Anda di halaman 1dari 143

"AKu ngeri," ujar Eddie.

Aku menggigil dan menarik ritsleting


jaketku sampai ke dagu. "Eddie, ini kan idemu," aku berkata kepada
adikku. "Bukan aku yang memohon-mohon untuk melihat Menara
Teror, tapi kau."

Matanya yang cokelat memandang ke arah menara. Embusan angin


kencang mengacak-acak rambutnya yang cokelat tua. "Perasaanku
tidak enak, Sue. Aku dapat firasat buruk."

Aku mengerutkan kening. "Aduh, Eddie, kau memang penakut! Kau


selalu dapat firasat buruk, bahkan kalau sekadar pergi ke bioskop."

"Kalau filmnya seram saja," dia bergumam.

"Umurmu sudah sepuluh tahun," sahutku dengan tegas. "Kau sudah


tidak pantas masih takut pada bayanganmu sendiri. Ini cuma kastil tua
dengan menara," ujarku sambil menunjuk ke arah kastil itu. "Ratusan
turis berkunjung ke sini setiap hari."

"Tapi dulu ini tempat untuk menyiksa orang," balas Eddie. Tiba-tiba
saja dia kelihatan pucat sekali. "Dulu orang disekap di dalam menara
itu dan dibiarkan mati kelaparan."
"Itu ratusan tahun yang lalu," aku menimpali. "Sekarang tak ada lagi
yang disiksa, Eddie. Sekarang cuma ada orang yang berjualan kartu
pos."

Kami menatap kastil tua yang terbuat dari batu-batu berwarna abu-
abu, yang kini hampir hitam karena dimakan waktu. Kedua
menaranya yang ramping menjulang bagaikan lengan di kedua
sisinya.

Awan-awan badai menggantung rendah di atas menara-menara yang


gelap. Pohon-pohon tua yang merunduk di halaman tengah tampak
bergoyang-goyang karena tiupan angin. Suasananya bukan seperti
musim semi. Udara terasa suram dan dingin. Keningku terkena tetesan
hujan. Lalu pipiku.

Suasananya khas kota London, pikirku. Suasana yang cocok untuk


mengunjungi Menara Teror yang terkenal.

Ini hari pertama kami di Inggris, dan Eddie dan aku sudah berkeliling
kota London. Orangtua kami harus mengikuti konferensi di hotel
tempat kami menginap. Karena itu mereka mendaftarkan kami sebagai
peserta tur, dan kami pun berangkat.

Kami berkunjung ke British Museum, berjalan-jalan ke Harrods,


mendatangi Westminster Abbey dan Trafalgar Square.

Untuk makan siang, kami menyantap bangers and mash (sosis dan
bubur kentang) di sebuah pub khas Inggris. Setelah itu rombongan tur
kami berkeliling naik bus, Eddie dan aku duduk di lantai atas bus
tingkat berwarna merah cerah.
London ternyata persis seperti yang kubayangkan. Luas dan ramai.
Toko-toko mungil di jalan-jalan sempit dipadati taksi-taksi model
kuno berwarna hitam. Orang-orang dari seluruh penjuru dunia berlalu
lalang di trotoar.

Adikku si penakut tentu saja ngeri karena harus berkeliling kota yang
asing tanpa orangtua kami. Tapi aku sudah dua belas, dan jauh lebih
berani daripada dia. Dan aku juga berhasil menjaga supaya dia jangan
terlalu senewen.

Aku kaget sekali waktu Eddie minta agar kami berkunjung ke Menara
Teror.

Mr. Starkes, pemandu wisata kami yang botak dan bermuka merah,
mengumpulkan semua anggota rombongan di trotoar. Jumlahnya dua
belas orang, sebagian besar orang tua. Cuma Eddie dan aku yang
masih anak-anak.

Mr. Starkes memberi pilihan kepada kami. Berkunjung ke satu


museum lagi—atau ke Menara.

"Ke Menara! Ke Menara!" Eddie memohon-mohon. "Aku harus


melihat Menara Teror!"

Kami menempuh perjalanan panjang naik bus sampai ke pinggir kota.


Toko-toko digantikan oleh rumah-rumah mungil yang terbuat dari
bata merah. Kemudian kami melewati rumah-rumah yang lebih tua
lagi, rumah-rumah yang tersembunyi di balik pohon-pohon dan
tembok-tembok yang tertutup tanaman rambat.
Ketika bus akhirnya berhenti, kami turun dan menyusuri jalan sempit
yang terbuat dari batu bata. Jalan itu licin karena telah dipakai selama
berabad-abad, dan berakhir di sebuah tembok tinggi. Di balik tembok
tersebut, Menara Teror tampak menjulang ke langit yang kelabu.

"Cepat, Sue!" Eddie menarik-narik lengan bajuku. "Nanti kita


ketinggalan!"

"Mereka pasti akan menunggu kita," aku berkata kepada adikku.


"Tenang saja, Eddie. Kita takkan tersesat."

Kami berlari kecil, menyusul rombongan yang telah mendahului kami.


Sambil mengencangkan mantelnya yang panjang dan hitam, Mr.
Starkes mengajak kami masuk melalui gerbang.

Dia berhenti dan menunjuk setumpuk batu kelabu di pekarangan


tengah yang luas dan berumput. "Tumpukan batu itu sisa benteng
yang asli," dia menjelaskan. "Kastil ini dibangun oleh pasukan
Romawi sekitar tahun 400. Saat itu London merupakan bagian dari
kerajaan Romawi."

Hanya sebagian kecil benteng yang masih berdiri tegak. Selebihnya


telah ambruk atau roboh. Aku hampir tak bisa percaya bahwa aku
sedang berhadapan dengan tembok yang dibangun lebih dari seribu
lima ratus tahun yang silam.

Bersama Mr. Starkes kami lalu menyusuri jalan setapak yang menuju
kastil dan kedua bentengnya. "Kastil ini dibangun pasukan Romawi
sebagai benteng pertahanan," pemandu wisata itu meneruskan
penjelasannya. "Setelah mereka angkat kaki, tempat ini berubah
menjadi penjara, dan perubahan itu merupakan awal dari rangkaian
kekejaman dan penyiksaan selama bertahun-tahun di dalam tembok-
tembok ini."

Kukeluarkan kamera sakuku dari kantong jaket, kemudian kuambil


foto benteng Romawi. Setelah itu aku membalik dan memotret-motret
kastil. Langit telah bertambah gelap. Aku hanya bisa berharap agar
foto-fotonya cukup jelas.

"Ini penjara pertama di London bagi orang-orang yang terjerat utang,"


Mr. Starkes bercerita sambil berjalan. "Jika seseorang terlalu miskin
untuk melunasi utangnya, dia dikirim kemari. Artinya, dia tidak
pernah bisa membayar utangnya! Dan dengan demikian dia
mendekam di sini untuk selama-lamanya."

Kami melewati gardu jaga kecil. Besarnya kira-kira sama dengan


kotak telepon umum, terbuat dari batu putih, dengan atap miring.
Mula-mula kusangka gardunya kosong. Tapi di luar dugaanku,
seorang penjaga berseragam kelabu melangkah ke luar sambil
memanggul senapan.

Aku berpaling memandang tembok gelap yang mengelilingi kastil.


"Lihat tuh, Eddie," bisikku. "Dari sini kota di luar sama sekali tidak
kelihatan. Rasanya kita seperti mundur ke masa lalu."

Dia menggigil. Aku tidak tahu apakah dia menggigil karena ucapanku,
atau karena angin kencang yang berembus di pekarangan tengah.
Kami menyusuri jalan setapak yang terselubung bayang-bayang kastil.
Mr. Starkes mengajak kami ke sebuah pintu sempit di bagian pinggir.
Kemudian dia berbalik menatap para anggota rombongan.

Aku terkejut melihat roman mukanya yang tegang dan penuh duka.
"Dengan berat hati saya terpaksa menyampaikan kabar buruk ini," dia
berkata sambil menatap kami satu per satu.

"Hah? Kabar buruk?" bisik Eddie, sambil merapat ke sisiku.

"Anda semua akan ditahan di menara utara," Mr. Starkes


mengumumkan dengan serius. "Di sana Anda akan disiksa, sampai
Anda menceritakan alasan sesungguhnya Anda memilih berkunjung
ke sini."
EDDIE memekik tertahan. Beberapa anggota rombongan menarik
napas sambil membelalakkan mata.

Mr. Starkes terkekeh-kekeh dan wajahnya yang bulat dan merah mulai
dihiasi senyum. "Sedikit gurauan khas Menara Teror," katanya dengan
riang. "Sekali-sekali boleh dong saya bercanda."

Kami semua ikut tertawa. Kecuali Eddie. Dia masih tampak kaget.
"Orang itu sinting!" Eddie berbisik.

Sebenarnya, Mr. Starkes pemandu wisata yang sangat baik. Dia selalu
ceria dan siap membantu, dan sepertinya dia tahu segala sesuatu
mengenai London. Satu-satunya masalah adalah aksen Inggris yang
kadang-kadang sukar kupahami.

"Seperti yang Anda lihat, kastil ini sesungguhnya terdiri atas beberapa
bangunan," Mr. Starkes menjelaskan setelah kembali serius.
"Bangunan yang panjang dan rendah di sebelah sana, dulu berfungsi
sebagai barak tentara." Dia menunjuk ke seberang lapangan rumput.

Kuambil beberapa foto barak itu. Kelihatannya memang tua sekali.


Kemudian aku memotret penjaga berseragam kelabu yang berdiri
dalam posisi siap di depan gardu jaga.

Aku mendengar beberapa orang berbisik-bisik di belakangku. Ketika


menoleh aku melihat laki-laki bertudung dengan badan tinggi besar
mengendap-endap di belakang Mr. Starkes. Dia mengenakan jubah
hijau berpenampilan kuno dan membawa kapak perang yang besar
sekali.

Algojo!

Orang itu mengangkat kapaknya di belakang Mr. Starkes.

"Ada yang berminat potong rambut cara cepat?" Mr. Starkes bertanya
dengan santai, tanpa menoleh. "Ini tukang cukur kastil!"

Kami semua tertawa. Orang yang mengenakan kostum algojo


membungkuk sejenak, lalu kembali ke dalam bangunan.

"Wah, asyik juga," bisik Eddie. Tapi aku menyadari dia selalu
menempelku ke mana pun.

"Pertama-tama kita akan memasuki ruang penyiksaan," Mr. Starkes


mengumumkan. "Harap jangan berpencar-pencar." Dia mengangkat
bendera merah yang dipasang pada tongkat panjang. "Bendera ini saya
angkat tinggi-tinggi, supaya Anda dengan mudah bisa menemukan
saya. Orang mudah tersesat di dalam. Di sini ada ratusan ruangan dan
lorong rahasia."

"Wow! Asyik!" seruku.

Eddie menatapku dengan ragu.

"Kau berani, kan, masuk ke ruang penyiksaan?" aku bertanya


padanya.

"Tentu saja," sahutnya dengan suara bergetar.


"Anda akan melihat berbagai alat penyiksaan yang sangat tidak
lazim," Mr. Starkes melanjutkan. "Sipir-sipir di sini dulu mempunyai
banyak cara untuk membuat para tawanan yang malang meraung-
raung kesakitan. Kami sarankan Anda tidak mencobanya di rumah."

Beberapa orang tertawa. Aku sudah tidak sabar. Aku ingin segera
masuk.

"Sekali lagi saya minta Anda jangan berpencar-pencar," Mr. Starkes


menegaskan ketika kami melewati pintu yang sempit. "Rombongan
terakhir yang saya bawa hilang di sini. Beberapa dari mereka masih
gentayangan sampai sekarang. Bos saya benar-benar marah waktu
saya kembali ke kantor!"

Aku tertawa mendengar lelucon konyolnya. Kemungkinan besar dia


sudah ribuan kali menceritakannya.

Aku menengadah dan memandang ke puncak menara. Menara itu


terbuat dari batu. Tak ada jendela selain lubang kecil berbentuk bujur
sangkar di dekat puncak.

Dulu benar-benar ada orang yang dipenjara di sini, pikirku. Orang


sungguhan. Ratusan tahun yang lalu. Tiba-tiba muncul pertanyaan di
hatiku, mungkinkah kastil ini ada hantunya.

Aku berusaha membaca ekspresi serius pada wajah adikku. Sepertinya


Eddie sedang memikirkan hal-hal yang bisa membuat bulu roma
berdiri.
Kami menghampiri pintu yang gelap. "Lihat sini, Eddie," kataku. Aku
mundur selangkah dan mengeluarkan kamera dari saku jaket.

"Ayo, kita masuk saja," Eddie mendesak. "Yang lain sudah jauh di
depan."

"Aku cuma mau ambil fotomu di gerbang kastil," sahutku.

Kuangkat kamera ke wajahku. Eddie pasang tampang konyol. Aku


menekan tombol dan mengambil fotonya.

Aku sama sekali tidak menduga bahwa inilah foto Eddie yang terakhir
kuambil.
MR. STARKES mengajak kami menuruni tangga. Sepatu kets kami
berdecit-decit di lantai batu ketika kami memasuki bangsal besar
bercahaya redup.

Aku menarik napas panjang, menunggu sampai mataku terbiasa


dengan suasana yang remang-remang. Udara yang kuhirup berbau
pengap.

Suhu di dalam sini ternyata lebih hangat dari yang kuduga. Kubuka
ritsleting jaketku, lalu kutarik rambutku yang panjang dan cokelat dari
balik kerah.

Kulihat beberapa lemari pajang merapat di dinding. Mr. Starkes


mengajak kami menghampiri semacam tempat tidur besar di tengah
bangsal. Rombongan kami segera berkerumun di sekelilingnya.

"Inilah the Rack," Mr. Starkes menjelaskan sambil menunjuk dengan


bendera merahnya.

"Wow, ternyata benar-benar ada!" aku berbisik kepada Eddie. Aku


sudah sering melihat alat penyiksaan seperti itu di dalam film-film dan
di buku-buku komik. Tapi ini pertama kali aku melihat aslinya dengan
mata kepala sendiri.
"Tahanan yang hendak disiksa dipaksa berbaring di sini," Mr. Starkes
melanjutkan. "Kemudian tangan dan kakinya diikat. Pada waktu roda
besar itu diputar, tali-temali yang mengikat tangan dan kakinya
tertarik sampai kencang." Dia menunjuk roda kayu berukuran besar.

"Kalau rodanya diputar lagi, maka tali-temalinya pun akan bertambah


kencang," Mr. Starkes menambahkan dengan mata berbinar-binar.
"Kadang-kadang rodanya terus diputar dan si tahanan terus ditarik—
sampai semua tulangnya copot dari engsel masing-masing."

Dia terkekeh-kekeh. "Saya kira inilah yang disebut kunjungan


berkepanjangan di penjara!"

Beberapa anggota rombongan tertawa karena lelucon Mr. Starkes.


Tapi Eddie dan aku bertukar pandang dengan serius.

Sambil menatap alat penyiksaan itu, aku membayangkan seseorang


terbaring di situ. Aku membayangkan rodanya berderak-derak saat
diputar. Dan tali-temalinya bertambah kencang.

Aku menoleh dan melihat sosok gelap berdiri di seberang alat itu.
Orang itu sangat tinggi dan besar. Dia mengenakan jubah hitam yang
panjang, dan wajahnya terselubung bayangan dari topinya yang lebar.

Matanya menyorot tajam.

Hei, sepertinya dia memandang ke arahku? Langsung saja kusenggol


adikku. "Kaulihat laki-laki di seberang sana? Yang berpakaian
hitam?" aku berbisik. "Apakah dia anggota rombongan kita?"
Eddie menggelengkan kepala. "Aku belum pernah melihatnya," dia
menyahut. "Wah, aneh! Kenapa dia memelototi kita seperti itu?"

Laki-laki itu menarik topinya ke bawah. Matanya menghilang di balik


pinggiran topinya. Mantelnya yang hitam menggembung ketika dia
mundur ke sudut yang gelap.

Mr. Starkes terus bercerita mengenai the Rack. Dia bertanya apakah
ada sukarelawan yang mau mencobanya. Semua tertawa.

Alat ini harus kupotret, aku berkata dalam hati. Teman-temanku pasti
terkagum-kagum.

Aku meraih saku jaketku untuk mengambil kameraku.

"Hei—!" aku berseru dengan heran.

Cepat-cepat kurogoh saku yang satu lagi. Kemudian kuperiksa


kantong-kantong celana jeans-ku. "Oh, gawat!" seruku.

Kameraku hilang.
"EDDIE!" aku berseru. "Kaulihat—?"

Aku langsung terdiam ketika melihat senyum jail di wajah adikku.

Dia mengangkat tangannya—berikut kameraku—dan senyumnya


bertambah lebar lagi. "Si Pencopet Ulung beraksi kembali!" dia
berkata dengan riang.

"Jadi kau yang mengambilnya dari sakuku?!" aku menghardiknya.


Kemudian kudorong dia begitu keras sehingga dia terhuyung-huyung
ke belakang dan menabrak the Rack.

Dia malah terpingkal-pingkal. Eddie menganggap dirinya sebagai


pencopet paling jago di seluruh dunia. Itu hobinya. Sungguh. Dan dia
selalu berlatih.

"Tangan tercepat di muka bumi!" dia berkoar sambil mengayun-


ayunkan kameraku.

Langsung saja kurebut dari tangannya. "Kau benar-benar brengsek!"


aku menggerutu.

Aku tidak habis pikir kenapa dia begitu senang jadi pencuri. Tapi dia
memang jago. Aku sama sekali tidak merasakan apa-apa waktu dia
menarik kamera itu dari kantongku.

Aku masih mengomel ketika Mr. Starkes mengajak rombongan kami


ke ruangan berikut.
Eddie dan aku bergegas supaya tak ketinggalan. Sepintas lalu aku
melihat laki-laki berjubah hitam tadi. Dia berjalan mengikuti kami,
dan wajahnya masih tersembunyi di bawah pinggiran topinya yang
lebar.

Sekonyong-konyong aku dicekam ketakutan. Apakah orang aneh itu


sedang mengawasi Eddie dan aku? Kenapa?

Pasti bukan. Paling-paling dia cuma turis biasa yang juga berkunjung
ke Menara. Tapi kalau begitu, kenapa aku mendapat firasat buruk
bahwa dia menguntit kami?

Berulang kali aku melirik ke belakang ketika Eddie dan aku


mengamati alat-alat penyiksaan di ruang berikut. Sepertinya orang itu
sama sekali tidak tertarik pada benda-benda yang dipajang. Dia terus
berdiri di dekat tembok. Mantelnya yang hitam seakan-akan menyatu
dengan bayang-bayang gelap, sementara matanya memandang lurus
ke depan—ke arah kami!

"Coba lihat ini!" ujar Eddie sambil menarikku ke salah satu rak
pajang. "Apa ini?"

"Jepitan jempol," sahut Mr. Starkes. Dia menghampiri kami dari


belakang, lalu meraih salah satunya. "Bentuknya mirip cincin," dia
menjelaskan. "Nah, alat ini dipasang pada jempol seperti ini."

Dia memasang cincin logam itu pada jempolnya. Kemudian


diangkatnya tangannya agar kami bisa melihat lebih jelas. "Di pinggir
cincin ada sekrup. Kalau diputar, sekrup ini akan menjepit jempolmu.
Semakin diputar, semakin keras menjepitnya."
"Aduh!" seruku.

"Sangat tidak menyenangkan," Mr. Starkes membenarkan sambil


mengembalikan jepitan jempol itu ke tempat semula. "Seluruh
ruangan ini berisi benda-benda yang sangat tidak menyenangkan."

"Aku hampir tidak bisa percaya bahwa barang-barang ini pernah


dipakai untuk menyiksa orang," Eddie bergumam. Suaranya gemetar.
Dia tidak suka pada hal-hal yang menyerarnkan—apalagi kalau hal itu
nyata, seperti sekarang.

"Coba kalau aku punya sepasang untuk menjepit jempolmu!" aku


menggodanya. Eddie memang penakut. Kadang-kadang aku tidak bisa
menahan diri. Rasanya ada yang kurang kalau belum mengolok-
oloknya.

Aku meraih ke balik tali pembatas dan mengambil borgol yang terbuat
dari logam. Borgol itu ternyata lebih berat dari yang kuduga. Dan di
sekeliling sisi dalamnya ada sederetan paku.

"Sue—kembalikan ke tempatnya!" Eddie berbisik dengan panik,

Tapi aku malah memasang borgol itu pada pergelangan tanganku.


"Nih, Eddie, kalau borgolnya dikunci, paku-pakunya menusuk
pergelangan tanganmu," kataku padanya.

Aku memekik kaget ketika borgol yang berat itu menutup diiringi
bunyi klik.
"Aduh!" aku menjerit sambil menarik-nariknya dengan bingung.
"Eddie—tolong! Aku tidak bisa melepaskannya! Tanganku terpotong!
Tanganku terpotong!"
"OHHH!" Eddie mengerang ketakutan sambil menatap borgol yang
melingkar pada pergelangan tanganku. Mulutnya sampai ternganga,
dan dagunya mulai gemetar.

"Tolong aku!" aku meratap sambil mengayun-ayunkan tangan dan


menarik-narik rantai. "Buka borgolnya!"

Muka Eddie jadi pucat pasi.

Aku tidak tahan lagi. Serta-merta aku mulai ketawa. Dan dengan
mudah kutarik borgol itu dari pergelangan tanganku.

"Hah, kena kau!" aku bersorak dengan gembira. "Makanya, jangan


suka usil. Sekarang kau kena batunya!"

"A-a-aku—" Eddie tergagap-gagap. Matanya yang gelap


memelototiku dengan kesal."Aku pikir kau benar-benar kesakitan,"
dia bergumam. "Jangan kauulangi lagi, Sue. Aku serius."

Kujulurkan lidahku. Aku tahu perbuatanku kekanak-kanakan. Tapi


kadang-kadang tingkah adikku begitu menyebalkan, sampai-sampai
aku tidak bisa menahan diri.

"Mari ikut saya!" Suara Mr. Starkes memantul dari dinding-dinding


batu. Eddie dan aku ikut serta ketika rombongan kami berkerumun di
sekeliling Mr. Starkes.
"Sekarang kita akan naik ke menara utara," si pemandu wisata
mengumumkan. "Seperti yang akan Anda lihat nanti, tangganya
sempit dan terjal. Jadi kita harus berbaris satu-satu. Tolong perhatikan
langkah Anda."

Mr. Starkes menundukkan kepala ketika mengajak kami melewati


pintu yang rendah dan sempit. Eddie dan aku berada di ujung barisan.

Tangga batu itu melingkar-lingkar sampai ke puncak menara. Tak ada


pegangan. Dan tangganya begitu terjal, sehingga aku terpaksa
berpegangan pada tembok untuk menjaga keseimbangan.

Semakin dekat ke puncak, udaranya semakin panas. Tangga tua ini


sudah begitu sering didaki, sehingga semua anak tangganya sudah
licin dan pinggirannya pun sudah aus karena terinjak ribuan kaki.

Aku berusaha membayangkan para tawanan yang digiring ke puncak


menara. Kaki mereka pasti gemetaran karena takut.

Eddie berada di depanku. Dia berjalan pelan-pelan sambil menatap


dinding batu yang hitam karena jelaga. "Aduh, gelap sekali," dia
mengeluh sambil menoleh ke belakang. "Ayo dong, Sue. Jangan
sampai kita tertinggal terlalu jauh."

Jaketku menggesek dinding batu ketika aku mendaki. Sebenarnya aku


termasuk kurus, tapi tangganya begitu sempit sehingga aku terus
menabrak dinding.
Setelah pendakian yang seolah-olah memakan waktu berjam-jam,
kami berhenti di sebuah pelataran. Tepat di hadapan kami ada sel kecil
yang gelap dengan terali besi.

"Sel ini digunakan untuk para tahanan politik," Mr. Starkes


memberitahu kami. "Musuh-musuh sang raja dibawa ke sini. Seperti
Anda lihat, tempat ini tidak nyaman."

Aku mendekat dan melihat bahwa sel itu cuma berisi bangku batu dan
meja tulis yang terbuat dari kayu.

"Bagaimana nasib para tahanan itu?" seorang wanita berambut putih


bertanya kepada Mr. Starkes. "Apakah mereka harus mendekam di
sini sampai bertahun-tahun?"

"Tidak," Mr. Starkes menyahut sambil mengusap-usap dagu.


"Sebagian besar menjalani hukuman pancung."

Bulu kudukku mendadak berdiri. Aku menghampiri terali dan


mengintip ke dalam sel kecil itu.

Dulu benar-benar ada orang yang ditahan sini, aku berkata dalam hati.
Mereka berdiri di balik terali ini dan memandang ke luar. Mereka
duduk di meja kecil itu. Berjalan mondar-mandir. Menunggu ajal.

Aku menelan ludah dan melirik adikku. Sepertinya dia sama ngerinya
denganku.

"Kita belum sampai di puncak," Mr. Starkes mengumumkan. "Mari


naik lagi."
Tangga batu yang kami lewati bertambah terjal. Aku terus
berpegangan pada dinding sambil mengikuti Eddie.

Tiba-tiba saja aku mendapat perasaan aneh—rasanya aku sudah


pernah berada di sini. Rasanya aku sudah pernah mendaki tangga yang
melingkar-lingkar ini. Rasanya aku sudah pernah naik ke puncak
menara tua ini.

Tapi tentu saja ini tidak mungkin.

Seumur hidup, Eddie dan aku belum pernah berkunjung ke Inggris.

Namun perasaan itu terus menghantuiku ketika rombongan tur kami


berdesak-desakan di ruangan kecil di puncak menara. Barangkali
menara ini pernah kulihat dalam film? Atau mungkin aku pernah
melihat fotonya di salah satu majalah?

Kenapa semuanya terasa begitu akrab bagiku?

Aku menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan dengan cara itu aku


bisa mengusir pikiran-pikiran aneh yang berkecamuk dalam benakku.
Kemudian aku melangkah ke samping Eddie dan memandang
berkeliling.

Jauh di atas kepala kami terdapat jendela mungil berbentuk lingkaran.


Cahaya suram masuk melalui jendela itu. Dinding yang melingkar
tampak licin, namun dipenuhi retakan-retakan kecil dan bercak-bercak
gelap. Langit-langitnya rendah, begitu rendah sehingga Mr. Starkes
dan beberapa orang dewasa lainnya terpaksa merunduk.
"Barangkali Anda bisa merasakan kesedihan yang memenuhi ruangan
ini," Mr. Starkes berkata pelan-pelan.

Kami berdesak-desakan agar dapat mendengar lebih jelas. Eddie


menatap ke jendela, dan roman mukanya berkesan was-was.

"Inilah ruang menara yang digunakan untuk menyekap pangeran dan


putri cilik," lanjut Mr. Starkes dengan serius. "Waktu itu abad kelima
belas. Sang pangeran dan sang putri—Edward dan Susannah of
York—ditawan di sel kecil ini."

Dia membuat gerakan melingkar dengan bendera merahnya.


Pandangan kami mengikuti gerakan benderanya dan memandang
berkeliling. "Bayangkan. Dua bocah cilik. Diambil dengan paksa dari
rumah mereka. Lalu disekap di dalam sel yang dingin dan suram di
puncak menara ini." Suara Mr. Starkes kini lebih menyerupai bisikan
halus.

Tiba-tiba saja aku menggigil kedinginan. Cepat-cepat kutarik ritsleting


jaketku sampai ke atas. Eddie pun menyelipkan kedua tangannya ke
saku jeans-nya. Matanya membelalak ngeri ketika mengamati ruangan
yang kecil dan gelap ini.

"Sang pangeran dan sang putri hanya sebentar berada di sini," Mr.
Starkes kembali bicara. "Sementara mereka tidur malam itu, algojo
kerajaan dan sejumlah anak buahnya mengendap-endap menaiki
tangga. Mereka diperintahkan membunuh kedua bocah itu. Agar sang
pangeran dan sang putri tak naik takhta."
Mr. Starkes memejamkan mata dan menundukkan kepalanya.
Keheningan yang meliputi ruangan itu terasa mencekam.

Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berbicara.

Satu-satunya bunyi adalah bunyi angin yang masuk melalui jendela


kecil di atas kepala kami.

Aku pun memejamkan mata. Aku berusaha membayangkan sepasang


anak kecil. Bingung dan ketakutan. Berusaha tidur di ruangan yang
kelam ini.

Pintu membuka. Orang-orang tak dikenal menghambur masuk.


Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun. Mereka menyerbu
untuk membunuh kedua anak kecil itu.

Di ruangan ini.

Di ruangan tempat aku berdiri sekarang, pikirku.

Aku membuka mata. Eddie sedang memandang ke arahku, dan


wajahnya kelihatan pucat. "Seram sekali," bisiknya.

"Yeah," aku membenarkan. Mr. Starkes mulai menceritakan


kelanjutannya.

Tapi kameraku terlepas dari tanganku dan jatuh ke lantai batu. Aku
segera membungkuk untuk memungutnya. "Aduh, Eddie,—lensanya
pecah!" seruku.

"Ssst! Aku tidak bisa mendengar penjelasan Mr. Starkes tentang sang
pangeran dan sang putri!" protes Eddie.
"Tapi kameraku—!" Aku mengguncang-guncangkannya. Aku sendiri
tidak tahu kenapa. Lensanya tak mungkin utuh lagi kalau diguncang-
guncang seperti itu.

"Apa katanya? Kau dengar dia bilang apa?" tanya Eddie.

Aku menggelengkan kepala. "Sori. Aku juga tidak dengar."

Kami menghampiri sebuah ranjang rendah yang menempel di dinding.


Di sebelahnya ada kursi kayu berkaki tiga. Satu-satunya perabot di
ruangan ini.

Apakah sang pangeran dan sang putri pernah duduk di sini? aku
bertanya dalam hati.

Apa saja yang mereka bicarakan? Apakah mereka bingung


memikirkan nasib mereka? Apakah mereka berbicara tentang hal-hal
yang bakal mereka kerjakan setelah dibebaskan? Setelah mereka
pulang ke rumah?

Semuanya begitu sedih.

Aku menghampiri ranjang dan menyentuhnya. Ternyata keras sekali.

Goresan-goresan hitam di dinding menarik perhatianku. Tulisan?

Mungkinkah sang pangeran atau sang putri meninggalkan pesan?

Aku membungkuk dan mengamati goresan-goresan itu sambil


memicingkan mata.

Bukan. Bukan tulisan. Cuma retakan-retakan di dinding.


"Sue—ayo dong!" Eddie mendesak. Dia menarik-narik lengan bajuku.

"Oke, oke," sahutku jengkel. Sekali lagi kuusap ranjang itu. Rasanya
begitu keras, begitu tidak nyaman.

Aku menoleh ke jendela. Cahaya suram tadi sud h lenyap. Keadaan di


luar gelap gulita, seakan-kan malam telah turun.

Sekonyong-konyong aku merasa seakan-akan dinding batu di


sekelilingku hendak mengimpitku. Aku merasa seolah-olah berada di
dalam lemari gelap, lemari yang dingin dan menakutkan. Aku
membayangkan dinding-dinding mencengkeram dan mencekikku.

Begitukah perasaan sang pangeran dan sang putri dulu?

Mungkinkah aku merasakan ketakutan yang sama seperti mereka,


lebih dari lima ratus tahun yang silam?

Sambil menghela napas kulepaskan tanganku dari ranjang dan


berpaling kepada Eddie. "Ayo, kita jalan lagi," kataku dengan suara
bergetar. "Ruangan ini terlalu menakutkan, terlalu sedih."

Kami membalik, berjalan beberapa langkah ke arah tangga—lalu


berhenti mendadak.

"Hei—!" kami berseru berbarengan.

Mr. Starkes dan para anggota rombongan kami telah menghilang.


"KE MANA mereka?" seru Eddie dengan suara melengking. Dia
kelihatan kaget sekali. "Kita ditinggal di sini!"

"Mereka pasti sedang menuruni tangga," ujarku sambil mendorong


adikku. "Ayo, kita susul mereka."

Eddie terus menempelku. "Kau duluan," katanya perlahan.

"Kau takut, ya?" aku menggodanya. "Gara-gara ditinggal berdua di


Menara Teror?"

Aku tidak tahu kenapa aku begitu senang menggoda adikku. Tapi
yang jelas, dia benar-benar ketakutan. Sebenarnya aku sendiri juga
agak ngeri. Tapi aku tidak bisa menahan diri.

Aku kan sudah bilang, Eddie sering membuatku bertingkah kekanak-


kanakan.

Aku mulai menuruni tangga yang melingkar-lingkar. Suasana di


sekeliling kami seakan-akan bertambah gelap.

"Kok kita tidak mendengar mereka pergi, ya?" tanya Eddie. "Kenapa
mereka pergi begitu terburu-buru?"

"Soalnya sudah sore," sahutku. "Aku rasa Mr.

Starkes ingin secepatnya menggiring semuanya ke bus untuk


mengantarkan mereka ke hotel masing-masing. Kalau tidak salah,
Menara Teror ditutup jam lima sore," aku berkata sambil menatap
arlojiku. Ternyata sudah pukul lima lewat dua puluh.

"Cepat dong," Eddie mendesak. "Aku tidak mau terkunci di sini.


Tempat ini membuatku merinding."

"Aku juga," aku mengakui.

Aku menatap kegelapan di hadapanku sambil memicingkan mata, lalu


mulai menuruni tangga. Sepatu ketsku tergelincir ketika menginjak
batu yang licin. Sekali lagi aku berpegangan pada tembok untuk
menjaga keseimbangan.

"Mana sih mereka?" Eddie bertanya dengan gelisah. "Kenapa langkah


mereka tidak terdengar?"

Udara bertambah dingin ketika kami turun. Cahaya remang-remang


berwarna kekuningan menerangi pelataran kecil tepat di bawah kami.

Tanganku menyerempet sesuatu yang lembut dan lengket. Sarang


labah-labah.

Idih.

Aku mendengar Eddie tersengal-sengal di belakangku. "Busnya pasti


menunggu sampai kita datang," aku berkata padanya. "Tenang saja.
Mr. Starkes tidak mungkin berangkat tanpa kita."

"Halo?" teriak Eddie. "Ada siapa di bawah sana?" Suaranya yang


melengking terdengar bergema di ruang tangga yang sempit.

Tak ada jawaban.


"Penjaganya ke mana?" tanya Eddie.

"Eddie—kau jangan senewen begitu, dong," aku memohon. "Sekarang


sudah sore. Para penjaga pasti sedang sibuk mengunci pintu-pintu.
Dan Mr. Starkes pasti sudah menunggu kita di bawah. Tenang saja
deh."

Kami sampai di pelataran yang diterangi cahaya remang-remang. Sel


kecil yang telah kami lihat tadi menempel di dinding.

"Jangan berhenti," Eddie memohon sambil terengah-engah. "Jalan


terus, Sue. Cepat!"

Aku menggenggam pundak adikku untuk menenangkannya. "Eddie,


kau tidak perlu kuatir," ujarku. "Kita sudah hampir sampai di bawah."

"Tapi—" protes Eddie. Dengan kalang kabut dia menunjuk ke depan.

Aku langsung tahu apa yang membuatnya cemas. Ternyata ada dua
tangga yang menuju ke bawah¬satu di sebelah kiri sel, satu lagi di
sebelah kanan.

"Wah, aneh," aku bergumam. Pandanganku mondar-mandir antara


tangga yang satu ke tangga yang lain. "Seingatku tadi tangganya cuma
satu."

"Ya-yang mana yang benar?" Eddie tergagap-gagap.

Aku pun ragu-ragu. "Aku tidak pasti," jawabku. Aku menghampiri


tangga di sebelah kanan dan mengintip ke bawah. Tapi tidak banyak
yang terlihat, karena tangga itu membelok begitu tajam.
"Yang mana? Yang mana?" Eddie bertanya dengan panik.

"Aku rasa itu tidak penting," ujarku. "Kedua-duanya menuju ke


bawah, bukan?"

Kuberi isyarat agar dia mengikutiku. "Ayo. Sepertinya yang ini yang
kita lewati waktu naik tadi." Aku turun satu anak tangga.

Kemudian berhenti.

Aku mendengar suara langkah. Langkah berat. Langkah menaiki


tangga.

Eddie langsung meraih tanganku. "Siapa itu?" dia berbisik.

"Paling-paling Mr. Starkes," jawabku. "Dia pasti kembali untuk


memanggil kita."

Eddie menarik napas lega.

"Mr. Starkes?" aku berseru ke bawah.

Hening. Yang terdengar hanya suara langkah yang terus mendekat.

"Mr. Starkes?" aku memanggil sekali lagi. Kali ini suaraku jauh lebih
kecil.

Ketika sosok gelap itu muncul di hadapan kami, aku langsung tahu dia
bukan pemandu wisata kami.

"Oh!" aku berseru kaget waktu laki-laki besar bermantel hitam itu
muncul.
Wajahnya masih tersembunyi dalam kegelapan. Tapi matanya
bagaikan membara ketika dia menatap Eddie dan aku dari bawah
topinya yang lebar.

"A-apakah ini jalan ke bawah?" aku tergagap-gagap.

Dia tidak menyahut.

Dia tidak bergerak. Tapi matanya seolah-olah bendak membakar


mataku.

Aku berusaha melihat wajahnya. Namun tampangnya terselubung


bayangan dari pinggiran topinya.

Aku menarik napas dan mencoba sekali lagi. "Kami terpisah dari
rombongan kami," ujarku. "Mereka pasti sedang menunggu kami.
Apakah—apakah ini jalan ke bawah?"

Sekali lagi dia hanya diam. Dan dia terus menatap kami dengan
pandangan mengancam.

Dia begitu besar, aku menyadari. Seluruh tangga terhalang oleh


badannya.

"Sir—?" aku kembali angkat bicara. "Saya dan adik saya—"

Dia mengangkat sebelah tangan. Tangannya besar sekali, dan


terbungkus sarung tangan berwarna hitam.

Eddie dan aku ditudingnya.


"Kalian ikut saya sekarang," dia menggerung. Aku menatapnya sambil
terbengong-bengong.

Aku benar-benar bingung.

"Kalian harus ikut saya," dia mengulangi. "Saya tidak bermaksud


jahat. Tapi kalau mencoba kabur, saya tidak punya pilihan lain."

Ebukulawas.blogspot.com
EDDIE memekik tertahan.

Aku semakin melongo ketika orang itu menghampiriku.

Lalu aku menyadari siapa dia. "Anda penjaga di sini—bukan?" aku


bertanya.

Dia tetap membisu.

"Anda membuat saya ketakutan," kataku sambil memaksa tertawa.


"Maksud saya, dengan kostum Anda itu. Anda bekerja di sini—
bukan?"

Dia maju selangkah sambil mengangkat tangan. Jari-jemarinya yang


terbungkus sarung tangan hitam tampak bergerak-gerak.

"Maaf kami terlambat begini," aku melanjutkan. "Kami terpisah dari


rombongan kami. Anda pasti sudah mau mengunci semua pintu,
supaya Anda bisa pulang."

Dia maju selangkah lagi. Matanya menyorot tajam. "Kalian tahu


kenapa saya ada di sini," dia menggeram.

"Tidak. Saya tidak tahu. Saya—" Aku mendadak terdiam ketika dia
mencengkeram pundakku. "Hei—jangan ganggu dia!" teriak Eddie.
Tapi orang berjubah itu juga menangkap adikku. Tangannya
mencengkeram pundakku dengan keras. "Hei—!" aku berseru
kesakitan.

Dia mendorong kami hingga merapat ke dinding batu yang dingin.

Aku sempat melihat wajahnya, wajah yang berkesan keras dan geram.
Hidung panjang dan runcing, bibir tipis yang menyeringai lebar. Dan
matanya. Sepasang mata yang menyorot dingin.

"Lepaskan kami!" Eddie menuntut dengan gagah.

"Kami harus menyusul rombongan kami!" aku menambahkan dengan


suara melengking. "Kami sudah mau pulang. Anda tidak boleh
menahan kami di sini!"

Imbauan kami tak digubrisnya. "Jangan bergerak," dia berkata dengan


suara parau. "Berdiri di situ saja. Jangan coba-coba melarikan diri."

"Begini, Sir—kalau kami melakukan kesalahan..." Suaraku melemah


sampai tak terdengar lagi.

Aku memperhatikannya merogoh ke dalam lipatan jubahnya. Sejenak


dia menarik-narik, kemudian dia mengeluarkan sesuatu.

Mula-mula kusangka dia mengambil bola-bola karet. Tiga buah bola.

Tapi ketika terdengar bunyi tik-tik-tik ketika benda-benda itu beradu,


aku menyadari dia memegang tiga batu putih yang licin.

Ada apa ini? aku bertanya dalam hati. Jangan-jangan dia tidak waras?
Jangan-jangan dia gila dan berbahaya?

"Begini, Sir—" Eddie mulai berkata. "Kami harus pulang sekarang."

"Jangan bergerak," hardik laki-laki berjubah itu. Dengan marah dia


menyibakkan jubahnya ke belakang. "Jangan bergerak—dan jangan
bersuara. Ini peringatan saya yang terakhir!"

Eddie dan aku bertukar pandang dengan ngeri. Sambil merapatkan


punggung ke tembok, aku beringsut-ingsut menuju tangga terdekat.

Sambil bergumam sendiri, orang itu memusatkan perhatian pada


ketiga batu putihnya yang licin, yang lalu disusunnya tumpang tindih.

Dia berseru dengan kesal ketika salah satu batu jatuh ke lantai. Batu
itu langsung terpental.

Ini kesempatan kita! pikirku.

Serta-merta kudorong Eddie ke tangga yang satu lagi. "Lari! aku


menjerit.

"Ayo, terus," aku mendesak Eddie. "Lari terus! Kita sudah hampir
sampai di pintu keluar!"

Kata siapa?

Rasanya tangga yang kami daki tadi tidak sepanjang ini.

Sepatu kets kami berdentam-dentam di tangga batu. Tapi suara


langkah laki-laki yang mengejar kami bahkan lebih keras lagi.
Teriakan-teriakannya menggelegar dan bergema di sekeliling kami.
Rasanya kami dikejar-kejar oleh seratus orang yang menakutkan,
bukan cuma satu.

Siapa dia?

Kenapa kami dikejar-kejarnya?

Kenapa dia begitu marah?

Pertanyaan-pertanyaan itu melintas dalam benakku ketika aku


bergegas menuruni tangga yang melingkar-lingkar.

Tak ada waktu untuk mencari jawaban.

Tiba-tiba saja sebuah pintu besar berwarna kelabu menghadang di


depan kami.

Eddie dan aku tidak sempat berhenti, dan kami sama-sama


menabraknya.

"Pintu keluar! Ki-kita sudah sampai!" aku ter-gagap-gagap. Di


belakang kami terdengar suara langkah orang yang mengejar kami.
Semakin dekat. Semakin dekat.

Kita berhasil! pikirku. Kita selamat!

Eddie mendorong pintu itu dengan bahunya. Satu kali, lalu sekali lagi.

Kemudian dia berpaling padaku, dagunya tampak gemetaran karena


takut. "Pintunya terkunci. Kita terkunci di sini!"

"Aduh!" aku memekik. "Ayo kita dorong berdua!"


Kami sama-sama menempelkan bahu dan mendorong dengan sekuat
tenaga.

Sia-sia.

Pintu itu tidak bergerak sedikit pun.

Orang tadi semakin dekat. Kami sudah bisa mendengarnya


bergumam-gumam.

Kami terperangkap, aku menyadari.

Dia akan menangkap kami.

Kenapa dia mengincar kami? Apa yang akan dilakukannya?

"Coba sekali lagi," ujarku dengan suara seperti orang tercekik.

Eddie dan aku kembali berpaling ke pintu.

"Jangan macam-macam!" seru orang berjubah itu. Tapi Eddie dan aku
sekali lagi berusaha mendobrak pintu.

Dan kali ini berhasil. Pintunya membuka sedikit, menimbulkan bunyi


gesekan di lantai batu.

Eddie menarik napas panjang dan menyelinap lewat celah yang


sempit. Aku segera menyusul.

Sambil terengah-engah kami menutup pintu itu. Di bagian luar


ternyata ada batang logam yang panjang. Batang itu bisa digeser
sehingga berfungsi sebagai gerendel. Orang berjubah tadi terkunci di
dalam.
"Kita selamat!" aku berseru sambil membalik.

Namun rupanya belum waktunya bergembira. Kami ternyata berada di


sebuah bangsal besar yang gelap.

Dan sebuah suara yang mendirikan bulu roma—suara laki-laki yang


tertawa pelan—seruangan dengan kami—menandakan bahwa
kesulitan kami belum berakhir.
SUARA tawa itu berasal dari depan kami. Eddie dan aku sama-sama
tersentak kaget.

"Kalian telah memasuki penjara bawah tanah sang raja. Buanglah


segala harapan," orang itu berkata.

"Si-siapa itu?" aku berseru.

Jawaban yang kuperoleh hanyalah tawa.

Seberkas sinar hijau dari langit-langit yang rendah merupakan satu-


satunya cahaya. Sambil berdempet- dempetan dengan Eddie, aku
memicingkan mata dalam keremangan dan mencari jalan keluar.

"Lihat tuh! Di sebelah sana!" bisik Eddie sambil menunjuk.

Di seberang ruangan, merapat ke tembok, ada kurungan dengan terali


besi.

Kami maju beberapa langkah. Kemudian kami melihatnya.

Sebuah tangan yang kurus sekali menggapai-gapai dari balik terali.

"Oh!" aku memekik kaget.

Eddie dan aku melompat mundur.


Tapi kemudian kami melompat maju lagi karena pintu di belakang
kami digedor-gedor. "Kalian tidak bisa lolos!" seru laki-laki berjubah
tadi dari balik pintu.

Eddie langsung meraih tanganku sementara orang itu terus


menggedor-gedor pintu. Bunyinya lebih keras daripada guntur.

Cukup kuatkah gerendelnya untuk menahan amukan laki-laki


tersebut?

Sepasang tangan muncul dari sel lain di depan kami.

"Ini pasti cuma mimpi!" Eddie berkata dengan suara tercekik. "Penjara
bawah tanah cuma ada di zaman dulu!"

"Pintu lain!" aku berbisik. Seluruh tubuhku gemetaran ketika aku


menatap tangan-tangan yang menggapai-gapai dari sel-sel yang gelap.
"Kita harus cari pintu lain."

Sambil kalang kabut aku memandang berkeliling dalam kegelapan. Di


salah satu sudut yang jauh aku melihat sebuah garis terang, mirip
celah pintu yang diterobos sinar.

Tanpa berpikir panjang aku berlari menghampirinya. Namun tanpa


diduga-duga, kakiku tersandung sesuatu. Sesuatu yang dirantai ke
lantai.

Trernyata kakiku tersandung orang yang tergeletak dli lantai. Dan aku
langsung jatuh menimpa dadanya.

Rantainya bergemerincing ketika kakiku terlilit.


Siku dan lututku menghantam lantai batu yang keras. Seketika rasa
sakit menjalar ke seluruh tubuhku.

Orang tua itu tidak bergerak.

Aku bangkit dengan susah payah. Lalu menatapnya dengan heran.

Baru kemudian aku sadar dia cuma boneka. Bukan orang sungguhan.
Cuma boneka yang dirantai ke lantai.

"Eddie—semuanya ini bukan sungguhan!" aku berseru.

"Hah?" Dia menatapku dengan bingung. Wajahnya berkerut-kerut


karena ngeri.

"Ini bukan sungguhan! Semuanya cuma tiruan!" aku mengulangi.


"Lihat! Tangan-tangan yang keluar dari sel-sel—tak ada yang
bergerak! Ini cuma peragaan, Eddie. Cuma peragaan!"

Eddie hendak menjawab. Tapi ledakan tawa bengis langsung


membuatnya terdiam lagi.

"Kalian telah memasuki penjara bawah tanah sang raja. Buanglah


segala harapan!" suara itu mengulangi. Lalu suara tawanya terdengar
kembali.

Ternyata cuma kaset. Cuma rekaman.

Tak ada siapa-siapa selain kami. Tak ada sipir penjara.


Aku menarik napas panjang. Jantungku masih berdentum-dentum
bagaikan genderang. Tapi perasaanku sudah lebih enak setelah tahu
bahwa kami bukan di penjara sungguhan.

"Tak ada yang perlu ditakuti," ujarku kepada Eddie.

Dan kemudian pintu di Makang kami mendadak membuka dengan


suara berderak-derak. Dan laki-laki besar tadi menyerbu masuk.
Jubahnya berkibar-kibar, sementara matanya memancarkan sorot
kemenangan.
EDDIE dan aku berdiri seperti patung di tengah-tengah ruangan.

Laki-laki berjubah itu juga berhenti di tempat. Satu-satunya suara


yang terdengar adalah tarikan napasnya yang tersengal-sengal.

Kami berpandangan. Sama-sama tak bergerak, bagaikan boneka-


boneka di dalam sel-sel.

"Kalian tidak bisa lolos," orang itu menggeram sekali lagi. "Kalian
takkan bisa keluar dari kastil." Ucapannya membuatku merinding.

"Jangan ganggu kami!" Eddie memohon dengan suara yang kecil


sekali.

"Ada apa sebenarnya?" tanyaku. "Kenapa kami dikejar-kejar terus?"

Laki-laki besar itu bertolak pinggang. "Kalian tahu jawabannya,


balasnya singkat. Dia maju selangkah ke arah Eddie dan aku. "Kalian
sudah siap ikut saya sekarang?" dia bertanya dengan nada memaksa.

Aku tidak menyahut. Aku malah merapatkan wajah ke telinga Eddie


dan berbisik, "Bersiap-siaplah untuk lari."

Eddie terus memandang lurus ke depan. Dia tidak berkedip maupun


mengangguk. Aku bahkan tidak tahu apakah dia mendengar apa yang
kukatakan.
"Kalian tidak punya pilihan," laki-laki itu berkata pelan-pelan. Dengan
kedua tangan dia merogoh ke balik jubahnya. Sekali lagi dia
mengeluarkan batu-batu putih yang misterius. Sekali lagi kulihat
matanya yang berwarna gelap dan seringainya yang keji.

"A-Anda membuat kesalahan!" Eddie tergagap-gagap.

Laki-laki itu menggelengkan kepala. Pinggiran topinya yang lebar


menghasilkan bayangan yang miring di lantai. "Saya tidak membuat
kesalahan. Jangan coba kabur lagi. Kalian tahu kalian harus ikut saya
sekarang."

Eddie dan aku tidak perlu diberi aba-aba.

Tanpa berkata apa-apa, tanpa saling melirik, kami membalik—dan lari


sekencang mungkin.

Orang itu langsung berteriak-teriak dan mulai mengejar.

Ruangan tempat kami berada seakan-akan tidak berujung.


Kelihatannya ruang ini menghabiskan seluruh basement kastil, aku
berkata dalam hati.

Di luar daerah yang terjangkau sinar, kegelapan seakan-akan


bergulung-gulung bagaikan kabut.

Rasa panik mencengkeramku. Kakiku mendadak terasa berat sekali.

Aku bergerak slow motion, pikirku sambil berjuang untuk menambah


kecepatan. Eddie dan aku merayap seperti kura-kura.
Kami akan tertangkap! Dua detik lagi kami akan tertangkap.

Aku menoleh ke belakang ketika aku mendengar laki-laki itu


mengaduh keras. Rupanya dia juga tersandung pada boneka yang
melintang di lantai dan jatuh berdebam.

Sementara dia mencoba bangkit, mataku sibuk mencari pintu atau


lorong atau apa saja yang terbuka untuk melarikan diri.

"Ba-bagaimana cara kita keluar dari sini?" seru Eddie. "Kita


terperangkap, Sue!"

"Tidak!" balasku. Aku melihat sebuah meja kerja di dinding. Meja itu
dipenuhi berbagai perkakas. Langsung saja aku mencari sesuatu yang
bisa dipakai sebagai senjata. Tapi ternyata tidak ada yang cocok.
Akhirnya kuraih sebuah senter.

Dengan panik kutekan-tekan tombolnya.

Masih menyalakah senter itu?

Ya.

Seberkas sinar putih menerangi lantai. Kuarahkan sinarnya ke dinding


seberang. "Eddie—lihat tuh!" aku berbisik.

Di dinding seberang ada sebuah celah rendah yang terbuka.


Barangkali semacam terowongan? Terowongan yang bisa kami pakai
untuk melarikan diri?

Sedetik kemudian kami sudah menundukkan kepala dan memasuki


lubang gelap itu.
Cahaya senternya kuarahkan ke bawah. Kami terpaksa membungkuk
sambil berlari. Langit-langit terowongannya melengkung, jadi kurang
tinggi untuk bisa berdiri tegak.

Mula-mula lantai terowongan itu datar, namun kemudian menurun


dan membelok ke kanan. Udaranya terasa lembap dan sejuk. Di
sekitar kami aku mendengar suara air mengalir.

"Ini gorong-gorong lama," kuberitahu Eddie. "Berarti pasti menuju ke


suatu tempat di luar kastil."

"Mudah-mudahan saja," sahut Eddie sambil tersengal-sengal.

Kami menyusuri terowongan itu sambil berlari sekencang mungkin.


Senter di tanganku berayun-ayun. Sinarnya bergantian menerangi
langit-langit yang rendah dan lantai batu yang basah.

Berkat cahaya senterku aku melihat pegangan tangan dari logam yang
terpasang pada langit-langit. Eddie dan aku terpaksa membungkuk
semakin rendah agar kepala kami tidak sampai terbentur.

Berkas sinar dari senterku melompat-lompat dari lantai ke pegangan


tangan di langit-langit gorong-gorong. Eddie dan aku berlari sambil
menginjak genangan-genangan air kotor.

Kami sama-sama menahan napas ketika mendengar suara langkah di


belakang kami.

Suara langkah yang berat dan bergema. Bergemuruh. Semakin lama


semakin dekat.
Aku menoleh ke belakang. Tapi laki-laki berjubah itu belum melewati
belokan.

Suara langkahnya terdengar mantap. Aku langsung tahu dia tidak jauh
di belakang kami.

Kami bakal ketangkap lagi, pikirku dengan panik. Terowongan ini tak
ada ujungnya.

Eddie dan aku tidak sanggup berlari lebih jauh lagi.

Kami akan tertangkap di gorong-gorong yang gelap dan lembap ini.

Lalu bagaimana?

Apa sebenarnya tujuan orang itu?

Kenapa dia bilang kami tahu apa tujuannya? Bagaimana mungkin


kami tahu?

Aku tergelincir sampai terhuyung-huyung ke depan. Senterku


membentur tembok, terlepas dari tanganku, dan jatuh ke lantai.

Cahayanya menyorot ke belakang, ke arah laki-laki berjubah itu.

Dia muncul sambil membungkuk, sambil berlari dengan kencang.

"Oh!" aku mengerang ketakutan.

Cepat-cepat aku membungkuk untuk meraih senterku. Tapi karena


tanganku gemetaran, senternya malah jatuh lagi.

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh laki-laki yang mengejar kami.


Dia menangkap Eddie dengan kedua tangan, lalu membungkusnya
dengan jubahnya yang hitam.

Kemudian dia berusaha meraihku. "Saya sudah bilang—kalian tidak


mungkin lolos," katanya dengan suara parau.
AKU membungkuk untuk menghindari sergapan orang itu.

Sambil mengaduh ketakutan, kupungut senterku dari lantai.

Aku ingin memakainya sebagai senjata. Untuk membuat si laki-laki


berjubah kesilauan. Atau untuk memukul kepalanya.

Tapi aku tidak memperoleh kesempatan.

Aku berdiri sambil membelalakkan mata ketika cahaya senterku


menyorot ke ujung terowongan dan aku melihat tikus.

Ratusan tikus. Ratusan tikus kelabu yang bercicit-cicit.

Cahaya senterku membuat mata mereka tampak merah manyala


bagaikan bara api. Tikus-tikus itu berlari di lantai gorong-gorong.
Semuanya menyerang dengan berkertak-kertuk, seakan-akan
kelaparan.

Suara mereka yang melengking terdengar bergema di terowongan.


Mengerikan sekali. Aku langsung menahan napas.

Mata mereka yang kecil tampak membara ketika mereka berlari ke


arah kami. Ekor mereka yang panjang terseret-seret di lantai bagaikan
ular hitam.

Si laki-laki berjubah juga melihat gerombolan binatang pengerat itu.


Seketika dia melompat mundur sambil berseru kaget.
Eddie jatuh dari balik jubah orang itu, dan dia langsung
membelalakkan mata ketika melihat tikus-tikus yang menyerang.

"Lompat!" teriakku. "Lompat, Eddie!"

Eddie tidak bergerak. Kami sama-sama menatap tikus-tikus yang


menerjang bagaikan gelombang pasang.

"Lompat! Lompat, cepat!" aku memekik. Kuangkat kedua tanganku


dan melompat.

Eddie juga melompat. Kami bergelantungan pada batang-batang


logam yang terpasang pada langit-langit gorong-gorong.

Sambil mengangkat badan, aku juga menarik kaki setinggi mungkin


dari lantai.

Lebih tinggi. Lebih tinggi lagi. Semakin jauh dari tikus-tikus yang
mengalir bagaikan air bah.

Bau tak sedap memenuhi udara ketika tikus-tikus itu lewat di


bawahku, sehingga aku nyaris tak dapat bernapas.

Kuku mereka yang panjang berkertak-kertuk di lantai. Aku juga


mendengar ekor mereka terseret-seret.

Tikus-tikus itu tidak kelihatan dalam kegelapan. Tapi suara yang


mereka timbulkan terdengar jelas sekali. Aku bisa merasakan
kehadiran mereka. Binatang-binatang itu berusaha menggigit
sepatuku. Kakiku dicakar-cakar. Serangan mereka seakan-akan tak
ada habisnya.
Aku menoleh dan melihat si laki-laki berjubah berbalik dan melarikan
diri.

Dia kabur dengan langkah panjang untuk menyelamatkan diri dari


tikus-tikus yang menerjang bagaikan gelombang pasang. Tangannya
menggapai-gapai, dan jubahnya yang hitam tampak berkibar-kibar.

Topinya yang lebar terlepas dan jatuh ke lantai. Seketika selusin tikus
mengerubuti topi itu dan mengoyak-ngoyaknya sampai hancur.

Suara langkah laki-laki itu terdengar bergema ketika dia mempercepat


langkahnya. Beberapa ekor tikus tampak bergelantungan pada
jubahnya sambil bercicit-cicit.

Sedetik kemudian dia sudah melewati tikungan dan lenyap dari


pandangan.

Tikus-tikus itu terus mengejarnya. Sewaktu binatang-binatang tersebut


melewati tikungan, semua suara berbaur menjadi gemuruh yang
bergema di gorong-gorong yang panjang.

Gemuruh yang membangkitkan kengerian. Kedua lenganku terasa


pegal dan capek. Tapi aku terus mengangkat kaki tinggi-tinggi dari
lantai. Tanganku baru kulepaskan setelah yakin bahwa tikus-tikus itu
benar-benar sudah pergi.

Gemuruh tadi menghilang di kejauhan.

Aku mendengar napas Eddie yang tersengal-sengal. Dia mengerang,


lalu membiarkan dirinya jatuh ke lantai.
Aku pun melepaskan pegangan tangan dan melompat ke bawah.
Selama beberapa waktu aku berdiri seperti patung sambil menunggu
jantungku berhenti berdegup-degup, menunggu pelipisku berhenti
berdenyut-denyut.

"Uh, hampir saja," Eddie bergumam. Dagunya gemetaran. Wajahnya


tampak kelabu seperti dinding terowongan.

Aku merinding. Aku yakin aku bakal lama dihantui mimpi buruk
mengenai ratusan tikus dengan mata merah.

"Kita harus cari jalan keluar dari gorong-gorong ini!" aku berseru
dengan kalut. "Mr. Starkes pasti sudah kalang kabut mencari kita."

Eddie memungut senter dari lantai dan menyerahkannya padaku. "Aku


sudah tidak sabar untuk kembali ke bus kita," katanya. "Aku sudah
tidak sabar untuk pergi dari menara mengerikan ini. Seumur hidup aku
tak pernah membayangkan bahwa aku bakal dikejar-kejar di gorong-
gorong oleh orang gila. Jangan-jangan kita cuma mimpi, Sue?!"

"Ini bukan mimpi," sahutku sambil menggelengkan kepala. Tiba-tiba


aku teringat sesuatu. "Wah, pertemuan Papa dan Mama pasti sudah
selesai," ujarku. "Mereka pasti cemas karena kita belum pulang."

"Aku lebih cemas lagi," Eddie menimpali.

Kuarahkan senterku ke lantai di depan kami,lalu Eddie dan aku


kembali menyusuri terowongan, yang mulai naik dan membelok ke
kiri.
"Pasti ada jalan keluar dari gorong-gorong ini," aku bergumam. "Pasti
ada!"

Gemuruh yang terdengar sayup-sayup dari depan membuatku


memekik tertahan.

Serangan tikus lagi!

Eddie dan aku langsung berhenti dan pasang telinga.

"Hei—!" aku berseru dengan lega ketika menyadari bahwa bunyi yang
terdengar berbeda. Bunyi yang kami dengar adalah bunyi angin yang
memasuki gorong-gorong.

Ini berarti kami hampir sampai di mulut terowonga n. Dan itu juga
berarti bahwa kami bisa keluar! "Ayo!" ujarku. Cahaya senterku
menari-nari ketika kami mulai berlari.

Terowongan yang kami lewati kembali membelok. Lalu tiba-tiba


berakhir.

Aku melihat sebuah tangga logam yang menuju ke atas, ke sebuah


lubang besar di langit-langit terowongan. Aku mendongak dan melihat
langit malam.

Eddie dan aku bersorak kegirangan. Adikku segera memanjat keluar,


dan aku menyusulnya.

Udara malam di luar dingin dan lembap, tapi kami tidak peduli.
Udaranya terasa begitu segar dan bersih bagi kami.
Dan yang paling penting, kami sudah berhasil keluar. Keluar dari
gorong-gorong. Keluar dari Menara Teror.

Dan lolos dari kejaran laki-laki berjubah hitam yang menakutkan tadi.

Aku memandang berkeliling untuk mengira-ngira di mana kami


berada. Menara Teror menjulang tinggi, bagaikan bayangan hitam di
tengah kegelapan.

Semua lampu telah dipadamkan. Gardu jaganya juga gelap dan


kosong. Tak seorang pun kelihatan.

Aku melihat tembok rendah yang memisahkan Menara dari dunia


sekitarnya. Dan kemudian aku menemukan jalan setapak yang menuju
ke gerbang keluar, ke pelataran parkir.

Langkah kami berdebam-debam ketika kami bergegas ke pelataran


parkir. Bulan sabit yang pucat mulai muncul dari balik awan,
membanjiri pohon-pohon dan tembok batu yang memanjang dengan
cahaya keperakan.

Semuanya tiba-tiba berkesan janggal, seakan-akan tidak nyata.

Tanpa berhenti aku menoleh ke arah kastil tua itu. Cahaya bulan
menerangi kedua menara yang menjulang tinggi.

Ratusan tahun yang lalu jalan setapak ini benar-benar dilewati orang-
orang bernasib malang, aku berkata dalam hati.

Dan sebagian besar dari mereka mati di menara itu.


Sambil merinding kualihkan pandanganku ke depan dan terus berlari.
Cepat-cepat aku dan Eddie melewati gerbang yang terbuka.

Kami sudah kembali ke zaman modern, pikirku. Kami sudah kembali


ke tempat yang aman.

Tapi kegembiraan kami tidak lama.

Pelataran parkir ternyata sudah kosong.

Bus kami telah pergi.

Aku dan Eddie mencari-carinya sampai ke jalan raya. Tapi jalan itu
pun sunyi dan lengang.

"Mereka meninggalkan kita di sini," Eddie bergumam sambil


mendesah. "Bagaimana cara kita kembali ke hotel?"

Aku hendak menjawab—tapi langsung berhenti ketika melihat sosok


di hadapanku.

Seorang laki-laki jangkung berambut putih menghampiri kami sambil


terpincang-pincang. "Hei-kalian!" dia berseru sambil menunjuk.

Oh, gawat, pikirku dengan waswas. Seluruh tubuhku mendadak


lumpuh karena ketakutan.

Apa lagi sekarang?


HEI—kalian!"

Orang itu bergegas mendekat. Eddie dan aku menatapnya sambil


saling merapat. Rambutnya yang putih tertutup topi berwarna kelabu.
Mantelnya yang panjang menggantung sampai ke mata kaki.

Dia berhenti di hadapan kami dan menunggu sejenak sampai napasnya


kembali normal. Matanya yang kecil memantulkan cahaya bulan
ketika dia mengamati Eddie, lalu aku.

"Kalian ini anak-anak yang dicari sopir bus tadi?" dia bertanya dengan
suara yang melengking tinggi. Logat bicaranya berbeda dari logat Mr.
Starkes. Rasanya dia orang Skotlandia.

Eddie dan aku mengangguk.

"Hmm, saya penjaga malam di sini," ujar orang itu. "Kalau malam
tidak ada siapa-siapa di sini selain saya."

"Ehm... bus kami ke mana?" Eddie memberanikan diri untuk bertanya.

"Sudah pergi," sahut si penjaga malam dengan ketus. "Kalian sudah


dicari ke mana-mana. Tapi akhirnya sopir busnya tidak bisa
menunggu lebih lama lagi. Apa yang terjadi? Kalian tersesat di sana?"
Dia menunjuk ke arah Menara.
"Kami dikejar-kejar," Eddie langsung bercerita. "Ada laki-laki yang
mengejar-ngejar kami. Dia bila ng kami harus ikut dia. Dia
menakutkan sekali,

"Laki-laki? Laki-laki yang mana?" Si penjaga malam menatap kami


dengan curiga.

"Laki-laki berjubah hitam!" aku berseru. "Dan bertopi hitam. Dia


mengejar-ngejar kami. Di Menara."

"Tidak ada siapa-siapa di Menara," balas si penjaga sambil geleng-


geleng kepala. "Saya kan sudah bilang. Kalau sudah malam tidak ada
siapa-siapa di sini selain saya."

"Tapi dia ada di situ!" seruku. "Dia mengejar-ngejar kami! Kami


dikejar-kejar sampai ke gorong-gorong dan ke tempat tikus-tikus di
situ—"

"Gorong-gorong? Kalian masuk ke gorong-gorong tadi?" tanya si


penjaga malam. "Di sini ada peraturan yang mengatur tempat mana
yang boleh didatangi turis. Kalau peraturan ini kalian langgar, kami
tidak bisa bertanggung jawab lagi."

Dia menghela napas. "Dan sekarang kalian menyajikan cerita aneh


tentang laki-laki berjubah hitam yang mengejar kalian di gorong-
gorong. Ini tidak masuk akal. Tidak masuk akal."

Eddie dan aku berpandangan. Kami sadar bahwa orang itu takkan
percaya.
"Bagaimana kami bisa kembali ke hotel kami?" tanya Eddie.
"Orangtua kami pasti sudah cemas."

Aku menoleh ke arah jalan raya. Tak satu mobil atau bus pun
kelihatan.

"Kalian punya uang?" si penjaga bertanya sambil memasang topinya


kembali. "Di pojok sana ada telepon umum. Kalian bisa panggil
taksi."

Aku merogoh saku celanaku dan meraba keping-keping uang yang


diberikan orangtuaku sebelum Eddie dan aku berangkat tadi. Aku
langsung lega.

"Kami punya uang," ujarku.

"Tapi jaraknya cukup jauh. Kalian harus bayar lima belas sampai dua
puluh pound untuk perjalanan ke kota dari sini," dia mewanti-wanti.

"Tidak apa-apa," kataku. "Kami diberi uang Inggris oleh orangtua


kami. Kalau tidak cukup, orangtuaku yang akan membayar sisanya."

Si penjaga malam mengangguk. Kemudian dia berpaling kepada


Eddie. "Kau kelihatan agak pucat, Nak. Kau ketakutan di Menara
tadi?"

Eddie menelan ludah. "Saya cuma ingin kembali ke hotel kami," dia
bergumam.
Si penjaga malam kembali mengangguk. Kemudian, sambil
menyelipkan kedua tangan ke kantong mantelnya yang panjang, dia
mengantarkan kami ke telepon umum.

Sepuluh menit kemudian sebuah taksi berwarna hitam muncul.


Pengemudinya anak muda berambut pirang panjang dan berombak.
"Kalian mau ke hotel mana?" tanyanya padaku.

"Ke Hotel Barclay," jawabku.

Aku dan Eddie naik, dan duduk di bangku belakang. Suasana di dalam
taksi ternyata hangat dan nyaman. Aku bersyukur bahwa kami
akhirnya bisa duduk dengan tenang.

Aku tidak menoleh ke belakang ketika taksinya mulai jalan. Terus


terang, aku tak mau melihat kastil tua lagi.

Taksi yang kami tumpangi meluncur melewati jalan-jalan yang gelap.


Argometernya berdetak-detak, sementara si pengemudi bersenandung
pelan.

Aku memejamkan mata dan menyandarkan kepala ke belakang. Aku


berusaha melupakan laki-laki menakutkan yang mengejar-ngejar kami
di Menara. Tapi aku tidak berhasil mengusirnya dari benakku.

Tidak lama kemudian kami sudah tiba di pusat kota London. Jalanan
dipenuhi mobil dan taksi. Kami melewati gedung-gedung teater dan
restoran yang terang benderang.
Taksi kami menepi di depan Hotel Barclay dan berhenti di sisi trotoar.
Si pengemudi membuka jendela geser di belakangnya dan berpaling
padaku. "Ongkosnya lima belas pound enam puluh pence."

Eddie menegakkan badan sambil terkantuk-kantuk. Dia berkedip


beberapa kali, dan sepertinya dia agak kaget mengetahui kami sudah
sampai di tempat tujuan.

Aku merogoh saku dan mengeluarkan keping-keping uang. "Saya


kurang paham soal uang Inggris," aku mengakui. "Barangkali Anda
bisa mengambil jumlah yang benar dari sini?"

Si pengemudi mengamati keping-keping uang yang kusodorkan


padanya, lalu kembali menatapku. "Apa ini?" tanyanya dengan ketus.

"Keping uang," sahutku. Aku tak tahu apalagi yang mesti kukatakan.
"Apakah ini cukup untuk membayar ongkos taksi?"

Si pengemudi memicingkan mata. "Kau tidak punya uang sungguhan?


Atau kau memang mau membayar dengan uang mainan?"

"Sa-saya tidak mengerti," aku tergagap-gagap. Tanganku mulai


gemetaran, dan keping-keping uang yang kupegang hampir jatuh dari
tanganku.

"Saya juga tidak mengerti," balas si pengemudi dengan sengit. "Tapi


yang jelas, ini bukan uang sungguhan. Uang yang berlaku di sini
adalah pound Inggris, Nona."

Roman mukanya berkesan gusar. Dia menatapku sambil melotot.


"Nah, kau mau membayar saya dengan pound Inggris, atau kau mau
membuat masalah? Ayo, cepat! Saya tidak punya waktu untuk
bermain-main!"
KUTARIK tanganku dan kuamati keping-keping yang kupegang. Tapi
karena gelap, aku sukar melihat dengan jelas.

Keping-keping itu bulat, berukuran besar, dan cukup berat. Sepertinya


terbuat dari emas atau perak. Namun aku tidak bisa membaca tulisan
yang tercetak.

"Mana mungkin orangtua saya memberikan uang mainan?" aku


bertanya pada si pengemudi.

Dia angkat bahu. "Saya tidak kenal orangtuamu."

"Hmm, kalau begitu biar mereka saja yang membayar ongkosnya,"


sahutku. Dengan susah payah keping-keping itu kuselipkan kembali
ke saku celanaku.

"Lima belas pound enam puluh pence—ditambah uang rokok," si


pengemudi berkata sambil mengerutkan kening. "Di mana orangtuamu
sekarang? Di hotel?"

Aku mengangguk. "Ya. Mereka ada konferensi. Tapi sekarang mereka


pasti sudah ada di kamar. Kami akan memanggil mereka, supaya
mereka bisa membayarmu."

"Tapi dengan uang sungguhan," si pengemudi berpesan. "Dan awas,


kalau lima menit dari sekarang kalian belum muncul lagi, saya akan
menyusul kalian."
"Mereka pasti segera turun. Saya janji," aku berusaha
menenangkannya.

Aku membuka pintu dan turun dari taksi. Eddie mengikutiku sambil
geleng-geleng kepala. "Ini benar-benar aneh," gumamnya pelan.

Petugas pintu berseragam merah membukakan pintu hotel untuk kami,


Eddie dan aku langsung memasuki lobi yang besar dan diterangi
lampu kristal. Sebagian besar orang yang kami jumpai menuju ke arah
yang berlawanan. Mungkin mereka mau makan malam di luar, aku
menduga-duga.

Perutku berbunyi nyaring. Baru sekarang aku sadar bahwa aku pun
sudah kelaparan.

Eddie dan aku melewati meja resepsionis yang panjang. Kami berjalan
begitu terburu-buru sehingga nyaris bertabrakan dengan petugas hotel
yang mendorong kereta penuh koper.

Di sebelah kanan, aku mendengar gemerincing piring-piring di


restoran hotel. Aroma roti yang baru keluar dari mesin panggang
merangsang selera.

Pintu lift terbuka. Seorang wanita berambut merah dengan mantel


bulu turun sambil menggiring anjing pudel berbulu putih. Eddie
tersangkut pada talinya. Aku terpaksa membantu membebaskannya
agar kami tidak ketinggalan lift.

Cepat-cepat kami memasuki lift. Setelah pintunya menutup, aku


menekan tombol enam. "Ada apa sih dengan uang kita?" tanya Eddie.
Aku angkat bahu. "Aku juga tidak tahu. Mungkin Dad keliru
memberi."

Lift yang kami tumpangi berhenti di lantai enam, pintunya membuka.


Kami bergegas menyusuri koridor panjang berkarpet tebal yang
menuju kamar kami.

Aku melangkahi baki room service yang tergeletak di lantai.


Seseorang menyisakan setengah potong sandwich dan semangkuk
buah. Perutku kembali berbunyi, mengingatkan aku betapa laparnya
aku.

"Nah, sudah sampai." Eddie berlari ke pintu kamar 626 dan langsung
mengetuk. "Hei, Mom! Dad! Sue dan aku sudah pulang!"

"Cepat buka pintu!" aku berseru dengan nada mendesak.

Eddie kembali mengetuk, kali ini sedikit lebih keras. "Hei—buka


dong!"

Kami menempelkan telinga ke daun pintu. Hening. Tak ada suara


langkah. Tak ada suara orang bercakap-cakap.

"Hei—Mom, Dad, Kalian ada di dalam!" seru Eddie. Sekali lagi dia
mengetuk. "Cepat dong! Ini kami."

Dia berpaling padaku. "Masa sih, pertemuan mereka belum selesai


juga?" dia bergumam.

Aku menempelkan tangan ke sekeliling mulut. "Mom? Dad? Kalian


ada di dalam?" aku memanggil.
Tak ada jawaban.

Eddie menghela napas. Dia tampak lemas. "Bagaimana sekarang?"

"Kalian ada masalah?" sebuah suara wanita bertanya.

Aku menoleh dan melihat petugas kebersihan hotel. Dia mengenakan


seragam abu-abu dan topi kecil berwarna putih. Dia menghentikan
kereta dorongnya yang penuh handuk dan berdiri di hadapan aku dan
Eddie.

"Orangtua kami masih mengikuti konferensi," aku memberitahunya.


"Saya dan adik saya—kami tidak bisa masuk kamar."

Dia mengamati kami sejenak. Kemudian dia mundur selangkah dari


kereta dorongnya dan mengambil seikat anak kunci.

"Sebenarnya ini tidak boleh," ujarnya sambil mencari-cari anak kunci


yang tepat. "Tapi kasihan juga kalian terpaksa berdiri di luar sini."

Dia membukakan pintu untuk kami. Eddie dan aku sama-sama


mengucapkan terima kasih. Wanita itu tersenyum, lalu kembali
mendorong keretanya menyusuri koridor.

Kamarnya ternyata gelap. Aku menyalakan lampu ketika kami berdua


melangkah masuk.

"Mereka belum datang," kataku pelan-pelan.

"Mereka pasti meninggalkan pesan untuk kita," sahut Eddie.


"Barangkali mereka pergi lagi dengan orang-orang yang juga ikut
pertemuan. Atau mungkin mereka sudah menunggu kita di restoran."
Kamar kami sebenarnya berupa suite dengan ruang duduk dan dua
kamar tidur.

Sambil menekan sakelar-sakelar lampu yang kulewati, aku menuju ke


meja tulis di pojok. Di atasnya ada buku notes dan pena. Tapi buku
notesnya kosong. Tak ada pesan apa pun.

Kedua orangtuaku juga tidak meninggalkan pesan di meja di samping


tempat tidur.

"Wah, aneh," Eddie bergumam.

Aku melintasi ruangan dan masuk ke kamar tidur mereka. Kemudian


aku menyalakan lampu dan memandang berkeliling.

Kamar mereka telah dibereskan. Tempat tidur mereka tampak rapi.


Tak ada pesan untuk kami. Meja riasnya pun kosong. Tak ada pakaian
yang ditaruh pada sandaran kursi. Tak ada sepatu di lantai. Tak ada tas
kerja atau buku catatan dari konferensi yang mereka ikuti.

Tak ada tanda-tanda sama sekali bahwa ruangan itu dihuni orang.

Aku berpaling dan melihat Eddie menuju ke lemari pakaian. Dia


mendorong pintu gesernya. sampai membuka lebar.

"Sue, lihat!" adikku berseru. "Lemarinya kosong! Pakaian Mom dan


Dad—pakaian kita—semuanya tidak ada!"

Aku langsung dapat firasat buruk. "Aduh, ada apa ini?" seruku dengan
bingung.
"MANA mungkin mereka pergi begitu saja!" seruku. Aku langsung
menghampiri lemari pakaian untuk memeriksanya. Terus terang, aku
sendiri tidak tahu apa yang kuharapkan. Dari tempat aku berdiri pun
terlihat jelas bahwa lemari itu kosong.

"Kau yakin ini memang kamar kita?" tanya Eddie. Dia membuka laci
paling atas. Kosong. "Tentu saja aku yakin," balasku dengan jengkel.
Eddie membuka semua laci yang lain. Semuanya kosong.

Kami memeriksa setiap jengkal. Tak ada tanda apa pun mengenai
keberadaan orangtua kami.

"Sebaiknya kita ke resepsionis di bawah," aku mengusulkan sambil


memeras otak. "Kita tanya saja di mana pertemuan itu diadakan.
Setelah itu kita ke sana dan bicara dengan Mom dan Dad."

"Aku tidak yakin mereka masih di situ," Eddie bergumam sambil


menggelengkan kepala. "Mana mungkin mereka membereskan
barang-barang kita dan membawa semuanya ke tempat pertemuan?"

"Pasti ada jawaban yang masuk akal." sahutku. "Ayo. Kita turun saja
lagi."

Kami kembali menyusuri koridor yang panjang dan turun dengan lift.

Ternyata ada kerumunan orang di depan meja resepsionis. Seorang


wanita besar bersetelan jas hijau sedang berdebat sengit mengenai
kamarnya. "Saya dijanjikan kamar dengan pemandangan ke sungai!"
dia membentak pria berwajah merah di belakang meja. "Dan saya
menuntut pemandangan ke sungai!"

"Tapi, Madam," pria itu berkata sambil menyabarkan diri, "hotel kami
tidak terletak di dekat sungai. Hotel ini tidak mempunyai
pemandangan ke arah sungai."

"Pokoknya saya harus dapat kamar yang menghadap ke sungai!"


wanita itu berkeras. "Semuanya tertulis di sini!" Dia menyodorkan
selembar kertas ke hadapan lawan bicaranya.

Perdebatan mereka masih berlangsung beberapa menit lagi, tapi aku


tidak memperhatikannya lebih lanjut. Aku sibuk memikirkan orangtua
kami. Dalam hati aku bertanya-tanya di mana mereka berada. Dan
kenapa mereka tidak meninggalkan pesan untuk kami.

Baru sekitar sepuluh menit kemudian Eddie dan aku mendapat giliran
untuk bicara dengan petugas penerima tamu. Orang itu menyimpan
beberapa lembar kertas dalam sebuah map, lalu berpaling kepada
kami. Secara otomatis dia mengembangkan senyum. "Ada yang dapat
saya bantu?"

"Kami sedang mencari orangtua kami," aku berkata sambil bertopang


pada sikuku. "Kalau tidak salah, mereka sedang mengikuti konferensi.
Apakah Anda bisa memberitahu kami di mana pertemuan itu
diadakan?"
Petugas tersebut menatapku sambil mengerutkan kening, seakan-akan
tidak mengerti maksudku. "Pertemuan yang mana?" dia akhirnya
bertanya.

Aku kembali memeras otak. Tapi aku tidak ingat nama pertemuan itu.
Atau apa yang dibahas.

"Pertemuannya besar," aku menyahut ragu-ragu. "Pertemuan yang


pesertanya datang dari seluruh dunia."

Petugas di belakang meja itu kembali mengerutkan kening. Sepertinya


dia sedang berpikir keras. "Hmm...."

"Pertemuannya ramai sekali," Eddie menimpali.

"Kelihatannya ada salah paham," si petugas berkata sambil


mengerutkan kening dan menggaruk-garuk telinga kanannya.
"Minggu ini tidak ada pertemuan apa pun di hotel kami."

Aku menatapnya sambil melongo. Sebenarnya aku ingin mengatakan


sesuatu, tapi tenggorokanku seakan-akan tercekik.

"Tidak ada pertemuan?" Eddie mengulangi sambil terbengong-


bengong.

Si petugas menggelengkan kepala. "Tidak ada," tegasnya.

Seorang wanita muda memanggilnya dari ruang kerja di balik meja. Si


petugas memberi isyarat bahwa dia akan segera kembali, lalu bergegas
ke belakang untuk menanyakan keperluan rekannya.
"Jangan-jangan kita salah masuk hotel?" Eddie berbisik padaku.
Roman mukanya tampak kencang karena kecemasan yang
meliputinya.

"Mana mungkin!" balasku dengan ketus. "Kenapa sih kau terus


menggangguku dengan pertanyaan-pertanyaan konyol? Aku bukan
orang tolol, tahu? Kenapa sih kau terus bertanya, jangan-jangan kita
salah masuk kamar? Jangan-jangan kita salah masuk hotel?"

"Sebab semuanya tidak masuk akal," dia bergumam.

Aku hendak menyahut, tapi petugas tadi keburu muncul lagi. "Boleh
saya tahu nomor kamar kalian?" tanyanya sambil kembali menggaruk-
garuk telinganya.

"Enam dua enam," aku memberitahunya.

Dia menekan beberapa tombol pada papan ketik komputernya, lalu


menatap layar monitor sambil memicingkan mata. "Maaf, kamar itu
kosong!'

"Apa?" aku berseru.

Petugas itu berpaling kepadaku. "Saat ini tidak ada tamu yang
menginap di kamar 626," dia mengulangi.

"Tapi itu kamar kami!" seru Eddie.

Si petugas memaksakan senyum. Dia mengangkat kedua tangannya,


seakan-akan ingin berkata, "Hei-tenang saja!"
"Kita akan menemukan orangtua kalian," dia berkata kepada kami
dengan senyum yang seolah-olah terukir di wajahnya. Sekali lagi dia
menekan beberapa tombol pada komputernya. "Hmm, apa nama
belakang kalian?"

Aku membuka mulut untuk menjawab. Tapi aku tidak tahu harus
berkata apa.

Aku melirik ke arah Eddie. Wajahnya tampak berkerut-kerut karena


konsentrasi.

"Siapa nama belakang kalian?" si petugas mengulangi. "Kalian bilang


orangtua kalian ada di sini, kami pasti bisa melacak mereka. Tapi
untuk itu saya perlu tahu nama belakang kalian."

Aku menatapnya sambil terbengong-bengong.

Tiba-tiba saja aku diliputi perasaan aneh yang bermula di tengkukku,


lalu menjalar ke seluruh tubuhku. Sekonyong-konyong aku merasa
seakan-akan tidak bisa bernapas, seakan-akan jantungku berhenti
berdetak.

Nama belakangku. Nama belakangku...

Kenapa aku tidak bisa mengingat nama belakangku.

Seluruh tubuhku mulai gemetaran. Air mata mulai menggenangi


mataku.

Ini benar-benar gawat!

Namaku Sue, aku berkata dalam hati. Sue... Sue... siapa?


Sambil gemetar dan air mata membasahi pipi, aku menggenggam
pundak adikku. "Eddie," aku terbata-bata, "apa nama belakang kita?"

"A-aku tidak ingat!" dia pun terisak-isak.

"Oh, Eddie!" Langsung saja kupeluk adikku dan kudekap erat-erat.


"Ada apa dengan kita? Ada apa dengan kita?"
"KITA tidak boleh panik," aku berkata kepada adikku. "Kalau kita
tarik napas dalam-dalam dan menenangkan pikiran, kita pasti bisa
mengingatnya."

"Mungkin kau benar," Eddie menyahut dengan bimbang.


Pandangannya tertuju lurus ke depan. Dia mengertakkan gigi dan
berusaha keras tidak menangis.

Beberapa menit telah berlalu. Atas saran si petugas penerima tamu,


kami telah pindah ke restoran hotel. Dia berjanji akan mencoba
menemukan orangtua kami sementara Eddie dan aku makan malam.

Usul itu disambut hangat oleh kami berdua, sebab kami memang
sudah kelaparan!

Kami duduk di meja kecil di bagian belakang restoran. Pandanganku


berkeliling di ruangan yang besar dan megah itu. Lampu-lampu kristal
memancarkan cahaya berkilau, menerangi para tamu yang berpakaian
rapi. Di balkon kecil pada salah satu dinding, sebuah kuartet gesek
memainkan musik klasik.

Eddie gelisah sekali. Tanpa henti dia mengetukkan jarinya pada meja
yang tertutup taplak berwarna putih bersih. Aku terus mengotak-atik
sendok dan garpu yang berat.

Meja-meja di sekeliling kami penuh dengan orang yang tertawa dan


bergembira. Tiga anak kecil di meja sebelah, semuanya
berpenampilan rapi sekali, sedang menyanyikan lagu dalam bahasa
Prancis. Orangtua mereka mendengarkan sambil tersenyum bangga.

Eddie mencondongkan badan ke arahku, lalu berbisik, "Bagaimana


kita akan membayar makanan kita? Uang kita tidak laku di sini."

"Kita masukkan ke tagihan kamar saja," sahutku, "kalau sudah


ketahuan di kamar mana kita menginap." Eddie mengangguk dan
kembali bersandar di kursinya.

Seorang pelayan dengan jas hitam muncul di samping meja kami. Dia
menatap Eddie dan aku sambil mengembangkan senyum. "Selamat
datang di Hotel Barclay," katanya. "Apa yang bisa saya hidangkan
malam ini?"

"Boleh kami melihat menunya?" aku bertanya.

"Sekarang belum ada menu," si pelayan menjawab tanpa mengubah


senyumnya. "Saat ini kami masih menyajikan teh."

"Hanya teh?" seru Eddie. "Tidak ada makanan?"

Si pelayan tertawa kecil. "Untuk acara minum teh kami menyediakan


sandwich, croissant, dan aneka macam kue."

"Ya, itu saja," ujarku.

Dia mengangguk singkat, membalikkan badan, dan menuju ke dapur.

"Lumayan, paling tidak ada sesuatu untuk mengganjal perut," aku


bergumam.
Sepertinya Eddie tidak mendengar apa yang k-katakan. Sebentar-
sebentar pandangannya terarah ke pintu masuk restoran. Aku tahu dia
sedang menunggu Mom dan Dad.

"Kenapa kita tidak ingat nama belakang kita?" dia bertanya dengan
bingung bercampur sedih.

"Aku juga tidak tahu," aku mengakui. "Aku sendiri bingung."

Setiap kali aku hendak memikirkannya, kepalaku mendadak pening.


Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa itu cuma gara-gara lapar. Kau
pasti akan ingat lagi setelah makan, aku terus mengulangi dalam hati.

Pelayan tadi mengantarkan nampan berisi beberapa potong sandwich


mungil yang dipotong berbentuk segitiga. Ada yang berisi egg-salad,
ikan tuna, dan ada juga yang isinya tak kukenali.

Tapi Eddie dan aku tidak ambil pusing. Begitu si pelayan meletakkan
nampan, kami langsung mulai melahap sandwich.

Kami minum dua cangkir teh. Kemudian nampan berikut yang berisi
croissant tiba. Kami oleskan mentega dan selai arbei, lalu kembali
makan dengan lahap.

"Kalau kita jelaskan pada resepsionis bagaimana tampang Mom dan


Dad, barangkali dia bisa membantu kita," ujar Eddie. Dia menyambar
croissant terakhir sebelum aku sempat mengambilnya.

"Ide bagus," aku menanggapinya.

Kemudian aku memekik tertahan. Kepalaku mendadak pening lagi.


"Eddie," kataku. "Aku tidak ingat tampang Mom dan Dad!"

Croissant di tangan Eddie terjatuh ke piringnya. "Aku juga," dia


bergumam sambil menundukkan kepala. "Wah, ini tidak masuk akal,
Sue!"

Aku memejamkan mata. "Ssst. Coba deh kau bayangkan tampang


mereka," aku mendesak. "Singkirkan semua pikiran lain. Kau harus
berkonsentrasi. Coba bayangkan tampang mereka."

"A-aku tidak bisa," Eddie tergagap-gagap. Suaranya yang melengking


tinggi jelas-jelas bernada panik. "Ini ada yang tidak beres, Sue. Ada
yang tidak beres dengan kita."

Aku menelan ludah, lalu membuka mata. Aku sama sekali tidak
sanggup membayangkan tampang orangtuaku.

Aku mencoba membayangkan Mom. Apakah dia berambut pirang?


Berambut merah? Berambut hitam? Apakah dia jangkung? Atau
pendek? Kurus? Atau gemuk?

Aku tidak ingat.

"Di mana rumah kita?" Eddie meratap. "Seperti apa rumah kita? Aku
tidak ingat, Sue. Aku sama sekali tidak ingat."

Suaranya terdengar parau. Aku melihat bagaimana susahnya dia


berjuang menahan air matanya.
Tenggorokanku pun tercekik perasaan panik. Tiba-tiba aku seakan-
akan tidak bisa bernapas. Aku menatap Eddie tanpa mampu
mengucapkan sepatah kata pun.

Apa yang mesti kukatakan?

Otakku berputar-putar bagaikan angin puting beliung. "Kita


kehilangan ingatan," aku akhirnya bergumam. "Paling tidak, sebagian
dari ingatan kita."

"Bagaimana mungkin?" Eddie bertanya dengan suara bergetar.


"Bagaimana mungkin kita sama-sama kehilangan ingatan?"

Tanganku kuremas-remas dengan gelisah. Keduanya terasa dingin


bagaikan es. "Paling tidak ada hal-hal yang masih kita ingat," aku
berkata untuk melawan perasaan putus asa yang mulai
menyelubungiku.

"Kita masih ingat nama depan kita," sahut Eddie. "Apa lagi selain
itu?"

"Kita ingat kamar mana yang kita tempati," kataku. "Enam dua enam."

"Tapi petugas tadi bilang kamar itu kosong!" seru Eddie.

"Dan kita juga ingat kenapa kita datang ke London," aku melanjutkan.
"Karena Mom dan Dad harus ikut pertemuan yang penting itu."

"Tapi di hotel ini tidak ada pertemuan apa pun!" Eddie kembali
berseru. "Ingatan kita keliru, Sue. Semuanya keliru!"
Aku berkeras untuk menceritakan segala sesuatu yang bisa kami ingat.
Aku merasa bahwa dengan cara itu kami takkan begitu merasa cemas
mengenai hal-hal yang kami lupa.

Sebenarnya aku sadar ideku itu tidak ada gunanya. Tapi apa lagi yang
bisa kami lakukan?

Aku ingat kita ikut tur tadi," kataku. "Aku ingat semua tempat yang
kita kunjungi di London. Aku ingat Mr. Starkes. Aku ingat—"

"Bagaimana dengan kemarin?" Eddie memotong. "Apa yang kita


lakukan kemarin, Sue?"

Aku hendak menjawab, tapi tenggorokanku seperti tersekat.

Aku tidak ingat apa yang kami lakukan kemarin! Atau hari
sebelumnya. Atau hari sebelum itu.

"Oh, Eddie," aku mengeluh sambil menempelkan tangan ke pipi, "ini


memang ada yang tidak beres." Eddie sepertinya tidak mendengar
ucapanku. Pandangannya tertuju ke pintu restoran.

Aku ikut menoleh—dan melihat anak muda berambut pirang itu.

Si sopir taksi.

Kami sama sekali lupa!


AKu langsung berdiri. Serbet di pangkuanku jatuh menimpa sepatuku.
Aku segera menendangnya lalu meraih tangan Eddie. "Ayo, kita harus
pergi dari sini."

Eddie menatapku dengan bingung, kemudian kembali menoleh ke


arah si sopir taksi. Anak muda itu masih berdiri di pintu restoran
sambil memandang dari meja ke meja.

"Cepat!" aku berbisik. "Dia belum melihat kita."

"Tapi mungkin lebih baik kalau kita jelaskan saja bahwa—" Eddie
mulai berkata.

"Hah? Apa yang bisa kita jelaskan?" balasku dengan sengit. "Bahwa
kita tidak bisa membayarnya karena kita kehilangan ingatan dan
bahkan lupa nama belakang kita sendiri? Aku tidak yakin dia bakal
percaya."

Eddie mengerutkan kening. "Oke. Tapi bagaimana kita bisa keluar


dari sini?" dia bertanya.

Lewat pintu depan jelas tidak mungkin, sebab si sopir taksi masih
menghalangi jalan itu. Tapi di dekat meja kami ada pintu kaca di
dinding belakang.

Pintu itu tertutup tirai putih yang tembus cahaya. Aku juga melihat
tanda kecil bertuliskan: BUKAN JALAN KELUAR.
Tapi aku tidak peduli. Eddie dan aku tidak punya pilihan. Kami harus
angkat kaki—secepatnya!

Aku meraih gagang pintu dan memutarnya. Eddie dan aku segera
menyelinap, lalu menutup pintu kembali.

"Rasanya dia tidak melihat kita pergi," aku berbisik. "Sepertinya kita
selamat."

Kami berpaling dari pintu dan mengamati lorong panjang dan gelap
tempat kami berada. Tempat ini pasti khusus untuk karyawan hotel,
pikirku. Lantainya tidak berkarpet. Dinding-dindingnya kotor, penuh
bercak, dan tidak dicat.

Kami menyusuri lorong yang membelok, kemudian aku mengangkat


sebelah tangan agar Eddie berhenti.

Kami pasang telinga. Adakah suara langkah? Apakah si sopir taksi


sempat melihat kami menyelinap ke balik pintu? Apakah dia mengejar
kami?

Aku tidak bisa mendengar apa-apa karena jantungku berdegup begitu


keras. "Hari ini takkan pernah kulupakan!" keluhku.

Dan kemudian terjadi sesuatu yang bahkan lebih gawat lagi.

Si laki-laki berjubah hitam muncul dari balik belokan. "Kalian kira


saya takkan mengikuti kalian?" dia bertanya. "Kalian kira kalian bisa
lolos dari saya?"
DIA bergegas menghampiri kami. Wajahnya terselubung bayang-
bayang.

Eddie dan aku terjebak dengan punggung merapat ke pintu kaca yang
tertutup tirai.

Ketika laki-laki berjubah itu mendekat, tampangnya mulai terlihat


jelas. Matanya yang gelap menyorot dingin. Mulutnya tampak
menyeringai, seakan-akan mencemooh kami.

Tangannya disodorkan ke hadapan Eddie. "Kembalikan semuanya,"


dia berkata.

Eddie membelalakkan mata dengan heran. "Hah? Apa yang harus saya
kembalikan?" serunya.

Tangan si laki-laki berjubah tetap di depan wajah Eddie.


"Kembalikan—sekarang juga!" dia membentak. "Jangan main-main
dengan saya."

Roman muka Eddie berubah pelan-pelan. Dia melirik ke arahku, lalu


kembali berpaling kepada laki-laki di hadapan kami. "Kalau saya
kembalikan, apakah kami akan dibiarkan pergi?"

Aku benar-benar bingung. Apa yang harus dikembalikan? Apa


maksud Eddie?

Si laki-laki berjubah melepaskan tawa kering.


Kedengarannya lebih seperti suara batuk. "Kau berani tawar-menawar
dengan saya?" dia bertanya pada adikku.

"Eddie—apa maksudnya?" aku berseru.

Tapi Eddie tidak menyahut. Pandangannya lekat pada wajah laki-laki


berjubah itu. "Kalau saya kembalikan, apakah kami akan dibiarkan
pergi?"

"Kembalikan—sekarang juga," laki-laki berbadan besar itu berkata


dengan ketus.

Eddie menghela napas. Dia merogoh saku celananya. Aku


terbengong-bengong ketika dia mengeluarkan ketiga batu licin
berwarna putih.

Rupanya adikku, si raja copet, telah beraksi lagi. "Eddie—kapan


kauambil batu-batu itu?" tanyaku.

"Waktu di gorong-gorong," jawab Eddie. "Waktu aku ditangkapnya."

"Untuk apa?" tanyaku.

Eddie angkat bahu. "Entahlah. Kelihatannya batu-batu ini sangat


berarti baginya. Jadi kupikir—"

"Batu-batu ini memang penting!" hardik si laki-laki berjubah. Serta-


merta dia merebut semuanya dari tangan Eddie.

"Sekarang kami boleh pergi?" tanya Eddie.


"Ya. Kita akan pergi sekarang," laki-laki itu menyahut sambil
berkonsentrasi pada batu-batu di t-ngannya.

"Bukan begitu maksud saya!" seru Eddie. "Apakah Anda akan


membebaskan kami?"

Orang itu tak menggubrisnya. Dia menumpuk batu-batu itu di telapak


tangannya. Kemudian dia mulai mengucapkan serangkaian kata, kata-
kata dalam bahasa asing yang tak kukenali.

Begitu dia mengucapkan kata-kata, lorong tempat kami berada mulai


bergoyang-goyang. Pintu-pintu di sekeliling kami mulai meliuk-liuk,
seolah-olah terbuat dari karet. Lantai pun bergelombang dan berayun.

Begitu pula laki-laki berjubah itu.

Seluruh lorong diterangi cahaya putih yang berdenyut-denyut dan


menyilaukan mata.

Aku merasakan rasa nyeri yang menyengat—seakan-akan perutku


dipukul dengan keras.

Aku tidak bisa bernapas.

Semuanya jadi hitam.


CAHAYA jingga yang berkerlap-kerlip membelah kegelapan.

Aku membuka mata. Berkedip-kedip beberapa kali. Menarik napas


dalam-dalam.

Laki-laki berjubah itu telah lenyap.

"Eddie—kau tidak apa-apa?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Se-sepertinya begitu," dia tergagap-gagap.

Aku memandang ke ujung lorong yang panjang, dan sempat tersentak


kaget karena lorong itu diterangi lilin-lilin yang berkerlap-kerlip. Di
samping setiap pintu ada satu lilin menyala.

"Sue, bagaimana caranya kita bisa sampai di sini?" tanya Eddie pelan-
pelan. "Mana laki-laki berjubah tadi?"

"Aku tidak tahu," sahutku. "Aku sendiri juga bingung."

Kami maju dengan hati-hati. "Sepertinya ini bagian lama dari hotel,"
aku menebak-nebak. "Sepertinya tempat ini sengaja dibuat
berpenampilan kuno."

Kami melewati pintu demi pintu. Suasana yang sunyi meliputi lorong
yang panjang dan sempit itu. Satu-satunya suara yang terdengar
adalah suara sepatu kets kami pada lantai kayu. Semua pintu tertutup
rapat. Tak satu orang pun kelihatan.
Cahaya lilin yang berkerlap-kerlip, pintu-pintu yang gelap,
keheningan yang menyeramkan—semuanya membuat bulu kudukku
berdiri. Seluruh tubuhku gemetaran.

Kami terus berjalan dalam cahaya jingga yang redup.

"A-aku mau kembali ke kamar kita," ujar Eddie ketika kami melewati
satu belokan lagi. "Barangkali Mom dan Dad sudah datang.
Barangkali mereka sedang menunggu kita."

"Mungkin," kataku dengan ragu.

Kami memasuki lorong lain. Lorong ini juga diterangi cahaya lilin
yang menari-nari. "Seharusnya ada lift di sekitar sini," aku bergumam.

Tapi yang kami temui hanyalah pintu-pintu gelap yang tertutup.

Ketika melewati belokan berikut, kami nyaris bertabrakan dengan


serombongan orang.

"Ohh!" aku memekik. Aku kaget karena ternyata ada orang lain di
lorong-lorong yang panjang dan sepi ini.

Aku menatap orang-orang yang berpapasan dengan kami. Semuanya


mengenakan jubah panjang, dan wajah-wajah mereka tersembunyi di
bawah tudung-tudung gelap. Aku tidak tahu apakah mereka laki-laki
atau perempuan.

Mereka berjalan tanpa bersuara. Dan mereka pun sama sekali tidak
menghiraukan Eddie dan aku.
"Ehm... apakah Anda tahu di mana lift-nya?" sambil berpaling Eddie
bertanya.

Mereka tidak menyahut. Menoleh pun tidak. "Maaf?" Eddie berseru


sambil mengejar mereka. "Anda tahu di mana lift-nya?"

Salah satu dari mereka berpaling kepada Eddie.

Yang lainnya terus berjalan menyusuri lorong.

Aku menghampiri adikku dan sosok berjubah itu. Aku bisa melihat
wajahnya di bawah tudung.

Ternyata dia laki-laki tua dengan alis putih tebal. Dia menatap Eddie,
lalu aku. Matanya tampak gelap dan berair. Roman mukanya kelihatan
sedih. "Kalian harus hati-hati," katanya dengan suara parau.

"Apa?" seruku. "Saya dan adik saya..."

"Jangan tinggalkan biara," orang tua itu menegaskan. "Saya dapat


firasat buruk. Waktu kalian sudah hampir tiba. Hampir tiba...."
"BIARA? Biara yang mana?" tanyaku dengan nada mendesak.
"Kenapa Anda bilang begitu?"

Orang tua itu tidak menyahut. Cahaya lilin yang menari-nari terpantul
dari matanya yang berkaca-kaca. Dia mengangguk singkat, lalu
berbalik, menyusul rekan-rekannya dengan langkah panjang.

"Apa maksudnya?" tanya Eddie setelah laki-laki tua bertudung itu


menghilang di balik belokan. "Kenapa dia menakut-nakuti kita?"

Aku menggelengkan kepala. "Ini pasti cuma lelucon," jawabku. "Aku


rasa mereka mau ikut pesta kostum atau sebangsanya."

Eddie mengerutkan kening. "Mereka seram-seram, Sue. Sikap mereka


bukan seperti orang yang mau ke pesta."

Aku menghela napas. "Ayo, kita cari lift dan naik ke kamar kita. Aku
tidak suka bagian hotel ini. Suasananya terlalu gelap dan
menakutkan."

"Hei, aku yang gampang takut," ujar Eddie sambil mengikutiku. "Kau
seharusnya pemberani—ya, kan?"

Kami menyusuri lorong demi lorong, dan semakin lama kami semakin
bingung. Kami tidak berhasil menemukan lift atau tangga atau pintu
keluar.
"Sampai kapan kita harus berputar-putar seperti ini?" Eddie merengek.
"Masa sih tidak ada jalan keluar dari sini?"

"Mungkin lebih baik kalau kita kembali saja," aku mengusulkan. "Si
sopir taksi pasti sudah pergi. Kita kembali lewat jalan yang kita lalui
tadi, dan keluar lewat restoran."

Eddie menyingkirkan rambut yang menutupi keningnya. "Ide bagus,"


gumamnya.

Kami berbalik dan kembali menyusuri lorong-lorong yang panjang.


Menemukan jalan yang benar tidaklah sukar. Kami terus berjalan dan
setiap kali ada belokan, kami membelok ke kiri, bukannya ke kanan
seperti tadi.

Kami berjalan sambil membisu.

Sambil berjalan, aku berusaha mengingat-ingat nama belakang kami.


Aku berusaha mengingat-ingat Mom dan Dad. Berusaha mengingat-
ingat tampang mereka.

Berusaha mengingat-ingat apa pun mengenai mereka.

Kehilangan ingatan benar-benar menakutkan. Jauh lebih menakutkan


ketimbang dikejar-kejar orang.

Sebab masalahnya ada di dalam diri kita sendiri. Di dalam pikiran


kita.

Kita tidak bisa melarikan diri dari masalah itu. Tidak bisa
bersembunyi. Dan tidak bisa memecahkannya.
Kita cuma bisa merasa begitu tidak berdaya.

Satu-satunya harapanku adalah bahwa Mom dan Dad sudah


menunggu kami di kamar. Dan bahwa mereka bisa menjelaskan
kepadaku dan Eddie apa yang terjadi dengan ingatan kami.

"Oh, ya ampun!" seruan Eddie membuyarkan lamunanku.

Kami telah tiba di ujung lorong. Restoran hotel seharusnya berada di


balik pintu kaca bertirai. Tapi ternyata tidak ada pintu.

Tidak ada pintu ke restoran. Tidak ada pintu sama sekali.

Eddie dan aku berhadapan dengan dinding yang kokoh.


"HEI!" teriak Eddie. "Kami mau keluar! Kami mau keluar dari sini!"
Dengan tangan terkepal dan rasa panik yang mendera dia menggedor-
gedor dinding.

Aku menariknya. "Kita ambil lorong yang salah," ujarku. "Kita salah
belok tadi."

"Tidak!" bantahnya. "Ini lorong yang benar! Aku tahu ini lorong yang
benar!"

"Kalau begitu, mana restorannya?" balasku."Tidak mungkin pintunya


ditembok waktu kita me-nyusuri lorong-lorong tadi."

Dia menatapku. Dagunya gemetaran, dan matanya yang gelap tampak


ketakutan. "Bagaimana kalau kita keluar, terus jalan ke depan?" dia
bertanya.

"Bisa saja," sahutku. "Tapi untuk itu kita harus menemukan pintu
keluar dari sini. Dan sampai sekarang—"

Aku terdiam karena mendengar suara-suara.

Aku menoleh dan melihat lorong sempit di sebelah kanan kami.


Suara-suara yang kudengar sepertinya berasal dari lorong ini, yang
semula luput dari perhatianku. Suara-suara yang bercampur tawa.

Restorannya ada di sana," ujarku kepada Eddie.


"Betul, kan? Kita tinggal belok sekali lagi. Sebentar lagi kita sudah
keluar dari sini."

Wajahnya bertambah cerah.

Suara-suka tadi semakin nyaring ketika kami menyusuri lorong yang


sempit. Cahaya terang berwarna kekuningan masuk lewat pintu
terbuka di ujungnya.

Ketika Eddie dan aku melangkah keluar pintu tersebut, kami sama-
sama berseru kaget.

Ini bukan restoran tempat kami minum teh tadi.

Aku meraih tangan Eddie sambil memandang berkeliling ruangan


besar yang menyambut kami. Cahaya kekuningan yang kulihat berasal
dari dua tempat perapian. Orang-orang berpakaian aneh menduduki
bangku-bangku rendah pada meja-meja panjang yang terbuat dari
kayu.

Seekor rusa utuh sedang dipanggang di atas api di tengah-tengah


ruangan.

Semua meja dipenuhi makanan—daging, kol," sayur-mayur, kentang,


dan berbagai jenis makanan yang tidak kukenali.

Aku tidak melihat piring maupun nampan. Makanan itu diletakkan


begitu saja di atas meja. Orang-orang mengulurkan tangan dan meraih
apa saja yang mereka suka.
Mereka makan dengan riuh, sambil mengobrol dan tertawa dan
bernyanyi. Ada juga yang mereguk minuman dari gelas-gelas anggur
yang terbuat dari logam.

"Semuanya makan pakai tangan!" seru Eddie.

Dia benar. Aku tidak melihat sendok maupun garpu di semua meja.

Dua ekor ayam berlari melintasi ruangan sambil berkotek-kotek


karena dikejar-kejar anjing besar berbulu cokelat. Seorang wanita
mengunyah sepotong daging tanpa menghiraukan kedua bayi di
pangkuannya.

"Ini pesta kostum," aku berbisik kepada Eddie. Kami tidak berani
memasuki ruangan itu dan tetap berdiri di ambang pintu. "Sepertinya
orang-orang bertudung tadi menuju kemari."

Terbengong-bengong aku mengamati kostum-kostum unik yang


terlihat di sekelilingku. Jubah panjang, baju longgar mirip piama
berwarna biru dan hijau, dan rompi kulit di atas celana ketat hitam.
Tidak sedikit orang yang memakai bulu binatang pada pundak
masing-masing—meskipun udara terasa panas karena api yang
menari-nari di perapian.

Di salah satu sudut tampak laki-laki yang sepertinya mengenakan kulit


beruang utuh. Dia berdiri di samping tong kayu berukuran raksasa,
dan sibuk mengisi cangkir-cangkir logam dengan cairan kental
berwarna cokelat dari tong itu.
Dua anak kecil berbaju rombeng bermain kejar-kejaran di bawah salah
satu meja. Bocah lain, dengan celana ketat berwarna hijau, sibuk
mengejar salah satu ayam tadi.

"Pesta apa ini?" bisik Eddie. "Siapa orang-orang ini?"

Aku angkat bahu. "Entahlah. Aku juga kurang paham apa yang
mereka katakan. Kau mengerti?"

Eddie menggelengkan kepala. "Logat mereka terlalu aneh."

"Tapi barangkali ada yang bisa memberitahu kita bagaimana kita bisa
keluar dari sini," ujarku. "Coba saja," sahut Eddie.

Aku maju pelan-pelan. Namun walaupun aku melangkah dengan. hati-


hati, kakiku nyaris te-sandung seekor anjing yang sedang tidur di
lantai.

Eddie berada tepat di belakangku ketika aku menghampiri salah satu


laki-laki yang sedang memanggang rusa di perapian. Dia hanya
memakai celana pendek dari bahan kasar berwarna cokelat. Kening
dan bagian atas tubuhnya tampak mengilap karena keringat.

"Maaf, Pak," aku menyapanya.

Dia menoleh, dan matanya langsung membelalak lebar karena


terkejut.

"Maaf, Pak," aku mengulangi. "Anda tahu jalan keluar dari hotel?"

Dia menatapku tanpa menyahut, seakan-akan belum pernah melihat


gadis dua belas tahun dengan celana jeans dan T-shirt.
Dua gadis cilik yang mengenakan gaun panjang berwarna kelabu
menghampiri Eddie dan aku. Mereka pun menatap kami dengan
heran, seperti laki-laki itu. Rambut mereka yang pirang tampak acak-
acakan, seolah-olah seumur hidup belum pernah disisir!

Mereka menuding-nuding dan tertawa cekikikan. Dan tiba-tiba aku


sadar bahwa seluruh ruangan mendadak hening.

Seakan-akan ada orang yang memutar sebuah tombol untuk


mematikan suara.

Jantungku mulai berdegup-degup. Bau rusa panggang yang


menyengat menyebabkan aku sukar bernapas.

Aku memandang berkeliling. Ternyata semua orang sedang


menatapku sambil terbengong-bengong. Semuanya menatap kami
sambil membisu.

"Ma-maaf kami mengganggu pesta Anda," aku tergagap-gagap


dengan suara kecil karena ketakutan.

Aku memekik kaget ketika semuanya mendadak berdiri. Tak ada yang
menggubris makanan yang jatuh ke lantai. Salah satu bangku panjang
terbalik.

Semakin banyak anak kecil yang cekikikan sambil menunjuk-nunjuk.

Sepertinya ayam-ayam pun berhenti mondar-mandir dan berkotek.


Dan kemudian seorang pria besar berwajah merah dengan jubah putih
mengangkat tangan dan menunjuk Eddie dan aku. "Itu MEREKA!"
suaranya menggelegar. "Itu MEREKA!"
"KOK mereka kenal kita?" Eddie berbisik padaku.

Kami membalas tatapan orang-orang itu. Semuanya seakan-akan


membatu. Laki-laki bertelanjang dada tadi berhenti memutar rusa
yang sedang dipanggangnya. Satu-satunya suara di ruang makan yang
besar itu adalah bunyi api yang meretih-retih.

Laki-laki berjubah putih yang menuding kami pelan-pelan


menurunkan tangannya. Wajahnya menjadi merah padam ketika dia
menatap kami seakan-akan terkesima.

"Kami cuma ingin tahu jalan keluar dari sini," kataku. Suaraku
terdengar kecil dan melengking.

Tak seorang pun bergerak. Tak seorang pun menjawab.

Aku menghela napas panjang dan mencoba sekali lagi. "Ada yang bisa
membantu kami?"

Hening.

Siapa orang-orang aneh ini? aku bertanya-tanya. Kenapa mereka


memandang kami berdua seperti ini? Kenapa mereka tidak mau
menjawab pertanyaanku?

Eddie dan aku mundur selangkah ketika mereka mulai bergerak


mendekati kami. Beberapa di antara mereka berbisik-bisik, saling
bergumam, menuding-nuding.
"Eddie—sebaiknya kita pergi dari sini!" aku berbisik pada adikku.

Aku tidak tahu apa yang dikatakan mereka. Tapi ekspresi pada wajah
mereka membuatku merasa terancam.

Aku juga curiga melihat cara mereka bergerak menyusuri dinding,


cara mereka berusaha menyelinap ke belakang untuk mengepung
Eddie dan aku.

"Eddie—lari!" aku memekik.

Teriakan-teriakan marah terdengar nyaring ketika Eddie dan aku


berbalik dan bergegas ke pintu yang terbuka. Anjing-anjing menyalak
sejadi-jadinya. Beberapa anak kecil mulai menangis.

Kami menghambur ke lorong yang gelap dan terus berlari.

Aku masih bisa merasakan pancaran panas dari api di perapian ketika
kami berlari. Bau rusa panggang pun masih tercium jelas.

Seruan-seruan gusar menyusul kami di lorong yang panjang. Sambil


tersengal-sengal aku menoleh karena menyangka orang-orang itu akan
mengejar kami.

Tapi lorong di belakang kami ternyata kosong.

Kami melewati belokan pertama dan terus berlari. Lilin-lilin


berkerlap-kerlip di kedua sisi lorong. Papan-papan lantai berderak-
derak ketika terinjak sepatu kami.
Cahaya yang redup dan menyeramkan. Suara-suara yang terdengar
jauh di belakang kami. Lorong yang menyerupai terowongan yang
seakan-akan tak berujung. Semuanya membuatku merasa seakan-akan
sedang bermimpi.

Kami melewati belokan berikut dan terus berlari tanpa mengurangi


kecepatan. Cahaya lilin di sekelilingku berkesan buram. Aku
melayang-layang di tengah awan jingga tua, aku berkata dalam hati.
Masa lorong-lorong kosong ini tak ada ujungnya? Eddie dan aku
sama-sama bersorak gembira ketika melihat sebuah pintu di hadapan
kami. Sebuah pintu yang belum pernah kami lihat. Ini pasti pintu
keluar! pikirku.

Kami bergegas menghampiri pintu itu.

Aku mengangkat kedua tangan. Dan mendorong dengan keras.

Pintunya langsung membuka.

Dan kami melangkah ke luar, ke sinar matahari yang terang-


benderang.

Hore! Akhirnya kami berhasil keluar dari lorong-lorong hotel yang


gelap!

Mataku membutuhkan beberapa detik sebelum terbiasa dengan cahaya


terang yang menyilaukan.

Aku berkedip beberapa kali. Kemudian aku memandang ke kiri dan


kanan.
"Ya, ampun!" aku meratap sambil menggenggam lengan adikku. "Ya,
ampun! Eddie—ada apa ini?"
"T-TERNYATA sudah siang!" Eddie tergagap-gagap. Tapi yang
membuat kami terperanjat bukan cuma sinar matahari yang cerah.

Semuanya telah berubah.

Aku seakan-akan sedang menonton film di bioskop, dan adegannya


telah berganti. Rasanya seperti satu hari—atau satu minggu—telah
berlalu, dan aku mendadak melihat tempat yang sama sekali berlainan.

Padahal aku yakin hanya beberapa detik berlalu sejak Eddie dan aku
menghambur keluar dari hotel. Tapi dalam waktu yang singkat itu,
segala sesuatu telah berubah.

Kami berdiri berimpitan dan memandang ke kiri-kanan. Tak ada


mobil. Tak ada bus. Jalan raya pun telah lenyap, digantikan jalan
tanah bergelombang.

Gedung-gedung tinggi di sekitar hotel pun tak terlihat lagi. Jalan tanah
tempat kami berada diapit pondok-pondok kecil yang dicat putih
dengan atap datar serta gubuk-gubuk kayu tanpa pintu maupun
jendela.

Setumpuk jerami tampak di samping pondok terdekat. Ayam-ayam


berkotek-kotek dan menyeberang jalan, atau berdiri di depan pondok-
pondok sambil mematuk-matuk tanah. Kepala seekor sapi berwarna
cokelat menyembul dari balik tumpukan jerami.
"Ada apa ini?" tanya Eddie. "Di mana kita?"

"Sepertinya kita mundur ke masa lalu," aku berkata dengan suara


tertahan. "Eddie--lihat orang-orang itu!"

Dua laki-laki lewat sambil membawa sekeranjang ikan. Keduanya


berjenggot lebat dan rambut mereka panjang dan acak-acakan. Mereka
mengenakan baju kelabu longgar yang membungkus tubuh mereka
sampai ke mata kaki.

Dua perempuan bergaun cokelat sedang berlutut sambil mencabut


umbi-umbian dari tanah. Seorang laki-laki menggiring kuda yang
begitu kurus sehingga tulang rusuknya kelihatan jelas. Dia berhenti
sejenak, menyapa kedua perempuan itu.

"Mereka mirip orang-orang di hotel tadi," aku berkata kepada Eddie.

Aku langsung menoleh ke belakang ketika teringat kepada hotel kami.


"Oh, ya ampun!" Aku menarik lengan Eddie agar dia ikut berbalik.

Hotel kami telah lenyap.

Sebagai gantinya ada bangunan rendah memanjang yang terbuat dari


batu berwarna cokelat. Sepertinya semacam penginapan atau tempat
pertemuan.

"Aku tidak mengerti," Eddie mengeluh. Mukanya kelihatan pucat


sekali dalam cahaya matahari yang terang. Dia menggaruk-garuk
kepalanya. "Sue, kita harus kembali ke hotel. Aku—aku bingung
sekali." "Aku juga," aku mengakui.
Aku berjalan beberapa langkah di jalan tanah. Tampaknya belum lama
turun hujan. Jalannya becek dan berlumpur.

Tidak jauh dari tempat kami, terdengar sapi-sapi melenguh.

Ini pusat kota London! aku berkata dalam hati. Mana mungkin ada
sapi di pusat kota London? Ke mana semua gedung tinggi, mobil-
mobil, taksi-taksi, dan bus-bus tingkat?

Seseorang terdengar bersiul. Seorang bocah berambut pirang, dengan


baju compang-camping, muncul dari balik bangunan panjang. Dia
sedang menggotong seikat kayu bakar.

Umurnya kira-kira sama denganku. Sepatuku terbenam dalam lumpur


ketika aku bergegas melintasi jalan untuk mencegatnya. "Hei—!" aku
berseru. "Halo!"

Dia menatapku sambil mengerutkan kening dan membelalakkan


matanya yang biru. Rambutnya yang panjang dan tidak disisir tampak
berkibar-kibar karena tiupan angin. "Selamat siang, Nona," ujarnya.
Logatnya begitu aneh sehingga aku hampir tidak mengerti apa yang
dikatakannya.

"Selamat siang," sahutku dengan bimbang. "Nona pelancong?" anak


laki-laki itu bertanya sambil memindahkan bawaannya ke pundaknya.

"Ya," kataku. "Tapi saya dan adik saya tersesat. Kami bingung
mencari jalan pulang ke hotel."

Dia memicingkan matanya yang biru. Sepertinya dia sedang berpikir


keras.
"Hotel kami," aku mengulangi. "Kau tahu jalan pulang ke hotel? Hotel
Barclay?"

"Barclay?" dia mengulangi kata tersebut. "Ho-tel?"

"Ya," ujarku. Aku menunggu jawabannya. Tapi dia cuma membalas


tatapanku sambil memicingkan matanya yang biru dan mengerutkan
kening.

"Aku tidak mengerti kata-kata asing itu," dia akhirnya berkata.

"Hotel?" aku berseru dengan jengkel. "Itu lho! Tempat para pelancong
menginap?"

"Banyak yang menginap di biara," jawabnya. Dia menunjuk bangunan


rendah memanjang di belakang kami.

"Bukan, maksud saya—" aku mulai berkata. Tapi aku sadar dia sama
sekali tidak memahami maksudku.

"Kayu ini harus kubawa pulang dulu," ujar anak itu. Dia
menganggukkan kepala, menurunkan kayu bakar dari pundaknya, lalu
kembali menyusuri jalan.

"Eddie, anak itu—" kataku. "Dia tidak tahu apa itu hotel! Bayangkan,
dia—"

Aku menoleh ke belakang. "Eddie?"

Eddie telah menghilang.


"EDDIE? Eddie?"

Semakin lama aku memanggil-manggilnya, suaraku semakin


melengking dan ketakutan.

Ke mana dia?

"Hei—Eddie!" aku berseru.

Kedua wanita yang sedang mencabut umbi-umbian menoleh ke


arahku.

"Anda lihat ke mana adik saya pergi?" seruku kepada mereka.

Keduanya menggelengkan kepala dan segera kembali meneruskan


pekerjaan mereka.

"Oh!" Aku terpaksa melompat ke tepi jalan ketika sebuah gerobak


yang ditarik lembu yang melenguh-lenguh lewat. Orang di atas
gerobak, seorang laki-laki gemuk bertelanjang dada, menyentak-
nyentakkan tali yang berfungsi sebagai tali kekang. Berulang kali dia
membentak lembunya agar berjalan lebih cepat.

Roda gerobak itu setengahnya terbenam di lumpur dan meninggalkan


sepasang jejak yang dalam di permukaan jalan. Beberapa ayam
berkotek-kotek dan berlari menyelamatkan diri. Kedua wanita tadi tak
menghiraukan keramaian itu.
Aku menuju ke pintu biara. "Eddie? Kau ada di sini?"

Aku membuka pintunya dan mengintip ke dalam. Lorong panjang


yang diterangi lilin tampak membentang di hadapanku. Beberapa
orang dengan jubah bertudung berdiri di dekat pintu.

Kami berdua baru saja keluar dari sini, aku berkata dalam hati sambil
menutup pintu. Eddie tidak mungkin masuk lagi.

Jadi di mana dia?

Bagaimana mungkin dia kabur dan meninggalkanku seorang diri di


sini? Bagaimana mungkin dia lenyap begitu saja?

Beberapa kali lagi aku memanggil-manggil namanya. Kemudian


tenggorokanku terasa seperti tercekik dan mulutku terasa kering
kerontang. "Eddie?" aku memanggil pelan-pelan.

Kakiku gemetaran ketika berjalan ke sisi pondok pertama. Jangan


panik, Sue, aku berkata dalam hati. Kau pasti akan menemukannya.
Pokoknya, jangan panik.

Tapi terlambat.

Aku telah dilanda perasaan waswas.

Eddie tidak mungkin pergi begitu saja tanpa mengajakku. Dia terlalu
takut untuk itu.

Jadi di mana dia?


Aku mengintip melalui pintu pondok yang terbuka. Bau menyengat
menyambutku. Aku melihat meja kayu dan sejumlah kursi kayu yang
bersahaja. Tak ada siapa-siapa di dalam.

Aku berjalan ke belakang pondok. Hamparan rumput membentang


pada lereng sebuah bukit yang landai. Empat atau lima ekor sapi
tampak merumput dengan tenang.

Aku menempelkan tangan di sekeliling mulut dan kembali


memanggil-manggil adikku.

Sambil menghela napas, aku berbalik dan kembali ke jalan.


Kelihatannya setiap pondok harus kuperiksa, aku berkata dalam hati.
Eddie pasti belum jauh.

Aku baru berjalan beberapa langkah menuju pondok berikut ketika


sebuah bayangan melintas pada permukaan jalan.

Aku tersentak kaget dan menoleh—dan menatap sosok gelap yang


menghalangi jalanku.

Jubahnya yang hitam berkibar-kibar tertiup angin. Dia mengenakan


topi baru berwarna hitam, dan wajahnya yang teramat pucat tampak
semakin pucat di bawah pinggiran topinya.
AKu langsung mundur selangkah, menjauhi sosok itu. Aku
menempelkan tangan ke pipi, dan menatapnya tanpa sanggup berkata
apa-apa.

"Saya kan sudah bilang bahwa sudah waktunya kita pergi," dia berkata
pelan-pelan sambil menghampiriku.

"M-mana Eddie?" aku bertanya dengan suara parau. "Anda tahu di


mana Eddie?"

Dia mengembangkan senyum tipis. "Eddie?" Dia terkekeh-kekeh.


Entah apa sebabnya, dia rupanya geli mendengar pertanyaanku.
"Jangan kuatir tentang Eddie," dia menyahut sambil menyeringai.

Dia maju selangkah lagi. Bayangannya kembali mengenai diriku.

Aku merinding.

Aku memandang berkeliling dan menyadari bahwa kedua wanita yang


sedang mencabut umbi-umbian tadi telah masuk ke pondok mereka.
Semua orang telah menghilang. Jalanan tampak lengang. Hanya ada
beberapa ayam dan seekor anjing yang sedang tidur di depan
tumpukan jerami.

"Sa-saya tidak mengerti," aku tergagap-gagap.

"Siapa Anda sebenarnya? Kenapa Anda mengejar-ngejar kami? Di


mana kita sekarang?"
Pertanyaanku yang bertubi-tubi malah membuatnya tersenyum. "Kau
kenal saya," dia berkata pelan-pelan.

"Tidak!" protesku. "Saya tidak kenal Anda! Ada apa ini?"

"Pertanyaanmu tidak bisa menunda takdir yang telah menantimu," dia


menyahut.

Aku menatap laki-laki itu sambil berusaha mempelajari wajahnya,


mencari-cari jawaban. Tapi dia menarik pinggiran topinya untuk
menyembunyikan matanya dari pandanganku.

"Anda membuat kesalahan!" aku berseru. "Anda keliru! Saya tidak


kenal Anda! Saya tidak tahu apa-apa!"

Senyumnya memudar. Dia menggelengkan kepala. "Ikut saya


sekarang," katanya dengan tegas.

"Tidak!" aku memekik. "Saya tidak mau ikut sebelum Anda


menjelaskan siapa Anda! Dan Anda juga harus memberitahu saya di
mana adik saya."

Dia maju selangkah lagi sambil menyibakkan jubahnya. Setiap kali


melangkah, sepatu botnya terbenam dalam lumpur.

"Saya tidak mau ikut!" teriakku. Kedua tanganku masih menempel di


pipi. Lututku gemetaran begitu hebat sampai-sampai aku nyaris tak
sanggup berdiri tegak.

Aku memandang berkeliling sambil bersiap-siap untuk kabur.


Sanggupkah kakiku yang gemetaran menopang berat badanku?

"Jangan coba-coba melarikan diri," ujar laki-laki itu, seakan-akan bisa


membaca pikiranku. "Tapi—tapi—," aku tergagap-gagap.

"Kau harus ikut saya sekarang. Waktunya sudah tiba," dia


menandaskan.

Cepat-cepat dia melangkah maju, mengulurkan tangannya yang


terbungkus sarung tangan, dan menggenggam kedua pundakku.

Aku tidak sempat memberontak. Tidak sempat meronta-ronta untuk


membebaskan diri.

Tanah mulai bergetar.

Aku mendengar suara berderak-derak. Disusul bunyi seperti bunyi


pecut.

Sebuah gerobak yang ditarik lembu muncul dari tikungan. Aku


melihat pengemudinya mengayun-ayunkan pecut.

Gerobak itu melaju dengan kencang.

Si laki-laki berjubah melepaskan genggamannya dan melompat


mundur ketika gerobak itu melewati kami.

Aku melihat topinya yang hitam terlepas dari kepalanya. Aku


melihatnya terhuyung-huyung karena tergelincir di lumpur di tepi
jalan.
Inilah kesempatan yang kucari. Serta-merta aku berbalik dan
mengambil langkah seribu. Sambil menunduk serendah mungkin; aku
berlari sambil bersembunyi di balik lembu yang melenguh-lenguh.

Kemudian aku mendadak membelok dan menyusup di antara kedua


pondok mungil.

Aku sempat menoleh ke arah si laki-laki berjubah ketika aku berlari


melewati pondok-pondok itu. Dia sedang membungkuk untuk
memungut topinya. Kepalanya yang botak tampak berkilau-kilau
dalam cahaya matahari. Tak ada satu helai rambut pun.

Napasku tersengal-sengal. Dadaku terasa nyeri, dan kedua pelipisku


berdenyut-denyut.

Aku berlari menyusuri sisi belakang pondok. Hamparan rumput tadi


membentang di sebelah kiriku. Tak ada tempat untuk bersembunyi.

Aku melewati pondok-pondok yang berdiri rapat. Aku mendengar


anak-anak menangis. Seorang wanita sedang memanggang semacam
sosis berwarna merah darah di atas api yang menari-nari. Dia
memanggilku ketika aku lewat. Tapi aku tidak menyahut.

Dua anjing hitam mulai mengejarku, dan kedua-duanya berusaha


menggigit kakiku. "Hus!" aku berseru. "Hus! Ayo pulang!"

Ketika menengok ke belakang, aku melihat si laki-laki berjubah


bergegas dengan langkah panjang. Jubahnya tampak berkibar-kibar.

Dia semakin dekat, aku menyadari.


Aku harus mencari tempat bersembunyi, kataku dalam hati. Sekarang
juga!

Aku menerobos di antara dua gubuk—dan nyaris menabrak seorang


wanita besar berambut merah yang sedang menggendong bayi yang
terbungkus selimut kelabu yang tebal. Wanita itu kaget, dan langsung
mendekap bayinya erat-erat.

"Anda harus membantu saya!" aku berseru sambil terengah-engah.

"Pergi dari sini!" balas wanita itu. Roman mukanya lebih


memperlihatkan rasa takut daripada marah.

"Tolong saya!" aku memohon. "Saya dikejar orang!" Aku menunjuk


ke belakang.

Kami sama-sama melihat laki-laki berjubah hitam yang semakin


dekat.

"Tolong saya! Jangan biarkan dia membawa saya!" aku kembali


memohon. "Sembunyikan saya!"

Wanita itu menatap si laki-laki berjubah. Kemudian dia berpaling


padaku dan mengangkat bahu. "Saya tidak bisa menolongmu,"
katanya.
AKU mendesah panjang, seakan-akan mengaku kalah Aku sadar aku
tidak sanggup berlari lebih jauh lagi.

Aku tahu si laki-laki berjubah akan menangkapku dengan mudah.

Masih sambil mendekap bayinya erat-erat, wanita tadi menoleh dan


memperhatikan laki-laki yang bergegas ke arah kami.

"Sa-saya akan membayar!" ujarku.

Tiba-tiba saja aku teringat pada keping-keping uang di kantongku.


Keping-keping uang yang ditolak oleh si sopir taksi.

Maukah wanita itu menerima keping-keping tersebut?

Langsung saja kurogoh kantongku dan kukeluarkan semuanya. "Nih!"


aku berseru. "Ambil! Ambil semuanya! Tapi tolong sembunyikan
saya—tolong!"

Kuserahkan keping-keping itu kepada wanita di hadapanku.

Ketika dia mengangkat tangan untuk mengamati keping-keping yang


kuberikan, matanya membelalak dan mulutnya menganga lebar. Dia
juga tidak mau, pikirku. Dia akan mengembalikan keping-keping itu,
persis seperti si sopir taksi.

Tapi ternyata aku keliru.


"Keping emas!" dia berseru dengan suara tertahan. "Keping emas.
Saya pernah melihat keping seperti ini waktu saya masih kecil."

"Maukah Anda menerima uang itu? Maukah Anda menyembunyikan


saya?" aku memohon.

Dia menyelipkan keping-keping itu ke saku gaunnya. Kemudian dia


mendorongku ke dalam pondoknya yang kecil.

Udara di dalam berbau ikan. Aku melihat tiga kasur tergeletak di


lantai, bersebelahan dengan tungku.

"Cepat—masuk peti kayu bakar," wanita itu memerintahkan. "Petinya


kosong." Dia kembali mendorongku, kali ini ke sebuah peti besar.

Dengan jantung berdegup-degup aku mengangkat tutup peti dan


memanjat masuk. Aku berusaha keras untuk mengendalikan napas dan
mengatur detak jantungku.

Wanita itu senang menerima uangku, aku menyadari. Dia tidak


menganggapnya sebagai uang mainan, seperti yang dituduhkan si
sopir taksi.

Rupanya keping-keping uang itu memang sudah tua sekali, aku


menyimpulkan.

Dan kemudian aku merinding dan seluruh tubuhku gemetaran. Tiba-


tiba aku tahu kenapa semuanya kelihatan begitu berbeda—begitu
kuno. Ternyata kami benar-benar kembali ke masa silam, aku berkata
dalam hati.
Kami masih berada di London—tapi London ratusan tahun yang lalu.

Si laki-laki berjubah membawa kami ke sini dengan batu-batu putih


itu. Dia pikir aku orang lain. Dia mengejar-ngejar aku karena
menyangka aku orang lain.

Bagaimana aku bisa meyakinkannya bahwa dia telah keliru? aku


bertanya-tanya.

Dan bagaimana aku bisa keluar dari masa lampau, dan kembali ke
zamanku sendiri?

Dengan susah payah aku menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan itu


dari benakku—dan pasang telinga.

Di luar pondok terdengar suara-suara. Suara wanita tadi. Lalu suara


menggelegar si laki-laki berjubah.

Aku menahan napas agar lebih jelas mendengar percakapan mereka.

"Dia ada di dalam sini, Tuan," ujar wanita itu. Aku mendengar suara
langkah. Dan kemudian suara-suara mereka bertambah keras.
Bertambah dekat. Mereka berdiri di samping peti tempat aku
bersembunyi.

"Di mana dia?" tanya si laki-laki berjubah dengan nada memaksa.

"Saya masukkan dia ke dalam peti ini, Tuan," wanita itu menyahut.
"Dia sudah siap diangkut. Siap dibawa pergi oleh Tuan."
JANTUNGKU nyaris copot. Di tengah kegelapan di dalam peti,
pandanganku jadi merah.

Wanita itu sudah terima uangku, pikirku dengan geram. Tapi dia tetap
saja memberitahukan tempat persembunyianku kepada si laki-laki
berjubah.

Tega-teganya dia berbuat begitu.

Aku masih dalam posisi merangkak. Hatiku serasa terbakar karena


marah. Tapi secara bersamaan aku juga merasa takut sekali. Tangan
dan kakiku mendadak lemas, aku hampir tidak sanggup menopang
badanku.

Sambil menarik napas panjang, aku mengangkat badan dan berusaha


mendorong tutup peti.

Aku mengerang kecewa karena tutup itu ternyata tak bergerak sedikit
pun.

Jangan-jangan dikunci dari luar. Atau ditahan oleh si laki-laki


berjubah.

Tapi tak ada bedanya. Aku tak berdaya. Terperangkap. Aku telah
menjadi tawanan.
Peti tempatku bersembunyi tiba-tiba bergerak, sehingga aku
terguncang-guncang di dalamnya. Aku bisa merasakannya diseret-
seret pada lantai pondok.

"Hei—!" aku berseru. Tapi suaraku seperti teredam dalam peti kecil
itu. Aku merebahkan diri di dasar peti. Jantungku berdegup-degup.
"Aku mau keluar!"

Sekali lagi peti itu terguncang dengan keras. Kemudian aku


merasakannya kembali diseret-seret.

"Nak! Hei—Nak!" Aku mengangkat kepala ketika mendengar wanita


tadi berbisik-bisik padaku.

"Saya menyesal sekali," katanya. "Saya harap kau cukup berbesar hati
untuk memaafkan saya. Saya tidak berani menentang Yang Mulia
Tuan Algojo."

"Apa?" seruku. "Apa kata Anda?"

Petiku diseret semakin cepat. Dan kembali terguncang-guncang


dengan keras.

"Apa kata Anda?" aku mengulangi.

Hening.

Suaranya tak terdengar lagi.

Sesaat kemudian aku mendengar kuda-kuda me-ringkik. Aku


terbentur-bentur pada sisi peti ketika petinya diangkat.
Segera setelah itu petinya mulai bergoyang-goyang. Dan aku
mendengar suara langkah kuda yang berirama tetap.

Aku telah menjadi tawanan tak berdaya di dalam sebuah peti. Dan aku
tahu peti itu sedang diangkut dengan gerobak atau kereta kuda.

Yang Mulia Tuan Algojo?

Itukah yang dikatakan wanita tadi?

Si laki-laki berjubah hitam—diakah yang dimaksud dengan Yang


Mulia Tuan Algojo?

Aku mulai gemetaran di dalam penjaraku yang kecil dan gelap. Aku
tak sanggup melawan perasaan ngeri yang mulai meliputi diriku.

Yang Mulia Tuan Algojo.

Kata-kata itu terngiang-ngiang di telingaku. Terus-menerus. Bagaikan


mantra yang mengerikan.

Yang Mulia Tuan Algojo.

Dan kemudian aku bertanya pada diriku sendiri: Apa urusan dia
denganku?
KERETA itu berhenti mendadak. Lalu, kira-kira semenit kemudian,
mulai bergerak lagi.

Aku kembali terguncang-guncang, dan aku tidak bisa mengira-ngira


berapa lama sudah aku terguncang-guncang seperti ini.

Aku mau dibawa ke mana? tanyaku dalam hati. Mau diapakan aku
ini?

Dan: Kenapa aku?

Kepalaku membentur sisi depan peti ketika kami sekali lagi berhenti
mendadak. Aku menggigil. Seluruh tubuhku bermandikan keringat
dingin.

Udara di dalam peti semakin pengap. Aku sudah tak sabar ingin
segera menghirup udara segar.

Aku memekik kaget ketika tutup peti tiba-tiba diangkat. Cahaya


matahari yang menyilaukan menyebabkan aku segera melindungi
mata dengan sebelah tangan.

"Keluarkan dia!" aku mendengar suara si algojo yang menggelegar.

Tangan-tangan kekar menggenggamku dengan kasar dan menarikku


dari peti. Setelah terbiasa dengan cahaya terang di sekelilingku, aku
melihat bahwa aku digotong oleh dua prajurit berseragam kelabu.
Mereka menurunkanku ke tanah. Tapi kakiku tidak kuat menopang
badanku sehingga aku terjatuh.

"Suruh dia berdiri," si algojo memerintahkan. Aku menoleh ke


arahnya. Seperti sebelumnya, wajahnya tersembunyi di balik
bayangan topinya yang gelap.

Para prajurit itu membungkuk dan mengangkatku. Kedua kakiku


kesemutan. Punggungku nyeri karena terbentur-bentur dalam peti
yang sempit selama perjalanan tadi.

"Lepaskan saya!" seruku. "Kenapa saya diperlakukan seperti ini?"

Si algojo tidak menyahut.

Kedua prajurit itu membopongku sampai aku sanggup berdiri sendiri.

"Anda melakukan kesalahan besar!" ujarku dengan suara gemetar


karena takut, dan karena marah. "Saya tidak tahu kenapa saya ada di
sini atau bagaimana saya bisa sampai di sini! Tapi saya bukan orang
yang Anda cari! Anda keliru menangkap orang!"

Sekali lagi si algojo diam saja. Dia memberi isyarat dengan sebelah
tangan, lalu kedua prajurit menggenggam lenganku dan memaksaku
berbalik badan.

Ketika aku berpaling dari si algojo, aku melihat kastil yang gelap
menjulang di hadapanku. Aku melihat temboknya, pekarangan
tengahnya, dan ke¬dua menaranya yang langsing dan tinggi.

Menara Teror!
Dia membawaku ke Menara Teror!

Di sinilah aku dan Eddie melihatnya untuk pertama kali. Di sinilah


kami mulai dikejar-kejar oleh si algojo.

Di abad kedua puluh. Di zamanku sendiri. Di zaman di mana aku


seharusnya berada. Ratusan tahun mendatang.

Entah bagaimana caranya, aku dan Eddie telah dibawa ke masa silam,
ke suatu zaman yang bukan zaman kami. Kini Eddie menghilang. Dan
aku digiring ke Menara Teror.

Si algojo berjalan di depan. Kedua prajurit menggenggam lenganku


dengan erat, menggiringku melewati pekarangan, menuju ke gerbang
kastil.

Pekarangan tengah dipadati orang-orang yang menatapku sambil


membisu. Mereka berpakaian lusuh dan kotor, penuh bercak-bercak,
dan semuanya menatapku tanpa berkedip ketika aku digiring melewati
mereka.

Beberapa di antara mereka berdiri dengan tubuh membungkuk seperti


orang-orangan sawah. Sorot mata mereka kosong dan wajah mereka
tanpa ekspresi, seakan-akan pikiran mereka berada di tempat lain. Ada
pula yang duduk dan menangis, atau mendongakkan kepala sambil
memandang ke langit

Aku melihat laki-laki tua yang duduk di bawah pohon. Dia


bertelanjang dada dan sibuk menggaruk-garuk rambutnya yang putih
dengan kedua tangan. Anak muda di dekatnya berusaha
membersihkan luka pada kakinya yang penuh lumpur dengan kain
yang tak kalah kotornya.

Beberapa bayi menangis dan merengek-rengek. Pria dan wanita duduk


di tanah sambil mengerang-erang dan bergumam tak jelas.

Mereka semua tahanan, aku menyadari. Orang-orang malang itu


ditahan di sini. Aku teringat penjelasan pemandu wisata kami, Mr.
Starkes, bahwa kastil ini semula merupakan benteng pertahanan,
kemudian dipakai sebagai penjara.

Aku menggelengkan kepala dengan sedih. Coba kalau aku bisa


kembali bergabung dengan grup tur kami. Di masa depan, di zaman di
mana aku seharusnya berada.

Aku tidak punya waktu untuk memikirkan nasib para tawanan itu
lebih lanjut. Tiba-tiba saja aku sudah diselubungi kegelapan dalam
kastil. Dan diseret menaiki tangga batu yang melingkar-lingkar.

Udara terasa dingin dan lembap.

"Lepaskan saya!" aku menjerit sambil meronta-ronta. "Saya mohon—


lepaskan saya!"

Para prajurit mendorongku ke dinding batu ketika aku meronta-ronta


untuk membebaskan diri.

Aku memekik kesakitan dan kembali mencoba memberontak. Tapi


mereka terlalu besar, terlalu kuat.
Tangga batu itu melingkar-lingkar, seakan-akan tak berujung. Kami
melewati sel di pelataran pertama. Aku sempat melirik dan melihat
bahwa sel itu penuh sesak dengan tawanan. Sambil membisu mereka
berdiri di balik terali. Wajah-wajah mereka tampak pucat dan tanpa
ekspresi. Banyak di antara mereka yang menoleh pun tidak ketika aku
lewat.

Aku terus mendaki tangga yang terjal dan licin.

Sampai ke pintu yang gelap di puncak menara.

"Jangan—jangan!" aku memohon. "Anda keliru! Ini salah paham!"

Tapi mereka menarik gerendel logam pengunci pintu dan membuka


pintu itu.

Sebuah dorongan keras dari belakang nyaris membuatku terjerembap


di ruangan kecil di puncak menara itu. Aku terhuyung-huyung, dan
jatuh berlutut.

Pintu yang berat dibanting di belakangku. Dan kemudian aku


mendengar gerendel kokoh tadi kembali ke posisi semula.

Aku disekap.

Disekap di dalam sel sempit di puncak Menara Teror.

"Sue!" Sebuah suara yang sangat kukenal memanggil namaku.

Langsung saja aku menegakkan badan dan menoleh. "Eddie!" aku


berseru dengan gembira. "Eddie—bagaimana kau bisa sampai di
sini?"
Adikku duduk di lantai sambil bersandar ke dinding. Cepat-cepat dia
menghampiriku dan membantuku berdiri. "Kau tidak apa-apa?"
tanyanya.

"Tidak apa-apa. Kau bagaimana?"

"Lumayan," ujarnya. Di sebelah sisi wajahnya ada goresan panjang.


Rambutnya yang gelap tampak lengket di keningnya. Matanya
kelihatan merah dan ketakutan.

"Aku ditangkap laki-laki berjubah itu," Eddie bercerita. "Di kota. Di


jalanan. Waktu gerobak sapinya lewat."

Aku mengangguk. "Waktu aku menoleh, kau sudah lenyap."

"Aku berusaha memanggilmu," sahut Eddie. "Tapi mulutku dibekap


orang itu. Lalu dia menyerahkan aku kepada para prajuritnya. Dan
mereka langsung menarikku ke balik salah satu pondok."

"Ya ampun!" aku berseru sambil berusaha menahan air mata.

"Salah satu prajurit lalu mengangkatku ke kudanya," ujar Eddie. "Aku


berusaha melepaskan diri. Tapi gagal. Dia membawaku ke kastil dan
menyeretku ke puncak Menara."

"Laki-laki berjubah itu—di sini dia disebut Yang Mulia Tuan Algojo,"
aku memberitahu adikku. "Aku mendengar seorang wanita
memanggilnya begitu."

Kata-kata itu membuat adikku menahan napas. Dengan mata


terbelalak dia menatapku. "Algojo?" Aku mengangguk.
"Tapi, apa urusan dia dengan kita?" tanya Eddie. "Untuk apa dia
mengejar-ngejar kita? Kenapa kita disekap di menara mengerikan
ini?"

"A-aku juga tidak tahu," aku tergagap-gagap.

Aku hendak menambahkan sesuatu, tapi segera terdiam ketika


kudengar suara di luar.

Eddie dan aku saling merapatkan diri di tengah-tengah ruangan.

Aku mendengar gerendel pintu digeser. Pelan-pelan pintu mulai


membuka.

Lalu seseorang melangkah masuk.


SEORANG laki-laki berambut putih memasuki ruangan. Rambutnya
panjang, tidak disisir, dan tergerai sampai ke belakang pundaknya.
Selain itu dia juga memanjangkan jenggotnya yang putih dan berujung
lancip.

Dia mengenakan jubah ungu yang menyentuh lantai. Matanya


berwarna sama dengan jubahnya. Mula-mula dia menatap Eddie, lalu
mengalihkan pandangannya padaku.

"Kalian sudah kembali," dia berkata dengan serius. Suaranya berat


namun empuk. Matanya yang ungu tiba-tiba memancarkan kesedihan.

"Siapa Anda?" seruku. "Kenapa Anda mengurung kami di menara


ini?"

"Lepaskan kami!" Eddie menuntut dengan suara melengking. "Anda


harus melepaskan kami—sekarang juga!"

Jubah ungu yang dikenakan orang tua berambut putih itu menyapu
lantai ketika dia menghampiri kami. Dia menggelengkan kepala
dengan sedih, tapi dia tidak berkata apa-apa.

Erangan dan desahan para tawanan di pekarangan terdengar lewat


jendela kecil di atas kepala kami. Sel kami diterangi cahaya senja
berwarna kelabu.

"Kalian tidak ingat saya," laki-laki tua itu berkata dengan lembut.
"Tentu saja tidak!" seru Eddie. "Kami tidak seharusnya berada di
sini!"

"Anda telah melakukan kesalahan besar," aku menimpali.

"Kalian tidak ingat saya," laki-laki itu mengulangi sambil mengusap-


usap jenggotnya yang lancip dengan sebelah tangan. "Tapi kalian akan
ingat."

Dia tampak lemah lembut. Ramah. Sama sekali berbeda dengan si


algojo.

Tapi aku langsung merinding ketika matanya yang ungu menatap


mataku. Aku harus berhati-hati terhadap orang ini, aku menyadari. Dia
berbahaya.

"Lepaskan kami!" Eddie memohon sekali lagi.

Laki-laki tua itu menghela napas panjang. "Kalau saja saya dapat
melepaskanmu, Edward," dia berkata pelan-pelan, seakan-akan
menyesal bahwa dirinya tak berdaya. "Dan kau juga, Susannah."

"Tunggu dulu!" Aku segera mengangkat sebelah tangan agar dia


berhenti bicara. "Nama saya Sue. Bukan Susannah."

Kedua tangan orang tua itu menghilang dalam saku jubahnya.


"Mungkin ada baiknya kalau saya memperkenalkan diri dulu,"
katanya. "Nama saya Morgred. Saya penyihir sang Raja."

"Anda bisa bermain sulap?" Eddie langsung bertanya.

"Sulap?" Orang tua itu tampak bingung mendengar pertanyaan Eddie.


"Anda yang memerintahkan agar kami ditahan di sini?" aku bertanya
padanya. "Anda yang membawa kami ke masa silam? Kenapa?
Kenapa Anda melakukan ini?"

"Kisah ini tidak mudah diceritakan, Susannah," balas Morgred. "Kau


dan Edward harus percaya—"

"Jangan panggil saya Susannah!" aku memotong dengan gusar.

"Dan saya bukan Edward!" adikku berkeras. "Saya Eddie. Semua


orang memanggil saya Eddie."

Orang tua itu mengeluarkan tangannya dari kantong jubah. Sebelah


tangan diletakkannya pada pundak Eddie. Dengan tangannya yang
satu lagi dia menggenggam pundakku.

"Sebaiknya saya mulai dari kejutan yang paling besar," dia berkata
pada kami. "Kalian bukan Eddie dan Sue. Dan kalian tidak hidup di
abad kedua puluh."

"Hah? Apa maksudnya?" aku berseru.

"Sesungguhnya kalian Edward dan Susannah," sahut


Morgred.."Kalian adalah Pangeran dan Putri York. Dan kalian ditahan
di menara ini atas perintah paman kalian, sang Raja."
"ANDA keliru!" seru Eddie. "Kami tahu siapa kami. Anda melakukan
kesalahan besar!"

Tiba-tiba seluruh tubuhku menggigil. Ucapan Morgred terngiang-


ngiang di telingaku. "Kalian bukan Eddie dan Sue. Sesungguhnya
kalian Edward dan Susannah."

Aku mundur selangkah dan melepaskan diri dari genggamannya.


Kemudian aku mengamati wajah orang tua itu. Apakah dia bercanda?
Atau barangkali dia tidak waras?

Sorot matanya memancarkan kesedihan. Roman mukanya tetap serius,


terlalu serius untuk bergurau.

"Saya sudah menduga kalian takkan percaya," ujar Morgred sambil


kembali menyelipkan kedua tangan ke dalam kantong jubahnya. "Tapi
kata-kata saya benar. Saya sempat membacakan mantra—untuk
membantu kalian menyelamatkan diri."

"Menyelamatkan diri?" aku berseru. "Maksudnya—menyelamatkan


diri dari menara ini?"

Morgred mengangguk. "Saya telah berusaha agar kalian bisa lolos dari
takdir yang menanti kalian."
Dan tiba-tiba saja aku teringat pada kisah yang diceritakan Mr.
Starkes, pemandu wisata kami. Aku teringat kisah mengenai Pangeran
Edward dan Putri Susannah.

Sang Raja memerintahkan agar mereka dibekap.

Dibekap dengan bantal sampai mati lemas.

"Tapi kami bukan mereka!" protesku. "Anda pasti salah lihat.


Barangkali Eddie dan aku memang mirip dengan mereka. Barangkali
kami mirip sekali dengan mereka. Tapi kami bukan pangeran dan
putri yang Anda cari. Kami dua anak biasa dari abad dua puluh."

Morgred menggelengkan kepala dengan serius. "Saya telah


membacakan mantra. Saya menghapus ingatan kalian. Sebelum ini
kalian sudah sempat disekap di menara ini. Saya ingin kalian bisa
lolos. Mula-mula saya membawa kalian ke biara. Kemudian saya
mengirim kalian sejauh mungkin ke masa depan."

"Itu tidak benar!" Eddie berkeras. Suaranya melengking tinggi. "Itu


tidak benar! Tidak benar! Saya Eddie—bukan Edward. Nama saya
Eddie!"

Morgred kembali menghela napas. "Hanya Eddie?" dia bertanya


dengan suaranya yang berat. "Siapa nama lengkapmu, Eddie?"

"Na-nama saya—ehm...," adikku tergagap-gagap.

Eddie dan aku tidak bisa mengingat nama belakang kami, aku
menyadari. Dan kami juga tidak tahu di mana kami tinggal.
"Waktu saya mengirim kalian ke masa depan, saya sekaligus
memberikan ingatan baru kepada kalian," Morgred menjelaskan.
"Saya memberikan ingatan baru supaya kalian bisa hidup di zaman
baru. Tapi ingatan itu tidak lengkap."

"Pantas kita tidak bisa mengingat orangtua kita!" seruku kepada


Eddie.

"Tapi orangtua kami—?" aku mulai bertanya.

"Orangtua kalian, sang Raja dan Ratu yang sah, telah tiada," Morgred
memberitahu kami. "Paman kalian mengangkat dirinya sebagai raja
yang baru. Dan dia memerintahkan agar kalian ditawan di Menara,
agar kalian tidak bisa membuat kesulitan baginya."

"Di-dia mau menyingkirkan kami—untuk selama-lamanya!"

Morgred mengangguk sambil memejamkan mata. "Ya. Begitulah.


Tidak lama lagi anak buahnya akan datang ke sini. Dan tak ada yang
dapat saya lakukan untuk mencegahnya."
"Ini tidak masuk akal," gumam Eddie. "Betul-betul tidak masuk akal."

Tapi aku bisa menangkap kesedihan dalam sorot mata dan nada suara
Morgred. Cerita si penyihir memang benar. Dia tidak berbohong.

Berangsur-angsur aku dan adikku mulai memahami keadaan yang


sebenarnya. Dia dan aku bukan Eddie dan Sue dari abad dua puluh.
Kami memang hidup di masa suram dan berbahaya ini. Sesungguhnya
kami Edward dan Susannah dari York.

"Saya sudah berusaha mengirim kalian sejauh mungkin dari menara


ini," Morgred kembali bicara. "Saya mengirim kalian jauh ke masa
depan untuk memulai hidup baru. Saya ingin kalian hidup di sana dan
tidak kembali lagi. Saya ingin kalian terbebas dari bencana yang
menanti kalian di kastil ini."

"Tapi apa yang terjadi?" tanyaku. "Kalau memang begitu, kenapa


kami kembali ke sini, Morgred?"

"Saya dimata-matai oleh Yang Mulia Tuan Algojo," Morgred


menjelaskan sambil merendahkan suaranya. "Rupanya dia tahu bahwa
saya ber¬maksud membantu kalian melarikan diri. Dan karena itu—"

Dia terdiam dan menoleh ke arah pintu.

Suara apa itu? Apakah ada orang di depan pintu? Kami bertiga pasang
telinga.
Hening.

Morgred melanjutkan ceritanya sambil berbisik-bisik. "Waktu saya


membacakan mantra yang membawa kalian jauh ke masa depan, si
algojo rupanya bersembunyi di dekat saya. Saya menggunakan tiga
batu putih untuk mantra itu. Belakangan, dia mencuri batu-batu itu
dan mengulangi mantra yang saya bacakan. Dia mengirim dirinya
sendiri ke masa depan untuk membawa kalian kembali. Dan, seperti
yang kalian ketahui, dia berhasil menangkap kalian dan menyeret
kalian kemari."

Morgred maju selangkah. Dia mengangkat sebelah tangan dan


menempelkannya ke keningku.

Mula-mula tangannya terasa dingin. Lalu perlahan-lahan menjadi


hangat, lalu panas, lalu akhirnya membara. Aku langsung mundur
karena tidak tahan lagi.

Dan seketika ingatanku kembali.

Sekali lagi aku menjadi Putri Susannah dari York. Identitasku


sesungguhnya. Aku ingat orangtuaku, sang Raja dan sang Ratu.
Segala kenangan mengenai masa kecilku di kastil kerajaan mendadak
muncul lagi.

Adikku memelototi Morgred dengan gusar. "Apa yang Anda lakukan


terhadap kakak saya?" dia berseru. Dia mundur sampai menabrak
tembok batu.
Morgred menempelkan tangannya pada kening adikku. Dan aku
menyaksikan bagaimana roman muka adikku berubah ketika
ingatannya kembali dan dia menyadari dia memang Pangeran Edward.

"Bagaimana caranya, Morgred?" tanya Edward sambil menepis


rambut yang menutupi keningnya. "Bagaimana caranya Susannah dan
aku dikirim ke masa depan? Mungkinkah kau mengulangi mantra itu
sekali lagi?"

"Ya!" aku berseru. "Mungkinkah kau mengulanginya sekali lagi?


Bisakah kau mengirim kami ke masa depan lagi—sebelum anak buah
sang Raja datang?"

Morgred menggelengkan kepala dengan sedih. "Sayang sekali itu


tidak mungkin," dia bergumam. "Ketiga batu itu tak ada lagi padaku.
Seperti yang kuceritakan tadi, batu-batu itu dicuri Yang Mulia Tuan
Algojo."

Adikku mengembangkan senyum lalu merogoh kantongnya. "Ini dia!"


Eddie berseru sambil mengedipkan mata padaku. "Batu-batu ini
kucopet waktu si algojo menangkapku tadi."

Edward menyerahkan batu-batu itu kepada Morgred. "Tangan tercepat


di seluruh Inggris Raya!" dia berkata dengan bangga.

Morgred tidak menanggapi kelakarnya. "Mantra ini sebenarnya


sederhana saja," si penyihir berkata. Dia mengangkat ketiga batu itu,
dan ketiga-tiganya mulai berpendar.
"Setelah batu-batu ini ditumpuk," Morgred menjelaskan, "aku tinggal
menunggu sampai semuanya memancarkan cahaya putih membara.
Lalu aku mengucapkan kata-kata 'Movarum, Lovaris, Movarus.'
Kemudian aku menyerukan tahun yang hendak dituju."

"Cuma begitu?" tanya Edward sambil menatap ketiga batu membara


di tangan Morgred.

Morgred mengangguk. "Itulah mantranya, Pangeran Edward."

"Ayo, ucapkan sekali lagi! Cepat!" aku memohon-mohon.

Roman muka Morgred semakin sedih. "Aku tidak bisa," dia berkata
dengan suara bergetar karena terharu.

Dia mengembalikan ketiga batu itu ke kantong jubahnya. Kemudian


dia menarik napas panjang. "Sesungguhnya aku ingin sekali menolong
kalian," dia berbisik. "Tapi kalau aku membantu kalian melarikan diri
lagi, sang Raja akan menyiksaku dan aku akan mati dengan cara
mengenaskan. Dan dengan begitu aku takkan dapat lagi menggunakan
sihirku untuk menolong rakyat Inggris Raya."

Matanya yang ungu tampak berkaca-kaca, dan air mata mulai


membasahi pipinya yang berkerut-kerut. "A-aku berharap kalian
sempat menikmati kunjungan singkat kalian ke masa depan," dia
berbisik pelan.

Aku merinding. "Kau—kau benar-benar tidak bisa menolong kami?"


aku memohon.
"Tak ada lagi yang dapat kulakukan," Morgred menyahut sambil
menundukkan kepala.

"Biarpun kami memerintahkan agar kau menolong kami?" tanya


Edward.

"Biarpun kalian memerintahkannya," Morgred mengulangi. Sambil


tersedu-sedu, dia lalu memeluk Edward. Kemudian giliran aku
didekapnya. "Aku tak dapat berbuat apa-apa lagi," dia berbisik. "Aku
mohon maaf. Tapi aku tak berdaya."

"Berapa lama lagi kami akan hidup?" aku bertanya dengan suara kecil
yang nyaris tak terdengar.

"Barangkali beberapa jam," sahut Morgred. Dia memalingkan


wajahnya karena tidak berani menatap mataku.

Suasana menjadi hening. Udara di sel kami mendadak dingin dan


lembap.

Aku menggigil tak terkendali.

Edward mengejutkan aku dengan berbisik ke telingaku. "Susannah,


lihat itu!" katanya. "Morgred tidak menutup pintu waktu dia masuk
tadi."

Aku menoleh ke arah pintu. Edward benar. Pintu kayu yang kokoh itu
memang setengah terbuka.

Ternyata masih ada harapan, aku berkata dalam hati, dan jantungku
langsung mulai berdegup-degup. Kami masih punya harapan.
"Edward—lari!" aku menjerit. AKu langsung melompat ke arah pintu.

Tapi di tengah-tengah langkah, aku tiba-tiba tidak bisa bergerak.

Aku menoleh dan melihat bahwa Edward juga berhenti seperti patung,
dengan tangan terulur dan kaki tertekuk dalam posisi berlari.

Mati-matian aku mencoba bergerak, namun sia-sia. Rasanya seluruh


tubuhku mendadak berubah jadi batu.

Baru beberapa detik kemudian aku sadar bahwa ini akibat sihir
Morgred. Sambil berdiri kaku di tengah-tengah ruangan, aku
menyaksikan penyihir itu menuju pintu.

Sebelum keluar, dia menengok ke arah kami. "Maafkan aku," dia


berkata dengan suara gemetar. "Tapi aku tidak bisa membiarkan
kalian kabur. Aku harap kalian mengerti. Aku sudah berusaha.
Sungguh. Tapi sekarang aku tak berdaya. Sungguh-sungguh tak
berdaya."
Air mata bergulir di pipinya, membasahi jenggotnya yang putih.
Sekali lagi dia memandang kami

dengan tatapan sedih. Kemudian pintu menutup dengan keras di


belakangnya.

Sihirnya berhenti bekerja begitu gerendel pintu di luar dipasang lagi.


Edward dan aku kembali bisa bergerak.

Aku terduduk di lantai. Seluruh tenagaku tersedot habis. Aku letih


sekali.
Edward berdiri di sampingku. Pandangannya tertuju ke pintu.

"Apa yang harus kita lakukan?" aku bertanya pada adikku. "Kasihan
Morgred. Dia berusaha menolong kita. Dan dia ingin membantu kita
sekali lagi. Tapi dia tidak bisa. Kalau saja—"

Aku terdiam ketika mendengar suara langkah di depan pintu.

Sepintas lalu aku menyangka Morgred kembali lagi.

Tapi kemudian aku mendengar suara-suara tertahan. Sepertinya ada


lebih dari satu orang di luar. Tepat di depan pintu.

Dan aku langsung mengenali suara menggelegar yang kini terdengar.


Yang Mulia Tuan Algojo.

Dengan tegang aku berdiri dan berpaling kepada Edward. "Mereka


sudah datang," bisikku.
Di luar dugaanku, ekspresi Edward tetap tenang. Dia mengangkat
sebelah tangan. Sepertinya ada yang dia sembunyikan dalam
kepalannya.

Ketika dia membuka kepalannya, aku segera mengenali apa yang dia
genggam. Ketiga batu putih dan licin milik Morgred.

Seketika batu-batu itu mulai memancarkan cahaya.

"Edward—lagi?" aku berseru.

Dia mengembangkan senyum. Matanya yang gelap tampak berbinar-


binar. "Kuambil dari jubah Morgred waktu dia memelukku tadi."

"Kau masih ingat bunyi mantranya?" tanyaku. Senyum Edward


menghilang. "Ra-rasanya aku masih ingat."

Aku mendengar si algojo di luar. Suara langkahnya yang berat


bergema di tangga batu. "Edward—cepat!" aku mendesak.

Aku mendengar gerendel pintu digeser.

Aku mendengar pintu yang kokoh mulai membuka.

Terburu-buru Edward berusaha menumpuk ketiga batu membara di


tangannya. Tapi batu yang paling atas selalu jatuh lagi.

Akhirnya dia berhasil menyusun ketiga-tiganya. Pintu membuka


beberapa inci lagi.
Edward mengangkat batu-batu itu tinggi-tinggi. Dan dengan lantang
dia menyerukan kata-kata tadi,

"Movarum, Lovaris, Movarus!"

Ketiga batu membara itu lenyap dalam ledakan cahaya putih.

Cahaya itu segera meredup.

Aku memandang berkeliling.

"Oh, Edward!" aku meratap dengan kecewa. "Kita tidak berhasil! Kita
masih di Menara!"

Dan sebelum adikku yang masih terbengong-bengong sempat


menyahut, pintu sudah membuka sepenuhnya.
DAN muncullah mereka. Sebuah rombongan tur.

Aku tidak mengenali orang yang memandu rombongan itu. Dia wanita
muda dengan T-shirt merah dan kuning yang dikenakan berlapis-lapis,
serta rok mini dan celana ketat berwarna hitam.

Aku menatap Edward sambil nyengir lebar. Aku begitu gembira,


sehingga rasanya aku tak ingin berhenti tersenyum!

"Kau berhasil, Edward!" seruku. "Kau berhasil! Mantra yang kau


bacakan ternyata ampuh!"

"Panggil aku Eddie," dia menyahut sambil tertawa dengan lega.


"Panggil aku Eddie, oke, Sue?"

Mantranya ternyata memang ampuh. Kami kembali ke abad dua


puluh. Kembali ke Menara¬sebagai turis!

"Ruang kecil di puncak menara ini adalah tempat di mana Pangeran


Edward dan Putri Susannah dari York disekap sebagai tawanan," si
pemandu wisata menjelaskan. "Mereka ditawan di sini untuk
kemudian dihukum mati. Tapi hukuman itu tak pernah dilaksanakan."

"Mereka tidak mati di sini?" aku bertanya pada wanita itu. "Apa yang
terjadi?"

Si pemandu wisata angkat bahu sambil mengunyah permen karetnya.


"Tak ada yang tahu. Pada malam mereka seharusnya dibunuh,
pangeran dan putri itu lenyap. Seakan-akan ditelan bumi. Rasanya
misteri itu takkan pernah bisa dipecahkan."

Para anggota rombongan saling berbisik sambil memandang


berkeliling.

"Perhatikan tembok batu yang kokoh," si pemandu wisata melanjutkan


tanpa berhenti mengunyah. "Perhatikan jendela berterali yang begitu
tinggi. Bagaimana mereka bisa lolos? Kita takkan pernah tahu."

"Tapi kita tahu jawaban misteri ini," seseorang berbisik di belakangku.

Eddie dan aku menoleh dan melihat Morgred menatap kami sambil
tersenyum. Dia mengedipkan mata. Dia mengenakan jas ungu dan
celana berwarna abu-abu tua.

"Terima kasih kalian mengajakku," dia berkata dengan gembira.

"Kami terpaksa mengajakmu, Morgred," sahut Eddie. "Soalnya kami


butuh orangtua."

Morgred menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. "Ssst! Jangan


panggil aku Morgred. Namaku Mr. Morgan sekarang. Oke?"

"Oke," ujarku. "Kalau begitu, aku Sue Morgan. Dan ini Eddie
Morgan." Aku menepuk punggung adikku.

Rombongan tur mulai meninggalkan ruangan di puncak menara, dan


kami mengikuti mereka. Eddie mengeluarkan ketiga batu putih dari
kantong jeans-nya.
"Kalau saja aku tidak meminjam batu-batu ini dari kantongmu”, dia
berkata kepada Mr. Morgan, "maka kisah yang diceritakan si pemandu
wisata pasti akan berbeda. Ya, kan?"

"Ya, rasanya begitu," balas si penyihir sambil merenung. "Kisahnya


akan sangat berbeda."

"Ayo, kita pergi dari sini!" seruku. "Aku tidak mau melihat menara ini
lagi."

"Aku lapar sekali!" ujar Eddie.

Dan tiba-tiba aku sadar bahwa perutku juga sudah keroncongan.

"Barangkali aku perlu mengucapkan mantra untuk makanan?" tanya


Mr. Morgan.

Eddie dan aku langsung mengerang. "Rasanya aku sudah kapok


berurusan dengan mantra," aku menanggapinya. "Lebih baik kita ke
Burger Palace saja, untuk menikmati hamburger dan kentang goreng
khas abad dua puluh!" END

Anda mungkin juga menyukai