33 Horor Di Camp Jellyjam
33 Horor Di Camp Jellyjam
Ada sapi!"
"Coba lihat ke sebelah sana, Wendy!" Mom berseru dari kursi depan.
"Ada domba!"
"Anak umur dua belas sudah terlalu besar untuk diajak bepergian naik
mobil."
"Anak umur sebelas juga!" Elliot memprotes. Aku dua belas. Elliot
sebelas.
"Tentu saja tidak," aku menimpali. "Mana ada yang berani mengolok-
olok Mom?"
"Kenapa sih kalian tidak bisa serius sedikit?" kata Mom jengkel.
"Kita sudah hampir meninggalkan Idaho," Dad mengumumkan. "Di
depan sana sudah Wyoming. Sebentar lagi kita sampai di gunung-
gunung itu."
"Mom, bagaimana aku bisa tahu apakah aku mabuk darat atau tidak?"
tanya Elliot.
Mom membalik dan menatapnya sambil mengerutkan kening. "Elliot,
kau tidak pernah mabuk darat," katanya. pelan-pelan. "Kau lupa, ya?"
"Oh, benar juga," sahut Elliot. "Habis, aku pikir lumayan untuk isi
waktu."
Wajah Mom merah padam. Tampang Mom tidak seperti Dad, Elliot,
dan aku. Ia berambut pirang dan bermata biru, dan kulitnya yang putih
gampang sekali jadi merah. Ia juga agak gendut.
Huruf terakhir Atlanta adalah A. Jadi aku harus mencari nama kota
yang dimulai dengan A. "Albany," kataku. "Giliran kau, Elliot."
"Hmm, kota yang dimulai dengan Y..." Adikku berpikir sejenak. Lalu
ia mengerutkan kening. "Ah, aku tidak mau ikut main!"
"Aku punya ide!" seruku. "Bagaimana kalau Elliot dan aku pindah ke
karavan?"
"Kurasa tak ada salahnya kalau kita biarkan mereka di sana sebentar,"
Dad berkata pada Mom. "Asal mereka hati-hati."
Dad menepikan mobil. Elliot dan aku buru-buru turun. Kami berlari
ke karavan, membuka pintu, dan berebut masuk.
Aku tahu Elliot tak bakal bisa menolak kalau ditantang begitu. Ia
paling sebal dituduh takut. Langsung saja ia duduk lagi di kursinya.
Aku dan Elliot sama kuat. Tapi ia lebih ngotot. Jauh lebih ngotot.
Belum pernah aku melihat orang yang begitu ngotot kalau adu panco!
"Ayo!" serunya.
Kami sama-sama mengerahkan segenap tenaga.
Kudorong tangannya lebih keras lagi. Sedikit lagi aku akan menang.
Sedikit lagi.
Karavan berayun sekali lagi. Aku berpegangan pada tepi meja agar
tidak terlempar dari kursi. "Ada apa ini?"
Tapi kami kembali terguncang keras, dan kali ini Elliot terempas ke
lantai. "Hei—kita mundur!"
"Pasti Mom yang nyetir," ujarku sambil berpegangan pada tepi meja
dengan kedua tangan.
"Ada apa sih dengan Mom dan Dad?" Elliot berseru. Ia berpegangan
pada salah satu tempat tidur sambil berusaha menjaga keseimbangan.
"Mau ke mana kita? Kenapa kita mundur?"
Karavan itu meluncur ke bawah. Dengan susah payah aku berdiri dan
maju terhuyung-huyung untuk melihat mobil. Aku menyingkirkan
tirai merah bermotif kotak-kotak dan mengintip lewat jendela yang
kecil.
"Kita tidak lagi ditarik Mom dan Dad," aku memberitahunya. "Mobil
kita sudah tak ada."
ELLIOT langsung bengong. Sepertinya ia tidak me-ngerti apa yang
kukatakan. Atau mungkin juga tidak percaya!
Semakin kencang.
Semakin kencang.
Menunggu...
Hening.
Kubuka mataku. Baru beberapa detik kemudian aku sadar bahwa kami
tak lagi bergerak. Kutarik napas dalam-dalam. Lalu aku berdiri.
"Lebih seru dari Space Mountain!" seru Elliot. Ia berdiri. "Ayo, kita
keluar dari sini!"
"Itu Mom dan Dad!" seru Elliot. "Mereka sudah menemukan kita!
Cepat, buka pintunya!"
Ebukulawas.blogspot.com
Aku menatap wajah pria berambut pirang. Matanya yang biru
bersinar-sinar dalam cahaya matahari yang cerah.
"Aku Wendy Ini Elliot. Kami pikir kau orangtua kami," aku
menjelaskan, lalu melompat turun dari karavan.
"Seumur hidup aku belum pernah setakut tadi," kataku terus terang.
Mom dan Dad tidak kelihatan. Jalan raya pun tidak tampak karena
tertutup pepohonan yang lebat.
Aku cuma melihat jejak ban yang ditinggalkan karavan kami di tanah.
Entah bagaimana caranya, tapi rupanya karavan kami melewati jalur
terbuka di antara pohon-pohon, lalu berhenti di kaki bukit yang terjal.
Itu seragamnya. Dia pasti bekerja di camp itu, ujarku dalam hati.
Buddy menoleh. "Kalian jadi ikut, tidak?" tanyanya sambil
melambaikan tangan. "Ayo, kalian pasti suka."
"Tapi kami tidak bisa ikut," protesku. "Elliot dan aku harus mencari
orangtua kami. Kami harus..."
Buddy menaruh tangan di bahuku dan bahu Elliot. Ia menggiring kami
ke atas bukit. "Kalian hampir saja celaka. Jadi tak ada salahnya kalian
mampir sebentar dan bersenang-senang. Nikmatilah suasana di camp.
Sampai aku bisa menghubungi orangtua kalian."
Kami sudah hampir tiba di puncak bukit ketika aku mendengar suara-
suara. Suara anak-anak. Mereka sedang bersorak-sorai dan tertawa-
tawa.
Aku yang pertama tiba di puncak. Begitu sampai di atas, aku langsung
memandang ke arah camp yang tampak di balik pohon-pohon.
Sepertinya camp itu membentang sampai bermil-mil!
"Kalau tidak salah, nanti sore ada pertandingan renang empat lap,"
Buddy memberitahuku. "Nanti akan kulihat jadwalnya."
"Kau bebas memilih olahraga yang kau suka," jawab Buddy. "Satu-
satunya peraturan di camp ini adalah berusaha dengan sekuat tenaga."
Buddy menunjuk lencana di t-shirt-nya. "Hanya yang terbaik,"
katanya.
Kenapa anak itu ada di sini? tanyaku dalam hati. Apakah ia sengaja
bersembunyi di balik pohon untuk menakut-nakuti orang yang lewat?
"Ehm... tidak ada apa-apa," seruku kepada Buddy. Kuikuti dia dan
Elliot ke camp.
Aku sudah melupakan gadis cilik tadi ketika kami berjalan mengitari
lapangan bola lalu melewati deretan lapangan tenis yang dibatasi
pagar kawat. Bunyi bola tenis dipukul terus mengikuti ketika kami
membelok ke jalan setapak utama yang membelah camp itu.
Sebenarnya ia lucu juga, kataku dalam hati. Aku sadar aku mulai
menyukai segala sesuatu di camp yang luar biasa ini.
Dan terus terang, dalam hati aku berharap Mom dan Dad
membutuhkan waktu paling tidak satu atau dua hari untuk
menemukan Elliot dan aku.
Keterlaluan, ya?
Di balik arena itu, salah satu kolam renang dipenuhi anak-anak yang
menonton pertandingan loncat indah.
Kami berhenti di depan pintu asrama yang dicat putih. "Kau berasal
dari mana?" tanyaku pada Buddy.
"Hei, aku juga sering lupa," ujarku, karena melihat betapa gelisahnya
ia.
Aku tidak sempat berkata apa-apa lagi. Pembina cewek berambut
lurus, hitam, dan sangat pendek, dengan lipstik ungu di bibir
menghampiri kami. "Halo, aku Holly. Sudah siap berolahraga?"
"Itu sih gampang!" balas Holly dengan ceria. "Hanya Yang Terbaik!"
"Di sini kita jarang mendekam di dalam kamar," kata Holly. "Semua
orang selalu berada di luar, saling bersaing."
Semua dinding dicat putih. Tak ada hiasan apa pun selain gambar
King Jellyjam di atas meja rias.
"Apa ada orang lain yang tidur di sini selain aku?" tanyaku.
Dan kenapa Holly tidak bilang apa yang harus kulakukan setelah ini?
aku bertanya-tanya. Kenapa dia meninggalkanku begitu saja di kamar
kosong ini?
Kemudian ada satu anak yang memberi perintah kepada yang lainnya.
"Ayo. Dia terperangkap di sini. Kita serang dia!"
AKU menahan napas. Kalang-kabut aku mencari tempat bersembunyi.
"Bukan aku, kok," gadis yang satu lagi berkata sambil menggelengkan
kepala. Rambutnya yang pirang menyembul dari balik topi Chicago
Cubs yang berwarna merah-biru. "Ini ide Dierdre." Ia menunjuk
temannya yang berambut panjang.
"Kau tak perlu malu," ujar Dierdre sambil nyengir lebar. "Kau korban
ketiga minggu ini."
"Kau lupa, ya?" sahut Dierdre. "Kan ada pertandingan renang empat
lap."
Kenapa aku harus ikut bertanding? Kenapa aku tidak boleh berenang
santai saja?
Elliot pasti sudah ikut tiga macam olahraga, kataku dalam hati. Camp
ini memang cocok sekali untuknya!
Aku berhitung dalam hati. Paling tidak ada dua lusin peserta. Dan
kolamnya cukup lebar, sehingga semua memperoleh lintasan sendiri.
Suara tangan dan kaki yang membelah air menyerupai gemuruh air
terjun. Kubenamkan wajah dalam air, merasakan dinginnya air yang
menyegarkan.
Tiga lap...
Tiba-tiba aku sadar betapa bodohnya aku. Para peserta yang lain
sengaja berenang agak pelan. Mereka sengaja menyimpan tenaga
karena tahu pertandingan ini menempuh jarak empat lap.
Kalau aku terus berenang sekencang ini, dua lap pun aku takkan
sanggup!
Pelan-pelan... pelan-pelan...
Rasa pegal di kedua lenganku tak kugubris. Kaki kiriku yang kram tak
kuhiraukan.
Aku melaju dengan kencang sambil menendang-nendang dengan
sekuat tenaga. Lenganku membelah-belah air.
Semakin kencang.
Aku melesat bagaikan ikan hiu yang mengejar mangsa. Tangan dan
kakiku menimbulkan bunyi gemuruh yang mengalahkan sorak-sorai
para penonton di sekeliling kolam.
Tambah kencang...
Kini aku sudah hampir sejajar dengan Dierdre. Sedikit lagi. Aku
begitu dekat sehingga bisa mendengar suara napasnya.
Mataku perih sekali, sehingga beberapa kali kuusap. Lalu aku melihat
pembina berambut merah tadi menyerahkan sesuatu kepada Dierdre.
Sesuatu yang berwarna emas dan berkilau-kilau.
"Ini King Coin kelima yang berhasil kuraih!" Dierdre berkata dengan
bangga.
Kenapa sih ia begitu senang? aku bertanya dalam hati. Keping itu
bukan keping sungguhan. Dan kurasa emasnya juga bukan emas asli.
"Kalau aku dapat satu King Coin lagi, aku bisa ikut Upacara Juara,"
Dierdre menjelaskan.
Sebenarnya aku masih mau bertanya apa itu Upacara Juara, tapi Jan
dan Ivy keburu menghampiri Dierdre untuk memberi selamat
padanya. Ketiga-tiganya berbicara berbarengan.
Aku berpaling dari Dierdre dan yang lain, dan berjalan ke arah pintu
keluar kolam renang. Tapi baru beberapa langkah, aku mendengar
seseorang memanggil namaku.
Aku menoleh dan melihat Holly berlari kecil ke arahku. Ia merengut,
seakan-akan ada yang membuatnya tidak senang. "Wendy, sebaiknya
kau ikut aku sebentar," katanya padaku.
Itulah yang pertama terlintas dalam benakku. "Ada apa?" aku berseru.
"Orangtuaku! Mereka tidak apa-apa? Apakah mereka...?"
"Aku tahu kau masih baru di sini," Holly memotong sambil mengusir
lalat dari kakiku. "Tapi kau tahu slogan camp ini, bukan?"
Supaya aku bisa mendapat keping emas dengan gambar si raja gendut
yang berwarna ungu?
Apa perlunya aku memenangkan keping-keping itu? Kenapa aku tidak
boleh sekadar bersantai, mencari teman baru, dan bersenang-senang?
Ya, apa boleh buat, pikirku sambil mendesah. Untung saja aku tidak
perlu berlama-lama di sini. Sebentar lagi Mom dan Dad akan datang
untuk menjemput Elliot dan aku.
Ia pingsan.
"OHHHHHH!" aku memekik ketakutan.
Tapi ia malah ketawa lebih keras lagi. Ia senang sekali kalau bisa
mengecohku seperti itu.
Kenapa aku selalu ketipu? Aku sudah lupa berapa kali Elliot
menggunakan siasat itu. Tapi setiap kali aku masih saja percaya
bahwa ia pingsan.
"Habis ini aku tidak bakal ketipu lagi. Tidak bakal!" seruku dengan
gusar.
Elliot berdiri. "Ayo, kau harus nonton aku main pingpong," katanya
sambil menarik-narik tanganku. "Aku ikut turnamen. Lawanku
namanya Jeff. Ia pi kir dirinya hebat, soalnya bisa bikin bola melintir
kalau lagi servis. Tapi sebenarnya ia tidak ada apa-apanya."
"Kalau aku bisa mengalahkan Jeff, aku bakal dapat King Coin," ia
memberitahuku. "Habis itu aku harus menang lima kali lagi. Aku
harus dapat enam keping, supaya aku bisa ikut Upacara Juara sebelum
kita dijemput Mom dan Dad."
Tadinya kupikir Elliot akan melawan anak kecil kurus yang bisa ia
kalahkan dengan mudah. Tapi Jeff ternyata berbadan besar, dengan
wajah merah rambut pirang. Paling tidak ia dua kali lebih besar dari
adikku!
Kedudukannya seri enam belas sama, lalu tujuh belas sama, dan
delapan belas sama.
Bolanya bergulir di net, lalu jatuh ke sisi Jeff, dan memantul beberapa
kali.
Elliot menang!
"Gempa bumi!" aku memekik sekali lagi. "Jangan takut! Tidak ada
apa-apa," seru Buddy sambil bergegas menghampiriku.
"Ini biasa terjadi satu atau dua kali sehari," Buddy memberitahuku.
"Tapi apa penyebabnya?" tanyaku.
Ketika aku membuka pintu masuk, aku ketemu Jan dan Ivy. Mereka
sudah memakai baju tenis berwarna putih, dan keduanya menyandang
raket di pundak.
Kalau di rumah, aku sering main tenis dengan temanku, Allison. Tapi
sekadar untuk bersenang-senang. Kami tak berusaha saling
mengalahkan. Kadang-kadang kami malah cuma memukul bola
mondar-mandir tanpa menghitung angka.
Akhirnya aku memutuskan ikut turnamen tenis. Dan kalau aku kalah
di putaran pertama, ya sudah.
Lagi pula, aku menambahkan, sebentar lagi Mom dan Dad pasti sudah
datang. Dan Elliot dan aku harus ikut mereka.
Aku sadar mereka pasti kalang kabut. Dan bingung sekali. Moga-
moga mereka tidak apa-apa. Tiba-tiba aku mendapat ide.
Aduh, kenapa aku tidak telepon ke rumah saja, kataku dalam hati.
Kenapa baru sekarang terpikir olehku? Aku kan bisa menelepon ke
rumah dan meninggalkan pesan pada mesin penerima telepon. Dengan
cara itu Mom dan Dad bisa tahu di mana Elliot dan aku berada.
Ke mana pun Dad pergi, satu jam sekali ia memeriksa pesan telepon
di rumah. Mom suka mengolok-oloknya karena dia begitu kuatir ada
pesan yang terlewat olehnya.
Tapi kali ini mereka berdua pasti bersyukur atas pesan dariku! kataku
dalam hati.
Ini ide bagus! aku memuji diriku sendiri. Sekarang aku tinggal
mencari telepon.
Di meja resepsionis juga tidak ada orang. Jadi tak ada yang bisa
kutanyai.
Aku menyusuri koridor satunya. Di situ pun tidak ada telepon umum.
Karena sudah tak sabar ingin menelepon, aku berbalik dan bergegas
keluar lagi. Aku menarik napas lega ketika menemukan dua telepon
umum di sisi gedung asrama.
Aku berbalik. "Dierdre! Kau bikin aku kaget setengah mati!" seruku.
"Nanti malam kita bikin pesta," Dierdre melanjutkan. "Di kamar kita.
Sehabis Upacara Juara, oke? Kita bikin perayaan."
"Tolong kasih tahu Jan dan Ivy," Dierdre menyuruhku: "Atau biar aku
saja. Atau siapa yang duluan ketemu mereka, deh! Sampai nanti!"
Baru sekarang aku sadar bahwa aku sedang tersenyum. Saking berapi-
apinya Dierdre, aku jadi ikut-ikutan bersemangat. Aku jadi begitu ber-
semangat sampai lupa bahwa aku sebenamya mau menelepon ke
rumah.
Udara senja terasa hangat. Tak ada segumpal awan pun di langit.
Bulan sabit seakan-akan melayang di atas pepohonan yang gelap.
Ketika matahari terbenam, langit berubah warna dari merah muda ke
ungu lalu kelabu.
Aku merapat pada Jan, yang berdiri di sebelahku. "Rasanya urusan ini
terlalu dibesar-besarkan, ya?" aku berbisik padanya.
"Kita sudah punya makanan untuk pesta nanti?" aku berbisik lagi.
"Iring-iringan obor tadi keren juga, ya?" ujarku kepada Jan ketika
kami mengikuti kerumunan anak cewek yang menyusuri jalan setapak
ke asrama.
"Aku cuma membutuhkan dua King Coin lagi," balas Jan. "Barangkali
bisa kudapat besok. Kau juga ikut tumamen softball?"
"Di sini terlalu banyak pemain tenis yang jago," ujar Jan. "Pasti sulit
sekali untuk memenangkan King Coin di situ. Lebih baik kau ikut
softball saja."
"Kami juga tidak melihat dia," jawab Jan. "Kemungkinan sih dia
masih berkumpul dengan para juara lainnya," aku menambahkan.
"Aku menemukan dua kantong tortilla chips, tapi salsa-nya tidak ada,"
Ivy melaporkan sambil memperlihatkan kedua kantong itu.
"Aduh, mana sih dia?" tanya Jan, sambil melirik jam tangannya.
"Barangkali Dierdre lupa bahwa kita mau bikin pesta," aku menduga-
duga. Kuremas-remas kantong tortilla chips yang sudah kosong itu,
lalu kulempar ke arah keranjang sampah.
"Tapi kan dia sendiri yang punya ide untuk bikin pesta!" balas Ivy. Ia
berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir. "Ke mana ya dia? Jam
segini semua orang seharusnya sudah di kamar masing-masing."
"Ayo, kita cari dia," ujarku. Kata-kataku itu meluncur begitu saja dari
mulutku. Kadang-kadang aku memang begitu. Kadang-kadang aku
dapat ide cemerlang sebelum aku sadar apa yang kukatakan.
"Kenapa harus takut?" aku bertanya pada diriku sendiri ketika aku
keluar ke koridor yang sepi.
"Dari mana kita harus mulai mencari?" bisik Ivy. "Dari gedung utama
saja," sahutku. "Barangkali para juara masih berpesta di sana."
"Aku tidak mendengar suara pesta," bisik Jan. "Di sini sepi sekali!"
Kami melewati kolam renang, yang kini kosong dan sunyi. Airnya
mengilap bagaikan perak di bawah lampu-lampu sorot yang terang-
benderang.
Saking panas dan lembapnya, aku membayangkan diriku mencebur ke
kolam dengan pakaian lengkap.
"Tapi dia takkan senang kalau memergoki kita di sini," sahut Ivy, juga
berbisik. "Kita bakal dapat kesulitan besar."
Sambil bersenandung dan menjentik-jentikkan jari, Billy berjalan
melewati kami, menyusuri jalan setapak mengelilingi lapangan tenis.
Aku memperhatikannya sampai ia menghilang dari pandangan.
"Mau ke mana dia?" tanya Ivy dengan heran. "Ehm, barangkali dia
mau ke pesta di gedung utama," aku menebak.
Jan ketawa. "Huh, dasar penakut semua!" ejeknya. "Ayo, dong! Sudah
tanggung, nih. Kita sudah hampir sampai di gedung utama."
Dari kaki bukit pun sudah kelihatan bahwa gedung utama sama
gelapnya dengan gedung asrama. "Tak ada pesta di situ," bisikku.
"Coba kita cari di asrama cowok!" aku bergurau. Jan dan Ivy ketawa.
Aku mendengar Jan dan Ivy memekik tertahan. Suara kepak-kepak itu
semakin keras. Semakin dekat.
Ia tidak berhenti.
"Mau ke mana sih dia?" bisik Ivy. "Kenapa para pembina berkeliaran
di luar malam-malam begini?"
Tanah di bawah kami bergetar sekali lagi, lalu kembali diam seakan-
akan tak terjadi apa-apa. Aku membuka mata dan berpaling kepada
Ivy dan Jan. Mereka mulai bangkit. Pelan-pelan sekali.
"Aku selalu panik kalau ada kejadian seperti ini!" Jan bergumam.
"Tak ada yang tahu," jawab Jan, sambil menepis rumput yang
menempel di lututnya. "Tapi kadang-kadang guncangan seperti tadi
bisa terjadi beberapa kali dalam sehari."
"Sekalian dia bisa cerita ke mana dia malam ini, dan apa saja yang
dikerjakannya," Jan menimpali.
"Tolong aku!"
"Ada apa sih?" tanya Jan. "Kenapa kau ada di luar sini?"
"Kenapa kau belum tidur?" Ivy menambahkan sambil melangkah ke
sampingku.
"A-aku takut," katanya sambil mengusap air mata dari pipinya. "A-
aku—"
Kepak sayap kelelawar terdengar lagi di atas kami. Tapi bunyi itu tak
kugubris. Aku terus menatap gadis cilik yang berdiri di hadapan kami.
"Hah?" aku berseru. "Coba tarik nafas dalam-dalam dulu, Alicia. Kau
tidak perlu takut. Sungguh."
"Kita tidak aman," balasnya. "Tak ada yang aman di sini. Aku sudah
coba kasih tahu semua orang. Aku sudah kasih tahu kalian..."
Suaranya kembali terputus karena dia menangis lagi.
"Di mana Dierdre?" tanya Ivy. "Aku jadi agak kuatir. Barangkali ada
baiknya kita melapor bahwa dia belum kembali."
"Menurut kalian, apa yang dilihat anak kecil tadi?" tanya Ivy sambil
memandang ke luar jendela.
Jan membuka salah satu laci. "Ya, ampun!" pekiknya. "Ya, ampun!
Ada apa ini?"
"JAN—ada apa?" seruku.
Jan terus menatap laci yang baru dibukanya. "Aku salah buka laci,"
katanya. "Karena gelap aku menarik lacinya Dierdre. Dan—dan—
lacinya kosong!"
Ivy melintasi ruangan dengan tiga atau empat langkah panjang. Cepat-
cepat ia membuka pintu lemari.
Ke mana Dierdre?
Sarapan adalah acara makan paling ramai sepanjang hari. Mangkuk-
mangkuk sereal berdenting-denting terkena sendok. Botol-botol jus
jeruk berdebam-debam ketika ditaruh kembali ke meja kayu yang
panjang.
Suara-suara terdengar nyaring, seakan-akan ada orang yang memutar
tombol volume sampai habis. Semua orang asyik bercerita mengenai
olahraga yang akan diikuti hari ini, dan permainan-permainan yang
hendak dimenangkan.
Aku yang terakhir mandi. Jadi Jan dan Ivy sudah mulai sarapan waktu
aku masuk ke ruang makan.
Semalam aku tidak bisa tidur, padahal aku sebenarnya capek sekali.
Aku terus memikirkan Dierdre dan Alicia., Dan aku juga heran kenapa
Mom dan Dad belum juga menjemput atau paling tidak menghubungi
kami.
Aku diam saja. Mataku tertuju pada meja satunya. Sepintas lalu aku
mengira telah melihat Dierdre. Tapi ternyata itu anak lain yang juga
berambut panjang dan pirang.
"Kau sudah dapat King Coin?" tanya Elliot. Ia bicara dengan mulut
penuh panekuk. Siropnya menetes-netes dari dagunya.
"Belum," jawabku.
Meja Jan dan Ivy sudah penuh, jadi aku mengambil tempat di meja
sebelahnya yang masih kosong. Aku menuang segelas jus jeruk dan
semangkuk sereal. Tapi sebenarnya aku tidak terlalu lapar.
"Aku tidak tahu nama belakangnya. Umurnya sekitar enam atau tujuh
tahun," ceritaku. "Rambutnya panjang berwarna merah, dan mukanya
penuh bintik-bintik."
"Sori, tidak bisa," sahutnya. "Aku kan mau ikut kontes one-on-one."
"Sebentar saja!" aku berkeras. "Ada yang tidak beres di camp ini,
Elliot." Aku melepaskannya.
Elliot termasuk anak yang tidak pernah kuatir pada apa pun.
Sepertinya segala sesuatu selalu sesuai keinginannya. Jadi kenapa
harus repot?
Tapi paling tidak, seharusnya ia agak mencemaskan Mom dan Dad, ya
kan?
Rupanya aku sudah sampai di lapangan basket. Elliot dan Jeff sedang
bertanding satu lawan satu.
Gagal.
Jeff berlagak tidak mendengarnya. Tubuhnya dua kali lebih besar dari
Elliot. Kalau mau, ia bisa menabrak adikku sampai terjengkang.
Aku tidak mengerti kenapa Elliot menyangka dirinya bisa
mengalahkan Jeff.
"Delapan belas sepuluh," balas adikku lesu. Tanpa bertanya dulu pun
aku langsung tahu bahwa Elliot-lah yang kalah.
Jeff men-dribble dua kali, lalu menyarangkan bola dengan dua tangan.
"Yeah." Jeff nyengir lebar. "King Coin-ku yang keenam. Nanti malam
aku ikut Upacara Juara!"
"Wah, hebat," balas Elliot lesu. "Aku masih perlu tiga keping lagi."
"Kau harus pergi dari sini kecuali kalau kau ikut bertanding," Buddy
menjawab. Roman mukanya tidak berubah. "Kau tidak bisa cuma
menonton terus. King Jellyjam takkan setuju."
Rasanya gumpalan jelek itu ingin kuinjak saja! kataku dalam hati.
Namanya pun konyol. King Jellyjam. Idih!
"Hmm, aku akan memberikan jadwal untuk hari ini. Coba lihat apakah
kau suka," kata Buddy. "Pertama-tama ada pertandingan tenis. Kau
bisa main tenis, kan?"
Gadis itu berbalik dan menyapaku ketika kami mendekat. "Hei, mau
main?"
Rose ketawa. Aku suka suara tawanya. Rasanya aku jadi kepingin ikut
ketawa. "Aku tidak pernah main sekadar iseng!" ia memberitahuku.
Kenapa sih aku selalu diburu-buru di sini? omelku dalam hati. Kenapa
aku tidak boleh bersantai dan berjemur di sisi kolam renang?
"Kalau kita menang, kita semua dapat King Coin?" tanya anak laki-
laki dengan tato elang di pundaknya. Aku langsung tahu itu bukan
tato, tapi gambar tempel.
"L-lumayan," jawabku.
Tapi sepertinya Buddy sama sekali tidak sadar bahwa ia kena hantam!
Waktu makan malam kuceritakan kejadian itu kepada Jan dan Ivy.
"Kurasa dia menunggu sampai kau tidak bisa melihatnya. Habis itu
baru dia meraung-raung!" Ivy menduga-duga.
Mana mungkin ada orang kena hantam di dadanya seperti itu tapi
sama sekali tidak bereaksi!
Tim kami kalah sepuluh angka. Tapi setelah kejadian itu, aku tidak
bisa berkonsentrasi.
Aku semakin yakin ada yang tidak beres di sini. Dan semakin lama
aku berkeliling untuk mencari adikku, semakin waswas pula
perasaanku.
Hari ini aku tidak jadi pitcher. Aku mengambil posisi di sisi kiri
lapangan. Di situ aku punya cukup waktu untuk berpikir.
Mestinya tidak terlalu sukar, kataku dalam hati. Elliot dan aku akan
menyusup keluar sehabis makan malam, saat semua orang sedang
asyik menyaksikan Upacara Juara. Kami akan menuruni bukit dan
kembali ke jalan raya. Dari situ kami akan berjalan kaki atau
menumpang mobil menuju ke kota terdekat yang memiliki kantor
polisi.
Dengan bantuan polisi, aku yakin kami bisa menemukan Mom dan
Dad dalam waktu singkat.
Olahragaku yang berikut adalah lari, pikirku dengan galau. Lari dari
tempat yang mengerikan ini.
"Ya," aku berkeras. "Kita harus keluar dari camp ini—malam ini
juga!"
"Tidak bisa," balas Elliot. "Pokoknya tidak bisa."
"Nah, kita harus pergi dari sini dan mencari mereka!" ujarku berapi-
api.
"Besok, deh," sahutnya. "Setelah pertandingan atletik besok pagi.
Setelah aku dapat kepingku yang keenam."
Kali ini ada empat anak yang ikut dalam Upacara Juara. Sambil
menonton dari tribun, aku memikirkan anak-anak yang sudah ikut
sebelumnya.
Lalu aku teringat bahwa aku bukan satu-satunya orang yang cemas.
Di salah satu sisi terdapat pintu masuk yang menyerupai lubang gelap.
Holly melangkah masuk. Buddy segera mengikutinya.
Aku berhenti sejenak. Aku mengintip melalui pintu masuk, tapi tidak
bisa melihat apa pun di dalamnya. Tak ada suara yang terdengar.
Ya.
Aku beringsut maju. Di bagian belakang ruangan itu tak ada obor.
Keadaannya gelap gulita.
Para pembina duduk dengan kaku. Tak seorang pun bergerak. Tak
seorang pun bersuara.
Aku maju selangkah. Rasanya yang kulihat dan kudengar itu tak bisa
kupercaya!
Siapa sang pemimpin itu? tanyaku dalam hati. Apa maksud mereka?
Tidak.
Kenapa aku nekat masuk begitu jauh? Kenapa aku tidak mengintip
dari pintu saja?
"Siapa itu?" aku mendengar Buddy berseru. "Ah, gelap sekali. Siapa
itu?"
Tapi sebentar lagi aku bakal ditangkap dan diseret ke tempat terang.
Aku kembali mundur selangkah. Lalu selangkah lagi.
Kegelapan menyelubungiku.
Aku tidak bisa menebaknya. Tapi aku tidak punya pilihan. Tangga itu
satu-satunya jalan bagiku untuk meloloskan diri.
Hampir saja aku terpeleset dan terjun dengan kepala lebih dulu. Tapi
untung saja aku masih sempat berpegangan dan menjaga
keseimbangan.
Udara mulai panas dan berbau tidak sedap. Aku menahan napas.
Baunya seperti susu basi.
Tidak. Keadaannya terlalu gelap. Aku tidak mendengar suara apa pun
dari atas. Mereka tidak mengikutiku.
Sebenarnya aku ingin berhenti saja. Aku enggan turun lebih jauh lagi.
Tapi aku tidak punya pilihan. Aku tahu orang-orang di atas pasti
sedang mencari-cari.
Jangan pedulikan bau itu! kataku dalam hati. Pikirkan hal lain.
Pikirkan bunga segar. Pikirkan parfum yang harum.
Tapi ketika disiram air dan digosok-gosok dengan tongkat pel, balon
itu mendadak mengerang keras-keras.
Serta-merta aku sadar bahwa yang kulihat itu bukan balon. Aku
sedang melihat makhluk. Dan makhluk itu hidup. Aku sedang
menatap monster.
Keong!
Keong-keong muncul dari kulit King Jellyjam. Aku ingin muntah lagi
sewaktu menyadari bahwa keringat makhluk itu berupa keong!
Terhuyung-huyung aku mundur ke terowongan sambil menempelkan
tangan ke mulut.
Aku tidak habis pikir bagaimana anak-anak itu bisa tahan menghadapi
bau memuakkan yang menyelubungi mereka.
Alicia!
Aku membuka mulut untuk memanggil Alicia dan Jeff. Tapi suaraku
seolah-olah tersangkut di tenggorokan.
Dierdre!
"Tapi—kenapa?" tanyaku.
Sejenak aku berdiri seperti patung. Aku sampai tidak bisa bergerak
saking ngerinya.
Bau memuakkan dari ruang bawah tanah itu terus mengikutiku ketika
aku menaiki tangga batu yang berputar-putar. Aku takut bau itu akan
terus melekat pada diriku. Jangan-jangan aku takkan pernah bisa
bernapas bebas lagi.
Perutku terasa mual ketika aku sampai di puncak tangga. Tapi aku
tahu aku tidak punya waktu untuk memikirkan diriku. Anak-anak
yang dipaksa menjadi budak monster itu harus kuselamatkan. Begitu
juga anak-anak lain di camp—sebelum mereka pun ikut jadi korban.
Apa yang harus kulakukan sekarang? aku bertanya dalam hati. Aku
tidak mungkin bermalam di dalam lemari ini. Aku harus menghirup
udara segar. Aku harus mencari tempat di mana aku bisa berpikir
dengan tenang.
Aku menarik napas panjang. Satu kali. Dua kali. Udaranya begitu
segar.
Elliot!
Aku telah sampai di lintasan yang berlapis aspal. Dadaku serasa mau
pecah. Setiap tarikan napas membuatku seperti ditusuk-tusuk.
Napasku tersengal-sengal.
Di tengah jalan kami sudah disambut bau yang membuat perut serasa
diaduk-aduk. Elliot berseru tertahan dan langsung menutup mulut dan
hidungnya. "Huh, baunya minta ampun!" Seruan itu teredam di balik
kedua tangannya.
"Jangan mandikan dia lagi!" aku berseru. "Letakkan selang dan sikat
kalian! Berhenti bekerja! Dan cepat tiarap!"
Rencanaku berhasil. Sejak awal aku sudah yakin ini akan berhasil.
Aku terus dipeluk ketika kami keluar dari ruang pertemuan dan
memasuki hutan. Tak sedikit anak yang menitikkan air mata.
"Kita berhasil lolos!" aku berseru kepada Elliot. Tapi mendadak kami
berhenti ketika melihat para pembina di tepi hutan.
Buddy melangkah maju ketika aku menatap mereka satu per satu. Ia
memberi isyarat kepada rekan-rekannya. "Jangan biarkan mereka
lolos!" serunya.
PARA pembina maju serempak. Tampang mereka tetap keras dan
menakutkan. Lengan mereka tidak berayun mengiringi langkah
mereka.
"Tadinya kami tidak tahu bahwa ada masalah di camp ini," ujar
seorang petugas. "Kami akan segera menghubungi orangtua kalian."
Elliot dan aku berjalan menuruni bukit. Kami sudah tak sabar ingin
ketemu Mom dan Dad!
"Mom dan Dad kuatir sekali," ujar Mom sambil menggigit bibir.
"Ketika kami menemukan karavan dalam keadaan kosong, kami tidak
tahu harus bagaimana."
"Hmm, yang penting Elliot dan aku sudah selamat sampai di rumah,"
sahutku sambil nyengir.
Dua minggu setelah itu kami mendapat kunjungan tamu tak terduga.
Aku tahu apa yang dipikirkan adikku. Ini adalah King Coin-nya yang
keenam.
Haruskah ia menerimanya?
"Kau yakin tidak terjadi apa-apa karena kau menerima keping ini?"
tanyaku kepada Elliot.
Lalu aku mendengar Mom ketawa di belakang kami. Elliot dan aku
berbalik dan melihat Mom berdiri di ambang pintu dapur. "Ada apa?"
tanyanya. "Mom cuma sedang memasak brussels sprouts1!" END
1
Sebangsa kubis yang menimbulkan bau khas