com
PROLOG
SEPUCAT cahaya bulan, Mayra seolah melayang-layang melintasi
halaman berumput. Rambutnya yang berwarna tembaga dan panjang
melambai-lambai oleh kencangnya tiupan angin malam. Pakaian
tidur sutranya yang putih berkilauan dalam sinar lembut, berkibaran
tanpa bunyi. Dengan mata terpejam rapat, Mayra berjalan tanpa
hambatan, bagaikan roh halus, kaki telanjangnya berada di atas
rerumputan tinggi.
Paduan suara katak pohon mulai terdengar, tetapi keributan itu tidak
mengusik tidurnya. Sekejap kemudian nyanyian itu tiba-tiba berhenti
seperti ketika mulai. Sekarang satu-satunya suara yang terdengar
hanyalah napasnya, berat dan tak teratur, satu-satunya tanda bahwa
ia masih hidup, berujud, dan bukan hantu. Ia telah sampai di pagar
rendah di sudut halaman, lalu membalikkan badan seakan ada radar
yang mengendalikannya dari dalam.
“Tapi memang mirip,” protes Kim. “Kenapa aku tak boleh omong
begitu?” Kim mengenakan celana pendek merah dan T-shirt putih
polos, siap-siap berangkat ke camp.
“Kau butuh sarapan besar,” Mrs. Barnes berkata kepada Mayra, tidak
menghiraukan putrinya yang lebih kecil. “Kau akan mulai kerja hari
ini. Kau perlu banyak tenaga.”
Mrs. Barnes meneguk kopi. “Oh, aduh. Aku tidak lihat.” Setitik noda
kopi tepercik ke seragam putihnya. Ia buru-buru ke bak cuci piring
untuk menghilangkannya.
“Hei terima kasih untuk mosi tidak percayanya!” kata Mayra tertawa.
“Bukan. Bukan itu yang kumaksud. Aku tak pernah mengira Mrs.
Cottler mau memilihmu—karena aku.” Dengan hati-hati sekali Mrs.
Barnes meneguk kopinya kembali, sambil memegangi pisin di bawah
cangkir. “Aku merawatnya ketika dia di rumah sakit beberapa waktu
lalu. Ooh... betapa cerewetnya dia.”
“Aku yakin dia akan baik sekali padamu,” kata ibunya cepatcepat,
menyadari bahwa seharusnya ia tidak bercerita tentang Mrs. Cottler
yang pernah dirawatnya di rumah sakit. “Kau bilang dia sangat baik
waktu mewawancaraimu.”
“Jangan main tebak dalam hal ini. Kita benar-benar dapat meman-
faatkan uang itu, tahu. Ayahmu, di mana pun dia berada, tidak
membantu kita sepeser pun.” Mrs. Barnes mengernyit, membuatnya
tampak lebih tua daripada umur sebenarnya, 39 tahun.
Dari jalan terdengar bunyi klakson. “Itu bus piknikmu,” Mrs. Barnes
berteriak, lalu berlari ke pintu depan untuk memberi isyarat kepada
pengemudi bus bahwa Kim akan segera keluar. “Tasmu sudah siap,
kan? Tak ada yang ketinggalan?”
“Ya Mom,” sahut Kim sambil menyambar tas kanvasnya dan menuju
pintu.
“Tak usah. Trims. Aku mau jalan. Untuk membakar telur tadi.”
“Mrs. Cottler tinggal di Fear Street, kan? Kau memang berani sekali
pagi ini.”
“Yeah, dia tinggal di dekat danau. Tapi aku tak keberatan ke Fear
Street pada siang hari,” kata Mayra. “Maksudku, memangnya apa
yang akan terjadi?”
“Oh, bukan apa-apa, hanya kalung saya,” jawab Mayra, sambil mem-
bungkuk untuk memunguti manik-maniknya. Karena takut melihat
Mayra membungkuk dan merangkak-rangkak, kucing itu segera lari
keluar kamar. Oh, manik-manikku sayang, keluh Mayra dalam hati.
Rabu sore ini merupakan hari ketiga Mayra bekerja di rumah Mrs.
Cottler. Mayra lega, karena ternyata mereka berdua bisa cocok.
Kadang-kadang Mrs. Cottler murung, dan suka mengulangi per-
kataannya sendiri. Namun ia sering memuji Mayra, mengatakan
gadis itu cantik, rambutnya yang merah dan panjang tampak indah
apalagi saat terkena sinar matahari, dan ia menyukai buku yang di-
pilihkan Mayra untuk dibacakan—bahkan memuji makan siang
sederhana yang disiapkan Mayra.
“Koleksi yang luar biasa!” kata Mayra kepada Mrs. Cottler pada hari
pertamanya di rumah itu.
“Vincent?”
“Putraku. Dia baru berumur tiga tahun. Seharusnya dia tidak boleh
jauh-jauh dariku. Dia tidak bisa berenang.” Ia memalingkan wajah-
nya dari Mayra dan mendesah. “Kadang-kadang aku merasa melihat-
nya di sini. Meskipun peristiwa itu sudah lama terjadi, aku masih
sering teringat padanya.” Ia memegang lengan Mayra lebih kencang.
“Ya, tentu saja,” jawab Mayra, sambil menutup buku dan segera
berdiri.
Sweter itu ada di lemari yang mana? Mayra memilih lemari sebelah
kanan dan menarik laci paling atas. Wow! Aneh. Laci itu penuh lilin
hitam, berlusin-lusin lilin hitam panjang. Mayra mengambil
sebatang. Ia membauinya, terkejut men-cium aromanya yang masam.
Baunya tua dan apak. Lilin itu terasa halus dan padat di tangan
Mayra. Sumbunya juga hitam. Lilin aneh, pikir Mayra, sambil
mengambil satu lagi. Kenapa Mrs. Cottler punya lilin hitam? Dan
kenapa dia menyembunyikannya dalam laci lemari pakaian?
Tiba-tiba ada suara keras di belakang Mayra, kedua lilin itu terjatuh
dari tangan. Jantung Mayra berdegup kencang, ia menoleh dan
melihat Hazel, sang kucing hitam, sedang memandanginya dengan
mata hijau bersinar.
“Oke, oke, Hazel. Tidak perlu bikin ribut. Aku segera ke bawah.”
Mayra baru saja akan berbelok ke Fear Street ketika tiba-tiba ada
tangan yang menggamit bahunya.
“Sebaiknya tak usah, Link. Aku tak ingin bicara denganmu.” Mayra
berbalik dan mulai melangkah. Ia tidak percaya pada sikap dinginnya
sendiri... tapi, apa lagi yang dapat dilakukannya terhadap cowok satu
ini? Ia dan Link sudah putus sebulan lalu, dan sekarang Link di sini,
masih membuntutinya terus seperti anak anjing yang memelas. “Kita
kan sudah membicarakan hal-hal yang harus dibicarakan,” Mayra
menambahkan tanpa menoleh.
“Tulis saja lewat surat,” bentak Mayra. Wow, bahkan Mayra sendiri
kaget dengan bentakannya!
“Tapi kau dan aku—itu lebih penting daripada hujan,” bantah Link.
Ia masih di depan Mayra sambil berjalan mundur.
“Dia kuper.”
“Apa? Hei, kau sendiri yang kuper. Jangan mulai bertingkah seperti
anak kecil. Sekarang menyingkirlah! Aku mau pulang.”
“Terima kasih, Mrs. Cottler.” Mayra membuka buku itu dan mulai
membalik-balik halamannya hingga menemukan bab empat. Sebelum
ia sempat mulai, terdengar ketukan kencang di pintu.
“Di mana Mrs. Cottler?” orang itu langsung bertanya tanpa basibasi.
“Ya, ya, ini saya,” kata Mrs. Cottler dari belakang Mayra. “Apakah
Anda lagi, Mr. Clean?”
“Oh, jangan mengenai buah persik lagi. Kan sudah saya katakan saya
tidak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini.”
Mayra mundur selangkah. Mr. Clean atau Kleeg, atau siapa pun dia,
semakin kelihatan tidak senang.
“Saya tak bisa menyuruh persik-persik itu tetap diam di pohon,” balas
Mrs Cottler. Mayra melihat matanya bersinar-sinar. Dia benar-benar
menikmati keributan ini, kata Mayra dalam hati.
“Oh, orang itu cerewet sekali” Mrs Cottler menggerutu, lebih dituju-
kan pada diri sendiri daripada pada Mayra. “Amat sangat cerewet.” Ia
berpaling ke Mayra dan tersenyum. “Tolong tutup pintunya.”
Lebih baik aku keluar dari sini, kata Mayra dalam hati. Ia
menyandarkan tongkat itu ke dinding dan berlari ke lantai bawah
tanpa menoleh.
“Well, dia punya kucing hitam. Dan rumahnya penuh benda aneh,
kaki binatang, serta rongsokan. Lacinya di kamar penuh lilin hitam.
Waktu itu dia sedang kesurupan di kamarnya—paling tidak, mirip
kesurupan—sambil memegangi saputangan tetangganya. Menurut-
mu itu apa?”
“Kukira ya.”
“Apalagi seharusnya aku tidak boleh tahu tentang lilin hitam itu atau
pun yang lain. Mungkin dia akan marah kalau tahu aku melihatnya
sedang kerasukan.”
“Aku baru ingat akan sesuatu yang pernah dikatakan Stephanie, adik
Link, pada kami.” Sisir Mayra terjatuh, namun ia tidak berusaha
mengambilnya. “Kau ingat dia selalu meminjam buku aneh tentang
ilmu gaib dari perpustakaan?”
“Well, kau kayaknya serius dengan soal guna-guna ini,” kata Donna.
“Semuanya cuma bohong, Mayra. Sebenarnya masalahmu adalah kau
terlalu sering bersama Walker.”
“Aku tidak berkata begitu. Walker baik. Dia cuma aneh, itu saja.”
“Dia juga sangat kece.” Donna berusaha tak terdengar terlalu serius.
“Tapi malam hari dia ada di rumah, kan? Sebetulnya dia kan bisa
meneleponmu.”
“Stop!”
®LoveReads
“Tapi... apa? Apa yang terjadi?” tanya Mayra sambil menahan napas.
“Mr. Clean yang malang,” ulang Mrs. Cottler. “Dia jatuh dan tulang
panggulnya patah. Oh, pasti sakit sekali.” Ia menggelengkan kepala.
“Padahal kemarin dia sudah kuperingatkan supaya hati-hati. Oh,
kasihan, kasihan orang itu.”
Mayra tertawa geli. Walker kelihatan kaku dan kikuk ketika men-
coba menyalaminya. Ia menghindari tangan pemuda itu lalu berjinjit,
dan sesaat memeluk Walker. Mayra senang melihat Walker tersipu-
sipu. Pipinya yang putih bersemu merah.
“Hei, sudah dua minggu kau berlibur di Pantai Barat. Kok kulitmu
tidak kecokelatan?” tanya Mayra, sambil memegang tangan Walker
dan menggandengnya ke halaman depan.
“Ke mana kau pergi? Cuma satu kartu pos yang kudapatkan darimu.
Dengan gambar kaktus.”
Walker tampak malu. “Sedikit. Bagal itu tidak mau turun ke lembah,
jadi aku sulap saja.”
“Kau bercanda.”
Aku suka tawanya, batin Mayra. Dia jarang tertawa. Biasanya dia
sangat serius, tapi kelihatan sangat kece kalau tertawa. Mayra
memegang tangannya, dan terkejut menyadari betapa dingin tangan
itu. Dia juga gugup, pikir Mayra. Ia jadi merasa senang. “Tanganmu
besar sekali,” katanya. Mayra menekankan telapak tangannya sendiri
ke telapak tangan Walker, sambil saling menempelkan jari. “Lihat.”
Jemari Walker hampir lima senti lebih panjang.
“Tangan yang besar bagus buat sulap,” kata Walker. “Bisa untuk
menyembunyikan kelinci.” Ia menarik tangannya dan merogoh saku.
“Akan kutunjukkan tipuan kartu yang baru.” Di kantong belakang
jinsnya selalu ada sekotak kartu.
“Aku lapar!” kata Mayra. Sekali lagi Mayra menarik dan Walker
langsung berdiri, membuat Mayra kehilangan keseimbangan dan
nyaris terjengkang.
“Oh. Sori.” Dua bulatan kecil berwarna pink muncul di pipi Walker.
“Apa?”
“Tak banyak yang bisa diceritakan dari liburanku. Kau kan tahu aku
bersama orangtuaku.”
“Dan ibumu?”
Ketika mereka keluar dari restoran dan memasuki mall yang terang
benderang, Walker mulai tampak salah tingkah lagi. “Kau tahu,
Mayra. Aku sangat menyesali yang dulu itu.”
“Apa?”
Mayra tidak mengerti apa yang dimaksud ibunya dengan ucapan itu.
“Yeah. Giliran yang paling pagi. Aku harus berangkat beberapa jam
lagi, percaya tidak? Naiklah. Akan kukunci pintunya.”
Tiba-tiba Mayra melihat ibunya tampak jauh lebih tua. Atau barang-
kali itu karena pengaruh lampu koridor yang tajam. Mayra meng-
ucapkan selamat malam dan mulai menaiki tangga.
Mayra sadar, itu salah satu kebiasaan ibunya yang paling men-
jengkelkan. Dia selalu teringat sesuatu begitu orang sudah setengah
jalan naik tangga, sehingga orang harus turun kembali.
Sinar matahari menerobos tirai jendela di atas bak cuci dapur ketika
Mayra tergesa-gesa menyelesaikan mencuci piring. Ia ingin segera
memulai acara jalan-jalan siang di tepi danau, lalu membacakan buku
untuk Mrs. Cottler. Mungkin buku itu dapat membuatnya melupa-
kan pengalamannya yang menakutkan—berjalan dalam tidur tadi
malam.Kalau saja ia dapat berbagi cerita dengan seseorang, mungkin
ketakutannya akan berkurang. Tapi ibunya sudah berangkat kerja.
®LoveReads
42 | THE SLEEPWALKER – Ratu-buku.blogspot.com
Sesudah bekerja Mayra ingin bergegas ke rumah Donna dan men-
ceritakan apa yang dialaminya semalam. Tapi ia harus pergi ke mall
mengambil beberapa contoh cat untuk ibunya. Ia merasa lega begitu
keluar dari rumah Mrs. Cottler, meskipun, di luar dugaannya, hari
itu berjalan lancar.
Ketika ia masih kecil, seorang anak laki-laki dari ujung blok telah
membuatnya bermimpi buruk selama berminggu-minggu. Anak itu
bercerita mengapa semua batu nisan di sana miring-miring. Karena
Dia sangat besar, batin Mayra, balas memandang orang itu. Laki-laki
itu kira-kira dua meter tingginya, badannya tegap, dan berleher
seperti pemain football, nyaris lebih besar daripada kepalanya. Ia
mengenakan celana bersepeda ketat berwarna hitam dan T-shirt
tanpa lengan berwarna merah yang mempertontonkan dadanya yang
bidang dan otot-ototnya yang bertonjolan. Dengan pipi merah dan
lebar serta rambut pirang cepak yang dipangkas rata di bagian
atasnya, ia tampak seperti sersan marinir yang terlatih atau pemain
“Hei... berhenti!”
Bus terlalu cepat sampai di Division Street. Mayra masih ingin tetap
berada dalam bus. Sejuk dan tenang. Kekagetannya belum hilang
akibat dikejar cowok aneh itu. Wajah cowok itu masih terbayang
dalam benak Mayra.
“Yang benar saja, Mayra. Kami tidak berpegangan tangan kok,” Suki
menimpali dan menggeleng-geleng.
“Apa saja yang kaulakukan selama liburan ini?” Suki bertanya pada
Mayra setelah menyedot sisa Coke-nya.
“Bekerja.”
“Aku juga. Paling tidak aku tadi kerja.” Suki menghela napas. “Aku
kerja di Frosty's di mall ini. Itu lho, salon. Tapi aku berhenti. Jam
kerjanya gila-gilaan. Kukatakan, tak usah ya. Lalu mereka mengata-
kan aku tak usah datang lagi.”
“Tak usah. Makasih. Aku harus segera pulang. Maksudku, aku harus
belanja dulu.” Mayra sudah lupa pada contoh warna pesanan ibunya.
Sudah hampir jam makan malam. Ia harus bergegas. Ia berdiri.
®LoveReads
“Semoga aku tak perlu mulai menguncimu dalam kamar pada malam
hari.”
“Tidak, Mayra. Jangan pandangi aku seperti itu. Berjalan dalam tidur
itu masalah serius. Tapi aku tak ingin kau ketakutan dan cemas.
Mungkin ini takkan terjadi lagi. Ayolah, Sayang... rileks saja.”
“Mom, aku nyaris sampai di jalan. Apa jadinya kalau aku tidak
terbangun?”
“Tapi kau terbangun. Aku perawat. Aku berani jamin belum pernah
ada orang masuk rumah sakit karena tertabrak truk saat berjalan
dalam tidur. Kau takkan apa-apa.”
“Kau tak pernah berjalan dalam tidur sebelum ini.” Mrs. Barnes
memegang tangan anaknya. “Kau tak pernah mengigau sepanjang
yang kuingat. Kau bahkan tak pernah gelisah selama tidur.”
“Jika pikiranmu masih kacau, ada orang hebat di rumah sakit yang
dapat kauajak bicara.”
“Ya. Dia temanku, dan aku yakin dia pasti punya waktu buatmu.”
“Tidak, tentu saja tidak. Tapi mungkin kau akan merasa lebih baik
kalau bicara dengan seseorang. Kau akan lebih yakin. Yang jelas, apa
pun yang kukatakan, kau pasti takkan percaya.”
“Bukannya aku tak percaya pada Mom. Tapi Mom cuma meng-
anggap aku lucu, mondar-mandir di luar sambil tidur, padahal aku
ngeri.”
“Kau tidur di dalam atau di luar rumah?” Mrs. Barnes bertanya, lalu
tertawa.
54 | THE SLEEPWALKER – Ratu-buku.blogspot.com
“Mom, nggak lucu!”
“Kau kelihatan modis. Scarf ini cocok dengan blusmu. Aku sungguh-
sungguh suka.”
“Nggak usah ya. Ini akan kusimpan.” Stephanie melicinkan scarf itu
dengan kedua tangannya. Mayra mengira Stephanie akan
mengembalikan benda itu, namun tampaknya Stephanie serius. Ia
“Aku putus dengan dia. Itu saja. Terjadi begitu saja, kau tahu. Kami
tidak cocok. Aku tak ingin melukainya. Tapi tak kusangka dia akan
berbuat begini. Menyuruh adiknya untuk...”
“Sori.”
“Kau bisa.”
“Tapi aku tak ingin. Dengar, Stephanie, Link harus bisa bersikap
lebih dewasa.”
“Apa maksudmu?”
“Well, oke. Kau sudah melakukannya. Tapi aku tak bisa ngomong
apa-apa lagi. Aku menyesal membuat semua orang merasa tidak
enak. Aku juga merasa tidak enak. Sungguh.”
Paling tidak itulah yang terdengar Mayra. Ia tidak yakin. “Apa yang
kau katakan?”
Apakah yang di dekat lampu itu papan nama jalan? Ya. Ia melewati
satu lagi rumah tua yang gelap, jauh dari jalan. Rumput dan ilalang
tinggi terbentang di halamannya bagai permadani. Apa aku
mengenal rumah itu? Apa aku mengenal jalan ini? Berapa jauh aku
telah berjalan? Apakah aku telah berjalan memasuki mimpi lain?
“Tidak.”
®LoveReads
“Well, aku tak tahu. Kupikir mungkin dia dapat menjelaskan tentang
penyakit berjalan dalam tidur itu. Maksudku, apa penyebabnya.”
Akhirnya Kim membuka matanya. “Aku juga bisa jalan sambil tidur,
tahu.”
“Aku masih tidur. Aku sedang jalan dalam tidur,” Kim bersikeras.
“Tapi aku ingin ketemu kau,” kata Walker pada Mayra. Dengan
kikuk ia duduk berselonjor di atas karpet ruang tamu. “Duduklah di
sini.”
“Aku serius. Aku juga takut. Untukmu, maksudku. Pasti ngeri rasa-
nya tiba-tiba terbangun di suatu tempat di luar rumah.”
“Yeah. Begitu dia kembali dari cutinya. Kata Mom, dia baik sekali.
Dia telah melakukan semacam penelitian mengenai tidur, jadi
mungkin dia tahu bagaimana cara menghentikan kebiasaanku ber-
jalan dalam tidur.”
®LoveReads
“Mungkin dia di atas,” kata Mayra keras. Kucing itu menaiki tangga
seolah mengerti apa yang dikatakan Mayra.
“Aku bangun kesiangan hari ini,” katanya pada Mayra. “Pasti me-
nyebalkan mesti menunggui perempuan tua seperti aku.”
“Tak apa-apa,” kata Mrs. Cottler. “Aku cuma ingat Vincent kalau
pergi ke sana. Itu caraku untuk selalu mengenangnya dalam hidupku.
Tapi hal itu selalu membuatku sedih.”
“Kita akan membaca beberapa bab tambahan hari ini,” Mayra berkata
dan tersenyum hangat, mencoba menghibur wanita tua itu. Tiba-tiba
mimpi itu berkelebat di benaknya. Dilihatnya danau itu, danau
impian, berkilauan dan jernih. Dipaksanya bayangan itu menghilang
dari benaknya, diambilnya buku, dan dicarinya halaman yang akan
dibacakannya.
Beberapa jam kemudian hari masih gerimis ketika Mayra pulang. Air
hujan yang dingin terasa nyaman diwajahnya. Dengan langkah cepat
ia menyusuri Fear Street, ingin segera sampai di rumah. Ia masih
berada di depan makam Fear Street, sepatu karetnya menapak di atas
kubangan yang bertebaran di jalan, ketika tiba-tiba terdengar bunyi
langkah kaki di belakangnya. Apakah itu orang yang pernah
mengikutinya, cowok berleher besar itu? Ia gemetar dan makin
mempercepat langkahnya. Siapa dia? Apa maunya?
Dengan tangan, Link menyisir rambut hitamnya yang basah oleh air
hujan ke belakang, dan tersenyum lebar pada Mayra. “Aku sedang
menunggumu.” Ia mengenakan jins denim hitam dan T-shirt tanpa
lengan yang berwarna cerah. Lengan dan dadanya sangat kecoklatan
Mayra tidak membalas senyumnya. “Link, jangan mulai lagi. Aku tak
mau...”
“Akan kuantar kau pulang. Ayo, Mayra. Kayaknya hujan akan turun”
Mayra ragu-ragu, lalu melihat ke langit yang makin gelap. “Kau janji
takkan mengajakku berkencan, atau semacamnya, Link?”
“Oh, yeah?” Kerry adalah sahabat Link yang pindah ke Selatan, juga
pindah sekolah di sana. Mayra menyukai Kerry dan baru sekarang
“Hah?”
“Kalau tak salah namanya Cal anu atau semacamnya. Kau kenal dia?”
“Tidak.” Perasaan takut mulai merambat naik dari perut Mayra. “Dia
mau apa?”
“Oh, tidak.”
“Yeah. Aku tak apa-apa. Bagaimana dia bisa tahu aku tinggal di sini?
Apakah dia mengatakannya?”
Mrs. Cottler? Si Cal ini kenal Mrs. Cottler? Mengapa Mrs. Cottler
memberikan alamat Mayra pada orang ini? “Dia mau apa?”
“Donna... sudahlah...”
“Dia tidak berani membunuh cowok itu saat dia bangun. Jadi dia
berjalan dalam tidur dan membunuhnya dalam tidur. Lalu orang-
orang tidak dapat menuduhnya membunuh, karena dia sedang
tertidur ketika melakukannya.”
“Teoriku?”
Seperti biasa ibunya mempunyai ide spontan, dan saat itu terasa
bagus bagi Mayra. Paman George mempunyai pondok yang luas
dengan tiga kamar tidur dan pemandangan ke danau. Mrs. Barnes
memperbolehkan Mayra mengajak Donna.
Ada dua hal yang harus kukerjakan, kata Mayra pada dirinya sendiri.
Aku harus mendapatkan kembali kalungku. Dan aku harus berhenti
dari pekerjaan ini, berusaha berada sejauh mungkin dari Mrs Cottler.
80 | THE SLEEPWALKER – Ratu-buku.blogspot.com
Tiba-tiba ia menyadari Donna sedang berdiri di perahu itu.
Kim dan Donna berada di tepi pantai yang berpasir. Mereka bersama
seorang kenalan baru Kim, anak laki-laki bernama Andy, dua-tiga
tahun lebih muda daripada Kim. Mereka asyik menggali lubang
dalam di pasir.
“Sori sekali lagi,” kata Donna. “Katakan pada Mrs. Cottler ini gara-
gara aku.”
“Kau yakin kau tak apa-apa?” Donna memegangi pintu kasa, badan-
nya setengah di dalam dan setengah di luar rumah.
“Aku tak berani tidur,” Mayra membuka rahasianya. “Aku takut jika
tertidur, aku akan mimpi lagi. Dan jika mimpi, aku akan berjalan
dalam tidur lagi. Jadi aku...”
“Yeah.”
“Oke, oke. Aku akan pergi. Tahu nggak, Mayra, lebih baik kau
berhenti kerja.”
Ketika keluar dari mobil dan berpamitan pada Donna, Mayra melihat
Mrs. Cottler sedang mengawasinya dari pintu depan. “Selamat pagi,
Mrs. Cottler,” sapanya. Namun tampaknya wanita tua itu hanya
menatap Donna, tidak menanggapinya.
“Oh!” Kata itu keluar begitu saja dari mulut Mayra, ungkapan
perasaan terkejutnya. Ia sama sekali tidak menyangka hal itu yang
akan diucapkan Mrs. Cottler.
“Well, aku tak dapat membawa Hazel. Jadi aku ingin kau memberi-
nya makan tiap hari. Dan selama di sini, kau bisa membawa masuk
surat dan menyirami tanaman.”
“Tentu saja aku tetap akan membayarmu penuh.” Mrs. Cottler ber-
jalan ke arah bak cuci piring.
“Yah, aku tahu kau akan mengurus Hazel dan rumah ini dengan baik
selama aku pergi.” Hazel memandang Mayra dengan ragu. Kucing
itu terus-menerus berada di dekat kaki Mrs. Cottler pagi ini, seakan
tahu akan segera ditinggal pergi majikannya.
“Ya. Saya akan datang tiap hari,” kata Mayra. “Kapan Anda
berangkat?” Ia berharap suaranya tidak terdengar terlalu antusias.
“Besok pagi. Hari ini adik iparku sedang menuju ke sini untuk men-
jemputku.” Mrs. Cottler sampai di bak cuci piring dan menyandarkan
tongkatnya. “Ya ampun. Aku sampai lupa tadi sedang mengerjakan
sesuatu di sini.”
Mayra mendekati bak cuci piring untuk melihat apa yang sedang
dipotong wanita tua itu dengan sepenuh tenaga. Lalu ia mundur,
mengerang, merasa mual. Benda itu seperti tangan manusia. Dengan
senyum ganjil di wajahnya, Mrs. Cottler berbalik dan memandangi
ekspresi Mayra. “Mayra... ada apa?” ia bertanya sambil mengangkat
pisau daging itu tinggi-tinggi, siap mengayunkannya kembali.
“Ya. Donna. Dia disini. Di rumah sakit. Di bangsalku. Aku, uh, well...
Dia mendapat kecelakaan parah sewaktu mengendarai mobil.”
“Yeah. Aku tahu.” Suara Donna terdengar parau dan jauh sekali. Ia
berbicara perlahan-lahan, seolah baru bangun dari tidur panjang.
“Kupikir ini pengaruh obat bius yang mereka berikan padaku.”
Lama sekali tidak ada sahutan. “Tidak. Sudah tidak lagi. Aku...
sebentar, Mayra. Perawat akan memberiku obat lagi.”
“Ibumu sangat baik,” kata Donna. “Aku sempat panik waktu melihat
slang-slang berseliweran di lenganku. Tapi dia tenang saja. Dia
menjelaskan semuanya. Rasanya nasibku masih baik.”
“Siapa?”
“Aku tak tahu. Aku cuma bisa melihat mobilnya. Hujan lebat sekali.
Dan dia menurunkan tebengnya di kaca depan, hingga aku tak dapat
melihat mukanya.”
“Yeah. Dia muncul dari samping dan mulai menyundulku. Aku kaget
dan takut. Lalu aku ngebut. Berusaha menjauhinya. Tapi dia me-
nyundul lagi dengan lebih kencang. Jalanan sangat licin akibat hujan.
Aku sedang di jalan raya, dan di sana tak ada belokan. Tak ada...”
“Ada pembatas di pinggir jalan raya. Pembatas jalan dari beton. Aku
menabraknya. Aku terpelanting dan terguling-guling beberapa kali.
Kaca mobil pecah berantakan. Segalanya di sekelilingku seolah
bergetar. Rasanya aku takkan pernah melupakan bunyi mengerikan
itu. Kayaknya seluruh dunia retak. Berkeping-keping. Oh, aku capek,
Mayra. Mataku rasanya sudah berat sekali.”
“Jenis pickup.”
“Hah?”
“Cobalah ingat-ingat.”
®LoveReads
“Jangan, Walker. Tak ada peragaan tipuan malam ini. Aku ingin
bicara denganmu. Aku sungguh-sungguh harus bicara.”
“Well, oke. Ayo kita turun. Kita duduk di ruang keluarga saja. Kau
bisa cerita apa saja.”
“Well, aku tidak yakin. Mrs. Cottler pernah dirawat di rumah sakit,
dan ibuku menjadi perawatnya. Entah bagaimana, Mrs. Cottler
mendapat ide sinting bahwa ibuku mencoba membunuhnya. Dia
protes pada pihak rumah sakit sampai menimbulkan keributan.”
“Terima kasih,” kata Mayra penuh syukur. “Dan terima kasih karena
kau telah mempercayaiku.” Mayra menjatuhkan diri ke dalam
pelukan Walker dan mereka berpelukan dengan mesra lama sekali,
sampai ibu Walker masuk ke ruangan itu dan menawarkan snack.
®LoveReads
“Hei... Kupikir kau akan serius dalam hal ini.” Mayra marah.
Ih, seram, kata Mayra dalam hati. Namun perasaan ganjil itu tidak
mau hilang juga.
“Aku tak tahu. Rasanya seram,” sahut Mayra. Ia berbalik dan melihat
kucing itu sedang berdiri di pintu masuk, memandanginya dengan
mata hijau berkilauan. Ia memaksakan diri untuk berbalik lagi ke
arah buku-buku itu. “Lihat ini, Walker.”
“Seluruh dinding ini berisi buku tentang ilmu gaib,” kata Walker.
“Ya. Benar.”
“Aku sangat gembira kau ada di sini,” kata Mayra. “Jika aku harus ke
sini sendirian dan menemukan semua barang ini, aku akan histeris.”
“Ayo kita ke atas,” Mayra berkata dan menarik tangan Walker. “Aku
ingin menunjukkan lilin-lilin hitam itu padamu. Mungkin masih ada
barang lainnya lagi di sana.”
“Kenapa foto-foto ini bisa ada di meja Mrs. Cottler?” tanya Mayra,
sambil terpana memandangi foto-foto itu seakan ia bisa mendapat
jawaban dari sana.
“Yeah. Cal. Bagaimanapun, dia terlibat dalam hal ini. Mungkin dia
putra Mrs. Cottler!”
“Apa?”
“Bibi Lucy?”
“Mrs. Cottler adalah bibi Stephanie!” seru Mayra. “Dan bibi Link!
Pantas saja! Stephanie-lah yang memberitahuku mengenai pekerjaan
ini! Lucunya, dia tak pernah menyebut-nyebut Mrs. Cottler adalah
bibinya.”
“Scarf-mu?”
“Yeah. Lalu aku akan berhenti bekerja di sini dan sedapat mungkin
menjauh dari Mrs. Cottler serta kemenakan-kemenakannya yang
terkasih itu!” Mayra membanting laci hingga menutup dan nyaris
tersandung kucing, bergegas keluar dari perpustakaan.
®LoveReads
“Apa maksudmu?”
“Dengar, aku tahu kau benarbenar jengkel pada kasus berjalan dalam
tidur yang kaualami dan yang lain-lainnya,” Donna kembali pada
pembicaraan semula. “Tapi jangan kehilangan akal sehat. Sekarang
abad kedua puluh, ingat? Sudah tak ada lagi orang yang berkeliaran
menenung orang lain.”
“Kata Walker masih ada. Katanya sekarang para penyihir itu malah
lebih sering mengadakan pertemuan dibandingkan dengan di abad
ketujuh belas.”
“Gatal lagi?”
“Aku akan segera ke sini lagi,” Mayra berkata sambil bangkit berdiri.
“Kalau saja aku bisa tidur,” gumam Mayra, dan tiba-tiba ia merasa
tertekan. Ia melangkah keluar dari kamar dan bergegas menelusuri
koridor rumah sakit.
®LoveReads
Lalu dia harus menghentikannya. Dia dan wanita tua itu harus
menghentikan apa yang mereka perbuat terhadapku.
Masih sunyi.
Tak ada jawaban. Tapi ia dapat mendengar bunyi musik dari dalam.
“Kau tahu aku selalu tertarik pada hal-hal yang berbau mistis,” kata
Stephanie. Ia menyalakan lampu di atas laci pakaian. “Jadi aku cuma
mencoba-coba. Memangnya kenapa?”
“Aku tidak jahat padamu. Aku marah karena kau nyelonong masuk
ke kamarku dan menuduhku seenaknya. Kaulah yang jahat. Kau
sembarangan menuduhku menenungmu! Omonganmu ngawur dan
sinting!”
“Aku tidak sinting!” teriak Mayra. “Kau kenal cowok bernama Cal?”
“Siapa?”
“Cal. Aku tak tahu nama lengkapnya. Cowok pirang berbadan dan
berleher besar.”
“Stephanie, hentikan!”
“Memangnya kenapa? Kau sendiri yang mulai, Mayra. Kau tahu apa
yang kupikir waktu aku tadi melihatmu berdiri di sini?”
“Apa?”
“Tidak,” Stepahnie berkeras. “Jangan katakan kau tidak tahu hal ini.”
“Tak ada yang harus kuketahui. Aku ketemu Walker tadi pagi. Kau
cuma berusaha menyakiti hatiku.”
“Aku melihat Walker dan Suki makan piza bersama di mall,” kata
Stephanie.
“Well, aku juga Lihat. Itu biasa saja, bukan berarti Walker
mencampakkan aku.” Mayra menggenggam scarf putihnya dengan
kencang, hingga tangannya terasa sakit. “Kau memang kekanak-
kanakan,” Mayra berkata dengan suara bergetar. Stephanie diam
saja, hanya mengangkat bahu dan memutar bola matanya.
“Oh, tidak,” gumam Mayra. Link adalah orang terakhir yang ingin
dijumpainya saat itu.
Ya. Ya. Ia dapat melihat orang itu sekarang. Itu Walker. Walker
berdiri mematung, tanpa suara, mengawasi Mayra ketika gadis itu
menoleh lagi dan menyeberangi ombak.
Oh, tolonglah aku, tolong. Kenapa aku tak bisa berenang? Kenapa
aku tak bisa bergerak? Ia merasa makin tenggelam. Ia mencoba
mengangkat lengan ketika kepalanya mulai tenggelam, tapi kedua
lengannya tak dapat digerakkan. Makin tenggelam ke dalam air yang
berat dan gelap. Ia tercekik sekarang.
Laki-laki itu menarik tali pada motor tempel, dan mesin itu mulai
hidup. “Aku akan membawamu ke tepi,” katanya. “Sori, aku tak
punya selimut. Aku tak mengira malam ini akan memancing seorang
gadis di danau. Dan ternyata kau satu-satunya hasil tangkapanku.”
“Lebih baik kau pergi tidur,” kata ibunya. “Menurutmu kau akan bisa
tidur?”
“Aku tak tahu apakah aku ingin tidur,” sahut Mayra. Pandangannya
menerawang ke luar jendela, ke dalam kegelapan. “Aku sungguh-
sungguh ngeri, Mom. Kenapa aku begini?”
®LoveReads
“Aku tak tahu, Barbara. Sungguh, aku tak tahu,” ucap wanita yang
lebih kecil berulang-ulang kepada yang lebih besar, yang berulang
kali menggeleng.
“Dia di Psikiatri.”
Cal.
“Saya... uh... saya ada janji dengan Dr. Sterne,” Mayra tergagap-
gagap. “Ini kantornya, kan?”
“Tapi Anda terlalu muda!” Ucapan itu hampir terlontar dari mulut
Mayra. Tapi ia berhasil menghentikannya. Namun ia tidak bisa
menghentikan gerakan mulutnya yang menganga heran.
“Aku tidak seperti yang kau bayangkan, ya?” Dr. Sterne berkata
sambil memandangi Mayra dari atas ke bawah.
“Lehernya besar?” tanya Dr. Sterne dari koridor. “Ella? Kau lihat
seseorang yang berleher besar di luar sini?”
“Ya. Dia mencari tahu tentang saya pada teman saya. Dan suatu hari
dia membuntuti saya. Dan sekarang saya baru tahu dia pasien sakit
jiwa di sini dan...”
“Ya. Anda tak percaya, kan?” tanya Mayra, tibatiba ia merasa marah.
“Aku baru menyadari siapa kau,” kata Dr. Sterne sambil duduk di
kursi kulit hitam yang tinggi di balik mejanya yang kacau. “Kau putri
Amy Barnes. Mayra—betul, kan?”
Mayra merasa malu sekali karena beberapa alasan. Orang ini teman
ibunya, dan sekarang orang ini berpikir ia benar-benar sinting,
membayangkan ada yang membuntutinya.
Mayra tersenyum untuk pertama kalinya. Paling tidak dokter ini bisa
bercanda. Mayra menjatuhkan dirinya ke kursi dan mengembuskan
napas lega.
“Tidak juga,” sahut Mayra. “Anda berusaha bersikap manis pada saya
supaya saya tenang, bukan?”
“Ya.”
“Ayo kita mulai dari awal,” kata Dr. Sterne sambil mencatat di
notesnya. “Ceritakan padaku tentang saat pertama kali kau
mengalami berjalan dalam tidur. Setiap detail yang dapat kauingat.
Bayangkan semuanya. Pejamkan matamu kalau kau mau. Coba
bayangkan semua yang kaukatakan.”
Mayra menggeleng. “Tidak. Saya tidak tahu apa yang telah se-
demikian mengguncang saya. Saya sangat tidak menyukai pekerjaan
saya selama liburan ini, tapi itu bukan masalah besar.” Mayra baru
133 | THE SLEEPWALKER – Ratu-buku.blogspot.com
menyadari bahwa ia belum menceritakan kepada Dr. Sterne tentang
Mrs. Cottler, atau tentang kecurigaannya bahwa Mrs. Cottler—atau
Stephanie—menyihirnya hingga ia berjalan dalam tidur. Kalau
kukatakan, dia pasti benar-benar menyangka aku gila, kilah Mayra.
“Saya putus dengan cowok saya belum lama ini. Tapi saya tidak
begitu peduli. Sekarang saya sudah punya cowok baru.”
“Aku ingin kau kembali lagi minggu depan,” kata dokter itu.
“Saya... ya.”
“Dan aku tak ingin kau kuatir otakmu terganggu, atau kau mengidap
penyakit serius, atau sejenisnya. Tunggu sebentar.” Dr. Sterne
kembali ke meja dan mencoret-coret pada notes. Lalu ia merobek dan
memberikannya pada Mayra.
“Itu resep. Supaya kau dapat tidur. Dosisnya sangat ringan. Tidak
menyebabkan kecanduan. Minumlah setiap malam, setengah jam
sebelum kau tidur. Sudah terbukti keberhasilannya. Seorang
pasienku juga sering berjalan dalam tidur, dan obat itu berhasil
menghentikannya.”
®LoveReads
“Maksudmu aku sudah setengah sadar dan tak lagi tidak sadar?”
“Yeah. Aku kembali menjadi diriku lagi sekarang,” kata Donna sinis.
“Aku bukan Frankenstein lagi. Tapi sekarang aku jadi mumi. Lihat
perban-perban ini!”
“Oh. Sori.”
“Ya,” jawab Mayra cepat. “Eh, tidak. Maksudku, aku tak tahu.”
“Di danau. Di belakang hutan Fear Street. Kau tahu, yang di dekat
rumah Mrs. Cottler.”
“Tidak, kukira tidak. Tapi, Mayra, ini mengerikan sekali. Lain kali...”
“Hah?” seru Donna dari tempat tidur. “Mayra, ke sini. Aku tak bisa
melihatmu.”
“Apa katamu?”
“Aku selalu ke sana dalam tidurku. Nanti malam aku akan ke sana
dalam keadaan terjaga. Barangkali dengan cara begitu aku dapat
mempelajari sesuatu, Donna. Mungkin danau itu akan mem-
beritahuku.”
®LoveReads
“Tapi danau itu pasti sangat indah nanti malam,” Mayra beralasan.
“Aku tak bisa, Mayra. Aku telah janji pada sepupuku untuk menjaga
anak kembarnya nanti malam.”
“Sungguh. Aku akan menemanimu kalau bisa. Begini saja... kita pergi
ke danau itu lain kali, oke?”
“Well...”
“Well...”
“Tidak. Sungguh. Aku tak ingin kau pergi sendirian. Itu konyol.”
“Well...”
Danau itu kelihatan lebih besar daripada biasanya, begitu luas, kedua
sisinya lenyap dalam kegelapan. Fear Island, pulau kecil di tengah
danau, hanya berupa bayangan yang menonjol di kejauhan.
“Siapa di situ?”
Bunyi langkah lagi, makin keras. Lalu... “Hei!” seru sebuah suara.
Terlambat untuk lari.
“Hai, Mayra.”
Beberapa detik tadi Mayra merasa gembira melihat Link. Tapi ketika
Link menyebut mobilnya, Mayra tersentak. Mayra membayangkan
Donna yang sedang tergeletak di rumah sakit, lengannya penuh
slang. Rasa takut itu muncul kembali. Mayra gemetar. Pusing.
Akhirnya Mayra memutuskan menutupi ketakutannya itu dengan
marah-marah. Ia takkan membiarkan Link tahu bahwa ia ketakutan.
“Tidak,” sahut Mayra dingin. “Bagaimana kau tahu tentang hal itu?”
“Aku janji ketemu Walker,” Mayra berbohong. “Kuharap kau tak ada
di sini ketika dia datang nanti.”
“Ini bukan tempat yang asyik untuk kencan, kan? Lihat saja. Kau
tidak menemukan pasangan lain yang melewati hutan itu untuk
kencan di sini.”
“Hah?”
“Mulai lagi dari awal,” katanya pada diri sendiri, mencoba menata
pikirannya, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebur
kencang, mencoba menghentikan kamarnya yang berputar-putar. Ia
rebah kembali di tempat tidur, memejamkan mata, dan berusaha
memunculkan kembali peristiwa malam Minggu itu. Walker.
“Aku punya usul yang lebih baik.” Pipinya merah merona. Matanya
liar. Bicaranya cepat. Jalannya ngebut, hingga Mayra terbirit-birit
mengikutinya.
“Walker... pelan sedikit. Kau mau apa?” Mayra mulai merasa gelisah.
Ia sebenarnya belum begitu mengenal pemuda itu. Walker belum
pernah bertingkah seperti itu. Mayra mengikuti Walker ke salah
satu tempat parkir mall. Walker mulai melongok-longok ke dalam
mobil yang berderet di sana.
“Walker... jangan.”
“Apa maksudmu?”
“Yeah.”
“Walker...”
“Aku tahu, aku tahu. Aku janji. Satu lagi putaran cepat, dan kita
segera kembali ke tempat parkir itu.”
“Walker... cepat! Paling tidak ada dua orang dalam mobil itu!”
Oke. Sudah satu, pikir Mayra. Mungkin mereka tak apa-apa. Sambil
berkecipakan orang itu berusaha berenang ke tepi sungai. Tidak
lama kemudian ia berhasil keluar dari air dan melangkah di tanah
tepi sungai. Sambil terbatuk-batuk dan tersedak-sedak ia mendongak
menatap ke tepi jalan—dan melihat Mayra.
“Walker... cepat!” teriak Mayra. “Cepat turun dari mobil! Orang itu...
dia memanggil-manggilku, tapi aku tak bisa mendengarnya!”
Laki-laki itu memberi tanda pada Mayra dengan panik, lalu meloncat
kembali ke dalam air, barangkali untuk menyelamatkan seorang lagi
yang masih ada di dalam mobil.
Gadis itu duduk di samping Walker, menatap ke arah air danau yang
berona abu-abu.
Malam yang dingin. Udara terasa lebih mirip musim gugur daripada
musim panas. Pepohonan dan semak-semak menghilang ke balik
sosok kelabu malam hari, bayang-bayangnya menyelubungi tanah.
Jauh di danau, hampir di Fear Island, dua ekor burung menukik dan
menyelam, menangkap ikan untuk makan malam, ketika segumpal
kabut tertiup ke tepi danau.
Mayra telah cukup banyak tidur sore itu. Tidur nyenyaknya yang
pertama kali setelah berminggu-minggu. Namun ia tidak merasa
sepenuhnya segar waktu bangun tidur. Ia mengganti pakaiannya
dengan jins belel ketat serta kaus rugbi bergaris hijau-putih, lalu
bergegas menuju rumah Mrs. Cottler. Hazel telah menunggunya di
dekat pintu.
“Tidak. Aku belum bisa tidur,” Mayra berbohong. “Aku terlalu takut
untuk tidur.”
“Ya. Setiap kali hampir terlelap, aku memaksakan diri untuk tetap
terjaga. Aku ketakutan setiap malam. Aku benar-benar kacau,
Walker. Aku sungguh-sungguh perlu bantuanmu.”
“Well, ya. Kukira aku bisa. Aku tak tahu.” Walker menyibakkan
rambut pirangnya ke belakang dengan kedua tangan. “Aku sudah
sering berlatih.”
“Well, aku sudah putus asa, Walker. Sungguh,” kata Mayra. “Tadi
malam hal ini terpikir olehku sebelum meneleponmu. Aku ingat kau
pernah menawarkan untuk menghipnotisku dan... “
“Cuma merasa?”
“Bagus kalau begitu,” kata Mayra sedih. “Sudah lama aku tidak bisa
tidur. Sejak aku mulai kerja di rumah Mrs. Cottler...”
Mata Mayra mengikuti geretan itu dari kiri ke kanan, dari atas ke
bawah. Kelopak matanya mulai terasa berat.
“Kau mulai merasa ngantuk. Itu bagus. Biarkan saja,” bisik Walker.
“Kau mulai memejamkan mata sekarang. Akan enak rasanya kalau
kau pejamkan matamu. Teruskan. Teruslah tidur. Tutup matamu.
159 | THE SLEEPWALKER – Ratu-buku.blogspot.com
Kalau kau buka matamu nanti, kau akan merasa sangat tenang,
sangat santai, sangat damai.”
“Sebentar lagi aku akan menyuruhmu buka mata, kau akan merasa
santai. Seakan kau baru saja menjalani tidur ternyenyak selama
hidupmu. Dan kau akan merasa benar-benar damai dengan dirimu
sendiri. Kegelisahan yang membingungkanmu akan terlupakan. Kau
akan benar-benar tenang.”
“Dan ketika kau buka matamu,” kata Walker masih dengan suara
sangat lirih, “kau akan tetap melupakan peristiwa malam itu di River
Ridge. Kau takkan diganggu bayangan mobil kuning itu. Kau takkan
ingat sedikit pun tentang kecelakaan itu, tentang mobil kuning itu,
tentang pergi ke River Ridge denganku. Waktu kau buka matamu...”
“Waktu itu kau ingin melapor ke polisi,” kata Walker dingin. “Aku
tak dapat membiarkanmu melakukannya. Aku tak dapat membiar-
kanmu merusak hidup kita berdua karena sebuah kecelakaan konyol.”
“Kecelakaan konyol? Mungkin ada orang yang mati dalam mobil itu,
Walker! Kita bahkan tak tahu berapa banyak orang yang ada dalam
mobil itu, kan? Karena kau kabur. Kau tak berbuat apa pun untuk
menolong. Kaubiarkan orang itu mati.”
“Satu orang” kata Walker membuang muka. “Seorang pria mati. Aku
membacanya di koran. Yang satu lagi, saudaranya, masih hidup.”
“Kau sama sekali tak peduli padaku, kan? Ya, kan?” desak Mayra.
Chop, chop, chop. Mayra seolah mendengar lagi suara tulang di-
potong. Mengapa pisau itu digeletakkan begitu saja? Seakan-akan
sengaja disediakan di situ untuk Mayra. “Mundur, Walker,” katanya.
“Berhenti. Aku... aku tak bisa bernapas,” erang Walker. Cal tidak
menghiraukannya. Otot-ototnya yang kuat bertonjolan ketika ia
menahan Walker tetap di bawah dengan tongkat itu. Cal mendongak
ke Mayra, yang masih terdiam kaget di pintu.
“Jangan bunuh dia!” jerit Mayra ketika Cal menekankan tongkat itu
ke tenggorokan Walker. “Jangan bunuh dia... tolong!”
“Kau yang di mobil kuning itu?” Mayra bertanya pada Cal, merasa
lega ia telah selamat, ingin segera mendengar seluruh kisah itu.
“Saudaraku Jerry dan aku ada dalam mobil itu,” jawab Cal cepat,
nyaris tak bernapas. “Aku melihatmu di pinggir jalan. Kupikir kaulah
“Kupikir kaulah yang ada dalam mobil itu. Aku cuma ingin menakut-
nakutimu,” sahut Cal. Tapi jalan itu ternyata sangat basah dan licin,
aku tidak bisa mengendalikan mobilku lagi. Aku tak bermaksud
menabrak. Aku sendiri harus dirawat karena pergelangan kaki dan
lututku patah. Itulah sebabnya aku memakai tongkat ini.”
Mayra tertawa. “Oh jadi aku yang salah kau bertingkah menyebalkan
begitu.”
“Oke, mungkin aku suka kau sedikit,” kata Mayra setelah berpikir
sejenak. Link memeluknya lagi, kali ini lebih lama.
“Tidak, sama sekali tidak,” bantah Link, sambil meraih tangan Mayra
dan menariknya ke mobil. “Aku menyebalkan, ingat? Orang
menyebalkan tidak dapat mengatai orang lain tolol. Tidak boleh.”
“Dan?”
“Dan kau betul. Dipikirnya kau memang sinting!” Link tertawa dan
menutup pintu. Dia kelihatan keren sekali kalau ketawa begitu, kata
Mayra dalam hati.
“Well, aku dan dia sama-sama tertarik pada hal-hal gaib,” kata Link.
“Menurutku mungkin karena pengaruh Bibi Lucy.”
“Bibi Lucy penyihir? Kau bercanda, ya? Dia itu profesor terkenal.
Bergelar Ph.D. Dia mengajar mata kuliah ilmu gaib di beberapa
universitas sampai pensiun beberapa tahun lalu. Sekitar sepuluh
bukunya tentang ilmu gaib sudah diterbitkan!”
Mayra ingin tertawa. “Wah, rupanya aku salah sangka. Mungkin aku
masih berjalan dalam tidur!”
Tak lama kemudian mereka disambut hangat oleh Mrs. Cottler, yang
tampak sangat gembira melihat mereka berdua. “Aku takkan lama
menahan kalian, anak-anak muda,” katanya ramah. “Ini hari Sabtu
yang indah. Pasti kalian tak ingin menghabiskan waktu dengan si tua
yang membosankan ini.”
“Aku tak bisa menunggu sampai Senin. Mungkin kita akan mulai
dengan buku baru.”
-END-
®LoveReads
Fear Streer
The Sleepwalker
Berjalan Dalam Tidur