Anda di halaman 1dari 142

PENUH semangat Mom menunjuk melalui jendela mobil. "Lihat itu!

Ada sapi!"

Adikku, Elliot, dan aku sama-sama mengerang. Sudah empat jam


kami melintasi daerah pertanian, dan Mom menunjuk setiap sapi dan
kuda yang kami lewati.

"Coba lihat ke sebelah sana, Wendy!" Mom berseru dari kursi depan.
"Ada domba!"

Aku menoleh dan melihat sekitar selusin domba kelabu—semuanya


gemuk dan berbulu tebal—yang sedang merumput di bukit yang hijau.
"Dombanya bagus, Mom," ujarku sambil memutar-mutar bola mata.

"Hei, ada sapi lagi!" seru Elliot.

Sekarang dia juga ikut-ikutan!

Langsung saja kusodok rusuknya keras-keras. "Mom, biasa tidak


orang meledak karena bosan?" aku berkeluh kesah.

"DOOOR!" seru Elliot. Konyol sekali, ya?

"Apa kubilang," Dad bergumam pada Mom.

"Anak umur dua belas sudah terlalu besar untuk diajak bepergian naik
mobil."
"Anak umur sebelas juga!" Elliot memprotes. Aku dua belas. Elliot
sebelas.

"Bagaimana mungkin kalian bosan?" tanya Mom. "Lihat—ada kuda!"

Dad menambah kecepatan untuk menyusul truk besar berwarna


kuning. Jalanan yang kami lewati berkelok-kelok di antara bukit-bukit
yang tinggi. Di kejauhan aku melihat gunung-gunung terselubung
kabut tebal.

"Begitu banyak pemandangan indah yang bisa kita kagumi," komentar


Mom takjub.

"Tapi lama-lama semuanya jadi mirip sekumpulan foto di kalender,"


aku menggerutu.

Elliot menunjuk ke luar jendela. "Lihat, tuh. Tidak ada kuda!"

Ia ketawa sampai terbungkuk-bungkuk, seakan-akan itu lelucon paling


lucu yang pernah dilontarkan orang.

Mom menoleh ke belakang, menatap adikku sambil memicingkan


mata. "Kau mengolok-olok Mom, ya?"

"Ya!" sahut Elliot.

"Tentu saja tidak," aku menimpali. "Mana ada yang berani mengolok-
olok Mom?"

"Kenapa sih kalian tidak bisa serius sedikit?" kata Mom jengkel.
"Kita sudah hampir meninggalkan Idaho," Dad mengumumkan. "Di
depan sana sudah Wyoming. Sebentar lagi kita sampai di gunung-
gunung itu."

"Siapa tahu ada sapi gunung di situ," seruku. Elliot ketawa.

Mom menghela napas. "Silakan. Silakan rusak liburan keluarga kita.


Liburan pertama dalam tiga tahun."

Mobil kami terguncang karena melewati lubang di jalan. Karavan di


belakang terdengar melonjak-lonjak. Karavan tua model kuno itu
sudah kami tarik melintasi seluruh daerah Barat.

Sebenarnya sih, karavan itu cukup asyik. Di dalamnya ada tempat


tidur tingkat yang terpasang berhadapan di dua dinding. Selain itu
juga ada meja untuk makan atau bermain kartu. Malahan ada dapur
kecil segala.

Setiap malam kami mampir di tempat pemberhentian karavan. Dad


lalu menyambungkan karavan kami ke saluran air dan listrik, dan
kami bermalam di dalamnya, di dalam rumah kecil yang bisa dibawa
ke mana-mana.

Kami kembali terguncang. Karavan di belakang juga melonjak-lonjak


lagi. Jalanan mulai menanjak ketika kami memasuki daerah
pegunungan.

"Mom, bagaimana aku bisa tahu apakah aku mabuk darat atau tidak?"
tanya Elliot.
Mom membalik dan menatapnya sambil mengerutkan kening. "Elliot,
kau tidak pernah mabuk darat," katanya. pelan-pelan. "Kau lupa, ya?"

"Oh, benar juga," sahut Elliot. "Habis, aku pikir lumayan untuk isi
waktu."

"Elliot!" Mom menghardiknya. "Kalau kau memang begitu bosan,


kenapa tidak tidur saja?"

"Huh, bosan," adikku menggerutu.

Wajah Mom merah padam. Tampang Mom tidak seperti Dad, Elliot,
dan aku. Ia berambut pirang dan bermata biru, dan kulitnya yang putih
gampang sekali jadi merah. Ia juga agak gendut.

Dad, adikku, dan aku sama-sama kurus dan berkulit kecokelatan.


Kami bertiga berambut dan bermata cokelat.

"Kalian tidak sadar betapa beruntungnya kalian," Dad berkata pada


Elliot dan aku. "Kalian bisa melihat pemandangan yang
menakjubkan."

"Bobby Harrison pergi ke camp baseball," Elliot mengomel. "Dan Jay


Thurman pergi ke camp sleep-away selama delapan minggu!"

"Padahal aku juga mau ke sana!" aku memprotes.

"Musim panas nanti kau bisa ke sana," balas Mom ketus.


"Kesempatan seperti ini hanya ada satu kali seumur hidup!"

"Tapi aku bosan!" keluh Elliot.


"Wendy, ajak adikmu bermain," Dad menyuruhku.

"Hah?" seruku. "Main apa?"

"Main Geografi Mobil, misalnya," Mom mengusulkan.

"Aduh, kok itu lagi?" Elliot menggerung.

"Ayo, Mom yang mulai," ujar Mom. "Atlanta."

Huruf terakhir Atlanta adalah A. Jadi aku harus mencari nama kota
yang dimulai dengan A. "Albany," kataku. "Giliran kau, Elliot."

"Hmm, kota yang dimulai dengan Y..." Adikku berpikir sejenak. Lalu
ia mengerutkan kening. "Ah, aku tidak mau ikut main!"

Adikku memang payah. Setiap permainan dianggapnya serius, dan ia


benar-benar kesal kalau sampai kalah. Kadang-kadang ia begitu
ngotot kalau main bola atau softball, hingga aku cemas melihatnya .

Kadang-kadang kalau merasa tidak bisa menang, ia langsung berhenti.


Seperti sekarang.

"Bagaimana dengan Youngstown?" tanya Mom.

"Ada apa dengan Youngstown?" Elliot menggerutu.

"Aku punya ide!" seruku. "Bagaimana kalau Elliot dan aku pindah ke
karavan?"

"Yeah! Itu Baru asyik!" Elliot menimpali.


"Lebih baik jangan," ujar Mom. Ia berpaling pada Dad. "Menumpang
karavan yang sedang ditarik melanggar hukum, bukan?"

"Entahlah," kata Dad sambil mengurangi kecepatan. Kami sedang


melewati hutan cemara yang lebat. Udara terasa begitu segar dan
harum.

"Boleh, dong!" Elliot merengek. "Boleh, dong!"

"Kurasa tak ada salahnya kalau kita biarkan mereka di sana sebentar,"
Dad berkata pada Mom. "Asal mereka hati-hati."

"Kami akan berhati-hati sekali!" Elliot cepat-cepat berjanji.

"Kau yakin tidak apa-apa?" tanya Mom.

Dad mengangguk. "Apa yang perlu dikuatirkan?"

Dad menepikan mobil. Elliot dan aku buru-buru turun. Kami berlari
ke karavan, membuka pintu, dan berebut masuk.

Beberapa detik kemudian kami berangkat lagi. Aku dan adikku


terguncang-guncang di dalam karavan yang besar.

"Wah, ini baru asyik!" seru Elliot, berjalan menuju ke jendela


belakang.

"Ide siapa dulu, dong!" tanyaku sambil mengikutinya. Ia langsung


mengajakku ber-high five.

Kami memandang ke luar jendela belakang. Jalanan seakan-akan


menukik ke bawah ketika kami menanjak ke pegunungan.
Karavannya terguncang-guncang dan terayun-ayun.

Jalanan semakin menanjak. Semakin terjal. Dan itulah awal dari


kesulitan kami.
"AKU menang!" teriak Elliot. Ia langsung berdiri dan mengacungkan
kedua kepalan tinjunya.

"Tiga dari lima!" aku menuntut sambil mengurutu-urut pergelangan.


"Ayo—tiga dari lima. Kecuali kalau kau tidak berani."

Aku tahu Elliot tak bakal bisa menolak kalau ditantang begitu. Ia
paling sebal dituduh takut. Langsung saja ia duduk lagi di kursinya.

Kami sama-sama mengambil posisi di meja dan saling mencengkeram


tangan. Sudah sekitar sepuluh menit kami adu panco. Asyik juga, lho,
sebab mejanya ikut terguncang setiap kali karavannya melewati
lubang di jalan.

Aku dan Elliot sama kuat. Tapi ia lebih ngotot. Jauh lebih ngotot.
Belum pernah aku melihat orang yang begitu ngotot kalau adu panco!

Bagiku, permainan ya cuma permainan. Tapi bagi Elliot setiap


permainan adalah urusan hidup atau mati.

Sudah sekitar lima kali ia memenangkan dua dari tiga pertandingan.


Pergelanganku pegal dan jemariku nyeri. Tapi aku benar-benar ingin
mengalahkannya dalam pertandingan yang terakhir ini.

Aku membungkuk sedikit dan meremas tangannya. Sambil


mengertakkan gigi, kutatap matanya yang cokelat tanpa berkedip.

"Ayo!" serunya.
Kami sama-sama mengerahkan segenap tenaga.

Aku mendorong keras-keras. Tangan Elliot mulai terdesak mundur.

Kudorong tangannya lebih keras lagi. Sedikit lagi aku akan menang.
Sedikit lagi.

Ia mengerang dan memejamkan mata. Wajahnya jadi merah padam.


Urat-urat di sisi lehernya menegang.

Adikku paling tidak tahan kalau kalah. GUBRAK!

Punggung tanganku menghantam permukaan meja.

Elliot menang lagi.

Sebenarnya sih, aku sengaja membiarkannya menang. Aku tidak mau


kepalanya sampai meledak cuma gara-gara adu panco ini.

Ia berdiri dan mengacung-acungkan tangan merayakan


kemenangannya.

"Hei—!" tiba-tiba Elliot berseru karena karavan berayun keras, lalu


tubuhnya terempas ke dinding samping.

Karavan berayun sekali lagi. Aku berpegangan pada tepi meja agar
tidak terlempar dari kursi. "Ada apa ini?"

"Kita berubah arah. Sekarang kita menuju ke bawah," jawab Elliot.


Dengan hati-hati ia kembali ke meja.

Tapi kami kembali terguncang keras, dan kali ini Elliot terempas ke
lantai. "Hei—kita mundur!"
"Pasti Mom yang nyetir," ujarku sambil berpegangan pada tepi meja
dengan kedua tangan.

Mom selalu menyetir seperti orang gila. Kalau kami memperingatkan


bahwa kecepatannya sudah delapan puluh, ia selalu bilang, "Masa,
sih? Rasanya seperti tiga lima!"

Karavan melonjak-lonjak dan terguncang-guncang menggelinding ke


bawah. Elliot dan aku ikut terguncang-guncang di dalam.

"Ada apa sih dengan Mom dan Dad?" Elliot berseru. Ia berpegangan
pada salah satu tempat tidur sambil berusaha menjaga keseimbangan.
"Mau ke mana kita? Kenapa kita mundur?"

Karavan itu meluncur ke bawah. Dengan susah payah aku berdiri dan
maju terhuyung-huyung untuk melihat mobil. Aku menyingkirkan
tirai merah bermotif kotak-kotak dan mengintip lewat jendela yang
kecil.

"Oh... Elliot..." aku berkata dengan suara parau. "Kita punya


masalah."

"Hah? Masalah? Masalah apa?" tanyanya, sementara karavan kami


melaju semakin kencang.

"Kita tidak lagi ditarik Mom dan Dad," aku memberitahunya. "Mobil
kita sudah tak ada."
ELLIOT langsung bengong. Sepertinya ia tidak me-ngerti apa yang
kukatakan. Atau mungkin juga tidak percaya!

"Karavannya lepas!" aku menjerit sambil memandang ke luar jendela.


"Kita menggelinding ke bawah!"

"A-a-a-aduh!" pekik Elliot. Ia bukannya tergagap-gagap. Ia


terguncang begitu keras sehingga nyaris tidak bisa bicara. Sepintas
lalu ia kelihatan seperti sedang menari.

"ADUH!" aku memekik ketika kepalaku membentur langit-langit.


Kami berdua terhuyung-huyung ke belakang. Sambil berpegangan
pada ambang jendela, aku memandang ke luar untuk melihat ke mana
kami meluncur.

Jalanan menurun curam, melewati hutan cemara yang lebat di kedua


sisi.

Kami meluncur semakin kencang.

Semakin kencang.

Semakin kencang.

Roda-roda bergemuruh. Karavan melonjak-lonjak dan meluncur


miring.
Aku kehilangan keseimbangan hingga tubuhku membentur lantai
dengan keras. Kuulurkan tangan untuk menarikku ke atas, tapi
karavannya terayun, dan aku malah jatuh telentang.

Setengah mati aku berusaha berlutut. Kumelihat Elliot menggelinding


ke sana kemari bagaikan bola sepak. Aku melompat ke jendela
belakang dan kembali memandang ke luar.

Karavan terguncang keras. Jalanan menikung tajam—tapi kami tidak


ikut membelok!

Kami tetap melaju lurus, keluar dari jalan. Meluncur ke arah


pepohonan.

"Elliot!" aku memekik. "Karavan kita bakal nabrak!"


KARAVAN kembali terguncang keras. Kudengar bunyi berderak.

Aduh, karavan ini bakal terbelah dua! pikirku.

Kutempelkan kedua tanganku ke dinding depan dan memandang ke


luar jendela. Pohon-pohon gelap seakan-akan melesat melewati kami.

Guncangan yang keras membuatku terempas ke lantai.

Kudengar Elliot memanggil-manggil namaku. "Wendy! Wendy!


Wendy!"

Kupejamkan mata dan kuregang setiap otot. Dan menunggu tabrakan


yang tak terelakkan. Menunggu...

Menunggu...

Hening.

Kubuka mataku. Baru beberapa detik kemudian aku sadar bahwa kami
tak lagi bergerak. Kutarik napas dalam-dalam. Lalu aku berdiri.

"Wendy?" kudengar Elliot memanggil lemah dari bagian belakang


karavan.

Kakiku gemetaran ketika berpaling. Seluruh badanku terasa aneh.


Seakan-akan masih terguncang-guncang. "Elliot—kau tidak apa-apa?"
Ia terlempar ke salah satu tempat tidur. "Kayaknya sih aku tidak apa-
apa," sahutnya. Ia menurunkan kakinya ke lantai dan menggeleng-
gelengkan kepala. "Tapi aku agak pusing."

"Aku juga," ujarku. "Wah, rasanya seperti naik roller coaster."

"Lebih seru dari Space Mountain!" seru Elliot. Ia berdiri. "Ayo, kita
keluar dari sini!"

Kami menuju pintu di depan. Tapi untuk mencapainya, kami terpaksa


mendaki. Karavannya miring ke belakang.

Aku yang lebih dulu sampai di pintu. Kuraih gagangnya.

Tahu-tahu pintunya diketok dari luar, dan aku langsung melompat


mundur. "Hei—!" seruku. Pintu diketuk tiga kali lagi.

"Itu Mom dan Dad!" seru Elliot. "Mereka sudah menemukan kita!
Cepat, buka pintunya!"

Ia tidak perlu menyuruhku untuk bergegas. Jantungku berdegup-


degup. Aku begitu lega bisa melihat mereka.

Aku menekan gagang pintu, mendorong pintu karavan sampai


membuka —

—dan memekik tertahan.

Ebukulawas.blogspot.com
Aku menatap wajah pria berambut pirang. Matanya yang biru
bersinar-sinar dalam cahaya matahari yang cerah.

Pakaiannya serba putih. Ia mengenakan t-shirt putih yang disetrika


rapi dan celana putih gombrong. Pada t-shirt-nya tersemat lencana
kecil bundar bertulisan HANYA YANG TERBAIK dengan huruf-
huruf besar berwarna hitam.

"Ehm...hai," aku akhimya berkata.

Ia menampilkan senyum berkilau. Sepertinya ia punya sekitar dua ribu


gigi. "Hei—kalian tidak apa-apa?" tanyanya. Matanya yang biru
semakin cerah.

"Yeah, kami baik-baik saja," sahutku. "Agak kaget, tapi—"

"Kau siapa?" seru Elliot sambil menyembulkan kepala dari pintu.

Senyum orang itu tidak memudar sedikit pun. "Namaku Buddy."

"Aku Wendy Ini Elliot. Kami pikir kau orangtua kami," aku
menjelaskan, lalu melompat turun dari karavan.

Elliot menyusul. "Mana Mom dan Dad?" ia bertanya sambil


mengerutkan kening.
"Sejak tadi aku tidak melihat siapa-siapa," jawab Buddy. Ia
mengamati karavan kami. "Apa yang terjadi? Karavan kalian
terlepas?"

Aku mengangguk sambil menepis rambutku yang gelap dari wajahku.

"Sungguh berbahaya," Buddy bergumam. "Kalian pasti ketakutan


sekali tadi."

"Aku tidak!" ujar Elliot.

Huh, dasar. Tadi ia gemetar ketakutan dan memanggil-manggil


namaku. Sekarang mendadak ia jadi Mister Macho.

"Seumur hidup aku belum pernah setakut tadi," kataku terus terang.

Aku berjalan beberapa langkah dari karavan, mengamati hutan di


sekitar kami. Pohon-pohon berayun pelan karena tiupan angin yang
lembut. Matahari bersinar cerah. Aku memandang berkeliling sambil
melindungi mata dengan sebelah tangan.

Mom dan Dad tidak kelihatan. Jalan raya pun tidak tampak karena
tertutup pepohonan yang lebat.

Aku cuma melihat jejak ban yang ditinggalkan karavan kami di tanah.
Entah bagaimana caranya, tapi rupanya karavan kami melewati jalur
terbuka di antara pohon-pohon, lalu berhenti di kaki bukit yang terjal.

"Wow. Kami beruntung," aku bergumam.

"Kalian beruntung sekali," Buddy menegaskan dengan riang. Ia


menghampiriku, meletakkan kedua tangannya pada pundakku, lalu
membalikkan tubuhku. "Coba lihat itu. Lihat, di mana kalian
sekarang!"

Aku memandang ke puncak bukit dan melihat lapangan terbuka di


antara pohon-pohon. Dan kemudian kulihat spanduk besar berwarna
merah-putih, terentang di antara dua tiang. Aku harus memicingkan
mata agar bisa membaca kata-kata yang tertulis pada spanduk itu.

Elliot membaca keras-keras: "Camp olahraga King Jellyjam."

"Lokasinya di balik bukit ini," Buddy memberitahu kami sambil


tersenyum ramah. "Ayo, ikut aku!"

"Tapi—tapi—" adikku tergagap-gagap. "Kami harus mencari orangtua


kami!"

"Hei—tenang saja. Kalian bisa menunggu mereka di camp," Buddy


mencoba meyakinkan dia.

"Tapi, bagaimana mereka tahu kami ada di sana?" protesku. "Mungkin


ada baiknya kami tinggalkan pesan untuk mereka."

Buddy kembali tersenyum. "Tidak perlu. Biar aku yang urus,"


katanya. "Pokoknya, jangan kuatir, deh."

Ia melewati karavan dan mulai menaiki bukit. T-shirt dan celananya


yang putih tampak menyilaukan dalam cahaya matahari. Kulihat kaus
kaki dan sepatu ketsnya juga berwarna sama.

Itu seragamnya. Dia pasti bekerja di camp itu, ujarku dalam hati.
Buddy menoleh. "Kalian jadi ikut, tidak?" tanyanya sambil
melambaikan tangan. "Ayo, kalian pasti suka."

Elliot dan aku bergegas mengikutinya. Kakiku gemetaran. Rasanya


seperti masih berada di dalam karavan yang terguncang-guncang.

Semakin tinggi kami menaiki bukit berumput itu, spanduk berwarna


merah-putih tadi pun semakin jelas terlihat di hadapan kami. "Camp
Olah-raga King Jellyjam," aku membacanya sekali lagi.

Di samping kata-kata tersebut terdapat gambar tokoh kartun yang lucu


berwarna ungu. Dia mirip gumpalan permen karet rasa anggur.
Wajahnya dihiasi senyum lebar, dan kepalanya bermahkota emas.

"Siapa itu?" aku bertanya pada Buddy

Buddy melirik ke spanduk. "Itu King Jellyjam," sahutnya. "Maskot


kami."

"Rasanya kurang cocok untuk maskot camp olah-raga," komentarku


sambil mengamati raja bertubuh bulat ungu itu.

Buddy diam saja.

"Kau bekerja di camp?" tanya Elliot.

Buddy mengangguk. "Aku senang sekali bekerja di situ. Aku pembina


kepala. Jadi—selamat datang!"

"Tapi kami tidak bisa ikut," protesku. "Elliot dan aku harus mencari
orangtua kami. Kami harus..."
Buddy menaruh tangan di bahuku dan bahu Elliot. Ia menggiring kami
ke atas bukit. "Kalian hampir saja celaka. Jadi tak ada salahnya kalian
mampir sebentar dan bersenang-senang. Nikmatilah suasana di camp.
Sampai aku bisa menghubungi orangtua kalian."

Kami sudah hampir tiba di puncak bukit ketika aku mendengar suara-
suara. Suara anak-anak. Mereka sedang bersorak-sorai dan tertawa-
tawa.

"Camp olahraga apa ini?" Elliot bertanya pada Buddy.

"Segala macam olahraga ada di sini," sahut Buddy. "Dari pingpong


sampai football. Dari croquet sampai sepak bola. Ada renang, tenis,
panahan. Malah ada turnamen gundu!"

"Kedengarannya asyik juga!" komentar adikku. Ia menatapku sambil


nyengir.

"Hanya yang terbaik!" Buddy berseru sambil menepuk pundak Elliot.

Aku yang pertama tiba di puncak. Begitu sampai di atas, aku langsung
memandang ke arah camp yang tampak di balik pohon-pohon.
Sepertinya camp itu membentang sampai bermil-mil!

Aku melihat gedung putih bertingkat dua yang memanjang di kedua


sisi. Di antara kedua gedung itu ada beberapa lapangan bermain,
lapangan baseball, sederetan lapangan tenis, dan dua kolam renang
yang besar sekali.

"Gedung-gedung putih yang panjang itu gedung asrama," Buddy


menjelaskan sambil menunjuk. "Itu asrama anak perempuan, dan itu
asrama anak laki-laki. Kalian bisa tidur di situ selama kalian tinggal di
sini."

"Wow, keren!" Elliot berseru penuh semangat. "Dua kolam renang."

"Ukuran olimpiade," Buddy memberitahunya. "Kami juga punya


kompetisi loncat indah. Kalian suka loncat indah?"

"Hanya di tempat tidur," aku berkelakar.

"Wendy suka berenang," Elliot berkata kepada Buddy.

"Kalau tidak salah, nanti sore ada pertandingan renang empat lap,"
Buddy memberitahuku. "Nanti akan kulihat jadwalnya."

Matahari bersinar cerah ketika kami menuruni jalan setapak di lereng


bukit. Tengkukku mulai gatal-gatal. Rasanya asyik juga kalau aku bisa
terjun ke kolam renang itu.

"Apakah aku bisa mendaftar untuk ikut baseball?" Elliot bertanya


kepada Buddy. "Atau aku harus ikut tim dulu?"

"Kau bebas memilih olahraga yang kau suka," jawab Buddy. "Satu-
satunya peraturan di camp ini adalah berusaha dengan sekuat tenaga."
Buddy menunjuk lencana di t-shirt-nya. "Hanya yang terbaik,"
katanya.

Embusan angin meniupkan rambut ke wajahku. Huh, seharusnya


kupotong dulu sebelum kami berangkat berlibur. Aku memutuskan
mencari sesuatu untuk mengikatnya begitu aku sampai di asrama.
Di lapangan yang terdekat sedang berlangsung pertandingan sepak
bola. Bunyi peluit terdengar nyaring. Para pemain bersorak-sorak. Di
ujung lapangan bola ada deretan sasaran untuk panahan.

Buddy mulai berlari kecil menuju ke lapangan. Elliot menghampiriku.


"Hei—kita memang ingin berlibur di camp seperti ini, kan?" ujarnya
sambil nyengir lebar. "Nah, ternyata berhasil juga."

Sebelum aku sempat menyahut, dia sudah menyusul Buddy.

Kusibakkan rambutku sekali lagi, lalu mengikuti mereka. Tapi


kemudian aku berhenti karena melihat gadis cilik menyembulkan
kepala dari balik batang pohon besar.

Umurnya sekitar enam atau tujuh tahun. Rambutnya merah, dan


wajahnya penuh bintik-bintik. Dia memakai t-shirt biru pucat dan
celana ketat hitam.

"Hei—" panggilnya setengah berbisik. "Hei—!" Aku segera menoleh.

"Jangan ke sini!" serunya dengan suara tertahan. "Cepat lari! Jangan


ke sini!"
BUDDY langsung menoleh ke belakang. "Ada apa, Wendy?" serunya
padaku.

Ketika aku memandang kembali ke pohon, gadis cilik berambut merah


itu sudah lenyap. Aku mengedip-ngedipkan mata. Tapi ia menghilang
tanpa jejak.

Kenapa anak itu ada di sini? tanyaku dalam hati. Apakah ia sengaja
bersembunyi di balik pohon untuk menakut-nakuti orang yang lewat?

"Ehm... tidak ada apa-apa," seruku kepada Buddy. Kuikuti dia dan
Elliot ke camp.

Aku sudah melupakan gadis cilik tadi ketika kami berjalan mengitari
lapangan bola lalu melewati deretan lapangan tenis yang dibatasi
pagar kawat. Bunyi bola tenis dipukul terus mengikuti ketika kami
membelok ke jalan setapak utama yang membelah camp itu.

Begitu banyak olahraga! Begitu banyak kegiatan!

Kami berpapasan dengan anak-anak dari segala umur yang bergegas


ke kolam renang, ke lapangan baseball, atau ke lintasan boling!

"Keren!" Elliot terus mengulangi. "Benar-benar keren!"

Kali ini ia benar.


Kami bertemu beberapa pembina lain. Semuanya, pria atau wanita
muda, berpakaian serba putih. Tampang mereka ramah dan selalu
tersenyum cerah.

Kami juga melewati lusinan tanda berbentuk segitiga yang


menampilkan wajah King Jellyjam yang bulat berwarna ungu. Ia pun
tersenyum di bawah mahkota emasnya yang berkilauan. Dan di bawah
setiap wajah tertulis slogan camp: Hanya Yang Terbaik.

Sebenarnya ia lucu juga, kataku dalam hati. Aku sadar aku mulai
menyukai segala sesuatu di camp yang luar biasa ini.

Dan terus terang, dalam hati aku berharap Mom dan Dad
membutuhkan waktu paling tidak satu atau dua hari untuk
menemukan Elliot dan aku.

Keterlaluan, ya?

Aku benar-benar merasa bersalah. Tapi bagaimana lagi? Suasana di


sini begitu meriah, begitu semarak. Terutama bagi seseorang yang
sudah berhari-hari duduk di bangku jok mobil sambil memandang
sapi-sapi!

Pertama-tama Elliot kami antar ke asrama cowok. Pembina lain, anak


muda yang jangkung dan berambut gelap bernama Scooter,
menyambut adikku dan segera mengajaknya mencari kamar di
asrama.
Kemudian giliranku diantar Buddy ke asrama cewek di seberang
camp. Kami melewati pertandingan senam yang diadakan di arena
terbuka.

Di balik arena itu, salah satu kolam renang dipenuhi anak-anak yang
menonton pertandingan loncat indah.

Buddy dan aku mengobrol sambil berjalan. Aku bercerita tentang


sekolahku dan bahwa olahraga kegemaranku adalah berenang dan
bersepeda.

Kami berhenti di depan pintu asrama yang dicat putih. "Kau berasal
dari mana?" tanyaku pada Buddy.

Ia membalas tatapanku. Wajahnya kelihatan bingung sekali. Sekilas


aku menyangka ia tidak mengerti pertanyaanku.

"Kau dari sekitar sini?" tanyaku sekali lagi.

Ia menelan ludah dan memicingkan matanya yang biru. "Aneh...,"


akhirnya ia bergumam.

"Apanya yang aneh?" tanyaku.

"Aku... aku tidak ingat," ia tergagap-gagap. "Aku tidak ingat dari


mana aku berasal. Aneh, bukan?" Ia menempelkan tangan ke mulut
dan menggigit-gigit kuku telunjuknya.

"Hei, aku juga sering lupa," ujarku, karena melihat betapa gelisahnya
ia.
Aku tidak sempat berkata apa-apa lagi. Pembina cewek berambut
lurus, hitam, dan sangat pendek, dengan lipstik ungu di bibir
menghampiri kami. "Halo, aku Holly. Sudah siap berolahraga?"

"Ehm, ya," jawabku ragu-ragu.

"Ini Wendy," Buddy memperkenalkanku. Roman mukanya masih


berkerut-kerut. "Dia perlu kamar."

"Itu sih gampang!" balas Holly dengan ceria. "Hanya Yang Terbaik!"

"Hanya Yang Terbaik," Buddy menyahut pelan-pelan. Senyumnya


mengembang. Tapi aku tahu ia masih berusaha mengingat-ingat di
mana rumahnya. Aneh, ya?

Holly mengajakku memasuki asrama. Aku mengikutinya dan kami


melewati koridor panjang berubin putih. Beberapa cewek berpapasan
dengan kami. Mereka akan mengikuti olahraga yang berbeda-beda.
Semua gembira dan tertawa riang.

Aku mengintip ke beberapa kamar yang kami lewati. Wow! pikirku.


Tempat ini begitu modern dan mewah! Ini bukan seperti camp yang
pernah kulihat.

"Di sini kita jarang mendekam di dalam kamar," kata Holly. "Semua
orang selalu berada di luar, saling bersaing."

Ia membuka sebuah pintu putih dan mengajakku masuk. Sinar


matahari menerangi ruangan itu dari jendela lebar di seberang pintu.
Aku melihat dua tempat tidur tingkat berwarna biru cerah di kiri-
kanan. Di antara keduanya ada meja rias berwarna putih. Selain itu
masih ada dua kursi kulit berlengan.

Semua dinding dicat putih. Tak ada hiasan apa pun selain gambar
King Jellyjam di atas meja rias.

"Kamarnya bagus sekali!" seruku sambil memicingkan mata agar


tidak silau.

Holly tersenyum. Bibirnya yang ungu menarik segenap perhatianku,


sehingga bagian-bagian wajahnya yang lain seakan-akan tidak ada.
"Syukurlah kalau kau suka, Wendy. Kau bisa menempati tempat tidur
sebelah bawah di sana," tunjuknya. Ternyata cat kukunya sewarna
dengan lipstiknya.

"Apa ada orang lain yang tidur di sini selain aku?" tanyaku.

Holly mengangguk. "Sebentar lagi kau akan ketemu mereka. Mereka


yang akan mengajakmu melakukan berbagai kegiatan. Sekarang
mereka mungkin sedang bermain sepak bola di lapangan bawah. Aku
tak tahu pasti."

Ia sudah hendak meninggalkan ruangan, tapi berbalik ketika sampai di


ambang pintu. "Kau pasti suka Dierdre. Kalau tidak salah, kalian
berdua sebaya.

"Thanks," ujarku sambil memandang berkeliling.

"Sampai nanti," sahut Holly. Ia keluar ke koridor.


Aku berdiri di tengah-tengah kamar yang terang benderang sambil
memeras otak. Dari mana aku dapat baju? tanyaku dalam hati.
Bagaimana dengan baju renang? Dan baju olahraga?

Pakaianku hanya celana pendek jeans dan t-shirt bergaris-garis pink


dan biru yang sedang kukenakan.

Dan kenapa Holly tidak bilang apa yang harus kulakukan setelah ini?
aku bertanya-tanya. Kenapa dia meninggalkanku begitu saja di kamar
kosong ini?

Aku tidak sempat bingung lama-lama.

Aku hendak menghampiri ke jendela ketika aku mendengar sesuatu.


Suara-suara yang berbisik-bisik di koridor.

Aku berpaling ke pintu. Barangkali itu teman-teman sekamarku yang


baru kembali.

Aku mendengarkan mereka berbisik-bisik.

Kemudian ada satu anak yang memberi perintah kepada yang lainnya.
"Ayo. Dia terperangkap di sini. Kita serang dia!"
AKU menahan napas. Kalang-kabut aku mencari tempat bersembunyi.

Tak ada waktu.

Tiga cewek menyerbu masuk. Ketiga-tiganya menyeringai sambil


memicingkan mata. Mereka membentuk barisan dan langsung
menghampiriku.

"Hei! Tunggu dulu!" seruku. Kuangkat kedua tanganku seakan hendak


melindungi diri dari serangan mereka.

Gadis jangkung berambut pirang yang pertama ketawa. Lalu disusul


kedua temannya.

"Kena kau!" cewek pirang itu berseru sambil menyibakkan rambutnya


yang panjang.

Aku menatapnya sambil melongo.

"Kaupikir kami benar-benar mau menyerangmu?" tanya salah satu


temannya. Ia kurus. Rambutnya yang hitam dipotong sangat pendek.
Ia memakai celana training abu-abu dan t-shirt berwarna sama.

"Ehm...," aku bergumam. Wajahku mendadak terasa panas. Aku


benar-benar tertipu oleh lelucon mereka. Aku malu sekali.

"Bukan aku, kok," gadis yang satu lagi berkata sambil menggelengkan
kepala. Rambutnya yang pirang menyembul dari balik topi Chicago
Cubs yang berwarna merah-biru. "Ini ide Dierdre." Ia menunjuk
temannya yang berambut panjang.

"Kau tak perlu malu," ujar Dierdre sambil nyengir lebar. "Kau korban
ketiga minggu ini."

Kedua temannya cekikikan.

"Dan yang lain juga menyangka mau diserang?" tanyaku.

Dierdre mengangguk. Ia tampak puas sekali. "Memang agak jahat,


tapi lucu.".

Kali ini aku ikut ketawa.

"Aku punya adik laki-laki. Jadi ku sudah biasa dengan lelucon-lelucon


konyol," kataku pada Dierdre.

Ia kembali menyibakkan rambut. Lalu membongkar laci paling atas


dan mengambil karet untuk mengikat rambutnya. "Ini Jan, dan ini
Ivy," ia memperkenalkan kedua temannya.

Jan yang berambut hitam pendek. Ia menjatuhkan diri ke tempat tidur.


"Huh, aku capek sekali," keluhnya. "Latihan tadi benar-benar berat.
Lihat, nih. Sampai sekarang aku masih keringatan."

"Ya, dan baunya ke mana-mana," Ivy menimpali sambil ketawa.

Jan langsung menjulurkan lidah.

"Kalian ganti baju dulu," Dierdre menyuruh mereka. "Waktu kita


cuma sepuluh menit."
"Memangnya ada apa, sih?" tanya Jan. Ia membungkuk, mengurut-
urut betisnya.

"Kau lupa, ya?" sahut Dierdre. "Kan ada pertandingan renang empat
lap."

"Oh, ya ampun!" Jan berseru sambil berdiri. "Aku benar-benar lupa."


Ia bergegas ke lemari pakaian. "Mana baju renangku?"

Ivy mengikutinya. Kedua-duanya sibuk menggeledah laci.

Dierdre berpaling padaku. "Kau mau ikut bertanding?" tanyanya.

"A-Aku tidak bawa baju renang," ujarku.

Ia angkat bahu. "Itu sih gampang. Aku punya sekitar selusin." Ia


mengamatiku. "Ukuran baju kita kira-kira sama. Cuma aku sedikit
lebih tinggi."

"Ehm, kebetulan aku memang lagi kepingin berenang," kataku.


"Barangkali aku ikut ke kolam renang dan main-main sebentar."

"Hah? Kau tidak ikut bertanding?" tanya Dierdre heran.

Ketiga teman baruku itu berpaling ke arahku, dan ketiga-tiganya


tampak heran.

"Kapan-kapan saja," jawabku. "Sekarang ini aku cuma mau nyebur


dan berenang sebentar. Supaya segar."

"Tapi—tidak bisa, dong!" seru Jan. Ia menatapku seakan-akan


kepalaku mendadak ada dua.
"Kau harus ikut bertanding," Dierdre menambahkan. "Kau tidak boleh
bersantai."

"Hanya Yang Terbaik," Ivy berkomentar,

"Yeah. Hanya Yang Terbaik," Jan menimpali.

Sekarang giliran aku yang kebingungan. "Apa sih maksud kalian?"


tanyaku. "Kenapa kalian terus bilang begitu."

Dierdre menyerahkan baju renang berwarna biru. "Nih, kau pakai


yang ini saja. Cepat, nanti kita terlambat."

"Tapi... tapi..." aku tergagap-gagap.

Mereka cepat-cepat memakai baju renang.

Kelihatannya aku tidak punya pilihan. Aku masuk ke kamar mandi


dan berganti baju.

Tapi pertanyaan-pertanyaan tadi masih saja berkecamuk dalam


benakku. Dan aku ingin memperoleh jawaban.

Kenapa aku harus ikut bertanding? Kenapa aku tidak boleh berenang
santai saja?

Dan kenapa semua orang terus bilang "Hanya Yang Terbaik?"

Apa maksud mereka?


KOLAM renang yang besar itu tampak berkilauan. Matahari bersinar
cerah. Lantai semen di sekeliling kolam seakan membakar telapak
kakiku. Aku benar-benar sudah tak sabar ingin menyebur.

Sambil melindungi mata dengan sebelah tangan, aku memandang


berkeliling untuk mencari Elliot. Tapi aku tidak berhasil
menemukannya di tengah kerumunan anak-anak yang sudah
menunggu untuk menonton pertandingan.

Elliot pasti sudah ikut tiga macam olahraga, kataku dalam hati. Camp
ini memang cocok sekali untuknya!

Diam-diam aku mengamati para peserta yang telah berbaris. Kami


semua berdiri di tepi kolam renang, menunggu pertandingan dimulai.

Aku berhitung dalam hati. Paling tidak ada dua lusin peserta. Dan
kolamnya cukup lebar, sehingga semua memperoleh lintasan sendiri.

"Hei, kau pantas sekali memakai baju renangku," ujar Dierdre. Ia


menatapku dengan matanya yang hijau. "Mestinya rambutmu diikat
saja, Wendy. Kau bisa berenang lebih cepat kalau rambutmu diikat."

Wow, pikirku. Dierdre tidak main-main soal pertandingan ini.

"Kau jago renang, ya?" tanyaku padanya.

Ia menepuk lalat yang hinggap di betisnya. "Aku yang terbaik,"


jawabnya sambil nyengir. "Kau bagaimana?"
"Aku belum pernah ikut pertandingan."

Para pembina yang bertugas di kolam renang semuanya wanita muda.


Dan semuanya mengenakan baju renang berwarna putih. Di seberang
kolam, aku melihat Holly duduk di pinggir papan loncat indah. Ia
sedang bicara dengan pembina lain.

Seorang pembina jangkung berambut merah menghampiri tepi kolam


dan meniup peluit. "Semuanya siap?" ia berseru.

Kami semua menyahut "Ya!" secara serempak. Kemudian suasana


jadi hening. Kami berpaling ke kolam renang, membungkuk, dan
bersiap-siap melakukan start.

Permukaan air tampak berkilauan. Matahari membakar punggung dan


pundakku. Rasanya aku sudah mau meleleh. Aku sudah tak sabar
ingin terjun.

Peluit kembali berbunyi. Aku melompat ke depan lalu nyebur ke air.

Air yang dingin sempat membuatku terkejut ketika mengenai kulitku


yang panas. Lenganku berayun kencang ketika aku mulai melesat
maju.

Suara tangan dan kaki yang membelah air menyerupai gemuruh air
terjun. Kubenamkan wajah dalam air, merasakan dinginnya air yang
menyegarkan.

Ketika menoleh, kulihat Dierdre beberapa meter di belakangku. Ia


berenang dengan irama yang mantap. Tangan dan kakinya bergerak
anggun.
Aku paling depan, aku menyadari sambil melirik para peserta lain.
Aku bakal menang!

Dengan satu tendangan kuat aku sampai di ujung kolam. Cepat-cepat


aku berbalik dan kembali mengayunkan tangan. Para peserta lain
belum sampai di ujung, dan aku berpapasan dengan mereka.

Kepalaku mulai berdenyut-denyut.

Aku yakin lap pertama bakal kumenangkan dengan mudah. Tapi


setelah itu masih ada tiga lap lagi.

Tiga lap...

Tiba-tiba aku sadar betapa bodohnya aku. Para peserta yang lain
sengaja berenang agak pelan. Mereka sengaja menyimpan tenaga
karena tahu pertandingan ini menempuh jarak empat lap.

Kalau aku terus berenang sekencang ini, dua lap pun aku takkan
sanggup!

Kutarik napas dalam-dalam, lalu kuembuskan pelan-pelan.

Pelan-pelan... pelan-pelan...

Itu kata kuncinya.

Kuperlambat tendangan kakiku. Kuperlambat ayunan tanganku. Dan


aku menarik napas dalam-dalam. Dalam-dalam dan pelan-pelan.
Ketika aku membalik dan mulai menempuh lap kedua, beberapa
perenang lain sudah berada di sampingku. Aku sempat bertatapan
dengan Dierdre ketika ia berenang melewatiku.

Ia terus mengayunkan tangan dan kaki dengan irama yang mantap.


Ayun. Ayun. Napas. Ayun.

Di sebelah Dierdre, kulihat Jan meluncur dengan ringan, seakan-akan


tanpa mengerahkan tenaga. Jan begitu kecil dan enteng. Ia seperti
mengambang di atas air.

Memasuki lap ketiga, aku tertinggal beberapa meter di belakang


Dierdre. Aku berkonsentrasi penuh untuk mengatur kecepatan. Aku
berlagak jadi robot yang sudah diprogram untuk berenang pelan-
pelan.

Memasuki lap keempat, Dierdre berada beberapa detik di depanku.


Kulihat roman mukanya berubah ketika ia berbalik. Ia memicingkan
mata. Wajahnya kelihatan kencang dan tegang.

Dierdre benar-benar kepingin menang, aku menyadari.

Sanggupkah aku mengejamya? Hmm, aku jadi penasaran. Siapa tahu


aku malah mampu mengalahkan dia.

Aku berbalik dan menambah kecepatan.

Rasa pegal di kedua lenganku tak kugubris. Kaki kiriku yang kram tak
kuhiraukan.
Aku melaju dengan kencang sambil menendang-nendang dengan
sekuat tenaga. Lenganku membelah-belah air.

Semakin kencang.

Aku mulai mengejar Jan. Aku melihat kekecewaan di wajahnya ketika


ia kususul.

Aku melesat bagaikan ikan hiu yang mengejar mangsa. Tangan dan
kakiku menimbulkan bunyi gemuruh yang mengalahkan sorak-sorai
para penonton di sekeliling kolam.

Jantungku berdegup begitu keras sampai aku takut dadaku bakal


meledak.

Tanganku terasa berat sekali, seakan-akan membawa beban lima ratus


kilo.

Tambah kencang...

Kini aku sudah hampir sejajar dengan Dierdre. Sedikit lagi. Aku
begitu dekat sehingga bisa mendengar suara napasnya.

Aku melirik wajahnya yang tampak tegang karena berkonsentrasi.

Persis seperti Elliot, kataku dalam hati. Ia benar-benar ngotot.

Sering kali aku membiarkan Elliot memenangkan suatu permainan.


Soalnya ia jauh lebih kepingin menang daripada aku. Sama seperti
Dierdre.
Ketika kami mendekati ujung kolam, aku membiarkan Dierdre
menduluiku.

Habis, ia begitu ngotot untuk menang. Ia begitu ngotot untuk jadi


juara.

Ya sudah, pikirku. Juara dua juga lumayan. Sorak-sorai membahana


ketika Dierdre memenangkan pertandingan.

Aku menyentuh dinding kolam lalu menyelam ke bawah permukaan.


Kemudian aku muncul lagi dan meraih tepi kolam.

Seluruh badanku terasa pegal. Napasku terengah-engah. Kupejamkan


mata dan kutarik rambutku ke belakang dengan kedua tangan,
sekaligus memerasnya.

Saking pegalnya tanganku, aku nyaris tak sanggup memanjat keluar.


Aku salah satu yang terakhir naik dari kolam.

Yang lain sudah berkerumun di sekeliling Dierdre. Aku menerobos


kerumunan itu untuk melihat ada apa.

Mataku perih sekali, sehingga beberapa kali kuusap. Lalu aku melihat
pembina berambut merah tadi menyerahkan sesuatu kepada Dierdre.
Sesuatu yang berwarna emas dan berkilau-kilau.

Semuanya bersorak-sorai. Kemudian mereka bubar dan pergi ke


segala arah.

Aku menghampiri Dierdre. "Selamat, ya!" seruku. "Aku sudah hampir


menyusulmu. Tapi kau melesat kencang sekali."
"Aku ikut tim renang di sekolahku," sahutnya. Ia memamerkan benda
emas yang diserahkan pembina tadi.

Baru sekarang aku bisa melihatnya dengan jelas. Ternyata sebuah


keping emas yang mengilap. Pada satu sisinya terukir wajah King
Jellyjam yang tersenyum lebar. Kata-kata di sekeliling tepi keping itu
tak terbaca olehku, tapi aku sudah bisa membayangkan apa tulisannya.

"Ini King Coin kelima yang berhasil kuraih!" Dierdre berkata dengan
bangga.

Kenapa sih ia begitu senang? aku bertanya dalam hati. Keping itu
bukan keping sungguhan. Dan kurasa emasnya juga bukan emas asli.

"Apa itu King Coin?" tanyaku. Keping itu berkilau-kilau


memantulkan sinar matahari.

"Kalau aku dapat satu King Coin lagi, aku bisa ikut Upacara Juara,"
Dierdre menjelaskan.

Sebenarnya aku masih mau bertanya apa itu Upacara Juara, tapi Jan
dan Ivy keburu menghampiri Dierdre untuk memberi selamat
padanya. Ketiga-tiganya berbicara berbarengan.

Tiba-tiba aku teringat adikku. Mana sih Elliot? aku bertanya-tanya.


Apa saja yang dikerjakannya selama ini.

Aku berpaling dari Dierdre dan yang lain, dan berjalan ke arah pintu
keluar kolam renang. Tapi baru beberapa langkah, aku mendengar
seseorang memanggil namaku.
Aku menoleh dan melihat Holly berlari kecil ke arahku. Ia merengut,
seakan-akan ada yang membuatnya tidak senang. "Wendy, sebaiknya
kau ikut aku sebentar," katanya padaku.

Aku langsung deg-degan. "Hah? Ada apa?"

"Kelihatannya ada sedikit masalah," sahut Holly pelan-pelan.


PASTI telah terjadi sesuatu atas Mom dan Dad!

Itulah yang pertama terlintas dalam benakku. "Ada apa?" aku berseru.
"Orangtuaku! Mereka tidak apa-apa? Apakah mereka...?"

"Kami belum berhasil menemukan orangtua kalian," ujar Holly. Ia


membungkus pundakku yang gemetaran dengan handuk. Kemudian ia
menggiringku ke bangku di sisi kolam renang.

"Atau ada sesuatu dengan Elliot?" tanyaku lagi sambil duduk di


sebelahnya. "Ada apa sebenarnya?"

Holly terus merangkulku dan menunduk sedikit. Matanya yang


cokelat menatap mataku.

"Wendy, masalahnya adalah kau tidak berusaha sekuat tenaga untuk


memenangkan pertandingan," katanya.

Aku menelan ludah. "Apa?"

"Aku memperhatikanmu tadi," ia melanjutkan. "Aku tahu kau


mengurangi kecepatan pada lap terakhir. Rasanya kau tidak berusaha
mati-matian."

"Tapi—tapi—aku—" aku tergagap-gagap. Holly menatapku tanpa


berkedip. "Benar, tidak?" ia bertanya pelan-pelan.
"A-aku tidak biasa berenang sejauh itu," aku berdalih. "Ini pertama
kali aku ikut pertandingan. Aku pikir—"

"Aku tahu kau masih baru di sini," Holly memotong sambil mengusir
lalat dari kakiku. "Tapi kau tahu slogan camp ini, bukan?"

"Tentu saja," jawabku. "Slogannya ada di mana-mana. Tapi apa sih


artinya? 'Hanya Yang Terbaik'?"

"Kurasa itu semacam peringatan," Holly berkata dengan serius.


"Karena itulah aku memutuskan untuk mengajakmu bicara, Wendy."

"Peringatan?" aku berseru. Aku semakin bingung saja. "Peringatan


untuk apa?"

Holly tidak menjawab. Ia memaksakan senyum, lalu berdiri tanpa


berkata apa-apa lagi. "Sampai nanti, oke?"

Ia berbalik dan bergegas pergi.

Kukencangkan handuk pada pundakku dan berjalan menuju asrama


untuk berganti baju. Aku melewati deretan lapangan tenis sambil
memikirkan peringatan Holly.

Sebegitu pentingnyakah bahwa aku harus memenangkan pertandingan


renang tadi?

Supaya aku bisa mendapat keping emas dengan gambar si raja gendut
yang berwarna ungu?
Apa perlunya aku memenangkan keping-keping itu? Kenapa aku tidak
boleh sekadar bersantai, mencari teman baru, dan bersenang-senang?

Kenapa Holly bicara soal peringatan segala? Apa maksud dia


sebenarnya?

Aku menggelengkan kepala untuk mengusir pertanyaan-pertanyaan


yang membingungkan itu. Aku sudah pernah mendengar cerita
mengenai camp olahraga dari teman-teman di rumah. Menurut me-
reka beberapa camp benar-benar keras. Anak-anak yang ada di situ
semuanya cuma ingin menang dan menang dan menang.

Kelihatannya camp ini juga seperti itu.

Ya, apa boleh buat, pikirku sambil mendesah. Untung saja aku tidak
perlu berlama-lama di sini. Sebentar lagi Mom dan Dad akan datang
untuk menjemput Elliot dan aku.

Aku menoleh—dan melihat Elliot.

Ia tergeletak di tanah dengan wajah menghadap ke bawah. Tangan dan


kakinya terentang lebar. Matanya terpejam.

Ia pingsan.
"OHHHHHH!" aku memekik ketakutan.

"Elliot! Elliot!" Aku berlutut di sampingnya.

Ia langsung duduk dan menatapku sambil nyengir. "Berapa kali sih


kau bisa kutipu dengan cara ini?" tanyanya. Lalu ia ketawa terbahak-
bahak.

Kutonjok pundaknya sekeras mungkin. "Dasar brengsek!"

Tapi ia malah ketawa lebih keras lagi. Ia senang sekali kalau bisa
mengecohku seperti itu.

Kenapa aku selalu ketipu? Aku sudah lupa berapa kali Elliot
menggunakan siasat itu. Tapi setiap kali aku masih saja percaya
bahwa ia pingsan.

"Habis ini aku tidak bakal ketipu lagi. Tidak bakal!" seruku dengan
gusar.

Elliot berdiri. "Ayo, kau harus nonton aku main pingpong," katanya
sambil menarik-narik tanganku. "Aku ikut turnamen. Lawanku
namanya Jeff. Ia pi kir dirinya hebat, soalnya bisa bikin bola melintir
kalau lagi servis. Tapi sebenarnya ia tidak ada apa-apanya."

"Aku tidak bisa," sahutku. Kutarik tanganku dari genggamannya.


"Aku basah kuyup. Aku harus ganti baju."
"Ayo, dong! Kau harus nonton," desaknya. "Pertandingannya tidak
lama. Aku bisa mengalahkannya dalam sekejap, oke?"

"Elliot—" Ia kelihatan bersemangat sekali.

"Kalau aku bisa mengalahkan Jeff, aku bakal dapat King Coin," ia
memberitahuku. "Habis itu aku harus menang lima kali lagi. Aku
harus dapat enam keping, supaya aku bisa ikut Upacara Juara sebelum
kita dijemput Mom dan Dad."

"Mudah-mudahan berhasil," aku bergumam sambil mengusap-usap


rambutku yang basah dengan handuk.

"Kau ikut pertandingan renang, ya? Menang, tidak?" tanya Elliot. Ia


kembali menarik-narik tanganku.

"Tidak, aku juara dua," ujarku.

Ia ketawa mengejek. "Kau memang payah. Ayo, coba lihat bagaimana


aku menyikat anak itu."

Aku geleng-geleng kepala. "Oke, oke."

Elliot mengajakku ke sederetan meja pingpong di luar ruangan.


Supaya terlindung dari matahari, meja-meja itu dinaungi kain terpal
putih yang dibentangkan di antara empat tiang.

Adikku bergegas ke meja ujung. Jeff sudah menunggu. Ia sedang


memantul-mantulkan bola dengan betnya.

Tadinya kupikir Elliot akan melawan anak kecil kurus yang bisa ia
kalahkan dengan mudah. Tapi Jeff ternyata berbadan besar, dengan
wajah merah rambut pirang. Paling tidak ia dua kali lebih besar dari
adikku!

Aku duduk di bangku kayu di seberang deretan meja. Elliot tak


mungkin menang lawan anak itu, pikirku. Adikku yang malang bakal
kalah telak.

Ketika mereka mulai main, Buddy muncul dan d uduk di sampingku.


Seperti biasa, ia tersenyum lebar. "Belum ada kabar dari orangtuamu,"
katanya. "Tapi kami masih terus berusaha menghubungi mereka."

Kami menonton pertandingan pingpong. Jeff melancarkan servis


dengan bola pelintir. Elliot langsung menghajarnya.

Di luar dugaanku, pertandingannya lumayan imbang. Sepertinya Jeff


juga terkejut. Semakin lama pukulan balasannya semakin tidak
terarah. Dan sering kali servisnya yang khusus malah tidak mengenai
meja!

Mereka sudah bermain dua game, Buddy memberitahuku. Game


pertama dimenangkan Jef£ game kedua oleh Elliot. Ini game ketiga
yang menentukan.

Kedudukannya seri enam belas sama, lalu tujuh belas sama, dan
delapan belas sama.

Aku melihat Elliot semakin gelisah. Ia kepingin sekali menang. Ia


membungkuk dengan tegang dan menggenggam betnya begitu erat
sehingga tangannya tampak memutih.
Butir-butir keringat membasahi keningnya. Ia mulai melompat-
lompat, dan melenguh setiap kali memukul. Setiap bola hendak
dismesnya.

Sementara Elliot semakin gelisah dan tegang, Jeff malah kelihatan


semakin tenang.

Kedudukannya sembilan belas sama.

Bola kembalian Elliot keluar, dan dengan geram ia membanting


betnya ke meja.

Aku sudah melihat gelagatnya. Elliot mulai kehilangan kendali diri.


Ini sudah sering terjadi dengan adikku. Ia tidak bakal menang kalau
tetap tegang seperti ini.

Ketika ia mengangkat bola untuk melancarkan servis, aku


menempelkan dua jari ke sudut mulut dan bersuit keras-keras. Elliot
langsung menurunkan bet ketika mendengarnya.

Itulah isyaratku. Isyarat yang sudah kugunakan berkali-kali


sebelumnya. Artinya, "Tenang, Elliot. Jangan emosi."

Elliot menoleh dan mengacungkan jempol ke arahku.

Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam. Sekali, lalu sekali lagi.

Isyaratku itu selalu mujarab.

Ia melemparkan bola dan melancarkan servis ke arah Jeff. Jeff


mengembalikannya dengan pukulan tanggung. Elliot langsung
memanfaatkan kesempatan itu dan menghajar bola ke sudut kanan.
Jeff mati langkah. Angka untuk Elliot.

Kemudian giliran Jeff melakukan servis. Elliot mengembalikannya


dengan pukulan backhand. Pelan saja.

Bolanya bergulir di net, lalu jatuh ke sisi Jeff, dan memantul beberapa
kali.

Elliot menang!

Ia langsung bersorak gembira dan mengangkat kedua tangan untuk


merayakan kemenangannya.

Jeff kelihatan kesal sekali. Ia mencampakkan bet-nya ke lantai, lalu


segera melangkah pergi.

"Adikmu jago juga," Buddy memuji sambil berdiri. "Aku suka


gayanya. Ia bersemangat sekali."

"Soal itu sih pasti," aku bergumam.

Buddy cepat-cepat menghampiri Elliot untuk menyerahkan King Coin


yang dimenangkannya. "Hei—tinggal lima lagi," kata Buddy. Mereka
ber-high five lalu ber-low five.

"Keciiil," Elliot berkoar. Ia mengangkat kepingnya tinggi-tinggi,


supaya aku bisa melihatnya. Wajah King Jellyjam pada keping itu
menatapku sambil tersenyum.
Kenapa camp ini memilih gambar yang begitu konyol sebagai
maskot? aku kembali bertanya-tanya. Ia kelihatan seperti gumpalan
agar-agar yang memakai mahkota.

"Aku ganti baju dulu," ujarku kepada Elliot.

Ia menyelipkan keping emas itu ke saku celana pendeknya. "Aku mau


ikut olahraga lain lagi!" serunya padaku. "Aku harus dapat satu King
Coin lagi sebelum gelap!"

Aku melambaikan tangan, kemudian mulai menuju ke gedung asrama


cewek.

Tapi aku baru berjalan beberapa langkah ketika mendengar bunyi


gemuruh.

Lalu tanah mulai bergetar.

Aku terdiam bagaikan patung. Setiap otot di tubuhku menegang ketika


gemuruh itu bertambah keras.

"Gempa bumi!" teriakku.


TANAH di bawah kakiku berguncang keras. Kain terpal di atas
deretan meja pingpong bergoyang-goyang. Dan semua meja bergetar.

Lututku gemetaran. Dengan susah payah aku berjuang agar tetap


berdiri tegak.

"Gempa bumi!" aku memekik sekali lagi. "Jangan takut! Tidak ada
apa-apa," seru Buddy sambil bergegas menghampiriku.

Ia benar. Bunyi gemuruh itu segera mereda. Tanah pun berhenti


bergetar.

"Kadang-kadang memang begitu," Buddy menjelaskan. "Tapi kau tak


perlu kuatir."

Jantungku masih berdegup-degup. Kakiku terasa lemas, seakan-akan


terbuat dari karet. "Tak perlu kuatir? Bagaimana aku tidak kuatir?"

"Lihat saja," Buddy berkata sambil memandang berkeliling. "Yang


lain juga tidak memperhatikannya. Ini cuma berlangsung beberapa
detik, kok."

Aku ikut memandang berkeliling. Ternyata Buddy benar. Anak-anak


yang sedang ikut turnamen catur di depan asrama sama sekali tidak
menoleh dari papan catur masing-masing. Pertandingan sepak bola di
lapangan di seberang kolam juga berlanjut tanpa terhenti.

"Ini biasa terjadi satu atau dua kali sehari," Buddy memberitahuku.
"Tapi apa penyebabnya?" tanyaku.

Ia angkat bahu. "Entahlah."

"Tapi—semuanya ikut bergetar! Bukankah itu berbahaya?" aku


bertanya sekali lagi.

Buddy tidak mendengar kata-kataku. Ia sudah berlari kecil ke arah


lapangan bola.

Aku berbalik, berjalan menuju asrama. Tubuhku masih agak


gemetaran. Bunyi gemuruh yang aneh tadi masih terngiang-ngiang di
telingaku.

Ketika aku membuka pintu masuk, aku ketemu Jan dan Ivy. Mereka
sudah memakai baju tenis berwarna putih, dan keduanya menyandang
raket di pundak.

"Olahraga apa saja yang sudah kau ikuti?"

"Sudah dapat King Coin?"

"Pertandingan renang tadi asyik sekali, ya?"

"Kau senang di sini, Wendy?"

"Kau suka main tenis?"

Mereka bicara berbarengan dan memberondongku dengan setengah


lusin pertanyaan. Keduanya bersemangat sekali dan tidak memberi
kesempatan padaku untuk menjawab.
"Kami perlu orang lagi untuk turnamen tenis," ujar Ivy. "Kami sedang
mengadakan turnamen dua hari. Habis makan siang nanti kau
menyusul ke lapangan, ya?"

"Oke," sahutku. "Aku tidak terlalu pandai main tenis, tapi—"

"Sampai nanti!" seru Jan. Kemudian mereka bergegas


meninggalkanku.

Sebenarnya sih, aku lumayan jago main tenis. Servisku cukup


kencang. Dan pukulan backhand dua tanganku juga tidak bisa
dianggap enteng.

Tapi aku tidak hebat.

Kalau di rumah, aku sering main tenis dengan temanku, Allison. Tapi
sekadar untuk bersenang-senang. Kami tak berusaha saling
mengalahkan. Kadang-kadang kami malah cuma memukul bola
mondar-mandir tanpa menghitung angka.

Akhirnya aku memutuskan ikut turnamen tenis. Dan kalau aku kalah
di putaran pertama, ya sudah.

Lagi pula, aku menambahkan, sebentar lagi Mom dan Dad pasti sudah
datang. Dan Elliot dan aku harus ikut mereka.

Mom dan Dad... wajah mereka terbayang-bayang di depan mataku.

Aku sadar mereka pasti kalang kabut. Dan bingung sekali. Moga-
moga mereka tidak apa-apa. Tiba-tiba aku mendapat ide.
Aduh, kenapa aku tidak telepon ke rumah saja, kataku dalam hati.
Kenapa baru sekarang terpikir olehku? Aku kan bisa menelepon ke
rumah dan meninggalkan pesan pada mesin penerima telepon. Dengan
cara itu Mom dan Dad bisa tahu di mana Elliot dan aku berada.

Ke mana pun Dad pergi, satu jam sekali ia memeriksa pesan telepon
di rumah. Mom suka mengolok-oloknya karena dia begitu kuatir ada
pesan yang terlewat olehnya.

Tapi kali ini mereka berdua pasti bersyukur atas pesan dariku! kataku
dalam hati.

Ini ide bagus! aku memuji diriku sendiri. Sekarang aku tinggal
mencari telepon.

Di asrama pasti ada, pikirku. Aku memandang berkeliling lobi yang


kecil. Tapi ternyata tidak ada telepon umum.

Di meja resepsionis juga tidak ada orang. Jadi tak ada yang bisa
kutanyai.

Aku menyusuri koridor satunya. Di situ pun tidak ada telepon umum.

Karena sudah tak sabar ingin menelepon, aku berbalik dan bergegas
keluar lagi. Aku menarik napas lega ketika menemukan dua telepon
umum di sisi gedung asrama.

Dengan jantung berdegup-degup aku berlari ke sana.


Kuangkat gagang telepon yang paling dekat. Lalu kutempelkan
gagangnya ke telinga—tapi tiba-tiba sepasang tangan yang kuat
mencengkeramku dari belakang.

"Letakkan gagang itu!" seseorang memerintahkan.


"OHHH!" Aku memekik kaget dan melepaskan gagang telepon.
Gagang itu berputar-putar pada talinya.

Aku berbalik. "Dierdre! Kau bikin aku kaget setengah mati!" seruku.

Matanya yang hijau tampak berbinar-binar. "Sori Wendy. Tapi aku


sudah tidak sabar untuk menceritakan kabar baik ini! Lihat, nih!"

Ia mengulurkan tangan. Aku melihat setumpuk King Coin berwarna


emas.

"Aku baru dapat keping keenam!" Dierdre berkata dengan berapi-api.


"Asyik, ya?"

"Ehm—ya," sahutku ragu. Aku tetap tidak mengerti kenapa orang-


orang di sini begitu ngotot mendapatkan keping-keping itu.

"Nanti malam aku ikut Upacara Juara!" seru Dierdre. "Akhirnya


berhasil juga!"

"Wah, selamat ya," ujarku.

"Kau sudah dapat King Coin?"

"Ehm... belum," sahutku.

"Ayo, dong!" Dierdre mendesakku. "Tunjukkan kehebatanmu,


Wendy. Hanya Yang Terbaik!" Ia mengacungkan jempol sambil
tersenyum.
"Yeah. Hanya Yang Terbaik," aku mengulangi.

"Nanti malam kita bikin pesta," Dierdre melanjutkan. "Di kamar kita.
Sehabis Upacara Juara, oke? Kita bikin perayaan."

"Oke," sahutku. "Barangkali kita bisa pesan piza dari kantin."

"Tolong kasih tahu Jan dan Ivy," Dierdre menyuruhku: "Atau biar aku
saja. Atau siapa yang duluan ketemu mereka, deh! Sampai nanti!"

Ia bergegas pergi sambil menggenggam erat keenam keping emasnya.

Baru sekarang aku sadar bahwa aku sedang tersenyum. Saking berapi-
apinya Dierdre, aku jadi ikut-ikutan bersemangat. Aku jadi begitu ber-
semangat sampai lupa bahwa aku sebenamya mau menelepon ke
rumah.

Aku harus mencoba menikmati suasana persaingan di sini, kataku


dalam hati. Hanya Yang Terbaik. Turnamen tenis ini harus
kumenangkan!

Kami makan malam di meja-meja kayu yang panjang di ruang makan


yang luas di gedung utama. Ruangan yang panjang dan berlangit-
langit tinggi itu seakan-akan tak berujung.

Sorak-sorai dan canda tawa bergema dari dinding-dinding,


mengalahkansuara piring dan sendok yang berdenting-denting. Semua
orang asyik bercerita. Semuanya ingin bercerita tentang pertandingan
yang sudah diikuti.
Seusai makan malam, para pembina mengajak kami ke lapangan
atletik. Aku mencari-cari adikku. aku tidak berhasil menemukannya di
tengah kerumunan orang.

Udara senja terasa hangat. Tak ada segumpal awan pun di langit.
Bulan sabit seakan-akan melayang di atas pepohonan yang gelap.
Ketika matahari terbenam, langit berubah warna dari merah muda ke
ungu lalu kelabu.

Kegelapan malam mulai menyelubungi lapangan atletik. Di ujung


lapangan aku melihat dua titik cahaya yang berkerlap-kerlip menuju
ke arahku. Sesaat kemudian aku menyadari kedua titik cahaya itu
sebenarnya sepasang obor yang dibawa oleh dua pembina.

Suara terompet yang nyaring membuat kami terdiam.

Aku merapat pada Jan, yang berdiri di sebelahku. "Rasanya urusan ini
terlalu dibesar-besarkan, ya?" aku berbisik padanya.

"Acara ini memang penting!" balas Jan. Pandangannya lurus ke depan


ketika kedua obor itu mendekat.

"Kita sudah punya makanan untuk pesta nanti?" aku berbisik lagi.

Jan menempelkan telunjuk ke bibir. "Ssst!" Beberapa obor lain


dinyalakan. Bola-bola cahaya itu bersinar bagaikan matahari kecil.

Aku mendengar suara genderang. Kemudian lagu mars membahana


dari semua pengeras suara.
Kami berdiri sambil membisu ketika iring-iringan obor itu lewat di
hadapan kami. Lalu, dalam cahaya kuning yang berkerlap-kerlip, aku
melihat wajah-wajah. Wajah-wajah penuh senyum dari anak-anak
yang memperoleh King Coin keenam hari itu.

Semuanya ada delapan orang. Lima cowok dan tiga cewek.

Keping-keping emas mereka dikalungkan bagaikan medali pada leher


masing-masing. Keping-keping itu memantulkan cahaya obor dan
membuat wajah para peserta seakan-akan bersinar.

Dierdre berada di urutan kedua dari depan. Ia kelihatan begitu


gembira dan bersemangat! Keping-kepingnya tergantung di leher. Ia
terus mengembangkan senyum.

Jan dan aku melambaikan tangan dan memanggil-manggilnya, tapi ia


lewat begitu saja.

Tiba-tiba suara seorang pembina berkumandang dari pengeras suara,


"Berikan tepuk tangan yang meriah untuk para juara yang mengikuti
Upacara Juara malam ini!"

Sorak-sorai anak-anak yang menonton upacara terasa memekakkan


telinga. Kami bertepuk tangan, berseru-seru, dan bersuit-suit sampai
semua juara melewati kami dan obor terakhir menghilang dari
pandangan.

"Hanya Yang Terbaik!" suara tadi berkata melalui pengeras suara.

"Hanya Yang Terbaik!" kami semua menyahut. "Hanya Yang


Terbaik!"
Itulah akhir dari Upacara Juara. Lampu-lampu dinyalakan kembali.
Kami semua bergegas ke asrama. Anak-anak cowok berlari ke kanan,
anak-anak cewek ke kiri.

"Iring-iringan obor tadi keren juga, ya?" ujarku kepada Jan ketika
kami mengikuti kerumunan anak cewek yang menyusuri jalan setapak
ke asrama.

"Aku cuma membutuhkan dua King Coin lagi," balas Jan. "Barangkali
bisa kudapat besok. Kau juga ikut tumamen softball?"

"Tidak. Aku ikut turnamen tenis," kataku.

"Di sini terlalu banyak pemain tenis yang jago," ujar Jan. "Pasti sulit
sekali untuk memenangkan King Coin di situ. Lebih baik kau ikut
softball saja."

"Ehm... lihat besok, deh," sahutku.

Ivy sudah menunggu di kamar. "Mana Dierdre?" tanyanya ketika Jan


dan aku masuk.

"Kami juga tidak melihat dia," jawab Jan. "Kemungkinan sih dia
masih berkumpul dengan para juara lainnya," aku menambahkan.

"Aku menemukan dua kantong tortilla chips, tapi salsa-nya tidak ada,"
Ivy melaporkan sambil memperlihatkan kedua kantong itu.

"Terus, minumannya apa?" tanyaku.

Ivy mengangkat dua kaleng Diet Coke.


"Wah, ini bakal jadi pesta yang asyik!" seru Jan tertawa.

"Bagaimana kalau kita undang beberapa anak dari kamar-kamar lain?"


aku mengusulkan.

"Jangan! Nanti Coke-nya harus kita bagi-bagi dengan mereka," Jan


memprotes.

Kami langsung ketawa.

Kami bercanda dan tertawa sekitar setengah jam sambil menunggu


Dierdre. Kami duduk di lantai dan membuka satu kantong tortilla
chips.

Kami mengobrol ke sana kemari, dan tahu-tahu,tanpa terasa, isi


kantong itu sudah kami sikat habis. Lalu kami membuka satu kaleng
Coke.

"Aduh, mana sih dia?" tanya Jan, sambil melirik jam tangannya.

"Sudah hampir waktunya lampu dimatikan," ujar Ivy sambil menghela


napas dengan kecewa. "Waktu kita tinggal sedikit untuk berpesta."

"Barangkali Dierdre lupa bahwa kita mau bikin pesta," aku menduga-
duga. Kuremas-remas kantong tortilla chips yang sudah kosong itu,
lalu kulempar ke arah keranjang sampah.

Lemparanku meleset. Aku memang kurang berbakat main bola basket.

"Tapi kan dia sendiri yang punya ide untuk bikin pesta!" balas Ivy. Ia
berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir. "Ke mana ya dia? Jam
segini semua orang seharusnya sudah di kamar masing-masing."
"Ayo, kita cari dia," ujarku. Kata-kataku itu meluncur begitu saja dari
mulutku. Kadang-kadang aku memang begitu. Kadang-kadang aku
dapat ide cemerlang sebelum aku sadar apa yang kukatakan.

"Ya! Kita cari dia!" Ivy mendukungku.

"Hei, tunggu dulu," ujar Jan. Ia melangkah ke depan kami dan


menghalangi jalan ke pintu. "Ini tidak boleh. Kau kan tahu
peraturannya, Ivy. Kita tidak boleh keluar asrama sesudah jam
sepuluh."

"Kita keluar diam-diam, mencari Dierdre, lalu menyusup masuk lagi,"


balas Ivy. "Ayo, Jan. Kenapa sih harus takut?"

"Yeah, kenapa harus takut?" aku menimpali.

Jan kalah suara. "Oke, oke. Mudah-mudahan saja kita tidak


kepergok," gumamnya. Ia mengikuti Ivy dan aku ke pintu.

"Kenapa harus takut?" aku bertanya pada diriku sendiri ketika aku
keluar ke koridor yang sepi.

"Kenapa harus takut?" aku mengulangi ketika kami menyelinap keluar


dari asrama dan memasuki kegelapan malam.

"Kenapa harus takut?"

Aku tidak tahu. Tapi sebenarnya jawaban terhadap pertanyaan itu


adalah: KARENA MEMANG ADA YANG MENAKUTKAN!
UDARA malam terasa lebih panas daripada waktu Upacara Juara tadi.
Dan lebih lembap. Ketika melangkah keluar dari asrama, rasanya
seperti memasuki ruang mandi uap.

Seekor nyamuk berdengung-dengung di sekitar kepalaku. Aku


mencoba menepuknya dengan kedua tangan, tapi gagal.

Jan, Ivy, dan aku mengendap-endap menyusuri sisi gedung asrama.


Sepatuku tergelincir terus pada rumput yang basah karena embun.
Lampu-lampu yang terang menyorot dari pohon-pohon, menerangi
jalan setapak.

Kami menyelinap di tempat-tempat gelap.

"Dari mana kita harus mulai mencari?" bisik Ivy. "Dari gedung utama
saja," sahutku. "Barangkali para juara masih berpesta di sana."

"Aku tidak mendengar suara pesta," bisik Jan. "Di sini sepi sekali!"

Ia benar. Bunyi yang terdengar di sekitar kami hanyalah suara


jangkrik dan bunyi daun-daun berdesir karena tertiup angin malam-
yang hangat.

Kami menyusuri jalan setapak ke arah gedung utama.

Kami melewati kolam renang, yang kini kosong dan sunyi. Airnya
mengilap bagaikan perak di bawah lampu-lampu sorot yang terang-
benderang.
Saking panas dan lembapnya, aku membayangkan diriku mencebur ke
kolam dengan pakaian lengkap.

Tapi kami sedang melaksanakan misi: mencari Dierdre. Tak ada


waktu untuk memikirkan soal nikmatnya berenang malam-malam.

Kami melewati deretan meja pingpong sambil bergerombol rapat-


rapat. Aku jadi teringat Elliot. Dalam hati aku bertanya sedang apa dia
sekarang? Kemungkinan besar sih, ia sudah tertidur pulas.

Dan seharusnya begitu.

Kami sedang menghampiri lapangan tenis pertama ketika Ivy tiba-tiba


berseru, "Awas!" Serta-merta dia menarikku dan mendorongku ke
pagar.

Aku mendengar suara langkah di jalan setapak. Seseorang sedang


bersenandung.

Kami bertiga menahan napas ketika seorang pembina melewati


persembunyian kami. Ia berambut hitam ikal dan mengenakan
kacamata hitam, walaupun hari sudah malam. Ia memakai seragam
para pembina di camp ini t-shirt putih dan celana pendek putih.

Kami merapatkan punggung ke pagar lapangan tenis. "Itu Billy," bisik


Jan. "Dia keren juga, lho. Dan selalu ceria."

"Tapi dia takkan senang kalau memergoki kita di sini," sahut Ivy, juga
berbisik. "Kita bakal dapat kesulitan besar."
Sambil bersenandung dan menjentik-jentikkan jari, Billy berjalan
melewati kami, menyusuri jalan setapak mengelilingi lapangan tenis.
Aku memperhatikannya sampai ia menghilang dari pandangan.

Kutarik napas dalam-dalam. Rupanya sejak tadi aku terus menahan


napas!

"Mau ke mana dia?" tanya Ivy dengan heran. "Ehm, barangkali dia
mau ke pesta di gedung utama," aku menebak.

"Kenapa kita tidak tanya dia saja?" Jan berkelakar.

"Boleh, tapi kau saja yang tanya," jawabku.

Kami menoleh ke kiri-kanan. Setelah yakin keadaan sudah aman,


kami kembali bergerak.

Kami melewati deretan lapangan tenis. Lampu-lampu sorot di


pepohonan menghasilkan bayang-bayang panjang. Bayangan-
bayangan itu bergerak-gerak karena dahan-dahan pohon tertiup angin.
Sepintas lalu mirip makhluk-makhluk gelap yang menggeliat-geliut di
tanah.

Aku merinding, padahal udaranya gerah sekali.

Rasanya aneh juga berjalan melintasi bayang-bayang yang bergerak-


gerak itu. Aku agak waswas, takut salah satunya tiba-tiba meraih ke
atas, mencengkeram kakiku, lalu menarikku ke bawah.

Ada-ada saja, ya?


Aku berbalik dan melihat jendela-jendela di asrama menjadi gelap.
Rupanya sudah waktunya lampu-lampu dimatikan.

Kutepuk pundak Jan. Ia berpaling ikut memandangi gedung asrama.


Ketika lampu-lampu padam satu per satu, gedung itu seakan-akan
menghilang di depan mata kami. Bangunannya seperti ditelan
kegelapan malam.

"B-barangkali lebih baik kita kembali saja," aku berbisik.

Ivy tidak menyahut. Ia menggigit bibir. Dengan mata terbelalak ia


memandang kegelapan yang menyelubungi kami.

Jan ketawa. "Huh, dasar penakut semua!" ejeknya. "Ayo, dong! Sudah
tanggung, nih. Kita sudah hampir sampai di gedung utama."

Kami mengambil jalan pintas lewat lapangan sepak bola. Gedung


utama berada di atas bukit rendah yang landai, tersembunyi di balik
pohon-pohon tua.

Dari kaki bukit pun sudah kelihatan bahwa gedung utama sama
gelapnya dengan gedung asrama. "Tak ada pesta di situ," bisikku.

Ivy mendengus karena kecewa. "Huh, kalau begitu, dimana dong


Diedre?"

"Coba kita cari di asrama cowok!" aku bergurau. Jan dan Ivy ketawa.

Tapi kami segera terdiam karena mendengar bunyi kepak-kepak,


dekat sekali.

"Iiih, apa itu?" tanya Ivy


"Ohhh!" aku memekik tertahan ketika mendongak dan melihat sumber
suara itu.

Langit tertutup kelelawar. Lusinan kelelawar hitam.

Kawanan kelelawar itu terbang di atas lampu-lampu sorot di


pepohonan. Lalu—menukik untuk menyambar kami!
AKU tak sanggup mengendalikan diri. Serta-merta aku menjerit. Lalu
aku melindungi wajahku dengan kedua tangan.

Aku mendengar Jan dan Ivy memekik tertahan. Suara kepak-kepak itu
semakin keras. Semakin dekat.

Aku bisa merasakan embusan napas kelelawar pada tengkukku.


Kemudian aku merasakan binatang-binatang itu menarik-narik
rambutku dan mencakar-cakar wajahku.

Daya khayalku langsung bekerja keras kalau di sekitarku ada


kelelawar.

"Tenang, Wendy, tenang," bisik Jan. Ia menarik tanganku dari


wajahku. Lalu menunjuk. "Lihat, tuh."

Aku menoleh ke arah sayap-sayap hitam yang berkepak-kepak.


Kelelawar-kelelawar itu memang terbang menukik. Tapi bukan kami
yang jadi sasaran. Mereka menukik dan mengarah ke kolam renang di
kaki bukit.

Dalam cahaya lampu sorot yang terang-benderang, aku melihat


kawanan kelelawar nyemplung ke dalam air—kurang dari sedetik.
Setelah itu mereka segera kembali terbang tinggi.

"A-aku tidak suka kelelawar," bisikku.


"Aku juga tidak suka," Ivy mengakui. "Kata orang sih, kelelawar tidak
berbahaya. Makanannya serangga dan sebagainya. Tapi aku tetap
merinding kalau melihat kelelawar."

"Hmm, mereka takkan mengganggu kita," ujar Jan. "Mereka cuma


mau minum." Ia mendorong Ivy dan aku agar kami menuruni bukit.

Kami beruntung. Tak ada yang mendengar jeritanku. Tapi baru


berjalan beberapa langkah, kami melihat pembina lain menuju ke arah
kami di jalan setapak. Aku segera mengenalinya. Wanita muda itu
berambut pirang menjurus putih, dan ia memakai topi baseball
berwama biru.

Tanpa bersuara kami bertiga menyelinap ke balik semak-semak dan


jongkok di situ.

Apakah ia melihat kami?

Aku kembali menahan napas.

Ia tidak berhenti.

"Mau ke mana sih dia?" bisik Ivy. "Kenapa para pembina berkeliaran
di luar malam-malam begini?"

"Ayo, kita ikuti," aku mengajak.

"Tapi jaga jarak," Jan mewanti-wanti. Perlahan-lahan kami berdiri


lagi. Dan melangkah keluar dari balik semak.

Lalu berhenti seketika ketika kami mendengar bunyi gemuruh itu.


Bunyi itu bertambah keras, dan tanah tempat kami berpijak pun mulai
bergetar.

Kedua temanku tampak ketakutan. Ternyata Ivy dan Jan sama


ngerinya seperti aku.

Guncangannya bertambah keras, begitu keras sehingga kami jatuh


berlutut. Aku sampai harus merangkak sambil mencengkeram rumput.
Tanah berguncang dan bergetar. Gemuruh yang menyelubungi kami
terasa memekakkan telinga.

Aku memejamkan mata.

Perlahan-lahan bunyi itu mereda.

Tanah di bawah kami bergetar sekali lagi, lalu kembali diam seakan-
akan tak terjadi apa-apa. Aku membuka mata dan berpaling kepada
Ivy dan Jan. Mereka mulai bangkit. Pelan-pelan sekali.

"Aku selalu panik kalau ada kejadian seperti ini!" Jan bergumam.

"Kenapa sih bisa begini?" bisikku. Lututku masih gemetaran ketika


aku mencoba berdiri.

"Tak ada yang tahu," jawab Jan, sambil menepis rumput yang
menempel di lututnya. "Tapi kadang-kadang guncangan seperti tadi
bisa terjadi beberapa kali dalam sehari."

"Sebaiknya kita berhenti mencari Dierdre," ujar Ivy pelan-pelan. "Aku


mau balik saja. Kembali ke asrama."
"Yeah. Aku juga," kataku lesu. "Besok saja kita bikin pesta bersama
Dierdre."

"Sekalian dia bisa cerita ke mana dia malam ini, dan apa saja yang
dikerjakannya," Jan menimpali.

"Ini memang rencana gila," aku bergumam.

"Hei, ini kan rencanamu!" seru Jan.

"Kebanyakan rencanaku memang tidak masuk akal!" sahutku.

Sambil berlindung dalam bayang-bayang pepohonan, kami kembali


menyusuri jalan setapak. Aku melirik ke arah kolam renang. Kawanan
kelelawar tadi sudah tidak kelihatan. Barangkali mereka kabur gara-
gara bunyi gemuruh tadi.

Jangkrik-jangkrik pun tak terdengar lagi. Udara masih panas, tapi


suasananya sunyi dan hening.

Bunyi yang terdengar cuma bunyi sepatu kets kami.

Tiba-tiba—sebelum sempat atau bersembunyi—kami mendengar


suara langkah orang lain. Langkahnya cepat sekali. Seseorang sedang
berlari. Berlari ke arah kami.

Aku langsung berhenti ketika mendengar jeritan anak cewek.


"Tolong! Tolong aku! Tolong!"
EMBUSAN angin panas mengguncangkan pepohonan. Bayangan-
bayangan gelap di tanah langsung ikut menari-nari.

Aku melompat mundur karena kaget mendengar jeritan itu.

"Tolong! Tolong aku—!"

Ia muncul dari balik lapangan tenis. Ia mengenakan celana pendek


biru dan kaus tanpa lengan berwarna merah muda.

Tangannya melambai-lambai. Rambutnya yang panjang berkibar-


kibar di belakangnya.

Aku langsung mengenalinya.

Ia adalah gadis cilik berambut merah dengan muka penuh bintik-


bintik. Gadis cilik yang bersembunyi di hutan dan memperingatkan
aku agar tidak masuk ke camp.

"Tolong aku!"

Ia langsung menabrakku, lalu menangis terisak-isak. Aku merangkul


pundaknya dan memeluknya erat-erat. "Ssst, jangan menangis,"
bisikku. "Kau lak perlu takut."

Serta-merta ia meronta dan membebaskan diri dari pelukanku.

"Ada apa sih?" tanya Jan. "Kenapa kau ada di luar sini?"
"Kenapa kau belum tidur?" Ivy menambahkan sambil melangkah ke
sampingku.

Gadis cilik itu tidak menyahut. Seluruh badannya gemetar.

Ia meraih tanganku dan menarikku ke balik semak-semak di sisi jalan


setapak. Jan dan Ivy menyusul.

"A-aku takut," katanya sambil mengusap air mata dari pipinya. "A-
aku—"

"Siapa namamu?" Jan bertanya pelan-pelan.

"Kenapa kau ada di sini?" tanya Ivy lagi.

Kepak sayap kelelawar terdengar lagi di atas kami. Tapi bunyi itu tak
kugubris. Aku terus menatap gadis cilik yang berdiri di hadapan kami.

"Aku—namaku Alicia," sahutnya sambil berusaha menahan tangis.


"Kita harus lari. Cepat!"

"Hah?" aku berseru. "Coba tarik nafas dalam-dalam dulu, Alicia. Kau
tidak perlu takut. Sungguh."

"Kalian tidak tahu, sih," dia memekik sambil menggelengkan kepala.

"Kau sudah aman sekarang. Kau bersama kami," aku berkeras.

"Kita tidak aman," balasnya. "Tak ada yang aman di sini. Aku sudah
coba kasih tahu semua orang. Aku sudah kasih tahu kalian..."
Suaranya kembali terputus karena dia menangis lagi.

"Sebenarnya ada apa sih?" ujar Ivy.


"Apa yang mau kauberitahukan kepada kami?" Jan bertanya sambil
jongkok di depan gadis cilik itu.

"A-aku melihat sesuatu yang mengerikan," Alicia tergagap-gagap.


"Aku—"

"Apa yang kaulihat?" Aku mulai tidak sabar.

"Aku diam-diam mengikuti mereka," jawab Alicia. "Dan aku


melihatnya. Mengerikan sekali. A-aku tidak bisa cerita. Pokoknya kita
harus lari. Kita harus kasih tahu yang lain. Semuanya. Kita harus lari.
Kita harus kabur dari sini!"

Ia mengembuskan napas panjang. Seluruh tubuhnya kembali


gemetaran.

"Tapi kenapa kita harus lari?" tanyaku. Dengan lembut kupegang


kedua pundaknya.

Aku kasihan sekali pada Alicia. Aku ingin menenangkannya. Aku


ingin meyakinkan dia bahwa tak ada yang perlu ditakuti. Tapi aku
tidak tahu bagaimana caranya.

Apa yang ia lihat? Apa yang membuatnya begitu ketakutan?

Apakah ia baru saja bermimpi buruk?

"Kita harus kabur! Sekarang!" ia mengulangi dengan nada


melengking. Rambutnya yang merah menempel di wajahnya yang
basah karena air mata. Ia meraih tanganku dan menarik-nariknya
dengan keras. "Cepat! Kita harus kabur! Aku melihatnya!"
"Melihat apa?" seruku.

Alicia tidak sempat menjawab.

Seorang pembina berambut gelap melangkah ke depan semak-semak.


"Nah, sedang apa kau!" serunya.
AKU seperti lumpuh. Seluruh tubuhku dingin.

Mata si pembina tampak berbinar-binar karena memantulkan cahaya


lampu sorot. "Sedang apa kau di sini?" tanyanya dengan nada
mendesak.

Aku menarik napas dalam-dalam dan hendak menjawab.

Tapi sebelum sempat buka mulut, terdengar suara lain menduluiku.


"Mau tahu saja.” Ternyata pembina lain. Seorang wanita muda dengan
rambut hitam dipotong pendek.

Sambil berusaha untuk tidak bersuara, aku merunduk di balik semak-


semak. Kedua temanku langsung berlutut.

"Kau membuntuti aku, ya?" pembina pertama menggoda rekannya.

"Untuk apa aku membuntutimu? Jangan-jangan justru kau yang


membuntuti aku!" balas wanita muda itu.

Mereka tidak melihat kami, aku menyadari dengan gembira. Padahal


tempat persembunyian kami hanya berjarak satu meter dari tempat
mereka berdiri. Tapi rupanya mereka tidak bisa melihat kami di balik
semak-semak.

Beberapa detik kemudian, kedua pembina itu pergi bersama-sama.


Kami menunggu cukup lama sambil memasang telinga, dan baru
berani keluar setelah suara kedua pembina itu tak terdengar lagi.
"Alicia?" tanyaku. "Kau tidak apa-apa?"

"Alicia?" Ivy dan Jan berseru berbarengan.

Gadis cilik itu telah lenyap.

Kami menyelinap masuk ke asrama lewat pintu samping. Untung saja


tak ada pembina yang berpatroli di koridor. Tak seorang pun
kelihatan.

"Dierdre—kau sudah di sini?" Jan memanggil ketika kami masuk ke


kamar.

Tak ada jawaban.

Aku menyalakan lampu. Tempat tidur Dierdre tetap kosong.

"Sebaiknya lampu dimatikan saja," Ivy mewanti-wanti. "Nanti malah


ada yang curiga karena lampu kita masih menyala."

Kupadamkan lampu. Kemudian aku menuju ke tempat tidurku sambil


menunggu mataku terbiasa dengan kegelapan yang menyelubungi
kami.

"Di mana Dierdre?" tanya Ivy. "Aku jadi agak kuatir. Barangkali ada
baiknya kita melapor bahwa dia belum kembali."

"Lapor kepada siapa?" tanya Jan. Ia menjatuhkan diri di tempat


tidurnya. "Tak ada siapa-siapa di sini. Para pembina semua sedang
keluar."
"Aku yakin dia lagi ikut pesta dan melupakan kita," ujarku sambil
menguap. Aku membungkuk untuk menyingkap selimut di tempat
tidurku.

"Menurut kalian, apa yang dilihat anak kecil tadi?" tanya Ivy sambil
memandang ke luar jendela.

"Alicia? Kurasa dia cuma bermimpi buruk," sahutku.

"Tapi dia begitu ketakutan!" kata Jan sambil menggeleng-gelengkan


kepala. "Dan kenapa dia ada di luar malam-malam begini?"

"Dan kenapa dia kabur dan meninggalkan kita?" Ivy menambahkan.

"Aneh," aku bergumam.

"Yeah, aneh sekali," Jan menimpali. "Semua kejadian malam ini


memang aneh." Ia menuju ke lemari pakaian. "Aku mau ganti baju.
Besok hari penting. Aku harus memenangkan dua King Coin lagi."

"Aku juga," ujar Ivy. Ia menguap lebar.

Jan membuka salah satu laci. "Ya, ampun!" pekiknya. "Ya, ampun!
Ada apa ini?"
"JAN—ada apa?" seruku.

Ivy dan aku langsung berlari ke meja rias.

Jan terus menatap laci yang baru dibukanya. "Aku salah buka laci,"
katanya. "Karena gelap aku menarik lacinya Dierdre. Dan—dan—
lacinya kosong!"

"Hah?" Ivy dan aku memekik karena kaget.

Sambil memicingkan mata aku mengamati laci itu. Ternyata memang


kosong sama sekali. "Coba periksa lemari pakaian," aku menyarankan.

Ivy melintasi ruangan dengan tiga atau empat langkah panjang. Cepat-
cepat ia membuka pintu lemari.

"Barang-barang Dierdre—sudah tidak ada semua!" serunya.

"Aneh," gumamku. Kejadian-kejadian malam ini memang aneh.

"Kenapa dia pergi tanpa memberitahu kita?" tanya Jan.

"Dan ke mana dia?" Ivy menambahkan. Pertanyaan bagus, pikirku


sambil menatap lemari yang kosong.

Ke mana Dierdre?
Sarapan adalah acara makan paling ramai sepanjang hari. Mangkuk-
mangkuk sereal berdenting-denting terkena sendok. Botol-botol jus
jeruk berdebam-debam ketika ditaruh kembali ke meja kayu yang
panjang.
Suara-suara terdengar nyaring, seakan-akan ada orang yang memutar
tombol volume sampai habis. Semua orang asyik bercerita mengenai
olahraga yang akan diikuti hari ini, dan permainan-permainan yang
hendak dimenangkan.

Aku yang terakhir mandi. Jadi Jan dan Ivy sudah mulai sarapan waktu
aku masuk ke ruang makan.

Aku menyusuri gang sempit di antara meja-meja sambil mencari-cari


Dierdre. Tapi ia tidak kelihatan.

Semalam aku tidak bisa tidur, padahal aku sebenarnya capek sekali.
Aku terus memikirkan Dierdre dan Alicia., Dan aku juga heran kenapa
Mom dan Dad belum juga menjemput atau paling tidak menghubungi
kami.

Aku melihat Elliot di ujung meja yang ditempati anak-anak laki-laki


sebayanya. Piring di hadapannya berisi setumpuk panekuk, dan ia
sedang menuangkan sirop berwarna gelap.

"Hai, Elliot!" aku memanggil sambil menghampirinya.

Adikku tidak merasa perlu berbasa-basi, meskipun sekadar berkata


selamat pagi. "Habis ini aku mau ikut turnamen one-on-one," katanya
dengan semangat berkobar-kobar. Barangkali aku bisa memenangkan
King Coin yang ketiga!"
"Yeah, kau maunya memang menang melulu," sahutku sambil
memutar-mutar bola mata. "Ngomong-ngomong, sudah ada kabar dari
Mom dan Dad?"

Elliot menatapku seakan-akan tidak ingat siapa mereka. Lalu ia


menggelengkan kepala. "Belum. Camp ini asyik sekali, ya? Kita
benar-benar beruntung."

Aku diam saja. Mataku tertuju pada meja satunya. Sepintas lalu aku
mengira telah melihat Dierdre. Tapi ternyata itu anak lain yang juga
berambut panjang dan pirang.

"Kau sudah dapat King Coin?" tanya Elliot. Ia bicara dengan mulut
penuh panekuk. Siropnya menetes-netes dari dagunya.

"Belum," jawabku.

Ia ketawa mengejek. "Khusus untukmu, slogan camp ini harus diubah,


Wendy. Hanya Yang Terburuk!"

Elliot terbahak-bahak. Teman-temannya di meja itu ikut-ikutan


tertawa.

Aku kan sudah bilang, adikku itu memang konyol.

Aku lagi tidak kepingin bercanda. Aku masih sibuk memikirkan


Dierdre. "Sampai nanti," kataku.

Aku berdiri, lalu berjalan menuju ke sisi anak-anak cewek. Sorak-


sorai dan tawa berderai terdengar dari meja di dekat dinding. Rupanya
ada perang telur dadar. Tiga pembina segera bergegas ke sana untuk
menghentikan keramaian itu.

Meja Jan dan Ivy sudah penuh, jadi aku mengambil tempat di meja
sebelahnya yang masih kosong. Aku menuang segelas jus jeruk dan
semangkuk sereal. Tapi sebenarnya aku tidak terlalu lapar.

"Hei—!" seruku ketika melihat Buddy lewat di depan mejaku. Ia tidak


mendengarku di tengah hiruk-piruk, jadi aku langsung berdiri dan
mengejarnya.

"Hai. Ada apa?" Ia menyambutku dengan senyum lebar. Rambutnya


yang pirang masih basah karena ia baru selesai mandi. Aku mencium
wangi bunga, mungkin dari aftershave-nya.

"Kau tahu ke mana Dierdre?" tanyaku.

Ia mengerutkan kening karena bingung. "Dierdre?"

"Teman sekamarku," aku menjelaskan. "Dia tidak pulang ke kamar


semalam. Dan lemari pakaiannya sudah kosong."

"Dierdre," ia mengulangi sambil berpikir keras. la mengangkat


clipboard dan mengamati daftar nama yang terpasang di situ. "Oh,
yeah. Ia sudah pergi." Pipinya jadi agak merah.

"Hah?" Aku menatapnya sambil terbengong-bengong. "Dierdre sudah


pergi? Pergi ke mana? Pulang ke rumahnya?"

Buddy kembali menatap daftar nama itu. "Mungkin. Di sini cuma


ditulis bahwa dia sudah pergi." Pipinya semakin merah.
"Aneh," ujarku. "Kenapa dia tidak pamitan? Ia sama sekali tidak
bilang apa-apa."

Buddy angkat bahu, kemudian mengembangkan senyum. "Selamat


bersaing hari ini!"

Ia menuju ke meja pembina di bagian depan ruangan yang luas. Tapi


cepat-cepat aku mengejarnya dan menarik tangannya.

"Buddy, satu pertanyaan lagi," kataku. "Aku sedang mencari gadis


cilik bernama Alicia. Kau tahu di mana aku bisa menemukan dia?"

Buddy melambaikan tangan ke arah serombongan anak cowok di


seberang ruangan. "Ayo, tunjukkan kehebatan kalian! Hanya Yang
Terbaik!" serunya kepada mereka. Kemudian ia berpaling padaku.
"Alicia?"

"Aku tidak tahu nama belakangnya. Umurnya sekitar enam atau tujuh
tahun," ceritaku. "Rambutnya panjang berwarna merah, dan mukanya
penuh bintik-bintik."

"Alicia..." Buddy menggigit-gigit bibir. Lalu ia kembali melihat


clipboardnya.

Aku memperhatikannya menyusuri daftar nama dengan telunjuknya.


Waktu jarinya berhenti, pipinya jadi merah lagi.

"Oh, yeah. Alicia," katanya sambil menurunkan clipboard. Ia


menatapku sambil nyengir. Tapi senyumnya agak aneh. Agak
menakutkan. "Ia juga sudah pergi."
"JAN! Ivy!" aku langsung mengejar mereka ketika melihat mereka
bergegas meninggalkan ruang makan. "Kita harus bicara!" kataku
sambil tersengal-sengal.

"Nanti saja. Sudah telat, nih." Jan merapikan rambutnya dengan


sebelah tangan. "Kalau terlambat sampai di lapangan voli, kita tidak
bisa ikut turnamen."

"Tapi ini penting!" teriakku ketika mereka berlari ke pintu.

Sepertinya mereka tidak mendengarku. Mereka pergi tanpa menoleh


lagi.

Jantungku berdebar-debar. Tiba-tiba seluruh tubuhku terasa dingin.

Aku kembali menghampiri adikku. Ternyata ia sedang bermain tinju


dengan anak laki-laki kurus jangkung berambut pirang. "Elliot—coba
ke sini," aku memerintahkan. "Sebentar saja."

"Sori, tidak bisa," sahutnya. "Aku kan mau ikut kontes one-on-one."

Teman adikku itu bergegas ke pintu. Aku cepat-cepat melangkah maju


untuk menghalangi jalan Elliot.

"Jangan macam-macam!" serunya. "Nanti aku telat Aku akan


melawan Jeff. Masih ingat dia, kan? Aku bisa mengalahkan dia.
Tubuhnya memang besar, tapi agak lamban."
"Elliot, ada sesuatu yang aneh di sini," ujarku. Aku mendesaknya
mundur sampai ke dinding. Anak-anak yang hendak keluar menatap
kami sambil mengerutkan kening. Tapi aku tidak ambil pusing.

"Kau yang aneh!" balas Elliot. "Cepat, minggir. Aku harus ke


lapangan basket."

Ia hendak melewatiku. Tapi aku menahan bahunya dengan kedua


tangan.

"Sebentar saja!" aku berkeras. "Ada yang tidak beres di camp ini,
Elliot." Aku melepaskannya.

"Maksudmu, bunyi gemuruh itu?" ia bertanya sambil mengusap


rambutnya yang gelap dengan sebelah tangan. "Itu cuma gas di bawah
tanah atau semacamnya. Aku juga sudah tanya pada salah satu
pembina, dan dia bilang begitu."

"Bukan itu maksudku," kataku. "Ada beberapa anak yang hilang."

Ia ketawa. "Hilang? Maksudmu, hilang tanpa bekas, seperti tipuan


sulap?"

"Jangap bercanda, dong!" hardikku. "Ini tidak lucu, Elliot. Memang


ada anak-anak yang hilang. Kau tahu Dierdre, teman sekamarku?
Semalam dia ikut Upacara Juara. Setelah itu dia tidak kembali ke
kamar."

Senyum Elliot lenyap.


"Tadi aku diberitahu Buddy bahwa Dierdre sudah pergi," aku
melanjutkan. Aku menjentikkan jari. "Pergi begitu saja. Dan gadis
cilik bernama Alicia—dia juga hilang."

Elliot menatapku dengan matanya yang cokelat. "Paling-paling


mereka pulang ke rumah mereka. Masa mereka harus di sini terus?"
sahutnya. "Yang benar saja!"

"Dan bagaimana dengan Mom dan Dad?" aku bertanya. "Mana


mungkin mereka tidak segera tahu bahwa karavannya lepas. Kenapa
mereka belum menjemput kita? Kenapa mereka belum juga bisa
dihubungi?"

Elliot angkat bahu. "Mana kutahu," katanya dengan santai. Ia


membungkuk lalu langsung menuju ke pintu. "Wendy, kau tidak betah
di sini soalnya kau memang tidak begitu suka olahraga. Tapi aku
senang sekali di camp ini. Jangan ganggu kesenanganku—oke?"

"Tapi—tapi—Elliot—" aku tergagap-gagap.

Sambil menggelengkan kepala ia membuka pintu dan langsung ke


luar.

Aku mengepalkan tangan karena jengkel. Rasanya ingin kugebuk dia.


Kenapa ia tidak mau mendengarkan aku? Masa ia tidak tahu bahwa
aku benar-benar cemas dan takut?

Elliot termasuk anak yang tidak pernah kuatir pada apa pun.
Sepertinya segala sesuatu selalu sesuai keinginannya. Jadi kenapa
harus repot?
Tapi paling tidak, seharusnya ia agak mencemaskan Mom dan Dad, ya
kan?

Mom dan Dad...

Perasaanku tidak enak ketika aku berjalan meninggalkan ruang


makan. Bagaimana kalau mereka mengalami kecelakaan? Bagaimana
kalau karena itulah mereka belum menemukan Elliot dan aku?

Jangan. Jangan bikin situasi bertambah buruk, aku memarahi diriku


sendiri. Jangan biarkan daya khayalmu lepas kendali, Wendy.

Tiba-tiba aku teringat rencanaku untuk menelepon ke rumah. Ya,


ujarku dalam hati. Itulah yang akan kulakukan sekarang. Aku akan
menelepon ke rumah dan meninggalkan pesan untuk Mom dan Dad
pada mesin penerima telepon.

Aku berhenti di tengah jalan setapak dan mencari-cari telepon umum.


Serombongan anak cewek yang membawa tongkat hoki berpapasan
denganku. Suara peluit terdengar nyaring dari kolam renang di balik
deretan lapangan tenis. Lalu aku mendengar suara anak-anak terjun ke
air.

Semuanya riang gembira, pikirku—kecuali aku.

Aku memutuskan untuk menelepon ke rumah dulu, lalu mengikuti


salah satu olahraga. Aku butuh kesibukan untuk melupakan segala hal
yang membuatku kuatir dan bingung.
Aku kembali ke deretan telepon umum berwarna biru-putih di sisi
gedung utama. Aku berlari sekuat tenaga dan langsung mengangkat
gagang telepon terdekat.

Gagangnya kutempelkan ke telinga, lalu kutekan nomor telepon


rumah kami.

Kemudian aku memekik tertahan karena kaget.


"HALO, Teman! sebuah suara berat berkata dengan riang. "Selamat
menikmati Camp Jellyjam. Ini King Jellyjam. Bersainglah dengan
sungguh-sungguh. Ikutilah pertandingan sebanyak mungkin. Dan
menanglah sesering mungkin. Dan ingatlah selalu—Hanya Yang
Terbaik!"

"Aduh!" seruku. "Rekaman konyol—!"

"Halo, Teman! Selamat menikmati—" Pesan itu berulang di telingaku.

Kubanting gagang telepon dan kucoba telepon berikutnya.

"Halo, Teman! Selamat menikmati camp Jelly..." Huh, sama saja.

Aku mencoba setiap telepon di deretan itu. Tapi semuanya memutar


rekaman yang sama. Ternyata tak ada satu pun telepon sungguhan.

Mana sih telepon umum di sini? aku bertanya-tanya. Mestinya ada


telepon umum yang benar-benar bisa dipakai.

Aku berpaling dari gedung utama, menyusuri jalan setapak. Ketika


lewat di depan semak-semak tempat Jan, Ivy, dan aku bersembunyi
semalam, aku langsung merinding. Mau tidak mau aku teringat Alicia.

Sinar matahari yang terang benderang membanjiri bukit landai yang


ditumbuhi rumput. Aku melindungi mata dari cahaya yang
menyilaukan, dan memperhatikan seekor kupu-kupu berwarna hitam
dan emas. Kupu-kupu itu mengepak-ngepakkan sayap dan hinggap di
bunga geranium merah dan pink.

Aku berjalan tanpa tujuan, mencari-cari telepon umum. Ke mana pun


aku memandang aku melihat anak-anak yang berseru-seru, tertawa-
tawa dan bersaing dengan sekuat tenaga. Tapi aku tidak menghiraukan
mereka. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku yang gelisah.

"Hei! Hei! Hei!"

Suara adikku membuatku berhenti. Aku berkedip-kedip beberapa kali


untuk memfokuskan pandangan.

Rupanya aku sudah sampai di lapangan basket. Elliot dan Jeff sedang
bertanding satu lawan satu.

Jeff mendribble bola. Bolanya berdebam-debam pada lapangan aspal.


Adikku menggerak-gerakkan tangan di depan hidung Jeff. Lalu
berusaha merebut bola.

Gagal.

Jeff membungkuk sedikit. Ia mendesak Elliot dengan pundaknya,


menggiring bola ke ring—dan melempar.

"Dua angka!" serunya sambil nyengir.

Elliot merengut dan menggelengkan kepala. "Itu pelanggaran."

Jeff berlagak tidak mendengarnya. Tubuhnya dua kali lebih besar dari
Elliot. Kalau mau, ia bisa menabrak adikku sampai terjengkang.
Aku tidak mengerti kenapa Elliot menyangka dirinya bisa
mengalahkan Jeff.

"Berapa skornya?" tanya Jeff sambil menyeka keringat dari


keningnya.

"Delapan belas sepuluh," balas adikku lesu. Tanpa bertanya dulu pun
aku langsung tahu bahwa Elliot-lah yang kalah.

Lapangan basket dibatasi pagar kawat. Kupegang pagarnya dengan


kedua tangan, menempelkan wajahku, dan menonton mereka
bertanding.

Elliot men-dribble bola. Ia bergerak mundur sambil mencari-cari


kesempatan menyerang. Jeff terus mengikutinya. Ia membungkuk ke
depan, siap menyambar bola.

Tiba-tiba Elliot melesat maju. Pandangannya tertuju pada ring.


Dengan sigap ia melompat, mengangkat tangan kanan untuk
melempar—bolanya direbut Jeff.

Elliot melayang dengan tangan kosong.

Jeff men-dribble dua kali, lalu menyarangkan bola dengan dua tangan.

Kedudukannya jadi dua puluh lawan sepuluh.

Beberapa detik kemudian pertandingan selesai, dan Jeff keluar sebagai


pemenang. Ia bersorak dengan gembira dan mengajak Elliot ber-high
five.
Elliot mengerutkan kening dan menggelengkan kepala. "Kau cuma
beruntung," gumamnya.

"Yeah. Beruntung," sahut Jeff. Ia memakai bagian depan t-shirt-nya


yang berwarna biru untuk menyeka wajahnya yang penuh keringat.
"Hei, kau harus memberi selamat padaku. Kau korbanku yang
keenam!"

"Hah?" Elliot menatapnya sambil membungkuk dan memegang lutut.


Napasnya masih terengah-engah. "Jadi—?"

"Yeah." Jeff nyengir lebar. "King Coin-ku yang keenam. Nanti malam
aku ikut Upacara Juara!"

"Wah, hebat," balas Elliot lesu. "Aku masih perlu tiga keping lagi."

Tiba-tiba aku merasa ada yang memperhatikanku. Aku melepaskan


pagar kawat dan mundur selangkah.

Ternyata Buddy sedang mengamati aku dari jalan setapak. Ia


memicingkan mata, ada kesan tidak senang pada wajahnya.

Sudah berapa lama ia berdiri di situ?

Kenapa ia kelihatan tidak senang? Roman mukanya yang kencang


membuatku merinding.

Ketika aku berbalik, ia segera melangkah meng-ampiriku. Matanya


yang biru menatapku tanpa berkedip.

"Maaf, Wendy," pembina itu berkata pelan-pelan. "Kau harus pergi."


"HAH? Apa?" Aku menatapnya sambil terbengong-bengong.

Apa maksudnya? Ke mana aku harus pergi? Apakah aku harus


pergi—seperti Dierdre dan Alicia?

"Kau harus pergi dari sini kecuali kalau kau ikut bertanding," Buddy
menjawab. Roman mukanya tidak berubah. "Kau tidak bisa cuma
menonton terus. King Jellyjam takkan setuju."

Rasanya gumpalan jelek itu ingin kuinjak saja! kataku dalam hati.
Namanya pun konyol. King Jellyjam. Idih!

Ucapan Buddy sempat membuatku kaget setengah mati. Jangan-


jangan ia memang sengaja menakut-nakutiku? aku bertanya-tanya.

Tidak mungkin, pertanyaan itu segera kujawab sendiri. Buddy tidak


tahu bahwa aku curiga. Dari mana ia bisa tahu?

Ia bergegas ke lapangan basket. Punggung Jeff ditepuk-tepuknya.


Kemudian ia menyerahkan King Coin emas. "Nah, selamat ya!"
serunya sambil mengacungkan jempol. "Sampai ketemu nanti malam
di Upacara Juara. Hanya Yang Terbaik!"

Buddy juga berbicara sebentar dengan adikku. Elliot cuma angkat


bahu. Lalu ia mengatakan sesuatu yang membuat Buddy ketawa. Tapi
aku tidak tahu apa yang dikatakannya.
Ketika Elliot pergi untuk mengikuti pertandingan olahraga berikutnya,
Buddy kembali menghampiriku. Ia merangkulku dan menggiringku
pergi dari lapangan basket.

"Kelihatannya kau ini perlu bimbingan khusus, Wendy," ujarnya.

"Bisa jadi," sahutku. Apalagi yang bisa kukatakan?

"Hmm, aku akan memberikan jadwal untuk hari ini. Coba lihat apakah
kau suka," kata Buddy. "Pertama-tama ada pertandingan tenis. Kau
bisa main tenis, kan?"

"Bisa sih bisa," jawabku. "Aku tidak seberapa hebat, tapi—"

"Setelah main tenis, datanglah ke lapangan softball, oke?" Buddy


melanjutkan. "Kami akan mencarikan tempat untukmu di salah satu
tim."

Ia menampilkan senyum ramah. "Aku yakin kau akan jauh lebih


senang kalau kau mengikuti kegiatan-kegiatan di sini—betul, tidak?"

"Yeah. Kurasa begitu," balasku. Sebenarnya aku ingin lebih


bersemangat. Tapi tidak bisa.

Buddy mengajakku ke salah satu lapangan tenis. Seorang gadis


sebayaku sedang melakukan pemanasan dengan memukul-mukul bola
tenis ke dinding.

Gadis itu berbalik dan menyapaku ketika kami mendekat. "Hei, mau
main?"

"Boleh," kataku. Kami saling memperkenalkan diri.


Namanya Rose. Ia cantik dan jangkung. Ia mengenakan kaus tanpa
lengan berwarna ungu dan celana pendek hitam. Aku melihat anting
perak menggelantung dari telinganya.

Buddy menyerahkan raket. "Selamat bertanding," ujarnya. "Dan awas,


Wendy. Rose sudah punya lima King Coin!"

"Kau jago main tenis, ya?" tanyaku sambil memutar-mutar raket di


tanganku.

Rose mengangguk. "Yeah. Lumayan. Kau bagaimana?"

"Entahlah," aku berterus terang. "Temanku dan aku selalu bermain


sekadar iseng saja."

Rose ketawa. Aku suka suara tawanya. Rasanya aku jadi kepingin ikut
ketawa. "Aku tidak pernah main sekadar iseng!" ia memberitahuku.

Dan nyatanya memang begitu.

Kami pukul-pukulan bola selama beberapa menit, sebagai pemanasan.


Rose membungkuk, mengencangkan otot-otot, memicingkan mata—
lalu membalas pukulanku seakan-akan ini set terakhir dalam suatu
kejuaraan.

Pukulannya malah lebih keras lagi setelah kami mulai bertanding.

Dalam waktu singkat aku sadar bahwa aku bukan tandingannya.


Masih untung aku bisa mengembalikan beberapa servis-nya!
Rose tidak sok. Aku sempat melihatnya tersenyum sendiri ketika
melihat pukulan backhandku, tapi ia tidak mengejekku. Ia justru
memberikan petunjuk-petunjuk berguna sambil bermain.

Ia menang straight set.

Aku mengucapkan selamat padanya. Ia tampak gembira sekali karena


berhasil memenangkan King Coin-nya yang keenam.

Seorang pembina yang belum pernah kulihat memasuki lapangan dan


menyerahkan keping itu kepada Rose. "Sampai ketemu di Upacara
Juara nanti malam," wanita muda itu berkata sambil tersenyum lebar.

Kemudian si pembina berpaling padaku. "Lapangan softball ada di


sebelah sana, Wendy," ujarnya sambil menunjuk.

Aku mengucapkan terima kasih dan mulai berjalan ke arah yang


ditunjuknya. "Jangan jalan—lari!" serunya. "Ayo, semangat sedikit!
Hanya Yang Terbaik!"

Aku menggerutu. Tapi sepertinya ia tidak mendengar. Dengan


setengah hati kupatuhi sarannya dan mulai berlari.

Kenapa sih aku selalu diburu-buru di sini? omelku dalam hati. Kenapa
aku tidak boleh bersantai dan berjemur di sisi kolam renang?

Aku agak terhibur ketika lapangan softball terlihat di hadapanku. Aku


memang senang main softball. Aku memang tidak terlalu jago dalam
menangkap bola. Tapi untuk urusan memukul bola, akulah orangnya.
Kedua tim yang sedang bertanding merupakan tim campuran cowok-
cewek. Aku mengenali dua cewek yang kulihat saat waktu sarapan
tadi pagi.

Salah satu dari mereka memberiku tongkat pemukul. "Hai. Aku


Ronni. Kau bisa ikut tim kami," katanya. "Kau bisa lempar bola?"

"Lumayan," sahutku. Tongkat pemukulnya kugenggam erat-erat.


"Kadang-kadang aku jadi pitcher kalau pulang sekolah."

Ronni mengangguk. "Oke. Kalau begitu kau jadi pitcher di babak-


babak awal."

Ia memanggil anak-anak yang lain untuk berkumpul. Semuanya


menyebutkan nama masing-masing dan diberi posisi tertentu.

"Kalau kita menang, kita semua dapat King Coin?" tanya anak laki-
laki dengan tato elang di pundaknya. Aku langsung tahu itu bukan
tato, tapi gambar tempel.

"Ya, semuanya," jawab Ronni.

Para pemain langsung bersorak-sorai.

"Jangan senang dulu. Belum juga mulai main!" seru Ronni.

Kemudian ia menentukan urut-urutan memukul bola. Karena aku jadi


pitcher, aku dapat urutan kesembilan.

Tapi berhubung aku sudah pegang tongkat, aku memutuskan untuk


melatih ayunanku dulu. Aku menjauhi yang lain dan menuju ke base
ketiga.
Sambil melonggarkan genggaman, kuayunkan tongkat pemukul. Pelan
saja. Aku biasa mengambil ancang-ancang tinggi. Aku tidak seberapa
kuat, dan dengan cara itu aku bisa memukul lebih keras.

Tongkat pemukulnya lumayan enak di tanganku. Aku


mengayunkannya beberapa kali lagi.

Lalu aku ambil ancang-ancang tinggi sekali—dan mengayunkan


sekeras mungkin.

Aku tidak tahu Buddy berdiri di situ.

Langsung saja pukulanku menghantam dadanya. Aku mendengar


bunyi tokkk yang menakutkan ketika tongkatku membentur rusuknya.

Serta-merta kulepaskan tongkat. Lalu aku melangkah mundur sambil


membelalakkan mata.
SENYUM Buddy langsung lenyap. Ia menatapku sambil
memicingkan matanya yang biru.

Lalu ia mengangkat tangan dan menudingku.

"Aku suka caramu mengambil ancang-ancang," katanya. "Tapi


mungkin lebih baik kalau kami carikan tongkat yang lebih ringan
untukmu."

"Hah?" Aku terbengong-bengong. Aku tidak bisa bergerak. Aku cuma


berdiri dan menatap Buddy sambil melongo. "Buddy—?"

Ia memungut tongkat yang tergeletak di tanah. "Kau suka tongkat ini?


Coba kulihat ayunanmu lagi, Wendy." Tongkat itu diserahkannya
padaku.

Tanganku gemetaran ketika menerima tongkat itu. Pandanganku terus


melekat pada Buddy. Aku menunggu ia berteriak kesakitan. Aku
menunggu ia memegangi dadanya dan ambruk sambil mengerang-
erang.

"Tongkat aluminium ada yang lebih ringan," katanya. Ia mengusap


rambutnya yang pirang dengan sebelah tangan. "Ayo. Coba lagi."

Dengan langkah gemetar aku mundur menjauhinya. Aku tak ingin


menghantamnya lagi. Lalu aku mengambil ancang-ancang dan
mengayunkan tongkat.
"Bagaimana?" tanyanya.

"L-lumayan," jawabku.

Ia mengacungkan jempol dan berpaling kepada Ronni.

Wah! pikirku. Ada apa ini?

Pukulanku tadi cukup keras untuk mematahkan tulang rusuknya. Atau


paling tidak membuatnya meraung-raung kesakitan.

Tapi sepertinya Buddy sama sekali tidak sadar bahwa ia kena hantam!

Ada apa ini?

Waktu makan malam kuceritakan kejadian itu kepada Jan dan Ivy.

Jan ketawa. "Barangkali pukulanmu tidak sekeras yang kauduga."

"Tapi bunyinya mengerikan sekali! Seperti bunyi telur pecah!" seruku.


"Dan ia cuma tersenyum dan berbicara seperti tidak terjadi apa-apa."

"Kurasa dia menunggu sampai kau tidak bisa melihatnya. Habis itu
baru dia meraung-raung!" Ivy menduga-duga.

Aku memaksakan diri untuk ikut ketawa bersama kedua temanku.


Tapi dalam hati aku pikir ini tidak lucu.

Terlalu banyak kejadian aneh di sini.

Mana mungkin ada orang kena hantam di dadanya seperti itu tapi
sama sekali tidak bereaksi!
Tim kami kalah sepuluh angka. Tapi setelah kejadian itu, aku tidak
bisa berkonsentrasi.

Aku melirik ke meja pembina di seberang ruangan. Buddy duduk di


ujung, ia sedang bercanda dengan Holly. Sepertinya ia memang tidak
apa-apa.

Sepanjang makan malam aku terus melirik ke arahnya. Bunyi tokkk


yang dibuat tongkatku ketika menghantam dadanya masih terngiang-
ngiang di telingaku. Aku tidak bisa melupakan kejadian itu.

Aku terus memikirkannya ketika kami berjalan ke lapangan atletik


untuk menyaksikan Upacara Juara. Angin bertiup cukup keras. Obor-
obor yang dibawa tampak berkerlap-kerlip dan nyaris padam.

Pohon-pohon di sekeliling lapangan atletik pun bergoyang-goyang


dan merunduk. Dahan-dahan pohon seolah-olah hendak menjangkau
tanah.

Musik mars kembali terdengar, dan para pemenang berpawai


melewati tribun. Rose melambaikan tangan ketika melihatku. Jeff
berjalan dengan bangga di bagian belakang barisan, enam King Coin
menggantung di lehernya.

Seusai upacara aku cepat-cepat kembali ke kamar dan langsung naik


ke tempat tidur. Terlalu banyak pikiran mencemaskan yang
berkecamuk dalam benakku. Aku ingin segera tidur untuk melupakan
semuanya.

Pada waktu sarapan keesokan paginya, Rose dan Jeff sudah


menghilang.
AKU mencari Rose dan Jeff. Aku juga mencari adikku sepanjang
pagi. Ia pasti sedang mengikuti salah satu pertandingan olahraga. Aku
berjalan dari lapangan sepak bola di ujung sebelah sini sampai ke
tempat berlatih golf di ujung sebelah sana, tapi aku tidak melihatnya.

Jangan-jangan Elliot ikut menghilang?

Pikiran yang mengerikan itu terus menghantuiku.

Kami harus kabur dari camp ini!

Kata-kata itu terus kuulangi dalam hati sambil menyusuri jalan-jalan


setapak yang bersilangan.

Ke mana pun aku pergi, King Jellyjam menatapku sambil nyengir.


Gambarnya ada di mana-mana. Dan senyumnya membuatku
merinding.

Aku semakin yakin ada yang tidak beres di sini. Dan semakin lama
aku berkeliling untuk mencari adikku, semakin waswas pula
perasaanku.

Buddy menemuiku sehabis makan siang. Ia menggiringku kembali ke


lapangan softball. "Wendy, kau tidak bisa meninggalkan tim-mu
begitu saja," katanya tegas. "Lupakan soal kemarin. Kau masih punya
kesempatan. Kalau tim-mu menang hari ini, maka kalian semua akan
memenangkan King Coin."
Aku tidak mau memenangkan King Coin. Aku mau bertemu
orangtuaku. Aku mau bertemu adikku. Dan aku mau pergi dari sini!

Hari ini aku tidak jadi pitcher. Aku mengambil posisi di sisi kiri
lapangan. Di situ aku punya cukup waktu untuk berpikir.

Aku merencanakan pelarian kami.

Mestinya tidak terlalu sukar, kataku dalam hati. Elliot dan aku akan
menyusup keluar sehabis makan malam, saat semua orang sedang
asyik menyaksikan Upacara Juara. Kami akan menuruni bukit dan
kembali ke jalan raya. Dari situ kami akan berjalan kaki atau
menumpang mobil menuju ke kota terdekat yang memiliki kantor
polisi.

Dengan bantuan polisi, aku yakin kami bisa menemukan Mom dan
Dad dalam waktu singkat.

Gampang sekali, bukan? Nah, sekarang tinggal menemukan Elliot.

Tim-ku kalah tujuh sembilan.

Aku melakukan kesalahan yang sekaligus mengakhiri pertandingan.


Anak-anak yang lain kecewa sekali, tapi aku sama sekali tidak peduli.

Sampai sekarang belum satu King Coin pun yang kumenangkan.


Ketika kami menuju ke asrama, kulihat Buddy memperhatikanku. Ia
kelihatan jengkel.

"Wendy—setelah ini kau ikut olahraga apa?" serunya padaku.


Aku berlagak tidak mendengarnya dan terus saja berjalan.

Olahragaku yang berikut adalah lari, pikirku dengan galau. Lari dari
tempat yang mengerikan ini.

Tanah mulai bergetar dan bergoyang ketika aku melewati gedung


utama. Kali ini aku tidak ambil pusing dan terus berjalan ke asrama.

Elliot baru kutemukan sehabis makan malam. Aku melihatnya keluar


lewat pintu ruang makan bersama dua temannya. Mereka asyik
mengobrol, tertawa-tawa, dan saling membenturkan dada sambil
berjalan.

"Elliot!" aku memanggil sambil mengejarnya. "Hei, Elliot—tunggu!"

Ia berpaling. "Oh. Hai," katanya. "Bagaimana, beres?"

"Kau lupa ya kalau kau punya kakak?" tanyaku dengan gusar.

Ia menatapku sambil memicingkan mata. "Apa sih maumu?"

"Ke mana saja kau?" tanyaku.

Serta-merta ia nyengir lebar. "Aku sibuk memenangkan ini!"


sahutnya. Ia mengangkat kalung di lehernya untuk memamerkan
keping-keping emasnya. "Aku sudah dapat lima."

"Hebat," ujarku sinis. "Elliot—kita harus pergi dari sini!"

"Hah? Pergi?" Ia mengerutkan kening karena bingung.

"Ya," aku berkeras. "Kita harus keluar dari camp ini—malam ini
juga!"
"Tidak bisa," balas Elliot. "Pokoknya tidak bisa."

Beberapa anak melewati kami. Mereka sedang menuju ke tempat


Upacara Juara. Aku mengikuti Elliot keluar lewat pintu ruang makan.
Kemudian aku menariknya dari jalan setapak, ke rumput di sisi
bangunan.

"Kau tidak bisa pergi? Kenapa tidak bisa?" tanyaku.

"Soalnya aku harus memenangkan King Coin keenam dulu,"


jawabnya. Sekali lagi ia memamerkan keping-keping emas yang telah
diperolehnya.

"Elliot—tempat ini berbahaya!" aku berseru. "Dan Mom dan Dad


pasti sudah—"

"Ah, kau cuma iri," ia memotong sambil menyodorkan semua King


Coin-nya ke depan hidungku. "Kau belum dapat satu pun—ya, kan?"

Tanganku langsung mengepal. Rasanya aku ingin mencekiknya.


Sungguh.

Ia selalu ingin bersaing. Ia selalu ingin menang dalam segala hal.

Aku menarik napas panjang dan berusaha berbicara dengan tenang.


"Elliot, kau tidak mencemaskan Mom dan Dad?"

Sejenak pandangannya beralih ke rumput. "Sedikit."

"Nah, kita harus pergi dari sini dan mencari mereka!" ujarku berapi-
api.
"Besok, deh," sahutnya. "Setelah pertandingan atletik besok pagi.
Setelah aku dapat kepingku yang keenam."

Aku membuka mulut untuk berdebat dengannya. Tapi untuk apa?

Aku tahu kadang-kadang adikku sangat keras kepala. Kalau ia sudah


berniat memenangkan satu keping lagi, maka ia takkan pergi sebelum
berhasil.

Percuma saja berdebat dengannya. Dan aku juga tidak mungkin


menyeretnya pergi. "Begitu pertandingan atletik selesai besok pagi,"
kataku padanya, "kita pergi dari sini! Tidak peduli kau menang atau
kalah. Setuju?"

Elliot berpikir sejenak. "Oke. Setuju," akhirnya ia berkata. Kemudian


ia pergi bersama kedua temannya.

Kali ini ada empat anak yang ikut dalam Upacara Juara. Sambil
menonton dari tribun, aku memikirkan anak-anak yang sudah ikut
sebelumnya.

Dierdre. Rose. Jeff...

Apakah mereka semua sudah pulang ke rumah masing-masing?


Apakah mereka dijemput orangtua mereka? Apakah mereka sudah
selamat sampai di rumah masing-masing?

Barangkali aku merasa cemas tanpa alasan, kataku dalam hati.


Semua orang di camp ini tampak riang gembira. Kenapa cuma aku
yang merasa kuatir?

Lalu aku teringat bahwa aku bukan satu-satunya orang yang cemas.

Wajah Alicia yang basah karena air mata langsung terbayang.

Apa yang dilihatnya hingga ia begitu ketakutan? Kenapa ia begitu


ngotot mewanti-wanti kami agar segera pergi?

Kemungkinan besar aku takkan pernah tahu, pikirku.

Setelah Upacara Juara selesai, aku enggan kembali ke asrama. Aku


tahu aku pasti takkan bisa tidur. Terlalu banyak masalah yang
membebani pikiranku.

Sementara anak-anak lain menuju ke kamar masing-masing, aku


menyelinap ke bayang-bayang pepohonan. Kemudian aku menyusuri
jalan setapak ke bukit landai yang menuju ke gedung utama.

Sambil bersembunyi di balik semak-semak, aku merebahkan diri di


rumput. Hawanya sejuk dan langit tertutup awan. Udara malam terasa
lembap.

Aku memandang ke langit. Bulan dan bintang tertutup awan. Di


kejauhan aku melihat titik-titik cahaya berwarna merah bergerak
melintasi kegelapan. Pesawat terbang. Dalam hati aku bertanya ke
mana pesawat itu pergi.

Jangkrik-jangkrik mulai bersuara. Angin membelai-belai rambutku.


Sekali lagi aku memandang ke langit yang tak berbintang. Aku
berusaha mengendurkan otot-otot dan menenangkan pikiran.

Setelah beberapa menit aku mendengar suara-suara. Bunyi langkah.

Serta-merta aku berlutut dan menunduk di balik semak-semak.

Suara-suara itu bertambah keras. Aku mendengar suara tawa anak


cewek.

Dengan hati-hati aku mengintip dari tempat persembunyianku. Aku


melihat dua pembina bergegas menyusuri jalan setapak menuju ke
puncak bukit.

Di belakang mereka serombongan pembina lain juga berjalan cepat ke


arah bukit. Sepertinya mereka semua sedang terburu-buru.

Mereka mau ke gedung utama, kataku dalam hati. Barangkali ada


pertemuan pembina di sana.

Seragam mereka yang serba putih mudah terlihat, biarpun malam


begitu gelap. Sambil berjaga-jaga agar tidak terlihat, aku
memperhatikan mereka menaiki bukit.

Di luar dugaanku mereka ternyata tidak masuk ke gedung utama.


Mereka membelok beberapa meter sebelum pintu masuk dan
menyusup ke hutan.

Mau ke mana mereka?


Aku melihat dua rombongan pembina lain menyusul ke hutan. Wah,
kelihatannya ada sekitar seratus pembina di camp ini. Dan semuanya
malam ini masuk ke hutan.

Setelah yakin semua pembina sudah lewat, aku berdiri pelan-pelan.

Aku memandang ke hutan. Tapi yang terlihat hanya kegelapan.


Bayangan demi bayangan.

Tiba-tiba aku mendengar suara lagi. Cepat-cepat aku kembali


bersembunyi.

Aku mengintip dari balik semak-semak, dan melihat Holly dan


Buddy. Mereka berjalan berdampingan, dengan langkah panjang.

Aku menunggu sampai mereka lewat. Kemudian aku langsung berdiri.

Sambil menyelinap dari satu bayangan ke bayangan berikut, aku


mengikuti mereka ke dalam hutan.

Aku sama sekali tidak memikirkan risiko ketahuan. Aku harus


mencari tahu pergi ke mana semua pembina itu.

Buddy dan Holly berjalan dengan cepat menerobos hutan. Mereka


membelah ilalang tinggi dan melangkahi pohon-pohon tumbang.

Tiba-tiba aku melihat bangunan putih di hadapanku. Bangunan itu


seakan-akan bercahaya dalam kegelapan malam.

Dinding-dindingnya rendah. Bagian atapnya melengkung.


Aku memicingkan mata dari balik pepohonan. Kelihatannya seperti
igloo, rumah orang Eskimo, pikirku.

Bangunan apa ini? aku bertanya-tanya. Dan kenapa bangunannya


tersembunyi di tengah hutan?

Di salah satu sisi terdapat pintu masuk yang menyerupai lubang gelap.
Holly melangkah masuk. Buddy segera mengikutinya.

Aku menunggu hampir satu menit. Kemudian aku pun menyusul


mereka.

Jantungku berdegup-degup. Bangunannya aneh sekali. Bulat, dan licin


bagaikan es.

Aku berhenti sejenak. Aku mengintip melalui pintu masuk, tapi tidak
bisa melihat apa pun di dalamnya. Tak ada suara yang terdengar.

Apa yang harus kulakukan? aku bertanya pada diriku sendiri.

Haruskah aku masuk?

Ya.

Aku menarik napas panjang, lalu melangkah maju.


AKU menuruni tiga anak tangga yang menuju ke ruangan yang
remang-remang. Satu-satunya sumber cahaya adalah sebuah lampu
berwarna merah yang dipasang di dekat lantai.

Aku maju pelan-pelan. Kemudian aku berhenti dan pasang telinga.

Samar-samar aku mendengar suara-suara dari ruang sebelah.

Sambil meraba-raba permukaan dinding beton yang tidak diplester,


aku bergerak mendekati suara-suara itu. Dalam waktu singkat aku
menemukan sebuah pintu terbuka di sebelah kananku.

Aku kembali berhenti. Kemudian, hati-hati sekali aku memberanikan


diri untuk mengintip.

Aku memandang ke ruangan besar berbentuk bujur sangkar. Empat


obor yang terpasang pada dinding di bagian depan memancarkan
cahaya jingga yang berkerlap-kerlip.

Para pembina menduduki bangku-bangku panjang yang terbuat dari


kayu. Semuanya menghadap ke panggung rendah di depan. Di atasnya
terbentuk spanduk berwarna ungu dengan tulisan: HANYA YANG
TERBAIK.

Rupanya ini gedung teater, pikirku. Semacam tempat pertemuan.

Tapi kenapa letaknya di tengah-tengah hutan? Dan kenapa semua


pembina berkumpul di sini malam-malam begini?
Aku tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan jawaban
pertanyaanku.

Buddy naik ke panggung. Dengan langkah panjang ia berjalan dalam


cahaya obor yang berkerlap-kerlip, lalu berbalik menghadap rekan-
rekannya.

Aku beringsut maju. Di bagian belakang ruangan itu tak ada obor.
Keadaannya gelap gulita.

Sambil berjinjit aku menyusuri dinding belakang.

Aku menemukan semacam lemari yang pintunya terbuka, dan tanpa


pikir panjang aku menyelinap masuk.

Buddy mengangkat kedua tangan. Para pembina langsung berhenti


mengobrol. Seketika semuanya duduk tegak dan memandang ke arah
panggung.

"Sudah waktunya untuk menyegarkan diri," Buddy berseru. Suaranya


bergema pada dinding-dinding beton.

Para pembina duduk dengan kaku. Tak seorang pun bergerak. Tak
seorang pun bersuara.

Buddy mengeluarkan keping emas dari sakunya. Pasti sebuah King


Coin, kataku dalam hati. Keping itu tergantung pada rantai emas yang
panjang.

"Sudah waktunya untuk menyegarkan diri," ujar Buddy. "Sudah


waktunya untuk memantapkan misi kita."
Keping emas itu diangkatnya tinggi-tinggi. Permukaannya tampak
berkilau-kilau dalam cahaya obor. Buddy mulai mengayun-
ayunkannya. Maju¬mundur. Pelan-pelan.

"Kosongkan pikiran kalian," katanya kepada rekan-rekannya. Nada


suaranya terdengar lembut. "Kosongkan pikiran kalian, seperti aku
mengosongkan pikiranku."

Keping emas yang berkilau-kilau itu berayun maju-mundur. Maju-


mundur. Perlahan-lahan. "Kosongkan... kosongkan... kosongkan
pikiran kalian," Buddy berkata, seakan-akan membaca mantra. Ia
menghipnotis mereka! aku menyadari.

Buddy menghipnotis semua pembina lain. Dan ia sendiri juga sudah


dihipnotis!

Aku maju selangkah. Rasanya yang kulihat dan kudengar itu tak bisa
kupercaya!

"Kosongkan pikiran kalian untuk mengabdi kepada sang pemimpin!"


kata Buddy. "Itulah sebabnya kita berada di sini. Untuk mengabdi
kepada sang pemimpin dalam segenap kemuliaannya!"

"Mengabdi kepada sang pemimpin!" para pembina lain menyahut


berbarengan.

Siapa sang pemimpin itu? tanyaku dalam hati. Apa maksud mereka?

Buddy terus berbicara kepada para pembina. Matanya terbuka lebar.


Tak sekali pun ia berkedip. "Kita tidak berpikir!" ia berseru. "Kita
tidak merasa! Kita menyerahkan seluruh diri kita untuk mengabdi
kepada sang pemimpin!"

Tiba-tiba aku mendapatkan jawaban terhadap beberapa pertanyaanku.

Sekarang aku tahu kenapa Buddy tidak meraung-raung kesakitan,


kenapa ia tidak ambruk ketika tongkat softball menghantam dadanya.

Ia berada di bawah pengaruh hipnotis.

Ia dalam keadaan tidak sadar. Ia tidak merasakan hantaman tongkat


itu. Ia tidak merasakan apapun.

"Hanya Yang Terbaik!" teriak Buddy sambil mengacungkan kedua


tangannya yang terkepal.

"Hanya Yang Terbaik!" para pembina mengikutinya. Wajah mereka


yang tak berkedip tampak aneh, seakan-akan beku, dalam cahaya
jingga yang menari-nari.

"Hanya Yang Terbaik! Hanya Yang Terbaik!"

Slogan itu mereka serukan berulang-ulang. Suara-suara mereka


bergema keras pada dinding-dinding. Hanya mulut mereka yang
bergerak. Seperti boneka.

"Hanya Yang Terbaik yang pantas mengabdi sang pemimpin!" seru


Buddy.

"Hanya Yang Terbaik!" rekan-rekannya menyahut sekali lagi.


Sejak awal pertemuan Buddy terus mengayun-ayunkan keping
emasnya. Kini ia menyimpannya kembali ke dalam saku celananya.

Suasana menjadi hening.

Hening dan menyeramkan.

Kemudian, aku pun bersin.


CEPAT-CEPAT kututup mulutku dengan sebelah tangan. Terlambat.

Aku bersin lagi.

Saking kagetnya, Buddy sampai melongo. Kemudian ia menuding-


nuding ke arahku.

Langsung saja beberapa pembina berdiri dan berbalik.

Aku berpaling ke pintu. Sanggupkah aku meloloskan diri sebelum


salah satu dari mereka menangkapku?

Tidak.

Aku takkan sempat berlari ke pintu.

Kakiku gemetaran. Tapi aku memaksakan diri untuk melangkah. Aku


mundur ke dinding belakang.

Kenapa aku nekat masuk begitu jauh? Kenapa aku tidak mengintip
dari pintu saja?

"Siapa itu?" aku mendengar Buddy berseru. "Ah, gelap sekali. Siapa
itu?"

Bagus! pikirku. Ia tidak tahu kalau aku yang menyusup masuk.

Tapi sebentar lagi aku bakal ditangkap dan diseret ke tempat terang.
Aku kembali mundur selangkah. Lalu selangkah lagi.

Kegelapan menyelubungiku.

Aku berbalik. "Ohh!" seruku ketika menyadari aku nyaris jatuh ke


tangga yang curam sekali.

Tempat persembunyianku ternyata bukan lemari sungguhan.

Tangga batu yang hitam membelok ke bawah. Menuju ke mana


tangga itu?

Aku tidak bisa menebaknya. Tapi aku tidak punya pilihan. Tangga itu
satu-satunya jalan bagiku untuk meloloskan diri.

Sambil menempelkan pundak ke dinding aku bergegas menuruni


tangga. Sepatuku tergelincir di tangga batu yang licin.

Hampir saja aku terpeleset dan terjun dengan kepala lebih dulu. Tapi
untung saja aku masih sempat berpegangan dan menjaga
keseimbangan.

Tangganya berputar-putar. Turun terus.

Udara mulai panas dan berbau tidak sedap. Aku menahan napas.
Baunya seperti susu basi.

Gemuruh aneh terdengar dari bawah.

Aku berhenti untuk menarik napas.

Dan pasang telinga.


Gemuruh itu terdengar lagi. Embusan udara apak menusuk-nusuk
hidungku.

Aku menoleh ke belakang. Apakah ada yang mengejarku? Apakah


para pembina sempat melihatku kabur lewat pintu lemari yang
terbuka?

Tidak. Keadaannya terlalu gelap. Aku tidak mendengar suara apa pun
dari atas. Mereka tidak mengikutiku.

Aduh, apa sih yang berbau begitu tajam di bawah sana?

Sebenarnya aku ingin berhenti saja. Aku enggan turun lebih jauh lagi.

Tapi aku tidak punya pilihan. Aku tahu orang-orang di atas pasti
sedang mencari-cari.

Sambil berpegangan pada dinding batu, aku kembali menuruni tangga.

Akhirnya aku sampai di sebuah terowongan yang panjang dan sempit.


Udaranya bertambah panas dan lembap. Sepatuku menginjak-injak air
yang tergenang di dasar terowongan.

Kira-kira ke mana arah terowongan ini? aku bertanya dalam hati.


Apakah aku bisa keluar lewat sini?

Aku maju pelan-pelan. Ketika hampir tiba di ujung terowongan,


embusan udara apak menyergapku. Aku terbatuk-batuk dan berusaha
keras agar perutku tidak berontak.

Baunya memualkan sekali!


Seperti daging busuk dicampur telur busuk. Seperti sampah yang
dibiarkan terjemur matahari selama berhari-hari.

Kutempelkan kedua tanganku pada mulutku. Baunya begitu keras


sehingga aku bisa mengecapnya!

Aku hampir muntah. Satu kali. Dua kali.

Jangan pedulikan bau itu! kataku dalam hati. Pikirkan hal lain.
Pikirkan bunga segar. Pikirkan parfum yang harum.

Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi akhirnya aku berhasil


menenangkan perutku.

Kemudian, sambil menjepit hidung rapat-rapat agar baunya tidak


masuk, aku memaksakan diri melangkah ke ujung terowongan.

Aku berhenti ketika tiba di sebuah ruangan besar yang terang


benderang.

Lalu aku membelalakkan mata—sebab di hadapanku tampak


pemandangan paling buruk dan paling mengerikan yang pernah
kulihat seumur hidup!
SAMBIL memicingkan mata karena silau, aku melihat lusinan anak
yang membawa tongkat pel, ember, dan selang air.

Semula aku menyangka mereka sedang membersihkan balon ungu


berukuran raksasa. Lebih besar dari balon mana pun di pawai
Thanksgiving Day!

Tapi ketika disiram air dan digosok-gosok dengan tongkat pel, balon
itu mendadak mengerang keras-keras.

Serta-merta aku sadar bahwa yang kulihat itu bukan balon. Aku
sedang melihat makhluk. Dan makhluk itu hidup. Aku sedang
menatap monster.

Aku sedang menatap King Jellyjam.

Ternyata ia bukan maskot kecil yang lucu, tapi gumpalan lendir


berwarna ungu hampir sebesar rumah. Gumpalan raksasa bermahkota
emas.

Sepasang mata sebesar sapi tampak berputar-putar di kepalanya.


Kedua mata itu berwarna kuning dan berair terus. Ia berkecap-kecap
dengan bibir ungunya yang tebal, lalu mengerang lagi. Gumpalan-
gumpalan lendir berwarna putih menetes-netes dari lubang hidungnya
yang besar dan berbulu.
Bau memuakkan yang kucium sejak tadi ternyata berasal dari badan
King Jellyjam. Meskipun aku sudah menjepit hidung rapat-rapat, bau
menjijikkan itu tetap tercium juga. Baunya seperti ikan mati, sampah
busuk, susu basi, dan karet dibakar—sekaligus!

Mahkota emasnya bergeser-geser di puncak kepalanya yang licin.


Perutnya yang ungu mengembang dan mengempis, seakan-akan
ombak samudra sedang bergelora di dalamnya. Dan ia bersendawa
begitu keras sehingga dinding-dinding bergetar.

Anak-anak di ruangan itu—aku melihat lusinan-bekerja tanpa henti.


Mereka mengelilingi monster jelek itu. Mereka menyiramnya dengan
selang. Menggosok-gosok tubuhnya dengan tongkat pel,spons dan
sikat.

Dan sambil bekerja, mereka dihujani benda-benda kecil berbentuk


bulat. Klik. Klik. Klik. Benda-benda berjatuhan ke lantai.

Keong!

Keong-keong muncul dari kulit King Jellyjam. Aku ingin muntah lagi
sewaktu menyadari bahwa keringat makhluk itu berupa keong!
Terhuyung-huyung aku mundur ke terowongan sambil menempelkan
tangan ke mulut.

Aku tidak habis pikir bagaimana anak-anak itu bisa tahan menghadapi
bau memuakkan yang menyelubungi mereka.

Kenapa mereka membersihkan makhluk itu? Kenapa mereka bekerja


begitu keras?
Aku menahan napas ketika mengenali beberapa dari mereka.

Alicia!

Ia memegang selang dengan kedua tangan dan menyiram perut King


Jellyjam yang menggembung. Rambutnya yang merah tampak basah
kuyup dan melekat di keningnya. Dan ia terus menangis sambil
bekerja.

Aku juga melihat Jeff. Ia sedang menggosok bagian samping monster


itu dengan tongkat pel.

Aku membuka mulut untuk memanggil Alicia dan Jeff. Tapi suaraku
seolah-olah tersangkut di tenggorokan.

Dan kemudian seseorang berlari ke arahku. Terhuyung-huyung.


Memasuki terowongan. Melangkah keluar dari cahaya yang terang-
benderang.

Dierdre!

Dengan sebelah tangan ia memegang spons yang menetes-netes.


Rambutnya yang pirang melekat di kepala. Pakaiannya kusut dan
basah kuyup.

"Dierdre!" aku memekik tertahan.

"Pergi dari sini!" ia berseru. "Cepat, Wendy —lari!"

"Tapi—tapi—" aku tergagap-gagap. "Ada apa ini? Kenapa kau ada di


sini?"
Dierdre terisak-isak. "Hanya Yang Terbaik," bisiknya. "Hanya Yang
Terbaik yang dijadikan budak King Jellyjam!"

"Hah?" Aku menatapnya sambil melonga, sementara dia menggigil


kedinginan di hadapanku.

"Coba lihat," seru Dierdre. "Anak-anak yang berada di sini semuanya


juara. Semuanya sudah dapat enam keping. Dia mendapatkan anak-
anak yang paling kuat. Yang paling ulet."

"Tapi—kenapa?" tanyaku.

Keong-keong masih terus bermunculan dari kulit makhluk itu, dan


berjatuhan ke lantai. Embusan berbau busuk menyelubungi kami
ketika King Jellyjam kembali bersendawa.

"Kenapa kalian semua sibuk membersihkan dia?" aku bertanya pada


Dierdre.

"Dia—dia harus dimandikan terus-menerus," jawab Dierdre sambil


berusaha menahan tangis. "Dia harus basah terus. Dan dia tidak tahan
baunya sendiri. Jadi dia membawa anak-anak yang paling kuat ke
bawah sini. Dan kami dipaksa membersihkannya siang dan malam."

"Tapi, Dierdre—" aku berusaha menyela.

"Kalau kami berhenti bekerja," ia melanjutkan, "kalau kami nekat


mencoba beristirahat, kami —kami bakal dimakan!" Seluruh tubuhnya
bergetar hebat. "Dia—dia sudah makan tiga anak hari ini!"

"Ya ampun!" aku berseru karena ngeri.


"Dia begitu menjijikkan," Dierdre meratap. "Dari badannya terus
keluar keong... dan baunya, minta ampun."

Ia meraih lenganku. Tangannya basah dan dingin.

"Para pembina dihipnotis," bisiknya. "Mereka sepenuhnya di bawah


kendali King Jellyjam." "A-aku tahu," kataku.

"Pergi dari sini! Cepat!" Dierdre mendesak sambil meremas tanganku.


"Cari bantuan, Wendy. Tolonglah kami—"

Bunyi gemuruh membuat kami tersentak kaget. "Oh, aduh!" Dierdre


memekik. "Dia melihat kita! Sekarang sudah terlambat!"
SUARA monster itu kembali menggelegar.

Dierdre mengendurkan genggamannya. Sambil gemetaran karena


ngeri, kami berdua berpaling ke arah King Jellyjam.

Ternyata ia meraung sekadar untuk membuat semua orang ketakutan.


Matanya yang kuning dan berair terpejam rapat. Ia belum melihat
Dierdre dan aku.

"Cari bantuan!" Dierdre berbisik padaku. Kemudian ia mengangkat


sponsnya dan berlari ke sisi King Jellyjam.

Sejenak aku berdiri seperti patung. Aku sampai tidak bisa bergerak
saking ngerinya.

Raungan monster itu membuatku lari terbirit-birit menyusuri


terowongan. Paling tidak, sekarang aku sudah tahu kenapa tanah di
camp begitu sering terguncang-guncang!

Bau memuakkan dari ruang bawah tanah itu terus mengikutiku ketika
aku menaiki tangga batu yang berputar-putar. Aku takut bau itu akan
terus melekat pada diriku. Jangan-jangan aku takkan pernah bisa
bernapas bebas lagi.

Bagaimana aku bisa menolong anak-anak itu? tanyaku dalam hati.


Apa yang bisa kulakukan?

Aku terlalu takut untuk berpikir dengan tenang.


Ketika aku berlari menerobos kegelapan, aku membayangkan King
Jellyjam berkecap-kecap dengan bibirnya yang ungu. Aku
membayangkan bagaimana ia memutar-mutar matanya yang kuning.
Sementara keong-keong hitam terus bermunculan dari kulitnya.

Perutku terasa mual ketika aku sampai di puncak tangga. Tapi aku
tahu aku tidak punya waktu untuk memikirkan diriku. Anak-anak
yang dipaksa menjadi budak monster itu harus kuselamatkan. Begitu
juga anak-anak lain di camp—sebelum mereka pun ikut jadi korban.

Aku menyembulkan kepala lewat pintu lemari. Keempat obor di


bagian depan ruang pertemuan masih menyala. Tapi ruangannya
sudah kosong.

Ke mana para pembina itu? Apakah mereka sedang mencari-cari aku


di luar?

Kemungkinan besar sih begitu.

Apa yang harus kulakukan sekarang? aku bertanya dalam hati. Aku
tidak mungkin bermalam di dalam lemari ini. Aku harus menghirup
udara segar. Aku harus mencari tempat di mana aku bisa berpikir
dengan tenang.

Dengan hati-hati aku meninggalkan igloo itu. Melangkah ke malam


yang tak berbintang. Sambil bersembunyi di balik pohon besar, aku
mengamati keadaan sekeliling.
Berkas-berkas sinar berwarna putih berkerlap-kerlip di balik
pepohonan. Cahaya senter.

Ya, pikirku. Para pembina sedang mencariku.

Aku mundur, menjauhi berkas-berkas sinar yang saling bersilangan.


Sambil berusaha untuk tidak bersuara, aku menyelinap di antara
pohon-pohon dan ilalang, menuju ke jalan setapak yang akan
membawaku ke gedung utama.

Barangkali aku bisa kembali ke asrama dan memperingatkan semua


anak. Tapi apakah mereka akan percaya? Dan bagaimana kalau ada
pembina yang berjaga-jaga di situ? Bagaimana kalau mereka sengaja
menunggu aku muncul?

Aku mendengar suara-suara di jalan setapak. Cepat-cepat aku


bersembunyi di balik pohon dan membiarkan dua pembina lewat.
Cahaya senter di tangan mereka menyapu seluruh lereng bukit.

Begitu mereka tidak kelihatan, aku keluar dari persembunyianku. Aku


berlari menuruni bukit. Sambil berlindung di kegelapan bayang-
bayang, aku bergegas melewati kolam renang. Melewati deretan
lapangan tenis. Semuanya gelap dan sunyi.

Semak-semak tinggi di sisi lapangan atletik akan melindungiku dari


segala arah, pikirku. Cepat-cepat aku menyelinap. Napasku terengah-
engah. Aku segera berlutut dan merangkak ke tempat
persembunyianku yang baru.
Aku menduduki lapisan daun cemara di bawah semak-semak. Dan
memandang berkeliling. Tak ada apa-apa selain kegelapan yang pekat.

Aku menarik napas panjang. Satu kali. Dua kali. Udaranya begitu
segar.

Aku harus berpikir, aku berkata dalam hati. Harus berpikir...

Aku terbangun karena suara-suara yang berseru-seru.

Rupanya aku sempat ketiduran. Wah, di mana aku?

Aku berkedip beberapa kali. Lalu duduk tegak sambil meregangkan


otot-otot. Seluruh tubuhku terasa kaku. Punggungku pegal sekali.

Aku memandang berkeliling. Ternyata aku masih di tempat


persembunyianku di tengah semak-semak. Hari sudah terang, tapi
langit masih mendung dan kelabu. Matahari masih berusaha
menembus lapisan awan dengan sinarnya.

Dan suara-suara yang kudengar?

Siapa itu yang bersorak-sorai?

Aku berdiri dan mengintip dari balik semak-semak.

Pertandingan atletik! Pertandingannya baru saja dimulai. Aku melihat


enam anak cowok dengan celana pendek dan t-shirt, berlari sekuat
tenaga mengelilingi lapangan. Segerombolan anak dan pembina
berseru-seru menyemangati mereka.
Dan siapa yang berada paling depan?

Elliot!

"Aduh!" seruku. Suaraku masih parau karena aku baru bangun.

Aku keluar dari semak-semak. Melintasi rumput, menuju lapangan.

Aku tahu aku harus menghentikan Elliot. Ia tidak boleh memenangkan


pertandingan ini. Jangan sampai ia mendapatkan kepingnya yang
keenam. Kalau ia sampai menang, maka ia juga bakal dijadikan
budak!

Elliot berlari dengan kencang. Ia berada jauh di depan kelima pelari


lainnya.

Apa yang harus kulakukan? Apa?

Tiba-tiba aku teringat isyaratku.

Suitanku dengan dua jari. Isyaratku agar Elliot jangan terlalu


menggebu-gebu.

Ia akan mendengarnya dan mengurangi kecepatan, kataku dalam hati.

Kutempelkan dua jari ke bibir.

Kemudian aku meniup keras-keras.


Tapi tak ada suara apa pun. Mulutku terlalu kering.
Jantungku berdegup-degup. Aku mencoba sekali lagi.
Tetap saja tidak berhasil.
Elliot memasuki putaran terakhir. Aku tidak bisa berbuat apa-apa
untuk mencegah kemenangannya.
AKU tidak bisa berbuat apa-apa—kecuali kalau aku bisa
menduluinya.

Sambil memekik keras aku menerjang maju dan mulai berlari ke


lintasan.

Langkahku berdebam-debam di rumput. Pandanganku melekat pada


Elliot dan garis finis. Tambah kencang. Lebih kencang lagi.

Kalau saja aku bisa terbang.

Sorak-sorai para penonton terdengar membahana ketika Elliot


mendekati garis finis. Kelima pelari lain tertinggal jauh di
belakangnya.

Aku telah sampai di lintasan yang berlapis aspal. Dadaku serasa mau
pecah. Setiap tarikan napas membuatku seperti ditusuk-tusuk.
Napasku tersengal-sengal.

Lebih kencang. Lebih kencang.

Aku mendengar orang-orang berseru kaget ketika aku melesat di


lintasan. Aku mendekati Elliot, mengangkat kedua tangan—dan
menyergapnya dari belakang.

Kami sama-sama jatuh, berguling-guling di lintasan yang keras, lalu


di rumput. Para pelari yang lain melewati kami dan terus menuju ke
garis finis.
"Wendy, apa-apaan sih kau!?" Elliot membentakku sambil berdiri.

"A-aku tidak bisa menjelaskannya sekarang!" balasku. Aku megap-


megap dan berusaha menenangkan diri agar dadaku tidak terlalu nyeri.

Aku bangkit dan menggamit lengan Elliot. Dengan kesal ia menarik


tangannya. "Kenapa kau menjegalku, Wendy? Kenapa?"

Aku melihat tiga pembina bergegas menghampiri kami.

"Cepat—!" kataku. Serta-merta kuseret Elliot. "Pokoknya cepat!"

Aku seolah melihat rasa ngeri terpancar dari matanya. Sepertinya ia


menyadari bahwa ia kusergap karena memang tidak ada jalan lain.
Kelihatannya ia sadar aku tidak main-main.

Elliot berhenti memprotes dan mulai berlari.

Ia mengikutiku menaiki bukit di samping gedung utama. Memasuki


hutan.

"Mau ke mana kita?" tanyanya terengah-engah. "Ada apa


sebenarnya?"

"Sebentar lagi kau bakal lihat sendiri!" jawabku. "Bersiap-siaplah


menyambut bau busuk!"

"Hah? Wendy—kau sudah gila, ya?"

Aku tidak menyahut. Aku terus saja berlari. Aku mengajaknya ke


tengah hutan. Ke bangunan yang menyerupai igloo.
Ketika kami sampai di pintu masuk yang rendah, aku menoleh untuk
melihat apakah ada yang mengikuti kami. Tak seorang pun kelihatan.

Elliot mengikutiku ke ruang pertemuan. Obor-obor telah padam.


Suasana gelap gulita.

Sambil meraba-raba aku menyusuri dinding belakang sampai ke pintu


lemari. Kemudian aku membukanya dan mulai menuruni tangga.

Di tengah jalan kami sudah disambut bau yang membuat perut serasa
diaduk-aduk. Elliot berseru tertahan dan langsung menutup mulut dan
hidungnya. "Huh, baunya minta ampun!" Seruan itu teredam di balik
kedua tangannya.

"Ini belum seberapa," ujarku. "Jangan pedulikan baunya."

Kami berlari berdampingan menyusuri terowongan yang panjang.


Sebenarnya Elliot ingin kuperingatkan dulu. Aku ingin
memberitahukan apa yang bakal dilihatnya.
Tapi aku harus menyelamatkan Dierdre Alicia, dan yang lain.
Tanpa menghiraukan bau yang menusuk hidung aku menyerbu ke
ruangan yang terang-benderang di ujung terowongan. Air dari selusin
selang menyiram badan monster berwarna ungu itu. Belasan anak dari
segala umur sibuk menggosok sementara monster itu mengerang-
erang.
Aku melihat Elliot membelalakkan mata. Tapi aku tidak punya waktu
untuk memikirkannya. "Tiarap!" teriakku sekencang mungkin, sambil
menempelkan tangan di sekeliling mulut. "SEMUANYA—TIARAP!
CEPAT!"
Aku sudah punya rencana.
Masalahnya—apakah rencanaku akan berhasil?
MONSTER itu tampak kaget. Ia membelalakkan matanya yang
kuning dan berair. Mulutnya yang berbibir tebal pun menganga. Di
dalamnya aku melihat dua lidah berwarna pink bergerak maju-
mundur.

Beberapa anak langsung melepaskan selang dan tongkat pel yang


mereka pegang dan menjatuhkan diri ke lantai. Tapi ada juga yang
berbalik dan memandang ke arahku.

"Jangan mandikan dia lagi!" aku berseru. "Letakkan selang dan sikat
kalian! Berhenti bekerja! Dan cepat tiarap!"

Elliot terbatuk-batuk di sampingku. Aku melirik dan melihat ia sedang


berusaha untuk tidak muntah.

King Jellyjam meraung keras ketika anak-anak yang lain mengikuti


perintahku. Lendir kental berwarna putih menetes-netes dari
hidungnya. Kedua lidahnya menjulur-julur di antara bibirnya yang
ungu.

"Tiarap!" aku berteriak kepada anak-anak. "Diam di lantai!"

Dan kemudian aku melihat monster itu mengangkat tangan ungunya


yang gemuk. Ia membungkuk sambil mengerang keras. Kulit
tubuhnya yang berlendir pecah dan retak ketika ia mengulurkan
tangan.
Ia hendak meraih Alicia!

"Tolong! Aku mau dimakan!" Alicia menjerit. Ia hendak berdiri.

"Jangan!" teriakku. "Jangan berdiri! Tetap tiarap!" Sambil memekik


ketakutan, Alicia kembali merebahkan diri ke lantai.

Tangan King Jellyjam berayun ke bawah. Menggapai-gapai di atas


tubuh Alicia. Ia berusaha mengangkat gadis cilik itu. Berkali-kali.

Tapi ternyata dugaanku tepat! Jari-jemari monster itu terlalu gemuk,


terlalu kaku untuk mengangkat orang yang tergeletak di lantai.

King Jellyjam mendongakkan kepala dan meraung-raung dengan


kesal.

Bau memuakkan di sekelilingku semakin keras. Aku segera menutup


hidung dengan sebelah tangan. Keong-keong hitam terus bermunculan
dari kulitnya. Menggelinding di tubuhnya yang berlendir. Berjatuhan
ke lantai.

Monster itu melambai-lambaikan tangan. Sekali lagi ia membungkuk,


berusaha meraih anak-anak yang lain.

Tapi mereka merapatkan diri ke lantai, sehingga King Jellyjam tidak


berhasil mengangkat mereka. King Jellyjam kembali meraung. Kali
ini suaranya sudah lebih lemah. Bola matanya berputar-putar tak
terkendali di kepalanya yang besar.

Bau yang menyebar membuat mataku serasa terbakar.Bau itu


menyelubungiku dari segala arah.
King Jellyjam mencoba meraih selang. Tapi gagal. Ia memasukkan
tangan ke dalam air, berusaha membasuh badannya.

Aku berdiri sambil gemetaran. Segala gerak-geriknya kuperhatikan


tanpa berkedip.

Rencanaku berhasil. Sejak awal aku sudah yakin ini akan berhasil.

Bau yang menyelubungiku bertambah keras lagi. Bau itu seolah-olah


menempel di kulitku. Aku bahkan bisa mengecapnya dengan lidah.

King Jellyjam melambai-lambaikan kedua tangannya. Kalang kabut ia


berusaha memandikan dirinya sendiri.

Raungannya berubah menjadi erangan. Tubuhnya mulai gemetar.

Aku menahan napas ketika dia menatapku sambil memicingkan mata.


Ia menudingku dengan jarinya yang bengkak!

Ia mencondongkan badan ke depan.

Mengulurkan tangannya yang besar.

Aku tidak sanggup bergerak karena terlalu ngeri. Aku merinding.

Tangannya menggenggam tubuhku. Dan sebelum aku sempat


memberontak, ia sudah mencengkeramku dengan jari-jemarinya yang
berlendir dan bau.
"OHHH.” Aku mengerang ketakutan.

Jari-jemari yang bengkak dan basah itu mencengkeramku dengan erat.


Bau busuk menyerang dari segala arah.

Aku menahan napas. Tapi bau itu ada di mana-mana.

Cengkeraman monster itu bertambah keras.

Aku mulai terangkat dari lantai. Terangkat ke mulut yang menganga


lebar. Kedua lidahnya tampak bergerak maju-mundur.

Sekonyong-konyong kedua lidah dibalik bibir berwarna yang ungu itu


terkulai lemas.

Cengkeraman jari-jemari pun mengendur.

Aku membebaskan diri ketika King Jellyjam mengerang dan terguling


ke depan. Anak-anak di dekatnya cepat-cepat menghindar. King
Jellyjam jatuh berdebam.

Mahkota emasnya terpental. Lendir dari tubuh King Jellyjam


bercipratan ke segala arah ketika monster itu ambruk.

"Yes!" aku berseru dengan gembira. Aku masih gemetaran, masih


berusaha melupakan cengkeraman jari-jemarinya yang berlendir.
"Yes!"

Rencanaku berjalan dengan sempurna.


Anak-anak berhenti memandikannya—dan King Jellyjam tumbang
karena baunya sendiri!

"Ka-kau tidak apa-apa?" Elliot bertanya dengan suara bergetar.

"Aku baik-baik saja," sahutku.

Elliot masih menjepit hidung. "Mulai sekarang aku takkan mengeluh


lagi mengenai bau pupuk yang dipakai Daddy di kebun!" katanya.

Anak-anak yang lain berdiri sambil bersorak-sorai.

"Terima kasih!" seru Alicia. Ia memelukku erat-erat. Yang lain pun


bergegas mengucapkan terima kasih.

Aku terus dipeluk ketika kami keluar dari ruang pertemuan dan
memasuki hutan. Tak sedikit anak yang menitikkan air mata.

"Kita berhasil lolos!" aku berseru kepada Elliot. Tapi mendadak kami
berhenti ketika melihat para pembina di tepi hutan.

Mereka berdiri di hadapan kami. Jumlahnya banyak sekali, dan


semuanya berdiri berdampingan dengan seragam mereka yang serba
putih. Mereka telah membentuk barisan di sepanjang jalan setapak.

Melihat roman muka mereka yang kencang, aku langsung tahu


kedatangan mereka bukan untuk menyambut kami.

Buddy melangkah maju ketika aku menatap mereka satu per satu. Ia
memberi isyarat kepada rekan-rekannya. "Jangan biarkan mereka
lolos!" serunya.
PARA pembina maju serempak. Tampang mereka tetap keras dan
menakutkan. Lengan mereka tidak berayun mengiringi langkah
mereka.

Mereka bergerak dengan kaku. Seperti robot. Seakan-akan tidak sadar.

Mereka maju dua langkah lagi.

Lalu bunyi peluit yang melengking memecahkan keheningan.

"Berhenti! Tak ada yang bergerak!" suara seorang pria menggelegar.

Sekali lagi terdengar bunyi peluit.

Aku menoleh dan melihat sejumlah polisi berseragam biru berlari


menaiki bukit.

Para pembina menggeleng-gelengkan kepala, berkedip-kedip, dan


berseru-seru dengan bingung. Mereka tidak berusaha melarikan diri.

"Di mana kita?" aku mendengar Holly bergumam.

"Apa yang terjadi?" pembina lainnya bertanya.

Mereka semua kelihatan linglung dan bingung. Rupanya bunyi peluit


polisi telah membuyarkan pengaruh hipnotis yang semula menguasai
mereka.
Semua anak bersorak-sorai dengan gembira ketika semakin banyak
polisi menyerbu ke bukit.

"Dari mana Anda tahu bahwa kami perlu bantuan?" seruku.

"Sebenarnya kami tidak tahu," salah satu petugas menyahut. "Tapi di


kota tiba-tiba tercium bau yang busuk sekali. Kami ingin tahu apa
penyebabnya. Jadi kami melacaknya ke sini!"

Aku ketawa. Bau yang membunuh monster itu ternyata sekaligus


menyelamatkan kami.

"Tadinya kami tidak tahu bahwa ada masalah di camp ini," ujar
seorang petugas. "Kami akan segera menghubungi orangtua kalian."

Elliot dan aku berjalan menuruni bukit. Kami sudah tak sabar ingin
ketemu Mom dan Dad!

Para pembina saling berbisik dan memandang berkeliling sambil


mereka-reka apa yang telah terjadi.

Aku berpaling pada Buddy ketika Elliot dan aku melewatinya.


"Bagaimana rasanya sekarang?" tanyaku.

Ia menatapku sambil memicingkan mata. Sepertinya ia tak sanggup


memfokuskan pandangan. "Hanya Yang Terbaik," ia bergumam.
"Hanya Yang Terbaik."
Elliot dan aku bersyukur ketika kami sampai di rumah.

"Kenapa Mom dan Dad tidak segera menemukan kami?" tanya


adikku.

Mereka menggelengkan kepala. "Polisi sudah mencari kalian ke


mana-mana," jawab Daddy. "Sudah berkali-kali mereka menelepon ke
camp itu. Tapi pembina yang menerima telepon memberitahu mereka
bahwa kalian tidak di situ."

"Mom dan Dad kuatir sekali," ujar Mom sambil menggigit bibir.
"Ketika kami menemukan karavan dalam keadaan kosong, kami tidak
tahu harus bagaimana."

"Hmm, yang penting Elliot dan aku sudah selamat sampai di rumah,"
sahutku sambil nyengir.

"Barangkali musim panas tahun depan kalian mau berlibur di camp


sungguhan," Dad menawarkan.

"Ehm... trims deh!" Elliot dan aku berkata berbarengan.

Dua minggu setelah itu kami mendapat kunjungan tamu tak terduga.

Ketika bel berdering, aku membuka pintu. Ternyata Buddy yang


berdiri di teras depan. Rambutnya yang pirang tersisir rapi. Ia
memakai celana katun, kemeja lengan pendek bergaris biru-putih, dan
dasi biru tua.

"Aku menyesal atas kejadian di camp," ujar Buddy.


Karena kaget, aku sampai tidak bisa berkata apa-apa. Aku cuma
memegang pegangan pintu dan menatapnya sambil terbengong-
bengong.

"Elliot ada di rumah?" tanya Buddy.

"Hai." Elliot muncul di sampingku. "Buddy! Ada apa?"

"Aku membawakan ini untukmu," jawab Buddy. Ia merogoh saku dan


mengeluarkan keping emas.

"Ini King Coin," katanya kepada adikku. "Kau memenangkannya


ketika kau ikut perlombaan lari."

Elliot hendak meraih keping itu. Tapi tiba-tiba ia terdiam. Tangannya


tetap terangkat lurus ke depan.

Aku tahu apa yang dipikirkan adikku. Ini adalah King Coin-nya yang
keenam.

Haruskah ia menerimanya?

Akhirnya keping itu diambil juga. "Thanks, Buddy," ujarnya.

Buddy berpamitan dan melambaikan tangan. Elliot dan aku


memperhatikannya pergi naik mobil. Lalu kami menutup pintu.

"Kau yakin tidak terjadi apa-apa karena kau menerima keping ini?"
tanyaku kepada Elliot.

"Memangnya kenapa?" sahutnya. "Monster ungu itu sudah mati, kan?


Jadi apa yang perlu ditakuti?"
Lima menit kemudian kami sama-sama mencium bau yang tak sedap.

"Oh!" Elliot mengerang. Ia langsung menelan ludah. "Wendy, b-bau


apa itu?" tanyanya tergagap-gagap.

"A-aku tidak tahu," jawabku dengan suara gemetaran.

Lalu aku mendengar Mom ketawa di belakang kami. Elliot dan aku
berbalik dan melihat Mom berdiri di ambang pintu dapur. "Ada apa?"
tanyanya. "Mom cuma sedang memasak brussels sprouts1!" END

1
Sebangsa kubis yang menimbulkan bau khas

Anda mungkin juga menyukai