Anda di halaman 1dari 9

Calon Menantu Idaman Ibu

(Karya: Yadigastra)

“Kenapa kakak terus maksa aku?”


“Maksa? Kakak nggak maksa kamu.”
“Terus kalau nggak maksa apa namanya ini?”
“Kakak cuma minta kamu kasih kesempatan buat kakak! Kakak bisa lebih baik dari Dia.”
“Sudah kak! Cukup! Aku udah bilang berapa kali sama kakak, aku ga bisa! Aku belum
siap buka hati aku untuk orang lain, hati aku masih terluka parah sekarang dan aku butuh sendiri
untuk waktu yang lama. So, jangan paksa aku lagi. Kakak udah janji ini yang terakhir!”
Dimas terdiam. Walau sudah berkali-kali mendengar penolakan Tasya, hatinya tetap
yakin dengan apa yang dia rasakan. Bukan hanya tentang rasa, dia yakin bisa mengobati sakit
hati Tasya yang teramat dalam. Dimas akan rela melakukan apa saja agar orang yang dia cintai
bahagia. Tapi meyakinkan Tasya bukan hal mudah buat Dimas.
“Nggak ada lagi yang perlu diomongin lagi kan? Aku mau pulang!” Tasya berdiri dari
duduknya.
“Tunggu Tasya!”
“Apa lagi kak?”
“Biar kakak anter kamu pulang!”
“Nggak perlu aku bisa sendiri!”
“Kakak janji ini yang terakhir, setelah kamu turun dari motor kakak di depan rumah
kamu, kakak janji nggak ganggu kamu lagi.” Dimas tampak serius dengan kata-katanya, itu
terlihat jelas dari sinar matanya.
“Janji ya?”
“Iya Kakak janji!”
“Ya udah, ayok!”
Mereka berdua berjalan keluar cafe. Seperti sepasang kekasih yang baru saja bertengkar
hebat, begitu sudut pandang pengunjung cafe sore itu melihat mereka. Walau pun mereka
bukanlah sepasang kekasih yang sebenarnya. Tapi mereka terlihat cocok dan serasih ketika
berjalan berdua.
Tasya mungkin memang sedang terluka hatinya. Hubungan cinta yang dirajut selama
enam tahun, harus kandas karena pacar yang paling dia percayai, lebih memilih calon yang
disiapkan orang tuanya dari pada Tasya yang sudah menemaninya selama enam tahun lebih.
Sakit, teramat sakit rasanya, dikhianati orang yang paling dia percayai.
Wajar saja Tasya tidak bisa menerima kehadiran laki-laki lain dalam hidupnya untuk
waktu yang cepat. Sekeras apa pun Dimas mencoba, tetap saja Tasya selalu menolak. Begitu
juga Dimas, semakin ditolak malah semakin jatuh cinta pada Tasya. Rumit. Pada akhirnya Dimas
pun harus dipaksa menyerah. Setelah beberapa hari yang lalu, Tasya menerima ajakan
kencannya. Hanya saja syaratnya terlalu beresiko, karena Tasya ingin menjadikan kencan itu
adalah kencan pertama dan terakhir mereka. Bodohnya Dimas menerima syarat itu.
Dimas mempertaruhkan semua perjuangan pada kencan itu. Pada akhirnya, tetap saja
pendirian Tasya sangatlah teguh. Dimas sadar akan kegagalan yang sedang menghampirinya,
menyesal menerima syarat Tasya. Seletah berdebat panjang dan mencoba meyakinkan Tasya
akan ketulusannya, Tasya tetap menang dengan keteguhan hatinya.
Sekarang hanya bisa pasrah. Setelah mengantar Tasya pulang, dia berencana untuk
menghilang untuk waktu yang lama dari hidup Tasya. Sakit rasa hatinya, perjuangan
mendapatkan cinta Tasya sia-sia. Setelah menunggu tiga tahun Tasya putus dari pacarnya, tetap
saja Dimas tidak berhasil meluluhkan Tasya.
Dimas tidak memacu motornya dengan kencang, rasa tidak rela melewatkan kesempatan
bersama Tasya. Dia ingin melewatkan moment itu untuk waktu yang lama, karena itu
membuatnya sangat senang. Ini pertama kalinya Tasya mau dibonceng.
Saat memasuki komplek ruko, tiba-tiba hujan turun.
“Ujan nih, kita berhenti dulu iya?” Tawar Dimas.
“Iya”
Dimas memarkir motornya. Tasya langsung loncat berlari berteduh di salah satu ruko.
Dimas mengikutinya. Tasya tampak mulai kedinginan, Dimas pun melepas jaket, lalu
menyelimuti Tasya.
“Nggak usah!” Tolak Tasya.
“Bawel, Pake aja, udah menggigil gitu!”
Tasya diam.
“Udah lama nggak hujan, pasti bakal lama nih.” Ucap Dimas, Tasya Hanya diam aja tak
merespon apa-apa. “Mudah-mudahan nggak sampe malam!” Tasya masih tak menjawab.
Suasana kembali hening diantara ricuh rintik hujan yang turun. Dimas melihat sana-sini mencari
sesuatu yang bisa memancing pembicara ditengah suasana bisu antara dia dan Tasya.
“Sya,”
“Apa?”
“Coba lihat bapak sama anak di seberang jalan itu!” Tunjuk Dimas, memulai
pembicaraan dan ternyata berhasil, Tasya langsung melihat kearah ayah dan anak yang sedang
berteduh di ruko seberang jalan.
“Kenapa emang? Kakak kenal?”
“Ngga”
“Terus kenapa?”
“Coba lihat sang bapak, menurut kamu apa yang sedang dia pikirkan?” Tasya
memperhatikan sang bapak terdiam memandangin butiran air hujan yang jatuh. Kening Tasya
berkerut, lalu mengalihkan pandangan ke arah Dimas.
“Emang apa?”
“Sang bapak berpikir, jika hujan turun untuk waktu yang lama, maka keluarganya tidak
akan makan hari ini. Dia terus berdoa supaya hujan segera rega, sehingga dia dapat
menyelesaikan pekerjaannya hari ini dan dapat uang buat beli makan buat anak istrinya.” Tasya
terdiam sejenak sambil terus memandangi bapak tersebut dengan kening makin berkerut.
“Kakak tau dari mana? Emangnya apa pekerjaan bapak itu?”
Dimas tersenyum mendengar pertanyaan Tasya.
“Coba kamu perhatikan lagi! Di balakang bapak itu, ada karung yang terisi penuh. Bapak
itu harus mengantarkan isi karung tersebut untuk dijual, sedangkan tempat pembeli akan tutup
tiga puluh menit lagi dan jaraknya lima kilo dari sini.” Tasya terlihat setuju dengan penjelasan
Dimas, tapi masih terlihat bingung.
“Nggak hujan aja belum tentu tepat waktu sampe disana, apa lagi hujan belum ada tanda-
tanda mau reda. Kenapa bapak iu ngga coba nerobos hujan aja biar bisa kesana? Terus apa
hubungan bapak itu sama anak disebelahnya? Anaknya?”
“Yups, kamu benar. Itu anaknya. Bapak itu memang sudah terbiasa kehujanan, tapi hari
ini anaknya nangis mau ikut ketempat pertukaran, karena kasihan dia pun membawa anaknya.
Walaupun anaknya sedang tidak sehat. Karena itu dia ngga bisa berjalan dibawah hujan, dia
takut sakit anaknya akan semakin parah.” Tasya menatap Dimas penuh kekaguman.
“Kok kakak tau? Yakin ngga kenal mereka?”
“Kamu lupa ya? Kakak sering ikut Kegiatan Sosial di Kampus? Kakak dah sering ketemu
orang seperti mereka.”
“Oh ya.”
“Satu hal yang kakak pahami dari kebanyakan mereka, walau mereka kesusahan,
kelaparan, menderita dan kadang-kadang mereka meresa ngga adil. Bahkan ada yang protes
terhadap Tuhan, tapi ada sebagian mereka yang bersyukur. Semakin mereka bersyukur dan
sabar, semakin bahagia mereka dan selalu berkecukupan. Kakak berlajar bersyukur dan ikhlas
dari mereka, walau sangat berat, ketika kita ikhlas dengan keadaan kita sekarang, akan selalu ada
jalan untuk setiap derita.”
Tasya terdiam. Kagum dengan kedewasaan Dimas, yang akhir-akhir ini kekanak-kanakan
di mata Tasya. Hujanpun berlahan reda disela-sela cerita Dimas.
“Yuk jalan! Dah reda nih, nanti kemalaman!” Tasya pun tersadar dari lamunannya.
“Yuk.”Sambil memakai helm yang diulurkan Dimas padanya.
Setelah selesai memasang helm, Tasya pun menaikin motor yang telah dinyalakan
Dimas.
“Aku mau menemui seseorang bentar, nggak apa-apa yang kita mutar dikit, tempatnya
nggak jauh kok!”Kata Dimas meminta izin Tasya.
“Iya boleh, asal jangan lama-lama! Keburu gelap!”
“Aman.”
Dimas pun memutar kembali motornya ke arah berlawan dengan jalan ke rumah Tasya.
100 meter dari sana, Dimas lalu berbelok ke sebuah jalan kecil. Tak lama kemudian dia berhenti
di sebuah gudang yang sudah tertutup pagarnya di seberang jalan. Di sana terlihat seorang
bapak-bapak dan seorang anak kecil yang tampak pucat. Dimas melepas helmnya.
“Kamu tunggu sini bentar!”
“Kakak mau kemana?”
“Bentar saja!”
Tasya pun terdiam, sambil terus mengawasi gerak-gerik Dimas yang berjalan
menyeberangin jalan menuju gerbang gudang yang telah tertutup rapat dan terkunci. Dimas
tampak kecewa setelah sampai sana.
“Yah sudah tutup.”Ucap Dimas agak keras. Sambil memperhatikan sekeliling gerbang,
lalu menghampiri bapak-bapak dan seorang anak kecil yang terlihat sedang putus asa dan lemas.
“Pak, sudah berapa lama tutup?”Tanya Dimas.
Bapak yang sadari tadi termenung terlihat kaget dengan kedatangan Dimas. Beberapa
saat bapak itu terlihat bingung, lalu dengan lemas menjawab pertanyaan Dimas.
“Sekitar tiga puluh menit yang lalu mungkin dek!”
“Mmmhh, begitu ya pak.”
“Iya”
Bapak itu kembali terdiam entah sedang memikirkan sesuatu yang sangat berat sekali
buatnya.
“Apa isi karung bapak?”
“Oh ini, hanya botol plastik bekas dek. Kenapa dek?”
“Bapak mau jual di sini ya?”
“Iya, tapi sudah tutup, kalau adek ada urusan di sini kembali besok saja jam delapan
sudah buka.”
“Sepertinya saya nggak perlu balik ke sini lagi. Saya ke sini mau beli botol plastik bekas,
tapi sudah tutup. Begini saja, bagaimana kalau botol plastik bekas bapak saya beli?”
“Betul adek mau beli?”Tanya bapak itu penuh harapan dengan wajar berbinar-binar.
“Iya, saya butuh buat besok.”Dimas pun mengeluarkan lima lembar uang seratus ribu.
“Tapi bapak antar kerumah saya pagi-pagi besok. Bisakan?”
“Rumah adek dimana?”
Dimas pun mengeluarkan pena dan secarik kertas kecil, menuliskan alamat rumahnya,
lalu memberikan kertas bertuliskan alamat dan lima lembar uang tersebut kepada bapak itu.
“Wah, ini sih lumayan dekat dari rumah saya.”Kata bapak itu sambil melihat uang yang
menurutnya terlalu banyak untuk membeli sekarung botol plastik bekas.”Tapi dek, ini terlalu
banyak. Harganya sekarung botol plastik bekas paling mahal cuma lima puluh ribu.”
“Lima puluh ribu untuk beli botol plastik bekas, lima puluh ribu lagi untuk ongkos bapak
antar ke rumah saya dan empat ratus ribu ini, rezeki anak bapak.”Kata Dimas sambil jongkok
untuk mengimbangin tinggi anak kecil di sebelah bapak tersebut, lalu mengelus
kepalanya.”Bawa dia ke dokter dan belikan obat buat dia, biar cepat sembuh!”
Tak percaya dengan apa yang baru terjadi bapak itu berkali-kali mengucap syukur atas
rezeki yang dia terima.
“Makasih dek, bapak nggak nyangka ada orang baik seperti adek.”
“Iya pak, sama-sama. Ini memang sudah rezeki bapak kok!”
“Semoga tuhan membalas kebaikan adek ini!”
“Amin! Kalau begitu saya pergi dulu pak, saya lagi buru-buru. Jangan lupa di antar ya,
pagi-pagi besok! Saya tunggu!”Ucap Dimas sambil pergi meninggalkan Bapak dan anaknya
yang masih tak percaya apa baru saja terjadi pada mereka.
Tasya yang menyaksikan kejadian itu dari sebarang jalan tampak tak percaya dengan
kebaikan hati Dimas. Keningnya berkerut kebingungan melihat sikap Dimas.
“Itukan, bapak-bapak yang tadi di ruko-ruko kan?”
“Iya.”Jawab Dimas sambil memasang helm dan siap memacu motornya. Sedangkan
Tasya masih bingung.
“Buat apa kakak botol plastik bekas sebanyak itu?”
“Buat dibawa ke sanggar, ngajarin anak-anak di sana mengolah botol plastik bekas jadi
suatu karya seni yang bernilai.”
Tasya masih bingung.
“Okelah. Tapi kakak percaya bakal diantar bapak itu? Setelah nerima uang sebanyak itu?
Bisa saja nggak di antar.”
“Pasti diantar. Bapak itu orang baik kok! Kalau nggak diantar pun nggak apa-apa, niat
awal emang mau bantu bapak itu, beli botol plastik bekas cuma alasan doang!”
“Ckckckckckck”Tasya menggelengkan kepalanya.
“Kenapa? Kalau kita ngasih langsung, mereka bakal nolak, mereka nggak mau dikira
pengemis. Makanya aku cari-cari alasan buat bantu mereka. Tenang saja, aku dah sering
berurusan sama orang seperti mereka.”
“Salut!!!”
Dimas hanya terdiam mendengar pujian Tasya. Walau sudah sering melakukan hal
seperti tadi, sedikit banyak Dimas berharap Tasya dapat melihat ketulusan dalam dirinya. Walau
sebenarnya dia melakukan itu bukan atas dasar ingin memperlihatkan pada Tasya, ada atau pun
tidak ada Tasya, Dimas tetap melakukan hal seperti tadi.
Dimas merasa lega. Telah berhasil memperlihatkan perasaan tulusnya pada Tasya.
Ketulusan sulit terungkap, tapi terasakan sampai kehati. Ketika hati dan hati berbicara satu sama
lain. Mampu sadarkan hati yang sedang terluka. Begitulah ketulusan. Dimas berhasil
menyampaikan ketulusan cinta pada Tasya dengan sempurna, meski dengan cara yang berbeda.
“Pulang dulu ya! Makasih buat hari ini.”
“Iya, sama-sama kak, makasih juga.”
“Tenang aja, janji tetap janji, kakak kalah, Tasya menang!” Ucap Dimas sambil mengelus
kepala Tasya, Tasya tak menolak. Walau pun biasanya sedikit keberatan. Dimas mulai
menghidupankan motornya dan mengikhlaskan rasa cintanya untuk lepas bebas. Harapan
tinggalkan harapan, Dimas sudah mencoba menyentuh hati Tasya, apa daya hati tertutup tak
berpintu. “Jika ingin meyakinkan wanita sentuhlah hatinya” hanya filosopi dengan banyak
makna. Tak mudah dimengerti.
“Eh kak!”
“Iya”
“Jaket kakak nih!”
“Oh ya, makasih.” Dimas memakai jaket yang dikembalikan Tasya.
Dimas pergi meninggalkan rumah Tasya dengan hati yang lepas dan bebas. Setidaknya
dia sudah berusaha walau tetap mendapatkan penolakan dari Tasya. Tidak bertemu dan
memikirkan Tasya dalam waktu dekat ini, menjadi tugas penting Dimas untuk terus maju. Masih
terasa berat tapi lega sekali rasanya.
Tasya terus memperhatikan Dimas hingga hilang dikejauhan, ada rasa tak rela di hatinya.
Rasa yang sebelumnya ingin Dimas tak mengganggunya lagi, kini berubah menjadi rasa yang
ingin selalu melihat kebaikan-kebaikan yang diperbuat Dimas. Ketulusan yang diperlihatkan
Dimas membuatnya sangat nyaman dan aman, rasa yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Bahkan pada mantan pacarnya dulu, Tasya tak pernah merasakan seperti ini. Dimas berbeda dan
Tasya baru menyadarinya, setelah dia membiarkan Dimas pergi begitu saja, tanpa bisa
menahannya.
Tasya tak sadar ibunya menyaksikan adegan tersebut dari teras rumah mereka. Setelah
menutup pagar, Tasya menyalami ibunya.
“Mmmhhh,, laki-laki itu tepat janji juga ya, walau hujan, dia tetap mengantar kamu
sebelum magrib. Ibu suka dia.”
“Ibu bisa saja!”
“Ngomong-ngomong, kalian pacaran?”
“Nggak bu.”
“Sayang sekali, pada hal dia calon menantu favorit ibu!”
“Baru lihat dua kali saja, sudah bilang calon menantu favorit. Rizal yang sering dilihat
nggak pernah jadi favorit!”Protes Tasya.
“Mantan kamu itu memang ibu nggak suka, nggak tulus, ibu bisa lihat dari dulu dan
terbuktikan sekarang.”
“Iya, iya! Ibu paling benar.”Kata Tasya sambil berjalan masuk ke dalam rumah.
“Anak suka, Ibunya nggak suka. Ibu suka, anaknya nggak suka. Sayang banget Dimas,
pada hal anak baik.”
Tasya berhenti mendengar ucapan ibunya. Perasaan dia belum pernah mengenalkan
Dimas pada Ibunya, kok ibunya bisa tau Dimas?
“Ibu kok tahu namanya Dimas? Perasaan aku nggak pernah bilang!”
“Jadi benar namanya Dimas?”
“Iya. Ibu tahu dari mana?”
Ibu Tasya tak langsung menjawab, dia berjalan memasukin ruang tengah rumah mereka,
Tasya terus mengikuti Ibunya penuh penasaran.
“Ibu sudah tiga kali bertemu dia sebelum hari ini, pertama waktu ibu kecopetan di pasar,
dia yang nolongin ibu mengejar pencopet. Terus waktu mobil bapak mogok di jalan, hujan lagi,
dia tiba-tiba saja datang nolongin bapak, ternyata ngerti mesin juga. Waktu itu mama cuma
dalam saja dalam mobil takut basah, eh pas selesai di perbaiki, ternyata Dimas yang bantu bapak.
Anak yang baik memang, pintar lagi, ibu sama bapak suka sama dia. Rencana mau di kenalin
sama kamu, tapi ternyata setelah ditanya-tanya dia sudah suka sama orang lain, nggak jadi deh.”
Cerita ibunya Tasya sambil duduk disamping bapak yang sedang nonton televisi.
“Satu, dua, terus yang ketiga kapan?”Tanya tasya penasaran.
“Kapan pak?”
“Apanya yang kapan?”
“Kita ketemu Dimas?”
“Dimas yang mana?”Tanya bapak heran.
“Itu loh, yang bantu betelin mobil bapak.”Kata Ibu Tasya mengingatkan.
“Ooo, Dimas. Di Mall waktu kita belanja itu?”
“Nah iya, tiga bulan yang lalu waktu belanja di Mall sama bapak, terus Dimasnya kita
ajak makan sambil cerita-cerita.”
“Ibu ketemu dia lagi?”
“Iya barusan, dia gebetannya Tasya, tapi kayak sudah ditolak Tasya.”
“Wah, sayang banget pada hal bapak suka dia.”
Tasya hanya bisa terdiam sekarang. Bahkan orangtuanya kenal Dimas dan
memfavoritkan Dimas sebagai calon menantu idaman, tapi Tasya sudah menolak Dimas mentah-
mentah. Dia tidak tahu kapan Dimas akan kembali lagi buat dia. Atau sekarang dia yang harus
ngejar-ngejar Dimas, seperti Dimas ngejar dia. Tasya belum bisa memutuskan. Tapi yang pasti
hati Tasya sekarang sudah menjadi milik Dimas, tanpa Dimas ketahui dan sadari.

Anda mungkin juga menyukai