Anda di halaman 1dari 3

Setetes Air Mata

Setiap hari aku selalu membuka Story WhatsApp. Setiap hari aku melihat teman-
temanku merayakan kemenangan dan setiap hari air mata ini selalu bercucuran. Aku belum
siap kehilangan teman-teman seperjuanganku yang selama empat tahun ini membersamaiku
baik suka maupun duka. Kulihat mereka bersenda gurau. Kulihat mereka penuh dengan gerai
tawa, sedangkan aku, aku hanyalah wanita lemah yang setiap hari hanya meratapi nasib di
sebuah kamar kos yang sempit, pengap, dan sunyi. Baju-baju berantakan, buku-buku
berserakan menambah kesan keterpurukanku selama menempuh studi di kota yang selama ini
belum pernah kujangkau, ya SETIAP HARI!
Batinku tak kuat menahan lara, diri ini tak mampu menahan sakit, hingga air mataku
berlinang mengalir bercucuran. Aku mengurung diri di kamar berjam-jam lamanya,
makanpun tak enak, tidurpun tak nyenyak, yang ada dibenakku hanyalah lembaran-lembaran
kertas yang tak tahu kapan aku bisa menyelesaikannya.
“La, ayo sini keluar. Aku bawain freemilt kesukaanmu loh”
“Iya La, ayo kita jalan-jalan ke Boulvard kampus sembari menikmati sore yang sejuk
ini. Aku juga bawain es krim gelato vanilla favoritmu loh”
Ketuk Hida dan Sari yang sedang membujukku untuk keluar kamar. Akan tetapi,
usaha mereka tidak ada hasilnya. Aku tetap bersikeras mengurung diri hingga tak tau sampai
kapan lamanya, yang ada dipikiranku hanyalah keputus asaan berkat tugas akhir yang
membebani diriku berbulan-bulan lamanya. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin
SEJAK AWAL! Tetapi apa? yang aku peroleh hanyalah coretan-coretan berwarna merah dari
dosenku yang membuat diri ini terpapar lesu.
Diriku benar-benar payah, aku memang layak disebut sampah, hanya mengerjakan
tugas akhir saja masak tidak bisa hahaha (sindir tawa kecilku), teman-temanku saja yang
setiap hari hanya bermain HP saja, bermain tiktok saja, bermain instagram saja, tidur berjam-
jam lamanya saja bisa selesai, bahkan lulus tepat waktu. Ahh hidup memang tidak adil!
Setiap hari aku mengerjakan! Ibadah dan doaku tak pernah putus! Bakti kepada kedua orang
tuaku juga kumaksimalkan! Apakah semua ini kurang TUHAN! Usahaku kurang apa
TUHAN?! Apalagi yang harus aku lakukan? Jangan membuatku bimbang dan jangan
membuat pikiranku berantakan Tuhan, aku khawatir dengan masa depanku, jangan membuat
orang tuaku kecewa karena aku telah berjanji kepadanya bahwa AKU AKAN LULUS
TAHUN INI! (aku menangis sejadi-jadinya).
“La, kamu kenapa La!”
“La, cepatlah keluar!”
“La, kita ini temanmu, kita sahabat sejak masuk kuliah La, sudah empat tahun
lamanya kita bersama di perantauan ini”
“Ayo lah La, kita semua sayang padamu, kemarilah La”
Mendengar usaha Hida dan Sari untuk membujukku dengan sangat tulus, akupun
berusaha bangkit dari tempat tidurku. Tetapi itu sangatlah berat, benar-benar dan sangat-
sangat berat, sungguh. Mungkin aku masih butuh waktu untuk mencurahkan derasnya air
mataku ini. Aku yakin pasti mereka memahamiku dan aku yakin mereka pasti menungguku
sampai aku keluar dari kamar, karena mereka berdua adalah sahabat sejatiku dan kita sama-
sama memahami karakter masing-masing.
Setengah jam lamanya jasad dan raga ini tetap berada di kamar yang pengap dan
sunyi ini, suara Hida dan Sari juga tidak bergemuruh seperti ketika aku menangis sejadi-
jadinya. Hingga akhirnya, dengan langkah kecil dan berat aku berusaha berjalan untuk
menemui mereka berdua, aku tahu ini berat dan aku tahu ini sulit, tetapi demi mereka aku
harus berusaha memaksa diriku untuk beranjak berjalan meskipun tertatih-tatih. Gagang pintu
kupegang, kuputar ke kanan secara perlahan, tanganpun penuh dengan gemetar ketika diriku
membukakan pintu untuk mereka. Kulihat Hida dan Sari terlelap ketika menunggu diriku, es
krim gelato vanilla favoritku yang dibawakan oleh Sari mencair membasahi lantai depan
kamarku. Seketika dada ini terasa sesak melihat perjuangan mereka untuk merangkul diriku.
Tetapi aku tetap berusaha tegar di depan mereka, aku tidak ingin kedua sahabatku ikut sedih
melihat keterpurukanku.
Tiba-tiba Hida sedikit terbangun, ia melihatku berdiri tepat di depan kamar, seketika
itu juga ia membangunkan Sari dan mereka berdua langsung beranjak bangun dan
memelukku begitu eratnya. Aku yang berusaha tegar tiba-tiba jatuhlah air mataku yang tak
kuat lagi kubendung, dirikupun tak bisa berbohong ketika di depan mereka.
“La, kamu kenapa? Ayolah ceritakan kepada kita”
“Iya La, ada apa denganmu sebenarnya? Kenapa kamu menangis tersedu-sedu?”
“Ayo duduk di tengah-tengahku dan Sari, tenangkanlah dirimu sejenak dan mulailah
bercerita, kita siap mendengar keluh kesahmu”
Aku berdiam diri sejenak untuk mempersiapkan akan memulai cerita mengenai keluh
kesahku dari mana, karena hati dan pikiran ini sedang hancur berantakan. Berselang lima
menit, akupun mulai bercerita kepada mereka.
“Jujur aku merasa tidak berguna hidup di dunia ini Hid, Sar. Aku melihat kamu
berdua kurang adanya effort untuk mengerjakan tugas akhir, tetapi kalian berdua
mampu menyelesaikannya. Setiap hari aku mengerjakan tugas akhir itu, tetapi
hasilnya? semua penuh revisi! sudah puluhan kali aku menerima revisi, tetapi masih
sama saja hasilnya. Apakah semua yang kukerjakan salah? Apakah semuanya keliru?”
“La, banyak yang belum kau ketahui. Kau bangun ketika aku dan Sari tidur dan kau
hanya mengamati kita ketika saat itu saja La. Kau tidak tahu ketika kau tidur, giliran
aku dan Sari berjuang untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Kita berdua menerima
revisi berulang-ulang, tetapi aku dan Sari memutuskan untuk tetap berjuang, mau
revisi ratusan kalipun kita berdua siap membenahinya. Jadi, jangan kau pikir aku dan
Sari hanya bermalas-malasan, La. Hilangkan mindset burukmu itu!”
“Iya La, benar kata Hida. Percayalah, aku dan Hida yakin, perjuanganmu pasti akan
membuahkan hasil, kau pasti akan menyelesaikan studimu tepat waktu. Jangan
khawatir, aku dan Hida pasti akan menemanimu, kita pasti akan membantumu”
“Semangatku dan Sari adalah semangatmu juga La, percayalah padaku, pegang kata-
kataku dengan yakin”
Mendengar nasihat Sari dan Hida, entah mengapa aku masih belum yakin, karena
melihat kemampuanku, aku sadar aku bukanlah seperti mereka, sekali sampah tetaplah
sampah. Aku terlanjur larut dalam keterpurukanku, selamat kuucapkan teruntuk pikiranku
yang berhasil menguasaiku, dan benar saja memang setiap orang memiliki jalan kehidupan
masing-masing, tetapi aku berbeda, jalanku penuhh dengan rintangan, setiap rintangan aku
selalu gagal melampauinya, ya benar, karena itu memang sebuah indikasi bahwa aku
memanglah SAMPAH!
Hari ini aku putuskan untuk pulang, aku sudah tak tahan menerima cobaan ini, aku
merasa kasihan kepada bunda dan abah mencari nafkah demi anak sepertiku. Pikiran ini
selalu menyiksaku. Terlintas apakah bunda dan abah masih mendukungku untuk
menyelesaikan sekolah atau bahkan putus sekolah? Haha... semoga keputusan bunda dan
abah adalah suatu keputusan yang terbaik dan aku harus siap menerimanya. Dan satu lagi,
kemenangan yang menjadi cita-citaku hanyalah sebuah tetes air mata.

Biodata Penulis
Namaku Aditya, Aditya Rahman Laksana lengkapnya. Kelahiran Surakarta, 01 Mei
1998. Tinggal di Pajangan, Surakarta/Solo, Jawa Tengah. Laki-laki pecinta dan penikmat
kesenian, sastra, dan budaya Jawa ini juga hobi menulis. Untuk komunikasi denganku bisa
melalui akun instagram “@adty.arl”. Burung pelikan burung cendrawasih, cukup sekian dan
terima kasih. Matur nuwun

Anda mungkin juga menyukai