A Horror Story by
Tsabitx
Tsabitx
ISBN : 978-623-5904-08-5
Penerbit :
CV. DUA DELAPAN SEPTEMBER
Jakarta, Indonesia
duadelapansept@gmail.com
Penulis : Tsabitx
Editor : Larasati
Tata Letak : Oktavia
Sampul : Arakim design
Penyelaras Akhir : Omijaa
HEY ROSE | 1
“Ulah lo ini Dika, please deh sadar diri.” Sahut Zemira.
“Malem-malem minta temenin goreng nuget, ujung-ujungnya gue
yang gorengin. Mana ngajak ribut mulu ih!”
“Ya kan Dika laper? Salah kalo Dika laper?” Sulut Dika yang
selalu tak ingin kalah.
Tio masih mendengarkan perdebatan mereka, tertawa kecil
lantas angkat bicara. “Dua-duanya salah. Zemira salah karena
masak sambil ngeladenin Adiknya ngajak ribut, Randika juga salah
karena gangguin Kakaknya lagi masak. Udah kalo gini adil, kan?”
Randika berdecak. Ia tak menyalahkan atau membenarkan
apa yang dikatakan Tio. Sungguh ia sebenarnya tak setuju karena
Tio tak mau berpihak pada salah satu dari mereka. Hanya saja ia
bersyukur lelaki yang sudah ia anggap seperti kakak sendiri itu
datang tepat waktu, dan selalu ada di saat apa pun. Seseorang yang
selalu bisa Randika andalkan.
Bukan tanpa sebab pula Tio datang ke rumah mereka.
Sebelum mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya di
waktu yang larut ini, ia mengajak Zemira juga Randika duduk
santai di ruang tengah. Tenang, perut Randika yang keroncongan
sudah terisi dengan baik.
Memulai obrolan dengan melempar tanya bagaimana hari-
hari yang mereka jalani, mendengar cerita tentang Randika yang
hari ini mendapat hukuman berdiri di depan kelas karena tak
sengaja tertidur selama pelajaran biologi, dan masih banyak lagi.
Saat kalimat dan penjelasan sudah Tio susun dengan rapi di
dalam benaknya, ia mulai mengubah topik pembicaraan mereka.
Melirik gadisnya hingga keduanya bertemu pandang, seolah
memberi isyarat, Zemira yang sudah lebih dulu tau tentang hal
yang akan Tio sampaikan itu lantas beranjak pergi menyisahkan si
bungsu dan Tio di ruang tengah.
Tio membutuhkan ruang bicara empat mata dengan
Randika untuk membicarakan hal yang seharusnya tidak
mendadak seperti ini.
HEY ROSE | 2
“Dika, gue mau ngomong serius deh.” Ucap Tio menatap
Randika yang rupanya lebih dulu memberikan seluruh atensi
padanya. Lelaki dengan piyama coklat bermotif beruang itu hanya
mengangguk sebagai jawaban.
“Tapi emang dari tadi kita ngobrolnya nggak serius, Kak?
Aya naon?” tanya Randika merotasikan bola matanya melihat pintu
kamar Zemira baru saja tertutup. “Nggak ngobrol sama Kak Ze
juga?”
Tio menggeleng. “Sama Zemira udah, sama lo nih yang
belum.”
Randika mengernyit keheranan. Memang hal apa yang akan
Tio bicarakan? Pikirannya mendadak menjelajah ke sana ke mari
dan menerka-nerka sesuatu yang akan terjadi. Bila sudah serius
seperti ini pasti akan ada hal yang mengejutkan dirinya nanti.
Beberapa kali ponsel Randika berbunyi pun tak ia hiraukan.
Randika sedikit mencondongkan badan, menumpunya dengan
kedua siku tangan yang menempel pada lutut, jemari tangannya
saling mengait.
“Gue dapet beasiswa Leeds International Summer di Inggris.”
“Sebenernya berita ini udah lama, cuma gue baru bilang ke lo
sekarang. Zemira udah tau, makanya dia ngebiarin gue ngobrol
berdua sama lo.”
Pernyataan Tio itu sontak membuat Randika membungkam.
Mematung dengan wajah datar tanpa ekspresi. Bahkan penjelasan
yang Tio sampaikan setelahnya mungkin hanya ia dengar dengan
terpaksa. Atensinya masih berpusat pada Tio hingga lelaki itu
menyelesaikan obrolan meski fokusnya tak lagi ada.
“Dua minggu lagi gue berangkat, gue pengen banyak ngabisin
waktu main sama lo, sama Zemira juga.”
“Lo mau main ke mana? Ayo kita pergi ke sana. Banyak
tempat yang belum pernah gue datengin juga. Kita pergi bertiga.”
Imbuh Tio tanpa mengendurkan atensinya pula.
Dengan cepat Randika menggeleng. “Gue nggak mau ke
mana-mana.” Tukasnya. “Udah malem, Kak, besok gue harus
HEY ROSE | 3
sekolah. Gue tinggal nggak papa? Gue mau tidur.” Balasnya
menghentikan obrolan sepihak. Bukan ia tak ingin menghabiskan
dua minggunya bersama Tio dan Kakaknya, hanya saja ini terlalu
mendadak baginya.
Berita yang cukup membuat Randika terhenyak hingga
membuat mood-nya turun mendadak. Ia bahkan belum siap atas
jauhnya jarak Jakarta dengan Inggris.
Tio tak mencoba menahan Randika kala lelaki itu beranjak
dari duduknya dan berjalan menuju ruang kamarnya. Melihat
kepergian si bungsu membuat Tio ingat dengan perkataan Zemira
bahwa saat Randika marah atau kecewa dengan seseorang, lelaki
berumur 17 tahun itu akan memberikan silent treatment pada
lawannya. Menghela nafas, Tio membuka ponselnya dan
mengetikkan sesuatu di sana.
Randika hilang dari pandangan, suara pintu tertutup telah
terdengar, disusul suara decitan pintu dari ruangan lain. Kepala
Zemira mengintip keluar, memperhatikan Tio yang duduk sendiri
di ruang tengah. Lelaki itu menoleh dan melambai, menepuk kursi
kosong di sebelahnya, memberi titah Zemira untuk duduk
menemaninya.
“Gimana?” bisik Zemira seraya berjalan menghampiri Tio.
“Seperti yang kamu bilang.” Tersenyum kecut karena merasa
gagal atas perbincangannya dengan Randika.
Zemira mengusap punggung Tio, menenangkan. Ia tidak
pernah mengira jika Randika dan Tio memiliki ikatan yang
mungkin lebih dari seorang teman, sahabat, atau yang lainnya.
Mereka berdua sangat dekat hingga mampu membuat si bungsu
menyayangkan perginya Tio nanti.
“Randika beneran ngambek sih sama aku,” ujar Tio. “Bakal
mau diajak main nggak ya? Besok dia masih marah nggak kira-kira,
Ze?”
Zemira tertawa. “Harusnya yang kamu khawatirin aku,
sebagai pacar kamu yang nggak bisa jauh-jauh dari kamu! Apa-
HEY ROSE | 4
apaan malah khawatirin Adik aku?” protes Zemira setengah
bercanda.
“Nanti aku bisa bujuk Randika, tenang aja dia udah anggep
kamu Abang sendiri, nggak mungkin marahnya bakal selama itu.
Nanti aku tanyain deh berapa lama dia mau marah sama kamu.”
Ucap Zemira.
Tio mendengkus merasa dirinya mendapat sindiran. “Kamu
nggak lagi nyindir aku kan, Ze?”
“Nah itu tau haha, lagian marah kok dijadwal berapa lama
bakal marah.”
Keduanya saling melempar tawa, sesaat melupakan bahwa
waktu dua minggu sangatlah singkat untuk menghabiskan waktu
bersama. Dalam keadaan bahagia, semua akan terasa begitu cepat
hingga rasanya waktu sedang berusaha berlari mengejar.
HEY ROSE | 5
Tio menggeleng. “Kamu tadi ngaca di spion mobil bukannya?
Kaca yang bulet itu?”
Zemira mengangguk, masih berusaha mencari barangkali
terselip di antara buku-buku yang ia bawa.
“Padahal udah aku suruh buang aja, itu bahaya kaca tanpa
frame bisa goresin tangan kamu, Zemira.”
“Better than aku bawa cermin dinding.” Zemira memutar
bola matanya.
“Udah jangan kebanyakan ngaca, kamu cantik, nggak pernah
jelek juga.” Tio mengusak rambut Zemira, membuat gadis itu
mendengkus kesal karena anak-anak rambutnya jatuh menutupi
sebagian wajahnya.
HEY ROSE | 6
“Tio, lo butuh mantel nggak? Gue ada kalo lo mau pinjem, gue
pinjemin.” Ujar Jefri menutup satu koper yang sudah penuh.
“Nggak usah gue bisa beli di sana. Lagian gue bentar doang
anjir! Kagak yang mau selamanya di Inggris.” Tukas Tio.
“Apa gue bilang Jef? Ngga usah perhatiin ini anak. Nggak
bakal digubris juga kecuali lo adalah Zemira.” Sahut Doni. “Udah nih
kelar, by the way gue besok nggak bisa anter lo ke bandara, ada
kelas.”
“Lo udah bilang ke gue tiga kali ini, Don. Sekali lagi dapet
piring cantik.”
Jefri dan Tio tertawa.
“Zemira doang yang dateng ke bandara udah cukup, Tio
nggak ngarepin lo juga.” ujar Jefri yang ia tujukan pada Doni.
Pernyataan Jefri membuat Tio mendengkus. Itu tidak benar,
dirinya juga ingin teman-teman yang lain bisa datang ke bandara
untuk mengantar kepergiannya, karena akan meredakan perasaan
buruk yang Tio miliki.
Tio membaringkan diri di atas kasur setelah selesai
mengemas barang dan mengantar Doni ke bawah untuk pulang. Ia
kembali menghubungi Randika yang rupanya sudah mulai surut
amarahnya, terbukti bahwa Randika sudah mau membalas
pesannya dan berjanji untuk ikut bersama Zemira esok hari.
Tio semakin lega.
HEY ROSE | 7
Zemira Avyanna, gadis yang setiap kali bertemu dengan
cermin dapat dipastikan akan menoleh atau berhenti
menyempatkan diri untuk melihat pantulan dirinya. Lagi pula,
cermin memang sangat akrab pada kehidupan, kan? Manusia tak
akan pergi keluar tanpa memandang diri mereka di cermin.
Bukankah salah satu alasan kita harus bercermin adalah untuk
memastikan diri kita baik sebelum pergi dari rumah? Begitu
prinsip gadis bernama Zemira—ia harus selalu terlihat rapi.
“Gue ke rumah Jendra aja deh, Kak. Dika nggak ikut aja ke
bandara.”
“Lo beneran nggak mau ketemu Tio? Jangan gitu ah, gue
ceweknya aja nggak ada ngambek kayak lo gini. Katanya kemaren
mau ikut?”
“Ish, ya Kak Ze nggak tau aja.” Randika melengos,
membalikkan badan mungilnya kemudian pergi.
Ya. Zemira memang tidak mengetahui bagaimana perasaan
sedih si bungsu kala ia jauh dari satu-satunya lelaki yang berperan
penting dalam hari-harinya.
Zemira berdecak melihat kelakuan adiknya yang masih labil
itu. Ia berjalan di belakang Randika, sesekali tertawa dan
menggeleng-gelengkan kepala karena si bungsu berjalan dengan
menghentak-hentakkan kakinya seolah menunjukkan bahwa
dirinya benar-benar kesal.
Rupanya taksi online yang mereka pesan pun sudah berada
di pelataran rumah. Kakak beradik itu langsung memasuki mobil
dan duduk berdampingan di bangku penumpang. Dalam perjalan
menuju bandara, tak ada sepatah kata yang mengudara, mereka
saling diam seperti tak memiliki hal untuk bahan obrolan, juga
tengah hanyut dengan alam pikir masing-masing.
Sepertinya, pergi ke bandara untuk mengantar kepergian Tio
adalah ide yang buruk. Kini perasaan Zemira yang naik turun,
melihat Tio berdiri dengan koper dan tas ransel, juga senyum yang
tak pernah surut membuatnya menghela nafas berat. Rasa sedih
HEY ROSE | 8
kembali menyelimuti dirinya. Rasa rindu mendadak muncul begitu
saja.
Bertemu tatap dari jauh, lelaki dengan kaos dan outer hitam
melambai pada dua orang yang tengah berjalan menujunya. Ia
terus memperhatikan keduanya hingga jarak terpangkas.
“Jangan gini, mukanya jelek.” Ujar Tio dengan satu tangan ia
daratkan di pipi putih Zemira.
“Beneran LDR?” tanya Zemira meyakinkan.
“Ya terus kalo nggak LDR gimana dong?”
Zemira mendengkus sebagai jawaban.
Kini Tio beralih pada Randika yang bekali-kali tertangkap
merotasikan bola matanya, seolah tak ingin bertemu tatap dengan
Tio. Ia terus menghindar, bersikap acuh tak acuh meski Tio
berusaha mencuri sedikit atensinya. Sikap yang begitu
menggambarkan anak-anak sekali. Bukan anak berumur 17 tahun,
tetapi anak kecil yang merajuk ketika tak dibelikan mainan oleh
kedua orang tuanya. Begitulah Randika saat ini di mata Tio.
“Widihhh jagoan gue masih betah ngambek?” Tio seraya
mengacak rambut Randika. “Padahal udah dua minggu masih tahan
gini?”
Randika berdecak, menepis tangan Tio.
“Gue udah nyiapin ini nih biar lo nggak ngambek.” Tio
mengeluarkan amplop putih dari ranselnya. “Buat jajan atau beli
apa aja bebas, anggep ganti rugi waktu gue selama ada di sana.
Terima ya? Kalo nggak mau nerima, udah gue beneran sedih, jadi
ngerasa nggak tega mau pergi.” Tio setengah memohon agar
Randika mau menerimanya.
Sebenarnya Randika tidak mengharapkan diberi uang atau
semacamnya. Ada rasa senang dan bangga kala Tio menceritakan
tentang beasiswa yang didapat. Tentu saja Randika mendukung
apa keputusan Tio. Namun, di sisi lain, ada rasa sedih berpadu rasa
marah karena ia harus jauh dari Kakak keduanya itu, terlebih Tio
memberitahu berita itu terlalu mendadak. Terlebih ia sudah sangat
bergantung pada Tio.
HEY ROSE | 9
Randika mengangguk menerima pemberian Tio.
“Jaga diri baik-baik ya?” pinta Tio pada Zemira yang hanya
dijawab dengan wajah sedih dan anggukan lesu.
“Jangan cemberut gini dong. Kan bentar doang.”
Mungkin bagi Tio waktu satu hingga dua tahun adalah waktu
yang sebentar. Tapi, bagi Zemira, itu waktu yang cukup lama,
mengingat ia tidak bisa saling jauh dengan kekasihnya.
“Iya iya, kamu juga jaga diri baik-baik.” Jawab Zemira.
“Adiknya jangan ditakut-takutin mulu.” Pinta Tio lagi.
Memang tak salah jika Zemira menakut-nakuti Randika,
karena memang pada dasarnya sang adik adalah lelaki yang
penakut. Takut dengan sosok yang tak bisa ia lihat. Randika
menjadi lebih penakut karena ulah Jendra, teman dekat Randika
yang selalu mendeskripsikan teman tak terlihatnya itu.
“Sumpah Kak, gue nggak bisa apa ikut Kak Tio aja?” kini
Randika angkat bicara. “Pasti sepi banget deh kagak ada yang
mabar sama gue, nggak ada yang bantuin Dika ngerjain tugas.”
“Hello? Gue juga sering kali bantuin lo ngerjain tugas!” protes
Zemira tak terima.
“Ya tapi Kak Ze nggak bisa sesabar Kak Tio!” decak Randika.
“Dikit-dikit marah kalo gue salah ngerjain, orang namanya minta
bantu ngerjain tugas tuh harusnya diajarin bukan dimarahin kitu.”
Tawa renyah Tio seketika merekah melihat kedua
kesayangannya saling mengolok di hadapannya. “Ya udah ayo ikut
gue biar Kakak lo sendirian di rumah. Tega?”
Randika tampak berfikir sembari melihat ke arah kakaknya
yang tengah menampakkan wajah memelas. “Nggak deh, Kak. Even
tho Kak Ze nyebelin, nggak sabaran, tapi gue nggak tega ninggalin
dia kalo mukanya kayak—akhhhh!”
Zemira seketika melingkarkan lengannya pada leher
Randika, membuatnya berhenti bicara. Gadis itu tau jika kalimat
yang akan si bungsu layangkan selanjutnya adalah kalimat ejekan.
“Eh tuh temen-temen kamu udah dateng!” Tunjuk Zemira.
“Buru sana check in.”
HEY ROSE | 10
Gadis itu benar. Maren, Dhirgam, dan Wira sudah melambai-
lambaikan tangannya tak sabar dari pintu masuk. Mereka
bertigalah yang akan berangkat bersama Tio. Teman yang akan
sama-sama berjuang. Tio mengangguk pada tiga temannya, lantas
tangannya bersiap untuk menarik koper. Pandangannya jatuh lagi
pada Zemira dan Randika. Ia tersenyum menatap mereka berdua
bergantian.
“I will see you at this place.” Pamitnya.
Entah mengapa kalimat Tio terdengar sangat menyesakkan.
Tak lupa lelaki itu mengusap pucuk kepala Zemira, juga menepuk
pelan bahu Randika.
Buru-buru ia menghampiri ketiga temannya. Tepat di depan
pintu keberangkatan, ia kembali membalikkan badannya dan
membuka mulutnya tanpa suara. Tangannya pun ia gerak-
gerakkan ke udara sebagai pendukung kalimat yang ia ucapkan.
Kalimat yang mengudara tanpa suara itu Zemira paham. Gadis itu
hanya mengangguk disertai senyum getir.
“Jangan kebanyakan ngaca, kamu selalu cantik.” Kalimat Tio
yang mengudara—mungkin dari tadi ia menyadari kekasihnya
selalu mengangkat ponsel hanya untuk merapikan beberapa anak
rambut yang jatuh.
Setelah mengungkapkan kalimat itu, senyum kepergian Tio
merekah lagi. Ia akan selalu mengingat kalimat kekasihnya. Yang
bukan sekali atau dua kali lelaki itu ucapkan, tetapi setiap kali
dirinya bercermin. Air mata Zemira berada di pelupuk mata,
berusaha ia tahan mati-matian dengan masih berada di posisinya
dalam waktu yang cukup lama. Entah mengapa ia menjadi sangat
takut. Bermacam-macam perasaan bercampur aduk jadi satu.
“Tio, I don’t know what I’m afraid of, to see you again or to
never see you again.”
HEY ROSE | 11
THE GIFT
HEY ROSE | 12
Ketiganya menoleh ke arah sumber suara, Zemira tengah
berdiri dengan beberapa buku di dekapannya. Mereka hanya
menghela nafas, menampakkan wajah seolah tak terkejut dengan
kedatangan Zemira tiba-tiba.
“Udah belum ngomongin guenya?” Zemira mengulang
pertanyaannya.
“Sini-sini beb lo duduk dulu mending.” Jihan menepuk tempat
di sebelahnya, menarik lengan Zemira hingga ia terduduk. “Orang
ngomongin di depan lo juga nih.”
Zemira mengangguk. Melepas totebag yang ia pakai dan
meletakkan barang bawaan di pangkuannya.
“Anyways Ren, ngapain lo bilang Tio aneh parah? Eta yang
bener cakep parah.” Protes Zemira.
“Hadeh serius deh Ze, lo harus tau ini. Kemarin waktu kita ke
bandara bertiga, nemenin lo sampai bener-bener ketemu Tio, dia
tuh kayak natap gue tajem gitu.” Jelas Iren. “Maksud gue aneh
ngeliatin guenya. Cara dia natap tuh serem, Ze.” Imbuhnya. “Tapi,
gue nggak tau ya ini perasaan gue doang atau enggak kalo dia tuh
sedikit ... berubah?”
“Ah kalo gitu bener. Then I feel you, lo nggak sendiri. Gue pun
tiba-tiba takut buat ngeliat mata Tio.” Lyra tak mau kalah untuk
menjelaskan betapa takutnya ia ketika bertemu tatap dengan
kekasih temannya.
Zemira tertawa renyah mendengar cerita dari kedua
temannya. Berbeda dengan Jihan yang hanya mengernyit dan
berusaha mencerna semua yang pernyataan mereka. Tak setuju
dengan apa yang Lyra dan Iren katakan, Zemira menjelaskan
mengapa mereka berdua merasa seperti itu.
“Kalian berdua tuh ngapain takut? Kan emang matanya Tio
tajem gitu, biasa aja mah gue ngelihatnya. Absolutely nothing has
changed. Cuma tambah cakep aja.”
“Ya tetep aja gue takut mau lo bilang mata Tio emang gitu
atau enggak.” Lyra melengos
HEY ROSE | 13
“Udah-udah itu cuma perasaan kalian doang nggak perlu
dipikirin. By the way, gue mau nunjukin sesuatu ke kalian.”
Wajah Zemira berubah cerah. Ia merogoh totebag, berusaha
meraih sesuatu di dalam sana. Kemudian netra hitamnya menyorot
pada satu per satu temannya. Seperti tengah menyalurkan rasa
bahagianya.
“Tio ngasih sesuatu ke gue, cantik banget demi dah! Kata dia
sih ini hadiah ulang tahun gue.” Ucap Zemira penuh semangat.
“Taraaaa!!!” Gadis itu mengeluarkan hadiah pemberian dari
kekasihnya. Ketiga temannya tampak bingung dengan benda yang
saat ini Zemira pegang.
“Anjir cermin?” Iren sudah tak kuasa menahan gelitikan di
perutnya. Ia tertawa. “Gue udah mikir bakal dikasih baju, tas, atau
apa gitu yang—something special lah wujudnya. Dia kasih cermin?
Cindera mata dari Inggris? Beneran kasih kado lo cermin begini?”
tunjuknya.
Zemira mengangguk. “Dia ngasih ini karena tau kalo gue suka
ngaca kali ya?”
Sebuah cermin genggam dengan frame hitam motif mawar.
Benda refleksi yang Tio beri kepada kekasihnya. Zemira sangat
senang menerima apa pun pemberian Tio, bahkan tak merasa ada
sesuatu yang mengganjal atau aneh bila seseorang memberinya
cermin karena dirinya pun membutuhkan benda itu. Mengingat
cermin bulat tanpa frame yang selalu ia bawa itu hilang entah ke
mana.
Beberapa menit mereka asik dengan aktivitas masing-
masing setelah melempar ejekan dan menertawakan Zemira.
Seketika Lyra menyadari hal lain yang tiba-tiba terlintas di
benaknya.
“Tio balik ke Indo sendirian? Cowok kiciw gue kok nggak
keliatan balik juga?” ujar Lyra setengah melamun. Lelaki yang ia
maksud adalah Maren. “Dia berangkat sama Tio, kan? Tio, Maren,
Dhirgam, Wira? Bener nggak sih?”
“Baliknya beda-beda kali,” Jihan berasumsi.
HEY ROSE | 14
“Tuh kan gue bilang apa? Aneh udah kepulangan cowok lo itu,
Ze. Semuanya dah kata gue nggak cuma pandangan cowok lo, tapi
situasinya mendukung buat—“
“Mendukung buat berasumsi yang enggak-enggak?
Mendukung buat ngelancarin pikiran buruk lo? Iya?” sela Zemira
sekaligus membungkam pernyataan dari Iren. “Udahlah nggak
perlu ikut pusing, mereka lagi belajar juga kan di sana? Ya kalau
emang waktunya balik, mereka bakal balik, iya nggak sih?”
Jihan dan Lyra menganggukkan kepala seolah mereka setuju
dengan pernyataan Zemira. Berbeda dengan Iren yang masih
bertarung dengan pikirannya sendiri. Ia yakin bahwa dirinya lebih
benar dari pada Zemira. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal
sejak tatapnya bertemu dengan Tio kala itu, tapi Iren menahan diri
untuk berargumentasi lagi, ia hanya diam dan mengalah.
Menghindari adu argumen yang akan semakin sengit nantinya.
HEY ROSE | 15
hubungan jarak jauhnya. Dan sudah dapat dipastikan bila Randika
tak akan mau ditinggal sendirian di rumah. Terlebih pada malam
hari, karena si bungsu adalah seorang yang penakut.
“Randikaaaaa.” Seru Zemira. “Dek, dengerin gue dulu deh.”
Si bungsu mendongak, melepas satu kabel earphone yang
terpasang di telinganya. “Hah? Paan? Mau kasih duit?”
“Duit meleeeee.”
“Ya apa kalo nggak mau kasih duit, Kak? Cepet ngomong.”
“Lo jaga rumah ya? Gue mau jalan sama Tio. Please please kali
ini gue mau jalan berdua tanpa lo gitu, ya ya?” wajah Zemira
memelas, sembari menggoyang-goyangkan lengan Randika yang
raut wajahnya sudah terlipat.
“KENAPA NGGAK BILANG DARI TADI SIH?! Tau gitu Mbak
jangan boleh pulang dulu biar gue ada temennya di rumah!”
Randika meledakkan kekesalannya dengan kakak yang masih
cengengesan di sampingnya.
“Itu.... temen-temen lo ajakin ke sini aja nggak apa-apa. Hehe.
Ya?” rayu Zemira lagi.
“Mana mau temen-temen Dika dadakan suruh ke sini. Kakak
mah tidak berakhlak mulia sekali! Jinjja jinjja wanjeon geuleuh!
Bilang selalu ngedadak kayak gini tuh ahhhh au ahhhh!”
Randika mendengkus kesal, karena pasalnya hari mulai sore
dan ia tak yakin bila teman-temannya mau untuk pergi ke
rumahnya. Terlebih langitnya tampak mendung, gelap, seperti
akan datangnya hujan. Ia melengos, beranjak dari sofa lantas
memasang earphone-nya lagi.
“Iya udahlah kagak apa-apa, sono.” Usir Randika sembari
tangannya mengibas sebelum ia pergi ke kamarnya.
“Temen-temen lo suruh ke sini aja.” Pinta Zemira. Randika
hanya mengangkat ibu jarinya kemudian menutup pintu kamar.
Zemira sudah siap sejak tadi, namun ketika membaca pesan
yang dikirim oleh Tio ia mengernyit heran. Kekasihnya itu
mendadak meminta agar dirinya memakai pakaian bernuansa
hitam agar serasi dengan dirinya, alibinya. Padahal ia sudah rapi
HEY ROSE | 16
dengan dress cantik berwarna beige dengan rambut terurai. Mau
tak mau ia menuruti permintaan dari Tio.
Tak menunggu waktu lama, terdengar deru mobil memasuki
pelataran rumah. Zemira sangat hafal dengan suara yang
dihasilkan. Ia bergegas keluar sembari menyambar sling bag
kemudian pergi ke arah kamar Randika.
“Dekkk, gue berangkat ya!!” serunya dari luar kamar tanpa
membuka pintu ruangan.
Randika berdehem di tempatnya, meski begitu Zemira
mendengar responnya. Ia berjalan mengintip dari jendela kamar,
terlihat sang kakak berlarian kecil ke arah Tio yang tengah berdiri
bersandar di pintu mobil. Kedua manusia yang tampak bahagia.
Tak sadar senyum simpul tercetak di bibir Randika sebab Tio
memperlakukan Zemira sebaik itu.
Tio membukakan pintu mobil dengan satu tangannya
melindungi kepala Zemira agar tak terbentur dengan langit mobil.
Sungguh pemandangan yang membuat si bungsu merasa tak akan
khawatir dengan apa pun. Hatinya ikut menghangat. Lantas
Randika tak sengaja bertemu tatap dengan Tio kala asik melihat
mereka berdua. Lelaki itu melambai dan tersenyum ke arahnya.
Pun Randika yang mengantarkan keduanya dengan lambaian
tangan pula.
Mobil sudah keluar dari pelataran rumah, Randika kembali
menghempaskan tubuhnya di kasur empuk. Membuka sebuah
group chat yang namanya baru saja Jendra ganti menjadi ‘ghost
hunter genk’ yang entah apa alasannya ia merubah nama grup
tersebut.
Randika meminta mereka untuk pergi ke rumahnya untuk
mengusir rasa sepi yang tengah menyelimuti. Paling tidak
mengobrol melalui telepon atau video call jika memang mereka tak
bisa untuk menemaninya di rumah. Randika tak akan memaksa
mereka. Sialnya permintaan Randika malah membuat seluruh
penghuni grup saling melempar olokan untuknya.
“Hhh... lo udah biasa Dik, sabar... sabar....”
HEY ROSE | 17
Perihal rasa takutnya, Randika semakin terbiasa akan olokan
yang selalu mereka lontarkan. Meski begitu, kala Randika memulai
video call bersama teman-temannya, mereka tetap melancarkan
aksi olok mengolok sampai temannya satu ini memuncakkan
amarah. Ya memang itu tujuan Naja, Cakra, Aji dan Haikal.
“Halo woy ngapa lo Dik? Takut ye?” suara tawa Haikal di
seberang sana sesaat setelah panggilan video ia terima.
“Ututu bocil jaga rumah.” Sahut Cakra tak mau kalah.
“Lagian tumben amat kagak diajak sama Kak Ze?” itu Aji
sembari menyuap nasi.
Randika menghela nafas. “Nggak tauan katanya pengen main
berdua tuh sama Kak Tio.”
Beberapa temannya manggut-manggut mendengar jawaban
dari Randika, sedang dirinya kini membersihkan kamar yang sudah
sedikit kotor akibat terpaan angin melewati jendela kamar yang
membawa banyak debu masuk. Mereka mengobrol dengan asik,
kecuali Jendra yang dari tadi memperhatikan temannya yang sibuk
bersih-bersih.
“Randika.”
“Oet?” Randika mendekatkan dirinya ke layar ponsel ketika
Jendra memanggilnya, yang lain pun ikut diam seketika. Namun,
Jendra tak kunjung berkata apa-apa membuat mereka bertanya-
tanya.
“Gue ke rumah lo sekarang.” Tegas Jendra seraya mematikan
sesi video callnya.
HEY ROSE | 18
pikirannya yang mampu menjelajah isi dunia. Tentang rasa
parnonya dengan sisi ruang gelap rumahnya.
Duduk di teras dengan gigi yang sibuk mengikis kuku jari,
perasaan was-was dan rasa takut tak hentinya menyelimuti.
Jantungnya pun berdegup kencang melampaui batas normal. Sejak
Jendra menyadari ada sesuatu yang mengganjal tadi, lelaki itu
langsung mengakhiri video call dan langsung pergi ke rumah
Randika tanpa menyampaikan apa pun, meski saat ini butiran air
dari langit turun membasahi. Lagi pula, jarak rumah mereka tak
terlalu jauh.
“Please please Jendra cepet ke sini please.” Suara Randika
mulai bergetar. Matanya pun mulai membasah oleh butiran air
mata. Mungkin beberapa saat lagi ia akan menangis jika Jendra tak
kunjung datang.
Randika benar-benar menyapu teras rumahnya dengan kaki
telanjang yang berjalan mondar-mandir hingga nampak dua
sepeda gunung memasuki pelataran rumahnya. Mampu
menghilangkan rasa takut yang masih ia pikul.
Jendra dan Naja, langsung memarkirkan roda dua milik
mereka di sembarang tempat. Mereka berdua sama-sama terlihat
panik, tak jauh berbeda dengan Randika yang masih dengan raut
wajah ketakutan.
“Dika!! Weh lo kagak ngapa-ngapa?” tanya Naja yang masih
memakai jas hujan. Sengaja belum dilepas karena ia harus
berteduh dulu untuk melepas jas hujannya.
Randika mengangguk meski tak mengerti mengapa Naja
melempar kalimat tanya seperti itu. Lantas mereka bertiga buru-
buru memasuki rumah. Keduanya mengeringkan rambut yang
lepek akibat air hujan, kala sang empunya rumah membawakan
dua buah handuk.
Mendudukkan diri di ruang tamu, sembari menunggu ketiga
temannya yang lain datang.
HEY ROSE | 19
“Aneh banget lagian, kayak orang baru.” Ujar Jendra santai.
“Kak Ze lagi ke mana sih? Tumben lo nggak diajak? Belum pulang
sampai sekarang?”
“Keluar sama kak Tio kan tadi gue bilang.” Randika
mendengkus kesal.
“Ya maksud gue tujuan mereka ke mana? Padahal rumah lo
rame tuh tapi, masih aja lo ngerasa sendiri? Ngerasa kesepian?”
celetuk Jendra.
“Heh si borokokok! Gue nyuruh lo ke sini buat nemenin gue!
Bukan malah nakutin!” Randika tersulut emosi.
“Haha iya iya. Ya udah cemilannya dong?” Jendra tertawa
hingga matanya berbentuk bulan sabit.
“Ambil aja di dapur.” Titah Randika.
Jendra mengangguk lantas beranjak ke arah dapur, sesekali
ia mengarahkan pandangnya ke kanan dan kiri, seperti tengah
menyapa seluruh penghuni rumah—yang tak bisa dilihat oleh
panca indera manusia normal maksudnya. Keistimewaan yang
dimiliki, membuat Jendra bisa melihat hingga berteman dengan
mereka.
Namun, kala langkahnya melewati ruang kamar Zemira yang
pintunya sengaja tak ditutup, manik hitam Jendra menangkap
seorang wanita tengah duduk di ujung ranjang menghadap jendela,
dengan cermin berada dalam genggamnya. Sosok yang berani
menampakkan dirinya di kamar Randika tadi, saat panggilan video
masih terhubung.
Wanita itu tampak sangat cantik dari belakang. Memakai
dress hitam bercorak mawar bak tuan putri. Dengan keberanian
yang Jendra punya, berhasil membawa langkahnya untuk melihat
sosok itu lebih dekat. Kala Jendra mencoba melangkah untuk
memangkas jarak mereka, wanita itu melangkah pula. Sontak
Jendra menahan diri, menghentikan langkahnya dan mencoba
berjalan mundur selangkah demi selangkah, dan apa yang terjadi?
Wanita itu pun mengikuti ritme langkah Jendra.
HEY ROSE | 20
Jendra kembali di tempat ia pertama kali berdiri tadi, sosok
itu pun kembali duduk di ujung ranjang di mana titik awal ia duduk.
Aneh, pikir Jendra.
Hanya helaan nafas yang Jendra keluarkan, ia merasa bahwa
sosok wanita itu tak ingin diganggu, padahal ia ingin memastikan
apakah penghuni baru itu sosok yang baik atau tidak. Atau adakah
motif lain di balik kedatangannya itu?
Tak ambil pusing, Jendra berniat beranjak dari sana untuk
segera mengambil makanan di dapur, namun pada saat bersamaan
ia membalikkan tubunya, sosok wanita itu sudah berdiri tepat di
hadapannya.
“AAAAAAAAAAAAA!!” Jendra berteriak hingga dirinya
tersentak jatuh.
Sebelum Jendra terbangun dan pergi, ia bertemu tatap
seperkian detik dengan sosok yang kemudian pergi dari
hadapannya dan menghilang ke ruang kamar Zemira. Lelaki itu
masih sempat memandang punggung kepergiannya sebelum
akhirnya Jendra buru-buru memenuhi tujuan awal untuk
mengambil beberapa snack di dapur.
Kembali dari dapur, Jendra melihat kedua temannya terlihat
biasa saja. Padahal ia merasa bahwa suara teriakannya cukup
menggelegar melengking di telinga, namun mengapa Naja dan
Randika sama sekali tak terusik? Bahkan tak ada sedikit pun
mereka menunjukkan raut wajah khawatir.
“Muka lo kenapa gitu?” tanya Randika heran, saat Jendra
datang menjajarinya.
Jendra mengangguk seakan paham. Mereka berdua mungkin
memang tak mendengar suara yang ia hasilkan tadi atau
sebenarnya bukan panca indera mereka yang tak menangkap bias
suara Jendra, melainkan ia yang memberi sebuah tabir kala Jendra
mulai mencoba memangkas jaraknya tadi.
Meski hati ingin mengatakan yang sebenarnya tentang apa
yang Jendra lihat dan apa yang tengah terjadi di belakang, ia tetap
menjaga rasa takut dari sahabatnya itu. Jendra sudah menerka jika
HEY ROSE | 21
ia mengatakan dengan sejujurnya, Randika akan semakin
ketakutan dan bahkan tak ingin tinggal di rumah ini lagi.
“Lo kenapa sih, Jen?” desak Randika. “Muka lo pucet asli dah.”
“Kalian berdua dari tadi diem di sini, kan?”
“Ya menurut penglihatan lo gimana?” sahut Naja sembari
menyibakkan rambutnya.
Jendra mengangguk. “Ngomong-ngomong gue mau nunggu
sampe Kak Ze balik. Kalo lo gimana Na?” seraya menghempaskan
diri bersandar pada sofa ruang tengah, ia mengatur nafasnya. “Kalo
lo mau balik barengan anak-anak bae entar.”
“Ngikut lo dah palingan anak-anak juga pada ngikut lo, Jen.”
Randika sontak bertepuk tangan sembari menyunggingkan
senyumnya. Tak dapat dipungkiri bila ia sangat senang jika teman-
temannya akan menemani dirinya hingga si sulung pulang. Lantas
tanpa disuruh, Randika mengeluarkan stick playstation miliknya
untuk mengajak Naja bermain bersama.
Berbeda dengan Naja dan Randika yang tengah sibuk
memilih game apa yang akan mereka mainkan, Jendra justru masih
memusatkan atensinya pada pintu ruang kamar Zemira yang masih
terbuka itu. Ia memicingkan mata dan tanpa diduga, sosok wanita
itu menampakkan dirinya lagi, keluar dari sana seperti merasa
terpanggil. Tak menampakkan sepenuhnya, hanya sebagian tubuh
dan wajahnya saja. Mata hitam legam yang tajam dengan senyum
mengerikan.
Jendra bertemu tatap dengannya lagi.
Hutan pinus.
Sebuah objek wisata yang terletak di salah satu lereng
gunung, memang didominasi pohon pinus yang berjejer rapi.
Cukup cantik di malam hari, karena banyak lampu gantung
berwarna warm white yang sengaja dipasang sebagai pemanis dan
HEY ROSE | 22
penerang. Cahayanya yang remang memberi kesan hangat meski
udara terasa dingin akibat sisa-sisa hujan.
“Tio, demi apa pun besok-besok aku nggak mau diajak ke sini
malem-malem. Ngide banget lagian jam segini ke hutan pinus?”
protesnya sembari melingkarkan tangannya pada lengan Tio.
“Kenapa sih? Kan rame juga,” jawab Tio tanpa dosa.
Itu tidak benar. Menurut sudut pandang Zemira, tempat ini
sepi karena sebelumnya sempat terguyur hujan dan bisa dibilang
tak banyak pengunjung di malam hari. Hanya ada beberapa orang
yang tengah duduk bersantai di bawah pepohonan. Padahal
biasanya banyak wiasatawan yang menggunakan tempat ini untuk
berkemah sebab suasananya yang rindang. Sebenarnya Zemira pun
menyukai tempat ini, hanya saja waktu yang tidak tepat
membuatnya bergidik ngeri.
Tio mengajak Zemira ke sebuah warung kecil yang hanya
menyediakan kopi dan minuman hangat. Mereka berdua
menyeduh kopi sembari bertukar cerita satu sama lain.
“Oh iya waktu kamu pulang kok aku nggak ngelihat Maren,
Dhirgam, sama Wira ya? Apa mereka beda pesawat?” tanya Zemira
mendadak ingat. “Tapi, di kampus juga nggak kelihatan—“
“Mereka nerusin kuliah di sana.” Sela Tio.
“Oh gitu? Kenapa tiba-tiba?”
“Hmmm iya gitu, bukan urusan aku juga.”
Zemira hanya mengangguk tak ingin penjelasan lebih lanjut
karena ia pikir itu bukan ranahnya bertanya sampai sana. Di bawah
cahaya meremang, ia memperhatikan wajah kekasihnya lamat-
lamat. Kedua matanya memicing kala menangkap ada sesuatu di
dekat mata Tio.
“I-ini ... sejak kapan kamu—“
Seketika Tio menepis tangan Zemira yang hampir
menyentuh wajahnya hingga gadis itu terkejut.
“Habis kebentur, jangan pikirin, Ze.” Alibinya.
Ada sebuah bekas luka di dekat mata kanan Tio.
Menimbulkan rasa khawatir karena dapat dipastikan luka yang
HEY ROSE | 23
dihasilkan cukup parah dan sedalam itu hingga mampu memberi
scars yang mungkin akan tinggal dalam waktu yang cukup lama.
Atau bahkan bekas luka itu tak akan pernah bisa hilang.
“Kok bisa? Udah diobatin, kan? Ini bekas luka apa? Gimana
bisa kebentur? Kebentur apa? Lukanya dalem banget ini pasti.”
Jejeran pertanyaan dari Zemira tak ada satu pun yang
terjawab, padahal biasanya Tio akan menjawab satu persatu
kalimat tanya yang mengudara. Tapi, entah mengapa kini lelaki itu
memilih untuk tak berucap, hanya diam tanpa ekspresi sedikit pun.
Tanpa aba-aba sontak Tio menarik tubuh Zemira.
Direngkuhnya tubuh mungil gadisnya, membuat lawannya
terhenyak. “I miss you so badly.” Bisik Tio.
Zemira tersenyum sembari meletakkan dagunya pada bahu
Tio, berusaha menyamankan posisinya kala jemari lelakinya
mengusap lembut punggungnya.
“Ze, gimana cermin yang aku kasih? Cantik nggak? Kamu
suka?” Tio menjauhkan tubuhnya untuk memandang Zemira lagi.
“Hmm... cantik, aku suka. Makasih ya!” serunya dengan
senyum mengembang.
“Rose.”
Zemira mengernyit bingung.
“Cerminnya aku kasih nama Rose, kalo kamu lagi ngaca, coba
sambil disapa gitu.” Tangannya sembari merapikan anak rambut
Zemira yang berterbangan tertiup angin. “You are going to be
prettier.”
Zemira tertawa karena ucapan Tio. “Ngaco banget? You are
flirting with me, huh? Jadi itu dinamain Rose karena motifnya
mawar gitu ya?”
Tio hanya tersenyum tipis namun tatapannya kian menajam,
Zemira dapat merasakan perbedaannya. Seketika teringat dengan
apa yang Iren katakan mengenai kekasihnya. Ditatap cukup lama
oleh Tio membuatnya merasa tak nyaman—itu terlihat seperti
tatapan memangsa. Dengan cepat Zemira memalingkan
pandangannya.
HEY ROSE | 24
Hutan pinus semakin gelap seiring berjalannya waktu. Suara
binatang malam pun mulai terdengar. Tanpa sadar, kini hanya
mereka berdua saja pengunjung yang masih berada di tempat.
Zemira merogoh ponselnya, seketika terkejut karena waktu yang
bergerak begitu cepat.
“Tio udah malem, balik yuk?” Zemira beranjak dan menarik
lengan Tio, tetapi lelaki itu hanya mendongakkan kepala mengikuti
arah pandang Zemira tanpa mengatakan apa pun.
“Ih ayo! Randika kasihan di rumah.” Tambah Zemira yang
membuat Tio menggeleng kepala cepat seperti sedang
menyadarkan diri dari lamunannya.
“Iya ayo.” Jawabnya setuju.
Beberapa kali Zemira terjingkat karena suara nyaring yang
datang tiba-tiba. Sampai ia mengeratkan diri pada lengan Tio.
Anehnya, lelaki itu tak berusaha menenangkan atau membuat
gadisnya merasa tenang dan terjaga, pun membuat rasa takut
Zemira surut.
Tio kelewat tenang, tak banyak bicara, namun banyak
melamun dengan tatapan kosong seperti tak ada nyawa yang
bersarang dalam tubuhnya. Di dalam mobil pun meski Zemira
sering melempar pandang untuk mengajaknya bicara, Tio tak
memiliki ketertarikan untuk berbincang. Ia hanya menyanggupi
obrolan gadisnya dengan anggukan dan gelengan sebagai jawaban.
Juga raut wajah yang telah kehilangan senyumnya.
Banyak sesuatu yang hilang dalam diri Tio. Ia takut untuk
membenarkan perkataan Iren dan Lyra, pun ia takut untuk
berasumsi yang tidak-tidak. Karena baginya, Tio tetaplah sebuah
rumah yang akan tetap berdiri kokoh meski hujan badai menerpa.
Sampai di rumah, Zemira langsung masuk ke dalam kamar
dan merebahkan dirinya. Di luar cukup berantakan, enam bocah
laki-laki tertidur di sembarang tempat memenuhi ruang tengah.
Siapa lagi kalau bukan Randika dan teman-temannya. Mereka
tampak sangat pulas sampai tak terusik sama sekali saat Zemira
memanggil mereka beberapa kali, guna membangunkan agar
HEY ROSE | 25
setidaknya mereka berpindah tempat untuk tidur di kamar
Randika—di tempat yang lebih layak untuk mengistirahatkan diri,
dari pada tercecer di ruang tengah.
Zemira menghela nafas. Suasana hatinya cukup senang
karena akhirnya ia bisa menikmati waktu berdua lagi dengan Tio
setelah sekian lama. Hal yang paling ia tunggu-tunggu, melepas
segala rindu yang menyesakkan. Ia sudah membenarkan apa yang
Iren katakan bahwa kekasihnya itu berubah. Namun, Zemira belum
sepenuhnya menyadari perubahan dalam hal apa saja dan dari segi
mana.
Ia meraih cermin pemberian Tio. Cukup lama ia pandang
dirinya pada benda refleksi itu sambil merekahkan senyumnya.
Mengingat nama yang Tio berikan untuk cermin itu, Zemira merasa
geli untuk sekedar menyapanya. Tapi tetap saja ia lakukan.
“Hey Rose!” sapanya.
She heard and saw.
“Hey Rose! Hehe.” Sapanya lagi dengan gelak tawa.
Jendela kamarnya terbuka seketika kala angin
membenturkan diri cukup kencang. Ia terkejut lantas beranjak dari
tempat tidur dan dengan cepat menutup ruang ventilasinya agar
angin malam tak banyak masuk ke dalam ruangan.
Kembali merebahkan diri, Zemira bercermin lagi.
Mengangkat cerminnya dengan tidur terlentang. Cermin yang pas
digenggamannya.
“Hey Rose!” Tersenyum senang seraya kedua kaki
menggebuki kasur empunya. “Ih udah ah gue gila lama-lama
nurutin Tio.”
Kini ia meletakkan cermin di atas nakas, kemudian
mempersiapkan diri untuk pergi menjelajah mimpi. Berharap ia
mendapatkan mimpi yang indah karena suasana hatinya sedang
berbunga-bunga.
Zemira terlentang menatap langit-langit kamar sembari
menarik selimut hingga menutupi dadanya. Ia menghela nafas
panjang, kedua matanya sayup-sayup hampir menutup. Bayangan
HEY ROSE | 26
akan canda tawanya bersama Randika, teman-temannya, juga
senyum Tio beberapa tahun yang lalu terputar mengiringi
tidurnya. Mengantarkan dirinya ke alam bawah sadarnya. Sebuah
mimpi atau alam lain yang ia hadapi.
I’m here, I’m under your bed. I will take care of you tonight—
and forever.
HEY ROSE | 27
THE BEGINNING
HEY ROSE | 28
Usai mandi dan merias diri, seperti biasa ia mengantar si
bungsu sebelum ia pergi ke kampus. Dengan motor matic hitam
dan helm abunya, Zemira mengendarai dengan cukup hati-hati.
Angin semilir sengaja membenturkan diri pada wajah
Randika yang tak tertutupi kaca helm, membuatnya terantuk-
antuk. Matanya sayup-sayup menutup hingga beberapa kali
helmnya terbentur dengan helm Zemira.
“Dek, yang bener lo ah jatuh entar!” Zemira sembari
menepuk lutut kiri Randika. “Ayo bangun nggak ini udah nyampe
di sekolah.”
Randika menegakkan tubuhnya sembari mengumpulkan
nyawanya kembali. Beberapa meter lagi sebelum sampai di
gerbang sekolah ia harus sepenuhnya sadar.
Kala motor yang Zemira kendarai berhenti, dengan langkah
yang berat Randika turun dari motor, memberikan helmnya pada
si sulung, lantas berpamitan dan berjalan memunggungi Zemira. Ia
mengusap wajahnya kasar, melewati teman-teman OSIS Jendra
yang ia kenal dan tak lupa menyapa mereka.
Zemira masih memperhatikan Randika dari belakang hingga
punggungnya mengecil dan menghilang. Gadis itu tersenyum
kemudian menyalakan kembali motornya dan pergi.
HEY ROSE | 29
mereka. Padahal ia sedang menunggu Jendra yang masih berada di
toilet sebab panggilan alam juga perlu segera dituntaskan.
“Lega gueeee.” Seru Jendra keluar dari kamar mandi
mengusap-usap perutnya. “Ayo dah ke perpus, jangan loyo gitu
ngapa sobat!” coleknya.
“Yeee gue gebuk juga lo! Gue loyo gara-gara nungguin lo
boker lama banget dah.”
“Ya lo kayak nggak tau orang boker gimana?” Jendra tertawa.
Berjalan menyamakan langkahnya dengan Randika. Ia menyapa
beberapa orang yang mereka kenal kala berjalan di koridor
sekolah.
Perpustakaan yang tampak lengang membuat Jendra dan
Randika dengan cepat menemukan keberadaan teman-temannya.
Mereka berdua baru saja duduk bersandar pada dinding dan
langsung menyambar pembagian tugas kelompok mereka.
“Gue, Naja, sama Aji nyari ini deh di situsnya. Lo, Randika,
sama Haikal yang bikin powerpoint, ngetik-ngetik dah lo sono.”
Titah Cakra seraya meraih laptopnya. Yang lain mengangguk setuju
tanpa ada yang keberatan.
“Lagian ini tugas teraneh kata gue.” Dengkus Haikal.
“Ya, kan? Sejarah Indonesia tapi tugasnya suruh nyari kabar
orang hilang lah enih kagak ada korelasinya pak! Dikata kita
detektif apa?” keluh Randika.
“Kagak usah pelajarannya, gurunya aja udah aneh.” Opini Aji
tak mau kalah.
“Lo pada nggak usah banyak ngomel udah nggak ngebantu
sama sekali. Ini situs cari orang hilang apa namanya? Gue kagak
tau.” Naja yang sudah berkutik dengan laptop.
“Mau pake situsnya UK nggak? Missingpeople gitu deh.” Sahut
Randika. “Soalnya ini situs sering banget muncul di fyp tiktok gue.”
Haikal mengernyit. “Apaan missing people? Cari orang hilang
atuh bukan merindukan seseorang gimana dah lo?!” ia menuding
Randika yang hanya dibalas jitakan pada dahi Haikal.
“Tendang aja lah ini bocah dari kelompok.” Cakra mulai kesal.
HEY ROSE | 30
“Lo ini manusia apa bintang kecil sih, Kal?”
“Ngapa lo jadi ngalusin gue Ji?”
“Lo tololnya jauh tinggi menghias angkasa sih.” Jawaban Aji
membuat mereka tertawa.
“Gini nih dikata gue tolol? Nih denger ye. Miss artinya apa?
Rindu, kan? Gue salahnya di mana?” protes Haikal.
“Kagak tauuuu udeh karburator supra mah diem aja paling
bener.” Cakra mulai meninggikan suara. “Sumpah gue lagi nggak
mau rusuh sama lo, Kal.”
“Nih iqro’ milea! Apaan nih missing people artinya?!” saking
gemasnya Aji membuka translate hanya untuk membuktikan
betapa rendahnya IQ Haikal. Lawannya hanya cengengesan kala
membaca layar ponsel Aji yang menunjukkan arti dari kata yang
jadi bahan ributnya.
Naja memijat pelipis melihat mereka yang malah membahas
sesuatu tak penting. Jika mereka tidak bisa diam, bisa-bisa guru
penjaga bisa menegur saking berisiknya dan mengusir mereka dari
sana. Gagal menuntaskan tugas—berakhir dengan nilai kosong.
Sungguh Naja tak ingin ada remidial dikemudian hari karena nilai
tugasnya yang kurang.
Beruntungnya mereka bisa segera menepis situasi gaduh
untuk kembali fokus mengerjakan tugas.
Cakra, Naja, dan Aji yang tengah menggulir situs seketika
berhenti pada berita utama yang masih hangat. Mereka bertiga
saling melempar tatap seperti sama-sama mengoneksikan diri,
kemudian berganti menatap Randika yang sibuk menahan tawa
perkara cerita Haikal dan Jendra—hh masih saja Haikal.
“Guys, I think I found something.” Ucap Cakra mengalihkan
atensi Randika.
“Ya jangan bilang lo nemu kabar orang hilang? Gue gebuk lo!”
jawab Randika yang emosian itu.
Naja berdesis. “Dik, lo pernah cerita tentang pacar Kak Ze
saha eta namanya?” sembari berusaha mengingat.
“Kak Tio? Kenapa deh?”
HEY ROSE | 31
“Yang dapet beasiswa di UK bukan?” sahut Cakra menambahi
kalimat tanya Naja.
Randika mengangguk. “Iya, kenapa sih? Ngomong jangan
setengah-setengah deh.”
Kemudian Naja menggeser laptopnya. Menunjukkan apa
yang telah mereka temukan. Haikal dan Jendra merapatkan duduk,
mendekatkan diri untuk melihat dengan jelas apa yang nampak di
layar.
Inisial nama dari empat orang mahasiswa asal Indonesia
yang hilang.
Demi Tuhan Randika tau keempat inisial itu. Ia menggeleng
tak percaya.
“Kak Tio sama tiga temennya kan kata lo waktu itu? Ini bener
mereka bukan? Tapi, dia udah balik? Kak Tio kan udah balik kemari
juga,” ujar Haikal yang sedikit melirik Randika. Temannya itu masih
terpaku pada layar laptop.
“T? W? M? D? Tio, Wira, Maren, Dhirgam.” Randika mengeja
lirih. “Kenapa ini inisial bisa pas sama nama mereka?”
Mereka hanya saling melempar pandang. Berbeda dengan
Jendra yang mengarahkan pandangnya pada Randika dari samping,
penuh dengan sesuatu yang harusnya ia katakan. Namun,
mengingat asumsinya tak bisa ia benarkan sepenuhnya, ia
menangguhkan sesuatu yang akan ia katakan.
“Jen?”
Yang dipanggil terkejut. “Hah? Apa Dik? Nggak usah dipikir.”
“Bener ini?” tanya Randika.
“Gue nggak yakin. Masih fifty fifty.”
Randika tersenyum kecut. “Salah info kali situsnya ya? Orang
jelas-jelas Kak Tio udah balik kemari dikira hilang. Haha. Nggak
masuk akal sumpah.”
“Lebih baik tanya Kakak lo deh, Kak Tio pernah hilang atau
gimana. Ya bisa aja sih ini situs belum diperbarui gitu.” Saran Aji.
Mereka sedikit setuju dengan Aji, yang mana sebuah situs
pasti ada keterlambatan untuk memperbarui berita-berita yang
HEY ROSE | 32
masuk. Tapi, tidak seharusnya kan situs seperti ini sampai belum
memperbarui berita?
“Dik, gue mau main ke rumah lo lagi boleh? Mau mastiin
sesuatu. I find a lot of strange things, lo tau kan makhluk yang nggak
bisa kita lihat sama kayak manusia. Ada dua jenis, ada yang baik
dan sebaliknya.”
Randika hanya manggut-manggut. Pikirannya masih
bercabang ke mana-mana. Tentang apa yang baru saja ia dan
teman-temannya temukan, juga Jendra yang menemukan sesuatu
aneh di rumah yang ia huni. Jika otak dapat berbicara, ia mungkin
akan meronta—belum lagi tugas sejarah hari ini yang harus segera
dituntaskan.
HEY ROSE | 33
Hingga petang tiba, Randika yang baru saja keluar dari kamar
menemukan Zemira tengah bergegas pergi. “Kak Ze mau ke mana
deh malem-malem begini?”
Zemira menoleh seraya memasukkan tangannya pada lengan
jaket. “Mau ke kosnya Tio. Bisa-bisanya dia nggak ngabarin gue dari
kemarin. Gue cari di kampus tadi juga nggak ada, ini lagi si Jefri
lagaknye kayak orang ilang.”
“Kak Tio sama Kak Jefri hilang?” tanya Randika sedikit
terkejut.
“Nggak gitu, Jefri terakhir chat gue lagi nyari Tio, sedangkan
Tio sendiri kagak lagi sama gue. Tau-tau Jefri offline waktu udah
ketemu sama yang dicari—eh malah berdua sekarang nggak ada
nongol di kampus.” Jelas Zemira.
“Kalo gitu Randika ikuttttt!!!” Serunya.
“Iya udah ayo cabut.” Jawab Zemira seraya berjalan keluar
rumah. “Gue tunggu di luar ya, Dek, jangan lama-lama.”
“Iya iya bentar, Kak, Randika mau ambil jaket dulu biar nggak
masuk angin.” Randika berlari ke kamar untuk mengambil
jaketnya, kemudian menyusul Zemira yang rupanya sudah berada
di atas motor untuk menyalakan mesinnya.
Selama hampir setengah jam perjalanan, Zemira dan Randika
berdiri di depan bangunan sederhana dengan dua lantai. Kos
tampak lebih sepi dan sunyi dari biasanya. Tak ada satu orang pun
yang keluar untuk membuka pintu kala berkali-kali bel berbunyi
nyaring. Dengan bel saja tidak ada penghuni kos yang keluar,
apalagi saat ini Zemira mencoba mengetuk pintunya dengan keras.
“Kak, udah sih yuk pulang, nggak ada orang juga emang
kayaknya lagi pada pulang kampung.” Rengek Randika yang tengah
duduk di kursi teras. “Kenapa ya gue merinding gini Kak lama-lama
di sini?”
Tapi, Zemira menolak ajakannya. Gadis itu tak bisa pulang
begitu saja sebelum bertemu dengan kekasihnya. Setidaknya ia tau
bahwa Tio baik-baik saja agar rasa khawatirnya mereda. Zemira
HEY ROSE | 34
mencoba menghubungi Tio lagi, namun tak ada balasan,
menghubungi Jefri pun sama saja.
Langit hitam pekat, tak mendung juga tak ada kabut yang
turun. Angin malam menusuk pori-pori kulit hingga Randika
mengusap-usap kasar lengan tangannya yang terbuka sebab ia
tanggalkan jaketnya. Ia bangun dari kursi, meregangkan tubuh,
merotasikan bola mata kesana kemari. Kala mata legamnya
berotasi ke arah bangunan, ia tak sengaja melihat jendela lantai
dua, ada sesuatu yang kontras—lampu yang tiba-tiba menyala lalu
padam setelahnya.
“Kakak!!” Randika berseru menunjuk ke arah jendela. “Itu
itu!!”
“Ngagetin gue aja lo. Kenapa? Ada apa?”
“Di antara dua jendela itu, kamar Kak Tio sebelah mana? Tadi
teh lampunya nyala terus mati gitu, Kak.” Jelas Randika.
Lantas Zemira mengarahkan telunjuknya pada jendela di
samping jendela ruang yang dimaksud Randika. “Yang itu.”
“Bukan yang itu?”
“Itu mah kamar Jefri. Gimana sih padahal lo pernah ke sini
tapi nggak inget?!”
“Ya lagian udah lama Kak ish,” dengkus Randika.
Mereka berdua saling bertukar tatap sebelum Zemira
mengomel dan mengeluarkan ponselnya lagi. Gadis itu mengernyit
tampak berpikir. Jika Jefri ada di kamar kosnya, mengapa lelaki itu
sama sekali tak bisa dihubungi? Pertanyaan tentang mengapa Jefri
juga tak membukakan pintu rumah kala seseorang dengan kasar
membunyikan bel berkali-kali, mengetuk pintu dengan keras
hingga tangan Zemira memerah.
“Kakkkkk!!!” Randika terjingkat, melingkarkan tangannya di
lengan Zemira.
“Apalagi sih, Dek?!” kesal Zemira karena dirinya ikut terkejut
sebab suara Randika mengusik keheningannya.
“Lo denger nggak barusan?” Randika sengaja memejamkan
matanya dengan masih memeluk satu lengan kakaknya. “Kak,
HEY ROSE | 35
sumpah horor banget ayo pulang aja mending. Ini gue udah
merinding sekujur tubuh tau nggak?!”
“Kak ... serius barusan gue denger kayak minta tolong gitu
deh. Di telinga gue, Kak. Ada yang ngebisikin gue.” Randika terus
merengek.
Zemira berdecak dan berusaha melepas tangan Randika
meski hasilnya nihil. Membuang nafas kasar setelahnya. “Dika
astaga please lepasin dulu deh ini. Ah lo! Tau gitu gue ke sini sendiri
aja!” Zemira benar-benar kesal sekarang.
Tak ada satu chat pun yang masuk. Baik dari Tio maupun
Jefri. Tak ada balasan dari mereka meski sudah mencoba
menghubungi lagi. Gadis itu mengeluarkan cermin pemberian Tio
yang selalu ia bawa ke mana saja. Memantulkan cahaya lampu teras
hingga sampai pada jendela kamar kekasihnya dengan maksud
memberi tanda bahwa ada seseorang tengah menunggunya di
bawah.
Nihil. Itu tak berhasil. Lantas diarahkannya cermin itu pada
jendela kamar Jefri. Belum sampai pantulan cahaya memantul ke
kaca jendelanya, suara khas seseorang yang ia kenal seketika
terdengar jelas di telinga Zemira. Membuatnya menjatuhkan
cermin yang ada di genggaman tangan.
Ze... tolong....
Randika yang masih memeluk lengan Zemira ikut terhenyak
kala mendengar suara benda jatuh membentur tanah. “Kak?”
“L-lo tadi bilang denger s-suara apa?” tanya Zemira dengan
terbata-bata.
“Kak ih kenapa?” rengek Randika.
“Denger suara apa gue tanya?!”
“Ada yang minta tolong.” Lirih Randika setengah ketakutan.
Zemira menatap adiknya, ia merasakan tangan Randika yang
sedikit bergetar dan kian mengerat karena ketakutan. Lantas ia
gandeng tangan si bungsu dan berjalan mendekat pintu utama.
“K-kak Ze mau ngapa—“
BRAKKK
HEY ROSE | 36
Suara pintu terbanting terdengar nyaring, entah memakai
kekuatan apa Zemira sampai ia bisa mendobrak dan membuka
paksa pintu bangunan itu. Dirinya tak peduli bila penghuni kos
akan marah padanya. Siapa suruh mereka tak membukakan pintu?
Pikirnya. Ini adalah kali pertama Zemira berbuat senekat ini.
“Tio?”
“Jefri?”
“Ini gue, Zemira. Sorry gue maksain diri buat masuk.”
Gadis itu memanggil Jefri juga Tio berulang kali tapi tak ada
yang merespon.
Lampu di dalam rumah sangat redup. Zemira tak ingat kapan
terakhir ia mengunjungi tempat ini karena semuanya cukup
berbeda dan tampak asing baginya. Mereka berdua naik ke lantai
dua. Hanya ada dua kamar saling berhadapan. Kamar Tio dan
kamar Jefri. Langkah mereka yang semakin dekat dengan kamar,
Zemira mencium aroma sesuatu yang aneh. Aroma yang tak asing
bagi siapa saja yang pernah menciumnya.
“Dika tutup hidung lo.” titah Zemira dan dengan cepat
dilaksanakan oleh adiknya.
Aromanya menguar semakin pekat saat jarak mereka yang
semakin terpangkas. Dupa dan bau anyir entah dari mana asalnya.
Ada sesuatu dari bau itu yang membuat Zemira mual. Jika dibilang
takut, saat ini ia sangat takut hingga ingin pingsan dan enyah saja
rasanya.
Sejak kapan dua orang yang ia kenal memberi aroma dupa di
ruang kamar mereka? Juga mengapa bau dupa bisa berpadu
dengan aroma anyir bak darah yang masih segar.
Setelah tepat berada di depan pintu kamar, baru Zemira
rasakan bahwa aroma dupa dan anyir berasal dari kamar Jefri.
“J-Jef? Lo ada di dalem?” bisik Zemira sesekali mengetuk
pintunya pelan.
Tak ada jawaban. Perasaan campur aduk dengan jantungnya
yang berdegup cukup kencang membuat tubuhnya bergetar hebat.
Ia tidak bisa berbohong dengan rasa khawatir yang kian memuncak
HEY ROSE | 37
karena aroma-aroma yang tengah ia hirup. Apakah Jefri ada di
dalam? Apakah ia baik-baik saja? Dengan berani, Zemira meraih
knop pintu kamar Jefri meski dirinya tak yakin antara iya dan tidak.
“Zemira?”
“AAAAAA!!” Zemira berjingkat kaget dan refleks menjerit. Ia
terkejut setengah mati karena tangannya tiba-tiba di tepis oleh
seseorang.
“AAAAAA KAK ZE APA KAK?!” Randika ikut berteriak tentu
saja dan hampir menangis menyembunyikan wajahnya di bahu
Zemira.
“Tio lo ngagetin!” dengkus gadis itu kesal.
Mendengar itu, Randika mengangkat wajahnya lantas
menghela nafas lega. Tangannya mengusap-usap dadanya,
berusaha mengembalikan ritme jantungnya agar kembali normal.
Dahinya sudah basah dengan titik-titik bening. Sembari mengusap
peluhnya, Randika menjajari Zemira, keluar dari balik tubuh
kakaknya.
“Ngapain di sini?” tanya Tio datar dengan wajah tanpa dosa.
“Nyariin lo an—“ hampir saja Zemira mengumpat.
“Kak Tio sumpah kos lo nyeremin, Kak!” dengkus Randika.
“Sini.” Tio langsung menggandeng tangan Zemira dan
Randika untuk masuk ke dalam kamarnya.
“Udah malem, kalian berdua tidur di sini aja. Besok subuh
aku anter.”
Tanpa basa-basi, Zemira meledakkan amarahnya. Rasanya
darah berdesir naik ke permukaan otak dan tengah mendidih. “Ke
mana aja sih?! Seharian ke mana aja? Nggak bisa dihubungi terus
nggak ketemu juga di kampus! Kamu ke mana? Nyamperin di kos
juga nggak dibuka-bukain pintunya, tau-tau ada di dalem!”
Tio menghela nafas. “Iya maaf,” jawabnya singkat. “Nih
cermin kamu.”
Tio memberikan cermin Zemira yang terjatuh di bawah tadi.
Gadis itu hanya mengernyitkan alisnya, kemudian ia berpikir. Ia
merasa bahwa menjatuhkan cerminnya di bawah dan tak sempat
HEY ROSE | 38
mengambil benda itu. Jika Tio sedari tadi berada di kamar,
bagaimana ia bisa mengambil barang yang ada di bawah? Kenapa
bisa? Kenapa juga ada bau dupa dan anyir di kamar Jefri?
Situasi tak masuk akal apa yang sedang ia hadapi kini?
Belum sempat Zemira bertanya, matanya tak lagi bisa
menahan rasa kantuk yang datang tiba-tiba. Ini aneh, gadis itu
sebenarnya sadar bila dirinya dalam keadaan tak ada rasa kantuk
saat pergi mengunjungi kekasihnya. Terlalu mendadak untuk
mencerna hal-hal yang masih mengganjal. Tapi, bagaimana lagi?
Baik Zemira atau Randika, keduanya kalah dengan rasa kantuk
yang menyerang.
Randika tengah terbaring di atas ranjang, sedang Zemira
masih berusaha menegakkan tubuhnya. Tio? hanya berdiri di
ambang pintu seperti menunggu mereka tertidur dan pergi ke
alam mimpi.
Gadis itu menguap beberapa kali. Ia rebahkan tubuhnya pula
saking lelahnya. Dan sebelum kelopak matanya terpejam, suara itu
datang lagi. Suara seseorang yang sedang memanggil namanya,
suara yang sangat ia kenali dan tak asing ditelinga.
Zemira....
Ayo bangun....
“Tio, aku baru saja tertidur tapi mengapa kamu menyuruhku
untuk segera bangun?”
HEY ROSE | 39
“Gitu ceunah. Dia lagi mau ke mana gitu ya gue lupa.” Jelas
Jihan. “Sebenernya gue ketemu Tio aja takut, serem pisan ih
matanya.”
“Lo sama Iren nggak ada bedanya ye? Serem dari mana gitu?”
Jihan berdecak. “Oh iya ada pesannya ini. Bunganya nggak
bisa layu ceunah.” Imbuhnya tanpa menjawab pertanyaan yang
Zemira lontarkan.
“Ada banget bunga nggak bisa layu?”
“Ya itu kata cowok lo yang tidak masuk akal itu. Gue rasa dia
langi ngalus deh?” ujar Jihan. “Udah-udah gue buru-buru juga ini
masih ada kelas.”
Jihan melambaikan tangan tepat setelah Zemira
menganggukkan kepala.
Sepeninggalan temannya, ia merenung menatap seikat bunga
mawar putih yang ada pada genggamnya kini. Membolak-balikkan
dan memutar bunga itu, menghirup aroma yang menguar, lantas
menjauhkan lagi makhluk hidup itu dari indera penciumannya.
Zemira merogoh ponsel di saku celana sembari berjalan di koridor.
Tio mengirim sebuah pesan, rupanya ia tengah memastikan
bahwa bunga yang ia beri telah sampai di tangan Zemira. Tanpa
menyia-nyiakan kesempatan, gadis itu langsung saja
menyambungkan panggilan. Ada hal yang ingin ia tanyakan.
“Halo? Kenapa Ze? Gimana bunganya suka?” ujar Tio di
seberang sana.
“Iya suka, kenapa tiba-tiba gitu?”
“Emang kenapa? Nggak boleh ya?” yang ditanya malah
melempar tanya.
Zemira tertawa. “Ya aneh aja kamu ngasih bunga di hari yang
bukan anniversary kita atau hari spesial yang lain. Tapi, iya aku
suka.” Ia mengangguk meski lawannya tak dapat melihatnya.
Terdengar Tio merekahkan tawanya. “Taruh di vas kamar
ya?”
HEY ROSE | 40
“Iya.” Jawab Zemira singkat. “Oh iya kamu tau Jefri nggak?
Aku nggak pernah ketemu di kampus, dia ada di kos? Jangan
cemburu ya, aku lagi tanya aja soalnya terakhir dia chat—“
“Dia pulang kampung.” Suara Tio menyela, intonasi pria itu
terdengar berubah. Zemira dapat merasakannya.
“Suddenly? Dia nggak papa tiba-tiba pulang? Kayak bukan
Jefri banget deh.”
“Udahlah Ze nggak perlu urusin hidup orang.”
Jika Tio sudah berkata seperti itu, Zemira dengan berat hati
menyudahi obrolan mereka dari pada terjadi adu argumen dan
pertengkaran lainnya. Ia tak ingin menyakiti hati kekasihnya
dengan membahas perihal hilangnya Jefri, mantan kekasihnya itu.
Zemira memutus sambungan saat Tio pamit untuk mengikuti kelas
lagi.
Huh....
HEY ROSE | 41
Zemira tak pernah merasa sekhawatir ini. Banyak hari ia
lewati dengan rasa khawatir yang berlebihan meski ia sudah
berusaha menenangkan diri. Aneh saja rasanya jika jauh dari si
bungsu. Ada rasa takut dan tak ingin kehilangan sang adik tercinta.
Perasaan yang datang tiba-tiba tanpa ada sebab dan alasan yang
pasti. Namun gadis itu berfikir bila apa yang ia rasakan adalah hal
yang wajar karena emosinya yang sedang tidak stabil.
Sembari menunggu Tio datang memulangkan Randika, ia
kembali pergi ke ruang kamarnya untuk sekedar merebahkan diri.
Menatap langit-langit kamar dan larut dalam lamunan.
Tak lama terdengar suara seperti ketukan pintu yang ia
yakini berasal dari ruang kamarnya karena suara itu terdengar
jelas dan cukup keras. Ia bangun dari tidurnya, telinganya mencoba
fokus untuk menangkap bias suara itu namun sia-sia, ia tak dapat
mendengarnya lagi. Suara ketukan menghilang.
Gadis itu memutuskan untuk beranjak dan berjalan
mendekati jendela kamar. Ditatapnya jalanan sepi depan
rumahnya itu. Tak ada kendaraan yang lewat meski lampu jalan di
kompleksnya menyala dengan sangat terang. Pandangannya masih
berpendar keluar sana dan hanyut dalam lamunannya lagi.
Semakin ia larut dalam lamunan, semakin dirinya merasa seperti
tengah dikerumuni banyak orang. Tubuhnya mulai terasa gerah
dan sesak akan perasaannya sendiri.
Zemira lantas membuka kaca jendela kamar.
Suara angin berdesir lirih masuk melalui gendang telinganya.
Namun, bukan hanya suara segerombol angin saja, ada bias suara
lain menyerupai sebuah bisikan yang membuatnya terjingkat dan
sontak berjalan mundur menjauh dari daun jendela. Manik
hitamnya membulat, ia masih menatap jendela yang tengah
terbuka dengan gorden menari-nari akibat terpaan angin.
“S-siapa?” lirih Zemira.
Kedua mata Zemira masih terus terpusat pada luar jendela
dan sekelilingnya. Tiupan angin mulai berangsur reda terbukti
dengan gorden yang lelah akan tariannya.
HEY ROSE | 42
Zemira menelan ludah kasar ketika sang retina menangkap
sebuah bayang yang tiba-tiba menampakkan diri dari luar. Seketika
menembus jendela dan memijakkan diri tak jauh di depan Zemira.
Ia mematung dengan apa yang ia lihat.
Itu bayangannya sendiri—tidak! itu bukan bayangan Zemira
karena dirinya baru saja memastikan bila semu hitamnya masih
ada bersamanya. Sosok itu seperti refleksi dirinya kala tengah
bercermin.
Perempuan yang tengah menatap lekat Zemira adalah
dirinya sendiri. Mereka berdua hanya saling melempar tatap.
Apakah ini sebuah halusinasi? Atau memang Zemira tengah
bertemu dengan dirinya yang lain? Zemira hanya merasa kakinya
bergetar sebab tak kuasa menahan tubuhnya sendiri.
Sosok itu sama sekali tak mengedipkan diri, tak juga
membidik yang lain.
Tubuh Zemira lunglai, dirinya limbung hingga kesadarannya
menghilang.
Tik tok...
Tik tok...
Suara jarum jam dinding di kamar Naja terdengar begitu
nyaring.
“Jadi gitu, lo cuma perlu ngerasain.” Akhir kalimat Jendra.
Usai menyelesaikan tugas kelompok, mereka berkumpul
duduk melingkar. Ghost hunter genk, keenamnya ada di sana.
Duduk bersila, dengan satu lilin menyala berada di tengah-tengah
mereka. Tidak, mereka bukan sedang melakukan ritual atau hal
yang menyimpang lainnya, melainkan di kompleks Naja sedang
terjadi pemadaman lokal, yang membuat mereka mau tak mau
memakai lilin sebagai penerang sementara.
Berbeda dengan teman-temannya yang lain, Randika si
paling yang tak bisa duduk dengan santai. Si yang lebih penakut
HEY ROSE | 43
dari kelima temannya. Randika duduk berdempet di antara Jendra
dan Haikal, melingkarkan tangannya ke lengan Jendra. Mereka
tengah berbagi cerita, lebih tepatnya Jendra yang menceritakan
pada teman-temannya tentang sosok yang tak bisa dilihat dengan
panca indera.
Bagaimana mereka hanya perlu percaya saat merasakan
kehadirannya. Bagaimana mereka hanya perlu percaya bahwa
sosok yang tak bisa kita lihat juga selalu hidup berdampingan
dengan manusia.
Dengan cerita seperti ini ditambah suasana gelap yang
sebagai pendukung, membuat aura sekitar pun tak lagi sama.
Bukan hanya itu, suara gesekan ranting pohon turut serta membuat
si penakut Randika ini sesekali terkejut.
“Udah ah nggak perlu dilanjutin, demi Tuhan gue udah
merinding dari tadi.” Protes Randika.
“Dik, for your information nih, semakin lo takut biasanya
makhluk halus makin tertarik buat ngegoda lo.” ujar Cakra dengan
ujung bibir terangkat. Ia sangat suka menggoda temannya yang
penakut itu. “Kayak ... ihhh ini nih ada cowok penakut! Godain aja
apa ya?”
“Ck, lo mah sukanya nakutin gue mulu. Gue tuh masih
ngerasa merinding karena terus keinget kejadian di kos Kak Tio.”
Randika bergumam sembari menurunkan arah pandangnya.
Sejenak mereka semua diam memusatkan atensi pada
Randika karena mendengar apa yang lelaki itu gumamkan. Mereka
seperti siap menyimak cerita yang akan ia bagikan. Nampak jelas
raut wajah serius dengan manik yang enggan menatap objek lain.
Randika melempar pandang pada teman-temannya secara
bergantian. “Cie—nungguin?” Randika tertawa.
Ctakk!!! Satu sentilan dari Jendra mendarat di dahi Randika.
Ia sepertinya sudah kelewat kesal. “Cepet cerita nggak?!” Desaknya.
Randika berdecak dengan mengusap-usap dahinya. “Jadi,
waktu itu gue ke kos Kak Tio karena kakak yang minta. Sebenernya
dia mau pergi sendiri sih, tapi masa gue mau ditinggal sendiri di
HEY ROSE | 44
rumah? Nggak lah nggak mau! Kosnya tuh ya ternyata serem bener
sekarang, padahal gue dulu sering ke sana.”
“Kayak udah nggak berpenghuni. Udah tuh nunggu lama, gue
bosen akhirnya nengok ke arah lantai dua, gue pegel banget. Dan lo
tau? Salah satu jendela yang katanya kamar Kak Jefri itu lampunya
nyala bentar terus mati.”
“Gue udah nggak pernah ke kosnya jadi gue lupa gimana
bentukan ruangannya dulu sama yang sekarang. Kayaknya udah
beda gitu, dari auranya aja udah beda.” Ceritanya dengan mimik
yang meyakinkan.
“Ini sumpah serem karena gue tiba-tiba denger ada suara-
suara gitu, mana ada suara minta tolong lagi. Kalo kata lo tadi Jen,
kita cuma perlu ngerasain aja, kan? Kayaknya waktu itu beneran
gue bisa ngerasain kehadiran makhluk lain deh, even tho gue nggak
tau pasti rasanya mereka hadir itu gimana. Dan lebih seremnya lagi
waktu masuk ke kosnya, ada bau dupa woy anjir.”
“Gue beneran merinding waktu Kak Tio tiba-tiba muncul.
Kayak, lo ke mana aja sih Kak dari tadi dipanggilin kagak muncul-
muncul?” Randika tengah merasakan bulu halus di tangannya
menegakkan diri lagi.
Cerita singkat dari Randika cukup membuat kelima
temannya menganga.
“Sorry Dik kalo gue bilang ini, tapi kayaknya emang ada yang
aneh.” Tukas Jendra mengungkapkan sedikit tentang apa yang ia
rasa. “Dari yang kita temuin waktu itu di situs, terus ditambah ada
sosok yang nggak pernah gue temuin dan nggak pernah ada di
rumah lo tiba-tiba ada aja gitu.”
“Aduh bentar pelan-pelan elah otak gue makin malem makin
2G.” Itu Haikal yang baru saja menguap. “Terus ini maksudnya
pacar Kak Zemira yang aneh? Lieur ih.”
Jendra lagi-lagi harus bungkam dengan pertanyaan Haikal.
Bukan ia tak bisa menjawab, hanya saja ia perlu waktu setidaknya
untuk meyakinkan apakah asumsinya benar atau tidak.
HEY ROSE | 45
Percakapan mereka pun mendadak terjeda dan seketika hening,
larut dalam pikirannya masing-masing.
Ting tong
Bel rumah Naja berbunyi. Membuat seisi kamar terjingkat
kaget karena suara yang mendadak nyaring kala mereka sedang
serius-seriusnya membicarakan tentang kejadian itu. Mereka
saling melempar pandang satu sama lain.
“Kak Tio deh kayaknya, soalnya Kak Ze tadi maksa
ngejemput.” Randika menginterupsi.
“Lo jadi dijemput dia?” tanya Aji. “Kak Tio beneran?”
“Ya beneran, masa boongan?” Randika merapikan beberapa
bukunya yang masih berserakan, lantas memasukkannya ke dalam
tas. “Gue balik dulu ye Bos!”
“Lo beneran nggak papa, Dik? Beneran nih?!” seru Aji yang
seolah mengkhawatirkan temannya. Mengingat sedikit cerita yang
Randika bagikan tadi, juga sesuatu yang mereka temukan kapan
hari di situs UK.
Randika yang sudah beranjak itu hanya mengangkat ibu jari
dan berjalan membelakangi teman-temannya. Lantas Naja turut
mengantarkan sampai depan pintu utama. Ia sempat bertemu
dengan Tio, bahkan menjabat tangannya karena mereka bertemu
tatap dan Tio yang mengulurkan tangannya. Sempat pula Naja
menatap manik hitam Tio yang sorot matanya tak dapat ia jelaskan
dengan kata-kata.
Dingin.
Tangan Tio sangat dingin. Entah karena ia terlalu lama
terkena angin malam, atau ada alasan lain, Naja hanya menerka-
nerka.
Randika dan Tio berjalan menuju mobil yang terparkir di luar
halaman rumah Naja. Sembari berjalan, Tio membawa kepalanya
untuk menoleh ke belakang, bukan ke arah Naja yang masih berdiri
di teras, melainkan mengarah pada jendela ruang minim cahaya.
Menangkap Jendra yang tengah memperhatikan dari dalam sana.
HEY ROSE | 46
Seperti memiliki sebuah insting kuat, dengan tatapan tajam
yang khas, Tio menyeringai sebelum keluar dari pelataran dan
pergi dari sana.
Sepeninggalan Randika, Naja buru-buru masuk ke dalam dan
kembali mengunci pintu rumahnya.
“Woy woy woy tangan dingin artinya apa?!” Naja yang sangat
heboh usai mengantar Randika ke depan rumah. Ia berlarian
menuju ruang kamarnya.
“Tandanya lo abis ini dapet duit.” Jawab Cakra.
“Tangan gatel ieu mah. Lagian lo lagi ngode ke siapa sih, Na?
Di mari laki semua kagak bakal ada yang mau meluk lo,” ujar Haikal
sembari melempar selimut yang tersampir di ujung ranjang. “Tuh
selimut kalo lo kedinginan. Dasar aneh!”
Naja melempar balik selimutnya. “Tangan Kak Tio kata gue
yang dingin banget. Terus juga dia tadi smirk ke Jendra kalo gue
nggak salah lihat. Iya kan, Jen?”
Sontak mereka menoleh ke arah Jendra yang masih berdiri
bersandar dengan pandangan yang masih mengendar ke luar.
Lelaki itu hanya diam tak menjawab pertanyaan Naja. Tampaknya
ia tengah melamun dan berpikir.
“Woy Jen!” seru Aji yang langsung membuat lamunan Jendra
terpecah.
“Hm?” Jendra menatapi teman-temannya bergantian.
“Apaan? Lo pada mau tau?”
Sengaja memberi jeda. “Itu bukan Kak Tio.” Imbuhnya
singkat.
“Terus saha?” Haikal yang tengah berbaring pun seketika
mendudukkan diri mendengar kalimat yang dilontarkan oleh
Jendra.
Namun, lelaki itu lebih memilih untuk tidak menjawab
pertanyaan Haikal. Ia kembali melempar pandangnya pada luar
jendela. Seperti ada banyak yang Jendra tau dan sengaja ia
membungkam diri untuk menyembunyikan sebuah fakta atau opini
dari mereka semua. Bagi dirinya, tak akan membuahkan sesuatu
HEY ROSE | 47
yang baik bila ia bercerita pada teman-temannya. Ini bukan waktu
yang tepat untuk mereka tau.
Dan lagi, belum waktunya mereka menunjukkan jati diri
mereka.
He dealing with the same hell, just different devils.
HEY ROSE | 48
YOU ARE NEEDED
HEY ROSE | 49
Dengan langkah kaki cepat, ia memutar jalannya untuk
kembali menuju ruang dosen. Banyak mahasiswa berkerumun di
sana. Semakin langkahnya mendekat, semakin terdengar pula
seruan tak terima dan histeris dari seorang ibu yang meluapkan
rasa tidak terima dengan anaknya yang seharusnya sudah kembali
ke tanah air tercinta.
“Saya akan menuntut kampus ini jika perlu!”
Hanya kalimat lantang dengan intonasi tinggi itu yang masuk
ke dalam indera pendengaran Zemira. Ia masih bertanya-tanya,
sama halnya para mahasiswa yang berkerumun di sana. Sebelum
akhirnya pria paruh baya yang ia yakini sebagai ayah dari Maren
mengeluarkan kalimat yang bahkan membuat Zemira terkejut
kaget.
“Bagaimana bisa kalian lepas dari tanggung jawab?! Kalian
telah membunuh anak saya!”
Mulut Zemira menganga yang kemudian ia tutup dengan
kedua tangannya. Bahkan tubuhnya limbung sekarang. Maren
memang bukan teman dekatnya, tetapi ia mengenal baik teman-
teman dari kekasihnya. Terlebih, Maren adalah lelaki yang disukai
Lyra; sahabatnya.
Dengan langkah gusar dan tatapan tak percaya, Zemira
mencoba bersikap tenang dan mempersiapkan jawaban apa yang
akan ia ucapkan kala bertemu dengan ketiga temannya. Mereka
saja saat ini sudah heboh hanya melalui group chat perihal
keramaian yang terjadi.
“Ze.”
Seorang lelaki berdiri menghadang dirinya, membuat Zemira
yang tengah berjalan menunduk itu sedikit terjingkat. Ia seperti
kehilangan kesadaran. Melamun dan entah arah pikirannya ke
mana.
“Kenapa lo?” Doni, menghentikan langkah Zemira. “Ze?
Halo?” Ia menggerakkan tangannya tepat di depan wajah Zemira,
karena gadis itu.
“O-oh Doni? Kenapa? Eh?”
HEY ROSE | 50
“Ya lo yang kenapa? Lo nggak papa? Muka lo pucet banget.”
Zemira kebingungan. Apakah orang yang di hadapannya ini
sudah tau mengenai berita yang baru saja ia dengar tentang Maren?
Jika sudah mengapa Doni bisa setenang ini?
“G-gue nggak papa.” Jawab Zemira terbata-bata. “ Eh-eh Don,
Maren—“
“Meninggal.”
Deg!
Jantungnya bak dihantam sebuah batu yang besar. Sesak.
Dadanya terasa sesak mendengar satu kalimat dari Doni. Jadi
benar?
“Lo udah tau?” tanya Zemira awalnya ragu.
Doni mengangguk yakin. “Gue dari tadi nyariin lo juga karena
ini. Tio di mana? Dia pasti terpukul karena Maren deket banget
sama dia selama di UK.”
Bias suara Doni bergetar. Ia tak mampu melanjutkan
kalimatnya lagi. Doni benar, Maren adalah orang terdekat kala Tio
berada di UK. Bahkan kekasihnya itu tak pernah absen
menceritakan dirinya bersama Maren di sana. Kini pikiran Zemira
tertuju pada Tio.
Zemira memijat pelipisnya. “Gue baru inget kalo Maren
paling deket sama Tio selain lo.”
“Tio absen tadi, dia nggak bisa dihubungi sama sekali.”
Ungkap Doni. “Tapi, gue yakin dia belum balik ke kos. Lo nggak tau
Tio di mana sekarang? Siapa tau dia ngabarin lo.”
“Lagi? Dia absen lagi?” tanya Zemira dengan sedikit
menaikkan suaranya.
“Dia ke kampus kok, cuma absen satu matkul doang, Ze.”
Terang Doni. “Oh iya gue mau ketemu nyokap bokapnya Maren
dulu. Kalo lo ketemu Tio di kampus, coba tenangin ya? Gue takutnya
dia lagi sendirian sekarang,” pinta Doni yang langsung
meninggalkan Zemira dengan tepukan di bahunya.
Bagi Zemira, apa yang disampaikan Doni adalah sebuah
amanat. Amanat tentang bagaimana caranya ia harus menemukan
HEY ROSE | 51
Tio meski ia sendiri tak yakin akankah bisa ia mencari keberadaan
kekasihnya saat ini.
Tiap sudut kampus telah berjejak kaki Zemira. Tio masih tak
menampakkan batang hidungnya. Lelah, ia putuskan untuk duduk
di kursi taman sendirian dengan angin sepoi-sepoi yang
menerbangkan rambut terurainya dan tanpa permisi menelusup
pori-pori kulitnya.
Mengeluarkan cermin, ia penasaran dengan apa yang
dikatakan Doni tadi tentang wajahnya yang begitu pucat.
Ya. Wajah Zemira sangat pucat sekarang, padahal tubuhnya
sudah merasa lebih baik, dirinya hanya merasa kelelahan karena
mencari Tio kemana-mana. Dan mungkin juga karena berita
sempat mengejutkan dirinya.
Ia pejamkan kelopak mata indah dengan bulu lentiknya
sembari merasakan kesegaran udara yang tak ada habisnya.
Zemira duduk bersandar dengan sesekali meniup anak-anak
rambut yang berlarian menutupi wajahnya.
“Ze.”
Zemira membuka mata kala mendengar suara bisikan lelaki
yang sangat jelas terdengar di telinganya, namun kala ia menoleh
kesana kemari mencari sumber suara, tak ada siapa pun di sana.
Akhir-akhir ini, entah mengapa telinganya sangat sensitif dengan
suara-suara yang hadir entah dari mana. Sebenarnya bukan hanya
pendengarannya, tetapi juga indera penglihatannya. Zemira
mengerjapkan matanya berkali-kali. Mengucek kedua matanya
untuk memastikan bola matanya dalam keadaan normal.
Pandangannya memendar jauh ke depan sana.
Ia tak salah lihat. Postur tubuhnya sangat familiar.
Maren, berjalan memunggungi Zemira. Kemudian gadis itu
beranjak, berlari untuk mengejar teman dari kekasihnya. Berjalan
melangkah pada bekas ruang laboratorium yang sekarang kosong
dan tak lagi difungsikan.
Sendiri, lelaki itu sendiri. Kini berdua dengan Zemira yang
sengaja mengikutinya.
HEY ROSE | 52
“M-Maren?”
Lelaki yang dipanggil namanya sama sekali tak menoleh.
“Maren? It’s you?”
Zemira memanggilnya lagi sebelum ia sadar dengan kejadian
di Gedung Rektorat, juga kabar dari Doni. Maren sudah meninggal,
lantas siapa yang tengah ada di depannya kini? Gadis itu menelan
ludahnya, ia berjalan mundur selangkah demi selangkah. Demi
Tuhan ia sangat takut ketika sosok yang ia anggap Maren itu mulai
membalikkan badan.
Cairan merah keluar dari telinga kanannya, kemudian
separuh wajah juga lengannya. Zemira melihat dan mengingatnya,
lelaki itu tampak seperti Maren, tapi ia juga tidak yakin karena
setengah dari wajahnya tertutup oleh cairan kental itu.
“You are here?”
“I’m here waiting for you.”
“Get out of that mirror.”
“Come with me. Stay with me here. I’m on my own. Keep me
company so i’m not alone.”
Ia tidak sedang berbicara pada Zemira. Melainkan merapal
beberapa kalimat untuk memanggil sosok yang ada di dalam
cermin genggam milik Zemira. Lelaki itu menyeringai meski tak
sepenuhnya ia berbalik. “Look, she is happy to be around you.”
Tukasnya.
Tubuh Zemira lemas, kepalanya mendadak pening. Ia tak bisa
menahan tubunya. Kesadarannya mulai menghilang. Tubuhnya
terjatuh, bersamaan dengan itu ia mendengar suara langkah kaki
masuk ke dalam ruangan. Dalam kesadaran yang mulai
menghilang, Zemira merasakan ada uluran tangan yang kini
mengangkat tubuhnya. Kedua sorot matanya masih menghadap
pada sosok itu meski sebagian pandangannya tertutup oleh dada
seseorang yang tengah menolongnya.
“Zemira, bangun....”
Suara itu lagi.
HEY ROSE | 53
Demam, sakit menyerang Zemira lagi setelah kejadian yang
terjadi di ruang laboratorium. Saat itu rupanya Tio yang membawa
gadisnya keluar dari sana. Menggendongnya dan mengantarkan
Zemira pulang ke rumah. Lelaki yang dicari-cari hari itu
menampakkan diri di saat ia berada di ruang kosong sendirian.
Berkali-kali Zemira menceritakan apa yang terjadi hari itu
pada kekasihnya, tentang ia yang melihat Maren masuk ke dalam
ruangan itu, dan tentang apa yang ia lihat. Tio menyangkal dan
mengatakan bahwa semua yang terjadi hanyalah halusinasi Zemira
karena tubuhnya sedang dalam keadaan yang tidak baik. Zemira
pun ingin mempercayai apa yang Tio jelaskan, tetapi apa yang
terjadi dan ia lihat hari itu terlalu nyata baginya.
Sudah hampir lima hari Zemira tak kunjung sembuh. Suhu
tubuhnya kian melampaui batas normal. Randika sampai heran
mengapa demam si sulung tak kunjung reda. Meski begitu, adik dari
Zemira itu tetap merawat hingga rela direpotkan pergi kesana
kemari hanya untuk menuruti keinginan sang kakak. Sama halnya
dengan Tio yang selalu berada di samping Zemira, menjaganya kala
Randika pergi ke sekolah.
“Tio?”
“Tio?”
Suara Zemira memanggil kekasihnya dari ruang kamar. Tak
ada jawaban dari Tio, padahal ia hanya bilang pergi ke dapur untuk
menyiapkan beberapa buah untuk asupan Zemira.
Gadis itu masih terbaring di tempat tidurnya. Berbalut
selimut yang sengaja ia turunkan sampai lutut kaki. Karena yang
dipanggil tak kunjung datang, ia putuskan untuk bangun dan
menghampirinya meski dengan langkah yang sedikit gontai.
“Tio?” Zemira memanggil lagi.
Tak ada siapa pun di dapur. Lantas kemana Tio pergi? Jam
sudah menunjukkan pukul empat sore. Zemira berniat meminta
tolong Tio untuk menjemput sang adik di sekolah, tapi ia pun
bingung kenapa Tio tak ada di sana.
HEY ROSE | 54
Berjalan keluar rumah, mobil Tio masih terparkir di halaman.
Zemira celingukan.
“Tio ke mana sih?”
Dapur, ruang tengah, ruang tamu, hingga teras rumah,
Zemira tak menemukannya. Lantas ia putuskan untuk kembali ke
kamar karena kepalanya mulai terasa pusing lagi. Dengan langkah
menyeret dan kepala yang terus ia pijit-pijit, Zemira mendengar
suara Tio dari kamar tidurnya.
“Gue nggak bisa.”
“Jangan....”
“Gue nggak mau.”
Begitulah beberapa kalimat yang ia dengar. Zemira ingin
memastikan apakah benar itu Tio atau hanya halusinasinya saja.
Matanya mulai bergerak menjelajah ruang kamarnya, namun tak
seluruhnya terlihat karena ia hanya mengintip dengan satu mata
saja. Berniat untuk menampakkan sedikit wajahnya, Zemira malah
dikagetkan dengan Tio yang tengah terkapar di lantai.
“Tio!” buru-buru Zemira berlari menghampirinya. Tubuh Tio
sungguh sangat dingin ketika telapak tangan Zemira
menyentuhnya.
“Tio?! Kamu kenapa? I-ini kamu dingin banget? Tio?
Bangun!”
Zemira tampak panik. Ia memangku kepala Tio, mengusap
kepalanya lembut dengan berusaha membangunkannya. Menepuk-
nepuk kedua pipi putihnya. Pucat, Tio sangat pucat, bahkan luka di
dekat matanya kini semakin jelas dan nampak memerah.
Penasaran dengan itu, tangan hangat Zemira menyentuh bekas
luka itu—tertahan.
“Ze...,” panggil Tio lirih,
“Kamu udah bangun? Kamu kenapa?” tangan Zemira yang
melayang perlahan ia turunkan—urung menyentuh bekas luka
yang ada di dekat mata Tio. “Kok bisa tiduran di lantai?!”
Tio berusaha membangunkan diri.
HEY ROSE | 55
“Aku nggak papa.” Kemudian ia meraih lengan Zemira untuk
membantu gadisnya berdiri, menuntun untuk kembali beristirahat
di ranjang.
Zemira mengernyitkan alis mendengar Tio mengatakan
bahwa dirinya baik-baik saja. “Nggak papa apanya?! Kamu sakit?
Kamu pucet banget loh, bahkan tubuh kamu dingin. Kamu
kedinginan?”
Tio menggeleng.
“Kamu tadi ngobrol sama sia—“
“Aku jemput Randika ya? Kamu nggak papa aku tinggal
sendiri dulu? Aku bakal balik cepet kok.” Tio mengusap pucuk
kepala Zemira. Buru-buru lelaki itu menyambar hoodienya lantas
pergi dari ruang kamar.
Kebingungan.
Tentu saja Zemira bingung saat tiba-tiba Tio pergi
menjemput adiknya, Randika. Pasalnya gadis itu belum
memberitahunya dan belum meminta tolong padanya untuk
menjemput sang adik. Tak ambil pusing, Zemira berpikir bila
kekasihnya sudah hafal dengan jadwal kepulangan Randika.
“Kenapa sih Tio? Lo aneh.” Ucap Zemira lirih sembari
membaringkan dirinya lagi di kasur empuk. Saat ia akan menarik
selimut, ia melihat cermin pemberian Tio berada di lantai, tak jauh
dari tempat di mana Tio terkapar tadi.
“Hey, Rose? Kok lo ada di situ?”
Zemira turun dari tempat tidurnya lagi untuk mengambil
cerminnya. Seperti biasa ia bercermin sebelum kembali
mengistirahatkan dirinya. Paras akan wajah cantiknya memantul
sempurna, namun ada bayangan lain tepat di belakangnya yang tak
Zemira sadari.
HEY ROSE | 56
tidurnya. Terusik dengan itu, ia berjalan keluar kamar untuk
menuju ke sumber keramaian.
“Kak!” sapa Haikal yang langsung berdiri kala melihat Zemira
keluar dari kamar.
“Loh Kak Ze bangun.”
“Maaf Kak berisik banget ya?”
Teman-teman Randika yang lain saling bersahutan.
“Udah duduk aja, lanjutin mainnya. Gue kira rame apaan
dah.” Zemira terkekeh. “Kalo gitu gue balik ke kamar lagi. Eh
Randika temen lo jangan lupa dikasih makan!” titah si sulung pada
si bungsu sebelum akhirnya ia kembali memasuki kamar.
Baru saja Zemira duduk di tepian kasur, terdengar suara
ketukan pintu. Kepala Randika menyundul masuk. “Kakak.”
Sembari melebarkan pintu kamar. Ia tak sendiri, Jendra ada
bersamanya.
“Ngapa?” tanya Zemira singkat.
“Nggak papa ini Jendra mau nengokin Kak Ze.”
Zemira menarik sudut bibirnya kala Jendra melempar
senyum padanya. Lelaki itu meletakkan keranjang kecil berisi
buah-buahan di atas meja rias Zemira, dekat vas berisi bunga
mawar pemberian Tio kala itu.
“Ya elah ngerepotin amat Jen.” Ujarnya pada Jendra.
“Hehe enggak Kak, emang tadi sekalian mau jengukin Kak
Ze.”
Zemira mengangguk, menarik selimut yang dibantu oleh
Jendra. “Makasih ya.”
“Ini Jendra yang suka nakut-nakutin lo?” tunjuk Zemira pada
si bungsu.
Jendra melirik Randika yang cengengesan dan tengah
menggaruk tengkuk itu.
Kemudian Zemira berdecak. “Jangan lo takut-takutin adik
gue, Jen. Pan lo tau sendiri nih bocil penakutnya minta ampun.”
“Siape yang lo bilang bocil, Kak? Randika udah gede ya! Ish
Kak Ze mah selalu mempermalukan adiknya sendiri. Nggak like gue
HEY ROSE | 57
nih.” Omel Randika yang langsung menarik lengan Jendra untuk
membawanya pergi dari sana. “Ayo ayo udah ke depan lagi.”
Randika keluar dari kamar Zemira dengan mendorong tubuh
Jendra. Sesekali melirik si sulung yang tengah tertawa melihat
tingkahnya itu. Menutup pintu, Jendra menatap Randika datar. Air
mukanya berubah.
“Keluarin kursi yang ada di kamar Kak Ze.” Titahnya tanpa
disertai alasan.
Randika mengernyit tak paham dengan permintaan Jendra.
Mendadak menyuruhnya untuk mengeluarkan kursi yang ada di
kamar kakaknya. “Kenapa dah? Ini kenapa nggak lo aja yang
ngeluarin tadi?”
Jendra berdecak. “Ya masa gue? Adiknya kan lo.”
“Ya udah entar gue keluarin. Emang kenapa sih?” tanya
Randika lagi saking penasarannya.
Jendra hanya diam tak memberikan jawaban atas pertanyaan
Randika. Ia malah membawa tubuhnya untuk kembali bergabung
dengan teman-temannya yang sedang asik tertawa di ruang tengah.
Meninggalkan Randika yang berkecamuk dengan ribuan asumsi
dan tanya yang belum terjawab. Alhasil lelaki mungil itu mengekori
Jendra sembari terus bertanya mengapa ia menyuruh Randika
untuk mengeluarkan kursi milik Zemira. Jika Jendra memberitahu
alasannya, sudah dapat dipastikan Randika akan ketakutan,
mengingat temannya itu adalah lelaki yang penakut.
“Jendra cepet bilang nggak?! Kenapa anying!” emosi Randika
mulai meletup-letup.
Jendra menghela nafas sebelum kemudian mengutarakan
alasannya dan menceritakan apa yang ia lihat. “Pokoknya jangan
taruh kursi kosong di kamar.”
“Gusti nu Agung, Jen, di kamar gue juga ada tuh kursi kosong.
Kursi mah kalo nggak didudukin juga bakal kosong kali.” Jawab
Randika sewot.
HEY ROSE | 58
“Kita bagian ngeliatin aje ye udah kalo Randika udah begini
yang ada perang dunia.” Bisik Naja pada teman-temannya yang
dibalas dengan anggukan, juga tawa yang tertahan.
“Actually kalo ada kursi kosong di kamar waktu lo tidur that’s
where ghost sit while they watch you sleep. Lagian bukan itu aja, ini
Kak Ze habis dari mana sih? Kenapa dia diikutin terus sama sosok
itu. Rambutnya panjang tapi diiket, dress hitam motif mawar, she’s
carrying a sword.” Jelas Jendra panjang lebar.
“Apa Kak Ze dari tempat terlarang?” tanya Aji asal ceplos.
Randika masih mematung, mencoba menelan penjelasan
Jendra dan jika boleh jujur, ia tengah merinding kala temannya
memberitahu untuk tidak membiarkan kursi kosong berada di
dalam kamar, jika tak ingin ada sosok lain memandang kita saat
terlelap. Mengingat di dalam kamarnya pun terdapat kursi kosong,
yang artinya ia harus segera menyingkirkan kursi atau melipat
kursi setelah ia selesai menggunakan.
“Temenin Kakak lo terus.” Jendra menepuk bahu Randika.
Setelah kelima temannya pamit pulang, ia langsung
menerobos masuk ruang kamar Zemira tanpa mengetuk pintu.
Rupanya si sulung masih terjaga dan belum tidur. Gadis itu sibuk
menggulir ponsel meski tengah berbaring dengan selimut yang
sudah menutupi sebagian tubuh hingga dadanya.
Tanpa mengatakan apa pun Randika mengangkat kursi yang
ada di kamar Zemira satu per satu, kemudian pergi begitu saja
membuat si empunya mengernyit tak paham dengan apa yang baru
saja dilakukan sang adik. Randika kembali lagi, kini ia beranjak
mengangkat kursi rias.
“Heh heh!” seru Zemira menghentikan langkah Randika.
“Ngapain sih? Masuk kamar ngambilin kursi dibawa kemana coba?
Random banget kelakuan lo.”
“Shhhh.” Randika berdesis. “Kak Ze sakit mah sakit aja kagak
usah bawel dulu ya Kak, ini demi keselamatan lo,” imbuhnya
sembari keluar kamar, memindahkan kursi rias.
HEY ROSE | 59
“Kolerasinya di mana Dika?!” nada Zemira naik satu oktaf.
“Terus gue kalo mau duduk di mana atuh?”
Terdengar langkah kecil Randika mendekat. “Ya duduk di
kasur itu tuh kan bisa Kak elah nurut aja kenapa sih?”
Zemira hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat
kelakuan random Randika. Semua kursi yang ada di kamarnya telah
dipindahkan ke luar ruangan oleh si bungsu. Ia hanya pasrah, mau
bagaimana lagi? Ingin mengomel pun ia masih tak memiliki tenaga.
Zemira menutup kedua mata kala mendengar suara pintu
kamarnya tertutup. Namun beberapa detik kemudian pintu
terbuka lagi.
“Kak kak.” Randika mengintip.
Zemira berdehem. “Gue mau tidur, Dika.” Jawabnya dengan
kedua mata tertutup.
“Itu bunga mawar di vas Kak Ze awet bener gue lihat-lihat.”
“Iya, kayak cinta gue ke Tio.”
“Idih idih najis! Tau nggak sih kalo bunga mawar tuh cuma
bertahan paling lama 10 hari di vas, Kak,” ujar Randika sembari
memainkan daun pintu.
Zemira hanya mengangguk. “Ya karena itu dari Tio makanya
awet.”
Mendengar jawaban dari Zemira, Randika melengos. “Dasar
bucin akut nggak ada obat!”
Randika menutup pintu kamar lagi, ia berjalan menuju ruang
kamarnya sendiri. Sudah larut malam tetapi ia masih belum
melelapkan diri. Kedua matanya masih sanggup bila diajak untuk
bermain playstation di ruang tengah, tapi masa iya dirinya akan
bermain sendiri?
Lantas dengan berat hati lelaki itu memutuskan untuk
membaringkan diri—terlentang, kemudian menyerongkan tubuh
ke kanan dan ke kiri, ia tak bisa menuju alam mimpi meski telah
beberapa kali mencoba. Randika mendengkus kesal, ia meraih
ponselnya, menggulir akun sosial media dengan harapan rasa
kantuknya segera datang seperti biasa.
HEY ROSE | 60
Bukannya segera tidur, ia malah mendengar suara langkah
kaki dari luar sana. Awalnya Randika tak menghiraukan, hingga
rasa penasaran membuat lelaki 17 tahun itu memberanikan diri
untuk mengintip dari jendela kamar dan benar saja, seseorang
hendak keluar melewati pagar rumah mereka.
Buru-buru ia lari ke ruang kamar Zemira.
“Kakakkkkk!” teriak Randika kali ini benar-benar membuat
Zemira terbangun dalam keterkejutan hingga rasanya degup
jantungnya mendadak bergemuruh hebat.
“Gusti nu Agung apalagi Dika?! Lo nggak bisa ngebiarin gue
tenang apa?!” protesnya.
“I-itu Kak ada orang tadi di luar. Maling jangan-jangan?”
Zemira memijat pelipis. “Enggak ada. Udah ya ampun lo mah
gangguin gue mulu. Gue mau istirahat nggak jadi-jadi ini gara-gara
lo!” omelnya. “Sumpah ini gue baru aja bisa merem.”
“Cie udah bisa ngomel berarti udah sembuh nih.” Randika
duduk di tepi ranjang, memandang sang kakak yang mencoba
menidurkan diri lagi.
“Iya gue mendadak sembuh,” ucapnya dengan memejamkan
mata. “Di kompleks ini nggak pernah ada maling Dik, palingan tadi
satpam komplek lagi patroli.”
Randika mengangguk dengan pernyataan yang ia dengar dari
si sulung. Ia terus memandangi wajah Zemira sebelum akhirnya ia
ingat sesuatu yang belum sempat Randika sampaikan pada sang
kakak.
“Kak, gue besok pulang telat karena ada rapat Pecinta Alam.
Kak Ze dijagain siapa? Mbak lagi libur kan, terus Kakak gimana?”
Zemira mengibas-ngibaskan tangan. “Ada Tio, tenang. Gue
pasti dijagain.”
Randika kembali mengangguk. “Dulu waktu Kak Ze masih
sama Kak Jefri, lo nggak ada positifnya kayak gini dah. Palingan
bilang—nggak bisa Jefri sibuk, nggak bisa Jefri ada jadwal les, nggak
bisa Jefri nyenyenye.” Ia menirukan logat Zemira.
HEY ROSE | 61
“Yeee lo mah banding-bandingin orang bisanya. Udah sana
tidur.” Usir Zemira sembari mendorong pelan punggung Randika.
“Kak Jefri apa kabar, Kak? Nggak pernah kelihatan sampe gue
lupa wajahnya. Yang kasep pisan ieu, kan?” ingat-ingat Randika.
“Punten yang jadi pacar Zemira produk orang tuanya nggak
pernah gagal.” Pamernya. “Lagi pulang kampung kata Tio, dih udah
sana gue mau tidur.”
Terdengar decakan Randika sebagai jawaban atas titah
Zemira.
“Dika....” Zemira membuka matanya, masih ia temukan si
bungsu memandang dirinya. “Gue akhir-akhir ini ngerasa bingung
deh.”
Randika mengernyit. “Kenapa?”
“Gue bingung sama hari-hari gue, ini gue lagi mimpi apa lagi
bangun sih? Aneh aja.” Jelasnya lirih.
“Lo lagi sakit, Kak, makanya ngerasa gitu mulu. Udah ah gue
balik ke kamar ya? Istirahat aja.” Si bungsu lantas beranjak keluar
ruang kamar untuk kembali ke tempat nyamannya sendiri.
Mungkin apa yang dikatakan Randika benar adanya.
Sejenak Zemira kembali berpikir, jika bukan karena Randika,
ia juga tak akan memikirkan ini lagi. Tentang Jefri, terakhir kali ia
bersama Randika pergi mengunjungi kos Jefri dan Tio, memorinya
menangkap dengan jelas bagaimana bau lekat dupa dan anyir
menyeruak keluar kala ia mendekati kamar Jefri. Sebenarnya rasa
ingin kembali berkunjung sudah terbesit dalam pikiran Zemira,
namun apa daya tubuhnya masih lemas dan terhitung lima hari
sudah ia demam—tak kunjung sembuh.
“Gue sakit, tapi masih sempetnya mikirin lo, Jef.”
HEY ROSE | 62
DARK CLOUDS
HEY ROSE | 63
untuk sementara waktu. Liburan, alibinya. Anehnya lagi, Tio
meninggalkan satu botol kecil berbahan pecah belah dengan cairan
merah kehitaman penuh mengisinya. Ia tak tau pasti itu cairan apa,
dari mana asalnya, dan untuk apa. Tak hanya itu, sering kali Zemira
menemui kekasihnya tengah berbicara sendiri.
Segalanya memicu rasa khawatir.
Kling!
Suara bel pintu menandakan ada seseorang baru saja masuk
ke kedai kopi. Zemira menegakkan badannya, berharap itu adalah
orang yang sejak tadi ia tunggu kedatangannya. Namun, ia malah
dibuat kaget dengan sosok yang berjalan menujunya. Senyumnya
mendadak luntur, kedua bola matanya membulat. Berbeda dengan
lawannya, ia datang disertai senyum yang merekah. Kini tengah
berdiri di hadapan Zemira.
“Ze? Kok kaget gitu sih kamu?” ucapnya.
“Tio? Kok ada di sini?” Zemira bingung bagaimana harus
menanggapi. Apakah ia harus merasa senang karena akhirnya bisa
bertemu dengan kekasihnya? Atau apakah ia harus merasa takut
dan khawatir karena ia tengah menunggu lelaki lain tanpa
sepengetahuan Tio?
“Pacarnya ke sini bukannya seneng ih kamu.” Tio
mendudukkan dirinya di kursi kosong depan kursi Zemira. “Udah
lama di sini?”
“Ha?” Zemira mengernyitkan dahinya. “Tio, tapi aku—“
“Maaf ya nunggu lama.”
Sebentar—bukan Tio yang sedang Zemira tunggu. Ia masih
sangat terkejut hingga gadis itu hanya melongo dan mengerjap
beberapa kali memandang lelaki yang ada di depannya. Lawannya
pun menatap Zemira dengan begitu tajamnya seakan membidik
mangsa dan tak membiarkannya lepas.
Entah mengapa Zemira merasa atmosphere berubah menjadi
lebih dingin, membuat tubuhnya menggigil. Apakah kondisi
tubuhnya yang sering drop menyebabkan ia mendadak merasa
seperti ini? Atau karena hal lain?
HEY ROSE | 64
“Kamu mau ke mana?” seru Tio kala Zemira beranjak dari
tempat duduknya.
“A-aku mau ke toilet—sebentar.” Pamit Zemira dengan suara
terbata. Sedang Tio hanya mengangguk dan membiarkan Zemira
beranjak pergi. Pandangannya terus mengekori gadis itu hingga
punggungnya mengecil dan menghilang di balik pintu toilet.
Jangan tanyakan bagaimana keadaan Zemira saat ini. Ia yang
tengah melihat pantulan dirinya di cermin toilet pun sedikit
terkejut karena wajah yang kian memucat meski ia sudah memoles
bibirnya berkali-kali. Kepalanya mulai berdenyut sakit. Ia
benturkan punggungnya pada dinding, pelan-pelan ia
merendahkan dirinya—berjongkok, sembari tangannya memijat
pelipis dan tengkuk kepala.
“Kenapa bisa Tio tau gue di sini?”
“Kan gue nggak ada chat sama dia, masa—“
Gadis itu sibuk bergumam, menikmati pijitannya sendiri
seraya membuat dirinya tenang. Tak sadar bila ponselnya bergetar
sejak tadi. Lantas ia rogoh tas kecilnya, mencari keberadaan benda
yang menyita atensinya.
Ketemu! Ada tiga panggilan tak terjawab yang nampak di
notifikasi ponsel kala layarnya menyala. Ia hanya kembali bingung
sebelum kemudian ia mendapat panggilan masuk dari orang yang
sama. Cukup lama Zemira membiarkan panggilan itu hingga
akhirnya ia memutuskan untuk menerimanya.
“Ze, aku di depan rumah. Kamu di mana? Tumben rumahnya
dikunci?”
Kedua manik hitamnya melotot. Saking tidak percayanya ia
menjauhkan ponsel dan berulang kali ia memastikan nama
penelfon di layar ponselnya—Tio, ia yakin pemilik suara di
seberang sana juga sama.
“Ze? Zemira? Randika juga nggak ada di rumah ya? Emang
kamu udah beneran sembuh? Bisa-bisanya keluar rumah padahal
belum lama sembuh juga.”
“Tio...,” suara Zemira bergetar lemas.
HEY ROSE | 65
“Kamu di mana?”
“Halo? Ze?”
“Zemira?”
Tuttt.... tutt....
Zemira memutus panggilan sepihak. Ia terlalu lemas untuk
berusaha mencerna situasi ini. Siang menjelang sore harus dilewati
dengan perasaan takut tak karuan. Terlihat keringatnya mulai
mengucur deras dari kepalanya. Gadis itu masih terduduk lemas di
toilet. Entah berapa lama lagi ia sanggup berdiri untuk berlari ke
luar.
Baru saja ia menerima panggilan dari Tio, lantas siapa yang
datang dan tengah duduk di depan sana? Sebentar, biar Zemira
mengatur nafasnya dulu.
Tok tok tok
Seseorang tengah mengetuk pintu toilet pelan.
Zemira mendengarnya. Diam membungkam mulutnya
sendiri dengan kedua tangan agar tak menimbulkan suara. Sorot
matanya tak lepas dari daun pintu yang kalau-kalau terbuka dan
menampakkan sesuatu. Tubuhnya bergetar hebat saking
takutnya—ia mendengar suara baritone memanggil namanya
samar.
“Ze?” Dengan masih mengetuk pintu.
Rasa takut semakin menyelimuti gadis itu. Padahal Zemira
bukanlah gadis yang penakut, tetapi jika dihadapkan kejadian
seperti ini, di luar nalar dan ia alami sendiri, ia tak memiliki
keberanian lagi. Nyalinya menciut.
Zemira memeluk kedua kakinya, membenamkan wajahnya
kala knop pintu mulai bergerak.
Decitan pintu kayu terdengar saat seseorang berhasil
membukanya.
“Zemira?!”
Zemira mendongakkan kepala karena bias suara yang sangat
ia kenali.
HEY ROSE | 66
“Jef!!” serunya dengan sudut mata yang basah. Ia mulai
menangis seperti anak kecil saat tau seseorang yang ia tunggu
kehadirannya sejak tadi akhirnya menampakkan batang
hidungnya.
“Ze? Lo kenapa?” Dengan menumpu dirinya dengan satu
lutut, Jefri mengusap kepala Zemira. “Kenapa nangis? Dan lo
kenapa diem di sini?”
“Gue takut, Jef. Gue takut.”
“Takut? Apa yang bikin lo takut? Udah ayo keluar dari sini,
nggak lucu kita berduaan di toilet gini.”
Jefri berdiri dan berniat membantu Zemira dengan menarik
lengannya, namun gadis itu menahan pergelangan tangan Jefri.
“Di luar, ada ...,” kalimat Zemira menggantung.
“Ada apa? Siapa?”
“Ada Tio?” tanyanya.
Seperti tau apa yang telah gadis itu alami, Jefri hanya diam
sembari kembali membantu Zemira berdiri. Mengajaknya keluar
dan duduk di kursi yang hanya ada cangkir kopi Zemira di atas
meja. Tio tak ada di sana. Dan lagi, suasana kedai kopi pun berubah
cukup ramai, tak seperti pertama ia datang tadi.
Perasaan yang menyelimuti diri Zemira membuatnya
bingung. Ia merasa seperti segala sesuatu yang ia rasakan adalah
nyata, namun disisi lain ia seperti tak bernyawa merasa banyak
sekali kejanggalan yang sering terjadi seiring berjalannya waktu.
Jefri, lelaki yang ia tunggu sejak beberapa jam yang lalu kini
duduk di depannya. Saling melempar tatap beberapa saat tanpa ada
yang mau memulai obrolan. Sebelum pertemuan ini, Jefri
menghubungi Zemira untuk memastikan gadis itu masih dalam
keadaan yang baik. Tak hanya itu, ia juga memberitahu bahwa ada
seseorang yang melukai dirinya bahkan hampir merenggut
nyawanya. Hanya itu kabar menggantung dari Jefri yang Zemira
dapat dari sekian lamanya ia menghilang.
“Ze, kalo itu bukan Tio gimana?” tanya Jefri memecahkan
kesunyian.
HEY ROSE | 67
Belum selesai Zemira merasa khawatir dan takut, ia sudah
disuguhkan dengan pertanyaan yang menurutnya tak ada jawaban.
Tak ingin menjawab, gadis itu hanya melempar pandang ke arah
jalanan.
“Dan kalo gue bilang yang nyakitin gue adalah—“
“Siapa? Tio?” tembak Zemira.
Jefri mengangguk.
Manik hitam Zemira menelisik tiap sudut wajah Jefri yang
beberapa lukanya mulai kering. Turun pada telapak tangan kirinya
yang dibalut perban. Ia sedikit bergidik ngeri sembari
menggelengkan kepalanya cepat. Bisa-bisanya Jefri menuduh Tio
yang tidak-tidak.
Tak mungkin Tio, kan?
“Gue udah nggak satu kos sama Tio sekarang,” ujarnya. “Lo
mungkin nggak percaya sama apa yang gue ceritain. Tapi Ze,
semenjak Tio pulang dari UK, suasana kos gue udah nggak sama
kayak dulu. Lo nggak tau seberapa seringnya Tio ngebakar dupa,
ngelakuin hal aneh tiap malem yang nggak gue pahami.”
“Dia bakar lilin, naruh lilin itu di depan cermin kamar gue. I
think he’s lost his sanity, but the truth ... the more you realize that it
is not him, the closer you get to being hurt by him.”
“Jef, just stop it,” sela Zemira. “Stop!” Nada Zemira sedikit
melengking penuh dengan penekanan. “Gue nggak tau masalah
yang lo hadapi sebenarnya apa, but can you not make up a story like
this? Semua yang lo ceritain ini beneran nggak masuk akal. Ngapain
coba Tio ngelakuin itu?” Ia tak terima.
“Waktu itu gue tau lo ke kos bareng Randika. Gue mau tanya,
bau apa yang lo cium?” Kini Jefri memaksa Zemira untuk mengingat
malam itu. “Dupa. Ada bau anyir? Do you smell blood?”
“Sorry, but Tio hampir ngebunuh gue.”
“JEFRI, PLEASE STOP IT!”
Beberapa orang di kedai kopi menoleh ke arah mereka
berdua karena kerasnya suara Zemira kala membentak Jefri. Gadis
itu bahkan menggebrak meja dengan kedua tangan terkepal.
HEY ROSE | 68
“Lo perlu bukti? Gue paham. Lo nggak bakal percaya kalo
nggak ada bukti,” ucap Jefri sembari membuka balutan perban yang
menyelimuti telapak tangannya.
Ketika kain perban terbuka sepenuhnya, Zemira semakin
ngilu melihatnya. Terdapat kurang lebih 15 jahitan. Luka yang
masih sedikit basah dengan bercak darah kering berada di sekitar
lukanya. Luka yang sepertinya memang masih baru.
“Tio did this. Dia ngelukain gue. Tio ngelukain gue pake
cermin mawar yang dia bawa.”
Setiap pernyataan yang Jefri ucapkan penuh keyakinan,
seperti ia memang tidak berbohong dengan hal yang ia ucapkan.
“Lo tau? Ada sesuatu di tiap sudut langit-langit kamar gue. Samar,
gue nggak tau tapi gue ngerasa diawasi. At night, gue nggak mau
ngebuka mata sama sekali waktu gue kebangun tengah malem
karena gue tau mereka ada di sana.”
“I won’t look.” Imbuhnya. “Dan setiap gue kebangun, nggak
sengaja ngelihat cermin di kamar, there’s a hand out of the mirror.
Awalnya gue kira itu cuma mimpi, tapi nggak—Tio ada di sana juga,
dia berdiri di depan cermin. Sekarang gue jadi sering parno
sendiri.”
Penjelasan Jefri yang panjang lebar itu sama sekali tidak bisa
diterima oleh Zemira. Meski di sisi lain pun ia merasakan hal yang
sama—keanehan memang sering muncul semenjak Tio kembali
dari UK, contohnya saja beberapa waktu lalu Zemira alami sendiri.
“Jef, gue mau ketemu sama lo buat mastiin lo baik-baik aja.
Dengerin cerita lo dan berharap bisa ngasih solusi. But you give me
that shit? Bukan gue nggak percaya, tapi untuk apa juga Tio
ngelakuin hal konyol dan nggak masuk akal kayak gini?”
Jefri dapat menangkap air muka kekhawatiran dan ketakutan
dari lawannya karena Zemira tak bisa menyembunyikannya saat
ini. Lelaki itu mengangguk paham, Zemira tak akan mungkin
mempercayai dirinya. Dan memang akan lebih baik seperti itu.
“Ze, sorry, tapi emang ini kenyataannya.” Ia meraih pucuk
kepala gadis itu lantas diusapnya pelan. Tak apa bila Zemira belum
HEY ROSE | 69
bisa menerima pernyataannya, yang pasti ia lega bisa melihat
Zemira dalam keadaan baik.
“Maaf gue nggak bisa lama-lama juga. Gue lega ngelihat lo,
gue harap seterusnya lo bakal tetep baik-baik aja, ya?” Lelaki itu
kini merapikan perbannya lagi agar lukanya tertutup. Jefri
beranjak, namun lengannya tertahan oleh Zemira yang masih
duduk dengan kepala menunduk.
“Jef...,” lirihnya. “Can I hug you?” Zemira mendongakkan
kepala, tangannya turun menggenggam telapak tangan Jefri.
Jefri mengangguk memberi persetujuan, disertai dua lesung
pipi yang tercetak karena senyumnya merekah.
“Come here.” Genggamannya ia tarik pelan, menghantarkan
tubuh mungil Zemira ke dalam sisi hangatnya. Dengan lembut, ia
sisir surai hitam gadis itu—memberikan kenyamanan untuk
lawannya, ia tepuk-tepuk punggung Zemira.
“Jef, maaf gue nggak bisa sepenuhnya percaya sama lo,”
bisiknya yang tertangkap jelas di telinga Jefri. “Biar gue buktiin
sendiri—“
“Nggak!” Jefri menjauhkan tubuhnya kasar dengan kedua
tangan mengerat di bahu Zemira. “Lo nggak perlu ngebuktiin
sendiri, jangan, please don’t. Tetep jaga diri, sedikit pun jangan
sampe lo terluka, lakuin ini buat gue.”
Jefri lalu menggeleng cepat. “Enggak. Lakuin ini untuk adik lo,
Randika. Jangan pernah coba ngebuktiin apa pun. Then don’t believe
what I told you today. Ya? Nggak usah percaya sama gue kalo gitu.
Anggep semua yang lo denger hari ini adalah karangan gue doang.”
Zemira mencari kebohongan dari manik hitam Jefri, namun
ia tak menemukannya. “Jef, gimana mungkin gue tau itu karangan
lo doang atau bukan kalo gue nggak cari tau sendiri?”
“Ze, kita nggak tau berurusan dengan apa dan siapa. Gue
minta lo untuk tetep jaga diri, tetep kunci pintu rumah kalo lo sama
Randika lagi keluar. Kunci juga kalo lo sama Randika udah ada di
dalem rumah. Jangan biarin rumah lo bebas kebuka lagi,” pinta
Jefri.
HEY ROSE | 70
Jefri merapikan poni Zemira yang berantakan sebelum
akhirnya ia benar-benar beranjak pergi. “Gue balik ya? Lo langsung
pulang ke rumah, jangan ke mana-mana di luar hujan.” Ia
memamerkan lesung pipinya lagi.
“Jef...,” panggil Zemira saat Jefri berjalan memunggungi. “Lo
sekarang tinggal di mana?”
“Rahasia. Gue balik ya, dahh.”
Kedua insan yang saling melambaikan tangan menutup
perjumpaan mereka dengan rasa penasaran sebagai oleh-oleh yang
Jefri beri pada Zemira.
Air yang jatuh dari langit masih setia membasahi kota hingga
malam. Membuat penghuni rumah semakin betah untuk tetap
tinggal dan mengencangkan selimut mereka. Mengapa hujan lebat
disertai petir selalu identik dengan pemadaman lampu? Ya, sudah
satu jam berselang listrik di rumah Zemira padam.
Hanya mengandalkan satu buah lilin, kakak beradik ini
berdiam diri di kamar Zemira. Jangan tanya bagaimana kondisi
ruangan yang lain, karena Zemira malas membakar seluruh lilin
yang ia punya, maka dari itu hanya ada satu cahaya meremang di
rumah mereka, yaitu ruang kamar Zemira.
“Kak, kalo masih belum nyala listriknya, gue tidur di sini aja
ya?” pinta Randika yang hanya dibalas anggukan.
“Kak?”
Zemira berdehem.
“Tadi siang Kak Tio ke sini.”
“Iya dia bilang, tapi lo nggak ada di rumah, kan?”
Randika diam tak menjawab.
“Dika?” Zemira yang tengah duduk di pinggir jendela
menoleh ke arah adiknya yang sedang sibuk bermain ponsel di atas
kasur. “Lo di rumah nggak?”
“Gue di rumah, sama Jendra,” jawabnya.
HEY ROSE | 71
“Kenapa nggak lo suruh masuk Tionya?”
Randika menggeleng. “Gue takut.”
Ungkapan dari Randika membuat pikirannya berkecamuk.
Memikirkan hal-hal yang sudah dilakukan Tio pada Jefri—jika itu
semua benar. Sekarang ia berpikir bagaimana caranya mencari
kebenaran itu sendiri.
Kedua bola matanya berotasi pada sesuatu yang ada di atas
meja riasnya. Sebuah botol kecil berisi cairan merah kehitaman,
juga cermin pemberian Tio. Ia mengambil kedua benda itu.
Memutar dan menerawang botol kecil yang entah sebenarnya atas
dasar apa Tio memberikan ini padanya.
“... ngelakuin hal aneh tiap malem, ngebakar lilin dan naruh
lilin itu di depan cermin kamar gue.”
“Emang kenapa kalo lilin di taruh depan kaca?” gumam
Zemira sembari meletakkan cermin mawar itu di depan lilin yang
masih menyala.
“Nggak bakal ada apa-apa juga, kan?” gumamnya lagi.
Zemira masih duduk di jendela, melihat hujan di luar yang
tiada hentinya. Dirinya tak sadar bila sosok lain telah
menampakkan diri di cerminnya. Tersenyum miring ke arah
Zemira. Botol kecil yang ada di tangannya ia hirup tanpa membuka
tutupnya, lantas bau semerbak bunga mawar memenuhi ruang
kamar Zemira.
“KAK!!” seru Randika sembari terjingkat dari ranjang. Lantas
berlarian menghampiri kakaknya yang masih bersandar di dinding
jendela. Melingkarkan tangan pada lengan Zemira. “Kak itu siapa?!”
Jari telunjuknya mengarah pada langit-langit kamar.
“KAK ITU SIAPA!!” teriaknya lagi.
“Mana? Apa sih lo bikin gue kaget tau nggak!” protes Zemira.
“Kak dia makin deket, Kak!!”
Randika terus histeris hingga menenggelamkan wajahnya
pada lengan Zemira yang ia tarik-tarik agar pandangannya
tertutup. Dilihat berkali-kali pun, tidak ada siapa-siapa di sana.
Tapi, Randika tetap kukuh menunjuk langit-langit kamar.
HEY ROSE | 72
“Dika nggak ada apa-apa, ini lo kenapa sih?” Zemira berusaha
melepaskan lengan tangannya dari Randika. Si bungsu semakin
mencengkeram lengannya hingga ia meringis kesakitan. “Dika!
Sakit anjing! Udah nggak ada apa-apa, nggak ada siapa-siapa juga!”
“Dika?!”
Tak ada jawaban. Randika yang tengah menenggelamkan
wajahnya pada lengan Zemira itu semakin menarik kuat
genggamannya.
“Gusti nu Agung! Randika sakit!”
Mau tak mau Zemira menghentakkan tubuh sang adik hingga
dirinya pun ikut terjatuh, punggungnya terbentur sudut jendela,
tercetak jelas pula kuku jari Randika di lengan Zemira.
“Dik?”
“Randika?”
Beberapa kali ia memanggil si bungsu pun tak ada jawaban
membuat gadis itu nampak cemas dan kalut. Dengan tubuh
menggigil saking takutnya, Zemira memangkas jaraknya dengan
Randika, meraih bahu sang adik yang tengah duduk dengan kepala
tertunduk. Kala ia berhasil menegakkan kepala Randika, sorot mata
lelaki itu berubah—kedua sklera matanya penuh dengan warna
hitam pekat.
“D-Dika ...,” suara Zemira bergetar. Tangannya yang terulur
ia jauhkan dari sosok di depannya itu.
“Ze... bangun....”
Suara itu datang lagi, bisikan yang entah dari mana asalnya—
yang kerap kali ia dengar atau bahkan amat sering. Siapa yang
tengah menyuruhnya untuk bangun? Jika bangun yang dimaksud
adalah bangkit untuk menghindar saat ini, Zemira tak sanggup.
Kakinya terlalu lemas meski ingin rasanya berlari menjauh.
Randika tengah menatap Zemira dengan sorot mata yang
tajam, disertai seringai di sudut bibirnya. Terlihat cukup
mengerikan.
“Dika? Randika....”
HEY ROSE | 73
Zemira masih memanggil nama si bungsu meski rasa
takutnya lebih mendominasi diri. Kedua matanya berotasi pada
cermin genggam yang masih berada di depan lilin. Pikirannya
menuju pada suatu kesalahan yang baru saja ia coba lakukan,
menyebabkan hal yang tak diinginkan.
Dengan cepat Zemira meraih cermin itu—namun tertahan
karena Randika yang lebih dulu menangkap pergelangan tangan
Zemira yang kemudian ditarik hingga tubuh gadis itu terhuyung.
Randika ingin mengambil paksa cermin yang berada pada
genggaman Zemira.
“Dik!!”
“Lepasin.”
“Dika sakit.”
Air mata pun tak bisa terbendung lagi. Satu persatu buliran
menetes dengan teratur. Ia merintih kesakitan. Zemira tak
mengerti mengapa kuku jari Randika terasa sangat tajam hingga
rasanya mampu merobek pori-pori kulitnya.
Tanpa bersuara, Randika terus berusaha menarik
pergelangan tangan Zemira untuk merebut cermin itu. Tak mau
kalah, Zemira melakukan perlawanan hingga kemudian
membanting benda itu ke lantai.
Pranggg!
Berhasil. Kacanya terbelah menjadi kepingan-kepingan kecil.
Zemira jatuh ke lantai dan terkulai lemas dengan tubuh yang
mendadak menggigil kedinginan meski suhu badannya kian
meningkat. Ia terlalu lemas, mendengar suara samar Randika yang
tengah berulang kali memanggil namanya.
Kesadaran Zemira mulai hilang.
“Kak Ze bangun....”
HEY ROSE | 74
sebelum akhirnya ia menyadari Randika terkulai lemas di lantai,
tepat di sampingnya. Sembari memegang kepalanya yang berat,
Zemira perlahan mendudukkan diri. Merasakan rasa perih di setiap
sisi lengannya, ia meringis kala melihat banyak bekas cakaran dan
cetakan kuku di sana.
Tanpa memedulikan rasa sakit dan lukanya, ia membopong
sang adik untuk memindahkannya ke atas kasur. Ia tetap berusaha
meski tubuhnya sendiri melemas.
Setelah Randika berhasil ia baringkan, sekarang gilirannya
untuk berbaring di samping si bungsu. Tak lupa ia menarik selimut
untuk menghangatkan dirinya juga lelaki di sebelahnya. Tubuhnya
menyamping, berhadapan langsung dengan Randika. Ia menatap
setiap inci muka tenang sang adik dengan dahi yang penuh dengan
peluh. Diusapnya perlahan—menyibakkan poni Randika yang kian
memanjang.
Ia tersenyum sendu. “Maafin gue... maaf...,” lirihnya. “Semoga
lo nggak inget sama kejadian hari ini.” Zemira terus mengusap
lembut kepala Randika hingga dirinya ikut terlelap.
Tik....
Tok....
Tik....
Tok....
Tik....
Tok....
Suara jarum jam di sebuah ruangan tanpa penerangan
terdengar nyaring dan menggema. Hanya ada satu jendela sebagai
akses keluar masuknya cahaya. Adanya satu jendela pun tak
berhasil menerangi ruangan itu.
Tak ada siapa pun di sana. Zemira terlihat bingung. Ia
berjalan menyusuri ruangan, sembari tangannya ikut meraba
dinding yang amat kasar. Ia tak tau sedang berada di mana. Apakah
ia sedang berada di dunia nyata atau ini adalah alam bawah
sadarnya? Zemira tak bisa membedakan keduanya. Ia hanya
merasa di sekitarnya semakin menghangat.
HEY ROSE | 75
Langkah kakinya terhenti kala retinanya menangkap
bayangan di depan sana. Sebuah ranjang dengan seorang
perempuan terbaring di atasnya. Rasa penasaran yang kini datang
membuat Zemira berusaha memangkas jarak untuk melihat apa
yang ada di sana. Namun, semakin ia mencoba memangkas jarak
guna menggapai keinginan atas rasa penasarannya itu, langkahnya
semakin jauh saja—hingga ia mencoba berlari pun tetap sama.
Ruangan itu semakin gelap, namun Zemira masih dapat
melihat orang yang tadinya terbaring kini mendudukkan diri dan
berusaha beranjak. Seketika rasa penasaran akan siapa yang
terbaring di sana, tergantikan oleh rasa takut yang menyerang tiba-
tiba kala seseorang itu berjalan menuju dirinya dengan gelap yang
seakan mengejarnya.
Zemira terjebak, ia tak bisa bergerak sedikit pun meski ia
ingin membalikkan tubuhnya. Gadis itu ketakutan karena
seseorang berjalan semakin dekat, namun ia tak dapat melihat
wajahnya.
“Kakak!!!”
“Kakak nggak papa?”
Ah, hanya mimpi. Sebuah mimpi yang membuat Zemira
terbangun dengan keringat bercucuran. Nafasnya tak beraturan. Ia
masih menatap langit-langit kamarnya dengan bola mata melebar.
Randika yang sudah berseragam rapi itu sejak tadi
mengguncang tubuh sang kakak untuk membangunkannya karena
suhu badan Zemira kian meninggi.
“Kakak badannya panas banget. Tadi Randika kompres terus
Kak Ze tiba-tiba menggigil, gue panik akhirnya gue bangunin deh,
maaf ya.”
Zemira mengusap wajahnya kasar lantas menggeleng.
“Enggak papa. Lo mau berangkat sekolah? Gue anter.”
“Nggak nggak! Kak Ze istirahat aja, gue barengan sama Jendra
kok tenang aja. Kakak nggak perlu berangkat kuliah ya? Istirahat
please Kak Ze demam lagi.”
HEY ROSE | 76
Zemira yang masih meraih kesadaran dirinya, hanya
mengangguk lemas sebagai jawaban dari ucapan Randika. Entah ia
akan menyetujui atau tidak perihal titah si bungsu.
“Kak, gue dari tadi merhatiin lengan lo ini kenapa? Semalem
gue habis ngapain lo sih, Kak?” tunjuk Randika.
Lantas Zemira menutupi sebagian lengannya dengan selimut.
“Nggak tau ya? Kayaknya habis jatuh deh kemarin, gue enggak inget
juga.”
Randika merenung, masih menunduk memandangi lengan si
sulung untuk memulihkan ingatannya. “Bukan karena gue?”
“Eh itu Jendra udah dateng!” seru Zemira menyela. “Iya
bukan? Temen lo kan? Udah sana berangkat sekolah keburu telat.”
Apa yang dikatakan Zemira benar. Terdengar suara Jendra
yang tengah memanggil nama Randika di luar sana. Lantas si
empunya nama beranjak dengan kepala yang masih menunduk.
“Ck. Udah ini beneran gue nggak papa,” ujar Zemira
meyakinkan. “Iya gue inget beneran ini gue jatuh di teras, Dika.
Kepentok ujung lantai tuh kan kemarin gelap.”
“Tapi Kak, gue kenapa inget kejadian aneh ya? Mimpi bukan?
Gue takut kalo gue yang nyakitin lo sampe kayak gitu.”
“Ya elah pasti ini ulah Jendra lagi ya yang nakut-nakutin lo
lagi, iya kan? Jadinya mimpi aneh-aneh. Ish, kurang-kurangin
percaya sama temen lo ah!”
Randika menghela nafas. “Beneran mimpi ya? Kejadian yang
gue inget beneran mimpi?” tanyanya yang masih saja tak yakin.
“Kayaknya semalem deh.”
Zemira mengangguk pasti. “Udah sana berangkat keburu
telat.”
“Kakak nggak perlu kuliah ya lagi demam tuh, awas aja kalo
nekat!” ancam Randika yang hanya dibalas tawa oleh Zemira.
Setelah melihat langkah kepergian Randika, Zemira kembali
merebahkan diri. Menyandarkan punggungnya di beberapa
tumpukan bantal dan menutupi sebagian pandangnya dengan
lengan tangan. Pikirannya tertuju pada sebuah mimpi yang selalu
HEY ROSE | 77
ia mimpikan hampir setiap malam, juga kesalahan yang telah ia
perbuat tadi malam.
Zemira mengedarkan pandangan, kemudian mencari sebuah
cermin yang ia yakini telah hancur berkeping-keping, mengingat
dirinya telah membanting benda itu. Ia akan memikirkan alasan
yang tepat untuk menjelaskan pada Tio tentang cermin
pemberiannya.
Zemira berjongkok untuk mencari benda refleksi itu.
Semalam ia ingat bahwa dirinya tak membersihkan serpihan
kacanya—atau Randika yang lebih dulu membersihkan dan
menyimpan cerminnya? Ia buka laci meja, tempat ia menyimpan
barang-barang kesayangannya termasuk cermin pemberian
kekasihnya. Dan benar, benda itu ada di sana, hal yang paling
mengejutkan lagi adalah cermin itu masih utuh, masih cantik tanpa
sedikit goresan.
“What the hell…,” gumam Zemira yang seketika menyimpan
kembali cermin di dalam laci. Ia mengubur benda itu dengan
tumpukan benda-benda lain.
Merinding. Itu yang tengah Zemira rasakan. Jantungnya
semakin berdegup kencang ketika ia dipaksa mengingat cerita dari
Jefri. Semuanya ia hubungkan, mulai dari pendengarannya yang
sensitif, keanehan yang Jefri alami, dan kejadian yang ia rasakan
sendiri semalam. Mendadak kepala Zemira pusing,
mengharuskannya untuk beristirahat sebentar sebelum ia pergi ke
kampus nanti siang.
Ya, meski tubuhnya demam, ia akan memaksakan diri pergi
ke kampus. Ia ingin bertemu Tio untuk menceritakan kejadian
semalam—terlebih ia ingin bertemu dengan Jefri kembali. Zemira
harap lelaki itu menampakkan batang hidungnya di kampus.
HEY ROSE | 78
sendiri pun mulai jarang. Zemira mengkhawatirkan lelaki yang
masih berstatus sebagai kekasihnya itu. Setiap kali ia pergi untuk
menemui Tio dan Jefri di kelas, mereka berdua tidak ada di sana.
Baik Tio atau Jefri, sama-sama susah untuk menemukan kabar
mereka.
Zemira yang kini termenung di lobi fakultas, seketika
terlonjak kaget akibat seseorang yang tiba-tiba datang dan
menepuk bahunya.
“Hhhh Jihan kaget gue!” dengkus Zemira.
“Udah sembuh bestie?” tanyanya dengan sedikit gurauan.
“Lah emang gue sakit ya?”
Jihan berdecak, ia melingkarkan tangannya pada lengan
Zemira, membuat empunya meringis. Jihan mengarahkan
pandangannya pada lengan Zemira yang tertutup. Tak biasanya
gadis itu memakai baju dengan lengan panjang. Setelah menatap
Zemira heran, Jihan menyingkap lengan baju sahabatnya dan
terkejut dengan banyaknya luka di sana.
“Heh lo kenapa ini anjir?!”
Zemira berdecak. “Nggak papa abis jatuh.” Gadis itu
menurunkan kembali lengan bajunya.
“Jatuh apanya? Berantem sama Randika ya lo sampe cakar-
cakaran gini? Nggak mungkin jatuh sumpah ini yang bener lo abis
kenapa? Jujur nggak!”
Zemira hanya diam saja tak menanggapi. Beberapa saat
kemudian dua temannya yang lain datang. Iren dan Lyra datang
bersama—mereka asyik mengobrol ketika sampai di lobi. Lantas
Jihan menyambar mereka berdua, memberi tau Iren dan Lyra
terkait luka yang ada pada tangan Zemira.
“Buka nggak?!” tuding Iren yang sudah bersiap menarik
lengan baju Zemira.
Gadis itu terus mempertahankan dirinya agar teman-
temannya tak menyingkap kain yang menutupi luka di tangannya.
“Ih apaan sih! Jauh-jauh sana!”
HEY ROSE | 79
Ketiga temannya tak kalah untuk terus menarik tangan
Zemira hingga empunya kewalahan dan memilih menyerah. Iren
dengan kasar menyingkap kedua lengan baju Zemira dan
terbelalak melihat tangan yang sedikit membengkak itu. Lyra pun
tak kalah heboh.
“Anjir itu luka lo kenapa? Sampe ngebengkak gitu lieur gue
ngelihatnya.” Tunjuk Lyra dengan memicingkan mata. “Lo nggak
mau ke rumah sakit aja gitu biar diobatin? Infeksi ini ntar. Kenapa
sih?!”
“Jatuh gue,” jawab Zemira singkat, tak ingin memperpanjang.
“Nggak mungkin ah lo jatuh tapi, lukanya luka cakar begini.”
Tukas Iren.
“Tuh tuh iya kan, Ren? Kata gue juga itu luka cakar.” Jihan
menyetujui pernyataan Iren.
“Nggak percaya kalo gue jatuh? Gue jatuh beneran dah ini,”
ujar Zemira berusaha meyakinkan mereka.
Baik Jihan, Iren, maupun Lyra saat ini tengah menghela nafas
dan menatap Zemira ragu. Ditatap seperti itu membuat Zemira
merasa sedikit bersalah sebab tak mengatakan sejujurnya pada
ketiga temannya. Ia pun bingung apakah ia akan menceritakan
kejadian hari itu? Haruskah ia juga berbagi cerita tentang segala
keanehan yang ia jumpai akhir-akhir ini?
“Ze, kalo emang butuh pengobatan sama dokter, ke rumah
sakit aja please takut gue makin infeksi atau gimana itu. Lo juga
sering sakit akhir-akhir ini, sekarang pake acara jatuh lagi.” Iren
menghela nafas. “Nggak adik, nggak kakak gantian kalo sakit. Lo
berdua kenapa gitu sakit bisa barengan, entar siapa yang
ngerawat? Lo jauh dari orang tua, bisa lah jaga diri sendiri?”
Ujarnya Panjang lebar.
Lyra mendengkus. “Gue mau ikutan marah kayak percuma
kagak mempan.”
“Lo punya kita bertiga, jangan melulu nyusahin pacar lo!
Temen-temen lo dianggep kek. Nggak biasanya juga lo sering sakit
HEY ROSE | 80
dan lo tipe orang yang hati-hati, jadi nggak mungkin tiba-tiba
jatuh.” Tambah Lyra.
Benar, apa yang dikatakan Lyra semuanya benar. Memang
tidak biasa. Semua yang terjadi sangat tidak biasa. Zemira hanya
mengangguk dan tersenyum tipis pada ketiga temannya sebagai
jawaban. Ia tak ingin memperpanjang obrolan ini, takut mereka
akan khawatir berlebihan.
Selama masih bisa ia kendalikan sendiri, ia tak menginginkan
orang lain ikut campur dalam masalah yang ia hadapi.
HEY ROSE | 81
“Tapi, jangan dibuat ngaca lagi ya? Kata Jendra tuh dia lihat
sesuatu di kaca itu. Sosok yang udah meninggal tapi rohnya masih
ada di sana,” jelas Randika.
“Jendra lagi ya? Lo tuh abis gini pasti takut karena dengerin
cerita dia mulu.”
“Ih Kak tapi Jendra emang bisa ngelihat. Dia itu spesial punya
indera yang lain.” Randika menekan kata spesial. “Terus Kak Tio
jangan sering-sering ke sini lagi. Dia banyak berubah semenjak
pulang dari Inggris. Lo tau nggak dia sering dateng malem-malem,
just standing in front of the fence and stare at out house, Kak. It’s
kinda creepy kayak film-film yang pernah kita tonton itu.”
Zemira mengangguk setuju. Ternyata setiap malam ia
menutup jendela bukan dirinya saja yang melihat bayangan Tio
sedang berdiri di luar sana, Randika pun melihat itu. Ia sudah lama
ingin melontarkan tanya akan hal itu pada Tio, tapi ia takut hanya
sebuah halusinasi yang ia lihat setiap malam.
“Kak, soal cermin, nurut aja please. Gue takut tau.”
“Sebenernya kacanya udah pecah, tapi gue nggak tau kenapa
balik utuh lagi,” gumamnya yang masih dapat Randika dengar.
“Terus gimana? Kalo gue ngelukain lo lagi gimana, Kak?”
tukas Randika yang berhasil membuat Zemira berhenti mengunyah
makanan.
“Apa sih? Emang kata siapa lo ngelukain gue? Kan gue bilang
abis jatuh ini,” sangkal Zemira.
“Kata Jendra bisa jadi gue yang ngelukain Kak Ze, karena
emang kalo dipikir tuh lo jatuh yang kayak gimana sih Kak sampe
lukanya begitu? Apalagi itu luka cakar, Dika nggak sebodoh itu juga
kali.”
Zemira mengatupkan bibirnya mendengar pernyataan dari
Randika dan sukses membuat dirinya kalah telak. Sebenarnya ia
hanya tak ingin bila adiknya menyalahkan diri sendiri karena telah
tak sengaja melukai Zemira—sejatinya semua yang terjadi
bukanlah kesalahan dari Randika.
HEY ROSE | 82
“Kak sorry kalo bikin lo tersinggung, tapi gue beneran takut
sama Kak Tio. Dan gue yakin kalo kejadian semalem itu juga bukan
mimpi. Dipikir berapa kali pun gue yakin it’s not a dream.”
“Udah nggak usah dibahas lagi. Anyways, gue boleh minta
nomernya Jendra?”
Randika tersedak. “Uhuk... uhuk... Kak jangan suka brondong
ah!”
Zemira menepuk dahi Randika hingga si empunya
mengaduh.
“Iya iya itu ambil di hp gue,” seru Randika seraya beranjak
dari meja makan untuk pergi mencuci piring.
Sesaat setelah Zemira menyimpan nomor ponsel Jendra,
layarnya kembali menyala akibat panggilan masuk dari seseorang
yang dari tadi menjadi bahan pembicaraan dirinya dengan
Randika.
Tio—mendadak menghubungi gadisnya, entah apa yang
akan ia katakan.
“Halo?” Zemira menerima panggilannya.
“Ze, nggak mau main ke kos?”
Zemira mengernyit tak mengerti mengapa mendadak Tio
bertanya seperti itu.
“Kamu aja ke sini, biasa juga ke sini,” ujar Zemira yang
langsung mendapatkan tatapan tajam dari Randika yang baru saja
kembali usai mencuci piring.
“Enggak deh. Oh iya besok ikut aku yuk? Kamu besok masuk
kuliah, kan? Ada kelas jam berapa? Aku jemput ya sekalian anter
Randika ke sekolah juga.”
Randika mendengar suara Tio di seberang sana, karena saat
ini ia tengah duduk berdekatan atau bisa dibilang menguping
pembicaraan mereka berdua, ia menggeleng cepat kala mengetahui
bahwa Tio akan mengantarnya ke sekolah besok.
“Gue bareng Jendra,” bisik Randika menolak. Zemira
menghela nafas dan mengangguk menanggapi.
HEY ROSE | 83
“Maaf, Dika mau berangkat bareng Jendra ceunah mulai
besok, jadi nggak perlu kamu anter lagi,” ujar Zemira sedikit
canggung. “Aku besok ada kelasnya siang, jadi kayaknya nggak
perlu dijemput juga kalo kamu kelasnya pagi.”
“Oh gitu? Nggak lagi takut sama aku, kan?”
Degg!
Bak dihantam sebuah benda yang keras, ulu hati Zemira
terasa nyeri. “Kenapa mikir gitu?” tanyanya.
“Soalnya tiap aku ke sana dia kayak takut gitu ngelihat aku.”
Kini Zemira yang dibuat bingung. “Kamu ke sini? Kapan? Kok
aku nggak tau?” tanyanya sekedar basa-basi dan untuk
memastikan bahwa apa yang ia dan Randika lihat setiap malam itu
adalah Tio, bukan makhluk lain.
“Aku tiap malem ke rumah kamu. Di depan doang, mastiin
kalian berdua.”
Zemira menghela nafas. Pantas jika Randika merasa takut
dengan Tio karena lelaki itu hanya berdiri di depan rumah tanpa
berniat masuk ke dalam.
“Kayaknya emang Dika takut karena kamu diem doang di
depan rumah, harusnya masuk gitu biar nggak salah paham. Tau
sendiri dia itu penakut sama hal-hal yang ....”
Kalimat Zemira menggantung sebab Randika tengah
memasang wajah galak dengan mata yang melotot. Rupanya ia
ingin si sulung untuk segera mengakhiri panggilannya.
“Aku kemaleman, lagian pintu rumah juga sekarang kamu
kunci terus. Ya udah kalo gitu besok kamu nggak mau dijemput
juga?”
Zemira menggeleng meski Tio tak dapat melihat reaksinya
saat ini. “Enggak...,” lirihnya.
“Ya udah kalo gitu aku tutup ya, Ze. Kamu percaya sama aku,
kan? Apa pun yang aku lakuin kamu percaya? Aku harap kamu
nggak ada pikiran jelek sama aku.”
“A-apa maksudnya?”
Tuuttt....
HEY ROSE | 84
Tuuttt....
“Halo? Tio?”
Pertanyaan terakhir Zemira tak terjawab karena kekasihnya
itu memutus panggilan sepihak. Sungguh tidak adil karena ia
bahkan belum sempat bertanya tentang hal yang ingin ia tanyakan
mengenai cermin pemberian Tio.
Pindah ke ruang tengah, Zemira menemani sang adik
menonton televisi. Ia kembali menatap layar ponsel, menggulir
beberapa nama di kontaknya dan berhenti pada satu nama kontak
yang baru ia simpan.
Jendra—sepertinya banyak yang ia ketahui.
Lantas Zemira mencoba untuk menghubunginya. Awalnya
hanya pertanyaan seputar apakah lelaki itu dapat melihat apa yang
tidak bisa ia lihat? Jendra membenarkan pertanyaan Zemira. Juga
pertanyaannya mengenai sosok yang ada di dalam cermin
pemberian Tio. Ia mencoba untuk mengajak teman Randika itu
untuk bertemu muka, agar Zemira sendiri pun dapat mendengar
penjelasan secara langsung dan mengerti apakah lelaki itu sedang
berbohong atau tidak.
Jendra menyetujui ajakan Zemira dan akan pergi ke
rumahnya meski jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Sepertinya pun banyak sesuatu yang ingin lelaki itu jelaskan pada
Zemira juga.
Melangkahkan kaki ke luar rumah, Zemira pergi ke teras
meninggalkan Randika yang tengah tertidur di ruang tengah. Gadis
itu duduk di teras sembari menatap jauh ke depan, ia merasa aneh
dengan setiap malam yang ia lewati. Meski banyak kendaraan yang
berlalu lalang, ia seperti merasa kosong dan sepi.
Tak menunggu lama, terlihat Jendra memasuki pelataran
rumah dengan mengayuh sepeda.
“Kak.” Seulas senyum Jendra terbit kala menyapa Zemira.
“Sini duduk.” Titah Zemira.
Tanpa basa-basi Jendra langsung menembak dengan
berbagai jawaban yang bahkan belum Zemira tanyakan. Ia sudah
HEY ROSE | 85
menjawab segala yang menjadi pertanyaan Zemira akhir-akhir ini.
Tak banyak, hanya saja hal yang dikatakan Jendra padanya mampu
sedikit mengurangi rasa penasarannya.
“Gue nggak tau awal mulanya gimana, Kak, tapi gue ngelihat
sosok yang nggak pernah ada di rumah Kak Ze atau bisa dibilang
makhluk baru? Gue nggak bisa jelasin dia jahat atau enggak karena
gue nggak tau. Waktu itu pasti Randika udah cerita, kan? Tugas
sekolah yang tiba-tiba aja bikin kita semua kaget karena di situs
orang hilang, ada inisial Kak Tio dan temen-temennya yang lain ada
di sana.”
“Tunggu—gimana lo bisa yakin kalo itu inisial Tio sama
temen-temennya padahal kalian semua belum kenal atau bahkan
nggak kenal. Randika aja lupa-lupa inget sama temennya Tio.”
Zemira menyela penjelasan Jendra.
“Karena tertera asal nama kampus dan negara, Kak. Nggak
mungkin kan kalo ada orang lain dengan inisial sama? Dan lagi
penerima beasiswa itu orang-orang yang kepilih aja kan, Kak?”
“Jen, situsnya belum diperbarui lagi kali.” Zemira terus
menyangkal, sedikit tak terima.
“Katakanlah begitu. Kak, tapi kenyataannya setiap hari gue
lihat situsnya terus update tentang informasi orang hilang dan
orang yang udah ditemuin. Nggak masuk akal kalo mereka nggak
perbaruin lagi info tentang hilangnya mahasiswa yang punya inisial
T dan temen-temennya.”
Zemira lagi-lagi dibuat bungkam akan pernyataan dari
Jendra. Apa yang dikatakannya benar, mustahil bila situs sebesar
itu melewatkan untuk memperbarui informasi.
“Tentang sosok yang lo lihat itu ....”
Kalimat Zemira menggantung, namun Jendra dapat
membacanya. “Dia sosok yang kejebak di dalam cermin mawar
punya Kak Ze. Dan sorry kalo gue nyuruh Randika buat ngeluarin
kursi yang ada di kamar lo. Bukan tanpa alasan, karena actually
kalo ada kursi kosong di kamar, that’s where ghost sit while they
watch you sleep, Kak—duduk nungguin lo.”
HEY ROSE | 86
Demi Tuhan! Gadis itu merinding bukan main. “Are you sure?
Lo nggak lagi dalam misi bikin gue sama Randika mati ketakutan,
kan?”
“Ngapain juga, Kak? Apa untungnya buat gue? Gue malah
coba buat bantu Kak Ze. Dan di sini banyak pandangan gue tentang
Kak Tio, event tho gue nggak kenal sama dia. Apa dia udah
ngelakuin sesuatu yang salah? Suatu hal di luar ranah kita sebagai
manusia. Hal terlarang misalnya?”
Zemira diam bukan berarti ia hanya mendengarkan tanpa
berpikir. Semua perkataan Jendra pelan-pelan ia telan dan
menyaring mana yang perlu ia percaya, mana yang tidak. Ia tidak
langsung menelan mentah-mentah semua pernyataan dari Jendra.
Tapi, jika lelaki itu pun dapat menjelaskan dengan jelas dan logis,
bisa saja rasa percaya Zemira lebih mendominasi.
“But it’s just my opinion. Karena gue juga belum tau jelas. Kak
Ze mau nggak kalo gue ajak ke suatu tempat? Yang mungkin bakal
lebih ngebuka diri lo.”
“Ngebuka? Wait Jen, iya oke gue pasti akan terima semua
penjelasan lo, tapi, what do you mean? Biar lebih terbuka?” Zemira
mengernyit seakan menuntut penjelasan akan hal ‘terbuka’ yang
Jendra maksud.
“Hmm, ikut gue ke tempat yang nggak pernah dijamah sama
manusia.”
“Lo gila?! Nggak mau lah gue!” Zemira menolak mentah-
mentah. Untuk apa ia harus pergi ke tempat yang tidak pernah
dijamah oleh manusia? Ia tak ingin menyia-nyiakan waktu juga satu
nyawa yang ia punya.
“Kak, kadang sesuatu yang berbau mistis bisa ngebantu diri
kita buat ngelawan hal dari alamnya juga. Gue pun, ada gue sama
Kak Jefri.”
“Jefri? Bentar … Jefri yang lo maksud itu … Jefri yang gue
kenal?”
Jendra mengangguk. “Iya, Kak Jefri mantan Kak Ze, kan? He
almost died kalo nggak ada gue waktu itu. Gue nggak bisa cerita
HEY ROSE | 87
banyak dulu, Kak, lo pikir baik-baik aja dulu. Gue juga nggak bisa
maksain Kak Ze buat ikut gue ke sana. Yang jelas gue udah cukup
banyak tau tentang Kak Tio, hanya terlalu rumit buat dijelasin satu-
satu dan semuanya masih belum jelas.”
“Gue cuma pesen sama Kak Ze, jangan bawa cerminnya ke
mana-mana. Taruh aja di laci atau tempat tertutup lainnya. Simpen
aja di sana, kalo bisa buang deh, Kak.”
Zemira mengangguk paham. Lagi-lagi semua menyudutkan
Tio. Menuduh kekasihnya itu telah melakukan hal terlarang yang
mengakibatkan banyak sekali kerugian. Tentu saja, bagaimana pun
ia tak bisa mempercayai satu pihak. Gadis itu butuh penjelasan juga
dari Tio, apa pun itu setidaknya Tio mau angkat bicara.
“Too much information, Jendra. Tapi, balik lagi, karena gue
nggak bakal percaya sama orang kalo gue nggak ngelihat atau
ngebuktiin sendiri, jadi gue tetep mau percaya sama Tio. Atas
semua tuduhan kalian semua, dia nggak seperti yang kalian kira.
Dan apa untungnya buat dia ngelakuin hal terlarang gitu? Fifty fifty
lah.”
“Oke fifty fifty kan, Kak? So, Kak Ze juga nggak boleh terlalu
percaya sama Kak Tio. Iya bener, bisa jadi tuduhan gue yang salah.”
“Fifty fifty, right?” imbuh Jendra lagi.
HEY ROSE | 88
WELCOME
During the day, I don’t believe in ghosts. At night I’m a little more
open-minded.
Hari demi hari yang Zemira lewati terasa semakin sepi dan sunyi.
Entah hanya perasaannya saja atau memang ia sedang merasa
kesepian karena jarang bertemu para sahabatnya di kampus.
Masuk di kelas yang berbeda, juga tugas yang semakin hari
semakin menggerogoti akal pikir, membuat dirinya tak memiliki
waktu untuk sekedar hangout bersama sahabat-sahabatnya.
Kali ini ia berada di toilet bersama dengan salah satu
sahabatnya, Lyra. Mereka berdua sama-sama tengah bercermin.
Memoles wajah yang padahal masih cantik-cantiknya. Namun,
kemudian Zemira meraih ponsel dan fokus membalas beberapa
chat yang masuk. Waktu Indonesia Bagian Gibah, kata Jihan. Ia
tertawa karena Iren memenuhi room chat dan mengatakan bahwa
ada sesuatu yang harus mereka lihat.
“Apaan lagi sih Iren ini?” Lyra mendengkus kesal sebab spam
chat dari Iren.
“Haha nggak tau biarin aja deh.”
“Tuh tuh segala tanya kita ada di mana, tinggal kasih tau aja
ngapa dah?! Emosi gue lama-lama. Mau spill aja setengah-
setengah.”
Gelak tawa Zemira mengudara. Sesaat kemudian ia terdiam
akibat foto yang dikirimkan oleh Iren. Sebuah foto dengan tiga
lelaki di dalamnya. Maren, Dhirgam, dan Wira. Ia tak mengerti
mengapa Iren mengirim foto tersebut.
Dan bukan Lyra namanya jika ia tidak heboh karena foto
lelaki yang Iren kirim. Ya, Maren—lelaki yang Lyra suka, yang
pernah menggemparkan seantero kampus perihal kematiannya.
HEY ROSE | 89
Iren seperti memaksa Lyra untuk mengingat seseorang yang telah
hilang dari muka bumi.
“Cowo kiciw gueeeeee...,” mata Lyra berubah sendu.
Keduanya berjalan mencari tempat duduk yang nyaman,
sembari menunggu Iren untuk menjelaskan maksud dari ia
mengirim foto tersebut. Rasanya darah Lyra berdesir naik karena
Iren terus saja bertele-tele menanyakan apakah Zemira saling
follow dengan Dhirgam di sosial media atau tidak. Karena rupanya
foto yang baru saja Iren kirim adalah postingan terbaru dari
Dhirgam.
Penasaran dengan itu, baik Zemira maupun Lyra, keduanya
membuka akun sosial media Dhirgam untuk melihat postingannya.
Kedua bola mata Zemira hampir lepas rasanya, saking melototnya
ia kala melihat kolom komentar terdapat akun Maren yang
meninggalkan jejak di postingan tersebut. Tapi sebentar—jadi
kecurigaannya tentang sebuah situs web itu benar, kan? Apa kata
Zemira! Situs itu belum memperbarui informasi, Dhirgam still alive.
Namun, di sisi lain bukankah Maren sudah dinyatakan meninggal
sejak kabar itu?
“Nggak nggak ini foto lama.” Zemira me-rolling eyes dan
hampir menyimpan kembali ponselnya sebelum akhirnya Lyra
menahannya.
“Semalem. Ini postingan semalem. Dan ini komentar
Maren—Ze? Kita udah bareng-bareng ke makam Maren kan waktu
itu?”
Pertanyaan dari Lyra membuat sekujur tubuh Zemira
merinding. Otaknya terasa berhenti tak bisa berpikir lagi. Lidahnya
pun kelu hanya untuk menjawab ‘iya’ pada pertanyaan Lyra. Ia
ingat betul kala itu mereka berkunjung ke rumah duka, bahkan
Zemira, sahabatnya, juga Tio dan teman-temannya yang lain ikut
pergi ke makam Maren.
Gadis itu menggeleng cepat. Beranjak dari tempat duduknya
dan berlari meninggalkan Lyra yang tengah meneriaki namanya.
Tak peduli dengan itu, Zemira hanya ingin bertemu Tio saat ini.
HEY ROSE | 90
Bagaimana pun juga ia harus bertanya untuk mendapat jawaban
agar ia tak menuduh Tio yang tidak-tidak.
Berlarian menuju ruang kelas Tio, hanya ada Doni juga Janu
di sana. Mencoba menghubungi lelaki itu pun tak ada nada
panggilan tersambung. Ia kirim beberapa bubble chat tapi sayang
sekali sepertinya ponsel Tio mati atau mungkin sengaja
dinonaktifkan untuk menghindar. Karena demi apa pun Tio tak
pernah bersikap seperti ini pada Zemira, lantas apakah ini saatnya
ia harus mempercayai semua perkataan Jefri? Apakah saatnya ia
pun ikut menyudutkan Tio seperti orang-orang lainnya?
Tidak.
Zemira masih ingin percaya pada Tio. Kini dirinya yang
berasumsi bisa jadi akun Maren digunakan oleh orang lain, dan bisa
jadi itu bukan Maren atau pun Dhirgam, atau pun—ah! Sial Zemira
merasa dirinya hampir gila hanya karena memikirkan ini.
Otaknya sudah tumpul. Zemira tak bisa berpikir akan
kemana ia saat ini, yang jelas ia harus pergi ke makam Maren
sepulang dari kampus. Itu akan lebih membuatnya yakin bila
Maren telah meninggal dunia. Dan jalan terakhir, hanya Jefri yang
mungkin akan menemaninya ke tempat peristirahatan Maren.
“Halo Jef? Lo di mana? Gue mau ketemu boleh?”
Tanpa basa-basi Zemira menyambungkan panggilan suara
dengan Jefri.
“Boleh, udah kelar ngampus? Mau ketemu di mana?”
jawabnya di seberang sana.
“Di makam Maren. Lo nggak lagi sibuk, kan?”
Jefri terdiam sejenak, rasanya ia sedang berpikir. “Sorry Ze
gue nggak bisa.” Tolaknya.
“Kenapa? Kata lo boleh ketemu barusan? Lo juga tanya mau
ketemu di mana, kenapa waktu gue jawab di makam Maren, lo
mendadak nggak bisa?” Zemira menyudutkan dan berupaya agar
Jefri menyetujui ajakannya.
“Ya kalo ke sana mau ngapain Ze? Apa yang mau lo cari di
sana?” suara Jefri naik satu oktaf.
HEY ROSE | 91
“Enggak... gue mau ke sana aja jenguk dia. Salah ya? Kalo
nggak mau nggak papa gue ke sana sendiri.” Final Zemira setengah
mengancam. Karena pada dasarnya ia ingin Jefri ikut bersamanya.
Terdengar Jefri menghela nafas kasarnya. “Iya oke gue
temenin. Kita ketemu di sana apa mau gue jemput? Lo nggak sama
Tio, kan?”
“Ketemu di sana aja, gue bawa motor kok. Tadinya mau sama
Tio tapi gue cari dia di kampus nggak ada. Gue hubungin pun
nomernya nggak bisa dihubungi. Makanya gue ngajakin lo, Jef.”
“Ya udah hati-hati bawa motornya. Yuk berangkat sekarang
keburu sore, hujan juga nanti takutnya.”
Zemira mengangguk meski Jefri tak bisa melihatnya.
Sambungan terputus begitu Jefri mengatakan kalimat terakhir.
Untuk mempersingkat waktu juga, Zemira segera bergegas
mengunjungi Maren.
“Lo sih Jef! Kan udah gue bilang rada cepet dikit keburu sore!”
protes Zemira.
Sendiri, Zemira menunggu Jefri yang entah kenapa bisa
sangat lama untuk sampai di makam. Ini yang ia takutkan juga,
matahari yang ingin segera bersembunyi di balik malam. Jefri
datang dengan wajah tak berdosa. Masih sempat untuk sekedar
memamerkan lesung pipinya, padahal Zemira sudah sangat kesal
rasanya.
“Takut ya?” goda Jefri. “Lagian ngajaknya juga mepet jam
segini.”
“Apa? Apa juga yang gue takutin?”
Jefri menggeleng.
Mereka berdua berjalan dengan langkah kaki yang sama.
Tempat peristirahatan terakhir Maren harus ditempuh setidaknya
15 menit dari area parkir. Cukup jauh karena harus melewati
pepohonan pinus dan pohon-pohon besar lainnya. Tampak seperti
HEY ROSE | 92
hutan, namun tak bisa disebut hutan karena lokasinya khusus
untuk tempat pemakaman.
Di jalan, Zemira sempat berfikir untuk memberikan banyak
pertanyaan pada Jefri. Namun setelah ia melirik rekan di
sebelahnya, wajah itu nampak murung entah karena apa. Maka ia
terpaksa mengurungkan segala pertanyaan—tapi tetap saja....
“Jef lo tuh kenapa udah nggak ngampus?”
“Terminal?”
“Cuti?”
Pertanyaan Zemira tak satu pun diindahkan.
“Ze—“
“Loh? Kenapa berhenti?” Zemira membalikkan tubuhnya
karena Jefri tak ada di sebelahnya.
Berdiri di depan gundukan tanah yang nisannya terukir
nama ‘Jefri Sandika’. Siapa yang tidak terkejut saat menyadari nama
lengkapnya terpampang jelas di sebuah batu nisan. Zemira melotot
sembari tangannya membungkam mulutnya, menahan nafas
beberapa detik, sesak rasanya. Karena demi Tuhan jantungnya pun
bisa saja melonjak keluar.
“J-Jef ... itu nama lo?”
Jefri tak menjawab. Ia sontak meraih tangan Zemira untuk
mengisi ruas jarinya yang kosong. Lelaki itu menarik Zemira agar
lawannya mengurungkan niat untuk pergi ke makam Maren.
“Jef?! Ih ngapain balik sih? Kan belum nyampe di makam
Maren.”
“Setelah lihat itu lo masih mau ke sana?!” Itu bukan
pertanyaan, melainkan tindak tegas dari Jefri yang tiba-tiba tampak
cemas. “Masih mau nerusin jalan ke makamnya Maren? Lo yakin?
Bentar lagi jam lima, Ze. Ini udah gelap!”
“Ya kan tujuan ke sini emang ke makamnya Maren?! Lagian
nama Jefri Sandika di dunia ini nggak hanya lo doang yang punya.”
Zemira melepas paksa tangan Jefri hingga tangan lawannya
terhempas. Ia berniat untuk kembali melanjutkan jalannya untuk
tetap pergi meski tanpa Jefri.
HEY ROSE | 93
“Apa sih yang lo cari?” pertanyaan Jefri mampu membuat
langkah gadis itu terhenti. “Lo mau mastiin Maren udah meninggal
atau enggak, kan? Nggak hanya pengen ngunjungin makam Maren
tapi lo punya tujuan lain, kan?”
Tidak ada jawaban, Zemira masih memunggungi Jefri.
“Jawab gue, Ze!” Jefri kembali melontar tanya.
“Kalo iya kenapa?” suara Zemira lirih, masih terdengar meski
ia tak membalikkan diri. “Tinggalin gue sendiri kalo lo nggak mau
nemenin gue. Gue nggak papa.” Ia melangkah lagi.
Gadis itu tetap pada pendiriannya, ia semakin melangkah
menjauh dengan Jefri yang masih berdiri mematung disertai
rutukan terhadap dirinya sendiri.
Kabut mulai turun menutupi pandangan Zemira dan Jefri. Ya,
Jefri memutuskan untuk ikut bersamanya. Ia tak akan setega itu
membiarkan seorang gadis sendirian pergi ke makam. Meski langit
hampir gelap dengan meninggalkan bias cahaya mentari, mereka
berdua tengah sampai di tujuan.
Zemira menatap lekat-lekat sebuah gundukan tanah dan
batu nisan itu. Di atas gundukan terdapat banyak taburan bunga
mawar dan kenanga yang membuatnya semakin indah. Sepertinya
ada seseorang yang datang sebelum mereka berdua berkunjung.
Daun-daun saling bergesekan menimbulkan suara gemerisik
lembut yang terdengar indera pendengaran. Hembusan angin
sedikit kencang, membuat Zemira menggosok lengan yang terbuka
dengan kedua telapak tangannya.
“Udah Ze?” tanya Jefri. “Gelap.” Imbuhnya lagi sembari
mengeluarkan ponselnya guna menyalakan lampu senter sebagai
penerang mereka.
“Jef, lo tau sesuatu, kan?” Zemira masih sibuk
menghangatkan dirinya. Lantas ia berjongkok di samping nisan.
“Boleh nggak Jef lo kasih tau gue? Semuanya.”
Bukan tanpa alasan Zemira tiba-tiba berjongkok. Gadis itu
merasa ada orang lain yang tengah memperhatikan mereka
berdua. Dengan kedua kaki terlipat, diam-diam Zemira mencuri
HEY ROSE | 94
pandang pada sosok yang berdiri di belakang pohon pinus, tepat di
belakang Jefri, namun terpaut jarak yang cukup jauh.
Sebuah bayangan hitam.
“Suddenly? Emang percaya kalo gue cerita apa yang gue tau?
Lo aja nggak percaya kalo Tio yang nyelakain gue.”
“Shhhh.” Zemira menempelkan jari telunjuknya pada bibir
cerinya. “Diem dulu Jef.” Seraya memelankan suaranya.
Gerak-gerik bola mata Zemira, semoga Jefri dapat
membacanya—ia terus memutar bola matanya ke arah yang sama.
Tak jelas siapa dan sosok apa yang tengah berdiri di sana. Sosok itu
terus memperhatikan mereka berdua. Tangan Zemira meraih
pergelangan Jefri dan bergetar hebat. Sungguh detak jantungnya
pun melampaui batas normal. Untuk pertama kali dalam hidupnya,
ia merasakan bagaimana rasanya diawasi oleh sosok yang tak
pernah ia percayai.
Hantu? Jin? Setan? Iblis? Apalah itu Zemira tak pernah
mempercayai bahwa mereka ada. Sekali pun mereka benar-benar
ada, tak akan ada pengaruhnya pada dirinya.
“Ze? Ayo balik.”
Seperti merasakan perubahan sikap pada gadis itu, Jefri
menarik tangan Zemira agar ia bangun dan beranjak dari sana.
Wajah gadis itu terlihat sangat pucat. Namun, sesuatu yang lebih
menegangkan terjadi. Kala langkah mereka bergeser, sosok itu
menggeser langkahnya pula untuk semakin dekat.
Zemira melihatnya. Sosok itu adalah dirinya—tidak! Lebih
tepatnya, sosok lain dari Zemira. Sosok yang menyerupai dirinya,
sama seperti tempo hari yang ia lihat di ruang kamarnya. Dengan
rambut panjang terurai, juga cermin berada dalam genggamnya.
Cermin mawar? Pemberian Tio?
Zemira menggeleng cepat menyadarkan lamunannya.
“J-Jef... kayaknya kita nggak bisa balik.” Suaranya mulai
bergetar. Sudut matanya pun kian membasah.
“Nggak bisa balik gimana? Ze? Percaya sama gue ya?” ucap
Jefri seraya memberi keyakinan.
HEY ROSE | 95
“Jefri demi Tuhan di belakang lo ada ... gue ...,” bisik Zemira.
Lelaki itu menggeleng. “Lo ada di depan gue sekarang. Ze, ayo
kita balik, oke?” tegas Jefri yang sontak membalikkan tubuhnya
tanpa mengabulkan keinginan Zemira. Ia tetap menggenggam kuat
pergelangan tangan Zemira agar gadis itu tak lepas darinya. Agar
gadis itu tetap berada dalam lindungnya.
Lantas sosok itu dengan cepat pula memangkas jarak di
antara mereka. Secepat Jefri membalikkan tubuhnya, secepat itu
pula sosok yang diyakini Zemira yang lain menancapkan ujung
cermin mawar yang dipegang tepat di leher Jefri.
“JEFRI!!!!!”
Genggaman tangan Jefri terlepas. Tubuhnya seketika ambruk
dengan cairan merah kental yang bercucuran keluar dari leher.
Zemira mengangkat kepala Jefri pelan untuk disandarkan di atas
pahanya. Kedua bola mata lelaki itu masih sedikit terbuka dengan
minim kesadaran dan mata sayu ia masih sempat melontarkan
sebuah kalimat.
Lawan, Zemira....
Anehnya Jefri tak mengeluarkan suara apa pun namun
Zemira dapat mendengarnya dengan jelas. Seperti suara bisikan-
bisikan yang kerap kali ia dengar. Setelah mengatakan hal itu, Jefri
menghembuskan nafas terakhirnya. Tepat pukul enam malam, Jefri
terbunuh di depan mata kepala Zemira.
HEY ROSE | 96
“Iya, Randika minta maaf. Kata Jendra hari ini Kak Jefri
dimakamin, Jendra juga ke sana, Kak Ze nggak mau ke sana juga?
Dika temenin.”
Sebenarnya Randika sudah siap dan rapi memakai baju serba
hitamnya.
“Gue pantes nggak sih? Pantes nggak kalo gue dateng ke
pemakamannya? Dika, semua salah gue. Lo percaya nggak kalo gue
yang bunuh Jefri?”
Zemira melempar pertanyaan yang membuat Randika tak
bisa menjawab beberapa detik. Gadis itu kembali menangis, kini
buliran air mata tengah berbondong-bondong meloloskan dirinya.
Randika menggeleng sembari menyeka wajah si sulung.
“Kakak jangan bercanda deh. Randika nggak bakal percaya lah.
Ngebunuh apa sih, Kak! Jangan ngomong kayak gitu.”
“Tapi, Dik, emang gue yang ngebunuh Jefri. Gue ....”
Suara tangis bercampur dengan penyesalan menggema
memenuhi ruangan. Zemira meraung sembari menyalahkan
dirinya sendiri. Menangis hingga dadanya terasa sesak dan sakit.
Randika ikut sedih melihat si sulung yang terus meremat dadanya
dengan sesekali memukul.
“Kak, udah....” Randika berusaha menenangkan meski ia
sendiri tak tau apakah ia dapat membuat hati kakaknya merasa
lebih baik atau tidak. Ia mengusap punggung si sulung dengan
teratur. “Semua udah takdir Kak, nggak bisa kita nyalahin diri
sendiri. Udah ya?”
Zemira menggeleng. “Kalo aja kemarin gue nggak ngajakin
Jefri, kalo aja gue nggak kukuh nyamper ke makam Maren, kalo aja
gue nurutin apa kata dia, Jefri pasti masih hidup.” Keluh sesalnya.
“Lo pergi aja nggak papa, gue nggak ikut ke pemakaman. Lo aja ya
Dik, sebagai pengganti gue.” Pinta Zemira.
Haruskah Randika pergi meninggalkan sang kakak sendiri di
rumah? Haruskah ia pergi ke pemakaman Jefri? Ia sama sekali tak
tega membiarkan Zemira sendirian dalam kondisi seperti ini. Ini
HEY ROSE | 97
adalah yang pertama dalam hidupnya melihat si sulung terlihat
frustasi seperti ini dan semoga terakhir kalinya pula.
“Gih berangkat.” Titah Zemira lagi.
Mau tak mau Randika kabulkan permintaan dari Zemira.
Sebelum lelaki itu pergi, ia meyakinkan pada si sulung bahwa itu
semua bukan kesalahannya. Sudah jalan takdirnya seperti ini, tak
bisa Zemira menyalahkan keadaan yang tengah terjadi dan gadis
itu hanya mengangguk lemah.
Sendiri.
Kini Zemira duduk berteman sepi, lagi.
Duduk di tepian jendela, dengan angin yang lolos
menerpanya dan meniup lembut anak-anak rambutnya, berharap
rasa sesak di dada ikut terbang bersama angin jua.
“Who is she?” gumam Zemira, menatap ke luar. “That shadow,
why is it exactly the same as me? Apa itu artinya gue yang ngebunuh
lo? Atau apa Jef?”
Air mata Zemira kembali terbendung di pelupuk mata.
“Maafin gue ... Jefri maafin gue ... gue mau percaya sama lo, gue mau
percaya sama semua tuduhan lo tentang Tio karena kematian lo
yang nyata ini bikin semua yang ada di pikiran gue berubah.”
HEY ROSE | 98
“Are you feeling better?” tanya Tio menginterupsi.
Zemira mengangguk. “Makasih udah nemenin aku ke
makam.”
“Don’t blame yourself ya? Ini Randika masih lama nggak
keluarnya?”
“Iya tadi bilang sekalian ke rumah Jendra. Kamu pulang aja,
aku nggak papa sendirian.”
Tio berjalan menyusuri setiap inci kamar Zemira. Hal yang
biasa karena sebelum Tio pergi ke Inggris pun ia sering membantu
Zemira untuk membersihkan kamar. Lelaki itu bahkan hafal letak
barang-barang kesayangan gadisnya. Ia membuka laci, lantas
duduk di tepian ranjang.
“Masih khawatir sama kamu.” Jawabnya atas pernyataan
Zemira.
Zemira sudah memejamkan mata saking lelahnya. Kedua
mata yang sembab, ia ingin mengistirahatkannya. “Aku nggak papa
beneran, kamu pulang aja.” Tukasnya tanpa membuka mata sedikit
pun.
“Ya udah aku pulang.”
Gadis itu hanya mengangguk.
Masih di ambang pintu, Tio kembali menyandarkan dirinya
untuk mengatakan sesuatu pada Zemira. “Cermin yang aku kasih,
aku keluarin dari laci.”
Mendengar itu Zemira membuka matanya dan menoleh ke
arah Tio, kemudian berotasi pada meja lacinya. Benar saja, cermin
yang ia simpan di dalam laci sudah berada di atas meja. Tepat di
dekat vas dengan bunga mawar pemberian Tio yang masih segar
dan indah.
“Ngapain dikeluarin? Emang aku simpen di dalem laci kok.”
Nada Zemira naik satu oktaf. Ia menampakkan kekesalannya.
“Nggak papa, buat kamu ngaca aja.”
Apa katanya?
Zemira tertawa sarkas. “Hello? Aku lagi nggak butuh itu, Tio.
Harusnya kamu tau itu. Ngapain dikeluarin sih? Ya udah lah nggak
HEY ROSE | 99
perlu dibahas.” Ia mengibaskan tangannya. “Mulai besok aku ke
kampus sendiri aja, naik motor, kamu nggak perlu jemput aku.
Randika juga udah tiap hari sama Jendra.”
Tatapan Tio menajam mendengar penuturan Zemira. Begitu
pula sebaliknya, gadis itu melempar tatapan yang sama. Datar
dengan disertai rasa kesal dan malas.
“Kenapa? Kamu lagi berusaha ngejauh? Atau ada alasan
lain?” tembak Tio.
Marenlee
Maren?
Wdym?
Maren?
Read.
Ragu.
Saat ini Zemira berada di kamarnya sendiri. Usai bersiap, ia
duduk di depan cermin meja riasnya. Ia menatap lamat pantulan
dirinya. Tangannya menyentuh permukaan cermin yang licin,
menyapukan kesana kemari. Tiba-tiba dirinya merasa sesak tanpa
sebab hanya karena melihat pantulannya sendiri.
Ada rasa takut yang datang mengacaukan segala pikirnya
pula. Ketakutan akan bertemu dengan Maren. Ketakutan akan fakta
yang akan ia dengar—yang mau tak mau harus Zemira dengar dan
terima segala faktanya nanti karena Maren adalah salah satu saksi
dari ketiga teman Tio.
Maren adalah saksi bukan? Saksi atas apa yang telah terjadi
selama mereka tinggal di negara asing. Jujur saja Zemira semakin
gugup. Ia masih berdiam diri mengatur nafasnya.
Berbeda dengan Randika, di ruang kamarnya ia sedang
melakukan panggilan grup bersama satu genk-nya yang Jendra beri
nama ‘ghost hunter’. Sebuah misi mencari hantu atau apa? Mereka
sedang heboh-hebohnya karena Randika tiba-tiba mengirim pesan
Liburan akhir pekan, Maren, Tio, Wira dan Dhirgam tak enak
jika hanya berdiam diri di asrama. Bosan, mereka ingin menjamah
negara yang sedang mereka singgahi ini. Mereka tak bisa menyia-
nyiakan kesempatan yang mereka miliki di waktu luang ini.
Pastilah setiap orang memikirkan hal yang sama bila berada di
negara yang bukan tanah kelahirannya.
Kota Gloucestershire adalah sasaran empuk mereka. Kota
yang dijuluki sebagai Vaping Hotspot di Inggris. Pasalnya, mereka
memiliki jumlah vape store lebih dari dua kali lipat rata-rata
nasional. Kota ini termasuk yang teratas dalam hal jumlah toko e-
rokok per jumlah penduduk di negara Inggris.
“Ini sih surga dunia,” celetuk Dhirgam saat bola matanya
menyusuri sudut-sudut kota yang hampir penuh dengan toko vape.
“Wah gila! Gue kayaknya pengen lama-lama di sini aja deh! Setahun
nggak cukup ieu mah.”
“Hotel?” Tanya Tio. “Udah pesen hotel?”
Yang ditanya malah celingukan. Mereka bertiga saling
melempar tatap satu sama lain. Maren cengengesan. “Gue kelupaan
Yo, sorry.”
“Kalau tau gitu gue aja yang pesen.” Tio berdecak.
“Jadi belum booking hotel?” Agaknya sel otak Wira baru saja
tersambung.
“Don't worry kita bisa tanya sama orang sini, kan? Biar
direkomendasiin gitu yang fasilitasnya ciamik sama strategis.”
“Kak Ze!!”
Tok!
Tok!!
Tok!!
Jendra terus mengetuk pintu kamar Randika yang terkunci
dari dalam. Teman-temannya sudah berkumpul di ruang tengah
saat ini, namun si empunya rumah masih mengurung diri di dalam
kamar. Sedang Zemira sedang pergi keluar untuk membelikan
mereka semua makan dan berbagai macam jajanan, mengingat ia
dan Randika sudah tinggal berdua tanpa bantuan Mbak yang
memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan.
“Dika?! Mau sampai kapan diem di kamar?!” Teriak Jendra.
“Udah pada ngumpul di ruang tengah ini buruan keluar ah!”
Tak ada jawaban.
“Kak Ze pergi keluarrrrrr!” Teriaknya lagi yang langsung
disahut oleh Randika.
“Sendiri?!”
Seketika pintu kamarnya terbuka dengan raut wajah Randika
yang penuh dengan kekhawatiran. Jendra menghela nafas.
“Sama Naja, tenang aja.”
Bahu Randika yang tadinya menegang langsung saja merosot
mendengar jawaban dari Jendra.
“Gini nih yang nggak gue mau setelah gue cerita semua ke lo.”
Tadi, kala mereka berdua selesai membersihkan diri dan
berada di kamar Randika, Adik dari Zemira itu mengungkapkan
“Kakkkk!”
Suara seruan Randika menembus pintu kamar Zemira. Gadis
yang baru saja membuka daun pintu itu langsung dipertemukan
dengan si bungsu yang berlarian kecil dengan senyum manis
menghiasi wajahnya.
“Kak! Bunda sama ayah mau ke sini!!!” serunya lagi. Randika
terlihat begitu bahagia menyampaikan kabar yang ia dapat. “Asik
nggak tuh?”
Zemira berdecak. “Nggak bilang ke gue si bunda.”
“Gimana mau bilang? Kata bunda nomernya Kak Ze block.”
Jawab Randika sembari mengekori Zemira yang berjalan menuju
dapur.
“Ya abis gue kesel masa udah liburan panjang tapi nggak mau
nengokin kita.”
“Kan sibuk Kaaakkkk.”
Zemira hanya manggut-manggut dengan sesekali me-rolling
eyes ke arah yang lain. Randika yang masih berada di sana
memperhatikan gerak-gerik Zemira yang terlihat aneh. Ia
memicingkan mata seperti tengah berhasil membaca pikiran si
sulung.
“Kakak udah mandi?” tanya Randika penuh selidik.
Mengerjap beberapa kali, Zemira menganggukkan kepala.
Kemudian Randika membawa arah pandangnya pada sebuah
kamar mandi yang pintunya tengah terbuka. Ada suara gemericik
air yang tertangkap di telinganya.
“Kak Ze nyalain air?” tanya Randika lagi, namun tak menoleh
ke arah lawannya.
Lyra
Knp banyak karangan bunga di depan rumah lo....
“Nih, Kak.”
Zemira menoleh ke sumber suara kala seseorang
memberikan segelas teh hangat untuknya lantas tersenyum.
“Thanks, Na.”
“Randika ketiduran di kamar lo, Kak.”
“Iya, biarin aja.”
Naja duduk menemani Zemira yang tengah melamun
sendirian di teras. Mereka berdua sama-sama menerbangkan
angan dan pikiran usai acara pemakaman yang diselenggarakan.
“Kak Ze, yang tadi itu ....”
“Jangan bahas itu, biarin gue nafas dulu,” jawab Zemira tanpa
melihat lawan bicaranya. “Dan... gue nggak percaya sama siapa pun,
semua temen gue, semua temen Randika, termasuk lo, jadi—”
“Iya Kak gue tau.”
“Oke.” Zemira mengangguk.
“Gue boleh cerita nggak sih, Kak?” tanya Naja sembari
menoleh ke arah Zemira yang sama sekali tak melihatnya.
Zemira diam saja.
“Gue juga punya kakak, persis kayak Kak Ze. Sifatnya,
semuanya. Dan gue juga sama kayak Dika yang selalu
mengagungkan Kakak gue. Gue sayang banget sama dia.”
“Sampai suatu ketika kakak gue meninggal karena suatu hal.”
Februari,2020
Maret,2020
April,2020
Mei,2020
Doni terus memantau Randika dan Zemira dari jauh. Lelaki itu tak
pernah absen untuk menanyakan adik dari Zemira. Bagaimana
perkembangannya selama hampir dua minggu lamanya ini, apa
saja hal aneh yang kerap kali muncul di rumahnya, dan masih
banyak lagi.
Hal aneh yang kerap kali muncul adalah Randika yang selalu
terbangun tengah malam untuk berbincang sendiri, terkadang
lelaki itu mencoba keluar rumah tanpa ia sadari. Zemira yang
memutuskan untuk tidur satu kamar dengan si bungsu semakin
diuji perasaannya kala Randika mendadak memandanginya
dengan sorot mata yang berbeda. Meski ia tau bahwa si bungsu tak
sadar melakukan itu, tetap saja Zemira merasa takut.
Zemira semakin mendapat keyakinan lebih karena Doni
sering mengingatkannya untuk selalu percaya pada diri sendiri,
untuk selalu percaya pada si bungsu jika semua akan baik-baik saja.
Satu hari sebelum mereka berangkat, Zemira mengemasi
pakaiannya dengan Randika. Membawa beberapa koper dan
menaruhnya di ruang tamu agar keesokan hari saat Doni datang
sudah tak perlu lagi ke dalam kamar untuk mengeluarkan koper-
koper ini.
“Besok habis subuh kita berangkat, jangan sampe telat
bangun ya, Dik?” ujar Zemira seraya merapikan koper.
“Iya Kak tenang aja.” Randika tengah duduk usai
menyelesaikan sesi mendorong kopernya. “Kak, Jendra boleh ke
rumah?”
Mendengar Randika menyebut nama Jendra membuat
Zemira menghentikan aktivitasnya. Ia mengalihkan seluruh
April, 2020
Mei, 2020
Tapi nggak papa kan Kak Ze kakak lo juga. Titip kakak ya?
“Zemira....”
“Ze???”
Tepat satu bulan. Gadis yang tubuhnya penuh luka itu
akhirnya terbangun. Ia mengerjapkan matanya berulang kali.
Randika
Kak Ze gue nyebelin banget ya tiba-tiba bikin lo khawatir?
\\karena gue nyembunyiin hal ini dari lo, tapi kan niat
Sorry
gue baik? Jadi ini nggak keitung durhaka sama Kakak
sendiri kan?
Ih hp lo mati segala
kak Ze jaga diri baik-baikkkkk ya? Nanti kalo kak Tio bisa
balik, semoga kak Ze sama Abang bisa terus hubungan
sampe nikah, punya anak yang lucu-lucu
Ehhh tapi kak Ze bakal nolongin gue kan? Kalo gue tiba-
tiba nggak bisa balik? Hehehe
I love youuuuu
Ada yang tidak beres. Sudah terhitung lima hari Zemira tak
menemukan Deo dimana pun. Bahkan ia tak datang ke kampus,
juga di tempat-tempat yang biasa ia kunjungi. Kemana perginya
lelaki itu?
“Aishhh lo off juga sih?!” gerutu Zemira kala pesannya lagi-
lagi hanya menunjukkan centang satu. “Lo kemana Deo?”
Teman dekatnya itu tiba-tiba tak ada kabar pula. Ada sedikit
rasa khawatir dalam diri Zemira, ada perasaan takut akan trauma
yang pernah ia alami. Padahal gadis itu akan membagi cerita
padanya, namun Deo tak ada. Tentang mimpinya, tentang dirinya
yang akan mengunjungi Aji di Inggris, dan tentang keyakinannya
akan Jendra dan Doni yang sedang menyembunyikan sesuatu di
belakangnya.
“Lo pasti udah tau kan, De? Makanya lo ngilang tiba-tiba gini.
Lo nggak mau ngasih tau gue kan?” dengkus Zemira yang kemudian
berjalan ke parkiran untuk menghampiri Doni yang menunggunya
sejak tadi.
Zemira sudah mengutarakan niatnya untuk pergi ke Inggris
pada Doni, namun lelaki tu tak memberi ijin karena berpikir bahwa
gadis itu pergi sendiri. Kala Zemira mengatakan akan pergi
Randika
Kak
Deg!!
Benar apa yang Zemira pikirkan bila Jendra dan Doni
menyembunyikan sesuatu. Tapi tunggu—Zemira pun tak bisa
mempercayai Aji. Atau siapa pun ia tak akan mempercayainya
lo pasti nggak percaya kak, tapi gue jujur bilang apa adanya
waktu itu lo nggak ketemu gue kan? Hari itu gue hilang,
gue sengaja lari dari sana. Gue takut, jujur gue nggak bisa
ngebantu lo atau siapapun di sana.
Gue balik ke rumah Paman dan video yang lo lihat itu gue
rekam sendiri
“Zemira ini gue!” Suara lantang Deo dari luar pintu kamar.
Ceklek....
Gadis itu menatap sayup Deo yang sedang membuka pintu
dan menjulurkan kepalanya. Lelaki itu tersenyum. Bukan
tersenyum senang atau bahagia melihat temannya duduk
bersandar seperti itu, melainkan senyuman miris yang ia
lemparkan.
Ini sebuah kilas balik yang belum banyak orang ketahui dari
sisi yang dirasakan lelaki bernama Deo.
“Kamu tidak akan berhenti melihat hal ini.”
“… aku tidak tau apakah kau akan bisa mengubahnya.”
“Ze….”
“Zemira!”
“Ze... bangun!”
“WOY NYAIIII!!”
Why should I?
“Because you're in my control.”
... ada seorang wanita duduk menghadap jendela, dengan
cermin di genggamannya.
Wanita itu tampak sangat cantik dari belakang. Memakai
dress bak tuan putri. Dress hitam dengan corak mawar.
“Hey, Rose.”
“Kakak!!”
Di sebuah ruangan dengan tembok putih bersih tengah
terbaring sosok perempuan yang kurang lebih dua tahun tak
sadarkan diri. Kondisi tubuhnya cukup mengenaskan.
.......
“Gue cuma minta satu permintaan terakhir, yang gue harap
bakal lo ijinin.”
........
“ZEMIRA!!!!”
“KAK ZEE?!!!”
“NOOOOO!!!”
Brughhh
“Kak....” Randika menjatuhkan tubuhnya di samping ranjang
si sulung. Meremat kayu pinggiran dengan tangan yang lain meraih
tangan Zemira. “Kak… KAK ZE BANGUN NGGAK!”
“NGGAK USAH BERCANDA ATUH KAK!”
“LO MAU LILIT GUE? IYA? NIH NIH SOK LILIT LAGI!”
teriaknya sembari rantai tangan Zemira ia lilitkan di lehernya.
THE END
Tak hanya gemar menulis dan membaca tulisan fiksi, Bita juga
menyukai film bergenre action, horror. Kopi dan K-POP
adalah dua hal yang mampu membuat Bita semakin betah di
dalam rumah.