Anda di halaman 1dari 5

Sabtu, 22 November 2008

ASAL MULA HURUF JAWA

Rakyat Mendang Kamulan sangat bersukacita. Mereka telah bebas dari keangkaramurkaan.
Maka Ajisaka diangkat menjadi Raja Mendang Kamulan, bergelar Prabu Ajisaka. Prabu Ajisaka
memerintah dengan adil dan bijaksana. Sang prabu juga berusaha agar rakyatnya menjadi pandai.
Rayat diajari bercocok tanam, membuat saluran air, membangun gedung, memajukan
perdagangan, mengembangkan pelayaran, dan berbagai ilmu pengetahuan lain. Lebih daripada
itu, di Mendang Kamulan tidak ada lagi kesewenang-wenangan. Rakyat hidup aman dan tentram.
Sebelum keadaan menjadi demikian, Kerajaan itu diperintah oleh Prabu Dewatacengkar, seorang
raja yang amatlah lalim. Yang sangat mengerikan adalah bahwa Prabu Dewatacengkar suka
memakan daging manusia. Setiap hari, patih Mendang Kamulan harus menyediakan seorang
manusia untuk menjadi santapan Sang Prabu.
Rakyat Mendang Kamulan sangat menderita. Kehidupan mereka memang masih terbelakang.
Mereka belum mengenal ilmu pengetahuan. Bahkan, mereka belum mengenal huruf.

Tersebutlah seorang pengembara dari negeri seberang, bernama Ajisaka. Ia datang ke Pulau
Jawa, bermaksud menyebarkan pengetahuan. Berita mengenai kelaliman Prabu Dewatacengkar
telah sampai pula ke negeri seberang. Karena itu, Ajisaka bermaksud pula untuk menolong
rakyat Mendang Kamulan dari kesewenang-wenangan rajanya.
Setelah tiba di Mendang Kamulan, Ajisaka ingin segera menghadap Prabu Dewatacengkar. Patih
Mendang Kamulan mencegahnya. Ia merasa kasihan bahwa pemuda setampan itu akan mati
menjadi santapan rajanya. Akan tetapi, Ajisaka berkeras hati untuk menghadap. Katanya,
”Paman patih tidak usah khawatir. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Agung melindungi kita
semua. Lagi pula, bukankah sampai sesiang ini Paman belum menyajikan seseorang kepada
Baginda?”
Ajisaka dibawa menghadap Prabu Dewatacengkar. Melihat seorang pemuda yang berbadan
kekar, Sang Prabu sangat bergembira. Segera Sang Prabu turun dari singgasana dan menghapiri
Ajisaka. Ketika Prabu Dewatacengkar akan mengangkat tubuhnya, Ajisaka berkata, ”sebelum
Baginda menyantap hamba, perkenankanlah hamba mengajukan sebuah permintaan.”
”Katakan apa yang kamu minta,” sahut Sang Prabu dengan tidak sabar. Kemudian sambil
menoleh ke arah patih, Sang Prabu berkata, ”Kamu akan mendapat hadiah, Paman Patih. Sudah
lama aku tidak menyantap manusia semuda ini. Akhir-akhir ini hanya orang-orang tua yang
kamu sajikan. Dagingnya sudah tak enak lagi.”
”Hamba mohon diberi sejengkal tanah,” kata Ajisaka.
”Untuk apa?” tanya Sang Prabu. ”Bukankah kamu akan segera mati?”
”Sepeninggal hamba, tanah itu ditempati oleh kerabat hamba. Dan lagi, tanah yang hamba minta
tidak luas.”
”Apakah seluas alun-alun? Atau seluas desa?” Tanya Sang Prabu.
”Hanya seluas ikat kepala hamba,” jawab Ajisaka.
”Ha-ha-ha-ha-ha,” Prabu Dewatacengkar tertawa tergelak-gelak. Konon jika Prabu
Dewatacengkar tertawa, suaranya akan menggelegar, seperti suara guruh. ”Seribu kali luas ikat
kepalamu akan kuberi,” sambungnya.
Ajisaka mulai mengurai ikat kepalanya. Ia memegang salah satu ujungnya. Ujung yang lain
dipegang oleh Prabu Dewatacengkar. Sang Prabu mundur selangkah demi selangkah untuk
membentangkan ikat kepala itu. Terjadilah suatu keajaiban. Ikat kepala itu ternyata dapat
membentang dan membentang, makin lama makin luas. Alun-alun kerajaan Mandang Kamulan
tertutup oleh ikat kepala itu.
Ketika Prabu Dewatacengkar sudah mundur sampai di tepi pantai selatan, Ajisaka mengibaskan
ikat kepalanya. Maka terceburlah sang prabu ke laut selatan dan menjelma menjadi seekor buaya
putih mulai saat itu Ajisaka menggantikan jabatan Prabu di Mendang Kamulan
Kini ia menjadi seorang Prabu di Mendang Kamulan. Sampai pada suatu hari, Prabu Ajisaka
ingat bahwa keris pusakanya tertinggal di Gunung Kendeng. Ingatannya melayang ke masa lalu,
sebelum ia pergi ke kerajaan Mendang Kamulan.
Waktu itu ia pergi bersama dengan 2 orang pengiringnya, ialah Dora dan Sembada. Ajisaka ingin
pergi ke Mendang Kamulan tanpa membawa senjata. Ia meminta Sembada untuk tinggal di
daerah pegunungan Kendeng, dan menjaga keris pusakanya. Sedangkan Dora diperintahkan
untuk mengikutinya. ”Kelak aku sendiri yang akan mengambil keris pusaka ini. Jangan sekali-
kali kamu berikan kepada orang lain,” pesan Ajisaka. Sembada berjanji untuk menjunjung tinggi
perintah itu.
Maka sekarang Dora diperintahkan untuk mengambil keris pusaka itu. Prabu Ajisaka berpesan,
”Katakan pada Sembada bahwa aku memerintahkan kamu menjemput kuris pusaka, dan
mengajak Sembada menghadap ke Mendang Kamulan.
Sembada tidak bersedia menyerahkan keris itu. Katanya, ”Bukankah dulu Raden Ajisaka berjanji
untuk mengambil sendiri keris pusaka ini? Aku juga mendapat pesan untuk tidak menyerahkan
keris ini pada orang lain.”
”Memang benar,” ujar Dora. ”Tetapi pada saat ini baginda sedang sibuk. Banyak urusan
kerajaaan yang harus diselesaikannya. Karena itu, akulah yang diutusnya. Aku mengemban tugas
seorang raja.”
Sembada tetap tidak mau menyerahkan keris pusaka itu. Ini menyebabkan Dora menjadi marah.
”Ingat,” katanya ”Aku adalah duta baginda. Dan aku wajib menjalankan segala perintahnya.”
”Aku juga abdinya,” sahut Sembada. ”Aku pun wajib untuk menjalankan segala titahnya.”
Pertengkaran itu kemudian berkembang menjadi perkelahian. Bahkan akhirnya Dora maupun
Sembada menggunakan senjata masing-masing. Keduanya sama-sama sakti. Setelah lama
bertarung. Dora dan Sembada bersama-sama gugur. Tidak ada yang kalah , tidak ada yang
menang.
Prabu Ajisaka yang telah lama menunggu-nunggu kedatangan kedua abdinya menjadi tidak
sabar. Dengan pengiring secukupnya, Prabu Ajisaka menyusul ke lereng pegunungan Kendeng.
Menyaksikan kedua abdinya yang setia bersama-sama tewas, Prabu Ajisaka sangat sedih. Sang
Prabu menyadari bahwa baik Dora maupun Sembada telah menunaikan tugas dengan sebaik-
baiknya. Dora benar, karena melaksanakan perntah raja. Sebaliknya, Sembada juga tidak salah,
karena telah menjunjung tinggi pesannya. Prabu Ajisaka sendiri yang bersalah.
Untuk mengenang dan menghargai jasa kedua abdinya itu, Prabu Ajisaka menggubah sebuah
sajak. Sajak itu dimaksudkan untuk mengenang kedua abdinya yang gugur dalam mengemban
tugas. Beginilah bunyi sajak itu :
”hana caraka
data sawala
padha jayanya
maga bathanga”
yang dalam terjemahan harafiahnya lebih kurang :
”ada utusan
mereka bertengkar
sama-sama sakti
semua menjadi mayat”
Prabu Ajisaka memerintahkan rakyatnya menghafalkan saja itu. Dengan demikian kesetiaan
Dora dan Sembada kepada tugas akan selalu dikenang. Demikian pula diharapkan agar rakyat
Mendang Kamulan dan segenap keturunannya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Untuk setiap suku kata pada sajak itu, dibuatkan suatu tanda khusus. Ini kelak menjadi urut-
urutan huruf yang kemudian dikenal sebagai huruf Jawa. Sampai saat ini, orang Jawa masih
menggunakan huruf itu.

Kisah Ajisaka – Asal-Mula Aksara Jawa


December 20, 2007 at 1:13 pm (Culture, Picz, Stories)

Tau aksara Jawa? Pernah denger dongeng Ajisaka?


Menurutku, aksara Jawa tuh penting banged mengingat aku adalah orang Jawa (walo cuma Jawa
keturunan), aksara Jawa adalah bagian yang sangat penting dari kebudayaan Jawa, dan (ini yang
bahaya) sekarang lagi marak2nya isu tentang hak paten sebuah budaya. Tolong ya, aksara Jawa
itu BERASAL DARI JAWA (dari namanya juga ketauan kan!) MILIK INDONESIA, jadi
buat negara2 lain yang seneng sama aksara Jawa, kalo seneng ya seneng aja. Ngeliat boleh,
meneliti boleh, make juga boleh, tapi JANGAN sekali2 MENGAKU MEMILIKI aksara ini.
Oke?! Jangan bikin emosi!

Oke, jadi, ini nih yang disebut aksara Jawa :

Aksara Jawa ini punya sejarahnya sendiri, legenda atau mitos gitu, yang dipercaya sebagai asal
mula munculnya aksara ini. Sayangnya, ga banyak anak muda Indonesia sekarang yang peduli,
apalagi tau tentang kisah2 kayak gini yang (lagi-lagi) merupakan komponen dari kebudayaan
Indonesia. Walopun ada juga kontroversi ttg cerita ini (kapan2 aku post), cerita yang aku
tampilin di bawah ini adalah cerita yang aku kenal sejak kecil. Oiya, aku pernah nyeritain kisah
ini ke temenku dari California, USA. Katanya, kisah ini bagus banged, artistik banged. Orang
luar negeri aja suka sama cerita ini, masa kita yang orang Indonesia malah nyuekin cerita2 kayak
gini. Kita ga perlu percaya cerita ini bener2 terjadi, karena emang ga ada jaminan cerita ini
beneran pernah terjadi, tapi kita mustinya tau tentang cerita2 tradisional kayak gini… Pertama,
untuk menjaga kebudayaan kita, identitas kita. Kedua, apa ya ga malu, masak orang Indonesia ga
tau cerita rakyat dari Indonesia? Minimal dari daerah sendiri deh… Ketiga, untuk menjaga
keaslian budaya kita. Keempat, untuk menjaga biar budaya kita ga dicomot oleh negara lain dan
diaku sebagai budaya sana (which is soooooo damn irritating!)

Haduh, kebanyakan ngomong kayaknya.. Ya sudah, ini dia, kisah Ajisaka!

Jaman dulu, di Pulau Majethi, hidup seorang satria bernama Ajisaka. Selain ganteng,
Ajisaka juga punya ilmu tinggi dan sakti. Ajisaka punya dua orang punggawa bernama
Dora san Sembada. Dua orang itu sangat setia dan nurut sama Ajisaka. Suatu hari,
Ajisaka ingin pergi berkelana, bertualang meninggalkan Pulau Majethi. Dora pergi
menemani Ajisaka sedangkan Sembada tetap tinggal di Pulau Majethi karena Ajisaka
memerintahkan Sembada untuk menjaga pusaka Ajisaka yg paling sakti. Ajisaka berpesan
pada Sembada bahwa Sembada ga boleh menyerahkan pusaka itu kepada siapapun
kecuali Ajisaka.

Nah, pada waktu itu di Jawa ada negara yang terkenal makmur, aman, dan damai, yang
berjudul Medhangkamulan. Negara itu dipimpin oleh Prabu Dewatacengkar, raja yang
berbudi luhur dan bijaksana. Seuatu hari, juru masak kerajaan tidak sengaja memotong
jarinya waktu masak. Juru masak itu ga sadar bahwa potongan jarinya masuk ke
hidangan yang akan disuguhkan kepada Sang Raja. Tanpa sengaja juga, jari itu termakan
oleh Prabu Dewatacengkar. Ga disangka, Prabu Dewatacengkar merasa daging yang dia
makan sangat lezat, kemudian ia mengutus patihnya menanyai juru masak kerajaan.
Ternyata kemudian diketahui bahwa yang tadi dimakan oleh Prabu Dewatacengkar
adalah daging manusia, ia memerintahkan kepada patihnya untuk menyiapkan seorang
rakyatnya untuk disantap setiap harinya. Sejak itu Prabu Dewatacengkar punya hobi
baru, yaitu makan danging manusia. Wataknya berubah jadi jahat dan senang melihat
orang menderita. Negara itu berubah jadi negara yang sepi karena satu per satu
rakyatnya dimakan oleh rajanya, ada juga rakyat yang lari menyelamatkan diri. Sang
Patih bingung, karena ga ada lagi rakyat yang bisa disuguhkan kepada rajanya.

Saat itulah Ajisaka bersama Dora sampe di Medhangkamulan. Ajisaka heran melihat
keadaan negara yang sunyi dan menyeramkan itu, kemudian ia mencari tahu sebabnya.
Setelah tau apa yang terjadi di Medhangkamulan. Ajisaka lalu menghadap Patih,
menyatakan bahwa ia sanggup menjadi santapan Sang Raja. Awalnya Sang Patih tidak
mengijinkan Ajisaka yang masih muda dan (ehem..) ganteng jadi santapan Prabu
Dewatacengkar, tapi Ajisaka tetep maksa sampe akhirnya dia dibawa juga untuk
menghadap Prabu Dwatacengkar. Sang Prabu juga heran, kenapa orang yang masih muda
dan tampan mau-mau aja jadi santapannya. Ajisaka mengajukan syarat, dia rela dimakan
Sang Prabu asal dia dihadiahi tanah seluas ikat kepalanya. Selain itu, Ajisaka juga minta
Prabu Dewatacengkar sendiri yang mengukur tanah tersebut. Permintaan itu dikabulkan
oleh Sang Prabu. Ajisaka kemudian meminta Prabu Dewatacengkar menarik salah satu
ujung ikat kepalanya. Ajaibnya, ikat kepala itu mulur terus kayak ga ada habisnya. Prabu
Dewatacengkar terpaksa mundur dan mundur terus mengikuti ikat kepala itu sampe di
tepi laut selatan. Ajisaka mengibaska ikat kepala tersebut, hal ini membuat Prabu
Dewatacengkar terlempar ke laut. Wujud Prabu Dewatacengkar lalu berubah menjadi
buaya putih, sedangkan Ajisaka menjadi raja di Medhangkamulan.

Setelah jadi raja, Ajisaka menyuruh Dora pergi ke Pulao Majethi untuk ngambil pusaka
yang dijaga oleh Sembada. Sampe di Pulau Majethi, Dora menjelaskan pada Sembada
bahwa dia datang atas perintah Ajisaka untuk mengambil pusaka yang dijaga Sembada.
Sembada yang patuh pada pesan Ajisaka ga mau ngasih pusaka itu ke Dora. Dora
memaksa agar pusaka itu diserahkan ke dia. Akhirnya dua orang itu bertarung. Karena
dua-duanya sama-sama sakti, pertarungan berlangsung seru sampai mereka berdua tewas.

Prabu Ajisaka mendengar kabar kematian Dora san Sembada. Dia menyesal mengingat
kelalaiannya dan kesetiaan Dora dan Sembada. Untuk mengabadkan dua punggawanya
itu Ajisaka menciptakan sebuah aksara yang bunyinya :
ha na ca ra ka
Ana utusan (ada utusan)
da ta sa wa la
Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
pa dha ja ya nya
Padha digdayané (sama-sama sakti)
ma ga ba tha nga
Padha dadi bathangé (sama-sama mejadi mayat)

Anda mungkin juga menyukai