27 Semalam Di Menara Teror
27 Semalam Di Menara Teror
"Tapi dulu ini tempat untuk menyiksa orang," balas Eddie. Tiba-tiba
saja dia kelihatan pucat sekali. "Dulu orang disekap di dalam menara
itu dan dibiarkan mati kelaparan."
"Itu ratusan tahun yang lalu," aku menimpali. "Sekarang tak ada lagi
yang disiksa, Eddie. Sekarang cuma ada orang yang berjualan kartu
pos."
Kami menatap kastil tua yang terbuat dari batu-batu berwarna abu-
abu, yang kini hampir hitam karena dimakan waktu. Kedua
menaranya yang ramping menjulang bagaikan lengan di kedua
sisinya.
Ini hari pertama kami di Inggris, dan Eddie dan aku sudah berkeliling
kota London. Orangtua kami harus mengikuti konferensi di hotel
tempat kami menginap. Karena itu mereka mendaftarkan kami sebagai
peserta tur, dan kami pun berangkat.
Untuk makan siang, kami menyantap bangers and mash (sosis dan
bubur kentang) di sebuah pub khas Inggris. Setelah itu rombongan tur
kami berkeliling naik bus, Eddie dan aku duduk di lantai atas bus
tingkat berwarna merah cerah.
London ternyata persis seperti yang kubayangkan. Luas dan ramai.
Toko-toko mungil di jalan-jalan sempit dipadati taksi-taksi model
kuno berwarna hitam. Orang-orang dari seluruh penjuru dunia berlalu
lalang di trotoar.
Adikku si penakut tentu saja ngeri karena harus berkeliling kota yang
asing tanpa orangtua kami. Tapi aku sudah dua belas, dan jauh lebih
berani daripada dia. Dan aku juga berhasil menjaga supaya dia jangan
terlalu senewen.
Aku kaget sekali waktu Eddie minta agar kami berkunjung ke Menara
Teror.
Mr. Starkes, pemandu wisata kami yang botak dan bermuka merah,
mengumpulkan semua anggota rombongan di trotoar. Jumlahnya dua
belas orang, sebagian besar orang tua. Cuma Eddie dan aku yang
masih anak-anak.
Bersama Mr. Starkes kami lalu menyusuri jalan setapak yang menuju
kastil dan kedua bentengnya. "Kastil ini dibangun pasukan Romawi
sebagai benteng pertahanan," pemandu wisata itu meneruskan
penjelasannya. "Setelah mereka angkat kaki, tempat ini berubah
menjadi penjara, dan perubahan itu merupakan awal dari rangkaian
kekejaman dan penyiksaan selama bertahun-tahun di dalam tembok-
tembok ini."
Dia menggigil. Aku tidak tahu apakah dia menggigil karena ucapanku,
atau karena angin kencang yang berembus di pekarangan tengah.
Kami menyusuri jalan setapak yang terselubung bayang-bayang kastil.
Mr. Starkes mengajak kami ke sebuah pintu sempit di bagian pinggir.
Kemudian dia berbalik menatap para anggota rombongan.
Aku terkejut melihat roman mukanya yang tegang dan penuh duka.
"Dengan berat hati saya terpaksa menyampaikan kabar buruk ini," dia
berkata sambil menatap kami satu per satu.
Mr. Starkes terkekeh-kekeh dan wajahnya yang bulat dan merah mulai
dihiasi senyum. "Sedikit gurauan khas Menara Teror," katanya dengan
riang. "Sekali-sekali boleh dong saya bercanda."
Kami semua ikut tertawa. Kecuali Eddie. Dia masih tampak kaget.
"Orang itu sinting!" Eddie berbisik.
Sebenarnya, Mr. Starkes pemandu wisata yang sangat baik. Dia selalu
ceria dan siap membantu, dan sepertinya dia tahu segala sesuatu
mengenai London. Satu-satunya masalah adalah aksen Inggris yang
kadang-kadang sukar kupahami.
"Seperti yang Anda lihat, kastil ini sesungguhnya terdiri atas beberapa
bangunan," Mr. Starkes menjelaskan setelah kembali serius.
"Bangunan yang panjang dan rendah di sebelah sana, dulu berfungsi
sebagai barak tentara." Dia menunjuk ke seberang lapangan rumput.
Algojo!
"Ada yang berminat potong rambut cara cepat?" Mr. Starkes bertanya
dengan santai, tanpa menoleh. "Ini tukang cukur kastil!"
"Wah, asyik juga," bisik Eddie. Tapi aku menyadari dia selalu
menempelku ke mana pun.
Beberapa orang tertawa. Aku sudah tidak sabar. Aku ingin segera
masuk.
"Ayo, kita masuk saja," Eddie mendesak. "Yang lain sudah jauh di
depan."
Aku sama sekali tidak menduga bahwa inilah foto Eddie yang terakhir
kuambil.
MR. STARKES mengajak kami menuruni tangga. Sepatu kets kami
berdecit-decit di lantai batu ketika kami memasuki bangsal besar
bercahaya redup.
Suhu di dalam sini ternyata lebih hangat dari yang kuduga. Kubuka
ritsleting jaketku, lalu kutarik rambutku yang panjang dan cokelat dari
balik kerah.
Aku menoleh dan melihat sosok gelap berdiri di seberang alat itu.
Orang itu sangat tinggi dan besar. Dia mengenakan jubah hitam yang
panjang, dan wajahnya terselubung bayangan dari topinya yang lebar.
Mr. Starkes terus bercerita mengenai the Rack. Dia bertanya apakah
ada sukarelawan yang mau mencobanya. Semua tertawa.
Alat ini harus kupotret, aku berkata dalam hati. Teman-temanku pasti
terkagum-kagum.
Kameraku hilang.
"EDDIE!" aku berseru. "Kaulihat—?"
Aku tidak habis pikir kenapa dia begitu senang jadi pencuri. Tapi dia
memang jago. Aku sama sekali tidak merasakan apa-apa waktu dia
menarik kamera itu dari kantongku.
Pasti bukan. Paling-paling dia cuma turis biasa yang juga berkunjung
ke Menara. Tapi kalau begitu, kenapa aku mendapat firasat buruk
bahwa dia menguntit kami?
"Coba lihat ini!" ujar Eddie sambil menarikku ke salah satu rak
pajang. "Apa ini?"
Aku meraih ke balik tali pembatas dan mengambil borgol yang terbuat
dari logam. Borgol itu ternyata lebih berat dari yang kuduga. Dan di
sekeliling sisi dalamnya ada sederetan paku.
Aku memekik kaget ketika borgol yang berat itu menutup diiringi
bunyi klik.
"Aduh!" aku menjerit sambil menarik-nariknya dengan bingung.
"Eddie—tolong! Aku tidak bisa melepaskannya! Tanganku terpotong!
Tanganku terpotong!"
"OHHH!" Eddie mengerang ketakutan sambil menatap borgol yang
melingkar pada pergelangan tanganku. Mulutnya sampai ternganga,
dan dagunya mulai gemetar.
Aku tidak tahan lagi. Serta-merta aku mulai ketawa. Dan dengan
mudah kutarik borgol itu dari pergelangan tanganku.
Aku mendekat dan melihat bahwa sel itu cuma berisi bangku batu dan
meja tulis yang terbuat dari kayu.
Dulu benar-benar ada orang yang ditahan sini, aku berkata dalam hati.
Mereka berdiri di balik terali ini dan memandang ke luar. Mereka
duduk di meja kecil itu. Berjalan mondar-mandir. Menunggu ajal.
Aku menelan ludah dan melirik adikku. Sepertinya dia sama ngerinya
denganku.
"Sang pangeran dan sang putri hanya sebentar berada di sini," Mr.
Starkes kembali bicara. "Sementara mereka tidur malam itu, algojo
kerajaan dan sejumlah anak buahnya mengendap-endap menaiki
tangga. Mereka diperintahkan membunuh kedua bocah itu. Agar sang
pangeran dan sang putri tak naik takhta."
Mr. Starkes memejamkan mata dan menundukkan kepalanya.
Keheningan yang meliputi ruangan itu terasa mencekam.
Di ruangan ini.
Tapi kameraku terlepas dari tanganku dan jatuh ke lantai batu. Aku
segera membungkuk untuk memungutnya. "Aduh, Eddie,—lensanya
pecah!" seruku.
"Ssst! Aku tidak bisa mendengar penjelasan Mr. Starkes tentang sang
pangeran dan sang putri!" protes Eddie.
"Tapi kameraku—!" Aku mengguncang-guncangkannya. Aku sendiri
tidak tahu kenapa. Lensanya tak mungkin utuh lagi kalau diguncang-
guncang seperti itu.
Apakah sang pangeran dan sang putri pernah duduk di sini? aku
bertanya dalam hati.
"Oke, oke," sahutku jengkel. Sekali lagi kuusap ranjang itu. Rasanya
begitu keras, begitu tidak nyaman.
Aku tidak tahu kenapa aku begitu senang menggoda adikku. Tapi
yang jelas, dia benar-benar ketakutan. Sebenarnya aku sendiri juga
agak ngeri. Tapi aku tidak bisa menahan diri.
"Kok kita tidak mendengar mereka pergi, ya?" tanya Eddie. "Kenapa
mereka pergi begitu terburu-buru?"
Idih.
Aku langsung tahu apa yang membuatnya cemas. Ternyata ada dua
tangga yang menuju ke bawah¬satu di sebelah kiri sel, satu lagi di
sebelah kanan.
Kuberi isyarat agar dia mengikutiku. "Ayo. Sepertinya yang ini yang
kita lewati waktu naik tadi." Aku turun satu anak tangga.
Kemudian berhenti.
"Mr. Starkes?" aku memanggil sekali lagi. Kali ini suaraku jauh lebih
kecil.
Ketika sosok gelap itu muncul di hadapan kami, aku langsung tahu dia
bukan pemandu wisata kami.
"Oh!" aku berseru kaget waktu laki-laki besar bermantel hitam itu
muncul.
Wajahnya masih tersembunyi dalam kegelapan. Tapi matanya
bagaikan membara ketika dia menatap Eddie dan aku dari bawah
topinya yang lebar.
Aku menarik napas dan mencoba sekali lagi. "Kami terpisah dari
rombongan kami," ujarku. "Mereka pasti sedang menunggu kami.
Apakah—apakah ini jalan ke bawah?"
Sekali lagi dia hanya diam. Dan dia terus menatap kami dengan
pandangan mengancam.
Ebukulawas.blogspot.com
EDDIE memekik tertahan.
"Tidak. Saya tidak tahu. Saya—" Aku mendadak terdiam ketika dia
mencengkeram pundakku. "Hei—jangan ganggu dia!" teriak Eddie.
Tapi orang berjubah itu juga menangkap adikku. Tangannya
mencengkeram pundakku dengan keras. "Hei—!" aku berseru
kesakitan.
Aku sempat melihat wajahnya, wajah yang berkesan keras dan geram.
Hidung panjang dan runcing, bibir tipis yang menyeringai lebar. Dan
matanya. Sepasang mata yang menyorot dingin.
Ada apa ini? aku bertanya dalam hati. Jangan-jangan dia tidak waras?
Jangan-jangan dia gila dan berbahaya?
Dia berseru dengan kesal ketika salah satu batu jatuh ke lantai. Batu
itu langsung terpental.
"Ayo, terus," aku mendesak Eddie. "Lari terus! Kita sudah hampir
sampai di pintu keluar!"
Kata siapa?
Siapa dia?
Eddie mendorong pintu itu dengan bahunya. Satu kali, lalu sekali lagi.
Sia-sia.
"Jangan macam-macam!" seru orang berjubah itu. Tapi Eddie dan aku
sekali lagi berusaha mendobrak pintu.
"Ini pasti cuma mimpi!" Eddie berkata dengan suara tercekik. "Penjara
bawah tanah cuma ada di zaman dulu!"
Trernyata kakiku tersandung orang yang tergeletak dli lantai. Dan aku
langsung jatuh menimpa dadanya.
Baru kemudian aku sadar dia cuma boneka. Bukan orang sungguhan.
Cuma boneka yang dirantai ke lantai.
"Kalian tidak bisa lolos," orang itu menggeram sekali lagi. "Kalian
takkan bisa keluar dari kastil." Ucapannya membuatku merinding.
"Tidak!" balasku. Aku melihat sebuah meja kerja di dinding. Meja itu
dipenuhi berbagai perkakas. Langsung saja aku mencari sesuatu yang
bisa dipakai sebagai senjata. Tapi ternyata tidak ada yang cocok.
Akhirnya kuraih sebuah senter.
Ya.
Berkat cahaya senterku aku melihat pegangan tangan dari logam yang
terpasang pada langit-langit. Eddie dan aku terpaksa membungkuk
semakin rendah agar kepala kami tidak sampai terbentur.
Suara langkahnya terdengar mantap. Aku langsung tahu dia tidak jauh
di belakang kami.
Kami bakal ketangkap lagi, pikirku dengan panik. Terowongan ini tak
ada ujungnya.
Lalu bagaimana?
Lebih tinggi. Lebih tinggi lagi. Semakin jauh dari tikus-tikus yang
mengalir bagaikan air bah.
Topinya yang lebar terlepas dan jatuh ke lantai. Seketika selusin tikus
mengerubuti topi itu dan mengoyak-ngoyaknya sampai hancur.
Aku merinding. Aku yakin aku bakal lama dihantui mimpi buruk
mengenai ratusan tikus dengan mata merah.
"Kita harus cari jalan keluar dari gorong-gorong ini!" aku berseru
dengan kalut. "Mr. Starkes pasti sudah kalang kabut mencari kita."
"Hei—!" aku berseru dengan lega ketika menyadari bahwa bunyi yang
terdengar berbeda. Bunyi yang kami dengar adalah bunyi angin yang
memasuki gorong-gorong.
Ini berarti kami hampir sampai di mulut terowonga n. Dan itu juga
berarti bahwa kami bisa keluar! "Ayo!" ujarku. Cahaya senterku
menari-nari ketika kami mulai berlari.
Udara malam di luar dingin dan lembap, tapi kami tidak peduli.
Udaranya terasa begitu segar dan bersih bagi kami.
Dan yang paling penting, kami sudah berhasil keluar. Keluar dari
gorong-gorong. Keluar dari Menara Teror.
Dan lolos dari kejaran laki-laki berjubah hitam yang menakutkan tadi.
Tanpa berhenti aku menoleh ke arah kastil tua itu. Cahaya bulan
menerangi kedua menara yang menjulang tinggi.
Ratusan tahun yang lalu jalan setapak ini benar-benar dilewati orang-
orang bernasib malang, aku berkata dalam hati.
Aku dan Eddie mencari-carinya sampai ke jalan raya. Tapi jalan itu
pun sunyi dan lengang.
"Kalian ini anak-anak yang dicari sopir bus tadi?" dia bertanya dengan
suara yang melengking tinggi. Logat bicaranya berbeda dari logat Mr.
Starkes. Rasanya dia orang Skotlandia.
"Hmm, saya penjaga malam di sini," ujar orang itu. "Kalau malam
tidak ada siapa-siapa di sini selain saya."
Eddie dan aku berpandangan. Kami sadar bahwa orang itu takkan
percaya.
"Bagaimana kami bisa kembali ke hotel kami?" tanya Eddie.
"Orangtua kami pasti sudah cemas."
Aku menoleh ke arah jalan raya. Tak satu mobil atau bus pun
kelihatan.
"Tapi jaraknya cukup jauh. Kalian harus bayar lima belas sampai dua
puluh pound untuk perjalanan ke kota dari sini," dia mewanti-wanti.
Eddie menelan ludah. "Saya cuma ingin kembali ke hotel kami," dia
bergumam.
Si penjaga malam kembali mengangguk. Kemudian, sambil
menyelipkan kedua tangan ke kantong mantelnya yang panjang, dia
mengantarkan kami ke telepon umum.
Aku dan Eddie naik, dan duduk di bangku belakang. Suasana di dalam
taksi ternyata hangat dan nyaman. Aku bersyukur bahwa kami
akhirnya bisa duduk dengan tenang.
Tidak lama kemudian kami sudah tiba di pusat kota London. Jalanan
dipenuhi mobil dan taksi. Kami melewati gedung-gedung teater dan
restoran yang terang benderang.
Taksi kami menepi di depan Hotel Barclay dan berhenti di sisi trotoar.
Si pengemudi membuka jendela geser di belakangnya dan berpaling
padaku. "Ongkosnya lima belas pound enam puluh pence."
"Keping uang," sahutku. Aku tak tahu apalagi yang mesti kukatakan.
"Apakah ini cukup untuk membayar ongkos taksi?"
Aku membuka pintu dan turun dari taksi. Eddie mengikutiku sambil
geleng-geleng kepala. "Ini benar-benar aneh," gumamnya pelan.
Perutku berbunyi nyaring. Baru sekarang aku sadar bahwa aku pun
sudah kelaparan.
Eddie dan aku melewati meja resepsionis yang panjang. Kami berjalan
begitu terburu-buru sehingga nyaris bertabrakan dengan petugas hotel
yang mendorong kereta penuh koper.
"Nah, sudah sampai." Eddie berlari ke pintu kamar 626 dan langsung
mengetuk. "Hei, Mom! Dad! Sue dan aku sudah pulang!"
"Hei—Mom, Dad, Kalian ada di dalam!" seru Eddie. Sekali lagi dia
mengetuk. "Cepat dong! Ini kami."
Tak ada tanda-tanda sama sekali bahwa ruangan itu dihuni orang.
Aku langsung dapat firasat buruk. "Aduh, ada apa ini?" seruku dengan
bingung.
"MANA mungkin mereka pergi begitu saja!" seruku. Aku langsung
menghampiri lemari pakaian untuk memeriksanya. Terus terang, aku
sendiri tidak tahu apa yang kuharapkan. Dari tempat aku berdiri pun
terlihat jelas bahwa lemari itu kosong.
"Kau yakin ini memang kamar kita?" tanya Eddie. Dia membuka laci
paling atas. Kosong. "Tentu saja aku yakin," balasku dengan jengkel.
Eddie membuka semua laci yang lain. Semuanya kosong.
Kami memeriksa setiap jengkal. Tak ada tanda apa pun mengenai
keberadaan orangtua kami.
"Pasti ada jawaban yang masuk akal." sahutku. "Ayo. Kita turun saja
lagi."
Kami kembali menyusuri koridor yang panjang dan turun dengan lift.
"Tapi, Madam," pria itu berkata sambil menyabarkan diri, "hotel kami
tidak terletak di dekat sungai. Hotel ini tidak mempunyai
pemandangan ke arah sungai."
Baru sekitar sepuluh menit kemudian Eddie dan aku mendapat giliran
untuk bicara dengan petugas penerima tamu. Orang itu menyimpan
beberapa lembar kertas dalam sebuah map, lalu berpaling kepada
kami. Secara otomatis dia mengembangkan senyum. "Ada yang dapat
saya bantu?"
Aku kembali memeras otak. Tapi aku tidak ingat nama pertemuan itu.
Atau apa yang dibahas.
Aku hendak menyahut, tapi petugas tadi keburu muncul lagi. "Boleh
saya tahu nomor kamar kalian?" tanyanya sambil kembali menggaruk-
garuk telinganya.
Petugas itu berpaling kepadaku. "Saat ini tidak ada tamu yang
menginap di kamar 626," dia mengulangi.
Aku membuka mulut untuk menjawab. Tapi aku tidak tahu harus
berkata apa.
Usul itu disambut hangat oleh kami berdua, sebab kami memang
sudah kelaparan!
Eddie gelisah sekali. Tanpa henti dia mengetukkan jarinya pada meja
yang tertutup taplak berwarna putih bersih. Aku terus mengotak-atik
sendok dan garpu yang berat.
Seorang pelayan dengan jas hitam muncul di samping meja kami. Dia
menatap Eddie dan aku sambil mengembangkan senyum. "Selamat
datang di Hotel Barclay," katanya. "Apa yang bisa saya hidangkan
malam ini?"
"Kenapa kita tidak ingat nama belakang kita?" dia bertanya dengan
bingung bercampur sedih.
Tapi Eddie dan aku tidak ambil pusing. Begitu si pelayan meletakkan
nampan, kami langsung mulai melahap sandwich.
Kami minum dua cangkir teh. Kemudian nampan berikut yang berisi
croissant tiba. Kami oleskan mentega dan selai arbei, lalu kembali
makan dengan lahap.
Aku menelan ludah, lalu membuka mata. Aku sama sekali tidak
sanggup membayangkan tampang orangtuaku.
"Di mana rumah kita?" Eddie meratap. "Seperti apa rumah kita? Aku
tidak ingat, Sue. Aku sama sekali tidak ingat."
"Kita masih ingat nama depan kita," sahut Eddie. "Apa lagi selain
itu?"
"Kita ingat kamar mana yang kita tempati," kataku. "Enam dua enam."
"Dan kita juga ingat kenapa kita datang ke London," aku melanjutkan.
"Karena Mom dan Dad harus ikut pertemuan yang penting itu."
"Tapi di hotel ini tidak ada pertemuan apa pun!" Eddie kembali
berseru. "Ingatan kita keliru, Sue. Semuanya keliru!"
Aku berkeras untuk menceritakan segala sesuatu yang bisa kami ingat.
Aku merasa bahwa dengan cara itu kami takkan begitu merasa cemas
mengenai hal-hal yang kami lupa.
Sebenarnya aku sadar ideku itu tidak ada gunanya. Tapi apa lagi yang
bisa kami lakukan?
Aku ingat kita ikut tur tadi," kataku. "Aku ingat semua tempat yang
kita kunjungi di London. Aku ingat Mr. Starkes. Aku ingat—"
Aku tidak ingat apa yang kami lakukan kemarin! Atau hari
sebelumnya. Atau hari sebelum itu.
Si sopir taksi.
"Tapi mungkin lebih baik kalau kita jelaskan saja bahwa—" Eddie
mulai berkata.
"Hah? Apa yang bisa kita jelaskan?" balasku dengan sengit. "Bahwa
kita tidak bisa membayarnya karena kita kehilangan ingatan dan
bahkan lupa nama belakang kita sendiri? Aku tidak yakin dia bakal
percaya."
Lewat pintu depan jelas tidak mungkin, sebab si sopir taksi masih
menghalangi jalan itu. Tapi di dekat meja kami ada pintu kaca di
dinding belakang.
Pintu itu tertutup tirai putih yang tembus cahaya. Aku juga melihat
tanda kecil bertuliskan: BUKAN JALAN KELUAR.
Tapi aku tidak peduli. Eddie dan aku tidak punya pilihan. Kami harus
angkat kaki—secepatnya!
Aku meraih gagang pintu dan memutarnya. Eddie dan aku segera
menyelinap, lalu menutup pintu kembali.
"Rasanya dia tidak melihat kita pergi," aku berbisik. "Sepertinya kita
selamat."
Kami berpaling dari pintu dan mengamati lorong panjang dan gelap
tempat kami berada. Tempat ini pasti khusus untuk karyawan hotel,
pikirku. Lantainya tidak berkarpet. Dinding-dindingnya kotor, penuh
bercak, dan tidak dicat.
Eddie dan aku terjebak dengan punggung merapat ke pintu kaca yang
tertutup tirai.
Eddie membelalakkan mata dengan heran. "Hah? Apa yang harus saya
kembalikan?" serunya.
"Sue, bagaimana caranya kita bisa sampai di sini?" tanya Eddie pelan-
pelan. "Mana laki-laki berjubah tadi?"
Kami maju dengan hati-hati. "Sepertinya ini bagian lama dari hotel,"
aku menebak-nebak. "Sepertinya tempat ini sengaja dibuat
berpenampilan kuno."
Kami melewati pintu demi pintu. Suasana yang sunyi meliputi lorong
yang panjang dan sempit itu. Satu-satunya suara yang terdengar
adalah suara sepatu kets kami pada lantai kayu. Semua pintu tertutup
rapat. Tak satu orang pun kelihatan.
Cahaya lilin yang berkerlap-kerlip, pintu-pintu yang gelap,
keheningan yang menyeramkan—semuanya membuat bulu kudukku
berdiri. Seluruh tubuhku gemetaran.
"A-aku mau kembali ke kamar kita," ujar Eddie ketika kami melewati
satu belokan lagi. "Barangkali Mom dan Dad sudah datang.
Barangkali mereka sedang menunggu kita."
Kami memasuki lorong lain. Lorong ini juga diterangi cahaya lilin
yang menari-nari. "Seharusnya ada lift di sekitar sini," aku bergumam.
"Ohh!" aku memekik. Aku kaget karena ternyata ada orang lain di
lorong-lorong yang panjang dan sepi ini.
Mereka berjalan tanpa bersuara. Dan mereka pun sama sekali tidak
menghiraukan Eddie dan aku.
"Ehm... apakah Anda tahu di mana lift-nya?" sambil berpaling Eddie
bertanya.
Aku menghampiri adikku dan sosok berjubah itu. Aku bisa melihat
wajahnya di bawah tudung.
Ternyata dia laki-laki tua dengan alis putih tebal. Dia menatap Eddie,
lalu aku. Matanya tampak gelap dan berair. Roman mukanya kelihatan
sedih. "Kalian harus hati-hati," katanya dengan suara parau.
Orang tua itu tidak menyahut. Cahaya lilin yang menari-nari terpantul
dari matanya yang berkaca-kaca. Dia mengangguk singkat, lalu
berbalik, menyusul rekan-rekannya dengan langkah panjang.
Aku menghela napas. "Ayo, kita cari lift dan naik ke kamar kita. Aku
tidak suka bagian hotel ini. Suasananya terlalu gelap dan
menakutkan."
"Hei, aku yang gampang takut," ujar Eddie sambil mengikutiku. "Kau
seharusnya pemberani—ya, kan?"
Kami menyusuri lorong demi lorong, dan semakin lama kami semakin
bingung. Kami tidak berhasil menemukan lift atau tangga atau pintu
keluar.
"Sampai kapan kita harus berputar-putar seperti ini?" Eddie merengek.
"Masa sih tidak ada jalan keluar dari sini?"
"Mungkin lebih baik kalau kita kembali saja," aku mengusulkan. "Si
sopir taksi pasti sudah pergi. Kita kembali lewat jalan yang kita lalui
tadi, dan keluar lewat restoran."
Kita tidak bisa melarikan diri dari masalah itu. Tidak bisa
bersembunyi. Dan tidak bisa memecahkannya.
Kita cuma bisa merasa begitu tidak berdaya.
Aku menariknya. "Kita ambil lorong yang salah," ujarku. "Kita salah
belok tadi."
"Tidak!" bantahnya. "Ini lorong yang benar! Aku tahu ini lorong yang
benar!"
"Bisa saja," sahutku. "Tapi untuk itu kita harus menemukan pintu
keluar dari sini. Dan sampai sekarang—"
Ketika Eddie dan aku melangkah keluar pintu tersebut, kami sama-
sama berseru kaget.
Dia benar. Aku tidak melihat sendok maupun garpu di semua meja.
"Ini pesta kostum," aku berbisik kepada Eddie. Kami tidak berani
memasuki ruangan itu dan tetap berdiri di ambang pintu. "Sepertinya
orang-orang bertudung tadi menuju kemari."
Aku angkat bahu. "Entahlah. Aku juga kurang paham apa yang
mereka katakan. Kau mengerti?"
"Tapi barangkali ada yang bisa memberitahu kita bagaimana kita bisa
keluar dari sini," ujarku. "Coba saja," sahut Eddie.
"Maaf, Pak," aku mengulangi. "Anda tahu jalan keluar dari hotel?"
Aku memekik kaget ketika semuanya mendadak berdiri. Tak ada yang
menggubris makanan yang jatuh ke lantai. Salah satu bangku panjang
terbalik.
"Kami cuma ingin tahu jalan keluar dari sini," kataku. Suaraku
terdengar kecil dan melengking.
Aku menghela napas panjang dan mencoba sekali lagi. "Ada yang bisa
membantu kami?"
Hening.
Aku tidak tahu apa yang dikatakan mereka. Tapi ekspresi pada wajah
mereka membuatku merasa terancam.
Aku masih bisa merasakan pancaran panas dari api di perapian ketika
kami berlari. Bau rusa panggang pun masih tercium jelas.
Padahal aku yakin hanya beberapa detik berlalu sejak Eddie dan aku
menghambur keluar dari hotel. Tapi dalam waktu yang singkat itu,
segala sesuatu telah berubah.
Gedung-gedung tinggi di sekitar hotel pun tak terlihat lagi. Jalan tanah
tempat kami berada diapit pondok-pondok kecil yang dicat putih
dengan atap datar serta gubuk-gubuk kayu tanpa pintu maupun
jendela.
Ini pusat kota London! aku berkata dalam hati. Mana mungkin ada
sapi di pusat kota London? Ke mana semua gedung tinggi, mobil-
mobil, taksi-taksi, dan bus-bus tingkat?
"Ya," kataku. "Tapi saya dan adik saya tersesat. Kami bingung
mencari jalan pulang ke hotel."
"Hotel?" aku berseru dengan jengkel. "Itu lho! Tempat para pelancong
menginap?"
"Bukan, maksud saya—" aku mulai berkata. Tapi aku sadar dia sama
sekali tidak memahami maksudku.
"Kayu ini harus kubawa pulang dulu," ujar anak itu. Dia
menganggukkan kepala, menurunkan kayu bakar dari pundaknya, lalu
kembali menyusuri jalan.
"Eddie, anak itu—" kataku. "Dia tidak tahu apa itu hotel! Bayangkan,
dia—"
Ke mana dia?
Kami berdua baru saja keluar dari sini, aku berkata dalam hati sambil
menutup pintu. Eddie tidak mungkin masuk lagi.
Tapi terlambat.
Eddie tidak mungkin pergi begitu saja tanpa mengajakku. Dia terlalu
takut untuk itu.
"Saya kan sudah bilang bahwa sudah waktunya kita pergi," dia berkata
pelan-pelan sambil menghampiriku.
Aku merinding.
Dan bagaimana aku bisa keluar dari masa lampau, dan kembali ke
zamanku sendiri?
"Dia ada di dalam sini, Tuan," ujar wanita itu. Aku mendengar suara
langkah. Dan kemudian suara-suara mereka bertambah keras.
Bertambah dekat. Mereka berdiri di samping peti tempat aku
bersembunyi.
"Saya masukkan dia ke dalam peti ini, Tuan," wanita itu menyahut.
"Dia sudah siap diangkut. Siap dibawa pergi oleh Tuan."
JANTUNGKU nyaris copot. Di tengah kegelapan di dalam peti,
pandanganku jadi merah.
Wanita itu sudah terima uangku, pikirku dengan geram. Tapi dia tetap
saja memberitahukan tempat persembunyianku kepada si laki-laki
berjubah.
Aku mengerang kecewa karena tutup itu ternyata tak bergerak sedikit
pun.
Tapi tak ada bedanya. Aku tak berdaya. Terperangkap. Aku telah
menjadi tawanan.
Peti tempatku bersembunyi tiba-tiba bergerak, sehingga aku
terguncang-guncang di dalamnya. Aku bisa merasakannya diseret-
seret pada lantai pondok.
"Hei—!" aku berseru. Tapi suaraku seperti teredam dalam peti kecil
itu. Aku merebahkan diri di dasar peti. Jantungku berdegup-degup.
"Aku mau keluar!"
"Saya menyesal sekali," katanya. "Saya harap kau cukup berbesar hati
untuk memaafkan saya. Saya tidak berani menentang Yang Mulia
Tuan Algojo."
Hening.
Aku telah menjadi tawanan tak berdaya di dalam sebuah peti. Dan aku
tahu peti itu sedang diangkut dengan gerobak atau kereta kuda.
Aku mulai gemetaran di dalam penjaraku yang kecil dan gelap. Aku
tak sanggup melawan perasaan ngeri yang mulai meliputi diriku.
Dan kemudian aku bertanya pada diriku sendiri: Apa urusan dia
denganku?
KERETA itu berhenti mendadak. Lalu, kira-kira semenit kemudian,
mulai bergerak lagi.
Aku mau dibawa ke mana? tanyaku dalam hati. Mau diapakan aku
ini?
Kepalaku membentur sisi depan peti ketika kami sekali lagi berhenti
mendadak. Aku menggigil. Seluruh tubuhku bermandikan keringat
dingin.
Udara di dalam peti semakin pengap. Aku sudah tak sabar ingin
segera menghirup udara segar.
Sekali lagi si algojo diam saja. Dia memberi isyarat dengan sebelah
tangan, lalu kedua prajurit menggenggam lenganku dan memaksaku
berbalik badan.
Ketika aku berpaling dari si algojo, aku melihat kastil yang gelap
menjulang di hadapanku. Aku melihat temboknya, pekarangan
tengahnya, dan ke¬dua menaranya yang langsing dan tinggi.
Menara Teror!
Dia membawaku ke Menara Teror!
Entah bagaimana caranya, aku dan Eddie telah dibawa ke masa silam,
ke suatu zaman yang bukan zaman kami. Kini Eddie menghilang. Dan
aku digiring ke Menara Teror.
Aku tidak punya waktu untuk memikirkan nasib para tawanan itu
lebih lanjut. Tiba-tiba saja aku sudah diselubungi kegelapan dalam
kastil. Dan diseret menaiki tangga batu yang melingkar-lingkar.
Aku disekap.
"Laki-laki berjubah itu—di sini dia disebut Yang Mulia Tuan Algojo,"
aku memberitahu adikku. "Aku mendengar seorang wanita
memanggilnya begitu."
Jubah ungu yang dikenakan orang tua berambut putih itu menyapu
lantai ketika dia menghampiri kami. Dia menggelengkan kepala
dengan sedih, tapi dia tidak berkata apa-apa.
"Kalian tidak ingat saya," laki-laki tua itu berkata dengan lembut.
"Tentu saja tidak!" seru Eddie. "Kami tidak seharusnya berada di
sini!"
Laki-laki tua itu menghela napas panjang. "Kalau saja saya dapat
melepaskanmu, Edward," dia berkata pelan-pelan, seakan-akan
menyesal bahwa dirinya tak berdaya. "Dan kau juga, Susannah."
"Sebaiknya saya mulai dari kejutan yang paling besar," dia berkata
pada kami. "Kalian bukan Eddie dan Sue. Dan kalian tidak hidup di
abad kedua puluh."
Morgred mengangguk. "Saya telah berusaha agar kalian bisa lolos dari
takdir yang menanti kalian."
Dan tiba-tiba saja aku teringat pada kisah yang diceritakan Mr.
Starkes, pemandu wisata kami. Aku teringat kisah mengenai Pangeran
Edward dan Putri Susannah.
Eddie dan aku tidak bisa mengingat nama belakang kami, aku
menyadari. Dan kami juga tidak tahu di mana kami tinggal.
"Waktu saya mengirim kalian ke masa depan, saya sekaligus
memberikan ingatan baru kepada kalian," Morgred menjelaskan.
"Saya memberikan ingatan baru supaya kalian bisa hidup di zaman
baru. Tapi ingatan itu tidak lengkap."
"Orangtua kalian, sang Raja dan Ratu yang sah, telah tiada," Morgred
memberitahu kami. "Paman kalian mengangkat dirinya sebagai raja
yang baru. Dan dia memerintahkan agar kalian ditawan di Menara,
agar kalian tidak bisa membuat kesulitan baginya."
Tapi aku bisa menangkap kesedihan dalam sorot mata dan nada suara
Morgred. Cerita si penyihir memang benar. Dia tidak berbohong.
Suara apa itu? Apakah ada orang di depan pintu? Kami bertiga pasang
telinga.
Hening.
Roman muka Morgred semakin sedih. "Aku tidak bisa," dia berkata
dengan suara bergetar karena terharu.
"Berapa lama lagi kami akan hidup?" aku bertanya dengan suara kecil
yang nyaris tak terdengar.
Aku menoleh ke arah pintu. Edward benar. Pintu kayu yang kokoh itu
memang setengah terbuka.
Ternyata masih ada harapan, aku berkata dalam hati, dan jantungku
langsung mulai berdegup-degup. Kami masih punya harapan.
"Edward—lari!" aku menjerit. AKu langsung melompat ke arah pintu.
Aku menoleh dan melihat bahwa Edward juga berhenti seperti patung,
dengan tangan terulur dan kaki tertekuk dalam posisi berlari.
Baru beberapa detik kemudian aku sadar bahwa ini akibat sihir
Morgred. Sambil berdiri kaku di tengah-tengah ruangan, aku
menyaksikan penyihir itu menuju pintu.
"Apa yang harus kita lakukan?" aku bertanya pada adikku. "Kasihan
Morgred. Dia berusaha menolong kita. Dan dia ingin membantu kita
sekali lagi. Tapi dia tidak bisa. Kalau saja—"
Ketika dia membuka kepalannya, aku segera mengenali apa yang dia
genggam. Ketiga batu putih dan licin milik Morgred.
"Oh, Edward!" aku meratap dengan kecewa. "Kita tidak berhasil! Kita
masih di Menara!"
Aku tidak mengenali orang yang memandu rombongan itu. Dia wanita
muda dengan T-shirt merah dan kuning yang dikenakan berlapis-lapis,
serta rok mini dan celana ketat berwarna hitam.
"Mereka tidak mati di sini?" aku bertanya pada wanita itu. "Apa yang
terjadi?"
Eddie dan aku menoleh dan melihat Morgred menatap kami sambil
tersenyum. Dia mengedipkan mata. Dia mengenakan jas ungu dan
celana berwarna abu-abu tua.
"Oke," ujarku. "Kalau begitu, aku Sue Morgan. Dan ini Eddie
Morgan." Aku menepuk punggung adikku.
"Ayo, kita pergi dari sini!" seruku. "Aku tidak mau melihat menara ini
lagi."