagi dibuat bungkam akan pernyataan dari
Jendra. Apa yang dikatakannya benar, mustahil bila situs sebesar
itu melewatkan untuk memperbarui informasi.
“Tentang sosok yang lo lihat itu ....”
Kalimat Zemira menggantung, namun Jendra dapat
membacanya. “Dia sosok yang kejebak di dalam cermin mawar
punya Kak Ze. Dan sorry kalo gue nyuruh Randika buat ngeluarin
kursi yang ada di kamar lo. Bukan tanpa alasan, karena actually
kalo ada kursi kosong di kamar, that’s where ghost sit while they
watch you sleep, Kak—duduk nungguin lo.”

HEY ROSE | 86
Demi Tuhan! Gadis itu merinding bukan main. “Are you sure?
Lo nggak lagi dalam misi bikin gue sama Randika mati ketakutan,
kan?”
“Ngapain juga, Kak? Apa untungnya buat gue? Gue malah
coba buat bantu Kak Ze. Dan di sini banyak pandangan gue tentang
Kak Tio, event tho gue nggak kenal sama dia. Apa dia udah
ngelakuin sesuatu yang salah? Suatu hal di luar ranah kita sebagai
manusia. Hal terlarang misalnya?”
Zemira diam bukan berarti ia hanya mendengarkan tanpa
berpikir. Semua perkataan Jendra pelan-pelan ia telan dan
menyaring mana yang perlu ia percaya, mana yang tidak. Ia tidak
langsung menelan mentah-mentah semua pernyataan dari Jendra.
Tapi, jika lelaki itu pun dapat menjelaskan dengan jelas dan logis,
bisa saja rasa percaya Zemira lebih mendominasi.
“But it’s just my opinion. Karena gue juga belum tau jelas. Kak
Ze mau nggak kalo gue ajak ke suatu tempat? Yang mungkin bakal
lebih ngebuka diri lo.”
“Ngebuka? Wait Jen, iya oke gue pasti akan terima semua
penjelasan lo, tapi, what do you mean? Biar lebih terbuka?” Zemira
mengernyit seakan menuntut penjelasan akan hal ‘terbuka’ yang
Jendra maksud.
“Hmm, ikut gue ke tempat yang nggak pernah dijamah sama
manusia.”
“Lo gila?! Nggak mau lah gue!” Zemira menolak mentah-
mentah. Untuk apa ia harus pergi ke tempat yang tidak pernah
dijamah oleh manusia? Ia tak ingin menyia-nyiakan waktu juga satu
nyawa yang ia punya.
“Kak, kadang sesuatu yang berbau mistis bisa ngebantu diri
kita buat ngelawan hal dari alamnya juga. Gue pun, ada gue sama
Kak Jefri.”
“Jefri? Bentar … Jefri yang lo maksud itu … Jefri yang gue
kenal?”
Jendra mengangguk. “Iya, Kak Jefri mantan Kak Ze, kan? He
almost died kalo nggak ada gue waktu itu. Gue nggak bisa cerita

HEY ROSE | 87
banyak dulu, Kak, lo pikir baik-baik aja dulu. Gue juga nggak bisa
maksain Kak Ze buat ikut gue ke sana. Yang jelas gue udah cukup
banyak tau tentang Kak Tio, hanya terlalu rumit buat dijelasin satu-
satu dan semuanya masih belum jelas.”
“Gue cuma pesen sama Kak Ze, jangan bawa cerminnya ke
mana-mana. Taruh aja di laci atau tempat tertutup lainnya. Simpen
aja di sana, kalo bisa buang deh, Kak.”
Zemira mengangguk paham. Lagi-lagi semua menyudutkan
Tio. Menuduh kekasihnya itu telah melakukan hal terlarang yang
mengakibatkan banyak sekali kerugian. Tentu saja, bagaimana pun
ia tak bisa mempercayai satu pihak. Gadis itu butuh penjelasan juga
dari Tio, apa pun itu setidaknya Tio mau angkat bicara.
“Too much information, Jendra. Tapi, balik lagi, karena gue
nggak bakal percaya sama orang kalo gue nggak ngelihat atau
ngebuktiin sendiri, jadi gue tetep mau percaya sama Tio. Atas
semua tuduhan kalian semua, dia nggak seperti yang kalian kira.
Dan apa untungnya buat dia ngelakuin hal terlarang gitu? Fifty fifty
lah.”
“Oke fifty fifty kan, Kak? So, Kak Ze juga nggak boleh terlalu
percaya sama Kak Tio. Iya bener, bisa jadi tuduhan gue yang salah.”
“Fifty fifty, right?” imbuh Jendra lagi.

HEY ROSE | 88
WELCOME
During the day, I don’t believe in ghosts. At night I’m a little more
open-minded.

Hari demi hari yang Zemira lewati terasa semakin sepi dan sunyi.
Entah hanya perasaannya saja atau memang ia sedang merasa
kesepian karena jarang bertemu para sahabatnya di kampus.
Masuk di kelas yang berbeda, juga tugas yang semakin hari
semakin menggerogoti akal pikir, membuat dirinya tak memiliki
waktu untuk sekedar hangout bersama sahabat-sahabatnya.
Kali ini ia berada di toilet bersama dengan salah satu
sahabatnya, Lyra. Mereka berdua sama-sama tengah bercermin.
Memoles wajah yang padahal masih cantik-cantiknya. Namun,
kemudian Zemira meraih ponsel dan fokus membalas beberapa
chat yang masuk. Waktu Indonesia Bagian Gibah, kata Jihan. Ia
tertawa karena Iren memenuhi room chat dan mengatakan bahwa
ada sesuatu yang harus mereka lihat.
“Apaan lagi sih Iren ini?” Lyra mendengkus kesal sebab spam
chat dari Iren.
“Haha nggak tau biarin aja deh.”
“Tuh tuh segala tanya kita ada di mana, tinggal kasih tau aja
ngapa dah?! Emosi gue lama-lama. Mau spill aja setengah-
setengah.”
Gelak tawa Zemira mengudara. Sesaat kemudian ia terdiam
akibat foto yang dikirimkan oleh Iren. Sebuah foto dengan tiga
lelaki di dalamnya. Maren, Dhirgam, dan Wira. Ia tak mengerti
mengapa Iren mengirim foto tersebut.
Dan bukan Lyra namanya jika ia tidak heboh karena foto
lelaki yang Iren kirim. Ya, Maren—lelaki yang Lyra suka, yang
pernah menggemparkan seantero kampus perihal kematiannya.

HEY ROSE | 89
Iren seperti memaksa Lyra untuk mengingat seseorang yang telah
hilang dari muka bumi.
“Cowo kiciw gueeeeee...,” mata Lyra berubah sendu.
Keduanya berjalan mencari tempat duduk yang nyaman,
sembari menunggu Iren untuk menjelaskan maksud dari ia
mengirim foto tersebut. Rasanya darah Lyra berdesir naik karena
Iren terus saja bertele-tele menanyakan apakah Zemira saling
follow dengan Dhirgam di sosial media atau tidak. Karena rupanya
foto yang baru saja Iren kirim adalah postingan terbaru dari
Dhirgam.
Penasaran dengan itu, baik Zemira maupun Lyra, keduanya
membuka akun sosial media Dhirgam untuk melihat postingannya.
Kedua bola mata Zemira hampir lepas rasanya, saking melototnya
ia kala melihat kolom komentar terdapat akun Maren yang
meninggalkan jejak di postingan tersebut. Tapi sebentar—jadi
kecurigaannya tentang sebuah situs web itu benar, kan? Apa kata
Zemira! Situs itu belum memperbarui informasi, Dhirgam still alive.
Namun, di sisi lain bukankah Maren sudah dinyatakan meninggal
sejak kabar itu?
“Nggak nggak ini foto lama.” Zemira me-rolling eyes dan
hampir menyimpan kembali ponselnya sebelum akhirnya Lyra
menahannya.
“Semalem. Ini postingan semalem. Dan ini komentar
Maren—Ze? Kita udah bareng-bareng ke makam Maren kan waktu
itu?”
Pertanyaan dari Lyra membuat sekujur tubuh Zemira
merinding. Otaknya terasa berhenti tak bisa berpikir lagi. Lidahnya
pun kelu hanya untuk menjawab ‘iya’ pada pertanyaan Lyra. Ia
ingat betul kala itu mereka berkunjung ke rumah duka, bahkan
Zemira, sahabatnya, juga Tio dan teman-temannya yang lain ikut
pergi ke makam Maren.
Gadis itu menggeleng cepat. Beranjak dari tempat duduknya
dan berlari meninggalkan Lyra yang tengah meneriaki namanya.
Tak peduli dengan itu, Zemira hanya ingin bertemu Tio saat ini.

HEY ROSE | 90
Bagaimana pun juga ia harus bertanya untuk mendapat jawaban
agar ia tak menuduh Tio yang tidak-tidak.
Berlarian menuju ruang kelas Tio, hanya ada Doni juga Janu
di sana. Mencoba menghubungi lelaki itu pun tak ada nada
panggilan tersambung. Ia kirim beberapa bubble chat tapi sayang
sekali sepertinya ponsel Tio mati atau mungkin sengaja
dinonaktifkan untuk menghindar. Karena demi apa pun Tio tak
pernah bersikap seperti ini pada Zemira, lantas apakah ini saatnya
ia harus mempercayai semua perkataan Jefri? Apakah saatnya ia
pun ikut menyudutkan Tio seperti orang-orang lainnya?
Tidak.
Zemira masih ingin percaya pada Tio. Kini dirinya yang
berasumsi bisa jadi akun Maren digunakan oleh orang lain, dan bisa
jadi itu bukan Maren atau pun Dhirgam, atau pun—ah! Sial Zemira
merasa dirinya hampir gila hanya karena memikirkan ini.
Otaknya sudah tumpul. Zemira tak bisa berpikir akan
kemana ia saat ini, yang jelas ia harus pergi ke makam Maren
sepulang dari kampus. Itu akan lebih membuatnya yakin bila
Maren telah meninggal dunia. Dan jalan terakhir, hanya Jefri yang
mungkin akan menemaninya ke tempat peristirahatan Maren.
“Halo Jef? Lo di mana? Gue mau ketemu boleh?”
Tanpa basa-basi Zemira menyambungkan panggilan suara
dengan Jefri.
“Boleh, udah kelar ngampus? Mau ketemu di mana?”
jawabnya di seberang sana.
“Di makam Maren. Lo nggak lagi sibuk, kan?”
Jefri terdiam sejenak, rasanya ia sedang berpikir. “Sorry Ze
gue nggak bisa.” Tolaknya.
“Kenapa? Kata lo boleh ketemu barusan? Lo juga tanya mau
ketemu di mana, kenapa waktu gue jawab di makam Maren, lo
mendadak nggak bisa?” Zemira menyudutkan dan berupaya agar
Jefri menyetujui ajakannya.
“Ya kalo ke sana mau ngapain Ze? Apa yang mau lo cari di
sana?” suara Jefri naik satu oktaf.

HEY ROSE | 91
“Enggak... gue mau ke sana aja jenguk dia. Salah ya? Kalo
nggak mau nggak papa gue ke sana sendiri.” Final Zemira setengah
mengancam. Karena pada dasarnya ia ingin Jefri ikut bersamanya.
Terdengar Jefri menghela nafas kasarnya. “Iya oke gue
temenin. Kita ketemu di sana apa mau gue jemput? Lo nggak sama
Tio, kan?”
“Ketemu di sana aja, gue bawa motor kok. Tadinya mau sama
Tio tapi gue cari dia di kampus nggak ada. Gue hubungin pun
nomernya nggak bisa dihubungi. Makanya gue ngajakin lo, Jef.”
“Ya udah hati-hati bawa motornya. Yuk berangkat sekarang
keburu sore, hujan juga nanti takutnya.”
Zemira mengangguk meski Jefri tak bisa melihatnya.
Sambungan terputus begitu Jefri mengatakan kalimat terakhir.
Untuk mempersingkat waktu juga, Zemira segera bergegas
mengunjungi Maren.

“Lo sih Jef! Kan udah gue bilang rada cepet dikit keburu sore!”
protes Zemira.
Sendiri, Zemira menunggu Jefri yang entah kenapa bisa
sangat lama untuk sampai di makam. Ini yang ia takutkan juga,
matahari yang ingin segera bersembunyi di balik malam. Jefri
datang dengan wajah tak berdosa. Masih sempat untuk sekedar
memamerkan lesung pipinya, padahal Zemira sudah sangat kesal
rasanya.
“Takut ya?” goda Jefri. “Lagian ngajaknya juga mepet jam
segini.”
“Apa? Apa juga yang gue takutin?”
Jefri menggeleng.
Mereka berdua berjalan dengan langkah kaki yang sama.
Tempat peristirahatan terakhir Maren harus ditempuh setidaknya
15 menit dari area parkir. Cukup jauh karena harus melewati
pepohonan pinus dan pohon-pohon besar lainnya. Tampak seperti

HEY ROSE | 92
hutan, namun tak bisa disebut hutan karena lokasinya khusus
untuk tempat pemakaman.
Di jalan, Zemira sempat berfikir untuk memberikan banyak
pertanyaan pada Jefri. Namun setelah ia melirik rekan di
sebelahnya, wajah itu nampak murung entah karena apa. Maka ia
terpaksa mengurungkan segala pertanyaan—tapi tetap saja....
“Jef lo tuh kenapa udah nggak ngampus?”
“Terminal?”
“Cuti?”
Pertanyaan Zemira tak satu pun diindahkan.
“Ze—“
“Loh? Kenapa berhenti?” Zemira membalikkan tubuhnya
karena Jefri tak ada di sebelahnya.
Berdiri di depan gundukan tanah yang nisannya terukir
nama ‘Jefri Sandika’. Siapa yang tidak terkejut saat menyadari nama
lengkapnya terpampang jelas di sebuah batu nisan. Zemira melotot
sembari tangannya membungkam mulutnya, menahan nafas
beberapa detik, sesak rasanya. Karena demi Tuhan jantungnya pun
bisa saja melonjak keluar.
“J-Jef ... itu nama lo?”
Jefri tak menjawab. Ia sontak meraih tangan Zemira untuk
mengisi ruas jarinya yang kosong. Lelaki itu menarik Zemira agar
lawannya mengurungkan niat untuk pergi ke makam Maren.
“Jef?! Ih ngapain balik sih? Kan belum nyampe di makam
Maren.”
“Setelah lihat itu lo masih mau ke sana?!” Itu bukan
pertanyaan, melainkan tindak tegas dari Jefri yang tiba-tiba tampak
cemas. “Masih mau nerusin jalan ke makamnya Maren? Lo yakin?
Bentar lagi jam lima, Ze. Ini udah gelap!”
“Ya kan tujuan ke sini emang ke makamnya Maren?! Lagian
nama Jefri Sandika di dunia ini nggak hanya lo doang yang punya.”
Zemira melepas paksa tangan Jefri hingga tangan lawannya
terhempas. Ia berniat untuk kembali melanjutkan jalannya untuk
tetap pergi meski tanpa Jefri.

HEY ROSE | 93
“Apa sih yang lo cari?” pertanyaan Jefri mampu membuat
langkah gadis itu terhenti. “Lo mau mastiin Maren udah meninggal
atau enggak, kan? Nggak hanya pengen ngunjungin makam Maren
tapi lo punya tujuan lain, kan?”
Tidak ada jawaban, Zemira masih memunggungi Jefri.
“Jawab gue, Ze!” Jefri kembali melontar tanya.
“Kalo iya kenapa?” suara Zemira lirih, masih terdengar meski
ia tak membalikkan diri. “Tinggalin gue sendiri kalo lo nggak mau
nemenin gue. Gue nggak papa.” Ia melangkah lagi.
Gadis itu tetap pada pendiriannya, ia semakin melangkah
menjauh dengan Jefri yang masih berdiri mematung disertai
rutukan terhadap dirinya sendiri.
Kabut mulai turun menutupi pandangan Zemira dan Jefri. Ya,
Jefri memutuskan untuk ikut bersamanya. Ia tak akan setega itu
membiarkan seorang gadis sendirian pergi ke makam. Meski langit
hampir gelap dengan meninggalkan bias cahaya mentari, mereka
berdua tengah sampai di tujuan.
Zemira menatap lekat-lekat sebuah gundukan tanah dan
batu nisan itu. Di atas gundukan terdapat banyak taburan bunga
mawar dan kenanga yang membuatnya semakin indah. Sepertinya
ada seseorang yang datang sebelum mereka berdua berkunjung.
Daun-daun saling bergesekan menimbulkan suara gemerisik
lembut yang terdengar indera pendengaran. Hembusan angin
sedikit kencang, membuat Zemira menggosok lengan yang terbuka
dengan kedua telapak tangannya.
“Udah Ze?” tanya Jefri. “Gelap.” Imbuhnya lagi sembari
mengeluarkan ponselnya guna menyalakan lampu senter sebagai
penerang mereka.
“Jef, lo tau sesuatu, kan?” Zemira masih sibuk
menghangatkan dirinya. Lantas ia berjongkok di samping nisan.
“Boleh nggak Jef lo kasih tau gue? Semuanya.”
Bukan tanpa alasan Zemira tiba-tiba berjongkok. Gadis itu
merasa ada orang lain yang tengah memperhatikan mereka
berdua. Dengan kedua kaki terlipat, diam-diam Zemira mencuri

HEY ROSE | 94
pandang pada sosok yang berdiri di belakang pohon pinus, tepat di
belakang Jefri, namun terpaut jarak yang cukup jauh.
Sebuah bayangan hitam.
“Suddenly? Emang percaya kalo gue cerita apa yang gue tau?
Lo aja nggak percaya kalo Tio yang nyelakain gue.”
“Shhhh.” Zemira menempelkan jari telunjuknya pada bibir
cerinya. “Diem dulu Jef.” Seraya memelankan suaranya.
Gerak-gerik bola mata Zemira, semoga Jefri dapat
membacanya—ia terus memutar bola matanya ke arah yang sama.
Tak jelas siapa dan sosok apa yang tengah berdiri di sana. Sosok itu
terus memperhatikan mereka berdua. Tangan Zemira meraih
pergelangan Jefri dan bergetar hebat. Sungguh detak jantungnya
pun melampaui batas normal. Untuk pertama kali dalam hidupnya,
ia merasakan bagaimana rasanya diawasi oleh sosok yang tak
pernah ia percayai.
Hantu? Jin? Setan? Iblis? Apalah itu Zemira tak pernah
mempercayai bahwa mereka ada. Sekali pun mereka benar-benar
ada, tak akan ada pengaruhnya pada dirinya.
“Ze? Ayo balik.”
Seperti merasakan perubahan sikap pada gadis itu, Jefri
menarik tangan Zemira agar ia bangun dan beranjak dari sana.
Wajah gadis itu terlihat sangat pucat. Namun, sesuatu yang lebih
menegangkan terjadi. Kala langkah mereka bergeser, sosok itu
menggeser langkahnya pula untuk semakin dekat.
Zemira melihatnya. Sosok itu adalah dirinya—tidak! Lebih
tepatnya, sosok lain dari Zemira. Sosok yang menyerupai dirinya,
sama seperti tempo hari yang ia lihat di ruang kamarnya. Dengan
rambut panjang terurai, juga cermin berada dalam genggamnya.
Cermin mawar? Pemberian Tio?
Zemira menggeleng cepat menyadarkan lamunannya.
“J-Jef... kayaknya kita nggak bisa balik.” Suaranya mulai
bergetar. Sudut matanya pun kian membasah.
“Nggak bisa balik gimana? Ze? Percaya sama gue ya?” ucap
Jefri seraya memberi keyakinan.

HEY ROSE | 95
“Jefri demi Tuhan di belakang lo ada ... gue ...,” bisik Zemira.
Lelaki itu menggeleng. “Lo ada di depan gue sekarang. Ze, ayo
kita balik, oke?” tegas Jefri yang sontak membalikkan tubuhnya
tanpa mengabulkan keinginan Zemira. Ia tetap menggenggam kuat
pergelangan tangan Zemira agar gadis itu tak lepas darinya. Agar
gadis itu tetap berada dalam lindungnya.
Lantas sosok itu dengan cepat pula memangkas jarak di
antara mereka. Secepat Jefri membalikkan tubuhnya, secepat itu
pula sosok yang diyakini Zemira yang lain menancapkan ujung
cermin mawar yang dipegang tepat di leher Jefri.
“JEFRI!!!!!”
Genggaman tangan Jefri terlepas. Tubuhnya seketika ambruk
dengan cairan merah kental yang bercucuran keluar dari leher.
Zemira mengangkat kepala Jefri pelan untuk disandarkan di atas
pahanya. Kedua bola mata lelaki itu masih sedikit terbuka dengan
minim kesadaran dan mata sayu ia masih sempat melontarkan
sebuah kalimat.
Lawan, Zemira....
Anehnya Jefri tak mengeluarkan suara apa pun namun
Zemira dapat mendengarnya dengan jelas. Seperti suara bisikan-
bisikan yang kerap kali ia dengar. Setelah mengatakan hal itu, Jefri
menghembuskan nafas terakhirnya. Tepat pukul enam malam, Jefri
terbunuh di depan mata kepala Zemira.

“Kak, are you okay? Maaf gue kira lo kemarin bercanda.”


Randika berada di kamar Zemira untuk menemani sang
kakak yang tengah melamun seharian menghadap luar jendela dan
duduk di tepian ranjang.
“Jendra bilang ....”
“Gue nggak setega itu bercandain kematian orang, Dika.” Satu
buliran bening terjatuh bebas melewati pipi putih Zemira.

HEY ROSE | 96
“Iya, Randika minta maaf. Kata Jendra hari ini Kak Jefri
dimakamin, Jendra juga ke sana, Kak Ze nggak mau ke sana juga?
Dika temenin.”
Sebenarnya Randika sudah siap dan rapi memakai baju serba
hitamnya.
“Gue pantes nggak sih? Pantes nggak kalo gue dateng ke
pemakamannya? Dika, semua salah gue. Lo percaya nggak kalo gue
yang bunuh Jefri?”
Zemira melempar pertanyaan yang membuat Randika tak
bisa menjawab beberapa detik. Gadis itu kembali menangis, kini
buliran air mata tengah berbondong-bondong meloloskan dirinya.
Randika menggeleng sembari menyeka wajah si sulung.
“Kakak jangan bercanda deh. Randika nggak bakal percaya lah.
Ngebunuh apa sih, Kak! Jangan ngomong kayak gitu.”
“Tapi, Dik, emang gue yang ngebunuh Jefri. Gue ....”
Suara tangis bercampur dengan penyesalan menggema
memenuhi ruangan. Zemira meraung sembari menyalahkan
dirinya sendiri. Menangis hingga dadanya terasa sesak dan sakit.
Randika ikut sedih melihat si sulung yang terus meremat dadanya
dengan sesekali memukul.
“Kak, udah....” Randika berusaha menenangkan meski ia
sendiri tak tau apakah ia dapat membuat hati kakaknya merasa
lebih baik atau tidak. Ia mengusap punggung si sulung dengan
teratur. “Semua udah takdir Kak, nggak bisa kita nyalahin diri
sendiri. Udah ya?”
Zemira menggeleng. “Kalo aja kemarin gue nggak ngajakin
Jefri, kalo aja gue nggak kukuh nyamper ke makam Maren, kalo aja
gue nurutin apa kata dia, Jefri pasti masih hidup.” Keluh sesalnya.
“Lo pergi aja nggak papa, gue nggak ikut ke pemakaman. Lo aja ya
Dik, sebagai pengganti gue.” Pinta Zemira.
Haruskah Randika pergi meninggalkan sang kakak sendiri di
rumah? Haruskah ia pergi ke pemakaman Jefri? Ia sama sekali tak
tega membiarkan Zemira sendirian dalam kondisi seperti ini. Ini

HEY ROSE | 97
adalah yang pertama dalam hidupnya melihat si sulung terlihat
frustasi seperti ini dan semoga terakhir kalinya pula.
“Gih berangkat.” Titah Zemira lagi.
Mau tak mau Randika kabulkan permintaan dari Zemira.
Sebelum lelaki itu pergi, ia meyakinkan pada si sulung bahwa itu
semua bukan kesalahannya. Sudah jalan takdirnya seperti ini, tak
bisa Zemira menyalahkan keadaan yang tengah terjadi dan gadis
itu hanya mengangguk lemah.
Sendiri.
Kini Zemira duduk berteman sepi, lagi.
Duduk di tepian jendela, dengan angin yang lolos
menerpanya dan meniup lembut anak-anak rambutnya, berharap
rasa sesak di dada ikut terbang bersama angin jua.
“Who is she?” gumam Zemira, menatap ke luar. “That shadow,
why is it exactly the same as me? Apa itu artinya gue yang ngebunuh
lo? Atau apa Jef?”
Air mata Zemira kembali terbendung di pelupuk mata.
“Maafin gue ... Jefri maafin gue ... gue mau percaya sama lo, gue mau
percaya sama semua tuduhan lo tentang Tio karena kematian lo
yang nyata ini bikin semua yang ada di pikiran gue berubah.”

Meski awalnya Zemira tak ingin pergi ke pemakaman Jefri


karena rasa bersalahnya terlalu tinggi, akhirnya ia telah
memijakkan kakinya di area pemakaman. Tak sendiri, Zemira
bersama dengan kekasihnya, Tio. Gadis itu bukan terpaksa untuk
mengunjungi makam, tapi tiba-tiba Tio menjemputnya untuk pergi
bersama.
Usai dari pemakaman, Tio tak juga kunjung pulang dari
rumah Zemira. Lelaki itu berniat untuk menemani gadisnya karena
ia sendirian di sana. Berbanding terbalik dengan Zemira yang
menginginkan Tio untuk segera pulang. Gadis itu sedang dalam
mode malas untuk terus bersama dengan Tio.

HEY ROSE | 98
“Are you feeling better?” tanya Tio menginterupsi.
Zemira mengangguk. “Makasih udah nemenin aku ke
makam.”
“Don’t blame yourself ya? Ini Randika masih lama nggak
keluarnya?”
“Iya tadi bilang sekalian ke rumah Jendra. Kamu pulang aja,
aku nggak papa sendirian.”
Tio berjalan menyusuri setiap inci kamar Zemira. Hal yang
biasa karena sebelum Tio pergi ke Inggris pun ia sering membantu
Zemira untuk membersihkan kamar. Lelaki itu bahkan hafal letak
barang-barang kesayangan gadisnya. Ia membuka laci, lantas
duduk di tepian ranjang.
“Masih khawatir sama kamu.” Jawabnya atas pernyataan
Zemira.
Zemira sudah memejamkan mata saking lelahnya. Kedua
mata yang sembab, ia ingin mengistirahatkannya. “Aku nggak papa
beneran, kamu pulang aja.” Tukasnya tanpa membuka mata sedikit
pun.
“Ya udah aku pulang.”
Gadis itu hanya mengangguk.
Masih di ambang pintu, Tio kembali menyandarkan dirinya
untuk mengatakan sesuatu pada Zemira. “Cermin yang aku kasih,
aku keluarin dari laci.”
Mendengar itu Zemira membuka matanya dan menoleh ke
arah Tio, kemudian berotasi pada meja lacinya. Benar saja, cermin
yang ia simpan di dalam laci sudah berada di atas meja. Tepat di
dekat vas dengan bunga mawar pemberian Tio yang masih segar
dan indah.
“Ngapain dikeluarin? Emang aku simpen di dalem laci kok.”
Nada Zemira naik satu oktaf. Ia menampakkan kekesalannya.
“Nggak papa, buat kamu ngaca aja.”
Apa katanya?
Zemira tertawa sarkas. “Hello? Aku lagi nggak butuh itu, Tio.
Harusnya kamu tau itu. Ngapain dikeluarin sih? Ya udah lah nggak

HEY ROSE | 99
perlu dibahas.” Ia mengibaskan tangannya. “Mulai besok aku ke
kampus sendiri aja, naik motor, kamu nggak perlu jemput aku.
Randika juga udah tiap hari sama Jendra.”
Tatapan Tio menajam mendengar penuturan Zemira. Begitu
pula sebaliknya, gadis itu melempar tatapan yang sama. Datar
dengan disertai rasa kesal dan malas.
“Kenapa? Kamu lagi berusaha ngejauh? Atau ada alasan
lain?” tembak Tio.

Berapa kali pun Zemira pergi ke tempat itu, rasanya masih


seperti mimpi. Sudah seminggu, ia tak bisa menerima kepergian
Jefri yang baginya terlalu mendadak. Entah apa yang ada di
pikirannya hingga ia harus datang ke makam selepas subuh. Batu
nisan yang sebelumnya ia lihat benar adanya milik Jefri.
“Aneh Jef, waktu kita berdua ngelihat batu nisan ini.”
“Apa mungkin waktu itu makam ini sengaja emang buat lo?”
“J-jef ....” Suaranya bergetar disertai tetesan bening yang
keluar begitu saja dari matanya.
“Gue harap ini mimpi, Jef. Tapi kenapa gue nggak bisa bangun
dari mimpi gue?”
Dalam hatinya, ia ingin sekali lagi pergi ke tempat di mana
sebuah makam dengan nama Maren tertulis di batu nisan. Sungguh
ia ingin menemui sosok yang menyerupai dirinya. Tapi,
keberaninnya mendadak melemah. Pandangannya kabur tertutup
kabut, namun kedua bola matanya menangkap jauh jalan sepi itu.
“Hhhhh.” Zemira menghela napas panjang. “Bahkan gue
nggak berani ke sana lagi meski gue pengen.”
Zemira mengusap matanya yang basah dengan kasar, lantas
meletakkan seikat bunga mawar pemberian kekasihnya yang
sengaja ia ambil dari vas kamarnya. Ia letakkan di atas gundukan
cokelat berbalut rumput yang mulai tumbuh di sekitarnya.

HEY ROSE | 100


“Jef, bunga mawar ini nggak pernah layu, gue pun heran.
Padahal kata Randika bunga mawar paling lama tahan 10 hari kalo
ditaruh di vas. Tapi, ini udah berapa hari? Bahkan udah berapa
minggu? Berapa bulan?”
“Hehe gue kasih ke lo, tandanya biar lo hidup terus di hati
gue.” Zemira lalu menggeleng. “Biar gue ralat. Bukan berarti gue
masih belum bisa move on ya?! Maksud gue—ya, gue tetep anggap
lo masih hidup. Gue nggak mau terus-terusan ngerasa bersalah,
nyalahin diri gue sendiri, gue nggak mau.”
“Kalo gitu gue balik ya?”
“Iya Ze, hati-hati bawa motornya.” Ucap Zemira menirukan
gaya bicara Jefri.
Mulai berjalan meninggalkan makam Jefri, terlintas dalam
pikirnya tentang Maren yang aktif di media sosialnya. Ia merogoh
saku untuk membuka ponsel dan menggulir instagram lelaki itu,
lantas mencoba mengirim sebuah direct message pada Maren.
Berharap agar asumsinya kali ini benar dan tak lagi menerka-
nerka.

Marenlee

Maren?

Oh hi! What’s up Ze?

Are you Maren?

Iya ini gue Maren, kenapa sih?

MAREN? REALLY MAREN?!!

HEY ROSE | 101


sending photo

Almost midnight here, I have to sleep, Ze

But wait kenapa lo tiba-tiba DM gue?

YOU STILL ALIVE GODDD

Wdym?

Ya gue masih hidup, lo kenapa sih?


Ya gue masih hidup, lo kenapa sih?
Lo baik-baik aja di sana?

Lo ada di mana sekarang?

Gue masih di Inggris

Dan dalam keadaan baik

Ada apa sama pertanyaan lo?

Sumpah gue seneng lo baik-baik aja

Then how about Tio?

Maren?

You still there?

Read.

HEY ROSE | 102


RITUAL OF EVIL

Sepulang sekolah, bukan Randika namanya jika tak menghebohkan


Zemira. Masuk rumah dengan sepatu yang masih belum terlepas,
juga nafas yang terengah-engah. Ponsel yang ada di genggamannya
terus saja ia paksa agar layarnya tetap menyala.
“Kakaaaakkk!!” seru Randika hingga membuat Zemira
terlonjak dari duduk santainya.
“Jangan teriak-teriak bisa nggak? Ini rumah, lo nggak lagi di
hutan.” Kesal Zemira melempar bantalan sofa ke arah Randika yang
berhasil ditepis.
“Kak Kak lihat ini deh. Inget nggak sama situs yang waktu itu
gue tunjukin ke Kak Ze?”
“Situs orang hilang itu?” Zemira menjawab dengan sebuah
pertanyaan.
Randika mengangguk. “Janji jangan kaget ya?”
Zemira sudah memusatkan seluruh atensinya pada Randika,
sesekali mengintip layar ponsel Randika yang menyala. Kemudian
lelaki itu memperjelasnya dengan membalikkan ponsel dengan
layar menyala menghadap si sulung. Zemira tatap dan baca lamat-
lamat masih terdiam.
“Inisial empat orang itu udah nggak ada dan sisa nama yang
lo lihat sekarang, Kak. Bahkan sekarang udah ada fotonya nih. Kak
Ze bisa lihat sendiri ini foto dan nama siapa yang ada di sini. Masih
nggak bisa percaya?”
Layar yang menunjukkan foto Tio dengan nama tanpa sensor
itu terpampang jelas di halaman utama situs orang hilang. Topik
utama—katakanlah beberapa orang yang masuk dalam topik
utama adalah orang-orang yang paling dicari oleh banyak orang.
Zemira tertegun. Ia menelan ludahnya kasar seakan tak
percaya dengan apa yang ia lihat.

HEY ROSE | 103


“Kak, ini tuh Kak Tio hilang? Atau kabur tanpa pamit dari
Inggris? Kalo kata Jendra ....”
“Kenapa? Kenapa kata Jendra?” desak Zemira sebab kalimat
Randika menggantung.
“I think he’s hiding something, tapi lebih ngeri lagi kalo inget
apa yang Jendra bilang.”
“Ya apa makanya? Jendra bilang apa?” Zemira kembali
menuntut.
“Mending tanya sendiri deh Kak, tapi ya gitu seenggaknya lo
harus percaya 20% deh karena menurut gue juga hal kayak gitu
emang ada.”
“Gue harus ketemu Tio dulu, gue beneran harus tanya secara
gamblang. Coba itu kirim situsnya ke gue.”
Kedua manik hitam Zemira menatap gelisah. Sembari
mengikis kuku jarinya, ia mencoba menghubungi Tio meski si
bungsu melarangnya.
“Kak nggak usah, ngapain Kak Ze mau tanya ke Kak Tio kalo
dia sendiri bukan Kak Tio?”
“Gue harus.” Zemira beranjak untuk pergi ke kos Tio.
“Kemarin gue juga udah ngehubungi Maren, temen Tio yang gue
ceritain waktu itu. Dan ya, dia masih hidup. Dia balesin direct
message bahkan kirim pap ke gue.” Imbuhnya sebelum pergi
meninggalkan sang adik sendiri dengan penuh tanya.

Melalui chat, kekasih Zemira sudah mencegahnya untuk


pergi berkunjung, karena Tio tengah sibuk membersihkan kamar
milik Jefri yang sudah tak berpenghuni. Gadis itu terus
menyudutkan Tio sehingga lelaki itu mengiyakan permintaan
Zemira untuk bertemu. Hanya beberapa menit saja.
Tak dipersilahkan masuk, Tio sudah menunggunya di depan
pagar kos. Lantas Zemira menghentikan motor dan memarkir
sembarangan bergegas menghampirinya.

HEY ROSE | 104


“Kamu nyembunyiin sesuatu dari aku ya?” tanya Zemira
tanpa basa-basi. Ia baru saja turun dari motor tanpa melepas helm.
“Nyembunyiin apa? Aku nggak nyembunyiin apa-apa.”
Ekspresi Tio berubah datar dan menajam.
“About Maren.” Air muka Tio berubah kala Zemira menyebut
nama Maren. “Dia udah meninggal? Atau masih hidup? Temen
deketmu, kan?”
Tio berdecak. “Ngapain kamu tanya? Kamu tau makamnya
juga kan. Maren udah meninggal.” Tegasnya.
Zemira sontak mengeluarkan ponselnya dan membuka akun
media sosialnya. Menggulir beberapa pesan percakapan Zemira
dengan Maren.
“Explain! Ini siapa dong? Nggak mungkin Maren punya
kembaran, kan?”
“Orang iseng jangan percaya.” Tio melengos.
“Iseng katamu? Dia kirim pap loh ini lihat! Ini temen kamu
Tio!” Zemira tak bisa menyembunyikan lagi emosinya yang tengah
meletup-letup. Ia menunjuk layar ponsel yang masih menyala.
“Ze?! Maren udah meninggal. Gue juga baru kehilangan
temen deket gue lagi!” Tak kalah Tio juga meledakkan emosinya.
“How could you behave like this? Bukti? Lo butuh bukti kalo Maren
udah meninggal? Mau gue bongkarin makamnya?”
Jarang sekali Zemira melihat Tio marah, sekali pun ia marah
lelaki itu tak akan menggunakan ‘gue-lo’ pada Zemira. Untuk
pertama kalinya, Tio membentak dan meledakkan emosinya
hingga seperti sekarang ini. Tio yang ia kenal lembut sudah hilang
entah ke mana.
“Kok kamu malah marah? Aku kan tanya? Aku juga butuh
penjelasan dari kamu, kalo Maren nyatanya udah meninggal then
who is he? Coba jelasin.” Suara Zemira bergetar—ia takut.
“You didn’t ask! You cornered me, Zemira. Dan sejak kapan lo
ngurusin temen-temen gue? Sejak kapan lo jadi ikut campur gini?
Padahal nggak deket sama sekali sama mereka, kenapa sekarang
jadi ikut campur?”

HEY ROSE | 105


Sorot mata Tio benar-benar menusuk relung hati Zemira
hingga mampu membuat gadis di depannya itu bergetar ketakutan.
“Aku nggak ikut campur. Biar aku perjelas, aku cuma nanya
dan butuh penjelasan! Gimana aku nggak bingung kalo Maren
meninggal terus ini siapa Tio? Siapa?”
Keduanya hanya saling melempar tatap beberapa saat
sebelum Tio mengangguk sembari menyelipkan kedua tangannya
di saku depan hoodienya.
“You don’t trust me anymore, Zemira Avyanna.”
Berakhir sudah. Tio membalikkan badan dan berjalan
membelakangi Zemira, meninggalkan gadis itu sendiri. Tanpa ada
sepatah kata pamit—ia pergi ke dalam rumah kos begitu saja
dengan Zemira yang menahan air mata sedari tadi.
“Lo siapa? Lo bukan Tio yang gue kenal.” Lirih Zemira
bersamaan dengan turunnya buliran air mata yang langsung ia
seka.
Zemira... bangun....
“Ih! Lo juga siapa sih nyuruh gue bangun-bangun terus!”
serunya kala indera pendengarannya menangkap suara bisikan
lagi.

Jefri tak bisa menyembunyikan kegelisahannya saat teman


dekat satu kosnya itu mengusung banyak tangkai bunga mawar ke
dalam kamarnya. Guna memperindah kamar, alibinya. Alih-alih
menolak, Jefri lebih memilih meninggalkan ruang kamarnya untuk
pergi ke luar mencari udara segar.
Berdiri bersandar pagar dengan sebatang cerutu yang
ujungnya menyala di antara ruas jarinya, Jefri menunggu empunya
kos datang. Keganjilan mulai sering ia dapati membuatnya merasa
tak nyaman lagi berada di sana. Bila hanya bertengkar dengan Tio,
ia masih bisa memaklumi dan tak pernah mempermasalahkan.

HEY ROSE | 106


Tapi, bagaimana jika ia dihadapkan terus menerus dengan Tio yang
bersikap di luar ranah, juga hal-hal ganjil lainnya?
“Eyy! Jen!” sapa Jefri seraya melambaikan tangan.
Tak sengaja Jendra dan Jefri bertemu. Jendra yang masih
memakai seragam dengan menenteng kantung kresek di
tangannya pun membalas sapaan Jefri.
“Kak Jefri?” Jendra berhenti tepat di hadapannya. “Di luar aja
Kak? Jarang-jarang gue ketemu lo di sini. Hehe.” Ujarnya sedikit
canggung.
Jefri menggaruk tengkuk kepala sembari menghisap
rokoknya. “Iya ya? Haha.” Hisapan terakhir lantas ia buang sisanya.
“Temen gue rada aneh—nggak rada sih emang aneh dari lahir
orangnya.”
“Sama lagi nunggu Ibu kos sih, gue mau pindah.” Tambahnya
lagi.
“Pindah? Udah nggak nyaman lagi ya?”
Jefri mengangguk. “Iya, itu lo tau.”
Jendra melihat sekeliling rumah berlantai dua itu.
Sebenarnya ada dua sosok perempuan lebih dulu menghadangnya
sebelum dirinya bertemu dengan Jefri sekarang. Mereka seperti
memberitahu bahwa ada sosok lain baru saja mendatangi hunian
mereka. Dua perempuan yang Jendra temui di jalan kini tengah
berdiri tepat di bawah jendela kamar Jefri.
Lantas Jendra pun menemukan sosok perempuan yang
pernah ia temui sebelumnya di kamar Zemira. Sosok itu
menampakkan diri di kamar Jefri.
Menyadari bahwa langit semakin petang, ia putuskan untuk
menawarkan bantuan pada Jefri. “Kak, gue bantu berkemas mau
nggak?”
“Nggak! Nggak usah dah, gue bisa sendiri. Orang ini lagi
nunggu Ibu kos ke sini sekalian pamit.” Tolak Jefri.
Beberapa saat kemudian, Tio berjalan ke luar dari dalam
rumah. Hoodie hitam menyelimuti dirinya, juga topi hitam sebagai

HEY ROSE | 107


penutup kepalanya. “Jef, gue ke luar bentar.” Ia berjalan melewati
mereka berdua dengan tatapan seadanya.
“Mau ke mana lo?” pertanyaan dari Jefri tak dihiraukan, Tio
tetap berjalan memunggungi mereka.
Jefri berdecak. “Nah itu tuh temen gue yang aneh.” Lantas ia
beranjak dari tempatnya. “Udah Jen, gue mau masuk.”
“Kak gue bantu!” Jendra menahan bahu Jefri yang baru saja
berbalik memunggunginya. Berharap tawarannya disetujui.
“Haha lo ngeyel banget kenapa deh? Ya udah ayo.”
Keduanya masuk ke dalam rumah dua lantai itu, melewati
beberapa ruangan—tidak ada hal aneh. Seperti rumah pada
umumnya yang dihuni beberapa makhluk halus yang tak bisa
dilihat oleh mata biasa. Berpindah pada lantai dua, entah hanya
perasaan Jendra saja atau memang suasananya lain dari biasanya.
Baru kali ini, Jendra merasa sekujur tubuhnya merinding.
“Jangan kaget sama kamar gue, ini semua berkat ke-absurd-
an temen gue.”
Jendra terhenyak kala tangan Jefri memutar knop pintu dan
menunjukkan ruang kamar yang tak pernah Jendra bayangkan
sebelumnya.
“Anjing Tio! Nyari gara-gara lo—aw!” Jefri mengaduh,
meringis kesakitan saat ia memungut satu tangkai bunga mawar
yang ada di lantai.
Bunga mawar bertebar di mana-mana. Mawar merah, juga
mawar hitam. Durinya menancap di telapak tangan Jefri. Entah
setajam apa duri itu berhasil melukai tangannya hingga
mengeluarkan cairan merah.
“Ini mawar apa anjing tajem bener?!” Jefri mengumpat lagi.
“Kak, udah jangan diambil lagi,” ucap Jendra.
“Ya terus ini gue yang bakal kena amuk sama Ibu kos.
Sumpah temen gue ngadi-ngadi bener nggak ada akhlak anjir.”
Jefri mengambil sapu, mengumpulkan bunga mawar itu jadi
satu. Lantas membuangnya di tempat sampah. Di sisi lain, Jendra
tengah mencari sosok yang ia lihat dari bawah tadi.

HEY ROSE | 108


Aneh, ke mana?, batin Jendra yang kemudian ia berjalan ke
arah jendela kamar Jefri.
Langit sudah petang.
Dari atas sana Jendra melihat Tio berjalan melewati pagar
dengan membawa bungkusan yang entah apa isinya.
“Kak Jef temen lo balik.” Jendra panik.
“Ya udah biarin aja.”
“Gue sembunyi di mana?” tanya Jendra yang hanya dibalas
kernyitan dahi dari Jefri.
“Santai aja lagi? Lo kayak lagi ke-gap selingkuh aja.” Jefri
terkekeh.
Mendengar suara langkah kaki yang menggema di luar ruang
kamar, Jendra mulai sedikit panik. Sejujurnya ia merasa takut. Kini
Jendra duduk mendekat di sebelah Jefri yang tengah mengemasi
barang-barangnya. Sesekali bola matanya menelisik tiap sudut
ruangan.
“Kak, kenapa gue merinding ya di sini?” bisik Jendra.
Bukan Jefri saja yang merasa sekujur tubuhnya merinding
saat ini, tapi Jendra pun. Ia hentikan aktivitas mengemasi
barangnya, lantas pikirannya kembali pada hari-hari di mana ia
selalu bermimpi buruk, bertemu dengan sosok lain yang selalu ada
di langit-langit kamarnya, melihat makhluk lain ke luar dari cermin
kamarnya, juga suara bisikan aneh menyerupai rapalan mantra.
“Gue perlu sembunyi?” tanya Jendra lagi dengan suara
berbisik.
Knop pintu kamar bergerak, namun pintu itu tak terbuka
karena empunya sengaja mengunci pintu dari dalam. Lantas suara
ketukan menyusul.
“Jef? Bukain. Ngapain dikunci?” Itu suara Tio dari balik pintu.
“Kak?” Jendra mendesak lagi.
Jefri yang sempat mematung seketika menarik lengan Jendra
untuk mengarahkannya pada space di balik ranjangnya. Terdapat
jarak antara ranjang dengan dinding yang cukup untuk Jendra

HEY ROSE | 109


bersembunyi di sana. Jefri memastikan agar Jendra benar-benar
tak terlihat dari jauh maupun dekat.
“Lo lagi ngapain? Dikunci segala.” Tukas Tio kala Jefri
membukakan pintu. Ia masuk, menutup kembali pintu dan
menguncinya. “Gue bantu.”
Ada bau wangi yang tak asing bagi Jendra tiba-tiba tercium.
Tio mengeluarkan benda yang masih ada di dalam kantung kresek.
Bungkusan yang Tio bawa adalah dupa, pantas Jendra mencium
wangi itu. Tio sengaja membawa dupa ke kamar Jefri, dengan
terang-terangan ia langsung membakarnya dan meletakkan di
depan cermin.
“Ini apalagi anjir?! Lo mau ngapain sih?” tanya Jefri yang
suaranya sedikit bergetar saat melihat temannya itu memunguti
bunga-bunga mawar yang sudah ia buang. Anehnya tak sedikit pun
batang bunga itu menggores tangannya.
“Jef, lo punya cutter?” tanya Tio dengan seringai tipis yang
hampir tak terlihat di wajahnya.
“Nggak.” Jawab Jefri singkat.
“It’s okay.”
Demi Tuhan, kala Jendra mengintip dari balik ranjang, ia
melihat sosok perempuan itu lagi. Tampak berbeda, rambutnya
memutih dengan ujung jari mengeluarkan sedikit api namun tak
membakar dirinya sendiri. Ini tampak seperti film fantasi yang
biasa ia lihat bersama teman-temannya, tapi yang ada di
hadapannya saat ini adalah kejadian yang nyata. Ditambah lagi
bibir merah yang mengeluarkan darah akibat gigitannya sendiri
disertai seringai tajam.
Dengan rasa takut, Jefri masih saja mengemas barangnya,
melanjutkan aktivitasnya lagi. Ia mencoba tak memerdulikan
temannya. Bibir Tio bergerak, entah apa yang tengah ia ucapkan—
tak bersuara, membawa tangkaian bunga mawar di genggamannya
lantas melumpuhkan Jefri dengan mengusapkan tangan di bagian
belakang kepala Jefri.
“T-Tio....” suara Jefri tercekik.

HEY ROSE | 110


Lelaki itu sontak menjatuhkan dirinya di atas lantai. Duduk
dengan menahan lehernya sendiri. Seperti tengah ada yang
mencekiknya, Jefri terus berusaha melepaskan sesuatu itu. Ia tak
bisa melihat, namun Jendra dengan jelasnya melihat bahwa sosok
perempuan itulah yang mencekik leher Jefri.
Jendra tak bisa berbuat apa-apa kala tangan Jefri dipaksa
untuk menggenggam beberapa tangkai bunga mawar dengan duri
yang amat tajam, hingga telapak tangannya tergores dan
mengucurkan deras cairan merah. Cairan itu juga keluar dari
mulutnya akibat tusukan dari sosok lain. Bau dupa dan darah segar
berpaduan menyeruak memenuhi ruang kamar Jefri.
“Jef, who’s next?” tanya Tio di depan Jefri yang semakin
melemah. “Coba tebak?”
“L-lo si-apa?” Jefri melontarkan pertanyaan itu kala melihat
perubahan warna mata Tio menjadi sedikit kemerahan—menyala,
hingga penuh dengan pekat hitam.
Black-eyed demons.
Jendra mengintip lagi menyaksikan bagaimana seringai
muncul dari wajah Tio. Menyaksikan bagaimana sosok itu tengah
menusuk leher Jefri dengan kuku tajam miliknya. Menyaksikan
bagaimana tangan Tio melayangkan benda tajam ke tubuh Jefri.
Belum sempat ia melancarkan aksinya lagi, ia mendengar suara
yang Tio kenal dari bawah sana.
Zemira, juga Randika berhasil menghentikannya. Jendra bisa
bernafas sedikit lega kala Tio buru-buru pergi dari ruang kamar
Jefri. Sedang Jefri sudah terkapar di atas genangan cairan merah
miliknya. Dengan tergesa-gesa pula Jendra menghampiri lelaki itu.
Dengan sigap, Jendra mengunci pintu dari dalam untuk
mengantisipasi Tio masuk kembali. Lantas Jendra menolong Jefri
sebisanya. Mereka berdua sama-sama bergetar ketakutan. Jefri
sudah hampir kehilangan seluruh nafasnya. Jendra melihat ponsel
Jefri beberapa kali berdering menampakkan panggilan masuk dari
Zemira.

HEY ROSE | 111


Jendra ingin menerima panggilan masuk itu, namun
mengurungkan niatnya karena Zemira pasti akan bertanya-tanya
mengapa Jendra yang menjawab dan bukan Jefri. Lagi pula situasi
seperti ini tak memungkinkan untuk sekedar mengangkat telfon,
karena Jefri harus segera ditolong. Jendra mencari cara untuk
setidaknya Zemira mengetahui bila Jefri ada di dalam ruang
kamarnya.
Jendra akhirnya hanya menyala-matikan lampu kamar.
Semoga Zemira atau Randika dapat melihatnya.
Kini Jendra kebingungan memikirkan bagaimana cara ia bisa
membawa Jefri keluar dari kamar sebelum terlambat. Matanya
terus berotasi hinga melihat tumpukan kain tak terpakai di
keranjang baju Jefri. Ia rangkai hingga kain itu memanjang, bisa ia
gunakan untuk keluar melalui jendela kamar. Persetan dengan apa
yang akan terjadi jika ini tak berhasil, setidaknya Jendra sudah
berusaha keluar dari tempat ini.
Jendra merasa ia sedang menjadi lakon film fantasi yang akan
terjun dari lantai dua dengan menggunakan kain yang sekarang
sedang ia tali simpul. Di tengah ia melilitkan satu persatu kain, Jefri
lebih dulu tak sadarkan diri.
Langkah kaki dan suara Zemira semakin terdengar jelas.
Tampaknya mereka belum bertemu dengan Tio. Jendra menaruh
banyak harap agar mereka bisa segera mengalihkan Tio bagaimana
pun caranya. Semoga saja takdir berkata demikian.
“Jadi gitu, Kak.” Tutup Jendra mengakhiri cerita panjangnya.
Baik Zemira maupun Randika saling tatap tak percaya.
Setelah mendengar cerita dari Jendra rasanya perut Randika pun
mual dan ingin memuntahkan semua makanannya. Mereka tengah
bertemu dengan Jendra di sebuah kedai sejak beberapa jam yang
lalu, karena Zemira yang terus mengulik informasi dari Jendra.
Gadis itu juga menceritakan tentang Maren, dan di sinilah mereka
bertiga.

HEY ROSE | 112


Saling bertukar cerita, atau lebih tepatnya Jendra yang
menceritakan dengan rinci kejadian kala ia membantu Jefri waktu
itu.
“Terus lo akhirnya lewat mana?” tanya Randika yang masih
saja penasaran.
“Jendela lah.” Jawab Jendra santai.
“Gimana caranya atuh?”
“Ya bisa, gue gendong Kak Jefri terus merosot turun gitu, Dik.
Bisa bayangin, kan? Kayak ... lo pasti pernah deh ngerasain sendiri
kalo lagi kepepet dan nekat pasti apa aja bisa lo lakuin asal yakin.”
Jelas Jendra yang hanya dijawab anggukan oleh Randika.
“Kak, lo percaya nggak kalo semua manusia pasti pernah
dealing with devils?” tambah Jendra.
“Hah? Enggak tuh gue nggak pernah anjir ngapain juga?!” ujar
Zemira tak terima.
“Semua pasti pernah, Kak. Sadar atau enggak, sekecil apa pun
itu pasti pernah, I said.”
“Ya terus kenapa?” Zemira tak ingin bertele-tele.
“I think Kak Tio sekarang lagi ....”
Kepala Zemira berdenyut sakit rasanya antara percaya dan
tidak. Untuk apa kekasihnya melakukan itu? Merasa lemah dan
bersalah, Zemira meloloskan beberapa tetesan air mata. Pikirannya
penuh sekarang. Tentang cerita dari Jendra, juga asumsinya.
“Ahh gue jadi keinget Jefri ...,” sembari menyeka pipi yang
sedikit basah, Zemira berkata.
“Gue pikir itu juga salah satu ritual, Kak. Selepas itu Kak Jefri
sembunyinya di rumah gue, I mean rumah gue yang lain. Terserah
Kak Ze mau percaya atau enggak, coba deh Kak Ze tanya ke Kak Tio
tentang siapa tadi?”
“Maren,” jawab Zemira singkat.
“Iya itu tanyain coba dia jawab apa.”
“Jendra kalo lo lupa gue udah ketemu Tio untuk tanya
tentang Maren tapi sikap dia ke gue itu bukan Tio banget. Gue yakin

HEY ROSE | 113


juga sekarang kalo dia nyembunyiin sesuatu—ah banyak hal yang
nggak gue tau pasti.” Zemira tertawa miris.
“Ih Kak Ze putus aja sama Kak Tio atuh lah kita balik ke bunda
sama ayah, udah sekolah gue pindah lagi aja nggak papa. Lo juga
kuliahnya biar pindah, Kak.” Rengek Randika.
“Ish diem deh!” Zemira mencubit pipi Randika. “Makan
diabisin dulu!”
Tak punya waktu lama, setelah menceritakan hal itu Jendra
meminta izin untuk pergi lebih dulu dan Zemira berterima kasih
akan waktu yang Jendra luangkan.
Awannya mendung, sebentar lagi hujan. Langit mulai petang
dan gelap, membuat pikiran semakin kacau tak karuan. Mendengar
cerita dari Jendra juga menyusun segala sikap Tio yang berubah
membuat Zemira semakin overthinking dan merubah cara
pandangnya.
85% Zemira berada dipihak Jendra, sedang sisanya ia sedang
mengumpulkan rasa percayanya lagi pada Tio.

Mengapa cuaca selalu saja tak bersahabat dan tak berpihak


pada Zemira? Masih pagi, tak ada tanda sang mentari
memancarkan cahayanya. Tak ada tanda langit membiru, yang ada
hanya langit putih dengan gumpalan awan kelabu yang berjalan
menutupi jalur masuknya sang mentari.
Zemira sudah bergulat dengan beberapa bahan masak sejak
selepas subuh, pasalnya Mbak hari ini tak datang kerja lagi. Wanita
paruh baya yang dipekerjakan sang bunda untuk membantu
keseharian anak-anaknya di rumah itu sedang izin perkara
sakitnya yang sering kambuh. Sebenarnya Zemira sudah menyuruh
Mbak untuk tidak bekerja dan istirahat saja di rumah, namun
hidupnya yang keras menuntutnya untuk tetap mengais rezeki
meski yang didapat tak seberapa.

HEY ROSE | 114


Randika baru saja keluar dari kamar. Sudah rapi dengan
seragam meski dasi dan sabuk masih tersampir di bahu kanannya.
“Mbak nggak masuk ya, Kak?” tanyanya sembari duduk di
meja makan.
“Iya, sakit.” Zemira masih menyiapkan sarapan. Meski rasa
masakannya pas-pas an, Randika masih tetap menjadikan masakan
si sulung sebagai masakan favoritnya. “Nih gue mau beberes dulu,
tunggu sebentar habis itu gue anter.”
Randika menggeleng cepat. Tangannya sibuk mengambil
nasi dan lauk. “Nggak nggak Kak, Randika bareng sama Jenkal.”
Jendra dan Haikal maksudnya.
“Oh ya udah kalo gitu.” Zemira mengangguk. Ia duduk di
ruang makan untuk menemani sang adik.
“Kak Ze ke kampusnya sama siapa? Jangan sama Kak Tio ya?
Awas aja!” ancam Randika. “Tadi sebenernya Kak Tio chat gue, Kak,
mau nganter terus gue bilang aja bareng sama Jendra, Haikal. Please
jangan sama Kak Tio ya? Gue khawatir sama Kak Ze.”
Atas kekhawatiran Randika, Zemira paham namun dirinya
juga tak melupakan sikap baik Tio selama ini. “Terus gue sama
siapa dong? Nggak papa lagi. Selama dia masih baik sama gue,
nggak enak juga kalo mau nolak.”
Baiklah, Zemira Avyanna berubah pendirian lagi. Padahal
sejak beberapa hari ia sudah memutuskan untuk menjauhi Tio, tapi
kali ini? Mengapa ia tak tega menolak ajakan Tio? Jawabannya
adalah karena ia pun tak sengaja teringat dengan perkataan Jefri.
Semakin Zemira menyadari Tio berubah, semakin celaka
pula ia.
“Kak please kalo lo diapa-apain gimana? Ya, Kak? Berangkat
bareng siapa gitu teh Jihan atau siapa itu temen-temen Kak Ze yang
lain.” Randika merayu.
“Rumah mereka jauh banget dari sini. Gue bisa jaga diri,
selagi dia nggak ngelukain gue it’s ok, Dika.” Zemira mengusap
kepala Randika dan tersenyum ke arahnya.
“Lo nggak takut apa, Kak? Gue sendiri aja takut.”

HEY ROSE | 115


“Bohong kalo gue bilang nggak takut. Udah sana berangkat
jangan lupa bawa jas hujan. Lo janjian sama Jendra di mana? Dia ke
sini?”
Randika mempercepat tempo makannya. “Enggak Kak,
janjian di depan komplek.” Menyuap sendok terakhir dan buru-
buru memakai dasi juga sabuknya. “Ya udah Kak nanti pulang
bareng aja, nggak papa gue mampir ke kampus Kak Ze dulu.”
Zemira menganggukkan kepala.

Di sinilah Zemira sekarang, berdua dengan Tio di mobil


setelah terjadinya perang via chat karena gadis itu kesal kala
seseorang tengah membuat dirinya terburu-buru di saat sedang
memoles diri. Tio pun juga mengeluh kesal harus menunggu lama
di teras rumah sebab Zemira tak kunjung membukakan pintu
untuknya—mengunci pintu utama dari dalam karena gadis itu
menuruti perkataan Jefri.
Zemira memanfaatkan waktu dengan cukup baik dengan
melempar berbagai macam pertanyaan yang mau tak mau harus
Tio jawab. Pertanyaan tempo hari yang menggantung dan
banyaknya hal yang disembunyikan, Zemira harap bisa terjawab.
Dan benar, apa yang ada di pikirannya bila Tio memang tengah
menyimpan sesuatu yang hanya dirinya sendiri yang tau, akunya.
“Ada banyak hal yang nggak harusnya kamu tau.” Ungkap
Tio. “Tentang Maren, dan temen-temen aku, juga aku sendiri yang
memang berubah seperti apa yang selama ini kamu pikir, karena
sejatinya manusia lambat laun juga akan berubah, kan?”
Benar perkataan Tio tapi berubahnya manusia masih dalam
kewajaran, sedang Tio tidak.
“Apa bener juga asumsiku kalo semua kematian Jefri, dan
Maren, hilangnya temen-temen kamu dan diri kamu sendiri di
situs, berhubungan dengan berubahnya kamu?” pertanyaan
Zemira tengah menyudutkan Tio.

HEY ROSE | 116


Tampak Tio menimang-nimang sesuatu hingga akhirnya
hanya satu anggukan yang lolos sebagai jawaban atas pertanyaan
itu. Berada berdua bersama Tio saat ini membuat perjalanan terasa
lebih lama dari biasanya. Zemira ingin untuk segera sampai sebab
rasa takut mulai menyelimuti dirinya.
“Maren masih hidup.”
Kalimat yang berhasil membuat Zemira terkejut untuk
sekian kalinya.
“Di Inggris, aku pernah—ah kami pernah masuk dalam
pencarian orang hilang, seperti yang kamu lihat di situs dan selalu
kamu tanyakan. Aku harap kamu nggak akan tanya-tanya dan
mengulik apa pun tentang ini.”
“Kenapa bisa? Kalian kenapa bisa hilang? Dan Maren, waktu
itu kenapa kamu bilang kalo dia bener-bener udah meninggal?”
“Aku akan mengulang kalimat ini sampai kamu paham, Ze.”
Suara Tio penuh penekanan. “Aku harap kamu nggak akan tanya-
tanya dan mengulik apa pun tentang ini lagi.”
Setelah perbincangan dingin itu berakhir, lagi-lagi mereka
berdua saling diam sampai mobil Tio memasuki area kampus.
Terlebih Zemira yang duduk menyembunyikan segala ke-
gelisahannya menatap arah jalan tanpa mau menoleh ke arah Tio
sedikit pun.
“Nanti kalo udah kelar kelas bilang, aku tunggu depan
fakultas kamu,” ujar Tio dingin. “Balik sama aku.”
“Enggak, Dika nanti ke sini. Aku balik sama dia.”
“Terus kalian mau balik naik apa?”
“Bis banyak yang lewat depan kampus, ada taxi juga. Ya naik
apa aja yang ada.” Singkatnya. “Pokoknya aku pulang sama
Randika.”
“Nggak. Sama aku aja.” Tio tetap memaksa. “Balik sama aku.
Kalian berdua.”
Zemira menoleh, menatap Tio sengit. Aneh karena lelaki itu
sekali pun tak pernah memaksa kehendaknya.

HEY ROSE | 117


“Please don’t overprotect me.” Tekan Zemira dengan
kesinisannya.
Tio hampir saja meraih lengan Zemira untuk menahan gadis
itu yang tengah membuka pintu mobil sebelum gadisnya berjalan
meninggalkan area parkir dengan membanting pintu. Masa bodoh
dengan Tio yang terus menatap tajam dari dalam mobil. Rasanya
Zemira sudah tak bisa lagi bermain peran untuk menyembunyikan
rasa takut terhadap kekasihnya itu.
Langkah Zemira menyeret lesu kala melewati lobby. Rasanya
sungguh berat seperti ada sesuatu yang sedang terjadi di dalam
tubuhnya. Kepalanya mendadak pening hingga dirinya bisa
merasakan banyak suara riuh yang tertangkap. Suara-suara yang ia
sendiri tak yakin asalnya dari mana. Ia tetap melanjutkan jalan
untuk sampai ke ruang kelas dengan beberapa kali menoleh ke
sana ke mari dengan gelisah.
Ada yang salah dalam dirinya. Ia seperti mendengar suara
isak tangis disertai suara teriakan menyerupai suara Randika.
Dirinya benar-benar kebingungan hingga tak sadar ada seorang
lelaki duduk di belakangnya tengah memperhatikan dirinya.
“Sssssttt fokus.”
Tepukan tipis mendarat di bahu kanan Zemira membuatnya
terkejut setengah mati di tengah lamunannya. Sejak tadi ia tak bisa
fokus pada materi yang disampaikan oleh dosen. Ia hanya
mengangguk ketika lelaki itu menegurnya.
Kelas besar baru saja usai. Buru-buru Zemira merapikan
buku-bukunya dan segera lari dengan membawa totebag-nya asal-
asalan. Panggilan dari Lyra hanya ia jawab dengan lambaian
tangan. Tentu saja sahabatnya itu bingung sebab Zemira berlarian
keluar ruangan bahkan ia meninggalkan benda penting di atas
mejanya.
“Kunci punya temen lo nih,” ujar seorang lelaki yang duduk
di belakang Zemira. Ia memberikan kunci itu pada Lyra kemudian
pergi dari sana.
“Thank you, Deo!” ucap Lyra.

HEY ROSE | 118


Lyra menggelengkan kepala dan berdecak merasakan
sahabatnya yang aneh itu. Padahal ia tadi mengatakan bahwa akan
pulang dengan si bungsu—atau Randika sudah berada di kampus?
Itu sebabnya Zemira sangat terburu-buru keluar ruangan?
Menyadari hal itu Lyra berlari pula menyusul langkah Zemira.
Jaraknya yang tak terkikis jauh, untung saja Lyra mengerti arah
tujuan Zemira.
Rooftop.
“Zemira mana?” tanya Tio dari arah belakang membuat Lyra
terkejut dengan kedatangannya tiba-tiba.
“Loh? Gue kira dia ke rooftop nyamperin lo,” jawab Lyra
dengan polosnya. “Soalnya tadi dia bilang mau balik bareng
Randika.”
Tio menatapnya datar, kemudian mengangguk dan pergi
begitu saja tanpa mengucap terima kasih atau apa. Lyra berdecak
dengan sikap Tio yang dianggap tak sopan itu. Tak lama ponselnya
berdering, menampakkan nama Zemira di layar yang tengah
menyala—sebuah panggilan masuk.
“Ze, woy! Kunci rumah lo ketinggalan ini pea!” ujar Lyra.
“Shit! Gue nitip dulu deh, by the way nanti kalo ada Randika
suruh nunggu aja kalo enggak nyamperin gue ke rooftop sini ya,”
pinta Zemira dengan suara yang menunjukkan sedikit
kekhawatiran dan nafas pendeknya usai berlarian.
“Ya lagian ngapan sih lo lari-lari ke sana? Itu Tio juga nanyain
lo barusan banget.”
“JANGAN KASIH TAU KALO GUE KE ROOFTOP!” Teriak Zemira
nyaring.
“Yah udah terlanjur gue kasih tau,” ungkap Lyra yang
ditanggapi dengan sebuah umpatan di seberang sana. “Kenapa sih
lo? Lagi marahan sama Tio? Ya, lo nggak cerita dan briefing gue
gitu—“
Belum sempat Lyra menyelesaikan kalimatnya, Zemira
sudah memutus panggilan sepihak hingga membuat sahabatnya itu
kesal dan turut mengumpat.

HEY ROSE | 119


Bodoh. Dari sekian banyak tempat di kampus kenapa rooftop
yang Zemira tuju? Padahal di sana tak ada tempat untuk dirinya
bersembunyi. Hanya sebuah atap luas yang memang sengaja
dibiarkan seperti itu. Rooftop yang hanya dijadikan tempat untuk
menghilangkan penat juga sesak akan tugas-tugas kuliah. Sialnya
lagi ia hanya seorang diri di sana. Mahasiswa yang biasa
bergerombol di tempat ini pun tak ada.
“Shit shit!” gadis itu mengumpat sembari menggigiti kuku
jari. Zemira berjalan mondar-mandir dengan gugupnya. Yakin, jika
sesaat lagi Tio akan muncul dari balik pintu.
Belum selesai otaknya menebak akan hal itu, Tio
menampakkan batang hidungnya.
“Ze?” Tio berjalan ke arahnya dengan mata berkilat tajam.
“Kenapa sih? Ayo balik sama gue sekarang.”
Zemira memundurkan dirinya saat Tio memangkas jarak di
antara keduanya. Lelaki itu memijat pelipisnya seraya menun-
dukkan kepala untuk sekedar memejamkan mata sejenak.
“Iya, sorry,” tambahnya.
“Lo bikin gue takut tau nggak?”
Bahasa lembut yang biasa mereka gunakan sudah tak lagi
berlaku. Zemira pun rasanya tak ingin melembut lagi pada lelaki
itu. Ia berusaha menyembunyikan rasa takutnya dari seseorang
yang sekarang ada di hadapannya.
Tentang pernyataan Tio di mobil masih menjadi beban
pikiran Zemira karena lelaki itu tak menjelaskan secara gamblang
penyebab pasti Tio dan teman-temannya menghilang, atau apa
sebenarnya yang mendasari perubahan sikap juga banyak
kejanggalan yang semakin hari semakin menjadi.
“We are going to die... there is someone in here with us...,”
kalimat dari Tio saat berada dalam perjalanan tadilah yang terus
terngiang membuat Zemira semakin takut hingga saat ini. Entah

HEY ROSE | 120


sadar atau tidak lelaki itu mengatakannya. Yang jelas, Zemira tak
bisa mengalihkan pikirannya.
“Maaf karena nyembunyiin ini dari kamu. Maaf udah
nyembunyiin semua. Tapi, semua ada alasannya, Ze ... ayo balik
sama aku ya?” jelas Tio dengan sedikit memohon—suara itu, juga
tatapannya.
Zemira mengangguk pasrah. Hanya itu yang bisa ia lakukan.
Sekali lagi, ia tak akan tega menolak ajakannya, bagaimana pun Tio
masih menyandang status sebagai kekasihnya. Juga sifat Zemira
yang penuh dengan kelabilan itu tak bisa mendadak menyingkir
dari dirinya.
Mereka berdua berjalan menuruni anak tangga. Keringat
dingin mulai bercucuran kala manik hitam Zemira yang jeli melihat
ada beberapa kelopak bunga mawar di saku belakang Tio. Kelopak
bunga yang membekas sebuah gigitan. Tio makan bunga mawar?
Batin Zemira.
“Kak Ze!” seru Randika yang tengah berlari di lorong kampus.
“Gue kira ke mana! Di-chat nggak bales, gue telfon juga.”
“Oh hpnya lagi di tas, nggak kedengeran juga.”
Randika tak sendiri, ia pergi ditemani oleh Jendra. Sesaat Tio
menatap Jendra dengan tatapan tak suka, namun kemudian
senyumnya merekah.
“Randika tumben banget lo nggak ngehubungin gue?” tanya
Tio.
Randika hanya meringis dan menggaruk belakang kepalanya.
“Udah, Kak Ze yuk balik.”
“Balik sama gue.” Ajak Tio seraya menggandeng lengan
Zemira yang langsung ditepis oleh Randika.
“Kak Tio maaf ya, mau sekalian ke toko buku soalnya,” ujar
Randika sembari menarik Zemira untuk bergegas pergi dari sana.
Zemira dan Randika sudah lebih dulu berjalan memunggungi
Tio yang masih berdiri di sana. Lantas Jendra berjalan menyusul
mereka berdua.
“It’s safe to come out now.”

HEY ROSE | 121


Jendra menoleh kala mendengar gumaman Tio.
Perempuan itu, muncul dari balik tubuh Tio. Masih memakai
dress yang sama. Berwarna hitam dengan banyak corak bunga
mawar di sana. Kedua matanya hitam pekat, kulit pucat dengan
bibirnya yang merah segar. Jendra terbelalak karena sosok itu dan
Tio menatapnya dengan tajam.
“Jendra!! Ayo!!” teriak Randika memekik telinga.
Pandangan Tio teralih—melambaikan tangan ke arah
mereka berdua. Lantas Jendra pergi mengekori keduanya.

Selepas kejadian tempo hari di rooftop dan banyak


pernyataan dari Tio yang membuat segala pertanyaan mulai
terjawab, sikap lelaki itu berubah. Ia berubah menjadi Tio yang
Zemira kenal selama ini. Sikap manisnya, perhatiannya, bahkan
kedua manik membulat lucu setiap kali bertemu dengan gadisnya.
Tak dapat dipungkiri Zemira luluh dan mulai menaruh
kepercayaan lagi pada Tio. Mulai bersikap biasa saja meski rasa
takut belum sepenuhnya hilang.
Zemira tau jika siapa pun yang telah menyudutkan Tio akan
menyesali perbuatannya karena apa yang mereka asumsikan
semuanya salah. Bedanya, Tio lebih sering meminta izin untuk
offline tanpa memberikan sebuah alasan yang jelas. Kala Zemira
menanyakan tentang teman-temannya pun ia tak lagi marah, meski
jawabannya selalu menggantung—tak masalah bagi Zemira.
Doni dan Janu tak pernah menunjukkan batang hidung
mereka di kampus. Atau memang hanya Zemira saja yang tak
pernah bertemu mereka berdua? Tapi, itu sungguh aneh.
“Ze, Maren mau balik ke Indo tau,” ujar Lyra yang tengah
mencepol rambutnya.
Zemira mengernyit. “Lo percaya kalo itu Maren?”
“Lah emang lo enggak?”

HEY ROSE | 122


Mereka berdua sejak tadi duduk bersila di pinggir lapangan
basket sembari menonton aktivitas tim basket yang sedang
sparing. Dalam keramaian seperti itu saja Zemira merasa dirinya
diselimuti oleh kehampaan. Bak memiliki peredam suara, gadis itu
merasa kosong.
Zemira menggeleng.
“Lo nggak percaya beneran, Ze? Wah padahal waktu itu lo
kasih lihat gue si Maren kirimin selca ke lo, kan?” Lyra berdecak tak
percaya. “Itu Maren sumpah dah gue percaya banget itu Maren,
orang kita dm-dm an.”
“Ya udah sih mau Maren atau bukan juga nggak ada
hubungannya sama gue,” Zemira mendengkus.
Bohong. Ia berbohong di depan Lyra agar sahabatnya itu tak
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Pandangannya
berpendar jauh ke arah ring basket hingga hanyut dalam lamunan
dan tiba-tiba suara itu datang lagi.
Zemira....
Ayo bangun....
Sontak Zemira menutup kedua telinganya. Lyra menoleh
panik karena sesaat sahabatnya itu mengerang sembari menutupi
kedua telinganya.
“Ze? Zemira?” Lyra menggoyang tubuh Zemira. “Zemira?!”
Zemira terkesiap. “Hah? Kenapa?”
“Lo yang kenapa?”
Lyra tampak sangat khawatir melihat wajah Zemira berubah
pucat. Ditatap seperti itu, Zemira langsung mengeluarkan cermin
pemberian Tio yang sudah ia keluarkan dari laci.
“Eh? kok gue pucet ya?” Zemira masih sempat cengengesan.
“Padahal gue nggak kenapa-kenapa, gue nggak sakit juga.”
Lyra menggeleng. “Lo harus pulang deh.”
Setuju dengan Lyra, Zemira memutuskan untuk segera
pulang ke rumah tanpa ditemani siapa pun mengingat Tio tengah
offline dan tak bisa dihubungi. Juga dirinya yang tak membawa
kendaraan ke kampus.

HEY ROSE | 123


Berjalan sendiri ke halte dengan langkah gontai, kepalanya
mendadak berdenyut mengharuskannya untuk duduk sejenak di
salah satu kursi yang ada di sepanjang trotoar. Tak lama ketika bis
datang ia bergegas naik dan mendudukkan diri dengan nyaman.
Kursi dekat jendela memang tempat paling leluasa untuk
mengakses indahnya jalanan kota.
“Maren mau balik ke Indo.”
Kalimat Lyra tiba-tiba terngiang. Apakah ini saat bagi Zemira
untuk bertemu dengan Maren? untuk memastikan bahwa itu benar
Maren dan bukan orang lain. Juga banyak hal yang harus ia cari
tahu sendiri dari Maren tentang kehidupan mereka selama berada
di Inggris.
Ponsel yang ia kantungi di saku celana ia keluarkan.
Membuka salah satu sosial medianya sebagai penghubung antara
Zemira dengan Maren mengingat gadis itu tak memiliki nomor
kontak Maren.
Tanpa basa basi Zemira bertanya pada Maren apakah ia bisa
bertemu atau tidak ketika ia telah mendarat di Indonesia. Lelaki itu
mengatakan bahwa sebenarnya ia pun ingin mengobrol dengan
Zemira dan sangat menyetujui ajakan itu.
Hari ini pesawatnya landing tepat pukul enam sore. Dan
mereka berdua sudah membuat janji untuk bertemu. Maren tidak
menginginkan Zemira untuk terlambat karena waktu yang cukup
terbatas. Lokasinya pun tak jauh dari bandara. Tak diijinkan
mengajak siapa pun, Zemira harus pergi seorang diri, begitu pula
sebaliknya.
Masih pukul 12 siang, Zemira yang sudah sampai di rumah
seketika langsung mencari si bungsu. Hari santai, tak ada mata
pelajaran, hanya ekstrakulikuler sekolah—Randika membolos,
tidak hanya si bungsu saja tapi juga teman satu genk-nya. Pecinta
alam akan mengadakan perekrutan anggota baru, itu sebab akan
diadakannya rapat perihal diklat nantinya. Sangat membosankan
jika Randika dan teman-temannya harus datang untuk menyimak
segala pembahasan yang terjadi di ruangan.

HEY ROSE | 124


“Adik gue nu kasepppppp!” seru Zemira dari luar pintu kamar
dengan kepala yang menyundul ke dalam.
“Sttttt diem ya Kak gue lagi mabar.” Kedua manik Randika
masih terhipnotis pada layar ponsel.
“Abis ini lo ngungsi ya?” tanyanya sembari duduk di pinggir
kasur si bungsu. Bukan pertanyaan sebenarnya lebih pada sebuah
titah yang harus dilaksanakan.
“Lah ngapain gue ngungsi? Kak Ze emang mau ke mana?”
“Cuma mau ke mall sama anak-anak.”
Randika mengangguk. “Saha? Kak Iren?”
“Iya sama Iren juga, jadi lo ngungsi ya?”
“Nggak ah gue di rumah aja nggak papa. Kak Ze nggak sampe
malem juga, kan? Ke mall mah bentar doang.” Randika meng-
hentikan aktivitasnya, lantas menelisik tiap pandang Zemira yang
terlihat gusar. “Ya kan, Kak? Bentar aja, kan?”
Zemira menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Kayaknya sih
sampe malem.”
“Mau dugem ya?! Dika laporin Bunda nih?” Randika sudah
heboh dengan kedua matanya yang melotot, sedikit mengancam.
Si sulung menghela nafas. “Iya udah sok atuh ngomong ke
Bunda. Tapi, lo harus ngungsi ya?”
Randika berdecak. “Ih mau dilaporin pasrah amat nggak seru
ah!” Ia kembali berbaring dan menatap layar ponselnya.
“Dika ya? Ngungsi ajaaaaaa.” Zemira memohon. “Ke rumah
Jendra deh nanti kalo gue udah pulang gue jemput kita balik
bareng.”
Randika mendengkus. “Iya Kak, iya. Sekarang banget nih?
Gue belum bilang ke Jendra.”
“Ya udah lo sekarang juga lagi pegang hp, bilang aja. Habis ini
langsung gue anter sekalian berangkat.”
Zemira berdiri, kemudian melangkah pergi untuk bersiap.
Ketika dirinya akan menutup pintu kamar sang adik, Randika
membuatnya terhenti.

HEY ROSE | 125


“Kak, kalo ada abang kurir minta tolong ya? Barusan gue cek
lagi dianter ke rumah soalnya.”
“Kurang-kurangin beli online deh kebiasaan! Emang lo beli
apa?”
“Jimat pengusir hantu,” jawabnya singkat.
Zemira terbelalak dan melongo dengan penuturan Randika
santai. Tak habis pikir dengan adiknya yang ada saja kelakuannya.
“Lo mau gue timpuk apa ya? Ada aja kelakuan!”
“Free ongkos kirim Kak jadi sayang kan. Katanya teh bisa
ngusir segala macam hantu.”
“Iya lo-nya juga keusir entar. Ah udah ah gue siap-siap ini tapi
udah lo bayar, kan?”
Randika cengengesan. “Belum Kak makanya minta tolong.”

Ragu.
Saat ini Zemira berada di kamarnya sendiri. Usai bersiap, ia
duduk di depan cermin meja riasnya. Ia menatap lamat pantulan
dirinya. Tangannya menyentuh permukaan cermin yang licin,
menyapukan kesana kemari. Tiba-tiba dirinya merasa sesak tanpa
sebab hanya karena melihat pantulannya sendiri.
Ada rasa takut yang datang mengacaukan segala pikirnya
pula. Ketakutan akan bertemu dengan Maren. Ketakutan akan fakta
yang akan ia dengar—yang mau tak mau harus Zemira dengar dan
terima segala faktanya nanti karena Maren adalah salah satu saksi
dari ketiga teman Tio.
Maren adalah saksi bukan? Saksi atas apa yang telah terjadi
selama mereka tinggal di negara asing. Jujur saja Zemira semakin
gugup. Ia masih berdiam diri mengatur nafasnya.
Berbeda dengan Randika, di ruang kamarnya ia sedang
melakukan panggilan grup bersama satu genk-nya yang Jendra beri
nama ‘ghost hunter’. Sebuah misi mencari hantu atau apa? Mereka
sedang heboh-hebohnya karena Randika tiba-tiba mengirim pesan

HEY ROSE | 126


‘Siaga satu!!’ sebuah kode yang mereka sepakati jika salah satu dari
mereka sedang mengalami hal yang sangat darurat.
“Gue padahal cuma mau ngungsi ke rumah Jendra,” ujar
Randika santai. Ia tengah berjalan-jalan mencari jaket yang biasa ia
pakai yang entah ke mana. “Ngapain pada heboh?”
“Ya lo bilangnya siaga satu monyet!!!” Itu suara Cakra yang
melengking.
“Ngapain ngungsi lagi? Lo ditinggal Kak Ze pacaran lagi ya?”
Sahut Naja.
“Apa gue bilang Randika tuh adik buangan.” Aji tertawa.
“Ya udah buru ke sini, Dik.” Jendra menyetujui.
“Kak Ze lagi mau hangout sama temen-temennya tapi kata
gue mencurigakan sih karena dia keluar sampe malem, terus gue
ancem laporin ke Bunda juga Kak Ze santai aja kayak ... udah lah
terserah lo, yang penting gue keluar,” jelas Randika.
“Ya kali aja emang bener gitu? Ngilangin penat sama kuliahan.
Kak Ze juga butuh refreshing.”
“Bener tuh kata Naja!” Cakra satu suara dengan Naja.
“Nggak nggak tapi insting gue mengatakan nggak gitu.” Tukas
Randika.
“Jiahhh sejak kapan lo main insting?” Haikal menyela.
“Buntutin be lah repot amat.”
Sesaat Randika termenung dan tengah berpikir. Aji
memberikan ide bagus. Perasaan adik pada sang kakak sangatlah
kuat sehingga Randika mendadak mengkhawatirkan Zemira yang
tak biasanya pasrah jika akan dilaporkan pada kedua orang tua
mereka. Bagaimana jika ia mengekori si sulung diam-diam? Dan
ketika ada sesuatu hal yang tak diinginkan, ia bisa segera
menolongnya.
“GUE SETUJU EDI LO JI!” Teriak Randika yang mengejutkan
teman-temannya, karena suaranya cukup keras.
“Heh Edi mah nama Bapak gue!” Protes Haikal. “Gue mah kuy
aja!”

HEY ROSE | 127


“Lah emang lo diajak Kal?” Terdengar suara renyah Cakra.
“Eh tapi serem nggak sih ngebuntutin Kak Ze tuh?”
Perkataan Cakra kali ini membuat Randika tertegun.
“Kalo emang Kak Ze nggak hangout sama temen-temennya
nih, kalo dia malah cabut sama Kak Tio or someone else? Bakal
ngebahayain lo juga nggak? Dipikirin dulu Dik.” Imbuh Cakra.
Benar apa yang dikatakan Cakra. Itu bahkan bisa
membahayakan Zemira pula dan Randika sendiri tak bisa
membayangkan bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada
kakaknya.
“Pikirin dulu, butuh otak nggak? Gue pinjemin nih buat mikir.”
Canda Haikal. “Jangan gegabah Dik, kita nggak tau siapa dan apa
yang kita hadepin.”
“Ya lo pikir aja deh kalo bener gitu, kakak gue dalam bahaya
juga dong? Gue nggak bisa ngebiarin gitu aja lah anjir.” Dengkus
Randika sebal.
“Tapi Dik, bisa jadi kakak lo emang sengaja biar lo nggak ikut
campur, biar lo aman. To be honest gue masih sering merinding tiap
inget cerita Jendra waktu dia beberapa kali ngeliat sosok perempuan
itu.” Naja bersuara untuk menengahi.
“Kalo gue jadi Randika, gue nggak bisa diem aja. Tapi balik
lagi, lo nggak boleh gegabah,” ujar Jendra dari seberang sana.
Jika Jendra berkata demikian, maka apa yang akan dilakukan
Randika juga tak ada salahnya. Ia sama sekali tidak bisa tinggal
diam. “Ya udah anggep aja Kak Ze lagi ke luar sama temen-
temennya, tapi gue cuma mau mastiin dia beneran sama mereka
apa enggak. Please, ikut gue buntutin Kak Ze. Gue mau lihat pake
mata kepala gue sendiri.” Terdengar Randika memohon.
“Iya oke gue temenin lo,” ujar Jendra setuju. “But, on one
condition. Nurut sama gue, that’s it.”
Randika mengangguk, meski Jendra dan teman-temannya
yang lain tak bisa melihat.
“Udah lo meluncur aja ke rumah.” Titah Jendra.
“I’m in! Alias gue ikut lah anying.” Sahut Haikal heboh.

HEY ROSE | 128


“Gue juga ikuttttt.” Aji menimpa suara Haikal.
“Jen kalo udah pada di rumah lo, kabarin aja gue langsung ke
sana.” Karena rumah Naja sangat dekat dengan Jendra, jadi ia
menunggu teman-temannya berkumpul, barulah ia pergi menuju
mereka. Suara Naja datar, namun tetap saja ia ikut andil.
“Pada ikut semua nih? Ya kali gue enggak?” Tukas Cakra
seraya mengakhiri panggilannya.
Mereka semua bersemangat menemani Randika untuk pergi
mengikuti Zemira, membuat Randika tersenyum senang karena
teman-temannya.

“Kak jangan pulang malem-malem!” Randika yang baru saja


turun dari motor, melepas helm lantas merapikan rambutnya.
Zemira hanya mengangguk menyalakan motornya kembali tanpa
berniat mampir sebentar masuk ke rumah Jendra.
“Kak serius nggak mau mampir dulu?” Tawar Jendra.
“Enggak, keburu ditunggu anak-anak sih. Jen, nitip adik gue
ya.” Senyumnya merekah, sembari menutup kaca helm bogonya.
Melambaikan tangan, kemudian meninggalkan pelataran.
Zemira sama sekali tak curiga dengan tiga motor yang
terparkir di halaman rumah Jendra. Karena baru saja motor Zemira
ke luar dari area rumah Jendra, satu per satu teman-teman Randika
muncul dari balik pintu utama.
“Eh buru-buru cabut!” Perintah Haikal yang bergegas
menaiki motornya.
Randika bersama dengan Jendra, mengemudi motor bergaya
retro, sama persis seperti yang ada di film Dilan. Motor milik
ayahnya yang tak terpakai itu kini berguna bagi Jendra. Sedang
temannya yang lain, Cakra mengemudi sebuah motor matic
keluaran terbaru dengan Aji di kursi penumpang. Haikal bersama
Naja, mengemudikan sebuah vespa milik Haikal yang biasa ia pakai
ketika pergi ke pertemuan pengurus ekstrakulikuler.

HEY ROSE | 129


Dengan kecepatan standart, tak lambat, juga tak kencang,
jarak mereka dengan motor Zemira tak jauh terpangkas. Randika
terus memusatkan kedua manik hitamnya agar Zemira tak hilang
dari pandangnya.
10 menit.
20 menit.
Hingga 40 menit. Kini Randika yakin bila kakaknya pergi
seorang diri, entah akan menjumpai siapa, atau apa yang akan
dilakukan si sulung, Randika gugup.
“Arah bandara, Dik.” Suara Jendra mengeras, mengingat
mereka sedang berada di jalan raya.
Melihat ke jalanan. Ke kanan, ke kiri, ingatan Randika akan
dirinya yang pergi ke bandara untuk mengantar Tio pun muncul. Ia
ingat. Dan benar, jalanan ini mengarah pada satu tempat.
Bandara.
“Jangan bilang ...,” lirih Randika. “Lo mau nemuin Kak
Maren?”

HEY ROSE | 130


KILLING CURSE
He is a boy who has no choice.

Hanya karena tak ingin dicurigai oleh sang adik, Zemira


memutuskan untuk pergi lebih awal. Jarum jam menunjukkan
pukul satu siang. Sudah hampir satu jam lamanya ia berada di
Stonebucks, tempat di dekat bandara yang sudah disetujui oleh
Maren. Ia akan menunggu delapan jam lagi—mungkin akan sangat
membosankan menunggu seorang diri.
Duduk di dekat jendela, menghadap ke arah jalanan kota,
adalah tempat favoritnya. Ia bisa melihat ramainya jalanan, melihat
siapa saja orang yang akan berkunjung datang. Tetapi, Zemira tak
sempat melihat Randika dan teman-temannya ikut masuk ke
dalam. Mereka pun berada di sana sejak gadis itu memilih duduk di
dekat jendela. Menyaksikan dan menunggu hingga bosan.
Haikal mulai kelelahan, lantas ia memilih untuk meletakkan
kepalanya bersandar pada sofa empuk yang ia pilih guna
mengistirahatkan dirinya, sedangkan yang lain melanjutkan
aktivitas mereka berburu Chicken Dinner.
“Kan insting gue emang bener,” bisik Randika.
“Kak Ze lagi nunggu siapa sih?” Tanya Haikal dengan
suaranya yang serak. “Pake topi, udah gitu pake masker, Kakak lo
nggak lagi nguntit, kan? Jangan-jangan sasaeng fans lagi?!”
Randika berdecak. “Gue nggak tau udah sih tunggu aja.”
Hampir saja keenamnya tertidur di sana. Mereka sama-sama
meregangkan badannya. Sesekali berdiri untuk meluruskan kaki
yang tengah kesemutan. Sudah berapa banyak uang mereka
keluarkan untuk menambah pesanan. Mungkin ada lebih dari
sepuluh cup gelas berada di meja mereka. Sudah dapat dipastikan
bila perut mereka akan kembung seusai pulang dari tempat ini.

HEY ROSE | 131


“Kakak lo betah bener duduk disa—woy woy tutupin muka
lo!” Bisik Cakra yang langsung memalingkan diri saat Zemira tiba-
tiba berdiri melihat ke arah pintu masuk.
Sontak mereka pun menuruti apa titah Cakra untuk
menyembunyikan wajah mereka, karena mereka duduk tak jauh
dari pintu masuk.
Tepat pukul tujuh malam. Zemira pun bosan menunggu
berjam-jam lamanya di sana. Saat ia melihat jam di ponsel, saat itu
pula pandangannya beralih pada sosok lelaki yang perawakannya
tak asing baginya. Itu Maren! Yang tengah masuk dan melambai ke
arah Zemira. Outfit Maren tak jauh berbeda dengannya. Celana
jeans, dengan kaos hitam polos, memakai masker, juga bertopi
hitam, meski begitu mereka berhasil saling mengenali satu sama
lain. Maren menenteng sebuah kotak besi dengan ukiran bunga
mawar.
“On time, huh?” Sapa Maren sembari membuka maskernya.
“Yeah, that's who I am.” Sombong Zemira.
Ia tak tau saja, gadis itu sudah beberapa jam yang lalu
menunggunya.
Tanpa basa-basi, Maren duduk di samping Zemira,
meletakkan barang yang ia bawa di meja. Jujur saja Zemira hampir
tak percaya bila lelaki yang duduk di sampingnya itu adalah Maren.
Susah payah dari tadi Zemira menenangkan diri, kini jantungnya
dibuat berdegup melampaui ritme normal lagi.
“Ze, langsung aja ya? Ini buat lo.” Maren menggeser kotak
yang dibawa tepat di depan Zemira.
“I-ini apa?” Tanya gadis itu kebingungan.
“To kill the curse.” Wajah Maren sangat serius, kedua bola
matanya tak beralih dari Zemira. Lantas tangannya meraih
punggung tangan Zemira. Si empunya terkejut saat tiba-tiba Maren
menggenggamnya.
“Ze, Tio ....”
“Kenapa? Tio kenapa?”

HEY ROSE | 132


Lelaki itu agaknya ragu untuk bersuara. Ia hanya semakin
menggenggam tangan Zemira. Matanya mulai berkaca-kaca kala
Zemira menelusuri bagian-bagian tubuh lawannya. Ada bekas
jahitan di pelipis Maren, beberapa bekas luka cakar atau entah apa
yang bersarang di lengannya, juga tanda yang sama di dekat
matanya. Bekas luka yang hampir menyerupai bunga mawar,
Maren pun punya, namun berbeda dengan Tio, kepunyaan Maren
seperti luka yang sudah mulai pudar. Luka itu pulih dan samar.
“Lo ...,” ujung jari telunjuk Zemira menyentuh dan
menyapukan pelan di atas bekas luka menyerupai bunga mawar
itu. Maren membiarkannya.
“Ze, buka kotaknya di rumah aja ya? Apa pun isinya jangan
kaget, dan gue minta tolong sama lo buat terima kenyataan.”
“But wait, gue sebelumnya mau tanya sama lo, kenapa waktu
itu lo dikabarin meninggal sih? Dan bahkan masih banyak
mahasiswa yang percaya kalo lo udah meninggal. Orang tua lo
gimana? Mereka udah tau yang sebenarnya? Terus maksudnya gue
harus nerima kenyataan apa? Kenyataan apa yang harus gue
terima?”
Maren menghela nafas. Memberikan jeda untuk merangkai
kata yang tepat agar bisa dimengerti oleh Zemira. “Orang tua gue
nggak tau kalo gue masih hidup. Ini gue pun cari tempat tinggal
baru. Dan Tio, yang bikin gue meninggal.”
“Lagi?!” Suara Zemira terlalu keras, hingga enam lelaki yang
tengah menyimak obrolan mereka berdua pun terjingkat kaget.
Bertanya-tanya, mereka berenam saling melempar tatap tak
mengerti. Mereka hanya mengandalkan sepasang mata untuk
melihat gerak bibir yang merajut sebuah kata dan kalimat karena
sebelumnya mereka tak bisa mendengar percakapan Zemira dan
Maren.
“Lagi?” Tanya Maren heran. “What do you mean?”
“Jefri ....”
“What?! Jangan bilang ....”

HEY ROSE | 133


Zemira mengusap wajahnya kasar. Beberapa tetes bening
lolos dari matanya tanpa disadari. Ia bingung bagaimana harus
menjelaskan semuanya pada Maren.
“Ze?! Bilang sama gue kalo Jefri masih hidup!” Maren
mengguncang tubuh kecil Zemira dengan menggenggam kedua
bahunya. “Ze?! Bilang sama gue!!”
Dengan penuh penyesalan yang masih tertinggal, Zemira
mengatakannya. “Jefri meninggal ... Jefri udah nggak ada, Maren, I
mean dia beneran meninggal.”
Tubuh Maren terasa sangat lemas. Ia tak percaya. Ia
hempaskan dirinya di kursi. Terlihat penyesalan pada raut
wajahnya yang mulai memerah. Lantas keluar sudah semua air
mata yang sempat ia tahan beberapa saat. Lagi, Zemira
menyalahkan dirinya atas kematian Jefri.
“Sebenernya semua salah gue. Jefri meninggal karena gue.”
Maren menggeleng tak setuju dengan pernyataan Zemira
karena pada dasarnya ia tau apa yang tengah terjadi. “Doni? Janu?
Mereka berdua gimana?” Tanyanya sembari menyeka pipinya yang
basah.
“Gue nggak tau. Udah jarang ketemu Doni, then Janu gue
nggak pernah ketemu dia sama sekali.”
“Tio masih di kos lama?”
“Iya masih.”
Maren mengangguk.
“Tunggu! Lo mau pergi ke mana?” Zemira sontak menarik
lengan Maren saat ia beranjak pergi dari sana.
“Lepasin, Ze. Gue mau nyamperin Tio.”
Zemira menggeleng cepat. “Nggak nggak! Please jangan ....”
“I have no choice, sebenernya Tio pun ... kita berdua sama-
sama nggak punya pilihan lain. Ze, sebelum terlambat, please kill
the curse.” Pinta Maren sembari melepas tangan Zemira dari
lengannya.
“What curse do you mean?”
“The curse of the sect.”

HEY ROSE | 134


Zemira tak mengerti. Ia hanya duduk mematung seorang diri.
Maren pergi dengan terburu-buru, yang mungkin akan me-
ngunjungi Tio.
Berakhir sudah obrolan singkat mereka berdua. Harapan
dari segala jawaban yang Zemira pikir akan ia pecahkan kali ini pun
pupus sudah. Gadis itu malah lebih dihadapkan dengan hal-hal
yang semakin tidak ia mengerti. Satu hal yang ia pikirkan saat ini.
Sebelum kematian Jefri, ia lebih dulu menemukan makamnya,
lantas Jefri terbunuh setelahnya. Itu artinya makam itu telah
dipersiapkan sebelum empunya kehilangan nyawa. Bagaimana
jika, makam Maren pun dipersiapkan sebelum ia kehilangan
nyawa? Yang artinya makam dengan nama Maren di batu nisan itu
sedang menunggu sang empunya untuk datang mengisi
kekosongan ruang.
Menyadari itu, Zemira buru-buru pergi dari sana untuk
menyusul Maren sebelum jejaknya lebih dulu tersapu angin.
Randika dan kelima temannya pun ikut beranjak karena tak tau apa
yang sedang terjadi. Mereka kembali mengikuti Zemira.
“I promised to keep him safe.” Zemira dengan perasaan
menggebunya.

Jalanan kota mulai tampak sepi kala Zemira masuk ke salah


satu komplek yang sangat Randika kenali juga. Lelaki itu
memicingkan mata, ia berpikir bila si sulung akan menjemputnya
ke rumah Jendra, ia sedikit lega. Namun, ketika Zemira melajukan
motornya dengan lambat, ia mulai menyadari bila Zemira akan
berhenti di sebuah bangunan yang rupanya itu adalah kos Tio.
“Jen! Jen! Salip motor kakak gue buruan!” Pinta Randika
sembari menepuk bahu Jendra.
“Lah ketahuan dong kalo ngintilin?”
“Enggak enggak udah buru!”

HEY ROSE | 135


Jendra menuruti apa titah Randika untuk menyalip motor
Zemira sebelum kakaknya berhenti di kos Tio. Teman-temannya
yang lain pun heran mengapa Jendra malah menambah kecepatan
laju motornya.
Tiinnn!!!
Tiinnn!!!
Bunyi klakson terdengar nyaring saat motor Jendra
menghalangi motor Zemira. Gadis itu tampak sangat kesal karena
tiba-tiba sebuah motor menghadang di depan lajunya. Ia masih
belum sadar siapa pengemudi dan penumpang motor itu.
Randika sedikit memutar tubuhnya ke belakang.
“Kak Ze!!!” sapa Randika dengan cerianya sembari me-
lambaikan tangan.
Zemira mengernyit. Ia menyalakan lampu sen kiri,
mengisyaratkan agar motor di depannya ikut berhenti.
Mesin sudah mati, buru-buru Randika turun dari motor dan
menghampiri Zemira yang tengah melepas helm.
“Ayo Kak balik!” Tanpa basa-basi Randika langsung naik di
belakang Zemira.
“Eh lo dari mana, Dik?” Zemira menepuk lutut Randika yang
sudah duduk nyaman di jok belakang.
“Biasa Kak, cari angin abisan bosen. Tuh sama temen-temen
yang lain juga.” Randika menunjuk dua motor di belakang mereka.
Zemira mengikuti arah tunjuknya.
“Hai Kak!” Haikal menyapa canggung, tangannya melambai.
Sedang yang lain hanya cengengesan tak jelas.
“Ayo Kak baliiikkkk.” Rengek Randika. “Udah malem Kak, gue
takut lama-lama di luar. Kak Ze mau jemput Dika kan ini?”
“I-iya.” Zemira mengangguk. Ia terpaksa berbohong pada
adiknya.
Di balik masker yang gadis itu gunakan, bibirnya tengah ia
gigit saking gugupnya. Rasa khawatir terhadap Maren, juga
khawatir si bungsu akan mengetahui apa yang sedang ia
sembunyikan. Ia tengah kebingungan, haruskah ia putar balik dan

HEY ROSE | 136


melaju pulang? Ataukah ia harus memastikan bahwa Maren baik-
baik saja ketika bertemu dengan Tio?
Terdiam sejenak, Randika tau apa yang kakaknya itu
pikirkan.
“Kak.”
“Iya?” Lamunannya terpecah.
Zemira memakai helm kemudian menyalakan mesin
motornya. “Iya oke ayo balik.”
Randika tersenyum lega. Sedang Zemira mungkin akan
dihantui rasa bersalah karena telah mengingkari janji yang ia buat
sendiri.

HEY ROSE | 137


I WILL TELL YOU, LATER

Empat hari, Zemira memutuskan untuk tinggal di rumah dan tak


pergi mengunjungi kampus. Bukan tanpa sebab, melainkan adik
kesayangannya itu tengah jatuh sakit. Awalnya hanya demam
biasa, tapi suhu tubuhnya kian meningkat. Ia tak tega dan tak akan
pernah mau untuk meninggalkan Randika meskipun hanya sakit
demam.
Sejak hari pertama Randika sakit, Tio juga memaksakan diri
untuk pergi menjenguk si bungsu. Namun berakhir dengan
penolakan dari Zemira. Bukan menolak, Tio tetap pergi ke rumah
Zemira, tapi gadis itu tak membolehkan Tio untuk masuk ke dalam
kamar Randika. Takut tertular, alibinya. Padahal ia hanya tak ingin
Randika semakin berpikir macam-macam dan terbebani dengan
itu.
Tio yang baik hati membawakan makanan, obat-obatan dan
vitamin itu tak pernah absen untuk sekedar menengok sebentar.
Tapi, hari ini ia tak datang. Melainkan Maren—seperti sudah
takdirnya mereka berdua tak dipertemukan.
Maren datang menemui Zemira di rumahnya. Gadis itu lega
karena Maren baik-baik saja, namun ia belum menanyakan perihal
malam itu. Keduanya pergi ke apotek, Maren juga senantiasa
mengantar Zemira untuk belanja di mini market depan komplek
usai membeli obat-obatan.
Ponsel Zemira terus berdering. Pesan masuk, pun panggilan
masuk yang tak terjawab.
Randika terus menghubunginya, membuatnya semakin
khawatir dan takut terjadi apa-apa dengan si bungsu. Ia
mempercepat langkah kakinya sedikit berlari kecil, hingga Maren
kesusahan menyeimbangkan langkahnya.
Zemira masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa, kantung
belanjaannya ia taruh sembarangan dan berlari menuju kamar
Randika.

HEY ROSE | 138


Randika yang sedang berbaring langsung mendudukkan diri.
Dahinya berkeringat, matanya terlihat sembab, dan pipinya
membasah entah karena keringat atau air mata.
“Kenapa Dik?” Zemira mendudukkan dirinya dengan satu
kaki naik ke atas kasur. Memeriksa suhu tubuh Randika dengan
menempelkan punggung tangannya pada dahi si bungsu.
“Kak ....” Mata Randika berkaca-kaca. “Kak Ze dari mana aja?
Gue mimpi buruk. Gue mimpi Kak Ze ninggalin gue, gue mimpi Kak
Tio ngebunuh lo.” Ia mengucek mata.
Zemira tertegun. “Dika, it’s just a dream.” Sembari menyeka
dahi Randika yang basah.
“Kalo mimpi gue jadi nyata gimana Kak?”
“Jangan ke mana-mana tanpa gue. Gue mau ikut Kak Ze ke
mana pun. Jangan pergi sendiri lagi,” tambah Randika.
Zemira tersenyum dan mengangguk. Bagi Zemira, Randika
tampak menggemaskan kala mengatakannya. “Iya iya nanti kalo
udah sembuh ikut gue ke mana-mana ya? Tapi, sembuh dulu! Gue
tadi ke apotek sama Maren. Stop overthinking ya? Nanti malah
nggak sembuh-sembuh.”
Randika terkejut, menatap lawannya lamat. “Maren temen-
nya Kak Tio?”
Zemira mengangguk sebagai jawaban.
“Kak, bisa nggak kalo Kak Ze ngejauhin semua temen Kak
Tio? Jangan berhubungan lagi sama Kak Tio atau temen-temennya.
Jangan percaya mereka semua Kak gue takut.”
Sudah keberapa kalinya Randika mengatakan bahwa dirinya
takut dengan Tio. Sudah berapa kali lelaki itu mengungkapkan
untuk menjauhi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tio. Dan
sudah berapa kali Randika mengungkapkan bahwa ia sering
bermimpi buruk tentang Zemira. Tak hanya sekali dua kali
tentunya, namun Zemira tetap acuh dengan hal itu.
“Dika, lo tau nggak? Tio dari kemaren kukuh mau masuk
kamar lo, dia jengukin lo, tapi gue larang buat masuk nemuin lo,

HEY ROSE | 139


karena pasti lo mikir yang enggak-enggak, kan? Padahal yang beliin
bubur, beliin jajanan itu Tio.”
“Dia care sama lo, kenapa lo malah gini ke Tio?”
“Dik, get rid of all your excessive fear. Nggak baik buat diri lo,
sampe lo sakit kayak gini. Kata dokter juga apa? Lo kebanyakan
mikir, jadi drop, your brain needs rest, Randika. So please
overthinking-nya dikurangin dulu.”
“Breathe, exhale... inhale....”
Randika menuruti arahan Zemira untuk menarik dan
membuang nafasnya perlahan. Ia lakukan berulang kali hingga
ketenangan mulai menyelimuti.
“Maaf Kak, I can’t stop overthinking when it comes to you. Gue
nggak mau Kak Ze kenapa-kenapa, gue sayang sama Kak Ze.”
Randika mengucek matanya lagi.
Zemira tersenyum geli. Mengusak rambut Randika saking
gemasnya. “Uhh s word.” Diikuti dengan tawa yang renyah.
“Eta serius Kak!!” Randika berdecak sebal.
“Iya iya gue juga sayanggggg banget sama lo. Segera sembuh
buat gue ya?”
Randika tersenyum sembari mengangguk lucu. Kemudian
Zemira mengambil makanan yang sempat ia beli di warung tadi.
Menyajikan untuk sang adik agar ia bisa minum obat setelahnya.
Zemira senang karena Randika makan dengan lahap meski sangat
pelan dalam hal mengunyah dan menelan. Beberapa kali bola
matanya melirik ponsel Zemira yang tergeletak tak jauh dari
tempat Randika berbaring.
“Kak, hpnya nyala terus.” Randika menunjuk dengan dagu.
“Oh itu kayaknya temen-temen gue sih lagi rame di room
chat.”
Menunggu Randika melahap habis makanannya, Zemira
membuka dan membalas beberapa pesan dari para sahabatnya.
Iren, Lyra, juga Jihan, merindukan Zemira yang absen selama
empat hari. Iren mengatakan bahwa besok akan ada kuis yang
artinya gadis itu harus masuk dan tak boleh absen. Tapi, melihat

HEY ROSE | 140


kondisi Randika yang belum juga pulih, ia khawatir bila esok hari si
bungsu masih tetap terbaring lemah seperti ini.
Zemira terhenyak. Matanya membulat ketika membaca
pesan dari Iren. Benar-benar membuat rasa takutnya kembali
datang. Sahabatnya itu memberitahunya bahwa Tio sedang
mendekati Iren. Selama Zemira absen, lelaki itu terus mengikuti ke
mana pun Iren pergi.
Tak pernah sekali pun terpikir jika kekasihnya bisa saja
memangsa teman-temannya juga. Zemira yang sedang berada di
kamar Randika gagal fokus karena pikirannya sendiri. Raut
wajahnya yang sendu dan penuh dengan kekhawatiran itu
tertangkap jelas di bola mata sang adik.
“Kak... mikir apa?” Tanya Randika yang tengah berbaring
setelah memakan habis makanan dan meminum obatnya.
Zemira terbangun dari lamunan, lantas menjawabnya
dengan gelengan dan lengkungan tipis di bibirnya. “Mikir lo yang
nggak sembuh-sembuh ini.”
“Maaf Kak, habis ini gue sembuh kok.” Randika melayangkan
jari kelingkingnya ke arah Zemira. “Tapi, janji dulu sama Dika, kalo
gue udah sembuh, boleh ikut Kak Ze ke mana-mana.”
Gadis itu tertawa, lantas mengaitkan jari kelingkingnya. “Iya,
boleh ikut ke mana-mana kan tadi juga udah gue bilang yang
penting lo sembuh dulu. Udah lo istirahat lagi aja, gue ke depan ya?
Maren kasihan sendirian di teras.”
“Enggak diajak masuk, Kak?”
“Enggak mau, he needs some fresh air, ceunah.”
Randika mengangguk sembari memejamkan matanya.
Selimutnya ia tarik sampai menutupi dadanya, lalu mencari posisi
yang nyaman untuknya kembali tidur.
Menghela nafas kasar, beberapa kali mengusap wajahnya
kasar, serta berusaha memijit pelipisnya yang terasa berdenyut
tanpa henti seraya berjalan menuju teras rumah. Kala angin luar
menyapanya, Zemira langsung duduk di samping Maren.
“Kenapa, Ze?” Maren menangkap air muka Zemira sendu.

HEY ROSE | 141


“Maren... malam itu lo jadi nyamperin Tio nggak?” Tanya
Zemira. “Jadi nyampe di kos Tio nggak?”
Kedua mata Maren mengerjap cepat. Ia mengangguk. “Jadi.”
“Terus?”
“Tapi nihil, dia nggak ada di kos waktu itu. Gue cuma ketemu
Ibu kos.” Sembari bersandar di kursi kayu, kini ia menengadahkan
kepalanya. “Gue juga belum ketemu sama Doni, Janu apalagi.
Mereka sama-sama nggak bisa dihubungi. I hope they're still in good
shape.”
Suara Maren terdengar sangat putus asa. Sesekali lelaki itu
memejamkan matanya. Zemira tau, pasti sangat frustasi hanya
dengan memikirkannya, karena saat ini pun pikirannya tengah
dipenuhi oleh teman-temannya. Perselingkuhan, atau sesuatu
tentang mengkhianati suatu hubungan? Bukan itu. Ia takut jika
sahabatnya dijadikan mangsa selanjutnya. Jika itu benar, kenapa
harus sahabatnya?
“Maren....”
Maren berdehem.
“Tio deketin temen gue.”
“W-what?!” Maren seketika terbangun dan menegakkan
dirinya. “Deketin? What do you mean? Is that like PDKT? Or ....”
“Gue nggak tau, Maren. Gue nggak tau.” Zemira mengusap
wajahnya kasar, dengan sesekali merengek. Kepalanya terasa
pusing, sangat pusing. Ia hanya sedang takut dan amat sangat takut.
“Wait, lo udah buka kotak yang gue kasih?”
Zemira menggeleng.
“Oh my God Ze?! I’m asking you for help dan lo belum juga
ngebuka?”
“Gue takut. Dan kenapa harus gue?” Zemira menunjuk
dirinya tak mengerti. “Why should I break the curse? Why aren't
you? Kenapa? Kenapa bukan lo aja? Atau Tio?”
“I can't.... Ze, please.” Maren memohon lagi di hadapan
Zemira. Gadis itu tidak mengerti mengapa harus dirinya? Padahal
ia sendiri ingin mengakhiri hal-hal di luar nalarnya. Bahkan

HEY ROSE | 142


baginya cukup kejadian di mana ia harus melihat Randika berubah
menjadi sosok lain. Cukup baginya untuk mendengar suara-suara
bising dan berisik dari arah yang tak ia pahami.
“Gue bakal buka kotaknya sekarang, but can you tell me?
Kenapa semua bisa jadi serumit ini? Apa aja yang gue lewatin
selama kalian di Inggris? Selama Tio di sana, apa yang gue lewatin?”
Tanya Zemira menuntut. “Apa emang ada yang lo dan Tio
sembunyiin dari gue? Yang belum gue tau? Atau memang gue nggak
boleh tau?”
“Oke, I'll tell you, but later. I have to go now. Nanti sore gue ke
rumah lo lagi, dan tepatin janji lo buka kotak itu dan bantu gue.”
“I will, Maren, setelah lo cerita semua ke gue. Tapi, boleh
nggak gue ngajak orang lain ke sini? Ya biar gue nggak sendiri. Gue
belum percaya sepenuhnya sama lo.”
“Who?”
“Jendra, temen adik gue. Dia udah kayak adik kedua gue sih.”
Maren berpikir sejenak tanpa mengalihkan atensinya pada
Zemira.
“Nggak papa? Dia tau semua, dia pun bisa lihat makhluk yang
nggak bisa kita lihat. Siapa tau dia bisa bantu juga, kan? Bantu gue,
bantu lo.” Imbuh Zemira.
“Harusnya gue yang tanya. It’s ok for you?” Maren melempar
tanya.
“Ya! Emang kenapa?”
“Nggak papa, it’s just ....” Kalimatnya menggantung. “It’s going
to be very sensitive, but if it’s ok for you, ya nggak papa. Terserah lo.”
Maren mengendikkan bahu. “Adik lo gimana? He should know too,
right?”
“No! Big no!” Tegas Zemira sembari menyilangkan kedua
tangannya serta menggelengkan kepala. “Gue bahkan nggak mau
dia ikut campur atau terlibat dalam masalah ini. He’s my one and
only brother, someone I love the most. Cukup waktu itu aja dia ....”
Ingatannya kembali lagi. “Gue nggak mau inget-inget waktu itu,
please jangan sampai Randika tau.”

HEY ROSE | 143


“Ya kalo gitu kita nggak bisa ngelakuin itu di rumah lo. Karna
lo nggak mau adik lo tau juga, kan?”
Kedua alis Zemira bertaut. Raut wajahnya berubah
kebingungan.
“Ngelakuin? What am I supposed to do?” Tanya Zemira
membuat lawan bicaranya mengusap wajahnya kasar. “Maren, biar
gue tekanin di sini bahwa gue cuma janji bakal buka kotak yang lo
kasih. Dan lo janji buat ceritain semua!”
“Dan biar gue perjelas dulu sebelum gue pergi.” Maren sudah
saja beranjak. Kini ia berdiri menghadap Zemira, dengan satu
tangan berkacak pinggang. Sedang tangan yang lain menyibakkan
rambutnya ke belakang. Terlihat sangat frustasi.
“When you open it, you also have to do it.”
Zemira melengos. “Huh? Lo nggak bilang sebelumnya. Lo
cuma bilang kalo kotak itu buat gue, to break the curse dan lo nggak
bilang kalo gue harus ngelakuin sesuatu.” Zemira tertawa remeh.
“Nggak, nggak, perjanjian kita sebatas gue buka kotakan itu, dan lo
cerita.”
“Ze, coba lo pikir deh. Ngapain gue bawa kotak itu ke lo? Then
how? How to break the curse if you don’t do something? Lo cuma mau
ngeliatin isi kotaknya doang tanpa berbuat sesuatu? Gue tau terlalu
cepat gue bilang ini but Ze, Tio udah meninggal. Yang ada di sini dan
lo lihat itu bukan Tio. Itu bukan pacar lo!”
Mendengar itu Zemira tak terima hingga amarahnya
memuncak. Ia pun ikut berdiri hingga Maren memundurkan diri
karena jarak mereka yang telalu dekat.
“What the fuck?! Lo ngomong apa sih anjing! Then who is he?
Gue tau lo frustasi karena mikirin temen-temen lo, lo juga
kehilangan temen lo, tapi nggak usah bikin statement kayak gitu
juga anjing!” Nafas Zemira memburu.
Maren hanya mengangguk. Tatapannya datar. “Gue pergi
bentar. Nanti sore gue balik.” Pamitnya yang kemudian
meninggalkan Zemira begitu saja dengan emosi yang meletup-
letup.

HEY ROSE | 144


Zemira meremat bajunya. Tangannya bergetar saking
marahnya. Lantas ia masuk menuju ruang kamarnya. Nafasnya
masih saja menggebu hingga menyesakkan dada. Tentang
kematian, siapa lagi yang akan bercanda dengan kematian
seseorang? Ia dibuat kebingungan dan takut akan sebuah kematian.
Duduk di pinggir kasur dengan menghadap ke arah luar
jendela, ia tengah menggenggam cermin pemberian Tio yang telah
lama ia simpan di laci.
“Apalagi sekarang? Kenapa kematian dibuat bercanda kayak
gini? Nggak lucu. Sumpah nggak lucu!”
“Maren, Tio, terus siapa? Gue sama sekali nggak percaya!”
Tangannya semakin mengeratkan genggaman cermin. Tertawa
miris. Ia menertawai dirinya sendiri.
“Gue udah muak! Gara-gara cermin ini?” Zemira mengangkat
cermin pemberian Tio. “Gue udah jarang keluarin ini dari laci.”
Zemira menggeleng cepat. Menyadarkan dirinya sendiri
kemudian mengembalikan benda itu di laci. Ia raih ponselnya,
menghubungkan sebuah panggilan.
Tio.
Berdering.
“Halo.” Suara bariton khas Tio terdengar.
“Oh hai.”
“Kenapa?”
“Kamu tadi ke kampus?” tanya Zemira.
“Enggak.”
“Tumben?”
“Ada perlu.”
Jawaban-jawaban Tio sangat singkat. Bahkan suaranya
terdengar sangat datar seakan tak ingin seseorang mengajaknya
berbincang. Zemira bingung akan membahas apa, ia hanya
menghubungi Tio karena dirinya berada di ambang kebingungan.
Mendengar suara Tio ia pikir bisa meredakan keresahannya,
apalagi jika lawan bicaranya mengatakan sesuatu yang

HEY ROSE | 145


membuatnya percaya bahwa apa yang dikatakan Maren tentang
Tio meninggal itu salah.
“Put back the mirror.” Titah Tio tiba-tiba.
“Cermin yang kamu kasih? Ada, barusan aku taruh laci.”
“Cermin yang aku kasih dipake lagi ya? We miss watching
you.”
Tutt...
Tutt...
“We? Tio? Are you okay?” Tanya Zemira memastikan.
Tutt...
Tutt...
Namun sayang panggilannya diputus sepihak ketika Zemira
memastikan apa yang ia dengar barusan. We miss watching you,
kalimat yang terlintas dipikiran, yang mampu membuat sekujur
tubuh merinding.
“Apa maksudnya?” gumam Zemira.

HEY ROSE | 146


CANDLE IN PENTAGRAM CIRCLE

Bagaimana pun saat ini Zemira tengah merasakan kepanikan yang


luar biasa. Sesak, seakan pasokan oksigen dalam dirinya tengah
menipis, sekali pun ia berusaha menenangkan diri sendiri, berdiam
diri di teras menghirup udara malam, menatap indahnya gemerlap
bintang, tetap saja, sesak. Membayangkan bagaimana ia akan
benar-benar masuk dalam dunia yang seharusnya tak ia jamah
membuatnya sangat frustasi.
Ditemani Jendra, Zemira membuka kotaknya. Maren masih
belum juga datang, sudah lebih dari 30 menit sejak ia mengatakan
dalam perjalanan menuju rumah Zemira, tapi ia belum juga
menampakkan batang hidungnya. Banyak sebuah catatan yang tak
Zemira mengerti. Ada pula buku dengan abjad Yunani, juga
beberapa botol berisi cairan merah yang sepertinya tak asing
baginya. Benar saja! Itu seperti milik Zemira, pemberian dari Tio.
“Kak, lo yakin?” Tanya Jendra sembari membantu Zemira
membongkar isi kotak. Namun, gadis itu tak menjawab.
Jendra terus bergumam, sesekali berdecak, menggeleng-
gelengkan kepala ketika mengobrak-abrik isi kotak, lantas
menatap Zemira lekat-lekat.
“Kak Ze? Lo nggak perlu ngelakuin ini! This is part of a satanic
cult, Kak.”
Gadis itu terhenyak. Bersamaan dengan itu, mobil Maren
masuk ke area pelataran rumah. Ia ke luar dari mobilnya dengan
tergesa-gesa, menghampiri Zemira dan Jendra yang tengah duduk
memangku kotak dengan corak mawar itu.
“Ze, lo harus segera ngelakuin ini, please....” Menyapa pun
tidak. Maren langsung meraih kedua tangan Zemira dan memohon
kepadanya. Lantas Jendra menarik lengan Maren untuk memutus
genggamannya.

HEY ROSE | 147


“Lo apa-apaan sih, Kak? Numbalin orang lain demi
nyelametin diri lo sendiri?!” Tukas Jendra dengan nada
membentak.
“Maren, lo hutang cerita sama gue dan sekarang lo dateng-
dateng nyuruh gue untuk segera ngelakuin hal yang lo minta?”
“Iya oke gue cerita sekarang.”

Liburan akhir pekan, Maren, Tio, Wira dan Dhirgam tak enak
jika hanya berdiam diri di asrama. Bosan, mereka ingin menjamah
negara yang sedang mereka singgahi ini. Mereka tak bisa menyia-
nyiakan kesempatan yang mereka miliki di waktu luang ini.
Pastilah setiap orang memikirkan hal yang sama bila berada di
negara yang bukan tanah kelahirannya.
Kota Gloucestershire adalah sasaran empuk mereka. Kota
yang dijuluki sebagai Vaping Hotspot di Inggris. Pasalnya, mereka
memiliki jumlah vape store lebih dari dua kali lipat rata-rata
nasional. Kota ini termasuk yang teratas dalam hal jumlah toko e-
rokok per jumlah penduduk di negara Inggris.
“Ini sih surga dunia,” celetuk Dhirgam saat bola matanya
menyusuri sudut-sudut kota yang hampir penuh dengan toko vape.
“Wah gila! Gue kayaknya pengen lama-lama di sini aja deh! Setahun
nggak cukup ieu mah.”
“Hotel?” Tanya Tio. “Udah pesen hotel?”
Yang ditanya malah celingukan. Mereka bertiga saling
melempar tatap satu sama lain. Maren cengengesan. “Gue kelupaan
Yo, sorry.”
“Kalau tau gitu gue aja yang pesen.” Tio berdecak.
“Jadi belum booking hotel?” Agaknya sel otak Wira baru saja
tersambung.
“Don't worry kita bisa tanya sama orang sini, kan? Biar
direkomendasiin gitu yang fasilitasnya ciamik sama strategis.”

HEY ROSE | 148


Dhirgam menjentikkan jarinya sembari menaik-turunkan kedua
alis.
Setuju dengan saran dari Dhirgam, mereka pun akhirnya
menikmati lebih dulu setiap sudut kota. Menjajah toko demi toko
dengan tas ransel di punggung mereka. Langit tampak mulai
mendung. Musim penghujan, memang tak dapat diprediksi kapan
hujan akan turun, padahal seperti baru saja matahari bersinar
dengan teriknya.
Lelaki bermantel hitam tiba-tiba datang dan menjajari
keempatnya. Menawarkan untuk menginap di salah satu
penginapan miliknya yang tak jauh dari sana. Tanpa berpikir
panjang, mereka berempat mengangguk mengiyakan ajakannya.
Ancient Ram Inn, namanya. Tampak tak seperti penginapan
pada umumnya. Sembari masuk ke dalam rumah, si empunya
bercerita tentang penginapan ini. Bangunan ini dibangun pada
abad ke-11. Mendengar itu, Dhirgam ber wah ria. Tampaknya dia
kagum dengan rumah yang sampai saat ini masih ada dan berdiri
kokoh.
Berbeda dengan Tio, dia lebih dulu menangkap beberapa
keganjalan. Mulai dari tatanan rumah yang cukup bisa dibilang
berantakan. Tembok batu bata yang sengaja tidak dirawat untuk
menambah nilai keindahan dari sebuah bangunan. Juga banyak
patung salib digantung di tiap dinding ruangan. Klasik memang,
bahkan rumah ini bisa dibilang terlalu kuno. Hanya saja, bagi Tio
rumah ini terlalu menyeramkan.
“Gokil banget nggak sih kita nginep di tempat ini?” ujar
Dhirgam yang dari tadi sudah sibuk melihat-lihat isi ruang kamar.
“Gokil pala lo! Ini gue merinding yang ada dari tadi.”
Mendengar pernyataan Maren, Tio merasa bahwa dirinya tak
salah bila menyebutkan rumah ini menyeramkan.
“Gue sekamar sama siapa?” Tanya Wira.
“Sama gue aja, Maren biar sama Tio,” jawab Dhirgam.

HEY ROSE | 149


Maren mengangguk, lantas menyusul Tio yang masih berdiri
di ambang pintu kamar. “Yok lah kita ke kamar sebelah. Eh Gam, Ra,
gue tinggal ke sebelah.”
“Yoi!”
Mereka berdua pergi dari sana, meninggalkan kamar
Dhirgam dan Wira. Kamar mereka bersebelahan, hanya saja
terdapat etalase berukuran 2x1 meter yang memisahkan ruangan
mereka.
“Yo, lo nggak ngerasa aneh apa?” Maren memecah
keheningan.
“Ngerasa... banget malah.”
“Merinding nggak sih? Ini bulu gue dari tadi berdiri terus nih
lihat.” Maren menyingkap lengan bajunya. Memperlihatkan bulu-
bulu tangannya yang halus tengah menegang.
“Ah udah lah kita cuma semalem di sini. Noh Dhirgam sama
Wira santai-santai aja.” Tio melipat kedua tangannya, men-
jadikannya tumpu kepalanya, berbaring di kasur.
“I-iya udah bener cuma semalem.”
Jujur saja Tio tak bisa mengistirahatkan dirinya, dari tadi ia
hanya mengerjapkan mata berkali-kali dan menatap langit-langit
kamar. Pandangannya ia arahkan pada ranjang di sampingnya.
Maren juga sama sepertinya, sedang asyik memandang langit-
langit ruangan.
“Maren?”
“Hm?”
“Bisa merem nggak sih lo?”
“Nggak bisa sumpah udah gue merem-merem in.”
“Ke luar aja nggak? Gue juga nggak bisa merem,” ajak Tio.
“Club aja yok?”
“Haha anjing lo, Maren. Nggak mabok ya? Gue udah janji
sama Zemira nggak minum-minum di negara orang—bahaya kalo
gue hamidunin anak orang.”
“Ck elah iye bucin.” Maren berdecak. “Ajakin Dhirgam, Wira
nggak?”

HEY ROSE | 150


“Iya lah masa mau keluar berduaan doang?”
“Ya udah ayo.”
Tio bangun dari rebahannya, disusul oleh Maren. Ia hanya
menyambar hoodie yang sengaja ia gantung di belakang pintu.
Berbeda dengan Maren yang mengganti pakaiannya untuk pergi ke
luar.
Rencana untuk pergi ke luar berempat pun gagal, pasalnya
saat Maren dan Tio menyusul kedua temannya, ternyata mereka
berdua sudah tertidur dengan pulas. Lucu sekali mereka bisa
tertidur dengan aura rumah yang bisa dikatakan horror seperti ini.
Tio hanya menggeleng-gelengkan kepala menyadari itu.
Maren menghela nafas. “We're on a date, dude?” Ia tertawa.
“Haha udah nggak papa, ayok.” Tio merangkul Maren
sembari menutup kembali pintu kamar.
Saat mereka berdua akan menuruni tangga, Tio terkejut
melihat anak perempuan menangis duduk bersandar di salah satu
anak tangga. Melihat itu, Tio pun menghampirinya.
“Hei!” sapa Tio. “Why are you crying?”
Anak itu tidak menjawab.
“Hey dude, kita anter ke kamarnya aja apa? Dicariin orang
tuanya entar. Kasihan tengah malem di sini sendirian.”
Tio mengangguk. Mereka berdua seperti tak ada pikiran
macam-macam bertemu dengan anak perempuan yang duduk
sendiri dan menangis. Mungkin jika itu orang lain, mereka akan
menyadari sesuatu yang janggal.
“Hey, don't cry, don't cry... let me take you back to your room.
Can I?”
“Yeah.” Jawabnya singkat.
“What is your name? Why are you crying?” Tanya Tio sembari
mengusap pelan rambut anak perempuan itu.
“Rosie.”
Ia menoleh pada Tio, parasnya yang cantik dengan dua manik
hitam yang terasa tak asing bagi lelaki itu—mengingatkan Tio pada
mata lentik milik kekasihnya.

HEY ROSE | 151


Tio mengangguk dan menarik kedua sudut bibirnya. “You
have a pretty name, Rosie. I'm Tio.”
“Hi Rosie, I'm Maren. Why are you crying? Don't cry, okay?
Your beauty will be gone.” Maren pun tak kalah untuk menenangkan
anak perempuan itu.
Mereka berdua mengantarkan Rosie kembali ke ruangannya.
Menuruni anak tangga, lalu anak tangga lagi. Lantai bawah tanah?
Ternyata ada juga kamar di bawah sana. Dengan lampu kuning
sebagai penerang.
Berdiri di depan pintu ruangan, Rosie mempersilahkan
mereka untuk masuk menemui orang tuanya. Awalnya mereka
berdua menolak, sampai akhirnya sosok perempuan cantik
membukakan pintu kamarnya.
“I'm sorry, I met Rosie, she was crying and we drove her here.
Umm ... I'm Tio, and he's Maren.”
“I'm Rose.”
“Oh, hey Rose,” Sapa Tio.
Rose tersenyum miring. Lantas menyuruh mereka berdua
untuk masuk. Mereka berdua tak bisa menolak.
Tampaknya Maren tidak nyaman berada di sana, melihat Tio
yang tengah asyik mengobrol dengan Rose, membuatnya kian
menyadari adanya sebuah kejanggalan lainnya. Jika diperhatikan
lagi, Rose seperti memakai sebuah gaun layaknya seorang ratu,
berwarna hitam, dengan corak bunga mawar. Yang kedua, Maren
menyadari bahwa Rosie sudah tidak ada di dalam ruangan, ke
mana perginya anak itu? Padahal ia yakin bila ia melihat Rosie
masuk ke dalam ruangan ini bersamanya. Dan, lagi ia sadar bila
bola mata Rose sesekali berganti.
Saat sang empunya ruangan berpamitan sebentar untuk
pergi keluar mengambil minuman, Maren mendekat ke arah Tio. Ia
melotot kaget, ritme jantungnya pun mulai berderu cepat.
“What the fuck?!”

HEY ROSE | 152


Tio duduk bersila memunggungi Maren sedari tadi, dan di
depan Tio, tempat di mana Rose mendudukkan dirinya, terdapat
lilin menyala di sebuah lingkaran pentagram.
Satanic cult? batin Maren. Ia cukup mengerti dengan gambar
lingkaran pentagram yang ada di lantai karena ia sering menonton
film dan membaca beberapa cerita tentang satanic cult.
“Hey du-de, g-gue pikir ada yang nggak beres deh?” Dengan
suara berbisik, tangannya pun meraih bahu Tio.
Tak disangka, padahal Maren hanya menyentuh pundaknya,
sedikit menarik ke belakang, tapi tubuh Tio seketika jatuh terkulai.
Ia tak sadarkan diri.
“What the hell Yo?! Tio bangun!!”
“Tio? Please lo denger suara gue?”
“Please bangun Tio bangun!!” Maren masih berusaha
membangunkan Tio. Tubuhnya ia guncang ke kanan dan ke kiri,
dengan sesekali menepuk kedua pipinya. Benar saja dugaan Maren.
Memang ada yang aneh. Terpaksa ia bopong lelaki yang tak
sadarkan diri itu untuk pergi dari sana, namun sayang, bersamaan
dengan itu Rose lebih dulu masuk ke dalam ruangan.
Seperti tengah merapalkan mantra, tangannya meng-
genggam beberapa bunga mawar, juga ada botolan kecil di sana.
Maren merogoh ponselnya dengan tangan gemetar, namun sengaja
tak ia keluarkan, ia menekan-nekan tombol angka untuk meminta
bantuan kepada Dhirgam atau Wira, siapa pun.
Rose berjalan ke arah Maren. Ia tak bisa lari, akan sangat
kesusahan jika ia lari dengan Tio yang sedang ia bopong. Bibir
wanita itu masih saja bergerak, kini bergerak dengan cepat.
Merapalkan sesuatu yang tak dimengerti oleh Maren.
“Flowers for you.” Rose mendekatkan dirinya, memberikan
setangkai bunga mawar untuk Maren. Namun, Maren menolak.
“Take this.” Kini suaranya berubah menggelegar, tak seramah
tadi. “Don't want to?”

HEY ROSE | 153


Keringatnya mulai bercucuran. Maren takut, sangat takut
melihat wajah Rose yang berubah mengerikan, tak lagi cantik,
bahkan bola matanya berubah keputihan.
“Hey Rose.”
“Hey Rose.” Ia memanggil namanya sendiri.
Perlahan ia meraih lengan Maren, turun ke telapak
tangannya, lantas menjejalkan tangkaian bunga mawar ke dalam
genggaman Maren. Seperti tersihir, lelaki itu tak bisa berontak.
Durinya sangat tajam hingga mampu merobek kulitnya. Maren
melihat darahnya sendiri bercucuran, ia menjatuhkan tubuhnya,
lemas. Matanya mulai melihat ada banyak sosok di sana. Banyak
anak kecil, juga orang seumurannya. Berdiri mematung di belakang
Rose.
Sebenarnya apa yang tengah terjadi?
Pandangan Maren mulai kabur, tapi ia masih bisa melihat
temannya yang sedang di idurkan di atas sebuah papan. Kedua
tangannya terikat, Tio masih belum sadar. Air matanya mulai
menetes satu per satu, dan semakin deras saat melihat Tio yang
menjadi persembahan untuk Tuannya.

Zemira terkejut setengah mati mendengar cerita singkat dari


Maren. Tubuhnya seperti lemas, dengan tangan gemetar ia dapat
merasakan dirinya hampir jatuh jika Jendra tak menahan tubuh
Zemira. Jendra menahan bahunya, terus mengeratkan genggaman
di sana. Jendra pun tak kalah terkejutnya, Zemira bahkan merasa
ritme jantung Jendra semakin cepat karena dada lelaki itu
menempel pada punggungnya.
“T-terus kenapa lo bilang kalau Tio udah meninggal?”
“Karena gue lihat dengan mata kepala gue sendiri, kalo waktu
itu Tio udah nggak bernafas, Ze.”
“Terus kenapa lo bisa selamat?! Kenapa cuma lo yang bisa
selamat sedangkan Tio enggak?! Kenapa?” Tanpa Zemira sadari,

HEY ROSE | 154


emosinya kian meluap. Tangannya mengguncang bahu Maren,
masa bodoh dengan air mata yang sudah lepas terlebih dahulu.
Zemira sama sekali tak dapat menerima kenyataan jika ucapan
Maren itu benar.
“Ze, gue pikir gue nggak akan selamat. Gue yakin, I could have
died. Lo lihat scars yang ada di deket mata gue, ini sama kayak
punya Tio. Gue pikir gue udah jadi sesembahan juga.”
“Iya tapi kenapa cuma Tio?! Kenapa cuma cowok gue anjir!”
Zemira terus menyela perkataan Maren yang belum selesai.
Sungguh rasanya sangat sesak mendengar lelaki yang ada di
hadapannya ini terus mengelak dan memberi alasan-alasan yang
tak dapat ia terima.
“Kak Ze, keep calm, lo lupa kalo Randika lagi istirahat di
dalem?”
Jendra menenangkan Zemira. Lantas Maren melanjutkan
ceritanya lagi, bahwa kehidupannya mulai berubah selepas
kejadian itu. Ia hidup, namun kadang ia juga merasa mati, tak
mengetahui apa saja yang telah ia perbuat. Seperti kesadarannya
tak bisa ia kendalikan. Tio pun sama seperti itu.
Maren menceritakan bagaimana ia bisa selamat dan sembuh
meski ia tak menjelaskan secara gamblang. Ia hanya menyebutkan
telah bertemu dengan seseorang yang dapat menghilangkan
kutukan, dan menjauhkannya dari circle of the sect. Ia dan kedua
temannya dinyatakan menghilang pula karena sedang menjalani
sebuah penyembuhan, sedang Tio entah bagaimana lelaki itu bisa
menjajaki tanah air lebih dulu. Maren sadar jika ia sudah dijadikan
sesembahan dan budak mereka.
“Seseorang yang berpengaruh besar dalam kehidupan Tio
cuma lo, Ze. Paman bilang itu ke gue, someone who has a big
influence in life. Tio nggak punya siapa-siapa selain lo,” ungkap
Maren.
“Paman?” mendengar Maren menyebutkan itu membuat
sebuah ingatan kecil muncul dalam benak Zemira. Terasa tak asing
baginya.

HEY ROSE | 155


“I mean orang yang nyembuhin gue.”
Zemira mengangguk.
Menyelamatkan Tio, menariknya kembali dan membuatnya
pulih adalah tujuan yang belum dapat ia penuhi. Bila hanya ia yang
bisa, lantas ia pun tak bisa menolak, kan? Agar semua dunia Zemira
bisa kembali ke tatanan semula. Agar tak ada lagi kejadian yang
membuatnya ketakutan. Agar tak ada lagi kematian mendadak
yang sebercanda ini.
“Terus?”
“Ya ini gue, Ze, sepenuhnya gue udah balik jadi diri gue.”
“Oke gue mau,” ujar Zemira dengan tekat yang kuat.
“Kak?! Nggak mau dipikirin dulu? Informasi dari dia belum
sepenuhnya lengkap. Lo nggak bisa mau mau gitu aja, Kak.”
“Jen, gue cuma mau bawa Tio balik. Even if he can't come back,
gue mau ketemu Tio. I mean, Tio yang gue kenal.”
Benar kata Jendra, cerita dari Maren belum sepenuhnya
tuntas tapi Zemira sudah memberanikan diri untuk menjamah
dunia lain. Ia sama sekali tak memikirkan bagaimana dan apa
resiko yang nantinya akan ia terima. Zemira hanya ingin semua
kembali seperti semula.
“Ze, sorry....”

HEY ROSE | 156


BULAN PURNAMA
a time when humans and animals are just as aggressive, as well as
times when some sects perform their offerings

Penampakan bulan purnama yang memesona telah memicu


manusia untuk menerawang segala kemungkinan dengan kaidah
yang gaib, sejak dahulu kala hingga saat ini mewariskan cerita
tentangnya melalui lisan atau tulisan.
Randika bangun dari tidurnya, mendengar percakapan
samar di luar sana. Suara Jendra yang amat sangat ia kenali
membuatnya berpikir bahwa temannya itu tengah berada di
rumahnya. Mendudukkan diri, ia memegang kepalanya yang masih
sakit, telinga yang berdengung membuatnya beberapa kali
menenangkan diri sejenak. Darah yang berdesir di setiap inci
tubuhnya kembali normal, Randika raih ponsel di atas meja kecil
samping tempat tidur. Mengetikkan sebuah pesan pada Jendra
untuk memastikan. Temannya itu membalas dengan cepat, dan
memang benar Jendra berada di rumah untuk menjenguk dirinya.
Randika ingin bertemu dengan Jendra, ia beranjak dari kasur
dengan berjalan tertatih meraih knop pintu. Mencoba membuka
daun pintu kamar namun tak bisa.
Terkunci.
“Akhlakless banget Kak Ze ya ampun.” Randika menggerutu,
kembali mengambil ponselnya untuk menghubungi Jendra, namun
panggilannya ditolak. Mengirim sebuah pesan lagi untuk
menanyakan mengapa kamarnya terkunci dari luar. Apa sang
kakak tak sengaja melakukannya atau malah sebaliknya.
Jangan ke luar kamar, Kak Ze sengaja ngunci kamar lo karna
dia mau ....
Rasanya jantungnya berdegup semakin kencang melampaui
batas normal. Dahinya berkeringat membaca balasan dari Jendra

HEY ROSE | 157


yang mengatakan bahwa Zemira sengaja untuk melakukan itu.
Mengunci dirinya agar tak ke luar dari kamar. Dan apa yang sedang
si sulung lakukan?
“Kak ... lo mau ngelakuin apa?”
“Kak Ze ....” Racaunya sembari mengirim banyak pesan pada
Zemira.
Percuma. Semua pesannya tak terbalas, bahkan tak terbaca.
Jendra pun tak membalas pesannya. Randika kebingungan, ia takut
kakaknya melakukan hal yang tidak ia inginkan. Randika takut.
Saking bingungnya, Randika tak bisa berpikir jernih lagi. Ia butuh
bantuan, ia butuh seseorang yang bisa mengeluarkan dirinya dari
ruang kamarnya.
Menggulir kontak di ponsel, dan berhenti pada kontak Tio.
Randika tanpa rasa takut lagi menghubungi lelaki itu. Meminta
tolong padanya dan Tio mengiyakan permintaannya. Menyuruh
Randika untuk menunggu hingga Tio sampai di rumahnya.
Salah atau tidak, Randika memilih untuk menghubungi
seseorang yang masih menjadi alasan akan rasa takutnya. Tak
punya pilihan, sedari tadi ia hanya memandangi luar jendela
sembari merapalkan doa entah apa yang sekiranya dapat
melindungi dirinya juga kakak satu-satunya. Menangis tersedu di
dalam kamar, sendirian. Lantas ia mendengar deru mobil yang baru
saja dinyalakan. Terlihat Zemira dan juga Jendra berjalan menuju
mobil Maren.
Dengan peluh yang kian membasahi dahi, juga mata sembab
dengan buliran air mata yang terus terjatuh, ia beranjak
memandang ke luar jendela lagi.
“Kak Zemira!!” Teriak Randika dari balik jendela. “Kak Ze lo
mau ke mana, Kak?!”
“Jendra!!”
“Kak Ze bukain pintunya!!”
“Jangan tinggalin gue!!”
Dengan tangan mengepal, Randika memukuli jendela
kamarnya berkali-kali. Zemira melihat ke arahnya dengan tatapan

HEY ROSE | 158


yang tak dapat diartikan, lelaki itu tertegun melihat bibir kakaknya
yang mengucap kata hingga kalimat yang tak bisa ia dengar, namun
bisa terbaca.
“Sorry.” Tangan Zemira mengatup. “Sebentar aja.” Ia ter-
senyum simpul.
Randika semakin menangis sejadi-jadinya saat mobil yang
dikendarai Maren keluar dari halaman rumahnya. Ia mencoba lagi
menghubungi siapa pun yang bisa ia mintai pertolongan saat ini
untuk segera membantunya keluar, namun tangannya terlalu kaku
untuk sekedar memencet tombol di ponselnya. Bagaimana ia bisa
menghubungi mereka bila dirinya sendiri tak bisa mengontrol
emosi yang sejak tadi ke luar tak henti-hentinya. Randika hanya
bisa duduk memeluk kedua lututnya di atas lantai dingin kamar.
Sendiri.

Sebuah bangunan tua tak terpakai yang ada di dekat area


pemakaman, Zemira baru mengetahuinya. Padahal ia sering pergi
ke makam untuk menjenguk Jefri tapi rasanya ia tak pernah
melewati bangunan yang tengah ia masuki kini.
“Kak Ze kalo lo ragu jangan lakuin ini.” Jendra menahan
lengan Zemira.
“Jen, kalo gini lo yang buat gue semakin ragu. Buat gue takut.”
Jendra terdiam mendengar jawaban Zemira. Mereka bertiga
pergi ke ruang tengah bangunan itu. Mengikuti apa saja yang
dikatakan Maren. Lalu Zemira pun membuka beberapa lembar dari
buku berabjad yunani, isi dari kotak milik Tio.
Κάνε μου την προσφορά σου. kane mia then prosphora sou.
Yang artinya ‘buatlah penawaranmu’.
Kalimat itu Zemira baca setidaknya tiga kali. Tak ada hal yang
terjadi, sama sekali tidak ada. Ia menoleh ke arah Maren, lalu
berganti ke arah Jendra. Berbeda dengan dirinya, sepertinya

HEY ROSE | 159


mereka tampak sangat santai atau itu hanya perasaannya saja?
Jendra pun tak banyak bicara seperti saat di rumahnya.
Maren mengulurkan tangan kirinya. “Ikut gue.”
Jendra menahan lagi. “Ke mana?!”
“Pindah ruangan. Lo di sini aja,” jawab Maren sembari meraih
pergelangan tangan Zemira.
“Kak ....”
“It's okay, lo tunggu sini.”
Raut wajah Jendra berubah pucat. Keringat dingin tampak
meloloskan dirinya. Zemira berjalan mengikuti Maren, namun saat
ia menoleh ke belakang untuk melihat Jendra, sosoknya sudah tak
berada di sana.
Zemira celingukan. Secepat apa Jendra bisa pergi dari ruang
tengah padahal ia sendiri masih beberapa langkah berjalan
membelakangi Jendra.
Maren menuntunnya ke sebuah kamar mandi dengan bathub
putih yang sudah tertutup debu dan dedaunan kering. Ia bersihkan
benda itu, lantas mengisinya dengan air.
“M-Maren lo mau mandi apa gimana sih?” Gurau Zemira di
tengah ketakutannya.
“Lo yang mandi.”
“Heh gila aja lo!” Spontan Zemira menutupi dadanya dengan
kedua tangan menyilang.
“Ze, it doesn't mean like that.” Maren tertawa tidak percaya.
“Come on....”
“Ah, oke oke. Then what am I supposed to do?”
“Masuk aja ke bathub. Sambil nunggu air penuh.”
“Ini seriusan? Gue masuk ke sini?” Tunjuk Zemira. “Gue
nggak bawa baju ganti yang bener lo.”
“Ze... just do it.”
Zemira berdecak, namun ia tetap melakukannya. Masuk dan
duduk di dalam bathub. Airnya sudah hampir penuh, dadanya
sudah tertutup dengan air. Maren mematikan kran, menuangkan

HEY ROSE | 160


beberapa botol berisi cairan merah yang ada di kotak. Gadis itu
tidak tau menahu tentang apa sebenarnya cairan merah ini.
“Zemira, listen to me.” Maren berjongkok di sebelah bathub.
Zemira memperhatikan ucapannya dengan badan yang mulai
menggigil karena air dan juga angin malam yang masuk memenuhi
ruangan. “Gue tau lo takut, gue tau lo pengen nangis. Nangis aja
dulu nggak usah ditahan.”
Mendengar itu rasanya dada Zemira mulai sesak. Ia hanya
meloloskan satu hingga tiga tetes air matanya, namun tak bisa
dibendung lagi, Zemira menangis sesenggukan. Segala rasa
khawatir menyelimutinya. Khawatir akan sang adik yang sendiri di
rumah, khawatir pula bila dirinya tak berhasil pergi ke alam sana.
Ia menangis akan ketakutannya yang berlebih. Semua rasa
takut akan kehilangan.
“Ze, sebentar lagi lo bakal bisa lihat semua. I mean, semua
yang nggak pernah lo lihat atau bayangin. Tentang cerita gue, atau
bahkan cerita Jefri. Satu yang harus bisa lo tahan. Don't talk to
anyone there, jangan sampe lo ngeluarin suara. Gue mohon, tahan
sebisa mungkin. Remember that you're on the other side.”
“Inget kalo itu bukan dunia lo....”
“Bisa lo lakuin itu, Ze?” Tanya Maren memastikan.
Zemira mengangguk meski merasa ragu apakah ia benar bisa
melakukannya.
“Oke. Lo cuma perlu cari kaca besar yang bentuk dan
ukirannya sama kayak punya lo ini.”
“Pecahin kacanya!”
“Karena kaca itu, 'dia' masih terhubung.”
Maren memberikan cermin milik Zemira, pemberian dari
kekasihnya. Ia tatap cermin itu lekat-lekat dengan tatapan sedih
yang tak bisa diungkapkan. Tak menyangka karena cermin cantik
yang ada di genggamannya saat ini yang menyebabkan dunianya
berubah.
“Terus habis ini apa? Dingin, Maren.” Tanya Zemira sembari
mengusap sisa air matanya.

HEY ROSE | 161


“Masuk ke dalam air, Ze.”
“Maksudnya ini gue tenggelem?”
Maren mengangguk. “Pegang tangan gue kalo lo mulai
kehabisan nafas, gue bakal narik lo. Yakin sama diri lo dulu yang
penting.”
“This mirror? Gue bawa?”
“Iya, bawa aja.”
Zemira mulai menenggelamkan dirinya. Kedua tangan Maren
menggenggam bahu Zemira. Kedua maniknya melihat lelaki itu
masih ada di sana dan masih menahannya di air. Air merah dirasa
menjadi sangat keruh dan berbau anyir. Pasokan oksigen di dalam
tubuh Zemira mulai menipis, ia terhenyak.
Sesak.
Tak dapat menahan nafasnya lagi. Gadis itu menggenggam
kedua pergelangan tangan Maren, memaksa untuk ke luar dari
bathub, namun semakin Zemira memaksa keluar, tubuhnya
semakin ditahan oleh Maren.
“M-Maren!”
Zemira tersedak karena mencoba memanggilnya di dalam
air. Gadis itu terus meronta untuk ke luar, kakinya menendang-
nendang hingga air menciprat ke luar. Maren sama sekali tak
mengangkat tubuh Zemira, benar-benar sengaja membiarkan gadis
itu kehilangan nafas dan kesadarannya.
Terlalu lemas untuk menggerakkan tubuhnya. Pandangan
Zemira mulai kabur. Telinganya berdengung. Gerak tubuh Zemira
mulai berangsur melemah. Zemira kehilangan kesadarannya.
Tubuh Maren merosot. Terasa sesak hingga ia meremat
dadanya. Melihat Zemira yang sudah kehilangan sadarnya, seulas
senyum tipis hadir di wajahnya dengan nafas yang tak beraturan.

“Kak Ze!!”

HEY ROSE | 162


Suara Randika menyadarkan Zemira. Mendengar suara
adiknya, ia mampu keluar dari dalam air dan sadar sepenuhnya.
Nafasnya pendek masih tersenggal-senggal. Berkali-kali ia
mengerjapkan matanya yang terasa perih. Bola matanya
menjelajahi tiap sudut ruangan. Ia menyeka wajah yang basah
dengan air.
Gadis itu mengernyit. Zemira tersadar saat melihat cermin di
genggamannya. Yakin, bahwa dirinya sudah berada di alam yang
berbeda. Bajunya basah kuyup, bukan hanya bajunya saja tapi juga
sekujur tubuhnya. Saat ia akan melangkahkan kaki keluar ruangan,
ia melihat sebuah mantel hitam tergantung di sana. Mau tak mau
Zemira memakai mantel itu untuk setidaknya menutupi dirinya
yang basah kuyup dan menghangatkan diri.
Terkejut.
Banyak sosok makhluk yang langsung memusatkan
atensinya pada Zemira yang baru saja keluar dari ruangan. Sosok
bayangan hitam nan besar, seorang biarawan berjubah, hingga
sosok mengerikan lainnya.
Tahan, Ze, tahan....
Ia terus mengingat semua kalimat Maren.
Zemira memberanikan diri menerobos mereka, berjalan
seolah itu semua adalah hal yang wajar, seolah ia adalah bagian dari
mereka juga. Mereka hanya terus menatap gadis itu. Jujur saja
rasanya tubuh Zemira gemetar saking takutnya. Ia harap mereka
semua tak menyadari bahwa dirinya hanyalah makhluk asing yang
tengah menjamah alam mereka.
“Maren! Buruan keburu telat kelas!”
Suara yang tak asing bagi Zemira. Suara lembut yang sangat
ia kenali. Mencari dari mana datangnya suara itu, ia berlari
menghampiri.
Itu Tio, kekasihnya. Lelaki itu sudah memakai pakaian kasual
yang rapi, pergi ke arah dapur dan menyambar beberapa potong
roti, menjejalkan ke dalam mulutnya.
“Maren, gue tinggal ya.”

HEY ROSE | 163


“Tunggu elah lo rajin amat!”
“Kata Zemira nggak boleh telat masuk kelas!” Teriaknya
sembari menutup pintu rumah.
Zemira tersenyum, bahkan butiran bening tanpa diminta
membasahi pipi putihnya. Gadis itu kebingungan, saat berusaha
mengikuti kekasihnya untuk keluar dari rumah, ia malah sudah
berada di stasiun. Penuh dan sesak. Tidak hanya karena banyaknya
manusia di sana, tapi juga karena makhluk lain yang tak bisa dilihat
dengan panca indera orang biasa. Lagi, ia ditatap tajam oleh
mereka.
Jadi, apakah yang sedang Zemira lihat saat ini adalah adegan
reka ulang kejadian yang dialami Tio dan teman-temannya?
Pertanyaan yang muncul begitu saja.
Duduk termenung seorang diri. Zemira memicingkan
matanya, melihat Tio berada di seberang sana. Ia ingin
menghampirinya, namun langkahnya terhenti kala melihat seorang
lelaki yang Zemira kenal tiba-tiba duduk di sampingnya. Itu Maren.
Disusul Dhirgam, juga Wira yang berjalan tak jauh dari mereka.
Wajah Tio kini terlihat berbeda, tak se-murung tadi. Zemira masih
tak mengerti apa alasan di balik wajah murungnya.
Mereka pergi ke suatu tempat. Ternyata itu adalah tempat
yang sebelumnya sudah diceritakan oleh Maren. Ini adalah waktu
di mana mereka semua pergi berlibur.
Demi Tuhan, tubuh Zemira melemas saat melihat
penginapan yang mereka tempati. Karena dalam pandangnya saat
ini, itu bukanlah sebuah penginapan, melainkan sebuah
pemakaman, dengan gedung tua di sampingnya. Zemira masih tak
mengerti dengan apa yang dilihatnya saat ini. Sebuah tempat
penginapan yang dikunjungi mereka itu bekas pemakaman? Atau
memang itu adalah sebuah makam? Ia akan mencari tau tentang
penginapan ini nanti setelah ia kembali ke dunianya.
“Zemira?”
Suara itu....
Terkejut. Keduanya sama-sama terkejut.

HEY ROSE | 164


“Ze?! Lo masih dalam keadaan sadar, kan?” Ia mengguncang
bahu Zemira, lalu melepaskannya.
Jefri. Tepat di depan matanya saat ini, lelaki yang terbunuh
akibat keegoisannya. Entah senang atau sedih mereka berdua
bertemu di alam lain. Melihatnya saja sudah membuat air mata
Zemira mengalir membasahi pipi putihnya.
“Lo beneran Zemira?” Tanya Jefri saat melihat butiran bening
lawannya terus menetes.
Zemira hanya mengangguk. Iya Je, ini gue..., batinnya.
“T-tapi tunggu. Ini lo ... lo belum mati kan?”
Gadis itu menggeleng. Ia sangat ingin tau banyak tentang Jefri
saat ini. Andai saja ia bisa menuliskan semua pertanyaan, mungkin
itu akan menjadi satu buku penuh.
Sebentar. Jika Zemira sedang melihat adegan reka ulang
kejadian, mengapa bisa ia bertemu dengan Jefri di sini? Dan
mengapa Jefri bisa berinteraksi dengan dirinya? Ia menelisik manik
Jefri lekat-lekat. Mengernyit ketika mengetahui bila ada yang salah.
“Lo egois!”
Zemira terhenyak saat suara keras Jefri memekik gendang
telinganya.
“Lo harusnya bangun, Ze! Gimana caranya lo bisa balik ke
dunia lo?”
“Kenapa lo mudah banget percaya sama orang?!”
“Banyak yang nunggu lo bangun.”
“Ayo bangun, Ze....”
Bentakan-bentakan itu membuat Zemira tersulut emosinya.
Lantas menepis kedua lengan Jefri yang masih bersarang di
bahunya. Deru nafasnya menggebu, menandakan bahwa gadis itu
tengah marah.
“Kenapa lo selalu nggak mau belajar dari kesalahan?!”
“Ze, siapa yang nyuruh lo buat pergi ke alam lain? Apa lo
nggak lihat tubuh lo sekarang?”
“Bangun Zemira! Bangun!”

HEY ROSE | 165


Entah hanya perasaannya saja, atau memang benar kedua
bola mata Jefri berubah beberapa detik yang lalu. Zemira takut
lelaki di depannya bukan Jefri. Pandangannya beralih kepada Tio
dan ketiga temannya. Gadis itu menunjuk mereka, lantas Jefri
paham.
“Jadi lo masih mau ngikutin mereka?”
Zemira mengangguk.
“You're going to break the curse?”
Iya! batin Zemira sembari mengangguk-anggukkan
kepalanya cepat.
“Apa lo siap untuk tau kalau ....” Jefri menghentikan obrolan,
menoleh ke arah pemakaman. Zemira pun mengikuti pan-
dangannya, dan kembali terkejut karena banyak sekali bayangan
hitam, atau bahkan sosok mengerikan lainnya yang saat ini tengah
datang satu per satu mengelilingi Tio, juga Maren.
Mereka berdua berjalan mengikuti langkah gadis kecil nan
cantik.
“Rosie? Apa dia yang ada di cerita Maren?”
“No... no... no!”
Zemira berlari mengikuti mereka berdua yang masuk ke
sebuah gedung tua di area pemakaman. Jefri menahannya saat
knop pintu akan diraihnya.
“Zemira! Gue mohon jangan masuk. Banyak yang nunggu lo di
sini.” Ditahan seperti itu, Zemira menolak dan terus meronta. Jefri
mencengkeram tangannya sangat kuat. Meski begitu ia bisa
melepaskan diri dan masuk ke dalam gudang tua itu.
Bau dupa, wewangian bunga, juga bau anyir bercampur jadi
satu di ruangan ini. Seperti sedang diadakan sebuah upacara,
banyak makhluk yang tengah berkumpul. Seakan lupa dengan
tujuannya, Zemira memberanikan diri menerobos sosok-sosok
mengerikan yang berdiri memunggungi. Berada di baris terdepan,
lagi, Zemira harus menahan diri untuk tidak teriak saat melihat
Maren yang sudah terduduk berlumuran darah. Ia membungkam
mulutnya dengan tangan.

HEY ROSE | 166


“Hidup untuk mati, atau mati untuk dilahirkan kembali?”
Suara serak dan menggelegar, mengalihkan atensi Zemira.
Darah segar keluar dari leher kekasihnya karena cekikan dan
goresan kuku tajam. Telinga Zemira berdengung, ia tak dapat
mendengarkan suara apa pun. Pandangannya masih terus melihat
bibir yang samar sedang berucap sesuatu.
“Hey Rose, aku persembahkan jiwaku untukmu.”
“Aku persembahkan jiwaku untukmu,”
“Aku persembahkan jiwaku untukmu,”
Tiba-tiba tubuh Tio disandarkan di sebuah papan. Tampak
wajahnya diselimuti ketakutan, Zemira dapat melihatnya.
“Hey Rose, kini jiwaku adalah milikmu, maka aku memilih
mati untuk dihidupkan kembali, dan biarkan—”
“No!!! Tio!” Tak sadar Zemira berteriak karena ia mengerti
perkataan Tio meski telinganya berdengung, tak dapat mendengar.
Zemira mendapatkan semua atensi dari makhluk yang ada di
sana. Tubuhnya merosot begitu saja. Ia berlutut dan menangis,
sembari kedua tangan menutupi telinganya. Terlalu bising.
“Tio... please... jangan...,” ungkap Zemira terbata. Jika seperti
ini ia sudah lupa apa saja yang dikatakan Maren untuk tidak
bersuara di alam lain. Sudah terlanjur, gadis itu sendiri kalut
melihat Tio yang akan menyerahkan dirinya pada sosok yang
diakui sebagai si Tuan.
“Zemira....”
Dengan bersandar di papan, Tio pun menoleh ke arahnya.
Kali ini suara Tio dapat didengar oleh Zemira. Suara terakhir Tio.
Keduanya masih saling melempar pandang dengan air mata Zemira
yang berderai tanpa henti. Tio tersenyum simpul, senyum tulus
yang tak pernah Zemira lihat lagi di dunianya.
“Dan biarkan Zemira, Maren, juga kedua temanku untuk
hidup.”
Sosok perempuan dengan dress hitam itu tersenyum miring
melihat Zemira, lantas menancapkan pedang tajam menembus
tubuh kekasihnya.

HEY ROSE | 167


“Noooo!!!!” Zemira berteriak sekencang-kencangnya.
“Jangan!!!!!”
“Zemira....”
“Zemira....”
“Zemira....”
Seseorang memanggil namanya setidaknya tiga kali
terdengar di telinga Zemira. Gadis itu telah lama menunduk dan
memejamkan matanya sembari menangis histeris, karena melihat
orang yang ia cintai mengorbankan jiwanya kepada wanita itu.
Saat Zemira membuka mata, di depannya sudah ada sosok
perempuan dengan kedua matanya yang menghitam, dan
tersenyum miring. Dadanya sangat sesak, seperti tak ada lagi
oksigen yang dapat masuk ke dalam paru-parunya. Tercekat. Sosok
di depannya memangkas jarak hingga tersisa satu jengkal saja.
Apakah ini adalah akhir bagi Zemira juga? Apakah ia akan menukar
jiwanya juga? Ia sudah pasrah. Ia sudah menyerah. Bahkan ia sudah
berpikir bila ia terbunuh, mungkin Randika, sang adik akan tinggal
bersama kedua orang tuanya. Keputusan yang terbaik bukan?
“Jadi ini rasa takut yang kamu miliki? What are you doing
here?” sosok itu berbisik sembari tangan yang mulai menjamah
wajah Zemira.
Zemira merasakan kulit tangannya yang kasar, dan kuku
jarinya yang bisa saja mengiris dan menghancurkan wajahnya.
“I miss watching you.”
Kalimat itu pernah ia dengar sebelumnya. Zemira masih saja
menangis. Seketika wajahnya dicengkeram keras oleh lawannya.
“Sstt jangan takut.”
“Duniamu masih berjalan....”
“Hidup untuk mati atau mati untuk dilahirkan kembali?”
Suaranya berubah keras dan menggelegar.
Bila diberi penawaran seperti itu, maka Zemira akan memilih
hidup untuk mati. Ia berpikir bahwa setelah ini hanya Tuhan yang
mampu memberi takdir kapan ia akan mati.

HEY ROSE | 168


“Hidup untuk mati,” jawab Zemira dengan suara gemetar dan
terbata.
Sosok perempuan itu berjalan mundur membalikkan badan
dan memunggungi Zemira. Beberapa detik ia merasa lega, karena
ia terbebas dari penawaran berikutnya. Namun sayang, rasa
leganya tak bisa bertahan lama.
“Hidup untuk mati?” Tersenyum miring. “Kamu sudah hidup
sejauh ini, so it's time for you to die now.”
Zemira tercekat. Tanpa basa basi, sosok itu melayangkan
pedangnya. Ditancapkannya pedang itu ke tubuh si mangsa.
Berkali-kali. Gadis itu merasa bahwa darah segarnya tengah keluar
hingga wajahnya pun terkena darahnya sendiri. Namun saat ia
mampu membuka matanya, ia dikejutkan oleh tubuh Maren
menghadang di hadapannya. Menyadari bahwa wajahnya yang
basah karena cairan merah, itu adalah kepunyaan Maren.
“Menyerahlah, Zemira....”

Aroma alkohol dan obat-obatan mampu mengembalikan


kesadaran gadis yang sudah satu minggu tak sadarkan diri karena
sempat koma.
“Kak Ze? Kak?!” Randika memeluk Zemira saat mengetahui
kakaknya sadar. “Kak, gue nggak mau sendiri lagi, jangan tinggalin
Dika lagi.” Randika menggenggam tangan Zemira, beberapa tetesan
air mata jatuh ke tangannya.
Zemira kebingungan. Bahwa hanya ada Randika di ruangan.
Juga, bagaimana bisa Zemira terbaring di rumah sakit padahal
terakhir kali ia bersama dengan Maren, kemudian pergi ke alam
lain dan melihat semua kejadian yang tak pernah ia lihat
sebelumnya.
“Gue sama Jendra di sini, dia lagi cari angin di luar, Kak.”
Randika mengusap tangan Zemira. “Pokoknya habis ini gue mau
marahin Kak Ze!”

HEY ROSE | 169


“M-ma-ren?” Zemira mencoba mengeluarkan suaranya
meski kesusahan. “Di-ma-na?”
“T-tio?”
“Ih Kak Ze mah yang dicariin malah mereka, padahal Dika
ketakutan banget karena Kak Ze sempet koma, nggak sadar
seminggu!” ungkap Randika.
“Se-ming-gu?”
“Iya Kak, lo nggak sadar seminggu.” Terlihat Jendra muncul,
baru saja kembali dari luar. “Dik, boleh gue ngobrol sama kakak lo
bentar? Berdua.”
Randika menggeleng cepat. Memunggungi Zemira untuk
menyembunyikan sang kakak agar Jendra tak berjalan mendekat.
Menolak awalnya, hingga Zemira menggenggam tangan Randika
dan meyakinkannya.
“Lima menit.” Lantas Randika meninggalkan sang kakak
berdua dengan Jendra.
“Kalo Kak Ze udah sehat, kita jengukin Kak Maren ya?”
Zemira mengernyit.
“Permintaan terakhir, dia minta lo buat bawa bunga yang
banyak.”
“Bu…nga?” Zemira semakin tak mengerti mengapa ia harus
menjenguk Maren dan membawa bunga yang banyak untuk lelaki
itu. Ia kebingungan, bola matanya berputar kesana kemari sembari
otaknya dipaksa untuk mengingat apa yang telah terjadi dan ia
lewatkan begitu saja.
“Dia minta maaf nggak bisa bantu Kak Ze lagi.”
“Dia nyuruh gue buat bantuin lo, padahal gue aja nggak ngerti
apa-apa. Gimana kalo gue salah? Kalo gue malah memperparah
keadaan gimana?”
“Gimana kalo gue ....”
“M-Maren di mana?!” Tangan Zemira menyentuh kulit tangan
Jendra. “Jen, Maren di mana?!” Kini nadanya pun mulai meninggi
satu oktaf. “Bilang sama gue, Maren di mana?!”
“Dia meninggal, dua hari yang lalu.”

HEY ROSE | 170


Zemira mematung tak menyangka bagaimana bisa tiba-tiba
Maren meninggal. Bahkan lelaki itu tak menyampaikan apa pun
untuk Zemira agar gadis itu bisa melanjutkan tujuannya. Ia
termenung dan terus berpikir mengapa bisa? Tak sadar satu bulir
air mata lolos, jatuh meliuk di pipi putihnya.
“Jen, gue mimpi ya? Tolong bangunin gue,” ujar Zemira
dengan tatapan kosongnya. “Tolong bangunin gue, Jen. Kayaknya
gue lagi mimpi deh.” Suaranya mulai serak dan bergetar, ia hampir
menangis.
Jendra menggeleng. “Enggak Kak, ini bukan mimpi.”
Deg!
Bak dihantam pukulan yang sangat keras, dadanya begitu
sesak. Zemira menangis hingga meraung, menggema ke seluruh
ruangan. Ia meluapkan segala emosinya dengan tangisan.
“Jen, bangunin gue Jen!” Kini tangan Zemira menarik-narik
lengan Jendra.
Miris. Kedua mata Jendra tampak sayu dan bingung pula
harus berbuat apa.
“Kak!! Kak Zemira kenapa?!” Randika datang setelah
mendengar suara tangis Zemira yang frustasi. Ia menarik Jendra
untuk menjauh dari sang kakak, lantas membawa Zemira ke
pelukannya. “Kak ... Kak Ze kenapa?”
Zemira hanya terus menangis sembari menenggelamkan
wajahnya di dada sang adik. Tak kuasa melihat kakak dan adik itu,
Jendra melangkah mundur dan keluar dari ruangan. Randika tak
tau apa yang terjadi dengan si sulung. Ia hanya berusaha
menenangkan dengan mengusap punggung Zemira.
“Dek bangunin gue, gue lagi mimpi.” Racaunya lagi. “Kenapa
gue harus mimpi seburuk ini? Please Dika bangunin gue....”
“Iya Kak, ayo bangun....”
Suara itu lagi datang, membuatnya semakin berharap bahwa
apa yang dialami kini hanyalah bagian dari mimpi buruknya. Lantas
bagaimana ia bisa terbangun dari tidurnya?

HEY ROSE | 171


Kefrustasian yang Randika dengar membuat hatinya
mencelos. Lelaki itu ikut menangis meski tak tau apa-apa. Entah
rasanya perasaan sakit yang dirasakan Zemira mengalir begitu saja
pada Randika. Ia tak bisa berkata apa-apa selain menenangkan
kakaknya dengan cara memeluk dan mengusap punggungnya.
“Kak... iya Kak ayo bangun....”
Gelap.
Kosong. Tak ada cahaya mendekat. Sebuah ruangan ini,
Zemira memimpikannya lagi. Dan perempuan itu masih terbaring
di ranjang. Semua masih tetap sama. Aura dan hawa ruangan ini
masih sama. Sebenarnya Zemira tengah ada di mana saat ini?
Mengapa hanya satu ruangan ini yang bisa ia jamah dan bukan
ruangan lain?
“Zemira.”
“Kakak ayo kita goreng nuget lagi!”
Suara siapa dan berasal dari mana? Zemira celingukan
karena ia sendiri hanya bisa melihat siluet yang mengerumuni
ranjang perempuan itu. Ia hanya bisa memandang jauh dan diam di
tempat, karena ia sudah pernah untuk berjalan mendekat, namun
langkahnya semakin dijauhkan. Satu dari siluet yang Zemira lihat
itu seperti mencoba berjalan ke arah Zemira. Sontak tubuhnya
gemetar. Peluhnya menetes dan membasahi dahinya. Ia melangkah
mundur namun percuma semakin memangkas jarak di antaranya.
“Zemira....”
“Hhhh hhhh.” Nafas Zemira tersengal. Kedua matanya
terbuka dan menatap langit-langit ruangan.
Setelah beberapa menit ia menangis histeris hingga sampai
di titik lelahnya dan terlelap begitu saja. Kini ia terbangun dari
mimpi yang terus berputar berulang kali.
“Zemira.”
Gadis itu menoleh. Tio tengah duduk di sampingnya.
“Kamu mimpi buruk?” Tanyanya seraya mengusap dahi
Zemira yang basah.
Hanya anggukan sebagai jawaban atas pertanyaan Tio.

HEY ROSE | 172


“Aku mampir sebentar ke sini, Randika masih beli makan di
bawah jadi aku yang jaga. Gimana keadaannya? Mana yang sakit?”
Zemira sadar satu hal. Lelaki yang ada di sampingnya saat ini
bukanlah Tio. Ia ingat dan akan selalu mengingat. Kedua bola
matanya hanya menatap kosong lawannya. Seakan tak mau diajak
bicara, Zemira diam tak berniat menjawab. Ia benci dengan sosok
yang mendiami tubuh Tio saat ini.
“Mau minum?”
“Makan? Ini tadi perawatnya nganterin makan.”
Tio mengambil nampan berisi nasi dan sayuran, buah-
buahan juga susu kedelai yang sudah dingin. Ia mendekatkan
makanan itu, namun berujung penolakan.
“Aku nggak mau makan,” ujarnya menghentikan langkah Tio.
“Aku mau kamu keluar.”
Zemira melempar tatapan dingin dengan wajah pucatnya.
Tio hanya mengangguk-anggukkan kepala. Ia meletakkan lagi
nampan di atas meja, kemudian keluar dari ruangan tanpa pamit.

Keluar dari rumah sakit, bukannya malah membaik, Zemira


malah seperti orang yang tak memiliki semangat hidup lagi. Tak
ada keyakinan lagi dalam dirinya. Ia bahkan merasa jiwanya telah
hilang, tersisa raga yang seakan melayang saking lemasnya.
Ceklek....
Pintu kamar Zemira terbuka. Kepala Randika menyundul
masuk, ia tersenyum kala bertemu tatap dengan kakaknya.
“Kakak udah makan? Makan yuk Kak?” Dengan langkah
sedikit menyeret, Randika menghampiri si sulung yang duduk di
atas kasur bersandar pada dinding. “Serius deh makan jam segini
nggak bikin Kak Ze gemuk kok.”
Zemira berhasil tertawa karena Randika yang cukup
menggemaskan. Si bungsu yang sedang meyakinkan si sulung
untuk mengisi perutnya yang kosong. Mengingat jam sudah

HEY ROSE | 173


menunjukkan pukul sembilan malam, dan kebiasaan Zemira adalah
menghindari makan di atas jam delapan malam.
“Kak kasihan nasinya kalo nggak dimakan. Nangis entar,”
bujuknya lagi.
“Lo aja kalo gitu yang makan biar nggak nangis si nasi.”
Zemira dengan seulas senyumnya. “Dika, ikut ayah bunda yuk?”
Randika tertegun dengan permintaan Zemira. Padahal yang
ia ingat adalah sang kakak yang terus membujuknya untuk hidup
mandiri dan meyakinkan dirinya bila jauh dari kedua orang tua
bukanlah hal yang buruk. Padahal Zemira yang dulu sangat amat
membantu ketika Randika mengalami homesick.
“Kenapa tiba-tiba Kak?” Randika mengerucutkan bibirnya.
“Nggak mau ah ikut mereka sekolahnya bakal ikut pindah-pindah
karena ayah sama bunda dinasnya pindah-pindah juga.”
Zemira menghela nafas. Menatap sekitar dengan pandangan
yang kosong. Ia remat selimut yang menyelimutinya hingga
pinggang itu. “Gue capek, Dik....”
“Gue kayak hidup tapi jiwa gue hilang ngelayang gitu.”
Imbuhnya.
“Apa sih kak Ze ngomongnya mah! Jangan gitu kenapa. Itu
karena Kak Ze belum makan dari pagi, kan? Makanya kayak
ngelayang gitu. Ayo makan dulu,” tukas Randika. “Mau gue
panggilin kak Tio aja?”
“Dia di mana?”
Yang ditanya malah melempar tanya. “Lo nggak ngehubungin
dia Kak?”
Zemira menggeleng. “Bisa dihubungin? Dia offline bukan-
nya?”
Randika mengangguk yakin. “Waktu lo ninggalin gue sendiri,
Kak Tio yang gue hubungin buat ngejar lo. Dia ngebantu gue keluar
kamar, terus yang bawa lo ke rumah sakit juga Kak Tio. Sama gue
juga sih.”
“Wait wait gue lagi sama Maren sama Jendra kan waktu itu?”
Zemira mencoba mengulik kembali.

HEY ROSE | 174


“Enggak.” Randika menggeleng. “Terus Kak Ze itu ngapain
lagian berendam di bathub anjir ngaco banget lo Kak! Kak, sumpah
ya gue tuh nggak paham Kak Ze kenapa akhir-akhir ini aneh
banget,” imbuhnya kesal.
Zemira semakin tak mengerti mengapa adiknya hanya
menemukannya sendiri di sana.
“Lo beneran nyamperin gue ke bangunan itu?”
“Iya, sama Kak Tio. Telepati Kak Ze nyampe ke Kak Tio hehe
jadi bisa langsung nemuin lo di sana.”
“Bentar, tunggu deh gue nggak sadar berapa hari?”
“Seminggu, Kak.”
“Habis lo bawa gue ke rumah sakit, lo sama Tio nungguin
gue?”
“Kak Tio balik duluan sih. Kenapa, Kak?”
Zemira menggeleng cepat. “Lo nggak ada janji sama Jendra
besok? Gue mau ngobrol sama Jendra, anterin gue ke rumahnya
ya?”
“Ada apa, Kak? Kak Ze nggak mau cerita apa-apa ke gue?”
Bukan tidak ingin berbagi cerita, hanya saja Zemira menjaga
si bungsu agar tak terluka. Agar si bungsu tak ikut campur dan
terkena imbasnya.
Zemira menggeleng. Sebagai jawaban atas pertanyaan
Randika.

Usai menyelesaikan kelas hari ini, Zemira meninggalkan


kampus dengan terburu-buru karena ia telah ada janji dengan si
bungsu untuk pergi mengunjungi rumah Jendra. Randika
mengatakan bahwa temannya itu sore ini memiliki janji dengan
orang lain, sehingga Zemira dengan cepat memesan ojek online
sesaat sebelum kelasnya berakhir.
Kini gadis itu sedang dalam perjalanan menuju rumah
Jendra, sendiri. Ia memutuskan untuk pergi tanpa Randika karena

HEY ROSE | 175


banyak alasan yang ia pertimbangkan. Awalnya si bungsu
memaksa untuk ikut, namun akhirnya ia menuruti perintah Zemira
agar dirinya diam di rumah.
Sesampainya di rumah Jendra, lelaki itu tampak sudah siap
dengan sepeda gunungnya. Baru saja mengeluarkan sepeda dari
garasi rumah. Zemira berlarian karena itu.
“Jen!!” Dengan ngos-ngosan, Zemira berusaha mengatur
nafasnya.
“Hampir aja gue tinggal, Kak. Kenapa lagi?”
“Sorry sorry di jalan macet juga tadi. Ini gue langsung aja
minta penjelasan lo nggak papa?”
Jendra mengangguk meski raut wajahnya datar tanpa
ekspresi.
“Gue nggak sadar seminggu Jen? Beneran seminggu?”
Jendra mengangguk lagi.
“Tapi gimana bisa? Padahal gue baru sehari sama lo, sama
Maren malem itu, kan?”
Jendra terlihat seperti tak ingin menjawab pertanyaan dari
Zemira karena apa yang sedang ia tanyakan adalah seputar dirinya
dan malam itu. Ia tampak berpikir dengan sesekali menghela nafas.
“Iya waktu itu lo emang sama gue, sama Kak Maren. Kak, gue
boleh istirahat dulu nggak?” Sembari menggaruk tengkuknya. “Gue
capek. Ini bukan urusan gue, tapi kenapa gue ikut kena? Ikut mikir
juga gitu padahal awalnya gue cuma bantu buat Randika doang.”
Zemira mengangguk. “Ok I’m so sorry Jendra, sorry karena
ngebawa lo sampai sejauh ini. But can you help me? Terakhir deh.
Jendra please?”
Siapa lagi yang akan membantu Zemira selain Jendra? Tak
ada lagi yang bisa membantunya. Tak mungkin juga ia men-
ceritakan segalanya dari awal pada sahabat-sahabatnya dan
meminta mereka untuk membantunya. Apa yang akan terjadi jika
para sahabatnya tau sesuatu yang selama ini ia simpan sendiri?
Zemira tampak memohon pada Jendra dengan raut wajahnya yang
sangat frustasi.

HEY ROSE | 176


“Bantuan apa Kak? Percuma gue ngebantu Kak Ze. Gue takut
berakhir sama kayak Kak Jefri atau Maren.”
Deg!
Hati Zemira dihantam lagi dengan perkataan yang
menyakitkan. Memang benar Jefri dan Maren meninggal karena
keegoisan Zemira. Rasanya sangat sesak jika seseorang
mengingatkannya akan hal itu. Terlebih saat ini ia diingatkan oleh
orang yang ia percayai untuk membantunya.
“Maksud lo ngomong gini apa?” Raut wajah Zemira berubah.
“Semua salah gue?”
“Terus salah siapa Kak? Kak Jefri udah peringatin lo kan
dulu? Kak Maren pun. Padahal kemaren Kak Maren cuma minta
tolong sama Kak Ze buat ngehancurin cermin di sana, kan? Tapi
ngapain Kak Ze di sana?” Jendra mulai tersulut emosinya.
“For your information Kak, gue sempet mukul Kak Maren
karena dia nggak bilang ke lo kalo kemungkinan besar Kak Ze bisa
jadi mangsanya makhluk lain buat tuker jiwa mereka di sana. Ayo
lah Kak tujuan utama lo apa sih?!”
Zemira menundukkan kepalanya, ia sedang menahan tangis
yang sudah berada di pelupuk mata. Kalimat Jendra sedikit
menyadarkannya akan tujuan yang seharusnya bisa ia lakukan saat
itu tapi nyatanya rasa penasarannya yang lain malah membuat ia
harus kehilangan orang lain.
“Jen gue minta maaf, gue emang bodoh karena lupa sama
tujuan gue. Gue terlalu menggebu buat ketemu sama Tio di sana,
gue pun pengen ngebuktiin kebenaran cerita Maren,” jelas Zemira.
“Dan lagi, fifty fifty Jen kalo lo lupa. Gue nggak bisa sepenuhnya
percaya sama siapa pun, termasuk Maren saat itu.”
“Tapi buktinya lo percaya sama dia Kak!” Bentak Jendra. “Lo
percaya sepenuhnya sama dia karena lo ngelakuin hal yang diminta
sama Kak Maren!”
Zemira menggeleng. Ia tetap kukuh. “Enggak. Gue nggak
percaya sepenuhnya sama dia, gue cuma mikir gini ... kalo dia yang
ada di balik semua kejadian, berarti bukan Tio dong? Tio bakal

HEY ROSE | 177


nyelametin gue. Sebaliknya, kalo Tio yang ada di balik semua
kejadian, Maren yang bakal nolongin gue. Tapi, bahkan dia udah
meninggal sebelum gue sadar.”
“Kenapa masih bisa lo mikir gitu Kak? Gue tau lo pasti belum
terima kalo sebenernya Kak Tio yang ada di balik semua hal yang
lo alami sekarang, kan?”
Zemira terdiam karena apa yang dituduh Jendra adalah
benar.
“Kak Maren nyelametin lo, Kak. Dan Kak Tio yang ngebunuh
Kak Maren.”
Tersentak. Zemira melotot tak percaya mendengar apa yang
dikatakan Jendra. Tubuhnya bergetar lagi, ia mengepalkan tangan
sembari tertawa sinis. “Lo ngaco, Jen? Kata Randika, Tio yang bawa
gue ke rumah sakit dan waktu itu di bangunan udah nggak ada lo,
nggak ada Maren. Kemana lo semua? Ninggalin gue?”
Jendra mengusap wajahnya kasar. Ia menaiki sepeda
gunungnya dan bersiap mengayuhnya.
“Kak Ze mending pulang dulu sekarang,” titah Jendra. “Lo
mau cerita dari gue, kan? Besok deh pulang sekolah gue ke rumah
lo Kak. Gue ceritain apa yang terjadi waktu itu dan apa yang gue
temuin di kotak yang Kak Maren kasih buat Kak Ze. Gue mau pergi
dulu.”
Jendra pergi begitu saja melewati Zemira yang masih berdiri
mematung di sana. Gadis itu hanya menatap kepergian Jendra
dengan tatapan penuh harap. Berharap cerita yang akan
diceritakan nantinya dapat ia terima.
Semoga.

Apa yang lebih menyeramkan dibanding bertemu dengan


dirinya sendiri di dalam semesta yang sama? Coba katakan agar
Zemira tak merasa lebih takut kali ini. Pasalnya ia hampir saja
pingsan di toilet kampus karena bertemu dengan sosok yang

HEY ROSE | 178


pernah menampakkan dirinya di makam Maren kala itu. Yang
menusuk Jefri di depan mata kepalanya. Di cermin toilet kampus
sosok itu menampakkan dirinya kembali. Bukan menjadi pantulan
Zemira, melainkan sosok lain yang hanya bisa ia lihat di cermin.
Perempuan itu tersenyum miring dengan tatapan menusuk yang
membuat gadis itu tercekat hingga hampir pingsan.
Keluar dengan rasa takut dan dahi yang penuh dengan peluh,
langkah kaki Zemira pun melemas, memutuskan untuk
mendudukkan dirinya di kursi kosong di lobby. Menetralkan
napasnya hingga ia kembali terkejut dengan kedatangan
sahabatnya.
“Eh lo kenapa Zemira?!” Lyra menggoyang tubuh Zemira.
Tampak sedikit khawatir dengan wajah pucat temannya. “Lo sakit
lagi?”
Zemira hanya bisa menggeleng.
“Ke ruang kesehatan, ayo gue anter.” Lyra sudah beranjak
namun Zemira menahannya.
“Gue nggak kenapa-kenapa.”
“Stop buat bilang kalo lo nggak kenapa-kenapa!”
“Beneran, Lyr. Duduk dulu deh lo abis kelar kelas?” Tanya
Zemira merubah topiknya, seolah tak terjadi apa-apa.
Lyra mengangguk. “Lo ketemu Iren nggak?”
“Lah gue mau aja tanya ke lo.”
“Dia tadi bilang mau balik jam 12an sih, tapi katanya mau
nunggu gue dulu gitu ada yang mau diceritain.” Lyra menatap
menelisik. “Iren nggak cerita apa-apa sama lo?”
Sebenarnya hari ini Zemira ingin menemui Iren. Setidaknya
mencegahnya untuk bertemu dengan Tio karena semalam
sahabatnya itu bercerita tentang Tio.
Tio terus mendekati Iren. Beberapa hari yang lalu, mereka
berdua sempat saling bertukar obrolan. Sedang Iren juga
menyampaikan keluhnya akan dirinya yang risih karena Tio selalu
mengekor kemana pun ia pergi.

HEY ROSE | 179


Anehnya dari semua pembahasan mereka, Tio lebih sering
menanyakan Mama Iren. Tak ada yang tau mengapa lelaki itu terus
mengulik informasi tentang sang Mama. Hingga akhirnya Iren
mengatakan bahwa wanita yang melahirkannya itu sudah
meninggal saat ia duduk di bangku SMP.
Terakhir Zemira bertemu dengan Tio adalah saat di mana
lelaki itu menjenguknya di rumah sakit. Setelahnya sama sekali tak
ada kontak satu sama lain. Zemira sudah mencoba tapi Tio kembali
menjadi Tio yang sulit sekali dihubungi. Tapi, Tio bisa
menghubungi Iren, bahkan ia mengajak Iren untuk bertemu di
bekas laboratorium siang ini. Tempat di mana Zemira melihat
sosok Maren dengan banyaknya luka. Dan karena itulah Zemira
mencari sahabatnya sedari tadi.
“Iren mau ketemu sama Tio hari ini. Kayaknya dia mau cerita
ini deh ke lo,” jawab Zemira. “I mean Tio yang ngajak ketemu Iren.”
“Lah ngapain bangsat?!” Lyra mengumpat saking terkejut-
nya. “Itu cowok lo ngapain malah ngajakin Iren ketemu? Lo berdua
kenapa nggak pernah cerita apa-apa lagi sih ke gue?” protesnya.
“Udah putus lo sama Tio?”
Ada rasa menyesal dalam diri Zemira karena tak bisa
menceritakan hal itu pada Lyra. “Sorry Lyr, gue nggak bisa cerita.
Gue takut malah makin banyak yang masuk sama masalah ini,
makin nggak kekontrol aja.”
“Masalah apa?” Lyra masih berusaha mengulik.
“Ze, kalo lo ada masalah juga biasa cerita. Kenapa sih? Ada
apa? Gue doang ya yang nggak tau lo ini kenapa?” Imbuhnya lagi.
Zemira menggeleng cepat. “Jihan juga nggak tau kok tapi
beneran gue nggak mau kalian berdua ikut campur dan terlibat.”
“Separah apa? Ya gue juga khawatir anjir!”
“Parah banget. Dan gue mohon jangan cari tau apa-apa soal
masalah gue ini. Please jangan cari tau apa yang lagi gue hadepin
sekarang,” pinta Zemira.
“Iya oke tapi kalo lo butuh bantuan jangan ragu buat hubungi
gue ya?” Final Lyra.

HEY ROSE | 180


Zemira tersenyum. “Pasti.”
Ia bersyukur sahabatnya bisa mengerti, namun di sisi lain ia
juga khawatir jika Lyra akan mencari tau segalanya, mengingat
salah satu sahabatnya ini selalu peduli dengan teman-temannya.
“Gue kali ini bisa minta tolong buat hubungin Iren nggak?
Nomernya nggak aktif.”
“Mau gue samperin ke rumahnya nggak?” Tawar Lyra yang
rumahnya satu arah dengan Iren meski jaraknya sedikit jauh. Tapi
jika ia bisa membantu Zemira dengan cara itu maka akan ia
lakukan.
“Iya boleh, but be careful please.” Kali ini Zemira terlihat
sangat memohon.
“Iya pasti. Nanti gue hubungin lo deh, kalo nggak gue
nyamperin langsung ke rumah lo aja.” Lyra menepuk bahu Zemira.
“Gue boleh nebak nggak? Apa ini semua soal keanehan cowok lo?”
Zemira mengangguk. Lantas ia beranjak dari lobby untuk
segera pulang dan pergi ke tempat lain. “Nanti hubungin gue ya!”
Siapapun yang mengenal Zemira pasti akan mengerti
bagaimana si fat dan karakternya. Sifat alami yang tak bisa ia
hilangkan dalam diri. Ia yang terlalu keras kepala dan seenaknya
sendiri. Ia yang terus ingin tau jika satu jawaban dari pertanyaan
tak melegakan dirinya.
Sore ini ia berniat untuk kembali mengunjungi makam Maren
bersama Jendra juga Randika. Iya, Zemira mengajak sang adik
padahal Jendra sudah mengingatkan bahwa Randika menjadi
cukup sensitif setelah sosok lain pernah merasuki tubuhnya.
“Kak lo yakin nggak sih? Sore-sore mau ke makam? Gue nggak
mau kejadian Kak Jefri keulang lagi, dia pergi sama lo jam segini kan
ke makam?”
Cegahan demi cegahan Jendra lontarkan melalui sambungan
telfon yang tengah berlangsung. Zemira terlalu gegabah dan nekat,
itu yang Jendra takutkan. Ia takut bila apa yang dilakukan Zemira
nanti semakin memperkeruh keadaan dan membuat dirinya
merugi.

HEY ROSE | 181


“Gue takut Jen....”
“Apalagi yang lo takutin Kak?”
“Gue takut kalo di sana udah ada makam orang yang gue
kenal. Gue mau mastiin. Dan bisa aja kita nyegah takdir
kematiannya, kan?”
Terdengar suara helaan nafas dari Jendra di seberang sana.
Zemira mengerti pasti lelaki itu lelah dengan sikapnya, ia
menyadari. Tapi, bagaimana lagi?
Berbaring ke kanan, berbaring ke kiri, hingga tengkurap.
Gadis itu tengah bergelut dengan pikirannya yang macam-macam.
Menunggu Randika dan Jendra yang sedang dalam perjalanan
pulang dari sekolah, ia menggulir room chat-nya dengan Lyra.
Sahabatnya itu belum juga memberinya kabar baik atau buruk.
Menutup room chat, ia beralih pada kontak dengan nama Tio
tertulis di sana. Menghela nafas, ia dilanda kebingungan dengan
semua yang dihadapinya saat ini. Sungguhlah rasanya hidup
Zemira saat ini memudarkan segalanya.
Cting!
Terkejut hanya karena notifikasi dari ponsel. Nomor tidak
dikenal.
Zemira mengernyit membaca isi pesannya. Si pengirim yang
tidak dikenal ini meminta untuk bertemu. Dan lebih
mengejutkannya lagi ia mengaku sebagai Tio.
“Tio? It’s you?” lirih Zemira dengan masih menatap layar
ponsel.
“Gue harus ke sana?” tanyanya pada diri sendiri, pasalnya
seseorang yang baru mengirim pesan padanya itu menunggu
Zemira di bangunan sekitar makam. “Tio nunggu gue di sana…
bangunan yang dia maksud itu, bangunan tua kemaren, kan?”
Zemira mempercayai bahwa si pengirim pesan adalah Tio.
Sedari tadi ia terus bergeming apakah ia harus menemuinya atau
tidak, tapi gadis itu masih belum beranjak dari kasur. Masih terus
meregangkan ototnya di sana, bahkan kini ia tengah memeluk satu
gulingnya.

HEY ROSE | 182


“Kalo gue pergi, gue harus bilang gimana ke Randika? Gue
udah terlanjur janji bakal kemana-mana ngajak dia.”
“Udah Ze udah! Yang Tio mau cuma lo!” Tegasnya.

Coba tebak siapa yang sudah berdiri di depan bangunan tua


itu? Ya, Zemira berdiri mematung dengan giginya yang sibuk
menggigiti ujung kuku ibu jari. Sebenarnya ia tak memiliki
keyakinan untuk masuk ke dalam. Beberapa kali ia mencoba untuk
berbalik dan meninggalkan jejaknya di sana, namun rasa
penasarannya tetap saja menginginkan ia agar segera masuk
menemui sang pengirim pesan.
Petang. Suara serangga hutan mulai bersahutan. Musnah
sudah keberaniannya untuk masuk ke dalam sana.
“Ze?” Suara bariton seorang lelaki mengagetkan Zemira saat
ia membalikkan badannya memunggungi pintu depan bangunan
tua—mengurungkan niat untuk masuk ke dalam. “Kok nggak
masuk?”
Hampir saja gadis itu berteriak, karena Tio yang berada di
hadapannya kala ia membalikkan badannya lagi. Ia hanya
menenangkan dirinya dengan mengusap pelan dadanya, mengatur
nafasnya.
“Kamu kaget? Maaf ya?”
“Masuk yuk?”
Demi Tuhan, suara lembut ini mengingatkan Zemira pada
lelaki yang ia cintai. Bukankah saat ini sosok itu sedang
bersamanya? Entahlah, ia pun ragu.
Tio menuntun gadisnya masuk ke dalam bangunan, menuju
ke bagian tengah. Ruang di mana kala itu Zemira, Maren, juga
Jendra, berdebat dan beradu argumen, sebelum pada akhirnya ia
meninggalkan Jendra sendiri di sini.
“Mm... T-Tio?” Getar suara Zemira kentara, cukup membuat
Tio terhenyak.

HEY ROSE | 183


“Kenapa Ze? Kok suaramu gitu?”
Zemira berdehem. Saking berusahanya untuk tenang, ia
sampai merasakan sesak hingga terbatuk-batuk. Mengapa hal yang
tiba-tiba seperti ini malah membuatnya semakin khawatir dan
takut.
“Ze? Kamu sakit?”
Gadis itu menepis tangan Tio saat lawannya akan
menangkup wajah Zemira. Rasa takutnya tak bisa disembunyikan
lagi ketika tanpa sengaja kedua bola mata Zemira melihat setangkai
bunga mawar ada di saku celana Tio. Kedua matanya berkaca-kaca.
Zemira ingin sekali menangis rasanya.
“Sayang kenapa?”
“Mundur,” gumam Zemira.
“Kamu kenapa, Ze?”
“Gue bilang mundur!” Sentak Zemira dengan kakinya yang
sedikit goyah memberi jarak di antara keduanya. “Lo ... lo siapa?!”
Tangan Zemira bergetar saat ia menunjuk Tio dengan
telunjuknya. Tubuhnya lemas, hingga serasa tak mampu untuk
menopang lagi. Zemira jatuhkan dirinya di sana. Terduduk di lantai
dingin dan penuh debu, dengan tatapan yang masih menatap tajam
lawannya. Ujung matanya mulai membasah.
“Dingin, Ze.” Tio berucap tanpa ekspresi.
“L-lo siapa?! Lo bu-kan Tio, kan?”
“Ini aku, Tio....”
Suara lembut itu lagi. Mata Zemira semakin berkaca-kaca
hingga buliran bening sudah bersiap keluar di pelupuk mata, ketika
Tio mengeluarkan benda dari sakunya. Kalung star moon coin.
Pemberian Zemira saat ulang tahun Tio kala itu. Perasaan sedih,
takut, khawatir, bahkan tak percaya, bercampur aduk jadi satu.
Zemira menangis sejadi-jadinya.
“Tio? It's you?”
“Beneran kamu?”
“Tio....”
“Aku ... aku kangen kamu.”

HEY ROSE | 184


“Ze, jangan ke sana lagi. Maaf ya,” ujar Tio yang masih berdiri
di tempatnya.
Kedua tangan Zemira sengaja ia gunakan untuk menutupi
wajahnya. Ia menangis sesenggukan mendengar jawaban dari Tio.
Pikirannya tengah kacau karena sempat berpikir buruk tentang
kekasihnya.
“Tio... kenapa semua ngira kamu ngebunuh Jefri? Kenapa
semua ngira kamu juga yang ngebunuh Maren? Bukan, kan? Itu
bukan kamu, kan? Kenapa kamu jadi aneh sekarang? Kenapa?”
Suara dobrakan pintu dan teriakan dua orang lelaki
terdengar, hingga membuat Zemira mengalihkan atensinya.
“Kak! Gue udah nebak lo bakal ke sini sendirian!”
“Kak Ze!!”
Jendra dan Randika berlarian dari luar sana. Menghampiri
Zemira dan membantunya berdiri. Tentu saja Randika langsung
memeluk kakaknya dengan erat. Membenamkan wajahnya seakan
bersyukur si sulung tidak kenapa-kenapa.
“Kan gue udah bilang, Randika ajakin juga kalo Kak Ze mau
ke mana-mana tuh! Kenapa bisa sampe sini? Ayo kak pulang.”
Rengek Randika dengan menarik-narik lengan Zemira.
“Ngapain Kak Ze sendiri di sini?” tanya Jendra.
Zemira bingung. “G-gue nggak sendiri, gue sama Tio.” Ia
menunjuk ke tempat di mana Tio berdiri, namun sosoknya sudah
tak ada di sana. Lelaki itu tak meninggalkan jejak sama sekali.
Seperti daun yang tersapu angin, ia pergi dan hilang begitu saja
ketika Randika dan Jendra datang. Apa itu tadi hanya imajinasi
Zemira?
Jendra dan Randika saling melempar tatapan bingung.
“K-kak mending kita balik,” ajak Jendra. “Tempat ini sama
sekali nggak ada penghuninya, gue makin takut.” Yang dimaksud
Jendra adalah penghuni yang bisa ia lihat sedang manusia normal
tidak bisa.

HEY ROSE | 185


“M-maksud lo? Gue tadi sama Tio di sini. Dia ke mana ya?”
Zemira celingukan, lalu ia beranjak untuk mencari lelaki yang
bersama dengannya tadi, namun Randika lebih dulu menahannya.
“Kak. Ayo balik, gue takut.” Rengek Randika lagi sembari
menggerak-gerakkan lengan tangan Zemira.
Bisa jadi Tio bersembunyi saat mendengar suara langkah
kaki mendekat. Bisa jadi Tio tak ingin menampakkan diri lagi di
depan orang-orang sekitar. Bisa jadi. Itu spekulasi Zemira. Pada
kenyataannya, saat ketiganya berjalan keluar, ada dua sosok
bayangan yang baru saja datang dari arah pandang yang jauh di
depan. Samar-samar mereka mulai berjalan mendekat dan
menampakkan diri.
Sungguhlah kepala Zemira rasanya akan pecah ketika
melihat sosok Tio rupanya tengah berjalan ke arahnya. Ia tak
sendiri.
“Teh Iren?” seru Randika.
Tio bersama dengan Iren.
“Jen, apa yang lo lihat?” bisik Zemira.
“Kak Tio, temen lo, dan banyak sosok lain.”

HEY ROSE | 186


GHOST HUNTER GENK

Sinar matahari memaksa masuk melewati celah jendela kamar


Zemira pagi ini. Membuat penghuni kamar terbangun dan
mendapati keberadaan Jendra dan Randika tertidur di lantai
kamarnya. Matanya masih berusaha mengerjap berkali-kali, dan
menelisik ingatan akan mimpi buruknya semalam.
“Bodoh mampus mimpi gue makin ngaco!” Zemira menepuk
kedua pipinya. Mengingat bahwa semalam ia akan pergi menemui
Tio, namun ia urungkan niatnya. Ia malah bermimpi bertemu
dengan Tio di bangunan itu, juga bertemu Iren bersamanya.
“Iren....” Ia menggelengkan kepala. “Sumpah ini mah karena
gue semalem mikirin mereka berdua nggak sih jadi bisa-bisanya
gue mimpi gitu?”
Ya. Zemira tak mengambil pusing tentang mimpinya
semalam.
Mendudukkan dirinya, ia lantas pergi ke depan meja rias.
Wajah yang entah bagaimana bisa terlihat sangat lelah, sudut
matanya yang basah, juga semburan hitam di sekitar kelopak
matanya. Sambil memperhatikan cermin itu, ia ingat akan tugasnya
yang belum terlaksana, memecahkan cermin. Tapi tunggu, Zemira
akan menunggu cerita yang dijanjikan Jendra, baru ia akan
memutuskan.
Layar ponselnya menyala, menampilkan foto Zemira
bersama Tio di puncak kala itu. Gadis itu tersenyum getir.
“Gue, kangen sama lo. Lo di mana?” Sambil menatap layar
ponselnya, ia ingat di mimpi Tio meminta maaf kepadanya.
Menunjukkan kalung star moon coin pemberian Zemira. Tanpa
sadar ia menitikkan air mata.
Suara gesekan kaki kursi dengan lantai membangunkan
Randika, dan tak lama setelahnya Jendra ikut terbangun. Mereka

HEY ROSE | 187


berdua masih meregangkan tubuh, sesekali memijit pinggang
mereka. Bagaimana bisa keduanya tertidur di lantai tak beralas?
“Kak Ze? Nggak bangunin gue sih?” Tanya Randika sembari
menguap. “Lo tidur udah kayak simulasi meninggal anjir Kak
nyenyak bener nggak kebangun sama sekali,” protesnya.
Zemira mengernyit. “Emang iya?”
“Iya Kak, kenapa tiba-tiba tidur? Padahal udah janjian sama
gue.” Jendra tak kalah protesnya. “Lain kali jangan tidur dulu napa
orang ada janji sama orang.”
“Ck, iya iya sorry. Gue juga nggak tau kenapa bisa ketiduran.
Nggak inget.”
Jendra melihat ponselnya yang berdering, lalu ia meminta
izin mengangkat telfon dari seseorang dan berlalu pergi keluar dari
kamar.
“Oh iya teh Lyra semalem ke sini tau,” ujar Randika.
“Hah? Kok nggak bilang?!”
“Gimana sih Kak orang lo dibangunin kagak bangun-bangun.
Tanya Jendra tuh.”
Tak ada satu pesan pun yang masuk dari Lyra, Iren, atau
bahkan Tio yang kemarin sore mengirim pesan dengan nomor lain.
Ponselnya benar-benar tak bernotif saat ini. Padahal biasanya di
hari libur, teman-temannya sudah sibuk mengajaknya pergi keluar,
tapi ini sama sekali tak ada kabar apa pun dari mereka.
“Kak, temen-temen gue mau ke sini habis ini. Lo siap-siap
beberes dulu deh.” Jendra berada di ambang pintu kamar usai
menerima telpon.
“Jadi?” sahut Randika.
“Iya. Gue balik dulu aja mau mandi.”
“Nggak usah, Jen! Mandi di sini aja, pake baju gue dulu aja
nggak papa kali ah.” Lantas Randika menggandeng lengan Jendra
pergi dari kamar kakaknya. “Kak, gue beberes dulu ya! Dahhh.”
Zemira mengangguk.
“Kakkk....” Randika kembali lagi dan menghamburkan
pelukannya pada Zemira. Ia menenggelamkan wajahnya, dengan

HEY ROSE | 188


sesekali mengusap lembut punggung si sulung. Sungguh hal yang
tak biasa menurut Zemira.
Zemira terkekeh. “Lah? Apa nih tiba-tiba lo peluk gue, Dik?”
Zemira yang kaget pun membalas pelukannya. “Lo lagi nggak
kesambet kan ini? Ih ngeri gue.”
“Hehe nggak papa. Udah gue ke kamar dahhh.” Pamitnya lagi
sembari melambaikan tangan.

Tok!
Tok!!
Tok!!
Jendra terus mengetuk pintu kamar Randika yang terkunci
dari dalam. Teman-temannya sudah berkumpul di ruang tengah
saat ini, namun si empunya rumah masih mengurung diri di dalam
kamar. Sedang Zemira sedang pergi keluar untuk membelikan
mereka semua makan dan berbagai macam jajanan, mengingat ia
dan Randika sudah tinggal berdua tanpa bantuan Mbak yang
memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan.
“Dika?! Mau sampai kapan diem di kamar?!” Teriak Jendra.
“Udah pada ngumpul di ruang tengah ini buruan keluar ah!”
Tak ada jawaban.
“Kak Ze pergi keluarrrrrr!” Teriaknya lagi yang langsung
disahut oleh Randika.
“Sendiri?!”
Seketika pintu kamarnya terbuka dengan raut wajah Randika
yang penuh dengan kekhawatiran. Jendra menghela nafas.
“Sama Naja, tenang aja.”
Bahu Randika yang tadinya menegang langsung saja merosot
mendengar jawaban dari Jendra.
“Gini nih yang nggak gue mau setelah gue cerita semua ke lo.”
Tadi, kala mereka berdua selesai membersihkan diri dan
berada di kamar Randika, Adik dari Zemira itu mengungkapkan

HEY ROSE | 189


rasa khawatir berlebihannya ketika memikirkan sang kakak. Ia pun
tak ragu untuk bertanya pada Jendra apa yang sebenarnya terjadi
hingga Zemira akhir-akhir ini tampak selalu cemas dan ketakutan.
Dalam hati Jendra, Randika harus tau tentang ini karena ia tak ingin
bila nantinya terjadi hal yang buruk, lantas Randika menyesal
karena hanya dirinya yang tak tau menahu tentang semuanya.
Menceritakan semua prasangkanya mengenai Tio, men-
ceritakan kejadian yang pernah Randika alami, mengungkit
kembali di mana ia menyakiti Zemira tanpa sadar kala itu, dan
menceritakan saat di mana Zemira sengaja mengurung adiknya di
kamar. Jendra menceritakan semuanya hingga Randika sendiri
merasa kasihan terhadap kakaknya.
Setelah menceritakan semua, Randika malah mengurung diri
di kamar untuk mencoba mencerna dan mengingat kejadian-
kejadiannya. Berpikir keras bagaimana caranya ia bisa membantu
Zemira.
“Sedih banget gue tau Kak Ze berjuang sendiri. Kalo aja waktu
itu gue nggak ngehubungin Kak Tio, semua bakal berjalan dengan
lancar nggak sih Jen?”
Ini yang ditakutkan Jendra, bahwa Randika akan
menyalahkan dirinya sendiri pula. “Enggak. Semua udah takdir, lo
ngehubungin dia atau enggak pun juga bakal berakhir gini.”
“Jadinya Kak Maren kebunuh ....” Pandangannya turun ke
bawah, membayangkan kejadian yang sangat ia sesali.
Jendra menggeleng. Menggenggam kedua bahu Randika. “Dia
kebunuh karena nolongin Kak Ze, dia kebunuh karena dirinya
sendiri dan takdir! Udah nggak perlu nyalahin diri sendiri,”
tegasnya. “Udah lo mau ngurung diri lagi di kamar?”
Randika mengangguk.
“Ya udah nggak papa.” Jendra menelisik ruang kamar
Randika. “Gue cuma mau bilang kalo di kamar lo rame hehe. Asik
banyak temennya.” Seraya membalikkan tubuhnya.
Randika menoleh ke dalam kamar. “Apa maksud lo?!”

HEY ROSE | 190


“Ya itu ada di pojokan, ada lagi di bawah kolong tempat tidur,
ada di langit-langit kamar lo. Ah banyak deh.” Jendra tertawa dan
beranjak meninggalkan temannya yang masih di ambang pintu.
Bruak!!
Pintu kamarnya ia tutup dengan keras. Randika langsung
berlari kecil menghampiri Jendra untuk menyeimbangkan
langkahnya. “Anjir lo!” Memukul lengan Jendra. “Eh Jen, ini nanti
kalo lo cerita ke Kak Ze, gue pura-pura kaget aja apa gimana? Kakak
gue belum tau kan kalo gue udah lo ceritain duluan.”
Jendra mengangguk. “Iya pura-pura kaget. Siapa tau ada
produser yang lihat langsung nge-casting lo jadi aktor.”
Randika berdecak.
“Ya lo juga biasa aja kali. Gue juga bakal bilang ke Kak Ze kalo
lo udah tau. Just simple like that.”
Randika mengangguk-angguk. Mereka berdua menghampiri
teman-temannya yang sudah sangat ricuh itu. Perihal buku yang
informasinya bisa membantu mereka. Lengkingan suara Cakra
membuat mereka semua terkadang berdecak sebal. Terlebih jika
sudah beradu mulut dengan Haikal. Jika Zemira mendengar
keributan mereka berdua, pasti ia akan berteriak memarahi
mereka.
“Udahlah santai aja duit gue yang keluar cuma berapa sih
santai,” ujar Cakra sembari meletakkan buku yang ia beli. Teman
Randika satu ini lebih mengandalkan uang dari pada ia harus
mencari buku di rak-rak Perpustakaan Kota.
“Gilaaa sombong banget ini gue lihat-lihat,” sahut Haikal.
“Nggak niat sombong, ya gimana emang gue kaya.”
“Iyaaaa kaya!!” Randika duduk di tengah-tengah mereka
dengan senyum mengejek hingga menampakkan jajaran gigi
rapinya.
Sembari menunggu Zemira dan Naja, mereka semua
mengobrol.
“Randika lo nggak papa?” tanya Haikal.
“Aman, Jendra udah cerita semua ke gue.”

HEY ROSE | 191


“Kak Ze berusaha ngelindungin adiknya, eh sekarang adiknya
juga usaha buat ngelindungin kakaknya. I’m so touched,” ujar Aji
dengan bertepuk tangan dan menggeleng-gelengkan kepala
dramatis.
Haikal mengangguk. “Kira-kira siapa yang terlindungi?”
Pertanyaan dari Haikal seketika membuat Randika tertegun
resah.
“Apaan anjir pertanyaan lo.” Cakra melempar bantal sofa ke
arah Haikal.
Haikal mengendikkan bahu. “Ya kan kalo di film-film nggak
bakal mungkin mereka saling ngelindungin satu sama lain, pasti
ada yang kecolongan lepas dari lindungan.” Ucapan Haikal ada
benarnya. “Saling ngelindungin, tapi lupa untuk saling ngawasin.
Apalagi orang-orang terdekat.”
Cakra menyela kalimat Haikal. “Dik jangan masukin hati ini
omongan Haikal kagak pernah baca kitab suci mulutnye.” Sembari
membekap Haikal.
Mari kita ingat kembali kejadian di mana Zemira pertama
kalinya memutuskan masuk menjamah alam lain. Malam itu, semua
yang dilihat Zemira adalah potongan kejadian yang sudah terjadi.
Tapi, mengapa bisa Maren yang sudah terkapar lemah bisa
menyelamatkan Zemira? Mengapa bisa Tio pun memanggil nama
Zemira padahal kejadian itu sudah terjadi?
Begini, bukankah Maren sudah memberi peringatan pada
Zemira untuk tidak berbicara pada siapa pun? Untuk tidak
bersuara? Karena saat ia berada di alam lain, dirinya akan dianggap
telah meninggal, atau bisa dikatakan hanya arwahnya saja yang
berada di alam lain.
Di tempat lain, Jendra sibuk beradu argument dengan Maren.
Bahkan Jendra melayangkan pukulan yang tepat sasaran hingga
sudut bibir Maren mengeluarkan darah.
“Orang yang berhasil masuk pun belum tentu dapat keluar
dari sana.”

HEY ROSE | 192


Kalimat itulah yang membuat Jendra melayangkan pukulan.
Tanpa melanjutkan kalimatnya pun Jendra sudah tau apa maksud
dari perkataan Maren. Lantas ia meminta agar segera
mengembalikan kesadaran Zemira sebelum semuanya terlambat.
Memintanya untuk menarik Zemira kembali dari sana.
“Lo nggak tau kan Kak Ze itu gimana orangnya?! Dia
orangnya gegabah! Even lo peringatin dia! Dia nggak bisa kontrol
dirinya sendiri apalagi itu soal orang yang dia sayang!” Jelas Jendra
dengan nada yang meninggi.
“Tapi dia di alam lain nggak mungkin dia bakal—”
“Nggak ada yang nggak mungkin kalo Kak Ze udah nekat! Gue
berani taruhan kalo dia lupa sama tujuan dia ke sana. Karena yang
dia mau dari awal cuma ketemu sama Tio.”
Jendra sangat frustasi malam itu hingga beberapa kali
meremat rambutnya sendiri. Semua penjelasan dari Maren yang
tak masuk akal pun mau tak mau harus ia dengarkan. Hingga
akhirnya Maren memutuskan untuk menyusul Zemira ke sana
dengan menggantikan gadis itu merendam diri di bathub. Jangan
lupa bahwa mereka melakukannya saat bulan purnama, di mana
manusia dan hewan sama agresifnya, serta ketika beberapa sekte
melakukan persembahan mereka.
Di ruangan lain Jendra menunggu keduanya kembali dan
sadar. Ia berharap agar keduanya bisa segera kembali ke dunianya.
Benar yang diprediksikan oleh Jendra. Zemira lupa akan
tujuannya menjamah alam lain. Tentu saja Maren berusaha
mencarinya. Ia ingat bahwa malam ini kejadian itu terjadi, kejadian
di mana Tio menyerahkan jiwanya untuk membiarkan Maren tetap
hidup. Pada akhirnya, ia hidup atau mati pun, ia tetap menjadi part
of the sect.
Ia yang memilih mati untuk dihidupkan kembali, nyatanya
hanya raganya saja yang hidup, namun jiwanya berkeliaran entah
di mana. Mereka tidak benar-benar mati, buktinya mereka masih
bisa berinteraksi dengan manusia meski tak menampakkan wujud.
Dan mereka yang memilih hidup untuk mati, mereka pun tak

HEY ROSE | 193


benar-benar hidup, karena separuh jiwanya sudah ia gadaikan
dulu, menunggu jiwanya yang lain menghadapi kematian yang
sesungguhnya. Memang seperti itu perputarannya.
Kesalahan pertama, Zemira melupakan tujuannya. Kedua, ia
melanggar larangan dari Maren. Karena kesalahan keduanya ini,
Zemira mengubah jalan kejadian yang sudah terjadi.
Maren melihat Zemira ada di upacara persembahan. Lelaki
itu menghampiri Zemira dan akan membawanya kembali. Namun
belum sampai Maren di setengah jalan, Zemira sudah berteriak
melihat Tio. Dari sana, ia merubah jalan kejadiannya di masa lalu.
Tio sadar bila ada Zemira di sana, pun sebaliknya. Di sisi lain,
harapan gadis itu telah terpenuhi. Bertemu dengan sosok yang ia
rindukan. Di satu sisi, ia menjemput ajalnya sendiri.
What the fuck?!, Di dalam hatinya, Maren banyak
mengumpat. Ia seperti kehilangan akal sehatnya saat mendengar
Zemira menjawab tawaran dari sosok jahat itu.
Tanpa pikir panjang, ia sendiri yang akan mengakhiri
perputaran miliknya. Maren sudah menjalani sisa hidupnya dengan
baik bukan? Ia sudah memberikan kotak yang menjadi satu-
satunya pedoman kepada Zemira, juga menceritakan sebagian
kejadiannya kepada Jendra. Lelaki itu sangat berharap banyak pada
Zemira, untuk menepati janjinya, juga mencari siapa itu Rose, dan
apa yang sebenarnya dicari. Bertepatan dengan ditancapkannya
pedang ke tubuh Maren berkali-kali, bertepatan dengan itulah Tio
membunuh Maren di dunia nyata.
Tio telah mempersembahkan Maren kepada Tuannya, di
bulan purnama.
Mari kita ulang lagi. Kesalahan pertama, Zemira melupakan
tujuannya. Kedua, ia melanggar larangan dari Maren. Karena
kesalahan keduanya ini, Zemira mengubah jalan kejadian yang
sudah terjadi.
Dan kesalahan ketiga, karena kesalahan keduanya, tanpa
sadar ia sudah merenggut nyawa kekasihnya sendiri. Tio benar-
benar terbunuh, jiwanya pun telah tiada. Mimpi buruknya semalam

HEY ROSE | 194


pun nyata, saat Zemira bertemu dengan Tio. Sosok itu benar-benar
Tio, ia melarang gadisnya untuk pergi ke sana lagi, dan meminta
maaf atas segala kejadian yang sudah terjadi.
Zemira hampir kehilangan kesadarannya usai menyimak
cerita yang Jendra bagi. Air matanya masih deras mengucur
membasahi wajahnya. Randika sedari tadi memeluk kakaknya pun
ikut menangis mengetahui orang yang sudah ia anggap sebagai
'Abang' telah pergi dan tak akan pernah kembali.
Jendra dan keempat temannya hanya menatap sedih kakak
adik yang tengah berusaha untuk saling melindungi.
“Jadi setelah apa yang gue baca di sini, cerminnya emang
harus dipecahin. Karena benda itu jadi penghubung,” jelas Cakra
sembari membolak-balikkan lembar bukunya.
“Gue nemuin buku lain di kotaknya Kak Ze, gue nggak bisa
baca karena semua pake Abjad Yunani.” Jendra menyela. “Gue
nemu buku hariannya Kak Tio tapi ini udah disobek-sobek jadi ya
harus disusun lagi biar kebaca.”
“Kak Ze? Kak gue bakal bantu lo kok.” Haikal menghampiri
Zemira dan menepuk lembut bahunya. “Maksudnya kita. Gue,
Jendra, Naja, Aji, Cakra, di sini buat Kak Ze sama Dika. Udah jangan
nangis Kak. Takdirnya begini gimana lagi.”
Sepertinya perkataan Haikal tak mempan untuk membuat
Zemira lebih tenang. Gadis itu malah menangis dengan
kencangnya. Aji sudah memberikan isyarat dengan jari telunjuknya
yang ia tempel pada bibir, agar lebih baik Haikal diam saja dari
pada memperkeruh suasana. Lantas ia kembali duduk di
tempatnya.
“Nggak sembarang orang dijadiin sesembahan. Kalo yang gue
tangkep sih ya. Buktinya Jendra udah sering ketemu Kak Tio juga
dia nggak di apa-apain tuh?”
Kalimat dari Naja membuat seisi ruangan terdiam. Jendra
yang sibuk membolak-balikkan buku pun seketika menghentikan
aktivitasnya. Cukup lama mereka hanya saling melempar pandang

HEY ROSE | 195


satu sama lain. Kondisi Zemira yang sudah sedikit tenang, akhirnya
membuka suara.
“Tio ... ah maksud gue, dia, sekarang lagi deketin sahabat
gue.”
“Sahabat Kak Ze?” Tanya Randika kaget. “Saha Kak?”
“Iren.”
“Itu mah lagi PDKT—Aw!!” Haikal meringis kesakitan saat
lengannya dicubit oleh Cakra. “Naon sih asu!”
“Karburator supra diem lo! Sekali lagi ngejokes, berantem aja
lah kita.” Ancam Cakra yang langsung membuat Haikal kembali
membungkam.
“Kenapa malah deketin temen Kak Ze? Tunggu ini
maksudnya dia cari mangsa baru? Tapi, kalo apa kata Naja bener,
bisa jadi temen Kak Ze ada hubungannya sama mereka. Balik lagi,
karena mereka pun cari mangsanya nggak yang sembarang orang.”
Tukas Aji yang langsung dibenarkan oleh Randika.
“Bener! Kak Tio bahkan nggak pernah nyakitin gue. Bahkan
dia tetep ngebantu gue sama Kak Ze.”
“Dia bukan Tio, Dik...,” ucap Zemira lemas. “Gue nggak mau
kehilangan siapa-siapa lagi.”
Suasana ruang tengah semakin serius dan menegangkan.
Terlebih saat Jendra mengatakan beberapa kalimat yang membuat
itu masuk akal.
“Kak Ze, temen lo pernah nggak cerita tentang keluarganya?”
“Dia cuma cerita kalo mamanya meninggal waktu dia SMP.”
Deg! Jantung Jendra bak dihantam.
“Ada lagi?”
“Gue nggak inget sih Jen, udah lama dan emang hampir nggak
pernah dia cerita soal keluarganya.”
“Kak, boleh nggak gue berasumsi buruk ke Kak Iren?”
“Kenapa Jen?”
“Kata temen gue, I mean temen yang nggak bisa kalian lihat
di sini, Kak Iren pemegang kuncinya. Dia bisa ngebuka dan bisa
ngunci.”

HEY ROSE | 196


“Jadi maksud lo— Kak Iren buah hatinya Rose?!” Desak Aji.
“I don't know. Yang jelas asumsi gue, Kak Iren si pemegang
kunci,” tukas Jendra yang berhasil membuat teman-temannya
mengarahkan atensi mereka. Juga Zemira yang tengah menyimak
sembari memijat pelipisnya.
“Mau cari tau nggak?” Tawar Haikal.
“Gimana caranya? Kita aja nggak tau Kak Iren yang mana.” Aji
kebingungan.
“Nyewa detektif aja apa? Kita tinggal nunggu hasil.” Cakra
yang masih saja mengandalkan harta yang ia miliki.
“Mana ada serunya? Ya kita yang maju lah. Mereka nggak
bakal nyakitin kita, kan? Karena nggak sembarang orang jadi
kandidat mangsanya!” Jawab Naja dengan bijak. “Gimana Jen? Lo
jangan diem aja.”
Jendra diam sesaat kemudian mengangguk setelahnya.
Semua setuju dengan Naja. Ghost hunter genk siap membantu
dan memecahkan masalah yang dihadapi Randika, juga Zemira.
Pasalnya, gadis itu sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi setelah
bertubi-tubi kenyataan pahit harus ia terima.
Melelahkan rasanya jika semua menjadi sebercanda ini. Tak
ada rasa lega mendengar mereka semua akan membantunya. Tak
ada rasa senang atau sesuatu yang membuat rasa sesak di dadanya
menghilang. Zemira hanya terus merutuki nasibnya. Merutuki
semesta yang sedang bercanda dengan nikmatnya.
“Gue bodoh banget,” gumam Zemira yang terdengar oleh
Randika.
“Kenapa Kak?”
Zemira menggeleng disertai senyum. “Nggak papa, udah
kalian lanjutin ngobrol-ngobrolnya. Gue tinggal ke kamar.”
Randika mengerti jika kakaknya terkejut dan tak bisa
menerima. Ia pun sama terkejutnya dengan apa yang dipaparkan
Jendra. Kali ini ia membiarkan si sulung untuk pergi begitu saja. Ia
tak akan mengekori Zemira ke kamar, karena gadis itu
membutuhkan waktu untuk sendiri. Randika hanya

HEY ROSE | 197


memandangnya hingga punggungnya menghilang di balik pintu
kamar.
Duduk melamun. Hanya itu yang Zemira lakukan. Tubuhnya
mati rasa.
“Hari ini, gue jadi manusia paling hancur sedunia. Gue udah
ngerusak semuanya. Takdir orang lain pun udah gue rusak. Gue
ngebunuh temen-temen lo, gue ngebunuh lo juga Tio. Lo mau nggak
mampir ke mimpi gue malem ini? Please ... gue pengen minta maaf
sama lo, please dateng ke mimpi gue,” gumam Zemira. Bersamaan
dengan itu air matanya mengucur dengan derasnya.

HEY ROSE | 198


ETERNAL SLEEP
Here in the forest, dark and deep. I offer you, eternal sleep

“Kakkkk!”
Suara seruan Randika menembus pintu kamar Zemira. Gadis
yang baru saja membuka daun pintu itu langsung dipertemukan
dengan si bungsu yang berlarian kecil dengan senyum manis
menghiasi wajahnya.
“Kak! Bunda sama ayah mau ke sini!!!” serunya lagi. Randika
terlihat begitu bahagia menyampaikan kabar yang ia dapat. “Asik
nggak tuh?”
Zemira berdecak. “Nggak bilang ke gue si bunda.”
“Gimana mau bilang? Kata bunda nomernya Kak Ze block.”
Jawab Randika sembari mengekori Zemira yang berjalan menuju
dapur.
“Ya abis gue kesel masa udah liburan panjang tapi nggak mau
nengokin kita.”
“Kan sibuk Kaaakkkk.”
Zemira hanya manggut-manggut dengan sesekali me-rolling
eyes ke arah yang lain. Randika yang masih berada di sana
memperhatikan gerak-gerik Zemira yang terlihat aneh. Ia
memicingkan mata seperti tengah berhasil membaca pikiran si
sulung.
“Kakak udah mandi?” tanya Randika penuh selidik.
Mengerjap beberapa kali, Zemira menganggukkan kepala.
Kemudian Randika membawa arah pandangnya pada sebuah
kamar mandi yang pintunya tengah terbuka. Ada suara gemericik
air yang tertangkap di telinganya.
“Kak Ze nyalain air?” tanya Randika lagi, namun tak menoleh
ke arah lawannya.

HEY ROSE | 199


Tanpa menunggu jawaban dari Zemira, lelaki itu beranjak
berjalan cepat menuju kamar mandi. Sontak Zemira mempercepat
langkahnya pula untuk mengejar sang adik.
“Dika!!”
Yang dipanggil malah mempercepat langkahnya pula hingga
berhasil lebih dulu masuk kamar mandi dan menemukan bathub
yang sudah penuh dengan air. Tak banyak pikir, Randika
mematikan kran dan menguras habis air.
“Randika! Ih ngapain malah dikuras sih males banget gue
sama lo!”
Ini masih pagi, namun sudah terdengar keributan di rumah
mereka. Randika yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya itu
berkacak pinggang sekarang, usai menguras habis air di bathub
yang Zemira isi hingga penuh. Gadis itu memperhatikan Randika
dengan kesalnya. Padahal Zemira sudah menyalakan kran airnya
sangat kecil hingga gemericiknya hampir tak terdengar.
Zemira berniat untuk mencoba kembali masuk ke alam lain.
“Gue lebih males sama lo Kak, sumpah!” Bentak Randika.
Kini kakak beradik itu sedang beradu argumen di dalam
kamar mandi utama. Randika tak akan membiarkan kakaknya
melakukan hal-hal seperti ini lagi.
“Apa?!” sulut Zemira.
“Lo ngapain sih Kak?! Gue beneran marah sama lo ya!”
Tanpa menjawab, Zemira mendengkus kesal lantas
membalikkan tubuhnya untuk kembali masuk ke dalam kamar.
Brakk!!
Suara pintu kamar yang sengaja Zemira tutup dengan keras
sebagai tanda bahwa ia sedang kesal dan marah pada Randika
karena hal yang baru saja terjadi. Dengan cerdasnya, si bungsu
mengunci pintu kamar mandi agar tak ada kejadian yang tak
diinginkan terjadi kala ia pergi ke sekolah.
“Kakak nggak usah ke kampus! Kakak lagi sakit!” teriak
Randika dengan kesal pula menekankan kata ‘sakit’. “Randika
berangkat sama Jendra, Kak.” Pamitnya kemudian.

HEY ROSE | 200


Hari ini Randika tak mengijinkan Zemira untuk pergi ke
kampus dengan alasan kondisi si sulung sedang tidak baik-baik
saja. Mungkin di luar gadis itu tampak baik, namun di dalam? Tak
ada yang tau. Sama saja bukan? Zemira pergi ke kampus tak
mendengarkan materi apa pun yang disampaikan dosen karena
pikirannya yang tak fokus, dengan dirinya yang berdiam diri di
rumah untuk beristirahat.
Randika pergi ke sekolah bersama dengan Jendra. Temannya
satu ini bagaikan saudara kandung Randika karena saking
dekatnya. Tak dapat dipungkiri bila Zemira pun merasa hal yang
sama. Seperti ia memiliki banyak adik ketika Randika dan kelima
temannya berkumpul di rumah.
“Udah pada dapet undangan dari senior?” Aji yang baru saja
datang memecahkan lamunan Randika. Lelaki itu tiba-tiba duduk
di bangku depan sembari menopang dagunya.
Pelajaran kosong, memudahkan siswa-siswi untuk berbicara
dan melakukan aktivitas bebas lainnya.
“Undangan apa?” Tanya Naja.
“Undangan nikah? Saha senior yang mau nikah?” Randika tak
kalah.
Aji berdecak. “Pecinta alam mau diklat kan udah waktunya
nih.”
Seperti tahun-tahun lalu, setiap ekstrakulikuler mulai
merekrut anggota baru, sebagai penerus mereka tentunya. Kali ini
baik senior maupun junior yang tergabung dalam organisasi inti,
wajib untuk mengikuti diklat meski jabatan mereka hanya sebagai
humas, sedang anggota lain tidak diwajibkan untuk ikut diklat
perekrutan anggota baru. Sayangnya, Randika dan juga teman-
temannya tergabung ke dalam tim inti yang mana mereka wajib
berpartisipasi dalam diklat tahun ini.
Randika tampak berdecak sebal, sedang yang lain
bersemangat karena mereka bisa membalaskan dendam kepada
junior atas apa yang pernah mereka alami. Sebenarnya hal seperti
ini tidaklah patut untuk menjadi tradisi di setiap tahunnya. Untuk

HEY ROSE | 201


membalas dendam pada calon anggota baru yang mana mereka
tidak memiliki kesalahan apa pun.
“Benci banget kalo bakal ke hutan,” dengkus Randika. “Kapan
tuh acaranya?”
“Besok lusa, gue baru aja tanya katanya emang undangannya
terbatas jadi yang merasa ikut inti wajib ikut,” jelas Aji. “Humas
sekalipun wajib ikut!” Tegasnya sembari melirik Naja.
“Besok lusa?” Tanya Naja dengan pura-pura terkejut.
“Kenapa besok lusa banget sih?” protes Randika.
“Akhirnyaaaa bisa keluar kandang gue dari pada di rumah
bosen battery saving mode mulu.” Sahut Haikal dengan
meregangkang otot dan menguap.
Jendra tertawa. “Tumben tidur aja bosen? Biasa di kelas juga
molor terus.”
“Tulang belulang orang tua meronta Jen biasalah.”
Mereka semua tertawa kencang karena ucapan Cakra.
“Kalo wajib gini mau nggak mau harus ikut, bisa didepak jadi
anggota gue,” gumam Randika.
Cakra menepuk-nepuk punggung Randika. “Bilang dulu sama
Kak Ze sekarang biar nggak mendadak banget bikin kaget.”
“Iya ini mau gue chat.”
Kini masing-masing dari mereka beralih pada ponsel. Haikal
yang diam-diam melamun itu kemudian menyadarkan dirinya,
menatap ke arah Randika yang tertunduk beberapa saat.
“Ada hal-hal aneh lagi nggak? I mean minggu-minggu ini
karena kita udah jarang cerita dan ketemu seminggu sejak terakhir
ngumpul di rumah lo, Dik.” Tanya Haikal tiba-tiba.
“Hal aneh?” Randika mencoba mengingat. “Nggak ada sih,
palingan kakak gue yang selalu berusaha nyoba buat ngerendem
diri di bathub. Dan baru tadi pagi banget ini gue berantem gara-
gara itu.”
Jendra mengernyit terkejut. “Kak Ze mau balik lagi ke sana?
Nekat bener? Tapi berhasil nggak?”

HEY ROSE | 202


Randika menggeleng. “Tiap dia ngisi air udah kepergok gue
duluan jadi langsung gue kuras habis.”
“Kok gue mikirnya Kak Ze mau cepet mecahin cermin ya?”
ujar Naja. “Kak Ze terus berusaha buat dateng lagi ke alam itu,
kayaknya iya deh.”
Cakra menghela. “Emang dia udah tau letak kaca yang dicari
itu di mana? Sia-sia dong kalo Kak Ze sendiri belum tau letak
cermin yang mau dipecahin.
Mereka semua terdiam terlihat berpikir dan seperti setuju
dengan perkataan Cakra.
“Menurut gue bukan karena mau mecahin cermin sih,” tukas
Jendra. “Ini gue bukan adiknya aja bisa nebak kalo dia ke sana
nggak bakal mungkin mau mecahin cermin. Asumsi gue, Kak Ze ke
sana kalo nggak mau ketemu Kak Tio ya dia bakal cari jawaban dari
pertanyaan dia yang belum kejawab.”
Randika yang menyimak penjelasan Jendra seketika
mengiyakan dan sependapat dengannya. “Bener, itu baru kakak
gue banget.”
“Kita aja yang mecahin cerminnya boleh nggak sih?” Haikal
berdecak. “Maksudnya kita berangkat bareng-bareng, kalo gitu kan
kita bisa saling ngingetin satu sama lain, ngingetin tujuan kita pergi
ke sana itu apa.”
“Not a god idea menurut gue.”
“Karena lo penakut Dik, makanya lo bilang gitu.” Protes
Haikal yang tak setuju bila ide yang ia sarankan barusan adalah ide
yang buruk.
“Enggak, bukan karena gue takut. Tapi lebih ke mikir aja bisa
jadi kita ke sana malah bikin makin parah?” Randika menyangkal.
“Lo kira kita bisa gitu pergi bareng ke sana? Udah kayak liburan aja
ya wak, ngerinya ini liburan ke alam lain.”
Mereka sama-sama berpikir lagi, membenarkan sangkalan
dari Randika. Terlihat Haikal menggusak rambutnya hingga
berantakan seolah ia benar-benar pusing.
“Dik lo nggak mau ketemu Kak Tio gitu?”

HEY ROSE | 203


Pertanyaan dari Jendra mengingatkan Randika pada pesan
yang dikirim dari nomor yang tidak ia kenal. Pengirim yang
mengaku Tio itu mengajaknya untuk pergi ke luar bersama, jalan-
jalan dan sebagainya. Namun Randika lebih memilih untuk
menolak dan tak membalas pesannya.
“Tadi ada yang chat gue pake nomer baru, ngakunya Kak Tio.”
Sembari menunjukkan room chat mereka.
Satu per satu dari mereka membaca pesan yang Randika
tunjukkan itu. Ponselnya kembali meredup setelah mereka selesai
membaca isi pesannya.
“Mau coba ketemu nggak?” Tawar Jendra. “Kali aja lo bisa gali
sesuatu.”
“Lo numbalin gue ini mah!” Protes Randika.
“Kagak anjir, sama kita-kita deh?” Jendra kembali
menawarkan pada Randika. Ia sendiri juga penasaran dengan Tio
mengapa ia ingin mengajak Randika pergi keluar.
“Bisa tuh nanti kita ngintilin lo, kayak pas waktu kita ngintilin
Kak Ze ketemu sama Maren.” Haikal setuju dan mau untuk
mengekori.
“Nanti deh gue pikirin. Yang ada dipikiran gue sekarang kalo
lusa gue ikut diklat, Kak Ze sama siapa di rumah? Mbak kan udah
nggak kerja lagi.” Randika mengusap surainya ke belakang dengan
wajah tertekuk. “Eh? Bunda sama ayah juga mau ke sini!”
Raut wajah Randika sungguh berubah lebih cerah mengingat
kedua orang tuanya akan mengunjungi anak-anaknya di rumah.
Mereka telah mengambil cuti untuk beberapa hari. Meski tak lama,
Randika dan Zemira senang mendengar kabar baik itu karena
mereka sudah satu tahun lebih tak bertemu dan memeluk ayah
bunda.
“Tumben ayah sama bunda lo kesini? Dalam rangka apa?”
Tanya Cakra kepo.
“Kangen anaknya lah.” Jawab Randika dengan setengah kesal
dengan pertanyaan Cakra.

HEY ROSE | 204


“Waktu yang pas nggak sih?” gumam Jendra. “Karena anak-
anaknya lagi ngalamin masalah besar kayak gini?”

Seorang siswa duduk termenung di kursi penonton lapangan


sekolah. Sendiri. Rambutnya sedikit berantakan akibat terpaan
angin yang mengantar pula banyak dedaunan kering melewatinya.
Pandangannya menatap jauh ke depan. Merasakan hatinya yang
mencelos akibat membaca pesan dari sang kakak. Sudah tahun
keberapa hubungannya dengan kakaknya tak berjalan dengan baik.
Iren, seorang kakak dari lelaki yang tengah duduk sendiri itu.
Kadang ia sangat merasa cemburu kala Randika bercerita
bagaimana Zemira memperlakukan sang adik dengan baiknya. Ia
bahkan sangat iri melihat kakak-adik itu melalui banyak hal
bersama baik suka maupun duka. Berbeda dengan dirinya yang tak
pernah merasakan hal semacam itu.
Diberi banyak perhatian oleh Zemira, jujur saja ia merasa
bersyukur dan senang. Perhatian kecil yang tak pernah ia dapatkan
tentunya.
“Kak, nggak bisa apa lo kayak Kak Ze?” Gumamnya sendiri.
Ia sedang menunggu waktu untuk pergi ke makam. Kakaknya
saat ini telah berada di sana, namun ia lebih baik menunggu sang
kakak pulang dan berganti dirinya yang berkunjung ke makam dari
pada ia bertemu dengan kakaknya yang tak pernah menerimanya
dengan baik.
Hampir saja ia menangis di sana jika kelima temannya tak
datang lebih dulu menghampirinya.
“Jorok banget lo anjir!” Pekik Jendra karena Haikal terus
mengupil di sampingnya.
Naja tersenyum ke arah mereka berdua. “Kayaknya hobi baru
banget ini lo ngupil deketan ama Jendra?” Sembari menggeser
duduknya.
“Kenapa? Mau juga lo?”

HEY ROSE | 205


Naja berdecak. “Yuk balik gue lagi keburu.”
“Mau ke mana, Na?” Tanya Randika yang baru saja
menghabiskan minuman kalengnya.
“Ya ada.”
Naja beranjak lebih dulu. Menepuk seragamnya yang kotor.
Kemudian barulah kelima temannya ikut beranjak. Wajah Naja
yang sendu memancing Randika untuk bertanya kepadanya,
namun sepertinya lelaki itu sedang tidak ingin disentuh oleh siapa
pun, mengingat kepribadiannya yang tertutup dan terkadang
dingin membuatnya lebih bisa membaca situas.
“Gue cabut!”
“Gue juga, hati-hati lo pada!”
“Santai aja sepedaannya jangan sampe jatuh!”
“Yeee itu mah lo kalo sepedaan ngawur.”
Mereka saling sahut menyahut satu sama lain untuk
berpamitan pulang. Naja dengan Jendra pulang bersama
menggunakan sepeda yang selalu mereka kayuh untuk pergi ke
sekolah. Cakra lebih dulu dijemput oleh sopir pribadinya, sedang
Haikal mau-mau saja ditawari untuk pulang bersama Cakra. Aji, ia
pergi ke ruang pecinta alam untuk bertemu dengan seseorang.
Berbeda dengan Randika yang sedang berdiri di depan pagar
sekolah menunggu sang kakak menjemputnya.
Randika melambai ketika motor Zemira berjalan mendekat.
“Oy pengendara illegal!” Canda Randika yang langsung
mendapatkan pukulan dari Zemira.
“Buruan naik keburu ada razia sore!!!”
Randika hanya terkekeh. Setelah memakai helm bogonya, ia
naik ke motor.
Seseorang tengah memperhatikan mereka dari belakang.
Baru saja Zemira akan menjalankan motornya, ia menoleh cepat ke
belakang saat ia memergoki seseorang tengah berdiri tak jauh di
belakang mereka.
“Kenapa Kak?” Tanya Randika yang juga ikut memutar
sedikit tubuhnya ke belakang.

HEY ROSE | 206


Zemira menggeleng sebagai jawaban. Lantas ia menjalankan
motornya menjauh dari sekolah. Randika yang penasaran menoleh
kembali ke belakang. Mengendarkan pandangan hingga ia melihat
seorang lelaki keluar dari balik dinding pembatas sekolahnya.
Berdiri dan menatapnya dari jauh sana. Randika tak tau pasti siapa
lelaki itu. Saat ia berusaha memfokuskan pandang dengan
memicingkan matanya, Zemira lebih dulu menepuk-nepuk
lututnya.
“Dekkkk jangan gerak-gerak!!” Teriaknya dari balik helm.
“Iyaaaaa maafffff.”
Di perjalanan hingga sampai rumah, Randika masih terpaku
pada lelaki yang berdiri di depan sekolahnya tadi. Apakah itu Tio?
Atau orang lain? Randika hanya ingin tau siapa dan mengapa lelaki
itu menatapnya juga Zemira.
“Kak Ze tadi ngeliat orang ya?” Tanya Randika.
“Ngeliat orang apa?”
“Itu yang di sekolah tadi, yang lo tiba-tiba noleh ke belakang,
Kak.”
Zemira menggeleng. “Enggak tuh.” Bohong. Ia melihat
seseorang yang ia yakini adalah Tio. Itu tertangkap di spion
motornya hingga ia menoleh ke belakang dan lelaki itu malah
bersembunyi di balik dinding sekolah.
“Beneran?”
“Ganti baju dulu kenapa, Dek, ya ampun itu seragam lo
keringet semua!” Zemira merubah topik. “Eh itu lo jadinya ikut
diklat? Gue nggak papa sendiri di rumah beberapa hari aja, kan?
Ayah sama bunda juga jadi ke sini. Nggak usah khawatirin gue.”
Randika mendudukkan dirinya di sofa. Ia memang belum
mengganti bajunya setelah pulang dari sekolah. Ia malah
merebahkan dirinya di kursi empuk yang ada di ruang tengah.
Bahkan kaos kakinya saja masih melekat di kedua kakinya.
“Kak, gue khawatirnya karena takut lo percobaan ke alam
lain lagi. Gue takut.” Tatapnya sendu. “Demi apa pun gue nggak mau
lo kenapa-kenapa, Kak.”

HEY ROSE | 207


Melihat sikap sang adik yang tak biasa itu Zemira malah
tertawa terbahak-bahak hingga ia terjungkal. Randika menatapnya
dengan kesal. Bisa-bisanya si sulung tertawa di tengah si bungsu
yang mengkhawatirkannya.
“Kak!!! Ah nggak tau ah nggak tau!” Randika berdiri, berkacak
pinggang, kemudian pergi menuju kamar dengan langkah lucu yang
ia hentak-hentakkan.
Zemira tersenyum. Adiknya itu selalu bisa membuat dirinya
hidup lagi. Ia lantas melangkah untuk mendekati ruang kamar
Randika.
Tok!!
Tok!!
Tok!!
“Iyaaaa Dikaaaa gue nggak bakal ke sana lagi, jadi lo besok
lusa have fun ya! Nggak boleh ngerepotin Jendra.” Teriak Zemira
dari luar pintu kamar Randika.
“Eh nggak papa sih besok gue bilang ke Jendra buat
direpotin.”
“Apa aja barang yang mau dibawa? Mau belanja nggak habis
ini?”
Ceklek....
Pintu terbuka dengan Randika yang masih menekuk
wajahnya. “Iya. Ayo.” Lantas berjalan melewati Zemira. Gadis itu
menggeleng dan kembali tertawa, membawa sang adik dalam
rangkulannya.
Sore itu Zemira dan Randika menghabiskan waktu untuk
pergi belanja snack dan keperluan yang dibutuhkan si bungsu
selama tiga hari diklat. Berbanding terbalik dengan satu orang
lelaki yang berada di makam sendirian. Menautkan kedua tangan
dan berdoa untuk sang ibu tercinta.
“Ma, jaga aku ya.”
Sedang di sisi yang lain—dua orang insan baru saja
membicarakan banyak hal. Karena waktu mereka yang tak banyak,

HEY ROSE | 208


akhirnya mereka berdua memutuskan untuk tetap saling berkabar
untuk tetap tau kabar masing-masing.
“Kak Iren, tetep kabarin gue oke?”

Masih terlalu pagi, Zemira sudah diributkan oleh Randika


juga teman-temannya. Selepas subuh harusnya Zemira bisa tidur
lagi dengan nyenyak, tapi kali ini waktu tidurnya ia dedikasikan
untuk adik satu-satunya yang akan pergi diklat tahunan. Ia
membantu mulai dari mengemas beberapa pakaian, membuatkan
sarapan dan bekal untuk mereka bawa meski nantinya mereka
akan mendapatkan konsumsi di sana.
“Kan lo disuruh Kak Ken buat bantu konsumsi?!”
“Dia aja nggak bilang ke gue? Bilangnya ke lo kan, Ji? Ya
berarti lo aja yang bantu konsumsi,” tukas Cakra pada Aji.
“Kemaren udah gue bilangin di grup, kan? Ih lo mah!”
Aji dan Cakra tengah ribut perkara konsumsi. Di sisi lain ada
Haikal dan Jendra yang adu umpatan karena Jendra tak sengaja
membuat Haikal terjatuh saat mengemasi barangnya. Berbeda
dengan Naja, ia cukup tenang dengan wajah sendu duduk
berdampingan dengan Zemira dan melihat keributan yang ada.
Sejak beberapa terakhir ini Naja menjadi sangat pendiam, teman-
temannya tak mengerti dan tidak ingin melempar tanya padanya,
karena mereka takut malah melukai hati Naja.
“Lo nggak ikut ribut juga?” tanya Zemira pada Naja dengan
menunjuk mereka.
Naja tersenyum. “Enggak Kak, gue udah bosen ribut sama
mereka.”
“Gue baru ngerasa deket banget sama kalian aja udah capek
duluan. Gue berasa punya banyak adik kalo gini. Kayak gue semua
yang ngurusin.”
Zemira memijat pelipisnya sebelum akhirnya ia berdiri
menghampiri mereka untuk menghentikan pertikaian. Benar

HEY ROSE | 209


adanya jika gadis itu terlihat seperti kakak dari keenam adik. Ia
nyaman dengan mereka, teman-teman Randika juga nyaman
terhadap Zemira. Bagai kakak-adik, mereka tak merasa canggung
meski hanya sekedar meminta tolong.
Tepat pukul setengah enam pagi, para senior yang berbaik
hati menjemput mereka berenam tepat di depan rumah Zemira.
Senior dari angkatan pertama, umur mereka setara dengan Zemira,
setidaknya ia bisa berbicara santai kepada para seniornya.
“Titip adik gue ya!” pinta Zemira pada mereka.
“Adik lo yang mana?” tanya salah satu senior bernama Ken.
Zemira menunjuk Randika awalnya, lantas telunjuknya
bergantian menunjuk kelima lainnya dengan cepat.
“Semua! Hehe,” akunya.
“Ih Kak, adik lo kan cuma gue aja?” protes Randika yang
sudah berada di atas motor.
“Udah sih sekarang berbagi, karena mereka juga udah gue
anggep adik.” Zemira mendekati Randika dan mengacak
rambutnya. “Gimana kalo lo jadi kakak mereka selama diklat?”
“Kak! Kagak mau lah!” decak Randika.
“Yessss!! Akhirnya Kak Ze jadi kakak gue!!” teriak Haikal
bersemangat.
Naja. Memang ia yang paling berbeda. Ia hanya melayangkan
senyum saat yang lain senang dan bersemangat karena diakui
sebagai adik dari Zemira. Tersenyum hingga kedua matanya
membentuk bulan sabit, memudarkan wajah sendunya. Zemira
pun tersenyum ke arahnya. Kemudian Naja menunduk.
Tak berlama-lama, para senior pun menyalakan mesin
motornya masing-masing, mereka sudah siap di atas motor dengan
tas ranselnya, lantas deru motor sebagai tanda mereka mulai
berjalan meninggalkan pelataran rumah.
“Take care!” teriak Zemira kala motor terakhir mulai melaju.
Melambai pada mereka semua.

HEY ROSE | 210


Randika yang paling semangat melambai pada kakaknya.
Bahkan hingga keluar pagar rumah pun ia masih menoleh pada
Zemira, tersenyum hingga menampakkan gigi putihnya.

Tiba di tempat diklat, para senior, juga peserta diklat


berkumpul membariskan diri di titik kumpul. Mereka yang telah
memiliki regu langsung mendirikan tenda masing-masing.
Mengitari gundukan ranting pohon yang akan dijadikan api unggun
sebagai penerang dan penghangat mereka. Pun Randika dan
teman-temannya yang sibuk mendirikan tenda, merapikan barang
bawaan juga membantu para senior mempersiapkan konsumsi dan
alat-alat lain yang dibutuhkan untuk tiap regu.
Di hari pertama, tak begitu berat. Mereka hanya diberi waktu
untuk mengenal para senior mereka. Mengingat dan menghafalkan,
lantas mereka akan diuji daya ingatnya satu per satu. Randika ingat
betul bagaimana dulu ia juga harus menghafalkan nama para senior
yang lebih dari 30 orang ini. Mengingat saat dirinya dijatuhi
hukuman untuk memeluk pohon selama 10 menit lamanya.
Memikirkan dirinya memeluk pohon saja membuat ia bergidik dan
merinding karena ia tak melupakan bagaimana beberapa semut
merah dengan tega menggigit lengan tangannya.
“Baik-baik tau seniornya.”
“Udah cakep, baik lagi.”
“Mereka mukanya polos-polos nggak ada yang galak dari tadi
juga kita dibantu ini itu, eh mana senior yang itu tuh lembut banget
suaranya aduhhhh.”
Obrolan beberapa peserta diklat yang duduk melingkar di
belakang Randika dan teman-temannya terdengar oleh Jendra
yang tanpa permisi dan basa-basi langsung menyambar obrolan
mereka.
“Masih hari pertama, Dek.” Jendra dengan senyum yang
merekah, membuat kedua matanya menyipit dan menghilang.

HEY ROSE | 211


“Emang muka gue polos, suara lembut, tapi lihat nanti malam ya?”
imbuhnya dengan mengedipkan sebelah matanya.
“Eh, Kak, hehe.” Gerombolan mereka pun bubar karena
merasa canggung dan tak enak karena Jendra yang tiba-tiba saja
membalikkan badan dan menyambar percakapan mereka.
Kelima temannya tertawa melihat keusilan Jendra sedari
tadi. Entah hanya perasaan Randika saja, atau memang Jendra yang
terlihat sangat aktif hari ini. Mood-nya sedang baik, atau bisa
dibilang sangat baik. Padahal biasanya ia biasa saja menghiraukan
yang lainnya.
Setelah menyelesaikan rangkaian upacara pembukaan dan
acara yang lainnya, semua dipersilahkan untuk kembali ke tenda
dan beristirahat. Hanya para senior yang saat ini berkumpul
mengelilingi api unggun. Mereka membagi kelompok untuk
kegiatan di hari berikutnya.
“Randika, Naja, Haikal, lo ikut jaga di pos tujuh ya?”
“Jendra, Cakra, Aji jaga di pos enam.”
Setidaknya ada 10 pos dengan tiga senior di dalamnya.
Randika sempat ingin menolak karena ia berharap bisa bersama
dengan Jendra, agar dirinya merasa sedikit aman. Ia tidak bisa
membayangkan bagaimana harus berjaga dengan Haikal yang
berisik dan usil, juga Naja yang dalam mode pendiam dan tak
banyak bicara.
“Dik, lo inget nggak dulu di pos tujuh kita suruh ngapain?”
bisik Haikal.
Randika menggeleng. “Gue nggak inget kan matanya
ditutup.”
“Seinget gue di pos tujuh banyak yang kesurupan karena
seniornya pada ngawur,” sahut Naja.
“Weh iya gue inget. Di pos tujuh yang kita disuruh dengerin
lagu Lingsir Wengi eta?” Ingatan Haikal rupanya mulai sedikit
kembali berkat Naja.
Randika hanya menelan ludah kasar, mendengar Haikal yang
sedikit ingat tentang masa diklatnya. Ia pun mencoba mengingat

HEY ROSE | 212


dan benar adanya, salah satu anggota di regunya dulu juga pernah
kesurupan akibat lagu yang diputar tengah malam. Randika ingat
kala mereka menangis dan berteriak tiba-tiba. Ia ingat bagaimana
takut dirinya hingga ikut menangis juga.
“Bebas kan mau ngapain? Kan yang jaga kita,” sela Randika.
“Maksud gue nggak usah kita puter lagu-lagu kayak gitu mending
mah lagu rohani atau apa kek yang nggak ada bau-bau horornya.”
“Bakar dupa aja,” bisik Haikal pada Randika yang membuat
sekujur tubuhnya seketika merinding.
Randika melayangkan satu pukulan membuat Haikal
mengaduh namun ia tetap puas tertawa karena wajah ketakutan
Randika tercetak jelas.
“Besok gue bagi tugas masing-masing pos, kalo ada yang
nggak jelas bisa ditanyain. Sekalian inget-inget masa diklat kalian
pernah diapain aja sama senior di masing-masing pos! Biar kalian
ada gambaran, jangan kayak tahun kemarin yang monoton gitu aja
nggak ada pelajaran penting yang bisa diambil!” Suara lantang Ken
selaku senior juga pembina mereka. “Rapat kita akhiri di sini, kalian
boleh masuk ke tenda masing-masing.”
Sudah hampir jam 10 malam, namun di dalam tenda, Randika
dan kelima temannya belum juga tidur, pasalnya mereka berusaha
mengingat masa diklat mereka. Masa-masa yang tak ingin mereka
ulangi lagi karena senior habis-habisan memberikan tantangan di
luar batas kemampuan mereka. Tanpa pandang laki-laki atau
perempuan. Bayangkan saja bahkan Tuhan tidak pernah
memberikan sesuatu yang di luar batas kemampuan hambanya.
“Gue ingetnya di pos terakhir, kita naik tebing yang cuma
pake satu tali terus pas udah nyampe di atas suruh nyebur ke air
yang demi Tuhan baunya kek kotoran manusia,” jelas Cakra yang
hampir muntah ketika disuruh mengingat. “Mana semua senior
sebagian banyak ada di sana nyaksiin kita mandi air itu mana
dibalurin ke muka anjing enek gue ngingetnya.”
“Di pos enam dulu disuruh ngapain ya? Disuruh nyanyi apa
dah auk ah lupa,” tukas Jendra. “Yang jelas di pos tujuh gue suruh

HEY ROSE | 213


dengerin lagu Lingsir Wengi sambil madep ke pohon mana gue
dulu ketua regu jadi ada anggota regu yang bikin kesalahan, gue
yang kena katanya nggak becus ngurus mereka.”
“Ya mereka juga siapa gue anjir? Kenal aja baru pagi ye kan?
Udah suruh ngurusin mereka aja. Ah sial pokoknya kalo dalam satu
regu banyak ceweknya tuh,” imbuhnya.
Randika, Naja, dan Haikal saling melempar tatapan.
Ketiganya cukup takut karena mereka ditugaskan menjaga pos
tujuh yang bahkan bayangan akan tantangan saja belum
terpikirkan sama sekali. Terlebih Randika yang sudah terlihat tidak
nyaman. Tangannya ia lingkarkan di lengan Naja yang duduk di
sebelahnya.
“Tenang Dik, banyak temennya.” Naja mengusap punggung
tangan Randika.
“Kal, lo mau tuker sama gue nggak?” tawar Jendra mengingat
ia dimintai tolong oleh Zemira untuk menjaga Randika.
Haikal menggeleng cepat dan langsung memeluk Randika.
“Nggak mau! Gue mau sama Kakak.”
Randika berontak, dengan cepat melepaskan dirinya dari
Haikal. “Idih idih sono lu jauhan dari gue elah!”
“Kak Randikaaaa!!!” rengek Haikal yang malah melekatkan
dirinya.
Kengerian pikiran Randika pun teralihkan akibat tingkah
Haikal. Mereka sibuk bercanda satu sama lain, sebelum akhirnya
Randika melihat notifikasi yang masuk di ponsel salah satu dari
teman. Sebuah panggilan tak terjawab dari ‘Kak Iren’. Melihat itu,
Randika memandangi teman-temannya satu per satu.
“Hpnya siapa ini?” Randika mengangkat ponsel itu dan
bertanya mengarah pada teman-temannya.
“Gue.” Naja bersuara, lantas mengambil ponsel dari
genggaman tangan Randika.
“Teh Iren habis nelfon lo,” tukas Randika yang langsung
membuat keempat pasang mata lainnya melihat ke arah Naja.
“Sejak kapan lo—” sahut Jendra dengan selidik.

HEY ROSE | 214


“Katanya mau bantu Kak Ze sama Randika? Tapi kalian masih
stuck di sini aja? Ya gue cari cara buat deketin Kak Iren
seenggaknya gue bisa ngulik sedikit informasi dari dia,” jelas Naja
yang hanya dibalas anggukan oleh teman-temannya.
“Terus?” tanya Jendra lagi.
“Terus? Ya udah ... ini udah hampir tengah malem dan besok
kita ada kegiatan lagi. Nanti kalo diklat selesai baru dibahas lagi.”
Naja memasukkan ponselnya ke dalam tas, kemudian
menidurkan dirinya di tenda yang sudah mereka alasi dengan
matras. Disusul oleh teman-temannya yang menyadari bahwa jam
sudah hampir menunjukkan pukul 12 malam. Berbeda dengan
kedua 'adik' yang mengirim chat terlebih dahulu kepada sang
kakak sebelum mereka berdua pergi tidur.
Melihat room chat Zemira dengan status online, langsung saja
Randika mengirim pesan pada kakaknya menanyakan mengapa di
tengah malam si sulung masih terjaga. Menanyakan apakah ia jadi
untuk menginap sementara di rumah salah satu temannya.
Menanyakan apakah Zemira tidak sedang melakukan hal yang tak
ia suka. Randika tersenyum ketika mematikan ponsel karena
membaca pesan terakhir dari kakaknya. Zemira mengatakan
bahwa ia menyayangi sang adik. Randika tau akan itu meski Zemira
tak mengatakannya.
Sedang satu orang adik lainnya merasa sangat sedih sebab
pesannya tak terbalaskan.
Sampai kapan Kakak benci gue? Kapan Kak Iren mau akuin
gue sebagai adik lo? Good night Kak! Mimpi indah ya. Pesan yang
bisa ia kirim pada sang kakak.

HEY ROSE | 215


UNHOLY TRINITY

Kak, selama tiga hari jangan kemana-mana sendirian, tahan ya Kak,


please.

Begitulah pesan yang Zemira dapat dari adiknya. Terlambat.


Bahkan sekarang gadis itu tengah berada di samping makam Jefri
sendirian. Ia baru saja mengunjungi makam Maren juga.
Pemakaman tampak tak seperti biasanya. Cukup ramai, apa karena
memang ini hari yang tepat untuk pergi ke makam? Zemira tak tau
pasti. Awalnya ia akan pergi bersama Iren, tapi temannya itu
sedang menunggu seseorang datang ke rumahnya.
Tentang Iren, semalam setelah Randika mengirim pesan, ia
juga mengirim pesan pada Zemira. Hari ini gadis itu akan
menjemputnya karena Zemira tengah sendirian di rumah. Merasa
aneh dengan itu, Zemira menanyakan bagaimana sahabatnya itu
bisa tau. Jawaban dari Irenlah yang membuat Zemira terkejut.
Mengatakan bahwa ia memiliki seorang adik yang juga ikut
diklat bersama dengan Randika. Lebih tepatnya Iren tak
mengakuinya sebagai adik dan Zemira marah besar akan itu. Dan
bisa-bisanya ia membandingkan sikapnya dengan Zemira. Pesan
terakhir yang ia terima dari Iren, ia menyebut nama Tio dan setelah
itu ia menghilang begitu saja membuat Zemira berpikir yang tidak-
tidak mengenai hal yang akan dikatakan oleh sahabatnya itu.
Sedikit khawatir, namun Zemira tak ingin memikirkan terlalu
dalam. Fokuslah ia kini menatap batu nisan dan papan yang ia
tancapkan di samping gundukan tanah milik Jefri.
“Jangan berantem kalian berdua di sana,” ucap Zemira sendu.
Setelah kejadian itu, menyadari bahwa kekasihnya benar-
benar pergi, Zemira membuat tempat untuk menyuarakan
rindunya kepada Tio. Tepat di samping batu nisan Jefri, terdapat
papan dengan tulisan tangan Zemira. My day one, Tio.

HEY ROSE | 216


Gadis itu tersenyum pada kedua nama yang berdampingan.
Dua orang yang ia sayang dan akan selalu memiliki ruang masing-
masing di hatinya lebih dulu pergi meninggalkannya.
“Yo, tau nggak sih gue rasanya pengen meluk tubuh lo, di sisi
lain gue pengen ngehancurin tubuh itu karena si pemilik tubuhnya
udah nggak ada di sana,” protesnya sembari mengusap kasar kedua
pipinya.
Cukup lama Zemira berada di sana hingga tak sadar bila
waktu sore pun segera tiba. Tangannya menepuk-nepuk celana
bekas tanah yang menempel. Ia raih totebag-nya yang masih
berada di atas tanah. Dua tangkai bunga mawar ia taruh di sebelah
batu nisan Jefri, juga papan kayu kepunyaan Tio. Lantas dengan
berat hati dirinya berjalan mundur dan meninggalkan dua orang
terkasihnya.
Berjalan keluar pemakaman dengan langkah yang gusar.
Tiba-tiba saja tubuhnya terasa lemah. Aneh, setiap ia merasa
sedikit takut, dirinya bisa lemah seperti ini padahal ia datang
dengan baik-baik saja dan dalam keadaan yang sehat. Kepalanya
berat, hingga ia harus mendudukkan dirinya sebelum terjadi
sesuatu. Duduk di depan pos, dengan pandangan yang mulai kabur,
ada seorang lelaki sedang berjalan ke arahnya. Mungkin karena
melihat Zemira seperti butuh pertolongan, lelaki itu mendekat.
Semakin dekat, seperti tau dan hafal dengan postur tubuh
lelaki itu, Zemira mengerjapkan mata berulang kali hingga dirinya
mampu melihat dengan jernih lagi. Ia terkejut setengah mati
dengan sosok yang tengah berdiri di hadapannya kini.
Tio.
Dengan tatapan yang tak dapat dijelaskan lagi. Namun, tiba-
tiba ia tersenyum ketika Zemira menatapnya. Senyum yang di mata
Zemira sudah berubah menjadi senyum yang mengerikan.
“Ze?”
Zemira tak menjawab. Ia hanya berusaha menyembunyikan
rasa takutnya.

HEY ROSE | 217


“How are you?” tanya Tio lagi dengan senyum yang masih
sama. “It’s been a long time, right?”
Ya. Ini sudah sangat lama mereka tak saling menanyakan
kabar. Sudah sangat lama pula keduanya tak saling bertemu.
Zemira pun sudah tak peduli akan hal itu, seakan ia ingin
menghapus segala sesuatu yang berhubungan dengan Tio. Karena
bukan hal baik yang akan terjadi, melainkan hal buruk yang
semakin membuat hidupnya dipenuhi dengan rasa takut.
“Ayo balik.”
Gadis itu menepis tangan Tio yang terulur menggenggam
tangannya. Dejavu? Suasana seperti ini tampak tak asing bagi
Zemira.
“L-lo siapa?!” Zemira dengan nada bergetar. Pertanyaan yang
ia lontarkan sepertinya membuat lawannya tak bisa menjawab,
hingga ia menghilangkan senyumnya, merubah mimik wajahnya
menjadi datar. Sepertinya ia sudah sadar bila Zemira mengenali
dirinya.
“Iren udah nunggu di mobil, ayo balik.” Tanpa basa basi, Tio
memutar tubuhnya dan berjalan pergi memunggungi Zemira.
“I-ren?”
Kalimat dari Tio berhasil membuat Zemira khawatir dan
langsung berlari menyusul untuk menjajari langkah lelaki itu. Atau
bahkan lebih dulu pergi ke tempat parkiran untuk meyakinkan
dirinya jika sahabatnya masih dalam keadaan baik-baik saja.
Menepis rasa sakit yang masih menjalar di kepalanya.
“Ze!” Iren memanggil Zemira dari dalam mobil. “Loh? Mana
cowok lo?”
“Lo! Katanya nunggu tamu di rumah? Kenapa bisa lo ke sini
sama Tio?” tanya Zemira dengan nafas yang masih tersenggal-
senggal dan kepala yang masih pening.
“Tio yang gue maksud. Tamu gue.”
“Lo nunggu Tio?!”
“Iya. Jangan salah paham dulu Ze, gue cuma—”

HEY ROSE | 218


“Nggak ada salah paham salah pahaman di sini! Ngapain lo
ketemu sama dia? Dia tuh bukan pacar gue! Dia bukan makhluk
hidup, Ren.”
“Maksud lo apa sih?”
“Lo masih nggak tau aja maksud gue apa? Dia tuh bahaya
banget Iren, dia yang ngebunuh—”
“Ze, asal lo tau aja, Tio ketemu sama mama gue, dia bisa
ngeliat mama gue dan ngasih ini ke gue.” Iren mengangkat sebuah
kalung rose pendant. “Nih, ini punya mama gue.”
Zemira terdiam membeku kala melihat pendant yang
tergantung di sana. Jantungnya serasa makin bergemuruh. Ia
menggelengkan kepala pelan dengan masih menatap kalung itu.
“Kenapa? Kenapa lo diem? Salah paham, kan?”
Bunga mawar? Rose? Mamanya Iren?
Lantas Tio?
Cermin itu?
Suara batin Zemira saling bersahutan tak menentu.
Kepalanya sangat sesak dan penuh dengan ratusan hingga ribuan
pertanyaan. Membuat dirinya hampir saja terjatuh jika Tio tak
menahannya. Lelaki itu tiba-tiba sudah berada di belakang Zemira
tanpa terdengar suara langkah kakinya.
“Hati-hati,” ujarnya.
Zemira berjalan masuk ke dalam mobil dibantu oleh sosok
Tio. Pasrah. Gadis itu menggenggam lengan lawannya, ia tak dapat
menahan tubuhnya lagi karena merasa takut, kepala pening,
pikiran kacau terbelah. Ia tak bisa membendung dan mengontrol
dirinya sendiri hingga kesadarannya mulai hilang.
Dingin, Tio....
Tangan lo, dingin banget....

Ruangan sederhana dengan cat berwarna putih keabuan,


berpadu cantik dengan dekorasi kamar yang klasik. Iren duduk di

HEY ROSE | 219


kursi sejajar dengan ranjang yang ditempati Zemira beristirahat
saat ini. Tengah memainkan instrumen musik tahun 70 an, dengan
setia ia memperhatikan sahabatnya yang masih belum juga sadar.
Layar ponsel Iren terus saja menyala. Menandakan ada
ribuan notifikasi ia terima. Rasanya ia tak ingin membalas satu
pesan pun dari sang pengirim pesan. Apakah si pengirim tak begitu
penting untuk Iren? Atau si pengirim adalah orang iseng yang terus
menerus mengganggu dirinya?
“Ngapain lo chat gue terus?” Dengkusnya sembari
mematikan ponsel agar layarnya tak terus menyala.
“Ze?”
Zemira baru saja tersadar. Ia memandangi langit-langit
kamar, menurunkan arah pandang dan mulai menelisik sekitarnya
kemudian manik hitamnya menyoroti Iren dengan pandangan
lemah dan sayu.
“Udah enakan?” tanya Iren yang dibalas anggukan lemas
Zemira.
“Hp gue mana?”
Iren membantu mengambilkan ponsel sahabatnya yang ada
di atas meja. “Nih. Sorry Ze, tadi Randika ngehubungin lo, terus gue
angkat. Dia khawatir banget sama lo.”
“Terus lo bilang apa?”
“Gue bilang lo lagi di kamar mandi gitu biar dia nggak makin
khawatir.”
Zemira mengangguk dan tersenyum. “Thanks ya!” Ia lega bila
Iren membuat alasan demikian karena takut adiknya akan kalang
kabut jika mengerti apa yang baru saja menimpanya.
Iren memperhatikan Zemira yang sepertinya sudah memiliki
sedikit energi. Buktinya ia bisa mendudukan diri dengan tenang
dan mengirim pesan untuk adiknya.
“Terus gimana lo sama adik lo?”
Iren tersentak kala pertanyaan itu meluncur begitu saja dari
bibir Zemira.
“Ya nggak gimana-gimana,” jawabnya tak acuh.

HEY ROSE | 220


“Siapa sih adik lo? Nggak pernah cerita lagian.”
Gadis itu mendongakkan kepalanya. Menunjuk ke arah salah
satu frame yang ada di atas meja kamarnya. Dengan rasa penasaran
yang tinggi, Zemira berjalan mengambil frame itu. Di ruang kamar
sederhana ini hanya terdapat satu frame foto Iren bersama dengan
adiknya.
“Foto masa kecil?” tanya Zemira heran.
“Iya, gue cuma punya foto itu, terus kita pisah. Bisa-bisanya
dia ikut papa gue, sedangkan gue di sini sendiri.”
Kalau itu Zemira paham karena sahabatnya pernah bercerita
bahwa sepeninggalan mamanya, ia ditinggal sendiri oleh sang ayah.
Tapi, tak pernah ia ceritakan tentang alasan kenapa bisa ayahnya
meninggalkan Iren sendirian di rumah mereka. Juga fakta tentang
Iren yang memiliki seorang adik.
“Jadi alesan lo nggak nganggep adik lo karena ini? Karena dia
ikut papa lo?”
Iren mengangguk. “Nggak adil kalo gue cuma ngebenci papa
gue. Dia juga harus gue benci!” Tunjuknya ke foto masa kecil anak
laki-laki yang imut itu. “Papa gue punya alesan ninggalin gue
sendiri di sini, tapi dia? Dia nggak ada alesan ninggalin gue, tapi
tetep dia lakuin. Jahat nggak? Wajar kan kalo gue ngebenci dia?”
Zemira tak tau harus menjawab apa. Tak tau pula harus
memberikan nasehat seperti apa. Kepalanya masih berdengung
dan belum juga pulih. Jika ia membenarkan Iren, gadis itu akan
terus membenci adiknya, namun jika Zemira menyalahkannya, ia
juga tidak tau berapa banyak luka yang ia terima akibat
ditinggalkan.
“Papa lo yang jahat karena ninggalin lo di sini sendiri. Adik lo
nggak tau apa-apa, Ren,” jawab Zemira singkat meski ia ragu
apakah kalimatnya tepat atau tidak.
“Papa ninggalin gue di sini karena takut sama gue.”
Kalimat dari Iren mampu menyambar pikiran Zemira. Kata
takut yang dimaksudkan Iren pun ia tak tau. Kebingungan, lantas
dengan cepat ia mengalihkan.

HEY ROSE | 221


“Lo jadi beresin gudang nggak?”
Mengingat Iren mengajak Zemira untuk menemaninya
membersihkan gudang. Namun, melihat kondisi Zemira saat ini, ia
menatap lawannya beberapa detik.
“Lo beneran udah enakan, Ze?” Tanya Iren tak yakin. “Ya ayo
aja kalo lo udah enakan.”
Zemira mengangguk dan beranjak sebagai jawaban.
Overthinking. Sepertinya sudah menjadi makanan Zemira
sehari-hari hingga kini ia dapat berpikir bahwa Iren adalah darah
daging Rose. Dan jika dihubungkan lagi dengan Tio yang mulai
dekat dengan Iren, bisa jadi kunci dari semua kejadian ada pada
keluarga sahabatnya itu.
Antara yakin dan tidak, mereka berdua membuka rantai
gudang. Tampak sangat berdebu, seperti tak pernah dimasuki oleh
siapa pun. Dan benar saja, Iren pun baru pertama kali ini masuk ke
gudang rumahnya sendiri. Bangunan yang letaknya di belakang
rumah, dekat dengan pohon yang umurnya sudah ratusan tahun,
katanya.
Kriettt...
Suara pintu kayu yang mulai rapuh menggema di ruangan.
Melangkahkan kaki masuk, di dalam cukup rapi dan tidak
berantakan sama sekali. Padahal niat Iren adalah untuk
membersihkan gudang yang tak pernah dibuka dan terjamah ini.
Sekelilingnya tertata dengan baik, hanya saja banyak barang yang
sengaja ditutupi kain putih untuk menjaganya dari debu dan
kotoran. Banyak sarang laba-laba yang membuat Zemira bergidik
sedari tadi. Bukan karena takut dengan laba-laba, melainkan
ruangan kosong dengan banyak sarang laba-laba menambah kesan
berhantunya seperti yang ada di film-film horror yang biasa Zemira
tonton bersama sang adik.
Dengan menutupi hidung, Iren dan Zemira membuka satu
per satu kain putihnya.

HEY ROSE | 222


“AAAA!!!” teriak Zemira kala ia membuka kain putih dan
menampakkan pantulannya sendiri di cermin besar di depannya.
“Anjing, bisa-bisanya gue kaget sama diri gue sendiri!”
Tak kalah, Iren pun ikut terjingkat karena teriakan Zemira.
“Anjir, Ze, lo ngagetin gue sumpah,” protes Iren sembari mengelus
dadanya.
Beberapa barang antik berjajar di sana, mulai dari tumpukan
buku tebal, beberapa jam tangan, ada pula jam pasir, hingga Iren
menemukan satu kotak besi dengan ukiran bunga mawar.
“Ze, lihat deh!” Panggil Iren melambai saat menemukan kotak
itu.
“Apa ....” Lagi, Zemira kembali dikejutkan dengan fakta bahwa
kotak besi yang Iren tunjukkan itu mirip dengan kepunyaannya.
Ralat, kepunyaan Tio yang diberikan kepadanya melalui Maren. Ia
hanya terdiam.
“Ini bukanya gimana ya? Kuncinya ... lo nemu kunci nggak Ze
di meja sana?”
Zemira masih melamun tak percaya. Ia masih terkejut
dengan segala asumsi tentang sahabatnya yang akan ia benarkan
jika benar bahwa Iren adalah anak dari Rose. Perempuan yang
entah asalnya dari mana, yang entah bagaimana kehidupannya
hingga merenggut banyak nyawa termasuk nyawa kekasihnya.
“Ze? Halo??” Iren melayangkan tangannya di depan wajah
Zemira bergerak ke kanan dan ke kiri. “Jangan ngelamun lo
kesambet entar!”
“I-iya kenapa kenapa?”
“Ada nemu kunci nggak? Ini dipakein gembok. Minta tolong
deh liatin di meja deket cermin itu kayaknya banyak barang kecil-
kecil di sana.”
Menuruti perintah Iren, Zemira mencari kunci untuk
membuka kotak itu. Banyak frame yang sepertinya sengaja
ditidurkan agar fotonya tak terpampang jelas. Karena rasa
penasaran yang semakin menjadi juga, Zemira membuka frame itu
dan menegakkannya di meja.

HEY ROSE | 223


Unholy Trinity.
Kedua matanya melotot, jantungnya berdegup semakin
kencang karena membaca tulisan yang ada di bawah foto yang
terpampang itu. Hampir saja Zemira berteriak lagi saking
terkejutnya. Ia hanya membungkam mulutnya hingga menaruh
frame itu kasar. Beberapa foto menyeramkan tercetak di kertas
putih dengan frame kayu.
“Kenapa Ze?” Iren menoleh saat mendengar suara benda
terlempar.
“Sorry, sorry, Ren, nggak sengaja gue banting.”
Iren menghampiri Zemira yang wajahnya berubah pucat.
Menjajari sahabatnya, dengan menegakkan frame-frame itu,
dirinya mengangguk paham.
“Mama gue.”
“Hah?”
“Ini foto Mama gue, Ze....”
Dalam sehari, Zemira sudah dikejutkan dengan banyak fakta
dan sesuatu yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Dan
konyolnya, jangan bayangkan mereka berdua pergi ke gudang pada
pagi atau siang hari. Nyatanya sudah hampir petang mereka masih
berada di dalam gudang.
“To be honest, Mama gue meninggal karena dibunuh.”
“Dibunuh? Maksud lo?” Zemira mengernyit.
“Mama gue terbunuh waktu mass extermination of satanic
cults.”
“Apa, Ren?! Are you kidding me??” Tanya Zemira untuk
meyakinkan apa yang ia dengar dan meyakinkan bahwa Iren tak
sedang mengatakan sebuah lelucon.
“Gue nggak lagi bercanda, Zemira.”
“Pemusnahan massal??? Like ....”
“Kalo lo inget, waktu kita masih SMP ada berita dari Inggris,
ada pemusnahan massal sekte yang dianggap mengganggu
masyarakat. Dan Mama ....” Iren terdiam sesaat. Mungkin ia bingung
bagaimana harus menceritakan kepada Zemira yang saat ini tengah

HEY ROSE | 224


mengarahkan seluruh atensinya pada Iren. Kejutan apalagi yang
akan diterima Zemira setelah ini?
“Mama adalah salah satu orang paling berpengaruh. Tragis
karena jasad mama nggak dikuburin dengan baik, mereka malah
ngurung jiwanya di mana juga gue nggak tau.” Suara Iren terdengar
frustasi.
“Makam mama yang biasa gue kunjungi itu makam buatan
gue dan adik gue, Ze. Dulu gue ngajak dia buat bikin dari tumpukan
batu. Seenggaknya dia tau kalo mamanya udah meninggal dan biar
dia ada tempat untuk jenguk mama dan doain mama. Tapi,
besoknya dia malah ikut papa gue pergi.”
“Gue dianggep sebagai pewarisnya mama.”
Penjelasan dari Iren membuat Zemira menggeleng tak
percaya.
“Kaget ya? Hehe.”
Masih sempatnya dia cengengesan di atas keterkejutan
Zemira saat ini. “Parah sih anjir gue speechless, Ren, demi dah! Gue
beneran nggak bisa komentar apa pun saat ini.”
“Terus gue seneng waktu Tio ngasih kalung mama.”
“Tunggu ... Tio—Ren, Mama lo namanya siapa?” Tanya
Zemira kebingungan.
Bingung. Jika soal Tio, dia akan bisa menemukan semua
faktanya jika melihat diary daily life kekasihnya yang sudah disusun
oleh teman-teman Randika. Tapi, soal Mama Iren, hanya ini waktu
yang tepat untuk menanyakan.
“Lo kan tau, Ze? Irena.”
“Nama panjangnya?”
“Irena Jeyrose. Nama gue turun dari mama, nama adik gue
juga,” jelasnya.
“Nama adik lo?”
“Na— Ze!!” Iren terjingkat kaget kala suara petir
menggelegar. “Cepet-cepet bawa kotaknya ke dalem rumah! Udah
besok aja kita beres-beres lagi, udah jam tujuh juga.”

HEY ROSE | 225


Mereka berdua berlarian membawa kotak juga beberapa
barang peninggalan Mama Iren untuk dibawanya masuk ke dalam
rumah.
Jeyrose? Rose? Kalo bener dia itu Mama lo....
Berarti Mama lo yang ngebunuh Tio, Maren, juga Jefri....
Mama lo ada di sekitar lo, Ren....
Lo ... termasuk dari bagian Mama lo nggak?
Then, are you devil or angel?
Banyak pertanyaan yang terus berputar di otak Zemira.
Tentang sahabatnya yang banyak hal ternyata tidak ia ketahui.

“Zemira udah tau mama.” Kalimat dari Iren rupanya


membuat seseorang yang ada di seberang sana terkejut. “Dia udah
tau latar belakang keluarga kita. Dia udah tau fakta kalo gue punya
adik.”
“Fakta kalo gue adik Kak Iren?” suaranya terdengar getir.
Iren mengangguk meski lawannya tak dapat melihat
reaksinya. “Tapi, gue belum sempet ngasih tau kalo lo itu adik gue.”
“Kak, jangan!” ujarnya menyela.
“Apa maksud lo jangan?!” Kini Iren meninggikan suaranya. Ia
tampak kesal dengan jawaban adiknya yang tak membuatnya puas.
“Jangan bilang dulu kalo gue adik lo. Gue takut Kak Ze
mandang gue beda.”
Lagi. Rahang Iren mengeras mendengar alasannya. “Lo nggak
mau gue akuin? Peduli amat lo sama cara pandang Zemira? Gue
kakak lo, Zemira sahabat gue, let her know about us!”
“Gue ngerasa punya kakak kalo lagi bareng sama Kak Ze. Iya
oke, Kak, tapi jangan sekarang kasih tau ke Kak Ze. Kasihan dia
masih stres karena cowoknya juga.”
Iren mengernyit tak mengerti. Apakah sahabatnya itu sedang
bertikai dengan Tio hingga sang adik tau jika Zemira tengah merasa
penat dan stres karena kekasihnya itu.

HEY ROSE | 226


“Tio maksud lo? Mereka udah ketemu tadi dan fine-fine aja
tuh?”
“Kak gue bakal cerita ini nanti, tapi pacarnya Kak Ze udah
meninggal. Kak sorry gue harus tutup telfonnya karena mau lanjutin
diklat. Gue nitip Kak Ze sama Kakak ya?”
Panggilan telpon terputus. Bahkan adiknya itu malah
mengkhawatirkan Zemira, dan bukan kakaknya sendiri. Iren
merasa hatinya tergores karena itu. Adiknya bahkan tak
menanyakan apa pun tentang dirinya. Iren tertawa kecut.
“Yang lo pikirin cuma Zemira aja?”
Sebenarnya meski adiknya bertanya tentang hal yang
menyangkut tentang Iren pun, gadis itu belum tentu akan
menjawabnya dengan baik. Karena rasa benci yang masih sering
menyelimuti diri, ia jadi susah untuk memaafkan sang adik. Kini ia
malah sedikit iri dan membenci Zemira karena sahabatnya yang
berhasil mengambil atensi adik kandungnya.

Hari kedua diklat.


Langit merubah warnanya menjadi hitam pekat dengan
ramainya suara serangga hutan yang bersahutan. Tengah malam,
waktu yang selalu dikaitkan dengan sesuatu yang berbau mistis,
horor, dan hal menakutkan lainnya. Dimana tengah malam orang-
orang percaya bahwa makhluk-makhluk yang tak dapat kita lihat
mulai mendatangi manusia yang masih terjaga.
“Dika? Nggak takut lo?” tanya Haikal dengan nada meledek.
“Nggak.”
“Idih idih entar lagi kalo lagunya diputer tutup kuping dah
tuh.”
Ya. Akhirnya mereka memutuskan untuk tetap memutar
lagu-lagu yang dapat membuat bulu kuduk merinding. Entah hanya
instrumen horor yang biasa terputar sebagai backsound film horor,

HEY ROSE | 227


atau musik klasik 70 an yang nadanya melambai-lambai membuat
sekujur tubuh merinding.
“Kata Kak Ze nggak boleh dengerin lagunya! Harus tutup
kuping!” Dengkus Randika.
Dengan sabar, Naja hanya menyimak pertikaian Randika dan
Haikal. Mereka bertiga sudah bersiap sedia di pos tujuh, dengan
speaker kecil berada di tangan Haikal. Menunggu kelompok
selanjutnya sampai di pos. Sejak mereka sampai, kedua bocah itu
memang tak bisa diam. Selalu adu mulut dan berebut seorang
Zemira. Besar kepala, semua teman-teman Randika menginginkan
hak sebagai adik dari Zemira. Terlebih setelah Zemira mengatakan
bahwa teman-teman Randika adalah adiknya juga.
Tampaknya Naja mulai muak karena Randika terus saja
menyebut kakaknya dan membanggakannya. Seakan Randika
adalah adik paling beruntung di seluruh dunia karena memiliki
kakak seperti Zemira.
“Lo berdua bisa diem nggak sih?! Bosen gue dengerin nama
Kak Ze disebut mulu!” Naja dengan nada sedikit menyentak.
Randika dan Haikal yang tengah beradu mulut seketika diam
dan saling melepar pandang.
“Apaan sih lo baperan amat anjing. Bilang be lu iri karena
Randika punya kakak kayak Kak Ze!” Celetuk Haikal yang membuat
Naja semakin tak bisa mengendalikan emosinya.
“Iya gue iri terus kenapa kalo gue iri?! Ngerugiin lo nggak?!”
jawab Naja sembari beranjak untuk berjalan menjauh dari pos.
“Yee PMS apa lu? Kayak cewek bener sih!” seru Haikal
menatap perginya Naja.
“Kal! Sstt diem itu mulut asal nyeplos wae!”
Randika menonjok lengan Haikal yang kemudian menyusul
langkah Naja untuk meminta maaf atas ketidaknyamanannya.
Lelaki yang terluka hatinya itu tengah bersandar pada pohon,
dengan kedua tangan yang sengaja ia masukkan ke dalam saku
jaket, Naja tampak murung. Pandangannya menunduk mem-

HEY ROSE | 228


perhatikan kakinya yang ia gerak-gerakkan di atas tanah yang
penuh dedaunan kering.
“Na, lo kenapa? Sorry deh kalo gue bikin lo kesinggung. Nggak
usah dengerin Haikal dah. Itu mulut nggak pernah baca kitab suci
jadi asal nyeplos aja. Udah lama kagak di-service juga jadi sekate-
kate omongannya.”
Naja hanya diam mendengarkan lawannya selesai berbicara.
“Balik yuk? Di sini gelap, Na,” ajak Randika tak mau
meninggalkan temannya sendiri di sana.
Naja mendongakkan kepalanya, berjalan ke depan semakin
memangkas jarak mereka. Satu tangan kiri Naja tiba-tiba menepuk
bahu Randika dan menggenggamnya sedikit erat, hingga sang
empunya mengernyit kebingungan. Apakah ada kalimat yang salah
sehingga Naja hanya melempar pandang tanpa mengatakan
apapun? Randika tak mengerti.
“Yuk.” Seulas senyum terbit begitu saja—membalikkan
tubuh Randika sembari berjalan merangkulnya.
Rupanya kala Naja dan Randika kembali, kelompok
selanjutnya sudah sampai di depan pos mereka, dengan Jendra
sebagai pemandunya. Hampir setengah jam mereka melakukan
kegiatan di pos tujuh. Mulai dari mendengarkan lagu Lingsir Wengi,
memarahi hingga menghukum habis-habisan juniornya, dan
hampir saja Naja melayangkan pukulan kepada salah satu
juniornya. Ia terlalu mudah tersulut emosi hari ini, teman-
temannya pun bingung, karena tak biasanya Naja bersikap seperti
ini.
“Lo, turun aja, Na. Biar gue yang di sini,” titah Jendra. “Di pos
gue ringan kegiatannya, cuma tebak-tebakan doang nggak bikin lo
emosi kayak tadi.”
Naja hanya melirik Jendra dan yang lain dengan emosi yang
mulai mereda, kemudian menuruti permintaan Jendra. Ia pergi dari
pos tujuh, berjalan sendiri menuju pos enam.
“Kenapa sih?” tanya Jendra pada Randika dan Haikal.
“PMS,” jawab Haikal singkat sedikit sewot.

HEY ROSE | 229


“Mood-nya lagi buruk kali, Jen,” ujar Randika.
“Sumpah PMS kata gue mah. Ngapain coba muak dengerin
nama Kak Ze? Tiba-tiba ngamuk nggak jelas dih najis.”
“Kal, lu beneran nggak pernah baca kitab suci apa ya? Mulut
lo sekata-kata.” Randika menepuk lengan Haikal gemas. “Mulut di-
filter dulu kalo mau ngomong!”
“Emang kenapa sama Kak Ze?” Tanya Jendra lagi.
“Kagak tau anjir tanya aja sono sama Naja si manusia nggak
jelas sepanjang masa. Dia tuh kalo mood lagi bagus udah ketawa-
ketawa kek orang gila, kalo mode PMS gini emosi nggak jelas!”
Jawab Haikal yang langsung berdiri meregangkan tubuhnya. “Gue
mau cari angin alias nyebat, bye.”
Kesempatan bagi Haikal yang masih duduk di bangku SMK,
untuk menikmati aroma tembakau yang dihasilkan kala ia
menyulut batang cerutu. Sepeninggalan Haikal, Randika dan Jendra
hanya saling diam, tak ada obrolan santai. Mereka berdua sangat
mengantuk, terlebih Randika yang bisa dibilang hampir tidak
pernah begadang sudah beberapa kali menguap. Matanya sayu-
sayu tertiup angin malam yang semakin membuat kelopak
matanya ingin menutup. Kepalanya pun beberapa kali terjatuh di
bahu Jendra.
“K-kak Tio...,” ujar Jendra lirih.
“Hah? Apa Jen?” Kesadaran Randika hanya 50 persen, tak
mendengar jelas apa yang baru saja keluar dari mulut Jendra.
“Enggak enggak.” Jendra menggeleng. Namun, bola matanya
tertuju pada bayangan yang baru saja ia tangkap di balik
pepohonan.
Jika yang Jendra lihat itu benar, Tio bersama dengan sosok
perempuan yang selalu ada bersamanya itu berjalan ke arah Haikal
pergi. Dengan harap-harap cemas, semoga Haikal tidak bertemu
dengan Tio. Bukan karena cemas temannya itu terluka, tapi
kecemasan itu timbul karena alasan lain.

HEY ROSE | 230


Here in the forest, dark and deep, I offer you, eternal sleep.

Hari terakhir diklat. Penentuan para senior untuk merekrut


anggota baru mereka. Mengumumkan siapa saja yang lolos dan
memberikan kartu identitas para juniornya, juga menutup kegiatan
diklat dengan bersuka ria. Harusnya. Tapi pada kenyataannya,
pukul 10 pagi mereka sudah dibuat ribut dengan adanya penemuan
tubuh manusia yang mengapung dengan luka di bagian dada yang
sudah membeku. Proses evakuasi di lokasi juga terhambat karena
hujan deras dan petir yang bersahutan. Kini masing-masing dari
mereka hanya mampu berdiam diri di tenda sembari berdoa
supaya hujan segera mereda.
Randika dan kelima temannya duduk merapat dan saling
melempar pandangan. Mereka tak habis pikir dengan sesekali
curiga satu sama lain. Dua peserta yang ditemukan meninggal itu
dari kelompok terakhir yang hanya mampu menyelesaikan
kegiatannya di pos tujuh saja. Mereka dinyatakan menghilang saat
menuju ke pos delapan.
Bila diingat, semalam yang menjadi pemandu menuju pos
berikutnya adalah Jendra dan Naja. Karena Naja terpaksa harus
kembali ke pos semula dengan alasan profesionalitas, akhirnya ia
kembali ke pos tujuh dengan membersamai regu terakhir. Dan
mengingat Naja sedang tak baik dengan Haikal, maka ia
menawarkan diri untuk mengantar regu selanjutnya ke pos
delapan bersama Jendra. Harusnya mereka berdua tau apa yang
terjadi jika memang mereka kehilangan dua anggota di perjalanan.
Tapi baik Jendra maupun Naja tak mengetahui bila dua peserta itu
hilang.
“Jen, Na, lo berdua mending jujur deh,” tukas Haikal.
“Jujur sama kita aja apa susahnya?” Imbuh Cakra. “Kayak
nggak mungkin banget kalo lo berdua nggak tau, padahal lo pada
yang mandu.”
“Na, kalo diinget lagi, semalem emosi lo nggak kontrol. Gue
inget kalo lo marahin junior habis-habisan, kayak bukan lo banget.

HEY ROSE | 231


Nggak mungkin kan kalo lo—” Tuduh Aji yang langsung dilirik oleh
Naja.
“Lo nuduh gue?” Naja bersuara. “Nuduh gue yang ngebunuh
mereka berdua? Gue nggak segila itu juga anjing!”
Wajah Naja berubah lagi. Emosinya memuncak, rasanya
darah berdesir naik ke pusat hingga kepalanya mendidih kala
mereka menyudutkan dan mendesaknya. Hanya Randika saja yang
bisa menaruh kepercayaan kepada Jendra juga Naja. Tak mungkin
bila kedua temannya akan tega melakukan hal seperti itu, pikirnya.
Kalau pun dua orang itu hilang dan meninggal, itu murni
kecelakaan yang tak bisa dihindari.
“Nggak habis pikir sih kenapa kalian malah nyudutin gue
sama Naja. Apalagi lo Haikal, Cakra, lo berdua yang paling nyudutin
kita. Boleh nggak sih gue berbalik sangka curiga sama lo berdua?”
Jendra yang sedari tadi diam menerima, kini ikut membela diri tak
terima. “Kan waktu itu lo bilang mau nyebat tapi lama banget
bahkan sampai regu terakhir lo nggak muncul. Apa lo ngerencanain
itu?”
“Udah sih? Lo semua kenapa malah saling nuduh satu sama
lain? Itu murni kecelakaan!” Tegas Randika yang berusaha melerai
teman-temannya. Menatap mereka satu per satu.
“Haha murni kecelakaan? Yakin? Bisa lo jelasin luka yang
sama di dada mereka? Murni kecelakaan atau unsur kesengajaan?”
Tukas Haikal yang mampu membuat seisi tenda terdiam.
Mereka semua diam bukan berarti menyetujui pernyataan
Haikal. Tapi, mereka lebih memilih diam untuk meredam emosi
dan tak ingin acara saling tuduh ini semakin panjang. Terutama
Naja yang mati-matian berusaha menahan emosinya, meski ia ingin
sekali memukul temannya itu atas tuduhan yang tidak benar.
Kelewat kesal, Naja yang tangannya sudah mengepal, dengan
rahang mengeras, hingga kulit tubuhnya memanas, merasa tak
bersalah itu beranjak pergi keluar dari tenda. Meski di luar sedang
hujan dengan derasnya, ia tetap memaksakan diri untuk keluar dari
pada ia harus berdiam diri di dalam untuk mendengar tuduhan

HEY ROSE | 232


yang tak mendasar itu. Randika yang berusaha menahan lengan
lawannya pun kalah karena Naja terlalu kuat. Lantas Jendra tanpa
disuruh ikut menyusul temannya yang sudah basah kuyup menjauh
dari tenda. Aji yang tak enak hati pada kedua temannya ikut
menyusul dengan membawakan payung yang ia terima dari salah
satu senior.
Kini hanya tersisa Randika, Haikal, dan Cakra yang bertahan
di tenda dengan Randika yang hanya mengerjap-ngerjapkan mata
menatap kepergian mereka bertiga.
“Nggak ikut ngejar juga lo?” tanya Cakra pada Randika.
Randika menggeleng. Ia tidak ikut mengerjar Naja karena ia
tau bahwa temannya itu sedang kesal, meski ditanya pun ia tidak
akan mau menjawab dan hanya akan melemparkan seulas senyum
yang menyakitkan. Seperti malam itu.
“Udah lama gue curiga sama mereka berdua.”
“Curiga apaan?” Mendengar kalimat dari Cakra, membuat
rasa penasaran Randika terpancing.
“Ya curiga. Aneh aja.”
“Gue juga.” Imbuh Haikal. “Apalagi amanya Jendra kan—”
“Apa? Kenapa?” desak Randika.
Seperti sedang menyembunyikan sesuatu, Haikal seketika
terdiam dan berusaha mengalihkan pembicaraan. Apa yang
mereka berdua tau sedang Randika tidak?
“Dik, soal Kak Ze ... selama kita tiga hari di sini, lo yakin dia
nggak balik maksain diri buat masuk dunia lain?”
“Itu yang gue khawatirin, makanya gue nggak bisa lepas dari
hp dari awal diklat. Gue takut,” jawab Randika dengan melepaskan
wajah murung. “Kalo aja gue bisa masuk ke sana juga ... tapi apa gue
berani? Gue penakut gini.”
Randika berdecak sembari memeluk erat kedua lututnya
akibat angin berhembus membuatnya kedinginan, dan me-
nyandarkan dagu pada lutut mungilnya.
“Gue temenin mau nggak?” Tawar Cakra tiba-tiba.
“Bertiga deh sama gue juga,” tambah Haikal.

HEY ROSE | 233


Terhenyak. Tawaran dari kedua temannya itu mampu
membuat Randika terharu. Bagaimana bisa ia memiliki teman yang
mau membantu dan ikut campur dalam masalahnya, bahkan bisa
saja membahayakan diri mereka sendiri.
“Terus soal mecahin cerminnya? Dulu Kak Ze ke sana harus
bawa cermin itu kan.”
“Nggak perlu bawa cermin juga bisa kali, Dik. Kak Maren ke
sana bawa cermin emang?” Sahut Haikal meyakinkan. “Malem ini
mau nggak?”
Randika mendelik kaget. “Malem ini banget?!”
Keputusan ini terlalu mendadak bagi Randika yang tak tau
menahu tentang ini.
“Besok pagi kita balik kan, ya bisa tuh balik-balik langsung
kasih surprise buat Kak Ze.”
“Harus diskusi dulu nggak sih sama yang lain soalnya kan—”
“Nggak usah Dik, lo nggak curiga apa sama Jendra Naja? Udah
kita bertiga aja. Ya nggak, Kra?”
Cakra yang sedari tadi menyimak, saat ditanya Haikal hanya
menganggukkan kepala tanpa sedikit pun bicara. Ia menyetujui
dengan apa pun keputusan mereka.
“Dimana? Bukannya kita butuh bathub?” Tanya Randika lagi.
“Terus cairan merah yang nggak tau itu apa ... emang bakal
langsung bisa masuk? Kan nggak sembarang orang bisa ke sana?”
Rentetan pertanyaan dari Randika hanya dijawab singkat
oleh Haikal. “Coba aja.” Dan satu kalimat itu mampu membuat adik
dari Zemira itu yakin. Bagaimana bisa ia lebih dulu berpikir semua
akan gagal bila dirinya sendiri belum berusaha untuk mencoba. Ia
akan mencoba sebisanya untuk membantu Zemira.
Kalo gue berhasil itu bonus, seenggaknya gue udah berusaha
semampu gue, batin Randika.
“Ya udah ayo.” Setujunya.

HEY ROSE | 234


“Bersama bintang. Bersama bulan. Bersama langit malam.
Cukup dengan melihat alam, kamu merasakan kedamaian.” Suara
lembut Ken, yang tengah memetik kalimat indah dari Rohmatikal
Maskur seakan menggema di hutan. Lembut nan lantang, bisa jadi
penghuni hutan dapat mendengarnya.
Semua orang duduk mengelilingi api unggun. Evakuasi
korban selesai dilakukan sore hari dan langsung dipulangkan.
Mereka menutup kegiatan diklat tahunan dengan khidmat. Berdoa
agar kebersamaan mereka dan tali persaudaraan mereka akan
tetap menjadi abadi. Setelah acara penutupan, junior maupun
senior memiliki kegiatan bebas, yang artinya mereka sudah boleh
melakukan apa yang mereka mau asal tak melewati batasan.
Berbeda dari biasanya, Ghost Hunter sedang tidak baik-baik
saja. Cakra, Haikal, dan Randika memisah diri dari sana. Mereka
bertiga berjalan menuju ke tengah hutan untuk turun ke sungai
hanya dengan berbekal tiga buah senter sebagai penerang jalan.
Namun langkah mereka terhenti kala Jendra berdiri tiba-tiba untuk
menghadang Randika.
“Lo mau ke mana?” Tanya Jendra sembari tangan kanannya
menggenggam bahu Randika.
“Gue?” Randika menatap Cakra dan Haikal bergantian. “Jalan-
jalan, Jen,” jawabnya ketika melihat kedua temannya menggeleng
pelan di balik punggung Jendra.
“Lo nggak takut? Di sana banyak—”
“Udah sih Jen sampai kapan lo nakut-nakutin Dika terus?”
Haikal menarik kasar lengan Jendra hingga lawannya tersentak. “Di
semua tempat juga pasti banyak penunggunya, tinggal Dika aja mau
ngelawan rasa takutnya apa enggak.”
“Jangan karena lo bisa ngelihat, lo jadi terus nakut-nakutin
temen lo ini.”
“Kenapa nada bicara lo nyolot banget gue rasa-rasa, Kal?!”
Jendra mendorong bahu Haikal karena lawannya bicara dengan
nada sedikit meninggi. “Gue nggak ada sedikit pun niat buat nakut-
nakutin Randika! Gue cuma khawatir, anjing!” Saking emosinya,

HEY ROSE | 235


Jendra menarik kerah baju temannya itu hingga Haikal sedikit
terjinjit.
“Lo berdua kenapa malah gini sih? Udah-udah.” Randika
berusaha melerai.
Haikal tersenyum miring. “Lo khawatir, atau takut mangsa lo
gue ambil?”
“Lo ngomong apa anjing!” Dengan nada yang kian meninggi,
emosi Jendra semakin meluap.
Buagghh!!
Satu pukulan berhasil diloloskan Jendra. Tepat mengenai
sasaran, berhasil membuat Haikal tersungkur, sudut bibirnya
sobek mengeluarkan sedikit cairan merah yang langsung diseka
oleh ibu jari Haikal.
“Jendra! Haikal!” Suara Randika memekik telinga. Namun
sayang, seperti tertutup oleh tabir, keduanya tak ada yang mau
mendengarkan.
Jendra dan Haikal baku hantam. Saling melempar pukulan
satu sama lain. Haikal yang menendang perut Jendra ketika
menindihnya, dibalas lagi dengan dua hingga tiga pukulan.
“Kra, lerai mereka anjir! Lo diem aja?!”
Cakra bersandar pada pohon, dan hanya menyaksikan
keduanya baku hantam. Tak berniat untuk melerai atau ikut
campur. Dengan kedua tangannya terlipat di dada, Cakra masih
menyaksikan bagaimana keduanya mulai terlihat babak belur dan
meneteskan darah segar di area wajah dan pelipis.
Randika tak bisa diam saja melihat kedua temannya seperti
itu, mau tidak mau ia menarik lengan Jendra yang tengah
menghajar Haikal habis-habisan. Menarik dengan susah payah
karena Jendra yang memiliki tubuh lebih atletis dibanding Randika.
“Jen! Sumpah lo kenapa sih? Ini temen lo sendiri anjir! Cuma
karena lo khawatir ke gue, bukan berarti lo bisa nyakitin temen lo
sendiri kayak gini!”

HEY ROSE | 236


“Bener kata Haikal! Gue tau lo bisa ngelihat dan pasti banyak
banget yang nunggu tempat ini. Tapi, tinggal guenya aja berani
ngelawan rasa takut gue apa enggak.”
“Terserah gue, mau gue jalan-jalan sendiri ke tengah hutan
juga terserah gue. Khawatir lo nggak ngotak! Seakan gue terus
butuh lindungan lo. Gue pengen ngehadapi rasa takut gue, Jen....”
“Dan kalo lo lupa gue ini cowok! Gue nggak selemah yang lo
pikir!”
Nafas Jendra terengah-engah. Sesekali ia usap peluh yang
menetes membasahi keningnya, juga menyeka beberapa cairan
merah yang mengalir meliuk bersamaan dengan keringatnya.
Lantas mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Randika, ia
mengangguk paham. Jendra menepuk bahu kanan Randika,
sebelum akhirnya pergi dari sana dengan langkah gontai.
Sorry Kak Ze, gue nggak bisa jagain adik lo.
Randika dan Cakra membantu Haikal yang masih terlentang
di atas tanah. Wajahnya penuh dengan memar akibat perbuatan
Jendra. Namun itu tak menghalangi langkah mereka bertiga untuk
berjalan masuk ke dalam hutan hingga turun ke dekat sungai.
Adik Zemira itu masih memikirkan perselisihan di antara
teman-temannya. Mengapa bisa? Mengapa bisa mereka menjadi
seliar ini dan tak bisa mengontrol masing-masing emosinya?
Bahkan mereka yang tak pernah saling pukul selama berteman pun
seketika bisa berubah seperti itu. Randika terus berpikir apa
penyebabnya.
Sampai di tepi sungai, Haikal berjongkok untuk mengambil
air sungai dengan kedua tangannya, menyeka wajah dan
membersihkan sisa darah yang mulai kering karena terpaan angin.
Cakra juga Randika pun ikut berjongkok membantu temannya.
Tapi, seketika atensi Randika teralihkan saat ia menyadari ada
seseorang di seberang sana.
Sosok perempuan yang sedang berdiri menghadapnya.
Wajahnya tak terlihat karena sosok itu membelakangi cahaya
rembulan. Awalnya Randika menganggap perempuan itu adalah

HEY ROSE | 237


manusia, namun ketika pandangannya beralih menelisik ke bawah,
rasa takutnya muncul. Sosok itu melayang, tak menyentuh tanah—
atau itu hanya prasangkanya saja?
“K-Kal....” Ia lingkarkan tangannya di lengan Haikal, sembari
mendekatkan dirinya.
“Di seberang....” suara Randika semakin bergetar.
Menyadari itu, Cakra menoleh dan tersenyum miring. “Lo
bisa ngeliat? Sejak kapan?”
Randika kebingungan dengan pertanyaannya. Ia hanya terus
mengeratkan diri. Hingga pada akhirnya Haikal menarik lengan
tangannya. “Samperin,” titah Haikal.
“Hah?! M-maksud lo?” seru Randika tak mengerti dengan
maksud Haikal yang menyuruhnya untuk menghampiri sosok itu di
seberang.
“Lo bisa lihat dia kan? Samperin,” ulang Haikal.
“Bercanda lo? Dia siapa?”
“She's got a good deal for you,” bisik Cakra tepat di telinga
Randika, dengan senyum yang tak dapat diartikan lagi.
“Gue temenin.” Haikal menarik tangan Randika, meng-
ajaknya berdiri lantas berjalan menyeberangi air sungai.
Tubuh Randika terus bergetar, Haikal dapat merasakannya.
Menyeberang sungai yang Haikal maksud adalah dengan masuk ke
dalam air bukan berjalan di atas jembatan atau yang lain. Randika
terus menolehkan kepalanya pada Cakra yang tersenyum di tepi
sungai. Lelaki itu tak mengerti mengapa dirinya harus
menghampiri sosok itu? Dan mengapa Haikal melepaskan
genggamannya dan menghentikan langkah kala air sungai sudah
mencapai dada Randika. Ingin berjalan berbalik pun Randika tak
bisa karena ketika tubuhnya menyerong rasanya ia akan terseret
arus sungai.
Ia semakin takut karena sosok itu berjalan mendekat. Yang
ada dipikiran Randika saat ini, harusnya ia menurut dengan
perkataan Jendra. Harusnya ia tak memarahi Jendra karena
melarangnya pergi. Dan mengapa Haikal juga Cakra ingkar untuk

HEY ROSE | 238


pergi bersama? Bukankah mereka berdua berjanji untuk
membantu Randika pergi ke alam lain?
Pandangan Randika mulai kabur. Rasanya sesak dan
kehabisan nafas, seakan ada dorongan dalam tubuhnya untuk
melakukan hal yang tidak ia inginkan.
Randika hilang kendali.

Waktu yang tepat untuk overthinking adalah dimana sang


rembulan mulai memancarkan keindahannya. Ditambah suasana
yang sepi dan sunyi seperti ini membuat pikiran Zemira traveling
kemana saja. Tak biasa, ponselnya sepi akan notifikasi. Jam-jam
seperti ini biasanya Randika sudah menghubunginya puluhan kali.
Hanya untuk menanyakan “Kakak baik-baik aja kan?”. Ya, hanya
untuk memastikan sang kakak dalam keadaan baik. Kali ini Zemira
yang lebih dulu mengirim pesan, namun gadis itu harus membuang
nafas kasar karena pesannya belum terkirim. Tandanya pun masih
centang satu, yang kemungkinan ponsel Randika sedang mati.
“Habis kali baterainya ya?” Gumam Zemira.
Gadis itu sudah kembali dari rumah Iren sore tadi. Duduk di
ruang tengah sembari menonton TV tak membuat dirinya tenang.
Pasalnya besok pagi mereka telah usai melaksanakan diklat.
Zemira hanya ingin memastikan apakah ia perlu menjemput
Randika atau adiknya itu akan pulang bersama teman-temannya.
Zemira mengangkat lagi ponselnya untuk menghubungi
Jendra. Bukan via telpon, karena ia tau di jam malam seperti ini
mereka tengah bersantai dan berkumpul, atau sekedar menikmati
waktu terakhir mereka di sana, Zemira tak ingin mengganggunya.
Pesan yang Zemira kirim langsung mendapat balasan cepat dari
Jendra.
Orang tua mereka yang katanya akan berkunjung pun tak
terdengar kabar baiknya lagi. Zemira sudah tak peduli, yang ia
pikirkan kini adalah kabar si bungsu. Yang entah kenapa memiliki

HEY ROSE | 239


pikiran akan melawan rasa takutnya. Tak mengapa jika Zemira
terus direpotkan dengan ketakutan Randika, asalkan adiknya baik-
baik saja.
Zemira mengernyit. Jendra mengatakan bila ia tidak bersama
Randika saat ini. Kedua ibu jari Zemira semakin bergerak cepat.
Mengetik dengan cepat, membalas dengan cepat kala Jendra
berkata bahwa sang adik tengah berjalan-jalan dengan Haikal dan
Cakra.
Seketika langsung saja Zemira menyambungkan panggilan.
“Maksud lo adik gue pergi ke tengah hutan bertiga doang?!”
Baru saja Jendra mengangkat telfon, Zemira sudah meninggikan
suaranya.
“Iya, Kak. Sorry gue udah nyegah tapi dianya tetep pengen ke
sana.”
Sungguh jantung Zemira semakin bergemuruh. “Kok bisa
mereka pergi bertiga doang? Senior-senior lo ngebolehin emang?!
Gimana sih senior lo itu pada lepas tanggung jawab gitu aja?!” Kini
Zemira menyalahkan para seniornya. “Jendra lo tau sendiri kan
kalo adik gue lebih sensitif semenjak kejadian itu?!”
Jendra menghela nafas. “Kak jangan salahin gue. Gue udah
nyegah.” Suaranya masih datar.
“Lo nggak bisa bantu gue?” Suara Zemira bergetar. “Perasaan
gue nggak enak, please bantu gue.”
“Gue nggak bisa, Kak.”
“Kenapa?! Kenapa nggak bisa?!”
“Halo??? Jendra?”
“Jendra?!”
Panggilannya diputus sepihak. Mungkin Jendra pun mulai
lelah menanggapi ego Zemira. Tubuhnya melemas, ia tak bisa
membendung air matanya lagi. Ia menangis, namun masih
mencoba menghapus rasa takutnya yang berlebihan. Semakin ia
mencoba untuk berpikir normal, semakin rasa takutnya itu
menenggelamkan dirinya. Zemira takut bila terjadi sesuatu dengan

HEY ROSE | 240


sang adik. Zemira takut bila mereka bertiga tersesat dan tak
menemukan jalan kembali. Zemira takut.
Sendiri di ruang kamar, Zemira menangis sejadi-jadinya.
Bahkan pandangannya tetap fokus ke luar jendela pada langit
malam dengan bulan purnama sebagai penghiasnya. Sudah satu
bulan, sejak ia menemui bulan purnama. Bukan Zemira namanya
jika ia tak memikirkan hal-hal yang di luar nalarnya. Takut karena
segala kemungkinan buruk dapat terjadi, di malam dimana bulan
purnama tengah bersinar dengan cantiknya.
Lagi, Zemira mencoba menghubungi sang adik untuk yang
kesekian kalinya.
“Please Dika angkat telfon gue please....” Zemira mondar-
mandir di ruang kamarnya, dengan mata yang sembab akibat
tangisannya.
“Dika... adik gue... bisa-bisanya lo kayak gini?!”
Dirinya yang tengah disibukkan dengan ponsel itu tak sadar
bila ada seseorang mengetuk pintu rumahnya. Beberapa kali suara
ketukan pintu terdengar, Zemira lantas pergi untuk membuka. Tak
disangka, Iren ada di depan pintu dan langsung memeluk
sahabatnya yang tengah menangis itu.
“Ze....”
“Ren, Dika nggak ada kabar gue takut.”
Iren mengusap dan menyisir surai hitam Zemira hingga
turun ke punggungnya. Menepuk-nepuk pelan membuat lawannya
menyamankan posisinya.
“Sabar Ze, sebentar lagi ya....”
“Gue takut dia kenapa-kenapa, Ren, sumpah dari tadi gue
telfon juga nggak diangkat. Nggak biasanya adik gue gini.”
“Ze, lo sahabat gue, gue sayang sama lo.” Tiba-tiba saja Iren
mengatakan hal ini di tengah kekhawatirannya. “Tapi, gue lebih
sayang adik gue.”
Tertegun. Zemira mencoba melepaskan rengkuhannya
karena sahabatnya yang tiba-tiba melantur seperti itu, namun Iren
menahannya. “Ren? Maksud lo apa?”

HEY ROSE | 241


“Lo berhasil ngedapetin semua atensi adik gue, Ze.... Dari
awal dia kenal lo, dia mulai bandingin gue sama lo. Gue pikir emang
lo kakak terbaik yang pantes semua orang banggain. Tapi, kenapa
adik gue ngebanggain lo juga?”
Zemira berdesis. “R-Ren sakit....” Rengkuhan Iren yang
semakin erat membuatnya tak nyaman. “Lepas dulu, g-gue mau
ngomong….” Ia bisa saja kehilangan nafas jika Iren terus
mengeratkan pelukannya seperti ini.
“Bener kata lo kalo seharusnya gue nggak jahatin adik gue.
Terlambat, Ze... harusnya lo ngomong kayak gitu sebelum gue mulai
benci sama lo.”
“I-ren....”
“Lo nggak tau rasanya kehilangan orang tua lo sendiri, kan?
Kehilangan mama, kehilangan papa di saat lo belum pulih dari rasa
kehilangan Mama lo.”
“Terus lo kehilangan adik lo juga.”
“Lo nggak tau rasanya, kan?”
“Lo mau ngerasain nggak, Ze?” Iren menyeringai di balik
punggung Zemira.
Mendengar itu Zemira semakin memberontak, ia memukul
pelan punggung sahabatnya itu agar Iren melepaskan dirinya
karena ini seperti bukan sahabatnya. Ini bukan Iren.
“Enggak, enggak, Iren. Gue nggak mau ngerasain, lepasin gue
dulu, gue mau ngomong, please gue mau ngelihat lo.”
Iren tertawa sarkas. Suaranya menggema di seluruh ruangan.
“Sakitnya kayak lo ditusuk-tusuk gini.”
“AAAA!!! Iren.... Ren... sakit....” Zemira sontak menjerit
kesakitan saat ia merasakan punggungnya ditusuk dengan sesuatu
yang tajam. Ia memukuli punggung sahabatnya lagi, kini lebih
keras. Saking kerasnya Zemira memberontak, tubuh sang lawan
pun ikut terhuyung kesana kemari mengikuti gerakan Zemira.
Menjatuhkan beberapa kelopak bunga mawar yang sepertinya ada
dalam saku belakang celana sahabatnya.
Zemira menangkap sesuatu yang jatuh ke lantai.

HEY ROSE | 242


“I-Iren... ini bukan lo... ini bukan sahabat gue— AAAAA!!!”
Kesakitan lagi. Dua kali ia merasa punggungnya ditusuk. “Iren...
sadar, Ren... ini bukan lo.”
Zemira merasakan punggungnya membasah. Benar saja,
cairan merah membasahi bajunya. Iren melukai sahabatnya
dengan kuku jarinya sendiri. Air mata Zemira dari tadi sudah
berlinang disertai peluh yang ikut menetes membasahi bahu
lawannya.
“Ze, ini nggak seberapa....” Iren tersenyum miring. “Lo bakal
tau sakitnya kalo lo kehilangan Randika....”
“Iren??? Apa maksud lo?? Please lepasin gue, ini bukan
sahabat gue. Lo bukan Iren.” Zemira semakin menangis mendengar
kalimat terakhir Iren. “Jangan apa-apain Dika please... lo nggak
boleh ngambil dia dari gue.”
“Iren, kalo lo masih di dalem diri lo... dengerin ini... gue minta
maaf dari lubuk hati gue. Kalo lo benci gue, lo bisa bilang.”
“Lo sahabat gue, Ren. Kenapa lo nggak bilang kalo lo benci
gue? Kenapa lo nggak bilang kalo ternyata adik lo kenal sama gue?
Siapa pun adik lo, gue nggak bakal ngerebut dia dari lo.”
“Dengerin gue! Adik lo nggak ada niat ngebandingin, dia
cuma minta perhatian lo, dia pengen lo cemburu ke dia... dia cuma
pengen deket sama kakaknya dengan cara itu. Ren, nggak dengan
cara ini lo ngebales gue yang nggak tau apa-apa. Gue sayang sama
lo, gue bakal sayang juga sama adik lo, gue nggak bakal nyakitin lo,
adik lo pun....”
Dengan menahan rasa sakit, Zemira mengatakan segala
ucapannya dengan tenang, meski matanya terus membasah. Ia
terus menangis membayangkan bagaimana terlukanya hati Iren
dengan mengkhawatirkan Randika yang entah kabarnya sekarang
bagaimana.
“Iren, lo nggak sendiri, lo selalu punya gue. Gue sayang sama
lo....”
Tubuh Iren melemas, ia terjatuh kehilangan kesadarannya,
bersamaan dengan kalimat terakhir yang diucapkan Zemira.

HEY ROSE | 243


Dengan tubuh yang masih bergetar, Zemira menumpu dirinya
dengan kedua lututnya. Memeluk sahabatnya, lantas mem-
baringkan di pangkuannya. Ia mengguncang pelan tubuh Iren agar
sahabatnya itu bangun dan memberitahu dimana Randika,
bagaimana keadaannya.
“Ren.... bangun....”
“Jangan apa-apain adik gue.”
“Jangan ambil Dika dari gue.” Isaknya.
Lemas. Tubuh Zemira sangat lemas hingga ia tak mampu
untuk sekedar menyeka punggungnya yang masih mengeluarkan
cairan merah. Ia hanya bisa duduk dengan kepala Iren yang ada di
atas pangkuannya. Sembari menaruh kepalanya juga di meja, ia
masih terisak hingga kepalanya terasa pusing. Zemira terlelap,
mungkin karena ia sudah lelah dan karena tubuhnya yang terluka
itu kesadarannya hilang begitu saja dengan posisi seperti itu.
“Ma... Mama....” Iren menyebut mamanya di atas ketidak-
sadarannya.
I woke up to hear knocking on glass. At first, I thought it was
the window until I heard it come from the mirror again.

Tetesan merah milik Zemira masih bercecer di atas lantai


rumahnya. Sahabatnya sudah tak ada lagi di sana entah sejak
kapan. Gadis itu sudah terbangun sejak tadi karena ponselnya yang
terus berbunyi. Tanpa berniat mengganti baju atau mengobati
lukanya, gadis itu langsung menyambar kunci motor yang
tergeletak di atas meja. Mengingat pesan yang ia terima, juga
kepulangan adiknya.
Seseorang mengirim sebuah foto Randika yang tengah
tertidur di atas kasur yang entah milik siapa dan ada dimana.
Nomor yang tidak dikenal itu membuat Zemira berpikir bahwa
sang adik tengah bersama Tio sekarang. Matanya sudah mulai
berkaca-kaca.

HEY ROSE | 244


Selepas subuh, ia pergi menuju sekolah. Dengan keadaan apa
adanya, baju kotor bercak merah di bagian punggung, luka-lukanya
yang belum mengering mengakibatkan empunya meringis
kesakitan kala angin pagi menerpa pori-pori kulitnya, juga mata
sembab dengan sudut yang masih membasah.
Di depan gerbang sekolah, beberapa murid sudah banyak
yang bergerombol di sana, rupanya ia datang cukup terlambat.
Padahal ia sudah mengendarai motornya dengan cepat. Memarkir
motor di sembarang tempat, lantas Zemira pergi menghampiri
kerumunan siswa untuk menanyakan keberadaan adiknya. Namun
baru saja ia akan pergi ke arah mereka, lengannya lebih dulu ditarik
oleh seseorang.
“Kak.”
“Jendra?! Dika mana? Dia sama lo, kan?” Zemira memegang
tangan Jendra yang masih berada di lengannya. “Jen? Jendra
jawab!”
“Temen-temen lo yang lain mana? Kok lo cuma sama Naja?”
“Na? Dika dimana? Dia nungguin gue dimana?” Kini Zemira
menggoyangkan lengan Naja.
Jendra tak sendiri, ia bersama Naja saat ini. Keduanya hanya
saling tukar pandang, bingung dengan apa yang harus dikatakan
kepada seorang perempuan yang tampak kalut. Jendra, juga Naja
merasakan tangan Zemira bergetar, menelusuri tiap jengkal
wajahnya yang pucat, lantas bola matanya terpaku pada bercak
merah di bahu lawannya.
“Kak, obatin dulu luka lo... nggak mungkin kan lo ketemu Dika
kayak gini? Bisa gimana dia mikirnya entar,” ujar Jendra dengan
tenangnya. “Ke UKS dulu, Kak, gue obatin.”
Zemira mengusap kasar wajahnya sembari menggelengkan
kepala. “Dika dimana, Jendra?” Pertanyaannya penuh dengan
penekanan karena saat ini ia tak butuh jawaban apa-apa selain
jawaban atas keberadaan adiknya.
Jendra menghela nafas. “Randika nggak sama gue, Kak, dia
sama Haikal, Cakra. Kan gue udah bilang kemarin.”

HEY ROSE | 245


“Iya terus dimana mereka sekarang? Lagi di dalem sekolah?!”
“Nggak ada tanda kepulangan Haikal, Cakra, Kak,” sahut Naja.
Zemira kebingungan. “M-maksud lo?! Jendra? Lo nggak jadi
bantuin gue?” Melihat lawannya yang hanya diam tak menjawab,
Zemira semakin panik dan tak bisa mengontrol emosinya lagi.
“Jendra jawab jangan diem aja!”
“Kak Ze....”
“Semalem gue berantem sama mereka berdua. Randika pun
nyuruh gue buat nggak ikut campur urusannya. Jadi, gue balik ke
tenda. Gue pikir mereka bertiga bakal balik, tapi ....”
“Tapi apa?” Bentak Zemira.
“Tapi mereka nggak balik, senior yang lain masih ada yang di
sana buat nyari mereka pagi ini—”
Zemira tak menginginkan jawaban itu. Ia membalikkan
tubuh seketika mendengar penjelasan yang akan Jendra katakan.
“Kak?!” Naja menahan.
“Kak Ze mau kemana?!” Teriak Jendra.
Tanpa ingin mendengar penjelasan Jendra lagi, Zemira pergi
dari sana. Tak ada lagi yang bisa ia percayai, semua, teman-teman
Randika pun. Bahkan Jendra, satu-satunya orang yang ingin
dipercaya penuh oleh Zemira, sudah mematahkan keper-
cayaannya.
Di balik helm bogo, ia menangis sejadi-jadinya. Pikirannya
tak bisa lagi fokus ke jalan raya yang mulai penuh kendaraan. Ia
melajukan motornya dengan suasana hati yang tak karuan, dengan
kecepatan yang lebih dari batas wajar. Melesat membelah jalanan
kota yang mulai menunjukkan keramaian. Tujuannya saat ini
adalah pergi ke tempat dimana Randika berada. Hanya satu tempat
yang tiba-tiba melesat dipikirannya.

“Tio!! Keluar lo!!”


“Tio keluar nggak!!”

HEY ROSE | 246


“Tio!”
Itu suara teriakan Zemira yang sudah berada di depan kos.
Sebenarnya ia pun tak sudi memanggil iblis itu dengan nama
kekasihnya, tapi bagaimana ia harus memanggilnya? Sekali lagi ia
mengetuk atau lebih tepatnya menggedor pintu utama. Mendengar
kegaduhan itu munculah salah satu penghuni kos untuk
membukakan pintu. Lelaki itu sempat terkejut dengan seorang
perempuan yang berpenampilan acak-acakan berdiri di depannya.
“Cari siapa sih?” tanyanya.
“Tio! Tio mana suruh keluar.”
“Tio?” Yang ditanya malah melemparkan pertanyaan.
“Maksud lo anak lantai dua? Udah beberapa hari ini dia keluar tapi
nggak keliat balik.”
“Gue—gue mau masuk.” Sembari mengendarkan pandangan.
Tanpa basa-basi Zemira menerobos masuk dan berlarian
menaiki anak tangga untuk sampai ke kamar Tio tanpa peduli
tatapan yang dilemparkan oleh lelaki yang ikut mengekorinya. Ia
menoleh ke bekas kamar Jefri yang masih tertutup tanpa penghuni
di dalamnya. Seketika hatinya tersayat.
“Tio!” Gadis itu membuka daun pintu dengan kedua bola
mata yang terkejut saat ia tak mendapati seseorang yang dicari di
dalam sana.
“Udah gue bilang nggak ada,” ujar lawannya dengan berkacak
pinggang.
“Terus kemana?!”
“Gue nggak tau.”
Zemira menyibakkan rambutnya ke belakang. Menatap
sekitar, frustasi. Beberapa kali berdecak, ia tak tau harus pergi
kemana untuk mencari adiknya.
“Sorry tapi itu luka lo nggak mau diobatin dulu? Nggak mau
ganti baju dulu?”
Pertanyaan dari lelaki itu tak digubris. Gadis itu malah
menatapnya dingin. Sungguh Zemira hanya terus berjalan keluar

HEY ROSE | 247


dan langsung pergi dari sana. Hanya ucapan terima kasih dan maaf
yang Zemira tinggalkan sebelum benar-benar pergi.
“Nggak mungkin....” Entah kenapa pikirannya mendadak
tertuju pada bangunan tua di sekitar pemakaman. Meski tak yakin,
ia langsung saja naik ke atas motor dan melajukannya lagi.
Zemira terus berharap meski setiap harapannya terus
dipatahkan dengan kenyataan.
Randika please lo dimana sekarang?
Rasa takutnya terhadap Tio seakan menghilang. Buktinya ia
berani pergi sendiri untuk menemui sosok itu. Yakin bahwa
adiknya sedang bersamanya. Motornya sudah ia parkirkan, dan
sekarang Zemira berjalan menuju bangunan tua itu. Sungguh
tampak sepi dan tenang karena tak ada satu manusia yang lewat
atau berada mengunjungi makam. Sesekali bulu halus di lengannya
bergidik saat angin kencang berhembus.
Ponsel Zemira terus berbunyi, tapi itu bukan notifikasi dari
Randika, melainkan dari Jendra yang sedari tadi menanyakan
keberadaannya, menghimbau agar Zemira tetap berhati-hati juga
tidak gegabah. Harapan terakhirnya, ia bisa menemui Randika di
dalam sana. Dengan nafasnya yang terengah dan sisa-sisa dari
kekuatannya, Zemira mendorong pintu bangunan itu.
Krieettt....
Bunyi pintu terdengar cukup ngeri, hingga Zemira sontak
menaikkan bahunya.
Sepi. Zemira celingukan.
Tak ada tanda siapa pun ada di sini. Matanya mulai basah,
sembari membuka ponselnya. Ia menghubungi nomor itu. Nomor
asing yang tak tersimpan di ponselnya. Lantas alunan lagu Efek
Rumah Kaca-Putih terdengar nyaring.
Zemira mengernyit. Saat sambungan telfon sengaja ia
matikan, suaranya berhenti, alunan itu tak terdengar. Ia coba
menelfon lagi, dan tebak apa yang terjadi? Alunan itu terdengar
lagi. Dengan cepat gadis itu mencari dari mana suara itu. Dan
mendapati ponsel milik Tio berada di salah satu ruangan dekat

HEY ROSE | 248


pintu belakang. Ponsel yang pasti sengaja ditinggalkan di atas meja
kayu penuh debu.
Benar, itu ponsel Tio. Lockscreen, hingga homescreen pun foto
mereka bertiga, Zemira, Tio dan Randika, yang tengah tersenyum
menampakkan barisan gigi rapi. Itu foto mereka saat berlibur ke
puncak. Gadis itu mengingatnya. Sekilas bayangan atas
kebahagiaan mereka kala itu seperti terputar mengejeknya.
“Tio....”
Zemira terduduk lemas dengan ponsel yang ada di
dekapannya kini. Bening air mata tak henti-hentinya meloloskan
diri. Hingga rasanya Zemira kesulitan bernafas karena tangisnya
yang sesenggukan.
“Dika lo dimana sih?!” Ia mencoba menghubungi Randika
kembali.
“Kenapa hp lo mati gini nggak lucu!”
Sembari menyeka wajahnya dengan kedua lengannya,
atensinya berpindah ke satu cermin di ruangan itu. Mendadak ia
merasa sedang diawasi, Zemira mendekatkan dirinya.
“Tio?”
Saat ia berdiri di depan cermin, sekelebat bukan pantulannya
yang terlihat, melainkan bayangan Tio. Ingatannya terfokus pada
apa yang pernah Zemira lakukan untuk melihat kejadian yang
sudah terjadi. Ia ingat bagaimana cara kerja menjamah alam yang
bukan alamnya. Terbesit lagi ingatan bila ia pun masih memiliki
sebuah misi yang harus segera ia tuntaskan yaitu memecahnya
cermin bermotif sama seperti kepunyaannya. Ia berlarian ke arah
kamar mandi tempat dirinya pertama kali menjamah alam lain,
dengan dua buah ponsel yang masih ia genggam.
“Satu jam disana sama dengan satu hari disini, jadi sebisa
mungkin gue harus cepet.” Gumam Zemira dengan menggigiti kuku
jarinya, sembari menunggu air di bathub penuh.
“Terus cairan merah itu?”
“Blood, right?”

HEY ROSE | 249


Celingukan. Dengan tanpa persiapan gadis itu kebingungan
lantas mendapati pecahan kaca di dekat jendela. Gegabah ia meraih
pecahannya dan mengarahkan pada pergelangan tangan, meski
ragu tetap harus ia lakukan. Ia menggigit bibir bawahnya keras-
keras untuk menahan jikalau ia reflek berteriak. Zemira
menggoreskan pecahan kaca itu ke kulitnya dengan sedikit
mengerang kesakitan. Darah yang keluar begitu banyak hingga
dirinya mengerjapkan matanya berulang kali. Tak dapat disangka
bila dirinya bisa seberani ini.
Kakinya mulai melangkah masuk ke dalam bathub dan pelan-
pelan duduk menenggelamkan tubuhnya. Sakit yang luar biasa ia
rasakan di punggung juga lengan tangannya. Ia tahan sebisanya
meski rasa perih menjalar di sekujur tubuh. Air mulai terlihat
keruh akibat darahnya sendiri. Ini terlihat seperti percobaan
bunuh diri, tapi itulah nyatanya. Zemira menahan dirinya untuk
tidak keluar dari air. Menahan dirinya, meski kakinya menggeliat
ingin keluar. Airnya mulai masuk ke dalam rongga mulut,
memenuhi paru-paru, Zemira merasa sesak, kehabisan oksigen.
Dan tak sadarkan diri.
Seseorang menarik tubuh Zemira hingga ia bisa bernafas
kembali. Lantas membawanya ke dalam rengkuhan yang sudah tak
terasa hangat lagi. Dingin. Zemira merasa dekapannya dingin.
“Ze....”
“Sayang....”
Zemira membuka matanya, mengerjap berulang kali.
Dagunya masih menempel pada bahu seseorang yang entah siapa.
Ia hanya mendengar suara lembut dari lelaki yang sangat tidak
asing baginya.
“Zemira kan aku udah bilang jangan lakuin ini lagi.”
Mendelik kaget. Bola mata Zemira berkaca-kaca mengingat
kalimat yang kala itu Tio sampaikan. Ia langsung menjauhkan
tubuhnya dari rengkuhan laki-laki yang tak tau siapa.
“Ti—” hampir saja Zemira bersuara. Mulutnya terbuka dan
langsung dibungkam oleh tangan kekasihnya.

HEY ROSE | 250


Tio.... Ia malah menangis sejadi-jadinya. Menahan suara
isakannya sendiri sangatlah sulit, apalagi bertemu dengan
seseorang yang selama ini ingin ia temui. Seperti banyak yang ingin
ia ceritakan namun Zemira bisa apa?
Zemira ingin mengadu betapa kehilangannya ia, betapa
terpukulnya ia saat mengetahui bahwa ia lah yang membunuh
lelaki di hadapannya. Dalam arti, jiwanya yang tak bisa lagi
menemuinya di dunia sana.
Tio mengusap lembut surai hitam milik kekasihnya. Mereka
berdua masih sepasang kekasih bukan? Karena tak ada kalimat
perpisahan yang terucap dari keduanya.
“Kamu kenapa kesini lagi?”
“Dika ya?”
Zemira mengangguk lemah, dengan matanya yang tak henti-
hentinya mengeluarkan butiran bening. Hatinya terasa lega meski
sisi lain dari dirinya sudah digerogoti oleh rasa takut dan khawatir.
“Ze, lukamu.... Maaf ya….”
Ngapain minta maaf? Tenang, Zemira berbicara dalam hati.
Ia hanya memasang mimik wajah untuk mendukung apa yang ingin
ia ucapkan.
“Dika hampir jadi seserahan, Ze.”
Zemira tersentak kaget. Ia langsung bangun dan mencoba
berlari keluar. Namun lengannya lebih dulu ditahan sebelum
kakinya melangkah keluar dari ruangan.
“Zemira.” Jangan ulangi kesalahan yang sama.” Pintanya yang
dibalas anggukan. “Aku temenin.”
Keluar dari ruangan itu, Zemira sudah seperti kebal
dipandang oleh banyak makhluk di sana. Ia semakin tak merasa
takut karena Tio bersamanya, bahkan lelaki itu menggenggam
tangannya dan semakin mengeratkan.
Malam dimana Randika dan Jendra hanya berdua menjaga
pos, Jendra tak salah lihat bila sosok Tio ada di sana. Sosok Tio di
dunia Zemira kala itu benar pergi dan menghilang di balik pohon.
“Maaf,” katanya lagi.

HEY ROSE | 251


Zemira mengernyit dan menggelengkan kepalanya, tanda ia
tak setuju mengapa Tio harus minta maaf?
Kala itu ketika Haikal berpamitan untuk merokok, nyatanya
ia malah pergi ke balik pohon besar, menunggu kedatangan
makhluk yang ada di dalam tubuh Tio. Gadis itu terbelalak dan
tersentak kaget saat mengetahui percakapan keduanya.
“Treis.” Yang artinya tiga. Ia berbicara menggunakan bahasa
Yunani. Zemira sedikit paham karena telah membaca dan
menerjemahkan buku dengan abjad Yunani yang ada di dalam
kotak ukiran mawar.
Haikal hanya mengangguk. Kemudian dahinya disentuh oleh
sosok itu, lantas beberapa saat kemudian simbol satanic bak
menyala di dahinya, redup, dan menghilang. Tak percaya, Zemira
hanya membungkam mulutnya dengan meloloskan butiran bening,
lagi. Haikal yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri pun
ternyata memiliki sesuatu yang tak terduga. Sesuatu yang bahkan
Zemira sendiri tak menyadari kala ia pernah melihat satu kelopak
bunga mawar di saku celananya. Sontak kekasihnya menoleh,
lantas mengeratkan genggamannya.
Berikutnya, benar saja dua jasat manusia ditemukan
mengambang di sungai dengan luka tusuk di bagian dada. Itu ulah
Haikal, yang ternyata ada di pihak mereka. Ia yang membunuh, atau
bahkan menyerahkan pada Tuannya. Menyerahkan pada sosok
yang meminta tiga mangsa.
“Ze, dia salah satu budak setianya Rose. Dia bisa berubah jadi
makhluk paling menyeramkan, dia itu jelmaan kalau kamu mau
tau.” Penjelasan Tio membuat Zemira kembali bingung.
“Apa kamu inget, waktu aku—”
Zemira tak ingin diingatkan dengan peristiwa itu, gadis itu
menyela dengan menggeleng kepalanya cepat sembari telunjuknya
ia tempatkan di depan bibirnya.
“Iya waktu itu ada empat sosok, kan? Si Tuan, Rose, dan kedua
budak setianya.”

HEY ROSE | 252


“Salah satu budaknya itu dia. Dia bisa jadi makhluk
menyeramkan. Orang tuanya pun termasuk dalam lingkaran,”
tunjuk Tio pada Haikal.
“Dan satu lagi, dia ....” Jarinya menunjuk ke arah Cakra yang
saat itu tengah mengajak Randika pergi ke dalam hutan. Bersama
dengan Haikal tentunya. Malam dimana Randika dan kedua
temannya itu pergi jalan-jalan dan menghilang. Melihat bagaimana
Jendra yang tengah melarangnya, hingga berakhir baku hantam.
Rasa percayanya pada Jendra kembali muncul.
“Ze... kamu yakin?”
“Aku takut kamu kelepasan lagi.”
“Jangan ya? Sampai sini aja ya?”
Zemira menggeleng cepat, menarik Tio untuk tetap
bersamanya berjalan mengikuti mereka bertiga. Kali ini ia akan
terus diam dan tak ingin mengulangi kesalahan yang sama dengan
mengubah kejadian yang sudah terjadi. Ia tak ingin kehilangan
siapa pun lagi.
Dika bodoh! Kenapa lo ikut mereka sih?
Kenapa lo malah sok sok an mau bantuin gue? Lo pikir lo bisa
ngatasin ini?
Mengusap matanya yang membasah dengan lengannya. Lalu
Zemira memperhatikan gerak-gerik Randika dan kedua temannya.
Demi Tuhan rasanya ia ingin mengutuk Haikal dan Cakra yang
membiarkan Randika berjalan melewati sungai untuk meng-
hampiri sosok yang ada di seberang. Rasanya ia ingin menghujani
tubuh mereka berdua dengan pukulan yang paling menyakitkan
kala tubuh Randika mulai tenggelam dan kehilangan nafas. Demi
Tuhan dirinya sekarang sedang mati-matian menahan emosi yang
meletup-letup karena melihat adiknya dijadikan salah satu
mangsa.
“Rose... dia meminta sesembahannya lagi.”
Untuk apa? Kenapa dia terus minta sesembahan? Kenapa?
Wajah Zemira memerah karena menahan emosinya. Kedua

HEY ROSE | 253


matanya pun sudah berair dan tak henti-hentinya memproduksi air
mata.
“Balas dendam, juga ....”
“Untuk dibangkitkan kembali ... sebagai manusia.”
Kalimat Tio sungguh mengalihkan atensi Zemira dan
terbelalak kaget. Dibangkitkan kembali sebagai manusia?
Bukankah itu hal yang tidak masuk akal? Hal yang tak bisa Zemira
terima karena terlalu sulit untuk ia cerna. Namun ketika mengingat
hal-hal yang tak wajar terjadi di sekelilingnya, atau bahkan tengah
ia alami sendiri, Zemira mulai ketakutan lagi.
“Kamu balik lagi ya? Ke dunia kamu.”
“Dika masih di sana, dia cuma hampir jadi.”
Tio menangkup wajah Zemira dan mengalihkannya saat
gadis itu akan melihat dengan jelas bagaimana kelanjutan kejadian
Randika di sungai. “Nggak perlu kamu lihat, kamu udah tau
prosesnya. Kamu cepet balik ke dunia.”
“Gimana caranya? Gadis itu mengangkat kedua bahunya, ia
bahkan tidak tau bagaimana cara ia untuk kembali sadar karena
dari apa yang ia ingat dulu, tiba-tiba saja sudah terbangun di ruang
rumah sakit dengan tubuh lemas dan koma selama beberapa hari.
Zemira mengusap wajahnya frustasi, bingung memikirkan
bagaimana caranya untuk kembali. Disisi lain ia ingin tetap tinggal,
membersamai kekasihnya untuk waktu yang cukup lama karena ia
tak bisa menghabiskan waktunya seperti dulu lagi. Untuk
mendengarkan cerita darinya, tentang bagaimana ia bisa terjebak
dalam sebuah lingkaran ini, bagaimana ia—ah sudahlah Zemira
akan menemuinya lagi nanti. Di waktu yang semakin membaik dan
hidupnya yang sudah berjalan di jalan yang semestinya. Zemira
akan kembali.
“Ayo Ze!”
Tio menarik tangan Zemira, membawanya ke sebuah
ruangan yang menghantarkannya ke alam yang berbeda.
“Maaf pasti banyak pertanyaan yang pengen kamu tanyain
ya?”

HEY ROSE | 254


“Pasti banyak yang pengen kamu denger dari aku.”
“Ze, cukup kehilangan aku aja, jangan Dika. Aku bakal ikut
sakit kalo aku ketemu Dika disini.”
“Jangan ya?”
“Kamu jaga diri baik-baik disana, jangan dateng kesini lagi.”
“Obatin lukamu.” Tio mengusap punggung dan tangan
Zemira.
“Diary daily life ada di kotak itu, Ze. Kalo kamu mau, aku ijinin
kamu baca.”
Zemira sudah siap di bathub, sebenarnya ia pun tidak yakin
apakah ia akan bisa kembali atau tidak karena ini adalah pertama
kalinya ia kembali ke alamnya sendiri dalam keadaan sadar.
“Fakta yang harus kamu tau.” Gadis itu menyimak dan
mendengarkan meski tubunya mulai masuk ke dalam air. “Irena
Jeyrose.”
“Rose memiliki dua keturunan, keduanya sangat amat
berpengaruh. Tinggal mereka aja yang milih, jadi Angel or Devil?
Iren, sahabat kamu ....” Zemira mengangguk, tanda ia sudah tau.
“Dan anak keduanya, yang lebih dipercaya sebagai penerusnya,”
“Na....”
”... Jendra”
Bersamaan dengan diucapkannya kalimat terakhir, tangan
Tio menahan tubuh Zemira di dalam air. Entah dengar atau tidak,
telinganya lebih dulu dipenuhi oleh kemericik air.
Iren?
Jendra?
Who will be the angel?
and who will be the devil?

HEY ROSE | 255


LOST CONTROL

Apakah Zemira terlalu gegabah menjamah yang bukan alamnya?


Apa itu keputusan yang salah? Pasalnya saat ia kembali dari sana,
selalu saja ia kehilangan seseorang. Seperti Zemira tengah
menyesali perbuatannya kali ini. Entah bagaimana bisa dirinya
terbangun hanya dengan satu notif dari salah satu sahabatnya,
Lyra.
Zemira tak melihat keseluruhan isi pesannya, tapi hanya
dengan membaca beberapa kata melalui bar notifikasi saja sudah
membuatnya bergidik, lemas, bahkan menangis pun rasanya tak
sanggup.

Lyra
Knp banyak karangan bunga di depan rumah lo....

Zemira tak berani menebak, pun bertanya. Ia hanya ingin


mencoba untuk berpikir bahwa ada seseorang yang sedang
meneror atau hanya sekedar iseng menaruh karangan bunga yang
Lyra maksud. Tapi gadis itu pun terlalu takut untuk berpikir
sedemikian rupa karena ekspektasi dapat menghancurkannya
seketika.
Saat ini Zemira harus segera pergi dari bangunan ini untuk
pulang ke rumah, tempat curahan rasa bahagia juga sedihnya.
Tempat dimana semua kenangan bersama Randika dan Tio terlukis
di sana.
Benar apa yang Zemira pikirkan, tentang segala ekspektasi
yang dapat menghancurkan. Seharusnya ia tak berfikir se-positif
itu untuk menganggap hal yang terjadi adalah keisengan manusia

HEY ROSE | 256


belaka. Karangan bunga, benar adanya. Bahkan itu terlalu banyak
menurutnya, karena hey! Zemira masih belum masuk ke dalam
pelataran, tapi karangan bunga itu sudah berjajar sekitar 10 meter
dari rumah. Mobil berplat merah pun banyak berjajar. Jujur saja
kali ini keringatnya mengucur deras. Tubuhnya sangat dingin, ia
tak bisa merasakan apa pun. Zemira mati rasa.
Di depan gerbang, tentu saja banyak orang yang ia kenal. Itu
teman-teman ayah dan bunda. Memakai pakaian bernuansa sama,
serba hitam. Juga Lyra, yang langsung berlari ke arah Zemira kala
melihatnya di ambang pagar dengan segala lamunan dan pikiran
yang tengah berkecamuk.
“Zemira... lo kenapa kacau gini, lo dari mana?”
Setidaknya itu yang Zemira dengar dari sahabatnya, dengan
kedua matanya yang sembab kembali berkaca-kaca. Ia segera
menarik Zemira masuk ke dalam halaman rumah. Sungguh betapa
leganya si sulung melihat si bungsu berada di sana bersama Jendra
dan Naja. Namun detik berikutnya hati Zemira tersayat kala Dika
berlari ke arahnya dengan wajah yang tak kalah sembab dan air
mata yang masih meliuk-liuk di pipi putihnya.
“Kak Ze....”
Hanya itu yang bisa Randika keluarkan dari bibirnya seraya
menabrakkan tubuhnya dan menyembunyikan wajahnya di
perpotongan leher Zemira. Hanya suara tangis yang dapat Zemira
dengar. Ia bahkan belum menanyakan apakah sang adik baik-baik
saja? Apakah ia sudah makan? Apakah ia....
Kemudian bola matanya memberanikan diri melihat nama di
karangan bunga itu. Betapa terkejutnya Zemira, hampir saja ia
terjatuh jika Randika tak menyangga tubuhnya.
“Kak Ze... unda... Ayah....”
Tidak. Itu tidak benar, sepertinya kedua manik Zemira yang
salah lihat atau apakah ia masih berada di alam lain? Tolonglah,
dirinya yang tak berani mengucap sepatah kata karena tak ingin
bila kejadian yang telah terjadi rusak hanya karena Zemira

HEY ROSE | 257


bersuara, namun tunggu—gadis itu sudah berada di alamnya
bukan?
Apa kalian tau betapa ingin marahnya Zemira pada Tuhan?
Meski ia tak berkeyakinan demikian. Apakah kalian tau betapa
ingin marahnya ia pada dirinya sendiri? Sepertinya ia sudah
kehabisan air mata karena Zemira sama sekali tidak menangis. Di
sisi lain hatinya tersayat, di satu sisi penuh amarah yang entah
ingin ia luapkan sekarang juga.
Menyingkirkan tubuh Dika, Zemira berjalan sembari
mengepalkan kedua tangannya. Rahangnya mengeras. Benar-
benar kalang kabut. Langkah kaki Randika juga Lyra mengekor di
belakangnya. Lihatlah mereka yang ada di halaman rumah Zemira
sedang menatapnya bingung, juga dengan tatapan aneh atau
mungkin takut? Bagaimana tidak? Bajunya yang masih membasah
dengan banyak noda darah, luka di tangannya yang belum kering,
juga langkah dan wajahnya yang seperti ingin membunuh.
Grepp!!
“K-kak Ze....” Jendra tercekat.
Zemira memangkas jarak keduanya, sengaja menarik kerah
bajunya. “Lo!” Tunjuknya geram. “Yang ngebunuh orang tua gue
kan!”
Jendra mendelik kaget, pun Naja, Randika dan juga Lyra.
“Kak Ze kok main tuduh temen gue?”
“Diem lo Dika!” Zemira mengibaskan lengannya kala si
bungsu menahan tangannya.
“Jawab gue, Jen!”
“Lo yang ngebunuh orang tua gue! Lo yang ngebunuh Jefri!
Lo yang ngebunuh Maren! Dan lo yang hampir ngebunuh temen lo
sendiri! Adik gue!”
“Apa gue salah?!”
Gadis itu tak peduli dengan banyaknya pasang mata yang
tengah menatapnya. Mereka yang berada di sana mungkin terkejut.
Terlebih Randika dan Naja. Mereka tak tau apa alasan Zemira

HEY ROSE | 258


menuduh Jendra seperti ini. Bukan menuduh, tapi ia sedang
membicarakan sebuah fakta yang belum terungkap.
Jendra hanya diam, tak membenarkan, juga tak menyangkal
perkataan Zemira. Seperti kerasukan, tubuhnya terlalu menggebu
untuk menghajar anak yang ada di hadapannya saat ini.
“KENAPA? KENAPA LO GANGGU HIDUP GUE ANJING!”
“KENAPA LO NGAMBIL ORANG-ORANG YANG GUE SAYANG
KENAPA!”
Zemira mendorong-dorong tubuh Jendra cukup keras hingga
tubuhnya hampir terjatuh jika saja Randika tak menahannya.
“Kak Ze apa-apaan sih, Kak? Kenapa main tuduh
sembarangan? Bukan Kak Ze banget deh!” Randika menyem-
bunyikan Jendra di belakang tubuhnya.
Zemira hanya merasa bila tubuhnya tengah bergetar hebat.
“Zemira... Ze, lo harus tenang.” Lyra mengusap kedua bahu
sahabatnya.
Zemira menangis. Rupanya pasokan air matanya masih
tersedia untuk menangisi sosok yang sudah ia anggap sebagai adik
kandung sendiri.
“Jendra! Lo tau nggak? Gue udah nganggep lo kayak adik gue
sendiri! Even tho gue bilang nggak percaya sama lo, gue nggak
sependapat sama lo, atau bahkan gue nolak semua saran dari lo,
gue tetep mikirin itu.”
“Gue tetep mikir semua yang lo bilang. Kadang dorongan dari
lo pun bikin gue makin percaya diri, bikin gue kuat. Lo inget nggak
waktu gue bilang kalo lo ragu, lo nggak yakin, lo bikin gue ragu dan
nggak yakin juga. Se-berpengaruh itu lo ke gue!”
Zemira bisa melihat perubahan wajah Jendra kala ia
mengatakan hal ini. Tatapannya mulai melemah, atau bahkan
sendu yang tak bisa diungkapkan.
“Kak tapi gue nggak ngebunuh orang tu—”
Plakk!!
“KAK ZE!!!!”
“ZEMIRA!!!”

HEY ROSE | 259


Randika dan Lyra berteriak bersamaan kala Zemira
memotong perkataan Jendra dengan melayangkan satu tamparan
yang mendarat sempurna di pipi lawannya. Hingga Jendra
berpaling dan dengan jelasnya pipi itu menampakkan semburat
kemerahan.
“Jendra, adik dari Iren, dan anak dari ....”
“Irena Jeyrose.”
“Pergi lo dari sini.” Titah Zemira dengan nada serendah
mungkin juga penuh penekanan di setiap kata.

“Nih, Kak.”
Zemira menoleh ke sumber suara kala seseorang
memberikan segelas teh hangat untuknya lantas tersenyum.
“Thanks, Na.”
“Randika ketiduran di kamar lo, Kak.”
“Iya, biarin aja.”
Naja duduk menemani Zemira yang tengah melamun
sendirian di teras. Mereka berdua sama-sama menerbangkan
angan dan pikiran usai acara pemakaman yang diselenggarakan.
“Kak Ze, yang tadi itu ....”
“Jangan bahas itu, biarin gue nafas dulu,” jawab Zemira tanpa
melihat lawan bicaranya. “Dan... gue nggak percaya sama siapa pun,
semua temen gue, semua temen Randika, termasuk lo, jadi—”
“Iya Kak gue tau.”
“Oke.” Zemira mengangguk.
“Gue boleh cerita nggak sih, Kak?” tanya Naja sembari
menoleh ke arah Zemira yang sama sekali tak melihatnya.
Zemira diam saja.
“Gue juga punya kakak, persis kayak Kak Ze. Sifatnya,
semuanya. Dan gue juga sama kayak Dika yang selalu
mengagungkan Kakak gue. Gue sayang banget sama dia.”
“Sampai suatu ketika kakak gue meninggal karena suatu hal.”

HEY ROSE | 260


Gadis itu menoleh kala mendengar perubahan suara Naja.
Melihat lawannya menunduk, Zemira mengerti bahwa hatinya
terluka hanya dengan mengingatnya. Namun suara yang dihasilkan
semakin terdengar mengerikan.
“Gue yang paling sensitif kalo ngebahas tentang kakak,
karena gue nggak ada tempat lagi buat berbagi keluh kesah, atau
tempat buat gue sekedar nyender aja di bahunya, gue nggak
punya.”
“Mungkin karena itu gue berantemin anak-anak selama
diklat.”
“Bohong kalo gue bilang gue nggak iri sama Randika. Gue iri,
sama kayak Jendra, gue iri ....”
Setelahnya Naja terdiam dan menatap kosong ke depan.
Ternyata itu sebabnya keadaan 'chaos' yang dilaporkan Randika
pada Zemira selama diklat. Mereka berdua bersandar pada kursi di
teras rumah, dengan menikmati hembusan angin malam, memang
cukup untuk self healing.
“Kak, tehnya diminum dulu keburu dingin.”
Zemira sadar dan mengambil secangkir teh hangat buatan
Naja untuk diteguknya.
“Jendra....”
“Kenapa, Kak?” Tanya Naja mendengar kalimat lawannya
menggantung.
“Lo tau kalo dia punya kakak?” Naja mengangguk. “Tau kalo
dia adiknya Iren, sahabat gue?”
Naja menggeleng. “Gue tau baru-baru ini kalo dia punya
kakak. Ya gue pikir hal yang wajar dia sembunyiin itu karna gue
pun juga sembunyiin kakak gue dari mereka.”
“Mereka?”
“Iya, mereka.”
“Temen-temen lo maksudnya?”
“Haikal, Cakra....”
Zemira mengernyit menatap Naja yang tetap fokus
memandang ke depan. Ia ingin bertanya karena sepertinya Naja

HEY ROSE | 261


mengerti sesuatu, atau lebih tepatnya banyak yang ia pendam
sendiri dalam diamnya.
Baru saja gadis itu membuka mulutnya dan akan melempar
pertanyaan, seketika terhenti saat melihat gerak bibir Naja
mengatakan sesuatu dengan cukup pelan.
“Gue ada di sana...,” kalimat Naja menggantung, ia berbisik.
“Gue, Haikal, Cakra… nyaksiin kematian kakak gue....”
Gadis itu mengerjap. Membuang muka sebentar dan
mendengkus tak mengerti. Saat ia kembali menoleh ke samping,
entah sejak kapan Tio datang duduk bersamanya sedang Naja
sudah tak sadarkan diri di lantai. Dengan tawa yang tiba-tiba
memekik telinga. Demi Tuhan Zemira merasa semua rambut halus
di tangannya menegang.
“What the fuck.” Zemira berjingkat kaget. Sontak
memundurkan tubuhnya, ritme jantungnya pun sudah tak normal
lagi. Ia ketakutan, bahkan untuk berteriak pun lidahnya kelu.
Melihat Naja yang tak sadar membuatnya semakin ingin pergi
menjauh dari sosok di hadapannya.
Tio masih duduk di tempatnya, menatap Zemira dengan
tatapan yang sulit diartikan. Kedua bola matanya menghitam
berkilat tajam. Dan Demi Tuhan rasanya ia ingin mengutuk dirinya
sendiri yang meninggalkan adiknya sendirian di kamarnya. Di
depannya saat ini adalah Tio, ia ingin berlari masuk ke dalam, tapi
memikirkan bagaimana ia bisa saja dihadang, atau yang lebih
menakutkan bisa saja ia yang lebih dulu mendahuluinya untuk
masuk dan mencelakai adiknya, Zemira menggeleng cepat.
“Why are you so attractive?” timpanya dengan tawa yang
menggema. “Pembunuh!” Ia menggeram.
Tunggu—apa baru saja lelaki itu menuduh Zemira sebagai
pembunuh?
Siapa pun tolong selamatkan Zemira saat ini, karena lehernya
tengah dicekik oleh tangan kekar lawannya. Gadis itu berusaha
melawan. Memukuli lengan dengan kedua tangannya, dengan
sesekali mencengkeramnya.

HEY ROSE | 262


Percuma. Itu semakin membuat lawannya mengeratkan
tangannya. Tio tak menyurutkan tawanya. Ia hanya terus tertawa
melihat 'si pembunuh' meronta-ronta dan semakin kehabisan
pasokan oksigen. Zemira menutup kedua matanya, membuat
setetes air matanya lolos. Dan kenapa di saat seperti ini ia malah
mengelukan nama Iren, juga Jendra agar mereka membantunya.
Munafik memang, padahal baru sore tadi ia mengusir Jendra,
membentaknya di depan banyak orang bahkan tak sekali Zemira
memukul dan menampar anak itu. Tapi, tak dapat dipungkiri, ia
masih membutuhkan Jendra. Meski sangat kecil harapannya.
“Mama....”
Bias suara itu mampu membuat Tio mengendur kemudian
melepaskan tangannya pada leher Zemira. Gadis itu terbatuk-batuk
saat lehernya bebas. Memegangi lehernya sendiri dan mengeluh
kesakitan. Tubuh Tio tak berjiwa itu tersentak lemas kala jiwa yang
lain keluar dari sana.
Seorang wanita berparas cantik dengan dibalut jubah hitam
bermotif bunga mawar, berjalan memunggungi Zemira,
membuatnya tak bisa melihat siapa yang tengah memanggil
dengan sebutan 'Mama' tadi.
Ia tak bisa menahan tangisannya saat melihat tubuh
kekasihnya tak berjiwa. Ditatapnya wajah itu lamat-lamat.
Jemarinya hampir menyentuh wajah Tio sebelum akhirnya ditepis
oleh seseorang yang berusaha membopong tubuh kekasihnya.
“J-Jendra....” Zemira tercekat. “Jangan bawa tubuhnya lagi,
gue mohon—Akhh!” Zemira terdorong dan jatuh ke lantai ketika
tangannya menarik lengan Jendra.
“He's made a deal.” Melirik Zemira dan melempar sebuah
buku ke atas meja teras, kemudian Jendra berjalan pergi dari sana
tak memperdulikan Zemira yang masih kesakitan dan dilanda
ribuan pertanyaan.

HEY ROSE | 263


Menghela nafas lega melihat adiknya meringkuk dengan
pulasnya di atas kasur miliknya. Tak lupa ia menyelimuti Randika
sebelum akhirnya duduk manis di pinggir jendela. Tenang saja,
rumahnya sudah ia kunci, bahkan pagarnya pun, juga kamarnya
sendiri. Ia sudah kelewat parno kini.
Di tengah malam seperti ini, harusnya Zemira tidur seperti
Randika. Seharusnya ia mengistirahatkan diri atau setidaknya
membiarkan luka di sekujur tubuhnya untuk sembuh, tapi
nyatanya ia malah fokus membuka lembaran-lembaran buku yang
ada di tangannya.
Sebuah buku diary daily life, milik Tio. Yang baru saja
diserahkan oleh Jendra.

Februari,2020

Untuk ketiga kalinya kita harus pindah asrama. Bukan tanpa


sebab, itu karena Dhirgam menginginkan tempat yang cukup luas
untuk dirinya agar bisa berolahraga di dalam ruangan. Tak ada hal
yang perlu diceritakan selain Zemira yang tengah mengudarkan
kalimat rindu. Memang rindu obatnya hanya bertemu, tapi
bagaimana bisa lelaki ini menemui sang pujaan hati bila ada jarak
sejauh ini?
Tunggu aku kembali dalam keadaan yang lebih baik dari ini.
Tunggu aku memulangkan segala rasa rindu. Tunggu aku....

Maret,2020

Sebuah pertengkaran dalam suatu hubungan katanya dapat


mendewasakan kita. Masa iya? Tentu saja aku mempercayainya.
Anggap kita berada di level 1 yang mengharuskan kita naik ke level
berikutnya, lantas apa yang harus kita tempuh? Tentu berbagai
rintangan.

HEY ROSE | 264


Tenang saja Zemiraku, aku menjejakkan kaki di sini hanya
untuk menuntut ilmu, hanya untuk mencari banyak pengalaman
yang dapat membuatku menjadi lebih baik. Tak ada sedikit pun hal
terlintas untuk mengalihkan arah pandangku pada perempuan
asing di sini. Hatiku telah memiliki penghuni. Dan jika diibaratkan
makanan, aku membenarkan apa yang pernah Randika katakan
bahwa si sulung ini seperti martabak special pakai telur bebek.
Yang paling special.

Dengan mata yang berkaca-kaca, Zemira tersenyum simpul,


sesekali tertawa kecil karena tulisan Tio yang menggelitik
perutnya. Ia bahkan tak menyangka jika kekasihnya bisa
menuliskan hal semacam ini. Ya, ya, Zemira melupakan fakta bahwa
kekasihnya itu memiliki hati yang cukup lembut. Jadi, memung-
kinkannya untuk menulis dan mencurahkan segala sesuatunya di
sebuah buku diary.
Zemira curiga jika buku setebal ini hanya berisi tentang
kerinduan, dan keluh kesahnya menjalani hubungann jarak jauh.
Tak ada yang aneh, tapi saat ia mulai membaca dipertengahan
bulan April, mendadak dirinya terhenyak.

April,2020

Ada sesuatu hal yang salah saat aku menjalin hubungan


pertemanan di tempat asing ini. Aku tak terlalu mempermasalahkan
bila aku tak memiliki teman satu pun. Tapi mengapa pergaulan di
tempat ini membuatku sedikit tidak nyaman? Banyak manusia yang
dengan sadar memperlakukan manusia lain dengan buruk hanya
untuk kesenangan pribadi.
Untuk kesekian kalinya pula seseorang membuat luka di
sekujur tubuhku. Siapa pun tolong aku, tahan aku agar tak
membalas perbuatan mereka.

HEY ROSE | 265


Maren... adalah saksi kala mereka kembali datang menyerang.
Namun lelaki itu membiarkanku begitu saja. Tak ada pertolongan
yang ia layangkan untukku. Mengapa?
Seorang mahasiswa asing yang tidak bisa bebas melakukan
apa pun karena hidup di negara yang bukan tanah airnya sendiri, itu
aku. Sekali pun terbesit ingin membalas segala perbuatan mereka,
but I knew it would be fatal if I did. Terlihat lebih lucu jika aku akan
mengalami banyak masalah dalam akademikku hanya karena hal
ini.
Tio, bertahanlah untuk dirimu sendiri!

Mei,2020

Sebuah bangunan bekas gereja tua... apa yang sedang aku


lakukan di sini? Apa yang tengah terjadi? Dan siapa sosok yang aku
temui?
... I have accepted the offer.

Sebagian kertas banyak yang sobek, hancur. Entah Tio atau


orang lain yang melakukan ini untuk menghilangkan jejak
tulisannya. Lantas ia meraih ponselnya untuk menghubungi
seseorang.
Jendra.
“What the fuck?!” Zemira mengumpat lirih melihat isi
ponselnya yang benar-benar bersih. Riwayat chat, riwayat
panggilan, semuanya bersih. Ia melirik pada tubuh kecil yang kini
memunggungi dirinya.
“Dik! Adik bangun!”
“Randika!”
“Bangun nggak?!” Gadis itu membangunkan paksa adiknya.
Tidak. Ia yakin bahwa Randika belum tidur. “Gue tau lo masih
bangun ya?! Bangun nggak!”
Zemira menarik paksa lengan adiknya hingga ia tersentak.

HEY ROSE | 266


“Iya iya, Kak.” Randika mendengkus dan mendudukkan
dirinya.
“Hp gue lo restart pabrik ya?” Itu bukan pertanyaan, tapi
tuduhan. “Lo apaan sih, Dik!”
Randika diam saja. Menyatukan alis dengan memajukan bibir
bawahnya. Lucu.
“Lucu lo kayak kitu! Ih Dika mah aya aya wae—nggak usah
ngeliatin kayak gitu! Nggak usah sok lucu gini lo!”
Bagaimana Zemira bisa marah jika melihat adiknya yang
mengeluarkan jurus mematikan andalannya. Seperti anak kucing.
“Sini mana hp lo?”
“Nggak ada, Kak.”
“Sini nggak!”
“Ih Demi Allah deh Kak, hp Dika nggak ada.” Randika
memelas. “Hp gue hilang waktu hari terakhir diklat.”
Zemira berdecak. “Bohong banget.”
“Kak....”
“Hm.”
“Pergi dari sini yuk? Gue takut. Ternyata dua temen gue
budaknya—gue nggak sadar kalo keluarga mereka ada di dalam
lingkaran itu. Jendra waktu itu ngasih tau ke gue tentang ini.”
Sang kakak mengangguk paham meski sebenarnya Jendra
sendiri belum jujur kepada Randika tentang siapa dirinya
sebenarnya. Lantas ia raih Randika untuk dibawa ke dalam dekap
hangatnya, sesekali mengusap punggungnya pelan. Rasanya ia tak
kuasa menahan air mata yang berusaha jatuh untuk sekian kalinya.
“Gue tau, Tio juga yang kasih tau tentang mereka.”
“Maksud Kak Ze?” Randika mengendurkan pelukan. Lantas
menatap Zemira dengan ribuan pertanyaan. “Jangan bilang Kak Ze
kesana lagi?!”
Ia mengangguk.
“Kak Ze! Kan udah gue bilang jangan ke sana!”
“Terus gue harus gimana Dika? Gue harus gimana waktu ada
yang mau ambil adik gue? Ada yang mau nyakitin adik gue? Gue

HEY ROSE | 267


harus gimana waktu gue tau kalo lo hilang di tengah hutan, gue
harus gimana?!”
“Gue harus gimana kalo besoknya gue nggak bisa ngeliat lo
lagi... gue harus gimana?”
“Orang yang gue percaya di sini udah nggak ada, Dik. Gue
nggak bisa percaya sama siapa-siapa termasuk gue. Gue bahkan
takut sama diri gue sendiri….”
“Gue takut gimana kalo gue sendiri yang nantinya nyakitin
lo....”
Emosinya tak bisa ia kendalikan lagi. Zemira menangis
seperti anak kecil. Kemudian Randika masuk dalam pelukannya.
Memeluk kakaknya dengan erat dan merasa hangat disana.
“Maafin gue, Kak, maafin gue. Ayo kita pergi dari sini....”
Zemira menggeleng. Sembari mengusap sisa air matanya, ia
memegang kedua tangan adiknya. “Gue nggak bisa pergi kalo jiwa
lo setengahnya diambil mereka. Gue nggak bisa.”
Ia sadar sejak kepulangan Randika, di sudut matanya ada
luka berbentuk bunga mawar. Meski samar, sepenuhnya Zemira
menyadari bahwa ia hampir kehilangan adiknya. Awalnya ia hanya
ingin memendam itu sendiri, namun ia berubah pikiran, Zemira
ingin Randika pun berjuang, bukan hanya dirinya, tapi mereka
berdua.
“Maksud Kak Ze apa? Jiwa gue kenapa?”
“Ini.” Sentuh Zemira pada sekitar matanya. “Ada bekas luka
di sini. Ini sama kayak kepunyaan Tio, Maren, tapi punya lo masih
samar dan hampir nggak terlihat.”
Randika bingung.
“Dik, sebelum kita pergi, gue harap kita bisa sama-sama
beresin apa yang udah terlanjur ada di sini. Jangan percaya siapa-
siapa. Sama gue pun jangan. Percaya sama diri lo sendiri ya?”
“Tetep jaga kesadaran lo, gue mohon.”

HEY ROSE | 268


“Ke-kenapa Mama balik?”
Plakkk
Sebuah tamparan mendarat lagi di wajah tampannya.
Sekujur tubuhnya pun telah banyak luka yang masih basah. Luka
karena cabikan kuku, sayatan benda tajam, juga lebam karena
benda keras.
“Lo harus gue gampar berapa kali biar sadar?”
“Bunuh aja gue,” pintanya.
“Oke kalo itu mau lo.” Perempuan itu mengangguk. Ia
mengambil pisau lantas mengayunkan ke arah dada lawannya.
Seakan ia dapat membidik jantungnya, pisau itu hampir menancap
jika sosok mamanya tak muncul di hadapannya.
“Ma....”
”...”
“Jendra yang nyuruh gue ngebunuh.”
”...”
“Iya oke.”
Kemudian Iren menatap adiknya yang tengah menutupi
wajahnya dengan kedua tangannya. Ia menarik lengannya dan
membawanya masuk ke kamar mandi yang cukup luas.
“Sini lo.”
Apalagi sekarang? Tentu saja, Jendra pergi ke alam lain
dengan cara yang sama. Cara yang Zemira lakukan untuk pergi ke
sana. Merendamkan dirinya dengan darah sendiri ataupun darah
orang lain. Jendra sudah melakukannya beberapa kali, mengingat
dirinya yang dibutuhkan di sana. Memangnya selama ini siapa yang
dijadikan mata-mata oleh sang Tuan?
Sekedar mengingatkan, niat baik seseorang bisa saja berubah
seiring berjalannya waktu. Bukankah begitu? Tebakan Zemira
tentang Jendra yang membunuh mereka semua bisa dibilang cukup
benar karena ia yang membantu secara tidak langsung.
Saat Jefri terluka di kamar kosnya, siapa yang membawanya
pergi? Jendra. Ia membawa Jefri untuk pergi ke rumahnya yang
lain, yaitu rumah orang tuanya, rumah yang Iren tinggali sendirian.

HEY ROSE | 269


Lantas ia terbunuh oleh sosok yang mirip Zemira. Meski masih abu
tentang siapa sosok ini, apakah sosok yang berbeda ataukah
seseorang yang bisa menyerupai Zemira?
Maren terbunuh karena Tio. Ya itu benar, tapi siapa yang
membantu Tio? Jendra tentu saja. Tak mungkin tiba-tiba Tio
mengetahui keberadaan Maren. Ia tau bahwa hari itu adalah hari
sesembahan. Dan Zemira yang sudah ia anggap sebagai kakaknya
sendiri tengah berada di alam lain. Tentu saja Jendra lebih memilih
melindungi Zemira, dan menyuruh Maren untuk ikut ke alam lain.
Meski begitu, memang sudah waktunya lelaki itu mati. Pikir Jendra.
Jendra tau segala hal yang berhubungan dengan satanic cult.
Ia tau banyak informasi tentang itu, ia pun telah menghalau Zemira
untuk terus berhati-hati dan tidak gegabah dalam mengambil
sebuah keputusan yang akan mencelakai dirinya sendiri.
“Kenapa harus gue?” Pertanyaan itulah yang setiap kali
dilontarkan Jendra saat ia harus pergi ke alam lain. Lagi, dan lagi.
Pasalnya ia akan berubah menjadi makhluk lain di sana. Bahkan
wujudnya seperti bukan manusia pada umumnya.
“Bunuh gue aja.”
“Jen lo bebel amat sih? Iya gue bakal ngebunuh lo setelah
semuanya selesai!” Tanpa aba-aba dan persiapan, Iren
menenggelamkan kepala Jendra di bathub dan menahannya hingga
lawannya hilang kesadaran.
“Anakku....” Jendra mengejapkan matanya, dan ia sudah
berada di alam yang berbeda, di hutan lepas dengan rasa sakit di
punggungnya.
“When I rise, you will have all my strength, my lovely son.”
“But you know right?”
“Penghalang harus dimusnahkan?”
Jendra mengangguk.
“You know who's next?”
“Zemira.... Randika....”
Rose tersenyum miring, diikuti Jendra yang menarik sudut
bibirnya.

HEY ROSE | 270


Rasanya ada banyak sekali rasa tegang tiap Zemira membuka
mata setiap bangun dari tidurnya. Ada rasa yang tak bisa ia
ungkapkan kala ia harus terbangun. Kini ia tak sengaja bangun
karena mendengar nyaringnya suara notifikasi di ponselnya. Ada
beberapa pesan dari seseorang. Nomornya tak ia simpan—ah
bukan, itu karena ulah si bungsu yang mengotak atik benda persegi
panjang itu.
Zemira mengernyit kala Doni menyambungkan sebuah
panggilan.
“Lo nggak nyimpen nomer gue?!”
Gadis itu berdecak karena baru saja panggilannya ia jawab,
lelaki di seberang sana sudah melempar protesnya.
“Lo beneran Doni? I mean lo kemana aja selama ini?”
bukannya menjawab pertanyaan dari Doni, Zemira lebih memilih
menembak pertanyaan lain. “Lo kenapa baru muncul sekarang?!”
Terdengar suara helaan nafas panjang. “Sebelum gue jawab
pertanyaan lo, mending lo jawab pertanyaan gue. Sejak kapan Jefri
meninggal? Dan kenapa ada papan dengan nama Tio di samping
makamnya?”
“Apa yang gue lewatin selama ini?” tambahnya.
Zemira berdecak sembari menjauhkan ponsel dari
telinganya. Lo selama ini kemana aja anjir! Batinnya.
“Jawab gue, Zemira. Gue sama sekali nggak tau apa pun. Baru
aja balik Indo dan langsung nyamperin makam Maren, tapi waktu
gue jalan balik gue nggak sengaja ngelihat makam Jefri Sandika. Gue
kira itu orang lain tapi waktu gue sadar tanggal lahir yang sama
nggak mungkin kan ada Jefri lain di dunia ini yang kebetulan lahir di
hari yang sama dengan nama yang sama?!”
Bagaimana bisa Zemira menceritakan semuanya mulai dari
awal melalui panggilan telfon seperti ini? Gadis itu mengatakan bila

HEY ROSE | 271


ia tak bisa memberitahu semua yang terjadi karena terlalu panjang
dan rumit.
“Lo di rumah kan sekarang? Gue mau ketemu. Gue samperin lo
sekarang.”
“NGGAKKKK!!” seru Zemira. “Gue nggak mau ketemu siapa-
siapa dulu. Gue bahkan nggak tau lo Doni beneran apa bukan.”
“Dikiranya gue Doni jadi-jadian apa anjir!” protesnya tak
terima. “Pokoknya gue mau lo jelasin langsung. Gue ke rumah lo
sekarang.”
Belum sempat Zemira melempar protesnya lagi, Doni sudah
lebih dulu memutus panggilan sepihak. Kini ia yang harap-harap
cemas bagaimana jika bukan Doni yang datang. Bagaimana jika
orang lain? Bagaimana jika Doni yang akan datang menemuinya ini
adalah sosok jelmaan atau—ah sudahlah ia hanya bisa pasrah
dengan apa yang akan terjadi sebentar lagi.
Bahkan belum lama Zemira menunggu, sudah terdengar deru
mobil di luar pagar yang mesinnya baru saja mati. Tak lama setelah
itu seseorang mengetuki pagar besinya. Dan gadis itu hanya
menatap dari jendela kamarnya.
Suara nyaring yang dihasilkan pagar besi itu menuai protes
dari Randika. Si bungsu tengah berada di kamarnya sendiri, ia
mengirim sebuah pesan pada Zemira tentang siapa yang sedang
ada di luar sana. Bahkan Randika mengatakan akan membukakan
pagar karena kini seseorang benar-benar akan membuat pagarnya
ringsek.
“Kakakkkk, Randika buka udah ini bar-bar amat sih!” seru
Randika yang terdengar melewati ruang kamar Zemira.
Derap langkah kaki Randika yang menggebu-gebu terdengar
dari kamar Zemira. Mengharuskannya untuk menyusul sang adik.
Sepertinya ia kesal karena suara berisik yang dihasilkan seseorang
di luar sana.
Klang! Klang!
“AAHH BERISIK!!!” Teriak Randika yang menghampiri pagar
tanpa alas kaki.

HEY ROSE | 272


“RANDIKA!!!” Teriakan Zemira tak kalah kerasnya hingga
yang memiliki nama menoleh ke belakang.
Ia menahan lengan Randika untuk tidak membukakan
gerbang. Adiknya menautkan kedua alis, menatap Zemira penuh
keanehan. Pasalnya gadis itu sudah siap siaga membawa cairan
pembasmi serangga di tangannya.
“Kak lo ngapain sih?”
“Apa?” Gadis itu malah kembali bertanya.
“Itu.” Tunjuk Randika dengan dagu.
“Oh, jaga-jaga.”
“Buat?”
“Ahhh pokoknya mah buat jaga-jaga! Gue juga nggak tau tiba-
tiba aja ngasal ambil. Ini pertahanan diri Dik.”
Randika mendengkus. “Dasar aneh!” Ia sudah berancang-
ancang melangkahkan kaki lagi untuk membuka pagar rumah. Tapi
Zemira mengambil paksa kunci itu dari tangan adiknya, lantas
menarik sang adik untuk berada di belakangnya.
Klangg!! Klangg!!
Demi Tuhan suaranya nyaring memekik telinga.
“Doni??”
“Lo anjir Zemira gue capek berdiri di sini woy! Bukain!!”
Protes lelaki itu.
“Lo beneran Doni?”
“Iya Zemira gue beneran Doni elah bukain cepet!”
“Beneran?” Tanyanya lagi.
“Udah lah, Kak, bukain aja itu kesian dari tadi temennya
berisik di depan,” tukas Randika.
“Beneran Doni bukan?”
“Ze demi Tuhan lo gue sumpahin kunci pager lo ilang, kagak
bisa keluar rumah selamanya mampus!”
Zemira mendengkus kesal mendengarnya. Lantas dengan
sangat terpaksa ia buka gerbang besi itu. Munculah lelaki tampan
yang sejak tadi menunggu.

HEY ROSE | 273


Doni berdecak. “Lo kira gue serangga apa? Segala bawa
bay—”
“Ssstttt! Dilarang sebut merk!”
Jika saja Zemira bukan perempuan, Doni sudah pasti
menjitak bahkan memukulnya. Seperti yang biasa ia lakukan kala
kesal dengan teman-temannya.
Dipersilahkan masuk ke dalam rumah sederhana itu kedua
manik hitam Doni benar-benar menjelajahi tiap sudut ruangan.
Menurutnya aneh saja karena beberapa benda di sana tengah
diselimuti oleh kain-kain putih. Seperti sang empunya tak ingin
barang-barang terkotori dengan debu. Atau sebenarnya Zemira
malas untuk membersihkan rumah?
“Kenapa?” tanya Doni dengan menunjuk beberapa barang di
sana.
“Apanya kenapa?” Zemira yang baru saja keluar dari dapur
merotasikan bola matanya sembari meletakkan minuman di meja.
“Itu maksud gue kenapa ditutup kain?”
“Ngehindari cermin, Kak,” jawab Randika.
“Kenapa?”
“Ih lo mah kebanyakan tanya! Sok minum, gue tau lo haus.”
Titah Zemira seraya mendekatkan gelas pada Doni.
“Ya gara-gara lo nggak cepet ngebukain gue, jadi buang
tenaga buat teriak-teriak,” protes Doni. “Jelas haus lah.”
Zemira benar-benar menatap tajam lelaki yang ada di
hadapannya. Menelisik dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Kak, dia beneran manusia, Kak, gue jamin!” Randika
berbisik, menutupi mulutnya agar suaranya tidak terdengar.
“Gue denger ya.” Doni yang sudah menghabiskan
minumannya itu menaruh gelasnya perlahan.
“Lo beneran haus ya?”
“Menurut lo?” Ia berdecak. Menyandarkan dirinya dengan
nyaman di sofa, dan melipat kedua tangannya di depan dada.
“Jelasin.”

HEY ROSE | 274


Zemira menghela nafas kasar. “Lo nggak mau cerita dulu kitu
kenapa lo tiba-tiba nggak di Indo dan hilang kontak?”
“Iya nanti. Lo jelasin dulu. Semua.” Tuntut Doni.
“Semua?”
Doni mengangguk.
Mau tak mau gadis itu menceritakan semua kejadian yang
sudah terjadi. Tentang Maren yang ternyata belum meninggal,
kematiannya yang sesungguhnya, tentang Jefri, tentang Tio, dan
tentang dirinya sendiri yang terjebak di lingkaran, yang bahkan tak
tau motif di balik kejadian ini.
Doni hanya mengangguk mendengarkan, tatapannya tetap
sama. Ia sangat fokus tak menyela cerita dari Zemira sama sekali.
Jangan tanya Randika ada dimana, ia sedang asik bermain game di
samping kakaknya. Tapi sebenarnya ia pun mendengarkan cerita
Zemira.
“Udah.” Ia sudah menyelesaikan penjelasan yang dituntut
oleh Doni.
Lelaki itu terlihat mengusap wajahnya beberapa kali.
“Bener kata Eron,” gumamnya.
“Gimana? Siapa Eron?” Gumamannya terdengar jelas di
telinga Zemira. “Apa maksud lo bener?”
Doni tampak ragu mengatakan ini, tapi sebenarnya ia ingin
mengatakan terlebih membuktikan apa yang ia katakan.
“Eron itu nama paman gue. Lo mau nggak ikut gue ke rumah
Eron, paman gue di Inggris?”
Sontak Zemira maupun Randika terbelalak kaget. Randika
pun sampai menaruh ponselnya kasar saking kagetnya.
“Suddenly??”
“Ngapa dah,Kak?”
Kakak beradik itu hanya mematung menatap Doni.
“Gue nggak bisa ceritain semua di sini, singkatnya, Eron ikut
andil dalam peristiwa pemusnahan itu. Dan Irena Jeyrose cukup
terkenal pada era itu. Gimana? Lo mau ikut gue ke Inggris?” Tanya
Doni lagi.

HEY ROSE | 275


“Gue bahkan belum ngurusin apa-apa Don. Terus Randika
juga gimana?”
Lelaki itu mendengkus. “Oke, dalam dua minggu gue bantu lo
ngurusin semuanya. Gue harap baik lo, ataupun adik lo, ada di pihak
gue. Dan please gue mohon kerja samanya.”
“Jangan gegabah, jangan ngelakuin apa pun yang nggak gue
minta. Kabarin gue terus.”
“Sebelum Rose menitiskan dirinya, kita harus cepet bawa dia
balik, ngurung dia, kalo bisa musnahin dia.”
“T-tapi, Kak, apa itu bakal berdampak ke darah dagingnya?
Maksud gue, kalo Rose musnah, apa anak-anaknya bakal baik-baik
aja? Dan semua balik seperti semula?” Randika yang melemparkan
pertanyaan tiba-tiba membuat Doni membungkam.
Hanya anggukan ragu yang didapat. Membuat Zemira
maupun Randika menghela nafas lega. Pasalnya Iren dan Jendra
adalah sahabat terdekat mereka.
“Semoga....” Doni bergumam lirih.

HEY ROSE | 276


BEGINNING
“Apa pun yang gue lakuin, gue minta maaf.”
“Kak Ze maafin gue, kan?”

Doni terus memantau Randika dan Zemira dari jauh. Lelaki itu tak
pernah absen untuk menanyakan adik dari Zemira. Bagaimana
perkembangannya selama hampir dua minggu lamanya ini, apa
saja hal aneh yang kerap kali muncul di rumahnya, dan masih
banyak lagi.
Hal aneh yang kerap kali muncul adalah Randika yang selalu
terbangun tengah malam untuk berbincang sendiri, terkadang
lelaki itu mencoba keluar rumah tanpa ia sadari. Zemira yang
memutuskan untuk tidur satu kamar dengan si bungsu semakin
diuji perasaannya kala Randika mendadak memandanginya
dengan sorot mata yang berbeda. Meski ia tau bahwa si bungsu tak
sadar melakukan itu, tetap saja Zemira merasa takut.
Zemira semakin mendapat keyakinan lebih karena Doni
sering mengingatkannya untuk selalu percaya pada diri sendiri,
untuk selalu percaya pada si bungsu jika semua akan baik-baik saja.
Satu hari sebelum mereka berangkat, Zemira mengemasi
pakaiannya dengan Randika. Membawa beberapa koper dan
menaruhnya di ruang tamu agar keesokan hari saat Doni datang
sudah tak perlu lagi ke dalam kamar untuk mengeluarkan koper-
koper ini.
“Besok habis subuh kita berangkat, jangan sampe telat
bangun ya, Dik?” ujar Zemira seraya merapikan koper.
“Iya Kak tenang aja.” Randika tengah duduk usai
menyelesaikan sesi mendorong kopernya. “Kak, Jendra boleh ke
rumah?”
Mendengar Randika menyebut nama Jendra membuat
Zemira menghentikan aktivitasnya. Ia mengalihkan seluruh

HEY ROSE | 277


atensinya. “Ngapain? Sama sekali nggak boleh. Lagian lo ngapain
masih kontakan?” Kedua alisnya bertaut.
“Jendra kan sahabat Dika Kak? Dia mau minta maaf ceunah,
orang sama Naja sama Aji juga kok ke sininya. Boleh ya?” rayu
Randika.
Terlihat Zemira tengah berpikir meski sebenarnya gadis itu
sama sekali tak membiarkan itu terjadi. “Kalo gue tetep bilang
nggak boleh, gimana?”
“Ya kenapa? Dika juga pengen ketemu temen-temen. Gue
udah nurutin Kak Ze buat putus sekolah loh. Padahal bentarrrr lagi
juga lulusan,” ungkap Randika dengan memanyunkan bibirnya. Ia
juga tengah menunduk dan memainkan telapak tangannya.
“Masa iya mereka nggak boleh main ke sini? Kak Ze takut
sama Jendra? Takut dia bakal ngapa-ngapain Dika ya? Ini yang
salah teh mamanya, bukan si Jendra, Kak,” imbuhnya. “Besok gue
udah nggak di Indo masa ketemu sama temen-temen bentar aja
nggak boleh?”
Zemira memijat pelipisnya mendengar Randika yang terus
protes pada dirinya. “Dik, lo tuh astagaaaaa.”
“Mikir dong kalo nggak ada yang bisa kita percaya sekarang.
Nggak temen lo, nggak temen gue, jangan percaya sama semua
orang kecuali diri lo sendiri.”
“Terus kenapa Kak Ze bisa percaya gitu sama kak Doni?
Padahal belum tentu dia beneran bawa kita ke rumah pamannya.
Please, Kak, sekali aja dehhhh pengen ketemu temen-temen.
Yaaaa?” Randika terus merengek hingga kini mengguncang lengan
Zemira. Sesekali mengusap wajahnya pada lengan si sulung.
“Nggak boleh lebih dari satu jam, 30 menit aja untuk ketemu
sama Jendra.” Finalnya.

Memandangi kendaraan yang lalu lalang tak membuat


Zemira tenang. Mereka bertiga baru saja sampai di Inggris. Berada

HEY ROSE | 278


di halte, menunggu bis datang. Dari tadi ia hanya menghela nafas
kasar, terkadang bergumam sendiri, dan sesekali mendengkus
kesal. Rupanya ia sedang berperang dengan pikirannya sendiri.
Pun Randika. Sejak di mana Jendra mengunjungi rumahnya,
sebelum keberangkatan mereka ke Inggris, ia tampak berbeda.
Zemira menyadari perbedaannya.
Kala itu Jendra memiliki waktu berbicara dengan Randika,
diawasi Zemira tentunya Doni ikut andil pula. Ya, itu ulah sang
kakak yang berinisiatif untuk memanggil Doni ke sana. Bahkan
pandangan mereka berdua terus tertuju pada Jendra dan Randika.
Jendra tak banyak bicara, ia hanya mengatakan kalimat yang
sampai saat ini masih terus terngiang di otak Zemira.
“Ze, bisnya udah dateng.” Lelaki itu menepuk bahu Zemira
dan menyadarkannya dari lamunan.
Sebuah bis kota berhenti di depan mereka. Randika yang saat
itu tengah berkutat dengan ponsel membawa arah pandangnya
pada kendaraan itu.
“Kak nggak mau,” cegah Randika menahan lengan kakaknya
yang tengah beranjak.
“Lo mau gue tinggal di sini?”
“Dia ngeliatin gue, Kak. Nggak mau....” Pandangan Randika
tak berkutik. Lantas ia menunjuk salah satu kursi di dalam bis yang
jelas-jelas tak ada seorang pun yang duduk di sana.
“Kak, nggak mau....” Rengeknya lagi.
Doni mengernyit. Mengendarkan pandangan ke arah bis,
menoleh ke arah Randika lagi, berulang-ulang seperti itu. “Mana
yang ngeliatin lo?”
“I-itu, Kak, serem.” Sudut matanya mulai membasah. “Kak dia
berdiri.”
“Dika mana deh nggak ada astaga, lo kenapa ih?” Zemira
menggoyangkan lengannya, pasalnya Randika terlalu menceng-
keram sembari menyembunyikan wajahnya di sana.
Randika mengintip lagi. “Kak!! Kak!!! Dia ngedeket, Kak!!”

HEY ROSE | 279


Ia mulai berteriak histeris. Zemira yang panik langsung
memeluk sang adik. Bahkan Doni pun tak tau harus berbuat apa.
Lelaki itu akhirnya menyuruh sopir bis untuk meninggalkan
mereka dan tak lupa meminta maaf.
“Udah udah Dika nggak papa ada gue di sini udah.” Zemira
terlihat cemas. “Nggak ada, udah pergi dia, udah pergi.” Memeluk
Randika dengan erat, ia menepuk pelan punggung adiknya,
mengusap lembut surai hitamnya, meloloskan butiran bening yang
kini membasahi pipi putihnya. “Randika? Dik? Udah jangan nangis.
Ada gue. Ada Doni. Jangan takut ya? Kalo lo takut coba tutup mata
aja.”
“Pegang tangan gue terus. Ya?”
“Dika???”
Tak ada jawaban darinya. Kalimat penenang Zemira mampu
membuat Randika mengangguk meski ia masih terisak.
“Don, gimana?” tanya Zemira penuh kekhawatiran.
“Gue coba telpon Eron, semoga bisa jemput kita di sini.”
Gadis itu mengangguk. Terus mengusap pelan punggung
Randika. Tubuhnya pun bergetar, ia ingin saja menyembunyikan
ketakutannya, tapi rasanya sudah tak mampu.
Rumah Paman terletak di sebuah desa, membutuhkan waktu
yang cukup lama untuk sampai di sana. Meski begitu mereka tetap
menunggunya datang. Tepat pukul 11 malam, sebuah mobil klasik
berwarna hitam dengan garis kecokelatan berhenti di depan halte.
“Paman!” Doni menghampiri pamannya saat kaca mobil
diturunkan oleh empunya.
Lelaki yang sudah berumur lebih dari seperempat abad itu
kemudian mematikan mesin mobil dan keluar dari sana. Memeluk
keponakannya, lantas memandang kakak beradik yang tengah
duduk di halte, melempar senyuman.
Zemira kesusahan untuk sekedar membungkukkan
badannya, karena Randika sedang bersandar di bahunya. Ia
terlelap dengan nyaman. Tak berlama-lama, Doni membantunya
membopong sang adik. Zemira tak tega bila harus membangunkan

HEY ROSE | 280


Randika. Selama di mobil, tak banyak yang mereka bicarakan.
Hanya Eron yang sesekali melirik ke kursi belakang.
“Lo ke kamar dulu, ntar gue nyusul.” Pinta Doni kala mereka
baru saja sampai di rumah paman.
“HAH?! Ya ngapain lo nyusul?”
“Sekamar—”
“KAK?! JANGAN MESUM LU YA!” Itu teriak Randika setelah
memotong perkataan Doni. Ia terbangun setelah sampai. Dan kini
mereka bertiga berdiri di ruang tengah.
Tak lama, Eron masuk ke dalam rumah dan mendapati
ketiganya masih belum juga masuk ke kamar. “Kok belum masuk
kamar?” tanyanya.
“Paman, kenapa Kak Doni sekamar sama Kak Ze?” Randika
bertanya dengan polosnya.
“Kalian bertiga tidur satu kamar. Nggak ada kamar lain lagi,
Doni bisa jaga kalian juga. Sudah sana.” Titah Eron sembari melepas
jaketnya dan masuk ke dalam ruangannya.
“Tenang, ada dua kasur, Ze. Gue tidur sama adik lo.”
“Ya iya! Masa mau tidur sama Teteh?” Lirik Randika sembari
mendahului keduanya pergi ke kamar.
Bohong jika tak ada kamar lain. Rumahnya cukup besar dan
Zemira pun terkejut dengan rumah mewah model kuno ini.
Memang banyak ruangan-ruangan yang pintunya tertutup rapat.
Jika itu sopan, ia akan bertanya pada Doni tentang rumah sebesar
ini yang hanya dihuni oleh Paman Eron saja.
Mereka sudah berada di kamar. Gadis itu tengah sibuk
melihat barang-barang antik di sana. Berbeda dengan Randika
yang sudah lebih dulu tertidur karena tubuhnya cukup lelah.
“Gue tau lo pasti heran kenapa rumah segede ini kamar yang
bisa dipake cuma ini doang.” Suara Doni memecahkan lamunannya.
Zemira menoleh dan mendapati lawannya bertelanjang dada.
“Don itu—” Ia terbelalak kala melihat banyak bekas luka
bersarang di tubuh Doni. Sadar akan itu Doni buru-buru memakai
bajunya, tapi Zemira lebih dulu menahannya.

HEY ROSE | 281


“A-apa sih lo?!”
“Ini kenapa?” Tuntut Zemira dengan tatapan tajam. “Kenapa
banyak bekas jahitan di tubuh lo?”
“Nanti, Ze. Tunggu nanti pagi. Kita ngobrol sama Eron juga.
Udah lo tidur sana.” Ia kembali memakai bajunya dan menepis
tangan Zemira.
“Lo nggak mau ke kamar mandi dulu? Gue anter.”
Zemira menggeleng.
“Serius? Ya udah. Jangan keluar kamar sendiri. Bangunin gue
kalo lo mau keluar.”
Mendengar itu, Zemira malah menatapnya dengan penuh
tanda tanya. “Kenapa?”
“Nggak papa,” jawab Doni singkat sembari merebahkan
dirinya di samping Randika, namun tetap menyamping menghadap
ke arah Zemira. “Udah tidur,” titahnya lagi.
Suasana hati dan pikiran Zemira akhir-akhir ini memang tak
tenang. Ia merasa bahwa tidak ada lagi orang yang bisa dipercaya,
bahkan ia tak bisa mempercayai dirinya sendiri. Kedua matanya
sudah terpejam, namun pikirannya masih terbang jauh entah
kemana. Meski tubuhnya lelah, ia tetap kesusahan mengantar
jiwanya ke alam mimpi. Sudah hampir satu jam ia terus merubah
posisi tidurnya. Ke kanan, ke kiri, tidur terlentang, segala posisi
telah ia coba.
Tak tahan dengan itu, Zemira mendudukkan dirinya dan
melihat ke arah sekitar. Randika dan Doni tertidur dengan
pulasnya. Melirik ke jam dinding kuno, jarum jam menunjuk angka
2 dan 12 yang artinya ia masih berjaga di jam 2 pagi.
“Don...,” panggilnya lirih. “Doni!”
Lelaki itu tak mendengar, Zemira mendengkus. Sebenarnya
ia mau saja mencoba untuk tidur lagi, tapi baginya akan percuma.
Ia putuskan untuk turun dari ranjang dan keluar kamar. Ada taman
kecil yang ia lihat di samping rumah Eron. Mungkin ia bisa duduk
santai di sana dan menikmati beberapa jam menuju sang fajar tiba.

HEY ROSE | 282


Nyalinya sedikit menciut saat berada di depan kamar. Ia baru
saja menutup pintu dan merotasikan bola matanya ke arah sekitar.
Sebuah lorong yang cukup panjang harus ia lewati hingga sampai
ke anak tangga. Zemira menggeleng cepat dan mengurungkan
niatnya untuk keluar rumah. Tapi saat knop pintu kamar ia putar,
suara pukulan lonceng memekik telinganya, bahkan membuatnya
terjingkat kecil.
Tiga kali lonceng berbunyi, kemudian kembali sepi. Bukan
Zemira namanya jika ia tidak memiliki tingkat penasaran yang
tinggi. Berjalan mencari sumber suara di jam tiga pagi membuatnya
bergidik ngeri. Beberapa pintu kamar terlewati. Sesaat langkahnya
terhenti ketika sosok lelaki berdiri di bawah tangga. Sosok yang ia
kenali tentunya.
“T-Tio?” panggil Zemira lirih.
Kulitnya pucat, bahkan tatapannya kosong. Melihat lelaki itu,
ia berjalan turun ke arahnya.

April, 2020

Tio terduduk lemas usai para mahasiswa menghajarnya


secara brutal. Tidak hanya sekali dua kali ia diperlakukan seperti
ini dan tanpa alasan yang jelas. Pelipisnya sobek, matanya lebam,
bahkan ia telah memuntahkan darah hingga membuat bibirnya
basah dengan cairan merah.
Ia terengah-engah dan mencoba mengatur nafasnya. Ia
bahkan sudah terbiasa menyeka lukanya dan menyamarkannya
agar tidak ada seseorang yang tau. Tapi, sepertinya salah satu
sahabatnya tau jika Tio tengah menjadi korban bullying oleh para
mahasiswa di sana.
Maren. Saat Tio di keroyok, ia sempat melihat Maren berdiri
tak jauh darinya. Melihatnya dengan tatapan miris lantas ia hanya
lewat begitu saja. Tio beranggapan bahwa apa yang dilakukan

HEY ROSE | 283


Maren benar. Maren tidak boleh ikut campur atau bahkan
membelanya, yang ada malah sahabatnya itu akan menjadi korban
juga.
Sebenarnya bisa saja Tio membalas menghajar mereka, telah
terbesit juga pikiran untuk membunuh, tapi ia ingat statusnya di
sini adalah mahasiswa asing yang ingin mendapatkan ilmu lebih
untuk menyelesaikan perkuliahannya.

Mei, 2020

Sebuah bangunan bekas gereja tua.


Jangan salahkan Tio yang saat ini berada di sana. Usai
menerima pesan dari salah satu mahasiswa yang langganan
menghajarnya ia langsung pergi menemui mereka di gereja tua.
Tempat ibadah ini terletak cukup jauh dari pemukiman warga.
Berada di bukit dengan halaman rumput yang luas, juga terdapat
satu pohon besar di sisi gereja membuat bangunannya terlihat
cantik dari luar.
Ia masuk ke dalamnya. Tio salah telah beranggapan bahwa
tempat ibadah ini masih aktif digunakan, nyatanya sama sekali tak
pernah dijamah manusia. Buktinya saat ia membuka pintunya,
aroma debu, tanah, dan hawa dingin bercampur jadi satu
menelusup pori-pori kulitnya.
Duakk!!
Tubuh Tio tersungkur ke depan ketika punggungnya
dihantam dari belakang.
“Open it!” titah mereka sembari menunjuk kotak berukir
bunga mawar.
Tio terdiam dan masih menelisik kotak yang tertutup penuh
dengan rantai besi. Bagaimana ia bisa membukanya? Ia melempar
pandangan tak mengerti ke arah mereka. “How? Where's the key?”
“JUST OPEN IT JERK!”

HEY ROSE | 284


Tio tak mengerti salahnya dimana. Ia hanya menanyakan
kunci untuk membuka kotak itu. Bagaimana bisa ia membuka
dengan kedua tangannya sendiri? Ia bukan Limbad yang bisa
memutus rantai dengan kedua tangan telanjang. Hanya karena
pertanyaannya, mereka menendangi Tio yang masih terduduk di
atas lantai tak beralas. Kakinya, perutnya, ia hanya bisa meringkuk
dan menyembunyikan wajahnya. Sakit? Jangan ditanya.
Tio terbatuk-batuk dan memuntahkan darah, lagi.
Mengetahui itu mereka menghentikan kegiatannya lantas pergi
dengan nafas yang masih menggebu.
“Kenapa lo nggak ngebunuh gue sekalian,” gumamnya.
Dengan perasaan kesal setengah mati, juga rasa ingin
membunuh mereka, Tio berusaha menenangkan dirinya. Duduk di
bawah pohon linton yew, di atas kursi kayu yang terlihat rapuh, dan
kotak berukiran bunga mawar di pangkuannya.
Dukk!!
Dukk!!
Dukk!!
Tio memukulkan sebuah batu besar untuk melepaskan
rantai-rantainya. Cukup lama dan butuh tenaga yang kuat untuk
membukanya. Telapak tangannya tercetak banyak goresan dan
pucuk jarinya terluka ketika berusaha membukanya.
Ctakk!
Terbuka.
Cermin, bunga mawar, dan banyak botol berisi cairan merah.
Ia semakin tak mengerti kotak apa ini. Menutup kembali kotak itu,
sembari memejamkan mata dan menghela nafas kasar. Angin
kencang seketika datang dan berhembus di sekitarnya. Tanpa ia
sadari, he has freed someone who has long been trapped in the
mirror.
And that's where it started.
Tak lama seseorang menghampirinya, duduk di sebelahnya
dan tiba-tiba saja memberikan sebuah penawaran untuknya.
Penawaran untuk membalaskan dendam tanpa mengotori kedua

HEY ROSE | 285


tangannya. Perempuan itu menawarkan bantuan tanpa
memperkenalkan dirinya terlebih dahulu. Tio yang saat itu sudah
desperate menyetujui tawarannya tanpa berpikir panjang.
“But you also have to do something for me.“
Tio mendengkus. “Gue tau kalo nggak ada yang gratis di
dunia ini,” ucapnya lirih. Ia masih hanyut dalam lamunannya lantas
menoleh untuk melihat siapa yang ada di sampingnya. “What am I
supposed to do for you?“
Perempuan itu menyeringai.
Tio lah yang membuka gerbang kematiannya sendiri dengan
tanpa sengaja membebaskan Rose. Tanpa ia sadari juga, Tio telah
menjadi budaknya. Membunuh, membalaskan dendam, meski
dirinya tak mengingat bagaimana ia bisa melakukannya. Cermin itu
selalu ia bawa kemana pun ia pergi. Tidak ada yang
mengganggunya lagi setelah hari dimana he made a deal with her.
Tio tak merasa aneh selama ia bisa menjalani hari-harinya seperti
biasa lagi.
Disisi lain teman-temannyalah yang merasa bahwa Tio
semakin aneh. Terkadang ia pulang membawa bunga mawar dan
botol kecil berisi cairan merah, atau hanya bunga mawarnya saja.
Setelah hari itu, Tio tak pernah lagi melihat perempuan yang telah
membantunya, meski dirinya masih menjalankan apa yang
diperintah diluar kesadarannya. Sampai saat dimana akhirnya
mereka berdua bertemu di Ancient Ram Inn. Bertatap muka,
rasanya tak asing bagi Tio. Ia merasa pernah bertemu dengan
perempuan yang ada di hadapannya.
Mari kita ulang kembali.
Di dalam ruangan itu, hanya Rose dan Tio yang saling
berhadapan untuk mengobrol. Bukan mengobrol, lebih tepatnya
Rose memberikan sebuah kilas balik pertemuan mereka. Seperti
tersihir, Rose juga memberi tau apabila darah para korbannya yang
selama ini Tio kumpulkan itu untuk dirinya sendiri. Tentu saja,
tujuan awal kebebasan Rose mencari sesembahan untuk dijadiin
budak setianya.

HEY ROSE | 286


Harusnya hanya Tio saja yang dijadikan budak oleh Rose, tapi
ada Maren bersamanya. Mau tidak mau, lelaki itu pun terlibat juga.
Tapi pada saat penawaran, Tio menolak kala Maren akan dijadikan
budak olehnya juga. Ia meminta agar dirinya saja yang mati lalu
dihidupkan kembali.
Dihidupkan kembali disini maksudnya, Tio dihidupkan jadi
budaknya Rose. Dan ya! Yang namanya iblis, penyihir, juga tidak
akan menepati omongannya, ia juga menjadikan Maren sebagai
budaknya.

“Paman Eron? Kak Ze nggak kenapa-kenapa, kan?!” Tanya


Randika yang tengah melihat Zemira tak terbangun dari ranjang
meski sudah beberapa kali ia guncangkan tubuhnya.
“Biar kakakmu istirahat, semalam dia belum tidur.”
Randika mengangguk tanpa mengalihkan pandangnya.
Lantas Eron berjalan keluar kamar untuk menemui keponakannya
di depan.
“Semalam kenapa kamu nggak biarin dia tetep di dalem
kamar?” selidik Paman.
“Maaf Paman, sepertinya aku terlalu kelelahan.”
“She touches more than what she sees.” Sembari menjatuhkan
tubuhnya di sofa.
“Jadi Zemira udah tau kalau Tio yang ngebebasin Rose?” Eron
mengangguk. “Kapan Eron mau jelasin tentang Rose ke dia?”
“Nanti, setelah dia sadar.”
Meski begitu Paman tetap masih menimang-nimang apakah
ia harus menjelaskan tentang Rose pada Zemira atau tidak.
Pasalnya gadis itu juga dapat menjadi senjata paling mematikan.
Paman hanya mengendarkan pandangan dengan mengangguk-
anggukkan kepala.

HEY ROSE | 287


LET’S END IT ALL

Apa yang sudah dikatakan oleh Jendra hingga Randika begitu


percaya dengan pernyataan bahwa Tio bisa kembali? Duduk
dengan menggulir ponselnya, ia pun tengah berpikir bagaimana
kemustahilan itu dapat terealisasikan.
“Kak, kalo Kak Tio bisa balik, Kak Ze bakal seneng nggak?”
Randika dan Zemira duduk di ruang makan dengan
pandangan kosong dan hanyut dalam lamunannya sendiri. Tak
disangka si bungsu melontarkan pertanyaan yang bahkan Zemira
sendiri tidak tau harus menjawab apa. Doni meninggalkan mereka
berdua di rumah, sedang ia tengah pergi bersama Paman. Namun
lelaki itu setiap menit menanyakan kegiatan yang Zemira lakukan
di rumah. Ia merasa takut bila Zemira dengan nekatnya melakukan
hal bahaya lainnya.
“Kalo gue bakal seneng banget, Kak.” Randika menjawab
sendiri pertanyaan yang ia lontarkan pada si sulung karena Zemira
tak kunjung menjawab. “Ya karena dia udah kayak abang gue
sendiri. Gue bakal ngelakuin apa aja sih yang bisa bikin dia balik.”
Suaranya semakin lirih. Menopang dagu sembari mendengkus.
Tatapannya sendu, jemarinya aktif bergerak mengetuk-ngetuk
meja.
“Nggak bisa Dik, kita nggak perlu ngusahain sesuatu yang
nggak bakal bisa balik.”
“Tapi Kak Tio bisa!” Randika menggebrak meja makan. Tak
begitu keras, namun mampu membuat Zemira tersentak. “Orang
kata Jendra bisa....”
Gumaman terakhir, gadis itu sangat yakin bahwa si bungsu
tengah terpengaruh oleh seseorang yang pernah ia
percaya─Jendra. Zemira tau bila sebelum keberangkatan mereka
ke Inggris, pertemuan antara Randika dan teman-temannya
membawa pengaruh yang dapat mencuci otak si bungsu.

HEY ROSE | 288


“Apaan sih lo? Kemaren-kemaren aja takut sama Tio, kenapa
sekarang sok-sokan mau bikin dia balik? Dasar aneh.”
“Beda, Kak. Gue udah bukan Randika si penakut, hehe.” Entah
sejak kapan tawa Randika terasa menyesakkan. “Tapi ya Kak, gue
serius pengen Kak Tio balik. Seenggaknya dia lebih bisa ngejaga lo
dari pada gue.”
Zemira mengernyit. “Maksud lo?”
Ting tong....
Suara bel rumah menggema di seluruh ruangan. Tanpa
berniat menjawab pertanyaan Zemira, Randika lebih memilih
mengalihkan atensinya ke arah pintu utama. Gadis itu tercekat kala
si bungsu beranjak dari kursinya. Menahan lengannya agar ia tak
segegabah itu membuka pintu. Zemira menggelengkan kepalanya
pelan kala kedua netra hitam mereka bertemu. Seakan tau
maksudnya, Randika menghela nafas.
“Kalo tamunya Paman Eron yang dateng gimana, Kak? Masa
mau nggak dibukain?”
“Ya tapi siapa? Doni nggak bilang kalo bakal ada tamu tadi.
Nggak perlu dibuka, Dik, udah sore, gue takut kalo orang asing yang
nggak dikenal berusaha nyelakain kita.”
Prasangka Zemira tak bisa disalahkan sepenuhnya karena
Doni memang tak mengatakan apabila ada tamu yang akan datang.
Ia hanya berpesan agar Zemira dan Randika tak pergi kemana pun,
terlebih pergi untuk menjamah alam lain. Ia tau bila Zemira masih
ingin bertemu dengan Tio karena gadis itu sudah sedikit
mengetahui seluk beluk kejadian yang tengah terjadi, karena
semakin Zemira mencoba untuk membuka energi yang ia miliki,
semakin pula ia dapat melihat hal-hal yang tersembunyi. Seperti
semalam.
Larangan akan pergi ke alam lain akan selalu diingatkan oleh
Doni, sebab mereka sama-sama sudah dealing with the same hell
just different devils. Buktinya Zemira dapat pergi ke alam lain
karena bantuan siapa? Siapa yang menjadi jembatan antara
alamnya dan alam mereka?

HEY ROSE | 289


Doni pun berpesan kala ia akan pergi dengan paman tadi,
agar Zemira dan Randika berada di pihaknya. Nanti malam tepat
pukul 11 akan ada ritual di Silent Hill, sebuah gereja tua yang tak
pernah terpakai sejak lama, tempat Rose kembali setelah
pemusnahan massal.
Hanya itu.
Drrt drrtt....
Getar ponsel di atas meja makan membuat mereka berdua
menoleh bersamaan. Itu ponsel Zemira, dengan nama seseorang
muncul di layarnya yang tengah menyala.
Doni.
“Halo? Doni ini—”
“Lo ada di rumah nggak sih?!” bentaknya dari seberang sana.
“Santai aja anjir! Iya ini gue di rumah napa sih? Lo kapan mau
balik? Gue beneran laper keburu mati.”
“Bukain pintu rumah, ada temen Eron dateng. Bawain lo
makanan juga.”
“Oh jadi temennya Paman Eron?”
Zemira melirik Randika dan memberi isyarat dengan
tangannya untuk membukakan pintu. Dengan patuhnya Randika
beranjak untuk menjalankan perintah dari Zemira.
“Gue kira siapa. Lo-nya nggak bilang kalo bakal ada tamu,
temennya Paman. Sengaja nggak gue buka karena takut ada orang
asing nyelakain gue sama Dika.”
“Lo tuh udah kena parno akut kayaknya! Dikit-dikit mikir yang
enggak-enggak!” Terdengar suara Doni yang terus mengomel dan
sesekali berdecak.
“Ish! Ya lo nggak tau apa yang gue rasain sih! Udah lo buru
pulang deh! Gue beneran kayak tahanan di sini berdua sama
Randika mana nggak ada makanan, nggak lo bolehin keluar rumah
juga.”
Tutt....
Tutt.... tutt....

HEY ROSE | 290


Zemira menjauhkan ponselnya dari telinga karena tak ada
jawaban dari sana, hanya ada suara sambungan yang ternyata
diputus sepihak oleh Doni.
“Si anjing!” ucap Zemira kesal yang langsung mengantongi
ponselnya.
Tersadar dengan tak adanya suara Randika semenjak ia pergi
ke depan untuk membukakan pintu, Zemira kemudian berlari
menghampiri. Langkahnya terhenti kala melihat adiknya
mematung di ambang pintu yang sudah ia buka. Randika masih saja
mengerjapkan matanya dengan cepat, takut-takut ia salah lihat. Ia
masih membelakangi Zemira dan menutup bayang sang tamu.
“Dika kenapa nggak disuruh masuk sih tamunya? Kenapa
diem aja di situ?”
“Kak,”
Sama seperti si bungsu, ia mendelik kaget kala Randika
membalikkan badan dan terlihat dua orang yang sangat ia kenal
berdiri di sana. Benar-benar di luar dugaannya. Seperti ia tengah
mendapat sebuah kejutan di hari ulang tahun. Keduanya terkejut
bukan main hingga rasanya jantungnya berhenti berdetak.
Namun sejak kapan mereka berdua menjadi tamu Paman
Eron? Kedua manusia itu hanya menyungging senyum seraya
menyapa Zemira dan Randika. Ditentengnya pula kantung berisi
makanan, seperti yang Doni katakan. Rasanya perut mereka
mendadak kenyang karena kedatangan tamu paman ini.
Sampai saat Doni dan paman pulang, kakak beradik itu masih
terus terdiam dan sesekali saling menatap satu sama lain. Mereka
berdua diterpa kebingungan dengan perasaan yang berkecamuk
tak karuan. Kini mereka duduk di sebuah ruangan luas yang paman
punya. Bukan hanya mereka berdua, ada Doni, Eron dan juga
teman-teman Eron—ah teman Zemira dan Randika juga.
Bagaimana mereka tidak terkejut kala satu persatu
temannya datang ke rumah Eron. Awalnya hanya Naja dan Aji, dua
orang yang berhasil membuat Zemira juga Randika berdiri
mematung sekian detik dengan rasa kejut merajalela. Juga

HEY ROSE | 291


beberapa menit kemudian hadir teman-teman Tio, si Dhirgam dan
Wira. Betapa dikejutknnya lagi ia karena dua sahabatnya datang
membersamai mereka. Jihan dan Lyra, yang terakhir datang adalah
Janu yang tak pernah terlihat batang hidungnya itu.
Mereka tak sendiri, ada yang bersama orang tua, Bibi atau
Paman mereka yang memang adalah teman dari Paman Eron.
Zemira terlihat beberapa kali memijit pelipisnya, menepoki
tengkuk, atau hanya sekedar melamun memandangi tamu yang
hadir satu per satu.
“Kenapa?” Itu yang tertangkap di bibir sahabatnya—Jihan,
kala gadis itu bertemu tatap dengannya. Zemira hanya menggeleng
tak berekspresi.
“Paman Eron...,” ucap Zemira lirih, namun tatapannya
menuntut.
Ia sudah tak bisa lagi menerka-nerka apa yang tengah terjadi
dan sudah cukup pening untuk memikirkan bagaimana bisa semua
orang yang ia kenal berada dalam satu ruangan ini. Yang ada di
pikirannya saat ini hanyalah satu, mereka yang tengah berada
dalam satu ruangan ini ada hubungannya dengan semua kejadian.
Namun mengapa mereka diam saja? Mengapa tak ada satu pun
orang yang menjelaskan pada Zemira sejak awal? Mengapa mereka
tak membantunya disaat ia kebingungan dan tersesat sendirian?
Eron menghela nafas dengan tatapan menuntut dan selidik
dari Zemira. “Teman-teman Eron ini ikut andil dalam pemusnahan
massal,” jelasnya singkat.
Tepat sekali! Tebakan Zemira tidak meleset bahwa mereka
memang ada hubungannya dengan kejadian itu. Ia memijat
pelipisnya sembari memejamkan mata dan menundukkan kepala.
18.00.
Suara jam kuno berdentang nyaring. Membuat semua orang
menghentikan obrolannya sejenak. Zemira masih di sana, dengan
posisi Randika yang nyaman bersandar di bahu kanannya. Ia
sedang asyik bermain game di ponselnya tentu saja. Meski sesekali
lelaki itu melirik ke arah jam. Berbeda dengan Zemira yang hanya

HEY ROSE | 292


diam mendengar pembahasan mereka. Dengan masih memandangi
secara bergantian mereka.
Ya, mereka tengah membicarakan bagaimana nantinya akan
mengakhiri semua kerugian yang disebabkan oleh Rose, juga
memutus semua yang berhubungan dengan sosoknya itu.
“Ikut gue.” Pergelangan Zemira tiba-tiba diraih oleh Doni. Ia
hanya menggenggamnya sembari menunggu persetujuan gadis itu
untuk ikut dengannya.
Menangkap itu, tentu saja Zemira tau bahwa lelaki yang
tengah berdiri menghadapnya kini akan memberikan semua
penjelasan yang membuat dirinya kebingungan dan terdiam sejak
tadi. Tanpa menjawab, Zemira langsung beranjak dari kursinya.
Gerakannya itu sontak membuat si bungsu menggeser duduknya
pula.
“Mau kemana, Kak?” Cegah Randika kala Doni dan Zemira
akan pergi.
“Gue mau ngobrol sama Ze sebentar.” Pamit Doni yang
langsung menarik Zemira tanpa menunggu persetujuan dari si
bungsu.
“Sebentar.” Itu hanya sebuah gerakan tangan kakaknya yang
menepuk-nepuk udara, yang dapat dicerna oleh Randika.
Tunggu sebentar ya katanya? Batin Randika yang lantas
menganggukkan kepala seraya memandangi punggung Zemira
yang baru saja hilang dari balik pintu.

“Gue—” baru saja Doni mengatakan itu, Zemira sudah tak


sabar menyela.
“Iya sok jelasin.”
Tanpa basa-basi gadis itu langsung to the point meminta
penjelasan dari lelaki yang menyeretnya ke luar rumah. Mereka
baru saja duduk di sebuah kursi kayu panjang menghadap tepat ke
arah perbukitan. Meski minim pencahayaan, cahaya alami dari

HEY ROSE | 293


sang rembulan membantu netra hitam Zemira menangkap
keresahan dalam raut wajah Doni.
“Gue mulai dari Dhirgam dan Wira, yang lo pasti udah tau
gimana ceritanya mereka berdua bisa terlibat. Eron yang bawa
mereka untuk sembuh. Eron bawa mereka ke rumah ini. Itu
alasannya kenapa beberapa kamar sengaja ditutup dan nggak
bolehin ada orang masuk sembarangan, karena ya ada sesuatu
yang nggak boleh lo tau. Ini hanya soal tradisi sebuah
penyembuhan.” Kalimatnya belum selesai. “Masing-masing kamar
ada penghuninya. Lo pasti tau apa maksud gue. Dhirgam, Wira—ah
Maren juga, mereka pernah tinggal di sini selepas Tio yang sering
ngilang dan tiba-tiba ada di Indonesia.”
Zemira mencoba menghubungkan sebuah cerita yang pernah
Maren bagi tentang bagaimana ia bisa sembuh.
Jadi rupanya karena Paman Eron, ya? Ia mengangguk paham.
“Janu sama Eron yang ngerawat orang-orang di sini.
Nyembuhin mereka yang—”
“Tunggu!” Sela Zemira memotong cerita Doni sepihak. “Jadi
selama ini Janu juga ada di sini? Dan waktu kabar Maren yang
ngeheboin kampus, lo sama Janu sebenernya tau kalo itu nggak
bener? Terus—AH GILA!!”
Zemira berteriak dengan meremat rambutnya. Doni
menjauhkan dirinya sembari menutup kedua telinganya. “TERUS
TEMEN GUE? JIHAN, LYRA? MEREKA SEBENERNYA JUGA TAU?
MEREKA NYEMBUNYIIN INI DARI GUE?”
“Chill anjir!” Doni mendorong lengan Zemira, meski tak
begitu keras tapi mampu membuat tubuhnya terhuyung. Gadis itu
rupanya terlalu lemas menahan tubuhnya sendiri dan tak berdaya
akibat kejutan yang tak disangka-sangka.
“Ya menurut lo, gue deket sama Jihan karena apa? Ya karena
orang tuanya pernah ikut pemusnahan massal lah! Lo terlalu mikir
tentang kisah romansa mulu sih sampe ngira gue deketin Jihan
karena mau PDKT lah, apa lah.”

HEY ROSE | 294


“Kalo Lyra... dia cukup pintar buat menelaah semua, tanpa lo
sadar. Temen lo tuh pinter, Ze. Jangan lo anggep diemnya mereka
tuh diem nggak ngerti apa-apa. Jangan lo anggep diemnya mereka
diem nggak peduli sama apa yang lo alami. Mereka tau karena lo
yang semakin menutup diri dari mereka.”
“Mereka tau karena mereka cari tau sendiri.”
Zemira merenung. Sudah lama memang ia tak berkontak
dengan Jihan, bahkan grup yang berisikan empat orang itu seakan
lenyap dan tak ada tanda kehidupan dari keempatnya. Berbeda
dengan Lyra yang masih menaruh simpati lebih padanya meski tak
sekalipun Zemira berbagi masalah ini dengannya.
Benar juga kata Doni jika Lyra cukup pintar. Jadi percuma
saja selama ini ia menyembunyikan apa pun dari sahabatnya itu.
“Lyra, cuma pengen bantu lo keluar dari circle ini,” imbuh
Doni.
“Terus Aji, Naja? Apa karena mereka berdua temen—”
“Jendra ngebunuh kakaknya Naja, kalo Aji, karena bibinya
temen Eron.”
“HAH? J-Jendra?”
Doni mengangguk. “Iya, Jendra.”
Bibirnya kelu mendengar perkataan Doni. Bagaimana bisa
Jendra? Pasalnya ada cerita berbeda dari Naja, dimana ia, Haikal,
dan Cakra yang menjadi saksi atas kematian kakaknya sendiri. Atau
yang dimaksud Naja kala itu adalah mereka bertiga tengah menjadi
saksi dimana Jendra membunuh orang terkasih Naja?
“Jadi itu bukan Mamanya Iren atau Jendra, kan? I mean itu
sebenernya iblis yang nyamar jadi mama mereka? Mereka berdua
juga sebenernya kejebak—”
Doni menggeleng tak membenarkan asumsinya dan langsung
memotong kalimat Zemira. “Rose itu Ibu kandung Iren sama
Jendra. Dia lahir saat gerhana bulan. Tepatnya hari ini.”
“Ada mitos-mitos yang diyakini masyarakat sini, gue mau
cerita tapi apa lo bisa nerima nantinya?”
“Bisa! Gue bisa.” Yakin Zemira.

HEY ROSE | 295


Lantas Doni menceritakan sedikit kisah atau mitos
masyarakat yang ia ketahui, dengan Zemira yang tengah
menyimak.
Konon, anak yang dijuluki moon children akan terlahir
dengan setan jahat yang merasuk di dalam diri mereka. Rose—
hasil dari hubungan seksual saat gerhana bulan yang konon
katanya akan berdampak buruk pada anak yang dihasilkan dari
hubungan suami istri itu.
Lahir di benua Eropa, gadis itu tumbuh tanpa kedua orang
tua. Ia tumbuh tak seperti anak pada umumnya. Di usia 17 tahun, ia
bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit yang diderita oleh
masyarakat sekitarnya. Hingga lima tahun lamanya, masyarakat
meyakini bahwa gadis itu adalah seseorang yang diciptakan oleh
Tuhan dengan sangat special. Masyarakat semakin bergantung
kepadanya. Meski tak ada yang tau bagaimana ia bisa mendapatkan
kelebihan itu.
Ia dianggap sebagai penyihir yang telah melakukan apa pun
dengan baik untuk dirinya sendiri. Atau mungkin kedua orang
tuanya yang mewariskan itu kepadanya.
Rose juga bagian dari sekte pemuja setan di California yang
terdiri dari orang-orang cantik dan kaya. Keadaan menjadi lebih
rumit bagi seorang lelaki biasa yang tengah jatuh cinta pada Rose.
Hingga mereka berdua menikah di Indonesia dan memiliki dua
anak. Iren dan Na Jendra.
Rose menyembunyikan identitas dari suaminya bertahun-
tahun lamanya. Hingga ia harus kembali ke California untuk
mengikuti sebuah Ritual of Evil. Mengenakan jubah hitam dan
mengorbankan manusia untuk Tuannya, adalah hal yang wajib dari
ritual tersebut.
Masyarakat semakin resah, terlebih dengan adanya
penemuan mayat yang tak henti-hentinya. Merasa janggal dengan
Rose yang hampir setiap hari pergi ke bukit di atas sebuah
pedesaan itu, beberapa orang—Eron, juga kedua orang tua Janu
mengekori perempuan itu kala dirinya pergi ke sana.

HEY ROSE | 296


Silent Hill.
Sebuah bukit yang hampir tak pernah dijamah manusia nan
sunyi senyap, ternyata memiliki satu bangunan kokoh yang tak
banyak orang tau keberadaan bangunan itu. Rose pergi ke sana
untuk bertemu dua perempuan lainnya. Mereka tengah
membicarakan tentang ritual di bulan purnama. Yang mereka
yakini akan membuat hidup mereka abadi.
Mendengar itu, Eron dan kedua orang tua Janu yang memang
adalah anggota dari salah satu perkumpulan penentang sekte tak
tinggal diam. Mereka pun menambah target pemusnahan massal.
Gereja Setan - Silent Hill.
Saat mereka berkumpul di malam purnama, Eron dan hampir
seluruh masyarakat setempat berhasil menghancurkan ritualnya.
Dan ketiga perempuan, Rose, Ibunya Haikal, juga Ibunya Cakra,
yang sangat berperan penting itu kedua tangannya diikat dan
digantung di sebuah pohon linton yew samping gereja. Namun
mereka lupa dengan satu hal.
Dan hanya Rose, yang jiwanya terjebak di sebuah cermin.
Lantas mereka memasukkan cermin dan semua barangnya yang
tertinggal dalam satu box besi yang terikat dengan lilitan rantai.
Lantas mensucikan tempat itu agar bisa digunakan masyarakat
untuk beribadah atau hal baik lainnya.
Mass extermination of satanic cults menghebohkan seluruh
manusia di belahan dunia. Siaran TV, koran, radio, dan media yang
lain telah mengabarkan adanya pemusnahan massal yang terjadi di
Benua Eropa.
Lantas seseorang dengan tanpa sengaja membuka kotak besi
tersebut.
Rose kembali untuk anaknya. Ia akan menitiskan dirinya dan
membentuk sekte baru yang akan menguasai dunia. Balas dendam,
motif utamanya. Namun sebelum itu, ia harus menyingkirkan orang
yang akan menghalangi jalannya.
Jefri—anak dari pasangan suami istri yang sempat ikut sekte
yang sama. Namun mereka lebih dulu meninggalkan sekte itu dan

HEY ROSE | 297


siapa pun yang pernah masuk atau dealing with devil, mereka harus
disembuhkan. Dan saat itu rumah Eron adalah rumah penyem-
buhan bagi mereka. Lantas kedua orang tuanya meninggal setelah
ikut serta dalam pemusnahan massal. Rose mengincar Jefri karena
ia merasa lelaki itu akan menghalangi jalan kedua anaknya jika ia
berhasil menitiskan dirinya. Jefri terbunuh.
Tentang Jendra, awalnya ia tak tau menahu jika mamanya
adalah penyihir atau ketua sekte yang disegani atau bahkan iblis. Ia
hanya membantu dan menggali informasi. Namun semenjak Tio
kembali ke Indonesia, ia sadar bila dirinya mulai berbeda. Ia tak
bisa menahan diri kala melakukan sesuatu yang bukan
keinginannya.
Zemira mengerjap beberapa saat usai Doni mengakhiri
ceritanya.
“Jadi, gue pun harus disembuhin?” tanyanya.
Doni mengangguk. “Terlebih ... adik lo yang jiwanya sudah ....”
Gadis itu tercekat. Menatap kedua mata Doni dengan tatapan
yang penuh dengan ketakutan, kekhawatiran, yang tak dapat
didefinisikan.
“J-jangan bilang ....” Kalimatnya menggantung. Zemira
mengingat lagi kejadian dimana si bungsu pergi ke tengah hutan
dan melakukan sesuatu yang disebut offering.
“Don! Apa pengaruhnya sama gerhana bulan gini?!” Ia
menelan ludah kasar.
Doni tersentak dan menahan pergelangan lawannya kala
Zemira sontak berdiri sembari melemparkan sebuah per-
tanyaannya.
“Ze....”
“JAWAB!”
Bola mata Doni bergerak kesana kemari. “Bisa
mempengaruhi aura manusia. Khususnya bagi mereka yang
memang jiwanya sudah berada dalam lingkaran. Gerhana bulan
mengungkapkan apa yang tersembunyi tentang lo yang belum
pernah terungkap sebelumnya.”

HEY ROSE | 298


“A-apa maksudnya?!” Zemira tak paham.
“Ya lo bisa berubah jadi siapa lo sebenernya. Lebih simple-
nya lagi, di diri lo 60% jahat 40% baik, lo berubah jadi jahat, vice
versa.”
Rasanya hanya untuk menelan ludah sendiri saja Zemira tak
sanggup. Kerongkongannya benar-benar kering. Ia hanya berharap
semoga saja adiknya masih berada di pihak yang sama dengannya.
Ia semakin gugup kala menangkap sebuah bayangan menghampiri
mereka.
“Zemira!!! Doni!!!”
Itu suara Lyra. Ia berlarian dengan Naja dan Aji di
belakangnya. Menghampiri Zemira dan Doni tentunya. Namun
belum sempat Lyra bicara, Zemira lebih dulu membombardirnya
karena raut wajah mereka membawa rasa cemas dan khawatir.
“APA?!”
“KENAPA?!”
“AYA NAON?!“
“IH NGOMONG CEPET ATUH!” Ia menggoyangkan tubuh Lyra
yang masih sibuk mengatur nafasnya.
“I-itu Randika—adik lo ....”
“RANDIKA NGGAK ADA DI RUMAH, KAK!!” Teriak Naja yang
baru saja sampai dan membuat jantung Zemira seakan berhenti
berdetak.
“A-apa?” Kalut. Tubuhnya bagai dihempas oleh angin ribut.
Rasanya sesak sekali. Tanpa berpikir panjang Zemira menerobos
Lyra dan Naja yang ada di depannya.
“ZEMIRA!!”
“KAK ZE!”
Tanpa pikir panjang, ia lari dengan sekuat tenaga menuju
bukit di sana. Doni yang terkejut dengan Zemira yang tiba-tiba
berlari tanpa pamit itu pun tengah mengejarnya, namun entah
mengapa jarak di antaranya tak dapat ia kikis.
“Zemira!!” Teriak Doni yang nampaknya tak didengar oleh
gadis itu.

HEY ROSE | 299


Apa yang mereka rencanakan, Randika sama sekali tak
mengerti. Ia hanya fokus pada game yang ia mainkan di ponselnya.
Dengan sesekali mendecih mendengar beberapa kalimat yang ia
tangkap dari obrolan mereka.
“Cih! Mitos gerhana bulan,” gumamnya. “Kenapa dah orang-
orang kuno percaya banget sama mitos,” ucapnya lirih.
Satu notifikasi masuk, membuatnya melirik ke arah jarum
jam. Buru-buru ia matikan ponselnya dan beranjak dari kursi
empuk yang sedari tadi mampu membuatnya duduk dengan
nyaman. Mereka semua sibuk berdiskusi hingga tak menyadari
seorang lelaki tengah berusaha melarikan diri.
Rasa takutnya seperti menghilang begitu saja. Ia bukan lagi
Randika si penakut. Buktinya, kali ini ia berjalan sendiri menuju
Silent Hill. Tanpa penerangan apa pun. Ia hanya mengandalkan
cahaya rembulan yang bersinar begitu terang. Meski beberapa kali
ia terkejut akan suara-suara serangga atau hewan malam yang
masih terasa menyeramkan baginya.
Sebelum pergi tadi, ia tak lupa membawa jubah hitam yang
Jendra berikan sebelum keberangkatannya ke Inggris. Entah
bagaimana caranya ia bisa menyembunyikan barang itu dari
Zemira. Padahal baju mereka berdua dikemas dalam satu koper.
Di tengah perjalanan yang ia yakini sudah setengah jalan,
Randika berhenti sejenak. Ia mengenakan jubah hitamnya yang
dari tadi masih berada dalam genggamnya, tanpa melepas sehelai
pakaian yang ia kenakan.
Lantas kedua kakinya melanjutkan langkahnya yang terjeda,
sembari ia menundukkan pandangannya untuk melihat pada
kedua kaki dengan teratur menginjak batuan kecil dan daun-daun
kering. Tiba-tiba terbesit segala rasa bersalahnya terhadap si
sulung. Ia lupa untuk berpamitan pada Zemira—ah Randika
memang sengaja menyembunyikannya. Karena ia yakin bahwa
kakaknya tak akan setuju dengan keputusan yang ia buat.

HEY ROSE | 300


Sebenarnya ia sendiri ragu. Apakah ini sebuah keputusan
atau memang jalan takdir hidupnya?
Dugh!!
Ujung kakinya tak sengaja menendang sebuah pagar yang
menandakan bahwa ia telah sampai di tempat tujuan. Ia
mendongakkan kepala, sontak berjingkat kecil kala di balik pagar
telah ada seseorang yang mungkin sedari tadi menunggu hadirnya.
“Kaget gue!” protes Randika sembari mengusap dadanya.
“Dih? Udah nyampe sini sendirian baru ngerasa kaget karena
ngelihat gue? Lo di jalan apa nggak kaget sama—”
“YA LO PIKIR SENDIRI, KAL!”
“Haha chill, Dik! Etdah.” Tawa Haikal. “Lo masuk aja sono,
Jendra di dalem sama kakaknya.”
Randika mengangguk. “Berdua doang? Maksud gue bertiga
doang sama lo?”
“Nggak lah. Cakra sama ... bentar deh lo nggak ketemu sama
Kak Tio di bawah tadi?”
“Enggak tuh.”
Haikal hanya ber-oh ria dengan sedikit mengangguk-
anggukkan kepalanya. “Ya udah.” Ia berjalan berlawanan arah
dengan Randika.
“Lah lo sendiri mau kemana?”
“Ke bawah.”
“Ngapain?”
“Cari makan. Laper,” jawab Haikal singkat seraya
membalikkan tubuhnya. Tangannya menarik tudung jubah untuk
menyembunyikan wajahnya di sana.
Beberapa langkah menuju bangunan, barulah Randika
tersadar dengan kalimat yang dilontarkan Haikal. 'Lapar' dalam
artian apa? Apakah itu lapar yang sesungguhnya atau ada maksud
dan artian lain di balik kata lapar?
Kini Randika berdiri tepat di depan bangunan, pikiran
polosnya kembali menyelimuti lelaki itu. Pertanyaan-pertanyaan
yang membingungkan dirinya sendiri, seperti,

HEY ROSE | 301


“Kenapa gue di sini?”
“Lah kalo gue masuk ke tempat ibadah orang lain, gue dosa
nggak sih?”
“Tapi, ini beneran tempat ibadah bukan?”
“Ngapa dah Jendra juga ada di dalem?”
Randika! Enyah saja kau dari bumi! Mengapa bisa pikiran
polos baru saja datang di saat kau sendiri sudah percaya dengan
jiwa yang bisa kembali dihidupkan? Sudah tinggal saja putar
tubuhmu dan kembali pada kakakmu yang sekarang sedang
mengkhawatirkan keberadaanmu! Setelah itu mintalah maaf pada
Tuhanmu yang kau percayai itu!
Krieetttt....
Rupanya bangunan ini sudah benar-benar berumur.
Pintunya saja dapat menghasilkan suara se-nyaring itu. Jika dilihat
dari luar, tampak sangat menyeramkan karena tak ada satu pun
pencahayaan. Berbeda kala Randika memasuki bangunan yang
tampak seperti gereja itu.
Banyak obor menyala di dalam, sebagai alat penerang dalam
kegelapan. Tak ada lampu di bangunan ini, mungkin karena tidak
adanya aliran listrik yang sudah di putus sejak lama. Dan
keberadaan tiga orang yang sibuk menyiapkan segala sesuatunya,
mengarahkan atensi pada seseorang yang baru saja masuk.
“Dika!” sapanya.
Ia menghampiri Randika dan membawakan dua tangkai
bunga mawar untuknya. Dan satu tangan lainnya menggenggam
sebuah kalung yang entah untuk apa. Menyelipkan dua tangkai itu
pada saku dalam jubah Randika.
“Buat apaan dah?” tanya Randika tak mengerti.
“Syarat,” jawabnya singkat. “Lo ke sini sendirian kan?”
“Ya menurut lo aja ini emangnya gue keliatan bawa orang
sekampung?”
“Kak Ze?”
“Di rumah.”
“Lo bilang sama Kak Ze kalo mau ketemu gue?” Selidiknya.

HEY ROSE | 302


“Emang gue harus bilang?” Randika malah menjawab dengan
sebuah pertanyaan pula.
“Ya bilang aja kalo lo mau. Harusnya sih lo pamit sama kakak
lo.”
Randika berdecak. “Kenapa nggak dari tadi aja lo bilangnya
Jendra?? Gue udah di sini yang ada Kak Ze nyariin gue kemana-
mana kalo gue ngabarin sekarang,” ucapnya gemas.
“Ya emang dia bakal nyariin lo nggak sih meskipun lo nggak
ngabarin dia?”
“Si anjir lo emang sengaja banget ye bikin ribut!”
Jendra tertawa. Rasanya begitu menggelikan menggoda
sahabatnya itu—iya sahabat. Lawannya pun ikut tertawa dan
beberapa saat memandang Jendra, ia merasa seperti ada sesuatu
yang aneh. Tangan kanannya meraih tudung Jendra yang menutupi
kepalanya itu. Ia ingin menyingkap tudungnya karena Randika
yakin manik hitamnya menangkap sebuah gundukan yang
menyerupai tanduk, namun tangan kekar Jendra lebih dulu
menghempaskan tangannya dengan cepat.
“Sakit bangsat!” umpat Randika.
“Lo nggak sopan!” Sembari membenarkan tudungnya yang
hampir tersingkap. Lantas ia berjalan keluar dari bangunan tua itu
tanpa memerdulikan tatapan yang dilayangkan Randika.
Randika menyipitkan matanya untuk memperjelas peng-
lihatannya.
Aneh. Kenapa kepala Jendra?

Katakanlah Zemira keras kepala. Tapi memang itu sifat


alamiah yang ada dalam dirinya. Ia tak peduli dengan siapa yang
akan ia hadapi. Ia tak peduli lagi bila harus bertaruh nyawanya
sendiri. Yang jelas, tidak boleh ada satu pun yang ikut bersamanya.
Meski ia sendiri takut, namun ia tak ingin bila orang yang
bersamanya nanti akan ikut menjadi sasaran pula.

HEY ROSE | 303


Baru kali ini gadis itu berlari sekencang-kencangnya. Seperti
pelari profesional, ia sama sekali tak kenal lelah.
“Dik, angkat!! Randika angkatttt!!”
Menatap layar ponsel, kemudian mendekatkan kembali pada
telinganya. Hanya itu yang ia lakukan beriringan dengan langkah
kakinya. Semakin ia masuk ke bukit itu, semakin susah ia
mendapatkan sinyal. Terakhir, Zemira mendapat panggilan dari
Doni yang hanya mampu berkata,
“Ze! Jangan terusin jalan sendiri! Diem disitu, gue—“
Lantas sambungan terputus. No signal. Ia menghempaskan
ponselnya lalu membawa benda itu ke dalam sakunya. Jemarinya
meremat surai hitam miliknya. Merotasikan bola matanya ke kanan
kemudian ke kiri, hingga akhirnya ia berjongkok dan menangis.
Menenggelamkan wajahnya di perpotongan lengannya. Memeluk
kedua kakinya dengan bahu yang naik turun tanda tangisnya
semakin dalam.
“Randika gue cuma punya lo doang....”
“Gue takut....” Gumamnya di tengah isakannya.
Angin kencang tiba-tiba saja berhembus, melewati gadis
yang tengah berjongkok itu. Membuat Zemira mendongakkan
kepalanya. Netra hitamnya menelisik ke depan. Rupanya kabut
mulai turun. Tak ingin menyia-nyiakan waktu lagi, Zemira bangkit
dan menyeka wajahnya dengan telapak tangannya. Nafasnya
bahkan belum teratur, tapi ia sudah kembali nekat melangkahkan
kakinya.
Harusnya ia sadar bahwa ada sepasang mata yang sedang
mengawasinya tak jauh dari tempat dimana ia berdiri. Udara di
sekitarnya mulai terasa menyesakkan. Dingin, namun bisa
membuat keringat Zemira bercucuran. Suara-suara aneh yang ia
dengarlah yang menjadi salah satu penyebab ia berkeringat.
Berkali-kali ia membalikkan tubuhnya, tapi tak ada seorang pun di
sana.
Pelan-pelan gadis itu mencoba berjalan kembali. Ritme
jantungnya melampaui batas normal ketika ia mendengar suara

HEY ROSE | 304


langkah kaki di belakangnya. “D-doni? I-itu lo di be-lakang g-gue?”
ucapnya terbata. Ia tak berani untuk sekedar membalikkan
tubuhnya, memastikan siapa atau apa yang tengah berada di
belakangnya.
Hening.
“O-oh bu-kan y-ya?”
Ia terus berjalan dengan kepala menunduk. Lagi-lagi ia
kembali dikejutkan oleh seseorang yang jaraknya tak terpaut jauh
di depannya tengah berjalan ke arahnya.
Sesak.
Rasanya ia hampir kehilangan nafas. Menangkap sosok
Jendra yang tengah berjalan menujunya. Meski hanya karena
cahaya rembulan sebagai penerang, dirinya sendiri yakin bila
seseorang yang tengah melangkahkan kaki ke arahnya itu adalah
Jendra, meski manik hitamnya pun sedikit tertutup kabut. Zemira
masih hafal dengan perawakan lelaki yang pernah ia anggap
sebagai adik keduanya.
Zemira kebingungan.
Apakah ia harus terus berjalan? Apakah ia berdiam diri saja
di tempat? Apakah ia harus lari ke sembarang arah agar tak
berpapasan dengan Jendra? Tubuhnya terasa kaku kala telinganya
menangkap suara gumaman dari balik tubuhnya. Seperti sedang
merapal mantra? Tak begitu jelas apa yang tengah ia dengar.
“Aaaarrgh!!!” Sontak Zemira berteriak ketika tubuhnya
serasa ditusuk dengan belati dari arah belakang. Rasa sakitnya dari
punggung hingga menembus ke jantung.
Jangan... gue mohon jangan sekarang... keluhnya dalam hati.
Tak ada benda apa pun yang menusuk dirinya. Sungguh tak
ada. Ia meraba tubuh bagian depannya dengan tangan gemetar.
Seketika ia tersungkur ke depan. Rasa sakitnya melebihi rasa sakit
apa pun yang pernah Zemira rasa. Bertumpu pada lutut dan kedua
lengannya, ia terbatuk-batuk hingga darah keluar dari mulutnya. Ia
ingin menangis, sungguh. Ketika seorang lelaki dari balik tubuhnya
menjajari dirinya.

HEY ROSE | 305


Tio—bukan, entah makhluk apa yang sekarang berada dalam
tubuh orang yang Zemira cintai, atau mungkin Rose? Dengan
seringai di wajahnya. Kilat tajam matanya mampu menjerumuskan
gadis itu ke alam lain.
“Ze, bunuh tubuhku....”
“Lawan aku, sekuat yang kamu bisa....”
“Bunuh aku, jangan takut.”
“Zemira cepat bangun dan kembali!”
Suara itu, entah datang darimana memenuhi ruang pikir
Zemira. Pada saat yang bersamaan Tio menggoreskan batang
bunga mawar ke kulit tipis milik lawannya. Kejadian itu sama
persis dengan kejadian dimana Tio melumpuhkan Jefri di kamar
kosnya. Zemira pun dipaksa menggenggam beberapa tangkai
bunga mawar, hingga telapak tangannya mengucur deras cairan
merah.
Zemira tak bisa berbuat apa-apa karena tubuhnya benar-
benar terasa kaku. Ia sangat kesulitan menggerakkan tubuhnya. “T-
Tio.... Aaaaarghhh!!!” Ia menangis tersedu dan hanya teriakan yang
mampu keluar dari mulutnya.
Hampir saja tangan sosok itu menyentuh leher gadis yang
tengah dilanda rasa sakit. Padahal tangannya yang lain tengah
terulur, dengan kuku tajam yang sudah menempel di kulit leher
Zemira. Siap untuk menggoreskan diri.
Jendra datang menghentikan aksinya.
Zemira mendongak perlahan. Betapa terkejutnya gadis itu
dengan rupa Jendra. Lelaki itu sama sekali tak terlihat seperti
Jendra yang ia kenal. Mulutnya penuh dengan cairan merah yang
entah bagiamana bisa, matanya berubah menjadi penuh dengan
warna hitam. Seperti kedua mata Randika kala itu. Alis mata yang
runcing ke atas, serta kuku panjangnya.
“J-Jen....”
Jendra menyingkap tudung yang menyelimuti kepalanya.
Gadis itu semakin dibuat terkejut dan seakan tak percaya dengan
apa yang ia lihat. Dua buah tanduk bersarang di sana.

HEY ROSE | 306


Tio beranjak dari sana, meninggalkan Jendra untuk
menuntaskan sisanya. Zemira masih terisak dan semakin terisak
melihat seseorang yang pernah ia anggap adik sendiri berubah
menjadi makhluk yang menyeramkan menurutnya.
“Kak... jangan cari Randika. He's already part of ....”
Zemira menggelengkan kepalanya.
“Percuma lo ke sana. Lo nggak bakal bisa jemput Randika
pulang. He's not himself anymore.”
“Eng-gak Jen! J-jangan....” Hanya itu yang mampu keluar dari
mulutnya. Susah. Sangat susah. Ia terlalu lemah dengan cairan
merah yang terus keluar dari telapak tangannya, juga mulutnya
yang masih merah membasah.
“Someone will sell his soul demi menghidupkan kembali jiwa
yang telah mati.”
“Dan lo tau itu siapa.”
Jendra memakai tudungnya kembali. Kini lelaki itu berdiri
dengan menatap Zemira datar tanpa ada rasa kasihan atau niat
untuk menolong. Bagaimana pun ia juga pernah menganggap
Zemira sebagai kakaknya. Jendra hanya meninggalkan Zemira
sendiri di sana. Dengan keadaannya yang mengerikan.

Atmosphere di dalam gereja berubah kala Tio datang.


Randika yang sejak tadi menaburkan kelopak bunga mawar di sana
menghentikan kegiatannya saat menyadari seseorang menepuk
bahunya.
“Kenapa, Teh?” tanyanya pada Iren.
“Yuk kita mulai.”
“Tapi Jendra belum balik.”
“Nggak papa, lo gue bawa ke alam lain dulu.”
Randika mengernyit. Ia kebingungan karena tak tau menau
bila hal seperti ini ada di dunia. Bila ia sendiri bisa untuk pergi ke
tempat yang bukan alamnya.

HEY ROSE | 307


Iren menarik pergelangan tangan Randika agar lelaki itu
mengikuti langkahnya. Dan kini ia berdiri tepat di sebuah lingkaran
pentagram. Bola matanya merotasi ke arah Tio yang berdiri tak
jauh di depannya.
“Kak Tio,” sapanya, yang hanya dibalas tatapan tajam nan
dingin.
Ah bukan Kak Tio ya? batinnya.
Cakra membantu Iren menyalakan lilin-lilin di sekitar
lingkaran itu, membuat Randika terheran-heran mengapa mereka
harus pula menyalakan lilin, padahal obor di dalam sudah lebih
dari cukup membantu penerangan mereka.
Krieeettt....
Jendra dan Haikal muncul bersamaan. Masuk ke dalam
bangunan itu dengan ekspresi wajah yang berbeda. Tidak seperti
saat Randika datang. Randika merogoh ponselnya kala mereka
sedang sibuk memposisikan diri mereka. Menyalakan ponsel yang
sengaja ia non-aktifkan. Terdapat 50 panggilan tak terjawab dari si
sulung, lebih dari 40 pesan yang dikirim Naja, Aji, Doni, juga
Zemira.
Randika tersenyum melihat mereka masih meng-
khawatirkannya. Jemarinya bergerak dengan cepat untuk
membalas pesan-pesan mereka, salah satunya Naja. Tak lupa pula
banyaknya pesan yang ia kirim untuk sang kakak tersayangnya. Ia
terkekeh, pasti si sulung akan memarahinya mati-matian hingga
sekilas Randika dapat membayangkan bagaiman wajah Zemira
yang tengah marah—yang akan selalu menjadi favorite-nya karena
ia dapat melihat besarnya rasa sayang yang Zemira berikan
untuknya. Setelah kemudian suara Tio yang menggelegar membuat
ponselnya terlempar, dan tubuh Randika terguncang hebat.

“Lo sumpah bebel banget bangsat nyusahin!” Umpat Doni


pada Zemira.

HEY ROSE | 308


Paman Eron dan semua orang telah menemukan Zemira. Kini
mereka berjalan bersama menuju tempat dimana Rose akan
menitiskan dirinya.
“Don! Udah kenapa sih?!” protes Jihan tak terima dengan
Doni yang terus menerus memaki Zemira dan meluapkan rasa
kesalnya.
Doni dan Jihan tengah membopong Zemira bersama. Gadis
itu seperti sudah tak bernyawa lagi—maksudnya ia hanya diam,
berjalan sekenanya, dengan tatapan kosong tentu saja.
“Kak kalo Kak Tio bisa balik, Kak Ze bakal seneng nggak?”
“Kalo gue bakal seneng banget, Kak.”
“Ya karna dia udah kayak abang gue sendiri. Gue bakal
ngelakuin apa aja sih yang bisa bikin dia balik.”
“... gue udah bukan Randika si penakut, hehe.”
“Tapi ya, Kak, gue serius pengen Kak Tio balik. Seenggaknya
dia lebih bisa ngejaga lo dari pada gue.”
Mata Zemira yang kering itu kembali basah. Mengingat
obrolan singkatnya bersama si bungsu di sore hari, membuat
dadanya sesak sekali.
“Kak Ze!!! Randika bales chat gue!” seru Naja yang berlarian
mendahului yang lain dan menghentikan langkah Zemira. Gadis
yang masih menyisahkan sedikit energinya itu langsung
menyambar ponsel yang sedang dilayangkan di depan wajahnya.
Benar. Randika membalas ratusan pesan yang Naja kirimkan.
Dengan tangan gemetar, ponsel miliknya ia buka. Sayang,
sepertinya semesta tak berpihak kepada Zemira. Ponselnya mati.
Entah karena insiden tadi atau baterai ponselnya yang tak bisa
bertahan lebih lama lagi.
“Na... telfon. Gue mohon telfon Randika.”
Naja mengangguk dan langsung menyetujui permintaan
Zemira. Ia hubungkan panggilan, namun bukan suara Randika yang
ia dengar. “Kak, nggak aktif.”
“Nggak. Nggak. Coba telfon lagi.”

HEY ROSE | 309


Percobaan kedua. “Nggak aktif, Kak.” Kini Naja mengaktifkan
mode loudspeaker agar semuanya bisa mendengar, termasuk
Zemira.
“Telfon lagi Na!!”
“Ze....” Lyra mengusap bahu Zemira.
“CEPET TELFON LAGI!!!”
Doni berusaha menenangkan Zemira yang terus saja
berontak. Seperti lupa bahwa ia baru saja terluka, ia berlari
sekencang-kencangnya ke arah bangunan itu kala Naja menyerah
untuk menghubungi Randika. Eron dan yang lain pun segera
menyusulnya. Gadis itu sudah menarik pagar pembatasnya hingga
terbuka, namun Doni lebih dulu menangkapnya kala Zemira
hampir memasuki wilayah itu. Menarik tubuh mungilnya dan
merengkuhnya.
“Ze! Sumpah lo jangan gegabah please gue mohon sama lo,”
bisik Doni di telinga Zemira seraya mengusap belakang kepalanya.
“Lepasin gue!! Lepasin!!!” Ia masih terisak sembari memukuli
punggung lawannya. “DONI GUE BILANG LEPASIN!! Adik gue, Don!!
Randika ada di dalem gue mau ke sana, gue mau nyusulin dia tolong
lepasin gue!!”
Bibirnya bergetar. Doni pun tak bisa menahan air mata yang
sudah berada di ujung matanya. Tak tega mendengar suara isak
serak Zemira yang hampir hilang.
“Lo mau nyelametin adik lo? Gue pasti bantu, tapi lo tenang,”
bisiknya lagi. “Lo tenang, ikut gue... lo harus tenang.”
Tubuh Zemira melemah lagi. Ia tenggelamkan wajahnya di
dada Doni dan menggenggam erat bajunya. Zemira menangis
sejadi-jadinya lagi, ia tak sanggup membayangkan bagaimana sang
adik kini. Bahunya bergetar naik turun dengan teratur. Doni yang
air matanya ikut meliuk itu terus mengusapi punggung Zemira.
Berusaha menenangkan juga memberi rasa aman dan nyaman.
Agar gadis itu yakin bahwa semua akan baik-baik saja.
“Kita punya waktu 30 menit sebelum gerhana bulan. Waktu
dimana dia akan menitiskan dirinya dan terlahir kembali.”

HEY ROSE | 310


“Dua cermin mawar harus sama-sama dipecahin di waktu
yang tepat. Saat upacara penyerahan jiwa dan penitisan nanti,
mereka akan fokus pada mangsa, juga ritualnya.”
“Mangsa?” tanya Dhirgam pada Eron. “Will there be more
prey?”
Paman Eron mengangguk. “Ya, setidaknya mereka mem-
butuhkan tiga mangsa.”
Semua menyimak penjelasan Eron, kecuali satu orang yang
diam-diam menyeringai kecil di balik wajah seriusnya.
“Zemira, Paman harap kamu bisa berkontribusi dengan baik.
Jangan gegabah. Apa pun itu Doni bakal temenin kamu. Kalian
berdua cari cermin itu di alam mereka. Jangan terkecoh dengan
keadaan di sana.”
“Biar gue sendiri yang pergi ke sana, Paman.”
“Nggak!! Gila aja lo mau kesana sendiri?” Lyra menyambar.
“Gue nggak percaya kalo lo mau pergi ke sana sendiri!”
“Kita berdua, Ze. Lo sama gue. Nggak usah nyalahin aturan.”
Tukas Doni dengan penuh penekanan.
Zemira menyerah. Ia hanya bisa menghela nafas pasrah.
“Dika... Randika gimana, Paman? Apa dia bakal baik-baik aja?”
“Iya,” jawab Eron singkat. Entah jawabannya memang benar
Randika akan baik-baik saja atau sebaliknya? Jawaban yang hanya
untuk melegakan hati Zemira saja saat ini. Jawaban yang memang
dibutuhkan oleh gadis itu.
Lima buah obor telah dinyalakan di sekeliling Doni dan
Zemira. Kini mereka berdua duduk di tengah-tengah lima obor itu.
Saling berhadapan. Bahkan kini Doni mengikat tangan kirinya
dengan tangan kanan Zemira.
“Kalo gini lo nggak bakal bisa lari sendiri,” ujarnya sembari
mengikat tangan gadis yang ada di hadapannya.
Darah dari telapak tangannya terus saja mengalir meski tak
sebanyak tadi. Ia sama sekali tak mengkhawatirkan jika darahnya
bisa saja habis.
“Doni.”

HEY ROSE | 311


“Hm?”
“Lo belum cerita kenapa lo bisa dapetin banyak luka di tubuh
lo.”
Doni tersenyum masam. “Perjuangan gue buat Ibu. Gue udah
pernah ngalamin apa yang lo alamin kayak gini. Bedanya, gue yang
harus berhadapan sama Ibu. Jendra yang sekarang adalah diri gue
dulu tapi tentu aja beda.”
Zemira tercekat.
“Kenapa? Haha. Iya Ibu gue pernah ada di sekte yang sama
kayak mereka, dia pernah kayak Tio, Ze. Dan karena kecerobohan
gue, Ibu meninggal. Alurnya semua sama kayak yang lo jalani
sekarang.”
“Jadi sebelumnya ini udah terjadi? Maksud gue … Rose udah
ngelakuin ini dua kali?”
Doni menggelengkan kepalanya. “We're all in the same game,
just different levels. Dealing with the same hell, just different devils.
Sampe sini paham?”
Zemira hanya mengangguk. Banyak pertanyaan yang
sebenarnya masih ingin ia tanyakan tapi mengingat waktu yang
singkat ini, ia harus segera mungkin memecahkan cermin dan
kembali menyelamatkan satu-satunya orang yang tersisa di
hidupnya.
Pergi ke alam lain, mereka berdua memilih untuk
menggunakan cara yang tidak menyakiti mereka. Kelima obor
harus tetap menyala hingga mereka kembali.
“Ze, siap? Apa pun yang kita hadapi di sana, gue mohon tetep
fokus sama tujuan kita.”
Ia mengangguk meski dirinya ragu. Kedua mata mereka
tertutup. Doni merapalkan sesuatu yang tak dimengerti Zemira.
Bahasa Yunani. Sempat gadis itu terkejut karena Doni dengan hafal
dan pandainya merapal itu. Namun ia kembali memfokuskan
dirinya hingga akhirnya mereka menjelajah alam yang berbeda.

HEY ROSE | 312


Randika
chill anjir nggak usah spam

gue nggak papa, gue baik-baik aja Na

Kakak gue lagi off ya? Gue chat centang 1

Anyways Na thank you udah bantu gue

Kalo lo lagi sama Kakak gue tolong bilangin suruh on bentar

dia jangan boleh nyusulin gue ya? Gue nggak papa


serius baik-baik aja

Tapi kalo dia keukeh mau nyusulin gue, tolong anterin ya Na

Gue nggak tau diri banget minta tolongnya ya?

Tapi nggak papa kan Kak Ze kakak lo juga. Titip kakak ya?

“Kenapa gue jadi penakut gini?” bisik Wira pada Janu.


“Gue merinding disko sih,” sahut Dhirgam.
“Lo berdua bisa diem fokus aja nggak?!” Janu memukul kedua
lengan temannya itu.
Mereka bertiga berjalan di barisan paling belakang.
Sedangkan Eron dan yang lain sudah bersiap untuk masuk ke
dalam bangunan. Benar kata Eron, mereka terlalu fokus pada
ritualnya hingga tak menyadari bahwa ada orang yang tengah
membuka pintu dan memasuki ruangan.
Dhirgam, Wira, Janu, Lyra, dan Paman Eron yang masuk ke
sana, sedangkan sisanya berjaga dan berkeliling di sekitar
bangunan. Mereka semua tercekat melihat lelaki yang ada di
tengah lingkaran pentagram. Kondisi yang cukup membuat siapa

HEY ROSE | 313


pun yang melihatnya bergidik ngeri, membuat Lyra membungkam
mulutnya dan menahan tangisnya.
“What the hell?!” bisik Dhirgam.
Janu benar-benar kesal dengannya. Ia menoleh cepat dengan
jari telunjuk menempel bibir. “Lu bisa diem nggak?” ujarnya tanpa
mengeluarkan suara.
Berjalan mendekatkan diri, Paman Eron menyusuri tiap
sudut ruangan bersama Janu. Sedangkan Dhirgam dan Wira
mencari sebuah cermin di sudut yang lain. Berbeda dengan Lyra,
gadis itu mendekati mereka yang sedang melakukan ritual.
Haikal, Jendra, Cakra, Iren, dan Tio berdiri di sekeliling
Randika, dengan kedua mata tertutup. Ia mendekati Tio, berada di
belakangnya, melihat tepat di depan Randika; Adik dari
sahabatnya. Butiran air mata Lyra lolos begitu saja. Ia keluarkan
benda yang sengaja ia bawa di saku celananya. Sebuah pisau lipat
yang ia simpan untuk berjaga-jaga jika suatu hal terjadi. Tangannya
bergetar kala mengarahkan benda itu pada leher Tio.
“Semua gara-gara lo...,” gumamnya lirih. “Gue nggak salah
kan kalo ngebunuh lo sekarang?”
Jemarinya semakin mengerat meski tangannya bergetar. Ia
menelan ludah kasar, tanda kegugupan dalam dirinya. Benda itu
kini benar-benar menyentuh kulit leher Tio. Lyra memajukan
wajahnya agar bisa membisikkan sesuatu pada telinga lelaki itu
sebelum ia menggoreskan benda tajam yang ada di tangannya.
“Go to hell—AKKGHHH!!!” Pekiknya saat dengan cepat tubuh
Tio berbalik dan menancapkan kuku tajamnya pada leher Lyra.
“LYRA!!!!” Teriak Janu dan yang lain kala mendengar suara
pekikannya.
Bahkan Jendra, Iren, Haikal, dan Cakra membuka kedua
matanya, membuat Randika terjatuh dan terkulai. Jangan
bayangkan wujud mereka masih sama seperti manusia biasa.
Tidak. Wujud mereka jauh dari kata manusia. Kulit mereka putih
pucat, kedua mata mereka seluruhnya menghitam.

HEY ROSE | 314


Tio menyeringai melihat lawannya mengeluarkan cukup
banyak darah dari mulutnya karena cekikannya.
“T-Tio—”
“Sell your soul!” suara Tio menggelegar membuat Janu,
Dhirgam, Wira, dan Eron tercekat dan tak mampu bergerak sama
sekali. Dhirgam menggeram, ia tak percaya bila sahabatnya bisa
melakukan ini. Hampir saja ia menghampiri Tio dan menghajarnya,
namun Wira mencegahnya.
Lelaki itu menggeleng. “Dhirgam! Kata Paman Eron apa?
Mereka fokus sama mangsa dan—”
“HAHAHA.”
Kini suara tawa seseorang menggema di seluruh ruangan.
Suara yang Jendra hasilkan. Ia berjalan menghampiri Dhirgam dan
Wira. Sedangkan Haikal dan Cakra menghampiri Janu dan Paman
Eron di sudut lain. Mereka terkepung, bahkan Tio telah
melumpuhkan Lyra yang sudah bersimbah darah di atas lantai.
Kesadaran yang mulai menghilang dan nyawanya melayang.
“Oh Eron? Kau berusaha menghentikanku lagi? Usahamu sia-
sia. Aku sudah menitiskan diriku.” Ia menunjuk dirinya sendiri
dengan telunjuknya. Membuat Eron berdesis.
“I-Iren... lo masih di sana! Gue tau lo—ARGHH!” Janu
mengerang kala tangan Haikal mencekiknya dengan cepat. Iren
menggeleng sembari menyeringai. Ah bukan, dia Rose yang sudah
berhasil menitiskan dirinya.
Tanpa disadari, Dhirgam dan Wira telah dilumpuhkan oleh
Jendra. Tersisa Janu dan Paman Eron yang belum tersentuh sama
sekali. Seperti mereka berdua memiliki perisai yang cukup kuat
untuk melindungi diri mereka sendiri.
Eron tersenyum remeh, mengangkat tangan kanannya yang
kini menggenggam sebuah cermin mawar. Tempat dimana Rose
terkurung sebelumnya. “Kau lupa bagaimana rasanya terkurung?”
“Jika perantaramu hancur, tubuh yang sedang kau tempati
itu juga akan hancur. Sama saja kau—AKKHGGG!!”

HEY ROSE | 315


“BERHENTI MENGANCAM!” Pergerakan Tio cukup cepat.
Secepat ia kini mencengkeram leher Eron. Baik Janu atau Eron, kini
berada dalam bahaya yang dapat merenggut nyawa mereka.
Lantas kemana perginya Jihan, Naja dan Aji? Harusnya
mereka mendengar suara teriakan mereka dari dalam gereja dan
bisa membantu mereka di dalam sana.

“Zemira!! Gue kaget kenapa adik lo ada disini!”


“Don! Lo harus cepet keluarin adiknya Ze dari sana! Lo harus
selametin dia sebelum dia jadi—”
“Berhenti meracau Jef!” Doni berdecak kesal mendengar Jefri
yang heboh sejak ia sampai di sana.
Dahi Zemira mengernyit. Bukankah seharusnya ia tak boleh
berbicara di alam ini? Tapi mengapa Doni berbicara seenaknya?
Bahkan dirinya tak berani mengucap satu patah kata pun, karena
takut akan terjadi sesuatu setelahnya—ia trauma. Tangan kanan
Zemira tertarik ketika Doni bergegas, itu karena ikatan yang ada di
pergelangannya. Tentu saja Jefri berada bersama mereka.
“Napa sih lo diem aja?” tanya Jefri pada Zemira. Gadis itu
hanya melirik tanpa berniat menjawab. “Ih bisu.”
“Jef? Lo makin berisik,” tukas Doni.
“Ya abis Ze kayak orang bisu dari tadi nggak ada ngobrol
sama sekali.”
“Lo boleh ngomong, Ze. Tenang, nggak ada siapa-siapa di sini,
mereka fokus sama ritualnya.”
Tak ada jawaban. Ia hanya terus mengikuti langkah Doni.
Lagi pula tak ada hal penting yang harus ia bicarakan.
Mereka sampai di sebuah lorong panjang, yang akan
mengantarkan mereka ke ruangan terlarang. Jantung Zemira
berdegup cukup kencang hingga ia kesulitan mengatur nafasnya. Ia
gugup, juga takut.

HEY ROSE | 316


“Tenang Ze, ada gue—Akh shit!” Tiba-tiba saja Doni
mengumpat. “Satu obor mati.”
“Lo harus balik!” ujar Jefri.
Gadis itu tak mengerti apa yang terjadi dan mengapa Doni
harus kembali padahal mereka belum sampai pada tujuan. Doni
melepas ikatan tangannya begitu saja dan berlari ke tempat dimana
mereka berdua terbangun.
“Doni!!!” teriak Zemira. Ia membalikkan tubuhnya dan akan
lari menyusul Doni, tapi ia menabrak tubuh Jefri yang tengah
menghadang langkahnya. “Jef!”
“Lo harus pecahin kacanya, Ze!”
“T-tapi Doni kenapa ninggalin gue? Gue nggak bisa ngelakuin
sendiri.”
“Bisa! Lo pasti bisa!”
Jefri meyakinkan Zemira yang wajahnya penuh peluh
ketakutan dan kekhawatiran. Ia takut berhadapan dengan siapa
pun. Ia takut tindakannya salah lagi. Ia takut bila akan merugikan
dirinya dan orang lain untuk kesekian kalinya. Ia takut untuk
menerima konsekuensi atas hal yang ia lakukan nanti.
“Ayo!” ajak Jefri.
Nafasnya berderu, membuat tubuhnya bergetar dan Jefri
dapat merasakan itu.
“Doni belum cerita ya? Dia punya kemampuan melihat dua
arah. Dia bisa lihat sesuatu yang terjadi di sekitar tubuhnya di sana,
waktu dia ada di alam ini,” jelas singkat Jefri.
“Tapi Doni bakal balik bantu gue, kan?” tanya Zemira.
“Gue nggak tau, yang jelas sekarang lo harus berjuang sendiri
sekarang.”
Kedua mata mereka bertemu kala berhasil melewati lorong
panjang itu, Jefri berhenti di depan anak tangga.
“Gue tunggu sini.”
Zemira menatap Jefri dan anak tangga itu secara bergantian.
“G-gue ke sana sendiri?” tunjuknya.

HEY ROSE | 317


Jefri mengangguk seraya melepaskan tautan jemarinya
dengan gadis itu. “Lo pasti bisa.”
“Gue denger di sana ada ruangan penuh dengan tubuh
manusia yang ketutup kain putih. Lo nggak perlu khawatir, mereka
udah mati. Katanya sih tubuh dari rekan-rekannya Rose. Gue pun
nggak tau.”
“Setelah ruangan itu, baru ada ruangan penyimpanan dimana
cermin yang lo cari disimpan di sana.”
Tanpa pikir panjang, ia langkahkan kakinya. Menaiki
beberapa anak tangga yang entah akan menuju ke tempat apa.
Dengan penuh keyakinan, sesekali ia merapal doa dalam hatinya.
Doa untuk dirinya, adiknya, Doni, dan semua orang yang saat ini
berjuang. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Zemira memohon
kepada Tuhan, meyakinkan diri bahwa Tuhan pun akan
membantunya meski baru kali ini ia mencoba berkeyakinan.
Sinar rembulan menyinari sebuah ruangan yang tertutup
pintu kayu yang rapuh. Pintu yang penuh dengan tulisan merah
menyala. Entah karena sinar atau memang seseorang menulisnya
dengan tinta khusus? Tidak. Itu sebuah ukiran tak beraturan.
Bahasa yang pernah ia jumpai di kotak yang diberikan Maren kala
itu. Ah ia sampai lupa menanyakan pada Jefri bagaimana Maren
sekarang. Zemira membuka pelan pintu itu. Dan demi Tuhan ia
menelan ludah kasar dan terbelalak melihat isi ruangan.
“What the fuck.” Ia membungkam mulutnya. Merasakan
kepalanya begitu pening. Tubuhnya lemas, ia bersandar lebih dulu
pada dinding di belakangnya.
“I-ini a-apa?”
Zemira mengusap wajahnya kasar. Ia tersadar mengingat
ucapan Jefri sebelumnya. Menelan ludahnya lagi dengan kasar, ia
terpaksa melakukannya sendiri. Berjalan melewati tubuh-tubuh
yang tertutup kain putih. Sesekali merotasikan kedua matanya dan
membalikkan tubuhnya. Takut-takut ada seseorang yang mungkin
bisa saja mengikutinya. Tak cukup di situ, ia kembali dikejutkan

HEY ROSE | 318


dengan ruangan gelap dengan lampu yang meremang. Ia meremat
surai hitamnya.
“G-gimana gue bisa nemuin ini sendiri sih?!”
Ia sudah frustasi melihat banyaknya cermin tergantung di
atas langit-langit ruangan. Menarik nafas, kemudian membuangnya
perlahan. Mencoba menenangkan dirinya sendiri dan mengingat
perkataan-perkataan yang pernah ia dengar dari seseorang.
“... lo cuma perlu cari kaca besar yang bentuk dan ukirannya
sama kayak punya lo ini.”
Maren pernah berkata seperti itu. Zemira dapat
mengingatnya dengan jelas. Tapi yang ia lihat saat ini adalah semua
kaca yang terlihat sama. Besar kecilnya, namun ada satu yang
menarik perhatiannya. Ia melihat pantulan dirinya terpantul pada
semua cermin yang ada di sana—kecuali satu cermin yang Zemira
yakini bahwa benda ini yang ia cari. Dan sepertinya ia berhasil
mengambil benda itu. Ia tersenyum simpul meski peluhnya masih
bercucuran deras. Bergegas membalikkan tubuhnya dan berlari
keluar dari sana, tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka.
Kriekkk....
Zemira menghentikan langkahnya kala seseorang masuk ke
dalam ruangan. Dengan wajah dinginnya, ia menatap Zemira tajam.
“M-maren—T-io?” Satu orang masuk lagi.
Maren dan Tio. Berdiri di dekat pintu, sedangkan Zemira
terhenti di tengah ruangan yang penuh dengan tubuh tertutup kain
putih tadi. Ia berdiri mematung tak berani melangkahkan kaki.
“Aku udah bilang jangan ke sini lagi, Ze....” Tio melangkah
menghampiri Zemira, namun gadis itu berjalan mundur.
“B-ber-henti.” suara Zemira bergetar.
“Ini aku.” Tio menatapnya sendu kala lawannya meng-
gelengkan kepala dengan tubuh yang bergetar ketakutan.
“Kamu harusnya—” ucapannya terhenti ketika menyadari
sosok lain mendekat.
BRAKKKK!!!

HEY ROSE | 319


Pintu itu terbuka kasar. Menampakkan sosok yang membuat
kedua bola mata Zemira membulat, kemudian beberapa tetes
beningnya lolos membasahi pipi putihnya. Tudung jubahnya
sengaja ia singkap untuk memperlihatkan wujudnya dengan jelas.
Sosok berkulit putih dengan otot-otot terlihat jelas. Matanya
menghitam, black eyed devils dan jemarinya berlumuran darah
dengan kuku-kuku yang tajam. Ia mendekat ke arah Zemira.
Membuat gadis itu terhuyung tak mampu menopang tubunya, ia
terjatuh.
Tio dan Maren diam saja tak menolong, ketika tangan itu
meremat leher Zemira hingga tubuhnya terangkat ke atas. Zemira
menangis, memegang tangan lawannya dan berusaha melepaskan.
“R-Randika... hiks.”
Ia berhadapan dengan si bungsu. Satu-satunya orang yang
tersisa dalam hidupnya. Tapi ia meyakinkan dirinya bahwa sosok
yang ada di hadapannya itu bukan Randika.
Randika semakin mengeratkan cekikannya membuat Zemira
memukuli tangannya dengan benda yang ia bawa.
“Serahkan!”
Ia menggeleng. Lantas Randika melemparkan tubuh Zemira
dengan entengnya hingga kepalanya terbentur dinding sangat
keras. Tangan Zemira mengusap kepalanya dan cairan merah
melekat di telapak tangannya. Ia menangis kencang. Tak tau harus
berbuat apa. Pandangannya teralih pada pintu. Ia hanya perlu
berlari dan keluar bukan? Dengan yakinnya ia bangkit dan berlari
menabrakkan dirinya pada Randika meski ia sedikit kehilangan
keseimbangan. Namun sayang, Maren menggagalkan aksinya
hingga Zemira kembali jatuh tersungkur dan cermin yang ia bawa
terlepas dari genggaman tangannya.
“Maren—ARRRKGH!!! Sakit.”
Kaki Maren menginjak lengan Zemira yang tengah mencoba
meraih cermin itu. Tio lebih dulu mengambilnya.
“T-Tio... please....” Zemira terbatuk-batuk sembari meminta
sedikit belas kasihan pada kekasihnya.

HEY ROSE | 320


Berusaha mendudukkan dirinya, Maren membantu—ah
tidak ia tidak membantu, ia hanya membuat Zemira berhadapan
dengan Randika lagi sekarang. Randika tengah berjongkok di
hadapan Zemira sembari menyeringai.
“Randika... ini gue. Kakak lo, Zemira,” ujarnya dengan isak
tangis yang tak dapat dibendung lagi. Mengingat kejadian dimana
Randika pernah seperti ini kala itu, Zemira yakin dapat
menyadarkan dan mengembalikan si bungsu.
“Gue tau lo masih di sana... gue tau adik gue nggak mungkin
nyakitin orang lain, apalagi kakaknya sendiri.”
Dengan berani tangan Zemira terulur dan menyentuh pipi
Randika tanpa adanya penolakan. Randika hanya diam dengan
tetap menatap lawannya tajam. Dingin. Kulit Randika sangat
dingin.
“Dika ayo sadar!!” Zemira merengek. “Mana adik gue yang
penakut? Mana adik gue yang selalu ikut kemanapun gue pergi?”
air matanya terus mengucur deras.
Kini ia merotasikan bola matanya dan menunjuk Tio. “Udah
ketemu sama abang lo kan? Dia yang pengen lo temuin selama ini?
Udah kan? Ayo pulang, Adekkk....”
Randika menggeram, mencengkeram tangan Zemira hingga
kulitnya tergores kuku tajamnya. Gadis itu meringis kesakitan
tanpa menghentikan tangisnya. Randika mengarahkan setangkai
bunga mawar ke telapak tangan Zemira. Namun terhenti kala gadis
itu kembali memulai percakapan.
“Lo ditipu! Tio nggak bisa balik lagi meskipun lo nyerahin
jiwa lo! SEMUA YANG UDAH MATI NGGAK BISA BALIK LAGI
RANDIKA!!!” Zemira menendang dada Randika ketika melihat
celah, kemudian merampas cermin dari tangan Tio dan berlari
sekuat tenaga keluar dari ruangan itu.
Zemira mungkin akan menyesali perbuatannya yang dengan
teganya menendang tubuh si bungsu. Sekujur tubuhnya kesakitan,
ia tak peduli. Berlari sekencang-kencangnya melewati lorong
panjang dan melihat Doni berlari pula ke arahnya.

HEY ROSE | 321


“HANCURKAN SEKARANG!!!”
“ZEMIRA HANCURKAN!!!”
Suara Doni tak begitu jelas. Mungkin karena kepala Zemira
yang habis terbentur dan membuat pendengarannya sedikit
terganggu. Gadis itu terhenti kala melihat Doni kesakitan pula.
Tubuhnya mendadak lemas melihat sosok yang pernah ia temui
sebelumnya di alam ini. Sosok mengerikan yang pernah mencabik-
cabik tubuh Maren di hadapannya.
Rose tengah menyakiti Doni di depan sana.
Sedang Maren, Tio dan Randika datang dari arah belakang.
Seperti terkepung, Zemira tak dapat berbuat apa-apa kala kuku
panjang Rose hampir mengenai kulit leher Doni.
“Serahkan cerminnya,” ujar Rose dengan suara mengerikan.
Doni menggeleng. “Hancurkan!!! Hancurkan, Ze—arrghh!!”
Zemira melihat kuku itu menggores kulit Doni, membuat
darah segar mengalir.
“STOP!!!! Ja...ngan...,” isak Zemira.
“SERAHKAN!!!”
Tubuh Zemira bergetar lagi. Ia sangat ketakutan. Luka-
lukanya mulai terasa perih. Membalikkan tubuhnya, ia melihat tiga
orang berjalan semakin memangkas jarak mendekati dirinya. Ia
benci situasi ini. Situasi dimana ia harus memilih. Bahkan
nyawanya sendiri pun sedang terancam. Bagaimana ia harus
menyelamatkan Doni, sedangkan di sisi lain cermin yang sedang ia
genggam harus segera dihancurkan.
“ARRRHHHHHHGGG!!” Doni memekik kesakitan, menatap
Zemira dengan penuh harap. “HANCURKAN SEKARANG
ZEMIRA!!!!”
Zemira menutup kedua mata dengan air mata yang masih
mengucur deras. Ia hentakkan cermin itu ke tanah dan
menghancurkannya dengan batu yang sudah ia siapkan di sakunya.
Menghancurkan cermin itu menjadi kepingan-kepingan kecil
hingga kepingannya menusuk-nusuk kulitnya sendiri. Kemudian
tubuhnya terjatuh lemas dengan deru nafas yang tak beraturan.

HEY ROSE | 322


Ia tersenyum lega kala berhasil menghancurkan benda itu.
Selesai bukan?
Tanpa berniat membuka matanya, kesadarannya meng-
hilang.

HEY ROSE | 323


ALONE
It's sad when you feel alone in a room full of people.

Zemira tidak pernah membayangkan sebelumnya berada dalam


posisi seperti ini. Biasanya Randika yang selalu berkhayal
bagaimana jika mereka berada di tengah-tengah kejadian yang tak
pernah mereka bayangkan. Tentu saja mereka berdua sering
menonton film horor, dimana pemainnya cukup apik dan cukup
pintar dengan segala usahanya lepas dari 'mereka'.
Bunda juga sering memarahi Zemira karena ia selalu
membuat si bungsu ketakutan. Ck! Lelaki apa yang takut dengan
kegelapan? Ah sungguh Randika membuatnya frustasi karena
sikap penakutnya. Lepas dari orang tua, tinggal berdua, ia sangat
merepotkan Zemira. Bayangkan saja! Ke kamar mandi, mengambil
sesuatu di luar, bahkan tak jarang Zemra menemaninya di kamar
sampai ia benar-benar tertidur. Melelahkan bukan? Hingga
akhirnya gadis itu memiliki seorang kekasih yang sangat amat
memperhatikan dirinya, juga Randika.
Tio. Zemira sendiri tak bisa mendeskripsikan sosoknya.
Menurutnya, Tio terlalu sempurna. Rasa sayangnya pada si bungsu
pun sangat tulus, hingga Randika berhenti mengusik Zemira dan
menaruh kepercayaan untuk meminta tolong apa pun sesukanya
pada Tio. Randika sudah menganggapnya sebagai kakak keduanya.
Itu sudah cukup melengkapi kebahagiaan Zemira.
Dan tentu saja! Teman-teman terdekat Zemira menjadi
alasan mengapa ia bisa bertahan hidup berdua dengan si bungsu
tanpa kedua orang tua. Meski awalnya home sick melanda, bukan
hanya Zemira, tapi juga Randika. Ia sering merengek ingin bersama
bunda dan ayah saja. Tapi karena mereka sudah menemukan
teman terdekat yang bisa dikatakan keluarga baru, membuat
segalanya berjalan seperti tanpa ada hambatan.

HEY ROSE | 324


“Kak! Weh jangan ngelamun aja ayo Kak Tio udah nunggu di
luar ih!”
Benar, Zemira terkejut ketika tangan seseorang menarik
lengannya tiba-tiba. Siapa lagi kalau bukan Randika, adik tersayang
Zemira. Berjalan ke luar rumah, gadis itu tak bisa menyembunyikan
senyumnya kala Tio melambaikan tangan ke arahnya. Tak lupa
dengan senyumnya yang sangat manis. Sungguh siapa pun yang
melihatnya akan jatuh cinta.
“Kak Ze!!!!”
“Naon si anjing!” Jujur saja, bocah satu ini selalu
mengagetkan Zemira hingga terus membuatnya mengumpati si
bungsu.
Randika melingkarkan tangannya di lengan Zemira dengan
sedikit menggoyang-goyangkannya. “Hehe nggak papa biar
fokusnya Kak Ze buyar.”
Ctak!!
“Aduh Kak Ze paan sih!” Ia mengeluh kesakitan. Ya, dia
pantas mendapatkan jitakan dari tangan sakti kakaknya. Itu
setimpal dengan rasa kaget yang sudah beberapa kali Zemira
terima.
“Mampus sukurin!” katanya.
“Udah sih, Ze.”
“Yah? Apaan kamu malah ngebela si tuyul ini,” protes Zemira.
“Kan aku cuma bilang, ‘udah sih Ze?’ Aku nggak ngebela,” ujar
Tio dengan nada yang sedikit—lucu menurutnya.
“Tuyul? Tuyul paan tuyul?! Ih nggak inget apa waktu gue
dirasukin, lu-nya nangis-nangis? Kak Ze tuh ya emang orangnya
suka gengsi mana nggak mau ngakuin kalo Kak Ze—”
“Gue apa?”
Perkataan Randika sengaja ia gantung untuk memancing
keributan tentu saja.
“Mau aku tinggal aja?” Tio sudah berada di dalam mobil, di
kursi pengemudi. Dan mendengar itu, mereka berdua buru-buru
masuk ke dalam mobil.

HEY ROSE | 325


Di perjalanan, Tio dan Randika banyak sekali bicara.
Membicarakan kejadian-kejadian yang mereka lalui satu bulan
yang lalu.
Jika kalian ingin tau, semuanya sudah berakhir. Zemira rasa
begitu. Buktinya selama satu bulan gadis itu terus bersama Randika
juga Tio. Yang lain? Entahlah ia tak menemui mereka dan ia sudah
tak ingin bertemu siapa pun lagi. Hanya dua orang yang Zemira
sayang ini saja sudah cukup. Ia tak membutuhkan orang lain lagi.
Mereka bertiga pergi ke tempat dimana Tio pernah mengajak
Zemira ke sana. Hutan Pinus. Tubuhnya seperti menolak untuk
keluar dari mobil. Pandangan Zemira terlalu terpaku pada tempat
itu. Trauma? Bisa dibilang begitu.
Tok tok....
“Kak? Ayo turun.” Randika mengetuk kaca mobil, sedangkan
Tio sudah berjalan dulu memasuki tempat itu.
“Kak? Buru ih apa gue tinggal?”
Mau tak mau dirinya keluar dari mobil. Memandang Randika
yang raut wajahnya berubah lebih berseri dari biasanya. Randika
meraih tangan Zemira untuk digenggam. Lantas berjalan sejajar
dengannya, menyusul langkah Tio yang jauh di depan sana.
“Dika... pulang aja yuk?” ujar Zemira kala hembusan angin
kencang menerjangnya. Menerbangkan rambut yang sengaja diurai
tak terikat. “K-kayaknya cuaca lagi nggak bersahabat deh?”
“Nggak mau pulang. Di sini aja Kak, gue mau di sini sama Kak
Tio.”
“Cuacanya, Dik, astaga ini kayak mau hujan.”
Sungguh, Zemira tak berbohong dengan ucapannya.
Langitnya sedang tidak menunjukkan tanda kecerahan. Hanya
semburat abu keputihan yang terlukis di atas sana. Tanda akan
turun hujan bukan?
“Kak Tio!!” Randika berlari ke arah Tio. Padahal lelaki itu
tengah berjalan ke arah Zemira yang sedang duduk di sebuah
batang pohon besar. Ia tersenyum kepada Zemira dengan kedua
tangannya yang sengaja ia sembunyikan di balik tubuhnya.

HEY ROSE | 326


“Apa?” Tanyanya pada Randika yang berjalan sejajar dan
tengah menutupi mulutnya dengan sesekali melirik ke belakang
tubuh Tio.
“Apa sih???” Tanya Zemira kebingungan.
“Ze... aku habis metik ini, buat kamu.”
Mawar putih. Entah mengapa hati Zemira terasa sakit ketika
melihat bunga mawar. Ada rasa sakit, juga sedih yang luar biasa
ketika melihat bunga cantik ini.
“Ecieeee Kak Ze!!! Ayo dong terima dong!!!” Sorak Randika
dengan tepuk tangannya.
Tio masih berdiri di hadapannya dengan kedua tangan yang
terulur menggenggam beberapa tangkai mawar putih. “Ze, maaf
selama ini aku nggak bisa jaga kamu....”
Tiba-tiba?
“Maaf karena gara-gara aku, kamu jadi ngelewatin semua
yang nggak kamu mau.”
“Tolong maafin aku....”
“Aku nggak bisa bantu kamu, aku ngebiarin kamu berjuang
sendiri, aku juga yang bahkan ngerenggut orang-orang yang kamu
sayang.”
“Ze, andai dulu aku bisa lebih terbuka sama kamu, dan andai
aku nggak nemuin cermin itu ... apa kita bisa hidup tenang dan baik-
baik aja?”
Demi Tuhan, mendengar itu semua dari Tio membuat kedua
mata Zemira terasa panas. Ia merasa sudut matanya mulai
membasah.
“Kak Ze....”
Hal yang jarang terjadi adalah, Randika memeluk si sulung.
Dengan sangat erat, seperti ia sedang menyalurkan rasa sedihnya.
Semua air mata yang tertahan akhirnya lolos juga. Zemira
menangis di rengkuhan Randika.
Randika melepaskan pelukannya ketika sebuah tangan
menarik lengannya pelan; Tio. Ia menyodorkan lagi bunganya.

HEY ROSE | 327


Lantas Zemira mengambil mawar itu dari tangannya, membuat
senyum Tio mengembang.
“Kak Ze, maaf kalo Dika banyak ngerepotin lo. Dika jadi
cowok penakut yang nggak bisa Kak Ze andelin.”
“Gue mah percaya banget kalo Kak Ze tuh orangnya pemaaf,
ye kan? Buktinya gue yang nyebelin, rese, gangguin Kak Ze mulu,
tetep aja dimaafin. Apalagi orang lain?”
Tunggu—lidahnya kelu untuk sekedar mengatakan satu kata
saja. Zemira hanya terus menangis tak henti-hentinya.
“Randika biar sama aku ya, Ze?”
Apa maksudnya?!
“Aku bawa Randika... aku minta maaf.”
Keduanya berbalik dan berjalan membelakangi Zemira.
Siapa pun tolong gadis itu yang tak bisa bergerak sama sekali. Ia
ingin meneriaki mereka berdua tapi Demi Tuhan ia sendiri
kesusahan untuk mengucap. Randika menoleh ke belakang, ia
menatap Zemira dengan kedua sudut bibirnya tertarik. Tersenyum
sembari melambaikan tangan.
“NOOOOOOO!!!!!!!!!”
Apa Zemira berada di alam mimpi? Jika iya, tolong segera
bangunkan dirinya. Dan jika tidak, Zemira berharap ini benar-
benar mimpi, sebuah mimpi buruk. Baik Randika maupun Tio
terjatuh ke tanah, ketika tiba-tiba sebuah tangan menembus tubuh
mereka. Zemira yakin, hanya dengan sebuah tangan. Dengan
seringai di wajahnya, ia terlihat sangat puas melihat gadis itu kacau
dan putus asa.
Jendra.

“Zemira....”
“Ze???”
Tepat satu bulan. Gadis yang tubuhnya penuh luka itu
akhirnya terbangun. Ia mengerjapkan matanya berulang kali.

HEY ROSE | 328


Berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang telah lama ia
tinggalkan. Lelaki yang menemaninya di ruang putih selama satu
bulan sontak berlari keluar ruangan untuk memanggil dokter yang
tak kunjung datang. Bola matanya berotasi ke kanan, ke kiri,
dengan tatapan lemah. Ia menjelajahi tiap sudut ruangan. Setelah
beberapa saat dokter telah memeriksa keadaannya, barulah lelaki
itu duduk di dekat bangsalnya.
“Akhirnya lo sadar.”
Zemira hanya menatapnya. Tubuhnya lumpuh karena
sebulan lamanya ia koma.
Suara gesekan pintu menyita atensi Zemira. Menampakkan
seorang lelaki yang tampak tergesa-gesa masuk ke dalam ruangan.
“Kak!!!! Kak Ze udah sadar?!”
Tatapan Zemira berubah.
“Pelan-pelan ngapa, Jen.”
“Kak Ze udah diperiksa dokter? Apa belum?”
“Udah, udah dari tadi juga.”
“Terus Kak Doni ngapain masih di sini?”
“Ck! Bilang aja lo mau gantian jagain.”
Doni melepas tautannya di jemari Zemira, namun gadis itu
menahannya. Mengeratkan genggamannya meski dengan susah
payah.
“R-Randika... m-mana?” tanya Zemira dengan suara serak
dan terbata-bata. Kedua manik hitamnya berkaca-kaca. Doni dan
Jendra saling melempar tatapan. Tak ada yang menjawab beberapa
detik setelahnya.
“Biar Jendra yang jawab. Dia—nggak mau ketemu lo, kalo
lonya belum sembuh,” tukas Doni dengan memaksakan senyum-
nya, kemudian pergi meninggalkan Zemira dan Jendra.
Jendra menggantikan Doni, duduk di kursi dekat bangsal.
Zemira tak mengindahkannya. Ia terpaksa memejamkan kedua
matanya. Rasa benci, bahkan rasa ingin membunuh seseorang yang
sedang bersamanya itu semakin kuat.
“Kak....”

HEY ROSE | 329


“It's over. Gue nggak punya siapa-siapa lagi. Gue udah
sendirian.”
“Makasih karena Kak Ze berhasil mutus sesuatu hal yang
mengerikan ini.”
“Pasti Kak Ze benci sama gue dan itu wajar... lo nggak papa
benci gue, Kak, tapi maafin gue.”
“M-maaf....” Suara Jendra bergetar, ia menyembunyikan
wajahnya. Menangis tersedu di perpotongan lengannya.
“Kak Ze koma selama sebulan dan gue harus ngomong ini
sekarang kalo Randika ....”
Mendengar nama sang adik, Zemira langsung membuka
matanya dan melihat ke arah Jendra yang masih menyembunyikan
wajahnya. Kalimatnya menggantung cukup lama, membuat jantung
gadis itu berdegup semakin kencang. Ia takut dengan kenyataan
yang tak sesuai dengan ekspektasinya.
Zemira menggoyangkan lengan Jendra. Membuat lelaki itu
mendongakkan kepalanya. Matanya memerah dan basah penuh
dengan air mata.
“K-kenapa?! Ran-dika k-kena-pa?!” Ia sudah meloloskan
beberapa butiran bening.
“Maafin gue, Kak... maafin Kak Iren, maafin Mama gue....”
“KENAPA?! ADIK GUE KENAPA?!” Tak dapat disangka Zemira
mampu berteriak dengan suara seraknya.
“Randika udah nggak ada, Kak....”
“Dia meninggal.”

“Gue mah percaya banget kalo Kak Ze tuh orangnya pemaaf,


ye kan? Buktinya gue yang nyebelin, rese, gangguin Kak Ze mulu,
tetep aja dimaafin. Apalagi orang lain?”
Kenapa selalu pemeran utama dalam cerita berakhir seperti
ini? Bagaimana menurut kalian? Apakah ini akhir yang bahagia
atau menyedihkan? Siapa yang harus Zemira salahkan? Zemira

HEY ROSE | 330


baru saja tiba di Indonesia, bersama dengan Doni juga Jendra. Ia
berpijak memasuki sebuah pemakaman, dimana Jefri dan Maren
dimakamkan. Duduk di kursi roda, ia menatap nanar jajaran
gundukan tanah dengan bunga kamboja di tiap sudutnya.
Satu per satu batu nisan ia tatap. Lyra, Jihan, Tio, dan
Randika.
“Doni, lo ke parkiran dulu aja.”
“Lo yakin? Gue tunggu sampe lo selesai nggak papa.”
“Yakin. Gue mau sendiri. Sama mereka....” Mata Zemira mulai
berkaca-kaca.
Doni berjongkok menghadapnya, mengusap bahu yang mulai
bergetar. “Kalo udah selesai, telfon gue. Biar gue samperin lo ke
sini.”
Zemira mengangguk. Meski sudah beberapa kali terapi,
tubuhnya masih kesusahan untuk pulih kembali. Ia masih
membutuhkan seseorang untuk membantunya, mendorong kursi
roda misalnya.
“K-kak—”
“Jen, ayo.” Doni menarik lengan Jendra.
Selama itu pun usaha Jendra untuk dimaafkan terasa sia-sia.
Terlebih setelah Zemira mengetahui fakta bahwa Randika
menyelamatkannya dari sebuah kutukan, hingga kematian. Bahu
Zemira mulai bergetar naik turun. Melihat keempatnya kini berada
di alam yang tak bisa ia gapai lagi, membuatnya menangis.
“Dek....”
“Apaan ih nggak lucu tau!”
“Dek... Randika... gue pengen direpotin lagi sama lo, gue
pengen nemenin lo goreng nugget lagi malem-malem... gue pengen
lo ngerusuhin jam tidur gue.”
“Gue nggak akan marah,”
“Dek ayo pulang....”
“Sini ketemu gue dulu, pamit dulu yang bener kalo mau pergi
tuh!”
“Nggak sopan pamit lewat chat...,” lirihnya.

HEY ROSE | 331


Zemira mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.
Menghapus sebagian air matanya. “Gue pengen meluk lo, gue
pengen bilang kalo gue sayang banget sama lo Dika....”
“Gue bangga punya adik kayak lo.”
“Thank you for being born into the world as my lil bro....”
Angin semilir memainkan rambutnya. Seperti menandakan
seseorang tengah hadir di sekitarnya, ia memejamkan matanya.
Meloloskan lagi butiran bening yang sempat tertahan. Gadis itu
merasa hangat, seperti tengah ada seseorang yang merengkuh
tubuhnya.

Mereka sampai di sebuah lorong panjang, yang akan


mengantarkan mereka ke ruangan terlarang. Jantung Zemira
berdegup cukup kencang hingga ia kesulitan mengatur nafasnya.
“Tenang Ze, ada gue—Akh shit!” Tiba-tiba saja Doni
mengumpat. “Satu obor mati.”
“Lo harus balik!” ujar Jefri.
Gadis itu tak mengerti apa yang terjadi dan mengapa Doni
harus kembali padahal mereka belum sampai pada tujuan. Doni
melepas ikatan tangannya dan berlari ke tempat dimana mereka
berdua terbangun.
“Doni!!!” Teriak Zemira. Ia membalikkan tubuhnya dan akan
lari menyusul Doni, tapi ia menabrak tubuh Jefri yang tengah
menghadangnya. “Jef!”
Doni terbangun, kembali ke alamnya. Ia melihat Jihan sudah
terbaring lemah dengan luka di dadanya. Matanya menelisik di
sekitar sana namun tak ada orang lain lagi selain—
Naja.
Berdiri di samping pohon, dengan membawa sebilah pisau di
tangannya. Lelaki itu tersenyum miring. Teori tentang gerhana
bulan, benar adanya, dan tak disangka, Naja mengungkapkan apa

HEY ROSE | 332


yang tersembunyi tentangnya yang belum pernah terungkap
sebelumnya.
“So, apa yang gue pikirin tentang lo itu bener?” Doni
menginterupsi.
“Lo yang ngebunuh kakak lo sendiri?”
Tawa Naja menggelegar. “Hahaha. Ketahuan ya? Gue kira lo
bodoh percaya sama semua cerita gue, Kak.”
“Ah andai Kak Tio nggak ke rumah gue waktu itu, gue nggak
bakal balik gini lagi.” Imbuhnya. “Tapi, nggak papa, kalo gini gue
bisa jadi diri sendiri.”
“Mau gue kasih tau nggak? Kalo di dalem, Rose udah nitisin
dirinya... dan lagi, Randika sebagai wadahnya.”
“APA MAKSUD LO?!” teriak Doni.
“Santai, Kak, dia yang mau sendiri.”
Doni mengeratkan rahangnya tak percaya. Bukankah Rose
hanya bisa menitiskan dirinya pada keturunannya saja? Itu berarti
hanya Iren dan Jendra yang bisa.
Kini kedua bola mata Naja berubah. Doni yakin ia sedang
berusaha melawan dirinya sendiri. Lelaki itu mengerang, kulitnya
berubah putih pucat dengan otot-ototnya yang hampir keluar.
Sebilah pisau itu ia arahkan pada lehernya, namun sesekali tangan
yang lain menahan aksinya.
“Naja!!!!” Teriak Doni kala benda itu lolos menembus
lehernya.
Sebuah kematian yang diinginkan. Pengabdian, juga jiwa-
jiwa yang ditukar percuma. Bukan tak peduli dengan Naja, tapi ada
hal lain yang harus segera ia selesaikan. Doni berlari menuju gereja.
Matanya terbelalak melihat suasana di dalam sana. Eron, Janu,
Dhirgam, juga Wira berlumuran darah bersandar lemas di sebuah
papan. Lantas Lyra... ia sudah kehilangan nyawanya. Mereka masih
berusaha menyelesaikan upacaranya.
“Kak, tolong....”
Suara yang baru saja Doni dengar, ia yakini bahwa suara itu
milik Jendra. Tapi bukankah ia sedang berada dalam upacara itu?

HEY ROSE | 333


“What the fuck?!” Umpatnya lirih. Penglihatan dua sisinya—
menampakkan jiwa Jendra yang akan diserahkan pada si “Tuan”.
Jika itu seharusnya jiwa Randika, maka benar kata Naja bila
Randikalah yang akan menjadi wadah bagi Rose.
Tak ingin itu terjadi, Doni mencari letak cermin mawar
dengan hati-hati. Suara langkah kakinya membuat seseorang
menyadari kedatangannya.
Jendra.
Entah bagaimana bisa ia yang sedang berada di lingkaran
pentagram bersama Randika itu lepas dari upacara. Lelaki itu
menunjuk sudut dimana cermin itu diletakkan. Dan sialnya, cermin
itu terikat di meja altar dan terhubung dengan tangan Tio.
Gimana bisa? pikir Doni.
Proses penitisan sedang berlangsung, jika Doni nekat
mengambil sebuah cermin itu apakah nantinya ia yang akan
menjadi sasaran? Seperti ia menjadi satu-satunya orang yang bisa
diandalkan saat ini, Doni berjalan mengarah pada meja altar.
Meneguk ludahnya kasar. Merasakan peluh mengucur deras akibat
kegelisahannya. Ingin sekali ia membantu Paman Eron dan teman-
temannya lebih dulu, tapi ia sadar bahwa sudah tak tersisa cukup
banyak waktu untuk itu.
Tangannya berhasil memegang cermin, tapi apakah bisa ia
membawa lari benda itu? Dadanya terasa sesak, ia mulai menoleh
ke semua arah. Merencanakan bagaimana agar ia bisa langsung
keluar. Jendra masih tersadar di sana, memperhatikan Doni dan
menganggukkan kepala, seperti berkata “cepat ambil dan
hancurkan!”
Doni meremat rambutnya. Penglihatan dua arahnya yang
masih terhubung dengan Zemira membuatnya bingung harus
berbuat apa.
“Ze... lo pasti bisa Ze, lo pasti bisa...,” ujarnya lirih.
Ia ingin membantu Zemira saat ini karena gadis itu
dihadapkan oleh si bungsu yang jiwanya sudah dikuasai oleh
makhluk menyeramkan. Menunggu waktu yang tepat, Doni

HEY ROSE | 334


sesekali melihat ke arah Randika yang tengah mengerang sembari
mencengkeram lengannya sendiri. Doni yakin, Randika masih ada
di sana. Setidaknya ia melawan agar makhluk itu tak sepenuhnya
menguasai dirinya. Agar dirinya tak menyakiti kakak tersayangnya.
Gerakan tiba-tiba membuat jantungnya berhenti berdetak.
Haikal, Cakra, dan Iren bersamaan menyingkap tudung.
Rupanya mereka merasa ada hal yang salah.
“Shit!” Umpat Doni ketika ketiganya menoleh bersamaan
dengan sorot mata yang tajam.
Lelaki itu seketika menarik cerminnya, membuat Tio pun
terhenyak. Secepat kilat, Tio mencengkeram leher Doni dengan
kuku-kuku tajamnya yang berhasil menancap di sana. Mem-
bawanya ke dalam lingkaran pentagram dengan lilin-lilin di
sekitarnya yang mulai redup. Lelaki itu berusaha menghempaskan
cerminnya, namun tertahan karena Iren lebih dulu merampasnya
dari genggaman.
Doni melihat Zemira berhasil lari membawa cermin di sana,
namun ia sendiri yang terperangkap. Nafasnya sudah tersenggal-
senggal karena cekikan hebat dari Tio.
Brugggg!!!
Jendra menabrakkan dirinya pada tubuh Tio. Dengan
sempoyongan ia mendorong tubuh Iren dan menarik Doni untuk
keluar dari bangunan itu.
“KAK BIAR GUE YANG MECAHIN CERMINNYA!!”
“SEKARANG LO BALIK KE SANA TOLONGIN KAK ZE!!”
Doni sudah di ambang pintu, ia menatap Jendra tak percaya.
“PERCAYA SAMA GU—E AAKHGG!!” Erangnya ketika Tio
dengan mudahnya menyeret tubuh Jendra. Sebagian tubuh Jendra
rasanya sudah tak berfungsi lagi karena ia pun mulai dikuasai oleh
makhluk lain yang akan memakan jiwanya. Cermin yang ada di
genggamannya, ia percaya bahwa dirinya mampu menghancurkan
benda itu dan membiarkan semua berakhir.
Jendra tak peduli bila ia harus kehilangan sosok ibu untuk
selama-lamanya, karena baginya sosok ibu telah lama mati. Ia

HEY ROSE | 335


mengerti konsekuensi ketika cermin dihancurkan, ia sudah siap
bahkan kehilangan kakak dan orang terdekatnya, ia sudah siap.
Tapi, ada satu hal yang tak bisa lepas dari pikirannya kini. Dengan
tubuh lemah, ia menoleh ke arah sahabatnya; Randika. Jendra
merasa sangat bersalah dan takut apabila sahabatnya itu tak
tertolong juga.
Sebelumnya, Randika mengetahui apabila Rose akan
menitiskan dirinya pada tubuh Jendra. Randika pun mengerti
bagaimana perasaan Jendra. Ia tak sepenuhnya bersalah, karena ia
sedang dikendalikan oleh sesuatu hal yang tidak ia inginkan. Jendra
banyak bercerita pada Randika, bagaimana ia hidup sendiri,
bagaimana rasanya tak diakui oleh sosok kakak satu-satunya yang
ia miliki, dan bagaimana hancurnya ketika mengetahui hal-hal
buruk tentang ibunya.
Randika hanya merasa bahwa setiap orang itu berjuang,
setiap orang punya hasrat untuk melangkah dengan cara dan
dengan pilihannya masing-masing. Inilah cara dan pilihan yang
diambil oleh Randika. Jendra orang yang baik, tapi ia belum sempat
menjalani hidup yang baik. Terasa kurang adil jika ia berakhir
menjadi seseorang yang sama sekali tidak menggambarkan Jendra
yang Randika kenal.
Jendra terus memandangi sahabatnya lamat-lamat.
Memandanginya yang sudah putih kepucatan, mengerang
kesakitan, pun menatap Jendra dengan mata yang tajam. Tanpa
pikir panjang, Jendra menghancurkan cermin di tangannya dengan
sekali hentakan.
“HANCURKAN SEKARANG ZEMIRA!!!!” Zemira menutup
kedua mata dengan air mata yang masih mengucur deras. Ia
hentakkan cermin itu ke tanah dan menghancurkannya dengan
batu yang sudah ia siapkan di sakunya. Menghancurkan cermin itu
menjadi kepingan-kepingan kecil.
Kemudian tubuhnya terjatuh lemas dengan deru nafas yang
tak beraturan. Ia tersenyum lega ketika berhasil menghancurkan
benda itu.

HEY ROSE | 336


Suara erangan kesakitan, bahkan suara teriakan makhluk
mengerikan sahut menyahut menggema di seluruh ruangan. Jendra
menjadi saksi bagaimana Haikal dan Cakra membunuh dirinya
sendiri, mencakar kulit-kulit tangannya hingga mengelupas. Saksi
bagaimana kakak yang ia sayang mendongakkan kepala seperti
ingin mencabut lehernya. Saksi bagaimana tubuh Tio terhempas
kesana kemari hingga Rose keluar dari tubuhnya dan seketika
lenyap begitu saja.
Dan saksi bagaimana Randika berjuang mati-matian dengan
kesadaran yang mulai menghilang, ia tersenyum menghadap
Jendra dengan mata yang masih menghitam.
Suasana mendadak sepi dan sunyi, hanya ada Jendra tersadar
sendiri. Ia ketakutan, menangis merengkuh kedua kakinya.
Menenggelamkan wajahnya di sana, dengan keadaan bersimbah
darah.
Krieett....
Doni membuka pintu dengan susah payah. Zemira sudah tak
sadarkan diri berada di punggungnya. Mereka berdua pun
keadaannya tak jauh berbeda dengan Jendra. Bahkan gadis itu bisa
saja kehilangan nyawanya karena ia lebih dulu tak sadarkan diri di
alam sana.
Lelaki itu tersenyum ke arah Jendra, sembari menyandarkan
tubuh Zemira pelan.
Thank you for being an angel, Jendra....
Sudah lewat tengah malam. Doni menghubungi tim evakuasi
agar dirinya dan juga yang lain dapat tertolong. Malam itu, Silent
Hill menjadi saksi bisu untuk kesekian kalinya atas perjuangan
melawan sesuatu yang tak seharusnya ada di dunia.
Sesuatu yang tak seharusnya menghancurkan sebuah
hubungan manis nan solid yang telah lama tercipta; Ghost Hunter
Genk. Sebuah hubungan romantis yang baru saja terajut; Zemira,
Tio. Sebuah hubungan penuh dengan kasih sayang; Mental
Breadtalk Genk.

HEY ROSE | 337


Dan sebuah hubungan kakak-adik yang mengambil jalan
berbeda dan kini kehidupan memisahkan mereka; Zemira,
Randika. Tetapi mereka berdua akan selamanya terikat, because
being brother and sister means being there for each other.

Randika
Kak Ze gue nyebelin banget ya tiba-tiba bikin lo khawatir?

\\karena gue nyembunyiin hal ini dari lo, tapi kan niat
Sorry
gue baik? Jadi ini nggak keitung durhaka sama Kakak
sendiri kan?

Kak,\Jendra orang baik, jangan dibenci ya. Gue bisa mastiin


1000000%

Kak, jangan marahin gue ya? Kak Ze harus ikhlas!

Ih hp lo mati segala

Ya udah gue nggak bisa ngomong banyak-banyak ieu

kak Ze jaga diri baik-baikkkkk ya? Nanti kalo kak Tio bisa
balik, semoga kak Ze sama Abang bisa terus hubungan
sampe nikah, punya anak yang lucu-lucu

kak, apapun yang terjadi, Randika yakin semua bakal


berakhir terus kita bisa hidup kayak kemaren-kemaren

Tapiiii gue nggak yakin bisa terus sama lo

Ehhh tapi kak Ze bakal nolongin gue kan? Kalo gue tiba-
tiba nggak bisa balik? Hehehe

BERCANDA KAKK JANGAN MARAH

HEY ROSE | 338


kak, Randika duluan. Gue tunggu kak Ze kesini ya

Randika mau terima kasih sama Tuhan karena dilahirin


jadi Adiknya kak Ze

Randika sayang Kakak.

I love youuuuu

HEY ROSE | 339


IT’S OVER

Sudah berapa banyak hari yang berjalan begitu monoton usai


mereka pergi. Sudah berapa banyak hari yang terlewati dengan air
mata yang tak hentinya meliuk bebas. Sudah berapa banyak hari
pula waktu Zemira didedikasikan untuk kesembuhannya sendiri.
Sudah lama ya....
Terbangun di setiap jam tiga pagi, rutinitas gadis yang kini
tinggal seorang diri itu hanyalah merutuki nasib buruk dengan
ribuan penyesalan. Air mata yang tak pernah absen di setiap
menitnya terasa menjadi seorang teman yang dengan setia
menemani. Ia duduk di atas ranjang empuknya, dengan kedua
manik hitam menatap ke daun pintu kamarnya. Tak lupa ia
menghitung angka satu sampai sepuluh. Terapi yang katanya dapat
mengalihkan pikirannya.
Sudah berapa lama dan harus berapa lama lagi Zemira
melakukannya? Semuanya terasa sama, tentang rasa sedih dan
sesak yang masih menjalar di tubuhnya. Kini ia meraih ponsel yang
selama ini menemaninya dalam kesendirian. Lantas ia menghela
nafas kala menggulir ribuan pesan yang tak akan pernah
terbalaskan.
Randika.
Selalu terasa sesak saat mengingat namanya. Banyak ribuan
pesan rindu yang Zemira kirim agar si bungsu dapat membacanya
suatu saat nanti, dalam angannya. Gadis itu telah dinyatakan
sembuh dan berhasil keluar dari sakit jiwanya. Itu hanya diagnosa
dokter, meski sebenarnya Zemira mati-matian menyembunyikan
segala depresi yang kerap kali menyerang.
“Gue kangen lo, Randika...,” gumamnya seraya meloloskan
butiran bening miliknya.
Biasanya jika terbangun seperti ini Zemira akan pergi ke
ruang kamar milik Randika. Namun selama beberapa bulan

HEY ROSE | 340


terakhir, ada sedikit rasa takut kala melangkah menuju ruangan itu.
Entah takut karena apa, yang jelas kini ia tak ingin membuka ruang
kamar Randika lagi. Ia akan membiarkan ruangan itu tertutup dan
terjaga seperti itu, tanpa jamahan dari manusia, agar aroma si
bungsu yang masih melekat di sana tak hilang begitu saja.
Zemira akan melelapkan dirinya lagi saat suasana hatinya
tenang kembali.
Dingin. Tubuhnya kerap kali merasa dingin seperti tak ada
nyawa yang melekat lagi. Mimpi yang selalu datang dalam tidurnya
semakin membuat hatinya berkecamuk karena hanya di sana ia
bisa bertemu dengan Randika.
Sebuah mimpi yang terasa nyata kala tangan lembut Randika
mengusap punggung tangannya. Kala buliran air mata membasahi
lengan tangan Zemira. Aneh, gadis itu tak memberi respon apa pun
saat Randika menangis di depannya, saat si bungsu memeluknya.
Zemira hanya terbaring menghadapnya. Itu saja.
Kringggg....
Kring....
Kringgg....
Suara nyaring yang dihasilkan dari jam di atas nakas itu
berhasil membangunkan Zemira dari tidurnya. Ia meregangkan
tubuh seraya beranjak dari tempat tidur. Menyingkap gorden
kamar, kemudian membuka ventilasi yang ada di ruangannya.
Sudah hampir siang, bahkan hampir mendekati jam pergi ke
kampus.
Zemira yang tengah berdiri di dekat jendela menangkap
seseorang tengah ada di depan pagar rumahnya. Ia hanya diam
menatap lelaki itu. Tak berniat keluar untuk membuka pagar, atau
hanya sekedar keluar menyapa. Tak penting.
Niatnya untuk bersiap pergi ke kampus terjeda akibat
notifikasi ponsel masuk begitu banyak. Zemira hanya menghela
nafas membaca pesan yang Doni kirimkan. Lelaki itu sudah berada
di kelas, ia memberitahu bila Jendra tengah berada di depan
rumahnya. Untuk mengantar Zemira ke kampus.

HEY ROSE | 341


“Gue bisa berangkat sendiri.”
“Sama Jendra aja sih dia ada di depan,” jawab Doni di
seberang sana.
Karena Zemira tak menyetujui pemaksaan ini, akhirnya ia
menyambungkan panggilan dengan Doni untuk menyampaikan
protesnya.
“Gue bisa sendiri, Don. Nggak usah overprotective gitu deh
lu.”
“Biar lo baikan sama Jendra.”
“Gue nggak mau. Mau lo berjuta kali berusaha biar hubungan
gue sama Jendra baik juga gue nggak bakal mau. Udah gue bisa
berangkat sendiri.” Kalimat Zemira penuh penekanan.
“Ya udah janji dulu sama gue. Jangan ngelamun!”
“Ya.” Jawabnya singkat.
“Janji dulu Zemira.”
“Iya Doni gue janji elah.” Zemira berdecak.
Terdengar Doni terkekeh di sana. “Udah kalo gitu ambil
makanan yang ada di Jendra. Dia nganterin makanan buat lo. Jangan
sok dingin, udah gue ada dosen, gue tutup ya.”
Zemira hanya berdesis sebagai jawaban. Lantas ia melempar
ponselnya ke atas kasur. Dan tanpa mendengarkan ucapan dari
Doni, ia pergi ke kamar mandi untuk bersiap diri pergi menimba
ilmunya lagi.
Berangkat menggunakan transpotasi umum mengharuskan
Zemira untuk berjalan ke depan kompleknya. Pintu utama rumah
sudah ia kunci, lantas berjalan menuju pagar yang rupanya Jendra
sudah pergi dari sana. Ada kantung plastik berisi kotak makanan
yang ia tinggalkan tergantung di pagar. Zemira berdecih, meski
begitu ia ambil kotak makan untuk ia makan di kampus—jika
sempat. Bisa menjadikan sebuah masalah baru jika gadis itu
membiarkan kotak makan tetap tergantung di sana.
Doni yang akan memarahi dirinya habis-habisan hanya
karena kotak makan dari Jendra yang tak ia bawa.

HEY ROSE | 342


Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika suasana tempat ia
menimba ilmu bisa berjalan seperti biasanya. Padahal masih ada
seseorang yang tinggal untuk berkabung di tiap harinya. Sepertinya
percuma Zemira pergi ke kampus jika yang ia lakukan di sana
hanya melamun setiap saat.
Biasanya kelas besar seperti ini ia bisa sebangku dengan
sahabat-sahabatnya, namun lagi-lagi hanya bayang-bayang mereka
yang menemani Zemira di meja panjang itu. Sembari meletakkan
kepalanya di atas kedua tangan terlipat, gadis itu menatap
beberapa kursi kosong di sebelahnya. Melamun.
“Lo nggak ada kerjaan selain ngelamun di kelas?” Mendadak
lelaki yang tadinya duduk di belakang kursi Zemira pindah tempat
untuk duduk di sebelahnya. Lamunan Zemira pun terpecah.
Zemira mendengkus. “Dan lo nggak ada kerjaan selain
gangguin gue?” ketusnya sembari menegakkan duduknya
menghadap arah depan.
“Gue nggak gangguin. Nyadarin lo biar perhatiin dosen.”
“Ngurusin hidup gue bener lo.” Zemira menopang dagu.
“Gue takut tiba-tiba lo kerasukan. Ngerepotin gue,” bisiknya
lagi.
Demi Tuhan lelaki yang tengah duduk di sampingnya itu
sangat menjengkelkan. “Gue nggak minta lo tolongin tuh? Lagian
sokap bener sih orang dulu aja nggak kayak gini lo ke gue.” Protes
Zemira yang mulai tersulut emosi hingga ia mengarahkan tatapan
menusuk.
“Ya kan dulu lo punya temen. Gue cuma mau jadi temen lo—
sekarang lo sendiri mulu takut gue. Abis ini gue tunggu di kantin,
jangan makan sendiri.” Lelaki itu beranjak kala dosen telah keluar
dari ruangan, menandakan kelas berakhir. Mahasiswa lain pun
tengah beranjak dan berbondong-bondong pergi ke kantin.
“Eww ogah. Gue mau makan sendiri,” jawab Zemira seraya
merapikan totebag-nya.
“Gue tau bahasa cewek, itu artinya lo butuh temen. Terserah
deh lo mau makan dimana gue ngikut.”

HEY ROSE | 343


Deo. Yang masih berdiri menunggu Zemira dengan sesekali
menaik turunkan alisnya. Lelaki yang selama ini mengganggu
dirinya di kampus. Mengikuti kemana pun gadis itu pergi, dengan
atau tanpa ijinnya. Kerap kali memaksa agar Zemira bisa
menerimanya sebagai teman dan selalu penolakan yang ia
dapatkan.
Berakhirlah mereka berdua di kantin. Zemira yang fokus
dengan bekalnya itu sampai tak sadar bila Doni dan yang lain
datang, dengan tatapan yang menunjukkan bahwa dirinya tak suka
bila ada Deo di sana.
Mejanya terdorong, barulah Zemira mendongakkan kepala-
nya. Menemukan Doni yang duduk di samping Deo. Dan lagi ada
Dhirgam, Wira, juga Janu.
Doni tersenyum. “Yang banyak makannya.”
Zemira melengos.
“Gue nggak mau ya diwawancarain lagi sama anak Ilkom.
Hihhhh udah ngalah-ngalahin wartawan anjerrrr!” keluh Dhirgam
kala ia baru saja mendudukkan dirinya.
“Mana ini si Wira kemana aja sia anying nggak ngebantu gue
cihh berasa korban apa gitu diwawancarain mulu.” Tunjuknya pada
Wira.
“Lo kan emang korban bahlul,” jawab Doni.
“Ya tapi nggak gini ganggu konsentrasi belajar gue.”
Sungguhlah yang lain hanya me-rolling eyes mendengar
pernyataan dari Dhirgam tentang gangguan konsentrasi
belajarnya. Lelaki itu selalu saja melebih-lebihkan sesuatu.
“How was your day, Ze? Masih sering ngelamun?” Janu
menggeser duduknya menghadap ke arah samping untuk
mengerahkan semua atensinya pada gadis itu.
Zemira bertemu tatap dengan Deo, lantas berpindah pada
Janu yang tengah menunggu jawaban darinya. “Kenapa lo selalu
tanya gue masih sering ngelamun apa enggak?” jujur saja Zemira
muak dengan pertanyaan itu.

HEY ROSE | 344


“Ya soalnya lo serem kalo lagi ngelamun. Kata dokter juga lo
nggak boleh banyak ngelamun, ntar kumat stresnya,” celetuk Wira.
“Sorry tapi gue nggak gila,” jawab Zemira ketus.
“Nggak gila apa lo tiap hari nangisin adik lo terus.”
“Ya wajar? Coba lo yang kehilangan adik lo, gimana perasaan
lo anjing!” terdengar Zemira tak terima dengan apa yang baru saja
Dhirgam katakan.
Baik Doni maupun Deo sampai tampak resah melihat raut
muka Zemira yang berubah kemerahan. Emosinya mulai tersulut.
“Untungnya gue nggak punya adik. Jadi nggak perlu ngerasa
kehilangan,” jawab Dhirgam santai.
Doni beberapa kali sudah memukul lengan Dhirgam agar
lelaki itu diam tak meneruskan mulut berbisanya itu. Namun
percuma saja.
“Ya makanya lo nggak ngerti rasanya jadi gue bangsat!”
Semua yang ada di meja kantin terkejut karena Zemira
dengan kerasnya menggebrak meja sembari beranjak dari sana.
Gadis itu lantas pergi usai mengumpati Dhirgam di depan umum.
Deo yang belum selesai makan sontak mengekori langkah Zemira.
Kepergian gadis itu tak lepas dari pandangan Doni.
“Dih dasar cewek baper!” gumam Dhirgam.
“Bukan Ze yang baper, tapi mulut lo tuh remnya blong,” sahut
Wira. “Minta maaf dah sana, temen kita cuma tinggal berapa biji
doang, jangan kayak gitu lah.”
“Lah emang Zemira temen gue? Ya kebetulan aja dia
pacarnya Tio, mau nggak mau kenal. Gue nggak merasa temenan
sama dia tuh,” ungkap Dhirgam yang membuat Doni tampak geram.
“Si anjing!” Doni langsung pergi dari sana. Padahal
makanannya baru saja datang, namun ia tak lagi memiliki nafsu
setelah mendengar ucapan Dhirgam yang benar-benar membuat
dirinya tersulut emosi pula.

HEY ROSE | 345


Di taman belakang kampus tengah banyak mahasiswa
berkumpul. Rupanya mereka berkumpul dengan sesama anggota
UKM. Terlihat pula para anggota pecinta alam duduk melingkar di
sana. Zemira yang tengah duduk di kursi taman hanya menatap
keramaian dengan diri kesepian.
Pecinta alam ya....
Dengan lamunan yang seakan tengah menjadi kebiasaan
Zemira, memorinya akan dirinya yang sibuk mempersiapakan
segala sesuatu untuk si bungsu kala ia akan diklat kembali terputar.
“Zemira.”
Si empunya nama hanya diam tak menjawab. Ia tengah
hanyut dalam lamunannya hingga matanya betah untuk tidak
berkedip.
“Zemira....” Kini seseorang berdiri di hadapannya. Zemira
mendongak. “Jangan ngelamun,” ungkapnya sembari menangkup
wajah gadis itu.
Zemira menepis tangannya. “Iya, Doni.”
Lelaki dengan nama Doni itu menghela nafas kasar
mendengar jawaban dari Zemira yang selalu sama. Ia dudukkan
dirinya di ruang kosong samping Zemira. Mengusir rasa sepi dalam
keramaian.
“Nggak usah dengerin omongan Dhirgam, mulutnya emang
gitu minta di jahit.”
“Ya sok jahit. Dan stop nyuruh gue buat gabung sama temen-
temen lo itu.”
“Temen lo juga kali.”
Zemira berdecih. “Temen gue udah mati,” ucapnya tanpa
ekspresi yang lagi-lagi membuat diri Doni takut.
Lelaki itu menggeleng. “Terus gue apa kalo bukan temen lo?”
Beberapa saat tak menjawab, Zemira lebih memilih untuk
kembali mengendarkan padangan. Sebenarnya ia sedang tak ingin
berbicara. Deo yang tadinya mengekori dirinya saja ia usir saking
kesalnya.
“Ze? Gue apa dong?” tanya Doni lagi.

HEY ROSE | 346


Zemira mengalihkan atensinya pada lelaki di sampingnya.
Menatap kedua manik hitam sang lawan yang menginginkan
jawaban. “Lo mah pembantu gue,” ujarnya seraya mengembalikaan
arah pandang ke depan.
Terdengar Doni sedang mengumpat.
“Gue nggak salah, kan? Lo bantuin gue mulu mulai dari di
Inggris, terus gue koma sampai sadar dan terapi pun lo bantuin gue.
Ngedorong kursi roda gue, dan lo juga yang bawa gue ke psikiater,”
jelas Zemira yang membuat Doni mendengarkan dengan seksama
segala ucapnya. “Pembantu.”
Doni mendengkus sembari terkekeh tak percaya. Bisa-
bisanya pola pikir Zemira seperti ini. “Ya nggak salah. Tapi terlalu
kasar nyebut gue pembantu. Bagusan dikit kek anggep gue kakak
lo gitu.”
“Mana bisa orang kita seumuran.” Zemira menoleh lagi pada
Doni. “Yang gue mau ... adik. Gue mau adik.”
Dapat terlihat semburat kesedihan yang terpancar di manik
hitam Zemira. Hati Doni mencelos mendengar suara yang
terdengar seperti rintihan.
“Jendra bisa jadi adik lo. I mean bukan sebagai pengganti
Randika.”
“Nggak Jendra juga kali.”
“Kenapa sih lo masih nggak bisa maafin Jendra? Udah lama
banget, Ze.”
Benar. Sudah berapa lama sejak kejadian itu? Zemira tak
ingat, ia kehilangan memori tentang hitungan hari, minggu, bulan,
dan tahun. Kejadian itu seperti baru kemarin ia alami. Bukan
Zemira tak bisa memaafkan Jendra, tapi ia takut untuk memberi
maaf itu padanya. Ia takut untuk kembali percaya, ia takut karena
pernah memberikan rasa sayang yang sama seperti sayangnya
pada Randika.
“I think gue udah maafin Jendra,” ujar Zemira dengan suara
bergetar. “Tapi enggak untuk buat ketemu tatap muka. Gue takut.
Gue takut karna gue pernah lihat dia dalam bentuk makhluk lain.”

HEY ROSE | 347


Doni mengangguk memahami. Rasanya segala usaha yang
Doni lakukan pun belum membuahkan hasil untuk membuat
Zemira kembali pulih tanpa ada pikiran akan masa lalu yang kelam.
Meski belum nampak hasilnya, Doni tetap berusaha.
“Nanti malem jadi ya?”
Zemira mengernyit. “Ngapain?”
“Gue ajak makan malem di luar. Jangan bilang lo masih parno
keluar malem? Nggak papa, ada gue, ada Jendra as usual. Nanti
nggak usah dandan.”
Zemira menghela nafas. Dirinya tak bisa menyangkal apa pun
lagi. “Ngapain juga gue dandan.”
Doni hanya memberikan jempolnya sebagai jawaban. Ia yang
masih ada kelas lagi beranjak dari sana.
“Gue pake lipbalm, maskara, sama eyeliner doang kok,” ujar
Zemira yang mampu menghentikan gerak langkah Doni.
Mereka bertemu tatap dengan posisi Doni yang sudah berdiri
tak jauh dari Zemira yang masih setia duduk di tempatnya. “Kalo
gue kecantol jangan salahin.” Seraya membalikkan tubuh untuk
melangkah menjauh.

HEY ROSE | 348


SHE SAW ME

Sebuah situs prakiraan cuaca yang biasa Zemira baca itu


mengatakan bahwa hari ini adalah hari dimana cuaca sedang
sangat bersahabatnya dengan para manusia yang suka berkegiatan
di luar rumah. Tentu saja ia tak dapat menyia-nyiakan hari begitu
saja.
Usai berdiam diri di perpustakan, Zemira memutuskan untuk
pergi mengunjungi rumah abadi si bungsu. Dengan langkah yang
cepat, ia seperti setengah berlari menuju halte, pasalnya akan ada
hambatan yang datang jika ia tak segera sampai di sana. Doni, tentu
saja. Lelaki itu tak akan menyetujui Zemira untuk pergi ke makam
sendiri. Harus ada Doni atau Jendra bersamanya.
Sampai di halte bus depan kampus, bukannya Zemira segera
naik ke dalam bus yang tengah berhenti di sana, ia malah
menunggu seseorang datang. Gadis itu menoleh kesana kemari
mencari seseorang yang akan ikut bersamanya.
Dengan secepat kilat, lelaki dengan kemeja berwarna abu
dan tas ransel cokelatnya itu muncul dari gerbang kampus. Ia
tengah berlari hingga hampir saja dirinya menabrak beberapa
mahasiswa yang berlalu lalang.
“Busettt,” ucap Zemira sebagai pengganti sapaan.
Deo mengatur nafasnya hingga hidungnya kembang kempis.
Tangannya bersandar pada tiang untuk membantunya berdiri
saking lemasnya kedua kaki yang ia gunakan menopang tubuhnya.
Sedang tangan yang lain membawa sebuah kepingan bulat hitam
yang terbungkus rapi di dalam kotaknya.
“Nih nih....” Deo yang masih ngos-ngosan itu menyerahkan
sebuah titipan dari seseorang. “Lo beneran nggak inget sama Ken?
Anak Ilkom Ze.”
Zemira menerima titipan itu seraya menggelengkan kepala.

HEY ROSE | 349


“Gila lo beneran amnesia kata gue mah, orang dia anak
pecinta alam angkatan pertama di sekolahnya adik lo.”
Kini gadis itu manggut-manggut dengan bibirnya membulat.
“Pantes familiar namanya.”
“Itu sebenernya ada orang lain yang nitip ke Ken.”
“Jadi ini bukan dari Ken? Orang lain yang nitip ke dia terus
dia nitip ke lo biar dikasih ke gue? Kenapa nggak pake ekspedisi aja
dah?” dengkus Zemira.
Deo hanya menggaruk sebagian kepalanya. “Gue nggak tau.”
“Terus ini motor lo mana?” tanya Zemira karena pasalnya
Deo tadi mengatakan bahwa akan mengambil motornya lebih dulu
di parkiran.
“Loh? Nggak gue bawa anjir gimana sih?!” Deo langsung
memutar tubuhnya untuk kembali berlari ke parkiran—untuk
benar-benar mengambil motor yang tertinggal.
Zemira yang tak pernah menunjukkan tawanya itu seperti
terhipnotis dengan kelakuan Deo, ia menyunggingkan senyum.

“Besok-besok nggak usah ngintilin gue mulu kalo cuma


kasihan sama gue mending lo jauh-jauh aja deh. Gue nggak butuh.”
“Sekali aja lo nggak bawelin gue kenapa dah? Nggak enak
banget tuh mulut?”
Mereka berdua telah berada di makam. Karena ucapan Deo,
Zemira jadi salah paham dan berakhirlah mereka dengan saling
umpat satu sama lain. Berjalan meninggalkan area pemakaman si
bungsu, Zemira melewati sebuah bangunan tua dimana ia pernah
mengalami kejadian yang membuat gadis itu sedikit trauma. Ia
menoleh dan menatap lamat-lamat bangunan itu.
“Jalan tuh madep ke depan!” sontak kedua tangan Deo
menangkup kepalanya dari samping, menggerakkannya agar
Zemira tetap menghadap depan.

HEY ROSE | 350


Gadis itu menghela nafas berat. Gerakan Zemira selanjutnya
benar-benar mengejutkan Deo.
“Ze! Lo mau kemana anjir!”
Tiba-tiba Zemira menghentikan langkah dan memutar
tubuhnya. Berjalan cepat mendekati bangunan. Deo pun terkejut,
alih-alih menghentikan Zemira, lelaki itu ikut bersamanya dan
menemaninya.
“Kalo nggak gini gue bakal takut terus...,” lirih Zemira yang
sebenarnya tengah diselimuti rasa takut hingga jantungnya terasa
berdebar.
Zemira dan Deo berdiri berjajar di depan pintu bangunannya.
Gadis yang terus menatap daun pintu itu mendadak dikejutkan
dengan seseorang yang memanggil namanya.
“Zemira!”
Mereka berdua menoleh bersama. Doni dan Jendra berjalan
ke arah mereka. “Lo ngapain di sini?! Balik!” lelaki itu langsung
menarik pergelangan tangan Zemira hingga gadis itu terhenyak.
“Wey wey santai Bos!” Deo seketika menahan lengan lelaki
itu karena tak terima dengan perlakuan Doni pada Zemira yang
kasar.
“Apaan lo? Udah Zemira biar balik sama gue,” ujar Doni.
“Ya iya balik sama lo tapi itu tangan cewek ditarik-tarik yang
bener aja lo?!” saking emosinya Deo menuding wajah Doni dengan
tatapan yang berapi-api.
Gadis itu hanya memijat pelipisnya dan beberapa kali
menghela nafas. Ia sudah terbiasa dengan Doni yang selalu
bertingkah seperti ini.
“Deo, gue balik duluan. Thanks udah nemenin gue,” pamitnya
sembari mendorong tubuh Doni menjauh. “Lo hati-hati baliknya
ya!”
Deo lantas membalas lambaian tangan Zemira seraya melihat
kepergiannya. Lantas berkontak mata dengan Jendra yang masih
ada bersamanya.
“Lah lo ngapa nggak ikut balik?” tanya Deo heran.

HEY ROSE | 351


“Lo sendiri, Kak?”
“Yee ditanya malah nanya balik lo. Ini gue mau balik, dah
bye!” Deo berpamitan dengan menepuk bahu Jendra. Me-
ninggalkannya sendiri di sana tanpa memperdulikannya.
Berjalan tak jauh dari Zemira dan Doni, Deo memperhatikan
keduanya dari belakang. Tatapan yang tak bisa dijelaskan itu
seperti tengah membidik salah satu di antaranya. Kala sampai di
tempat ia memarkirkan motor, pandangannya tak sengaja bertemu
tatap dengan Doni. Lagi-lagi tatapan tak suka yang Deo terima
membuatnya melengos dan dengan segera pergi dari sana.
“Biasa aja kenapa mata lo,” tukas Zemira mengingatkan Doni.
“Kenapa tiba-tiba nyusulin gue kemari? Tau dari mana kalo gue—“
Doni berdecih. “Terus aja begitu lo nggak ada gunanya
megang hp juga, kan? Gue dari rumah lo tapi nggak ada siapa pun
di sana. Dan gue hafal banget lo ada dimana.”
Sikap yang berlebihan dari Doni kadang membuatnya sedikit
tak nyaman. Namun ia sendiri tak terlalu memikirkan sikap lelaki
itu.

This is everything I didn't say.


Langit malam cukup menakutkan bagi Zemira kini. Tidak
hanya karena kegelapan, tapi juga karena ia takut akan sosok yang
tiba-tiba datang di tengah-tengah kegelapan itu sendiri. Berbulan-
bulan, bahkan sebentar lagi akan menginjak satu tahun setelah
tragedi itu, gadis yang kini tinggal sendiri, masih tak bisa
melupakan kesedihan, bahkan rasa sakitnya ditinggalkan.
Sudah tiga bulan berselang, ia tak lagi mengunjungi dokter
yang mengontrol kejiwaannya. Zemira hampir gila. Setiap harinya
ia melamun dengan pandangan yang kosong, sesekali ia menangis,
bahkan berteriak ketika entah sosok apa yang selalu
menghantuinya. Dengan bantuan obat-obatan yang ia konsumsi

HEY ROSE | 352


setiap hari, gadis itu berhasil bertahan dan kembali seperti Zemira.
Tak heran bila Doni pun memperlakukannya seperti itu.
Gadis dengan baju tidur warna abu tengah berjalan ke
pelataran rumahnya. Sembari menggigiti kuku jarinya, ia
membukakan pagar dengan susah payah. Doni baru saja tiba
setelah habis-habisan memarahi gadis itu karena tak mengangkat
satu pun panggilan telfon yang masuk.
Setelah memarkirkan mobilnya, Doni keluar dari sana dan
berlari menghampiri Zemira. Diraihnya kedua tangan gadis itu,
lantas ia sapu dengan ibu jarinya sembari menatap tiap sudut
telapak tangannya.
“A-apaan?!” Zemira menarik kedua tangannya.
“Lo beneran mandi selama itu?”
Zemira hanya berdecak tak menjawab. Mandi sore selama
hampir tiga jam, itulah alasan Zemira mengapa ia tak menerima
panggilan masuk dari Doni. Dan alasan itulah yang membuat Doni
buru-buru menemui Zemira. Lelaki itu khawatir bila Zemira
gegabah. Di sisi kekhawatirannya, ia sudah bertekat untuk
melindungi gadis yang sekarang hidup seorang diri.
Dingin.
Padahal hampir setiap hari lelaki itu mengunjungi rumah ini,
namun masih saja terasa dingin. Doni duduk di ruang tengah.
Menunggu Zemira yang entah mengambil apa di ruang kamarnya.
Tak lama, gadis itu datang dan duduk bersila di depan Doni. Hanya
dengan beralas karpet bulu, itu tak berhasil membuat mereka
merasa hangat. Zemira sengaja membawa dua selimut untuk
dirinya dan juga temannya—iya teman.
“Jawab gue, Ze ....” Doni menginterupsi. “Lo beneran mandi
sampe tiga jam? Lo berendem? Tangan lo keriput noh jangan bilang
kalo pikiran gue bener?!”
“Pikiran lo tentang apa?”
“Tentang—lo yang nyoba masuk lagi?! Dengan cara
berendem di bathub.”

HEY ROSE | 353


“Iya bener,” jawab Zemira singkat yang langsung disahut oleh
Doni.
“Lo gila?! Lo apa-apaan sih, Ze?! Kan udah gue bilang jangan
pernah lagi nyoba buat ke sana. Ze gue udah bilang berapa kali ke
lo sih?” Lelaki itu mengacak-acak rambutnya sendiri. “No words lah
gue.”
“Udah?” tanya gadis di hadapannya.
“Hm.”
“Iya bener gue berendem di bathub tapi nggak lagi buat
nyoba—gue cuma lagi mikir.”
“Bohong.”
“Ih serius Doni. Gue mikir karena ini nih.”
Zemira menunjukkan benda yang sedang ia pegang di tangan
kanannya.
“Ini apa?” tanya Doni sembari meraih bendanya. “Isinya apa
Ze?”
Zemira mengangkat kedua bahunya. “Gue juga nggak tau.
Makanya gue mikir ini isinya apa, dan gue takut buat muternya.”
“Lo dapet dari siapa?”
“Deo ngasih itu ke gue, tapi—”
“Tuh kan kata gue juga manusia satu itu rada aneh.”
Zemira mendengkus sebal ketika perkataannya tiba-tiba
disambar begitu saja. “Gue boleh cerita dulu nggak?”
“Gih.”
“Jadi, Deo ngasih ini ke gue, titipan dari Ken. Nah Ken sendiri
juga titipan dari orang ceunah. Yang dapat disimpulkan di sini
adalah ini benda dari orang yang nggak gue tau siapa.”
“Gimana sih? Orangnya ini siapa? I mean yang nitipin ke Ken.”
“Kata Deo sih Ken juga nggak tau. Orang itu tadi ada di dalem
kotak kado gitu tapi gue buang kotaknya.”
Doni membolak-balikkan benda itu beberapa kali. Ia terlihat
berpikir dengan cukup keras. Dahinya mengernyit. Sesekali melirik
Zemira yang juga penasaran sekaligus takut dengan isi dari CD itu.

HEY ROSE | 354


“Lo simpen dulu, jangan dibuka. Besok gue bilang paman
sama yang lain.” Final Doni.
“Eh tapi Don, kalo yang ngasih orang yang suka sama gue
gimana? Tau-tau isinya apa gitu yang romantis-romantis,” ujar
Zemira dengan senyum yang tak dapat diartikan.
“Beneran gila kata gue, lo mah.”
Gadis itu masih saja tersenyum dengan beberapa kali
merotasikan bola matanya. Hingga seketika raut wajahnya
berubah. Senyumnya luntur, pandangannya tak lepas dari satu
sudut di ruangan itu. Tatapannya kosong.
“She saw me...,” gumamnya.

HEY ROSE | 355


HIDDEN

Bukan Zemira namanya jika tak memiliki rasa penasaran lebih. Ia


memang penasaran, namun enggan untuk memutar apa isi
kepingan bulat itu. Lagi pula CD Player di rumahnya sedang tak bisa
digunakan. Tentang siapa pengirimnya, gadis itu tak memiliki clue
karena saat ia bertanya pada Ken, siapa yang menitipkan barang itu
untuk Zemira, lelaki itu menjawab tidak tau karena kotak itu ada
begitu saja di depan rumahnya dengan note dari si pengirim.
‘tolong berikan pada Zemira’
Dan Ken hanya menjalankan amanahnya saja tanpa berpikir
panjang untuk membukanya dan mencari tau siapa pengirimnya.
Kali ini Zemira ada di kampus bersama Deo. Lelaki itu benar-
benar menepati janjinya untuk menjadi teman baik Zemira.
Terbukti kala gadis itu akan pergi kemana pun, Deo pasti ada
bersamanya. Kala Zemira tengah melamun sendiri, Deo datang
dengan banyaknya celotehan yang dapat mengalihkan atensi
Zemira. Karenanya, gadis yang selalu merasa kesepian itu mulai
membuka diri untuk sedikit bercerita tentang apa yang sedang ia
rasa pada teman barunya.
“Lo udah buka isi kemaren apaan?” tanya Deo seraya
membolak-balikkan lembar kuisnya. “Lah nyaiiii ronggeng kenapa
jawaban gue ini disalahin sih?!” imbuhnya tak terima.
Zemira mendengkus. “Jadi niat lo ngapain sih di sini? Gue
nggak lagi mau dengerin sambatan lo itu,” tukasnya dengan tatapan
sinis yang ia layangkan.
Deo cengengesan. “Sorry sorry.” Melipat kembali lembar kuis
dengan nilai C yang tak seberharga itu. “Lanjut-lanjut.”
“Apanya?”
“Ck iya lo belum cerita apa-apa kenapa gue minta lanjut?”
Zemira mengendarkan pandangan ke depan dengan sesekali
manggut-manggut. “Isinya CD tapi belum gue puter. Dan lo tau

HEY ROSE | 356


nggak apa yang gue temuin di kotaknya? Untung aja belum gue
buang.”
“Apa?”
“Secarik kertas—silent hill. Dia nulis juga angka 0205.”
Zemira memijat pelipisnya. “Gue clueless banget. Kalo aja Ken
nggak ngasih tau untuk cari note si pengirim di dalem kotak,
mungkin gue juga nggak bakal nemu kertas itu.”
Deo hanya diam beberapa saat tak menanggapi cerita singkat
dari Zemira. Seperti ada hal lain yang menyita atensinya. Ada
sesuatu yang menampakkan diri yang selalu ia lihat. Ada sesuatu
yang membuatnya untuk berjanji melindungi Zemira.
“Oy!” hentak Zemira kala lelaki di sampingnya itu malah
melamun. “Lo dengerin cerita gue nggak sih?”
Deo gelagapan. “Iya dong dengerin!”
“Apa? apa coba?”
Deo berkedip cepat, kemudian kembali mengarahkan
pandangnya di sisi yang lain. “Ze, lo mau tau nggak rahasia gue?”
Zemira mengernyit. Bukannya menanggapi cerita darinya,
Deo malah akan membeberkan rahasia yang ia punya. Lantas ia
bertemu tatap dengan lelaki itu.
“Gue indigo.”
“Hah?”
Anak indigo adalah orang-orang yang terlahir spesial dengan
kemampuan supranatural yang tak dimiliki manusia pada
umumnya. Seperti bisa melihat masa depan dan hal mistis
contohnya. Tak disangka bila Deo salah satu di antara orang-orang
yang memiliki kemampuan spesial itu.
“So, do you want to tell me? Kenapa adik lo masih sama lo
sekarang?”
Keterkejutan Zemira belum selesai sampai disitu. Ia kembali
dikejutkan dengan pertanyaan Deo yang rasanya tak bisa ia jawab.
Apa katanya? Randika masih ada bersamanya sampai saat
ini?

HEY ROSE | 357


Kemampuan yang Deo miliki benar-benar mengingatkannya
pada satu orang yang sangat ia benci, Jendra. Dapat melihat sesuatu
yang tak bisa ia lihat. Namun Zemira benci mengatakan jika
sebenarnya ia sendiri selalu melihat bayang si bungsu—yang
membuatnya didiagnosa mengidap gangguan kejiwaan atas rasa
trauma yang menimpanya.
Sungguh. Zemira sendiri pun selalu bisa melihat Randika.
Hanya sekilas, karena saat ia berusaha menghampiri dan
mengejarnya, bayang Randika menghilang. Jadi, apa yang ia lihat
selama ini bukan karena kejiwaannya tengah terganggu, kan?
Zemira tertawa. “And all this time, gue dianggap gila sama
mereka karena I said that I saw Randika.”
“Kadang gue nganggep diri gue gila karena itu hanya
halusinasi yang gue bikin sendiri. Kata dokter kalo gue ngelihat
Dika tuh karena dia orang yang pengen banget gue temuin. Kalo lo
bisa ngelihat dia, then everything is true right? If what I have seen
itu Randika.”
Ucapan Zemira terasa begitu menyakiti hati Deo kali ini.
Entah apa karena gadis itu tak pernah membagi beban dan
perasaan yang ia rasa, atau karena ada hal lain? Deo mengangguk
setelahnya. Usai Zemira mengakhiri kalimatnya dan men-
dongakkan kepala ke arahnya. Melempar aura sendu yang kian
mengembang sebab perubahan perasaan yang kerap kali datang
menimpanya.
Zemira menghela nafas lantas kembali menundukkan diri
dan menyimpan air mata yang hampir keluar. “Gue kangen... gue
pengen meluk lo, Adik.... I will hug you tightly.”
“I swear.”

Hasrat untuk menjamah yang bukan alamnya kembali


terbesit di benak Zemira. Obrolan bersama Deo di kampus tadi
siang membuatnya terus berpikir dengan keras.

HEY ROSE | 358


Fakta bahwa Deo adalah seorang indigo memang benar.
Bahkan di depan mata kepalanya sendiri, Zemira melihat lelaki itu
berbincang dengan sosok yang saat itu tak bisa ia lihat. Awalnya
gadis itu tak percaya karena ia memiliki trust issue, namun saat Deo
meminta 'nya' untuk memberi tanda kehadiran, sontak Zemira
yang tengah duduk di depan Gedung Rektorat terkejut kala tiba-
tiba angin kencang berhembus menerbangkan anak-anak
rambutnya.
Benar atau tidak, gadis itu hanya ingin mempercayainya.
Atau bahkan sangat mempercayainya karena ia ingin mem-
benarkan halusinasi yang selama ini ia lihat.
Mandi dengan berendam di bathub kini sudah menjadi
kebiasaannya sejak ia tau bila itu bisa menghantarkannya pula
pada gerbang alam lain.
“Gue tanya lagi, kenapa adik lo masih di sini?”
“Dia nggak mau ngomong sama gue, Ze.”
Kalimat Deo terus berputar di otaknya. Kembali, setelah
berpikir beberapa lama, ia menyeka tubuhnya untuk menuntaskan
membersihkan diri, kemudian tanpa mengeringkan tubuh, ia
memakai baju yang tergantung di balik pintu. Lantas tangannya
meraih kran air untuk mengganti air di bathub. Mengisinya hingga
penuh.
Zemira sudah menggenggam cutter guna menggores
tangannya agar ia bisa melihat cairan merah miliknya. Benda itu
sengaja disembunyikan di tempat yang hanya ia ketahui. Karena
baik Doni atau Jendra selalu menyempatkan diri untuk pergi ke
kamar mandi, mereka berdua memastikan agar tak ada benda
tajam atau sesuatu yang dapat melukai gadis itu, namun mereka tak
tau jika sebenarnya Zemira menyimpan benda tajam di sana.
Ia memainkan cutter itu, menaik turunkan kaitan yang dapat
menampakkan kilat tajam benda itu. Sembari langkahnya masuk ke
dalam bathub yang krannya masih menyala. Gadis itu sudah duduk
dengan tubuh yang terendam sampai dagunya. Bahkan kini airnya
mulai meluber keluar.

HEY ROSE | 359


“Randika... lo ngapain masih di sini?”
“Lo ngapain, Dek?” gumamnya dalam lamunan.
Pelan-pelan tubuhnya merosot, ia menenggelamkan diri.
Menggoreskan benda tajam pada kulit tangannya. Melihat darah
yang keluar membuat mata Zemira seketika mengatup. Ia
merasakan perih yang luar biasa. Sesekali Zemira mengintip, airnya
mulai keruh karena cairan merah dengan derasnya keluar dari
nadinya. Lantas ia tutup matanya lagi dengan mengucap dalam hati.
“Siapa pun, gue mau ketemu Randika.”
Air di dalam bathub semakin keluar dari wadahnya.
Genangan cairan merah pun semakin deras kala air terasa semakin
hangat. Zemira mulai kehabisan nafas, ia masih sadar dan hampir
mengeluarkan diri dari sana. Dengan kuat, tubuhnya ia tahan untuk
tetap berada di dalam sampai ia terbangun di alam lain.
Namun usahanya sia-sia. Seperti sudah tak ada lagi jembatan
yang mengantarkan ke sana. Tubuhnya melemas, bukan hanya
karena kehabisan nafas, tapi ia bisa kehabisan darah. Atas
kesalahannya sendiri.
BRUAAAAKKK!!
“KAK ZE!!!”
Seorang lelaki tengah berlarian dari arah pintu. Mengangkat
tubuh Zemira dari sana dan seketika memeluk tubuh yang basah
itu. Berulang kali Zemira menarik nafas dalam-dalam kemudian
mengeluarkannya. Ia tersenyum sembari menyeka wajah yang
basah.
“Randika?” Lirihnya yang masih berada dalam pelukan.
Lelaki itu menjauhkan tubuhnya. Menatap Zemira dengan
mata yang berkaca-kaca. “Kak lo ngapain gini lagi?!” ucapnya dalam
sendu.
Jendra yang sudah terbiasa pergi ke rumah Zemira saat itu
menyadari jika pemilik rumah sedang berada di kamar mandi.
Lelaki itu hanya sekedar mengantar makanan dan menunggu untuk
bertemu sebentar dengan Zemira.
“Zemira mandi normal tuh paling lama 20 menit.”

HEY ROSE | 360


Kalimat Doni yang Jendra ingat. Ia melirik ke arah jam
dinding.
“S-satu jam?” desisnya. Lelaki berhoodie hitam itu beranjak
dari sofa ruang tengah. Berlari menuju kamar mandi, kemudian
mencoba mengetuk pintu dan memanggil Zemira di dalam sana.
Panik setengah mati karena tak ada jawaban dari sang
pemilik rumah, Jendra nekat mendobrak pintu. Jika kalian
membayangkan ia kuat mendobraknya, kalian salah. Jendra telah
menjadi manusia yang benar-benar lemah. Seperti semua
kekuatannya menghilang begitu saja.
Lelaki itu mencoba menghentakkan tubuhnya di pintu,
percobaan pertama gagal. Tendangan kakinya pun tak cukup kuat
untuk membukanya. Beberapa kali ia coba, hingga percobaan ke
sebelasnya, pintu coklat itu terbuka.
“K-kakkk....”
Gadis itu terdiam sembari menatap sendu kedua mata
Jendra. Meski tubuh mungil itu diguncang-guncang oleh lawannya,
ia tetap diam.
“Jangan gini, ayo gue obatin.” Jendra menelusuri tangan
Zemira, kemudian berjongkok dan memunggunginya. “Ayo, Kak.”
Lemas. Gadis itu tak percaya bila dirinya tak bisa dengan
cepat pergi ke sana. Ia pikir usahanya sedikit lagi akan berhasil jika
Jendra tak mengeluarkannya dari bathub. Bahkan ia pikir yang
baru saja ia peluk adalah si bungsu, Randika. Zemira jatuhkan
dirinya di punggung Jendra. Mengalungkan kedua lengannya.
Cairan merah tak henti-hentinya keluar. Bau khas darah juga
menyelimuti tubuhnya yang basah. Perlahan, Jendra
menggendongnya dan berjalan menuju kamar Zemira. Gadis itu
menyandarkan kepalanya di bahu Jendra.
Melewati ruang kamar Randika, ia kembali menangis.
Butuh waktu cukup lama bagi Jendra untuk mengobati
tangan Zemira. Karena pada dasarnya ia hanya mengetahui
bagaimana cara menghentikan pendarahan, tanpa tau ilmu yang
lain.

HEY ROSE | 361


“Makasih, Jen,” ujar Zemira yang tengah duduk di tepi
ranjang. Melihat Jendra dengan telaten menyeka tangannya.
Jendra mengangguk tanpa melihat ke arah Zemira. “Kak
jangan gini lagi. Randika malah sedih ngelihat lo gini.”
“Gue cuma mau ketemu adik gue,” jawabnya. “Kata Deo ....”
Kalimatnya menggantung, membuat Jendra mendongakkan
kepalanya. Menatap kedua mata Zemira yang sendu. Tatapan
kosongnya kembali, seperti beberapa bulan yang lalu. “Nggak
papa,”
Sadar bila Jendra menatapnya penuh dengan tanda tanya, ia
mengurungkan niatnya untuk berbagi cerita.
“Lo boleh nggak maafin gue Kak, tapi jangan lagi buat
penawaran sama mereka.”
Zemira tak mengindahkan perkataan Jendra. Gadis itu malah
melempar sebuah pertanyaan yang mampu membuat lawannya
tercekat. Bahkan ia sudah memprediksi jika pertanyaannya tidak
akan dijawab.
“Jen, gue mau tanya sama lo. Gue harap pertanyaan gue ini
bisa lo jawab.”
“Apa, Kak?” Jendra tampak sedikit ragu.
“Silent hill—”
Mendengar nama tempat itu saja Jendra terkejut dan
seketika menghentikan aktivitasnya tanpa mendongak ke arah
Zemira. Ia hanya diam menatapi lengan tangan lawannya dengan
kapas berada di genggamnya.
“Lo, atau Doni, nggak nyembunyiin sesuatu dari gue, kan?”
“I mean, yang ada hubungannya dengan tempat bernama
Silent Hill itu?”
Prediksi Zemira tak meleset. Jendra terus terdiam tak
berkutik. Beberapa kali ia merotasikan bola matanya. Wajahnya
terlihat gugup dan terbesit rasa takut. Zemira masih terus menatap
lawannya.
Lo nggak bisa jawab. Apa yang kalian sembunyiin dari gue?

HEY ROSE | 362


Jendra resah gelisah atas tuduhan yang dilayangkan oleh
Zemira. Duduk dengan jemari yang mengetuk-ngetuk meja,
pikirannya masih sama. Rasa khawatir akan kejadian yang Zemira
alami, juga tuduhan yang dilayangkan. Ia bahkan tak bisa tenang
sejak kemarin lantas ia memutuskan untuk pergi mengunjungi
Doni untuk memberitahunya tentang percobaan yang dilakukan
Zemira.
“Minum dulu,” ucap Doni seraya menggeser satu cangkir
minuman. “Lo jadi ke rumah Zemira kemarin?”
“Iya jadi, Kak Ze curiga kita nyembunyiin sesuatu dari dia.”
Jendra menatap lamat lawannya. “Lo nggak mau bilang aja, Kak?”
Yang ditatap malah merebahkan diri di sofa. Menyamankan
duduknya dengan menengadah ke atas. Ia pejamkan kedua mata
dan meluruskan urat-urat yang berkerut di dahinya.
“Belum Jen, belum waktunya dia tau. Tapi gue bakal bilang as
soon as possible.”
Bahu Jendra merosot, ia ikuti pula gerakan si lawan yang
ternyata dapat meringankan rasa resah gelisahnya sejak tadi. “Lo
nggak khawatir dia bakal cari tau sendiri? Kak Ze orangnya nekat
kalo lo lupa.”
Doni menggeleng. “Nggak mungkin, gue ajak ke Inggris aja
dia nolak terus gimana mau cari tau sendiri?”
Kini Jendra menegakkan tubuhnya untuk menatap Doni yang
masih dalam posisi nyamannya, tak berkutik dengan suara
gemingan lelaki di depannya.
“Itu kan dulu lo ngajaknya, Kak, dia jelas aja nggak mau
karena masih trauma. Tapi gue rasa temennya Kak Ze—he knows
something.”
Pernyataan Jendra mampu membuat Doni seketika
menegakkan tubuhnya dengan wajah seriusnya. “Siapa? Deo? Yang
nempel sama Zemira itu?”
Jendra mengangguk. “Iya. Kemarin Kak Ze juga bilang kata
Deo... gitu, gantung dia nggak mau nerusin omongannya lagi.”

HEY ROSE | 363


Tak biasanya Zemira bersikap seperti itu pada Jendra. Yang
Doni tau, gadis itu selalu cosplay menjadi kulkas kala berhadapan
dengan Jendra. Ia sama sekali tak akan mau untuk berbicara atau
bertemu dengan Jendra, tapi mengapa tiba-tiba berbeda?
“Tumben Ze ngomong sama lo? Biasanya lo nganter makanan
doang langsung balik. Dia nggak lagi nyoba buat—” Kalimat Doni
yang belum selesai itu disela oleh jawaban Jendra yang membuat
sang lawan terkejut.
“Iya. Dia balik jadi seorang Zemira beberapa bulan yang lalu.
Tatapannya kosong, lo nggak lupa bikin janji sama dokter kan, Kak?
Gue kira Kak Ze masih butuh bantuan dokter,” jelasnya yang hanya
dibalas anggukan.
“Tentang temen lo si Aji, belum juga ketemu?”
“Belum. Gue udah beberapa kali mastiin ke rumahnya nggak
ada tanda-tanda.”
Tampak Doni sedang berpikir sesuatu. “Ya udah habis ini kita
ke rumah Zemira, sekalian kita anter dia ke dokter lagi,” tukasnya
yang juga disetujui oleh Jendra.

Suasana canggung menyelimuti kedua insan yang tengah


berada di dalam mobil. Sejak gadis itu berangkat hingga perjalanan
pulang, tak ada satu patah kata yang terucap. Ia hanya terus
berdiam diri. Pun lawannya yang tak ingin salah ucap atau salah
tingkah yang dapat memicu rasa benci Zemira muncul kembali.
Lelaki itu ingat betapa marahnya Zemira tadi sore kala
ponselnya diambil alih oleh Doni. Dengan mudahnya pula ia
mencekik leher lawannya meski Doni tetap mempertahankan
keputusannya. Jendra pikir itu salahnya, karena ia telah
memberitahu Doni perihal usaha Zemira yang ingin kembali
menjamah alam lain. Juga perihal kecurigaan mereka berdua
terhadap Deo, teman satu fakultas Zemira.

HEY ROSE | 364


Ya, berakhirlah Jendra yang harus mengantar Zemira ke
dokter karena Doni tak ingin bertengkar dengan gadis itu selama
perjalanan. Doni lebih memilih untuk diam di rumah Zemira,
menyingkirkan benda-benda tajam hingga menyembunyikan
ponsel yang rampas tadi.
Sesekali Jendra melirik gadis yang ada di sampingnya, Zemira
selalu saja melamun. Melihat ke arah jalanan kota yang tak seramai
biasanya. Zemira terus mengepalkan tangan. Jendra beberapa kali
menangkap itu. Sadar bila kepalan tangannya semakin erat, dengan
berani lelaki itu menyambar tangan mungil Zemira.
“Kak.” Jendra benar-benar mengagetkan Zemira.
Kuku-kuku jarinya hampir saja menggores telapak
tangannya yang sudah memerah. Tangan kiri Jendra mengisi
telapak tangan Zemira. Jangan salah paham, ia hanya tidak ingin
gadis itu mengepalkan tangannya lagi hingga kuku tajamnya
menusuki kulitnya.
“APAAN SIH LO?!” murka Zemira sembari menarik
tangannya meski tak berhasil lolos dari genggaman Jendra. “Jen lo
ngapain anjir!”
“Kak lihat ini tangan lo sampe merah gini! Sadar nggak sih lo
ngelukain diri sendiri?!”
Zemira menarik tangannya hingga lepas dari genggaman
Jendra. Ia mendengkus kesal kemudian memposisikan dirinya
menghadap ke arah samping, benar-benar membelakangi Jendra.
“Sorry, Kak,” ucap Jendra yang sama sekali tak digubris oleh
lawannya. Kembali hening, Jendra kira gadis itu sudah terlelap
dalam tidurnya karena tak ada pergerakan pun darinya.
“JENDRA!!! Berhenti!!!”
Ckiiiiittt
Jedugggg!!
Rem mobil dengan cepat ia injak kala Zemira berteriak.
Membuat tubuh mereka berdua terhuyung ke depan akibat rem
yang mendadak. Bersyukur tak ada kendaraan lain yang berada di
belakang mobil mereka.

HEY ROSE | 365


Melepas sabuk pengaman, Zemira buru-buru keluar dan
membanting pintu mobil. Bingung dengan tingkah gadis itu, Jendra
pun turut mengejar Zemira yang sudah berlari ke arah taman
pinggir jalan dengan lampunya meremang.
“Kak Ze!!!” panggil Jendra.
Apakah Zemira seorang atlet lari? Hingga Jendra tak mampu
memangkas jarak di antara mereka? Tampak Jendra berusaha
mengetikkan banyak pesan pada seseorang. Dan karena tak ada
pesan terbalas, ia menyambungkan sebuah panggilan. Kedua bola
matanya terus mengendar, ia telah kehilangan jejak Zemira.
“Buka chat gue!” bentak Jendra saat panggilannya terhubung.
Tuutt....
Jendra memutus sambungan sepihak.
Duduk di sebuah ayunan, ia menunggu seseorang datang. Tak
sanggup lagi mengejar Zemira yang entah lari kemana. Ia pun
semakin khawatir sebab langkahnya telah menjajah tiap sudut
taman tapi tak terlihat batang hidung Zemira. Tinggal beberapa
kilometer lagi mereka berdua sampai di rumah, tapi mengapa ada
saja kejadian tak terduga.
“Jen!!”
Si empunya nama menoleh seraya beranjak kala seseorang
yang dari tadi ia tunggu menampakkan diri.
“Dimana?!”
“Gue nggak tau Kak, gue udah muterin taman tapi—”
“Lo tunggu sini, biar gue yang cari. Kalo Zemira udah balik
duluan kesini, cepet hubungi gue.”
Jendra mengangguk saja membiarkan Doni berlarian
mencari Zemira.
Beberapa kali tersandung bebatuan tak membuat Doni
menyerah. Ia meneriaki nama Zemira sembari berlarian
mencarinya. “Ze!! Lo dimana sih?!”
Doni membenci kejadian seperti ini. Mengingatkannya atas
tragedi itu lagi. Taman yang cukup luas itu membuatnya kewalahan

HEY ROSE | 366


mencari Zemira di malam hari, terlebih dengan pencahayaan yang
minim.
“Zemira!!”
“Lo denger gue nggak? Lo dima—” Demi Tuhan Doni terkejut
dan langsung berlari menabrakkan tubuhnya pada Zemira.
Membawa tubuh gadis itu ke dalam rengkuhan dan mene-
nangkannya. “Ze ini Doni, gue di sini.” Doni terus mengusap
punggung Zemira. “Zemira… udah udah.”
Siapa pun yang melihat Zemira juga akan terkejut. Ia
berjongkok dengan menyandarkan dirinya di pohon. Menggigil
ketakutan dengan telapak tangan berlumuran darah yang tengah
menutupi wajahnya.
“D-dia di sini Don... dia di sini...,” ujar Zemira dalam tangis.
“Dia siapa?! Siapa yang—”
“Dia di sini... gue ngeliat sendiri...”
“Siapa? Jawab gue—udah nggak papa gue di sini nggak usah
takut.” Doni semakin mengeratkan rengkuhan, hingga Zemira
akhirnya membalas peluknya dengan wajah yang sengaja ia
sembunyikan.
“Ayo kita pulang.” Ajak Doni.
Zemira menggeleng. “Gue takut buat buka mata, gue—takut
ngelihat dia.”
Penasaran setengah mati, lelaki itu tak bisa melempar segala
pertanyaannya saat ini. Ia hanya berusaha berdiri dengan Zemira
yang masih bersembunyi di dadanya.
“Tutup mata lo—jangan dibuka.”

Luka di kedua telapak tangan Zemira sudah berhasil diseka.


Kini gadis itu pelan-pelan membaringkan tubuhnya. Doni
mengusap wajahnya kasar. Sekarang keyakinannya semakin kuat
bila ada yang tidak beres dengan gadis yang sampai saat ini tak
berani membuka matanya.

HEY ROSE | 367


“Tiap malem dia muncul di jendela kamar gue dan baru aja
dia muncul di sini, padahal gue yang cari dia tapi kenapa gue takut
ketemu dia.”
Lelaki itu teringat kembali pengakuan Zemira tadi.
“Doni?” panggilnya. “Lo masih di sini?”
“Iya gue di sini. Kenapa Ze?”
“Jangan tinggalin gue.”
“Gue harus jemput paman di bandara habis ini. Gue pergi
dulu ya?”
“P-paman Eron ke sini?”
“Iya, gue telfonin Jendra lagi biar dia ke sini nemenin lo.”
“Nggak!!!” Tolak Zemira tanpa membuka matanya. “Gue
cuma butuh lo.”
Tenang Doni, ini bukan saatnya jantungmu berdegup
kencang karena terbawa perasaan.
“Tapi lo jadi sendiri,”
“Nggak papa, gue juga mau tidur. Lo jemput paman aja gih.”
Titah gadis itu dengan gerak tangan mengusir. “Tapi balik kesini
lagi ya?” ucapnya lirih.
Senyum lelaki itu merekah meski Zemira tak dapat
melihatnya. Ia mengusak rambut gadis itu, lantas pergi mening-
galkannya. “Iya, gue balik kesini lagi. Don't open your eyes.”
Zemira mengangguk.
Setelah hilangnya suara langkah kaki Doni, hanya terdengar
jarum jam yang berketuk nyaring. Angin diam-diam masuk lewat
celah-celah jendela, membuat rambut halus di lengan tangan
Zemira mendadak bergidik.
Tok tok!!!
Suara ketukannya terdengar jelas. Jendela kamar sudah
tertutup dengan tirai. Padahal ini belum lama Doni pergi, gadis itu
sudah mendengar suara ketukan yang ia yakini berasal dari
jendela.
“Don't open your eyes, Ze,” gumamnya sendiri.
Tok!

HEY ROSE | 368


Tok!
Tok!!!
Zemira kurang beruntung, kini ia mendengar seperti
seseorang tengah melempar batu kerikil di jendelanya lagi.
“Itu bukan temen lo, Ze. Don't open your eyes.”
Tok!! Tok!! Tok!!
Suara itu semakin keras, ketukannya semakin cepat. Jangan
biarkan rasa ingin tahu Zemira menguasainya. Tubuhnya mulai
berkeringat. Ia sama sekali tak bergerak dari tempat tidurnya.
TOK!!! TOK!!!! TOK!!!
Seperti orang kehilangan kesabaran, 'ia' mulai memukul
jendela. Jendelanya bergetar... dan bergetar... dan suara-suara itu
semakin keras. Menggedor jendela dan mengguncangnya.
“Don't worry, Ze... jendela lo nggak akan pecah tapi demi
Tuhan, don't open your eyes.” Zemira meyakinkan dirinya sendiri.
Tidak peduli seberapa takutnya, tidak peduli seberapa inginnya
berteriak, gadis itu berpura-pura tidak mendengar, berpura-pura
tidur.
Setelah beberapa saat, suara-suara itu berhenti.
“Jangan jatuh, tutup mata lo Ze.”
Ia mencoba untuk tidur jika bisa.
“Jangan bangun, jangan buka mata.” gumamnya lagi.
If you hear a knocking sound.... Don't fall for it, keep your eyes
closed.
Try to sleep if you can.
Don't get up, don't open your eyes, until the sun comes up,
Those who do open their eyes. Well, no one really knows what
happens.
“Zemira, jangan menyerah ya?”
“Kak, Randika nggak pergi kemana-mana.”
Suara, serta bayangan yang kerap kali muncul semakin
membuat Zemira meresapi akan dirinya sendiri. Berbagai macam
pertanyaan terus menghampiri, merusak sistem kerja otak kiri.

HEY ROSE | 369


Gadis itu mulai memberontak diri, namun kala ia berhasil
menemukan celah mendapatkan dirinya kembali, ia jatuh lagi.
Apa yang salah dengan dirinya? Apa yang tak ia ketahui
tentang dirinya sendiri?

Koridor gedung lain tak seperti gedung fakultasnya yang


selalu dipenuhi oleh mahasiswa. Sangat berbanding terbalik,
pikirnya. Gadis yang mempercepat langkahnya itu bak artis lewat
yang tengah disorot oleh banyaknya pasang mata. Ia sendiri tak tau
mengapa mereka menatapnya seperti itu. Apa karena penampilan-
nya? Ah Zemira sendiri tak tau kapan kali terakhir ia menatap
pantulan dirinya di cermin. Sudah sangat lama rupanya hingga
dirinya sendiri lupa dengan paras eloknya.
Berdiri di depan ruang basecamp pecinta alam, Zemira
mengintip dari jendela untuk melihat apakah seseorang yang ia cari
ada di dalam. Benar! Tak lama setelah itu seorang lelaki keluar dari
sana. Bertatap muka langsung dengan dirinya.
“Hai. Hehe,” sapa Zemira canggung.
“Udah inget?”
Zemira mengangguk. Memorinya tentang Ken dan si bungsu
telah kembali. Ia ingat lelaki yang mengajaknya masuk ke ruangan
itu adalah orang yang sama, yang menjemput Randika juga teman-
temannya kala pergi diklat.
Sebenarnya Zemira sudah lama membuat janji bertemu
dengan Ken, hanya saja waktunya selalu tersita dengan Doni yang
posesif dan overprotect itu. Beruntungnya kali ini ia bisa lepas dari
pantauan Doni. Lelaki itu tengah ditahan oleh Deo di ruang dosen
karena mereka berdua tak sengaja bertemu. Untung saja Deo
segera memberi kabar pada Zemira dan berakhirlah gadis itu di
ruangan ini.
Ruang pecinta alam.
“Lo apa kabar?” tanya Ken menginterupsi.

HEY ROSE | 370


“Baik.” Zemira berdehem. “Gue boleh langsung aja nggak?
Soalnya gue ditunggu.”
Ken mengangguk.
“Jadi lo udah inget Aji juga? Temen Randika. Dia chat gue
katanya mau ketemu sama lo, tapi dia nggak di sini.”
Zemira berusaha mengingat wajah Aji meski memori di
otaknya tak dapat menemukan seperti apa paras Aji. Yang ia tau,
lelaki bernama Aji adalah satu dari kelima sahabatnya.
“Maksudnya nggak di sini?”
“Dia nggak ada di Indo, dia ada di Inggris.”
Kebetulan macam apalagi ini. Kenapa semua harus
mengarahkan Zemira pada negara itu lagi? Seperti ada yang
bergetar di hatinya, gadis itu hanya diam mendengar nama negara
yang Ken sebutkan. Anehnya, mengapa Ken bisa tau jika Aji ingin
bertemu dengannya? Apa hubungan mereka berdua?
“Kok dia nggak ngehubungin gue langsung? Kenapa dia
ngehubungin lo?” tanya Zemira menguar. “Jadi dia ngehubungin
Jendra juga dong?!” pikirnya sembari mengeluarkan ponsel yang
ada di totebag.
“Tunggu-tunggu...,” cegah Ken dengan tangannya meng-
hentikan Zemira. “Jangan kasih tau siapa-siapa tentang Aji.”
“Emang kenapa? Lo siapanya Aji nyegah-nyegah gue kasih
tau ke yang lain? Emang kenapa?”
Ken menghela nafas. Rupanya benar jika Aji menyem-
bunyikan status hubungannya. “Gue kakaknya, step brother lebih
tepatnya.”
Jujur Zemira terkejut dengan fakta yang baru saja ia ketahui.
“Terus dia mau ketemu gue dimana? Kata lo juga dia nggak di sini.”
Lelaki itu tampak berpikir seraya melayangkan tatapan
ragunya. Ia sesekali berdecak dan menggigiti bibir dalamnya.
“Gue minggu depan ke sana, abis skripsian—”
“Oke gue ikut!” seru Zemira memotong kalimat Ken yang
belum selesai.

HEY ROSE | 371


Tidak sesuai ekspektasi Ken, Zemira sendiri yang ingin ikut
pergi dengannya. Padahal ia saja maju mundur untuk menawarkan
apakah gadis itu mau jika lokasi pertemuan dengan Aji di Inggris.
Tapi karena Zemira yang mengajukan diri, ia akan segera memberi
kabar pada Aji dan bibinya di sana.
“Yah tapi paspor gue ada di Doni,” decaknya kemudian.
“Tinggal diambil aja apa susahnya? Kalo lo jadi ikut gue beli
dua tiket pulang pergi. Nanti tidur di rumah bibi gue.”
Susah. Sangat susah jika Zemira tiba-tiba mengambil berkas
itu pada Doni. Lelaki itu sudah dapat dipastikan akan
mewawancarai dirinya. Jadi ia harus memikirkan cara agar ia bisa
tetap pergi ke Inggris.
“Lo beli dulu aja tiketnya. Soal Doni—gampang lah.”
Ken manggut-manggut.
“Anyway, Aji nggak ada cerita-cerita apa gitu sama lo?”
“Cerita apa?” Ken malah melempar tanya.
“Ya apa pun. For example nih ... mm contoh aja ya, kayak dia
pernah ngalamin tragedi apa gitu?”
Ken menggeleng. “Nggak pernah.”
Zemira membulatkan bibirnya. “Sejak kapan Aji di Inggris?”
“Setelah lulus. Emang ada tragedi apa?”
Dan jika Aji belum bercerita, maka Zemira pun tak akan
membeberkannya. “Enggak. Kata gue kan contoh.”
Gadis itu sudah beranjak dari sana. Berpamitan dengan Ken
untuk segera pergi karena ponselnya terus berdering menandakan
Doni yang tengah kalut sebab Zemira tak kunjung memberi kabar
padanya. Namun kala kaki Zemira baru berpijak di luar ruangan,
baru Ken mengingat satu hal yang belum ia sampaikan.
“Eh sorry gue kelupaan. Itu, CDnya cepet dibuka. Aji yang
nyuruh.”
Zemira mengernyit. “Maksudnya? Kenapa Aji nyuruh?”
“Soalnya itu dari Aji.”
Jawaban Ken membuat Zemira terkejut bukan main.

HEY ROSE | 372


MY SHADOW

Semburat senyum tak bisa ia sembunyikan kala melangkah ke teras


rumah yang selama ini bagai sebuah kerajaan yang tak sembarang
orang boleh masuk. Dengan membawa satu koper, ia semakin tak
bisa menepis rasa bahagianya saat kedatangannya pun disambut
hangat oleh sang empunya rumah.
“Adik.” Ia rentangkan kedua lengannya.
Hati Jendra mencelos, rasanya ada getar yang tak hentinya
menyerang. Ia ingin sekali menangis rasanya. Dipanggil dengan
sebutan itu, membuat dirinya berkaca-kaca. Lantas ia pangkas
jarak untuk membenturkan tubuhnya ada tubuh si lawan.
“Seperti yang gue bilang tadi di chat, mulai sekarang lo adik
gue... bukan sebagai pengganti Randika, tapi sebagai Jendra, adik
gue yang lain,” ujarnya sembari mengusapi punggung Jendra yang
bergetar.
“Iya, Kak Ze.” Tak bisa mengatakan apa pun, Jendra hanya
semakin mengeratkan diri.
“Jangan pernah nyembunyiin apa pun, kalau ada apa-apa
ceritanya ke gue. Gue kakak lo sekarang.”
Dan betapa bahagianya Jendra. Zemira telah memaafkannya,
bahkan gadis itu dengan ringan hatinya mendesak Jendra untuk
segera pindah ke kediamannya. Agar dirinya bisa satu atap dengan
Jendra. Memang terlalu mendadak, tapi tentu saja lelaki yang telah
diakui Zemira sebagai adik itu mengiyakan titahnya.
Meski sebenarnya Zemira memiliki maksud lain di balik
kerendahan hatinya.
“Jadi gitu, Kak. Pasti lo juga ngerasain kalo gue sering
berubah-ubah pendapat, tindakan atau apa pun. Semua di luar
kendali gue.”
Jendra menyelesaikan ceritanya. Benar apa yang ia katakan
bahwa sering kali Jendra terlihat seperti bukan dirinya. Tapi itu

HEY ROSE | 373


dulu dan bagaimana caranya meyakinkan diri sendiri bahwa lelaki
yang sedang ada di hadapan Zemira saat ini sudah menyelesaikan
tugas terakhirnya? Kini ia hanya berusaha mencerna semua cerita
dari Jendra.
Cerita tentang Jendra yang tak memihak mereka, tentangnya
yang lebih memilih untuk dibunuh ketimbang harus melakukan
hal-hal yang bukan keinginannya. Tentang hari itu, dimana ia
melihat dengan mata kepalanya sendiri kala jiwa-jiwa orang
terdekatnya melayang percuma.
Hari dimana Jendra juga menyaksikan dengan jelas
bagaimana jiwa Randika—hanya dengan membayangkannya saja
membuat air mata Zemira lolos dengan sendirinya.
“Sekali lagi, gue minta maaf Kak....”
Gadis itu merotasikan bola matanya. Sedang Jendra
menutupi wajah dengan telapak tangan. Bahunya terlihat naik
turun seperti menahan isakan. Lantas Zemira berdiri dari tempat
duduknya untuk meraih Jendra.
“Ternyata apa yang gue rasa nggak seberat apa yang lo
rasa—sini biar gue peluk lagi.”
Sontak Jendra menenggelamkan wajahnya tepat di perut
gadis yang saat ini berdiri di hadapannya, membuat Zemira
mendesis kesakitan.
“Kenapa, Kak?!” tanya Jendra.
“Nggak tau, gue akhir-akhir ini sering ngerasa sakit disini.”
Beberapa detik setelah ia menunjuk perut kanannya, Jendra
tertegun.
Apalagi yang lo ketahui? Yang belum gue tau, Jendra?
Malam ini, Zemira memutuskan untuk tidur di kamar
Randika. Ia sedang rindu aromanya. Ia rindu semua hal tentang si
bungsu. Namun ketakutan itu datang lagi. Beberapa kali Zemira
mengingat apakah cermin yang ada di dalam ruang kamar Randika
sudah tertutup atau belum.
Apa kalian ingin tau? Setelah keluar dari rumah sakit, Zemira
benar-benar takut melihat cermin. Apa kalian ingin tau apa yang ia

HEY ROSE | 374


lihat? Semua makhluk menyeramkan. Semuanya. Seperti ia tak
mempunyai tabir antara alamnya dengan alam yang lain. Itu seperti
terpantul dalam cermin, atau mereka memang berada di dalam
cermin? Zemira tak terlalu paham.
Kadang perempuan berambut panjang itu menutupi
sebagian wajahnya yang rusak, kadang seorang lelaki dengan
kedua mata melotot, kadang pula sosok gadis cantik yang wajahnya
mirip dengan Zemira—atau memang itu dirinya, mereka semua
muncul secara bergantian di setiap cermin yang ia temui.
Ada lagi sosok anak kecil yang rambutnya tergurai indah,
Zemira tak bisa melihatnya karena ia tak pernah menolehkan
wajahnya. Tapi sepertinya ia pernah melihat perawakannya.
Dan parahnya lagi, sosok bayang hitam selalu berada di sudut
kamar Zemira. Tidak, lebih tepatnya sudut langit-langit kamar. Itu
membuatnya teringat kejadian dimana pertama kalinya Randika
berteriak histeris melihat sesuatu, ketika kedua bola matanya
berubah menjadi—black eyed demons, masih terpapar jelas dalam
ingatannya.
Satu minggu, dua minggu, rasa takut menguasai dirinya
hingga akhirnya Doni menutup semua cermin yang ada di rumah.
Ia buang beberapa cermin yang dianggap sebagai 'rumah mereka'.
Apa pun benda yang dapat memantulkan refleksi diri, telah Doni
singkirkan.
Percaya atau tidak, sampai detik ini Zemira sama sekali tak
pernah melihat dirinya sendiri. Bercermin, adalah hal yang paling
ia sukai, kini menjadi hal yang paling ia takuti. Bagaimana caranya
memoles makeup? Tenang, Zemira handal meski tanpa bercermin.
Meski sesekali dandanannya yang terlihat menor akan dihapus
paksa oleh Doni.
“Kak....”
Zemira berjingkat kaget kala Jendra menepuk bahunya.
“Kenapa Jen?”
“Lo ngapain diem disini?”

HEY ROSE | 375


Oh tentu saja ia mempertanyakan Zemira yang sedang
berada di depan pintu kamar Randika. Baru saja ia melamun—lagi,
untuk kesekian kali.
“Gue? Mau tidur. Lo ngapain disini? Kamarnya berdebu
banget ya Jen?”
Jendra menggeleng. “Enggak kok, gue disuruh Kak Doni
mastiin pintu udah dikunci apa belum.”
“Ohhh.”
“Kak Ze mau tidur di kamar Dika?” Pertanyaan Jendra yang
susah untuk dijawab.
“Iya, tapi—lo balik ke kamar gih.”
Jendra mengangguk paham, ia membalikkan tubuhnya dan
berjalan menuju kamar yang sudah menjadi miliknya, meski
sesekali ia menoleh dan menatap nanar pintu cokelat Randika.
Lantas Zemira memberanikan diri untuk masuk ke dalam.
Ceklek....
Terbuka. Atmosphere kamar membuat bulu halus di
tangannya menegang. Dingin. Itu yang saat ini Zemira rasa. Dan
sesuatu berusaha mendesak kantong matanya.
“Randika....” Zemira menyapanya lirih. “Mau goreng nugget
nggak?” tawarnya.
Langkahnya semakin masuk ke dalam. Mendekat ke arah
ranjang yang tertutup lemari pakaian. Kedua kakinya terhenti.
Cermin.
Zemira melihat pantulannya di sana. Tidak, itu bukan dirinya.
Perempuan itu menyeringai menatap Zemira. Mereka berdua
saling melempar tatap. Seketika nafasnya tersenggal. Tubuhnya
kaku, namun ia berusaha berjalan mundur—karena sosoknya
keluar dari sana.
Perempuan itu melambaikan tangan. Seakan menyuruh
Zemira untuk mendekat. Lantas ia memberanikan diri melangkah
memangkas jarak. Semakin dekat. Hingga gadis itu dapat melihat
jelas Randika membersamainya.

HEY ROSE | 376


“Dek....” Seulas senyum Zemira tumbuh kala melihat si
bungsu.
Zemira membungkam mulutnya. Menahan jeritan kala
dengan cepat perempuan itu menarik jantung Randika dari
tubuhnya. Demi Tuhan ia tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Bahunya mulai bergetar lagi, tetapi entah mengapa kedua kaki
Zemira semakin mendekat ke arah cermin. Pantulannya kembali
menyeringai.
Tidak tidak itu bukan gue. Bukan!!!
“Look at his heart still beating,” ujarnya. “I promise to keep his
heart beating.”

Ada yang tidak beres. Sudah terhitung lima hari Zemira tak
menemukan Deo dimana pun. Bahkan ia tak datang ke kampus,
juga di tempat-tempat yang biasa ia kunjungi. Kemana perginya
lelaki itu?
“Aishhh lo off juga sih?!” gerutu Zemira kala pesannya lagi-
lagi hanya menunjukkan centang satu. “Lo kemana Deo?”
Teman dekatnya itu tiba-tiba tak ada kabar pula. Ada sedikit
rasa khawatir dalam diri Zemira, ada perasaan takut akan trauma
yang pernah ia alami. Padahal gadis itu akan membagi cerita
padanya, namun Deo tak ada. Tentang mimpinya, tentang dirinya
yang akan mengunjungi Aji di Inggris, dan tentang keyakinannya
akan Jendra dan Doni yang sedang menyembunyikan sesuatu di
belakangnya.
“Lo pasti udah tau kan, De? Makanya lo ngilang tiba-tiba gini.
Lo nggak mau ngasih tau gue kan?” dengkus Zemira yang kemudian
berjalan ke parkiran untuk menghampiri Doni yang menunggunya
sejak tadi.
Zemira sudah mengutarakan niatnya untuk pergi ke Inggris
pada Doni, namun lelaki tu tak memberi ijin karena berpikir bahwa
gadis itu pergi sendiri. Kala Zemira mengatakan akan pergi

HEY ROSE | 377


bersama Jendra, meski sedikit ragu dan merasa aneh dengan sikap
Zemira, ia mengijinkan. Semudah itu ternyata membujuk Doni
untuk memberikan paspornya juga.
Langkah Zemira terhenti tak jauh dari Doni yang sudah
berada di dalam mobil. Ia mendengkus remeh membayangkan
sesuatu yang akan ia lakukan. Suatu niat busuk demi kelancaran
perginya ke Inggris.
Zemira dan Ken, hanya mereka berdua. Lantas dijadikannya
Jendra sebagai alasan atas kepergian Zemira ke Inggris. Awalnya
Jendra sendiri terkejut dengan ajakan Zemira, namun tak dapat
dipungkiri juga bila dirinya senang akan itu. Tanpa membutuhkan
banyak waktu untuk berpikir, Jendra mau mau saja.
Tepat sesuai dengan rencananya. Doni menyetujui karena ia
pergi bersama Jendra. Terbesit rasa curiga, namun Doni tetaplah
Doni—yang bisa sedikit luluh dengan Zemira karena sebuah
perasaan yang ia sadari muncul begitu saja.
Di sisi lain, Zemira meminta pertolongan pada Ken agar lelaki
itu turut berkontribusi dengan baik sesuai apa yang direncanakan.
Entahlah apa yang ada di otak Zemira hingga ia mulai bisa memiliki
niat buruk seperti itu.
“Jendra excited banget gue lihat,” ujar Doni yang sibuk
menyetir tak berpaling dari jalanan. “Gitu dong.”
Gummy smile-nya terpampang jelas. Zemira yang tak sengaja
menghadapnya pun ikut tersenyum karena raut bahagia Doni. Ia
lalu menggeleng setelahnya. “Lo nggak lupa bawa paspor gue, kan?”
“Iya dibawa, Cantik.”
Di dalam diri Zemira tengah berpesta ria karena dirinya akan
pergi menapakkan kakinya lagi di Inggris. Ada sesuatu yang ingin
ia tau, juga tempat yang ingin ia kunjungi. Sesuatu yang masih
sangat mengganjal. Beberapa kali dirinya tersenyum di tengah
lamunannya hingga suara deru mobil tak terdengar lagi.
“Kebiasaan deh, ngelamun!” tangan Doni mencubit pipi
kanan Zemira untuk menyadarkan gadis itu dari lamunan.
Zemira berdecak.

HEY ROSE | 378


“Apa yang lo lamunin coba? Sampe udah di rumah aja nggak
sadar.”
“Yah mulai bawel,” serunya seraya turun dari mobil.
Bak sebuah keluarga, Jendra rupanya tengah menunggu
mereka berdua di teras. Lelaki itu sedang bergulat dengan
laptopnya, menuntaskan tugas kuliahnya agar saat ia berada di
Inggris, dirinya akan menikmati liburan dengan tenang—pikirnya.
“Lagi apa Adikkkk?”
Tawanya merekah kala mendengar Zemira memanggilnya
dengan sebutan ‘Adik’. Jendra mendongak. “Abis kelarin tugas, ini
tinggal kirim. Kak Ze mau makan nggak? Gue tadi beli sate ayam,
ada di meja makan.”
Zemira mengangguk. “Iya, yuk masuk makan dulu abis itu
kita prepare.” Seraya mengacak rambut Jendra yang semakin
bahagia saja diperlakukan seperti itu.
Melihat interaksi mereka berdua, lagi-lagi Doni tak bisa
menyembunyikan hatinya yang berbunga-bunga. Ia menepis
pikiran buruk tentang Zemira, meyakinkan dirinya bahwa gadis itu
sudah bisa menerima semua dengan lapang dada. Doni lega.
“Adem banget rumah tangga,” gumamnya sembari melang-
kahkan kakinya untuk ikut masuk ke dalam rumah.
Terdengar Zemira bersenandung sebagai wujud dirinya yang
diselimuti rasa bahagia. Bukan bahagia seperti yang kalian
pikirkan. Ia bahagia dengan rencananya yang ia bayangkan sejak
kemarin. Menenteng plastik kecil berisi serbuk, kedua bola
matanya berbinar dengan senyum yang masih tertinggal di
wajahnya.
Merebahkan tubuhnya sejenak di ranjang, sebelum
kemudian suara ketukan dari luar terdengar. Zemira seketika
beranjak untuk menyembunyikan benda yang ada di
genggamannya. Lantas membukakan pintu ruang kamarnya.
Nampak Jendra berdiri dengan membawa tumpukan bajunya. Tak
lama setelahnya Doni yang tengah menunduk fokus pada
ponselnya itu muncul.

HEY ROSE | 379


Setelah dipersilahkan masuk, Jendra mulai mengusung
pakaiannya lagi untuk berkemas bersama Zemira di ruang kamar
gadis itu. Tentu saja Doni turut membantu mereka, atau bahkan
lelaki itu yang paling berisik dari tadi untuk tidak lupa membawa
obat-obatan, pakaian yang hangat karena di sana sekarang sedang
musim penghujan, dan banyak hal lainnya ia sampaikan.
“Iya iya Doni.”
“Iya Kak Doni astaga.”
Keduanya hanya manggut-manggut dan mengiyakan. Karena
jika salah satu dari mereka ada yang menyangkal, bisa-bisa bukan
hanya nasehat yang mereka dengar, melainkan kalimat motivasi
dari Mario Teguh.
Zemira hampir saja lupa untuk menanyakan jam
keberangkatan pada Ken. Ia menghentikan aktivitas melipat
bajunya, lantas beranjak mengambil ponsel yang tergeletak di meja
rias. Sembari berjalan kembali ke ranjang, langkahnya melambat
kala melihat satu pesan yang sengaja ia sematkan paling atas
berubah status menjadi terbaca. Tampak pada centang dua
berwarna biru.
“Ze? Kenapa?” Doni terkejut.
“E-enggak nggak kenapa-kenapa.”
Wajah Zemira seketika tampak pucat melihat ponsel yang ia
genggam. Tubuhnya melemas dan ambruk di ranjang kamarnya.
Hatinya bergetar, kedua matanya masih memelototi room chat
yang tengah ia buka.

Randika
Kak

Satu pesan yang mampu membuat sekujur tubuh Zemira


mati rasa. Membuat pandangannya semakin meremang. Tidak, itu
pasti bukan si bungsu. Ia menggelengkan kepala dengan masih
berusaha menyembunyikan keterkejutannya.

HEY ROSE | 380


“Kak!! Kenapa?” Jendra yang sedang membantu mem-
bereskan beberapa pakaian pun langsung menyambar memegang
lengannya.
Gadis itu hanya menggelengkan kepala. “Nggak papa gue
cuma pusing. Udah lanjutin aja,” tukasnya sembari memaksakan
senyumnya.
Doni berjalan ke arahnya, menelisik tiap sudut wajahnya dan
menangkap sesuatu yang tak biasa. Menangkap getar bibir Zemira
membuat Doni semakin yakin bila gadis itu tengah berbohong.
Tatapan Doni turun pada ponsel yang layarnya masih menyala,
sedikit menampakkan room chat seseorang.
“Chat dari siapa?” tembak Doni seketika berusaha merebut
ponsel Zemira, namun dengan cepat ditepis oleh empunya.
“Apa sih?!” Zemira menyembunyikan ponselnya.
“Lo nyembunyiin sesuatu dari gue? Mana sini hp lo itu chat
dari siapa?”
“Don lepasin nggak!” Pergelangan tangan Zemira sudah
berada dalam genggaman Doni. Lelaki itu terus ingin merebut
ponselnya.
“Gue mau liat lo habis baca chat dari siapa?!” paksa Doni lagi.
Dengan sekuat tenaga, Zemira menghempaskan lengannya.
“Nggak usah ikut campur urusan gue deh kalo lo sendiri juga masih
nyembunyiin sesuatu dari gue!” bentaknya.
Kalah telak. Jendra dan Doni terdiam setelahnya.
“Lo berdua keluar dulu dari kamar gue.” Seraya jari
telunjuknya menunjuk pintu kamar yang masih terbuka. “Please?”
suaranya bergetar.
Jendra mengangguk, lantas ia berjalan keluar dan
meninggalkan beberapa pakaian yang belum selesai ia kemas.
Sedang Doni masih berdiri di tempatnya menatap Zemira penuh
selidik.
“Ayo, Kak,” ajak Jendra.
Doni menoleh—kembali menatap Zemira lagi, mereka
berdua bertemu tatap. Ada banyak butiran air mata yang

HEY ROSE | 381


terbendung, belum memiliki ijin untuk lepas turun. Zemira
menunduk.
Doni menghela nafas. “Kalo ada apa-apa panggil gue.” Seraya
pergi dari kamar Zemira dan tak lupa menutup pintunya.
Setelah perginya mereka berdua, tak lupa Zemira mengunci
pintu kamarnya sejenak. Kembali duduk di ranjang untuk melihat
balasan pesannya. Mata yang tadinya membulat tajam, otot yang
tadinya menegang, dan pikiran yang tadinya berkecamuk, kini
mencair karena satu balasan dari pengirim pesan.
“Aji... Aji...,” decak Zemira. “Gue hampir pingsan gara-gara lo.”
Aji, si pengirim pesan yang sengaja menggunakan nomor
Randika, juga ponsel yang rupanya masih ada pada Aji. Lucunya,
lelaki di seberang sana hanya menanyakan apakah Zemira jadi
untuk pergi ke Inggris atau tidak. Juga tak lupa menanyakan apakah
Zemira sudah memutar apa yang ada di dalam CD tersebut.
Jawabannya? Sudah. Zemira sudah menonton video yang ada
pada kepingan bulat yang dikirim oleh Aji itu. Gadis itu melihat
sendirian karena rasa penasarannya yang kian memuncak. Namun
Zemira adalah Zemira yang akan mencari tau sendiri tentang apa
yang telah ia tonton. Ia hanya percaya pada dirinya sendiri.
Sepertinya semesta tak bisa membiarkan diri Zemira tenang,
buktinya ia kembali dikejutkan dengan pernyataan yang baru saja
Aji kirim padanya.

tubuhnya Randika hilang

Gue pikir mereka belum bilang ini ke lo kalo yang


di makam itu kosong kak

Deg!!
Benar apa yang Zemira pikirkan bila Jendra dan Doni
menyembunyikan sesuatu. Tapi tunggu—Zemira pun tak bisa
mempercayai Aji. Atau siapa pun ia tak akan mempercayainya

HEY ROSE | 382


sebelum Zemira tau sendiri dengan bukti-bukti yang ia temukan
nanti.

tubuh Randika, kak Tio, Naja, nggak pernah ditemuin.

Zemira mengernyit. “Lo yang bener kalo ngomong...,”


gumamnya dengan kedua bola mata yang tak menginginkan diri
berpaling dari ponselnya.

lo pasti nggak percaya kak, tapi gue jujur bilang apa adanya

waktu itu lo nggak ketemu gue kan? Hari itu gue hilang,
gue sengaja lari dari sana. Gue takut, jujur gue nggak bisa
ngebantu lo atau siapapun di sana.

Gue balik ke rumah Paman dan video yang lo lihat itu gue
rekam sendiri

gue balik ke silent hill waktu denger suara sirine ambulance


sama polisi. Gue ngedahuluin mereka dan sampe di gereja
itu
demi Tuhan gue lemes ngelihat darah segitu banyaknya,
sampe gue nggak sadar kalo temen gue hilang, gue cuma
mungutin barang-barang mereka yang ada di lantai,
termasuk hp Randika ini dan akhirnya gue sadar waktu ada
di rumah sakit

Randika, Naja, kak Tio nggak ada di sana

2-3x evakuasi tetep aja hasilnya nihil

HEY ROSE | 383


hari-hari berikutnya pun waktu Jendra udah pulih, semua
udah pulih dan tinggal lo doang yang masih koma, mereka
adain evakuasi lagi tapi hasilnya nihil

Aneh? Tentu saja. Semakin banyak pertanyaan yang kian


bersarang di otak Zemira setelah beberapa saat mencerna
pernyataan dari Aji. Tentang bagaimana lelaki itu tau jika mereka
berkali-kali melakukan evakuasi, tentang mengapa Jendra
menganggap Aji sudah tak bernyawa.
“Fuck you, Aji!” Dan mengapa di saat banyaknya pertanyaan
yang Zemira lontarkan, Aji lebih memilih untuk off meninggalkan
Zemira dengan rasa penasaran memuncak.
Zemira meremat surai hitamnya sembari menundukkan diri.
Ponselnya sudah ia lempar ke sembarang arah. Kini perasaannya
kian menggebu.
“I still have to fight and survive, right?” gumamnya disertai
dengkusan samar.

Sejak matahari menampakkan diri, Jendra sudah sibuk


bergulat di dapur. Entah mengapa rasanya dirinya begitu semangat
hingga mencoba untuk menyiapkan sarapan kala Zemira belum
terbangun. Mungkin karena dirinya tak pernah merasakan kasih
sayang dari seorang kakak, atau mungkin karena bentuk dari rasa
syukurnya karena Zemira telah memaafkan dan menerima dirinya.
“Jendra?”
Si empunya nama menoleh dan menemukan Zemira berdiri
sembari meregangkan tubuhnya. Gadis itu berjalan mendekati
Jendra dengan seulas senyum.
“Lo mau masak?” tanya Zemira yang kini menjajari Jendra.
“Iya. Kak Ze mandi aja dulu, siap-siap nanti baru gue.”

HEY ROSE | 384


Zemira mengangguk menuruti perintah dari Jendra. Ia
kembali ke ruang kamarnya untuk mengambil baju ganti dan
bersiap membasuh diri.
“Kak, mandinya jangan lama-lama ya?” tukas Jendra kala
melihat Zemira akan masuk ke dalam kamar mandi.
“Iya.”
Betapa sayangnya Jendra pada Zemira hingga lelaki itu
sangat mendalami peran sebagai adik. Ia hidangkan makanan
kesukaan Zemira yang ia tau dari Randika, dulu. Ia siapkan pula
obat-obatan yang perlu gadis itu minum sebelum makan dan
sesudah makan.
Jendra mungkin tak akan pernah bisa menggantikan posisi
Randika, tapi ia bertekad untuk menjadi adik yang sangat disayangi
Zemira nantinya. Peran seorang adik yang selama hidupnya ia
idam-idamkan.
Usai sarapan bersama Zemira, menuntaskan pekerjaan
bersih-bersih rumah hingga membasuh diri dan bersiap pergi,
Jendra melangkahkan kaki ke belakang rumah sebentar kemudian
ia kembali menghampiri Zemira yang tengah bersiap menggeret
kopernya ke luar.
Mereka berdua memutuskan untuk pergi ke bandara
menggunakan transportasi umum. Sebuah taxi online yang sudah
Doni pesan untuk mengantar mereka berdua baru saja masuk ke
dalam pelataran rumah. Dibawakannya barang bawaan Zemira ke
dalam bagasi, lantas Jendra membukakan pintu mobil untuk gadis
itu sebelum ia sendiri masuk ke dalam.
Di perjalanan, Zemira tak mengobrol apa pun dengan Jendra
meski sesekali lelaki itu mencoba mencairkan suasana, ia hanya
menjawab sekenanya. Rupanya jalanan kota lebih menarik
perhatiannya—pada kenyataannya ia tengah berpikir sebuah
alasan yang akan melancarkan aksinya nanti.
Baru saja mereka berdua menapakkan kaki di bandara,
ponsel Zemira berdering.

HEY ROSE | 385


“Apalagi sih Don?” gerutunya sebelum ia menerima
panggilan itu. Pasalnya sejak tadi lelaki itu tak hentinya
menghubungi Zemira via chat.
“Udah di bandara?”
Zemira hanya berdehem.
“Liburan mah liburan aja ntar jangan nyasar kemana-mana.”
“Ya emang gue mau nyasar kemana sih?” kini ponselnya ia
himpit di bahunya karena kesusahan mengambil barangnya di tas
ransel.
Melihat Zemira yang kesusahan membuat Jendra ingin
membantu gadis itu, namun berujung gelengan kepala tanda
penolakan.
“Sillent hill? I guess you are still afraid of that place? Apa gue
salah?”
Zemira mendengkus remeh. “No! Are you sure just because of
that? Nggak karena lo lagi nyembunyiin sesuatu?”
Lagi-lagi Doni bergeming. Beberapa saat tak ada suara yang
terdengar di seberang sana kecuali hembusan nafas panjang. “Udah
happy holidays! Yang rukun sama adiknya.”
Diputusnya sambungan sepihak oleh Doni menimbulkan
umpatan dari mulut Zemira lirih. Ia kembali melangkahkan kaki di
tengah banyaknya manusia berlalu lalang di bandara. Zemira
celingukan. Ia belum menemukan Ken di sana, lantas ia mengirim
pesan pada temannya itu untuk menanyakan posisi Ken saat ini.
Beberapa saat setelahnya, Zemira mengedarkan pandangan
dan menemukan lelaki yang ia cari rupanya telah duduk di ruang
tunggu. Mengenakan jaket denimnya dengan kacamata yang ia
turunkan di pertengahan batang hidungnya.
Zemira tersenyum.

“She's back? Or did she never die?”

HEY ROSE | 386


Upaya membuat dirinya tenang sama sekali tidak
membuahkan hasil sejak pesawat lepas landas. Pun beberapa kali
bahunya ditepuk-tepuk ringan oleh lelaki di sebelahnya.
“Lo kalo gini terus kenapa dilakuin?”
“Ya biar bisa kabur lah,” ujar Zemira dengan kedua mata
tertutup.
Bising. Banyak jenis suara yang menelusup ke dalam
gendang telinga. Asing. Seperti sudah bertahun-tahun lamanya tak
mengunjungi negara ini. Beberapa kali Zemira terjingkat akibat
suara-suara aneh yang ia dengar. Ia telah sadar bila indera
pendengarannya mulai semakin tajam seiring berjalannya waktu.
“Masih lama?” tanya Zemira pada Ken.
Ken mengangguk. “Nikmatin aja, lo pasti nggak pernah naik
bis waktu sore-sore gini.”
“Lo bener, this is my first time naik bis di sini.”
“Serius? Bukannya lo udah pernah ke sini?” Pertanyaan itu
membuat Zemira dipaksa mengingat segala kejadian buruknya.
“Iya, tapi waktu itu gue nggak jadi naik bis, soalnya—” Gadis
itu memberi jeda, ia menghela nafas perlahan sembari memutar
kembali sesuatu yang terekam dalam memorinya. “Adik gue ngeliat
sesuatu di dalam bis.”
Ken terdiam karena tak sengaja membuka luka lama gadis
itu. Ia hanya menganggukkan kepala dan kemudian mencoba
membahas topik lainnya. Tak lama bagi mereka untuk sampai di
tempat tujuan. Bis itu berhenti di salah satu halte yang tak jauh dari
rumah. Kurang lebih lima meter dari halte yang harus mereka
tempuh dengan berjalan kaki untuk masuk ke area pemukiman.
Tepat di depan pintu rumah dengan dinding putih, seorang
lelaki berdiri memamerkan seulas senyum hingga kedua matanya
menghilang. Aji. Sosok yang dianggap hilang dan meninggal itu
terlihat segar bugar meski jika dilihat dengan seksama, tersirat
wajah kelelahan.
Suara gemericik air hujan menggema di sebuah ruangan
minimalis dengan lampu yang terang benderang. Duduk bertiga

HEY ROSE | 387


bersama Ken dan Aji adalah salah satu hal tak terduga bagi Zemira.
Bila diingat gadis itu tak terlalu dekat dengan keduanya, kemudian
suasana canggung di antara mereka mulai terasa. Ia hanya ingin
segera membicarakan hal yang selama ini belum Zemira ketahui.
“Oh iya Kak Ze ini ... punya Randika.” Aji menginterupsi.
Lelaki itu menyerahkan ponsel milik si bungsu. “Kak, lo harus cek
kalo Randika beberapa kali dapet telfon dari Kak Doni dan
sebaliknya.”
Mendengar itu, Zemira langsung menggulir log panggilannya.
Apa yang Aji katakan benar. Bukan hanya beberapa, tapi sering kali
si bungsu menerima panggilan dari Doni. Lebih mengejutkannya
lagi, pada hari dimana tragedi itu berlangsung, Randika beberapa
kali mencoba menyambungkan panggilan pada Doni. Namun
sepertinya Doni tak mengindahkan panggilan dari Randika.
Tapi mengapa Doni tak menjawab satu pun panggilan dari
Randika di hari itu?
Zemira semakin menggulir layar ponsel milik Randika.
Jemarinya terhenti kala tampilan layar ponselnya berubah.
Sebuah panggilan masuk.
+62xxxx is calling...
Kedua bola mata Zemira membulat. Ken yang duduk di
sampingnya pun terkejut.
Ponsel berdengung monoton sekali.
Satu kali.
Dua kali.
Berhenti berbunyi.
“Siapa Kak?” tanya Aji melihat gelagat Zemira.
“Gue nggak tau—”
Ponsel Randika berdering lagi.
“Nggak mau diangkat aja Ze?” tukas Ken.
“Selama ini juga ada yang nelfon Randika ya?” tuduh Zemira
yang langsung dijawab gelengan kepala dari Aji. Zemira menelan
ludah kasar. Ibu jarinya sudah menggeser layarnya. Ia bawa ponsel

HEY ROSE | 388


itu mendekat dan menempel telinga. Gadis itu sengaja tak bicara,
hanya untuk memastikan jika itu—
“Zemira....”
“Gue tau ini lo.”
“Bisa-bisanya lo matiin hp?”
“Lo udah nyampe Inggris?”
Gadis itu menjauhkan ponsel dari telinganya, melihat layar
dengan nomor tak tersimpan disana. Dahinya mengernyit.
Sambungannya masih belum terputus. Suara berat di seberang
sana terdengar jelas. Ia kembali menempelkan ponsel itu.
“Ze, kok lo diem aja? Gue nggak nyangka lo kasih obat tidur ke
Jendra dan ninggalin dia sendiri gitu aja. Lo nggak mikir apa kalo
kelakuan lo bisa ngebahayain Jendra juga!”
“Lo ke Inggris sama siapa? Sebenernya gue udah mikir kalo lo
bakal kabur gini. Lo tuh ahh.”
Doni. Jelas itu suara Doni. Tapi mengapa nomornya tak
tersimpan di ponsel Randika? Lantas siapa yang selalu
menghubungi si bungsu?
“ZEMIRA!”
“AAAAA—”
Prakkk!!! Zemira seketika melempar ponsel Randika ke
lantai.
“Ze?!!”
“Kak Ze kenapa?”
Setelah kejadian semalam, Zemira tertidur pulas. Bukan
tanpa alasan ia tiba-tiba melempar ponsel dan menjerit seperti
orang kerasukan. Melainkan, suara terakhir yang Zemira dengar
adalah suara perempuan yang sangat ia kenali; Rose.
Pukul empat pagi, dimana belum ada satu pun penghuni
rumah yang terbangun, Zemira menyelinap pergi dari kamarnya
bahkan ia sudah berhasil berdiri di balik pintu utama. Dengan pelan
ia putar kunci, lalu knop pintunya.

HEY ROSE | 389


Seseorang menahan lengan Zemira. Terkejut bukan main
kala gadis itu membalikkan tubuh. Pasalnya Ken telah lebih dulu
memergoki dirinya yang sedang menyelinap keluar.
“Ken! Gue beneran kaget anjir,” lirih Zemira sembari
melepaskan lengannya.
“Lo mau kemana?” selidik Ken.
“Ke tempat tujuan gue.”
“Tunggu disini, gue ambil—” Ken sudah memutar tubuhnya
namun tertahan.
“Nggak usah! Lo nggak usah ikut.”
“Gue bukan tipe cowok yang ngebiarin cewek keluar
sendirian. Apalagi sepagi ini,” tukas Ken sesekali mengucek
matanya. “Tunggu, gue ambil mantel.”
Jujur saja Zemira tak ingin siapa pun ikut campur dalam
segala urusannya. Terlebih ini menyangkut kejadian tragis yang ia
alami itu. Aji yang masih mengantuk juga terpaksa ikut menemani
Ken demi mengantar Zemira.
“Ji, soal video yang lo kasih....” Zemira yang duduk di samping
Ken kini membalikkan tubuhnya menghadap ke belakang untuk
bisa berbicara dengan lawannya. “Kok lo kepikiran ngerekam itu?”
Lelaki dengan setengah sadar itu hanya mengangguk-
anggukkan kepala karena nyawa yang belum terkumpul sempurna.
Entah dirinya menangkap pertanyaan Zemira atau tidak.
“Ji? Kok bisa kepikiran?” tanya Zemira lagi.
“Kinda sus, Kak,” jawabnya singkat. Namun berniat
melanjutkan. “Nggak masuk akal banget rumah sebesar itu cuma
dihuni paman aja. Dan terlebih, kita nggak tau latar belakangnya
paman yang jelas.”
Zemira menyetujuinya. “Tapi tiap ruangan kosong? Padahal
dulu Paman Eron sama Doni juga bilang kalo kamar-kamar itu ada
isinya. Gue nggak tau apa maksudnya.”
“Sorry nih, kalian berdua nggak ada yang mau cerita ke gue?”
Ken merasa tak dianggap keberadaannya itu menyela obrolan
mereka.

HEY ROSE | 390


“Ji, lo beneran belum cerita apa-apa ke dia?” tunjuk Zemira.
“Padahal dia kakak lo kan?”
“Step brother, Ze.” Ken memperbaiki.
Aji menghela nafas. Kemudian memutuskan untuk
menceritakan semua hal menyangkut dirinya, Zemira, juga
kejadian tragis yang dimaksud gadis itu. Beberapa kali Ken tampak
terkejut dan tak percaya bila hal itu ada, namun siapa yang tau jika
lelaki itu pun menyembunyikan sesuatu dari mereka berdua.
Mereka bertiga sampai di kaki bukit. Memarkirkan mobil di
sembarang tempat. Zemira melihat ke sekitar, berdiri dengan
menerawang tiap sudut-sudut pepohonan yang masih berdiri
kokoh di sana.
“Ayo, Kak.” Aji menepuk pelan bahu Zemira dan berjalan
mendahuluinya.
Selama berjalan menuju Silent Hill, gadis itu hanya
menunduk, tak berani menatap ke depan. Ia hanya sesekali melirik
ke kanan maupun kirinya. Tempat ini masih sama. Tak ada yang
berubah, hanya atmosphere yang sangat dingin karena mungkin tak
pernah dijamah manusia. Tubuh Zemira sudah bergetar kala
dirinya memijakkan kaki di pelataran bangunan tua bekas gereja
yang sudah lama tak difungsikan itu.
“Tunggu, lo nggak papa Ze?” tanya Ken. Ia melihat kulit wajah
gadis itu memucat. “Lo nggak perlu maksain masuk.”
Zemira menggeleng. “Gue nggak papa, gue bakal tetep
masuk.”
“Kak gue tunggu di luar aja ya, gue takut mau ke dalem.” Ijin
Aji sembari memegang lengan Ken. “Gue masih kebayang sama apa
yang gue lihat dulu.”
Zemira mengangguk. “Iya, gue masuk sendiri aja. Dan lo, Ken,
temenin Aji aja.” Titah Zemira pada Ken.
“T-tapi....”
Gadis itu sudah lebih dulu melangkahkan kakinya menjauh
dari Ken dan Aji. Berdiri di depan pintu bangunan, ia menghela

HEY ROSE | 391


nafas panjang. Menelan ludah kasar, menelisik garis polisi yang
menutupi jalannya. Ia masuk melewati garis kuning itu.
Krieekkk....
Gelap. Tak ada cahaya yang masuk ke dalam. Tiap jendela
rupanya telah ditutupi kayu tebal yang terpaku menancap dinding.
Zemira menghirup aroma debu juga amis berpadu jadi satu.
Keringatnya pun mulai bercucuran kala ia tetap memaksakan diri
untuk masuk ke dalam.
Sepi senyap. Tak ada suara sekali pun burung berkicau.
Hanya terdengar suara sepatunya yang bergesekan dengan lantai.
Dengan perasaan was-was juga degup jantung yang melampaui
ritme normal, Zemira berjalan menuju altar.
Terdapat tiga buah guci di sebelah meja altar. Ia usap debu
yang bersarang di sana. Menunjukkan sebuah nama yang pastinya
Zemira kenal. Guci berisikan abu milik Iren, Haikal, dan Cakra. Di
sampingnya terdapat tiga guci kosong lainnya yang sudah diukir
nama empunya. Randika, Tio, Naja. Ketiga tubuh yang belum
ditemukan. Mata Zemira berkaca-kaca kala mengusap guci milik si
bungsu. Ia tak bisa menahan lagi bendungan air mata. Tangisnya
pecah sudah. Ribuan pertanyaan akan ia tanyakan pada Doni
ataupun Jendra selepas ini.
“Kalau pun tubuh kalian berdua ditemuin juga gue nggak
bakal terima kalo harus dikremasi,” lirih Zemira yang langsung
meraih kedua guci milik Tio dan Randika.
Zemira membawa benda itu dan berniat pergi dari sana.
Langkahnya terhenti di tengah jalan kala mendengar suara langkah
kaki di belakangnya. Mencoba tak mengindahkan suara itu, tapi
terdengar cukup jelas di telinga Zemira.
“S-siapa?” tanya gadis itu tanpa menoleh.
Bisa saja Zemira berlari keluar karena dirinya cukup dekat
dengan pintu. Tapi ia memilih diam dengan kedua tangan yang
penuh, juga wajah yang mulai dibasahi keringat.
Langkah itu terdengar semakin dekat. Kemudian tak
bersuara.

HEY ROSE | 392


Nafas Zemira mulai memburu. Ia putuskan melangkahkan
kaki mempercepat jalannya, namun suara itu terdengar lagi. Tak
peduli, ia berhasil keluar dari bangunan itu meski dengan jiwa tak
tenang.
“Lo bawa apa?” tanya Ken heran kala Zemira keluar dari sana.
Tak kalah bingung, Aji pun tengah menunjuk benda yang
sedang didekap Zemira. “Kak itu kan guci yang ada di altar?”
“Ayo balik,” titah Zemira yang tak bisa ditentang, seraya
berjalan mendahului mereka berdua yang masih berdiri
mematung.
Setelah sampai di dalam rumah, barulah Zemira berpikir
mengapa bisa tak ada yang memberitahunya tentang tubuh tiga
orang yang menghilang, tentang makam yang kosong, dan tentang
alasan mereka menyembunyikan itu dari Zemira.
Sembari menatapi kedua guci yang ia bawa pulang, ia meraih
ponselnya untuk menghubungi seseorang. Sejak kemarin benda
pipih itu dibiarkan dalam keadaan mati agar tak ada yang
menghubunginya. Dan sesuai dengan tebakannya, banyak
panggilan juga pesan dari Doni yang tengah mengkhawatirkannya,
juga memarahi dirinya yang begitu nekat melakukan banyak hal
sendiri.
Gadis itu hanya meminta dimasukkan kembali ke ruang grup
yang terdiri dari teman-teman Tio. Mengingat Zemira langsung
mengeluarkan diri dari sana karena tersinggung dengan perkataan
Dhirgam kala itu di kantin.
Tanpa meminta persetujuan, ia langsung saja meng-
hubungkan dalam panggilan grup setelah Zemira meminta mereka
untuk jangan ada yang off sebelum gadis itu menuntaskan
gempuran pertanyaan yang harus mereka jawab.
“Gue habis dari Silent Hill,” ungkap Zemira kala semua sudah
berada di panggilan grup. Sontak terdengar suara keterkejutan
mereka.
“Ngapain? Lo nggak ada cerita ke gue ya?!” suara Doni
melengking.

HEY ROSE | 393


“Are you okay? Ngapain tiba-tiba lo ada disana?” tanya Janu
dengan tenang.
Zemira menghela nafas. “Gue tau kalian semua nyembunyiin
ini dari gue. Ini ada yang inisiatif jelasin nggak sih sebelum gue yang
gempur pertanyaan?”
Tak ada suara lagi. Seperti semua telah kompak untuk
berdiam diri.
“Gue, Kak,” sahut Jendra karena tak ada yang menjawab
Zemira. “Soon kalo lo udah balik.”
“Kelamaan!” Zemira sudah tak bisa lagi menahan emosinya.
“Gue cuma mau penjelasan dari apa yang akhirnya gue tau dan gue
lihat sendiri.”
“Lo mau minta penjelasan yang mana lagi?”
Zemira berdecih mendengar suara Doni. Apa yang dia bilang?
Penjelasan yang mana? Katanya. “Yang mana lagi? emang lo semua
udah ngejelasin apa ke gue? Lagi?” Ia tertawa sarkas. “I don’t think
it’s the right word.”
“Coba lo tanya satu-satu nanti kita jelasin.” Janu menengahi.
Gadis itu lantas bertanya tentang makam kosong yang
selama ini ia kunjungi, namun Wira menjawab jika tak semua
makam teman-temannya kosong. Lyra dan Jihan, dua makam yang
sudah dihuni oleh empunya, sedang Iren tak memiliki makam
karena tubuhnya dikremasi dan abunya disimpan di bangunan tua
yang mereka sebut Gereja Setan itu.
Lantas akhirnya Jendra mengatakan bila tubuh Randika, Naja
dan Tio tidak ditemukan. Zemira hampir gila rasanya mendengar
fakta dari mereka.
“Wahhh haha.” Tawanya begitu menyesakkan. “Lo semua
hebat nyembunyiin ini dari gue dengan sembunyi di balik kalimat
bakal bilang sama gue di waktu yang tepat?”
“Waktu yang tepat atau nunggu semua terkubur gitu aja?
Hilang dan akhirnya terlupakan?” imbuhnya. “Coba jelasin kenapa
mereka harus dikremasi juga? Bahkan gucinya lo taruh di tempat
yang nggak ada suci-sucinya!”

HEY ROSE | 394


Pertanyaan itu hanya Janu saja yang bisa menjawab. Tubuh
yang sudah pernah terjamah oleh makhluk lain atau jiwa yang telah
mereka tukar harus dikremasi. Alasan di balik itu adalah sebuah
keyakinan. Keyakinan masyarakat yang mengharuskan untuk
dilakukannya proses kremasi agar tubuh mereka tak lagi
digunakan atau ada sesuatu yang tertinggal di sana.
“Mereka masih mending dikremasi, waktu pemusnahan
massal dulu tubuh mereka digantung dan dibakar gitu aja,” ucap
Janu seraya mengakhiri penjelasannya.
“Ya terus kenapa abunya malah ditaruh di sana? Kenapa
nggak taruh di Krematorium? I mean setidaknya di tempat yang
layak selain di bangunan itu!” Zemira masih tak terima.
“Roh mereka udah jadi roh jahat, Kak, diasingkan dan
dijauhkan dari pemukiman gitu,” sahut Jendra yang semakin
membuat emosi Zemira memuncak.
“Maksud lo adik gue juga? Tio juga?” tanya gadis itu dan Janu
mengiyakan. “Nggak, gue nggak mau! Sekali pun tubuh mereka
ditemuin juga nggak bakal gue setujuin. Gue mau mereka dikubur
dengan layak! Nggak ada dikremasi!”
Pernyataan dari Zemira itu menyulut emosi Dhirgam yang
sejak tadi hanya diam menyimak pembicaraan mereka.
“Lo mau ngejamin mereka terhindar dari hal-hal buruk kayak
gitu lagi? jangan egois dong lo anjing!!”
Tentu saja, jika berbicara dengan Dhirgam memang harusnya
menggunakan emosi agar dirinya tak diinjak-injak dengan
perkataan yang membuat hatinya terluka.
“Emang ada jaminan apa kalo mereka dikremasi juga baik-
baik aja?! So sorry nih gue ambil contoh Rose yang jelas udah
dimusnahin massal, jiwanya dikurung dan nyatanya apa? Bad
things happen right?”
“Ya kalo itu nggak karena pacar lo yang ngebuka juga nggak
bakal ada hal tragis gini anjing! Mereka nggak bakal muncul kalo
nggak dipanggil. Sama halnya kalo lo lancang ngebukain abu temen
lo itu.”

HEY ROSE | 395


“Ah elah emosi gue! Jangan bilang juga lo ngebawa guci-guci
yang ada di sana?” tembak Dhirgam kala Zemira hanya diam tak
bersuara. Terdengar suara helaan nafas kasar di seberang sana.
“Udah nggak waras beneran! Woy Doni bawa temen lo ke rumah
sakit jiwa nih!”
Zemira masih terdiam mengedarkan pandangan.
“Itu alasannya kenapa makam Kak Iren, Haikal, Cakra nggak
ada di sini. Tapi, Kak, lo nggak beneran ngebuka guci, kan?” tanya
Jendra membuat gadis itu mematung seketika.
“Percaya nggak percaya sih gue juga, Kak, mana ada orang
udah musnah, ya tapi setidaknya meminimalisir hal buruk terjadi
lagi.”
Panggilan suara berakhir pun Zemira masih tak berkutik.
“Gue ... ngebuka punya Iren.”
Setan itu seperti anjing penurut, mereka datang saat
dipanggil....

Setelah sekian lama menghilang, Deo kembali datang.


Perasaan Zemira campur aduk sekarang. Rasanya ia ingin
menangis karena merasa lega lelaki itu baik-baik saja. Sial! Gadis
itu benar-benar tak bisa mengontrol emosinya.

Gue habis sakit gara-gara lo.

Lo habis ngelakuin apa?

Pesan yang Zemira baca membuatnya mendengkus kesal.


Bagaimana bisa Deo menyalahkan dirinya karena sakit yang ia
alami—ah ia hampir lupa jika lelaki itu memiliki keistimewaan.
Lantas gadis itu menjawab jika dirinya tengah menyelesaikan apa

HEY ROSE | 396


yang belum selesai. Tak lupa ia membenarkan rumor yang beredar
di kampus yang mengatakan bahwa dirinya dan teman-temannya
mengalami kecelakaan.
Maybe it’s an accident but ... it wasn’t really an accident, she
have been stuck in a vicious circle. Atau mungkin sampai sekarang
Zemira masih terjebak. Kala semua orang berkata “it’s over”, tapi
Zemira tidak berpikir demikian. Ia mengungkapkan semua cerita
yang masih ia simpan sendiri pada Deo. Bahkan ia dengan percaya
memberitahu lelaki itu tentang ketiga tubuh yang masih hilang.
Berbagi cerita dengan Deo seperti ini sedikit membuatnya
tenang dan tegang sekaligus.
“Semua belum selesai....”
“Semua yang Zemira alami ... to cover something else.”
Kini indera pendengarannya menangkap suara lagi.
“Gue beneran gila?” tunduk Zemira karena suara-suara yang
kerap kali terdengar familiar.
“Kenapa harus gue?” gumamnya.

Angin kencang disertai hujan tiba-tiba mengguyur sebagian


kota tanpa diminta. Cuaca buruk memaksa warga untuk tetap
berada di dalam rumah. Memaksa warga untuk menghentikan hari
sibuknya. Banyak yang berkeyakinan bila angin kencang disertai
hujan datang setelah pertengahan bulan, menandakan akan
datangnya keberuntungan.
Keyakinan dari mana? pikir Zemira.
Bukan hujan di dunia nyata. Hanyalah bunga tidur Zemira
semalam. Gadis itu bermimpi mendengar suara hujan deras dan
beberapa orang tengah berjalan menghampirinya di suatu
ruangan. Mimpi sering dikatakan sebagai cerminan dari keinginan
atau harapan seseorang yang belum terwujud di dunia nyata. Hujan
dalam mimpi mengindikasikan perlunya untuk meng-
komunikasikan sesuatu—itu benar.

HEY ROSE | 397


Pun hujan deras dalam mimpi sering kali menjadi indikasi
seseorang mengalami depresi. Namun orang yang meng-
hampirinya di kala hujan sedang deras-derasnya dalam mimpi itu
yang menjadi fokus utamanya. Zemira duduk di dekat altar dengan
mendekap tubuhnya yang menggigil kedinginan karena terpaan
angin kencang dari luar. Ia hanya menggunakan blouse hitam tipis
tanpa outer, itu sebabnya ia terus merasa dingin.
Sejak pukul satu siang gadis itu berada di bangunan yang
sebenarnya tak ingin ia kunjungi lagi. Berkunjung sebentar, ia
hanya ingin memulangkan dua guci milik si bungsu juga milik
kekasihnya sebelum ia meninggalkan negara ini. Bola matanya
menelisik tiap sudut ruangan. Beberapa kali dadanya sesak kala
memori masa lalu terputar. Kedua telapak tangan yang
menggosok-gosok lengannya itu berhenti ketika seseorang dengan
jubah hitam masuk ke dalam.
Langkahnya terhenti menyadari tengah ada orang lain di
dalam bangunan. Ia semakin menurunkan tudung yang menutupi
kepalanya, berniat menyembunyikan wajahnya.
“Eh? S-siapa?!” tanya Zemira yang langsung beranjak dari
duduknya. “Lo—EH?!!”
Lelaki. Zemira yakin itu seorang lelaki. Belum sempat
pertanyaannya dijawab, lelaki itu sudah berbalik dan berlari
keluar. Gadis itu tak mengejarnya, ia hanya berjalan ke arah pintu
untuk menutupnya, memberikan dirinya waktu untuk sendiri lagi.
Pandangan yang menunduk ke bawah membuat Zemira
menemukan secarik kertas di tempat dimana sosok lelaki tadi
berdiri mematung. Ia ambil kertas itu dan menggantungnya di
saku. Melirik ke arah jam yang melingkar di tangannya, dengan
jarum menunjuk angka 3 dan 12. Sekarang tepat pukul tiga sore.
Teringat obrolan chat dengan Ken, ia memutuskan untuk pergi dari
sana.
Zemira membalikkan badannya sebelum angkat kaki dari
bangunan itu, menatap altar dan keenam guci. Semakin ditatap,

HEY ROSE | 398


semakin memberikan luka. “Nanti gue ke sini lagi,” ujarnya sembari
menutup pintu.
Kepulangan Zemira ke tanah kelahirannya bersama Ken dan
Aji cukup membuat lelaki yang tengah membukakan pintu itu
mengerjapkan matanya beberapa kali. Jendra mematung di
ambang pintu rumah. Melihat kakaknya datang bersama dua orang
tak terduga. Aji menampakkan seulas senyum dengan me-
lambaikan tangan kanannya. “Jendra!”
“Oy Jen! Long time no see.” Timpa Ken.
Hembusan angin kencang siang itu membuat Zemira
bergidik serta mengusap-usap kedua lengannya.
“Udah sih? Lo mau berdiri di sini berapa lama, Jendra?” Gadis
itu sudah membalikkan tubuh bongsor Jendra kemudian
mendorongnya masuk ke dalam. “Ken, Ji, masuk.”
Mereka berdua hanya mampir sebentar. Sekedar memberi
kabar pada Jendra bila salah satu temannya itu hidup dengan baik.
Saking senangnya, Jendra meminta ijin pada Zemira agar Aji
menginap semalam. Dan tentu saja gadis itu memperbolehkannya.
“Kak, kok lo potong rambut? Kenapa?” tanya Jendra yang
tengah asik bermain playstation bersama Aji. Namun sesekali
memperhatikan Zemira yang duduk tak jauh darinya.
“Hehe. Jelek?”
Jendra menggeleng. “Bagus bagus.”
Zemira beranjak dari tempatnya, menuju kamar untuk
mengistirahatkan dirinya. “Dekkk, nanti kalau mau makan goreng
nugget aja yaaa?” ujarnya pada Jendra di ambang pintu kamar.
“Siap, Kak!!” teriak Jendra dari ruang tengah.
Tak biasanya Zemira merasa lelah. Ia merasa tubuhnya lemas
tak berdaya. Apakah itu karena perjalanan jauhnya? Tanpa
berganti baju dan melepas mantel, ia merebahkan diri di kasur
empuknya. Memejamkan mata hingga ia tertidur dengan
sendirinya.

HEY ROSE | 399


Seperti baru lima menit, Zemira terbangun dengan keringat
bercucuran, nafas tersenggal-senggal dan jantung yang berdegup
cukup kencang.
“Mimpi—hh sakit.” Eluhnya. Tangannya menyingkap selimut
yang menutupi kaki. Meraba mantel untuk dilepasnya, seketika
teringat tentang secarik kertas yang masih ada di sakunya. Duduk
di tepi ranjang, menatap nanar kertas lusuh itu, kemudian ia buka
perlahan lipatan-lipatannya.
Demi Tuhan. Dadanya sesak membaca beberapa kalimat
yang tertulis di sana hingga ia meloloskan beberapa air matanya.
Diraihnya ponsel yang berada di meja. Mencari satu nama untuk ia
sambungkan dalam panggilan.
“Lo dimana?”
“Gue lagi di luar, lo kenapa Ze? Lo nangis?”
“Cepet ke rumah.”
“Iya gue ke sana, lo kenapa?”
Zemira tak menjawab, ia langsung memutus sambungan
sepihak. Kepalanya pening. Tubuhnya terasa lengket karena
keringat, dan mau tak mau ia harus membasuh dirinya.
“Jendra? Aji? Udah makan belum?” Baru saja keluar dari
kamar dan menutup pintunya. Tak ada satu orang yang menjawab.
“Jendraaaa? Adikkkkkk?” teriaknya panjang.
Masih di depan pintu kamar Zemira. Terdapat beberapa
bercak merah di lantai. Dahinya mengernyit. Mereka berdua
sedang bermain apa hingga bercak-bercak itu berada di sana.
Berjalan ke ruang tengah, bercak merah itu semakin jelas
menggenang. Pikirannya semakin kacau perihal mimpi, dan secarik
kertas yang baru saja ia baca.
“JENDRA!!!!”
“Jendra? Jendra bangun! Please please...,” pintanya dengan air
mata yang sudah membasahi pipi putihnya. Zemira benar-benar
kalut. Tangannya masih mencoba menepuk pelan pipi Jendra.
Merangsang kesadarannya. Namun kesadaran lelaki yang sudah
berlumuran darah itu sudah menghilang.

HEY ROSE | 400


Mata Zemira semakin basah, mencari seseorang yang
harusnya berada disini bersama Jendra. Beberapa kali gadis itu
memanggil namanya, Aji tak muncul. Pikiran buruk terus
menyelimuti Zemira. Tak mungkin, kan? Bukan Aji yang melakukan
ini.
Panik setengah mati melihat Jendra tergeletak di atas karpet,
dengan beberapa luka tusuk di punggung dan sebilah pisau yang
masih menancap di perutnya. Gadis itu gemetar, sama sekali tak
bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya melemas. Ia menangis sejadi-
jadinya.
“Jendra... keep breathing. Gue disini, lo pasti baik-baik aja,”
pintanya lagi sembari tangannya mengecek detak jantungnya.
Prakkkk!!
Zemira menoleh ke sumber suara. Aji berdiri tak jauh di
belakangnya, dengan dua kantung plastik penuh makanan dan
minuman kaleng terjatuh dari genggaman tangannya. Wajahnya
memucat dan terkejut dengan apa yang dilihat.
“Ji...,” rengek Zemira.
“Jendra? Kak? Jendra kenapa?!” Aji mulai panik.
“Lo dari mana?” Pertanyaan yang dilontarkan Zemira hanya
untuk memastikan jika bukan Aji yang melakukannya.
“Gue habis ke warung beli jajanan disuruh Jendra tadi. Kak,
sumpah nggak penting, ini Jendra kenapa? Lo udah telfon
ambulance?”
Zemira menggeleng. “Tolongin gue....”
Doni datang tepat waktu, atau bisa dikatakan sangat cepat
usai Zemira meminta lelaki itu untuk datang ke rumahnya, karena
ada sesuatu yang ingin ia katakan. Beruntungnya, kala Jendra
dilarikan ke rumah sakit, lelaki itu langsung cepat ditangani. Kini
Zemira berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi.
Menggigiti kuku jari dengan air mata yang tak henti-hentinya
berlinang.
Doni yang tengah duduk gelisah bersama Aji, menangkap
pergelangan tangan Zemira. “Duduk, Ze,” titahnya.

HEY ROSE | 401


Zemira menggeleng. “G-gue takut.” Matanya merah dan terus
basah.
Doni berdiri sejajar dengan Zemira, mendudukkan gadis itu
lantas berjongkok dengan kedua tangannya menggenggam tangan
lawannya.
“Jendra nggak papa.” Ibu jari Doni terus mengusap punggung
tangan Zemira. Gadis itu hanya menunduk dan terus menangis. “Lo
nelfon gue tadi kenapa nggak bilang kalau Jendra—”
“Enggak. Bukan karena itu. Gue nelfon lo karena hal lain, tapi
waktu gue keluar kamar, gue ... gue ngeliat Jendra udah kayak
gitu....”
Doni mengangguk paham. “Udah Ze jangan nangis. Mata lo
bengkak.”
Beberapa menit berlalu. Doni, Aji, Zemira disibukkan dengan
pikirannya sendiri.
“Mau makan nggak?” Doni memecahkan keheningan. “Ze,
udah dong jangan nangis. Ini juga kuku lo lama-lama habis lo
gigitin.” Ia menahan tangan Zemira lagi. “Lo nggak pulang?” tanya
Doni pada Aji.
“Enggak, Kak. Gue disini.”
“Zemira gue anter pulang ya, lo perlu istirahat”
“Doni gue takut...,” sela Zemira.
“Apa yang lo takutin? Jendra nggak akan kenapa-kenapa. Dia
ditangani dengan baik, kan? Kita tinggal nunggu—”
“Gue takut karena mimpi gue jadi kenyataan.”
Doni terdiam. Aji menoleh ke arah Zemira.
“Gue mimpi, gue ngebunuh Jendra.”
“Just a dream right?” pandangan Doni menelisik. Mencari tau
kebenaran dalam manik hitam Zemira.
“Lo nuduh gue?”
Doni menggeleng. “Gue tanya aja.”
“Lo nggak percaya sama gue?”
Keterdiaman Doni membuat Zemira merasa bahwa dirinya
tengah dituduh perihal mimpi yang ia ungkapkan.

HEY ROSE | 402


“Gue percaya sama lo,” jawab Doni.
Zemira menggeleng dengan ratap sendu. “You don’t.”

HEY ROSE | 403


EXORCISM

Kejadian yang telah terjadi kemarin membuat Zemira merenung


dan mengunci dirinya di ruang kamar. Hanya mimpi, kan? Tapi
mengapa kini gadis itu merasa ia sangat tak asing kala melihat luka
yang terlukis di tubuh Jendra. Zemira sudah berusaha untuk
bangkit dan menyadarkan dirinya dari keterpurukan namun
mengapa hal-hal yang tak diinginkan terjadi?
Ia melamun lagi di ambang jendela sembari mengedarkan
pandangan keluar. Dirinya tengah menunggu seseorang datang.
Keterdiamannya itu tak sepenuhnya diam, melainkan tubuhnya
telah dipaksa untuk fokus pada indera pendengarannya. Suara pilu
yang ia dengar, suara lembut hingga teriakan putus asa membuat
Zemira semakin sedih saja. Ia hanya berusaha mendengar apa saja
perkataan mereka, namun semakin ia memusatkan atensinya,
semakin tak jelas pula suara yang dihasilkan.
Tok tok tok!!
Tok tok tok!!
Brak!!!
Zemira terlonjak kaget kala pintu ruang kamarnya terbuka.
Kedua manik hitamnya membulat.
“Anjing, gue pikir lo kenapa-kenapa!” umpat Deo dengan raut
wajah yang tampak khawatir. “Lo ngapain sih? Gue panggilin juga
nggak nyautin!”
Lelaki itu menghempaskan diri di ranjang Zemira. Ia duduk
menghadap gadis yang masih terdiam menatapnya. Zemira
menghela nafas, kembali mengalihkan arah pandangnya keluar
sana.
“De, gue takut...,” gumam Zemira.
“Jendra ya?” Deo beranjak menghampiri Zemira yang duduk
di tepian jendela. Ia melipat kedua tangannya di dada dan

HEY ROSE | 404


menyandarkan diri di dinding, melihat gadis yang tampak frustasi
itu.
Zemira menoleh kala tebakan lelaki itu benar. “Ahhh, gue
lupa kalo lo indigo.”
Deo berdecak. “Nggak ada hubungannya. Gue tau dari Ken
kali.”
Lawannya hanya manggut-manggut. “Gue boleh nyerah
nggak?”
Lelaki terkejut mendengar pernyataan Zemira dengan suara
yang bergetar lemah. Sungguh siapa pun akan bisa menebak jika
gadis itu sudah sangat putus asa. Dan baru kali ini rasanya Deo
melihat Zemira yang selalu biasanya selalu kuat, pantang
menyerah, keras kepala, menjadi seperti ini.
“Jangan... jangan nyerah,” tukas Deo. “Mau gue ceritain
sesuatu nggak?”
Rasanya Zemira tak ingin mendengarkan apa pun saat ini.
Karena ia hanya ingin mencari tau suara-suara yang tengah ramai
di sana. Namun untuk menghargai kedatangan Deo, juga lelaki yang
sudah mau menjadi teman satu-satunya yang berpihak dengannya
itu, Zemira menggeser duduknya menghadap Deo yang rupanya
pun masih setia memberikan atensi ada gadis itu.
“Tentang obrolan kita kemarin, gue lupa untuk bilang kalau
sebenernya gue udah tau—rumor yang beredar di kampus itu
nggak bener. Gue tau kalo ada sesuatu yang lo alami. Dan sorry
bikin lo harus nginget ini lagi.” Pandangan Deo tak beralih. “Waktu
lo ketemu Jefri di kedai, gue ada di sana.”
Zemira terkejut bukan main. Lantas tersenyum tak percaya.
Jadi Deo sudah tau sejak lama? Bahkan ia sendiri tak menyadari bila
lelaki ini selalu ada kala kejadian-kejadian aneh itu terjadi. Zemira
tak berani menyela atau menyanggah apa yang Deo katakan
setelahnya karena ia tengah menjelaskan suatu hal yang baru
Zemira tau.
Exorcism atau biasa dikenal sebagai proses pengusiran setan
atau iblis, atau roh jahat lainnya. Orang-orang yang dengan suka

HEY ROSE | 405


rela dijadikan sebagai objek perantara roh jahat lambat laun akan
berubah secara fisik dan mental. Salah satunya adalah menyakiti
diri sendiri, atau mungkin itu bukan keinginannya, tapi keinginan
sosok lain yang ada ada dirinya. Tidak hanya orang-orang itu saja
yang dapat dijadikan objek, melainkan orang yang punya gangguan
jiwa sekali pun.
Dan keduanya memiliki penanganan yang berbeda. Orang
yang masih normal akan diberi waktu agar jiwanya lebih tenang,
sementara mereka yang menderita kelainan jiwa tidak akan
diperlakukan seperti itu karena mereka akan dibiarkan begitu saja
setelah proses pengusiran selesai.
Sebuah tindak pengusiran juga bisa disalahgunakan dengan
menyelamatkan satu jiwa namun akan ada jiwa lain yang sengaja
direlakan. Dengan menjadikan orang lain sebagai objek perantara
menjual jiwa untuk menyelamatkan jiwa lainnya, adalah bagian
dari tindak arogan sekte.
“Dari dulu manusia juga udah berdampingan sama sekte-
sekte atau hal yang menyimpang lainnya, dan cara untuk
pengusiran roh jahat juga beragam. Cara yang tanpa menyakiti
orang lain.” Akhir cerita Deo.
Zemira melongo sedari tadi. Ia menelan ludah kasar kala
mengingat ia pernah mendengar kalimat dari seseorang yang
mengatakan bahwa,
“We are all in the same game just different levels, dealing with
the same hell just different devils.”
Doni. Gadis itu yakin jika lelaki itu yang mengatakan kalimat
yang baru saja ia ingat. Jadi, orang yang bisa melakukan exorcism
yang Deo maksud itu adalah orang yang juga dealing with devils
too? Pikir Zemira.
“Kadang orang itu punya kelebihan tanpa bantuan apa pun
kayak beneran pemberian Tuhan. Ada juga dia sengaja pengen
punya kelebihan itu dengan melakukan sesuatu, ya contohnya
dealing with devils,” ujar Deo yang terus menerus membuat Zemira
membenarkan pikirannya.

HEY ROSE | 406


“Did you do that too?” Zemira mengernyit dengan tatapan
menelisik. “Kan lo punya kelebihan juga?”
Deo tak habis pikir dengan gadis di depannya ini. “BEDA LAH
SAMA GUE?!” Serunya hingga membuat Zemira terhenyak.
“Dasar lebay!”
Lelaki itu mendengkus. “Yang gue maksud adalah kelebihan
untuk bisa ngusir roh jahat itu tadi, Zemiraaaaaaa. Ngelakuin
exorcism dengan cara yang salah, dengan cara menyimpang, dan
dapat kelebihan itu dari dealing with devils. Ya kalo kelebihan yang
dikasih Tuhan mah nggak perlu butuh jiwa lain untuk ditukar,
kan?”
Zemira mengangguk. Benar apa yang Deo katakan tentang
itu. Ia kembali teringat dengan banyaknya cerita yang Doni bagi
kepadanya. Tentang teman-teman Tio yang melalui penyembuhan
juga. Apa penyembuhan yang Doni maksud kala itu adalah
exorcism? Dan lagi apakah mereka melalui penyembuhan dengan
benar? Bukan menukar jiwa lain agar mereka bisa disembuhkan?
Suara jentikan jari membuatnya mengerjap.
“Ngelamun lagi?” Deo menghela nafas. “Now, I wanna talk
about your dream, nggak papa?”
Zemira mengangguk. “Waktu itu gue pulang dari Inggris, gue
ngerasa capek banget kayak ada beban berat yang gue bawa. Gue
putusin buat tidur sebentar, tapi emang nggak biasanya gue
ngerasa kayak gitu. Dan nggak tau kenapa gue tiba-tiba mimpi
datengin Jendra dan ngebunuh dia. Udah terus gue kebangun.”
“Lokasinya?”
“Ya di ruang tengah rumah gue.”
“Kenapa lo nusuk Jendra?”
“Dendam? Karena dia yang ngebunuh adik gue,” jawab
Zemira santai. “Gue pernah dendam sama Jendra, dan gue juga
pernah ada niatan untuk ngebunuh dia. Nyawa dibayar nyawa. Tapi
gue udah maafin dia.”
Tatapan Deo semakin terlihat tajam kala ia mencoba
menelisik. “Yakin udah maafin?”

HEY ROSE | 407


Zemira mendongak. Ia merasa tengah disudutkan. “Yakin lah
anjir! Dan lagi itu mimpi!”
“Yakin it’s just a dream?”
Emosinya mulai tersulut. “Lo nuduh gue juga?!” suaranya
naik satu oktaf.
Deo menggeleng sembari menegakkan tubuhnya. “No.
Dengerin gue dulu, I think there’s something wrong with you.
Maksud gue you are not you,” tunjuknya.
“Ini gue! Gue Zemira!” jawabnya tak terima.
“Iya gue tau lo Zemira, but on the other hand you are not
Zemira.” Deo mencoba mencari kalimat untuk memahamkan gadis
itu. “Waktu lo ngerasa lemah, itu saaat dimana hal lain men-
dominasi tubuh lo. Sekarang gue tanya, waktu lo mimpi nusuk
Jendra, gimana perasaan lo setelahnya?”
Zemira dipaksa mengingat lagi. “Gue ngerasa puas,”
jawabnya dengan raut wajah melemah sendu. “De, gue ngerasa
dejavu waktu ngelihat Jendra nggak sadar di ruang tengah. Did I do
that?”
Mereka berdua hanya saling tatap. Deo pun tak berani untuk
berucap apa-apa karena takut bila Zemira akan menyalahkan
dirinya sendiri. Ia takut jika gadis itu lepas kendali akan emosinya.
“Could be like that. Bisa jadi itu bukan mimpi. Sorry for saying
this, bisa jadi tubuh lo ngelakuin ini—tapi yang ada di tubuh lo saat
itu bukan jiwa lo. Jangan nyerah buat nyelesaiin apa yang belum
selesai.”
“Lawan Zemira!”
“Jangan nyerah!”
Sial! Mengapa di saat seperti ini malah suara-suara itu hadir
memberi sebuah dukungan yang tak ia perlukan? Zemira
menunduk lemah, ia menggelengkan kepala. Ia ingin menangis, ia
ingin meluapkan segala emosi yang masih terpendam, ia ingin
dirinya segera berakhir saja sebab apa yang tengah ia rasakan
begitu menyiksa diri. Ia ingin melawan, tapi semakin ia melakukan
perlawanan, semakin banyak hal buruk terjadi. Ingin menyerah

HEY ROSE | 408


dan melupakan semuanya namun suara-suara itu selalu hadir
memberi banyak dukungan agar Zemira tak putus asa.
“Gue nggak bisa, gue nggak bisa ngelawan.”
“Gue capek,” gumam Zemira yang tak terdengar oleh Deo.
“Gue bakal nyoba buat nurut....”

Dentuman langkah kaki menggema di suatu ruang bawah


tanah. Ruangan yang sengaja dibangun untuk tempat pelarian dari
rasa kalut berlebihan. Tempat pelarian seorang lelaki yang
menyimpan segalanya sendiri.
Rasa sakit, hingga sebuah kebenaran.
Buagh!!
Buagh!!
“Bangun! Bangun gue bilang!!” teriaknya berkali-kali.
Lelaki dengan balutan kain flanel beberapa kali melayangkan
pukulan tepat di wajah seorang lelaki yang tak memiliki kesadaran
diri. Sering kali ia melakukannya bukan sebagai tindak kekerasan,
melainkan pelampiasan akan keputusasaan. Tiga orang di atas
pembaringan tak pernah membuka matanya, meski pasokan
oksigen di dalam tubuhnya telah kembali normal. Banyak bekas
jahitan di tubuh mereka, luka-lukanya mulai mengering seiring
berjalannya waktu.
Lelaki itu duduk di sebelah alat monitor, memperhatikan
gelombang denyut jantung, tekanan darah, hingga frekuensi
pernapasan. Hingga suara ponsel tiba-tiba berdering nyaring
memecahkan kesunyian ruangan. Satu panggilan masuk, sorot
matanya berubah tajam menatap layar ponsel. Sempat
mengurungkan niatnya untuk menerima panggilan itu, namun—
“Halo?”
“Gue pikir ini waktu yang tepat buat bawa mereka ke rumah
sakit.”
“Dibawa ke rumah sakit? Lo gila?!”

HEY ROSE | 409


“Terus mau lo diemin di situ aja, Bang? Gue yakin lo pinter
untuk mencerna kata-kata gue kapan hari. Bantuan medis, mereka
udah bebas dari segala roh dan sekarang medis yang mereka
butuhin.”
“Terus buat apa gue ngerelain waktu satu tahun lebih buat
ngurus mereka disini anjir?!”
“Karena lo yang kukuh buat ngelakuin itu anjing!”
“Terserah lo!”
Ia memutus sambungan sepihak. Tak akan ada hentinya jika
mereka berdua sama-sama sudah melibatkan emosi dalam obrolan
menyangkut tiga orang ini. Menghempaskan lengannya dengan
ponsel yang masih ia genggam. Kembali merotasikan bola matanya
bergantian menatap lelaki yang terbaring di sana.
Tio.
Randika.
Naja.
Lelaki itu lantas menghampiri sebuah cermin besar di atas
meja dengan tiga lilin yang sudah terkikis. Menggantinya dengan
lilin baru, kemudian menyulutkan api pada sumbu-sumbu lilin. Tak
lama sebuah bayangan lain memantul pada cermin itu. Diam
mematung di belakang seorang lelaki yang tengah menatapnya
melalui pantulan cermin.
Menunggu saudaranya pulang, lelaki itu duduk di teras
dengan sebatang cerutu menyala yang ia apit di antara jari telunjuk
dengan jari tengahnya.
Pukul dua belas malam, kejadian tragis kembali terputar
bebas. Hampir tiga tahun sudah ia membawa tiga tubuh itu. Entah
keajaiban Tuhan, atau memang sisa jiwanya belum berpulang,
ketiganya masih bisa terselamatkan. Meski kondisi mereka tak
pernah ada kemajuan.
Menghela nafas kasar sembari menyibakkan rambut, ia
bergumam sendiri. Mengeluh karena banyak waktu ia korbankan
hanya untuk membuat mereka bertahan hidup. Mengeluh karena

HEY ROSE | 410


ia harus mengorbankan ruangan favoritnya tersita untuk merawat
mereka.
Lebih dari satu jam berada di luar, lelaki itu mendengkus kala
sebuah mobil memasuki pelataran rumah. Saudaranya, yang
sempat beradu lewat panggilan telpon terlihat dingin saat keluar
dari mobil. Ia berjalan masuk dan melewati saudaranya begitu saja.
Berdecih. Lelaki yang masih duduk di luar itu membiarkan
saudaranya masuk tanpa menyapanya.
Di ruang bawah tanah ia menapakkan kakinya. Me-
nyempatkan diri untuk melihat temannya, juga adik dari Zemira. Ia
berdiri di antara ranjang Randika dan Naja dengan sesekali
berdecak kala pandangnya ke arah tubuh Naja yang banyak sekali
lebam.
“Lo mukulin mereka lagi?” Ia sudah menebak saudaranya
akan terus melakukan hal ini.
Lantas ia teringat ada sesuatu yang harus ia sampaikan pada
lelaki yang ia panggil dengan sebutan ‘Abang’. Ia beranjak dari sana,
namun manik hitamnya menangkap suatu gerakan dari tubuh Naja.
Kedua tangan dan kakinya sudah ia pastikan masih berada dalam
balutan rantai, lalu dengan langkah cepat ia pergi keluar untuk
menghampiri saudaranya.
“Bang! Gue lihat Naja gerak.” Begitu prolognya.
Dengan santai lawannya menjawab. “Telfon dokter.” Yang
langsung diindahkan titahnya.
“Ini lo nyelametin mereka bukan untuk memanfaatkan tubuh
mereka kan, Bang? Kalo iya, please stop gue bilang let them rest in
peace, cause I have been in their position.” Tatapnya nanar.
“Iya tenang aja.”
“Tenang gimana maksud lo?”
Ia mengusap wajahnya kasar. “Besok kelar sidang gue cabut,
jagain mereka bertiga di sini.”
Lawannya hanya mengangguk. “Zemira nyariin lo.”
“Udah. Dia ngehubungin gue untuk disembuhin.”
“Terus lo jawab apa?”

HEY ROSE | 411


“Gue nggak bisa karena yang dia butuhin dokter buat
ngilangin traumanya.”
“Padahal lo tau it’s not a mental problem.”

HEY ROSE | 412


SOULLESS

Duduk perlahan dan hati-hati di tengah dua gundukan tanah.


Sambil memangku beberapa tangkai bunga, gadis cantik itu
menengadahkan wajahnya ke atas. Langit biru dengan cahaya
mentari yang tersenyum menenangkan. Angin sejuk bergulir
lembut menerbangkan sisa-sisa daun kering.
Pipi putih Zemira juga basah. Ia termangu dalam sendunya.
Sayup-sayup menatap dua batu nisan milik orang yang sangat
berharga dalam hidupnya. Satu bulan? Mungkin sudah satu bulan
ia hidup patuh pada aturan yang Doni berikan. Mungkin sudah satu
bulan juga Jendra kembali pulih. Mungkin sudah satu bulan, ia
memutuskan untuk hilang kontak dengan semua orang.
Pagi tadi gadis itu pergi ke kampus. Bukan untuk dirinya, tapi
untuk mengantar Jendra yang mendapat penghargaan dari UKM di
kampusnya. Di saat teman satu jurusannya mendapat gelar sarjana,
ia hanya bisa mengucap selamat tanpa tau bagaimana rasanya. Ya,
Zemira melepas pendidikannya. Ia sudah kehilangan banyak hal,
termasuk semangat hidup dan akal sehatnya.
Ia sudah menyerah dengan kutukan atau jiwa lain yang
tengah menguasai diri. Segala harap tentang ditemukannya tubuh
sang adik pun pupus. Miris. Kini gadis itu hidup hanya untuk
menikmati sisa waktunya. Tak ada alasan lain.
“Udah lama lo nggak nampakin diri,” gumamnya menghadap
arah lain. “Gini ya kalo gue nurut sama alur yang semesta buat?”
Lantas kembali pada gundukan tanah itu. “Cih. Nyenyak
banget pasti tidurnya. Dasar!”
Zemira berdecih menghapus air matanya. Mengusap
perlahan nisan milik si bungsu. Sosok yang biasa ia lihat sudah tak
pernah lagi menampakkan diri. Apa dokter benar? Bila selama ini
ia mengalami gangguan jiwa sehingga terus melihat bayangan sang
adik, juga terkadang sosok dirinya sendiri. Jika benar, itu hanyalah

HEY ROSE | 413


halusinasi yang timbul akibat guncangan akan dirinya dan rasa
rindu yang kian memuncak pada Randika.
Zemira tidak menoleh sama sekali. Ia tekun menunduk
merapikan tangkaian bunga untuk diletakkan di atas gundukan
tanah milik Tio juga Randika. Setelah selesai dengan itu, barulah ia
membersihkan sisa-sisa tanah yang menempel di celananya.
Berdiri dengan pikirannya yang gundah sudah berlari entah ke
mana.
“Cantik kaaaannn?” Ia tersenyum meski sudut matanya
masih basah. “Tidur nyenyak ya Randikanya Kakak. Hehe. Tionya
aku juga.”
Padahal ia tau gundukan tanah itu tak berpenghuni, tapi
Zemira terus mencoba untuk berpikir bahwa mereka ada di sana.
Jika sang surya sudah mulai bersembunyi seperti ini, hal yang harus
Zemira lakukan adalah pergi ke kantor tempat dimana Doni
bekerja. Seperti sudah kebiasaan, gadis itu menunggu di sana
sampai jam pulang.
Tentang hubungan mereka berdua—entahlah Zemira masih
belum mengakui bila ia pun menaruh harap. Berjalan santai
menunduk dengan kedua tangan di dalam saku, membuatnya tak
menyadari apa yang ada di depan sana. Dua orang mendekat. Satu
duduk di kursi roda, dan satunya berjalan mendorongnya.
“Kak Ze!!!” Panggilan seorang lelaki membuat Zemira
mengangkat wajahnya.
“Loh?! Aji!!!” Zemira melambai dengan senyum merekah kala
bertemu tatap dengan Aji. Ia mempercepat jalannya guna
memangkas jarak mereka.
Terhenti.
Jarak mereka tersisa enam meter namun gadis itu tak
melanjutkan langkahnya. Senyumnya pun pudar menyadari siapa
yang duduk di kursi roda. Tubuhnya lemas dan terjatuh begitu saja.
Kenapa? Kenapa semesta seakan mempermainkan dirinya?
Zemira sudah berusaha menata hidup barunya, menghapus ingatan
akan hal buruk yang pernah terjadi. Tapi kenapa ia harus

HEY ROSE | 414


dihadapkan kembali dengan seseorang yang telah lama
menghilang?
Naja.
Lelaki itu diam saja tak mengucap sepatah kata pun. Beradu
tatap dengan Zemira, hingga gadis itu harus merotasikan matanya.
Kembali menunduk, ia tak tau harus ke arah mana pandangnya
agar rasa yang berkecamuk mereda.
“Kak Ze pasti kaget banget?” tanya Aji seraya mendekat. “Lo
kenapa ngehindarin gue mulu, Kak?”
Hening. Aji berjongkok di depan Zemira. Sedangkan
lawannya tekun menunduk.
“Kenapa dia hidup?”
Pertanyaan yang lolos dari mulut Zemira membuat sudut
mata Naja membasah.
“Ji, jawab gue kenapa dia masih hidup?” Ia menatap Aji
dengan tatapan kosong.
“Kak, Naja lumpuh.”
Tanpa diberi tau pun Zemira sudah berpikir seperti itu.
Dilihat dari Naja yang hanya duduk di sana, menatap mereka
berdua tanpa mengucap kata atau pergerakan lainnya.
“Jadi kenapa dia bisa sama lo?”
Aji menoleh ke belakang, menatap Naja yang hanya
mengedipkan matanya cukup lama. Sepertinya ia mempersilahkan
Aji untuk menjawab pertanyaan Zemira. Adik dari Ken itu
menghirup nafas panjang kemudian menghembuskannya
perlahan. Aji mulai bercerita tentang Naja. Menceritakan kejadian
dengan runtut. Pertemuan dengan temannya yang telah lama
menghilang itu, dan juga mengatakan beberapa kejadian yang
membuat Zemira terkejut hingga menutup mulut dengan
tangannya.

HEY ROSE | 415


“Ngelamun aja sih? Kesambet lu ntar.” Doni mengusap wajah
Zemira, kemudian duduk dan merebahkan dirinya di sofa empuk.
“Kenapa?”
Zemira menggelengkan kepala sembari tersenyum. “Nggak
papa.”
Bohong! Pikirannya penuh dengan cerita Aji. Mencoba
mengaitkan sendiri dengan kejadian di masa lalu. Pikirannya
kembali sesak.
“Gimana tadi? Cerita apa aja sama Randika?”
“Rahasia dong!”
Doni tak bisa menyembunyikan senyumnya. Beranjak dari
sofa lantas menarik tangan Zemira. “Balik sekarang yuk, laper,”
ajaknya.
Gadis itu mengangguk dan mengimbangi langkah Doni keluar
dari ruang kerjanya.
“Gue masih rapi nggak?” tanya Zemira kala Doni
membukakan pintu mobil untuknya.
“Masih sangat amat rapi banget.”
“Lebay!”
Keduanya tertawa. Jika orang lain melihat mereka berdua
seperti ini, pasti sudah dianggap bak relationship goals. Pulang
kerja bersama orang kesayangannya, saling melempar tawa,
sungguh siapa pun iri melihatnya. Zemira merapikan rambutnya di
dalam mobil. Menyisir dengan jari-jari lentiknya. Menyita atensi
Doni di lampu merah.
Gadis itu merasa dirinya diperhatikan. “Apa? Muka gue lusuh
ya?”
Doni mengangguk.
“Kata lo tadi masih rapi?!”
“Lo mau lusuh juga tetep rapi. Maksud gue—cantik.”
“Ngalus terus lu mah.” Zemira melayangkan tinjunya di
lengan kiri Doni.
Doni tertawa. “Sini liptint lo.”

HEY ROSE | 416


Zemira merogoh benda kecil itu di saku celananya. Kemudian
memberikannya pada Doni. Menggeser tubuhnya menghadap
lelaki di kursi kemudi. Doni memoles bibir ceri Zemira dengan hati-
hati. Ia tatap lamat-lamat bibir itu dan berakhir dengan mengusap
kedua sudut bibir Zemira dengan ibu jarinya.
“Udah.”
Zemira menyimpan kembali barangnya.
“Mulai besok lawan rasa takut lo.”
“Apa?”
“Balik jadi Zemira yang suka ngaca dong! Balik jadi diri lo.
Masa gue terus yang ngebantu ...” Doni berdehem. “Molesin bibir
lo.”
“Lo nggak mau? Ya udah sih gue minta tolong Jendra aja
mulai besok.”
“Ze! Lo tuh.” Doni menghela nafas. “Lo nggak tau aja apa yang
ada di pikiran cowok.”
“Emang apa?” Nada Zemira mengejek.
“Pikir sendiri.”
Gadis itu tertawa, melempar pandangannya ke arah jalanan
kota. Pikirannya kembali sesak. Ia ingin melihat dirinya sendiri di
cermin. Pun memoles dirinya sendiri. Tapi ia terlalu takut. Takut
melihat pantulan dirinya yang lain sebab sudah jarang sekali ia
menampakkan diri.

“Zemira ini gue!” Suara lantang Deo dari luar pintu kamar.
Ceklek....
Gadis itu menatap sayup Deo yang sedang membuka pintu
dan menjulurkan kepalanya. Lelaki itu tersenyum. Bukan
tersenyum senang atau bahagia melihat temannya duduk
bersandar seperti itu, melainkan senyuman miris yang ia
lemparkan.

HEY ROSE | 417


Setelah Zemira meminta Deo untuk pergi ke rumahnya, lelaki
itu langsung datang. Sudah lama gadis itu tak mengindahkan pesan
atau panggilan dari Deo karena ia tengah mengasingkan diri dan
terus tunduk patuh pada Doni. Tapi, dirinya merasa kalut dan
semakin tak bisa mengontrol diri sejak tiba-tiba Doni
memperlakukan Zemira dengan kejam—menurutnya.
Melilitkan sebuah rantai pada kedua kaki Zemira dan
mengurung gadis itu di ruang kamar. Tanpa tau malu gadis itu
meminta pertolongan pada Deo untuk membebaskannya dari sana
karena saat ini baik Jendra maupun Doni tak ada di rumah.
Bukan tanpa sebab juga Deo pergi menemui Zemira.
Melainkan telah banyak hari ia lewati dengan bayang-bayang gadis
yang membunuh dirinya sendiri. Bahkan banyak hari juga ia terus
mengirim banyak pesan dan panggilan namun Zemira tak kunjung
memberinya kabar. Setelah ia tau di balik terbunuhnya Jefri, juga
kejadian penusukan Jendra, Deo semakin khawatir dan tak tenang.
Sebelum datang ke rumah Zemira, lelaki itu meng-
hubunginya melalui panggilan telepon untuk memberitahu pada
gadis itu agar menjauh dari benda-benda tajam dan tetap
mempertahankan kesadaran dirinya. Namun entah apa yang
terjadi di seberang sana hingga Zemira memutus panggilan sepihak
setelah Deo mendengar suara pecahan kaca, suara teriakan atau
bahkan perlawanan.
Dan di sinilah Deo berada.
Ruang kamar Zemira tampak berbeda. Sepertinya Doni
maupun Jendra telah merapikan isi ruangan. Bahkan ini bukan
seperti ruang kamar, lebih seperti ruang isolasi yang hanya berisi
tempat tidur, juga meja kecil tanpa laci. Lelaki itu masuk dan berdiri
di depan jendela kamar. Memperhatikan luka-luka Zemira yang
masih basah. Wajah putih nan elok banyak dihiasi luka memar,
sayatan di pelipisnya, lengan tangan yang diperban akibat pecahan
kaca, dan masih banyak lainnya.
Apa yang udah mereka lakuin? pikirnya. “Gimana lo
sekarang?” Deo memecahkan lamunan Zemira.

HEY ROSE | 418


“Nggak gimana-gimana,” jawabnya singkat. “Cariin kunci,
please.” Sembari gadis itu mengendikkan dagu pada kedua kaki
yang terbalut rantai.
Deo mengangguk. Bertemu tatap dengan Zemira membuat
dirinya sangat gugup. Tatapan kosong yang tak pernah hadir.
“Deo....”
“Iya gue cariin,” tukasnya sembari berjalan keluar kamar dan
mengunci pintu itu kembali.
Sebenarnya Deo tau letak disimpannya kunci itu, namun ia
hanya berpura-pura berpihak pada Zemira. Berpura-pura agar
gadis itu merasa lega. Dirinya memang tak berniat untuk
membebaskan Zemira dari sana. Deo merangkai kalimat agar tak
menyakiti hati Zemira. Kemudian saat rangkaian kata telah
tertancap di pikirannya, ia buka kembali pintu kamar.
Terkejut dengan apa yang dilihat.
Zemira berdiri di samping ranjangnya, menatap kosong Deo
yang terdiam di ambang pintu. “Z-Ze?” sapa Deo memastikan.
Namun tak ada jawaban, dengan setianya ia menatap Deo. Kosong
tanpa ekspresi.
“Ze? Lo masih sadar, kan?” Satu langkah Deo membuat gadis
itu mengangkat tangan yang ia sembunyikan di punggungnya.
“ZEMIRA!” Deo tercekat mengetahui apa yang Zemira
genggam. Sebuah pisau lipat yang entah mengapa bisa ada disana.
“Ze-Zemira lo harus sadar!”
Zemira mengarahkan benda itu sejajar dengan lehernya.
Menyeringai. Deo panik setengah mati. Keringatnya bercucuran, ia
terdiam mematung tak bisa berbuat apa-apa. Ia takut jika
melangkah sedikit saja temannya itu akan berbuat lebih.
“Zemira, if it's not you, please don't hurt her,” suara Deo
bergetar.
Tawanya menggelegar. “Kenapa? Wouldn't it be better if she
died?”
“Ze, lo harus sadar.”

HEY ROSE | 419


Deru mobil yang masuk ke dalam pelataran membuat atensi
Zemira pada Deo teralihkan. Di saat itulah dengan berani lelaki itu
menabrakkan tubuhnya pada Zemira untuk mengambil pisau.
Tubuh Zemira tersentak ke lantai. Membuat dirinya tertindih tubuh
Deo. Terus berusaha merampas benda itu dari tangannya. Zemira
benar-benar kuat hingga beberapa kali ia berontak dan
menendangi tubuh lelaki di atasnya.
Tangan Zemira sudah hampir menusukkan benda itu pada
lengan lawannya, namun dengan sekuat tenaga Deo menahan
kedua tangan Zemira.
“ZEMIRA, SADAR ZE!!”
“DENGERIN GUE! DENGERIN SUARA GUE LO HARUS SADAR
ZEMIRA PLEASE LAWAN!”
Buaghhh!!!
Buaghhh!!!
“ANJING LO!!”
Buaghhhh!!!
Deo tersungkur karena tubuhnya tiba-tiba ditendang habis-
habisan. “Jen! Lo apa-apan anjir!” Deo melempar tatapan tak
mengerti. Ia merasa bila Jendra sedang salah paham terhadapnya.
Jendra—yang baru saja menghujani Deo dengan tendangan,
membuat Zemira meloloskan dirinya. Lelaki itu berdiri dengan
nafas menggebu. Gadis itu beranjak berdiri di belakang Jendra,
dengan sebilah pisau yang masih berada di genggamannya. Ia
menyeringai lagi kala bertemu tatap dengan Deo.
“JENDRA DI BELAKANG LO—”
Deo menarik tangan Jendra hingga terjatuh. Zemira
memburu Jendra lagi. Terus menyerangnya karena lelaki itu
berhasil menghindar. Deo mencoba membantu Jendra meski
dirinya mengeluh sakit, memegang sekitar perut. Tak ada jalan
keluar bagi Jendra kala dirinya dihimpit oleh meja kecil dengan
Zemira di hadapannya. Lelaki itu ketakutan. Tubuhnya bergetar tak
sanggup beranjak. “K-kak....”

HEY ROSE | 420


Mereka bertemu tatap, dengan mata Jendra yang membasah,
memelas di depan Zemira. Seketika tubuh gadis itu melemas.
Benda yang ada digenggamannya terjatuh.
“Dek....”
Beruntungnya Zemira cepat sadar. Deo membantu gadis itu
berdiri dan duduk kembali di ranjang. Ia beralih pada Jendra yang
masih ketakutan menatap Zemira. Deo mengulurkan tangan pada
Jendra, membopong lelaki yang tubuhnya masih bergetar. Ada rasa
nyeri di bagian perutnya bekas jahitan yang masih belum
sepenuhnya sembuh.
Zemira menatap nanar Deo dan Jendra yang pergi keluar dari
kamarnya. Gadis itu menangis dengan bahu bergetar. Kini ia
mengerti bila dirinya terlalu mengerikan dan membahayakan bagi
siapa pun yang ada di dekatnya, terlebih Jendra. Akan dendam
dalam dirinya itu mungkin yang menjadi penyebab utama ia
melakukan hal buruk pada Jendra.
Zemira menggeleng. “Nggak, itu bukan gue,” ucapnya lirih,
meyakinkan diri bila itu bukan dirinya. Ia sedang dalam kendali
seseorang.
Pikirannya benar-benar kacau. Dirinya sudah lama
menyerah. Ia sudah pasrah bila pada akhirnya ia lenyap juga. Ia
sudah sefrustasi itu. Dengan masih menangis di kedua lengannya,
ia tak sadar bila pintu ruang kamar terbuka. Ia tak sadar bila ada
seseorang yang tengah masuk.
“K-kak... Kak Deo udah pulang. Katanya kalo lo butuh apa-apa
jangan lupa buat hubungin Kak Deo.”
Darahnya berdesir kala mendengar suara Jendra. Kala
Zemira mendongak, benar saja lelaki itu sudah duduk di tepian
ranjang menatapnya.
“Maafin gue,” ucap Zemira menyesal. “Lo harus keluar dari
rumah ini, jangan tinggal sama gue lagi ya? Lo bisa tinggal sama
Doni.”
Jendra dengan keras menggeleng. “Gue nggak mau. Kita yang
harus ngejauhin dia, Kak.”

HEY ROSE | 421


Zemira mengernyit tak mengerti dengan pernyataan dan
tatapan Jendra.
“Dia yang bawa Naja, Randika sama Kak Tio. Tadi gue keluar
sama Kak Doni, mampir dulu ke rumah dia tapi gue suruh tunggu
di mobil. Tapi gue nggak nyaman diem di mobil terus, dan waktu
gue keluar, gue nggak sengaja denger dia berantem sama
abangnya.”
“Hold on. Doni punya Abang? Maksud lo kakak kandung? Kok
gue nggak tau ya?”
“Gue juga nggak tau karena dia manggil dengan sebutan
abang,” lanjut Jendra lagi. “Terus abangnya marah-marah gitu
karena Kak Doni nggak ngebantu dia nemuin mereka bertiga.
Kayaknya tubuh Naja, Randika, sama Kak Tio diambil sama mereka
berdua deh.”
Kedua tangannya mengepal. Selama ini ia telah dibohongi
oleh orang-orang di sekitarnya. Ia telah dipermainkan kondisi
mentalnya. Apa yang ia lakukan hingga mereka semua dengan tega
melakukan itu pada Zemira? Atau apa yang sebenarnya tengah
mereka cari dari dalam dirinya? Jika yang dibutuhkan adalah tubuh
Zemira, ya, gadis itu sudah menyutujui bila memang itu yang
diincar.
Jendra terlonjak saat deru mobil terdengar. “Kak, itu
kayaknya Kak Doni deh.” Ia panik padahal Doni tadi mengatakan
akan keluar sedikit lama usai mengantar pulang Jendra, tapi
mengapa ia sudah kembali?
“Kak, gue ke kamar ya?” pamit Jendra yang dibalas anggukan
oleh Zemira.
“Kunci lagi kamar gueeee,” pinta Zemira kala Jendra lupa
menutup pintu dan menguncinya kembali. Lelaki itu memutar
badan dan buru-buru mengunci ruang kamar Zemira.
Degup jantungnya bergemuruh karena terngiang cerita yang
baru saja Jendra katakan. Mengungkap fakta di balik kepura-
puraan Doni. Bagaimana ia bisa menyikapi Doni kala ia sudah
mengetahui fakta yang disembunyikan oleh lelaki itu?

HEY ROSE | 422


“Ahhhhhh,” Zemira mengacak surai hitamnya.
Klek!
Suara kaitan kunci terdengar, disusul gagang pintu yang
bergerak tanda seseorang tengah membuka pintu kamar. Manik
hitam Zemira tak lepas dari pergerakan itu. Ia gugup bagaimana ia
akan bertemu dengan Doni. Namun ketika pintu terbuka, lelaki itu
tersenyum dengan tatapan tajamnya.
“Bukan Doni?” gumam Zemira.

HEY ROSE | 423


DEO

Hidup seperti manusia normal pada umumnya—tidak. Tak ada


harapan bagi Deo untuk itu. Setiap malam ia harus terbangun
dengan keringat yang bercucuran, nafas yang tersengal-sengal,
pikiran yang kacau tak karuan.
Sudah lama mimpi itu menghantui malamnya. Seorang gadis
kecil yang selalu menyita perhatiannya. Gadis kecil yang entah
berada dimana. Ruang gelap bawah tanah dengan satu jendela
untuk masuknya kehangatan yang selalu jadi sandarannya.
Meringkuk di lantai dingin tanpa alas. Menyerukan satu nama yang
tak terdengar. Dan setiap kali Deo mencoba mendekat, gadis itu
sudah bersiap menancapkan benda tajam pada lehernya.
Satu langkah saja, ia akan menggoreskannya. Meng-
ingatkannya pada Zemira yang selalu ingin melukai dirinya
maupun orang sekitarnya. Kali ini Deo tengah menyendiri di
kamarnya setelah ia bertemu dengan Ken, Aji, juga Naja. Ia tampak
lega karena ketiganya kembali kepadanya.
Siapa sangka Deo benar-benar nekat membawa tiga tubuh
itu kembali padanya. Iya. Randika, Naja, Tio, yang sempat
dikabarkan tubuhnya menghilang itu, Deolah yang membawa
mereka—kita bahas lain waktu.
Naja, benar-benar selamat dengan jiwanya sendiri. Meski
Deo tau luka yang terdapat di lehernya cukup dalam dan
menyakitkan. Keajaiban? Atau memang Tuhan terlalu Maha
Penyayang hingga memberikan kehidupan kedua untuk Naja? Deo
semakin sering melihat sesuatu yang tumpang tindih, seperti ada
dua kejadian yang berbeda terjadi bersamaan.
Kini, seseorang telah membawa Zemira pergi—sangat jauh
hingga siapa pun tak bisa menjangkaunya. Kejadian yang lain,
Zemira pergi untuk menyelamatkan dirinya namun dengan
melepaskan jiwanya pergi. Hal yang tak seharusnya dilihat, maka

HEY ROSE | 424


kejadian selanjutnya adalah pembuktian. Kontak dengan nama
Jendra tertera di layar ponselnya. Deo sudah ingin
menghubunginya, namun ponselnya lebih dulu berdering.
“Halo, Kak....”
Panggilan tersambung. Itu suara Jendra sedikit bergetar.
“Kak Ze nggak ada di kamarnya.”
Setelah itu hanya helaan nafas gusar. Deo tak mengatakan
apa pun. Ia langsung memutus sepihak sembari menyambar kunci
motor yang menggantung di dinding kamar.
“Kamu tidak akan berhenti melihat hal ini.”
“Kamu akan melihat sekelebat masa depan yang buruk terjadi.
Aku tidak tau apakah kau akan bisa mengubahnya.”
“Kamu bahkan tidak meminta ini, kan? Jadi nikmatilah saja.”
“DIEM LO!”
Memiliki ketajaman indera keenam membuat Deo harus
mendengar kalimat-kalimat itu lagi, setiap kali dirinya melihat atau
mendengar kekerasan, kehancuran, dan kekejaman, ia pun akan
merasa sedih dan marah juga.
“Awalnya gue ngobrol habis lo balik itu, Kak, karena waktu
itu pintu kamar kebuka, jadi gue bisa denger suara mobil masuk,
pasti Kak Doni. Gue balik lagi ke kamar.”
“Lo yakin itu Doni?”
“Ya gue yakin karena emang itu dia, dari suara mobil gue
yakin, Kak. Tapi Kak Ze kirim chat ke gue gini.” Jendra
menunjukkan ponselnya.
“Dia bukan Doni.”
Jendra mengernyit tak paham. Deo memberikan jeda cukup
lama sembari menelisik sudut-sudut kamar Zemira yang kini tak
berpenghuni. Lantas kalimat selanjutnya yang terucap membuat
Jendra terkesiap.
“Janu—kakak sepupunya Doni.”
“Dia yang dateng ke sini.”
Jendra meraih ponselnya. Beberapa kali ia menghubungkan
panggilan pada Zemira namun tak ada jawaban.

HEY ROSE | 425


Nomor yang anda tuju sedang tidak dapat dihubungi, cobalah
beberapa saat lagi.
Mencari nama kontak yang lain ‘Kak Doni’.
Tersambung. Namun hanya nada tunggu yang ia dengar. Doni
tak mengindahkan panggilan masuk dari Jendra.
Sekali lagi.
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah—
“ANJING!” Lelaki itu mengusap wajahnya kasar. “Kak terus
dimana Kak Ze?! Bantu gue buat cari dia please.”
Deo mengangguk cepat. “Pasti.”
Memiliki intuisi dan persepsi yang tajam juga membuat Deo
sangat intuitif. Ia dapat sering mengintuidasi tindakan terbaik serta
mengetahui hal-hal tentang orang lain yang rahasia atau
tersembunyi.
Mengendarai motornya dengan laju secepat kilat membuat
Jendra yang duduk di belakangnya memegang bahu Deo erat. Aneh.
Tak ada kejadian yang ia lihat sejauh ini mengenai Zemira. Dirinya
mulai gusar melajukan motornya ke tempat yang akan ia tuju.
“Kak, gila gue sesek napas,” eluh Jendra kala mereka berdua
baru saja sampai di sebuah rumah dengan halaman yang luas. “Ieu
rumah siapa dah?”
“Rumah Ken,” jawab Deo singkat sembari beranjak mendekat
pintu depan.
Memencet bel beberapa kali kemudian tak lama Ken muncul
dari balik pintu. Terkejut dengan hadirnya Jendra di sana.
“Deo... lo udah cerita ke dia?” tunjuk Ken yang langsung
menutup rapat pintu depan.
Deo menggeleng.
“Cerita apa?” Jendra linglung tentu saja.
“Jen, sebelum masuk, gue mau bilang ini ke lo. Jangan tanya
tentang apa pun sekarang. Dan jangan kasih tau apa yang lo lihat ke
orang lain, termasuk Zemira.” Deo mempertegas ucapannya.
“Kenapa gue nggak boleh bilang ke Kak Ze?”

HEY ROSE | 426


“Lo mau masuk apa diem di luar aja?!” tukas Ken yang
langsung membuat bibir Jendra mengatup dan kepala mengangguk
bersamaan. Ken mempersilahkan keduanya masuk ke rumah.
Bertemu dengan Aji, lantas Deo mendahului langkah mereka
menuju ke satu ruangan.
Seketika tubuh Jendra terjatuh. Berlutut memandang tak
percaya. Naja yang duduk di kursi roda, kemudian Randika dan Tio
yang terbaring dengan banyaknya selang dan suara ventilator
menguasai ruangan.
Rasanya seperti mimpi kala melihat tiga orang ini. Berusaha
menegakkan tubuh dan berjalan ke arah bangsal, Jendra menangis.
Ia tak bisa menahan perasaan sedih bercampur bahagia. Bahkan ia
sendiri tak tau mana perasaan yang harus lebih dulu ia utarakan.
Jendra menggenggam tangan Randika. Mengucap kata maaf
berulang kali. Melihat itu, Deo menjauhkan Jendra dari sana agar
lelaki itu menenangkan dirinya lebih dulu. Lantas mereka semua
pergi meninggalkan Deo sendiri di ruangan. Hanya ada Deo, dan
kedua tubuh yang terbaring lemah.
“Kakak lo hilang, sorry gue nggak bisa ngerubah alur
kehidupan sekali pun gue pengen.”
“Firasat gue dia dibawa ke Inggris, tapi gue nggak tau. Belum
ada kejadian yang gue lihat, tapi firasat gue ....”
Untuk pertama kalinya, Randika menjawab ucapan Deo
membuat lelaki itu tertegun.
“Akhirnya lo ngomong setelah sekian lamanya.”
“Iya, gue bakal cari dia.”

Ini sebuah kilas balik yang belum banyak orang ketahui dari
sisi yang dirasakan lelaki bernama Deo.
“Kamu tidak akan berhenti melihat hal ini.”
“… aku tidak tau apakah kau akan bisa mengubahnya.”

HEY ROSE | 427


Seorang lelaki keras kepala yang selalu tidak memperdulikan
sekitarnya. Semena-mena keluar masuk ruang kelas, dan meski
begitu ia cukup pintar untuk dapat mempertahankan IPK tingginya.
Mungkin beberapa dosen gemas dengannya, membuatnya harus
pergi menemui dosen untuk mendengarkan segala ucapan-ucapan.
“Pak, kalau sudah selesai saya ijin untuk kembali ke kelas,”
pamitnya sembari membungkukkan badan. Itu bukan alasan
utama, melainkan kejadian setelah ini di ruang dosen akan
merusak konsentrasi juga merubah mood-nya lagi. Kedua orang tua
Maren baru saja masuk ke dalam ruangan ketika Deo
melangkahkan kaki keluar.

Segala kejadian yang belum terjadi telah dilihatnya meski


semua tumpang tindih. Berjalan sendiri di trotoar dengan
menghimpit ponsel di antara bahu dan telinga. Sedang mencoba
menghubungi seseorang. Duduk di sebuah kedai yang cukup ramai
dengan segelas lemon tea hangat, Deo sebenarnya menunggu
seseorang datang.
Klinggg....
Zemira.
Gadis itu yang sedang ia tunggu. Tak ada maksud lain selain
melihat pembuktian atas apa yang sudah ia lihat lebih dulu. Zemira
duduk menunggu seseorang pula. Tampak gelisah kala tiba-tiba
saja ia berbincang dengan kekasihnya—Tio. Tidak. Itu bukan Tio,
Deo bisa melihat dengan wujud aslinya.
Beranjak dari tempatnya, Zemira pergi menuju toilet. Mata
Deo menyipit untuk memperjelas penglihatannya. Wanita itu, yang
duduk bersama Zemira tadi menolehkan kepalanya. Menatap Deo
dengan tajam. Ia sendiri tak tau pasti apa maksud tatapannya.
Kemudian sosok wanita itu hanya berlalu pergi.
Tak lama, Jefri, lelaki yang Zemira tunggu datang. Celingukan
mencari gadis di setiap sudut kedai yang ramai. Entah tergesah

HEY ROSE | 428


atau apa, ia hampir keluar dari sana tapi Deo lebih dulu
menahannya.
“Cari Zemira? Dia di toilet,” ujar Deo singkat.

Berdiri di koridor kampus dengan menenteng tas punggung,


Deo berjalan fokus pada ponsel yang menyala. Ia tak sengaja
melihat Zemira berlarian menuju anak tangga dengan nafas yang
tersengal-sengal. Deo sungguh ingin mengabaikannya. Tetapi
sosok setelahnya yang menyita atensi lelaki itu.
Tio berjalan dengan angkuhnya. Itu benar kekasih Zemira,
namun sosok lain di sampingnya melayangkan tatapan tajam lagi
kepada Deo. Acara untuk segera pergi menemui temannya; Ken,
terhambat karena rasa penasaran yang semakin mendalam.
Tiba-tiba saja Lyra berdiri mengatur nafas di samping Deo.
Diikuti dua bocah laki-laki berseragam putih abu.
“Zemira tadi ke atas?” tanya Lyra pada Deo yang hanya
dibalas anggukan.
“Sama Kak Tio?!” Randika melempar pertanyaan pula.
Deo mengangguk lagi. Raut wajah Randika mulai resah, ia
dapat melihat itu. Sesuatu yang buruk akan terjadi, dan akan selalu
jika Zemira tak mengetahui siapa lawannya.
“Kak, panggilin kakak gue dong, please please. Ajakin turun
kemari.” Randika memohon pada Deo. “Sorry ieu tiba-tiba minta
tolong gini. Tapi Teh Lyra kagak berani.”
Sumpah, bukan urusan gue, bukan urusan gue, bukan urusan
gue, batin Deo.
“Gue minta nomer lo.” Deo menyodorkan ponselnya pada
adik dari Zemira.
“Panggilin Kak Ze tapi ya, Kak??? Yaaaa???”
Tanpa jawaban dari Deo, ia sudah mengetikkan nomornya
dan kemudian menyerahkan benda itu pada pemiliknya. Lelaki itu

HEY ROSE | 429


menarik lengan Lyra dan pergi dari sana. Bukan, bukan pergi untuk
menjemput Zemira di rooftop, tapi pergi untuk pulang.
“LAH? KAK!!! Katanya mau nolongin gue?” protes Randika.
“Gue nggak bilang iya.”
“AWAS AJA LU KAK GUE SUMPAHIN NGGAK BISA KENTUT
SEBULAN,” teriak Randika kesal yang kemudian ditenangkan oleh
Jendra.
Sejak saat itu Deo mencoba menggali sesuatu dari Randika.
Dirinya sendiri yang menyuruh Randika untuk tidak menamai
kontak dengan nama aslinya.
Itu sebabnya pula Zemira menemukan banyak log panggilan
dengan nama Doni, yang sebenarnya adalah Deo.

HEY ROSE | 430


PEAK OF FIRE

“Sudah waktunya ya?”


Lelaki yang tengah duduk sembari menghirup aroma
secangkir kopi melemparkan sebuah pertanyaan pada sosok di
hadapannya. Masih hanyut dalam lamunan, seseorang itu memilih
diam. Entah apa yang ada di pikirannya hingga seketika tawanya
menyeruak. Tertawa hingga beberapa kali tangannya menepuk-
nepuk meja.
“Lo ngapain sih anjir?!”
Lelaki itu menjawab. “Nggak papa lucu aja, Doni.”
Doni menghela nafas. Menyandarkan badannya di kursi kayu
yang kokoh. Memasukkan kedua tangannya pada kantong hoodie
yang ia pakai.
“Balik aja nggak? Kayaknya mau hujan,” ujar Doni ketika
pandangannya menelisik langit keabuan.
“Duluan aja. Gue masih sebel ketemu Janu—Paman Eron
juga. Hhhh.”
“Ck! Alesan lo, Gam. Makanya mulut tuh difilter dikit jangan
asal nyeplos aja lo!” omel Doni yang hanya dilirik sekilas oleh
Dhirgam. “Ah serah lo ah gue mau balik.”
Lelaki itu beranjak dan berniat untuk meninggalkan Dhirgam
sendiri. Ia pakai tas punggungnya kemudian membalikkan dirinya.
Doni sudah meraih pintu cafe itu, tapi langkahnya terhenti kala satu
pertanyaan keluar dari bibir Dhirgam.
“Lo—bukan Doni, kan?”
Tak ada jawaban, hanya tatapan sayu yang ia lempar.
Tatapan yang tak menjelaskan benar atau tidaknya.

HEY ROSE | 431


Hujan deras mengguyur kota lagi. Perkiraan cuaca hari ini,
hujan disertai badai. Ah cuaca seperti ini mengingatkan Jendra
ketika ia harus pergi menemani temannya yang penakut sedang
berjaga di rumahnya sendiri. Sudah cukup lama, tapi Jendra enggan
melupakan setiap detail kejadiannya, terlebih jika semua kejadian
saling berhubungan.
Hari ini, ia rindu teman-temannya. Ghost Hunter Genk,
mereka memang menyebalkan, tapi tetap saja Jendra ingin
bertemu mereka. Berkumpul. Sekali saja.
Seseorang yang tengah duduk di teras rumah mengacak surai
legam tanda frustasi. Selama dua bulan perempuan itu seperti
menghilang begitu saja tanpa jejak. Ia pun tak pernah lagi melihat
kejadian tentang Zemira sejak Jendra mengatakan gadis itu
menghilang. Yang selalu ia lihat adalah sebuah ruang tanpa jendela,
penuh dengan kehampaan. Ia takut bila terjadi hal buruk nantinya.
Dan sejak saat itu juga Deo memutuskan untuk pergi ke
Inggris bersama Jendra, Ken, juga Aji. Entah mengapa dirinya
begitu yakin bila Janu dan Doni yang membawa Zemira ke tempat
ini lagi.
“Kak.”
“Besok gue balik ke Indo, tugas kuliah gue—”
“Iya. Nanti nggak perlu balik ke sini lagi, Jen,” tukas Deo.
Jendra yang saat itu berdiri seketika duduk di sebelah Deo
dan menggeser kursinya. “Kak?!”
“Zemira biar gue sama Ken yang urus. Lo sama Aji pulang,
jangan balik lagi.”
“Nggak! Zemira kakak gue. Pokoknya setelah tugas-tugas gue
kelar, gue bakal balik.”
Deo berdecak. Ia menundukkan kepalanya lagi. “Jangan coba
ngebohongin gue, Jen. Gue tau lo pulang nggak karena tugas
kuliah.”
“Dan gue nggak bisa ngebiarin lo balik ke sini lagi.”
Jendra mengeraskan rahangnya.

HEY ROSE | 432


“Lo pikir gue nggak tau kalo lo diem-diem nanam tanaman
mawar di belakang rumah Zemira? Lo pikir gue nggak tau if one day
you will go to another world?”
“Tolong ingetin gue kalo lo—still part of them.” Deo beranjak
sembari menatap tajam Jendra. Lantas ia menerobos hujan yang
sedang deras-derasnya. Meninggalkan Jendra yang terus menatap
kepergian Deo dengan tangan mengepal.
Lelaki itu selalu berusaha membedakan kebenaran dan
kenyataan dari kebohongan dan tipuan. Ketika berada di sekitar
orang lain, Deo dapat langsung mengetahui kapan seseorang
berbohong atau menyembunyikan sesuatu. Jendra, Doni—
menurutnya, mereka berdua sedang menyembunyikan sesuatu.
Langkah Deo membawanya pada bukit yang pernah ia datangi
sebelumnya. Tubuhnya basah kuyup akibat guyuran air hujan yang
tak ada hentinya. Sudah dua bulan rumah Paman Eron tak terjamah
orang. Rumput di halaman rumahnya meninggi tak terawat.
“Paman Eron pulang ke Indonesia, sudah lama.” Hanya itu
kebohongan dari warga yang ia dapat. Karena nyatanya mereka tak
kembali ke negara asal, mereka bersembunyi entah dimana.
Berkali-kali Deo mendatangi untuk memastikan Zemira ada
di sana. Nihil. Ia tak menemukan siapa pun di rumah Paman Eron.
“Kak, lo serius mau nolongin gue, kan?”
“Kata Kak Ze gue nggak boleh percaya sama siapa-siapa,
termasuk Kak Ze.”
“Gue sering ngeliat Kak Ze ada dua. Tapi kayaknya minus gue
nambah deh Kak hehe.”
“Lo kayaknya suka sama Kakak gue deh makanya mau bantuin
gue sama—oh enggak ya? Ya kirain.”
“Semalem waktu diklat gue ketemu sama makhluk aneh, tapi
lebih anehnya lagi gue nyamperin dia tanpa rasa takut.”
“Kak, orang tua gue meninggal.”
“Gue mau ke Inggris. Temen Kak Ze nih tiba-tiba dateng terus
ngajakin ke Inggris. Aneh.”

HEY ROSE | 433


“Kak, Jendra ngasih bingkai foto sama jubah item ke gue. Lo
tau nggak foto ini tuh kenapa kakak gue ada dua? Gue yakin sih ini
Bunda sama Kak Ze, tapi satunya lagi siapa?”
“Gue juga harus berjuang, kan? Gue terpaksa harus gini
ngebantu Kak Ze. Tapi gue yakin sih lo sama Kak Ze bakal nolongin
gue.”
“Kak Deo lo bakal nolongin gue, kan?”
”Nanti kalo gue telfon angkat ya, Kak. Gue udah di gereja.”
“Kak lo dimana?”
Deo menghela nafas panjang setelah ia sampai dan duduk di
bawah pohon linton yew. Mengambil jubah hitam milik Randika di
dalam kotak yang sengaja ia sembunyikan di balik bebatuan,
kemudian memakainya.
Firasat dan segala kejadian yang Deo lihat tak pernah meleset
sekali pun. Ia berjalan memasuki bangunan tua itu. Tudungnya
menutupi sebagian pandangan, namun ia tau seseorang tengah
berdiri di dekat keenam guci abu.
“Lo disini?” tanya lelaki yang masih membelakangi Deo.
“As you wish.”
“Balikin tubuh mereka bertiga,” pintanya.
Deo tertawa remeh. “Why should?”
“Mereka harus dikremasi.”
“Lo yakin?”
Tak ada jawaban. Deo berjalan mendekatinya. Mendekati
seorang lelaki yang masih berdiri membelakanginya. Dengan
pakaian yang sama sepertinya.
“Penyatuan iblis dan yang dirasukinya, dua wujud akan
menyatu....”
“Bergabung, sebuah penggabungan permanen....”
“Jiwanya hancur, sekalipun dilakukan exorcism, udah nggak
ada artinya.”
“Nggak ada yang bisa diselamatkan.”

HEY ROSE | 434


“Alih-alih enam tubuh dikremasi so that his body is not used
by another soul bukan alasan utama. Tapi, lo sengaja gunain itu
untuk upacara abu, sebuah upacara pemanggilan.”
Jelas Deo panjang lebar. Ia menyingkap tudungnya.
Menghadap jelas ke arah lelaki yang kini membalikkan badannya.
Menyingkap tudungnya juga.
“Harusnya gue ngebunuh lo waktu itu, Doni—ah Rosie?” ucap
Deo.
Tragedi dua tahun lalu,
Krieett....
Doni membuka pintu dengan susah payah. Zemira sudah tak
sadarkan diri berada di punggungnya. Mereka berdua pun
keadaannya tak jauh berbeda dengan Jendra. Bahkan gadis itu bisa
saja kehilangan nyawanya karena ia lebih dulu tak sadarkan diri di
alam sana. Lelaki itu tersenyum ke arah Jendra, sembari
menyandarkan tubuh Zemira pelan.
Thank you for being an angel, Jendra....
Sudah lewat tengah malam. Doni menghubungi tim evakuasi
agar dirinya dan juga yang lain dapat tertolong. Terlambat bagi Deo
untuk menjawab semua panggilan dari Randika. Adik dari Zemira
terus menghubungi Deo, namun tak ada satu pun terbalaskan.
Lelaki itu bukan sengaja, hanya saja ia lebih memilih mengabaikan
panggilan itu untuk menghargai waktunya yang sedikit.
Deo berada di sana tepat setelah Jendra tak sadarkan diri. Ia
pergi berlari mendekati Randika yang tubuhnya masih bergetar.
“Randika? Lo denger gue? Dik?! Keep breathing please.”
Randika mengerjapkan matanya. Di setengah kesadarannya,
ia mampu berucap meski dengan terbata-bata.
“K-kak... Kak Ti-o, Na-ja, Kak D-Doni... K-Kakak g-gue....”
“Kenapa?” Demi Tuhan saat ini Deo menuntut Randika agar
ia bisa mengatakan segala sesuatunya dengan jelas.
“K-Kak Ze....”
Deo menoleh ke arah Zemira yang sudah kehilangan
kesadarannya, namun kemudian pandangannya tak sengaja

HEY ROSE | 435


melihat Doni dengan setengah kesadarannya berucap sesuatu.
Seperti berbicara dengan seseorang—namun di dunia yang
berbeda.
“Bawa gue sebagai gantinya.”
Itu yang ditangkap Deo sebelum Doni mengerang kesakitan.
Sekelebat kejadian muncul, buru-buru ia membopong Randika ke
ruangan yang lain. Kemudian Tio, Naja. Menyembunyikan tubuh
mereka bertiga di balik ruangan lain. Terakhir, ia akan membawa
tubuh Zemira bersama mereka, namun—ia beradu tatap dengan
Doni.
Doni yang harusnya lemah dengan kondisi seperti itu, malah
dengan kuatnya berdiri dan menatap Deo tajam.
“Lo bukan Doni.”
Lelaki itu tersenyum. Sadar dengan itu, Deo mencekik leher
lawannya yang masih dengan seulas senyum.
“Doni sadar lo anjir! Jangan ngelakuin ini! SADAR!!!” Hingga
Deo melayangkan pukulan pun, Doni masih dengan senyumnya
yang entah apa maksudnya. Senyum kemenangan atau apa pun itu,
Deo hanya ingin membuat semuanya berakhir.
Pecahan kaca sudah ia layangkan, namun lengannya terhenti
kala terdengar suara langkah kaki mendekat. Tentu saja Doni
memposisikan dirinya terbaring disana. Lantas Deo dengan rasa
kesalnya berlari menuju ruangan dimana Randika dan kedua tubuh
itu berada.
Aji—baru saja masuk ke dalam gereja. Dan tak lama tenaga
medis hingga polisi datang mengevakuasi lokasi tersebut.
Ingatan yang masih melekat pada pikiran Deo. Ia tak akan
melupakan pula tragedi mengerikan itu.
“Sudah waktunya, memberikan apa yang orang-orang
inginkan,” ujar Doni tepat di telinga Deo.
Deo tak sadar bila Doni membawa pecahan kaca di
genggamannya. Pergerakannya cukup cepat ketika benda tajam itu
melukai tangan Deo, tepat menembus pembuluh darahnya. Lelaki
itu melayangkan tangannya lagi, namun dengan cepat Deo

HEY ROSE | 436


menghindar. Ia berlari pergi dari bangunan itu untuk
menyelamatkan diri. Masih terlalu dini bila nyawanya pergi sia-sia.
Bahkan ia belum menemukan Zemira, namun dengan bertemunya
dirinya dengan Doni, ia yakin gadis itu bersamanya.
Betapa sialnya lelaki itu karena rupanya langkahnya
terhadang oleh sosok lain di depan sana. Doni tak sendiri, ada Janu
bersamanya. Janu tersenyum tipis kala mendapati Deo tengah
tergesa turun sembari memegangi lengannya yang berlumuran
darah akibat goresan dari pecahan kaca.
Janu memangkas jaraknya, dan dengan mudah lelaki itu
melumpuhkan Deo.
Deo tak sadarkan diri.

Locus inter duo loca; tempat di antara dua tempat.


Apakah ia mati?
Tidak. Ia sedang berada di antara dua tempat.
Dimana?
Entahlah. Hanya ada ia dan dirinya yang lain. Saat ia
terbangun, matanya mungkin saja akan melihat dunia baru. Mata
yang mungkin dapat melihat hal di luar permukaan seperti melihat
arus sebuah kehidupan.
Buku, album foto, hingga dokumen penting lainnya masih
berserakan di gudang. Dua hari, lelaki itu masih terjaga. Keinginan
untuk tidur menurun, bahkan kuliahnya pun terbengkalai. Banyak
hal yang terus memenuhi kepalanya. Itu semua karena pernyataan
Aji yang membuatnya bimbang dengan dua pilihan yang harus ia
pihak salah satunya. Karena jika ia telah mempercayai satu orang,
maka ia harus menerima konsekuensi jika orang yang kita percaya
nyatanya dapat menjerumuskan kita.
Jendra memutuskan pergi ke rumahnya sendiri. Rumah yang
bertahun-tahun kakaknya tinggali sendiri itu seperti ladang emas
bagi Jendra. Semua yang menyangkut mamanya masih ada di sana.

HEY ROSE | 437


Bukan hanya tentang mamanya, tapi juga Zemira. Bukan hanya
tentang pemusnahan massal, tapi juga pelepasan sebuah
kekejaman kuno ke dunia.
Jendra membaca lembaran demi lembaran tulisan yang
mulai menguning.
“Penglihatan dua arah tidak bisa didapat dengan cuma-
cuma?” Jendra terhenyak.
“Angel cult?”
“Paman Eron, Kak Doni, Kak Janu? Part of angel cult?”
Penglihatan dua arah yang dimiliki oleh Doni bukanlah
kelebihan yang ia dapat sejak lahir, melainkan sebuah kelebihan
yang sudah bisa dipastikan didapat dengan tidak cuma-cuma. Kini
lelaki itu mengerti kalimat yang pernah ia dengar.
We’re all in the same game just different levels, dealing with
the same hell just different devils.
Tentu saja sesuatu yang bertolak belakang dan tak sejalan
akan menimbulkan sebuah tragedi.
“Upacara abu digunakan untuk sebuah ...” Bibir Jendra
seketika kelu membaca sebuah kalimat ini. “... pemanggilan.”
Tubuhnya kaku beberapa saat. Dengan tangannya yang
masih gemetar ia raih ponsel di sakunya. Membuka dan membaca
kembali chat-chat lama yang tak pernah ia hapus. Kemudian ia
tercengang.
“I've been fooled all this time?”
Rasanya tak menyangka dengan apa saja yang ia baca. Rose;
Mamanya—dan Rosie? Jendra mengernyit ketika membaca nama
lain disana. Otaknya bekerja keras untuk mengingat.
“Rosie?”
Ia teringat dengan gadis kecil yang tak jarang bersama
mamanya. Gadis kecil yang terkadang ada dan hilang begitu saja.
Gadis kecil yang pernah berbicara dengannya sama sekali. Bukan
berbicara, lebih tepatnya gadis itu mengancam dirinya.
Dari sorot matanya, Jendra ingat bagaimana kedua manik itu
selalu menatap dengan tatapan memburu. Bagaimana kedua manik

HEY ROSE | 438


itu—lantas bayangan wajah Zemira muncul tiba-tiba membuat
Jendra bergidik ngeri.
Bayangan kala Zemira menghujaninya dengan tusukan.
Bayangan kala kedua manik Zemira penuh dengan kebencian. Dan
sorot mata itu adalah sorot mata yang Jendra lihat pada gadis kecil
yang ia yakini sebagai Rosie.
“Zemira has a twin.”
“Kalau Doni berkali-kali bilang Zemira yang nusuk lo, gue
bakal tetep percaya sama Zemira kalau itu bukan dia. But her twin.”
“Gue bisa ngerasain, gue nggak bakal maksa lo buat percaya
sama gue. But just believe in Zemira.”
“Only she can break the curse. Bukan soal mecahin cermin, but
the curse I said.”
Kalimat-kalimat Deo seketika memenuhi ruang pikir Jendra.
Kepalanya benar-benar sakit. Dan satu kalimat terakhir yang
harusnya ia dengarkan.
“Gue percaya sama kakak gue, harusnya lo juga.”
Randika yang mengatakannya di malam terakhir mereka
bersama.
“Harusnya gue terus ada sama Kak Ze.”
“Padahal gue udah ragu dan nggak percaya sama Kak Doni,
tapi kenapa gue malah ada di pihak dia sekarang?”
Ya, mungkin Jendra akan menyesali perbuatannya. Menyesali
tindakannya sebelum ia pulang ke negara kelahirannya. Lelaki itu
cekcok dengan Deo karena suatu hal yang Deo utarakan tak sejalan
dengan pemikiran Jendra. Mengatakan bila “he’s not Doni, he died
that day” yang tak bisa Jendra percayai. Menganggap bila semua
perkataan Deo adalah bualan belaka dan membuat suatu
pertengkaran dengannya.
Lelaki itu kembali merutuki dirinya kala mengingat
banyaknya informasi yang harusnya ia simpan sendiri namun
dengan kecerobohannya memilih pihak yang salah, ia mengatakan
semua hal pada Doni. Tentang ketiga tubuh yang tetap tinggal di
kediaman Aji, tentang mereka yang akan mengkremasi tubuh itu

HEY ROSE | 439


karena tak ada pilihan lain. Dan setelah apa yang Jendra temukan,
dirinya merasa sangat kacau sekarang.
Jendra mengusap wajahnya kasar. Tanpa berniat merapikan
benda-benda yang berserakan, Jendra segera berlari keluar dari
gudang. Mengaitkan kembali rantai di pintu kayu gudang dengan
bahunya yang tengah mengapit ponsel. Menghubungi seseorang
yang mungkin seharusnya ia percaya; Deo.
“Kak angkat!”
“Please angkat anjir!” decaknya.
Kini Jendra mengerti mengapa Zemira dan cermin itu saling
terikat. Bukan hanya karena Rose, tapi juga sosok lain yang
menginginkan tubuh Zemira. Jendra sangat khawatir dengan
sambungan telfon yang tak kunjung terhubung. Terakhir Aji
memberitahu padanya jika Deo belum juga pulang sejak
pertengkaran dengannya, dan yang ia tau Deo berlari menerjang
hujan untuk pergi ke suatu tempat.
Jendra berdecak beberapa kali.
Selesai menutup dan mengunci rapat pintu, ia terus sibuk
dengan ponselnya. Ketika ia membalikkan badan, mengambil
ancang-ancang untuk berlari sekencang mungkin pergi ke rumah
Aji, ia lebih dulu tercekat.
“I've been looking for you.”
Seakan tak bisa mengekspresikan sesuatunya lagi, Jendra
hanya berdiri mematung di sana. Jarak lima meter, ia bisa melihat
Doni dengan senyum yang tak pudar.
Namun Jendra, mengenali sorot mata itu.

“Ze….”
“Zemira!”
“Ze... bangun!”
“WOY NYAIIII!!”

HEY ROSE | 440


Kedua tangan yang diikat menggantung membuat Deo tak
bisa mendekat ke arah Zemira yang tengah terbaring di kasur
putih. Dua bulan penuh ia mencari gadis itu. Pergi ke segala tempat
di Inggris tapi tak kunjung bertemu. Dan ketika ia bisa melihat
Zemira, ia malah tak bisa berbuat apa-apa dengan tangan terikat.
Beberapa kali Deo meneriakinya, namun si empunya nama tak
mengindahkan panggilan itu. Tak membuka mata, tak
menunjukkan gerakan dari tubuhnya.
Suara langkah kaki mendekat. Deo dapat mendengarnya.
Satu orang.
Pintu ruangan terbuka. Menunjukkan Naja di sana. Ia tak
sendiri, ia bersama Janu. Deo terkejut setengah mati. Terlebih
matanya sampai terbelalak kala menyadari bahwa Naja tak
sadarkan diri di kursi rodanya.
“Mau lo bawa mereka lagi juga gue bisa nemuin,” sarkasnya.
“Mari kita buat ini lebih mudah!” imbuh Janu.
“Sudah waktunya, memberikan apa yang orang-orang
inginkan.”
Deo merasa dejavu mendengar kalimat terakhir yang
dilontarkan Janu. Ia berdecih, benar sekali, Doni mengatakan hal
yang sama di bangunan bekas gereja itu.
“Yang kalian inginkan maksudnya? Haha kenapa lo semua
bersembunyi di balik kalimat ‘untuk kebaikan semua orang’ , ‘untuk
keinginan semua orang’? Basi! Gue tau lo! Gue tau cara lo
manipulasi semua! Gue tau!” Teriak Deo.
Janu menatap datar Deo. Ia masih di ambang pintu.
“Gue tau lo semua bagian dari angel cult!”
“Gue tau Zemira punya saudara kembar yang ada sama
mamanya Jendra!”
“Gue tau kalo Tio lo gunain hanya sebagai perantara!”
“Gue tau orang-orang lo yang bikin Tio ngebuka kotak itu!”
“Dan gue tau apa maksud lo bawa Zemira ke sini karena Doni
kan? Karena Doni yang jiwanya udah direnggut?!”
“GUE TAU SEMUA!”

HEY ROSE | 441


Teriakan demi teriakan Deo serukan. Bahkan mungkin saja
suaranya itu bisa terdengar hingga luar ruangan.
“Ah. Ternyata ramalannya benar. Jadi lo si indigo itu?” tanya
Janu santai. “Dari pada lo teriak-teriak mending lo mohon ke gue
aja buat dilepasin?”
Deo mendecih. Ia terus menatap Janu tajam. Tak sedikit pun
mengalihkan pandangan. Ia akan mencari cara untuk melepaskan
dirinya. Ia tak akan mungkin memohon hanya agar dirinya terlepas
dan keluar dari sini.
“JANGAN BERANI LO SENTUH ZEMIRA!!” Teriakan Deo
kembali ketika Janu berjalan mendekati ranjang gadis itu.
Janu tersenyum sarkas. Ibu jarinya sudah menggosok-gosok
dahi Zemira.
“Tenang, dia lagi tidur nyenyak,” ujarnya sembari berbalik
badan. “Oh iya sampaikan terima kasih gue buat Jendra, kalo nggak
karena dia, gue nggak bakal nemuin tiga tubuh yang lo
sembunyiin,” imbuhnya sembari menutup pintu. Mendengar itu
Deo mengepalkan kedua tangannya.
“Jendra brengsek! Lo bodoh, Jen! Arghhhh.”
Lelaki itu terus menggerutu. Berkali-kali mencoba
melepaskan tali yang mengikat kedua tangannya. Tanpa kenal
lelah, namun percuma saja ikatan itu takkan pernah bisa ia
lepaskan sendiri tanpa bantuan orang lain.
Deo mendudukkan dirinya dengan nyaman. Bersandar di
dinding berdebu dengan kedua kaki bersila. Peluhnya menetes
semakin banyak. Perasaannya mulai tak enak. Sebentar lagi,
mungkin ia akan melihat suatu kejadian yang belum terjadi, atau
bertemu dengan hal lain.
“Dika....” Telinga lelaki itu mendengar jelas Zemira
memanggil nama si bungsu. Sontak kedua bola matanya terfokus
pada satu benda yang entah sejak kapan tergantung di sana.
Sebuah cermin oval berukuran setengah meter dengan
bingkai motif mawar berada tepat berhadapan dengan ranjang

HEY ROSE | 442


Zemira. Deo terus memperhatikan cermin itu, kemudian beralih
pada Zemira, kembali pada cermin itu, dan begitu seterusnya.
“Ze?”
“Zemira?”
Deo mencoba memanggilnya. Tak ada jawaban, hanya
erangan yang terdengar semakin jelas.
“Zemira! Bangun!!” teriaknya lagi. “Lo bisa denger suara gue,
kan? Please bangun! Ini gue Deo.”
Zemira hanya terus mengerang hingga beberapa saat
terdiam. Deo tak mengerti apa yang sedang terjadi tapi gadis itu
tiba-tiba mendudukkan dirinya, kemudian matanya terbuka begitu
saja. Demi Tuhan, jantungnya terasa berdegup lebih kencang kala
Zemira menoleh ke arahnya. Tanpa ekspresi, hanya diam dan terus
memandang.
“Z-Zemira? L-lo udah sa-dar?” ucap Deo terbata. Memaksa-
kan sebuah senyum untuk mematahkan kecanggungan.
Tak ada yang lebih menakutkan selain Zemira berjalan ke
arah Deo dengan sebilah pisau di tangan kanannya. Tanpa beralas
kaki, tanpa ada suara, hening.
“Ze?”
“Ze lo mau ngapain anjir?!”
“ZEMIRA LO HARUS SADAR!”
“ZEMIRA!”
Gadis itu sudah berdiri di hadapan lelaki yang tengah
ketakutan hingga deru nafasnya tak beraturan. Zemira
mengayunkan benda itu.
“ZEMIRA!!”
Hening. Suara teriakan Deo tergantikan oleh ruangan yang
mendadak sepi. Tak ada suara pergerakan atau suara benda yang
bergesekan dengan benda lain.
“Deo, sorry....” Sepatah kata dari Zemira menghancurkan
keheningan. Kemudian diikuti banyak kalimat lainnya. “Gue
nyerah.”
“Gue harus ngelakuin ini because only I can break the curse.”

HEY ROSE | 443


“Setelah dipikir—Maren dulu juga pernah bilang kalo cuma
gue yang bisa.”
“De, gue takut....”
“Gue takut apa yang gue denger waktu itu bukan sekedar
mimpi, kalo setelah gue mecahin cerminnya, gue denger samar-
samar suara Doni.”
“Bawa gue sebagai gantinya—itu yang gue denger sebelum
gue bener-bener nggak sadar.”
“Selepas kejadian, gue sering mimpi Randika, gue sering
mimpi dimana gue ada di ruang tanpa jendela, terbaring terpaku di
lantai, full of emptiness.”
“Gue terkadang nggak bisa ngendaliin tubuh gue. Ada suara
yang gue denger, suara itu terus minta gue buat ngedeket. Dan ya,
lo tau waktu gue ngedeket, hal buruk apa yang terjadi.”
“Juga suara lain yang nyuruh gue untuk tetap bertahan, tetap
melawan. Tapi waktu gue ngelawan, imbasnya ke banyak orang.”
Zemira berbicara tanpa jeda di depan Deo yang diam tanpa
suara. Gadis itu tak akan menyesali keputusannya setelah
mengayunkan sebilah pisau di tangannya. Pandangannya meredup.
Tubuhnya lemas hingga genggamannya terbuka. Meloloskan benda
itu jatuh terjun bebas ke lantai.
“Selama ini gue sendirian, coba hidup kayak yang Doni minta.
Tapi di sisi lain gue memberanikan diri buat cari tau kalo semuanya
belum selesai.”
“Nggak tau kenapa gue bisa yakin kalo semua belum selesai.
Sekeras apa pun gue nyoba ngeyakinin diri sendiri that it's all over,
gue nggak bisa. I'm still sure that it's not over yet.”
“Dan kayaknya cara gue salah, setiap gue ngelukain diri
sendiri buat pergi ke alam lain, kembaran gue yang muncul, bahkan
Randika pun.”
“Mereka berdua bener-bener muncul di depan gue. Bukan di
alam lain.”
“Lucu karena gue nyebut kembaran—gue juga baru tau. Lo
mau tau nggak bagian terlucunya lagi?”

HEY ROSE | 444


“Kembaran gue meninggal karena exorcism. Orang tua gue
nggak jauh beda sama mereka, sama Mamanya Jendra. Dan bener
kata Jendra dulu kalo semua pasti pernah dealing with devils. Sadar
atau enggak.”
Dan saat itu Zemira menangis sejadi-jadinya meski ia harus
menahan suaranya agar tak terdengar dari luar. Bertahan sendiri
bukanlah hal yang mudah bagi dirinya.
“Gue juga tau kalo Paman Eron, Janu, Doni part of angel cult
waktu gue nonton CD yang Aji kasih. Video dimana dia masuk ke
satu per satu ruangan di rumah paman dan banyak guci berisi abu
disana. Too much. Mungkin itu yang mereka maksud masing-
masing ruangan ada penghuninya.”
“Iya. Paman Eron sama Janu can do exorcism, but on the
wrong path. Mengusir, untuk membunuh orang lain.
Menyembuhkan, untuk menggantikan orang lain.”
“Dan gue—”
“NGGAK!” Seketika kedua tangan Deo meraih bahu Zemira.
Mengeratkan tangannya seakan tau apa yang ingin disampaikan. Ia
tak menyetujui apa yang akan gadis itu lakukan tentu saja.
Lelaki itu menatap lawan bicaranya lamat-lamat. Menyusuri
tiap jengkal tubuhnya yang kurus, penuh dengan memar, bahkan
bekas darah yang mulai mengering masih berada di lengan
tangannya.
“Lo cepet pergi dari sini!” ujar Zemira sembari menghempas
tangan Deo. “Gue nggak akan nyesel sama keputusan gue.”
“Tolong... makamin tiga tubuh yang udah lo selametin.”
“Terima kasih karena lo udah berusaha selamatin mereka,
but please don't let their bodies turn to ashes.”
“Gue udah ikhlas sama kepergian adik gue, kepergian Tio, gue
udah ikhlas.”
Deo terhenyak. Terkejut ketika gadis itu tau dengan apa yang
ia sembunyikan. Dadanya terasa sakit mendengar kalimat yang
Zemira lontarkan. Entah sejak kapan kedua matanya ikut berkaca-
kaca.

HEY ROSE | 445


“Untuk pertama kalinya dalam hidup, gue punya tujuan. Ze!
Ayo lo juga harus pergi dari sini anjir!”
Lelaki itu bangkit dan menarik satu lengan Zemira—namun
tertahan. Deo menoleh ke arah Zemira yang masih lesu dengan
kedua lututnya sebagai tumpuan. Ia menunduk dan menggeleng-
kan kepalanya. Kemudian meraih tangan Deo yang sedang
menggenggam pergelangan tangannya.
Zemira menangkup genggamannya.
“Naja, Randika, Tio—tubuh mereka yang harus lo selametin
sekarang.”
“Please gue mohon....”
“P-pastiin Jendra juga nggak kenapa-kenapa.”
“Ayo! Lo sama gue. Kita berdua—” Deo menarik Zemira lagi,
namun gadis itu seketika bersujud memegang kaki kanan Deo.
Menyembunyikan wajahnya dengan menahan tangisnya yang
pecah.
“Please....”
Tak tahan dengan itu, ia hentakkan kakinya. Deo pergi
dengan tangan yang mengepal. “Tetap hidup. Sampe gue dateng
lagi,” lirihnya sembari menutup pintu.

Ruang gelap dengan puluhan guci abu dibiarkan tak terkunci


karena ia tau seseorang akan datang ke sana. Janu duduk di sofa
dengan santainya. Memainkan sebilah pisau lipat yang biasa ia
gunakan sebagai alat bantu. Suara siulan yang ia hasilkan menghias
seluruh sudut ruangan. Sadar dengan kehadiran seseorang, ia
tersenyum miring.
“Dateng juga?” sapanya. “Mau mendengar sebuah kisah?”
Lelaki yang baru saja datang itu diam tanpa sepatah kata.
Lantas duduk tanpa menunggu dipersilahkan. Kedua maniknya
beradu tatap dengan manik milik Janu.

HEY ROSE | 446


VERUM INNUMERABILIS

Seorang anak perempuan terlahir kembar di tahun dimana gerhana


bulan terjadi. Zemira dan Semira. Si baik dan si jahat. Ibu dari kedua
anak itu mempercayai mitosnya. Anak kecil berumur empat tahun
itu tumbuh menjadi sosok introvert. Berbeda dengan saudaranya,
ia tidak suka bergaul dengan teman-teman seusianya. Kecurigaan-
nya pada banyak hal, membuat ia kesulitan beradaptasi dengan
tempat ramai, di antara kerumunan wajah baru yang tidak dikenal.
Seperti yang orang tuanya duga, gadis itu memiliki
keistimewaan dalam dirinya. Semira kecil hanya bermain dengan
teman tak kasat matanya. Ia tak pernah sekali pun tersenyum atau
bahkan tertawa. Cukup membuat ngeri jika diusianya yang akan
beranjak lima tahun ia terus memandang saudaranya seperti
seekor singa membidik mangsanya.
Hari dimana mereka berdua berada di rumah sendiri adalah
hari terakhir Semira dan Zemira bersama. Kala Zemira kecil
bermain di kamar dengan asyiknya, Semira tiba-tiba mendorong-
nya. Mendorong dengan sangat keras, dengan kekuatan yang tak
seharusnya ia miliki hingga Zemira tersungkur.
Dahinya terbentur keras dengan lantai namun itu tak
memberikan luka luar. Dengan memegang dahi yang berkedut,
Zemira bangkit memandangi saudaranya yang masih berdiri di
sana. Tanpa ekspresi, tanpa rasa bersalah, dengan tatapan
tajamnya ia berjalan mendekat.
Zemira yang tak tau apa-apa hanya diam, ia kembali duduk
dengan wajahnya yang seperti ingin menangis. Tangan mungil
Semira mengepal dan kembali membenturkan saudaranya itu.
Tanpa alasan? Tentu saja ia memiliki alasan. Kali ini benturannya
sangat keras hingga suaranya terdengar jelas di telinga. Zemira
hanya menangis setelahnya. Ia tak mempertanyakan mengapa
saudaranya bersikap seperti itu padanya.

HEY ROSE | 447


Semira akan melakukannya lagi hingga saudaranya itu
memiliki luka luar yang dapat ia lihat. Ia terus mengulangi
perbuatannya. Hingga akhirnya dahi Zemira menganga terbentur
kaki ranjang. Cairan merah segar keluar membasahi wajah Zemira.
Dan untuk pertama kalinya ia melihat saudaranya itu tersenyum
kepadanya.
Tak lama, suara deru mobil memasuki pekarangan rumah.
Semira melihatnya dari jendela kamar. Dua mobil terparkir. Mobil
kedua orang tuanya, dan satu lagi mobil seorang lelaki yang
membuat deru nafas Semira menggebu. Mengepalkan tangan,
kemudian pergi dari kamar Zemira. Meninggalkannya menangis
sendiri dengan darah yang masih mengalir.
Seakan tau dengan apa yang sedang terjadi, ibu dari kedua
anak kembar itu berlari menaiki anak tangga dengan terburu-buru.
Baru akan pergi ke kamar Zemira, ia melihat Semira berdiri di
dekat kamar seraya berkata “bukan aku.”
Sang Ibu tak mempedulikan. Ia langsung masuk ke dalam,
sontak berteriak karena terkejut dengan Zemira yang terus
menangis memegangi dahinya yang mengucur deras cairan merah.
Disusul ayah, juga seorang lelaki tak dikenal di belakangnya.
Mereka sama-sama terkejutnya. Tanpa basa-basi sang ayah
menarik Semira menjauh dari sana, kemudian mendudukkannya di
ruang tamu bawah bersama lelaki itu.
“Bukan aku,” ujarnya lagi.
Zemira turun dengan berada di gendongan sang Ibu, ia mulai
tenang. Kedua orang tuanya akan membawa gadis itu ke rumah
sakit. Berbeda dengan Semira yang harus ikut bersama seorang
lelaki itu di mobil lain. Mengetahui itu Zemira menangis lagi,
memanggil saudara kembarnya untuk ikut bersamanya. Semira
hanya diam di dalam mobil sembari menatapnya dari kaca mobil
yang dibuka.
Sebuah ritual pengusiran yang sering kali disebut exorcism
itu digelar. Dalam suatu ruang bawah tanah tanpa jendela,

HEY ROSE | 448


kesendirian Semira membawa petaka. Dalam kesendiriannya, ia
semakin dikendalikan oleh sosok yang selalu mengikutinya.
Paman Eron. Kedua orang tuanya memanggil lelaki itu
dengan sebutan 'Paman' meski usia mereka tak jauh berbeda.
Mereka masuk ke dalam ruangan itu. Tanpa membawa alkitab atau
apa pun yang berhubungan dengan Tuhan, Eron hanya merapalkan
bacaan dengan mata tertutup. Sontak Semira mengerang hingga
tubuhnya mengejang. Pun ototnya terlihat jelas di permukaan kulit.
“Devil please come with angel, come out!!” teriak Paman
sembari tangan kanannya berada di atas dada Semira. Tepat di
jantungnya.
Gadis kecil itu terus berteriak. Sesekali meneriaki nama
saudaranya. Kedua orang tuanya menitikkan air mata kala melihat
salah satu anaknya seperti ini. Gadis yang bisa mengendalikan
sosok tak kasat mata. Gadis yang dipercayai akan menjadi part of
the satanic cult.
Informasi yang Paman Eron dapatkan ketika ia datang ke
Silent Hill untuk mengintai Rose. Perempuan itu sendiri yang
mengatakan akan ada seorang gadis yang kelak berdiri
bersamanya. Tak lain adalah Semira, saudara kembar Zemira.
Mengetahui itu, Paman Eron mencoba untuk melawan Semira lebih
dulu, karena dianggap sebagai objek yang mudah. Namun naas,
semakin agresif serangan yang Paman Eron berikan, makin
merusak tubuh gadis itu.
That girl has fused with the devil. Dua wujud yang menyatu
takkan bisa diselamatkan.
Semira kehilangan nyawanya.
Satanic – Angel cult two cults who are in the same game but
different devils.
Tak ada yang tau apakah jiwa Semira benar-benar
menghilang dari bumi atau ia tinggal bersama teman-temannya di
dimensi lain. Kehilangan seorang anak mengharuskan kedua orang
tuanya untuk memiliki keturunan lagi. Selain untuk mengobati luka
dan rasa kehilangan, juga untuk menyelamatkan Zemira.

HEY ROSE | 449


Gadis kecil itu mengalami suatu kejadian traumatis.
Akibatnya, ia tidak bisa mengingat apa pun dengan baik. Ia
kehilangan memori tentang saudara kembarnya, ia tidak bisa
mengingat apa pun yang berhubungan dengan traumanya. Zemira
hanya merasa sangat amat senang kala si bungsu bernama Randika
itu lahir ke dunia.

“Lo tau Doni punya luka di sekujur badannya? Terlebih dada


dan punggung. Lo pasti tau,” tanya Janu setelah menceritakan kisah
singkat.
“Gue bukan cenayang.”
“Gue kira anak indigo kayak lo udah tau.” Senyumnya remeh.
Deo meremat ujung sofa.
“Luka yang dia dapet ya karena tubuhnya rentan dimasukin
sosok lain. Dan lo tau? Sekarang Semira ada dalam diri Doni. Gue
bahkan nggak tau dia masih ada disana atau enggak.”
“Doni udah mati,” timpa Deo. “Dia udah lama mati.”
Janu mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras seketika
mendengar ucapan dari Deo. Kedua matanya memerah dan berair.
Rasanya kalimat itu tidak bisa ia terima. Berkali-kali. Sudah
berkali-kali Paman Eron pun mengingatkan Janu akan kematian
Doni. Tapi, sampai saat ini dirinya masih tidak percaya.
Di keseharian, aneh rasanya melihat Doni sering berubah
sikap. Janu tetap meyakinkan dirinya sendiri bahwa jiwa
sepupunya masih ada di sana.
“Lo nggak bisa bawa Doni balik.”
“BISA! Upacara abu can bring back his soul,” tegas Janu
sembari menegakkan dirinya. “Tiga tubuh ini bisa bawa dia.”
“Dia cuma mau Zemira. Lo tau? Dia nggak bakal pernah
istirahat dan berhenti hingga dia berhasil nguasain Zemira. Dia
bakal terus datengin Ze sampai akhir waktu sekali pun.”

HEY ROSE | 450


“She's just a devil. While angels can fight them and even save
anyone.”
“Save anyone kata lo? Then Semira? Kenapa Paman Eron
nggak bisa selametin dia?”
“Ada beberapa jenis orang yang sia-sia sekali pun kita
selametin. Semira? Why was she saved when in the end dia bakal jadi
anaknya Rose?”
Buaghhh!!
Deo geram. Tangan yang mengepal dari tadi telah mendarat
mulus di wajah Janu.
“Dan apa lo mikir if it will unleash an ancient cruelty? Apa lo
mikir kalo bakal banyak dendam yang nggak ada akhirnya?! Just
stop it! Lo nggak tau kan kejadian apa yang bakal terjadi kalo lo
tetep ngelanjutin this fucking ritual?!”
Janu yang berada di bawah Deo membalikkan posisi. Kini
lelaki itu mendominasi, mendaratkan beberapa kali pukulan di
wajah hingga perut Deo. Tanpa mereka sadari seseorang tengah
memperhatikan mereka berdua di ambang pintu. Seorang
perempuan yang dari tadi mereka bicarakan.
Semira yang berhasil masuk dalam tubuh Zemira. Bola mata
menghitam dengan seringai tajam menghiasi wajahnya. Terdapat
banyak bercak merah segar di baju yang ia kenakan. Gadis itu
berjalan masuk tanpa alas kaki. Jejak kakinya membekas di lantai
akibat cairan merah yang entah apa. Deo mendorong tubuh Janu
kala mendengar suara tawa lirih yang dihasilkan oleh Zemira.
“Ze?! N-no... jangan lagi,” ujar Deo sembari menggeleng pelan.
“K-k-kak Ze....” Suara lirih seseorang terdengar.
Baik Janu atau Deo berusah berdiri. Mereka sama-sama
terkejutnya ketika melihat tubuh yang berusaha merangkak
menghampiri mereka. Kedua pasang mata itu melotot kaget.
Jendra. Dengan tubuh yang berlumuran darah. Berusaha
merangkak hanya untuk menghentikan langkah Zemira. “K-kak
Ze... j-jangan.” Hanya itu yang mampu Jendra katakan sebelum

HEY ROSE | 451


Zemira kembali menikamnya—tanpa benda tajam, ia hanya
menggunakan kuku jarinya yang panjang.
“JENDRA?!”
“K-kak....” Jendra menatap ke arah Deo, kemudian mulai
kehilangan kesadarannya.
Kedua lelaki itu melihat jelas bagaimana Jendra
menghembuskan nafas terakhirnya dengan tangan Zemira berada
di leher lelaki itu. Janu merogoh ponsel di sakunya. Mencoba
menghubungi Doni untuk memastikan bahwa sepupunya itu baik-
baik saja. Namun ketika terdengar nada tersambung, bunyi
ringtone ponsel Doni berada di ruangan mereka.
Kemudian Zemira membalikkan tubuhnya. Berdiri
menghadap mereka berdua dengan kurang lebih tiga meter
jaraknya. Ia mengangkat tangannya. Menampakkan ponsel Doni
berdering di genggaman gadis itu.
“Doni... dimana Doni?” tanya Janu dengan suara pasrah.
Zemira melempar tatapan tajam. “Di ruangan dimana lo
ngurung gue.”
Mendengar jawaban seperti itu saja sudah bisa dipastikan
bahwa Doni tak lagi bernyawa.
“Dimana Paman?” tanya gadis itu. “Dimana?!” Tekannya lagi.
Tak ada jawaban dari mereka berdua. Keduanya masih
terkejut dan tak percaya dengan apa yang dilakukan Zemira.
“Deo, dari awal gue cuma punya lo. Yang percaya sama gue,
yang ngedukung gue apa pun yang gue lakuin.” Ia berjalan
mendekat dan berhenti tepat dua langkah di depan Deo. “Do you
support what i’m doing now? Lo masih percaya sama gue?”
Deo menelan ludah kasar. “Gue percaya sama Zemira.”
“Gue Zemira.”
“YOU ARE NOT!”
Seketika gadis itu terdiam dengan raut wajah datar namun
tatapannya masih menajam. Di samping Deo, diam-diam Janu
meraba sesuatu pada laci meja di belakangnya. Deo mengerti apa
yang akan lelaki itu lakukan. Dengan cepat ia menahan lengan Janu.

HEY ROSE | 452


“No.”
“The devils must be exterminated,” bisik Janu yang rupanya
masih terdengar di telinga Zemira.
“Gue nggak ada bedanya sama lo, Janu. Lo mau bunuh gue?
Silahkan.”
“If you can.” Zemira tersenyum miring.
CRASHHHHH!!
“ZEMIRA!!!!”
Crash!!!

Sepeninggalan Deo, Zemira duduk kembali di ranjangnya.


Harusnya kala itu ia bisa menahan saudara kembarnya untuk pergi.
Ingatan demi ingatan mulai kembali.
“Gue... bakal tetep hidup kalo Randika hidup. Gue nggak bisa
gini, cuma gue yang bisa,” gumam Zemira.
Tak lama, seseorang datang masuk ke dalam ruangan. Doni,
dengan Jendra berada bersamanya. Kedua bola mata mereka
bertemu. Dilihat dari sorot matanya, Zemira tau jika sorot mata itu
bukan milik Doni, melainkan saudara kembarnya.
Zemira sudah mengenalinya.
“Lo udah bangun,” ucap Doni datar.
“Iya.”
Doni mengangguk, kemudian ia duduk di atas ranjang. Jendra
yang ingin ikut mendekat pun tertahan karena Zemira menatap
sembari menggeleng ke arahnya.
“Balikin tubuhnya,” pinta Zemira. “Bawa gue sebagai
gantinya.”
Jendra tertegun. “K-kak apa maksud lo?!”
Doni tersenyum hingga seketika dirinya mengerang
kesakitan. Otot-ototnya keluar. Beberapa bagian tubuhnya
melebam.
“No!! Don’t hurt him!!! You just need to go out—Arghhhhh!!”

HEY ROSE | 453


“Kak Ze?!!” Jendra meraih tubuh Zemira ketika gadis itu jatuh
ke lantai. “Kak, Kak? Kenapa? Kak Ze kenapa?!” Lelaki itu terus
menggoyang-goyangkan bahu Zemira. Ia benar-benar panik
melihat Doni yang sudah tak sadarkan diri juga Zemira yang tengah
mengejang dan mengerang.
“Kakkk? Kak Ze lihat gue, kak... lihat gue.”
Jendra adalah saksi bagaimana kedua manik Zemira berubah.
Menghitam sepenuhnya. Ia teringat kejadian dimana Zemira
menikamnya berkali-kali di rumah kala itu. Black eyed demons.
“K-kak Ze... KAK SADAR!!!”
Zemira terus mengerang, dengan Jendra yang masih menjadi
pusat atensinya. Lelaki itu memundurkan dirinya kala ia merasa
sesuatu buruk akan terjadi. Namun sayang....
Grebbb!!
“K-kak Z-Ze….”
Leher Jendra tengah diapit sempurna dengan lengan Zemira.
“K-kak Zemira please lo harus s-sadar—aaagggggghh.”
Sontak ia berteriak ketika kuku tajam mencabik bekas luka
tikamannya.
“Wanna know a secret?” bisik Zemira tepat di telinga Jendra.
“Gue bukan Zemira.”
Setelahnya ia menyeringai. “Hadiah dari Mama lo because you
betrayed her.”
Crashh!!
“AAAAAAAGGGHHHHHG.”

Why should I?
“Because you're in my control.”
... ada seorang wanita duduk menghadap jendela, dengan
cermin di genggamannya.
Wanita itu tampak sangat cantik dari belakang. Memakai
dress bak tuan putri. Dress hitam dengan corak mawar.
“Hey, Rose.”

HEY ROSE | 454


“Cerminnya aku kasih nama Rose, kalo kamu ngaca, coba
sambil disapa.”
... she heard and saw.
I'm here, I'm under your bed
I'll take care of you tonight
“You're here?”
“I'm here waiting for you”
“Get out of that mirror.”
“Come with me. Stay with me here. I'm on my own. Keep me
company so I'm not alone.”
“Look, she's happy to be around you.”
... lantas ia putuskan untuk kembali ke kamarnya. Kepalanya
mulai terasa pusing lagi. Dengan langkah menyeret dan kepala yang
sengaja ia pijit-pijit, Zemira mendengar suara Tio. Dari kamar
tidurnya.
“Gue nggak bisa.”
“Jangan....”
“Gue nggak mau.”
“You're needed”
... turun dari tempat tidurnya lagi, mengambil cerminnya. Ia
berkaca sebelum kembali mengistirahatkan dirinya. Bayangan
wajah cantiknya memantul. Namun ada bayangan lain tepat di
belakangnya.
I'm afraid to opening my eyes, aku tau kau ada di langit-langit,
menungguku untuk melihatmu. I won't look… I won't look.

Kedua tangan Zemira bergetar hebat. Rasanya sekujur


tubuhnya sangat lemah dan mati rasa, namun seperti ada dorongan
yang membuatnya untuk terus melakukan segala hal. Zemira
kehilangan kendali. Otaknya tak dapat bekerja lagi.
Satu...
Dua...
Tiga...

HEY ROSE | 455


Tiga tubuh berada di ruangan ini bersimbah darah, dengan
keadaan yang tidak bisa disebut baik-baik saja. Dan seingatnya satu
tubuh di ruangan yang lain telah kehilangan jiwanya. Berjalan
sendiri di koridor tanpa alas kaki, ia rasakan lantai yang dingin dan
basah akibat cairan yang melekat di bawah sana. Cairan berwarna
merah, Zemira membiarkannya tanpa berniat membasuh.
Terlihat cahaya menyembur dari arah depan. Pintu utama
terbuka menampakkan sosok lelaki yang tak lama ini Zemira kenal.
Paman Eron, dengan satu buah cermin di tangannya. Entah
mengapa tubuhnya menolak untuk mendekat, padahal Zemira
ingin sekali menyapanya. Meminta tolong untuk segera membawa
teman dan adiknya pergi dari sana.
Tolong selamatkan mereka....
Tolong selamatkan aku....
Kalimat yang tak dapat keluar dari mulutnya. Seseorang
tengah berbicara padanya, ia dapat mendengar. Samar, Zemira
mendengar isakan tangis banyak orang yang entah datangnya dari
mana. Seketika suara itu menghilang. Ia dengar lagi suara bisikan
yang menyuruhnya untuk segera lari dari tempat ini. Ia setuju
dengan itu. Dari jarak empat meter, Paman Eron menatapnya.
Zemira lihat bibirnya mulai bergerak merapalkan sesuatu yang
membuat tubuhnya—ARGHHHHHH.
Tubuhnya terjatuh, kedua kakinya terasa sakit dan tak dapat
difungsikan lagi. Benar-benar kaku dengan otot yang mulai
mengejang. Ketakutan dalam dirinya kembali bergejolak, perasaan
yang sedang ia rasakan saat ini adalah takut, gelisah, tertahan
sampai hampir mati rasanya. Pun rasa sakit luar biasa di area
punggung. Seakan tulang rusuknya patah satu per satu. Kedua
tangannya yang melebam masih saja berusaha meraih meja yang
ada di sebelah tubuhnya.
Zemira berhasil berdiri meski dengan susah payah.
“Zemira, jangan melawan. Saat kamu berhenti melawan, rasa
sakitnya akan hilang,” ujar Paman yang langkahnya mulai

HEY ROSE | 456


mendekat perlahan. Tapi tidak, suara itu terdengar cukup nyaring
di telinganya.
Kalimat Paman Eron ada benarnya, mungkin ia akan
menyembuhkan dan menyelamatkan Zemira. Ia hanya perlu diam
dan—Tidak, tubuh Zemira menolaknya.
Kedua kaki Zemira berlari dengan begitu kencang.
Menabrakkan diri pada tubuh Paman Eron kemudian berlari lagi
meski rasa sakit masih bersarang di sekujur tubuhnya. Berkali-kali
dirinya mencoba untuk berhenti, namun langkah kaki memiliki
banyak energi.
Satu hal yang kini ia sadari adalah tubuhnya telah
dikendalikan. Lantas apakah tanpa sadar pula Zemira merenggut
nyawa Doni, Jendra, Janu, juga Deo....
Sungguh Zemira ingin kembali, melihat kondisi mereka.
Memastikan bahwa mereka masih bernyawa dan dapat
diselamatkan. Ternyata tak semudah itu melawan dirinya sendiri.
Tubuhnya terasa kian hancur ketika Zemira berusaha melawan.
Kalimat-kalimat Deo seketika muncul dalam memori kecilnya.
“Gue harus benar-benar sadar, melawan, dan gue pasti bisa.”
Kesadarannya melemah, Zemira kehilangan kendali lagi atas
dirinya sendiri.

HEY ROSE | 457


IF I COULD SEE YOU AGAIN

Zemira membuka kedua mata perlahan. Meregangkan tubuh


seperti yang biasa dilakukan ketika bangun tidur. Menghirup
dalam-dalam udara segar, seperti tubuhnya terasa lebih baik.
Kedua tangan sibuk menyeka wajahnya berulang kali,
mengumpulkan kesadarannya. Ia masih terbaring menghadap
langit-langit. Kemudian Zemira mendudukkan dirinya. Merotasi-
kan bola matanya ke setiap sudut ruangan gelap.
Ada sesuatu yang tidak benar. Ia celingukan sembari memijat
kedua bahunya bergantian. Meringis kesakitan ketika tangannya
berusah bergerak sesuka hati.
Itu terasa salah....
Cahaya terang di suatu sudut menyita atensinya. Bola
matanya membulat ketika menangkap satu lilin menyala.
Zemira tersadar, ia berada di sebuah bangunan yang masih
tersimpan jelas segala kejadian yang pernah terjadi di sana.
Pandangan matanya yang semula kabur, kembali jelas dan terfokus
pada seseorang yang tengah berdiri di altar. Sosok itu memakai
pakaian serba putih dengan rambut tergurai panjang.
“S-siapa?”
Tak ada jawaban, ia masih sibuk menyalakan beberapa lilin
untuk menerangi ruangan.
“Gue mau hidup lagi.”
“Lo—”
“Semira.”
Sosoknya membalikkan tubuh. Zemira terkejut saat ia seperti
tengah berkaca melihat gadis yang berjalan mendekatinya itu. Hasil
jiplakan wajah yang 100% sama dengannya.
“Lo beneran kembaran gue?”
“Lo nggak inget?”
Zemira menggelengkan kepala.

HEY ROSE | 458


“Lo nggak inget gara-gara lo, nyawa gue direnggut.”
“Waktu itu gue cuma anak kecil yang nggak tau apa-apa, yang
ngelakuin hal yang gue sendiri nggak tau kenapa bisa.”
“Itu di luar kendali gue, tapi nggak ada yang percaya sama
gue—”
“Gue percaya sama lo,” ungkap Zemira.
Sosok yang mengaku sebagai saudara kembarnya itu
semakin mendekat hingga berjarak tiga langkah saja dari Zemira.
Sontak tangannya meraih leher Zemira membuat tubuhnya
terangkat.
“Lihat mata gue.”
Mata menghitam dengan sorot yang tajam dengan air bening
menggenang. Zemira tercekik. Tangan itu menusuk tajam lehernya.
“Gue nggak pernah minta dilahirin kayak gini, Ze.”
“Andai aja waktu itu lo nggak diem aja dan ngebela gue, gue
nggak bakal jadi kayak gini.”
“Waktu itu gue ngeliat lo, ngeliat masa depan lo yang bakal
ngehancurin gue dan gue cuma anak kecil yang nggak suka kalo
suatu saat lo ngerusak hidup gue, Ze.”
“Kematian gue bikin gue ngerti kalo gue emang harus
dimusnahin. Tapi pilihan buat ngebunuh gue itu salah, harusnya
gue disembuhin, harusnya gue masih bisa ngerasain hidup.”
Suaranya mulai menghilang dan hanya dengungan yang
terdengar di telinga Zemira. Pandangannya mulai kabur lagi karena
pasokan oksigen dalam tubuhnya menurun.
“Gue yang ngebuat lo sampai di alam yang nggak bisa lo raih.
Di sini.”
“Dan gue yang bakal gantiin jiwa lo.”
“Sampai kapan pun lo bakal terjebak di sini. Di waktu ini, di
dimensi cermin yang nggak lo sadari ini.”
Zemira berusaha melepaskan tangan Semira yang semakin
mengerat di lehernya. Tangan kanannya menepuk-nepuk cekikan
itu.

HEY ROSE | 459


“G-gue m-mau ngomo-ng s-sama lo uhuk uhuk,” ujarnya
dengan sisa tenaga yang ia punya.
“Hahhhh... uhuk... uhuk....”
Lehernya telah terbebas, gadis itu terbatuk-batuk sembari
mengelus lehernya. Menghirup dengan serakah seluruh oksigen,
menetralkan nafasnya. Tubuhnya sampai terjatuh bersimpuh di
depan saudara kembarnya. Ia menangis.
Tik tok tik tok....
Suara jam dinding terdengar lirih di telinga Zemira. Bisikan-
bisikan bahkan suara orang-orang yang tak asing itu selalu
terdengar. Tangannya yang gemetar terulur. Menggenggam lemah
tangan putih pucat dan dingin saudarinya.
“Jadi sejak kapan gue berada di sini?” tanya Zemira
meyakinkan.
“Sejak Tio ngasih cermin itu ke lo, sejak lo pulang dari Hutan
Pinus.”
Zemira mendengkus. “Selama itu? Dan apa yang gue jalani di
sini? Apa semua nyata?”
Semira menggeleng. “Nggak ada yang nyata. Yang nyata
hanya kilas balik pembunuhan massal, dan semua kejadian yang lo
alami timbul dari ketakutan yang lo rasain.”
“Randika....” Suaranya bergetar. “Mereka yang meninggal?”
“Masih hidup di dunia lo.”
Zemira menunduk dengan perasaan yang lega, yang ia
sendiri tak bisa mengungkapkan dengan kata-kata. “Suara yang gue
denger itu?”
“Itu suara mereka, suara mereka di dunia lo yang masih bisa
lo denger.”
Rasanya sakit sekali mengetahui fakta bahwa Zemira berada
sendiri di alam yang berbeda dengan orang terkasihnya. Hatinya
tersayat sebab selama ini yang ia alami adalah rasa takutnya
sendiri. Sesuatu yang tidak nyata.
“Mereka akan baik-baik aja kalo lo nggak berusaha lagi untuk
dapetin tubuh lo. Mereka semua. Gue mau hidup di dalam tubuh lo,

HEY ROSE | 460


cuma itu yang gue mau. Karena kita saling berhubungan darah,
cuma lo yang bisa bantu gue hidup lagi.”
“Lo bakal tau apa yang terjadi kalo lo maksain diri untuk
kembali.”
Sebuah ancaman dari Semira lagi-lagi membuat dirinya
takut.
Zemira mengangguk. “Gue nyerah....”
Seru gadis itu dengan tetesan bening berlinang. Ia
memutuskan untuk menyerah. Ia sudah berusaha melakukan
segala hal dalam perjalanan terakhir hidupnya. Bertahan dengan
sisa tenaga yang ia punya. Bukan hanya hati dan pikirannya yang
perlahan hancur, fisiknya juga. Ia tak mampu merasakan apa pun.
Mati rasa.
“Gue cuma minta satu permintaan terakhir, yang gue harap
bakal lo ijinin.”
“Apa?”
“...”
Keduanya saling menatap satu sama lain. Rupanya kala ia
bermimpi berada di sebuah ruang gelap dengan gadis yang
terbaring, itu adalah dirinya. Saat ia merasa lemah tak berdaya itu
karena jiwanya yang tengah berusaha dikembalikan dalam tubuh.
“We are going to die…. There is someone in here with us….”
“… Ze, sebelum terlambat, please kill the curse.”
“The curse of the sect.”
“Pecahin kacanya… karena kaca itu dia masih terhubung.”
“… cuma lo yang bisa….”
“Hidup untuk mati atau mati untuk dilahirkan kembali?”
“Hidup untuk mati.”
.......

“Kakak!!”
Di sebuah ruangan dengan tembok putih bersih tengah
terbaring sosok perempuan yang kurang lebih dua tahun tak
sadarkan diri. Kondisi tubuhnya cukup mengenaskan.

HEY ROSE | 461


Hampir setiap hari semua kerabat dekatnya menengok gadis
cantik itu. Mengobati lukanya, atau membantu jalannya exorcism.
Pun seseorang yang tak henti-hentinya merapalkan permintaan
maaf dengan jutaan butiran bening jatuh.
Malam ini semua berkumpul dalam satu ruangan. Mereka
akan melakukannya lagi. Sebuah usaha terakhir yang mungkin
akan mengakibatkan kerusakan lebih parah.
Namun sebelum itu berlangsung, tiba-tiba kedua mata gadis
itu terbuka tanpa aba-aba. Membuat semua orang di sana terlonjak
kaget. Seketika ia mendudukkan dirinya tanpa merasakan rasa
sakit akibat luka-luka di tubuhnya. Dengan pandangan tajamnya, ia
merotasikan bola mata memandangi satu per satu orang di sana
secara bergantian. Kemudian tersenyum pada satu orang yang
menyita lama atensinya. Seseorang yang masih ia kenali dan tak
akan pernah terlupakan—Paman Eron.
“Kak Ze....”
Seorang lelaki menghampirinya, meski lengannya berusaha
ditahan oleh Paman Eron, namun ia tetap melangkah mendekat.
Butiran bening di sudut matanya berlinang turun semakin deras
membuat pipinya membasah.
“Kak Ze....” Tak ada kalimat lain selain dirinya yang
mengelukan nama si sulung.
Randika memeluk pelan sang kakak. Tak terlalu erat karena
ia takut mengenai luka di tubuh gadis itu. Pelukannya terbalaskan.
Namun sontak Zemira memutar tubuh Randika sembari melilitkan
rantai di leher si bungsu.
“ZEMIRAA?!!!”
“Kak Ze?!”
Semua orang berteriak. Iren, Jendra, Maren, Jefri, Janu, Doni,
Tio, Deo, dan kedua orang tuanya tanpa terkecuali meneriaki
namanya.
“Dia bukan Zemira,” ujar Paman Eron sembari merapalkan
sesuatu setelahnya.

HEY ROSE | 462


Randika menahan kuat-kuat rantai yang melilit di lehernya.
Ia berusaha mengendurkan lilitan.
“Nak.... Tolong jangan lakuin itu.”
Tawa Zemira seketika merekah mendengar kalimat yang
terlontar dari seorang wanita yang melahirkan dirinya. Ia semakin
tertawa melihat Paman Eron yang berusaha merapalkan sesuatu.
Sama sekali tak berpengaruh pada dirinya. Terlebih rilekui yang
berada di tangannya.
Pelan-pelan sang ibu mendekati putrinya, namun semakin ia
mendekat, sang putri semakin membelenggu leher si bungsu.
Membuat teriakan mereka pecah.
“Bunda... ini aku si jahat.”
“Terima kasih karena Bunda percaya sama mitos si baik dan
si jahat.”
Beberapa orang memandang dengan penuh tanda tanya.
Kebingungan dengan maksud perkataan gadis itu, namun mereka
tak mengindahkannya. Mengabaikannya karena sibuk memikirkan
cara untuk menyelamatkan Randika.
Deo, Doni dan Jendra yang berdiri bersebelahan saling
menoleh dan memberi isyarat satu sama lain. Mereka bertiga
berjalan ke sisi yang berbeda.
“Jangan ada yang mendekat!” ucap Zemira sembari
mengeratkan lilitan.
Tak ingin menyia-nyiakan waktu, Deo dan Doni memegang
lengan Zemira, berusaha melawannya dan menyelamatkan nyawa
Randika. Dengan kekuatan yang Jendra miliki, ia berhasil
membebaskan temannya itu dari rantai yang membelenggu
lehernya.
Adik dari Zemira langsung didekap oleh sang bunda tercinta.
Dadanya masih sesak, pun terdapat bekas merah yang hampir
memutus lehernya.
“LEPASIN GUE LEPASIN!!!” Kini Zemira meronta-ronta
karena kedua rantai di tangannya ditarik kuat oleh Deo dan Doni.

HEY ROSE | 463


Tio melangkah mendekati kekasihnya, namun lebih dulu
tertahan oleh si bungsu. “Jangan deketin kakak gue,” desisnya. “Lo
mau nyelakain Kak Ze gimana lagi sih?!”
Lelaki itu tercekat dengan penuturan Randika. Kedua
matanya berkaca-kaca teringat kesalahan yang rupanya tak akan
bisa dimaafkan oleh siapa pun. Ia mendudukkan dirinya. Tangis
keduanya pecah.
“Gue tau nggak akan ada kata maaf buat gue, tapi biarin gue
nyamperin kakak lo, untuk yang terakhir kalinya. Gue nggak bakal
lagi ada di sini, nggak bakal nampakin diri di depan lo lagi.”
“Ya, Dik? Biarin gue ngomong sama dia,” pinta Tio dengan
matanya yang sudah membasah.
Perlahan Randika lepaskan genggamannya, membiarkan
lelaki itu untuk mendekati sang kakak. Mungkin jika Zemira tau
bagaimana sikap Randika terhadap kekasihnya selama ini, dapat
dipastikan ia akan memarahi si bungsu tanpa ampun.
Ketika Tio berjalan mendekat, gadis itu hanya tersenyum
tanpa berteriak dan meronta-ronta. Tubuhnya menjadi jinak
seketika. Ia menatap lamat kekasihnya. Ia terus menyalahkan
dirinya atas semua yang terjadi pada Zemira. Pertahanannya
runtuh, tubuh Tio merosot sembari tangannya memegang sisi
ranjang. Ia tak sanggup melihat luka-luka yang masih bersarang di
tubuh Zemira.
“Lo—kenapa lo keluar dari tubuh gue?”
“Kenapa lo nggak ambil gue?”
“Tolong, balikin Zemira....”
Gadis itu tertawa. “Lo cuma jadi perantara. Apa? Balikin? Ini
gue—Zemira.”
“Lo bukan Zemira.”
“I am.”
Keduanya saling melempar tatapan.
Bruakkk!
Paman Eron menerobos tubuh Tio hingga terpental. Dengan
kuat ia kembali tidurkan posisi Zemira. Merapalkan bacaan dengan

HEY ROSE | 464


mata tertutup. Gadis itu mengerang hingga tubuhnya mengejang.
Pun ototnya terlihat jelas di permukaan kulit.
“Devil please come with angel, come out!!” teriak Paman
sembari tangan kanannya berada di atas dada, tepat di jantungnya.
No no not again....
Rilekui yang Paman Eron genggam di tangan kirinya adalah
sebuah cermin.
“Zemira—” Deo menggeleng. Pandangannya bukan ke arah
gadis yang tengah mengerang itu. Melainkan ke sisi lain.
“Kak Ze, nggak... jangan....” Begitu pula Jendra.
“BUNDAA—ARGHHHH!!”
Tio meraih tangan gadis itu, menggenggamnya— setidaknya
untuk menguatkan tubuh itu. Zemira mencengkeramnya, hingga
kuku jarinya menggores kulit tangan Tio. Lelaki itu masih
menitikkan air mata sembari meringis kesakitan.
“Tolong bertahan, tolong,” lirih Tio.
Cermin itu melayang ke udara. Kemudian semua berteriak
histeris ketika Zemira kembali duduk dengan erangan dan leher
yang perlahan menekuk ke samping. Membuatnya hampir patah.
“NO NO ZEMIRA PLEASE.” Tangan Tio sontak menangkup
wajah kekasihnya, meluruskan kembali. Menahannya agar ia tak
membunuh dirinya sendiri.
Lepasin.
“Zemira lo harus hidup, lo udah janji sama gue,” ucap Deo
yang hampir tak terdengar. “Percaya sama gue, ini semua bakal
selesai lo cukup berta—”
KRAKKKK
“ZEMIRA!!!!”
“KAK ZEE?!!!”
“NOOOOO!!!”

.......
“Gue cuma minta satu permintaan terakhir, yang gue harap
bakal lo ijinin.”

HEY ROSE | 465


“Apa?”
“Gue mau lihat lo ada di tubuh gue.”
Dimensi cermin ya.
Zemira mengerti. Ia merasa sedang terjebak di dimensi
cermin saat ini atau bahkan sudah sangat lama namun ia tak
menyadarinya. Dimensi yang tak akan berpengaruh apa pun
dengan dunia nyata. Apa pun yang terjadi di dimensi cermin, semua
yang terjadi hanya berisikan ketakutannya sendiri.
Mari kita ingat kembali. Kala terakhir Zemira merasakan
tubuhnya hidup, dimana ia pergi bersama kekasihnya mengunjungi
Hutan Pinus. Terakhir kali ia berkaca di malam hari sebelum tidur,
dimana semuanya dimulai. Benar apa yang Zemira pikirkan setelah
Semira melontarkan 'dimensi cermin'. Kini ia melihat tubuhnya
sendiri terbaring dengan banyak luka yang ia sendiri tak tau
asalnya dari mana. Air mata Zemira tak bisa terbendung ketika satu
per satu bola matanya merotasikan diri melihat mereka semua
masih bernafas.
Hatinya terasa sesak saat Zemira tak bisa meraih tubuh
mereka meski berkali-kali ia coba. Hanya tubuhnya sendiri yang
dapat ia raih. Mereka tak bisa menyadari kehadiran gadis itu.
Kecuali tiga orang yang berdiri bersebelahan. Menatapnya dengan
tatapan yang tak dapat diartikan.
Zemira berjalan mendekati mereka. Menangis di hadapan
mereka bertiga. Jendra pun meloloskan titik bening di sudut
matanya.
Gue nggak papa.
Seseorang yang sudah dianggap sebagai adik kandungnya
sendiri itu semakin terisak. Jendra menahannya agar tak
mengeluarkan suara. Sakit rasanya.
“Lo nggak boleh nyerah,” lirih Deo. “Lo harus hidup, janji
sama gue.”
Zemira hanya bisa mengangguk tanpa tau apa yang akan
terjadi. Melihat ke arah saudara kembarnya yang kini tengah ada

HEY ROSE | 466


dalam tubuhnya, ada rasa iri dan cemburu karena saudarinya bisa
bertemu dengan mereka yang selama ini Zemira rindukan.
Bahkan ia bisa memeluk Randika—
NOOO!
Mata Zemira terbelalak saat dengan teganya Semira
membelenggu Randika dengan rantai. Juga ketika bunda akan
menghampirinya, Semira malah semakin mengeratkan lilitan itu.
Kalut. Zemira takut bila ia benar-benar harus kehilangan si
bungsu. Gadis itu membalikkan badan lagi, kemudian meminta
pertolongan Deo, Doni, juga Jendra untuk menyelamatkan Randika.
Tak ingin menyia-nyiakan waktu, Deo dan Doni memegang
lengan Zemira, berusaha melawannya dan menyelamatkan nyawa
Randika. Dengan kekuatan yang Jendra miliki, ia berhasil
membebaskan temannya itu dari rantai yang membelenggu
lehernya.
Adik dari Zemira langsung didekap oleh sang bunda tercinta.
Dadanya masih sesak, pun terdapat bekas merah yang hampir
memutus lehernya. Zemira mengarahkan tangannya ke udara
untuk menepuk pucuk kepala si bungsu meski hal yang dilakukan
itu sia-sia.
Kemudian hatinya terasa diremat saat Randika melarang
kekasihnya untuk mendekati tubuhnya. Kenyataan bahwa Randika
membenci Tio membuat Zemira semakin terisak. Ia yakin bahwa
Randika menyalahkan semua pada Tio. Gadis itu berjalan menuju
satu per satu orang yang ada di dalam ruangan. Menatapnya lamat
seolah mencurahkan rasa rindunya. Namun atensinya teralih pada
benda yang ada di tangan Paman Eron.
Cermin.
Paman Eron berusaha melumpuhkan Semira. Berusaha
mengeluarkannya dari tubuh Zemira, namun itu akan sia-sia.
Paman Eron akan memusnahkan jiwanya dan mengurungnya ke
dalam cermin. Tak akan berhasil bila suatu saat akan terjadi hal
seperti ini lagi.
Zemira tak tinggal diam dengan itu. Ia mendekati tubuhnya.

HEY ROSE | 467


“Devil please come with angel, come out!!” teriak Paman Eron
sembari tangan kanannya berada di atas dada, tepat di jantungnya.
Paman Eron mulai merapalkan bacaan yang penah Zemira lihat di
dimensi cermin.
No no not again....
Dengan cepat Zemira meraih tubuhnya sendiri.
“Zemira—” Deo menggeleng ke arah Zemira.
“Kak Ze, nggak... jangan....” Begitu pula Jendra.
Mereka berdua tau apa yang akan dilakukan gadis itu. Ia akan
membunuh tubuhnya sendiri, melenyapkan jiwa yang bersarang di
sana—juga dirinya.
Zemira mencoba mematahkan lehernya karena hanya
dengan cara itu yang ia bisa. Namun usahanya terhenti ketika
tangan Tio menangkup wajahnya. Sekian detik pertahanannya
runtuh.
Ia teringat pada satu kalimat bahwa hanya dirinya yang bisa
mengakhiri semuanya dan mungkin dengan cara ini. Dengan cara
melenyapkan kedua jiwa dan satu tubuh untuk benar-benar pergi
dari dunia.
Lepasin.
“Zemira lo harus hidup, lo udah janji sama gue,” ucap Deo
yang hampir tak terdengar.
Zemira menangis sejadi-jadinya. Kemudian tersenyum pahit
pada Deo, Jendra, juga Doni.
Thank you udah jaga gue. Tolong bilang ke Randika kalau Tio
nggak salah.
Bilang adik gue kalau gue seneng bisa lihat dia lagi.
Dan ...
Bilang sama Tio kalau gue mau dia ngelanjutin hidupnya.
“Percaya sama gue, ini semua bakal selesai lo cukup berta—”
KRAKKKK
Gadis itu mematahkan lehernya. Pilihan terbaik baginya. Ia
tak ingin jiwa saudarinya terjebak di dimensi cermin. Hidup di

HEY ROSE | 468


dimensi cermin dengan semua rasa takut yang dimiliki adalah
sebuah kutukan paling menyakitkan.
Zemira telah menyerah. Selama kurang lebih dua tahun ia
terjebak dalam dimensi yang berbeda, dengan segala kejadian yang
nyata bercampur dengan ketakutannya. Rasa takut kehilangan
orang-orang yang ia sayang, rasa takut dalam menghadapi tragedi,
juga memori singkat yang Semira ciptakan untuk saudara
kembarnya itu. Berkali-kali mencoba melukai dirinya dengan
cairan merah yang berkali-kali pula mengucur deras—tapi
mengapa Zemira tak juga kehilangan nyawanya? Ya, itu karena ia
terjebak di dimensi cermin.
Tentang Rose dan segala ceritanya, ia sudah lenyap
bertahun-tahun yang lalu. Rosie atau saudara kembar Zemira yang
bernama Semira itulah yang meneruskan segala dendam yang
masih belum terbalaskan.
Kejadian yang selama ini terjadi adalah bentuk dari rasa
takut Zemira, juga beberapa kejadian rekayasa ulang milik Semira.
Luka yang bersarang di tubuh Zemira adalah hasil percobaan
Semira untuk masuk dan menguasai tubuh itu. Namun tak pernah
berhasil jika si empunya terus melakukan penolakan.
Zemira menghela nafas. Suasana hatinya cukup senang. Ia
meraih cermin pemberian Tio. Cukup lama ia bercermin sambil
merekahkan senyumnya.
“Hey Rose!” sapanya.
She heard and saw.
“Hey Rose! Hehehe,” sapanya lagi.
Jendela kamarnya terbuka, tertiup angin. Lantas Zemira
beranjak dari kasur dengan cepat menutupnya. Dan kembali
merebahkan dirinya sembari berkaca lagi.
“Hey Rose!” Ia tersenyum senang. “Ih udah ah gue gila lama-
lama nurutin Tio.”
I'm here, I'm under your bed
I'll take care of you tonight

HEY ROSE | 469


Semburat cahaya mentari yang menyusup di celah jendela
kamar tak membuat gadis itu mengerjapkan mata. Ia hanya terus
menutup mata hingga Randika dengan segala usahanya
membangunkan Zemira.
Dengan cermin pemberian Tio yang berada di atas dada,
Zemira tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Randika panik setengah mati. Ia menghubungi siapa pun yang
bisa ia hubungi kala itu. Membawanya ke rumah sakit untuk
memeriksa apakah si sulung baik-baik saja atau tidak. Namun
dokter tak bisa mendeteksi apa penyakit yang diderita.
Deo yang pada dasarnya mengetahui hal yang belum terjadi
dan kejadian tumpang tindih, menyarankan Randika untuk pergi
menemui Doni dan Janu.
Paman Eron memberitahu semua kemungkinan yang sedang
terjadi pada Zemira. Mencari sebab-akibat untuk menemukan solusi
yang tepat. Ketika semua sudah jelas barulah Tio membagi kisah
pahitnya pada Randika. Membuat adik dari kekasihnya itu murka
bahkan tak segan-segan untuk memaki. Dari situ lah Paman Eron
kemudian membawa Zemira ke sebuah ruangan yang sampai detik
terakhir hidupnya ia masih berada di sana.

........

“ZEMIRA!!!!”
“KAK ZEE?!!!”
“NOOOOO!!!”
Brughhh
“Kak....” Randika menjatuhkan tubuhnya di samping ranjang
si sulung. Meremat kayu pinggiran dengan tangan yang lain meraih
tangan Zemira. “Kak… KAK ZE BANGUN NGGAK!”
“NGGAK USAH BERCANDA ATUH KAK!”
“LO MAU LILIT GUE? IYA? NIH NIH SOK LILIT LAGI!”
teriaknya sembari rantai tangan Zemira ia lilitkan di lehernya.

HEY ROSE | 470


“Dik, Randika ...” Tio menepuk bahunya yang langsung
ditepis.
“KAK IH KALO MAU NINGGALIN GUE MAH YANG KEREN
DIKIT. KALO GINI NGGAK ADA KEREN-KERENNYA....”
“Kak Ze ih.”
“Kak, gue kan belum pamer ke lo kalo gue diterima di kampus
yang gue pengen.”
“Bangun dulu ih Dika mau bilang kalo gue udah nggak takut
sama hantu tau Kak.... Kak Deo yang bantu gue.”
“Gue belum bilang kalo gue kangen banget sama Kak Ze....”
“Kak gue pengen ngerusuhin lo goreng nugget malem-
malem.”
“Randika sayang Kak Ze....”
Tak sanggup mengatakan apa pun lagi, Randika kembali
terisak. Tangisnya pecah. Bersamaan dengan itu Jendra
mendekatinya. Ia mengatakan bahwa Zemira berada di ruangan ini
tadi sebelum ia benar-benar menghilang. Jendra menyampaikan
pesan yang disampaikan oleh si sulung.
Kalimat yang disampaikan Zemira membuat Randika
menabrakkan dirinya pada tubuh Tio. Merengkuh lelaki yang akan
selalu ia anggap sebagai abangnya sendiri. Lelaki yang selama dua
tahun ini pun tersiksa dan menyalahkan dirinya sendiri. Tio
mengusap punggung hangat Randika. Merapalkan kata maaf untuk
yang kesekian kalinya. Mereka berdua sama-sama terluka. Semua
orang di ruangan pun merasakan hal yang sama.
“Kak, kata Kak Ze, dia mau lo ngelanjutin hidup lo,” ujar
Jendra.
Lelaki itu tersenyum dengan Randika yang masih ada di
pelukannya. “Mana bisa gue ngelanjutin hidup gue?”
........

“Cerminnya cantik, aku suka.”

THE END

HEY ROSE | 471


TENTANG PENULIS

Bita (@tsabitx) anak perempuan pertama dari dua


bersaudara yang lahir di Malang, 12 November 1998 memulai
debut menulis sejak tahun 2013. Menyalurkan ide dengan
mengikuti lomba menulis cerpen kala duduk di bangku SMP,
yang diselenggarakan pada bulan bahasa tingkat kota. Juara
harapan II yang dapat dibanggakan pada masanya.

Tak hanya gemar menulis dan membaca tulisan fiksi, Bita juga
menyukai film bergenre action, horror. Kopi dan K-POP
adalah dua hal yang mampu membuat Bita semakin betah di
dalam rumah.

Hey Rose ini adalah buku fisik pertama yang ia terbitkan.

HEY ROSE | 472

Anda mungkin juga menyukai