Anda di halaman 1dari 60

The Hedge Knight

A Tale of the Seven Kingdoms

George R.R. Martin

Kisah yang diceritakan di sini terjadi kira-kira 100 tahun sebelum “Game of Thrones”.

Hujan musim semi membuat tanah menjadi lembek, sehingga Dunk tidak kesulitan menggali liang kubur.
Ia memilih tempat di sebuah lereng sebelah Barat dari sebuah bukit yang rendah, sebab almarhum
Pak Tua selalu suka menyaksikan matahari terbenam. “Satu hari lagi berlalu,” katanya sambil menghela
nafas,” dan entah apa yang terjadi kepada kita di esok hari.Ya, 'kan, Dunk?”

Nah, di salah satu “hari esok” itu, muncul hujan lebat yang membuat mereka basah kuyup sampai ke
tulang-tulang. Sehari sesudahnya, bertiuplah angin kencang yang lembab, disusul dengan hawa dingin. Di
hari keempat, Pak Tua sudah terlalu lemah untuk mengendarai kuda. Dan sekarang, Pak Tua telah tiada.
Baru beberapa hari yang lalu Pak Tua bernyanyi saat mereka sedang mengendarai kuda. Sebuah lagu tua
tentang pergi ke Gulltown untuk menyaksikan seorang gadis cantik.Namun, sebagai ganti Gulltown, ia
bernyanyi tentang pergi ke Ashford. “...pergi ke Ashford untuk melihat si nona cantik...hei-ho, hei-ho...”
pikir Dunk dengan sedihnya sambil menggali.

Saat liang kubur itu sudah cukup dalam, Dunk mengangkat jenasah Pak Tua dengan. kedua lengannya dan
membawa jenasah itu ke sana. Almarhum bertubuh kecil dan kurus. Kalau tidak memakai baju besi,
helm, dan sabuk pedang, tubuhnya nyaris seringan sekantung daun. Dunk sendiri sangat jangkung
untuk pemuda seusianya. Seorang pemuda remaja brewokan, bertulang besar, dan suka berjalan dengan
kaki diseret, berusia antara 16 atau 17 tahun (tidak ada yang tahu persis berapa usia Dunk yang sebenarny
a). Tinggi tubuhnya hampir mencapai 2,13 Meter, dan tubuhnya baru mulai berisi. Almarhum Pak Tua seri
ng memuji kekuatan tubuhnya. Pak Tua sering sekali memuji Dunk. Bagaimanapun, cuma pujian yang bis
a diberikan oleh Pak Tua kepadanya

Dunk membaringkan jenasah almarhum di dasar liang kubur, lalu berdiri menghadap jenasah itu selama
beberapa saat lamanya. Aroma hujan kembali tercium di udara, dan Dunk tahu bahwa ia harus segera
mengisi liang kubur itu dengan tanah sebelum hujan turun. Namun, berat baginya untuk menaburkan tanah
di atas wajah almarhum yang terlihat tua dan letih itu. Seharusnya ada seorang Septon di sini, untuk
membacakan doa baginya. Namun, hanya ada diriku. Almarhum Pak Tua telah mengajari Dunk semua
yang ia tahu mengenai pedang, perisai dan tombak. Namun ia kurang berhasil mengajari Dunk bagaimana
harus mengucapkan kata perpisahan.

“Tadinya saya ingin meninggalkan pedang Anda di sini, tapi nanti pedang itu akan berkarat di dalam
tanah.” akhirnya Dunk mulai berkata-kata, dimulai dari sebuah permintaan maaf. “Kurasa Para Dewa akan
memberikan pedang baru kepada Anda. Aku sungguh berharap Anda tidak meninggal dunia, Ser.” Dunk
berhenti sejenak, tidak tahu harus berkata apa lagi. Dunk tidak tahu doa apapun. Kalaupun tahu, tidak
lengkap. Almarhum Pak Tua jarang berdoa. “Anda adalah Ksatria sejati. Anda tidak pernah memukul saya,
jika saya tidak melakukan kesalahan,” akhirnya Dunk melanjutkan perkataannya, “kecuali pas kejadian di
Maidenpool itu. Si bocah pelayan penginapanlah yang memakan kue pai milik sang janda, bukan aku.
Sudah kubilang begitu kepada Anda. Tapi, sudah tidak penting lagi sekarang. Semoga Para Dewa menjaga
Anda, Ser.” Dunk menendang tanah ke dalam liang kubur, lalu mulai mengisi liang kubur itu dengan tanah
terus-menerus, tanpa sekalipun memandang ke jenasah di dasar liang kubur itu. Pak Tua sudah hidup
cukup lama, pikir Dunk. Usianya pasti sudah lebih dekat ke 60 tahun daripada 50 tahun. Berapa banyak
orang yang bisa mengatakan bahwa mereka bisa mencapai usia setua itu? Setidaknya, ia keburu melihat
musim semi tahun ini.
Matahari sedang terbenam ke Barat ketika Dunk memberi makan kuda. Ada 3 ekor kuda: kuda murah
berpunggung cekung yang biasa ia tunggangi, kuda yang biasa ditunggangi oleh Pak Tua, dan Thunder, kuda
perang yang hanya boleh ditunggangi dalam kejuaraan dan pertempuran. Kuda jantan coklat besar itu sudah t
idak lagi secepat atau sekuat dulu, namun matanya masih berkilat dan semangatnya masih menyala.
Kuda itu jauh lebih berharga daripada harta benda lain yang dimiliki oleh Dunk. Kalau kujual kuda Thunder
dan Chestnut, termasuk pelana dan tali kekangnya, aku akan mendapatkan cukup uang perak untuk...Dunk
mengerutkan kening. Satu-satunya cara hidup yang ia ketahui hanyalah kehidupan sebagai Ksatria pengelana.
Berkelana dari satu kastil ke kastil yang lain, mengabdi dari satu bangsawan ke bangsawan yang lain, bertaru
ng membela mereka di medan perang, makan-minum di aula kastil mereka sampai
peperangan selesai, lalu kembali berkelana. Ada juga Kejuaraan sesekali, walaupun tidak terlalu
sering. Dunk juga tahu bahwa ada sebagian Ksatria pengelana yang menjadi perampok bila musim dingin
tiba dan sulit mencari pekerjaan, walaupun Pak Tua tidak pernah melakukan hal itu.

...Aku bisa saja mencari ksatria pengelana lain yang sedang butuh murid magang (Squire) untuk
mengurus hewan tunggangannya dan membersihkan baju besinya, pikir Dunk. Atau, bisa saja aku pergi
ke Kota Lannisport atau King's Landing dan bergabung dengan pasukan City Watch. Atau...

Dunk telah mengumpulkan barang-barang peninggalan almarhum di bawah pohon Oak. Sebuah dompet kain
yang berisikan 3 keping uang perak, 19 keping uang tembaga, dan sebuah batu permata merah yang sudah
somplak ujungnya. Seperti kebanyakan Ksatria pengelana, harta terbesar almarhum adalah kuda dan senjata.
Dunk sekarang mewarisi sebuah baju rantai yang sudah ia sikat agar bersih dari karat sebanyak ribuan
kali, sebuah helm besi dengan pelindung hidung yang lebar namun ada penyok di bagian pelipis kiri,
sebuah sabuk pedang dari kulit berwarna coklat, namun kulitnya sudah retak, dan sebuah pedang panjang
dengan sarung dari kayu berlapiskan kulit. Sebuah pisau belati, sebuah pisau cukur, sebuah batu asah,
pelindung betis dan pelindung leher, sebuah tombak perang sepanjang 2,4 meter berwarna kelabu dan
ujungnya terbuat dari besi kasar, dan sebuah perisai dari kayu Oak dengan tepian logam yang sudah penuh
dengan bekas goresan, dengan lambang pribadi dari Ser Arlan of Pennytree: Sebuah piala bersayap berwarna
perak, dengan latar belakang cokelat.

Dunk melihat ke perisai itu, memungut sabuk pedang, lalu kembali melihat ke perisai itu. Sabuk itu dibuat
untuk pinggang Pak Tua yang kurus. Sabuk itu tidak akan pas ukurannya bagi Dunk. Baju besinya juga
demikian. Dunk mengikatkan sarung pedangnya pada seutas tali rami, mengikatkan tali pedang itu ke
pinggangnya, lalu mencabut pedang panjang itu.

Pedang itu lurus dan berat. Terbuat dari baja yang baik, hasil tempaan pandai besi yang bekerja di sebuah
kastil. Gagangnya terbuat dari kayu yang dilapis kulit lembut. Pangkal pedang itu adalah sebuah batu hitam
yang dipoles halus. Walaupun polos dan sederhana, pedang itu terasa enak di tangannya. Dan Dunk tahu
setajam apa pedang itu, sebab dialah yang mengasah dan memoles pedang itu dengan kain berminyak setiap
malam sebelum mereka tidur. Pedang ini pas di genggaman tanganku, sama seperti dulu pedang ini pas di
genggaman tangan Pak Tua, kata Dunk kepada dirinya sendiri. Dan ada Kejuaraan di Padang Ashford.

Gaya berjalan kuda Sweetfoot lebih enak untuk ditunggangi daripada si tua Chestnut, namun Dunk
masih merasa letih dan pegal-pegal ketika ia melihat sebuah penginapan di depan. Sebuah bangunan
tinggi terbuat dari kayu yang diolesi bahan pelapis, terletak di pinggir sungai. Cahaya kuning hangat
yang memancar dari jendelanya begitu menggoda, sehingga ia tidak bisa melewatkan penginapan it
u. Aku punya 3 keping perak, kata Dunk kepada dirinya sendiri. Cukuplah untuk makan enak dan
minum sepuasnya. Saat turun dari kuda, seorang bocah lelaki telanjang keluar dari dari dalam
sungai, dan mulai mengelap tubuhnya dengan sebuah jubah coklat kasar. “Apakah kau pengurus
kandang kuda?” tanya Dunk kepadanya. Bocah itu kelihatannya tidak lebih tua dari 8 atau 9 tahun.
Wajahnya pucat, dan badannya kurus. Kaki telanjangnya terbenam di dalam lumpur sampai semata
kaki. Namun, yang paling aneh justru rambutnya. Bocah itu tidak berambut, alias botak.
“Aku mau kuda tungganganku disikat badannya. Dan beri makan gandum untuk ketiga-tiganya.
Bisakah kau mengurus mereka?”
Bocah itu memandang kepadanya dengan berani, “ bisa saja. Kalau aku mau.”
Dunk mengerutkan kening. “Jangan kurang ajar. Asal tahu saja, aku ini seorang Ksatria.”
“Penampilanmu tidak seperti seorang Ksatria.”
“Memangnya semua Ksatria penampilannya sama?”
“Tidak. Tapi, tidak ada Ksatria yang penampilannya seperti dirimu. Sabuk pedangmu saja bahannya
dari tali rami.”
“Asal tali ini bisa menahan sarung pedangku, itu sudah cukup. Sekarang, uruslah kuda-kudaku.
Kalau kerjamu bagus, kuberi uang tembaga. Kalau tidak, kupukul telingamu.”
Dunk tidak menunggu tanggapan dari si bocah pengurus kandang kuda, namun langsung berbalik dan
menerobos pintu masuk penginapan dengan menggunakan bahunya.

000

Kalau jam segini, Dunk mengira penginapan ini akan penuh. Namun ternyata ruang tamu di situ nyaris
kosong. Seorang pemuda bangsawan yang memakai mantel sutra halus sedang tertidur di atas sebuah meja,
mendengkur halus di depan genangan anggur yang tumpah di atas meja. Selain dia, tidak ada orang lain.
Dunk melihat-lihat kesana kemari dengan kebingungan sampai seorang wanita pendek, gemuk dan
berwajah pucat muncul dari dapur dan berkata,” silakan duduk di mana saja yang kau mau. Mau minum,
atau makan?”
“Dua-duanya.” Dunk mengambil kursi yang di dekat jendela, cukup jauh dari pria yang tertidur itu.
“Ada daging domba panggang tabur rempah, dan ada bebek hasil buruan putraku. Mau yang mana?”
Sudah lebih dari 6 bulan Dunk tidak makan di penginapan. “Dua-duanya.”
Wanita itu tertawa. “Yah, badanmu memang cukup besar untuk makan sebanyak itu. Wanita itu
mengambil segelas besar bir, lalu membawanya ke meja Dunk. “Mau kamar untuk menginap sekalian?”
“Tidak.” Sebenarnya, Dunk ingin sekali menikmati kasur jerami empuk dan atap pelindung di atas
kepalanya. Namun, ia harus menghemat uang. Apa boleh buat. Malam ini dia harus tidur di atas tanah.
“Makan, minum bir, lalu aku langsung berangkat ke Ashford. Masih berapa jauh lagi jarak ke sana?”
“Sehari menunggang kuda. Ambillah arah Utara saat jalanan mulai bercabang di bekas penggilingan yang
terbakar. Apakah putraku mengurusi kudamu, ataukah dia kabur lagi?”
“Tidak. Dia ada di sana,” kata Dunk. “Tampaknya Anda sedang tidak ada pelanggan.”
“Separuh kota pergi untuk menyaksikan Kejuaraan. Anak-anakku tadinya juga hendak pergi, tapi tidak ku
ijinkan. Mereka akan mewarisi penginapan ini setelah aku tiada, namun putraku lebih suka
berjalan bersama dengan para prajurit, sedangkan putriku selalu menghela nafas dan ketawa cekikikan
setiap kali ada Ksatria yang lewat. Sumpah, aku tidak tahu kenapa mereka begitu. Ksatria perawakan
tubuhnya sama dengan orang biasa, dan belum pernah kudengar kalau adu tombak bisa mengubah harga
telur.” Wanita itu memandangi Dunk dengan penasaran; pedang dan perisai Dunk tidak cocok dengan tali
pengikat pedang dan jubahnya yang terbuat dari kain kasar. “Anda sendiri hendak pergi ke Kejuaraan itu?”
Dunk menghirup birnya sedikit sebelum menjawab wanita itu. Birnya berwarna coklat seperti kacang, da
n terasa kental di lidah, sesuai dengan seleranya. “Ya,” katanya. “Aku bermaksud untuk menjadi juara di
sana.”
“Begitukah?” jawab si pemilik penginapan dengan sopan.

Di seberang ruangan, si pemuda bangsawan mengangkat kepalanya dari atas genangan anggur. Wajahnya
kuning pucat, tampak kurang sehat. Rambutnya coklat seperti pasir dan acak-acakan bagaikan sarang tikus.
Jenggotnya berwarna pirang. Pemuda itu mengusap mulutnya, mengedipkan matanya kepada Dunk, lalu
berkata, “aku bermimpi tentang dirimu.” Tangannya gemetar saat mengacungkan jari ke arah Dunk,
” minggir jauh-jauh dariku. Kaudengar? Minggir jauh-jauh dariku.”

Dunk menatap kepada pemuda bangsawan itu dengan ragu. “Tuanku?”

Wanita pemilik penginapan itu mendekat. “Jangan pedulikan dia, Tuan. Orang itu kerjanya cuma
minum-minum dan membicarakan mimpinya. Biar kuurus makanan Anda.” Wanita itu segera pergi.
“Makanan?” si pemuda bangsawan berkata dengan muak. Ia berdiri dengan kaki gemetar, dengan satu tangan
bertumpu pada meja agar ia tidak terjatuh. “Rasanya aku mau sakit,” teriaknya. Bagian depan mantelnya
penuh dengan noda merah bekas anggur. “Aku mau cari pelacur, tapi tidak ada seorangpun di sini. Semuanya
pergi ke Padang Ashford. Demi Para Dewa, aku butuh anggur,” ia berjalan dengan terhuyung-huyung
meninggalkan ruang tamu, dan Dunk mendengarkan langkah kakinya menaiki tangga, sambil bernyanyi
dengan nafas memburu.

Orang yang menyedihkan, pikir Dunk. Tapi, kenapa dia pikir dia mengenal diriku? Dunk memikirkan hal itu
sambil meminum birnya.

Daging domba itu adalah yang terlezat yang pernah ia makan. Daging bebeknya apalagi, dimasak dengan
buah ceri, jeruk lemon, dan tidak kebanyakan lemak seperti masakan bebek pada umumnya. Si pemilik
penginapan juga membawakan kacang kapri masak mentega, dan roti gandum yang baru saja keluar dari
panggangan. Ini baru namanya menjadi Ksatria, kata Dunk kepada dirinya sendiri sambil mengisap
sisa-sisa daging dari tulang. Makan enak, minum bir kapanpun aku mau, dan tidak ada yang
menempeleng kepalaku. Dunk minum bir gelas kedua bersamaan dengan makanannya, lalu minum gelas
ketiga untuk membersihkan sisa makanan dari mulut, disusul dengan gelas keempat karena tidak ada
yang melarang dia untuk minum. Setelah selesai, Dunk membayar wanita itu dengan sekeping uang
perak, dan masih dapat kembalian segenggam uang tembaga.

Pada waktu Dunk keluar dari penginapan, hari sudah gelap total. Perutnya kenyang dan dompetnya agak
menipis, tapi ia merasa senang saat berjalan ke kandang kuda. Dari kejauhan, ia mendengar suara kuda
meringkik. “Tenanglah,” terdengar suara bocah. Dunk segera mempercepat langkahnya sambil
mengerutkan dahi.

Dunk menemukan si bocah pengurus kuda sedang menunggangi Thunder dan memakai baju besi milik
almarhum Pak Tua. Baju besinya kedodoran di tubuh bocah itu, dan helm besinya harus didorong ke
belakang kepalanya yang botak, agar tidak menutupi matanya. Bocah itu terlihat serius, sekaligus konyol.
Dunk berhenti di depan pintu kandang kuda, dan tertawa.

Bocah itu menoleh, mukanya merona merah, lalu buru-buru turun ke tanah. “Tuan, aku tidak
bermaksud...”

“Dasar maling,” kata Dunk sambil berusaha berbicara dengan nada tegas. “Lepaskan baju besi
itu, dan bersyukurlah Thunder tidak menendang kepala tololmu itu. Dia itu kuda perang, bukan
mainan anak-anak.”

Bocah itu melepas helm besi itu lalu melemparnya ke tumpukan jerami. “Aku bisa menunggangi
kuda itu sebaik Anda,” katanya dengan berani.

“Tutup mulutmu, aku tidak mau mendengar perkataanmu yang kurang ajar itu. Copot juga baju besi itu.
Apa yang sedang kau perbuat?”

“Kalau mulutku tertutup, mana bisa aku menjawab pertanyaan Anda?” bocah itu meringkuk keluar dari
baju besi itu dan membiarkan baju itu terjatuh ke tanah.

“Kau boleh membuka mulutmu untuk menjawab pertanyaan,” kata Dunk. “Sekarang, pungut baju besi itu,
bersihkan dari tanah yang menempel, lalu kembalikan ke tempat di mana kau menemukannya. Helm besi
nya juga. Sudahkah kau memberi makan kuda, seperti yang telah kuperintahkan? Dan menyikat tubuh
Sweetfoot?”

“Ya,” jawab si bocah sambil membuangi jerami yang menempel di baju besi itu. “Anda akan pergi ke
Ashford, 'kan? Bawalah aku bersama Anda, Tuan.”

Si pemilik penginapan sudah memperingatkan Dunk akan hal ini. “Dan apa kata ibumu mengenai hal ini?”
“Ibuku?” muka si bocah berkerut. “Ibuku sudah meninggal. Ia tidak akan berkata apapun.”

Dunk terkejut. Bukankah si pemilik penginapan adalah ibu bocah ini? Mungkin bocah ini cuma bekerja
untuknya. Kepala Dunk terasa agak pusing akibat bir tadi. “Apakah kau anak yatim piatu?” tanya Dunk
ragu-ragu.

“Anda sendiri?” si bocah bertanya balik.

“Dulunya, iya,” Dunk mengaku. Sebelum Pak Tua memungut diriku.

“Kalau Anda membawaku, aku bisa menjadi murid magang (Squire) bagi Anda.”

“Aku tidak butuh Squire.”

“Setiap Ksatria butuh Squire,” kata si bocah. “Anda kelihatannya sangat membutuhkan Squire, lebih
daripada kebanyakan ksatria lain.”

Dunk mengangkat tangannya, dengan sikap mengancam. “kau sendiri kelihatannya perlu ditempeleng di
telinga. Isikan gandum sekantung untukku. Aku akan berangkat ke Ashford sendiri.”

Bocah itu tampaknya sama sekali tidak takut. Sesaat, ia berdiri menantang dengan tangan terlipat.
Namun, baru saja Dunk akan meninggalkan dia, bocah itu berbalik lalu mengambilkan gandum.

Dunk merasa lega. Sayang aku tidak bisa mengajaknya...namun, bocah itu hidupnya sangat baik di sini, di
penginapan ini. Hidup yang lebih baik daripada magang kepada seorang ksatria pengelana. Mengajak dia
berkelana berarti membawanya menjalani hidup yang berat.

Namun, Dunk masih bisa merasakan kekecewaan si bocah. Saat Dunk menaiki Sweetfoot dan menarik tali
kekang Thunder, Dunk memutuskan bahwa sekeping uang tembaga mungkin akan membuat si bocah
merasa terhibur. “Nih, Nak, untuk bantuanmu.” Dunk melemparkan uang kepada bocah itu sambil
tersenyum, namun bocah itu sama sekali tidak berusaha untuk menangkap uang itu. Uang itu jatuh ke atas
tanah, di antara kedua kakinya yang telanjang, dan bocah itu membiarkan uang itu tergeletak di atas tanah
begitu saja.

Nanti juga dia ambil begitu aku pergi, kata Dunk kepada dirinya sendiri. Ia mengarahkan kudanya berbalik
meninggalkan penginapan itu, sambil memimpin kedua kuda yang lain. Pohon-pohon diterangi oleh
cahaya bulan, dan langit tidak berawan serta ditaburi oleh bintang-bintang. Namun, saat ia bergerak ke arah
jalan, Dunk masih merasa bahwa si bocah penjaga kandang kuda itu masih mengawasi punggungnya,
dengan muram sambil membisu.

Bayangan matahari siang sudah memanjang ketika Dunk menarik tali kekang kudanya, berhenti di tepi
padang rumput Ashford yang luas. Ada sekitar 60an tenda besar telah didirikan di atas padang rumput itu.
Ada yang kecil, ada yang besar; Ada yang bentuknya persegi, ada yang bentuknya bundar; ada yang
terbuat dari kain layar, ada yang dari kain linen, ada yang dari kain sutera; tapi semuanya berwarna-warni
cerah, dengan panji-panji panjang berkibar dari tiang utama tenda. Pemandangannya lebih menyilaukan
daripada selapangan bunga liar, dengan warna warni seperti merah pekat, kuning matahari, hijau, biru,
hitam, abu-abu dan ungu.

Pak Tua pernah berkuda bersama dengan sebagian dari para Ksatria ini; sebagian Kstaria lain, Dunk tahu
tentang mereka dari kisah-kisah yang didengarnya di ruang tamu penginapan dan ketika sedang
mengobrol di api unggun perkemahan pasukan. Walaupun tidak pernah belajar membaca dan menulis,
Pak Tua tidak henti-hentinya terus mengajari Dunk mengenai lambang-lambang keluarga bangsawan.
Pak Tua sering menguji pengetahuan Dunk saat mereka sedang mengendarai kuda bersama.
Lambang Burung Bulbul adalah milik Lord Caron dari kawasan The Marches, seorang yang
kemampuannya bermain harpa setara dengan keahliannya memainkan tombak. Lambang Rusa Jantan
dengan Mahkota adalah milik Ser Lyonel Baratheon, yang dijuluki Badai Tertawa (The Laughing Storm).
Dunk mengenali Lambang Pemburu milik House Tarly, Lambang Petir Ungu milik House Dondarrion,
dan lambang Apel Merah milik House Fossoway. Di sana ada juga Lambang Singa Mengaum milik
House Lannister, berwarna kuning keemasan dengan latar belakang merah. Di situ ada juga Lambang
Penyu Laut berwarna hijau gelap milik House Estermont, sedang berenang dengan latar belakang warna
hijau muda. Tenda cokelat di bawah panji berlambangkan Kuda Merah pasti milik Ser Otho Bracken,
yang dijuluki Si Garang dari House Bracken, sejak ia membantai Lord Quentyn Blackwood 3 tahun yang
lalu dalam Kejuaraan di King's Landing. Dari yang Dunk dengar, Ser Otho membacok dengan kapak
tumpul begitu kuatnya, sampai lubang mata di helm besi milik Lord Blackwood jebol dan kapak itu
menancap di wajah sang bangsawan. Dunk juga melihat panji-panji milik House Blackwood, di sebelah
barat padang rumput itu. Namun letaknya sangat jauh dari panji milik Ser Otho. Masih ada House
Marbrand, Mallister, Cargyll, Westerling, Swann, Mullendore, Hightower, Florent, Frey, Penrose,
Stokeworth, Daffy, Parren, Wylde; tampaknya hampir semua keluarga bangsawan di kawasan Barat dan
Selatan telah mengutus antara satu sampai tiga orang Ksatria ke Ashford untuk menyaksikan sang Lady
bangsawan cantik dan bertanding demi kehormatannya.

Namun, walaupun tenda-tenda itu begitu indah untuk dilihat, Dunk sadar bahwa tidak ada tempat
baginya di sana. Malam ini, ia harus tidur berselimutkan jubah wol usang. Sementara para bangsawan
dan Ksatria makan malam dengan ayam dan anak babi, makan malam Dunk hanya berupa sepotong
dendeng sapi yang alot dan berserabut. Dunk tahu persis, kalau ia nekad mendirikan tenda di padang
rumput itu, ia akan dihina, baik diam-diam maupun terang-terangan. Mungkin ada sebagian orang yang
akan bersikap baik kepadanya, namun justru rasanya itu akan lebih parah.

Seorang Ksatria pengelana harus memegang teguh harga dirinya. Tanpa harga diri, dia tidak lebih dari
tentara bayaran biasa. Aku harus meraih posisi di dalam kelompok mereka melalui prestasi dan jasaku.
Jika aku bertarung dengan baik, mungkin ada bangsawan yang mau menerimaku bekerja padanya.
Barulah aku bisa berbaris dengan kumpulan orang gagah itu, makan daging segar setiap malam di aula
kastil, dan memasang tendaku sendiri di dalam Kejuaraan. Namun, pertama-tama, aku harus berprestasi
dulu. Dengan enggan, Dunk berbalik dari lapangan Kejuaraan dan membawa kuda-kudanya menuju
ke hutan.

Di pinggir padang rumput, sekitar 800 meter dari kota dan kastil terdekat, Dunk menemukan sebuah
tempat di mana cekungan di sungai telah membentuk sebuah kolam yang dalam. Alang-alang tumbuh
dengan lebat di pinggirnya, dan sebuah pohon elm yang tinggi dan berdaun lebat berdiri tegak menaungi
kolam tersebut. Rumput yang tumbuh di sana sangat hijau, seperti warna hijau di panji seorang ksatria, dan
lembut untuk disentuh. Tempat yang indah, dan belum ada yang menempati. Inilah kemahku, kata Dunk
kepada dirinya sendiri. Sebuah kemah beratapkan daun, yang lebih hijau daripada panji House Tyrell
maupun House Estermont.

Mula-mula, kudanya dulu. Setelah mereka selesai diurus, Dunk melepas bajunya dan masuk ke dalam
kolam untuk membersihkan debu yang melekat selama di perjalanan. “Seorang Ksatria sejati harus bersih
jasmani maupun rohani,” kata Pak Tua senantiasa. Dia selalu mewajibkan mereka untuk mencuci tubuh
dari ujung kepala sampai ke ujung kaki sebulan sekali, tidak peduli apakah tubuh mereka sedang bau asam
atau tidak. Karena dia sekarang sudah menjadi seorang Ksatria, Dunk bersumpah untuk melakukan hal
yang sama.

Dunk duduk telanjang di bawah pohon elm sambil mengeringkan tubuhnya, sambil menikmati hangatnya
udara musim semi di tubuhnya, sambil menyaksikan seekor capung (=dragonfly) bergerak dengan santai
di antara semak-semak. Kenapa hewan ini diberi nama “naga” (DRAGON-fly)?, pikir Dunk sambil
bertanya-tanya. Hewan ini sama sekali tidak mirip Naga. Padahal Dunk sendiri belum pernah melihat
Naga. Tapi Pak Tua pernah. Dunk sudah mendengarkan kisahnya hampir 50 kali, bagaimana Ser Arlan ma
sih kecil ketika kakeknya mengajaknya ke King's Landing, dan mereka menyaksikan Naga terakhir,
setahun sebelum hewan itu mati. Naga betina berwarna hijau, kecil dan kerdil dengan sayap yang
menguncup. Tidak sebutirpun telurnya menetas. “Konon, katanya, Raja Aegon meracuni Naga itu,” kata
Pak Tua. “Raja Aegon yang ketiga, bukan ayah dari Raja Daeron. Raja yang dijuluki si Pembantai Naga,
atau Aegon si Malang. Beliau takut terhadap Naga, sebab ia pernah melihat Naga milik pamannya
menyantap ibu beliau. Musim panas jadi semakin singkat sejak Naga terakhir mati, dan musim dingin jadi
semakin lama dan kejam.”

Udara menjadi semakin sejuk saat matahari mulai terbenam di bawah pohon. Ketika Dunk merasa bulu
kuduk di lengannya berdiri, ia memukulkan jubah dan rompi rantai besinya ke pohon Elm untuk
membuang tanah yang menempel sebisanya, dan kembali memakai pakaian itu. Besok dia akan mencari
panitia Kejuaraan dan mendaftarkan namanya. Tapi, ada beberapa hal yang harus dia urus malam ini kalau
mau ikut bertanding.

Dunk tidak perlu mengaca ke air untuk mengtahui bahwa penampilannya sama sekali tidak mirip seorang
Ksatria. Jadi ia memakai perisai milik Ser Arlan di punggungnya untuk memperlihatkan lambang
pribadinya. Setelah mengikat kaki kuda dan membiarkan mereka makan rumput hijau tebal di bawah
pohon elm, Dunk berjalan kaki ke lapangan tempat Kejuaraan akan diselenggarakan.

Biasanya, padang rumput itu digunakan sebagai ruang publik bagi warga kota Ashford yang terletak
di seberang sungai. Namun, saat ini padang rumput itu telah berubah. Dalam semalam, sebuah
“kota” baru telah muncul. Sebuah “kota” yang terbuat dari tenda sutra sebagai ganti bangunan batu,
lebih besar dan lebih indah daripada kota yang sebenarnya. Lusinan pedagang mendirikan kios
mereka di sepanjang pinggir lapangan, berjualan kain, buah-buahan, ikat pinggang dan sepatu bot,
barang dari kulit, berbagai jajanan, perabotan dari tanah liat, batu permata, barang kerajinan dari tim
ah, rempah-rempah, bulu burung, dan berbagai macam barang lainnya. Jago akrobat, dalang sandiwa
ra boneka, dan tukang sulap berkeliaran di tengah-tengah massa memamerkan keahlian mereka...beg
itu juga pelacur dan pencopet. Dunk memegangi uangnya dengan waspada.

Ketika Dunk mencium aroma sosis yang mendesis di atas api berasap, mulutnya mulai mengeluarkan air
liur. Ia membeli sepotong sosis dengan uang tembaga dari dompetnya dan juga segelas bir untuk mencuci
mulut sesudah makan. Sambil makan, Dunk menonton sebuah boneka ksatria dari kayu bertarung dengan
boneka naga. Dalang yang memainkan boneka naga itu juga enak dilihat. Seorang gadis yang tinggi
semampai dengan kulit sewarna zaitun dan rambut hitam khas Dorne. Tubuhnya seramping tombak dan
dadanya rata, tapi Dunk menyukai wajah gadis itu, dan bagaimana jari-jarinya membuat boneka naga itu
menggigit dan mendesis di ujung kawatnya. Dunk sebenarnya ingin memberi gadis itu sekeping uang
tembaga kalau ia punya uang lebih, namun saat ini ia membutuhkan seluruh uang yang ia miliki.

Seperti yang Dunk harapkan, di antara para pedagang itu terdapat para pedagang baju besi. Seorang dari
Tyrosh berjenggot biru bercabang tiga sedang menjual berbagai helm yang indah luar biasa, dibuat
berbentuk seperti burung dan berbagai jenis hewan, lalu diukir dengan emas dan perak. Di tempat lain,
Dunk menemukan penjual pedang yang berteriak-teriak menawarkan pedang murahan. Ada juga
pedagang lain yang menjual pedang yang kualitasnya jauh lebih baik. Namun, Dunk bukan sedang
mencari pedang.

Pria yang dicari Dunk berada jauh di ujung. Sebuah baju pelindung dari rantai besi dan sepasang sarung
tangan baja terpajang di meja di depannya. Dunk mengamati kedua benda itu dengan seksama.
“Kerjamu bagus,” katanya.

“Tidak ada yang lebih baik daripada diriku,” kata pria itu. Seorang pandai besi yang pendek, gemuk,
dan kekar. Tingginya tidak lebih dari 1,52 Meter, namun dada dan lengannya sama lebarnya dengan
Dunk. Pria itu berjenggot hitam, bertangan besar, dan sama sekali tidak suka merendah.

“Aku butuh baju besi untuk Kejuaraan,” kata Dunk kepadanya. “satu set baju besi yang bagus, lengkap
dengan pelindung leher, pelindung betis, dan helm besi yang menutupi seluruh wajah.” Helm besi milik
Pak Tua sebenarnya muat di kepala Dunk, tapi ia ingin kepalanya mendapat perlindungan yang lebih baik
daripada sekedar pelindung hidung.
Si penjual baju besi memandangi Dunk dari atas ke bawah. “Kau besar, tapi aku pernah membuatkan
baju besi untuk orang yang lebih besar lagi.” Ia keluar dari balik meja. “Berlututlah. Aku mau mengukur
bahumu. Dan lehermu juga sekalian.” Dunk berlutut. Si pembuat baju besi kemudian membentangkan
tali kulit di sepanjang bahu Dunk sambil mendengus. Lalu ia mengalungkan tali itu di sekeliling leher
Dunk sambil mendengus. “Angkat lenganmu. Bukan, yang sebelah kanan,” untuk ketiga kalinya ia
mendengus. “Sekarang kau boleh berdiri.” Bagian dalam betis, lingkar paha, dan lingkar pinggang
semuanya diukur oleh pria itu sambil mendengus. “Aku punya baju besi di dalam gerobakku yang
mungkin pas untukmu,” kata pria itu setelah selesai mengukur Dunk. “Tidak ada yang disepuh emas
maupun perak. Cuma baja murni. Polos dan kuat. Helm buatanku bentuknya standar, tidak ada yang
bentuknya seperti babi terbang atau buah-buahan asing. Tapi, helm buatanku dijamin akan melindungimu
dengan baik saat mukamu terkena hantaman tombak.”

“Memang itu yang kumau,” kata Dunk. “Berapa harganya?”

“800 keping perak. Itu karena aku sedang bermurah hati.”

“800?” Harga segitu jauh di luar perkiraan Dunk. “Aku...aku bisa tukar tambah dengan baju besi bekas
yang ukurannya lebih kecil...sebuah helm besi separuh wajah, sebuah baju rantai besi...”

“Aku, Steely Pate, cuma mau menjual hasil karyaku sendiri,” kata pria itu. “Tapi mungkin logamnya bisa
kugunakan. Akan kuambil bajurantai itu, kalau tidak terlalu berkarat. Dan aku akan membuatkanmu baju
besi dengan harga 600 keping perak.”

Dunk bisa saja memohon kepada Pate agar dia boleh membeli baju besi itu dengan berutang; tapi dia tahu
seperti apa jawaban yang akan ia dapatkan. Dunk sudah cukup lama bepergian dengan Pak Tua untuk
menyadari bahwa para pedagang sama sekali tidak mempercayai para Ksatria pengelana. Sebagian Ksatria
pengelana memang tidak banyak bedanya dengan perampok. “Kuberi kau 2 keping perak sekarang.
Baju rantai besi dan sisa uangnya akan kuberikan besok.”

Si pembuat baju besi mengamatinya sesaat. “Dua keping perak? Kuberi waktu satu hari.
Setelah lewat sehari, kujual hasil buatanku kepada orang lain”

Dunk mengambil uang perak dari dalam dompetnya dan menaruh uang itu ke dalam tangan kapalan dari
si pembuat baju besi. “Uangnya pasti akan kauperoleh. Aku bermaksud untuk menjadi juara di sini.”

“Begitukah?” kata Pate sambil menggigit uang perak itu. “Dan para peserta lain cuma datang untuk
menyorakimu, begitu?”

000

Bulan sudah tinggi ketika Dunk berjalan kembali ke arah pohon elmnya. Di belakangnya, padang
rumput Ashford menyala terang oleh cahaya obor. Bunyi lagu dan tawa sayup-sayup terdengar di
sepanjang rumput, tapi perasaan Dunk sendiri sedang muram. Dunk hanya bisa memikirkan satu
cara untuk mengumpulkan uang buat menebus baju besinya. Dan, kalaui sampai dia kalah...

”Satu kemenangan. Cuma itu yang kubutuhkan.” katanya dengan karas. “Rasanya itu tidak terlalu
banyak berharap.”

Walaupun begitu, bahkan Pak Tua pun tidak bisa terlalu berharap untuk menang. Ser Arlan sudah tidak
pernah lagi mengadu tombak sejak ia dikalahkan oleh Pangeran Dragonstone di sebuah Kejuaraan di
Storm's End bertahun-tahun yang lalu. “Tidak semua orang bisa bangga pernah 7 kali mengadu tombak
dengan Ksatria terbaik di seluruh Negeri 7 Kerajaan,” kata Pak Tua. “Aku tidak akan pernah mencapai
prestasi yang lebih baik lagi daripada itu. Jadi, buat apa aku berusaha lebih keras lagi?”
Dunk curiga, alasan sebenarnya Ser Arlan tidak lagi mengadu tombak adalah karena faktor usia, bukan
karena dikalahkan oleh Pangeran Dragonstone. Namun Dunk tidak berani mengatakannya. Pak Tua
punya harga diri, bahkan sampai saat-saat terakhir. Aku cepat dan kuat, kata Dunk senantiasa. Jadi, aku
tidak harus bernasib sama dengan Pak Tua. Itulah yang berulang kali Dunk katakan kepada dirinya
sendiri sambil menguatkan tekad.

Dunk sedang menerobos semak-semak sambil memikirkan peluang baginya untuk menang, ketika ia
melihat ada kobaran api di semak-semak. Apa itu? Dunk tidak berhenti untuk berpikir. Tahu-tahu pedang
sudah berada di tangannya, dan ia menerobos masuk ke dalam rumput.

Dunk muncul dari balik semak sambil berteriak dan memaki-maki, namun ia mendadak terhenti ketika
menyaksikan si bocah sedang berada di pinggir api unggun. “Kau!” Dunk menurunkan pedangnya.
“Apa yang sedang kaulakukan di sini?”

“Memasak ikan,” jawab si bocah botak. “Mau?”

“Maksudku, bagaimana kau bisa sampai di sini? Apakah kau mencuri kuda?”

“Aku menumpang di belakang gerobak, bersama dengan orang yang mengantarkan daging domba
ke kastil Lord Ashford.”

“Nah, sebaiknya kau cepat cari orang itu sebelum dia pergi, atau carilah gerobak lain.
Aku tidak mau kau berada di sini.”

“Jangan usir aku,” kata si bocah dengan kasar. “aku sudah muak dengan penginapan itu.”

“Aku tidak mau lagi mendengar perkataanmu yang kurang ajar itu,” Dunk memberi peringatan.
“Seharusnya kunaikkan kau ke atas kudaku sekarang juga, lalu kuantar kau pulang.”

“Kalau begitu, Anda harus pergi jauh-jauh ke King's Landing,” kata si bocah.
“Nanti Anda ketinggalan Kejuaraannya.”

King's Landing. Sesaat, Dunk mengira ia sedang diejek. Tapi, tidak mungkin bocah ini tahu kalau Dunk
juga kelahiran King's Landing. Bocah ini kemungkinan besar anak gelandangan dari Flea Bottom.
Siapa yang bisa menyalahkan, kalau dia ingin keluar dari sana?

Dunk merasa konyol berdiri dengan menggenggam pedang di hadapan seorang bocah yatim berusia 8
tahun. Dunk menyarungkan pedangnya, lalu melotot kepada bocah itu, agar anak itu tidak berkata yang
tidak-tidak kepadanya. Seharusnya aku paling sedikit memberinya hajaran ringan, pikir Dunk. Tapi bocah
itu kelihatan begitu mengenaskan, sampai Dunk pun tidak tega memukulnya. Dunk melihat ke
sekelilingnya. Api bernyala-nyala di dalam lingkaran batu. Kuda-kudanya telah disikat, dan baju-bajunya
tergantung di atas pohon elm, dikeringkan di atas api unggun. “Kenapa baju-bajuku di atas sana?”

“Aku yang mencucinya,” kata si bocah. “Dan kurawat kuda-kuda itu, membuat api unggun, dan
menangkap ikan. Tadinya aku hendak mendirikan tenda, tapi tidak kutemukan kain tenda milik Anda.”

“Inilah tendaku,” Dunk lalu mengayunkan tangan di atas kepalanya, ke arah cabang-cabang pohon
elm yang menaungi mereka.

“Itu sih pohon,” kata si bocah. Ia sama sekali tidak merasa kagum.

“Cuma ini kemah yang dibutuhkan seorang Ksatria sejati. Aku lebih baik tidur beratapkan
bintang-bintang daripada di dalam tenda yang penuh asap.”
“Bagaimana kalau hujan?”

“Pohon ini akan menaungiku.”

“Pohon sih bocor.”

Dunk tertawa. “Memang. Terus terang, aku tidak punya uang untuk membeli tenda.
Dan sebaiknya kaubalik ikan itu segera. Kalau tidak, nanti bagian bawahnya hangus, tapi bagian
atasnya masih mentah. Kau tidak akan bisa bekerja di dapur dengan baik, kalau begitu caranya.”

“Bisa saja, kalau aku mau,” kata si bocah. Namun, ia membalikkan ikan itu

“Rambutmu kenapa?” tanya Dunk kepadanya.

“Dicukur botak oleh para Maester.” Menyadari kondisi rambutnya, mendadak bocah itu menutup
kepalanya dengan kerudung yang berasal dari jubahnya yang berwarna coklat tua.

Dunk pernah mendengar bahwa kadang-kadang Maester memang mencukur botak seseorang,
untuk mengobati kutu rambut atau penyakit lainnya. “Apakah kau sakit?”

“Tidak,” jawab bocah itu. “Siapa nama Anda?”

“Dunk,” katanya.

Bocah sialan itu tertawa terbahak-bahak, seolah-olah itu adalah hal terlucu yang pernah ia dengar.
“Dunk?” katanya. “Ser Dunk? Itu bukan nama yang pantas bagi seorang Ksatria. Apakah itu
singkatan dari 'Duncan'?”

Mungkinkah? Pak Tua selalu memanggilnya “Dunk” sepanjang yang ia ingat, dan ia tidak ingat akan
kehidupannya yang dulu. “Ya, Duncan,” katanya. “Ser Duncan of...” Dunk tidak punya nama lain
maupun marga; Ser Arlan menemukan dirinya menggelandang di lorong-lorong Flea Bottom. Ia tidak
pernah mengenal ayah maupun ibunya. Apa julukan yang harus dia gunakan?
“Ser Duncan of Flea Bottom” kedengarannya kurang enak disebut. Bisa saja ia memakai nama
”Pennytree”, tapi bagaimana jika ada orang yang menanyakan di mana letak Pennytree? Dunk belum
pernah pergi ke Pennytree, dan Pak Tua jarang membicarakan tempat itu. Dunk mengerutkan dahi
sejenak, lalu berkata, “Ser Duncan the Tall” (Si Jangkung). Dunk memang jangkung, tidak ada yang
mempertanyakan hal itu. Dan nama itu kedengarannya berpengaruh.

Namun, si bocah licik tampaknya tidak merasa demikian. “Aku tidak pernah mendengar nama
'Ser Duncan the Tall.' “

“Jadi, kau kenal setiap Ksatria di Negeri 7 Kerajaan?”

Bocah itu melihat ke Dunk dengan berani. “Kalau Ksatria yang hebat, ya.”

“Aku juga sebaik mereka. Setelah Kejuaraan, mereka semua akan mengetahuinya. Apakah kau punya
nama, bocah maling?”

Si bocah ragu-ragu. “Egg,” katanya.


Dunk tidak tertawa. Kepala bocah itu memang mirip telur (=egg). Anak-anak bisa sangat kejam kalau
memberi nama julukan, begitu juga orang dewasa.

“Egg,” katanya, “seharusnya kuhajar kau habis-habisan dan mengusirmu. Tapi, terus terang, aku tidak
punya tenda dan juga tidak punya Squire (murid magang). Kalau kau bersumpah untuk melakukan
setiap perintahku, kuizinkan kau magang padaku selama Kejuaraan. Sesudah itu, kita lihat saja. Kalau
kuanggap kau layak untuk tetap mengikutiku, kau kujamin akan mendapat baju dan makanan.
Bajunya mungkin dari kain kasar, makanannya pun adalah dendeng sapi dan ikan asin.
Kadang-kadang daging rusa, kalau hutan kerajaan lagi tidak dijaga. Tapi kau tidak akan kelaparan.
Dan aku berjanji tidak akan memukulmu, kecuali kalau kau memang pantas untuk dipukul.”

Egg tersenyum. “Ya, My Lord.”

“Ser,” jawab Dunk mengoreksi cara Egg memanggil dirinya. “Aku cuma seorang Ksatria pengelana.”
Dunk ingin tahu apakah Pak Tua sedang memandangi dirinya saat ini. Akan kuajari dia seni bertarung,
sama seperti dulu Anda mengajariku, Ser. Bocah ini kelihatannya berbakat. Mungkin kelak dia akan
berhasil menjadi Ksatria.

Ikan itu masih agak mentah di dalamnya ketika mereka makan, dan bocah itu belum membuang semua
tulangnya. Tapi, tetap saja jauh lebih enak daripada dendeng sapi yang asin dan alot.

Egg segera tertidur di samping api unggun yang hampir padam. Dunk rebah telentang di dekatnya,
dengan tangan di belakang kepala, sambil memandangi langit malam. Ia bisa mendengar sayup-sayup
suara musik dari lapangan Kejuaraan kira-kira 800 meter jauhnya. Langit bertaburan bintang, ribuan
jumlahnya. Saat Dunk sedang menyaksikan, sebuah bintang terjatuh, menampakkan sebuah garis
cahaya hijau terang yang melintasi langit hitam, lalu menghilang. Bintang jatuh membawa
keberuntungan bagi yang melihatnya, pikir Dunk. Namun, kebanyakan orang saat ini sedang berada di
dalam tenda mereka masing-masing dan hanya melihat atap tenda yang terbuat dari sutra, bukannya
langit malam. Jadi, nasib baik dari bintang jatuh ini hanya untukku.

Pagi harinya, Dunk terbangun mendengar suara ayam jantan berkokok. Egg masih ada di sana,
meringkuk di balik jubah nomor dua terbaik milik Pak Tua. Yah, setidaknya bocah itu tidak kabur
semalam. Boleh juga. Dunk membangunkan Egg dengan kakinya. “Bangun. Ada tugas yang harus
dikerjakan.” Bocah itu segera terbangun, sambil mengucek-ucek matanya. “Bantu aku memasang
pelana Sweetfoot,” kata Dunk kepadanya.

“Bagaimana dengan sarapan?”

“Ada dendeng sapi asin. Nanti, kalau kita sudah selesai.”

“Mending aku makan kudanya...Ser,” kata Egg.

“Silakan makan tinjuku kalau kau tidak mau menuruti perintah. Ambil sikat. Di kantung pelana.
Ya, yang itu.”

Berdua mereka menyikat bulu kuda itu, yang berwarna coklat kemerahan. Lalu mereka memasangkan
pelana terbaik milik Ser Arlan ke atas punggungnya, lalu mengikat pelana itu kuat-kuat.
Egg bekerja dengan baik kalau ia sedang memusatkan pikiran pada tugasnya, pikir Dunk.

“Kemungkinan besar aku akan pergi seharian,” kata Dunk kepada Egg sambil menaiki kuda.
“Kau harus tinggal di sini dan mengurus perkemahan ini. Pastikan tidak ada maling yang mengendus-endus
kemari.”

“Bolehkah saya minta pedang untuk mengusir mereka?” tanya Egg. Dunk melihat bahwa ternyata bocah itu
bernata biru. Biru gelap, mendekati ungu. Kepalanya yang botak membuat matanya seolah-olah membesar.
“Tidak. Cukup sebilah pisau. Dan sebaiknya kau masih berada di sini saat aku kembali, kaudengar?
Kalau kau kabur sambil mencuri barang-barangku, dan aku bersumpah akan memburumu. Pakai anjing.”

“Anda tidak punya anjing,” kata Egg.

“Akan kucari satu,” kata Dunk,” khusus untuk mengejarmu.” Dunk mengarahkan kepala Sweetfoot ke
padang rumput Ashford, dan memacunya untuk berlari cepat, sambil berharap bahwa ancaman tadi bisa
membuat Egg tetap jujur. Kecuali pakaian di punggung, baju besi di kantung, dan kuda yang sedang ia
tunggangi, semua harta benda yang dimiliki Dunk berada di perkemahan itu. Aku memang bodoh sekali
bisa mempercayai si bocah sejauh itu, pikir Dunk. Tapi, dulu Pak Tua pun melakukan hal yang sama
terhadap diriku. The Mother (salah satu dewi dalam agama Faith of The Seven) pasti telah mengirim bocah
itu kepadaku agar aku bisa membalas budi.

Saat Dunk menyeberangi lapangan, ia mendengar bunyi palu dipukul di tepi sungai. Para tukang kayu
sedang memasang pagar penghalang untuk adu tombak dan membangun panggung tinggi bagi para
penonton. Ada juga beberapa tenda baru, sementara para Ksatria yang sudah datang sejak kemarin baru saja
tertidur setelah bersenang-senang semalaman. Ada juga yang sedang duduk-duduk sarapan. Dunk bisa
mencium aroma kayu bakar dan babi asap.

Di sebelah Utara padang rumput itu, mengalir Sungai Cockleswent, cabang dari Sungai Mander yang besar.
Di seberang sungai yang dangkal itu, terdapat kota dan kastil. Dunk sudah banyak melihat kota dagang
sewaktu merantau bersama dengan Pak Tua. Kota ini lebih cantik daripada kebanyakan kota lain;
rumah-rumah bercat putih dan beratapkan jerami, sungguh mengundang. Sewaktu kecil, Dunk suka
bertanya-tanya bagaimana rasanya tinggal di rumah semacam itu; setiap malam tidur di rumah beratap,
dan setiap pagi bangun dengan dikelilingi tembok yang sama. Mungkin tidak lama lagi aku akan
mengetahuinya. Ya, sama seperti Egg. Mungkin saja. Setiap hari selalu ada kemungkinan terjadi hal-hal
yang aneh.

Kastil Ashford adalah bangunan batu berbentuk segitiga, dengan menara bundar setinggi 9 Meter di setiap
titiknya,dan tembok tebal di antara menara-menara tersebut. Panji oranye berkibar di atas menara-menara
tempurnya, menampakkan lambang dari Lord Ashford-matahari dan garis berbentuk V berwarna putih.
Prajurit berseragam oranye-putih berdiri di depan gerbang sambil memegang tombak berkampak,
mengawasi orang yang berlalu lalang. Mereka tampaknya lebih berniat untuk bercanda dengan nona
pemerah susu yang cantik daripada mencegah orang masuk. Dunk berhenti di depan seorang pria pendek
berjenggot yang tampaknya adalah kapten dari pasukan tersebut, lalu bertanya mengenai ketua panitia
Kejuaraan.

“Kalau itu sih, si Plummer. Dia kepala pelayan di sini. Mari kuantar.”

Di dalam lapangan kastil, seorang bocah pengurus kuda mengambil Sweetfoot dari Dunk untuk dibawa
ke kandang. Dunk menaruh perisai milik Ser Arlan ke bahunya, lalu mengikuti kapten pasukan penjaga
dari kandang kuda ke sebuah menara kecil yang dibangun di sudut tembok. Tangga batu yang curam
mengarah ke atas, ke jalur di atas dinding. “Apakah kau kemari untuk mendaftarkan nama majikanmu?”
tanya sang Kapten ketika mereka sedang menaiki tangga.

“Aku akan mendaftarkan namaku sendiri.”

“Begitu, ya?” Apakah dia nyengir? Dunk tidak yakin. “Pintunya di sana. Silakan pergi sendiri.
Aku akan kembali ke posku.”
Ketika Dunk membuka pintu itu, si kepala pelayan sedang duduk di atas meja sambil menulis di atas
kertas perkamen dengan pena bulu. Rambutnya berwarna kelabu dan sudah menipis. Wajahnya kecil
dan pucat. “Ya?” katanya sambil menaikkan wajah. “Apa maumu?”

Dunk menutup pintu. “Apakah kau Plummer si kepala pelayan? Aku kemari untuk Kejuaraan.
Untuk mendaftar.”

Plummer mengerutkan bibirnya. “Kejuaraan Tuanku adalah pertandingan bagi para Ksatria. Apakah kau
seorang Ksatria?”

Dunk menganggukkan kepala, sambil bertanya-tanya apakah telinganya terlihat merah.

“Apakah Ksatria ini punya nama?”

“Dunk...” kenapa itu yang dia sebutkan? “Ser Duncan. The Tall.”

“Dan darimana Anda berasal, Ser Duncan The Tall?”

“Dari mana-mana. Aku magang kepada Ser Arlan of Pennytree sejak usiaku 5 atau 6 tahun. Ini perisai
miliknya,” Dunk memperlihatkan perisai itu kepada si kepala pelayan. “Tadinya dia hendak datang ke
Kejuaraan ini, namun sakit demam dan meninggal. Jadi, aku datang menggantikan dirinya. Dia
melantikku menjadi Ksatria sebelum meninggal, dengan pedang miliknya sendiri.” Dunk mencabut
pedang panjang itu dan meletakkannya di atas meja kayu yang memisahkan mereka berdua.

Si ketua panitia pendaftaran cuma melirik pedang itu sekilas. “Itu memang pedang. Namun, aku tidak
pernah mendengar tentang Ser Arlan of Pennytree. Kaubilang, kau Squirenya?”

“Ser Arlan selalu berkata bahwa ia ingin agar aku kelak menjadi Ksatria, seperti dirinya. Saat sekarat, ia
meminta diambilkan pedangnya, lalu menyuruhku berlutut. Dia menyentuhkan pedang di bahu kananku
sekali, bahu kiriku sekali, sambil mengucapkan beberapa patah kata. Ketika aku berdiri, dia bilang aku
sudah menjadi seorang Ksatria.”

“Huh.” Plummer menggosok hidungnya. “Memang benar, seorang Ksatria bisa saja melantik Ksatria
baru. Namun, biasanya ada upacara bergadang dulu semalaman, lalu diurapi minyak oleh Septon
sebelum mengucap sumpah. Adakah saksi saat kau dilantik?”

“Hanya seekor burung robin, yang hinggap di pohon berduri. Aku mendengar suara burung itu ketika Ser
Arlan berkata-kata. Ia menyuruhku untuk menjadi Ksatria sejati yang baik dan benar, taat kepada Dewa
Tujuh, membela pihak yang lemah dan tidak bersalah, melayani Lord yang menjadi majikanku dengan
setia, dan membela negeri dengan sekuat tenaga. Aku bersumpah akan melakukan semua itu.”

“Pastinya.” Dunk memperhatikan bahwa Plummer tidak memanggilnya “Ser”. “Aku harus membahas hal
ini dengan Lord Ashford dulu. Apakah kau atau almarhum gurumu kenal dengan salah seorang dari para
Ksatria yang sudah berkumpul di sini?”

Dunk berpikir sejenak. “Ada satu tenda yang mengibarkan panji dari House Dondarrion?
Panji hitam bergambar petir ungu?”

“Itu Ser Manfred, dari House Dondarrion.”

“Ser Arlan pernah mengabdi kepada ayahnya di Dorne, 3 tahun yang lalu. Ser Manfred mungkin masih
mengingat diriku.”

“Kusarankan kau berbicara dengannya. Kalau ia bersedia menjamin dirimu, ajak dia bersamamu kemari
besok, di waktu yang sama.”
“Baiklah, My Lord,” Dunk mulai bergerak menuju ke pintu.

“Ser Duncan,” si kepala pelayan memanggilnya.

Dunk berbalik.

“Anda tahu, kan, “ kata pria itu,” kalau kalah di Kejuaraan Anda harus menyerahkan senjata, baju besi,
dan kuda mereka kepada yang menang, lalu kemudian Anda harus menebus itu semua?”

“Aku tahu.”

“Apakah Anda punya uang untuk menebus semua itu?”

Dunk sadar kalau telinganya memerah. “Aku tidak perlu uang,” katanya, sambil diam-diam berharap itu
benar. Aku cuma butuh satu kali menang. Kalau aku menang di babak pertama, aku akan mendapatkan
baju besi dan kuda dari pihak yang kalah. Atau uang tebusan darinya. Kalau begitu, aku masih bisa
menanggung resiko kalah satu kali...

Dunk berjalan perlahan menuruni tangga, merasa enggan untuk melakukan apa yang harus dia lakukan setelah
ini. Di lapangan, ia mencegat salah seorang bocah pengurus kuda. “Aku harus berbicara dengan kepala pengurus
kuda dari Lord Ashford.”

“Akan kucari dia.”

Di kandang kuda cahayanya remang-remang dan hawanya sejuk. Seekor kuda jantan berwarna kelabu mencoba
menggigit Dunk saat dia lewat, tapi Sweetfoot cuma mengikik pelan dan mengusap tangan Dunk dengan
mulutnya, saat Dunk mengangkat tangan lalu memegang hidungnya. “Kau baik-baik saja, 'kan?” gumam Dunk.
Pak Tua selalu berkata, seorang Ksatria seharusnya tidak menyayangi kudanya, sebab akan ada beberapa ekor
kuda yang mati di sepanjang karier sang ksatria itu. Namun, Pak Tua juga tidak pernah mematuhi nasehatnya
sendiri. Dunk sering melihat Pak Tua menghabiskan uang tembaga terakhirnya untuk membelikan apel bagi
Chestnut atau gandum bagi Sweetfoot dan Thunder. Sweetfoot adalah kuda tunggangan Ser Arlan, dan kuda itu
telah membawa Pak Tua tanpa lelah mengarungi seluruh wilayah Negeri 7 Kerajaan. Dunk merasa seperti
mengkhianati seorang teman lama, tapi dia tidak punya pilihan. Chestnut sudah teralu tua untuk dijual dengan
harga yang pantas, dan ia harus menunggangi Thunder di dalam pertandingan nanti.

Beberapa saat berlalu, sebelum kepala pengurus kuda akhirnya bersedia muncul. Saat sedang menunggu,
Dunk mendengar bunyi terompet dari tembok, dan suara bergema dari lapangan. Penasaran, ia membawa
Sweetfoot ke pintu kandang untuk melihat apa yang sedang terjadi. Serombongan besar Ksatria dan Pasukan
pemanah berkuda memasuki pintu gerbang. Jumlahnya setidaknya 100 orang. Mereka menunggangi
kuda-kuda terbagus yang pernah dilihat Dunk. Seorang bangsawan besar telah tiba. Dunk menangkap lengan
seorang bocah pengurus kuda yang sedang berlari melewatinya. “Siapa mereka?”

Bocah itu memandang Dunk dengan aneh. “Tidakkah kaulihat panji-panjinya?”


Bocah itu melepaskan lengannya dari Dunk, lalu bergegas pergi.

Panjinya...saat Dunk menoleh, hembusan angin mengibarkan panji dari sutra berwarna hitam di ujung
sebuah tiang tinggi, dan tampaklah Naga berkepala tiga dari House Targaryen, garang dan mengibarkan
sayap sambil menyemburkan api kemerahan. Sang pembawa panji adalah seorang Ksatria jangkung
berpakaian baju besi serba putih dengan ukiran emas dan jubah putih polos berkibar dari bahunya.
Dua penunggang kuda lain juga berpakaian besi serba putih dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.
Mereka Kingsguard, Pengawal Pribadi Raja, dengan Panji Kerajaan. Pantas saja Lord Ashford dan
putra-putranya buru-buru keluar dari pintu kastil. Begitu juga Lady yang menjadi Primadona dari Kejuaraan
ini. Seorang gadis pendek berambut kuning dan wajah bundar berwarna merah jambu. Rasanya Lady ini
tidak cantik bagiku, pikir Dunk. Gadis dalang boneka itu lebih cantik daripada nona ini.
“Bocah, lepaskan kuda tua itu, dan uruslah kudaku.”

Seorang penunggang kuda turun di depan kandang. Dunk sadar, orang itu sedang berbicara kepadanya.
“Aku bukan pengurus kuda, Tuanku.”

“Apa kau kurang pintar untuk jadi pengurus kuda?” Orang yang berbicara itu memakai jubah hitam yang
tepinya dari sutra merah. Namun, di balik jubah itu, ia berpakaian berwarna sangat terang, serba merah dan
kuning keemasan. Tubuhnya kurus dan selurus pisau belati. Tingginya sedang-sedang saja, namun usianya
sebaya dengan Dunk. Rambutnya keriting, berwarna perak keemasan. Wajahnya tampan seperti patung hasil
pahatan, namun sombong. Dahinya tinggi. Tulang pipinya tajam. Hidungnya mancung. Kulitnya putih pucat
dan mulus tak bernoda. Matanya ungu gelap. “Kalau kau tidak bisa mengurus kuda, ambilkan aku anggur
dan panggilkan aku cewek cantik.”

“Aku...maaf, Tuanku, aku bukanlah pelayan. Aku seorang Ksatria.”

“Menyedihkan sekali kualitas Ksatria di jaman sekarang,” kata sang pangeran, namun kemudian seorang
bocah pengurus kuda buru-buru muncul. Pangeran itu langsung menyerahkan tali kekang kudanya kepada si
bocah, seekor kuda bagus berambut merah darah. Dunk segera terlupakan olehnya dalam sekejap. Dunk
merasa lega, lalu segera masuk kembali ke dalam kandang untuk menunggu kepala pengurus kuda. Dunk
sudah merasa cukup tidak enak berada di dekat-dekat para Lord di dalam tenda mereka, apalagi berbicara
dengan seorang Pangeran.

Dunk sangat yakin, pemuda tampan tadi pasti seorang Pangeran. Keluarga Targaryen adalah keturunan
Bangsa Valyria dari seberang lautan, yang kini telah musnah. Rambut mereka yang perak keemasan dan
mata mereka yang berwarna ungu membedakan mereka dari rakyat jelata. Dunk tahu Pangeran Baelor lebih
tua usianya daripada pemuda ini, tapi bisa saja pemuda ini adalah salah satu anaknya: Valarr, yang dijuluki
“Sang Pangeran Muda”, untuk membedakan dirinya dengan ayahnya, yang dijuluki “Sang Pangeran”. Atau
Matarys, yang dijuluki “Sang Pangeran Yang Lebih Muda” oleh badut milik Lord Swann. Ada juga pangeran
-pangeran lain, sepupu dari Valarr dan Matarys.

Raja Daeron, yang dijuluki “Raja yang Baik”, punya 4 putra yang sudah dewasa. Dan 3 diantaranya bahkan
sudah punya anak-anak lelaki mereka sendiri. Keturunan Targaryen nyaris punah di jaman dari ayahnya Raja
Daeron, namun sekarang umumnya orang-orang berkata bahwa Raja Daeron dan anak-anak lelakinya telah
memastikan garis keturunan Targaryen tetap abadi.

“Hei kau. Tadi katanya kau mencariku.” Kepala pengurus kuda Lord Ashford berwajah kemerahan, dan kini
semakin tampak kemerahan karena ia memakai seragam oranye. Gaya bicaranya kasar.
“Ada apa? Aku tidak punya waktu untuk...”

“Aku mau menjual kuda ini,” Dunk buru-buru menjawab, sebelum pria itu mengusirnya.
“Kuda ini bagus. Kakinya mantap...”

“Sudah kubilang, aku tidak punya waktu.” Pria itu cuma melirik Sweetfoot sekilas.
“Tuanku, Lord Ashford, tidak butuh kuda semacam ini. Bawa kuda ini ke kota. Mungkin Henly
mau membelinya darimu seharga 3 keping perak atau lebih.” Dengan cepat pria itu berpaling pergi.

“Terima kasih, Tuan,” kata Dunk sebelum orang itu pergi. “Tuan, apakah Raja datang?”

Si kepala pengurus kuda tertawa kepada Dunk. “Puji Para Dewa, bukan Raja yang datang.
Kedatangan begitu banyak Pangeran saja sudah cukup merepotkan. Ke mana aku harus mencari
kandang untuk begitu banyak hewan? Dan makanannya?” Ia berjalan mundur sambil berseru
kepada anak-anak pengurus kandang.
Saat Dunk meninggalkan kandang kuda, Lord Ashford telah mengantar tamu-tamu agungnya ke
aula. Namun, dua anggota Kingsguard yang memakai baju besi dan jubah serba putih masih
berada di lapangan, sedang berbincang-bincang dengan kapten pasukan pengawal. Dunk
berhenti di depan mereka. “Tuan-tuan. Perkenalkan, namaku Ser Duncan The Tall.”

“Salam kenal, Ser Duncan.” jawab sang Ksatria putih yang bertubuh lebih besar.
“Aku Ser Roland of Crakehall, dan ini Saudara Angkatku, Ser Donnel of Duskendale.”

Ketujuh Pahlawan Kingsguard adalah jagoan paling tersohor di seluruh Negeri 7 Kerajaan.
Mungkin cuma Putra Mahkota Baleor “Breakspear” Targaryen yang lebih terkenal daripada
mereka. “Apakah kalian akan ikut bertanding?” tanya Dunk dengan cemas.

“Tidak pantas bagi kami untuk bertanding melawan mereka yang seharusnya kami lindungi,”
jawab Ser Donnel, Ksatria berambut dan berjenggot merah.

“Pangeran Valarr mendapat kehormatan menjadi Ksatria yang bertanding atas nama Lady
Ashford,” Ser Roland menjelaskan. “Dan dua sepupu beliau akan menjadi penantang.
Sisanya, termasuk kami, cuma akan jadi penonton.”

Merasa lega, Dunk mengucapkan terima kasih kepada kedua Ksatria putih tadi atas kebaikan
hati mereka, dan menunggang kuda keluar dari gerbang kastil sebelum ia disuruh-suruh oleh
pangeran lain lagi. Tiga orang pangeran, pikirnya sambil mengarahkan kudanya ke jalanan Kota
Ashford.

Valarr adalah putra tertua dari Pangeran Baelor Targaryen, urutan kedua pewaris Tahta
Iron Throne. Tapi Dunk tidak tahu seberapa jauh Valarr telah mewarisi kemahiran ayahnya
dalam memainkan pedang dan tombak, yang begitu terkenal. Dan mengenai pangeran
Targaryen yang lain, Dunk bahkan lebih tidak tahu apapun mengenai mereka. Bagaimana jika
aku harus bertanding melawan seorang pangeran? Apakah aku bahkan diizinkan untuk
menantang bangsawan setinggi itu? Dunk tidak tahu jawabannya. Pak Tua sering berkata
bahwa otaknya sepadat tembok kastil alias bodoh. Dan sekarang, Dunk merasa sebodoh itu.

Tadinya Henly lumayan menyukai Sweetfoot, sampai ia mendengar bahwa Dunk berniat menjual
kuda itu. Dari situ, yang dilihat Henly cuma kekurangan-kekurangannya. Henly menawarkan uang
sebesar 300 keping perak. Dunk berkata bahwa ia hanya bisa menjualnya seharga 3000 keping.
Setelah berdebat dan saling memaki, mereka sepakat dengan harga 750 keping perak. Harga segitu
lebih dekat ke harga yang ditawarkan Henly daripada harga yang diminta oleh Dunk, jadi Dunk
merasa berada di pihak yang kalah dalam negosiasi. Tapi, Henly tidak mau membayar lebih mahal
lagi, jadi pada akhirnya Dunk harus menyerah, dan menerima harga segitu. Mereka mulai bertengkar
lagi ketika Dunk berkata bahwa harga segitu belum termasuk pelana kudanya, sedangkan menurut
Henly harga sudah termasuk pelana.

Akhirnya, mereka sepakat. Saat Henly pergi mengambil uang, Dunk membelai surai Sweetfoot, dan
menyuruhnya agar tetap tabah. “Kalau aku menang, aku akan kembali dan menebusmu. Aku
berjanji.” Dunk yakin bahwa semua kekurangan kuda itu akan lenyap setelah dipoles beberapa hari,
dan harga kuda itu akan naik dua kali lipat.

Pedagang kuda itu memberi Dunk 3 keping uang emas, dan sisanya dalam uang perak. Dunk
menggigit uang emas itu sambil tersenyum. “Naga” adalah sebutan bagi uang emas tersebut, sebab
koin emas itu dicap dengan lambang Naga Kepala Tiga dari House Targaryen di salah satu sisinya.
Di sisi yang satunya lagi adalah wajah Raja. Dua koin emas pertama bergambar wajah Raja Daeron;
koin yang ketiga lebih tua, sudah usang, dan wajah Rajanya berbeda. Nama Raja itu tercantum di
bawah kepala sang Raja, namun Dunk tidak bisa membacanya. Pinggiran emasnya pun sudah
terkelupas. Dunk menunjukkan koin itu kepada Henly sambil berteriak. Si pedagang kuda
menggerutu, tapi menyerahkan beberapa keping uang perak dan segenggam penuh uang tembaga
untuk menambahi kekurangannya. Dunk mengembalikan beberapa keping uang tembaga kepada si
pedagang kuda, sambil menganggukkan kepala kepada Sweetfoot. “Uang ini untuk dia,” katanya.
“Pastikan malam ini dia makan gandum. Dan apel juga.”

Dengan perisai di tangan dan sekantung baju besi tua di bahunya, Dunk berjalan kaki menyusuri jalanan
kota Ashford yang ditimpa cahaya matahari. Penuhnya dompet dengan uang membuat Dunk merasa aneh;
di satu sisi dia sangat gembira, di sisi lain dia merasa cemas. Pak Tua tidak pernah mempercayakan uang
kepada Dunk lebih daripada satu atau dua keping. Dengan uang sebanyak ini, aku bisa hidup selama
setahun. Dan apa yang akan kulakukan bila uang itu habis? Menjual Thunder? Kalau begitu terus,
ujung-ujungnya kalau tidak mengemis ya merampok. Kesempatan seperti ini takkan datang lagi.
Aku harus mempertaruhkan segala-galanya.

Ketika Dunk berjalan kembali menyeberangi sungai ke sebelah Selatan Sungai Cockleswent, pagi sudah
hampir berlalu. Lapangan Kejuaraan kembali ramai. Penjual anggur dan sosis sibuk berjualan, seekor
beruang sedang berjoget di bawah bimbingan pawang, sementara seorang penyanyi menyanyikan lagu
“The Bear, the Bear, and The Maiden Fair”. Pemain sulap sedang beraksi, sementara dalang sandiwara
boneka baru saja selesai memainkan adegan tarung.

Dunk berhenti untuk menyaksikan boneka Naga yang terbuat dari kayu itu tergeletak kalah. Ketika boneka
Ksatria “memotong” kepala Naga, dan debu merah berhamburan ke tanah, Dunk tertawa keras dan
melemparkan 2 keping uang tembaga kepada gadis itu. “Yang satu untuk semalam,” serunya. Gadis itu
menangkap koin yang dilemparkan oleh Dunk, lalu tersenyum balik kepadanya. Senyum termanis yang
pernah Dunk lihat.

Apakah dia tersenyum kepadaku, atau karena kedua keping uang itu? Dunk belum pernah berpacaran
dengan seorang gadis, dan gadis-gadis selalu membuatnya gugup. Dulu, tiga tahun yang lalu, saat dompet
Pak Tua sedang penuh-penuhnya seusai mengabdi kepada Lord Florent selama setengah tahun, ia berkata
kepada Dunk bahwa sudah saatnya bagi Pak Tua untuk mengajak Dunk ke rumah bordil dan
menjadikannya pria sejati. Tapi, waktu itu Pak Tua sedang mabuk. Ketika sadar, Pak Tua sudah tidak ingat.
Dunk terlalu malu untuk mengingatkan Pak Tua akan janjinya itu. Bagaimanapun, Dunk tidak yakin dia
ingin melakukannya dengan pelacur. Kalau Dunk tidak mendapatkan seorang gadis bangsawan seperti
sebagaimana seharusnya seorang Ksatria, setidaknya Dunk ingin seorang gadis yang menyukai dirinya apa
adanya, bukan karena uangnya.

“Maukah kau minum segelas bir?” ajak Dunk kepada si gadis dalang ketika ia sedang memasukkan debu
merah kembali ke dalam boneka naga. “Maksudku, minum denganku? Atau makan sosis? Aku makan
sosis semalam. Rasanya enak. Terbuat dari daging babi, kurasa.”

“Terima kasih, Tuan, tapi kami masih ada pertunjukan.” Gadis itu bangun, dan berlari ke seorang wanita
Dorne yang gemuk dan galak, yang sedang menyetel boneka Ksatria. Dunk berdiri di sana, merasa bodoh.
Tapi Dunk menyukai gaya gadis itu berlari. Seorang gadis yang cantik dan jangkung. Aku tidak perlu
berlutut untuk menciumnya. Dunk tahu cara mencium wanita. Seorang gadis pelayan warung minum
mengajarinya pada suatu malam di kota Lannisport, setahun yang lalu. Tapi gadis itu terlalu pendek,
sehingga dia harus duduk di atas meja agar bisa menjangkau bibir Dunk. Kenangan itu membuat
telinganya bersemu merah. Bodoh sekali dia. Seharusnya dia memikirkan mengenai adu tombak,
bukannya masalah ciuman.

Para tukang milik Lord Ashford sedang mengecat putih pagar kayu setinggi pinggang yang akan
memisahkan mereka yang akan beradu tombak. Dunk menyaksikan mereka bekerja sejenak.
Ada 5 jalur, disusun dari arah Utara ke Selatan, sehingga tidak ada peserta yang menunggang kuda
dengan mata terkena sinar matahari. Panggung penonton setinggi 3 baris telah didirikan di sebelah Timur
lapangan, dengan tenda oranye untuk menaungi para bangsawan dari hujan dan matahari. Kebanyakan
penonton akan duduk di bangku panjang. Namun 4 buah kursi berpunggung telah dipasang di tengah
panggung bagi Lord Ashford, sang Lady utama, dan para Pangeran tamu.
Di ujung timur padang rumput itu, sebuah sasaran untuk berlatih adu tombak telah dipasang. Lusinan
Ksatria sedang berlatih di sana, membuat tiang sasaran itu berputar-putar setiap kali mereka berhasil
menghantam perisai sasaran yang dipasang di sana. Dunk menyaksikan Si Garang dari Keluarga Bracken
sedang mengambil gilirannya, disusun oleh Lord Caron dari kawasan The Marches. Aku tidak punya
kedudukan sebagus mereka, pikir Dunk dengan cemas.

Du tempat lain, orang-orang sedang berlatih tanpa naik kuda. Mereka saling menyerang dengan pedang
kayu, sementara Squire mereka menyoraki mereka sambil memberi saran dengan kata-kata kotor. Dunk
menyaksikan seorang pemuda kekar mencoba bertahan menghadapi serangan seorang Ksatria kekar yang
gerakannya lentur dan gesit begaikan kucing gunung. Mereka berdua memakai perisai bergambarkan
Apel, lambang dari Keluarga Fossoway, namun perisai pemuda itu segera pecah dan hancur
berkeping-keping. “Ini dia, si apel mentah,” kata sang Ksatria sambil menghantam helm besi pemuda itu.
Si pemuda Fossoway sudah babak belur dan berlumuran darah pada saat ia menyerah, namun lawannya
sama sekali belum kehabisan nafas. Ksatria itu membuka penutup mata helm besinya, melihat
kesana-kemari, melihat Dunk, lalu berkata, “Kau, yang di sana. Ya, kamu. Yang badannya besar. Ksatria
yang lambangnya piala bersayap. Apakah itu pedang panjang yang sedang kaukenakan?”

“Pedang ini memang milikku,” kata Dunk membela diri. “Aku Ser Duncan The Tall.”

“Dan aku Ser Steffon Fossoway. Maukah kau menjajal kemampuanku, Ser Duncan The Tall? Pasti asyik
untuk bisa mengadu pedang dengan orang baru. Sepupuku masih 'mentah', seperti yang kaulihat sendiri.”

“Lakukan saja, Ser Duncan,” teriak si Fossoway yang kalah sambil melepas helmnya.
“Mungkin aku masih 'mentah', tapi kalau sepupuku sudah 'busuk' luar-dalam. Hajar saja, biar dia kapok.”

Dunk menggelengkan kepalanya. Kenapa para bangsawan ini membuatnya terlibat di dalam
pertengkaran mereka? Ia tidak mau ikut campur. “Terima kasih, Ser, tapi aku masih ada urusan lain.”
Dunk merasa tidak nyaman membawa begitu banyak uang. Semakin cepat ia membayar Steely Pate
dan mendapatkan baju besinya, semakin senang hatinya.

Ser Steffon melihat ke Dunk dengan pandangan menghina. “Si Ksatria pengelana masih ada urusan lain.”
Ia kembali melihat-lihat, dan kembali menemukan calon lawan tanding. “Ser Grance, salam jumpa.
Ayo jajal kemampuanku. Aku sudah tahu setiap trik remeh yang dikuasai oleh sepupuku Raymun,
dan tampaknya Ser Duncan harus kembali ke pondoknya. Jadi, ayo, ayo...”

Dunk pergi dengan muka merah. Dia sendiri tidak punya banyak trik bertarung, baik trik yang gampang
maupun yang sulit. Dan Dunk tidak mau ada yang melihatnya bertarung sampai Kejuaraan dimulai.

Pak Tua selalu berkata, semakin baik kau mengenal musuhmu, semakin mudah untuk mengalahkannya.
Ksatria seperti Ser Steffon punya mata yang tajam. Ia bisa menemukan kelemahan seseorang hanya
dalam sekali lihat. Dunk kuat dan cepat. Berat badan dan jangkauan tangannya menjadi keunggulan
dirinya. Namun, Dunk sama sekali tidak yakin kalau keahliannya dalam bertarung setara dengan para
peserta yang lain. Ser Arlan telah berusaha mengajari Dunk sebaik mungkin, namun Pak Tua juga bukan
Ksatria terhebat, bahkan saat dia masih muda sekalipun. Ksatria yang hebat tidak numpang tidur di
pondokan, atau mati di pinggir jalan berlumpur. Itu tidak akan terjadi padaku, Dunk bersumpah.
Akan kutunjukkan kepada mereka semua, bahwa aku lebih daripada sekedar Ksatria pengelana biasa.

“Ser Duncan,” pemuda Fosoway yang lebih muda buru-buru menyusulnya. “Seharusnya aku tidak
mendesak Anda untuk menjajal sepupuku. Aku sedang marah pada kesombongannya, dan Anda begitu
besar, jadi kupikir...yah, pokoknya, ini salahku. Anda sedang tidak memakai baju besi. Dia pasti akan
mematahkan tangan atau lutut Anda, kalau bisa. Dia suka menghajar orang di lapangan latihan, sehingga
mereka cedera dan mudah dikalahkan kalau dia berhadapan dengan mereka di pertandingan.”

“Dia tidak mematahkan tanganmu.”


“Memang. Tapi itu karena dia sepupuku. Walaupun dia dari cabang keluarga yang lebih senior.
Dan ia selalu mengingatkanku akan hal itu. Namaku Raymun Fossoway.”

“Salam kenal. Apakah kau dan sepupumu akan bertanding di atas kuda pada Kejuaraan nanti?”

“Dia sih, pasti. Kalau aku, pasti mau kalau diizinkan. Aku hanya seorang Squire. Sepupuku
berjanji untuk melantikku menjadi Ksatria, tapi ia selalu bersikeras bahwa aku masih 'mentah'.
Raymun berwajah persegi, berhidung pesek, dan berambut pendek gimbal, namun senyumnya
mempesona. “Kalau kulihat, penampilanmu seperti seorang penantang. Perisai siapa yang Anda
incar?”

“Tidak ada bedanya,” kata Dunk. Itu kalimat basa-basi yang wajib diucapkan, walaupun
sebenarnya, siapa lawan yang kauincar di dalam pertandingan itu sangatlah penting.
“Aku baru akan bertanding di hari ketiga.”

“Pada waktu itu, sebagian peserta sudah gugur,” kata Raymun. “Yah, semoga Dewa Warrior tersenyum
kepada Anda, Ser.”

“Kepadamu juga.” Kalau dia saja cuma Squire, bagaimana peluangku sebagai Ksatria? Salah satu dari
kami adalah orang bodoh. Koin perak di dompet Dunk berdenting setiap kali dia melangkah. Namun Dunk
tahu bahwa ia bisa kehilangan seluruh uang ini dalam sekejap. Bahkan peraturan di Kejuaraan ini pun
menyulitkan dia. Sangat kecil kemungkinan bagi Dunk untuk mendapatkan lawan yang belum
berpengalaman maupun lemah.

Ada berbagai macam bentuk pertandingan di dalam sebuah Kejuaraan, tergantung kepada Lord yang
menjadi tuan rumah. Ada perang-perangan antara 2 regu Ksatria, ada juga pertarungan massal gaya bebas,
di mana kemenangan menjadi milik Ksatria terakhir yang masih bertahan. Kalau bentuknya adalah duel
perorangan, pasangan yang akan bertanding ditentukan lewat undian, atau kadang-kadang ditetapkan oleh
ketua panitia.

Lord Ashford menyelenggarakan Kejuaraan ini untuk merayakan ulang tahun putrinya yang ke-13.
Sang Lady akan duduk di samping ayahnya sebagai Queen of Love and Beauty. Ada 5 jagoan yang telah
mendapat restu dari sang Lady, akan bertarung sebagai pelindungnya. Para peserta yang lain akan
mengambil posisi sebagai penantang. Siapapun yang bisa mengalahkan salah satu dari pihak pelindung,
akan menggantikanya sebagai pelindung yang baru. Dia akan tetap memegang posisi sebagai pelindung
sampai ada penantang lain yang mengalahkannya. Setelah adu tombak selama 3 hari, kelima pelindung
yang tersisa harus menentukan apakah gelar The Queen of Love and Beauty tetap dipertahankan oleh
Sang Lady, atau gelar itu dialihkan ke wanita lain.

Dunk memandangi pagar pemisah adu tombak dan kursi-kursi kosong di panggung penonton,
dan memikirkan peluangnya. Dia hanya butuh satu kali menang; lalu ia bisa mengaku pernah menjadi
juara di Ashford Meadow, bahkan seandainya cuma bisa mempertahankan gelar juara itu selama 1 jam.
Pak Tua usianya hampir 60 tahun ketika ia meninggal, dan selama ini belum pernah menjadi juara.
Harapan masih ada, kalau para dewa berbaik hati.

Dunk memikirkan kembali semua lagu yang pernah ia dengar, lagu-lagu mengenai para Ksatria legenda
ris seperti Symeon Star Eyes yang buta, Ser Serwyn of The Mirror Shield, Pangeran Aemon Sang Ksatr
ia Naga, Ser Ryam Redwyne, dan Florian si Badut. Mereka semua menang menghadapi musuh yang
jauh lebih mengerikan daripada yang akan Dunk hadapi. Tapi mereka semua pahlawan besar; para pria
pemberani keturunan bangsawan, kecuali Florian. Dan aku sendiri siapa? Si Dunk dari Flea Bottom?
Atau Ser Duncan The Tall?

Dunk merasa bahwa ia akan segera mengetahui jawabannya. Ia mengangkat kantung berisi baju besi
itu dan berjalan ke kios para pedagang, mencari Steely Pate.
000

Egg telah bekerja sekuat tenaga di perkemahan. Dunk merasa senang; tadinya dia masih agak
khawatir kalau-kalau Squirenya kabur. “Apakah Anda berhasil menjual kuda itu dengan harga yang
bagus?” tanya si bocah.

“Darimana kautahu aku telah menjual kuda?”

“Anda pergi naik kuda, tapi pulangnya berjalan kaki. Kalau kuda Anda dirampok, Anda pasti lagi
marah-marah sekarang.”

“Aku mendapat cukup uang untuk membeli ini.” Dunk mengeluarkan baju besi barunya untuk
diperlihatkan kepada si bocah. “Kalau kau ingin jadi Ksatria, kau harus bisa membedakan antara
baja berkualitas baik dan yang buruk. Lihat, ini barang bagus. Baju rantai ini rangkaian ganda,
artinya setiap mata rantai dihubungkan ke dua mata rantai lainnya.Perlindungannya lebih baik
daripada baju rantai yang cuma rangkaian tunggal. Dan helm besinya. Oleh Pate, bagian atasnya
dibikin bulat. Lihat lekukannya. Bacokan pedang atau kapak akan terpeleset kalau terkena bagian
yang melengkung. Kalau ujung helm besinya rata, kemungkinan besar pedang atau kapaknya akan
menancap.” Dunk memakai helm besi itu. “Bagaimana kelihatannya?”

“Tidak ada penutup wajahnya,” tunjuk Egg.

“Ada lubang untuk udara masuk. Sekaligus untuk melihat. Penutup wajah adalah titik kelemahan,” itu kata
Steely Pate. “Kalau kau tahu betapa banyak Ksatria yang matanya terkena panah saat mengangkat penutup
wajah untuk menghirup udara segar, kau tidak akan mau penutup wajah,” katanya kepada Dunk.

“Juga tidak ada lambang Ksatria,” kata Egg. “Polos begitu saja.”

“Dunk melepas helm besinya. “Polos sudah cukup bagi orang sepertiku. Kaulihat betapa mengkilapnya baja
ini? Tugasmu adalah menjaga agar baja ini tetap mengkilap. Kau tahu cara menggosok baju rantai?”

“Di dalam segentong pasir,” kata Egg,” tapi Anda tidak punya gentong. Apakah Anda membeli tenda juga,
Ser?”

“Uangku tidak sebanyak itu.” Bocah itu terlalu berani, dan itu kurang baik baginya. Seharusnya kuhajar dia
agar tidak sekurang ajar itu. Namun, Dunk sadar bahwa ia tidak akan melakukannya. Dunk menyukai
keberanian Egg. Dia sendiri perlu lebih berani. Masak Squire ku lebih berani dan lebih cerdas daripada
diriku sendiri? “Kerjamu bagus, Egg,” kata Dunk kepadanya. “Besok, kau ikut denganku melihat-lihat
lapangan Kejuaraan. Kita akan membeli gandum untuk kuda dan roti segar untuk kita sendiri. Mungkin
sedikit keju. Di salah satu kios ada yang menjual keju bagus.”

“Saya tidak harus masuk ke kastil, 'kan?”

“Kenapa tidak? Suatu hari kelak, aku bercita-cita untuk tinggal di sebuah kastil. Aku berharap bisa meraih
sebuah posisi terhormat sebelum meninggal dunia.”

Bocah itu tidak berkata apapun. Mungkin dia takut memasuki aula milik seorang bangsawan, pikir Dunk.
Sudah kuduga. Nanti juga pelan-pelan dia akan jadi berani. Dunk kembali mengagumi baju besinya, sambil
bertanya-tanya berapa lama dia akan mengenakan baju besi itu.

Ser Manfred adalah seorang pria kurus berwajah masam. Ia mengenakan jubah hitam yang dihiasi
oleh lambang petir ungu dari House Dondarrion. Namun Dunk akan tetap mengenalinya dari
rambutnya yang kusut dan berwarna merah keemasan. “Ser Arlan mengabdi kepada ayah Anda
ketika beliau bersama dengan Lord Caron membakar Vulture King dan mengusirnya dari Red
Mountains, Ser.” kata Dunk sambil menekuk sebelah lututnya. “Waktu itu aku masih anak-anak,
namun aku adalah Squire dari Ser Arlan of Pennytree.”
Ser Manfred cemberut. “Tidak, aku tidak kenal dia. Dan akupun tidak kenal engkau, bocah.”

Dunk memperlihatkan perisai milik Pak Tua kepadanya. “Ini lambang Ser Arlan. Piala bersayap.”

“Ayahku membawa 800 Ksatria dan hampir 4000 prajurit ke pengunungan itu. Tidak mungkin aku
mengingat mereka semua, atau lambang apa yang terdapat pada perisai yang mereka bawa. Mungkin
saja kau waktu itu bersama kami, tetapi...” Ser Manfred mengangkat bahunya.

Dunk kehabisan kata-kata dalam sekejap. Pak Tua terluka ketika mengabdi kepada ayahmu,
bagaimana bisa kau melupakan dirinya? “Mereka tidak akan mengijinkanku untuk bertanding
kecuali ada Ksatria atau Lord yang bersedia menjamin diriku.”

“Terus, apa urusannya denganku?” kata Ser Manfred. “Waktumu untuk berbicara denganku sudah
habis, Ser.”

Kalau Dunk kembali ke kastil tanpa didampingi oleh Ser Manfred, ia pasti gagal. Dunk melihat ke
lambang petir ungu yang disulam di jubah wool hitam milik Ser Manfred dan berkata, “aku ingat,
ayahmu pernah bercerita ke seisi perkemahan bagaimana keluarga kalian mendapatkan lambang
keluarga. Di suatu malam yang berbadai, leluhur keluarga Anda membawa pesan menyeberangi
Padang Dorne, mendadak sebuah panah membunuh kuda yang sedang ia tunggangi, dan
membuatnya terjatuh ke tanah. Dua orang Dorne muncul dari dalam kegelapan, memakai baju rantai
dan helm besi melengkung. Pedang yang ia miliki patah saat ia terjatuh. Saat melihat mereka, ia
mengira bahwa itu adalah akhir hidupnya. Namun, saat kedua orang Dorne itu mendekat untuk
membunuhnya, petir menyambar dari langit. Petir menyala ungu terang, mendadak bercabang, lalu
menyambar kedua orang Dorne itu dan membunuh mereka langsung di tempat. Pesan yang ia bawa
membuat Raja Stormlands berhasil meraih kemenangan atas Dorne. Sebagai tanda terima kasih,
utusan itu diangkat menjadi bangsawan. Dialah Lord Dondarrion yang pertama. Maka, sebagai
lambang keluarga, ia memilih petir ungu bercabang dua dengan latar belakang hitam bertaburkan
bintang.”

Dunk mengira kisah itu akan membuat Ser Manfred terkesan. Dia salah besar. “Setiap bocah pelayan dan
pengurus yang pernah melayani ayahku pasti pernah mendengar kisah itu. Mengetahui kisah itu tidak
berarti Anda seorang Ksatria. Sekarang, silakan pergi, Ser.”

Dengan berat hati Dunk kembali ke Kastil Ashford, sambil bertanya-tanya apa yang harus ia katakan
agar Plummer mengizinkan dia ikut bertanding. Namun si kepala pelayan sedang tidak berada di
kamarnya. Seorang penjaga memberitahu Dunk bahwa mungkin Plummer sedang berada di Aula
Besar. “Bolehkah aku menunggu di sini?” tanya Dunk. “Berapa lama dia akan berada di sana?”

“Mana kutahu? Terserah engkau saja.”

Aula Besar ternyata tidak sebesar namanya. Tapi, Ashford memang kastil yang kecil. Dunk masuk
dari pintu samping, dan segera menemukan si kepala pelayan. Dia sedang berdiri bersama Lord
Ashford dan selusin orang lain di penghujung aula. Dunk berjalan ke arah mereka, melewati dinding
yang di atasnya dihiasi dengan permadani wol bergambar buah dan bunga.

“...lebih peduli jika mereka anak-anakmu, aku yakin itu,” kata seseorang dengan marah saat Dunk
mendekat. Rambutnya yang lurus dan jenggotnya yang persegi begitu pucat, sampai-sampai mereka
terlihat berwarna keputihan di dalam aula yang remang-remang itu. Namun, saat mendekat, Dunk
melihat bahwa rambut orang itu sebenarnya berwarna putih keemasan.

“Daeron sudah pernah berbuat seperti ini sebelumnya,” jawab seseorang. Posisi berdiri Plummer
menghalangi Dunk untuk melihat orang yang berbicara itu. “Seharusnya kau tidak menyuruhnya
untuk ikut bertanding. Dia tidak cocok untuk ikut Kejuaraan, sama seperti Aerys atau Rhaegel.”
“Maksudmu, dia lebih suka bermain dengan pelacur daripada menunggang kuda,” kata orang yang
pertama. Seorang pria bertubuh kekar dan kuat, sang pangeran-dia pasti seorang pangeran-
mengenakan rompi pelindung berlapis kulit yang ditaburi dengan butiran perak, ditambah dengan
jubah hitam berat berlapis bulu cerpelai. Pipinya penuh dengan bekas cacar, namun sebagian
tertutup oleh jenggotnya yang berwarna putih keperakan. “Kau tidak perlu mengingatkanku akan
kelemahan putraku, Kak. Usianya baru 18 tahun. Dia bisa berubah. Demi Para Dewa, dia pasti bisa
berubah. Kalau tidak, aku bersumpah, lebih baik dia mati saja!”

“Jangan bodoh. Daeron mungkin begitu orangnya. Namun, dia tetap darah dagingmu, dan juga darah
dagingku. Aku yakin, Ser Roland akan segera mengantar dia kemari. Dan Aegon juga.”

“Mungkin nanti, setelah Kejuaraannya selesai.”

“Aerion kan hadir di sini. Ia lebih mahir memainkan tombak daripada Daeron, kalau kau
mencemaskan Kejuaraannya.” Sekarang Dunk bisa melihat pria yang sedang berbicara tadi. Pria itu
duduk di kursi tinggi sambil memegang seikat kertas perkamen. Lord Ashford berdiri di samping
bahunya. Walaupun sedang duduk, pria itu terlihat lebih tinggi daripada orang-orang lain. Itu terlihat
dari kakinya yang menjulur panjang. Rambutnya pendek cepak, berwarna hitam gelap namun agak
keabu-abuan. Rahangnya terlihat kuat, dan dicukur bersih. Tampaknya, hidungnya sudah pernah
beberapa kali patah. Walaupun pria itu berpakaian sangat sederhana-jaket hijau, mantel coklat, dan
sepatu bot yang sudah lecet-ia terlihat sangat berbobot, seorang pria yang kesannya penuh kuasa dan
ketegasan.

Mendadak Dunk sadar bahwa ia tidak sengaja masuk dan mendengar hal-hal yang sebenarnya bukan
urusannya. Sebaiknya aku pergi, dan baru kembali nanti saat mereka sudah selesai, pikir Dunk. Namun,
sudah terlambat. Sang Pangeran berjenggot perak mendadak menyadari kehadiran Dunk.
“Siapa kau? Apa maksudmu mendadak masuk dan menyela percakapan kami?” tanyanya dengan kasar.

“Dia Ksatria yang sedang ditunggu oleh kepala pelayan kita,” kata sang pria yang sedang duduk.
Ia tersenyum kepada Dunk, seolah-olah dia sudah tahu akan keberadaan Dunk sejak dari tadi.
“Justru kitalah yang sebenarnya menyela mereka. Silakan mendekat, Ser.”

Dunk bergerak maju, tidak yakin mengenai apa yang mereka harapkan dari dirinya. Dia melihat ke arah
Plummer, tapi tidak ada bantuan baginya. Si kepala pelayan berwajah pucat, yang kemarin begitu keras,
sekarang hanya berdiri diam sambil melihat ke lantai. “Tuan-tuan,” katanya, “aku telah memohon kepada
Ser Manfred Dondarrion untuk menjaminku agar boleh ikut bertanding, namun ia menolak. Katanya, dia
tidak kenal diriku. Tapi, aku berani bersumpah, Ser Arlan pernah mengabdi padanya. Aku membawa
pedang dan perisai milik Ser Arlan, aku...”

“Pedang dan perisai saja tidak bisa menjadi bukti bahwa Anda seorang Ksatria,” seru Lord Ashford,
seorang pria botak bertubuh besar dan berwajah bulat kemerahan. “Plummer sudah berbicara denganku
mengenai dirimu. Bahkan seandainya kami mengakui bahwa ini adalah barang-barang milik Ser Arlan of
Pennytree, bisa saja kau menemukan dia dalam keadaan meninggal lalu mencuri barang-barang ini darinya.
Kecuali kau punya bukti yang lebih baik, sebuah bukti tertulis misalnya...”

“Aku ingat Ser Arlan of Pennytree,”pria yang sedang duduk tadi berkata perlahan. “Setahuku, ia tidak
pernah menang dalam Kejuaraan apapun. Tapi, dia juga tidak pernah mempermalukan dirinya sendiri.
Di King's Landing, 16 tahun yang lalu, dia pernah menjatuhkan Lord Stokeworth dan Bastard of Harrenhal
dalam kontes pertarungan massal, dan beberapa tahun sebelumnya, di Lannisport, dia pernah menjatuhkan
Sang Singa Kelabu sendiri. Tentu saja waktu itu rambut Sang Singa belum sekelabu sekarang.”

“Ser Arlan bercerita kepadaku mengenai hal itu, berulang kali,” kata Dunk. Si pria jangkung mengamati
Dunk baik-baik. “Kalau begitu, kau pasti ingat nama asli Sang Singa Kelabu. Aku yakin itu.”
Sesaat, kepala Dunk terasa kosong sama sekali. Ribuan kali Pak Tua menceritakan kisah itu kepadanya.
Ribuan kali...sang singa, sang singa, namanya...namanya...namanya...Dunk sudah nyaris merasa putus asa
ketika mendadak nama itu terlintas di kepalanya. “Ser Damon Lannister!” seru Dunk. “Sang Singa Kelabu!
Dia sekarang sudah menjadi Lord of Casterly Rock.”

“Memang,” kata sang pria jangkung dengan senang,” dan dia akan ikut bertanding besok,” katanya sambil
menggoyang-goyangkan gulungan kertas di tangannya.

“Bagaimana bisa kau mengingat seorang Ksatria pengelana biasa, yang kebetulan berhasil menjatuhkan
Damon Lannister 16 tahun yang lalu?” kata sang pangeran berjenggot perak sambil mengerutkan kening.

“Sudah kebiasaanku untuk mempelajari semua lawan-lawanku sebanyak mungkin.”

“Kenapa kau mau-maunya mengadu tombak dengan seorang Ksatria pengelana?”

“Kejadiannya 9 tahun yang lalu, di Storm's End. Lord Baratheon mengadakan pertandingan untuk
merayakan kelahiran cucunya. Dari hasil undian, Ser Arlan menjadi lawanku di pertandingan pertama.
Kami sampai mematahkan 4 tombak sebelum akhirnya aku berhasil menjatuhkannya.”

“7 kali ganti tombak,” kata Dunk,” dan itu melawan Pangeran Dragonstone!” Begitu perkataan itu keluar
dari mulutnya, Dunk ingin segera menariknya kembali, namun sudah terlambat. Dunk si bodoh, otakmu
benar-benar sepadat tembok kastil. Dunk bisa mendengarkan Pak Tua memaki dirinya.

“Begitu?” Sang Pangeran berhidung bengkok tersenyum lembut. “Dalam cerita, biasanya memang
dibesar-besarkan. Aku tahu. Jangan berpikiran yang bukan-bukan mengenai gurumu, tapi waktu itu cuma
4 kali ganti tombak, sebelum ia kukalahkan.”

Dunk bersyukur aula itu cahayanya remang-remang; ia tahu saat ini telinganya sedang merah. “Tuanku....”
bukan. Salah panggilan. “Yang Mulia,” Dunk berlutut sambil menundukkan kepala. “Seperti kata Yang
Mulia, 4 kali. Aku tidak bermaksud...aku tidak akan...Pak Tua, Ser Arlan, dia selalu berkata bahwa otakku
sepadat dinding kastil, dan diriku selamban kerbau.”

“Dan sama kuatnya dengan kerbau, kalau kulihat penampilanmu,” kata Pangeran Baelor “Breakspear”
Targaryen. “Tidak apa-apa, Ser. Bangunlah.”

Dunk bangkit berdiri, sambil bertanya-tanya apakah ia harus tetap menunduk ataukan dia diizinkan
memandang wajah Sang Pangeran. Aku sedang berbicara dengan Baelor Targaryen, Pangeran Dragonstone,
Hand of The King, dan calon pewaris Tahta Iron Throne dari Aegon Sang Penakluk. Apa yang bisa
dikatakan oleh seorang Ksatria pengelana kepada manusia seagung ini? “A...Anda mengembalikan kuda
dan baju besi Ser Arlan tanpa meminta uang tebusan. Aku ingat cerita itu.” kata Dunk dengan gugup.
“Pak Tua...Ser Arlan, dia bilang, Anda memiliki jiwa Ksatria, dan suatu hari Tujuh Kerajaan akan aman
di tangan Anda.”

“Kuharap saat itu masih lama,” kata Pangeran Baelor.

“Bukan,” kata Dunk ketakutan. Dia nyaris berkata, maksudku bukan menyumpahi kematian Raja,
Namun untungnya ia keburu menghentikan lidahnya. “Maaf, Tuanku...maksudku, Yang Mulia.”

Mendadak Dunk menyadari bahwa pria kekar berjenggot keperakan itu memanggil Pangeran Baelor
“Kakak”. Dia juga keturunan Naga. Betapa bodohnya diriku! Dia pasti Pangeran Maekar, si bungsu dari
keempat anak lelaki Raja Daeron. Pangeran Aerys kutu buku, sedangkan Pangeran Rhaegal gila, lemah,
dan sakit-sakitan. Mereka berdua takkan mau pergi begitu jauh hanya untuk menghadiri sebuah Kejuaraan.
Namun, konon, Maekar memiliki reputasi sebagai seorang petarung yang menyeramkan, walaupun
reputasinya selalu di dalam bayang-bayang sang kakak sulung.
“Anda ingin ikut bertanding. Begitu, 'kan?” tanya Pangeran Baelor. “Keputusannya ada di tangan ketua
panitia. Tapi, tidak ada alasan bagiku untuk menolak dirimu.” Sang kepala pelayan menganggukkan
kepalanya,” baiklah, kalau itu kehendak Anda, Yang Mulia.”

Dengan gugup, Dunk ingin mengucapkan terima kasih, namun Pangeran Maekar memotongnya.
“Baiklah, Ser. Anda berterima kasih. Sekarang, pergilah.”

“Maafkan adikku, Ser,” kata Pangeran Baelor. “Dua putranya hilang saat dalam perjalanan menuju kemari.
Dia mengkhawatirkan nasib mereka.”

“Hujan musim semi membuat banyak sungai meluap,” kata Dunk. “Mungkin para pangeran cuma
terhambat.”

“Aku tidak datang kemari untuk meminta nasehat kepada seorang Ksatria pengelana,” kata
Pangeran Maekar kepada kakaknya.

“Silakan Anda pergi, Ser,” kata Pangeran Baelor kepada Dunk dengan ramah.

“Ya, Tuanku,” Dunk membungkuk lalu berbalik. Namun, sebelum pergi, sang pangeran kembali
memanggil dirinya. “Ser, satu hal lagi. Anda bukan keturunan Ser Alan, 'kan?”

“Ya, Tuanku...maksudku, bukan. Aku bukan keturunannya.”

Sang pangeran mengangguk-angguk sambil melihat kepada perisai yang Dunk bawa, dan lambang piala
bersayap yang tergambar di atasnya. “Secara hukum, hanya anak kandung yang sah dari seorang Ksatria
yang berhak mewarisi lambangnya. Anda harus membuat lambang baru, Ser. Lambang milik Anda
sendiri.”

“Baiklah, akan kulakukan,” kata Dunk. “Sekali lagi, terima kasih, Yang Mulia. Aku akan berjuang dengan
gagah berani. Lihat saja.” Seberani Baelor “The Breakspear”, itulah yang sering diucapkan oleh Pak Tua.

000

Para penjual anggur dan sosis sibuk berjualan, dan para pelacur berkeliaran dengan terang-terangan
di antara kios-kios dan tenda-tenda. Ada yang lumayan cantik, misalnya seorang wanita berambut
merah. Dunk tidak dapat menahan diri untuk tidak melirik buah dadanya yang bergoyang-goyang
di balik pakaian dalamnya yang longgar, ketika wanita itu berjalan pelan melewati dirinya.
Dunk memikirkan uang perak di dalam dompetnya. Aku bisa menyewanya, kalau mau. Dia pasti
menginginkan uangku. Aku bisa mengajaknya ke tempatku dan bercinta dengannya. Sepanjang
malam, kalau perlu. Dunk belum pernah tidur dengan seorang wanita, dan bisa saja Dunk mati
terbunuh dalam pertandingan pertama. Kejuaraan bisa saja berbahaya...tapi pelacur juga sama
berbahayanya, Pak Tua sudah memperingatkan Dunk akan hal itu. Bisa saja dia merampok uangku
saat aku sedang tidur. Kalau sudah begitu, bagaimana? Ketika wanita berambut merah itu menoleh
ke balik bahunya dan menatap dirinya, Dunk menggelengkan kepala dan berjalan pergi.

Dunk menemukan Egg di tempat sandiwara boneka, sedang duduk bersila di atas tanah. Kerudung jubahnya
menutupi kepalanya yang botak. Bocah itu takut untuk masuk ke dalam kastil. Dunk mengira alasannya
karena ia merasa malu dan tidak percaya diri. Mungkin dia merasa tidak layak untuk bercakap-cakap
dengan para Lord dan Lady, apalagi para Pangeran. Dunk juga merasa begitu sewaktu masih kecil. Dunia di
luar kawasan Flea Bottom terlihat menakutkan, namun sekaligus juga menarik. Egg cuma perlu waktu. Saat
ini, mungkin lebih baik memberi bocah itu beberapa keping uang tembaga dan membiarkannya
bermain-main di sekitar kios pedagang, daripada memaksanya ikut masuk ke dalam kastil.
Pagi ini, dalangnya memainkan sandiwara mengenai Florian dan Jonquil. Si perempuan Dorne yang
gendut memainkan boneka Florian yang berpakaian baju besi berwarna warni, sedangkan si gadis
jangkung memegang tali boneka Jonquil. “Kau bukanlah seorang Ksatria,” katanya sambil menggerakkan
mulut boneka itu naik-turun. “Aku tahu siapa dirimu. Kau Florian Sang Badut.”

“Anda benar, My Lady,” jawab boneka yang satu lagi sambil berlutut.
“Aku adalah badut terkonyol, sekaligus Ksatria terhebat yang pernah ada.”

“Seorang badut sekaligus Ksatriat?” kata Jonquil. “Belum pernah kudengar hal seperti itu.”
“Nona manis,” kata Florian,” semua pria adalah badut sekaligus Ksatria, kalau sudah urusannya wanita.”

Pertunjukannya bagus. Menyedihkan sekaligus manis, dengan duel pedang yang seru di akhir cerita,
dan seorang Raksasa yang dicat dengan bagus. Begitu pertunjukan selesai, si perempuan gendut
mengumpulkan uang dari para penonton, sementara si gadis merapikan boneka-bonekanya.

Dunk menjemput Egg, lalu menghampiri gadis itu.

“Tuanku?” kata gadis itu sambil melirik dan tersenyum kecil. Gadis itu lebih pendek sekepala daripada
Dunk, namun lebih tinggi daripada gadis-gadis lain yang pernah dilihat Dunk.

“Itu tadi bagus,” kata Egg bersemangat. “Aku suka caramu menggerakkan boneka-boneka itu-Jonquil,
Naga, pokoknya semuanya. Aku menonton sandiwara boneka tahun lalu, tapi gerakan bonekanya kaku.
Gerakan boneka Anda lebih mulus.”

“Terima kasih,” katanya kepada bocah itu dengan sopan.

Dunk berkata, “boneka-boneka ini pahatannya bagus. Terutama boneka Naga. Binatang yang
menakutkan. Apakah kau yang membuatnya sendiri?”

Gadis itu mengangguk. “Pamanku yang memahat boneka-boneka itu. Aku yang mencatnya.”

“Bisakah kau melukiskan sesuatu untukku? Aku punya uang. Akan kubayar.” Dunk melepas perisai
dari bahunya, lalu memperlihatkan perisai itu kepadanya. “Aku harus melukis sesuatu di atas gambar
piala ini.”

Gadis itu melihat ke perisai itu, lalu kepada Dunk. “Anda ingin dibuatkan gambar apa?”

Dunk belum memikirkan hal itu. Kalau bukan gambar piala bersayap milik Pak Tua, lantas apa?
Kepalanya terasa kosong. Dunk si bodoh, dengan otak sepadat dinding kastil...”Aku...aku tidak yakin,”
Dunk mendadak menyadari bahwa telinganya sedang bersemu merah.
“Kau pasti menganggapku sangat bodoh.”

Gadis itu tersenyum. “Semua pria adalah badut, sekaligus Ksatria.”

“Cat warna apa yang kaupunya?” tanya Dunk, berharap bisa mendapat ide dari sana.

“Aku bisa mencampur cat untuk membuat warna apapun yang kauinginkan.”

Warna coklat milik Pak Tua dari dulu selalu membosankan bagi Dunk. “Latar belakangnya harus
matahari terbenam,” kata Dunk tiba-tiba. “Pak Tua menyukai matahari terbenam.
Dan gambar utamanya...”

“Pohon Elm,” sahut Egg. “Pohon Elm yang besar, seperti yang di pinggir kolam kita.
Batang pohonnya berwarna coklat, sedangkan ranting-rantingnya hijau.”
“Ya,” kata Dunk, “boleh juga. Pohon Elm...tapi, di atasnya ada bintang jatuh.
Bisakah kau menggambarnya?”

Gadis itu mengangguk. “Berikan perisai itu kepadaku. Akan kulukis malam ini juga, dan kukembalikan
kepada Anda besok.” Dunk menyerahkan perisai itu kepadanya. “Namaku Ser Duncan The Tall.”

“Namaku Tanselle,” gadis itu tertawa. “Cowok-cowok suka memanggilku Tanselle Terlalu Tinggi.”

“Kau tidak terlalu tinggi,” kata Dunk spontan. “Tinggimu pas untuk...” mendadak Dunk menyadari apa
yang hampir dia ucapkan, dan wajahnya merah padam. “Untuk...?” tanya Tanselle sambil menjulurkan
kepala ingin tahu. “Bermain boneka,” kata Dunk asal-asalan.

000

Di hari pertama Kejuaraan, langit fajar bersinar terang. Dunk membeli sekantung bahan makanan, jadi
mereka bisa sarapan dengan telur angsa, roti goreng dan ham babi. Namun, saat makanannya sudah
matang, Dunk justru kehilangan selera. Perutnya terasa keras seperti batu, walaupun dia tahu dia tidak
akan bertanding hari ini. Hak untuk mengajukan tantangan perdana hanya diberikan bagi Ksatria
keturunan bangsawan atau yang sudah terkenal, bagi para Lord dan anak-anak mereka, dan bagi juara
dari Kejuaraan lain.

Egg mengoceh terus sepanjang sarapan, membicarakan tentang berbagai macam Ksatria dan bagaimana
kira-kira mereka akan bertarung. Egg rupanya tidak bercanda sewaktu dia bilang dia tahu setiap Ksatria
hebat di Negeri 7 Kerajaan, pikir Dunk kesal. Bagi Dunk, memalukan rasanya harus mendengarkan
dengan seksama perkataan seorang bocah yatim piatu kurus, namun pengetahuan Egg mungkin ada
gunanya bagi Dunk, bila ia harus mengadu tombak dengan mereka.

Padang rumput itu telah dipenuhi massa, dan mereka semua saling sikut agar bisa semakin mendekat ke
depan, sehingga bisa melihat lebih jelas. Dunk jago dalam hal sikut-menyikut, dan badannya lebih besar
daripada kebanyakan orang. Ia menerobos maju ke sebuah gundukan tanah sejauh 5,4 meter dari pagar.
Ketika Egg mengeluh bahwa ia tidak bisa melihat karena terhalang oleh orang banyak, Dunk menaruh
bocah itu di atas bahunya. Di seberang lapangan, panggung penonton sudah dipenuhi oleh para Lord
dan Lady bangsawan, beberapa warga kota yang kaya raya, dan 20-an Ksatria yang memutuskan untuk
tidak ikut bertanding hari ini. Dunk tidak melihat Pangeran Maekar, namun ia mengenali Pangeran
Baelor, di sebelah Lord Ashford. Gesper bahu di jubah dan mahkota kecil yang berada di dahinya
berkilau terkena sinar matahari. Namun, pakaian yang ia kenakan jauh lebih sederhana daripada
kebanyakan bangsawan lain. Sebenarnya, dengan rambut sehitam itu, Pangeran Baelor sama sekali tidak
mirip seorang Targaryen. Dunk mengatakan hal itu kepada Egg.

“Konon, Sang Pangeran mirip dengan ibunya,” kata Egg mengingatkan Dunk,” yang adalah seorang
Puteri dari Dorne.”

Kelima jagoan telah mendirikan tenda mereka di ujung utara dari rangkaian pagar pembatas untuk adu
tombak. Tenda mereka membelakangi sungai. Dua tenda terkecil berwarna oranye, dan perisai yang
digantung di pintu tenda itu bergambarkan matahari putih dan segitiga terbalik. Artinya, mereka adalah
anak-anak dari Lord Ashford, Androw dan Robert-kakak-kakak dari Sang Lady. Dunk tidak pernah
mendengar Ksatria lain membicarakan kehebatan mereka. Artinya, kemungkinan besar merekalah yang
akan gugur duluan.

Di samping tenda oranye, berdiri tenda berwarna hijau tua dan berukuran jauh lebih besar. Panji Mawar
Emas dari Highgarden berkibar di atasnya, dan lambang mawar emas itu juga terdapat di perisai besar
berwarna hijau yang terpasang di pintu tenda. “Itu Leo Tyrell, Lord penguasa Highgarden,” kata Egg.
“Aku tahu itu,” kata Dunk kesal. “Pak Tua dan aku pernah mengabdi di Highgarden jauh sebelum kau
lahir.” Dunk sendiri sudah hampir lupa akan masa-masa itu, namun Ser Arlan sering membicarakan Leo
Tyrell, atau yang dijuluki Leo Si Duri Panjang. Seorang jago adu tombak tanpa tanding, walaupun rambut
nya sudah berwarna putih keperakan. “Itu pasti Lord Leo yang sedang berdiri di samping tenda. Orang
yang badannya langsing, berjenggot kelabu, dan berpakaian berwarna hijau dan emas.”

“Ya.” kata Egg. “Aku pernah melihatnya sekali di King's Landing. Anda tidak akan mau menantang
dirinya, Ser.”

“Bocah, aku tidak butuh nasehatmu mengenai siapa yang harus kutantang.”

Tenda keempat dibuat dari potongan-potongan kain berbentuk intan segi empat yang dijahit berselang-
seling antara merah dan putih. Dunk tidak mengenali warna itu, tapi kata Egg itu tenda milik seorang
Ksatria yang berasal dari The Vale of Arryn bernama Ser Humfrey Hardyng. “Ia menang dalam kontes
pertarungan massal di Maidenpool tahun lalu, Ser. Dan ia menjatuhkan Ser Donnel of Duskendale,
Lord Arryn dan Lord Royce dalam adu tombak.”

Tenda terakhir milik Pangeran Valarr. Terbuat dari kain sutra hitam, dengan rangkaian bendera segitiga
berwarna merah tergantung di atapnya, terlihat bagaikan lidah api merah. Perisai yang terpasang di depan
tenda berwarna hitam mengkilap, dengan gambar naga berkepala tiga dari House Targaryen. Salah seorang
Kingsguard berdiri di samping perisai itu. Baju besinya yang putih mengkilap terlihat begitu mencolok
dengan latar belakang tenda berwarna hitam. Saat melihat sang Kingsguard di sana, Dunk bertanya-tanya,
apakah ada peserta yang berani menyentuh perisai milik Sang Naga. Bagaimanapun juga, Valarr adalah
cucu Raja, dan putra dari Pangeran Baelor “Breakspear”.

Ternyata kekuatiran Dunk tidak beralasan. Begitu terompet dibunyikan untuk memanggil para penantang,
kelima jagoan yang bertugas melindungi Sang Lady segera maju untuk membelanya. Dunk bisa
mendengar bisik-bisik penuh semangat dari para penonton, saat para penantang muncul satu per satu dari
ujung selatan. Satu per satu nama mereka diumumkan. Mereka berhenti di depan panggung penonton, lalu
menancapkan tombak mereka di tanah sebagai tanda penghormatan bagi Lord Ashford, Pangeran Baelor,
dan Sang Lady. Setelah itu, mereka berputar ke arah utara untuk memilih lawan. Lord Damon Lannister,
Sang Singa Kelabu dari Casterly Rock, menyentuh perisai milik Lord Tyrell. Sementara itu, putranya yang
berambut pirang, sekaligus calon penerusnya, Ser Tybolt Lannister, menantang putra tertua Lord Ashford.
Lord Tully dari Riverrun menyentuh perisai berpola berlian milik Ser Humfrey Hardyng. Ser Abelar
Hightower menyentuh perisai milik Pangeran Valarr, dan putra kedua Lord Ashford ditantang oleh Ser
Lyonel Baratheon, seorang Ksatria yang dijuluki Sang Badai Tertawa.

Para penantang bergerak kembali ke ujung Selatan untuk menantikan lawan mereka: Ser Abelar
berpakaian abu-abu keperakan, di perisainya ada lambang menara jaga dari batu yang di atasnya ada
api yang menyala; kedua Lannister berpakaian serba merah, memakai lambang singa emas Casterly
Rock; Sang Badai Tertawa, Ser Lyonel Baratheon, memakai baju berwarna kuning keemasan,
dengan lambang rusa jantan berwarna hitam di bagian dada dan perisainya, serta tanduk rusa dari
besi di atas helm besinya; Lord Tully memakai jubah dengan motif garis-garis biru dan merah, yang
terpasang di bahunya dengan sepasang gesper berbentuk ikan trout dari perak. Mereka mengarahkan
tombak mereka ke langit, tombak sepanjang 3,65 meter. Angin kencang membuat panji-panji mereka
berkibar-kibar.
Di ujung Utara lapangan, para Squire memegangi para kuda yang telah dirias, siap untuk dinaiki oleh
para jagoan. Mereka memakai helm besi mereka, lalu mengambil tombak dan perisai mereka.
Gaya mereka tidak kalah mewah dibandingkan dengan pihak lawan: Para bangsawan Ashford
mengenakan kain sutra oranye yang mengembang, Ser Humfrey memakai kain bermotifkan intan
berwarna merah-putih; Lord Leo Tyrell di atas kuda putih dengan memakai baju satin hijau
berhiaskan pola mawar emas, dan tentu saja Valarr Targaryen. Kuda Sang Pangeran berwarna hitam
pekat, sesuai dengan warna baju besi, tombak, perisai, dan pakaian yang ia kenakan. Di atas helm
besinya ada seekor naga berkepala tiga dengan sayap terkembang, berwarna merah menyala; naga
yang sama juga terdapat di perisainya yang berwarna hitam pekat. Setiap jagoan yang membela Sang
Lady mengikatkan sepotong kain sutra oranye di lengan mereka, sebagai tanda restu dari Sang Lady.

Saat para peserta bergerak ke posisi masing-masing, Padang Rumput Ashford menjadi sunyi senyap.
Lalu terompet dibunyikan, dan dalam sekejap, suasana hening berubah menjadi sorak-sorai. Sepuluh
pasang taji bersepuh emas memacu 10 ekor kuda perang yang tangguh. Ribuan suara mulai bersorak
sorai, 40 buah ladam kuda dari besi menghantam tanah dan merobek rumput. 10 buah tombak
diturunkan dan distabilkan posisinya. Lapangan itu seolah-olah akan berguncang, dan baik pihak
penantang maupun pihak yang bertahan berhadapan dalam bentrokan antara kayu dan baja. Dalam
sekejap kedua belah pihak sudah saling melewati satu sama lain, dan langsung berputar untuk kembali
maju menerjang. Lord Tully bergoyang-goyang di atas pelananya, namun ia masih sanggup menjaga
posisi duduknya. Saat semua orang menyadari bahwa semua 10 tombak yang diadu telah patah
semuanya, sorak-sorai tanda kepuasan bergema. Patahnya semua tombak adalah pertanda baik,
artinya Kejuaraan akan berjalan dengan sukses, dan juga merupakan bukti dari kemahiran para
pesertanya.

Para squire menyerahkan tombak baru kepada para peserta adu tombak untuk menggantikan tombak
patah yang telah mereka buang. Sekali lagi, taji pacu dikerahkan. Dunk bisa merasakan bumi bergetar
di bawah kakinya. Di atas bahunya, Egg bersorak kegirangan dan mengayun-ayunkan lengan kurusnya.
Sang Pangeran Muda, Valarr Targaryen, berkuda paling dekat dengan mereka. Dunk melihat ujung
tombak hitamnya menusuk lambang menara jaga di perisai milik lawan, lalu menusuk dada lawan.

Di saat yang hampir bersamaan, tombak milik Ser Abelar patah saat menusuk pelindung dada milik
Valarr. Kuda kelabu yang memakai aksesoris berwarna abu keperakan itu terdorong mundur akibat
hantaman tombak, dan Ser Abelar Hightower terlepas dari sanggurdinya lalu terbanting keras ke atas
tanah.

Lord Tully juga sudah di atas tanah, setelah dijatuhkan oleh Ser Humfrey Hardyng. Namun ia segera
bangkit dan mencabut pedang panjangnya. Ser Humfrey membuang tombaknya-yang belum patah-lalu
turun dari kuda untuk melanjutkan duel mereka. Ser Abelar tidak sekuat itu. Squirenya berlari ke lapangan,
melepas helm besinya, berteriak meminta tolong, lalu 2 orang pelayan memapah Ksatria itu di atas bahu
mereka kembali ke kemahnya. Di tempat lain, keenam Ksatria yang masih bertahan di atas kuda sedang
memacu kuda mereka untuk ronde ketiga. Semakin banyak tombak patah karena diadu, dan kali ini Lord
Leo Tyrell berhasil menusuk dengan jitu, sampai-sampai helm besi milik Sang Singa Kelabu terlepas dari
kepalanya. Tanpa helm besi untuk melindungi kepala, sang Lord penguasa Casterly Rock memberi salut
dengan tangannya lalu turun dari kuda pertanda menyerah kalah. Saat itu, Ser Humfrey telah menghajar
Lord Tully dan memaksanya untuk menyerah. Bukti bahwa ia juga mahir menggunakan pedang selain
tombak.

Tybolt Lannister dan Androw Ashford masih saling adu tombak sebanyak 3 kali lagi sebelum
Ser Androw akhirnya kehilangan perisai, terjatuh dari pelana, dan kalah. Adiknya mampu bertahan lebih
lama. Ia mengadu tombak sebanyak 9 kali dengan Ser Lyonel Baratheon-Sang Badai Tertawa. Di ronde
ke 10 mereka berdua sama-sama terjatuh dari atas pelana, lalu sama-sama bangkit dan meneruskan
pertarungan, kali ini pedang melawan gada. Akhirnya, dalam kondisi babak belur, Ser Robert Ashford
mengaku kalah. Namun, dari atas panggung penonton, ayahnya sama sekali tidak terlihat kesal. Memang
benar, kedua putra Lord Ashford tersingkir dari daftar peserta, namun mereka telah berjuang dengan
gagah berani melawan dua dari para Ksatria terbaik di seluruh Negeri 7 Kerajaan.
Walaupun begitu, aku harus berusaha lebih baik lagi, pikir Dunk sambil melihat sang pemenang dan pihak
yang kalah saling berangkulan dan berjalan bersama meninggalkan lapangan. Tidak cukup bagiku untuk
bertarung sebaik mungkin namun tetap kalah. Aku harus menang setidaknya di pertandingan pertama.
Kalau tidak, aku akan kehilangan segalanya.

Ser Tybolt Lannister dan Sang Badai Tertawa, Ser Lyonel Baratheon sekarang mengambil posisi bertahan,
menggantikan orang yang telah mereka kalahkan. Tenda-tenda oranye sudah dibongkar. Di sebelahnya,
Sang Pangeran Muda, Valarr Targaryen, sedang duduk santai di atas kursi lipat di depan tendanya yang
besar dan berwarna hitam. Helm besinya sudah dilepas. Rambutnya hitam seperti ayahnya, tapi di bagian
tengah berwarna terang. Seorang pelayan membawakan cawan perak dan ia minum.. Air, kalau dia bijak,
pikir Dunk. Anggur, kalau dia tidak bijak. Dunk bertanya-tanya apakah Valarr benar-benar mewarisi
keperkasaan ayahnya, atau hanya karena ia menghadapi lawan terlemah.

Suara terompet mengumumkan kehadiran 3 penantang baru. Nama-nama mereka pun diumumkan:
“Ser Pearse dari House Caron. Lord penguasa The Marches.” Sebuah harpa perak terlukis di atas
perisainya, walaupun mantelnya bermotifkan burung bulbul. “Ser Joseth dari House Mallister, dari
Seagard.” Ser Joseth memakai helm bersayap; di atas perisainya ada gambar seekor elang perak
terbang di atas langit biru nila.

“Ser Gawen dari House Swann, Lord penguasa Stonehelm di Cape of Wrath.” Sepasang angsa, hitam
dan putih, menjadi lambang keluarganya. Baik baju besi, jubah, dan aksesori kuda dari Lord Gawen uga
berwarna hitam-putih, sampai ke sarung pedang dan tombaknya.

Lord Caron, pemain harpa, penyanyi, sekaligus Ksatria terkenal, menyentuhkan ujung tombaknya ke
lambang mawar milik Lord Tyrell. Ser Joseth menyentuh lambang berlian milik Ser Humfrey Hardyng.
Dan sang Ksatria berpakaian hitam-putih, Lord Gawen Swann, menantang sang pangeran berpakaian
serba hitam yang dijaga oleh seorang Ksatria berpakaian serba putih. Dunk mengusap-usap dagunya.
Lord Gawen bahkan lebih tua daripada Pak Tua almarhum. “Egg, siapa yang paling tidak berbahaya
dari ketiga penantang ini?” tanya Dunk kepada bocah yang sedang duduk di atas bahunya, yang
tampaknya tahu banyak mengenai semua Ksatria ini.

“Lord Gawen,” kata si bocah segera. “Lawannya Valarr.”

“PANGERAN Valarr,” kata Dunk mengoreksinya. “Seorang Squire harus menjaga lidahnya tetap sopan,
Nak.”

Ketiga penantang mengambil posisi mereka sementara ketiga lawan mereka menaiki kuda mereka
masing-masing. Orang-orang memasang taruhan atas mereka, dan menyoraki jagoan pilihan mereka.
Namun Dunk mengarahkan pandangannya hanya kepada sang pangeran. Di babak pertama sang
pangeran berhasil menghantam perisai milik Lord Gawen, dan sama seperti ketika melawan
Ser Abelar Hightower, tombaknya bergeser dari perisai lawan. Hanya saja, kali ini tombaknya bergeser
ke luar, sehingga mengenai udara kosong. Tombak Lord Gawen patah ketika mengenai pelindung dada
sang pangeran. Sesaat, Pangeran Valarr kelihatannya akan terjatuh. Namun ia berhasil memulihkan posisi
duduknya.

Di babak kedua, Valarr mengayunkan tombaknya ke kiri. Ia mengincar dada lawan, namun justru
mengenai bahunya. Walaupun begitu, hantaman sang pangeran cukup untuk membuat sang ksatria tua
kehilangan tombaknya. Satu lengan kehilangan keseimbangan, dan Lord Gawen terjatuh. Sang pangeran
muda melompat turun dari kuda dan mencabut pedangnya, namun pria itu menggoyangkan tangan dan
mengangkat penutup wajahnya. “Aku menyerah, Yang Mulia,” serunya. “Anda bertarung dengan baik.”
Para bangsawan di panggung penonton ikut berseru, “Bagus! Bagus!” saat Valarr berlutut untuk
membantu sang bangsawan tua untuk bangkit berdiri.

“Apa bagusnya?” Egg mengeluh.

“Diam. Kalau tidak, kau boleh kembali ke perkemahan.”


Di tempat lain, Ser Joseth Mallister sedang digotong keluar lapangan dalam keadaan pingsan, sementara
Lord Caron dan Lord Tyrell saling menyerang dengan penuh semangat menggunakan kapak tumpul,
diiringi dengan sorak-sorai penonton. Dunk begitu sibuk mengamati Valarr Targaryen, sehingga ia nyaris
tidak melihat pertandingan mereka. Pangeran Valarr lumayan, tapi cuma segitu kemampuannya, pikir
Dunk. Aku punya peluang kalau melawannya. Kalau para dewa sedang berbaik hati, bisa saja aku
menjatuhkannya dari atas kuda. Kalau sudah bertarung tanpa kuda, berat badan dan tenagaku akan
unggul.

“Hajar dia!” seru Egg dengan riang, sambil bergoyang-goyang di atas bahu Dunk dengan penuh
semangat. “Hajar dia! Sikat! Ya! Dia di sana! Dia di sana!” Tampaknya Egg sedang menyoraki Lord
Caron. Sang pemain harpa sekarang memainkan jenis “musik” yang berbeda, dan terus mendesak Lord
Leo mundur seiring dengan beradunya kedua senjata mereka. Para penonton tampaknya terbagi rata
antara mereka berdua, sehingga sorakan dan caci maki terdengar jelas di sepanjang pagi itu.

Pecahan kayu dan cat beterbangan dari perisai Lord Leo ketika kapak Lord Pearse terus menerus
menghantami lambang mawar emas di perisai itu, sampai akhirnya perisai Lord Leo akhirnya pecah dan
hancur berkeping-keping. Namun, sesaat, mata kapak milik Lord Pearse menancap di kayu perisai itu.
Lord Leo langsung membacokkan kapaknya ke gagang kapak milik lawan. Gagang kapak Lord Caron
patah beberapa sentimeter dari tangannya. Lord Leo membuang perisainya yang telah hancur, dan
sekarang gantian mengambil posisi menyerang. Dalam sekejap, Lord Caron bertekuk lutut dan menyerah.

Dari pagi sampai siang pertandingan seperti ini terjadi berulang-ulang. Para penantang berbaris masuk
lapangan berdua atau bertiga, kadang-kadang berlima sekaligus. Terompet dibunyikan, nama-nama
penantang diumumkan, kuda perang menerjang maju, para penonton bersorak, tombak-tombak
berpatahan, dan pedang beradu dengan helm besi dan baju besi. Baik kaum bangsawan maupun rakyat
jelata sepakat, hari ini adu tombaknya luar biasa bagus. Ser Humfrey Hardyng dan Ser Humfrey Beesbury,
seorang Ksatria muda yang gagah berani berpakaian garis-garis hitam kuning dengan lambang 3 buah
sarang lebah di perisainya, menghancurkan tidak kurang dari selusin tombak dalam sebuah pertarungan
epik yang dijuluki orang-orang “Pertempuran Antar Humfrey.” Ser Tybolt Lannister dijatuhkan dari
kudanya oleh Ser Jon Penrose dan pedangnya patah saat ia terjatuh. Namun, ia melawan balik hanya
dengan perisai, meraih kemenangan, dan berhasil mempertahankan posisinya. Ser Robyn Rhysling,
seorang Ksatria bermata satu yang sudah tua dan beruban, dengan jenggot berwarna campuran hitam dan
putih, kehilangan helmnya saat ditusuk oleh tombak Lord Leo di babak pertama. Walaupun begitu, ia
menolak untuk menyerah. Mereka beradu tombak 3 kali lagi. Angin meniup rambut Ser Robyn sementara
pecahan tombak beterbangan bagai pisau kayu ke arah wajahnya yang tidak dilindungi apapun. Dunk
menjadi semakin kagum, ketika Egg memberitahunya bahwa Ser Robyn kehilangan matanya akibat
terkena pecahan tombak kurang dari 5 tahun yang lalu. Leo Tyrell, sebagai seorang ksatria sejati, tidak mau
membidik kepala Ser Robyn yang tidak memakai pelindung. Walaupun begitu, keberanian dan tekad keras
kepala (atau kebodohan?) dari Ser Robyn Rhysling membuat Dunk tercengang. Akhirnya, Lord Tyrell
menusuk pelindung dada Ser Robyn tepat di atas jantungnya, membuatnya terpelanting jatuh ke atas tanah.

Ser Lyonel Baratheon juga bertarung dalam beberapa pertandingan penting. Saat menghadapi lawan yang
lebih ringan, ia seringkali tertawa terbahak-bahak saat mereka memilih perisainya. Ser Lyonel akan terus
tertawa terbahak-bahak sambil menaiki kuda, maju menyerang, dan menghantam mereka jatuh.
Jika si penantang memakai lambang tertentu di atas helmnya, Ser Lyonel akan menghantam lambang itu
sampai lepas, dan melemparkannya ke arah penonton. Lambang semacam ini biasanya berupa hiasan dari
ukiran kayu atau kulit, dan kadang-kadang disepuh perak, atau kadang bahkan terbuat dari perak murni.
Akibatnya, lawan yang dikalahkan oleh Ser Lyonel membenci kebiasaannya itu, walaupun rakyat jelata
justru sangat menyukainya. Tidak lama kemudian, hanya para peserta yang tidak memakai hiasan
di helmnya yang mau memilihnya sebagai lawan tanding. Walaupun Ser Lyonel berulang kali tertawa
terbahak-bahak saat mengalahkan para penantangnya, Dunk berpikir bahwa penghormatan untuk hari ini
seharusnya diberikan ke Ser Humfrey Hardyng, yang telah menaklukkan 14 orang Ksatria, dan semuanya
tangguh.
Sementara itu, sang pangeran muda duduk di depan tenda hitamnya, minum dari cawan peraknya,
Dan berulang kali bangkit berdiri, menaiki kudanya, dan mengalahkan lawan yang tidak terkenal.
Dia telah memenangkan 9 pertandingan, namun kelihatannya bagi Dunk semuanya itu kemenangan
kosong. Sang pangeran mengalahkan orang tua, Squire yang baru saja diangkat menjadi Ksatria,
dan beberapa bangsawan tinggi namun berkemampuan rendah. Para penantang yang benar-benar tangguh
dan berbahaya justru memilih untuk melewati perisainya, seolah-olah mereka tidak melihat perisai itu.

Belakangan, bunyi terompet mengumumkan kedatangan seorang penantang baru. Dia menunggangi
seekor kuda besar berwarna merah. Kuda itu memakai pakaian pelindung berwarna hitam. Di balik baju
pelindung hitam itu sekilas terlihat kain berwarna kuning, merah dan oranye. Saat pria itu mendekati
panggung penonton untuk memberi salam, Dunk melihat wajah di balik pelindung muka yang terangkat,
dan ia mengenali pangeran yang berjumpa dengannya di kandang kuda milik Lord Ashford.

Mendadak, sepasang kaki Egg menjepit leher Dunk kuat-kuat.

“Hentikan!” seru Dunk sambil membuka jepitan kedua kaki itu. “Apa kau mau mencekik leherku?”

“Pangeran Aerion 'Brightflame',” namanya diumumkan, “dari Red Keep, King's Landing. Putra dari
Maekar Targaryen, Pangeran penguasa Summerhall. Cucu dari Daeron 'Sang Raja yang Baik' II
Targaryen, Raja kaum Andal, Rhoyne, dan First Men, dan Lord penguasa Negeri 7 Kerajaan.”

Aerion memakai lambang Naga berkepala tiga di perisainya, namun lebih berwarna-warni daripada milik
Valarr. Naganya miliknya masing-masing berkepala oranye, kuning, dan merah. Mereka menyemburkan
lidah api berwarna kuning keemasan. Jubahnya bermotifkan gulungan api dan asap. Di atas helm
hitamnya ada hiasan berupa lidah api berwarna merah.

Aerion berhenti sejenak untuk menurunkan tombak sesaat di hadapan Pangeran Baelor. Ia melakukannya
asal saja. Dari situ, ia segera memacu kudanya ke ujung Utara lapangan, melewati tenda Lord Leo Tyrell
maupun Sang Badai Tertawa. Ia menurunkan kecepatan hanya saat mendekati tenda Pangeran Valarr.
Sang Pangeran berdiri kaku di samping perisainya. Sesaat, Dunk mengira Aerion bermaksud menyentuh
perisai milik Valarr...namun Aerion tertawa dan melewatinya. Aerion menusukkan ujung tombaknya ke
perisai berlambang berlian milik Ser Humfrey Hardyng. “Ayo keluar, Ksatria kecil,” Aerion berseru dala
m suara yang jelas dan keras. “Sudah saatnya bagimu untuk menghadapi Sang Naga.”

Ser Humfrey menengadahkan kepalanya ke arah lawan sementara kudanya dibawa keluar, lalu ia
mengabaikan sang pangeran sementara ia menaiki kudanya, memasang helm besinya, dan mengambil
tombak dan perisainya. Para penonton terdiam saat kedua Ksatria itu mengambil posisi masing-
masing. Dunk mendengar bunyi pelindung mata di helm Pangeran Aerion diturunkan. Terompet pun
berbunyi.

Ser Humfrey bergerak perlahan, setahap demi setahap menambah kecepatan. Namun lawannya
memacu kuda merahnya dengan kedua tajinya, menerjang sekuat tenaga. Kedua kaki Egg
mengencang lagi. “Bunuh dia!,” mendadak Egg berseru, “Bunuh dia! Dia persis di sana. Bunuh
dia!...Bunuh dia!...Bunuh dia!...” Dunk tidak yakin kepada Ksatria yang mana Egg berteriak.

Tombak Pangeran Aerion, yang ujungnya berlapis emas dan dicat berselang-seling antara warna
merah, oranye, dan kuning, mengayun ke bawah melewati pagar rintangan. Terlalu rendah, pikir Dunk
saat melihat hal itu. Aerion tidak akan mengenai lawannya tapi justru akan menusuk kuda milik Ser
Humfrey. Aerion seharusnya menaikkan tombaknya. Mendadak, dengan perasaan ngeri, Dunk mulai
curiga kalau Aerion memang tidak bermaksud menaikkan tombaknya. Jangan-jangan dia
bermaksud...
Di detik-detik terakhir, kuda Ser Humfrey mencoba mengelak dari tusukan tombak dengan mata
penuh ketakutan. Namun, terlambat. Tombak Aerion menusuk tepat di atas pelindung tulang dada
kuda itu, dan tembus di belakang lehernya sambil menyemburkan darah. Sambil menjerit, kuda itu
ambruk ke samping, menimpa pagar pembatas sampai hancur. Ser Humfrey mencoba melompat,
namun kakinya tersangkut, dan para penonton mendengar ia menjerit saat kakinya hancur terjepit
di antara pecahan pagar dan kuda yang ambruk.

Seisi Lapangan Ashford Meadow menjerit. Orang-orang berlarian ke lapangan untuk menolong Ser
Humfrey. Namun kudanya, yang sedang menderita dan sekarat, menendangi mereka yang datang
mendekat. Aerion, yang dengan cueknya berkuda mengitari kekacauan itu ke ujung lapangan,
mengarahkan kudanya dan segera berbalik arah. Aerion juga berteriak, walaupun Dunk tidak bisa
mendengar apa yang ia katakan karena tertutup oleh suara kuda yang sekarat itu. Sambil melompat
turun dari pelana, Aerion mencabut pedangnya dan maju mendekati lawannya yang telah roboh itu.
Baik Squire dari Aerion maupun Squire dari Ser Humfrey harus menarik dia mundur. Egg menggeliat
di atas bahu Dunk. “Turunkan aku,” kata bocah itu. “Kuda yang malang...turunkan aku...”

Dunk sendiri merasa muak. Apa yang akan kulakukan kalau kejadian ini menimpa Thunder? Seorang
prajurit membawa kapak panjang menghabisi nyawa kuda Ser Humfrey, mengakhiri jeritannya yang
mengerikan. Dunk berbalik dan menerobos paksa kerumunan orang. Saat tiba di lapangan terbuka,
Dunk menurunkan Egg dari bahunya. Kerudung yang menutupi kepalanya telah terlepas, dan matanya
merah. “Ya, memang pemandangan yang mengerikan,” katanya kepada bocah itu, “tapi, seorang
Squire harus bisa menguatkan diri. Kurasa kelak kau akan melihat kecelakaan yang lebih buruk
di Kejuaraan-Kejuaraan lainnya.”

“Itu bukan kecelakaan,” kata Egg dengan mulut gemetar.


“Aerion memang sengaja. Anda lihat sendiri.”

Dunk mengerutkan dahi. Memang di mata Dunk kelihatannya juga begitu. Tapi, sulit untuk menerima
kalau ada Ksatria yang begitu tidak ksatria, apalagi dari keturunan Targaryen. “Yang kulihat, ada
seorang Ksatria yang masih hijau kehilangan kendali atas tombaknya,” Dunk bersikeras
mengatakannya,” dan aku tidak mau lagi mendengar komentarmu. Kurasa acara adu tombak sudah
selesai untuk hari ini. Ayo, Bocah.”

Dunk benar. Kejuaraan hari ini telah usai. Saat kekacauan tadi telah dibereskan, matahari sudah berada
di Barat. Lord Ashford pun menyatakan bahwa kejuaraan dihentikan.

000

Saat bayangan malam mulai menutupi padang rumput itu, ratusan obor dinyalakan di sepanjang barisan
pedagang. Dunk membeli segelas bir untuk dirinya sendiri dan setengah gelas untuk Egg agar ia
terhibur. Mereka berkeliling untuk sementara waktu, mendengarkan alunan musik ceria dari suling
dan drum, sambil menonton sandiwara boneka mengenai Nymeria, Sang Ratu Pejuang dengan 10.000
kapalnya. Sang dalang hanya punya 2 kapal, tapi tetap bisa menampilkan aksi pertempuran di laut.
Dunk ingin bertanya kepada Tanselle apakah ia sudah selesai melukis perisainya, namun Dunk bisa
melihat kalau Tanselle sedang sibuk. Akan kutunggu sampai dia selesai malam ini, Dunk memutuskan.
Mungkin waktu itu dia sedang haus.

“Ser Duncan,” sebuah suara memanggil di belakangnya. Lalu berkata lagi, “Ser Duncan.” Mendadak
Dunk teringat kalau itu adalah namanya sendiri. “Kulihat Anda di tengah-tengah rakyat jelata hari ini,
dengan bocah ini di atas bahu Anda,” kata Raymun Fossoway sambil mendekat dan tersenyum.
“Kalian berdua memang sangat menonjol.”

“Bocah ini Squire-ku. Egg, ini Raymun Fossoway.” Dunk harus menarik Egg maju, itu pun Egg
masih menundukkan kepalanya dan menatap sepatu bot Raymun sambil bergumam mengucapkan
salam.
“Salam kenal, Bocah,” kata Raymun dengan santai. “Ser Duncan, kenapa Anda tidak menonton dari
atas panggung? Semua Ksatria diijinkan naik ke sana.”

Dunk merasa nyaman di antara rakyat jelata dan para pelayan; mengambil tempat di antara para Lord,
Lady, dan Ksatria pemilik tanah membuatnya merasa tidak nyaman. “Aku tidak akan mau menonton
adu tombak yang terakhir itu dari jarak yang lebih dekat lagi.”

Raymun nyengir. “Aku juga. Lord Ashford menyatakan Ser Humfrey pemenangnya dan memberikan
kuda milik Pangeran Aerion kepadanya. Namun, walaupun demikian, Ser Humfrey tidak akan bisa
terus bertanding. Kakinya patah di 2 tempat. Pangeran Baelor mengutus Maester pribadinya untuk
merawat Ser Humfrey.”

“Akankah ada jagoan lain yang menggantikan Ser Humfrey?”

“Lord Ashford sempat berpikir untuk memberikan posisi itu kepada Lord Caron, atau mungkin kepada
Ser Humfrey yang satunya lagi, yang bertanding dengan baik melawan Hardyng. Namun Pangeran
Baelor berkata kepada Lord Ashford bahwa dalam kondisi seperti ini, kurang pantas kalau perisai dan
tenda Ser Humfrey harus disingkirkan. Kurasa mereka akan meneruskan pertandingan dengan 4
jagoan saja, bukannya 5.”

4 jagoan, pikir Dunk. Leo Tyrell, Lyonel Baratheon, Tybolt Lannister, dan Pangeran Valarr. Dunk
sudah melihat cukup banyak di hari pertama ini untuk menyadari betapa kecilnya peluang untuk
menang jika harus berhadapan dengan 3 orang pertama. Artinya, tinggal satu nama...

Seorang Ksatria pengelana tidak mungkin menantang seorang pangeran. Valarr berada di urutan kedua
calon pewaris tahta Iron Throne. Dia putra Pangeran Baelor, dan darahnya adalah darah dari Raja
Aegon Sang Penakluk, Raja Daeron Sang Naga Muda, dan Pangeran Aemon Sang Ksatria Naga. Dan
aku sendiri cuma seorang pemuda yang ditemukan oleh Pak Tua di belakang kedai sop di kawasan
Flea Bottom.

Memikirkan hal itu saja membuat kepalanya sakit. “Siapa yang akan ditantang oleh sepupumu?” tanya
Dunk kepada Raymun.

“Ser Tybolt. Mereka hampir setara di semua bidang. Mereka akan jadi lawan tanding yang sesuai.
Namun, sepupuku mengawasi semua pertandingan dengan seksama. Jika besok ada yang terluka, atau
menunjukkan tanda-tanda kelelahan maupun kelemahan, Steffon pasti akan menantangnya.
Percayalah. Dia bukan tipe orang yang sangat menjunjung sifat Ksatria.” Raymun tertawa, seolah-
olah ingin meringankan dampak dari perkataannya. “Ser Duncan, maukah kau menemaniku minum
secawan anggur?”

“Ada masalah yang harus kuurus,” kata Dunk, merasa tidak nyaman untuk menerima tawaran yang
tidak akan bisa ia balas kembali.

“Aku bisa menunggu di sini dan membawakan perisai Anda ketika sandiwara bonekanya selesai, Ser,”
kata Egg. “Mereka akan mementaskan sandiwara tentang Symeon Star-Eyes setelah ini, dan juga
menampilkan atraksi Naga bertarung.”

“Nah, Anda lihat? Masalah Anda sudah ada yang mengurusnya, dan anggur kita sudah menunggu,”
kata Raymun. “Anggurnya juga anggur berkualitas dari Kawasan Arbor. Masakan Anda tega menolak
ajakanku?”

Kehabisan alasan, Dunk tidak punya pilihan kecuali ikut. Ia meninggalkan Egg di sandiwara boneka.
Gambar apel dari House Fosssoway berkibar di atas tenda berwarna keemasan di mana Raymund
melayani sepupunya. Di belakang tenda, 2 orang pelayan sedang mengolesi daging kambing dengan
madu dan rempah-rempah di atas api kecil. “Ada makanan juga, jika Anda lapar,” kata Raymun asal-
asalan sambil menahan pintu kemah bagi Dunk. Sebuah tungku arang menerangi bagian dalam tenda
itu dan membuat hawa terasa hangat dan menyenangkan. Raymun mengisi 2 cawan dengan anggur.
“Mereka bilang, Aerion marah kepada Lord Ashford karena memberikan kuda miliknya kepada Ser
Humfrey,” katanya sambil menuang anggur. “Tapi aku berani taruhan, pasti pamannya yang
menyarankan hal itu,” katanya sambil menyodorkan cawan anggur kepada Dunk.

“Pangeran Baelor adalah seorang pria terhormat.”

“Dan Sang ‘Pangeran Menyala’ justru sebaliknya?” Raymun tertawa. “Tidak usah cemas begitu, Ser
Duncan. Di sini cuma ada kita berdua. Sudah rahasia umum kalau Aerion itu brengsek. Bersyukurlah
kepada Para Dewa dia berada di urutan bawah dari daftar ahli waris tahta.”

“Anda yakin Aerion benar-benar bermaksud membunuh kuda itu?”

“Tidak diragukan lagi. Kalau Pangeran Maekar ada di sana, aku yakin ceritanya akan berbeda. Konon,
katanya, Aerion akan selalu penuh senyum dan bertindak penuh ksatria selama diawasi oleh ayahnya.
Tapi, kalau tidak...”

“Kulihat kursi Pangeran Maekar kosong.”

“Ia meninggalkan Ashford untuk mencari anak-anak lelakinya, dengan Ser Roland Crakehall dari
Kingsguard. Menurut gosip yang beredar, ada Ksatria perampok terlibat. Tapi aku berani taruhan,
paling-paling sang pangeran sedang mabuk lagi.”

Anggurnya bagus dan sari buahnya terasa. Anggur terenak yang pernah Dunk rasakan. Ia menelan
anggur itu lalu berkata, “pangeran yang mana lagi ini sekarang?”

“Calon ahli waris Maekar. Daeron. Namanya sama dengan nama Sang Raja. Mereka menjulukinya
Daeron Si Pemabuk, walaupun tentu saja di luar sepengetahuan ayahnya. Putra bungsunya juga
sedang bersama-sama dengan Daeron. Mereka berangkat dari Summerhall bersama-sama, tapi sampai
sekarang belum tiba di Ashford. Raymon menghabiskan anggurnya dan menyingkirkan cawan itu.
“Pangeran Maekar yang malang.”

“Malang?” kata Dunk terkejut. “Dia kan putra Raja?”

“Putra ke-4 dari Sang Raja,” kata Raymun,” tidak segagah Pangeran Baelor, tidak sepandai Pangeran
Aerys, dan tidak sebaik hati Pangeran Rhaegel. Dan sekarang, Maekar harus melihat anak-anaknya
juga kalah dibandingkan dengan anak-anak dari kakak-kakaknya. Daeron pemabuk, Aerion sombong
dan kejam, dan anak ketiga, saking tidak ada harapan, ia dikirim ke Citadel untuk dijadikan Maester,
dan si bungsu...”

“Ser! Ser Duncan!” Egg menerobos masuk dengan nafas terengah-engah. Kerudungnya terbuka, dan cahaya
dari tungku memancar di matanya yang besar dan hitam. “Cepatlah lari ke sana. Dia sedang menyiksanya!”

Dunk segera bangkit, kebingungan. “Siksa? Siapa?”

“Aerion!” seru bocah itu,” Dia menyiksanya. Si gadis dalang boneka. Cepatlah.” Sambil berputar,
Egg segera berlari menuju kegelapan malam.

Dunk hendak menyusulnya, namun Raymun memegang lengannya. “Ser Duncan. Dia bilang, Aerion.
Seorang Pangeran berdarah Raja. Hati-hati.”

Dunk tahu bahwa itu nasehat yang baik. Pak Tua pasti juga akan berkata demikian. Tapi Dunk tidak
mau mendengarkan. Ia menarik lengannya dari tangan Raymun dan keluar dari tenda. Dunk bisa
mendengar suara teriakan dari arah barisan pedagang. Egg nyaris tak terlihat. Dunk berlari
mengejarnya. Kakinya lebih panjang dari kaki si bocah; tidak lama kemudian Dunk berhasil
menyusul.

Sekumpulan orang sudah berkumpul di sekeliling si gadis dalang sandiwara boneka itu. Dunk
menerobos masuk, tanpa menghiraukan omelan mereka. Seorang prajurit berseragam Kerajaan maju
untuk menghadangnya. Dunk meletakkan tangan di atas dadanya dan mendorong dengan keras,
sehingga pria itu terjungkal ke belakang dan tergeletak di atas tanah.

Kios sandiwara boneka itu telah ambruk dihantam. Wanita Dorne yang gemuk itu terduduk di atas
tanah, menangis. Seorang prajurit sedang memegangi boneka Florian dan Jonquil, sementara
rekannya membakar kedua boneka itu dengan obor. Tiga orang prajurit membongkar peti-peti,
mengeluarkan boneka-boneka yang tersimpan di dalamnya dan menginjak-injak boneka-boneka itu.
Boneka naga hancur berantakan. Potongan sayapnya di sebelah sini, kepalanya di sana, ekornya patah
menjadi 3 bagian. Dan di tengah-tengah kekacauan itu berdirilah Pangeran Aerion, berpenampilan
mewah dengan memakai jaket sutra merah berlengan panjang, memelintir lengan Tanselle dengan
kedua tangannya. Tanselle sedang berlutut, memohon ampun kepadanya. Aerion tidak peduli. Aerion
membuka paksa tangan Tanselle, dan memegang salah satu jarinya. Dunk berdiri bengong di sana,
nyaris tidak percaya akan apa yang dia lihat. Lalu Dunk mendengar bunyi jari dipatahkan dan Tanselle
menjerit.

Salah seorang anak buah Aerion mencoba menangkap Dunk, dan langsung terpental. Dalam 3 langkah
panjang Dunk segera menghampiri Sang Pangeran, merenggut bahunya, dan memutar balik tubuhnya
dengan paksa. Dunk melupakan pedang, pisau, dan semua ajaran dari Pak Tua. Tinju Dunk membuat
Aerion terpental, dan ia menyepak ke dalam perut Sang Pangeran. Saat Aerion hendak mencabut
pisau, Dunk menginjak pergelangan tangannya, dan menendangnya sekali lagi, kali ini di mulutnya.
Dunk mungkin akan menendangi Sang Pangeran sampai mati di tempat itu juga, kalau saja anak buah
Sang Pangeran tidak datang mengeroyoknya. Baru saja Dunk melepaskan diri dari satu orang, dua
orang temannya menyusul.

Akhirnya mereka berhasil membekuk Dunk dan memegangi tangan dan kakinya. Aerion kembali
bangkit berdiri. Mulutnya berdarah. Aerion memasukkan jarinya ke dalam mulutnya. “Kau telah
membuat satu gigiku copot,” keluhnya, “jadi, kita mulai dengan kuhancurkan semua gigimu.” Aerion
mengusap rambut yang menutupi matanya. “Sepertinya aku kenal dirimu.”

“Anda mengira diriku penjaga kandang kuda.”

Aerion tersenyum dengan mulutnya yang berlumuran darah. “Aku ingat sekarang. Kau menolak
mengurus kudaku. Kenapa kau sia-siakan hidupmu? Demi pelacur ini?” Tanselle terduduk di atas
tanah sambil memegangi tangannya yang cacat. Aerion menunjuk Tanselle dengan ujung kakinya.
“Gadis ini sama sekali tidak pantas untuk dibela. Dia seorang pengkhianat. Naga tidak boleh kalah.”

Dia gila, pikir Dunk. Tapi, dia tetap anak seorang Pangeran, dan dia bermaksud untuk membunuhku.
Mungkin waktu itu seharusnya Dunk berdoa saja, kalau dia tahu cara berdoa dengan lengkap. Tapi,
waktu itu sudah tidak keburu. Bahkan untuk khawatir sekalipun.

“Tidak ada lagi yang mau kaukatakan?” kata Aerion. “Kau membuatku bosan, Ser.” Aerion kembali
menyentuh mulutnya yang berlumuran darah. “Ambil palu, dan hancurkan semua giginya, Wate,”
perintahnya, “lalu belah perutnya dan perlihatkan kepada orang ini apa warna dari isi perutnya.”

“Jangan!” suara seorang bocah terdengar, “Jangan lukai dia!”

Demi Para Dewa, itu si bocah. Bocah pemberani, tapi bodoh, pikir Dunk. Dunk berusaha melepask
an diri dari tangan-tangan yang menahan dirinya, tapi sia-sia. “Jaga bicaramu, bocah bodoh. Cepat
lari. Mereka akan menyakitimu!”

“Mereka tidak akan menyakitiku.” Egg bergerak maju. “Jika mereka berani melakukan hal itu,
mereka harus bertanggung jawab kepada ayahku. Dan juga pamanku. Sudah kubilang, lepaskan dia.
Wate, Yorkel, kalian tahu siapa diriku. Lakukan perintahku.”

Tangan yang mencengkram lengan kiri Dunk terlepas, disusul dengan lengan kanannya. Dunk tidak
memahami apa yang sedang terjadi. Para prajurit bergerak mundur. Salah sorang dari mereka
bahkan berlutut. Lalu Raymun Fossoway menerobos kerumunan massa. Ia telah memakai baju
pelindung dan pelindung kepala. Tangannya menggenggam pedang. Sepupunya, Ser Steffon, persis
di belakangnya. Dia juga sudah menghunus pedang. Selain mereka, ada juga setengah lusin prajurit
yang mengenakan lambang Apel Merah dari House Fossoway di dada mereka.

Pangeran Aerion sama sekali tidak mempedulikan mereka. “Bangsat cilik kurang ajar,” katanya
kepada Egg sambil meludahkan darah di dekat kaki bocah itu. “Apa yang terjadi pada rambutmu?”

“Aku mencukurnya, Kakak, “ kata Egg. “Aku tidak sudi punya penampilan serupa dengan dirimu.”

***

Hari kedua Kejuaraan cuacanya mendung. Angin kencang bertiup dari arah Barat. Penonton
seharusnya berkurang di hari seperti ini, pikir Dunk. Mereka akan lebih mudah mencari tempat
di dekat pagar untuk menonton adu tombak dari jarak dekat. Egg akan duduk di atas pagar,
sementara aku berdiri di belakangnya.

Namun, sebaliknya, Egg akan duduk di panggung kehormatan, berpakaian kain sutra dan mantel
bulu. Sementara Dunk hanya bisa melihat keempat tembok menara penjara di mana ia dikurung oleh
anak buah Lord Ashford. Ruang tempat Dunk dipenjara memiliki jendela, tapi jendela itu
menghadap ke arah yang salah. Walaupun demikian, Dunk memaksakan diri duduk di pinggir
jendela itu di saat matahari terbit, dan memandang dengan murung ke arah kota, ladang dan hutan
di seberang. Mereka telah menyita sabuk jerami, pedang dan belati miliknya. Mereka juga menyita
uang perak miliknya. Dunk berharap Egg atau Raymun ingat akan kudanya, Chestnut dan Thunder.

“Egg,” Dunk menyebut nama itu perlahan. Squire-nya, bocah malang yang berasal dari jalanan
King’s Landing. Pernahkah ada seorang Ksatria sebodoh dirinya? Dunk si bodoh, dengan otak
sepadat tembok kastil dan selamban seekor sapi.

Dunk belum diizinkan untuk berbicara dengan Egg sejak pasukan Lord Ashford menjemput mereka
semua dari arena tempat sandiwara boneka itu. Begitu juga Raymun, Tanselle, dan siapapun juga,
termasuk Lord Ashford sendiri. Dunk bertanya-tanya apakah ia akan pernah melihat mereka lagi.
Setahu dirinya, mereka akan mengurungnya di ruangan kecil ini sampai ia meninggal. Memangnya
kaupikir apa yang akan terjadi? Tanya Dunk dengan getir kepada dirinya sendiri. Aku telah
menghajar roboh putra seorang Pangeran dan menendang wajahnya.

Di bawah langit kelabu, pakaian mewah dari para bangsawan tinggi dan juara tidak akan terlihat
semegah hari sebelumnya. Karena tertutup awan, sinar matahari tidak akan membuat helm baja
mereka, yang dihiasi dengan ukiran emas dan perak, berkilau memantulkan cahaya. Walaupun
demikian, Dunk tetap berharap bisa berada di tengah-tengah massa untuk menonton kejuaraan adu
tombak. Hari ini akan jadi hari yang baik bagi kaum Ksatria Pengelana, mereka yang memakai baju
besi polos sederhana dan menunggangi kuda biasa tanpa baju pelindung.
Akhirnya, Dunk bisa mendengarkan suara mereka. Bunyi terompet pengumuman terdengar jelas.
Dari waktu ke waktu teriakan massa terdengar membahana, memberitahu Dunk bahwa seseorang
telah terjatuh, bangkit, atau melakukan sesuatu yang luar biasa berani. Sayup-sayup Dunk
mendengarkan suara derap kaki kuda, dan sesekali suara pedang beradu atau bunyi tombak patah.
Dunk mengejapkan mata setiap kali mendengar bunyi tombak patah; ia jadi teringat bunyi ketika
jari Tanselle dipatahkan oleh Aerion. Ada juga suara-suara lain, yang lebih dekat kepadanya: bunyi
langkah kaki di aula di balik pintu selnya, bunyi derap kaki kuda di lapangan di bawahnya, suara
teriakan dan panggilan dari dinding kastil. Kadang suara-suara itu menutupi bunyi dari kejuaraan.
Bagi Dunk, semuanya sama saja.

“Ksatria Pengelana adalah Ksatria sejati, Dunk,” kata Pak Tua kepadanya, dulu sekali. “Ksatria
lain melayani Lord yang mempekerjakan mereka, atau melayani Lord pemilik tanah tempat
mereka tinggal. Tapi, kita melayani di manapun kita mau, dan mengabdi kepada orang yang
memang kita yakini perjuangannya. Setiap Ksatria bersumpah untuk melindungi kaum lemah dan
tak berdosa.Tapi kitalah yang paling baik memegang sumpah itu, Kurasa.” Aneh rasanya
membayangkan kenangan itu terasa begitu kuat. Dunk sendiri sudah agak lupa akan perkataan itu.
Dan mungkin Pak Tua pun sudah melupakannya, menjelang akhir hidupnya.

Pagi beralih menjadi siang. Suara Kejuaraan dari kejauhan mulai mengecil dan akhirnya senyap.
Dunk mulai perlahan-lahan bergerak mundur kembali ke dalam selnya. Tapi Dunk masih duduk
di pinggir jendela, memandang ke arah kegelapan yang mulai berhimpun dan mencoba
mengabaikan perutnya yang kosong.

Kemudian Dunk mendengar suara langkah kaki dan bunyi gemerincing dari kunci besi. Dunk
bangkit meluruskan badan saat pintu sel terbuka. Dua pengawal masuk, salah satunya memegang
lentera. Seorang pelayan menyusul dengan membawa sebaki makanan. Di belakangnya muncullah
Egg. “Tinggalkan lentera dan makanan itu. Lalu pergilah,” perintah si bocah itu kepada mereka.

Mereka bergerak sesuai perintah, walaupun Dunk menyadari bahwa mereka membiarkan pintu kayu
yang berat itu sedikit terbuka. Aroma makanan membuat Dunk sadar betapa laparnya dirinya.
Ada roti panas, madu, semangkuk bubur, setusuk sate bawang dan daging. Dunk duduk di hadapan
nampan itu, menyobek roti dengan tangannya, dan memasukannya ke dalam mulutnya. “Tidak ada
pisau,” kata Dunk setelah mengamati baik-baik. “Mereka pikir aku akan menusukmu, Bocah?”

“Mereka tidak memberitahuku apa yang mereka pikirkan.” Egg mengenakan rompi ketat hitam
yang terbuat dari wol, dimasukkan ke dalam celana. Ia memakai kemeja lengan panjang dengan
lapisan dalam dari kain satin merah. Di dadanya ada sulaman lambang Naga Berkepala Tiga dari
House Targaryen. “Paman saya bilang, saya harus dengan rendah hati meminta maaf karena telah
membohongi Anda.”

“Pamanmu,” kata Dunk, “adalah Pangeran Baelor.” Bocah itu terlihat sangat sedih. “Saya tidak
pernah bermaksud untuk berbohong.”

“Tapi kau sudah terlanjur berbohong. Tentang segalanya. Dimulai dari namamu. Aku tidak pernah
mendengar ada Pangeran bernama ‘Egg’.”

“Itu kependekan dari ‘Aegon’. Kakakku, Aemon, memanggilku ‘Egg’. Dia sedang ada di Citadel
sekarang, belajar untuk menjadi seorang Maester. Dan Daeron kadang juga memanggilku ‘Egg’,
begitu juga kakak dan adik perempuanku.”

Dunk mengangkat satenya dan mulai menggigit. Daging kambing, diberi bumbu mahal yang belum
pernah dia rasakan. Lemak mengalir di sepanjang dagunya. “Aegon,” ulang Dunk. “Tentu saja
‘Aegon’. Dari Aegon Sang Naga. Sudah berapa banyak ‘Aegon’ yang menjadi Raja?”
“Empat,” jawab si bocah. “Empat Aegon.”

Dunk mengunyah, menelan, dan merobek rotinya. “Kenapa kaulakukan itu? Apakah itu sebuah
lelucon, untuk mengerjai seorang Ksatria pengelana yang bodoh?”

“Bukan.” Mata bocah itu dipenuhi dengan air mata, namun ia berdiri tegap dengan jantan.

“Saya seharusnya magang sebagai Squire kepada Daeron. Dia kakak sulungku. Saya belajar semua yang
harus saya ketahui agar bisa menjadi Squire yang baik. Tapi Daeron tidak terlalu bagus sebagai seorang
Ksatria. Ia tidak mau bertanding di atas kuda di dalam kejuaraan ini, jadi setelah kami meninggalkan
Summerhall, ia kabur dari pasukan pengawal kami. Tapi, bukannya kembali melalui jalan yang sama, ia
pergi langsung ke Ashfod, karena ia menduga mereka takkan mencari kami ke arah itu. Dialah yang
mencukur botak rambutku. Dia tahu ayahku akan mengirim pasukan untuk mencari kami. Daeron
berambut biasa, coklat terang, tidak khusus. Tapi rambutku sama seperti Aerion dan ayahku.”

“Darah Naga,” kata Dunk. “Rambut perak keemasan dan mata ungu. Semua orang tahu itu.”
Otakmu benar-benar padat seperti tembok kastil, Dunk.

“Ya. Maka Daeron mencukur habis rambutku. Ia bermaksud agar kami bersembunyi sampai
kejuaraan selesai. Tapi kemudian Anda mengira saya seorang bocah pengurus kandang kuda, dan...”

Egg menurunkan pandangan matanya. “Saya tidak peduli apakah Daeron mau ikut bertanding atau
tidak. Tapi saya ingin magang sebagai Squire kepada seseorang. Saya minta maaf, Ser.
Saya sungguh-sungguh menyesal.”

Dunk mengamati Egg dengan seksama. Dunk tahu bagaimana rasanya menginginkan sesuatu
sampai-sampai kau berani berbohong hanya agar bisa mendapatkan hal itu. “Kukira kau mirip
denganku,” katanya. “mungkin saja kau memang mirip. Tapi bukan seperti yang kupikirkan.”

“Kita masih sama-sama dari King’s Landing,” kata bocah itu dengan penuh harap.

Dunk mau tidak mau tertawa. “Ya. Kau dari bagian atas, dan aku dari bagian bawah.”

“Jaraknya tidak terlalu jauh, Ser.”

Dunk menggigit bawang. “Haruskah aku memanggilmu ‘Paduka’, ‘Yang Mulia’, atau
semacamnya?”

“Kalau sedang dalam pertemuan resmi, “ Egg mengakui. “Tapi, di kesempatan lain, Anda boleh
tetap memanggil saya Egg, kalau Anda mau, Ser.”

“Apa yang akan mereka lakukan kepadaku, Egg?”

“Pamanku ingin berjumpa dengan Anda. Setelah Anda selesai makan, Ser.”

Dunk menyingkirkan nampannya, lalu berdiri. “Kalau begitu, aku sudah selesai makan. Aku sudah
menendang mulut seorang Pangeran. Aku tidak mau membuat seorang Pangeran lain menantikan
diriku.”

Lord Ashford telah menyerahkan kamar pribadinya untuk digunakan oleh Pangeran Baelor selama
ia tinggal, jadi ke kamar pribadi Lord Ashfordlah Egg-bukan, Aegon, Dunk harus membiasakan diri
dengan nama itu-mengantar dirinya. Baelor sedang duduk sambil membaca diterangi oleh cahaya
lilin. Dunk berlutut di hadapannya. “Bangunlah,” kata Sang Pangeran. “Apakah Anda mau minum
anggur?”
“Terserah Anda, Yang Mulia.”

“Tuangkan Ser Duncan secawan anggur Dornish merah yang manis, Aegon,” perintah Sang
Pangeran. “Usahakan jangan sampai tumpah membasahi bajunya. Kau sudah cukup banyak
menyusahkan dirinya.”
Bocah itu tidak akan menumpahkannya, Yang Mulia,” kata Dunk. “Dia anak yang baik. Squire yang
baik. Dan dia tidak bermaksud menyusahkan saya. Saya tahu itu.”

“Orang tidak harus punya niat untuk mencelakai seseorang. Aegon seharusnya datang kepadaku
ketika ia melihat apa yang dilakukan oleh kakaknya kepada dalang sandiwara boneka itu. Tapi dia
malah lari kepada Anda. Itu bukan tindakan yang baik. Apa yang telah Anda lakukan, Ser...yah,
akupun mungkin akan melakukan hal yang sama seandainya aku berada di posisi Anda. Tapi aku
seorang Pangeran, bukan seorang Ksatria pengelana. Memukul cucu Raja dalam keadaan marah
bukanlah tindakan yang bijaksana, tidak peduli apapun penyebabnya.”

Dunk menganggukkan kepala dengan muram. Egg menyodorkan sebuah cawan perak kepadanya,
penuh dengan anggur. Dunk menerima cawan itu dan meneguk dalam-dalam.

“Aku benci Aerion,” kata Egg dengan penuh semangat. “Dan aku harus lari mencari Ser Duncan,
Paman. Kastilnya terlalu jauh.”

“Aerion adalah kakakmu,” kata Sang Pangeran tegas. “dan para Septon berkata bahwa kita harus
mengasihi saudara kita. Aegon, tinggalkan kami sekarang. Aku ingin berbicara dengan Ser Duncan
berdua saja.”

Bocah itu meletakkan guci anggur dan membungkuk kaku. “Baiklah, Yang Mulia.” Ia pergi keluar
pintu kamar dan menutupnya perlahan.

Baelor “Sang Pematah Tombak” mengamati mata Dunk dalam waktu yang cukup lama.
“Ser Duncan, izinkan saya mengajukan pertanyaan ini: sebagus apa kemampuan Anda sebagai
seorang Ksatria, sejujurnya? Sebagus apa Anda menggunakan senjata?”

Dunk tidak tahu harus bilang apa. “Ser Arlan mengajariku cara menggunakan pedang dan perisai,
dan menusukkan tombak di tiang sasaran.”

Pangeran Baelor tampaknya resah mendengar jawaban itu. “Adikku Maekar kembali ke kastil
beberapa jam yang lalu. Ia menemukan putra sulungnya dalam keadaan mabuk di sebuah
penginapan di arah Selatan, kira-kira sehari perjalanan dari sini. Maekar tidak akan mau
mengakuinya, tapi aku yakin diam-diam dia berharap agar anak-anaknya lebih berprestasi
dibandingkan dengan anak-anakku di kejuaraan ini. Tapi mereka berdua justru malah membuatnya
malu. Tapi, bisa apa dia? Mereka adalah darah dagingnya. Maekar marah, dan dia mencari sasaran
untuk melampiaskan kemarahannya itu. Dan dia telah memilih Anda.”

“Aku?” kata Dunk dengan sedih.

“Aerion sudah menceritakan versi kisahnya kepada ayahnya. Dan Daeron pun tidak membantu
Anda. Sebagai dalih atas sikap pengecutnya, Daeron memberitahu adikku bahwa seorang Ksatria
perampok berbadan besar, yang tidak sengaja dijumpainya di tengah jalan, menculik Aegon. Aku
khawatir Andalah yang dituduh sebagai si Ksatria perampok itu, Ser. Dalam kisah Daeron, dia
menghabiskan waktu berhari-hari mengejar Anda kesana kemari untuk merebut adiknya kembali.”

“Tapi Egg, maksud saya Aegon, akan mengatakan hal yang sebenarnya.”
“Egg akan memberitahukan kejadian sebenarnya kepada ayahnya. Aku yakin itu,” kata Pangeran
Baelor. “Tapi bocah itu juga ketahuan pernah berbohong, seperti yang Anda sendiri tahu. Putra yang
mana yang akan dipercayai oleh adikku? Mengenai dalang sandiwara boneka itu, saat Aerion
memutar balik kejadian sebenarnya, kesannya seolah-olah pengkhianatan terhadap Kerajaan. Naga
adalah Lambang Keluarga Raja. Memperagakan Naga terbunuh, dengan “darah” mengalir dari
lehernya...ya, sebenarnya sih tidak ada maksud jahat, tapi sama sekali tidak bijak. Aerion
menyebutnya sebagai serangan terselubung terhadap House Targaryen, hasutan untuk memberontak.
Dan Maekar kemungkinan besar akan setuju. Adikku gampang tersinggung, dan dia menaruh
seluruh harapannya kepada Aerion, sebab Daeron telah membuatnya sangat kecewa.” Sang
pangeran menghirup anggurnya, lalu menaruh cawan itu ke pinggir. “Apapun yang adikku percaya,
atau yang tidak mau ia percayai, ada satu hal yang tidak usah diperdebatkan lagi. Anda telah
menyakiti keturunan Raja, darah Sang Naga. Untuk pelanggaran itu, Anda harus disidang, diadili,
dan dihukum.”

“Dihukum?” Dunk tidak menyukai apa yang dia dengar.

“Aerion ingin mendapatkan kepalamu, baik dengan gigi utuh maupun tidak. Ia tidak akan
mendapatkan kepala Anda. Aku berjanji. Tapi, aku tidak bisa menolak permohonannya agar perkara
ini dibawa ke Pengadilan. Karena ayahku. Sang Raja, berada ratusan kilometer dari sini, aku dan
adikku yang akan mengadili Anda, bersama dengan Lord Ashford, tuan rumah di sini, dan Lord
Tyrell, atasan beliau. Terakhir kali ada orang yang divonis bersalah karena menyerang anggota
keluarga Raja, diputuskan bahwa tangan yang menyerang itu harus dipotong.”

“Tanganku?” kata Dunk terkejut.

“Dan kaki Anda. Anda juga menendangnya, kan?” Dunk tidak bisa berkata-kata.

“Tentu saja, aku akan mendesak rekan-rekanku sesama hakim untuk bermurah hati. Aku adalah
Hand of The King, dan calon pewaris tahta, Perkataanku punya pengaruh. Tapi, begitu juga perkataan
adikku. Di situlah resikonya.”

“Aku...,” kata Dunk, “...aku...Yang Mulia, aku...” mereka tidak bermaksud berkhianat, itu cuma
boneka Naga dari kayu, bukan bermakna pangeran kerajaan...Dunk ingin berkata demikian, tapi ia
sama sekali tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Dari dulu, Dunk memang tidak pandai
berbicara.

“Namun Anda punya pilihan lain,” kata Pangeran Baelor perlahan. “Apakah ini pilihan yang lebih
baik, atau justru lebih buruk, aku tidak bisa bilang. Tapi, kuingatkan kepada Anda, seorang Ksatria
yang dituduh melakukan kejahatan berhak meminta diadakan Trial by Combat. Jadi, kutanya sekali
lagi kepada Anda, Ser Duncan The Tall-sehebat apa Anda bertarung sebagai seorang Ksatria?
Sejujurnya?”

000

“Sebuah Trial of Seven,” kata Pangeran Aerion sambil tersenyum. “Aku yakin, itu hakku.”

Pangeran Baelor mengetukkkan jarinya ke meja sambil mengerutkan muka. Di sebelah kirinya,
Lord Ashford mengangguk perlahan. “Kenapa?” tanya Pangeran Maekar sambil bergerak menuju
ke arah putranya. “Apa kau takut menghadapi si Ksatria Pengelana ini sendirian, dan membiarkan
Para Dewa yang menentukan benar tidaknya tuduhanmu ini?”

“Takut?” kata Aerion,” terhadap orang macam ini? Yang benar saja, Ayah. Aku memikirkan kakak
tersayangku. Daeron juga menjadi korban kejahatan dari Ser Duncan ini, dan juga berhak menuntut
darahnya. Trial of Seven memungkinkan kami berdua untuk bersama-sama menghadapinya.”
“Tidak usah repot-repot membelaku, Adik,” gumam Daeron Targaryen. Sang putra sulung dari
Pangeran Maekar Targaryen ini bahkan kelihatannya lebih parah daripada sewaktu Dunk berjumpa
dengannya di penginapan. Kelihatannya kali ini dia sedang sadar, rompi merah-hitamnya tidak
terkena noda anggur. Tapi matanya memerah, dan keringat membanjiri dahinya. “Aku sudah cukup
puas berteriak memberimu semangat saat kau membantai si penjahat ini.”

“Kau terlalu baik, kakakku sayang,” kata Pangeran Aerion sambil tersenyum, “tapi akan terlalu egois
bagiku kalau kau tidak mendapat kesempatan untuk membuktikan perkataanmu dengan
mempertaruhkan kesehatan tubuhmu. Aku harus menuntut agar diadakan Trial of Seven.”

Dunk kebingungan. “Yang Mulia, para Paduka,” katanya ke mimbar sidang.


“Aku tidak mengerti. Apa itu Trial of Seven?”

Pangeran Baelor menggeser posisi duduknya. “Ini adalah bentuk lain dari Trial by Combat. Tradisi
kuno, jarang diadakan. Tradisi ini dibawa ke Westeros oleh Suku Andal dan Dewa Tujuh mereka.
Dalam Trial by Combat, baik pihak penuntut maupun terdakwa sama-sama memohon kepada para
dewa untuk memutuskan siapa di antara mereka yang benar dan salah. Suku Andal percaya bahwa
jika di masing-masing pihak ada 7 jagoan yang maju bertarung, Dewa Tujuh akan semakin
dihormati, sehingga lebih besar kemungkinan bagi mereka untuk ikut campur dalam pertarungan itu
dan memastikan bahwa hasilnya adil.”

“Atau, bisa jadi para dewa cuma menyukai adu pedang,” kata Lord Leo Tyrell. Senyum sinis
menghiasi bibirnya. “Apapun itu, Ser Aerion memang berhak memintanya. Jadi harus dalam bentuk
Trial of Seven.”

“Jadi saya harus menghadapi 7 orang?” tanya Dunk putus asa.

“Tidak sendirian, Ser, “ kata Pangeran Maekar dengan tidak sabar.

“Jangan pura-pura bodoh. Tidak akan mempan. Harus 7 lawan 7. Anda harus mencari 6 orang
Ksatria lain untuk bertarung bersama Anda.”

6 orang Ksatria, pikir Dunk. Sekalian saja mereka menyuruhku mencari 6000 orang. Dunk tidak punya
sanak saudara, tidak punya teman seperjuangan yang pernah bertarung bersama di medan perang. Buat apa
6 orang asing mempertaruhkan nyawa mereka untuk membela seorang Ksatria Pengelana menghadapi 2
orang PANGERAN? “Yang Mulia, Para Paduka,” kata Dunk, “bagaimana jika tidak ada yang mau
bertarung di pihakku?”

Maekar Targaryen memandang rendah kepada Dunk dengan dingin. “Jika kasus Anda layak dibela, orang
akan berjuang membela Anda. Jika Anda tidak bisa menemukan orang yang mau membela Anda, itu
karena Anda bersalah. Sudah cukup jelas?”

Duncan tidak pernah merasa begitu kesepian seperti ini, saat ia berjalan keluar dari gerbang Kastil Ashford
dan mendengar rantai gerbang diturunkan di belakang dirinya. Hujan perlahan turun, menetes bagai
embun di atas kulitnya. Namun, tetap saja Duncan merasa kedinginan. Di seberang sungai, lingkaran-
lingkaran berwarna menyala di depan beberapa tenda di mana perapian masih menyala. Malam sudah
separuh berlalu, menurut perkiraan Duncan. Beberapa jam lagi fajar akan menyingsing. Dan, seiring
dengan hadirnya fajar, tibalah kematian bagi dirinya.
Mereka telah mengembalikan pedang dan uang peraknya. Namun, sambil berjalan menyeberangi padang
rumput itu, pikirannya suram. Duncan bertanya-tanya, apakah mereka tidak memperkirakan kemungkinan
kalau dia akan naik kuda dan kabur? Bisa saja, kalau dia mau. Tentu saja, itu berarti statusnya sebagai
Ksatria akan berakhir; sejak saat itu Duncan akan menjadi buronan, sampai suatu hari kelak saat seorang
Lord bangsawan menangkap dan memenggal kepalanya. Lebih baik mati sebagai Ksatria daripada harus
hidup seperti itu, begitulah Dunk berulang kali berkata kepada dirinya sendiri. Dengan kaki basah sampai
ke lutut, Dunk berjalan melewati pagar pembatas yang kosong. Kebanyakan tenda gelap, penghuninya
sudah lama tertidur. Namun di sana-sini masih ada beberapa lilin yang menyala. Dunk mendengar suara
erangan lembut dan jeritan kenikmatan dari salah satu tenda. Dunk jadi bertanya-tanya, apakah dia akan
mati tanpa pernah merasakan berhubungan intim dengan wanita.

Lalu Dunk mendengar suara kuda. Suara kudanya, Thunder. Ia mempercepat langkah, lantas berlari. Dunk
menemukan kudanya Thunder, dan juga Chestnut, terikat di luar sebuah tenda bulat yang menyala terang
dengan cahaya keemasan dari dalam. Di tiang utamanya panjinya basah kuyup, namun Dunk masih bisa
samar-samar melihat lengkungan dari lambang Apel milik House Fossoway. Lambang itu terlihat bagai
sebuah harapan baginya.

“Sebuah Trial by Combat,” kata Raymun dengan berat. “Demi Para Dewa, Duncan, itu berarti tombak
perang, gada berduri, kapak perang...pedangnya bukan yang tumpul. Kau mengerti?”

“Raymun si Enggan,” ejek sepupunya, Ser Steffon. Sebuah perhiasan berbentuk Apel dari emas dan batu
biduri delima menjepit ujung mantelnya yang terbuat dari wol kuning. “Jangan takut, sepupuku. Ini
pertarungan antar Ksatria. Karena kau bukan Ksatria, kau sama sekali tidak terancam bahaya. Ser Duncan,
setidaknya ada seorang dari House Fossoway yang berada di pihakmu. Yang sudah “matang”. Aku melihat
apa yang Aerion lakukan terhadap si gadis dalang sandiwara boneka itu. Aku mendukungmu.”

“Dan aku juga,” kata Raymun dengan marah. “Aku cuma bermaksud...”

Sepupunya langsung memotong perkataannya. “Siapa lagi yang akan bertarung bersama kita,
Ser Duncan?”

Duncan merentangkan tangannya dengan putus asa. “Aku tidak kenal siapa-siapa lagi. Kecuali Ser
Manfred Dondarrion. Tapi, kalau menjamin bahwa aku seorang Ksatria saja dia tidak sudi, apalagi
mempertaruhkan nyawanya bagiku?”

Ser Steffon terlihat agak gelisah. “Kalau begitu, kita butuh 5 orang lagi. Untungnya, aku punya
lebih dari 5 teman. Leo Si Duri Panjang, Sang Badai Tertawa, Lord Caron, Lannister bersaudara,
Ser Otho Bracken...yah, dan Keluarga Blackwood juga, walaupun kau takkan bisa membuat
Keluarga Blackwood dan Bracken bertarung di pihak sama dalam satu pertarungan.
Aku akan pergi dan berbicara dengan mereka.”

“Mereka tidak akan senang kalau dipaksa bangun,” protes sepupunya.

“Bagus,” kata Ser Steffon. “Kalau mereka marah, mereka akan semakin ganas saat bertarung.
Kau bisa mengandalkanku, Ser Duncan. Sepupu, jika aku tidak kembali sebelum fajar, bawakan
baju besiku dan pastikan kudaku, Wrath, sudah dipasangi pelana dan baju pelindung. Sampai
ketemu dengan kalian berdua di tempat kuda bagi pihak penantang.” Ser Steffon tertawa.
“Ini akan jadi hari yang lama dikenang orang, kurasa.” Saat ia keluar tenda, ia nyaris terlihat
senang.

Namun, Raymun tidak merasa demikian. “Lima orang Ksatria,” katanya dengan murung setelah sepupu
nya pergi. “Duncan, aku benci untuk menghancurkan harapanmu, tetapi...”

“Jika sepupumu bisa mengajak orang-orang yang tadi dia sebutkan...”


“Leo Si Duri Panjang? Si Garang dari Keluarga Bracken? Sang Badai Tertawa?” Raymun bangkit
berdiri. “Dia tahu mereka semua. Aku yakin itu. Tapi, aku kurang yakin kalau mereka mengenali
dirinya. Steffon melihat hal ini sebagai kesempatan untuk meraih ketenaran. Tapi ini masalah hidup
-matimu. Kau harus mencari orang-orangmu sendiri. Aku akan membantumu. Lebih baik
kelebihan jagoan daripada kekurangan.” Suara di luar membuat Raymun memalingkan kepalanya.
“Siapa di situ?” seru Raymun, ketika seorang bocah masuk melewati pintu tenda, disusul oleh
seorang pria kurus yang mengenakan jubah hitam yang basah kuyup oleh hujan.

“Egg?” Dunk bangkit berdiri. “Apa yang kaulakukan di sini?”

“Aku kan Squire Anda,” kata bocah itu. “Anda butuh seseorang untuk membantu Anda memakai
perlengkapan perang Anda, Ser.”

“Apakah ayahmu tahu kau meninggalkan kastil?”

“Demi Para Dewa, semoga saja tidak,” kata Daeron Targaryen sambil membuka kait pengancing
jubahnya dan membiarkan jubah itu terlepas dari bahunya.

“Kamu? Apa kamu sudah gila, datang kemari?” Dunk mencabut belati dari dalam sarungnya.
“Seharusnya kutusukkan belati ini tembus ke dalam perutmu.”

“Mungkin,” Pangeran Daeron mengaku. “tapi aku lebih suka kalau kau menuangkan secawan
anggur untukku. Coba lihat tanganku.” Daeron menjulurkan salah satu tangannya. Semua orang
melihat bagaimana tangan itu gemetaran.

Dunk melangkah ke Daeron sambil melotot marah. “Aku tidak peduli dengan tanganmu. Kau
berbohong mengenai diriku.”

“Aku harus mengarang alasan ketika Ayah memaksaku untuk menjelaskan ke mana adikku
menghilang,” jawab Sang Pangeran. Dia langsung duduk, tanpa menghiraukan Dunk dan pisaunya.
“Terus terang, aku tadinya bahkan tidak sadar kalau Egg ternyata hilang. Dia tidak ada di dasar
cawan anggurku, dan dari tadi aku tidak melihat ke arah lain. Jadi...” Daeron menghela nafas.

“Ser, Ayahku akan bergabung dengan ke 7 Ksatria di Pihak Penuntut,” Egg menyela. “Aku memohon
kepadanya untuk tidak melakukan hal itu, tapi dia tidak mau mendengarkan. Dia bilang, itu satu-satunya
cara untuk memulihkan kehormatan Aerion, dan juga Daeron.”

“Padahal aku tidak pernah meminta agar kehormatanku dipulihkan,” kata Pangeran Daeron dengan
masam. “Siapapun yang merebut kehormatanku, silakan simpan kehormatan itu, kalau menurut
pendapatku pribadi. Tapi, mau tidak mau, keadaan kita sudah begini. Asal Anda tahu, Ser Duncan, Anda
tidak perlu takut terhadapku. Aku benci kuda. Pedang? Apalagi. Sudah berat, tajam pula. Aku akan
berusaha sebaik mungkin untuk tampil bagus di serangan pertama, tapi setelah itu...yah, mungkin Anda
bisa menghantam bagian samping helm pelindung kepalaku. Buat sampai berdenging di kepala, tapi
jangan terlalu keras. Anda paham kan maksudku? Saudara-saudaraku mahir dalam bertarung, menari,
berpikir, dan membaca buku. Tetapi tidak ada yang bisa menandingiku dalam hal tergeletak pingsan di atas
lapangan lumpur.”

Dunk cuma bisa memandangi Pangeran Daeron, dan bertanya-tanya apakah sang pangeran tidak
bermaksud untuk mengerjainya. “Kenapa kau datang kemari?”

“Untuk memperingatkanmu mengenai apa yang akan kauhadapi,” kata Daeron. “Ayahku telah
memerintahkan para Kingsguard-Pengawal Pribadi Raja-untuk bertarung bersamanya.”

“Para Kingsguard?” kata Dunk ngeri.


“Cuma ketiga Kingsguard yang hadir di sini. Untunglah Paman Baelor membiarkan keempat Ksatria
Kingsguard yang lain tetap berada di King’s Landing untuk menjaga Kakek kami, Sang Raja.”

Egg memberitahukan nama-nama mereka,” Ser Roland Crakehall, Ser Donnel of Duskendale, dan Ser
Willem Wylde.”

“Mereka tidak punya pilihan dalam hal ini, “ kata Daeron. “Mereka telah bersumpah untuk melindungi
hidup Raja dan keluarganya. Dan aku dan saudara-saudaraku adalah keturunan Raja, Demi Para Dewa.”

Dunk menghitung dengan jarinya. “Jadi ada enam orang. Siapa yang ketujuh?”

Pangeran Daeron mengangkat bahu. “Aerion pasti akan menemukan seseorang. Kalau perlu, dia akan
membayar untuk mendapatkan seorang jagoan lagi. Dia tidak kekurangan uang emas.”

“Siapa saja yang Anda miliki?” tanya Egg.

“Sepupu Raymun, Ser Steffon.”

Daeron mengerutkan muka, “Cuma satu?”

“Ser Steffon sedang menghubungi teman-temannya.”

“Aku bisa memanggil orang, “ kata Egg. “Para Ksatria. Aku bisa memanggil mereka.”

“Egg,” kata Dunk, “aku akan bertarung dengan kakak-kakakmu.”

“Tapi Anda tidak akan melukai Daeron,” kata si bocah, “dia sudah bilang dia akan sengaja
menjatuhkan diri. Dan Aerion...aku ingat, saat masih kecil, dia suka masuk ke kamar tidurku di
malam hari dan menaruh pisaunya di selangkanganku. Dia bilang, dia sudah punya terlalu banyak
saudara lelaki, jadi mungkin suatu malam dia akan menjadikanku adik perempuannya, agar dia bisa
menikah denganku...Dia juga yang membuang kucingku ke dalam sumur. Dia menyangkal hal itu,
tapi dia selalu berbohong.”

Pangeran Daeron mengangkat bahu tanda lelah. “Egg berkata benar. Aerion memang monster. Dia
pikir dia itu Naga yang menjelma menjadi manusia. Makanya dia sangat marah saat menyaksikan
sandiwara boneka itu. Sayang dia tidak terlahir di Keluarga Fossoway. Kalau begitu, dia akan
menganggap dirinya penjelmaan Apel dan kita semua akan jauh lebih aman sekarang. Tapi, apa
boleh buat.” Daeron membungkuk dan memungut jubahnya yang terjatuh di tanah lalu mencoba
meniriskan air hujan yang membasahi jubah itu. “Aku harus diam-diam kembali ke Kastil, sebelum
Ayah bertanya-tanya kenapa untuk mengasah pedang saja butuh waktu begitu lama. Tapi, sebelum
aku pergi, aku ingin berbicara empat mata dengan Anda, Ser Duncan. Bersediakah Anda berjalan
bersamaku?”

Dunk memandang curiga kepada Sang Pangeran untuk sesaat. “Baiklah, Yang Mulia.”
Dunk menyarungkan belatinya. “Aku juga harus mengambil perisaiku.”

“Egg dan aku akan mencari Ksatria,” janji Raymun.

Pangeran Daeron mengalungkan jubahnya di leher lalu menutupi kepalanya dengan kerudung. Dunk
mengikutinya berjalan di tengah hujan rintik. Mereka berjalan ke arah kumpulan gerobak milik para
pedagang.

“Aku bermimpi tentang Anda,” kata Sang Pangeran.

“Anda sudah pernah bilang begitu saat di penginapan.”


“Benarkah? Tapi, memang benar. Mimpi-mimpiku tidak seperti mimpi-mimpi Anda, Ser Duncan.
Mimpi-mimpiku selalu menjadi kenyataan. Mimpi-mimpiku membuatku ketakutan. Anda
membuatku ketakutan. Begini, aku bermimpi melihat Anda dan seekor Naga tewas. Hewan besar
dengan sayap yang bisa menutupi seluruh padang ini. Naga itu jatuh di atas Anda. Tapi Anda tetap
hidup, sedangkan Naga itu mati.”

“Apakah aku membunuh Naga itu?”

“Aku tidak bisa bilang. Tapi Anda ada di sana, dan begitu juga Naga itu. Kami, Keluarga Targaryen,
dulunya adalah Pengendali Naga. Sekarang Naga sudah tidak ada, tetapi kami masih ada. Aku tidak
mau mati hari ini. Cuma Para Dewa yang tahu alasannya kenapa, tapi aku tidak mau mati hari ini.
Jadi, berbaik hatilah kepadaku, kalau bisa, dan tolong pastikan Aerionlah yang kaubunuh, jangan
diriku.”

“Aku juga tidak mau mati,” kata Dunk.

“Ya, aku takkan membunuh Anda, Ser. Sebenarnya aku juga ingin mencabut tuduhanku, tapi takkan
bisa kecuali Aerion juga sama-sama mencabutnya.” Daeron menghela nafas. “Mungkin aku telah
membunuh Anda dengan kebohonganku. Jika memang begitu, aku minta maaf. Aku tahu, aku sudah
terkutuk dan akan masuk neraka. Kemungkinan di Neraka yang tidak ada anggurnya.” Daeron
gemetar, lalu mereka berpisah, di tengah rintik hujan yang sejuk.

Para pedagang telah menaruh gerobak mereka di sebelah Barat padang rumput itu, di bawah
sekumpulan pohon birch dan ash. Dunk berdiri di bawah pohon-pohon itu, dan memandang dengan
putus asa ke tempat di mana tadinya gerobak milik rombongan sandiwara boneka keliling itu
berada. Mereka sudah tidak ada. Dunk sudah menduga akan hal itu. Aku juga pasti sudah kabur,
seandainya otakku tidak sepadat tembok kastil. Dunk bertanya-tanya apa yang harus dia lakukan
agar bisa mendapatkan sebuah perisai sekarang. Dunk masih punya sekeping uang perak untuk
membeli perisai baru, kalau dia bisa menemukan perisai yang mau dijual.

“Ser Duncan,” sebuah suara memanggil dari dalam kegelapan. Dunk berpaling, dan menemukan
Steely Pate berdiri di belakangnya sambil memegang sebuah lentera besi. Memakai jubah pendek
dari kulit, si pembuat baju besi bertelanjang dada. Dadanya yang bidang dan lengannya yang kekar
dipenuhi dengan rambut hitam kasar. “Masih ada 2 tangan dan 2 kaki, kulihat.
Jadinya Trial by Combat, ya?”

“Trial of 7. Darimana kau tahu?”

“Bisa saja mereka memberi penghargaan dan mengangkatmu menjadi bangsawan, tapi kelihatannya
tidak mungkin. Kalau kau dijatuhi hukuman, kau sudah kehilangan anggota tubuh sekarang.
Nah, sekarang, mari ikut aku.”

Gerobak milik Steely Pate mudah dibedakan dari gerobak lain karena ada lukisan pedang dan alas
tempa di sampingnya. Dunk mengikuti Pate masuk ke dalam. Si pembuat baju besi itu menggantung
lenteranya, melepas jubahnya yang basah, dan mengelap kepalanya dengan kain kasar. Sebuah
papan berengsel diturunkan dari samping untuk dijadikan meja. “Duduklah,” kata Pate sambil
menyodorkan sebuah bangku pendek kepada Dunk.

Dunk duduk. “Ke mana gadis itu pergi?”


“Mereka menuju ke arah Dorne. Paman gadis itu, orang yang bijaksana. Pergi dan lupakan. Kalau
tetap tinggal di sini dan terlihat, kemungkinan Sang Naga akan tetap ingat. Selain itu, Paman gadis
itu merasa sebaiknya gadis itu tidak melihatmu tewas.” Pate pergi ke ujung gerobaknya, mencari-
cari sesuatu di dalam kegelapan, lalu kembali dengan sebuah perisai. “Pinggiran perisaimu terbuat
dari baja tua dan murahan, rapuh dan sudah karatan,” katanya. “Kubuatkan pinggiran perisai yang
baru. Dua kali lebih tebal. Dan kutambahi pelat di bagian belakangnya. Jadi lebih berat, tapi juga
lebih kuat. Gadis itu yang melukis bagian depannya.”

Hasil karya gadis itu jauh lebih bagus daripada yang Dunk harapkan. Walaupun cuma diterangi
cahaya lentera, warna matahari terbenamnya kaya dan terang, pohonya tinggi, kuat, dan anggun.
Bintang jatuhnya berupa sebuah goresan cat terang di tengah-tengah langit. Namun, saat Dunk
memegang perisai itu di tangannya, semuanya malah jadi terasa tidak beres. Bintang jatuh, lambang
macam apa itu? Apakah Dunk juga akan “jatuh” secepat itu? Dan matahari terbenam berarti
menjelang malam tiba. “Seharusnya aku tetap memilih Piala bersayap sebagai lambangku,” katanya
dengan sedih. “Piala bersayap agar aku bisa ‘terbang’ jauh. Dan Ser Arlan bilang, piala miliknya
penuh dengan iman, persaudaraan, dan hal-hal baik lain untuk diminum. Perisai ini gambarnya
seolah-olah melambangkan kematian."

“Pohon Elmnya terlihat hidup,” tunjuk Pate. “Lihatlah, betapa hijau daunnya. Itu daun musim pa
nas, pastinya. Dan aku sudah pernah melihat perisai yang dihiasi dengan gambar tengkorak,
serigala, burung gagak, bahkan gambar orang digantung dan kepala yang berlumuran darah.
Semua perisai itu berfungsi dengan baik. Begitu juga dengan perisai ini. Kau tahu syair kuno
saat menggunakan perisai? ‘Kayu Oak dan Besi, Lindungilah aku baik-baik...’...”

“...kalau tidak, aku akan binasa dan masuk neraka...” sambung Dunk. Sudah bertahun-tahun dia
tidak memikirkan syair kuno itu. Pak Tua pernah mengajarinya syair kuno itu, dulu. “Berapa yang
harus kubayar untuk pinggiran perisai yang baru itu, dan semua perbaikannya?” tanya Dunk kepada
Pate.

“Buatmu?” Pate menggaruk kepalanya. “Satu keping uang tembaga.”

000

Hujan telah berhenti ketika cahaya fajar samar-samar melingkupi langit sebelah Timur, tapi dampak
dari hujan itu telah terjadi. Pasukan Lord Ashford telah menyingkirkan semua tiang penghalang,
sehingga lapangan kejuaraan itu kini telah menjadi tanah rawa besar yang berisi lumpur coklat
keabuan dan potongan rumput. Gumpalan kabut menjalar di atas tanah bagaikan sekumpulan ular
putih, saat Dunk berjalan kembali ke pagar pembatas lapangan. Steely Pate berjalan bersamanya.

Panggung penonton mulai terisi, para Lord dan Lady bangsawan meengencangkan jubah mereka
erat-erat karena udara pagi yang dingin. Rakyat jelata juga mulai mengerumuni lapangan, ratusan
orang diantaranya bahkan sudah berdiri di pinggir pagar. Begitu banyak orang yang datang untuk
melihatku mati, pikir Dunk dengan getir, tapi ternyata dia salah sangka. Beberapa orang melangkah
maju. Seorang wanita berseru, “Semoga kau beruntung.” Seorang pria tua maju, meraih tangannya,
lalu berkata, “semoga Para Dewa memberi Anda kekuatan, Ser.” Lalu seorang Biarawan Pengemis
berjubah compang camping berwarna coklat memberkati pedangnya, dan seorang gadis mencium
pipinya. Ternyata mereka mendukungku. “Kenapa?” tanya Dunk kepada Pate. “Memangnya aku ini
siapa bagi mereka?”

“Seorang Ksatria yang masih mengingat sumpahnya,” jawab si pandai besi.


Mereka menemukan Raymun di luar tempat kuda bagi pihak penantang di ujung selatan pagar
pembatas. Ia sedang menunggu bersama dengan kuda milik sepupunya dan kuda milik Dunk.
Thunder bergoyang-goyang resah di balik pelindung kepala, pelindung leher, dan lapisan rantai besi
berat yang melindungi tubuhnya. Pate memeriksa baju pelindung kuda itu, dan menyatakan bahwa
kualitasnya baik, walaupun buatan orang lain. Dari manapun baju pelindung kuda itu berasal, Dunk
berterima kasih.

Lalu Dunk melihat yang lainnya: seorang pria bermata satu dengan jenggot hitam keabu-abuan,
sang Ksatria muda berpakaian garis-garis kuning-hitam dengan lambang sarang lebah di atas
perisainya. Robyn Rhysling dan Humfrey Beesbury, pikir Dunk kaget. Dan Ser Humfrey Hardyng
juga. Hardyng sedang menunggangi kuda merah yang tadinya milik Aerion, namun kini kuda itu
memakai kain bergambar intan merah-putih, lambang keluarganya.

Dunk menghampiri mereka. “Tuan-tuan, aku berutang budi kepada kalian.”

“Yang berutang itu Aerion,” jawab Ser Humfrey Hardyng, “dan kami bermaksud untuk menagihnya.”

“Kudengar kaki Anda patah.”

“Yang kaudengar itu benar,” kata Hardyng. “Aku sedang tidak bisa berjalan. Tetapi, selama aku
duduk di atas kuda, aku masih bisa bertarung.”

Raymun mengajak Dunk ke samping. “Aku berharap Hardyng mau mengambil kesempatan untuk
bertarung ulang dengan Aerion. Ternyata dia mau. Kebetulan, Ser Humfrey Beesbury ternyata
saudara iparnya. Egg-lah yang mengundang Ser Robyn, yang dia kenal sewaktu di kejuaraan lain.
Jadi sekarang kau punya 5 orang.”

“Enam,” kata Dunk bertanya-tanya, sambil menunjuk. Seorang Ksatria memasuki tempat kuda,
Squirenya membimbing kudanya di belakangnya. “Sang Badai Tertawa.” Sekepala lebih tinggi
daripada Raymun dan hampir sama tingginya dengan Dunk, Ser Lyonel Baratheon memakai baju
dari kain emas bergambar rusa jantan bermahkota, Lambang dari House Baratheon, sambil
membawa helm bertanduknya di bawah lengannya. Dunk meraih tangannya. “Ser Lyonel, aku
sangat berterima kasih Anda bersedia datang. Dan aku juga berterima kasih kepada Ser Steffon
karena mengajak Anda.”

“Ser Steffon?” Ser Lyonel terlihat bingung. “Squire-mu lah yang datang kepadaku. Si bocah, Aegon.
Squire-ku mencoba mengusir bocah itu, tapi dia menyelinap di antara kedua kakinya dan
menumpahkan sebotol anggur di atas kepalaku.” Dia tertawa. “Tahukah Anda, sudah lebih dari 100
tahun tidak ada Trial of Seven? Aku tidak mau melewatkan kesempatan untuk bertarung dengan
Ksatria Kingsguard, dan sekalian memencet hidung Pangeran Maekar.”

“Enam,” kata Dunk dengan penuh harap kepada Raymun Fossoway saat Ser Lyonel bergabung
dengan yang lainnya. “Pasti sepupumu akan membawa orang terakhir.”

Sorak-sorai terdengar dari kerumunan massa. Di ujung Utara padang itu, sekelompok Ksatria
muncul dari balik kabut sungai. Ketiga Ksatria Kingsguard muncul duluan, bagaikan hantu dengan
mengenakan baju besi putih berkilauan dan jubah putih tergerai dari punggung mereka. Bahkan
perisai mereka pun putih bersih, polos bagaikan tanah yang baru dilapisi salju. Di belakang mereka,
Pangeran Maekar dan anak-anaknya menunggangi kuda mereka masing-masing. Aerion
menunggangi kuda kelabu yang mengenakan kain pelapis berwarna oranye dan merah. Kuda milik
Daeron lebih kecil, dan memakai baju pelindung berupa sisik emas dan hitam. Di atas helm milik
Daeron ada bulu hijau dari sutra. Namun, penampilan dari ayah merekalah yang paling menakutkan.
Ukiran taring Naga berwarna hitam menghiasi bahu, helm, dan punggungnya. Gada berduri besar
yang terpasang di samping pelana kudanya adalah senjata paling mematikan yang Dunk pernah
lihat.
“Enam,” mendadak Raymun berseru. “Mereka juga cuma berenam.”

Benar, itu juga yang dilihat Dunk. Tiga Ksatria berpakaian serba hitam, dan tiga serba putih. Mereka
juga kurang satu orang. Mungkinkah Aerion gagal menemukan orang ketujuh? Apa artinya?
Akankah mereka akan bertarung enam lawan enam, kalau masing-masing pihak gagal mendapatkan
orang ketujuh?

Egg menyelinap ke samping Dunk saat ia sedang mencoba memikirkan hal itu.
“Ser, sudah saatnya Anda memakai baju besi Anda.”

“Terima kasih, Squire. Bersediakah kau membantuku?” Steely Pate membantu bocah itu. Kemeja
rantai besi, pelindung leher, pelindung betis, kain pelapis kepala, pelindung selangkangan,
semuanya itu mengubah Dunk menjadi manusia baja. Ia memeriksa setiap ikatan dan setelan di baju
besinya sampai 3 kali. Ser Lyonel duduk sambil mengasah pedangnya di atas batu asah. Kedua
Humfrey bercakap-cakap dengan suara pelan. Ser Robyn berdoa. Raymun Fossoway berjalan bolak-
balik sambil bertanya-tanya ke mana sepupunya pergi.

Dunk sudah berbaju besi lengkap ketika Ser Steffon akhirnya muncul. “Raymun,” panggilnya,
“tolong, baju besiku.” Dia telah berganti pakaian, dan memakai rompi berlapis di balik baju besinya.

“Ser Steffon,” kata Dunk, “bagaimana dengan temanmu? Kita butuh satu orang lagi untuk
membentuk regu 7 orang.”

“Aku khawatir kau akan butuh dua orang,” kata Ser Steffon. Raymun sedang mengikat bagian
belakang kemeja rantai besinya.

“Tuanku?” Dunk tidak mengerti. “Dua?”

Ser Steffon mengambil sarung tangan dari baja bermutu tinggi dan memasangnya di tangannya
sambil menggerakkan jari-jarinya. “Kulihat ada lima orang di sini,” katanya sementara Raymun
mengencangkan sabuk pedangnya. “Beesbury, Rhysling, Hardyng, Baratheon, dan dirimu sendiri.”

“Dan Anda,” kata Dunk. “Anda orang keenam.”

“Aku orang ketujuh,” kata Ser Steffon sambil tersenyum, “tapi untuk pihak lawan. Aku bertarung di
pihak Pangeran Aerion dan Para Penuntut.”

Raymun baru saja akan menyerahkan helm kepada sepupunya. Dia terdiam kaget. “Tidak.”

“Ya.” Ser Steffon mengangkat bahunya. “Aku yakin Ser Duncan pasti maklum. Aku punya
kewajiban untuk membela Pangeranku.”

“Kau bilang, Ser Duncan bisa mengandalkanmu,” wajah Raymun berubah pucat.

“Benarkah?” Steffon mengambil helm dari tangan sepupunya. “Waktu itu, aku memang tulus
memihaknya. Ambilkan kudaku.”

“Ambil sendiri,” kata Raymun dengan marah. “Kalau kaupikir aku mau ambil bagian dalam
perbuatanmu ini, kau ternyata bodoh sekaligus jahat.”

“Jahat?” Ser Steffon mendecak. “Jaga lidahmu, Raymun. Kita apel yang berasal dari pohon yang
sama. Dan kau adalah Squire-ku. Atau jangan-jangan kau sudah melupakan sumpahmu?”
“Aku tidak lupa. Kau sendiri bagaimana? Apakah kau sudah melupakan sumpahmu?
Kau sudah bersumpah untuk menjadi seorang Ksatria.”

“Aku bukan lagi seorang Ksatria sesudah ini, sebelum hari ini berakhir. Aku akan diangkat menjadi
bangsawan. Lord Fossoway. Aku suka kedengarannya.” Sambil tersenyum, dia memakai sarung
tangannya yang satu lagi, berpaling, dan menyeberang ke tempat kudanya. Walaupun para ksatria
yang lain memandang kepadanya dengan pandangan menghina, tidak ada yang berusaha
menghentikannya.

Dunk menyaksikan Ser Steffon menghela kudanya menyeberangi lapangan. Tangan Dunk mengepal
keras, tapi tenggorokannya terlalu serak untuk berbicara. Toh orang macam itu takkan bisa dibujuk
dengan cara apapun.

“Lantik aku menjadi Ksatria,” Raymun menaruh tangannya di bahu Dunk dan membalik tubuhnya.
“Aku akan menggantikan sepupuku. Ser Duncan, lantiklah aku menjadi Ksatria.” Raymun menekuk
salah satu kakinya.

Sambil mengerutkan dahi, Dunk menggerakkan tangannya ke gagang pedangnya, lalu terhenti.
“Raymun, aku...aku tidak boleh melakukannya.”

“Harus. Tanpaku, kalian cuma berlima.”

“Bocah itu ada benarnya,” kata Ser Lyonel Baratheon. “Lakukanlah, Ser Duncan.
Setiap Ksatria bisa melantik seorang Ksatria baru.”

“Apakah kau meragukan keberanianku?” tanya Raymun.

“Tidak,” kata Dunk. “bukan itu, tetapi...” dia masih ragu-ragu.

Suara terompet membelah udara pagi yang berkabut. Egg berlari menghampiri mereka.
“Ser, Lord Ashford memanggil Anda.”

Sang Badai Tertawa menggelengkan kepala tanda tak sabar. “Pergilah kepadanya, Ser Duncan.
Akulah yang akan melantik Squire Raymun menjadi Ksatria.” Ser Lyonel Baratheon mencabut
pedangnya dari dalam sarung dan mendesak Dunk untuk minggir. “Raymun dari House Fossoway,”
ia mulai dengan khidmat, sambil menyentuhkan pedangnya di bahu kanan Raymun, “atas nama
Warrior, kuperintahkan agar kau menjadi Ksatria yang berani.” Pedang kemudian berpindah dari
bahu kanan ke bahu kiri. “Atas nama Father, kuperintahkan agar kau menjadi Ksatria yang adil.”
Pedang pindah lagi ke bahu kanan. “Atas nama Mother, kuperintahkan kau agar melindungi seluruh
kaum wanita....”

Dunk meninggalkan mereka saat pelantikan baru sampai di sana. Ia merasa lega, namun juga
sekaligus merasa bersalah. Kita masih kurang satu orang, pikirnya sementara Egg membawakan
kuda Thunder baginya. Ke mana aku harus mencari satu orang lagi? Dunk membalik kudanya dan
berjalan perlahan menuju ke panggung penonton, di mana Lord Ashford berdiri menunggunya.
Dari ujung Utara, Pangeran Aerion maju menghampirinya. “Ser Duncan,” katanya dengan riang,
”kelihatannya Anda cuma punya lima jagoan.”

“Enam,” kata Dunk. “Ser Lyonel sedang melantik Raymun Fossoway menjadi seorang Ksatria.
Kami akan melawanmu, enam lawan tujuh.” Orang pernah memenangkan peperangan dengan
jumlah yang jauh lebih tidak seimbang, Dunk tahu itu. Namun Lord Ashford menggelengkan
kepalanya. “Itu tidak boleh, Ser. Kalau Anda tidak bisa menemukan seorang Ksatria untuk bertarung
di pihak Anda, Anda harus divonis bersalah atas kejahatan yang dituduhkan kepada Anda.”

Bersalah, pikir Dunk. Bersalah karena mencopot gigi. Dan untuk itu aku harus mati.
“Yang Mulia, aku minta waktu.”
“Waktu diberikan.”

Dunk menunggangi kudanya perlahan di sepanjang pagar. Panggung penonton dipenuhi dengan
para Ksatria. “Yang Mulia sekalian,” serunya kepada mereka. “Tidakkah ada diantara Anda sekalian
yang masih ingat akan Ser Arlan of Pennytree? Aku dulu Squire beliau. Kami pernah mengabdi
kepada banyak dari kalian. Makan di meja kalian dan tidur di aula kastil kalian. Dunk melihat
Manfred Dondarrion duduk di deretan paling atas. “Ser Arlan terluka saat sedang mengabdi kepada
ayah Anda.” Ser Dondarrion berbicara kepada Lady di sampingnya, tidak peduli. Dunk terpaksa
bergeser. “Lord Lannister, Ser Arlan pernah menjatuhkan Anda dari atas kuda sekali, di dalam
sebuah kejuaraan.” Sang Singa Kelabu, Lord Lannister, memandangi tangannya yang berlapis
sarung tangan, bersikeras untuk tidak menaikkan pandangan matanya. “Ser Arlan adalah pria yang
baik. Ia mengajariku bagaimana menjadi seorang Ksatria. Bukan hanya bagaimana menggunakan
pedang dan tombak, namun juga mengenai kehormatan. Seorang Ksatria membela kaum yang tidak
bersalah, katanya dulu. Dan itulah yang kulakukan. Aku butuh satu orang Ksatria lagi untuk
bertarung bersamaku. Satu orang, itu saja. Lord Caron? Lord Swann?” Lord Swann tertawa pelan
saat Lord Caron berbisik di telinganya.

Dunk berhadapan dengan Ser Otho Bracken. Ia mengecilkan suaranya. “Ser Otho, semua orang
tahu bahwa Anda adalah jagoan yang hebat. Bergabunglah dengan kami, kumohon.
Demi Para Dewa, baik Old Gods maupun Dewa Seven. Perjuanganku adalah benar.”

“Mungkin,” kata Si Garang dari Keluarga Bracken. Setidaknya, ia bersedia menjawab Dunk.
“Tapi itu perjuanganmu, bukan perjuanganku. Aku tidak mengenalmu, Bocah.”

Dengan hati berat, Dunk memacu Thunder dan berkendara bolak-balik di depan panggung yang
berisi sekumpulan orang berhati dingin. Putus asa, Dunk akhirnya berteriak, “TIDAK ADAKAH
SEORANG KSATRIA SEJATI DI ANTARA KALIAN SEMUA?”

Cuma keheningan semata.

Dari seberang lapangan, Pangeran Aerion tertawa. “Sang Naga tidak boleh dihina,” serunya.

Lalu terdengarlah sebuah suara, “Aku akan bergabung di pihak Ser Duncan.”

Seekor kuda hitam muncul dari balik kabur sungai. Seorang Ksatria berpakaian serba hitam di
atasnya. Dunk melihat perisai berlambangkan Naga, dan lambang naga merah berkepala tiga di atas
helmnya. Sang Pangeran Muda. Demi Para Dewa, benarkah dia?

Lord Ashford juga salah sangka. “Pangeran Valarr?”

“Bukan.” Sang Ksatria Hitam mengangkat penutup helmnya. “Aku tidak terpikir untuk ikut
bertanding di Ashford, My Lord. Jadi aku tidak membawa baju besi. Putraku berbaik hati
meminjamkan baju besi miliknya.” Pangeran Baelor tersenyum, hampir sedih.

Dunk bisa melihat Pihak Penuntut kacau balau. Pangeran Maekar memacu kudanya maju. “Kakak,
apakah kau sudah gila?” Dia mengacungkan jarinya kepada Dunk. “Orang ini menyerang putraku.”

“Orang ini melindungi kaum yang lemah, sebagaimana seharusnya semua Ksatria sejati,” jawab
Pangeran Baelor. “Biarlah Para Dewa yang menentukan apakah dia benar atau salah.” Pangeran
Baelor menarik tali kekang kudanya, mengarahkan kuda hitam besar milik Valarr, dan berjalan ke
ujung Selatan lapangan.
Dunk membawa Thunder menyusul ke sisinya, dan para jagoan lain berkumpul mengelilingi mereka
berdua; Robyn Rhysling, Ser Lyonel, kedua Humfrey. Mereka semua pria yang tangguh, namun
apakah mereka cukup baik? “Di mana Raymun?”

“Tolong panggil aku ‘Ser Raymun’.” Dia muncul sambil naik kuda, dengan senyum lebar
menghiasi wajah di bawah helm berbulu itu. “Maafkan saya, tuan-tuan. Saya harus mengubah
sedikit lambang keluarga saya, agar tidak disangka sebagai sepupuku yang hina itu.” Raymun
menunjukkan kepada mereka semua perisainya. Latar belakangnya tetap kuning keemasan. Gambar
apelnya juga tetap Apel Fossoway. Tapi apel yang ini berwarna hijau, bukannya merah. “Saya rasa
saya belum ‘matang’...tapi lebih baik ‘hijau’ daripada ‘berulat’, eh?”

Ser Lyonel tertawa, dan Dunk nyengir walaupun sedang banyak pikiran. Bahkan Pangeran Baelor
pun tampaknya setuju dengan lambang pilihan Raymun.

Septon bawahan Lord Ashton telah datang ke depan panggung penonton dan mengangkat kristalnya untuk
memulai berdoa.

“Perhatikan aku, kalian semua,” kata Baelor perlahan. “Pihak Penuntut akan menggunakan tombak perang
yang berat untuk serangan pertama. Tombak dari kayu pohon ash, sepanjang 2,4 Meter, diikat agar tidak
pecah saat diadu, dan ujungnya terbuat dari baja, cukup tajam untuk menembus pelat baju besi jika
diterjang dengan kekuatan dan bobot seekor kuda perang.”

“Kita akan gunakan senjata yang sama,” kata Ser Humfrey Beesbury. Di belakangnya, sang Septon sedang
memanggil Dewa Seven untuk mengawasi dan menilai pertarungan ini, dan mengarunikakan kemenangan
kepada pihak yang benar.

“Tidak,” kata Baelor. “Sebaliknya, kita akan memakai tombak untuk pertandingan.”

“Tombak pertandingan mudah patah,” kata Raymun keberatan.

“Tapi panjangnya juga 3,6 Meter. Jika serangan kita kena duluan, mereka takkan bisa menyentuh kita.
Incar bagian kepala atau dada. Dalam pertandingan, menghantam perisai lawan itu bagus. Tapi, kalau di
sini, itu bisa berarti kematian. Jika kita bisa memaksa mereka jatuh dari kuda, sementara kita sendiri tetap
di atas kuda, kita unggul.” Baelor menoleh ke arah Dunk. “Jika Ser Duncan terbunuh, dianggap Para
Dewa telah memvonisnya bersalah, dan pertarungan selesai. Begitu juga jika kedua penuntut-Aerion dan
Daeron-terbunuh atau mencabut gugatan mereka. Kalau tidak, ketujuh anggota dari salah satu pihak harus
semuanya mati atau menyerah, barulah Trial of Seven ini selesai.”

“Pangeran Daeron tidak akan bertarung,” kata Dunk.

“Setidaknya, dia takkan bertarung dengan baik,” tawa Ser Lyonel. “Di luar itu, ada tiga orang Ksatria
Kingsguard yang harus kita hadapi.”

Baelor menanggapinya dengan tenang. “Adikku membuat kesalahan ketika ia menuntut agar para Ksatria
Kingsguard bertarung demi putranya. Sumpah Kingsguard melarang mereka untuk melukai setiap
Pangeran keturunan Raja. Untungnya, aku termasuk.” Baelor tersenyum tipis kepada mereka semua.
“Pastikan yang lain tidak keburu berhadapan denganku, dan aku yang akan berhadapan dengan Ksatria
Kingsguard.”

“Pangeran, apakah itu tindakan ksatria?” tanya Ser Lyonel Baratheon seiring sang Septon menyelesaikan
doanya.

“Para Dewa yang akan memberitahu kita,” kata Pangeran Baelor “Sang Pematah Tombak”.
Di seluruh Padang Ashford kesunyian mencekam.

Dari jarak 73 meter di seberang lapangan, kuda kelabu milik Aerion menginjak-injak tanah tak sabar
dan menggaruki tanah berlumpur itu. Dibandingkan dengan kuda itu, Thunder jauh lebih tenang; kuda
yang lebih tua, veteran puluhan pertempuran, dan dia tahu apa yang diharapkan darinya. Egg menyerahkan
perisai kepada Dunk. “Semoga Para Dewa menyertai Anda, Ser,” kata bocah itu.

Gambar pohon elm dan bintang jatuh miliknya memberinya keberanian. Dunk menyelipkan lengannya ke
balik tali pengikat perisai, dan memegang erat-erat gagang perisai itu. “Kayu Oak dan Besi, Lindungilah
Aku Baik-baik. Kalau Tidak. Aku Akan Binasa dan Masuk Neraka.” Steely Pate membawakan tombak
kepada Dunk, tapi Egg bersikeras bahwa dialah yang harus menyerahkan tombak itu ke tangan Dunk.

Di sebelah kiri dan kanan Dunk, rekan-rekannya sudah mengambil tombak dan berbaris berjejer
membentuk barisan lebar. Pangeran Baelor di sebelah kanan, dan Ser Lyonel di sebelah kiri. Tapi, karena
celah untuk melihat dari dalam helm sangat kecil, Dunk hanya bisa melihat apa yang ada di depan
matanya saja. Panggung penonton tidak lagi terlihat, begitu juga para penonton yang memenuhi pagar.
Yang terlihat hanyalah lapangan berlumpur, kabut pucat yang tertiup angin, sungai, kota, kastil di sebelah
Utara, dan Pangeran Aerion di atas kuda kelabunya. Helmnya dihiasi dengan motif kobaran api, dan ada
lambang Naga di perisainya. Dunk melihat Squire Aerion menyerahkan tombak perang kepadanya.
Panjangnya 2,4 meter dan warnanya hitam sepekat malam. Dia akan menusukkan tombak itu langsung
menembus jantungku, kalau bisa.

Terompet dibunyikan.

Sesaat, Dunk terdiam bagaikan lalat yang terjebak di damar, sementara kuda-kuda yang lain mulai
bergerak. Perasaan panik meliputinya. Aku lupa, pikirnya dengan kacau. Aku lupa semuanya. Aku akan
mempermalukan diriku. Aku akan kehilangan segalanya.

Thunder menyelamatkannya. Kuda coklat besar itu tahu harus bagaimana, walaupun penunggangnya
tidak. Thunder mulai bergerak perlahan. Dari sana, latihan yang selama ini dijalani oleh Dunk mulai
mengambil alih kendali. Dunk memacu kuda perang itu perlahan, dan mulai menurunkan tombaknya, siap
untuk menyerang. Di saat yang bersamaan, Dunk mengayunkan perisainya sampai menutupi sebagian
besar sisi kiri tubuhnya. Dunk memegang perisai itu pada sudut tertentu untuk menangkis setiap serangan
yang ditujukan kepadanya. “Kayu Oak dan Besi, Lindungilah Aku Baik-baik. Kalau Tidak. Aku Akan
Binasa dan Masuk Neraka.”

Bunyi dari kerumunan massa kini hanya terdengar sayup-sayup bagaikan suara ombak di kejauhan.
Thunder mulai menambah kecepatan. Gigi Dunk bergetar seiring dengan semakin kerasnya derap kaki
kuda. Dunk menekan tumit ke bawah, mengencangkan kedua betisnya sekuat tenaga, dan membiarkan
tubuhnya menyatu dengan gerakan kuda yang sedang ia tunggangi. Aku adalah Thunder. Thunder adalah
aku. Kami adalah satu. Kami menyatu. Kami adalah satu. Udara di dalam helmnya begitu panas, Dunk
sampai kesulitan bernafas.

Di dalam pertandingan adu tombak, lawan akan berada di sebelah kiri pagar pembatas, dan Dunk harus
mengarahkan tombaknya menyeberangi leher Thunder. Dari sudut itu, kemungkinan besar tombaknya
akan patah saat beradu. Tapi, hari ini, “pertandingan”nya jauh lebih mematikan. Tanpa pembatas apapun
yang memisahkan mereka, kedua kuda saling menerjang satu sama lain, berhadap-hadapan. Kuda hitam
milik Pangeran Baelor jauh lebih cepat daripada Thunder, dan Dunk mengintip Sang Pangeran berpacu
ke depan dari dalam celah mata helmnya. Ia merasakan yang lain menyusul, lalu ia melihat mereka juga.
Mereka tidak penting. Cuma Aerion yang penting. Cuma dia

.
Dunk melihat Aerion datang. Lumpur beterbangan terkena sepakan kuda kelabu milik Pangeran Aerion,
dan Dunk bisa melihat hidung kuda itu menghembuskan uap. Tombak hitam lawan masih mengacung
ke atas. Seorang ksatria yang mengacungkan tombaknya ke atas, dan baru menurunkannya di saat-saat
terakhir, selalu menanggung risiko menurunkan tombak itu terlalu rendah. Itu ajaran Pak Tua kepada
Dunk. Dunk sendiri berusaha agar tombaknya mengarah ke tengah dada Aerion. Tombakku adalah
bagian dari lenganku, kata Dunk kepada dirinya sendiri. Tombak ini adalah jariku. Jariku yang terbuat
dari kayu. Aku hanya perlu “menyentuh” Aerion dengan “jari” panjangku yang terbuat dari kayu.

Dunk berusaha mengalihkan pandangan dari ujung tombak hitam Aerion yang tajam dan terbuat dari
besi, yang semakin lama semakin mendekat, Aerion, lihat kepada Aerion, pikir Dunk. Gambar Naga
berkepala tiga menutupi perisai sang pangeran, dengan sayap merah dan api berwarna keemasan. Jangan.
Arahkan pandanganmu hanya kepada sasaran yang kauincar, mendadak Dunk teringat. Tapi tombaknya
mulai bergeser posisinya. Dunk mencoba meluruskannya kembali, tapi sudah terlambat. Dunk melihat
ujung tombaknya menghantam perisai Aerion, mengenai titik di antara kedua kepala Naga, menembus
gambar kobaran api di perisai itu. Saat bunyi perisai yang pecah terdengar, Dunk merasakan Thunder
bergerak mundur, gemetar akibat dampak dari benturan. Setengah detik kemudian, Dunk merasakan
sesuatu menghantam dirinya dengan keras. Kedua kuda saling bertabrakan dengan kuatnya, dan kedua
baju besi saling berbenturan. Thunder terjatuh. Tombak Dunk terlepas dari tangannya. Lalu Dunk
bergerak melewati lawannya, sambil memegang erat-erat pelananya, berusaha mati-matian agar tidak
terjatuh dari tempat duduknya. Thunder berjalan terhuyung-huyung di lumpur yang licin itu, dan Dunk
merasakan kaki belakangnya terlepas dari bawah perut kuda. Mereka tergelincir, berputar-putar, lalu kaki
belakang dan pantat kuda itu terjatuh di atas tanah dengan keras. “Bangun!” teriak Dunk sambil
memainkan taji di kakinya. “Bangun, Thunder!” Entah bagaimana caranya, kuda perang tua itu akhirnya
bangkit kembali.

Dunk mendadak merasa sakit di bawah tulang rusuknya, dan lengan kirinya mendadak terasa turun.
Aerion telah menusukkan tombaknya menembus perisai dan baju besinya. Potongan kayu dan besi tajam
sepanjang 91 cm menancap di bagian samping tubuhnya. Dunk mengulurkan tangan kanannya,
memegang potongan tombak itu, menggigit kuat-kuat, dan mencabutnya dalam satu tarikan kencang.
Darah mengalir, menembus kemeja rantai besi, membasahi kemeja luarnya. Dunia seolah-olah
tenggelam, dan Dunk nyaris terjatuh. Samar-samar, di tengah rasa sakit, Dunk bisa mendengar suara-
suara yang memanggil namanya. Perisainya yang indah kini tidak berguna lagi. Dunk membuang perisai
bergambar pohon elm dan bintang jatuh itu, membuang tombaknya yang sudah patah, lalu mencabut
pedangnya. Namun, saking parah lukanya, Dunk tidak yakin kalau dia sanggup mengayunkan pedang itu.

Sambil mengarahkan Thunder berputar membentuk lingkaran kecil, Dunk mencoba memahami apa
yang sedang terjadi di tempat lain di lapangan itu. Ser Humfrey Hardyng sedang berpegangan pada leher
kuda tunggangannya. Ia jelas-jelas terluka. Ser Humfrey yang satu lagi tergeletak tak berdaya di atas
genangan lumpur dan darah. Sebuah potongan tombak menancap di selangkangannya. Dunk melihat
Pangeran Baelor memacu kudanya dengan cepat, tombak masih di tangan, dan menjatuhkan salah
seorang Ksatria Kingsguard dari atas kudanya. Salah seorang Ksatria Kingsguard lain juga sudah jatuh,
Pangeran Maekar pun sudah tidak di atas kudanya lagi. Ksatria Kingsguard yang ketiga sedang
melawan Ser Robyn Rhysling.

Aerion, di mana Aerion? Suara derap kaki kuda di belakangnya membuat Dunk segera menoleh ke b
elakang. Thunder menjerit sambil mengangkat kedua kaki depannya. Kuda itu mencoba
menggoyang-goyangkan kedua kaki depannya untuk mengusir lawan, tapi sia-sia. Kuda kelabu milik
Aerion menerjang Thunder dengan sekuat tenaga.
Kali ini, tidak ada harapan bagi Thunder untuk bangkit lagi. Pedang Dunk terpental dari genggaman
tangannya, dan tubuhnya terjungkal ke atas tanah. Dunk mendarat dengan benturan keras. Sakitnya
sampai terasa ke tulang. Rasa sakit menembus tubuhnya. Saking sakitnya, Dunk sampai meneteskan
air mata. Sesaat, Dunk hanya bisa terbaring di atas tanah. Darah memenuhi mulutnya. Dunk si
bodoh, yang mengira dirinya bisa menjadi seorang Ksatria. Dunk tahu dia harus segera bangkit, atau
mati. Sambil mengerang, Dunk memaksakan diri untuk bangkit berdiri. Dia tidak bisa bernafas,
maupun melihat apapun. Lubang mata di helmnya tertutup lumpur. Sambil berjalan terhuyung-
huyung, Dunk mencoba mengorek lumpur yang menutupi lubang mata helmnya dengan tangannya
yang memakai sarung tangan besi. Nah, kelihatan...

Dari sela-sela jari tangannya, Dunk melihat seekor naga terbang, dan sebuah gada berduri melayang
di ujung rantai. Lalu kepalanya terasa seolah-olah mau pecah.

Ketika Dunk membuka mata, ia kembali terbaring di atas tanah. Tergeletak dengan posisi terlentang.
Lumpur sudah tidak lagi menutupi helmnya, tetapi salah satu matanya kini tertutup oleh darah. Di
atas, cuma langit berwarna kelabu gelap. Wajah Dunk berdenyut, dan ia bisa merasakan logam
dingin dan basah menekan pipi dan pelipisnya. Dia memecahkan kepalaku. Aku akan mati.
Parahnya, ada orang-orang lain yang akan mati bersamaku. Raymun, Pangeran Baelor, dan yang
lainnya. Aku gagal. Aku bukan pahlawan. Aku bahkan bukan seorang Ksatria pengelana. Aku bukan
siapa-siapa. Dunk teringat, Pangeran Daeron berkata bahwa tidak ada yang bisa terbaring tergeletak
tak berdaya di atas lumpur lebih baik daripada dirinya. Tapi, Pangeran Daeron belum pernah melihat
Dunk si Bodoh, kan? Rasa malu itu lebih parah daripada rasa sakit yang ia rasakan sekarang.

Mendadak Sang Naga muncul di atas Dunk.

Kepalanya ada tiga. Sayapnya berwarna terang bagaikan kobaran api-merah, kuning, oranye. Dan
Naga itu tertawa. “Sudah mati belum, Ksatria pengelana?” tanyanya. “Berserulah tanda menyerah,
akuilah bahwa kau bersalah, dan mungkin aku hanya akan memotong satu tangan dan satu kakimu.
Oh, dan gigimu juga. Tapi, apalah artinya beberapa gigi? Orang sepertimu bisa hidup sampai lama
hanya dengan makan bubur murah.” Sang Naga tertawa lagi. “Tidak mau? Kalau begitu, makanlah
ini.” Gada berduri itu berputar-putar di atas langit, lalu jatuh ke atas kepala Dunk dengan cepat,
bagaikan bintang jatuh.

Dunk berguling.

Entah dari mana datangnya, tapi Dunk mendadak mendapat kekuatan baru. Ia berguling ke arah kaki
Aerion, memeluk pahanya sekuat tenaga, menyeret Aerion yang sedang mencaci maki ke dalam
lumpur, lalu duduk di atas tubuhnya. Coba saja ayunkan gadamu sekarang. Sang pangeran mencoba
menghantamkan pinggir perisainya ke kepala Dunk, tetapi mengenai helm penyok Dunk. Aerion
kuat, tetapi Dunk lebih kuat, lebih besar, dan lebih berat. Dunk merebut perisai Aerion dengan
kedua tangannya, dan menarik sekuat tenaga sampai tali pengikatnya putus. Lalu Dunk
menghantamkan perisai itu ke atas helm sang pangeran. Berulang kali, sampai lambang kobaran api
di helmnya pecah. Perisai itu lebih tebal daripada milik Dunk. Terbuat dari kayu oak murni, dan
diikat dengan besi. Satu hiasan api pecah. Lalu satu lagi. Sang Pangeran sudah kehilangan semangat
tarung, sementara Dunk masih memukul dengan penuh semangat.

Aerion akhirnya melepaskan gadanya, yang tidak bisa ia gunakan, lalu mencoba meraih belati di
pahanya. Ia berhasil mencabut belati itu dari sarungnya, namun ketika Dunk menghantam
tangannya dengan perisai, belati itu terpental dan masuk ke dalam lumpur.

Dia bisa mengalahkan Ser Duncan The Tall, tapi jangan harap dia bisa mengalahkan Dunk, si Anak
Flea Bottom. Pak Tua telah mengajari Dunk adu tombak dan adu pedang, tapi kalau cara berkelahi
macam begini, Dunk sudah mempelajarinya dari dulu, di gang-gang gelap dan berliku di belakang
tempat minum-minum di kota King’s Landing. Dunk membuang perisai yang sudah penyok itu dan
mencengkeram helm Aerion, di bagian penutup wajahnya.
Bagian penutup wajah adalah titik kelemahan. Dunk ingat Steely Pate pernah berkata demikian.
Aerion sudah berhenti melawan. Matanya ungu, dan penuh dengan rasa ngeri. Dunk mendadak
sangat tergoda untuk mencongkel salah satu mata itu dan meremasnya hingga pecah seperti buah
anggur dengan tangannya yang bersarung tangan besi. Tapi, itu bukan tindakan ksatria.

“MENYERAHLAH!” serunya.

“Aku menyerah,” bisik Aerion dengan bibir pucat yang nyaris tak bergerak. Dunk mengejapkan
mata kepadanya. Sesaat, Dunk nyaris tidak mempercayai apa yang telinganya dengar. Jadi, sudah
selesai? Dunk menggerakkan kepalanya perlahan dengan arah menyamping. Ia mencoba melihat
sekelilingnya. Celah di bagian mata helmnya tertutup sebagian akibat hantaman yang mengenai
wajah kirinya. Ia melihat sekilas Pangeran Maekar, dengan gada di tangan, berjuang untuk
menghampiri putranya. Pangeran Baelorlah yang menghalanginya.

Dunk bangkit berdiri sambil menarik Pangeran Aerion untuk bangkit. Setelah meraba-raba untuk
menemukan tali pengikat helmnya, Dunk menarik putus tali itu dan membuang helmnya.
Dalam sekejap, Dunk dikepung oleh pemandangan dan suara-suara; bunyi teriakan dan caci maki,
bunyi teriakan massa, seekor kuda menjerit, sementara seekor kuda lain berlari tanpa penunggang
menyeberangi lapangan. Di mana-mana baja beradu dengan baja. Raymun dan sepupunya saling
membacok satu sama lain di depan panggung penonton. Mereka berdua sudah tidak menunggang
kuda. Perisai mereka berdua sama-sama hancur. Baik Apel Merah maupun Apel Hijau sama-sama
sudah hancur berkeping-keping. Salah seorang Ksatria Kingsguard sedang membopong rekan
sesama Kingsguard keluar lapangan. Mereka berdua sulit dibedakan karena sama-sama berbaju besi
dan berjubah serba putih. Ksatria Kingsguard yang ketiga sudah roboh, dan Sang Badai Tertawa
bergabung dengan Pangeran Baelor menghadapi Pangeran Maekar. Gada, kapak perang, dan pedang
saling beradu, dan menghantami helm dan perisai. Setiap kali Maekar menyarangkan satu pukulan,
ia menerima tiga pukulan balik. Dunk bisa melihat, pertarungan akan segera selesai. Aku harus
menghentikan pertarungan ini, sebelum korban jiwa bertambah.

Pangeran Aerion mendadak mencoba mengambil gadanya. Dunk menendang punggungnya


sehingga ia jatuh terjerembab, menarik salah satu kakinya, lalu menyeret Aerion di sepanjang
lapangan. Ketika Dunk akhirnya tiba di depan panggung penonton di mana Lord Ashford duduk,
Aerion sudah habis berlumuran lumpur. Dunk menariknya berdiri, lalu menggoncang tubuhnya.
Lord Ashford dan putrinya sampai kecipratan lumpur. “Katakan kepadanya!”

Aerion memuntahkan tanah dan rumput. “Aku mencabut semua tuduhanku.”

Setelah itu, Dunk tidak tahu pasti apakah dia berjalan meninggalkan lapangan dengan kekuatan
sendiri atau dibantu orang. Sekujur tubuhnya terasa sakit, dan di beberapa tempat sakitnya lebih
terasa. Apakah aku sekarang sudah benar-benar menjadi seorang Ksatria? Dunk mengingat-ingat
sambil bertanya-tanya. Apakah aku juara?

Egg membantunya melepas pelindung betis dan pelindung lehernya. Raymun juga membantu.
Bahkan Steely Pate pun ikutan membantu. Dunk terlalu pusing untuk membedakan mereka.
Ada jari-jari dan suara-suara. Dunk tahu, Pate-lah yang sedang mengeluh. “Lihat apa yang telah dia
perbuat pada baju besiku,” katanya. “lecet, penyok, dan goresan dimana-mana. Ya, aku bertanya
kepadamu, buat apa aku repot-repot? Kurasa aku harus melepas kemeja rantai besinya dengan cara
dipotong.”

“Raymun,” desak Dunk sambil memegangi tangan sahabatnya itu. “Yang lainnya...bagaimana
mereka?” Dunk harus tahu. “Adakah yang meninggal?”
“Beesbury,” kata Raymun. “Dibunuh oleh Ser Donnel of Duskendale saat serangan pertama.
Ser Humfrey Harydyng juga terluka parah. Sisanya cuma babak belur dan berdarah. Kecuali
dirimu.” “Dan mereka? Pihak penuntut?”

“Salah seorang Ksatria Kingsguard, Ser Willem Wylde, ditandu dari lapangan dalam keadaan mati
rasa. Dan kurasa aku mematahkan beberapa tulang rusuk sepupuku. Setidaknya, kuharap begitu.”

“Dan Pangeran Daeron?” kata Dunk. “Apakah dia selamat?”

“Begitu Ser Robyn menjatuhkannya dari atas kuda, Daeron tetap terbaring diam di sana.
Kakinya mungkin patah. Terinjak oleh kudanya sendiri saat kuda itu berlarian di lapangan.”

Walaupun merasa pusing dan bingung, Dunk merasa sangat lega. “Berarti mimpi Daeron salah.
Naga yang mati. Kecuali Aerion mati. Tapi Aerion tidak mati, kan?”

“Tidak,” kata Egg. “Anda mengampuni nyawanya, ingat?”

“Kurasa begitu.” Ingatan Dunk tentang pertarungan tadi sudah membingungkan dan samar-samar.
“Sesaat, aku merasa mabuk. Tahu-tahu, sakitnya luar biasa. Sampai mau mati rasanya.”

Mereka membaringkan Dunk dan berbincang-bincang di dekatnya, sementara Dunk memandangi


langit kelabu yang keruh. Bagi Dunk, rasanya hari masih pagi. Entah berapa lama pertarungan ini
berlangsung.

“Demi Para Dewa, ujung tombak itu telah menusuk rantai baju sehingga masuk ke dalam dagingnya,”
Dunk mendengar Raymun berbicara. “Bakal membusuk, kecuali...”

“Buat dia mabuk, lalu siram lukanya dengan minyak panas,” saran seseorang.
“Begitulah cara Maester mengobati luka demikian.”

“Anggur.” Suara itu terdengar seperti bunyi dentang logam. “Bukan minyak. Minyak panas akan
membunuhnya. Anggur panas. Aku akan mengirim Maester Yormwell untuk memeriksanya, setelah
dia selesai merawat adikku.”

Seorang Ksatria jangkung berdiri dihadapan Dunk. Dia berbaju besi hitam yang penuh dengan
goresan dan bekas hantaman. Pangeran Baelor. Naga merah di atas helmnya sudah kehilangan
kepala, sayap, dan sebagian besar ekornya. “Yang Mulia,” kata Dunk, “aku ingin mengabdi kepada
Anda. Kumohon. Jadikan aku anak buah Anda.”

“Anak buahku.” Sang Ksatria hitam menaruh tangannya di bahu Raymun untuk memantapkan
posisinya. “Aku butuh orang-orang yang baik, Ser Duncan. Negeri ini...”
Suaranya terdengar tidak jelas. Mungkin dia tidak sengaja menggigit lidahnya sendiri.

Dunk sangat lelah. Sulit baginya untuk tetap sadar. “Anak buah Anda,” gumamnya sekali lagi.

Pangeran Baelor menggoyangkan kepalanya perlahan. “Ser Raymun...tolong, helmku. Pelindung


wajahku...retak, dan jari-jariku...terasa berat seperti dari kayu.”

“Segera, Yang Mulia.” Raymun memegang helm Sang Pangeran dengan kedua tangannya dan mulai
menarik. “Pate, tolong bantu.”
Steely Pate menarik sebuah bangku, dan naik. “Helm Anda pecah di bagian belakang, Yang Mulia,
di sebelah kiri. Kena hantam sampai ke pelindung leher. Bajanya bagus, sampai bisa menahan
hantaman sekuat ini.”

“Kemungkinan besar, gada adikku,” kata Baelor. Suaranya berat. “Dia kuat.” Baelor mengerenyit
sesaat. “Rasanya...aneh...Aku...”

“Ini dia.” Pate melepas helm penyok itu. “Demi Para Dewa...Astaga...Demi Para Dewa...”

Dunk melihat sesuatu yang basah dan berwarna kemerahan jatuh dari dalam helm itu. Ada yang
menjerit, nadanya tinggi dan mengerikan. Dengan latar belakang langit kelabu yang muram, seorang
pangeran berbaju besi hitam terlihat gemetaran. Tengkoraknya tinggal separuh. Dunk bisa melihat
darah merah, tulang putih, dan sesuatu yang lembek berwarna biru keabu-abuan. Di wajah Pangeran
Baelor terlihat raut muka aneh dan khawatir, seperti awan melintasi matahari. Baelor mengangkat
tangan dan menyentuh bagian belakang kepalanya dengan kedua jarinya dengan lembut. Lalu dia
pun ambruk.

Dunk menangkap tubuhnya. “Bangunlah,” itu perkataan yang diucapkan oleh Dunk menurut orang-
orang yang mendengarnya. Sama seperti perkataan Dunk kepada Thunder di pertarungan tadi,
“bangunlah, bangunlah...” Tapi Dunk tidak pernah ingat pernah mengucapkan itu setelahnya. Dan
Pangeran Baelor tidak terbangun.

000

Baelor dari House Targaryen, Pangeran Dragonstone, Hand of the King, Pelindung Negeri, dan calon
pewaris tahta Iron Throne dari Negeri Tujuh Kerajaan di Westeros, dibakar di lapangan Kastil Ashford di
sebelah Utara Sungai Cockleswent. Keluarga bangsawan lain mungkin memilih untuk mengubur anggota
keluarga mereka yang meninggal di dasar bumi atau menenggelamkan jenasahnya ke dasar laut, tapi
Keluarga Targaryen adalah keturunan Naga, sehingga jenasah mereka dibakar.

Baelor adalah Ksatria terbaik pada masanya. Ada yang berpendapat, seharusnya jenasah Baelor
dipakaikan baju besi lengkap, dan pedang terhunus di tangannya. Namun, pada akhirnya, kehendak
ayahnya, Sang Raja, yang menjadi kenyataan. Dan Raja Daeron II lebih cinta damai. Ketika Dunk
berjalan melewati usungan jenasah Baelor, Sang Pangeran mengenakan tunik hitam dari beludru yang
dihiasi dengan sulaman naga berkepala tiga dari benang merah di bagian dada. Di lehernya terpasang
kalung emas yang berat. Pedang dalam sarung ditaruh di sisinya, namun Baelor mengenakan helm.
Sebuah helm tipis terbuat dari emas. Bagian pelindung wajahnya dibuka agar orang-orang bisa melihat
wajahnya.

Valarr, Sang Pengeran Muda, berdiri tegak di bagian kaki dari usungan jenasah di mana ayahnya
dibaringkan. Dia lebih pendek, lebih ramping, dan lebih tampan daripada almarhum ayahnya.
Hidungnya utuh, tidak seperti hidung Baelor yang pernah dua kali patah. Namun, hidung patah
itulah yang membuat wajah Baelor terlihat lebih manusiawi daripada terlihat sebagai bangsawan
keturunan Raja. Rambut Valarr coklat, namun ada sebaris rambut perak keemasan di tengah-
tengahnya. Melihat rambut itu membuat Dunk menjadi teringat akan Aerion, tapi Dunk tahu
penilaian semacam itu tidaklah adil. Rambut Egg sudah tumbuh kembali, sama terangnya dengan
kakak-kakaknya. Dan Egg bocah yang cukup baik, untuk ukuran seorang pangeran.

Ketika Dunk berhenti untuk menyampaikan belasungkawa, dan juga ucapan terima kasih, Pangeran
Valarr memandangi Dunk dengan mata birunya lalu berkata, “Ayahku baru berusia 39 tahun. Dia
punya potensi untuk menjadi Raja yang hebat. Raja terhebat sejak masa Aegon Sang Naga. Kenapa
Para Dewa justru mencabut nyawanya, dan malah membiarkanmu hidup?” Valarr menggelengkan
kepalanya. “Pergilah, Ser Duncan. Pergilah.”
Tak tahu harus bicara apa, Dunk berjalan dengan terpincang-pincang meninggalkan Kastil itu,
menuju kemahnya di tepi kolam hijau. Dia tidak tahu harus menjawab apa kepada Valarr. Diapun
tidak tahu jawaban atas berbagai pertanyaan yang dia ajukan kepada dirinya sendiri. Maester dan
pengobatan dengan anggur panasnya berhasil. Lukanya sudah sembuh, walaupun meninggalkan
bekas luka yang dalam di antara lengan kiri dan dadanya. Setiap kali Dunk melihat bekas luka itu,
mau tidak mau dia teringat akan Baelor. Baelor menyelamatkan nyawaku satu kali dengan
pedangnya, dan satu kali dengan perkataannya, walaupun kini Baelor sudah tiada sementara Dunk
masih berdiri di sana. Dunia terasa tidak masuk akal, ketika seorang pangeran hebat harus mati agar
seorang Ksatria pengelana bisa tetap hidup. Dunk duduk di bawah pohon elm, dan menatapi
kakinya dengan muram.

Ketika empat pengawal berseragam Kerajaan muncul di kemahnya suatu hari, Dunk yakin mereka
datang untuk membunuhnya. Terlalu capek dan lemah untuk mengambil pedang, Dunk duduk bersandar
di pohon elm, menunggu.

“Pangeran kami memohon kesempatan untuk berbicara berdua dengan Anda.”

“Pangeran yang mana?” tanya Dunk, cemas.

“Pangeran yang ini,” sebuah suara kasar terdengar sebelum kapten pengawal bisa menjawab.
Maekar Targaryen keluar dari balik pohon elm itu.

Dunk perlahan bangkit. Mau apa lagi dia sekarang?

Maekar memberi isyarat, dan para pengawal menghilang secepat mereka muncul. Sang Pangeran
mengamat-amati Dunk selama beberapa waktu, lalu berbalik dan menjauh dari Dunk, lalu berdiri di
pinggir kolam sambil mengamati pantulan wajahnya di permukaan air. “Aku telah mengirim Aerion
ke Lys,” kata Maekar mendadak. “Beberapa tahun tinggal di Kawasan Free Cities, Essos, mungkin
akan membuatnya menjadi lebih baik.”

Dunk belum pernah pergi ke kawasan Free Cities, jadi dia tidak tahu harus bilang apa. Dunk senang
bahwa Aerion sudah meninggalkan Negeri 7 Kerajaan, dan berharap Arion takkan pernah kembali.
Namun Dunk sadar, itu bukan perkataan yang pantas diucapkan kepada seorang ayah mengenai
putranya. Jadi Dunk tetap diam.

Pangeran Maekar berpaling menghadap Dunk. “Ada orang bilang, aku bermaksud membunuh
kakakku. Para Dewa tahu itu tidak benar, namun aku akan tetap mendengar gosip itu sampai aku
mati. Dan pukulan yang mematikan itu berasal dari gadaku. Aku yakin itu. Musuh lain yang
kakakku hadapi waktu itu cuma ketiga Kingsguard. Dan karena sumpah mereka, mereka cuma bisa
membela diri saat berhadapan dengannya. Jadi, akulah pelakunya. Anehnya, aku tidak ingat akan
pukulan yang menghancurkan kepalanya. Apakah itu berkat, atau kutukan bagiku? Dua-duanya,
kurasa.”

Dari cara Maekar melihat Dunk, tampaknya Sang Pangeran ingin sebuah jawaban. “Saya tidak
yakin, Yang Mulia.” Mungkin seharusnya Dunk membenci Maekar, tapi justru, anehnya, Dunk
merasa simpati kepada pria itu. “Anda yang mengayunkan gada itu, Paduka, tapi Pangeran Baelor
meninggal karena melindungi saya. Jadi, saya pun telah membunuhnya, sama seperti Anda.”

“Ya,” Maekar mengaku. “Kau juga akan mendengarkan gosip serupa. Sang Raja sudah tua. Begitu
beliau wafat, Valarr akan mewarisi tahta Iron Throne menggantikan ayahnya, Baelor. Setiap kali ada
pertempuran yang kalah atau gagal panen, akan ada yang berkata, ‘Baelor takkan membiarkan ini
terjadi. Tapi si Ksatria pengelana membunuhnya.’ “
Dunk mengakui, ada benarnya. “Jika aku tidak melawan, Anda akan memotong tanganku. Dan
kakiku. Kadang aku duduk di bawah pohon itu dan memandang kepada kakiku, lalu bertanya-tanya,
tidak bisakah aku berkorban sepotong kaki saja? Mana mungkin kakiku nilainya setara dengan
nyawa seorang Pangeran? Dan juga nyawa kedua Humfrey. Mereka juga orang baik.” Ser Humfrey
Hardyng baru saja meninggal dunia semalam.

“Dan apa jawaban yang diberikan oleh pohon itu kepadamu?”

“Aku tidak bisa mendengar jawabannya. Tapi Pak Tua, Ser Arlan, setiap hari menjelang malam dia
akan berkata, ‘entah apa yang akan terjadi di hari esok.’ Dia tidak pernah tahu. Sama seperti kita.
Nah, mungkin saja suatu hari kelak aku memerlukan kakiku itu? Mungkin saja seisi negeri
membutuhkan kaki itu, lebih daripada nyawa seorang Pangeran?”

Maekar merenungkan perkataan itu beberapa saat lamanya. Mulutnya menegang di bawah jenggot
keperakan yang membuat wajahnya terlihat begitu kaku. “Hampir mustahil,” katanya kasar. “Di
negeri ini ada begitu banyak Ksatria pengelana, sama banyaknya dengan pondok pinggir jalan, dan
mereka semua berkaki utuh.”

“Jika Yang Mulia punya jawaban yang lebih baik, aku bersedia mendengarkan.”

Muka Maekar berkerut. “Mungkin saja Para Dewa sedang ingin bercanda. Atau mungkin juga
Para Dewa sebenarnya tidak ada. Mungkin saja semua ini tidak ada arti apa-apa. Aku ingin bertanya
kepada High Septon. Tapi, terakhir kali aku menghadap dirinya, ia berkata kepadaku bahwa tidak ada
orang yang bisa memahami sepenuhnya cara kerja Para Dewa. Mungkin dia seharusnya mencoba untuk
tidur di bawah pohon.” Maekar nyengir.

“Putra bungsuku tampaknya menyukai Anda, Ser. Sudah waktunya dia mulai magang sebagai Squire, ta
pi dia bilang kepadaku bahwa ia hanya ingin magang kepada Anda. Seperti yang Anda ketahui, dia
bocah yang susah diatur. Maukah Anda menerimanya sebagai Squire?”

“Aku?” mulut Dunk terbuka, tertutup, lalu terbuka lagi. “Egg...maksudku, Aegon...dia anak yang
baik, tapi, Yang Mulia, saya tahu Anda memberi saya sebuah kehormatan, tapi...saya cuma seorang
Ksatria pengelana.”

“Itu bisa diubah,” kata Maekar. “Aegon akan kembali ke kastilku di Summerhall. Ada lowongan di
sana bagimu, kalau kau mau. Seorang Ksatria yang mengabdi bagiku. Bersumpah setia kepadaku,
dan Aegon bisa magang kepadamu sebagai seorang Squire. Sementara kau melatih dirinya, pelatih
pasukanku juga akan melatihmu juga hingga tuntas.” Sang Pangeran memandang dengan cerdik
kepada Dunk. “Aku yakin Ser Arlan telah berusaha sebaik mungkin bagimu. Tapi masih banyak
yang harus kaupelajari.”

“Aku tahu, Paduka.” Dunk memandang kepadanya. Kepada rumput hijau dan alang-alang, pohon
elm yang tinggi, riak air di permukaan kolam yang diterangi sinar matahari. Seekor capung
menyeberangi kolam. Mungkin sama dengan capung yang dulu. Bagaimana Dunk? Tanyanya
kepada diri sendiri. Capung atau Naga? Beberapa hari yang lalu, Dunk pasti akan langsung
menjawab. Itulah cita-citanya sejak dulu. Namun, saat ini, di kala peluang dalam genggaman, justru
malah membuatnya takut. “Sesaat sebelum Pangeran Baelor meninggal, aku bersumpah akan
mengabdi kepadanya.”

“Kau terlalu lancang,” kata Maekar. “Apa kata Baelor?”

“Bahwa negeri ini butuh orang-orang baik.”

“Itu benar. Memangnya kenapa?”


“Aku akan menerima putramu sebagai Squire, Yang Mulia, tapi bukan di Summerhall. Bukan untuk
1-2 tahun. Kukira dia sudah cukup banyak melihat kastil. Aku akan menerimanya, tapi hanya jika
aku boleh mengajaknya mengembara bersamaku.” Dunk menunjuk ke kudanya, Chestnut. “Dia
akan menunggangi kudaku, memakai jubah bekasku, dan dia akan mengasah pedangku dan
membersihkan baju besiku. Kami akan tidur di penginapan dan kandang kuda. Sesekali di aula
kastil seorang Ksatria atau Lord bangsawan rendahan. Mungkin juga di bawah pohon, kalau
terpaksa.”

Pangeran Maekar memandang Dunk dengan tidak percaya. “Apakah Trial of Seven itu merusak
otakmu? Aegon adalah seorang Pangeran. Keturunan Raja. Pangeran tidak pantas untuk tidur di
parit dan makan dendeng sapi keras.” Maekar melihat Dunk ragu-ragu. “Apa yang kau takut untuk
katakan kepadaku? Katakan saja, Ser.”

“Aku yakin, Daeron tidak pernah tidur di parit,” kata Dunk perlahan. “Dan semua daging sapi yang
pernah dimakan Aerion kemungkinan besar tebal, padat, dan penuh kaldu.”

Maekar Targaryen, Pangeran Summerhall, memandangi Dunk si Anak Flea Bottom untuk waktu
yang lama. Rahangnya bergerak tanpa suara di bawah jenggotnya yang berwarna putih keperakan.
Akhirnya dia berbalik dan pergi, tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dunk mendengarnya pergi
naik kuda bersama dengan para pengawalnya. Setelah mereka tidak ada, yang terdengar hanyalah
bunyi samar-samar dari getaran sayap capung yang sedang terbang menyeberangi kolam.

Bocah itu datang keesokan paginya, persis di saat matahari terbit. Dia memakai sepatu bot tua, celana
selutut berwarna coklat, tunik wol berwarna coklat, dan jubah pengelana butut. “Ayahku bilang, aku
harus melayani Anda.”

“ ‘melayani Anda, SER,’ “ kata Dunk mengoreksi. “Kau bisa mulai dengan memasang pelana untuk
kuda. Chestnut untuk kaunaiki. Perlakukan dia dengan baik. Aku tidak mau melihatmu naik di atas
Thunder, kecuali aku sendiri yang menyuruhmu.”

Egg mulai mengambil pelana. “Kita mau ke mana, Ser?”

Dunk berpikir sejenak. “Aku belum pernah pergi ke Pegunungan Red Mountains. Maukah kau
melihat-lihat Dorne?”

Egg nyengir. “Kudengar di sana sandiwara bonekanya bagus-bagus,” katanya.

(TAMAT)

Anda mungkin juga menyukai