Ebook: Inzomia
Re edit by: Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
PENGANTAR
Pada zaman dahulu kala, ada sebuah dunia misterius yang dikenal dengan nama
Gunung Olimpus. Dunia yang tersembunyi di belakang sekumpulan awan tebal ini
tak pernah tertiup angin ataupun terguyur hujan. Para penghuni Gunung Olimpus
tidak pernah menjadi tua ataupun mati. Mereka bukan manusia. Mereka adalah
para dewa dan dewi Yunani yang perkasa.
Para dewa dan dewi Olimpus memiliki pengaruh besar atas kehidupan umat
manusia di dunia. Pada suatu ketika, kemarahan para dewa dan dewi ini
menyebabkan seorang pria bernama Odiseus harus berkelana di lautan selama
bertahun-tahun hanya untuk menemukan jalan pulang.
Tiga ribu tahun yang lalu, untuk pertama kalinya, seorang penyair Yunani bernama
Homer menceritakan kisah perjalanan Odiseus. Sejak saat itu, para pendongeng
lain turut menceritakan kembali kisah perjalanan yang ajaib dan mengesankan
tersebut. Kisah perjalanan tersebut dikenal sebagai Odisei.
SATU
PANGGILAN PERANG
Pada zaman dahulu kala di Pulau Ithaca, Yunani Kuno, hiduplah seorang pria
bernama Odiseus. Meski ia seorang raja di pulau tersebut, Odiseus menjalani
kehidupan yang sederhana. Ia gemar merawat ladang maupun kebun buah serta
bekerja dengan menggunakan kedua tangannya sebagai pengrajin dan tukang kayu.
Selain itu, ia sangat menikmati kebersamaan dengan keluarganya - ayah dan
ibunya yang sudah lanjut usia; Penelope, sang istri tercinta; dan putranya,
Telemakus.
Pada suatu hari, ketika tengah membajak sawah, Odiseus menatap Penelope dan
Telemakus. Putranya sedang tertidur lelap di dalam buaian sang ibu di bawah
pohon. Odiseus membayangkan bahwa suatu saat kelak ia akan mengajari putranya
bercocok tanam dan merawat kebun buah. Ia akan mengajarinya berlayar di antara
kepulauan Yunani.
Pada saat Odiseus tengah membayangkan masa depan putranya, seorang pelayan
berlari-lari dari arah istana.
"Pembawa pesan dari Raja Agamemnon telah tiba," demikian si pelayan berteriak.
Perasaan takut menghinggapi Odiseus. Ia tahu mengapa si pembawa pesan datang.
Agamemnon, sang penguasa kepulauan Yunani, tengah memanggil para raja dan
pangeran dari seluruh Yunani untuk berperang melawan Troya. Seorang pangeran
Troya telah menculik Helen, ratu Yunani dari pelukan suaminya.
"Odiseus dari Ithaca!" si pembawa pesan berseru. "Aku membawa perintah
untukmu agar bergabung dengan Raja Agamemnon guna berperang melawan
Troya!"
Odiseus menatap laki-laki tersebut sambil berusaha dengan susah payah
memikirkan cara untuk menghindari perpisahan dengan keluarganya. Ia adalah
seorang pejuang dan pemimpin yang gagah berani, namun cintanya pada keluarga
melebihi segala-galanya. Ia tidak ingin meninggalkan keluarganya.
"Odiseus!" si pembawa pesan berseru. "Ingatlah bahwa kau sendiri yang telah
meminta rakyatmu untuk bersumpah mempertahankan pernikahan Helen!"
Odiseus ingat baik akan hal itu. Helen adalah wanita tercantik di dunia. Ketika
wanita itu telah cukup umur untuk menikah, seluruh pangeran dan raja Yunani
ingin mempersuntingnya. Karena khawatir akan kehancuran bangsa akibat
kecemburuan para raja dan pangeran tersebut, Odiseus menganjurkan mereka
bersumpah untuk selalu mempertahankan pernikahan
Helen, tak peduli siapa yang akan menjadi suaminya.
"Atas nama Agamemnon, aku memerintahkanmu untuk berlayar sekarang juga!"
demikian si pembawa pesan berkata.
Tanpa memedulikan si pembawa pesan, Odiseus mulai bertingkah laku aneh.
Bukannya mengikat kedua sapinya untuk membajak, ia malahan mengikat seekor
sapi bersama dengan seekor keledai kecil. Ia tidak menaburkan benih ke dalam
petak tanamannya, melainkan garam. Odiseus berharap bahwa si pembawa pesan
akan berpikir bahwa dirinya telah menjadi gila.
Namun, si pembawa pesan merasa curiga bahwa Odiseus hanya berpura-pura gila.
Untuk mengujinya, si pembawa pesan merampas Telemakus dari gendongan
Penelope dan meletakkannya di depan bajak Odiseus.
Penelope menjerit.
Odiseus segera menghentikan bajaknya karena tidak ingin melukai putranya. Pada
saat itulah ia tahu bahwa ia telah menentukan nasibnya sendiri. Ia telah
membuktikan bahwa dirinya masih dapat menggunakan akal sehat. Sekarang ia
harus meninggalkan keluarganya dan memenuhi panggilan perang.
DUA
KUDA KAYU
EMPAT
PANTAI MISTERIUS
Tak lama kemudian, armada kapal Yunani itu mendekati sebuah pulau berbukit-
bukit yang rapat ditumbuhi pepohonan. Tampaknya pulau tersebut tidak
berpenghuni. Ratusan kambing liar terdengar mengembik dari balik semak-semak.
Odiseus memerintahkan awak kapalnya untuk membuang jangkar di teluk yang
tertutup kabut. Pada saat awak kapal menurunkan layar, malam telah tiba. Bulan
tertutup awan. Di tengah gelapnya malam, para awak kapal berbaring di atas pantai
berpasir dan jatuh tertidur.
Ketika pagi menjelang, awak-awak kapal tersebut melihat para peri hutan. Mereka
adalah anak-anak perempuan Zeus yang sedang menggiring kambing-kambing liar
menuruni bukit. Para awak kapal yang kelaparan tersebut segera mengambil anak
panah serta tombak dan membunuh lebih dari ratusan kambing.
Sepanjang hari, para awak kapal Yunani tersebut berkeliaran di pulau sambil
menyantap daging panggang dan minum anggur yang manis.
Setelah matahari terbenam, mereka menatap ke arah pantai misterius di seberang.
Asap membumbung dari api di sisi gunung yang berada di sana. Mereka
mendengar suara gumaman berat dan embikan domba yang terbawa oleh angin
senja.
Siapa yang tinggal di sana? Siapa yang menyalakan api unggun itu? Odiseus
bertanya-tanya dalam hatinya. Apakah mereka orang-orang baik atau orang-orang
jahat?
Malam tiba, dan para prajurit Yunani tersebut kembali tertidur di atas pantai
berpasir. Ketika fajar menjelang, Odiseus terbangun dan kembali memandang ke
arah pantai misterius di kejauhan. Walaupun ia sangat ingin segera pulang ke
Ithaca, perasaan ingin tahu yang aneh dan kuat merasukinya.
Odiseus membangunkan awak kapalnya.
"Aku harus tahu siapa yang tinggal di pantai seberang," katanya. "Aku akan pergi
dengan satu kapal dan memimpin ekspedisi untuk mencari tahu apakah mereka
orang biadab atau orang beradab. Kemudian, barulah kita lanjutkan perjalanan."
Odiseus memilih orang-orang paling berani untuk pergi bersamanya. Mereka
membongkar sauh salah satu kapal dan meninggalkan pantai.
Tak lama kemudian, mereka telah mengayunkan dayung di atas permukaan laut
yang tenang dan mendayung ke arah pantai misterius tersebut. Setelah semakin
dekat,
mereka menjatuhkan jangkar di bawah tebing yang tinggi dan berbatu.
Kemudian, Odiseus mengisi kantung kulit kambingnya dengan anggur terbaik
yang ada di kapal. Minuman itu terbuat dari buah anggur yang paling manis.
"Ini akan menjadi hadiah persembahan bagi orang-orang yang menyambut kita
dengan ramah di tempat tinggal mereka," katanya.
Ia memerintahkan sebagian awak kapalnya untuk tetap tinggal di kapal dan
memimpin sisanya ke atas tebing. Di atas tebing yang tinggi, mereka menemukan
tempat yang luas dan teduh. Di tempat itu terdapat pohon anggur yang menjalar di
sekitar jalan masuk sebuah gua. Para prajurit Yunani tersebut menyingkap pohon
anggur tersebut dan melangkah ke dalam gua.
Gua tersebut penuh dengan anak kambing dan domba muda. Bermangkuk-
mangkuk besar keju dan berember-ember susu kambing tersebar di seluruh gua.
Namun, sama sekali tidak ada tanda-tanda seorang penggembala.
"Cepat!" kata salah seorang anak buah Odiseus. "Ayo kita ambil untuk persediaan
dan pergi!"
"Benar! Kita harus menggiring domba-domba ini ke kapal sebelum pemiliknya
datang!" yang lain menyetujui.
"Tidak," kata Odiseus. "Kita akan menunggu sebentar. Aku ingin tahu siapa yang
tinggal di sini."
Para orang Yunani itu kemudian menyalakan api unggun dan memberi
persembahan kepada dewa-dewa. Setelah itu, mereka dengan rakus menikmati
susu dan keju yang tersedia. Akhirnya menjelang sore hari, mereka mendengar
suara siulan dan kambing yang mengembik.
"Nah, si penggembala telah kembali," kata Odiseus. "Mari kita ke depan dan
menemuinya."
Namun, saat memandang ke luar gua, orang-orang Yunani tersebut terpana
ketakutan- karena si penggembala tersebut sama sekali bukan manusia. Ia adalah
sesosok monster besar.
LIMA
RAKSASA BERMATA SATU
Raksasa yang buruk rupa itu berjalan lambat dari arah tanah lapang. Ia membawa
begitu banyak kayu sehingga seolah-olah ia membawa hampir separuh hutan di
bahunya. Kepalanya yang mengerikan berbentuk seperti puncak gunung. Sebuah
mata menempel tepat di tengah keningnya.
Monster tersebut adalah Polifemus. Ia adalah Cyclops, sejenis raksasa bermata satu
terganas yang hidup tanpa aturan maupun pemimpin. Cyclops merupakan makhluk
kejam yang dikenal gemar menangkap dan memakan para pelaut yang kebetulan
berada di sekitar pantai mereka.
Polifemus melemparkan tumpukan kayu yang dibawanya. Pada saat tumpukan
kayu itu jatuh ke tanah, Odiseus dan anak buahnya lari bersembunyi di sudut gua
yang paling gelap.
Tanpa menyadari bahwa ada sekumpulan orang Yunani bersembunyi di dalam,
Polifemus menggiring ternaknya masuk ke dalam gua. Kemudian, dia mendorong
sebuah batu besar ke depan pintu gua untuk menghalangi cahaya dan mengurung
kumpulan ternak itu di dalam.
Bahkan dua puluh empat kereta tidak akan mampu menarik batu sebesar itu, pikir
Odiseus dengan perasaan putus asa. Bagaimana kita dapat melarikan diri dari
monster ini?
Anak buah Odiseus gemetar ketakutan ketika si raksasa membuat api unggun kecil
dan memeras susu kambing di tengah temaramnya sinar api unggun. Selesai
memeras susu, ia melempar lebih banyak kayu ke dalam api unggun. Api bersinar
lebih terang dan menerangi sudut-sudut di mana Odiseus beserta anak buahnya
bersembunyi.
"Apa-apaan ini? Siapa kalian? Kalian berasal dari mana?" si raksasa berteriak. Ia
menatap orang-orang Yunani itu dengan mata tunggalnya. "Apakah kalian para
bajak laut yang mencuri harta karun dari orang lain?"
Anak buah Odiseus terdiam karena tercekam rasa ngeri. Namun, Odiseus
menyembunyikan perasaan takutnya dan melangkah maju mendekati si raksasa.
"Kami bukan bajak laut," katanya. "Kami adalah orang-orang Yunani yang
tersesat. Kapal kami tersapu angin sehingga keluar jalur. Apakah kau akan
bersikap ramah sebagaimana layaknya seorang tuan rumah yang baik? Bila iya,
maka Zeus, penguasa seluruh dewa yang perkasa akan merasa senang. Zeus adalah
pelindung semua orang asing seperti kami."
"Dasar bodoh!" teriak si raksasa dengan keras. "Siapa kau? Berani sekali
menyuruhku untuk menyenangkan Zeus. Aku adalah anak Poseidon, Dewa Lautan!
Aku tidak takut pada Zeus!"
Anak buah Odiseus gemetar ketakutan.
Polifemus bergerak mendekati Odiseus. Ia berbicara dengan suara yang lembut
namun menakutkan. "Tetapi, hai orang asing, katakan, di mana kapalmu? Apakah
jauh atau dekat pantai?"
Odiseus tahu bahwa Polifemus mencoba menjebaknya.
"Kapal kami hancur diterpa badai," ia berbohong. "Kapal itu terhempas ke batu
karang. Hanya beberapa orang inilah yang berhasil menyelamatkan diri. Aku
bertanya sekali lagi, apakah kau bersedia menyambut kami?"
Cyclops tersebut melotot sejenak dan memandang Odiseus. Dan kemudian, tanpa
peringatan, ia menyambar dua prajurit Yunani. Ia melempar mereka ke lantai batu
sehingga keduanya tewas seketika. Si raksasa kemudian merobek tubuh kedua
orang tersebut, sepotong demi sepotong, dan mengunyah mereka-daging, tulang,
dan seluruh bagian tubuh mereka.
Anak buah Odiseus yang lain berteriak ketakutan. Mereka menengadahkan tangan
ke arah Gunung Olimpus untuk memohon pertolongan Zeus. Odiseus menguatkan
hatinya dan memerintahkan anak buahnya untuk diam.
Si raksasa menutup santapannya yang mengerikan dengan seember susu kambing.
"Nah!" katanya sambil mengusap mulutnya.
"Itulah sambutan yang kuberikan padamu."
Si raksasa bersendawa. Kemudian, ia berbaring di lantai, di antara domba-domba
gemuk dan muda. Tak lama kemudian ia tertidur lelap dan mulai mendengkur.
Sambil gemetar karena marah, Odiseus mencabut pedangnya, dan siap membantai
si raksasa haus darah itu. Namun, akal sehat mencegahnya.
Ia menarik napas panjang. "Kita tidak akan dapat menyingkirkan batu tersebut dari
pintu masuk," ia menjelaskan kepada anak buahnya yang ketakutan. "Bila aku
membunuh si kejam ini, kita juga akan mati, terperangkap selama-lamanya di
sarangnya yang berantakan ini."
Odiseus menyimpan pedangnya. Ia tidak memiliki pilihan lain selain menunggu
sampai pagi-dan menunggu si raksasa bangun.
ENAM
RENCANA ODISEUS
Setelah saat-saat yang mengerikan berlalu, sinar matahari pagi menyelinap masuk
di antara celah-celah batu di mulut gua.
Odiseus mengamati Cyclops membuka mata dan bangun dari lantai. Si raksasa
kemudian menyalakan api dan memeras susu. Setelah usai dengan tugasnya, ia
kembali menyambar dua orang Yunani.
Prajurit-prajurit Yunani yang ketakutan kembali memohon pertolongan Zeus.
Namun seperti sebelumnya, sang dewa yang perkasa tidak mendengarkan
permohonan mereka.
Odiseus dan anak buahnya yang lain memandang bagaimana si raksasa
menghantamkan tubuh dua orang teman mereka ke dinding batu dan menyantap
mereka sebagai sarapan pagi.
Orang-orang Yunani itu terpana ketakutan melihat pemandangan tersebut. Sekali
lagi Odiseus merasa marah sehingga sangat ingin membunuh si raksasa, namun ia
berjuang keras untuk menutupinya.
Usai menyantap sarapannya yang seram, Polifemus mendorong batu besar dari
pintu gua. Ia memanggil ternaknya dan memimpin mereka keluar. Kemudian, ia
menutup kembali pintu masuk dengan batu besar, sehingga orang-orang Yunani itu
tetap terperangkap di dalam. Mereka dapat mendengar siulan sang monster saat ia
menggiring ternaknya menuruni lereng bukit.
Odiseus dan anak buahnya merasa muak melihat bagaimana teman-teman mereka
dibunuh dengan kejam. Mereka menjerit-jerit dan menangis, namun Odiseus
menyuruh mereka untuk tenang.
"Menangis tidak akan dapat menyelamatkan kita," ia berkata. "Kita harus membuat
rencana."
Namun, anak buah Odiseus terlalu tertekan untuk dapat berpikir dengan jernih.
Oleh karena itu, Odiseus berjalan mondar-mandir di dalam gua sambil mencari
cara untuk menghancurkan si raksasa.
Saat menatap ke sekeliling gua yang remang-remang, Odiseus melihat tongkat
milik si raksasa. Tinggi tongkat yang terbuat dari kayu pohon zaitun berwarna
hijau itu sama dengan tinggi tiang kapal dagang yang memiliki dua puluh dayung.
Odiseus mengambil tongkat tersebut dan memotongnya menjadi sebuah pasak
setinggi enam kaki. Ia menyuruh prajuritnya mengukir kayu tersebut menjadi
runcing. Setelah usai, ia menyerut salah satu ujungnya menjadi setajam
mata pisau.
"Sekarang, kita undi siapa yang akan membantuku," kata Odiseus.
Anak buah Odiseus menarik undian, dan empat orang terpilih untuk membantu.
Odiseus memberitahukan rencananya. Kemudian, ia menyembunyikan pasak
tersebut di sudut gua yang gelap.
"Yang dapat kita lakukan sekarang hanyalah menunggu," katanya.
Para prajurit Odiseus berkumpul seperti anak kecil yang ketakutan. Odiseus duduk
dan menatap ke arah pintu masuk gua. Hatinya berubah menjadi keras dan dingin.
Akhirnya, ia mendengar suara siulan yang mengerikan dari makhluk tersebut, dan
kemudian suara domba.
Batu besar digeser dan sinar matahari masuk ke dalam gua. Sekumpulan domba
dan kambing bergerombol masuk. Si raksasa bermata satu berjalan perlahan-lahan
di belakang mereka.
Setelah masuk ke gua, Polifemus kembali menutup pintu gua dengan batu raksasa
tersebut. Tanpa memandang sekejap pun ke arah orang-orang Yunani, ia
menyalakan api unggun dan memerah susu kambing.
Setelah usai dengan tugasnya, Cyclops -seperti sebelumnya- menyambar dua orang
lagi, melempar mereka ke lantai, dan menyantap mereka sebagai makan malam.
Setelah menyelesaikan santap malam yang terdiri dari daging manusia, si raksasa
bermata satu menyeringai seram ke arah sisa orang Yunani yang masih hidup.
Orang-orang Odiseus berteriak ngeri di hadapan monster tersebut.
Odiseus gemetar karena menahan marah. Namun, ia masih mencoba untuk
tersenyum. Ia berdiri pelan-pelan dan mengambil kantung kulit kambingnya.
Dengan tenang dan mantap, ia menuangkan anggur merah yang manis ke dalam
mangkuk kayu.
"Silakan, Tuan," katanya sambil menawarkan mangkuk tersebut ke Cyclops.
"Silakan minum anggur kami. Aku memberikannya sebagai persembahan supaya
kau mengasihani kami dan membiarkan kami mencari jalan pulang."
Si raksasa merampas mangkuk tersebut dari Odiseus dan menenggak anggurnya.
Setelah menghabiskan minuman itu, ia mengembalikan mangkuk tersebut dan
berteriak keras, "LAGI! LAGI! Berikan aku LAGI!"
Odiseus menuang lebih banyak anggur ke dalam mangkuk, dan Polifemus
menenggak seluruhnya.
"LAGI!" monster tersebut berteriak. "LAGI! Dan katakan siapa namamu!"
Odiseus mengisi mangkuk untuk ketiga kalinya. Si raksasa menuang minuman
tersebut ke tenggorokannya. Kemudian ia meletakkan mangkuk tersebut dan
berjalan dengan limbung.
Odiseus sadar bahwa anggur tersebut mulai mempengaruhi kesadaran si raksasa. Ia
tahu bahwa waktu beraksi semakin dekat.
"Tuan, kau menanyakan namaku," kata Odiseus, "aku akan memberitahukannya
padamu sebagai hadiah. Namun, sebaliknya kau juga harus memberi hadiah
padaku. Namaku adalah Tak Seorang Pun. Demikian orang memanggilku. Tak
Seorang Pun."
Si raksasa tertawa dengan nada kejam.
"Ha! Tak Seorang Pun!" katanya. "Terima kasih atas pemberianmu. Sekarang aku
akan memberimu hadiah. Hadiahku adalah ini: aku akan memakanmu dan semua
orang-orangmu. Tetapi kau akan kumakan terakhir kali! Nah, itulah hadiahku
untukmu, Tak Seorang Pun. Ha ha ha!"
Ketika sedang tertawa, si raksasa mulai kehilangan keseimbangan. Ia mundur
beberapa langkah. Kemudian, ia merosot ke dinding gua dan jatuh ke lantai.
Kepalanya yang besar miring ke samping. Matanya tertutup dan ia mulai
mendengkur. Suara dengkuran si raksasa begitu keras sehingga semua ember susu
berguncang-guncang menggema di seluruh gua.
Odiseus bergerak cepat. Ia menekan ujung pasak yang tajam ke arah perapian yang
membara. Ia menyuruh anak buahnya untuk berdiri di dekatnya. Kemudian ia
menarik pasak tersebut dari api.
"Bantulah kami, wahai Zeus!" Odiseus berdoa.
Tampaknya sang dewa yang perkasa akhirnya mendengarkan doa Odiseus. Setelah
menarik napas panjang, Odiseus merasa mendapat kekuatan.
Odiseus memberi tanda. Kemudian bersama-sama mereka menegakkan dan
menusukkan ujung pasak yang menyala ke mata si raksasa yang besar dan
menonjol.
Cyclops meraung keras.
Matanya terasa mendidih dan mengeluarkan suara mendesis.
Orang-orang Yunani itu segera melepaskan pasak tersebut dan melarikan diri ke
sudut-sudut gua.
Polifemus mencabut pasak dari matanya dan membuangnya jauh-jauh. Karena
tidak bisa melihat dan mengerang-mengerang kesakitan, ia akhirnya terjatuh ke
lantai gua sambil berteriak minta tolong.
Cyclops lain yang tinggal di pulau tersebut muncul dari bebatuan yang gelap dan
berkumpul di luar gua.
"Siapa yang telah melukaimu, Polifemus?" teriak salah satu raksasa. "Mengapa kau
mengganggu ketenangan malam dengan teriakanmu? Siapa yang telah
melukaimu?"
"TAK SEORANG PUN!" Polifemus berteriak sambil berguling-guling kesakitan
di lantai guanya. "Tak Seorang Pun mencoba membunuhku! Tak Seorang Pun
membutakan mataku!"
"Baiklah, jika tak seorang pun telah
melukaimu, kau pasti sakit," kata Cyclops yang lain. "Dan bila Zeus membuat
salah satu dari kita sakit, yang lain tak dapat memberikan bantuan apa-apa."
Tanpa banyak bicara, semua Cyclops itu berbalik dan berjalan kembali ke gua
masing-masing.
Odiseus ingin tertawa. Tipuannya yang berani telah berhasil.
Sambil berteriak marah, si raksasa meraba-raba dinding dengan tangannya yang
besar untuk mencari batu yang menutup gua. Setelah menemukannya, ia
mendorongnya.
Odiseus merasa sangat gembira - ia dan anak buahnya akan segera bebas! Namun,
sebelum mereka dapat melarikan diri, si Cyclops buta telah duduk di depan pintu
gua yang terbuka dan melebarkan kedua lengannya yang besar. Si raksasa berdiri
dengan tenang. Ia menunggu untuk dapat menangkap orang Yunani pertama yang
mencoba melarikan diri.
TUJUH
KUTUKAN CYCLOPS
Jam demi jam Polifemus menunggu di pintu gua. Jam demi jam Odiseus berpikir
bagaimana ia dapat menyelamatkan diri dan anak buahnya. Menjelang fajar,
tatapannya beralih ke arah domba-domba gemuk dan berbulu tebal. Pasti ada cara
untuk memanfaatkan mereka, pikirnya.
Odiseus berdiri diam-diam. Cepat-cepat ia memilih delapan belas domba terbesar.
Kemudian, dengan memakai cabang pohon willow yang masih muda dan panjang,
ia mengikat domba-domba itu menjadi kelompok yang masing-masing terdiri dari
tiga ekor. Setelah selesai, ia mengikat anak buahnya-satu per satu-ke perut domba
yang berada di tengah.
Setelah semua anak buahnya tertutup oleh bulu domba yang keriting dan tebal,
Odiseus lalu memilih seekor domba jantan yang paling kuat dan bersembunyi di
bawahnya.
Sinar fajar mulai merayap masuk ke gua. Seperti yang biasa mereka lakukan setiap
pagi, domba-domba tersebut mulai mengembik dan bergerak ke luar gua, menuju
padang rumput di pegunungan.
Pada saat domba-domba tersebut berjalan melewati si raksasa, ia meraba bulu
mereka untuk mencari apakah ada orang Yunani di antara mereka. Namun, si
raksasa buta hanya menyentuh dua ekor domba yang berada di bagian luar dari
setiap kelompok. Ia tidak menyangka bahwa para prajurit Yunani itu akan
bersembunyi di bawah domba yang berada di tengah.
Satu demi satu, anak buah Odiseus melewati si raksasa dengan aman dan lancar.
Namun, ketika domba jantan di mana Odiseus bersembunyi mulai berjalan melalui
pintu gua, si raksasa menghentikannya dan memegang bulunya.
Odiseus menahan napas karena ia bersembunyi tepat di bawah perut domba jantan
tersebut.
"Teman baikku," kata Polifemus pada domba jantan tersebut, "mengapa kau
bergerak begitu lambat pagi ini? Kau selalu menjadi yang pertama berlari ke
padang rumput yang penuh bunga atau ke arah mata air yang menggelegak. Kau
selalu menjadi yang pertama pulang di malam hari. Apakah sekarang kau bergerak
pelan karena tahu bahwa tuanmu ini telah menjadi buta? Apakah kau turut bersedih
bagiku? Seandainya kau dapat bicara dan mengatakan padaku di mana Tak
Seorang Pun bersembunyi, aku akan menangkapnya dan menghancurkan otaknya."
Domba jantan itu mengembik dengan tidak sabar, dan si raksasa kemudian
melepaskannya pergi. Domba jantan tersebut -bersama Odiseus- bergerak ke luar
gua, menjauhi si raksasa.
Begitu mereka mencapai jarak yang cukup jauh dan aman, Odiseus meluncur turun
dari bawah perut domba jantan itu. Ia segera melepaskan ikatan anak buahnya.
Tanpa suara, ia memerintahkan anak buahnya untuk segera pergi. Kemudian
mereka menggiring ternak milik Cyclops ke arah air.
Saat melihat teman-teman mereka kembali dalam keadaan selamat, orang-orang
Yunani yang telah menunggu di kapal menyambut dengan gembira. Namun,
mereka menangisi kematian enam orang teman mereka yang telah dibunuh dengan
kejam.
"Berhentilah berkabung sekarang!" Odiseus berkata. "Kita harus segera melaut
sebelum Cyclops tahu bahwa kita telah kabur dan mengejar kita!"
Odiseus dan awak kapalnya menggiring ternak Cyclops ke atas kapal. Kemudian,
mereka mengangkat sauh dan mendayung secepatnya mengarungi laut yang tenang
dan berwarna kelabu.
Begitu mereka berada cukup jauh dari pantai, Odiseus berdiri di ujung kapal.
"Polifemus!" teriaknya. "Polifemus!"
Dalam sekejap mata, makhluk itu muncul di ujung tebing. Ia berteriak penuh
kemarahan ketika sadar bahwa Odiseus dan anak buahnya telah kabur.
"Kau seharusnya berpikir dua kali sebelum menyantap anak buahku!" teriak
Odiseus. "Lihat bagaimana Zeus telah menghukummu!"
Si raksasa yang telah buta tersebut menjawab dengan pekikan penuh kemarahan. Ia
mencabut sebongkah batu besar dari tebing yang tinggi, dan dengan sekuat tenaga
melemparkannya ke arah orang-orang Yunani tersebut.
Batu besar itu menghantam air di depan kapal mereka. Ombak sebesar gunung
muncul, menggulung, dan menyeret kapal tersebut kembali ke pulau Cyclops serta
mendorongnya ke arah pantai.
Odiseus menyambar sebuah dayung panjang dan segera mendayung kapalnya
kembali ke air.
"Dayung! Dayung!" ia berteriak pada awak kapalnya. "Dayung dan selamatkan
nyawa kalian!"
Secara membabi-buta, orang-orang Yunani tersebut mendayung kapal mereka
kembali ke laut lepas. Setelah mereka bergerak cukup jauh dari pantai, Odiseus tak
dapat menahan diri untuk mengejek makhluk buas itu sekali lagi.
"Polifemus!" ia berteriak.
Anak buah Odiseus memintanya untuk menjaga mulut. "Jangan ganggu monster
itu lagi! Ia pasti akan menenggelamkan kapal kita!"
Namun, Odiseus tidak ambil peduli terhadap permohonan mereka. Perasaan marah
dan sombong menyelimuti dirinya sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat
menahan diri dan membuat kesalahan yang fatal. Ia menyebutkan nama aslinya
kepada si raksasa.
"Polifemus!" ia berteriak. "Bila ada orang bertanya siapa yang telah membuatmu
buta, jangan katakan itu hasil perbuatan Tak Seorang Pun. Katakan pada mereka
bahwa itu adalah perbuatan Odiseus, penguasa Ithaca, si pejuang yang gagah
berani dan penakluk kota-kota besar! Dialah yang telah membuatmu buta!"
"Kurang ajar! Ramalan itu ternyata telah menjadi kenyataan!" seru si raksasa.
"Dahulu, seorang peramal pernah menyebutkan bahwa seorang pria bernama
Odiseus akan membuatku buta. Aku telah menunggu seseorang dengan kekuatan
seperti dewa. Tapi kau - kau hanyalah seorang manusia biasa yang lemah!
Kembalilah, supaya aku dapat memberikan persembahan padamu sebagai bukti
keramahtamahanku! Untuk menyenangkan Dewa Zeus! Sehingga ia bersedia
menyembuhkan mataku!"
"Menyembuhkanmu?" Odiseus berteriak dengan nada mengejek. "Baik Zeus
maupun aku tidak mau menyembuhkanmu. Aku hanya berharap bisa mengirimmu
ke Negeri Orang Mati!"
Si raksasa mengangkat tangan dan berdoa
kepada ayahnya, Poseidon, Sang Dewa Lautan. "Dengarlah aku, Ayah!" ia
berteriak dengan suara menggelegar. "Kutuklah Odiseus, sang raja Ithaca! Semoga
ia tidak akan pernah dapat pulang ke tanah kelahirannya hidup-hidup! Bila ia
memang dapat kembali, semoga ia tersesat dalam perjalanan pulang, kehilangan
kapal dan seluruh awak kapalnya! Semoga ia hanya mendapat kesedihan dan
kesulitan dalam perjalanannya!"
Cyclops kemudian memungut sebongkah batu yang lebih besar dari batu pertama
dan melemparkannya ke arah Odiseus. Namun, kali ini batu tersebut jatuh di
belakang kapal, dan ombak setinggi gunung mengangkat kapal Yunani tersebut ke
arah pulau kambing di mana sisa awak kapal lain sedang menunggu.
Odiseus disambut dengan teriakan penuh kelegaan. Namun sekali lagi,
kegembiraan tersebut berubah menjadi kesedihan manakala para prajurit Yunani
mengetahui bagaimana si raksasa telah membantai teman-teman mereka.
Pada saat matahari terbenam, orang-orang Yunani itu berpesta menyantap daging
domba dan minum anggur. Setelah malam tiba, mereka semua berbaring dan tidur
nyenyak di tepi pantai berpasir.
Di pagi hari, Odiseus memerintahkan semua anak buahnya naik ke kapal. Masing-
masing segera mengambil posisi. Kemudian, dengan mendayung secepat-cepatnya,
mereka
meninggalkan pulau kambing dan mengarungi samudra.
Saat kapal-kapal tersebut meluncur ke tempat tak dikenal, Odiseus tampak cemas.
Apakah Dewa Laut Poseidon akan mengabulkan permintaan putranya? Apakah ia
akan menghukum Odiseus karena telah membuat Polifemus menjadi buta? Bila
iya, bagaimanakah caranya dan kapan?
DELAPAN
ISTANA DEWA ANGIN
Tak lama kemudian, Odiseus dan anak buahnya tiba di sebuah pulau besar yang
berbatu. Di sana terlihat sebuah benteng besar yang terbuat dari perunggu. Suara
musik dan tawa gembira terdengar dari dalam benteng.
"Para saudagar lautan pernah mengatakan padaku tentang sebuah kerajaan yang
penduduknya selalu gembira," kata Odiseus kepada anak buahnya. "Tempat itu
adalah tempat tinggal Aeolus, Dewa Angin. Ia tinggal dengan keenam putra dan
enam putrinya. Siang dan malam mereka berpesta menyantap daging panggang dan
mendengarkan musik dari siulan dan suling."
"Tetapi bagaimana mereka akan menyambut kita?" salah seorang Yunani itu
bertanya dengan rasa takut. Anak buah Odiseus masih dihantui oleh mimpi buruk
tentang Cyclops.
"Dewa Angin adalah teman Zeus," kata Odiseus. "Aku yakin ia akan menghormati
perintahnya untuk menyambut orang asing dengan kebaikan hati."
Kata-kata Odiseus terbukti benar. Ketika orang-orang Yunani itu merapat ke pantai
pulau itu, Aeolus menyambut mereka dengan hangat. Ia bahkan mengundang
mereka untuk berkunjung ke istananya.
Odiseus sebenarnya berharap untuk dapat melanjutkan perjalanan secepatnya,
namun akhirnya ia setuju untuk tinggal di pulau Aeolus selama sebulan. Anak
buahnya sangat membutuhkan istirahat, dan Odiseus memikirkan cara bagaimana
Dewa Angin bisa membantu mereka pulang.
Pada minggu-minggu berikutnya, ketika anak buahnya sedang menikmati
kemewahan hidup di istana, Odiseus bercerita pada Dewa Angin tentang perang
besar nan panjang antara Yunani dan Troya. Ia juga bercerita tentang kuda kayu
dan jatuhnya Troya.
Aeolus sangat senang mendengar kisah menarik itu. Setelah Odiseus selesai
bercerita, sang dewa menawarkan hadiah untuknya.
"Aku hanya akan minta satu hal," kata Odiseus, "bersediakah kau membantu
armada kapalku untuk pulang ke Ithaca dengan selamat? Bersediakah kau untuk
tidak mengirimkan badai dan angin kencang serta hanya memberikan angin sepoi-
sepoi untuk mengembangkan layar kami?"
Aeolus menyetujui dengan penuh semangat. Ia segera mengumpulkan seluruh
angin dari timur, barat, utara, dan selatan. Sang dewa
memerintahkan setiap angin untuk tetap diam. Bahkan angin badai yang paling
ganas sekalipun mematuhi perintahnya.
Aeolus mengikat angin dari seluruh penjuru dunia itu ke dalam sebuah kantung
dari kulit sapi, sehingga tak ada satu pun yang dapat menghambat kapal-kapal
Yunani itu dalam perjalanan pulang. Ia hanya menyisakan angin barat yang sepoi-
sepoi untuk membawa kapal mereka secepatnya ke Ithaca.
Dewa Angin mengikat kantung angin tersebut dengan benang perak dan
memberikannya kepada Odiseus. Odiseus menyembunyikan kantung tersebut di
bagian bawah kapal. Ia tidak menceritakan kepada anak buahnya tentang isi
kantung tersebut, karena ia tidak ingin mereka menjadi malas dalam perjalanan
pulang.
Odiseus mengucapkan salam perpisahan kepada Dewa Angin. Dan kemudian,
dengan bantuan angin barat yang tenang, ia dan anak buahnya bertolak dari pulau
tersebut.
Hari-hari berikutnya, armada kapal Yunani berhasil mempertahankan jalur yang
benar. Odiseus sangat bersemangat untuk segera pulang ke kampung halamannya
sehingga ia tak dapat tidur. Selama sembilan hari sembilan malam, ia tetap
mengawasi bagaimana angin laut mengembangkan layar kapalnya.
Pada hari kesepuluh, di kejauhan, ia akhirnya melihat bukit-bukit berpohon lebat
menjulang di sepanjang pantai karang Ithaca. Odiseus merasa sangat bahagia. Ia
telah pulang! Kutukan Cyclops ternyata tidak terbukti.
Ketika kapal-kapal Yunani itu semakin mendekati pulau, Odiseus dapat melihat
asap api dari tungku dapur. Apakah Penelope, istrinya tercinta sedang menyiapkan
makan malam untuk putra mereka? Anak itu pasti sudah berusia sepuluh tahun
sekarang, usia yang sangat membutuhkan bimbingan seorang ayah. Dan apakah
kedua orangtua Odiseus masih hidup? Ia berdoa semoga mereka semua sedang
menanti untuk menyambutnya.
Angin barat yang lembut, ombak kecil, dan rasa letih-akhirnya bercampur menjadi
satu dan membuat Odiseus tertidur nyenyak.
Ketika ia tertidur, beberapa anak buahnya menggerutu satu sama lain.
"Apa kira-kira isi kantung yang diberikan oleh Dewa Angin kepada kapten kita?"
"Aku yakin pasti hadiah-hadiah istimewa- emas dan perak."
"Mengapa hanya Odiseus yang menerima hadiah dari Dewa Angin? Kita semua
juga bekerja tapi tidak mendapat apa-apa."
"Cepat! Sebelum ia bangun, ayo kita geledah kapal dan mencari tahu apa yang ia
sembunyikan dari kita!"
Dan kemudian orang-orang yang tidak setia tersebut menggeledah kapal dan
menemukan hadiah pemberian Dewa Angin. Mereka melepas ikatan benang perak
dari kantung kulit sapi itu.
Tiba-tiba, angin dari berbagai penjuru dunia bertiup ke luar dari kantung dan
berubah menjadi topan. Badai menerjang dan menyapu kedua belas kapal Yunani
itu jauh dari pantai Ithaca.
Odiseus melompat bangun dari tidurnya dan dengan panik berusaha
mempertahankan arah kapal namun terlambat. Ia tidak dapat melawan angin-angin
yang telah dilepaskan oleh anak buahnya.
Perasaan putus asa yang amat sangat hampir saja mendorong Odiseus untuk
menceburkan diri ke laut. Namun, ia berpegangan erat pada tiang kapal ketika
angin-angin tersebut menyapu armadanya kembali ke arah mereka datang- yaitu ke
pulau Dewa Angin.
Begitu mencapai pantai, Odiseus bergegas pergi ke benteng perunggu milik sang
dewa. Ia melihat Aeolus sedang berpesta dengan kedua belas anaknya.
Karena malu untuk memperlihatkan diri, Odiseus hanya berdiri di belakang aula
dan menunggu sampai mereka memerhatikannya.
Salah seorang anak Aeoluslah yang pertama kali memerhatikannya. "Apa yang
terjadi Odiseus?" ia bertanya. "Mengapa kau kembali?"
Odiseus melangkah maju. Ia bercerita kepada Aeolus tentang apa yang telah
dilakukan oleh awak kapalnya. "Aku mohon kau mau membantu kami sekali lagi
supaya kami dapat berlayar pulang," katanya. "Maukah kau sekali lagi mengikat
angin dan badai serta memberikan kami angin barat yang lembut untuk
mengembalikan kami ke jalur yang benar?"
"Tidak, Odiseus," kata Dewa Angin dengan suara rendah penuh kemarahan. "Kau
telah dikutuk Cyclops. Dan sekarang dewa-dewa memang telah menghukummu.
Kami tak dapat menolongmu lagi."
Odiseus memandang ke arah putra-putri Aeolus sambil berharap mereka menaruh
belas kasihan. Namun, mereka hanya memandangnya dengan dingin.
"Pergilah sekarang!" kata Dewa Angin. "Sebelum kami dihukum karena telah
membantumu. Tinggalkan pulau ini sekarang juga!"
Odiseus tahu bahwa Aeolus berkata yang sebenarnya. Kutukan Cyclops memang
terbukti atas dirinya. Dewa-dewa sedang menghukum orang-orang Yunani karena
telah membuat mata anak Poseidon yang jahat menjadi buta.
Odiseus kembali ke anak buahnya dan memerintahkan mereka untuk kembali
berlayar. Karena malu atas perbuatan bodoh mereka, anak buah Odiseus
mendayung dengan gagah berani. Namun tanpa kehadiran angin, kapal mereka
hanya terapung-apung di lautan selama berhari-hari.
Ketika Odiseus menatap langit yang berkabut, perasaan sedih mulai menekan
semangatnya. Namun, setiap kali ia memikirkan Penelope dan Telemakus, api
semangat untuk pulang ke Ithaca kembali berkobar.
Aku akan menemukan jalan untuk kembali ke keluargaku, ia berjanji kepada
dirinya sendiri. Kemudian, ia menatap ke arah cakrawala, sambil merindukan tanah
kelahirannya.
PENUTUP
SATU
PULAU RAKSASA PEMAKAN MANUSIA
DUA
HADIAH DARI PARA DEWA
Odiseus dan anak buahnya mendayung hingga kapal mereka selamat di laut lepas.
Ketika ia menatap ke arah ombak yang berwarna gelap bagaikan anggur, suara jerit
tangis dari para awak kapalnya yang sekarat masih terus terngiang-ngiang di
telinganya. Ia mulai menyadari bahwa kutukan Cyclops telah menjadi kenyataan.
Ia ingat ucapan kejam dari monster seram itu: "Semoga Odiseus tidak akan pernah
bisa pulang dalam keadaan hidup. Semoga ia tersesat serta kehilangan seluruh
kapal dan awaknya! Semoga ia hanya menemui kesedihan dan kesulitan dalam
perjalanannya!"
Sekarang, Odiseus kehilangan hampir seluruh kapal dan awaknya. Sebelas kapal
telah dihancurkan oleh para raksasa pemakan manusia. Hampir seluruh awak
kapalnya dibantai; hanya tersisa empat puluh lima orang.
Karena masih merasa terpana oleh perasaan kehilangan, Odiseus dan para awak
kapalnya tak mampu bicara. Mereka berlayar dalam keheningan karena terguncang
oleh ingatan akan perbuatan para raksasa yang telah menombak rekan mereka yang
terluka dan tak berdaya.
Akhirnya, kapal hitam itu mencapai sebuah pulau yang tertutup oleh hutan yang
hijau dan rimbun. Orang-orang Yunani itu turun ke darat dan jatuh pingsan di atas
pantai yang berbatu.
Selama dua hari dua malam, Odiseus dan para awaknya berbaring di tanah yang
keras sambil meratapi nasib buruk yang menimpa rekan-rekan mereka.
Pada hari ketiga, ketika cahaya fajar kemerahan menimpa pulau tersebut, Odiseus
mengumpulkan segenap kekuatan dan berdiri. Ia tidak membangunkan awak
kapalnya karena ia tahu mereka tengah patah semangat.
Mereka pasti dipenuhi perasaan sakit karena sedih sehingga sulit untuk mencari
makanan, pikirnya. Tak lama lagi mereka akan menjadi terlalu lemah untuk
berlayar dan kemudian mati di pulau ini.
Karena ingin menyelamatkan anak buahnya, Odiseus segera memungut pedang
dan tombaknya. Kemudian, ia pergi untuk berburu.
Ia menaiki tebing tinggi yang terjal dan mencari tanda-tanda kehidupan. Di
kejauhan, ia melihat asap membumbung tinggi dari hutan yang menghijau. Asap
itu berputar-putar di atas pohon dan menghilang di angkasa. Apakah akan ada lagi
raksasa dan monster di pantai ini? Odiseus bertanya-tanya dengan perasaan cemas.
Atau apakah para penghuni pulau ini adalah orang-orang yang ramah?
Sebelum mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, ia harus terlebih dahulu
mencari makanan untuk seluruh awak kapalnya.
Para dewa sepertinya dapat membaca pikiran Odiseus karena tak lama kemudian,
dari balik pepohonan yang rimbun, seekor rusa jantan besar dengan tanduk
menjulang berjalan ke luar.
Odiseus melemparkan tombaknya dan membunuh rusa itu dalam sekejap.
Kemudian ia membuat seutas tali dari ranting pohon cemara dan mengikat kaki
rusa jantan itu. Ia mengangkat rusa itu ke atas bahunya dan membawanya kembali
ke perkemahan para orang Yunani.
Ia melihat para awak kapalnya sedang duduk berkerumun membentuk lingkaran.
Kepala mereka tertutup mantel. Karena masih dalam keadaan berduka, mereka
mencucurkan air mata kesedihan atas kematian rekan-rekan mereka. Mereka juga
mengkhawatirkan nasib mereka sendiri.
"Dengar teman-teman," kata Odiseus, "kita tidak akan pergi ke Negeri Orang Mati
pagi ini. Hari ini bukanlah hari kematian kita. Sampai saat itu tiba, kita harus
menjaga diri kita sendiri. Bangunlah. Jagalah diri kalian baik-baik. Mari kita
menyantap pemberian para dewa ini."
Para anak buahnya membuka tutup kepala mereka. Mereka mengagumi rusa jantan
besar yang telah dibunuh Odiseus, dan perlahan-lahan, mereka mulai menyiapkan
santapan.
Mereka membersihkan tangan dan wajah di laut. Setelah berhari-hari bersedih dan
menderita, hati mereka mulai merasa sedikit terobati.
TIGA
MANTERA SI PENYIHIR WANITA
Sepanjang siang, Odiseus dan awak kapalnya berpesta daging rusa dan minum
anggur. Ketika matahari terbenam dan kegelapan menyelimuti pulau, mereka
berbaring di pantai dan tertidur dengan damai.
Saat fajar tiba, Odiseus membangunkan anak buahnya.
"Teman-teman, aku tidak tahu kita ada di mana," katanya. "Aku hanya tahu bahwa
kita berada di sebuah pulau. Kemarin pagi, pada saat aku pergi berburu, aku
memanjat tebing dan melihat lautan mengelilingi kita. Aku tahu ada orang lain
yang tinggal di sini karena aku telah melihat asap membumbung dari perapian di
tengah hutan-"
Sebelum Odiseus sempat meneruskan ucapannya, anak buahnya berteriak. Mereka
takut pada makhluk-makhluk mengerikan seperti Cyclops dan para raksasa
pemakan manusia, yang mungkin sedang mengintai mereka di pantai asing ini.
"Kendalikan rasa takut kalian!" perintah Odiseus. "Kita tidak memiliki pilihan
selain
menjelajahi pulau ini. Kita tidak tahu kita sedang berada di mana dan bagaimana
mencari jalan pulang. Kita harus mencari bantuan dari para orang asing."
Para anak buah tidak menghiraukan kata-katanya. Mereka menjadi semakin cemas.
Sebelum mereka benar-benar sepenuhnya diliputi perasaan takut, Odiseus
menceritakan rencananya.
"Dengar," katanya, "kita akan membentuk dua kelompok. Aku akan menjadi
kapten salah satu kelompok dan kelompok yang satu lagi akan dipimpin oleh
Erilokus yang pemberani."
Odiseus segera membagi anak buahnya. Dua puluh dua orang Yunani berada di
bawah pimpinannya, dan dua puluh dua orang lagi berada di bawah komando
pejuang yang sangat dipercayainya, Erilokus.
"Nah, sekarang Erilokus dan aku akan membuang undi untuk menentukan siapa di
antara kita yang harus menjelajahi pulau ini," kata Odiseus.
Odiseus dan Erilokus melakukan undian dengan memakai helm mereka. Undian
jatuh ke tangan Erilokus. Ia tidak punya pilihan selain harus memimpin anak
buahnya masuk ke dalam hutan lebat.
Dengan perasaan takut dan cemas, dua puluh orang Yunani berbaris di belakang
Erilokus. Karena cemas, beberapa di antaranya bahkan menangis saat bergerak
menuju pepohonan yang rindang.
Prajurit-prajurit Yunani yang tinggal juga ikut menangis. Sudah banyak teman-
teman mereka yang terbunuh sehingga mereka takut akan kehilangan lebih banyak
lagi.
Jam demi jam berlalu. Odiseus menanti kembalinya Erilokus beserta anak
buahnya. Sambil mengawasi hutan yang berbayang gelap, ia menantikan suara
mereka. Ia khawatir telah melakukan kesalahan dengan memaksa mereka untuk
melakukan pencarian. Namun, ia tidak sanggup menceritakan ketakutannya pada
anak buahnya yang lain.
Ketika matahari mulai terbenam, ia akhirnya mendengar suara langkah kaki.
Erilokus menghambur ke luar dari balik pohon. Ia seorang diri. Matanya melotot
dipenuhi perasaan takut.
Odiseus dan yang lain berlari menyambut pria itu untuk mendengar kisahnya.
Namun, Erilokus jatuh terduduk, gemetar, dan mengerang-ngerang. Ia tak sanggup
mengeluarkan sepatah kata pun.
Odiseus mencengkeram bahu Erilokus dan membantunya berdiri.
"Di mana yang lain?" ia berteriak. "Mengapa kau meninggalkan mereka?"
Erilokus tak sanggup menjawab.
Odiseus mengguncangnya sekali lagi. "Katakan!" serunya. "Apakah mereka telah
mati?"
"Tidak-tidak mati," kata Erilokus. "Lebih parah! Lebih parah dari kematian-"
Ia jatuh terduduk dan menangis.
"Katakan apa yang terjadi!" perintah Odiseus lagi.
Dengan suara gemetar, Erilokus menceritakan pengalamannya: "Kami berjalan
melalui hutan sampai akhirnya tiba di sebuah lembah. Kami melihat sebuah
dinding batu yang berkilauan. Kemudian, kami melangkah melalui gerbang itu
menuju ke arah sebuah dataran rendah dan segera berhadapan dengan beberapa
ekor serigala serta singa gunung yang memiliki cakar yang panjang nan tajam."
"Kalian diserang oleh binatang liar itu?" Odiseus bertanya.
Erilokus menggeleng. "Mereka tidak menyerang kami," katanya. "Serigala-serigala
itu menjilat kami dan merengek-rengek seperti anjing jinak. Singa gunung itu
dengan lembut menyentuh kami dan mengeong seperti kucing. Aneh sekali dan
tidak seperti layaknya binatang buas. Kami seharusnya segera kembali-"
Erilokus gemetar dan menutupi wajahnya. Odiseus kembali mengguncang
bahunya. "Lanjutkan kisahmu," perintahnya. "Katakan apa yang terjadi
selanjutnya."
Erilokus melanjutkan. "Kami merasa takut pada sambutan yang tidak wajar dari
makhluk-makhluk itu," katanya. "Kami bergerak cepat melewati mereka dan
masuk ke halaman sebuah istana. Di sana, kami mendengar sebuah suara mengalun
dari jendela-suara wanita yang sedang menyanyi. Ia memiliki suara termerdu yang
pernah kudengar."
"Siapa dia?" tanya Odiseus.
"Aku tidak tahu," jawab Erilokus. "Saat mengintip melalui jendela, kami melihat
sesosok makhluk bercahaya sedang menenun. Ia terlihat seperti seorang dewi. Ia
memiliki rambut panjang yang bercahaya di bawah sinar matahari. Ketika sedang
bernyanyi, gaunnya yang terbuat dari perhiasan berubah warna. Ia menenun kain
yang terbuat dari benang sutera yang sangat halus. Aku ingin segera memimpin
anak buahku kembali karena teringat pada bahaya yang telah kita hadapi di
sepanjang perjalanan. Namun, tampaknya hanya aku yang merasa cemas. Rekan-
rekan yang lain memanggilnya. Wanita itu membuka pintu dan mengundang
mereka masuk. Aku menahan diri dan bersembunyi ketika yang lain memasuki
rumah itu. Aku tak dapat mencegah mereka-mereka mengikuti wanita itu ke dalam
rumah dan ia menutup pintu. Ketika aku mengintip dari balik jendela, aku melihat
ia menawarkan makanan dan anggur ke rekan-rekan kita. Lalu, ia membelakangi
mereka dan mencampur ramuan yang terdiri dari madu pucat dan anggur. Pada saat
ia menuang ramuan itu ke dalam makanan, aku berteriak untuk memperingatkan
mereka. Namun mereka tidak mendengarku - mereka menenggak ramuan itu
dengan suka rela. Dan dalam sekejap, mereka berubah. Mereka tidak sadar mereka
berada di mana atau bagaimana
mereka bisa sampai di sana. Mereka tidak dapat mengingat nama satu sama lain-
bahkan nama mereka sendiri. Ketika mereka berada dalam keadaan seperti itu,
wanita itu menyentuh mereka dengan tongkatnya. Dan tiba-tiba, mereka-"
Erilokus gemetar saat teringat hal itu. Ia menyembunyikan wajahnya dan perasaan
takut merasuki Odiseus. Hal mengerikan apa yang telah dilakukan oleh penyihir itu
terhadap anak buahnya?
Erilokus menatap Odiseus. Ia menahan napas dan kemudian melanjutkan kisahnya
yang seram.
"Bulu-bulu babi tumbuh di seluruh wajah dan tubuh mereka," katanya. "Mereka
mulai mendengus-dengus dan mendengkur layaknya babi. Kemudian kepala
mereka berubah menjadi kepala babi."
Orang-orang Yunani yang lain berteriak dan mundur ketakutan.
"Wanita pemikat itu kemudian menggiring babi-babi itu ke kandang," lanjut
Erilokus. "Ia melemparkan biji-biji pohon eik dan biji-biji lain ke tanah. Babi-babi
itu mengunyahnya dengan rakus, seperti babi yang ada di peternakan."
Beberapa saat lamanya, Odiseus menatap Erilokus tanpa suara. Akhirnya ia bicara
dengan suara tenang dan mantap.
"Bawa aku ke sana," katanya. "Tunjukkan jalannya."
Erilokus berteriak ketakutan. Ia berlutut di
depan kaki Odiseus dan memohon ampun.
"Jangan, jangan lagi!" ia menjerit. "Tolong jauhkan kami dari pulau terkutuk ini
sekarang juga-sebelum monster perempuan itu menyihir kita semua!"
Odiseus sadar bahwa ia tidak akan dapat meredakan ketakutan Erilokus. Namun, ia
juga tidak dapat membiarkan rekan-rekan seperjuangannya terperangkap di
kandang babi penyihir cantik itu.
"Baiklah kalau begitu. Tinggallah dan beristirahatlah di sini bersama yang lain,"
katanya. "Memang sebenarnya akulah pemimpin semua orang Yunani yang ada di
sini. Aku harus menyelamatkan anak buahku. Aku akan pergi sendiri."
EMPAT
DEWA PEMBAWA PESAN
LIMA
ISTANA SI PENYIHIR
ENAM
PERJALANAN LAIN
Pada hari-hari berikutnya, Odiseus dan anak buahnya menikmati kehangatan dan
kemewahan istana Circe. Mereka beristirahat dan makan daging berkualitas terbaik
serta minum anggur yang manis.
Saat mereka memulihkan kesehatan di pulau memesona itu, waktu berlalu dengan
cepat. Hari berganti menjadi minggu dan minggu menjadi bulan. Setelah setahun
penuh, para anak buah menghadap Odiseus.
"Tidakkah sebaiknya kita segera meninggalkan pulau ini?" salah seorang dari
mereka bertanya.
"Apakah kau telah melupakan Ithaca?" tanya yang lain. "Apakah kita tidak akan
pernah melihat tanah kelahiran kita lagi?"
Hati Odiseus tergerak saat mendengar kata-kata anak buahnya. Ia teringat pada
rumahnya - pada Penelope dan Telemakus, dan juga pada ayah serta ibunya.
Keinginan kuat untuk bertemu dengan mereka kembali muncul. Ia segera pergi ke
kamar Circe.
"Anak buahku dan aku sendiri telah cukup kuat berkat kebaikan hatimu," katanya.
"Tapi
ingatkah kau akan janjimu? Kau bilang kau akan membantu kami pulang ke Ithaca
dengan selamat setelah kami beristirahat dan memulihkan tenaga."
"Aku akan memenuhi janjiku," jawab Circe. "Tetapi kau harus melakukan satu
perjalanan lain terlebih dahulu. Kau harus meminta nasihat dari Tiresias, si
peramal buta dari Thebes. Tiresias dapat melihat masa depan. Hanya ia yang dapat
membantumu menemukan cara untuk pulang."
"Tapi Tiresias dari Thebes sudah mati," kata Odiseus dengan perasaan heran.
"Ya benar, Tiresias sudah mati," jawab Circe, "tetapi ia tetap memiliki
kebijaksanaan seperti saat ia masih hidup."
"Aku tidak mengerti," kata Odiseus. "Bagaimana mungkin orang yang berada di
Negeri Orang Mati dapat memberi nasihat kepada orang yang masih hidup?"
"Kau harus pergi ke Negeri Orang Mati," jawab Circe. "Di sana, kau akan bicara
dengan arwah Tiresias."
Odiseus terdiam. Sungguh mengerikan bagi orang yang masih hidup untuk
mengunjungi dunia gelap gulita yang dikuasai oleh Dewa Hades dan Ratu
Persefone.
"Tak ada seorang pun yang pernah menemukan Negeri Orang Mati," katanya
dengan suara parau. "Hanya arwah dan hantu yang tahu bagaimana pergi ke sana.
Kapal apa yang akan membawaku ke sana? Angin apa yang akan meniupku untuk
berlayar?"
"Kau tak dapat sampai ke sana dengan kapalmu," kata Circe. "Angin utara akan
membawamu ke tepi laut, ke Oceanus, sungai yang mengitari dunia. Setelah
menyeberangi Oceanus, kau akan memasuki Negeri Orang Mati."
"Lalu, apa yang harus kulakukan?" tanya Odi-seus.
"Kau harus meninggalkan kapalmu dan berjalan kaki melalui kumpulan pohon
willow dan pohon poplar," kata Circe. "Saat tiba di tempat bertemunya dua sungai-
Sungai Erangan dan Sungai Api -galilah sebuah parit. Tuangkan madu, susu,
anggur, dan gandum putih ke dalamnya sebagai persembahan bagi orang-orang
yang sudah mati. Lalu sembelihlah dua ekor domba dan tuangkan darah mereka ke
dalam parit itu. Setelah selesai melakukan semua itu, berjaga-jagalah sampai arwah
Tiresias muncul. Biarkan ia minum dari parit itu. Kemudian, ia akan mengatakan
padamu bagaimana menemukan jalan pulang."
Odiseus mengangguk. Ia tahu ia tak bisa menghindar dari perjalanan yang
mengerikan itu bila ingin melihat tanah kelahiran dan keluarganya kembali. Ia
mencoba untuk mengumpulkan kekuatan-seperti yang selalu ia perintahkan pada
anak buahnya. Ia menatap Circe dan mengangguk.
Lalu, tanpa berkata apa-apa, Odiseus mengenakan jubahnya yang indah dan
membangunkan setiap anak buahnya.
"Bangunlah," kata Odiseus. "Kita harus meninggalkan tempat ini sekarang."
Anak buahnya merasa lega setelah tahu mereka akan segera berlayar pulang. Saat
mereka berkumpul di luar istana, Odiseus menceritakan tujuan mereka yang
sebenarnya.
"Kita akan segera berlayar kembali ke Ithaca," katanya. "Namun, kita harus
melakukan sebuah perjalanan lain terlebih dahulu. Kita harus pergi ke Negeri
Orang Mati. Di sana, aku harus bicara dengan arwah si peramal yang bijaksana,
Tiresias.
Orang-orang Yunani itu berteriak untuk menyuarakan ketidaksetujuan mereka.
Namun, Odiseus memberi tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain.
"Hanya Tiresias yang dapat memberi tahu kita cara menemukan jalan pulang,"
katanya. "Aku mohon, ikutlah denganku. Temani aku dalam perjalanan menuju
Negeri Orang Mati."
Mereka menunduk dengan perasaan sedih dan mengikuti sang pemimpin menaiki
kapal. Mereka kemudian menaikkan layar dan mendayung ke laut lepas.
Ketika kapal hitam itu berlayar di atas ombak, Odiseus merasakan hembusan angin
hangat yang lembut. Ia tahu bahwa Circe berada di sekitarnya.
Penyihir itu telah mengirim angin yang lembut sepanjang hari. Ia mengembangkan
layar-layar kapal hitam itu dengan angin dan membuatnya melaju cepat di atas
ombak.
TUJUH
NEGERI ORANG MATI
DELAPAN
BAGAIKAN BAYANGAN DAN IMPIAN
Odiseus menangis. Ia sudah tidak bertemu dengan ibunya selama lebih dari
sepuluh tahun, sejak ia pergi dari Ithaca. Ia tahu bahwa hal yang paling ia takuti
telah terwujud - saat ia berada jauh dari rumah, ibunya yang tercinta telah tiada.
Ia memanggil nama sang ibu. Namun, arwah itu tidak menyahut - roh tersebut
bahkan seperti tidak mengenalinya. Ia tampak sangat ingin mencicipi darah domba
yang ada di parit.
Meskipun diliputi kesedihan yang mendalam, Odiseus tetap memegang pedangnya
dan tidak membiarkan arwah ibunya mendekat. Ia tetap menjaga parit dan
menunggu datangnya arwah Tiresias.
Akhirnya, sesosok bayangan tipis mengambang ke luar dari kabut. Sambil
menggenggam sebuah tongkat keemasan, arwah orang tua itu bergerak di antara
gulungan kabut menuju darah domba. Odiseus menurunkan pedangnya dan
mengizinkan arwah Tiresias untuk minum dari parit itu.
Setelah hantu itu kenyang minum darah
domba, ia berdiri dan berpaling ke Odiseus. Dengan suara yang jelas dan dingin ia
berkata: "Odiseus, kau datang untuk menanyakan jalan pulang. Para dewa telah
mempersulit perjalanan pulangmu. Mereka tidak akan mengizinkanmu lepas dari
kemarahan Poseidon karena kau telah membuat mata putranya, Cyclops, menjadi
buta."
Odiseus merasa putus asa. Kutukan Cyclops terasa semakin berat.
"Jangan putus asa," kata si hantu. "Kau masih bisa kembali ke Ithaca. Namun, kau
harus mematuhi peringatanku. Dalam perjalanan pulang, kau akan melewati pulau
milik Dewa Matahari. Di pulau itu terdapat banyak domba dan sapi. Jangan
biarkan anak buahmu menyentuh satu pun dari binatang-binatang itu. Siapa pun
yang mencoba menyembelih makhluk-makhluk itu akan mendapat musibah."
Odiseus mengangguk.
"Katakan pada anak buahmu untuk tidak mengganggu ternak itu dan hanya
memikirkan perjalanan pulang," kata hantu itu. "Bila mereka tidak mematuhi
perintah ini, mereka akan mati dan kapalmu akan hancur. Kau sendiri mungkin
akan selamat. Namun kalau memang demikian adanya, kau akan menjadi hancur.
Kau akan menemui masalah besar di rumah."
Odiseus sangat bersyukur atas peringatan orang tua yang bijak itu. Ia bertekad
untuk mengawasi anak buahnya agar tidak mendekati sapi dan domba milik Dewa
Matahari.
"Bertahun-tahun dari sekarang, maut akan selalu membuntutimu dari lautan," kata
arwah si peramal itu. "Kau akan melepas ajal saat kau berusia lanjut, setelah kau
menemukan kedamaian dalam hatimu."
Odiseus mengangguk.
"Bila itu memang kehendak para dewa, maka biarlah hal tersebut terjadi," katanya.
Ketika Tiresias hendak pergi, Odiseus memanggilnya. "Tolong tunggu sebentar.
Sebelum kau pergi-"
Hantu itu berbalik.
"Tahukah kau mengapa arwah ibuku tidak bicara padaku ketika aku memanggil
namanya?" tanya Odiseus.
"Arwah ibumu akan dapat bicara bila kau mengizinkannya mencicipi darah domba
dalam parit itu," jawab arwah Tiresias. "Sebelum itu terjadi, ia tidak akan punya
cukup tenaga untuk bicara."
Kemudian, arwah si peramal bijak itu berbalik pergi dan Odiseus mengawasinya
menghilang ke dalam kabut.
Odiseus kemudian mengizinkan arwah ibunya maju dan mencicipi darah domba di
dalam parit.
Setelah minum, arwah ibu Odiseus tampak mulai memiliki kekuatan. Saat kembali
menatap putranya, ia berteriak terkejut.
"Anakku tercinta!" katanya. "Kau bukan hantu! Mengapa kau ada di sini?"
Dengan lembut Odiseus menjelaskan alasan
kunjungannya ke Negeri Orang Mati. Kemudian, ia menanyakan banyak hal pada
ibunya. "Bagaimana kabar Penelope dan Telemakus? Apakah Penelope telah
membuang semua kenangan tentang diriku dan menikah dengan orang lain?
Bagaimana ayah? Apakah ia masih hidup?"
Hantu itu memandang dengan sedih ke arah putranya.
"Keluargamu telah porak-poranda karena sedih. Istrimu masih menunggumu.
Namun, ia melewatkan siang dan malam dengan menangis. Putramu kuat dan
pemberani. Meskipun masih muda, ia menjaga rumah, ladang, dan ternakmu. Ia
juga meratapi kepergianmu, seperti halnya ayahmu. Ayahmu tinggal di desa dan
tidak mau mendekati kota. Di musim dingin, ia hanya memakai kain compang-
camping dan tidur di lantai. Di musim panas, ia tidur di kebun anggur. Ia
menangisimu setiap saat."
Odiseus menjadi sedih setelah mendengar kabar tentang keluarganya.
"Dan kau, Ibu?" ia bertanya. "Apa yang telah terjadi padamu?"
"Kepergianmu terlalu membebani hatiku," katanya. "Ketika aku bertambah yakin
kau tidak akan pernah kembali, aku menjadi terlalu sedih untuk hidup."
Odiseus merengkuh sang ibu. Tiga kali ia mencoba. Namun, ibunya selalu lewat
begitu saja, seperti udara.
"Ibu!" jeritnya. "Mengapa kau tidak ada di sana setiap kali aku mencoba
memelukmu?"
"Anakku. Aku adalah arwah," jawabnya dengan lembut. "Tinggalkan Negeri
Orang Mati sekarang juga. Carilah cahaya matahari selagi kau masih hidup."
Odiseus sangat sedih saat arwah ibunya menghilang dari pandangan bagaikan
bayangan atau mimpi.
SEMBILAN
ARWAH PARA PEJUANG
Ketika arwah ibu Odiseus menghilang, semakin banyak arwah yang mendekati
parit untuk meminum darah yang ada di sana.
Odiseus mencabut pedangnya dan memerintahkan para arwah itu mendekat satu
demi satu.
Yang pertama muncul adalah arwah istri dan ibunda para pahlawan Yunani yang
telah gugur di medan perang; berikutnya, arwah para raja yang agung dan pejuang.
Salah satu di antaranya adalah Raja Agung Agamemnon yang memimpin prajurit
Yunani dalam Perang Troya.
"Tuanku, raja kami semua!" seru Odiseus. "Anda berada di sini!"
Setelah meminum darah domba, Agamemnon segera mengenali Odiseus. Ia
mencoba memeluk Odiseus. Namun dalam wujud arwah, ia tidak memiliki
kekuatan.
Odiseus menangis dengan iba. Hingga saat ini, ia tak tahu bahwa Agamemnon
telah mati. Sekarang mereka duduk dan bercakap-cakap- manusia hidup dan arwah
sang raja agung.
"Apa yang membuat Anda terdampar di tempat ini?" tanya Odiseus. "Apakah
Anda tenggelam akibat badai laut yang dahsyat? Apakah musuh menyerang Anda
dalam sebuah pertempuran sengit?"
Agamemnon bercerita pada Odiseus bahwa ia telah dibunuh oleh ratunya sendiri.
"Tapi kau tidak akan menemui nasib yang sama denganku, Odiseus," kata hantu
Agamemnon untuk menenangkannya. "Penelope, istrimu, sangat setia padamu. Ia
adalah wanita yang patut dikagumi. Ketika kau meninggalkannya, ia masih
seorang gadis kecil yang lugu. Pada saat kau kembali nanti, ia dan putramu akan
menunggu untuk memelukmu dan bekerja bersamamu di ladang."
Pada saat Odiseus dan arwah Agamemnon duduk sambil menangis dan
berbincang-bincang, arwah para pejuang-yang telah bertempur dengan gagah
berani dalam Perang Troya - mulai berdatangan dan duduk bersama mereka. Salah
satu di antaranya adalah Achilles yang perkasa, pejuang yang paling berani dari
semua orang Yunani.
"Odiseus, tindakanmu ini sungguh berani," kata Achilles. "Mengapa kau datang
kemari?"
Odiseus bercerita pada Achilles dan arwah lainnya tentang perjalanannya dan
bagaimana ia telah bertemu dengan arwah Tiresias. Ia memuji Achilles dan
menyebutnya sebagai pangeran di antara para orang mati.
"Ah, mungkin begitu," kata Achilles, "tapi aku lebih suka menjadi pelayan seorang
miskin di dunia orang hidup daripada menjadi raja di Negeri Orang Mati."
Satu demi satu, arwah para pejuang itu menceritakan kisahnya pada Odiseus. Dan
Odiseus memberi tahu kabar tentang orang-orang yang masih hidup kepada setiap
hantu itu.
Kemudian, Odiseus melihat Tantalus, seorang raja congkak yang telah membuat
marah para dewa. Mereka memberinya rasa lapar dan haus abadi sebagai hukuman.
Tantalus dipaksa berdiri di dalam air yang tingginya mencapai dagu. Di atas
kepalanya, terjulur dahan-dahan pohon berbuah lebat, seperti pir, apel, dan buah
ara.
Setiap kali Tantalus menunduk untuk minum, seketika itu juga airnya mengering.
Ketika ia mencoba meraih buah-buahan, angin meniup dahan sehingga menjauh ke
atas.
Kemudian, Odiseus melihat Sisifus, raja nan kejam yang dikutuk para dewa untuk
menggelindingkan sebuah batu besar ke atas puncak bukit. Setiap kali Sisifus
mencapai puncak bukit, batu tersebut kembali terguling ke bawah, dan ia harus
memulai dari awal lagi.
Kemudian, Odiseus juga melihat Herkules yang perkasa. Pejuang itu menatap ke
kejauhan sambil membawa busur dengan anak panah yang terpasang pada tali
busurnya. Berulang kali, ia tampak bersiap-siap untuk memanah.
Saat mencari arwah pahlawan lain di antara kabut, Odiseus melihat ribuan arwah
bergerak perlahan-lahan ke arahnya. Mula-mula, suara mereka terdengar lembut.
Namun, semakin lama semakin keras. Arwah-arwah itu berkumpul di sekitar
Odiseus sambil berteriak meminta bantuan.
Odiseus menjadi panik. Dengan perasaan ngeri, ia berpaling dan berlari. Anak
buahnya juga ikut berlari-melewati kumpulan pohon milik Persefone-menuju
kapal.
Odiseus naik ke kapal dan memerintahkan anak buahnya untuk segera berlayar.
Para awak mendayung dengan cepat untuk menyeberangi Sungai Oceanus. Mereka
terus mendayung hingga mereka merasakan tiupan angin yang mengembangkan
layar kapal.
Saat sinar fajar berwarna kemerahan menyinari air laut yang berwarna anggur
gelap, Odiseus akhirnya bisa bernapas lega. Pikirannya berkelana ke tahun-tahun
yang telah dilewatinya - mimpi buruk yang diakibatkan oleh raksasa pemakan
manusia, istirahat yang lama di istana milik Circe, dan kunjungannya ke alam
berhantu yang dikuasai Hades dan Persefone.
Odiseus meratapi kematian ibunya dan merasa semakin cemas untuk segera dapat
bertemu dengan ayahnya sebelum orang tua itu juga meninggal. Selain itu, ia
sangat rindu untuk segera dapat berkumpul kembali dengan istri dan anaknya-
sebelum ada yang mencelakai mereka.
Perasaan Odiseus dipenuhi rasa sakit tak
tertahankan. Namun, ia bersyukur karena masih berada di dunia orang hidup dan
tidak terperangkap selama-lamanya di Negeri Orang Mati.
ODISEI - BUKU KEDUA
NEGERI ORANG MATI
(The Land of the Dead)
SATU
PULAU RAKSASA PEMAKAN MANUSIA
DUA
HADIAH DARI PARA DEWA
Odiseus dan anak buahnya mendayung hingga kapal mereka selamat di laut lepas.
Ketika ia menatap ke arah ombak yang berwarna gelap bagaikan anggur, suara jerit
tangis dari para awak kapalnya yang sekarat masih terus terngiang-ngiang di
telinganya. Ia mulai menyadari bahwa kutukan Cyclops telah menjadi kenyataan.
Ia ingat ucapan kejam dari monster seram itu: "Semoga Odiseus tidak akan pernah
bisa pulang dalam keadaan hidup. Semoga ia tersesat serta kehilangan seluruh
kapal dan awaknya! Semoga ia hanya menemui kesedihan dan kesulitan dalam
perjalanannya!"
Sekarang, Odiseus kehilangan hampir seluruh kapal dan awaknya. Sebelas kapal
telah dihancurkan oleh para raksasa pemakan manusia. Hampir seluruh awak
kapalnya dibantai; hanya tersisa empat puluh lima orang.
Karena masih merasa terpana oleh perasaan kehilangan, Odiseus dan para awak
kapalnya tak mampu bicara. Mereka berlayar dalam keheningan karena terguncang
oleh ingatan akan perbuatan para raksasa yang telah menombak rekan mereka yang
terluka dan tak berdaya.
Akhirnya, kapal hitam itu mencapai sebuah pulau yang tertutup oleh hutan yang
hijau dan rimbun. Orang-orang Yunani itu turun ke darat dan jatuh pingsan di atas
pantai yang berbatu.
Selama dua hari dua malam, Odiseus dan para awaknya berbaring di tanah yang
keras sambil meratapi nasib buruk yang menimpa rekan-rekan mereka.
Pada hari ketiga, ketika cahaya fajar kemerahan menimpa pulau tersebut, Odiseus
mengumpulkan segenap kekuatan dan berdiri. Ia tidak membangunkan awak
kapalnya karena ia tahu mereka tengah patah semangat.
Mereka pasti dipenuhi perasaan sakit karena sedih sehingga sulit untuk mencari
makanan, pikirnya. Tak lama lagi mereka akan menjadi terlalu lemah untuk
berlayar dan kemudian mati di pulau ini.
Karena ingin menyelamatkan anak buahnya, Odiseus segera memungut pedang
dan tombaknya. Kemudian, ia pergi untuk berburu.
Ia menaiki tebing tinggi yang terjal dan mencari tanda-tanda kehidupan. Di
kejauhan, ia melihat asap membumbung tinggi dari hutan yang menghijau. Asap
itu berputar-putar di atas pohon dan menghilang di angkasa. Apakah akan ada lagi
raksasa dan monster di pantai ini? Odiseus bertanya-tanya dengan perasaan cemas.
Atau apakah para penghuni pulau ini adalah orang-orang yang ramah?
Sebelum mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, ia harus terlebih dahulu
mencari makanan untuk seluruh awak kapalnya.
Para dewa sepertinya dapat membaca pikiran Odiseus karena tak lama kemudian,
dari balik pepohonan yang rimbun, seekor rusa jantan besar dengan tanduk
menjulang berjalan ke luar.
Odiseus melemparkan tombaknya dan membunuh rusa itu dalam sekejap.
Kemudian ia membuat seutas tali dari ranting pohon cemara dan mengikat kaki
rusa jantan itu. Ia mengangkat rusa itu ke atas bahunya dan membawanya kembali
ke perkemahan para orang Yunani.
Ia melihat para awak kapalnya sedang duduk berkerumun membentuk lingkaran.
Kepala mereka tertutup mantel. Karena masih dalam keadaan berduka, mereka
mencucurkan air mata kesedihan atas kematian rekan-rekan mereka. Mereka juga
mengkhawatirkan nasib mereka sendiri.
"Dengar teman-teman," kata Odiseus, "kita tidak akan pergi ke Negeri Orang Mati
pagi ini. Hari ini bukanlah hari kematian kita. Sampai saat itu tiba, kita harus
menjaga diri kita sendiri. Bangunlah. Jagalah diri kalian baik-baik. Mari kita
menyantap pemberian para dewa ini."
Para anak buahnya membuka tutup kepala mereka. Mereka mengagumi rusa jantan
besar yang telah dibunuh Odiseus, dan perlahan-lahan, mereka mulai menyiapkan
santapan.
Mereka membersihkan tangan dan wajah di laut. Setelah berhari-hari bersedih dan
menderita, hati mereka mulai merasa sedikit terobati.
TIGA
MANTERA SI PENYIHIR WANITA
Sepanjang siang, Odiseus dan awak kapalnya berpesta daging rusa dan minum
anggur. Ketika matahari terbenam dan kegelapan menyelimuti pulau, mereka
berbaring di pantai dan tertidur dengan damai.
Saat fajar tiba, Odiseus membangunkan anak buahnya.
"Teman-teman, aku tidak tahu kita ada di mana," katanya. "Aku hanya tahu bahwa
kita berada di sebuah pulau. Kemarin pagi, pada saat aku pergi berburu, aku
memanjat tebing dan melihat lautan mengelilingi kita. Aku tahu ada orang lain
yang tinggal di sini karena aku telah melihat asap membumbung dari perapian di
tengah hutan-"
Sebelum Odiseus sempat meneruskan ucapannya, anak buahnya berteriak. Mereka
takut pada makhluk-makhluk mengerikan seperti Cyclops dan para raksasa
pemakan manusia, yang mungkin sedang mengintai mereka di pantai asing ini.
"Kendalikan rasa takut kalian!" perintah Odiseus. "Kita tidak memiliki pilihan
selain
menjelajahi pulau ini. Kita tidak tahu kita sedang berada di mana dan bagaimana
mencari jalan pulang. Kita harus mencari bantuan dari para orang asing."
Para anak buah tidak menghiraukan kata-katanya. Mereka menjadi semakin cemas.
Sebelum mereka benar-benar sepenuhnya diliputi perasaan takut, Odiseus
menceritakan rencananya.
"Dengar," katanya, "kita akan membentuk dua kelompok. Aku akan menjadi
kapten salah satu kelompok dan kelompok yang satu lagi akan dipimpin oleh
Erilokus yang pemberani."
Odiseus segera membagi anak buahnya. Dua puluh dua orang Yunani berada di
bawah pimpinannya, dan dua puluh dua orang lagi berada di bawah komando
pejuang yang sangat dipercayainya, Erilokus.
"Nah, sekarang Erilokus dan aku akan membuang undi untuk menentukan siapa di
antara kita yang harus menjelajahi pulau ini," kata Odiseus.
Odiseus dan Erilokus melakukan undian dengan memakai helm mereka. Undian
jatuh ke tangan Erilokus. Ia tidak punya pilihan selain harus memimpin anak
buahnya masuk ke dalam hutan lebat.
Dengan perasaan takut dan cemas, dua puluh orang Yunani berbaris di belakang
Erilokus. Karena cemas, beberapa di antaranya bahkan menangis saat bergerak
menuju pepohonan yang rindang.
Prajurit-prajurit Yunani yang tinggal juga ikut menangis. Sudah banyak teman-
teman mereka yang terbunuh sehingga mereka takut akan kehilangan lebih banyak
lagi.
Jam demi jam berlalu. Odiseus menanti kembalinya Erilokus beserta anak
buahnya. Sambil mengawasi hutan yang berbayang gelap, ia menantikan suara
mereka. Ia khawatir telah melakukan kesalahan dengan memaksa mereka untuk
melakukan pencarian. Namun, ia tidak sanggup menceritakan ketakutannya pada
anak buahnya yang lain.
Ketika matahari mulai terbenam, ia akhirnya mendengar suara langkah kaki.
Erilokus menghambur ke luar dari balik pohon. Ia seorang diri. Matanya melotot
dipenuhi perasaan takut.
Odiseus dan yang lain berlari menyambut pria itu untuk mendengar kisahnya.
Namun, Erilokus jatuh terduduk, gemetar, dan mengerang-ngerang. Ia tak sanggup
mengeluarkan sepatah kata pun.
Odiseus mencengkeram bahu Erilokus dan membantunya berdiri.
"Di mana yang lain?" ia berteriak. "Mengapa kau meninggalkan mereka?"
Erilokus tak sanggup menjawab.
Odiseus mengguncangnya sekali lagi. "Katakan!" serunya. "Apakah mereka telah
mati?"
"Tidak-tidak mati," kata Erilokus. "Lebih parah! Lebih parah dari kematian-"
Ia jatuh terduduk dan menangis.
"Katakan apa yang terjadi!" perintah Odiseus lagi.
Dengan suara gemetar, Erilokus menceritakan pengalamannya: "Kami berjalan
melalui hutan sampai akhirnya tiba di sebuah lembah. Kami melihat sebuah
dinding batu yang berkilauan. Kemudian, kami melangkah melalui gerbang itu
menuju ke arah sebuah dataran rendah dan segera berhadapan dengan beberapa
ekor serigala serta singa gunung yang memiliki cakar yang panjang nan tajam."
"Kalian diserang oleh binatang liar itu?" Odiseus bertanya.
Erilokus menggeleng. "Mereka tidak menyerang kami," katanya. "Serigala-serigala
itu menjilat kami dan merengek-rengek seperti anjing jinak. Singa gunung itu
dengan lembut menyentuh kami dan mengeong seperti kucing. Aneh sekali dan
tidak seperti layaknya binatang buas. Kami seharusnya segera kembali-"
Erilokus gemetar dan menutupi wajahnya. Odiseus kembali mengguncang
bahunya. "Lanjutkan kisahmu," perintahnya. "Katakan apa yang terjadi
selanjutnya."
Erilokus melanjutkan. "Kami merasa takut pada sambutan yang tidak wajar dari
makhluk-makhluk itu," katanya. "Kami bergerak cepat melewati mereka dan
masuk ke halaman sebuah istana. Di sana, kami mendengar sebuah suara mengalun
dari jendela-suara wanita yang sedang menyanyi. Ia memiliki suara termerdu yang
pernah kudengar."
"Siapa dia?" tanya Odiseus.
"Aku tidak tahu," jawab Erilokus. "Saat mengintip melalui jendela, kami melihat
sesosok makhluk bercahaya sedang menenun. Ia terlihat seperti seorang dewi. Ia
memiliki rambut panjang yang bercahaya di bawah sinar matahari. Ketika sedang
bernyanyi, gaunnya yang terbuat dari perhiasan berubah warna. Ia menenun kain
yang terbuat dari benang sutera yang sangat halus. Aku ingin segera memimpin
anak buahku kembali karena teringat pada bahaya yang telah kita hadapi di
sepanjang perjalanan. Namun, tampaknya hanya aku yang merasa cemas. Rekan-
rekan yang lain memanggilnya. Wanita itu membuka pintu dan mengundang
mereka masuk. Aku menahan diri dan bersembunyi ketika yang lain memasuki
rumah itu. Aku tak dapat mencegah mereka-mereka mengikuti wanita itu ke dalam
rumah dan ia menutup pintu. Ketika aku mengintip dari balik jendela, aku melihat
ia menawarkan makanan dan anggur ke rekan-rekan kita. Lalu, ia membelakangi
mereka dan mencampur ramuan yang terdiri dari madu pucat dan anggur. Pada saat
ia menuang ramuan itu ke dalam makanan, aku berteriak untuk memperingatkan
mereka. Namun mereka tidak mendengarku - mereka menenggak ramuan itu
dengan suka rela. Dan dalam sekejap, mereka berubah. Mereka tidak sadar mereka
berada di mana atau bagaimana
mereka bisa sampai di sana. Mereka tidak dapat mengingat nama satu sama lain-
bahkan nama mereka sendiri. Ketika mereka berada dalam keadaan seperti itu,
wanita itu menyentuh mereka dengan tongkatnya. Dan tiba-tiba, mereka-"
Erilokus gemetar saat teringat hal itu. Ia menyembunyikan wajahnya dan perasaan
takut merasuki Odiseus. Hal mengerikan apa yang telah dilakukan oleh penyihir itu
terhadap anak buahnya?
Erilokus menatap Odiseus. Ia menahan napas dan kemudian melanjutkan kisahnya
yang seram.
"Bulu-bulu babi tumbuh di seluruh wajah dan tubuh mereka," katanya. "Mereka
mulai mendengus-dengus dan mendengkur layaknya babi. Kemudian kepala
mereka berubah menjadi kepala babi."
Orang-orang Yunani yang lain berteriak dan mundur ketakutan.
"Wanita pemikat itu kemudian menggiring babi-babi itu ke kandang," lanjut
Erilokus. "Ia melemparkan biji-biji pohon eik dan biji-biji lain ke tanah. Babi-babi
itu mengunyahnya dengan rakus, seperti babi yang ada di peternakan."
Beberapa saat lamanya, Odiseus menatap Erilokus tanpa suara. Akhirnya ia bicara
dengan suara tenang dan mantap.
"Bawa aku ke sana," katanya. "Tunjukkan jalannya."
Erilokus berteriak ketakutan. Ia berlutut di
depan kaki Odiseus dan memohon ampun.
"Jangan, jangan lagi!" ia menjerit. "Tolong jauhkan kami dari pulau terkutuk ini
sekarang juga-sebelum monster perempuan itu menyihir kita semua!"
Odiseus sadar bahwa ia tidak akan dapat meredakan ketakutan Erilokus. Namun, ia
juga tidak dapat membiarkan rekan-rekan seperjuangannya terperangkap di
kandang babi penyihir cantik itu.
"Baiklah kalau begitu. Tinggallah dan beristirahatlah di sini bersama yang lain,"
katanya. "Memang sebenarnya akulah pemimpin semua orang Yunani yang ada di
sini. Aku harus menyelamatkan anak buahku. Aku akan pergi sendiri."
EMPAT
DEWA PEMBAWA PESAN
LIMA
ISTANA SI PENYIHIR
ENAM
PERJALANAN LAIN
Pada hari-hari berikutnya, Odiseus dan anak buahnya menikmati kehangatan dan
kemewahan istana Circe. Mereka beristirahat dan makan daging berkualitas terbaik
serta minum anggur yang manis.
Saat mereka memulihkan kesehatan di pulau memesona itu, waktu berlalu dengan
cepat. Hari berganti menjadi minggu dan minggu menjadi bulan. Setelah setahun
penuh, para anak buah menghadap Odiseus.
"Tidakkah sebaiknya kita segera meninggalkan pulau ini?" salah seorang dari
mereka bertanya.
"Apakah kau telah melupakan Ithaca?" tanya yang lain. "Apakah kita tidak akan
pernah melihat tanah kelahiran kita lagi?"
Hati Odiseus tergerak saat mendengar kata-kata anak buahnya. Ia teringat pada
rumahnya - pada Penelope dan Telemakus, dan juga pada ayah serta ibunya.
Keinginan kuat untuk bertemu dengan mereka kembali muncul. Ia segera pergi ke
kamar Circe.
"Anak buahku dan aku sendiri telah cukup kuat berkat kebaikan hatimu," katanya.
"Tapi
ingatkah kau akan janjimu? Kau bilang kau akan membantu kami pulang ke Ithaca
dengan selamat setelah kami beristirahat dan memulihkan tenaga."
"Aku akan memenuhi janjiku," jawab Circe. "Tetapi kau harus melakukan satu
perjalanan lain terlebih dahulu. Kau harus meminta nasihat dari Tiresias, si
peramal buta dari Thebes. Tiresias dapat melihat masa depan. Hanya ia yang dapat
membantumu menemukan cara untuk pulang."
"Tapi Tiresias dari Thebes sudah mati," kata Odiseus dengan perasaan heran.
"Ya benar, Tiresias sudah mati," jawab Circe, "tetapi ia tetap memiliki
kebijaksanaan seperti saat ia masih hidup."
"Aku tidak mengerti," kata Odiseus. "Bagaimana mungkin orang yang berada di
Negeri Orang Mati dapat memberi nasihat kepada orang yang masih hidup?"
"Kau harus pergi ke Negeri Orang Mati," jawab Circe. "Di sana, kau akan bicara
dengan arwah Tiresias."
Odiseus terdiam. Sungguh mengerikan bagi orang yang masih hidup untuk
mengunjungi dunia gelap gulita yang dikuasai oleh Dewa Hades dan Ratu
Persefone.
"Tak ada seorang pun yang pernah menemukan Negeri Orang Mati," katanya
dengan suara parau. "Hanya arwah dan hantu yang tahu bagaimana pergi ke sana.
Kapal apa yang akan membawaku ke sana? Angin apa yang akan meniupku untuk
berlayar?"
"Kau tak dapat sampai ke sana dengan kapalmu," kata Circe. "Angin utara akan
membawamu ke tepi laut, ke Oceanus, sungai yang mengitari dunia. Setelah
menyeberangi Oceanus, kau akan memasuki Negeri Orang Mati."
"Lalu, apa yang harus kulakukan?" tanya Odi-seus.
"Kau harus meninggalkan kapalmu dan berjalan kaki melalui kumpulan pohon
willow dan pohon poplar," kata Circe. "Saat tiba di tempat bertemunya dua sungai-
Sungai Erangan dan Sungai Api -galilah sebuah parit. Tuangkan madu, susu,
anggur, dan gandum putih ke dalamnya sebagai persembahan bagi orang-orang
yang sudah mati. Lalu sembelihlah dua ekor domba dan tuangkan darah mereka ke
dalam parit itu. Setelah selesai melakukan semua itu, berjaga-jagalah sampai arwah
Tiresias muncul. Biarkan ia minum dari parit itu. Kemudian, ia akan mengatakan
padamu bagaimana menemukan jalan pulang."
Odiseus mengangguk. Ia tahu ia tak bisa menghindar dari perjalanan yang
mengerikan itu bila ingin melihat tanah kelahiran dan keluarganya kembali. Ia
mencoba untuk mengumpulkan kekuatan-seperti yang selalu ia perintahkan pada
anak buahnya. Ia menatap Circe dan mengangguk.
Lalu, tanpa berkata apa-apa, Odiseus mengenakan jubahnya yang indah dan
membangunkan setiap anak buahnya.
"Bangunlah," kata Odiseus. "Kita harus meninggalkan tempat ini sekarang."
Anak buahnya merasa lega setelah tahu mereka akan segera berlayar pulang. Saat
mereka berkumpul di luar istana, Odiseus menceritakan tujuan mereka yang
sebenarnya.
"Kita akan segera berlayar kembali ke Ithaca," katanya. "Namun, kita harus
melakukan sebuah perjalanan lain terlebih dahulu. Kita harus pergi ke Negeri
Orang Mati. Di sana, aku harus bicara dengan arwah si peramal yang bijaksana,
Tiresias.
Orang-orang Yunani itu berteriak untuk menyuarakan ketidaksetujuan mereka.
Namun, Odiseus memberi tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain.
"Hanya Tiresias yang dapat memberi tahu kita cara menemukan jalan pulang,"
katanya. "Aku mohon, ikutlah denganku. Temani aku dalam perjalanan menuju
Negeri Orang Mati."
Mereka menunduk dengan perasaan sedih dan mengikuti sang pemimpin menaiki
kapal. Mereka kemudian menaikkan layar dan mendayung ke laut lepas.
Ketika kapal hitam itu berlayar di atas ombak, Odiseus merasakan hembusan angin
hangat yang lembut. Ia tahu bahwa Circe berada di sekitarnya.
Penyihir itu telah mengirim angin yang lembut sepanjang hari. Ia mengembangkan
layar-layar kapal hitam itu dengan angin dan membuatnya melaju cepat di atas
ombak.
TUJUH
NEGERI ORANG MATI
DELAPAN
BAGAIKAN BAYANGAN DAN IMPIAN
Odiseus menangis. Ia sudah tidak bertemu dengan ibunya selama lebih dari
sepuluh tahun, sejak ia pergi dari Ithaca. Ia tahu bahwa hal yang paling ia takuti
telah terwujud - saat ia berada jauh dari rumah, ibunya yang tercinta telah tiada.
Ia memanggil nama sang ibu. Namun, arwah itu tidak menyahut - roh tersebut
bahkan seperti tidak mengenalinya. Ia tampak sangat ingin mencicipi darah domba
yang ada di parit.
Meskipun diliputi kesedihan yang mendalam, Odiseus tetap memegang pedangnya
dan tidak membiarkan arwah ibunya mendekat. Ia tetap menjaga parit dan
menunggu datangnya arwah Tiresias.
Akhirnya, sesosok bayangan tipis mengambang ke luar dari kabut. Sambil
menggenggam sebuah tongkat keemasan, arwah orang tua itu bergerak di antara
gulungan kabut menuju darah domba. Odiseus menurunkan pedangnya dan
mengizinkan arwah Tiresias untuk minum dari parit itu.
Setelah hantu itu kenyang minum darah
domba, ia berdiri dan berpaling ke Odiseus. Dengan suara yang jelas dan dingin ia
berkata: "Odiseus, kau datang untuk menanyakan jalan pulang. Para dewa telah
mempersulit perjalanan pulangmu. Mereka tidak akan mengizinkanmu lepas dari
kemarahan Poseidon karena kau telah membuat mata putranya, Cyclops, menjadi
buta."
Odiseus merasa putus asa. Kutukan Cyclops terasa semakin berat.
"Jangan putus asa," kata si hantu. "Kau masih bisa kembali ke Ithaca. Namun, kau
harus mematuhi peringatanku. Dalam perjalanan pulang, kau akan melewati pulau
milik Dewa Matahari. Di pulau itu terdapat banyak domba dan sapi. Jangan
biarkan anak buahmu menyentuh satu pun dari binatang-binatang itu. Siapa pun
yang mencoba menyembelih makhluk-makhluk itu akan mendapat musibah."
Odiseus mengangguk.
"Katakan pada anak buahmu untuk tidak mengganggu ternak itu dan hanya
memikirkan perjalanan pulang," kata hantu itu. "Bila mereka tidak mematuhi
perintah ini, mereka akan mati dan kapalmu akan hancur. Kau sendiri mungkin
akan selamat. Namun kalau memang demikian adanya, kau akan menjadi hancur.
Kau akan menemui masalah besar di rumah."
Odiseus sangat bersyukur atas peringatan orang tua yang bijak itu. Ia bertekad
untuk mengawasi anak buahnya agar tidak mendekati sapi dan domba milik Dewa
Matahari.
"Bertahun-tahun dari sekarang, maut akan selalu membuntutimu dari lautan," kata
arwah si peramal itu. "Kau akan melepas ajal saat kau berusia lanjut, setelah kau
menemukan kedamaian dalam hatimu."
Odiseus mengangguk.
"Bila itu memang kehendak para dewa, maka biarlah hal tersebut terjadi," katanya.
Ketika Tiresias hendak pergi, Odiseus memanggilnya. "Tolong tunggu sebentar.
Sebelum kau pergi-"
Hantu itu berbalik.
"Tahukah kau mengapa arwah ibuku tidak bicara padaku ketika aku memanggil
namanya?" tanya Odiseus.
"Arwah ibumu akan dapat bicara bila kau mengizinkannya mencicipi darah domba
dalam parit itu," jawab arwah Tiresias. "Sebelum itu terjadi, ia tidak akan punya
cukup tenaga untuk bicara."
Kemudian, arwah si peramal bijak itu berbalik pergi dan Odiseus mengawasinya
menghilang ke dalam kabut.
Odiseus kemudian mengizinkan arwah ibunya maju dan mencicipi darah domba di
dalam parit.
Setelah minum, arwah ibu Odiseus tampak mulai memiliki kekuatan. Saat kembali
menatap putranya, ia berteriak terkejut.
"Anakku tercinta!" katanya. "Kau bukan hantu! Mengapa kau ada di sini?"
Dengan lembut Odiseus menjelaskan alasan
kunjungannya ke Negeri Orang Mati. Kemudian, ia menanyakan banyak hal pada
ibunya. "Bagaimana kabar Penelope dan Telemakus? Apakah Penelope telah
membuang semua kenangan tentang diriku dan menikah dengan orang lain?
Bagaimana ayah? Apakah ia masih hidup?"
Hantu itu memandang dengan sedih ke arah putranya.
"Keluargamu telah porak-poranda karena sedih. Istrimu masih menunggumu.
Namun, ia melewatkan siang dan malam dengan menangis. Putramu kuat dan
pemberani. Meskipun masih muda, ia menjaga rumah, ladang, dan ternakmu. Ia
juga meratapi kepergianmu, seperti halnya ayahmu. Ayahmu tinggal di desa dan
tidak mau mendekati kota. Di musim dingin, ia hanya memakai kain compang-
camping dan tidur di lantai. Di musim panas, ia tidur di kebun anggur. Ia
menangisimu setiap saat."
Odiseus menjadi sedih setelah mendengar kabar tentang keluarganya.
"Dan kau, Ibu?" ia bertanya. "Apa yang telah terjadi padamu?"
"Kepergianmu terlalu membebani hatiku," katanya. "Ketika aku bertambah yakin
kau tidak akan pernah kembali, aku menjadi terlalu sedih untuk hidup."
Odiseus merengkuh sang ibu. Tiga kali ia mencoba. Namun, ibunya selalu lewat
begitu saja, seperti udara.
"Ibu!" jeritnya. "Mengapa kau tidak ada di sana setiap kali aku mencoba
memelukmu?"
"Anakku. Aku adalah arwah," jawabnya dengan lembut. "Tinggalkan Negeri
Orang Mati sekarang juga. Carilah cahaya matahari selagi kau masih hidup."
Odiseus sangat sedih saat arwah ibunya menghilang dari pandangan bagaikan
bayangan atau mimpi.
SEMBILAN
ARWAH PARA PEJUANG
Ketika arwah ibu Odiseus menghilang, semakin banyak arwah yang mendekati
parit untuk meminum darah yang ada di sana.
Odiseus mencabut pedangnya dan memerintahkan para arwah itu mendekat satu
demi satu.
Yang pertama muncul adalah arwah istri dan ibunda para pahlawan Yunani yang
telah gugur di medan perang; berikutnya, arwah para raja yang agung dan pejuang.
Salah satu di antaranya adalah Raja Agung Agamemnon yang memimpin prajurit
Yunani dalam Perang Troya.
"Tuanku, raja kami semua!" seru Odiseus. "Anda berada di sini!"
Setelah meminum darah domba, Agamemnon segera mengenali Odiseus. Ia
mencoba memeluk Odiseus. Namun dalam wujud arwah, ia tidak memiliki
kekuatan.
Odiseus menangis dengan iba. Hingga saat ini, ia tak tahu bahwa Agamemnon
telah mati. Sekarang mereka duduk dan bercakap-cakap- manusia hidup dan arwah
sang raja agung.
"Apa yang membuat Anda terdampar di tempat ini?" tanya Odiseus. "Apakah
Anda tenggelam akibat badai laut yang dahsyat? Apakah musuh menyerang Anda
dalam sebuah pertempuran sengit?"
Agamemnon bercerita pada Odiseus bahwa ia telah dibunuh oleh ratunya sendiri.
"Tapi kau tidak akan menemui nasib yang sama denganku, Odiseus," kata hantu
Agamemnon untuk menenangkannya. "Penelope, istrimu, sangat setia padamu. Ia
adalah wanita yang patut dikagumi. Ketika kau meninggalkannya, ia masih
seorang gadis kecil yang lugu. Pada saat kau kembali nanti, ia dan putramu akan
menunggu untuk memelukmu dan bekerja bersamamu di ladang."
Pada saat Odiseus dan arwah Agamemnon duduk sambil menangis dan
berbincang-bincang, arwah para pejuang-yang telah bertempur dengan gagah
berani dalam Perang Troya - mulai berdatangan dan duduk bersama mereka. Salah
satu di antaranya adalah Achilles yang perkasa, pejuang yang paling berani dari
semua orang Yunani.
"Odiseus, tindakanmu ini sungguh berani," kata Achilles. "Mengapa kau datang
kemari?"
Odiseus bercerita pada Achilles dan arwah lainnya tentang perjalanannya dan
bagaimana ia telah bertemu dengan arwah Tiresias. Ia memuji Achilles dan
menyebutnya sebagai pangeran di antara para orang mati.
"Ah, mungkin begitu," kata Achilles, "tapi aku lebih suka menjadi pelayan seorang
miskin di dunia orang hidup daripada menjadi raja di Negeri Orang Mati."
Satu demi satu, arwah para pejuang itu menceritakan kisahnya pada Odiseus. Dan
Odiseus memberi tahu kabar tentang orang-orang yang masih hidup kepada setiap
hantu itu.
Kemudian, Odiseus melihat Tantalus, seorang raja congkak yang telah membuat
marah para dewa. Mereka memberinya rasa lapar dan haus abadi sebagai hukuman.
Tantalus dipaksa berdiri di dalam air yang tingginya mencapai dagu. Di atas
kepalanya, terjulur dahan-dahan pohon berbuah lebat, seperti pir, apel, dan buah
ara.
Setiap kali Tantalus menunduk untuk minum, seketika itu juga airnya mengering.
Ketika ia mencoba meraih buah-buahan, angin meniup dahan sehingga menjauh ke
atas.
Kemudian, Odiseus melihat Sisifus, raja nan kejam yang dikutuk para dewa untuk
menggelindingkan sebuah batu besar ke atas puncak bukit. Setiap kali Sisifus
mencapai puncak bukit, batu tersebut kembali terguling ke bawah, dan ia harus
memulai dari awal lagi.
Kemudian, Odiseus juga melihat Herkules yang perkasa. Pejuang itu menatap ke
kejauhan sambil membawa busur dengan anak panah yang terpasang pada tali
busurnya. Berulang kali, ia tampak bersiap-siap untuk memanah.
Saat mencari arwah pahlawan lain di antara kabut, Odiseus melihat ribuan arwah
bergerak perlahan-lahan ke arahnya. Mula-mula, suara mereka terdengar lembut.
Namun, semakin lama semakin keras. Arwah-arwah itu berkumpul di sekitar
Odiseus sambil berteriak meminta bantuan.
Odiseus menjadi panik. Dengan perasaan ngeri, ia berpaling dan berlari. Anak
buahnya juga ikut berlari-melewati kumpulan pohon milik Persefone-menuju
kapal.
Odiseus naik ke kapal dan memerintahkan anak buahnya untuk segera berlayar.
Para awak mendayung dengan cepat untuk menyeberangi Sungai Oceanus. Mereka
terus mendayung hingga mereka merasakan tiupan angin yang mengembangkan
layar kapal.
Saat sinar fajar berwarna kemerahan menyinari air laut yang berwarna anggur
gelap, Odiseus akhirnya bisa bernapas lega. Pikirannya berkelana ke tahun-tahun
yang telah dilewatinya - mimpi buruk yang diakibatkan oleh raksasa pemakan
manusia, istirahat yang lama di istana milik Circe, dan kunjungannya ke alam
berhantu yang dikuasai Hades dan Persefone.
Odiseus meratapi kematian ibunya dan merasa semakin cemas untuk segera dapat
bertemu dengan ayahnya sebelum orang tua itu juga meninggal. Selain itu, ia
sangat rindu untuk segera dapat berkumpul kembali dengan istri dan anaknya-
sebelum ada yang mencelakai mereka.
Perasaan Odiseus dipenuhi rasa sakit tak
tertahankan. Namun, ia bersyukur karena masih berada di dunia orang hidup dan
tidak terperangkap selama-lamanya di Negeri Orang Mati.
ODISEI - BUKU KEEMPAT
DEWI BERMATA KELABU
(The Gray-Eyed Goddes)
SATU
ODISEUS DAN PENELOPE
Odiseus, sang raja Ithaca, berjalan perlahan-lahan di sepanjang pantai pulau yang
berpohon rimbun. Ketika memandang laut yang bergejolak, ia merasa rindu pada
tanah kelahirannya nun jauh di sana. Ia sudah tidak melihat tanah kelahiran
maupun keluarganya selama hampir dua puluh tahun-sejak ia berlayar untuk
bertempur dalam Perang Troya. Ia meratapi nasibnya yang sial setelah perang
berakhir.
Mungkin aku sekarang telah berada di Ithaca, ia merenung, andai saja orang-orang
Yunani
tersebut tidak membuat Athena marah dan
menyebabkan kapal kami menyimpang arah ... atau bila aku tidak membuat marah
Poseidon, Dewa Lautan, karena telah membutakan mata anaknya, Cyclops ... atau
awak kapalku tidak membuat marah Dewa Angin ataupun Dewa Matahari.
Odiseus menarik napas panjang dengan perasaan sedih dan putus asa. Seluruh anak
buahnya telah tewas karena dihantam oleh kemarahan para dewa atas kesalahan
mereka yang menyedihkan. Ia sendiri diampuni. Kekuatan serta keberanian telah
membantu Odiseus bertahan dari kejamnya perang dan bahaya yang mengintai
dalam perjalanan pulang.
Saat ini Odiseus merasa seolah-olah berada dalam mimpi buruk di mana ia tidak
dapat terjaga. Selama tujuh tahun yang panjang, Dewi Kalipso telah
menyanderanya di pulau ini. Setiap hari sang dewi dengan kata-kata semanis madu
berusaha membuat Odiseus melupakan masa lalunya. Ia menjanjikan apa saja pada
pria itu bila ia bersedia menikah dengannya. Ia mengabaikan protes Odiseus yang
mengatakan bahwa dia masih mencintai istrinya, Penelope, dan anak lelakinya,
Telemakus.
Dan apa yang terjadi pada keluargaku
sekarang? Odiseus bertanya-tanya.
Ia teringat akan apa yang dikatakan arwah sang ibunda ketika dirinya menempuh
perjalanan ke Negeri Orang Mati. "Keluargamu telah porak-poranda karena rasa
sedih. Istrimu masih menunggumu. Namun, ia melewatkan siang dan malam
dengan menangis. Putramu kuat dan pemberani. Meskipun masih muda, ia
menjaga rumah, ladang, dan ternakmu. Ia juga meratapi
kepergianmu, seperti halnya ayahmu ..."
Ia mendengar kata-kata tersebut bertahun-tahun silam. Apakah ayahnya masih
hidup? Dan bagaimana nasib putranya? Telemakus masih bayi ketika Odiseus
meninggalkan Ithaca. Sekarang ia pasti telah tumbuh menjadi seorang pemuda
berusia dua puluhan. Dan apakah Penelope masih setia? Atau ia telah membuang
seluruh kenangan tentang Odiseus dan kemudian menikah lagi?
Dengan diliputi perasaan putus asa untuk segera pulang ke Ithaca dan berkumpul
kembali dengan keluarganya, Odiseus menatap ke arah ombak yang berwarna
segelap anggur dan berharap ada kapal yang membawanya pulang.
Nun jauh dari Pulau Kalipso, istri Odiseus, Penelope, berdiri di dekat jendela
kamarnya sambil mendengarkan suara para pelamar yang gaduh dan kasar.
Wanita itu gemetar. Selama empat tahun terakhir, pria-pria itu telah datang dari
berbagai penjuru untuk melamar dirinya. Ia membenci mereka semua. Ia tahu
mereka tidak sungguh-sungguh menginginkan dirinya. Mereka mengincar sawah,
ladang, ternak, para pelayan, dan kekuasaan di seluruh pulau milik Odiseus.
Ketika para pelamar itu pertama kali tiba, Penelope telah menyiapkan rencana
cerdik untuk menyingkirkan mereka semua. Ia mengatakan pada mereka bahwa ia
tidak dapat menikah lagi sebelum selesai menenun kain kafan untuk dipakai ayah
Odiseus pada saat pria tua itu meninggal kelak. Setiap hari ia duduk di depan alat
tenun untuk membuat kain tersebut. Namun setiap malam, di bawah sinar obor
yang temaram, ia membuka kembali tenunan yang telah dibuatnya pada siang hari.
Selama tiga tahun, Penelope menjalankan muslihat ini, sambil berharap agar
suaminya segera kembali. Namun pada tahun keempat, salah seorang pelayannya
menceritakan tipuan itu pada para pelamar.
Pria-pria itu menjadi berang dan menuntut Penelope untuk segera memilih salah
seorang dari mereka untuk menjadi suaminya yang baru. Namun, Penelope tetap
menolak. Tak seorang pun dari para pria rakus dan kasar tersebut yang sebanding
dengan suaminya yang telah lama menghilang, Odiseus.
Meskipun tahun demi tahun telah berlalu, ia tetap dapat dengan jelas mengingat
paras suaminya: perawakan tegap, bahu bidang, rambut pirang, dan sepasang mata
bercahaya berkilauan. Ke mana pun matanya memandang, ia dapat merasakan
kehadiran Odiseus di kediaman mereka -contohnya saat ia melihat perkakas kayu
berhias emas, perak, dan gading serta ranjang khusus buatan Odiseus. Suaminya
membuat kamar tidur mereka di sekitar sebatang pohon zaitun. Ia memotong
dahan-dahan pohon itu dan menjadikan batang utamanya sebagai salah satu kaki
ranjang. Hanya mereka berdua yang mengetahui rahasia ini.
Penelope sangat berharap Odiseus segera kembali dan bertindak cepat serta tegas
terhadap para penjahat yang mencoba merampas kedudukannya. Tanpa keberadaan
sang suami, tak ada seorang pun yang dapat melindunginya.
Ayah Odiseus sudah terlalu tua dan lemah untuk membantu. Karena tenggelam
dalam kesedihan, orang tua tersebut berkelana di pulau. Dia tak pernah bersedia
berada di sekitar istana.
Telemakus, putra Penelope, masih terlalu muda untuk membantu. Matanya yang
cemerlang dan rambutnya yang pirang mirip milik ayahnya. Namun, anak itu
belum mewarisi kecerdasan dan kekuatan sang ayah. Akhir-akhir ini, para pelamar
tersebut bersikap semakin kurang ajar terhadap Telemakus. Mereka juga menjadi
semakin marah dan bersikeras agar Penelope segera memilih salah seorang dari
mereka untuk menjadi suaminya.
Saat mendengar suara tawa dari halaman, Penelope merapatkan penutup jendela
dan kembali ke alat tenunnya dan mulai bekerja.
Dengan perasaan putus asa, ia berdoa agar suaminya segera kembali sebelum
terlambat.
DUA
PUTRA ODISEUS
Telemakus membenci para pria yang hendak melamar ibunya, lebih dari kebencian
sang ibu terhadap pria-pria itu. Setiap hari mereka menyerbu tanah ayahnya.
Mereka membantai sapi, lembu bertanduk panjang, domba, dan babi milik
Odiseus. Mereka mencuri anggur dari kebun anggur dan memberi perintah kepada
para pelayannya. Setiap kali Telemakus mengusir mereka, mereka tertawa dan
mencemoohkannya.
Pada saat ini, di tengah hari bolong, para pelamar sedang duduk terlentang di
halaman dan beristirahat di atas hamparan kulit sapi yang telah mereka sembelih.
Mereka bermain dadu dan minum anggur dari mangkuk-mangkuk besar.
Andai saja ayahku telah pulang, Telemakus
berpikir, ia tentu akan segera mengusir mereka dan kembali memimpin pulau ini.
Karena tenggelam dalam pikiran penuh amarah, Telemakus tidak memerhatikan
bahwa ada orang asing yang menunggu dengan sabar di ambang pintu rumah
mereka. Orang asing itu mengenakan sandal emas berkilauan dan membawa
sebilah tombak perunggu.
Ketika akhirnya melihat orang asing tersebut, Telemakus segera lompat dari
tempat duduk dan bergegas menyambut sang tamu. "Selamat siang, Tuan!" ia
berseru. "Maafkan saya telah membuat Anda menunggu di luar pintu gerbang!"
Orang asing itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia menatap ke arah
Telemakus dengan mata kelabunya yang tajam menusuk.
"Silakan masuk, silakan masuk!" kata Telemakus sambil mengajak orang itu
masuk ke halaman. "Segarkan diri Anda dengan minuman dan makanan.
Kemudian ceritakanlah dari mana Anda berasal dan apa yang Anda cari."
Telemakus segera memimpin orang asing itu melewati para pelamar dan masuk ke
ruang utama. Ia berusaha melindungi tamunya dari kekasaran dan kegaduhan
orang-orang itu.
"Silakan duduk di sini", kata Telemakus. Ia menunjuk ke arah kursi tinggi berukir
yang dilapisi kain halus. "Letakkan saja kaki Anda pada bangku ini."
Telemakus lalu duduk di samping sang tamu. Para pelayan membawakan beberapa
nampan berisi daging dan roti. Mereka juga menuangkan anggur dan air segar ke
dalam cawan-cawan berwarna keemasan.
Tak lama kemudian, para pelamar Penelope mulai menyerbu masuk ke dalam.
Mereka datang untuk mendengarkan musik, menyanyi, dan berdansa. Telemakus
sangat ingin bertanya kepada sang tamu, namun ia menunggu sampai musik mulai
dimainkan sehingga para pelamar tak dapat mendengarkan percakapan mereka.
Begitu musik dan nyanyian dimulai, Telemakus mendekat ke arah tamu bermata
kelabu tersebut.
"Katakanlah padaku, Tuan, siapakah Anda?" tanya si anak muda. "Dari mana Anda
berasal? Kapal macam apa yang telah membawa Anda kemari? Apakah
sebelumnya Anda pernah berkunjung ke rumah ini? Pernahkah Anda mengenal
ayahku, Odiseus, sang raja Ithaca?
"Namaku Mentor," kata si orang asing. "Aku pemimpin Taphos. Ayahmu adalah
temanku, namun aku tidak pernah bertemu dengannya lagi sejak ia pergi untuk
bertempur dalam Perang Troya. Baru-baru ini aku mendapat kabar bahwa ia telah
kembali, jadi aku datang ke Ithaca untuk bertemu dengannya. Aku ingin
menyambut kepulangannya."
Telemakus menundukkan kepalanya. "Dengan sangat menyesal, harus ku katakan
bahwa ayahku belum kembali. Dan kami belum mendengar kabar tentang dirinya.
Aku khawatir ia telah menemui ajalnya dan kami tidak akan pernah lagi bertemu
dengannya."
"Mungkin para dewa hanya menahannya untuk sementara," kata Mentor.
"Mungkin ia menjadi tawanan di sebuah pulau entah di mana. Aku bukan peramal,
namun dalam hati kecilku aku mendengar para dewa berbisik bahwa ayahmu
belum meninggal. Ingatlah, ia orang yang kuat dan pemberani. Meskipun dirantai,
ia pasti mampu meloloskan diri dan menemukan jalan pulang."
Telemakus menghela napas panjang. Ia meragukan kebenaran kata-kata Mentor.
Selama bertahun-tahun, harapan akan kepulangan sang ayah telah berkali-kali
kandas.
Suara-suara di ruangan itu semakin keras. Semua pelamar sedang bernyanyi,
berteriak-teriak, dan saling mencaci-maki.
Mentor menatap ke arah mereka. "Siapa orang-orang yang berlagak ini?" ia
bertanya kepada Telemakus. "Mengapa kau membiarkan mereka bertingkah laku
demikian kasar dan memuakkan seperti ini?
"Tuan, saat ayahku berada di sini, kerajaannya adalah tempat yang aman dan
tertib," jawab Telemakus. "Namun setelah beberapa tahun kepergiannya, orang-
orang dari pulau tetangga mulai menyerbu tempat tinggal kami. Sekarang mereka
menyembelih dan menyantap ternak ayahku. Mereka menghina ibuku dan
memaksanya memilih salah seorang dari mereka untuk dinikahi."
Mata Mentor berkilau penuh kemarahan. "Odiseus harus segera pulang," katanya
dengan suara rendah. "Aku telah menyaksikan kekuatan ayahmu. Kalau saja ia
berada di sini sekarang, ia pasti akan segera menghukum para penjahat ini."
"Ya, aku yakin ia akan melakukannya," kata Telemakus. "Itulah sebabnya aku
sangat mengharapkan kepulangannya. Mereka tidak mendengarkan apa pun yang
aku katakan. Aku bahkan yakin mereka akan segera berusaha membunuhku."
"Nak, kau harus mengumpulkan kekuatan dan keberanianmu," kata Mentor dengan
suara bergetar penuh kemarahan. "Kau harus mencari cara untuk menghadapi
orang-orang ini. Kumpulkan mereka besok dan segera usir mereka. Kemudian
kumpulkan dua puluh awak kapal yang cakap. Cari kapal yang terbaik dan berlayar
secepatnya untuk mencari ayahmu."
Telemakus terpesona oleh gaya bicara tamunya yang berapi-api.
"Aku ... aku tak tahu bagaimana cara mencarinya," kata Telemakus.
"Berlayarlah ke Pylos terlebih dahulu," kata Mentor. "Pergilah ke tempat tinggal
Nestor yang bijaksana. Ia adalah teman ayahmu dan seorang pejuang yang gagah
berani dalam Perang Troya. Tanyakan pada Nestor tentang Odiseus. Ia akan
mengatakan segala hal yang ia tahu, atau ia akan memberi tahu pada siapa kau
dapat bertanya."
"Lalu apa yang harus kulakukan selanjutnya?" tanya Telemakus.
"Bila kau mendengar bahwa Odiseus telah mati, segera kembali dan berkabung-lah
untuknya. Bantu ibumu untuk merencanakan pernikahannya. Bunuh semua
pelamar yang
tidak bersedia pergi dari rumahmu."
Telemakus merasa ketakutan mendengar tantangan tersebut.
Seolah-olah dapat membaca pikiran Telemakus, Mentor mendekat dan menatap
dalam-dalam mata anak muda itu.
"Buat dirimu terkenal, Telemakus," katanya. "Dengan demikian, orang-orang akan
memuji keberanian jiwamu. Kau seorang pria sekarang, bukan anak-anak lagi."
Telemakus merasa tergerak oleh nasihat Mentor.
"Tuan, Anda sungguh baik hati bersedia bicara seperti ini padaku," katanya. "Aku
merasa seolah-olah Anda adalah ayahku. Aku akan lakukan apa yang Anda
katakan."
Mentor berdiri dan bersiap-siap untuk pergi. "Sekarang aku harus kembali ke kapal
dan awak kapalku," katanya.
"Aku mohon, tinggallah lebih lama," pinta Telemakus. "Beristirahatlah dan
segarkan diri Anda. Aku bermaksud memberi Anda hadiah."
"Sudahlah, jangan menahanku," kata Mentor. "Aku akan menerima pemberianmu
bila aku singgah ke mari lagi. Namun sekarang aku harus pergi."
Setelah berkata demikian, orang asing bermata kelabu tersebut menghilang secepat
burung terbang.
Telemakus merasa takjub. Ia sadar bahwa ia baru saja berhadapan dengan seorang
dewa.
TIGA
DEWI BERMATA KELABU
EMPAT
BERLAYAR
LIMA
PENCARIAN
Dari hari masih gelap hingga fajar menjelang, kapal Telemakus berlayar dengan
cepat menuju ke pulau Pylos, tempat Raja Nestor berada.
Tepat ketika matahari bersinar di atas laut, kapal itu mencapai pelabuhan.
Sekelompok orang telah berkumpul di pantai. Mereka sedang mengadakan upacara
persembahan kepada Poseidon, Sang Dewa Laut.
Para awak kapal menurunkan layar. Mentor memerintahkan mereka untuk tetap
tinggal di kapal, sementara ia dan Telemakus pergi ke pantai untuk menemui Raja
Nestor.
Ketika mereka berjalan bersama, Mentor menasihati si anak muda.
"Jangan malu-malu di depan sang raja," katanya. "Tanyakan padanya berita
tentang ayahmu-apakah ia telah meninggal? Bila iya, di mana ia dimakamkan?
Mintalah padanya untuk mengatakan yang sejujurnya karena ia adalah orang yang
lebih bijaksana dan berkuasa dibandingkan semua orang yang ada di pulau ini."
Telemakus merasa gentar saat hendak
menghadap Raja Nestor yang agung. Raja Nestor adalah seorang pejuang dan
pelaut yang tak kenal takut; penunggang kuda yang hebat, dan pembunuh raksasa.
Dan yang paling penting, ia terkenal karena kebijaksanaan serta penilaiannya.
"Jangan khawatir," kata Mentor. "Para dewa akan membantumu. Percayalah
padaku ketika aku mengatakan bahwa dewa-dewa selalu bersamamu sejak kau
dilahirkan."
Mendengar kata-kata tersebut, Telemakus mencoba mengumpulkan
keberaniannya. Saat ia dan Mentor mendekati kerumunan orang di pantai tersebut,
mereka melihat Nestor duduk bersama ketujuh putranya, sementara yang lain
mempersiapkan pesta besar.
Dua dari putra Nestor segera berlari menyambut kedua orang asing itu di pulau
mereka. Mereka mengundang kedua orang itu untuk duduk di atas hamparan kulit
domba yang lembut. Mereka menjamu tamu tersebut dengan daging yang
dihidangkan di atas piring perak dan anggur dalam cawan emas.
Ketika Mentor dan Telemakus telah selesai menghabiskan hidangan dan minuman
mereka, Nestor mendekati mereka.
"Sudah sepantasnya bila aku bertanya kepada para tamu setelah mereka puas
menyantap hidangan dan meminum anggur," kata sang raja. "Jadi, sekarang,
setelah kalian ikut berpesta bersama kami, katakan padaku: Siapakah gerangan
kalian? Dari mana kalian berlayar? Apakah kalian pedagang atau bajak laut?"
Mentor mengangguk ke arah Telemakus untuk memberinya dorongan supaya
bicara.
"Kami datang dari Ithaca, pulau yang dahulu dikuasai oleh Odiseus yang
pemberani," jawab Telemakus. "Kami datang untuk mencari tahu tentang
keberadaannya. Kami ingin mengetahui nasib yang menimpanya pada saat ia
berlayar pulang seusai Perang Troya. Kami mohon, katakanlah apa yang Anda tahu
tentang dia. Jangan menghibur kami dengan cerita yang menyenangkan. Saya
harus tahu yang sebenarnya, karena saya adalah putranya."
Nestor tergagap karena keheranan.
"Aku hampir tidak memercayai mataku sendiri," kata orang tua itu. "Namun,
karena kau telah mengatakan kepadaku siapa dirimu, aku sadar bahwa kau
memang sangat menyerupai ayahmu, Odiseus. Aku akan mengatakan semua yang
kuketahui tentang perjalanan dan petualangannya."
"Ketika kami berlayar dari Troya, Athena sangat marah pada beberapa orang
Yunani karena mereka telah menodai kuilnya di tengah pertempuran sengit. Atas
permintaan Athena, Zeus memorak-porandakan dan mencerai-beraikan armada
kami di tengah lautan. Aku berhasil menemukan jalan pulang, namun aku tidak
tahu tentang nasib teman seperjuanganku itu. Aku hanya dapat mengatakan siapa
yang selamat dan siapa yang hilang. Aku tahu tentang nasib mereka dari kabar
yang beredar di istanaku. Maafkan aku, namun aku tidak mendengar berita apa pun
tentang ayahmu."
Telemakus menghela napas penuh rasa putus asa. Kemudian, ia bercerita pada
teman lama ayahnya tersebut tentang para pelamar yang menyerbu rumah serta
mencuri perbekalan ayahnya.
Nestor terdiam sejenak. Ia tampak berpikir keras. Akhirnya, ia berbicara dengan
suara lembut namun mantap.
"Aku akan memberi tahu apa yang harus kau lakukan," ia berkata. "Pergilah ke
istana Raja Menelaus dan Ratu Helen yang jelita. Menelaus adalah orang terakhir
yang pulang dari Perang Troya. Ia telah berkelana ke berbagai daerah. Mintalah
padanya untuk mengatakan apa yang dia tahu. Ia tidak akan menipumu."
Telemakus mengucapkan terima kasih atas semua saran Nestor. Kemudian, Nestor
mengundang Telemakus dan Mentor untuk beristirahat semalam di istananya.
"Putra Odiseus yang perkasa beserta temannya tidak pantas beristirahat di kapal!"
katanya.
Mentor berdiri. "Terima kasih, namun aku rasa aku harus segera kembali ke kapal
dan memeriksa para awak kapal. Telemakus akan tinggal dan tidur di rumahmu.
Tolong pinjami dia kuda tercepat dan kereta terbaik sehingga ia dapat pergi ke
istana Menelaus besok."
Setelah itu, Athena tiba-tiba lenyap- tidak
dalam bentuk Mentor, namun dalam bentuk seekor elang perkasa.
Semua orang yang melihat hal itu terpana dan tak mampu bicara. Nestor tergagap
dan segera meraih tangan Telemakus.
"Temanku," katanya, "kau bepergian bersama para dewa! Aku sepenuhnya yakin
bahwa temanmu itu adalah sang dewi bermata kelabu, putri Zeus!"
Nestor segera berdoa untuk Athena dan berjanji untuk memberi persembahan
berupa seekor sapi muda sebagai tanda hormat untuk sang dewi. Selanjutnya,
orang tua tersebut membimbing Telemakus ke sebuah ruangan yang megah di
dalam istana, di mana para pelayan telah menyiapkan tempat tidur yang nyaman.
Keesokan harinya, Telemakus bangun pagi-pagi sekali. Ia dimandikan dan diberi
minyak. Kemudian, dengan mengenakan tunik dan mantel yang indah, ia
meninggalkan istana sang raja untuk memulai perjalanannya.
Sekali lagi, semua orang yang melihat Telemakus terpesona, karena ia tampak
seperti seorang dewa.
Nestor memerintahkan bawahannya untuk memasang kuda-kudanya yang tercepat
ke kereta yang terbaik. Ia juga menyuruh para pelayan untuk menyiapkan daging,
roti, dan anggur. Kemudian, ia memerintahkan putra bungsunya untuk menyertai
Telemakus ke istana Raja Menelaus.
Kedua anak muda itu naik ke atas kereta.
Putra Nestor mengambil tali kekang dan menghentakkannya. Kuda-kuda tersebut
meloncat dan berlari.
Sepanjang hari kuda-kuda itu berlari secepat angin di atas dataran rendah. Ketika
matahari terbenam dan kegelapan mulai menutupi daerah tersebut, mereka
beristirahat.
Pagi berikutnya, ketika fajar mulai merah merekah, kedua anak muda itu kembali
memasang kuda-kuda tersebut ke kereta. Mereka kembali berlari kencang
melintasi ladang gandum dan jagung.
Sekali lagi, kuda-kuda tersebut berlari sepanjang hari. Dan ketika malam tiba,
mereka sampai di istana yang terletak di lembah yang dalam, tempat tinggal Raja
Menelaus dan Ratu Helen yang cantik.
ENAM
ORANG TUA DARI LAUTAN
Kuda-kuda tersebut berhenti di pintu gerbang istana. Telemakus dan putra Nestor
dapat mendengar suara perayaan dari dalam istana.
Para pelayan menyambut kedua orang asing tersebut di gerbang. Kedua anak muda
itu disambut dan diperlakukan sebagaimana layaknya tamu terhormat. Telemakus
sadar bahwa ini adalah adat istiadat seluruh orang Yunani. Para pengembara
menerima perlakuan terbaik saat mereka menjadi tamu di rumah orang lain.
Beberapa pelayan membersihkan dan melumuri kedua anak muda tersebut dengan
wewangian. Mereka memberikan kedua anak muda itu jubah berwarna ungu yang
sangat indah. Lalu para pelayan tersebut membimbing kedua tamu itu ke aula
utama.
Telemakus mengagumi apa yang ia lihat di sana. Kemegahan yang ada di tempat
tersebut melebihi keindahan matahari dan bulan.
Telemakus dan putra Nestor duduk di samping raja. Mereka disuguhi aneka
makanan dan diberi cawan emas penuh berisi anggur.
"Selamat datang," sambut Raja Menelaus. "Silakan menikmati makan malam
kalian; kemudian, ceritakan padaku siapa dan dari mana kalian datang."
Saat sedang menyantap makanan, Telemakus memerhatikan aula besar tersebut.
Ruangan tersebut berkilauan karena pantulan sinar berwarna perunggu, emas,
kuning kecokelatan, gading, dan perak.
"Istana ini seperti rumah Zeus," bisiknya pada teman seperjalanannya.
Raja Menelaus secara tak sengaja mendengar kata-kata Telemakus.
"Ah, aku tak dapat dibandingkan dengan dewa Gunung Olimpus," katanya. "Seusai
Perang Troya, aku berkelana ke berbagai negara dan mengumpulkan banyak harta
benda. Namun, tak satu pun dari benda-benda itu yang dapat menyembuhkan
kesedihanku karena telah kehilangan rekan-rekan seperjuangan yang telah
terbunuh oleh prajurit Troya atau yang meninggal dalam perjalanan pulang."
"Aku sangat berduka atas kejadian yang menimpa seorang sahabatku - lebih
dibandingkan yang lain. Aku dengar bahwa keluarga rekanku itu sangat
menantikan kepulangannya. Ibunya meninggal karena kesedihan yang dalam. Istri
dan ayahnya hampir gila karena berduka. Bahkan sang putra berkabung siang dan
malam untuknya, meskipun anak itu masih bayi ketika ayahnya pergi berperang."
Telemakus menutupi wajah untuk menyembunyikan air matanya. Sang raja dengan
sangat sempurna telah menggambarkan keadaan keluarganya.
Pada saat itu, Ratu Helen turun dari kamarnya yang penuh wewangian dan
memasuki aula. Sang ratu, dengan kecantikan bak seorang dewi, duduk di samping
raja.
"Siapa gerangan orang-orang asing ini?" ia bertanya kepada suaminya. "Tidakkah
salah seorang dari mereka tampak sangat mirip Odiseus yang perkasa?"
Putra Nestor menganggukkan kepala. "Memang demikian halnya, ia adalah putra
Odiseus," katanya. "Ia merasa malu berada di hadapan Anda, Yang Mulia. Ayahku,
Nestor, telah mengirimku untuk menemaninya mencari berita tentang ayahnya.
Tak seorang pun di Ithaca yang bersedia membantunya memerangi ketidakadilan
yang sedang dia hadapi."
Menelaus merasa sangat tergerak untuk mengetahui identitas tamunya yang masih
muda itu.
"Ayahmu sangat dipuja," katanya pada Telemakus.
Kemudian sang raja, ratu, Telemakus, dan bahkan putra Nestor menangisi
hilangnya sang pejuang sejati, Odiseus.
"Ia adalah pejuang yang gagah berani," kata Helen. "Ketika aku tertangkap di
Troya, keberanian dan kecerdikan Odiseuslah yang telah menyelamatkanku."
"Ya," kata Menelaus. "Aku ingat dengan baik bagaimana ia dengan gagah berani
bersembunyi di dalam kuda kayu raksasa itu. Dengan dibantu gelapnya malam, ia
membuka pintu gerbang kota Troya, sehingga kami dapat menyerang kota itu."
Telemakus menganggukkan kepalanya. "Yang Mulia, ayahku memang orang yang
gagah berani," ia berkata dengan nada sedih, "namun segala keberanian dan
kecerdikannya tidak dapat menyelamatkannya dari nasib sial. Sekarang, mari kita
tidur. Semoga kita lebih tenang saat terlelap."
Ratu Helen memerintahkan para pelayan untuk menyiapkan tempat tidur bagi para
tamu di bagian atas istana. Dengan membawa obor, para pelayan menunjukkan
jalan kepada kedua anak muda tersebut. Mereka juga memberikan kedua anak
muda itu selimut dan baju tidur dari kulit domba yang halus. Karena letih
menempuh perjalanan yang panjang, Telemakus dan putra Nestor akhirnya jatuh
tertidur.
Sebelum fajar menyingsing, Menelaus terbangun dan pergi ke kamar tidur
Telemakus. Ia membangunkan anak muda itu dan berbicara dengan suara pelan.
"Katakan padaku, apa yang sebenarnya membuatmu datang ke istanaku," katanya.
"Bagaimana aku dapat membantumu?"
Telemakus bercerita pada sang raja tentang
para pelamar tamak yang menduduki rumah ayahnya.
"Bila ayahmu tahu tentang hal ini," kata Menelaus, "ia tentu akan mencincang
mereka."
"Apakah Anda pernah mendengar kabar tentang dia?" tanya Telemakus. "Dapatkah
Anda memberi tahu sesuatu tentang ayahku? Kumohon, jangan menceritakan hal-
hal yang bagus-bagus saja."
"Aku akan mengatakan apa yang kuketahui," jawab sang raja. "Ada sebuah pulau
di dekat perairan Mesir, di mana para pengembara biasa berhenti untuk beristirahat
sebelum kembali berlayar. Kapalku merapat di sana setelah perang usai. Aku
tersesat dan tidak tahu apakah para rekan seperjuanganku telah pulang dengan
selamat. Suatu hari, ketika aku sedang berjalan seorang diri, seorang peri laut
mengatakan padaku untuk bicara dengan ayahnya, Si Orang Tua dari Lautan."
"Siapa itu?" tanya Telemakus.
"Ia adalah seorang dewa dari laut," kata Menelaus. "Ia adalah penggembala anjing
laut milik Poseidon. Pada saat-saat tertentu ia muncul ke permukaan laut untuk
menghitung ternaknya. Untuk menangkapnya, seseorang harus memegangnya
dengan sangat erat karena ia dapat berubah dalam berbagai bentuk. Ia dapat
menjadi makhluk apa pun yang bergerak di atas bumi ini. Ia bahkan dapat menjadi
api atau air. Namun, bila kau dapat mencengkeramnya kuat-kuat, ia akan menjadi
dirinya sendiri. Kemudian, kau dapat bertanya tentang banyak hal padanya."
"Dan apakah Anda berhasil menangkap dewa laut yang aneh itu?" tanya
Telemakus dengan perasaan heran.
"Ya, aku menunggu hingga ia muncul untuk menghitung anjing lautnya.
Kemudian, aku segera berlari mendekat dan menangkapnya," kata sang raja. "Ia
segera berubah menjadi seekor singa, lalu ular, kemudian menjadi seekor macan
tutul, kemudian babi hutan. Ia berubah menjadi air yang mengalir, selanjutnya
menjadi sebatang pohon. Namun, aku memegangnya erat-erat sehingga akhirnya ia
kembali ke wujud aslinya. Ketika aku menanyakan padanya jalan pulang. Ia
memberiku nasihat yang bagus."
"Saat aku menanyakan nasib rekan-rekan seperjuanganku, ia mengatakan siapa
saja yang telah gugur. Ketika aku menangis dengan sedih, ia mengatakan bahwa
ada seorang pejuang yang gagah berani yang masih hidup. Ia mengatakan bahwa
Odiseus terperangkap di Pulau Kalipso. Dewi penguasa pulau itu menangkap dan
menahannya di sana."
Telemakus merasa gembira mendengar bahwa ayahnya masih hidup.
Menelaus bercerita lebih lanjut tentang perjalanannya. Kemudian ia pergi. Setelah
ditinggal sendiri, Telemakus menjadi bersemangat. Perasaannya dipenuhi
kegembiraan.
Apakah ayahku masih berada di Pulau Kalipso? ia bertanya-tanya. Apakah aku
harus mencarinya ke sana? Ataukah aku kembali ke rumah secepatnya dan
memberi tahu ibuku tentang berita gembira ini?
TUJUH
PULAU KALIPSO
Nun jauh di Pulau Kalipso, Odiseus duduk di sebuah batu besar dan menangis.
Pada saat seperti ini, seperti hari-hari lain selama tujuh tahun terakhir, ia sangat
merindukan rumahnya.
Karena kedua tangannya menutupi wajah, Odiseus tak dapat melihat secercah sinar
terang menyambar ke arah air dan meluncur di atas ombak seperti seekor camar. Ia
tidak melihat Hermes, Dewa Pembawa Pesan, muncul di hadapannya.
Dengan membawa tombak emas dan mengenakan sandal emas bersayap, Hermes
bergerak dengan ringan di atas pulau. Ia melangkah melewati hutan suci Kalipso,
di mana para penghuni hutan seperti burung hantu, elang, dan camar saling
bersahutan di atas berbagai jenis pohon.
Hermes melintasi taman milik Kalipso yang berbau semerbak, melalui hamparan
bunga ungu dan berbagai tanaman obat. Akhirnya, ia sampai ke pintu masuk gua
milik sang dewi.
Hermes menyingkirkan tanaman anggur yang menggantung dan melangkah masuk.
Aroma sari apel dan cendana tercium di udara.
Sang dewi yang berambut pirang sedang duduk dan bernyanyi di depan alat tenun
di dekat perapian. Saat mengangkat wajah, ia tersenyum ceria pada Hermes.
"Hermes, sungguh suatu kehormatan bagiku untuk menerima kunjunganmu!"
katanya. "Silakan duduk. Mari kuhidangkan makanan dan minuman."
Kalipso menjamu Hermes dengan makanan para dewa-ambrosia dan nektar merah.
Setelah bersantap, Hermes menceritakan tujuan kedatangannya.
"Hari ini di Olimpus, Dewi Athena mengumpulkan semua dewa," katanya. "Ia
sangat mencemaskan Odiseus, sang raja Ithaca. Pria itu telah pergi terlalu lama
dari tanah kelahiran dan keluarganya, demikian kata sang dewi, dan sekarang,
musuh-musuhnya berencana untuk membunuh putranya. Kalipso, Zeus telah
mendengar kata-kata putrinya dan memintamu untuk melepaskan tahananmu."
Sang dewi berdiri dengan marah, namun Hermes melanjutkan: "Zeus telah
memutuskan bahwa Odiseus harus pulang dengan segenap kekuatan sendiri. Tidak
ada seorang dewa pun yang diizinkan untuk membantu mempercepat
kepulangannya. Ia harus membuat rakit sendiri dan mengarungi samudra selama
dua puluh hari menuju ke Scheria. Dari sana, ia dapat berlayar ke Ithaca dan
membalas segala perbuatan jahat
yang dilakukan kepada keluarganya."
"Para dewa di Olimpus marah padaku rupanya," kata Kalipso. "Mereka tidak mau
percaya bahwa seorang dewi bisa jatuh cinta pada manusia biasa! Tapi aku-lah
yang telah menyelamatkan nyawa Odiseus!"
Kalipso memandang dengan marah ke arah Hermes selama beberapa saat. Namun,
akhirnya dengan perasaan kalah, ia mengalihkan pandangannya.
"Aku tahu aku tak dapat melawan kekuatan dan kehendak Zeus," ia berkata. "Bila
Zeus memang telah memerintahkan demikian, maka Odiseus akan meninggalkan
pulauku. Dengan maksud baik aku akan memberinya nasihat tentang apa saja yang
ia butuhkan untuk memulai perjalanan pulang."
Hermes membungkuk dan segera meninggalkan sang dewi yang sedang berduka
itu.
Kalipso segera pergi mencari Odiseus. Ia menemukan pria itu sedang duduk dan
menangis di atas sebuah batu karang. Kalipso duduk di sampingnya dan berbicara
dengan lembut.
"Kau tak perlu lagi tinggal di sini sambil merindukan rumahmu," katanya. "Aku
mengizinkanmu pulang," katanya. "Pergi dan tebanglah beberapa pohon. Buatlah
sebuah rakit besar untuk membawamu menyeberangi lautan. Aku akan
memberimu anggur, roti, dan pakaian."
Setelah bertahun-tahun ditahan, Odiseus tidak percaya pada kata-kata Kalipso.
"Kapal yang dibuat dengan sempurna pun tak akan dapat mengarungi ombak di
lautan ini dengan selamat," kata Odiseus. "Maukah kau bersumpah untuk tidak
mencelakaiku?"
Sang dewi memegang tangan Odiseus. "Aku bersumpah demi langit, bumi, dan air
di alam baka bahwa aku tidak pernah bermaksud mencelakaimu, Odiseus."
katanya.
Setelah mengucapkan sumpahnya, Kalipso berdiri dan segera berlalu. Odiseus
mengikuti sang dewi ke dalam gua. Kalipso memerintahkan para pelayan untuk
menyiapkan makanan. Para pelayan wanita menghidangkan ambrosia dan nektar
merah-makanan para dewa yang hidup kekal-untuk sang dewi. Kalipso sendiri
memberi Odiseus daging dan anggur, makanan para manusia.
"Odiseus, bila kau mau berjanji untuk tinggal di sini dan menikah denganku, maka
aku akan menjadikanmu makhluk abadi," kata Kalipso. "Kau akan hidup
selamanya."
"Dewi yang cantik, mengapa aku harus hidup selama-lamanya bila itu berarti jauh
dari tanah kelahiranku, tanpa istri dan putraku?" ia bertanya.
"Aku tak dapat membayangkan bahwa istrimu lebih cantik dibandingkan diriku,"
kata Kalipso. "Oh dewi, jangan marah," jawab Odiseus.
"Apa yang kau katakan itu benar. Istriku adalah manusia biasa. Ia tidak secantik
dirimu. Namun selama tujuh tahun, aku tak sanggup memikirkan hal lain selain
pulang kembali ke rumah dan ke dalam pelukan istriku."
Kalipso masih berusaha menahan Odiseus di pulaunya. Ia mencoba memberi satu
alasan lagi agar pria itu bersedia tinggal bersamanya.
"Bila kau berlayar pulang, Odiseus, kau mungkin akan menemui banyak hambatan,
karena para dewa tidak akan membantumu," katanya. "Berulang kali mereka akan
menguji kekuatan dan ketahanan fisik-mu.
"Jika para dewa memilih untuk menghancurkan rakitku, aku akan tetap mencoba
bertahan," kata Odiseus. "Setelah mengalami begitu banyak penderitaan, aku tentu
masih sanggup menahan satu cobaan lagi."
Kalipso menghela napas dan menganggukkan kepala. Ia tahu bahwa ia sudah tidak
memiliki pilihan lagi. Ia harus membiarkan Odiseus pergi.
Keesokan harinya, di waktu fajar, Kalipso mengenakan gaun perak berkilauan
yang sangat indah. Ia menutupi kepalanya dengan cadar. Kemudian, ia memberi
Odiseus sebilah kapak tajam dari perunggu dan membimbingnya ke sisi pulau yang
jauh.
Di sana banyak tumbuh pohon-pohon yang tingginya mencapai langit.
"Tebanglah sebanyak yang kau butuhkan untuk membuat rakit," kata sang dewi.
Selama empat hari berikutnya, Odiseus menebang pohon-pohon dengan kapak
perunggu tersebut. Ia berhasil menebang dua puluh batang. Selanjutnya ia mulai
membuat rakit.
Ia menghaluskan balok-balok yang telah dipotong dan menggabungkannya dengan
pasak kayu. Kemudian, ia membangun dek, membuat sebuah tiang, dan roda
kemudi. Kalipso memberinya kain linen untuk dijadikan layar. Ketika rakit
tersebut selesai, Odiseus menggunakan gelondongan kayu untuk
menggulingkannya ke dalam air.
Pada hari kelima setelah kunjungan Hermes ke pulau Kalipso, Odiseus telah siap
berlayar. Kalipso memberinya pakaian bersih dan kantong kulit kambing berisi
anggur merah, air, serta daging. Ia memberi tahu Odiseus tentang gugusan bintang
yang harus diikuti.
Sang dewi menyembunyikan kesedihannya ketika Odiseus naik ke atas rakit dan
bergerak menjauhinya menuju laut.
Hadiah terakhir yang diberikan Kalipso untuk Odiseus adalah angin hangat dan
lembut yang mendorong rakit Odiseus ke laut lepas.
DELAPAN
PELAYARAN
PENUTUP
SATU
PERPISAHAN DAN KESEDIHAN
Di bawah sebatang pohon zaitun di pantai yang terasing, terbaring Odiseus, sang
raja Ithaca yang tengah tersesat. Beberapa minggu sebelumnya, Odiseus telah
berjuang menyelamatkan nyawa dari badai yang maha dahsyat. Ia menjalani hari-
harinya tanpa makanan dan minuman. Ia berhasil menyelamatkan diri dari
kematian berkat bantuan seorang dewi laut. Dan sekarang, hanya dengan diselimuti
dedaunan, ia terlelap kelelahan.
Selama dua puluh tahun sejak meninggalkan medan tempur di Troya, Odiseus
telah berkali-kali mencoba kembali ke Ithaca, tanah kelahirannya yang tercinta.
Pada saat itu ia harus berhadapan dengan badai dan bertempur melawan berbagai
monster. Ia telah kehilangan armada kapal beserta seluruh awak kapalnya.
Odiseus sangat berharap bisa segera kembali ke tanah kelahirannya dan berkumpul
kembali dengan istrinya, Penelope dan putra mereka, Telemakus. Meskipun ia
tidak melihat wajah mereka selama dua puluh tahun terakhir,
mereka selalu berada dalam hati dan pikirannya. Namun, pada saat ini, saat
terbaring di pantai yang terpencil, tampaknya mustahil bagi Odiseus untuk kembali
pulang.
Sementara Odiseus tertidur di pantai, nun jauh di sana, Penelope terlelap di
kamarnya. Ia merasa letih karena terlalu lama menangis. Selama bertahun-tahun,
pria-pria kejam telah menyerbu kediaman suaminya dan menuntutnya untuk
menikahi salah seorang dari mereka. Penelope dengan teguh selalu menolak.
Sekarang, para pelamar tengah berencana untuk membunuh putranya pada saat
sang anak kembali dari perjalanan mencari sang ayah. Saat mendengar berita itu,
Penelope jatuh pingsan. Ia hampir tak sanggup bertahan atas kepergian suaminya.
Ia pasti akan mati jika harus kehilangan putranya juga.
Di tempat yang jauh dari Ithaca, putra Penelope, Telemakus, tengah terbaring di
ruang tidur mewah di istana raja dan ratu Sparta. Ia melakukan perjalanan ke
tempat itu untuk mencari berita tentang ayahnya, dan perjalanannya membuahkan
hasil. Raja Menelaus telah mengatakan padanya bahwa kemungkinan besar,
Odiseus ditahan di pulau kediaman Dewi Kalipso.
Setelah mendengar berita ini, Telemakus terus-menerus bertanya pada dirinya
sendiri.
Haruskah ia bertolak ke Pulau Kalipso untuk mencari sang ayah? Atau haruskah ia
kembali ke Ithaca dan membantu ibunya menghadapi para pelamar yang mencoba
mengambil alih tempat ayahnya?
Telemakus tidak sadar bahwa pada saat ini orang-orang jahat itu sedang menanti
kesempatan untuk menyerangnya saat ia pulang nanti.
Jauh di atas puncak Gunung Olimpus, Athena, sang dewi bermata kelabu, sedang
menatap ke arah Odiseus, Penelope, dan Telemakus.
Ia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan ketiga orang itu, demikian
pikirnya. Ia harus bertindak cepat. Maka, beberapa saat menjelang fajar, Athena
meninggalkan dunianya yang terang nan sempurna di atas awan dan meluncur ke
bawah, menuju dunia yang kecil dan penuh masalah.
DUA
SANG PUTRI
Athena melaju cepat di atas daratan menuju daerah kekuasaan Raja Alcinous. Raja
Alcinous adalah seorang pemimpin yang bijaksana dan dermawan. Kerajaannya
diberkahi oleh para dewa. Kaum pria di kerajaan tersebut adalah para pelaut
terbaik di seluruh dunia dan kaum wanitanya adalah penenun terbaik di seluruh
penjuru dunia.
Athena melewati ladang menghijau, kuil-kuil megah, dan rumah-rumah indah,
sampai akhirnya tiba di istana sang raja dan ratu. Beberapa saat menjelang fajar
menyingsing, ia menyelinap melalui pintu masuk, kemudian melewati aula menuju
kamar tidur putri raja, Nausika.
Sang dewi meluncur tanpa suara ke dalam kamar sang putri. Bagaikan embusan
angin, ia melewati dua pelayan wanita yang tertidur di dekat pintu.
Athena melayang-layang sejenak di atas tempat tidur sang putri. Kemudian dengan
cepat ia berganti wujud menjadi salah seorang teman baik Nausika. Ia lalu
berbicara kepada sang putri melalui mimpinya.
"Nausika, kau benar-benar pemalas!" katanya. "Tidakkah kau tahu bahwa ada
banyak pakaian kotor di istana yang harus dicuci? Bagaimana kau akan
menemukan jodohmu bila kau tidak memiliki gaun yang bersih? Nanti saat fajar
menyingsing, kau harus memuat seluruh kain linen terbaik ke atas kereta dan pergi
ke kolam dekat pantai untuk mencuci pakaian-pakaian tersebut."
Sang dewi bermata kelabu kemudian kembali menyelinap ke luar secepat dan
setenang ketika ia datang.
Ketika fajar menyingsing, Nausika terbangun dan teringat akan mimpinya yang
aneh. Ia segera pergi ke kamar orangtuanya.
"Ayah, aku harus pergi hari ini dan mencuci semua pakaian terbaik kita di tepi
laut!" katanya. "Bila tidak memiliki pakaian bersih, bagaimana aku bisa menikah
nanti?"
Raja Alcinous tersenyum. Ia merasa kata-kata putrinya agak aneh, namun ia tak
dapat menolak.
"Kalau memang itu maumu, Nausika, lakukanlah," katanya. "Aku akan
memerintahkan para pelayan untuk menyiapkan kereta dan keledai supaya kau
dapat membawa semua pakaian kita ke tepi pantai."
Para pelayan raja segera mempersiapkan kereta. Sang putri dan para pelayan
memuat bertumpuk-tumpuk mantel, jubah, tunik, dan berbagai gaun kotor ke
belakang kereta. Mereka juga membawa makan siang berupa roti, daging, kantong
kulit kambing berisi anggur, dan sebotol minyak zaitun berwarna keemasan.
Nausika naik ke atas kursi sais dan menghentakkan tali kekang. Keledai-keledai
tersebut mulai bergerak maju dan kereta-yang membawa sang putri dan para
pelayan ke tepi laut-berderak dengan suara berisik di atas jalan.
Ketika sampai di tempat pencucian, para gadis melepaskan ikatan keledai-keledai
mereka dan mengangkat muatan pakaian ke dekat pantai. Mereka kemudian
menginjak-injak semua pakaian dan mencucinya dengan air laut hingga tak
bernoda. Setelah itu, mereka menjemurnya di atas batu karang.
Sambil menanti pakaian mereka kering dengan bantuan sinar matahari dan angin,
sang putri dan para pelayan mandi di laut. Mereka kemudian menyantap roti dan
daging perbekalan mereka. Setelah itu mereka melepaskan kerudung dan mulai
bermain bola.
Sang putri melemparkan bolanya tinggi ke atas. Salah seorang pelayan tak dapat
menangkap bola tersebut dan bola itu meluncur ke dalam air. Gadis-gadis itu
mengejarnya sambil tertawa dan berteriak gembira.
Tak terlalu jauh dari tempat itu, seorang pria yang tengah kelelahan dan bersedih
terbaring di bawah pohon zaitun dengan berselimutkan dedaunan. Saat mendengar
suara gadis-gadis muda itu, ia membuka mata.
Aku berada di mana? pikirnya. Siapa yang sedang berteriak dan tertawa itu? Suara
mereka terdengar seperti peri-peri yang menghuni sungai dan pegunungan.
Odiseus mematahkan sebatang dahan berdaun rimbun untuk menutupi tubuhnya
yang telanjang. Kemudian, ia merayap ke luar dari bawah pohon menuju tempat
terbuka yang terang-benderang.
TIGA
SI ORANG ASING
Ketika melihat Odiseus, para pelayan tersebut menjerit dan segera berlarian.
Namun, Putri Nausika tetap tenang, karena Dewi Athena telah meniupkan
keberanian ke dalam hatinya. Para gadis lain menatap ke arah orang asing yang
compang-camping itu. Tubuhnya penuh garam, lumpur, dan dedaunan.
"Tuan putri yang cantik jelita, apakah kau seorang dewi atau manusia?" tanya
Odiseus. "Siapa pun kau, kasihanilah aku karena aku orang yang sangat menderita.
Aku terkatung-katung di lautan selama dua puluh hari sampai akhirnya ombak
besar menghempaskanku ke pantai ini. Dapatkah kau memberiku pakaian untuk
menutupi tubuh? Dapatkah kau mengatakan kepadaku di mana letak kotamu?"
Sang putri mendekati Odiseus.
"Wahai orang asing, aku yakin kau adalah orang baik-baik," kata putri Nausika.
"Aku adalah Nausika, putri Raja Alcinous. Aku dan pelayanku akan
membantumu."
Nausika memanggil para pelayan dari tempat persembunyian mereka. Ia
memerintahkan
mereka untuk membawa pakaian bersih dan minyak zaitun untuk orang asing
misterius itu.
Odiseus membersihkan diri di sebuah sungai kecil. Kemudian, ia membubuhkan
minyak zaitun ke kulitnya yang carut marut dan kering terbakar matahari. Setelah
ia mengenakan tunik dan mantel pemberian sang putri, para pelayan
membawakannya daging dan anggur.
Setelah Odiseus selesai bersantap, Putri Nausika mengatakan apa yang harus
dilakukan pria itu.
"Kau dapat mengikuti kereta kami sampai ke tembok kota," kata sang putri.
"Namun, begitu kita berada di dalam tembok kota, jangan ikuti kami lagi. Para
penduduk kota kami adalah pelaut terbaik, namun mereka mudah curiga terhadap
orang asing. Mereka mungkin berpikir kau seorang pengemis atau gelandangan
yang berasal dari kapal asing. Mereka akan membicarakan hal-hal yang buruk
tentang diriku karena telah membawamu masuk ke dalam kota ini."
"Ke mana aku harus pergi?" tanya Odiseus.
"Di dalam benteng kota terdapat sekumpulan pohon poplar keramat milik Dewi
Athena. Tunggu di sana sampai aku punya cukup waktu untuk mencapai rumah,"
kata Nausika. "Kemudian, datanglah ke istana. Di dalam istana kau akan menemui
kedua orangtuaku sedang duduk-duduk di depan perapian. Ibuku biasanya sedang
menenun kain dari bulu domba berwarna biru tua. Berlututlah di depannya dan
minta tolong padanya."
Sang putri kemudian menghentakkan tali kekang keretanya dan keledai-keledai
tersebut mulai bergerak ke arah kota.
Odiseus mengikuti kereta tersebut melalui ladang, peternakan, dan pelabuhan yang
dipenuhi kapal-kapal bagus. Ketika kereta tersebut tiba di gerbang kecil kota,
Odiseus ikut masuk melalui gerbang. Kemudian, ia berhenti dan mengawasi kereta
tersebut tanpa mengikutinya.
Odiseus berjalan dengan cepat melalui pasar yang dipenuhi para penjual ikan,
layar, dan dayung kapal. Ketika ia berjalan melalui kios-kios pasar, beberapa
pedagang dan pembeli mengawasinya dengan curiga. Odiseus menyelinap dengan
cepat melewati mereka dan menuju ke sekumpulan pohon poplar yang keramat. Ia
bersembunyi di antara pepohonan dan menunggu sang putri tiba di istana.
Sambil menunggu, Odiseus berdoa pada para dewa.
"Dengarlah permohonanku, wahai dewa-dewa Olimpus! Kasihanilah aku," ia
memohon. "Kabulkanlah permohonanku untuk dapat pergi ke istana dan meminta
pertolongan pada raja dan ratu."
Odiseus tetap bersembunyi di balik pepohonan hingga merasa yakin bahwa Putri
Nausika telah sampai di istana. Kemudian, ia dengan hati-hati melangkah ke luar,
menuju jalan raya kota.
Pada saat Odiseus melangkah ke jalan, kabut yang aneh menutupi tubuhnya. Tak
seorang pun memerhatikannya pada saat ia melangkah di jalan raya. Apakah
Athena membuatku tak tampak? ia bertanya-tanya.
Tiba-tiba seorang gadis kecil muncul di depan Odiseus. Gadis kecil itu menatap
Odiseus dengan mata kelabu yang cemerlang. Odiseus bertanya-tanya apakah
mungkin gadis kecil ini Athena yang sedang menyamar.
"Dapatkah kau menunjukkan jalan ke istana raja?" Odiseus bertanya pada gadis itu.
"Aku akan menunjukkan jalannya padamu," kata si gadis kecil. "Ikuti aku dan
jangan bicara pada siapa pun."
Odiseus mengikuti gadis itu di sepanjang jalan. Pada saat mereka telah mendekati
istana, si gadis kecil hanya berkata, "Masuk dan carilah sang ratu."
Kemudian, ia menghilang dan meninggalkan Odiseus seorang diri di pintu gerbang
istana.
Odiseus memasuki gerbang dan melewati kebun buah yang dipenuhi pohon-pohon
berbuah ranum seperti buah ara, pir, dan apel. Ia melintasi kebun anggur yang
subur dan taman bunga yang merekah.
Saat memasuki aula istana, ia terpana karena takjub. Istana itu bersinar bagaikan
diterangi sinar bulan dan matahari. Patung anak-anak berlapis emas dengan obor
menyala menyinari ruangan tersebut. Dengan diterangi sinar obor, para pelayan
bekerja di depan alat tenun mereka.
Saat menenun kain linen yang indah, jari-jari tangan mereka bergerak cepat dan
ringan bagaikan daun pohon cemara yang tertiup angin.
Tampaknya, tak ada seorang pun yang memerhatikan Odiseus ketika ia berjalan
memasuki istana. Tersembunyi di balik lindungan kabut Athena, ia menyelinap
masuk ke aula utama. Ketika sedang mencari sang ratu, Odiseus melihat
sekumpulan bangsawan duduk di depan perapian. Di dekat sang raja, seorang
wanita tengah menenun.
Odiseus bergerak cepat ke arah ibu Nausika. Saat berlutut di depan alat tenun, ia
sadar bahwa kabut di sekelilingnya menguap dan tiba-tiba ia terlihat lagi.
Beberapa orang di ruangan tersebut berteriak kaget ketika melihat orang asing
yang berpenampilan lusuh itu. Namun, Odiseus cepat-cepat berbicara dengan
lembut pada sang ratu.
"Dengan rendah hati, aku memohon belas kasihan Ratu!" katanya. "Aku datang
dari seberang lautan. Bantulah aku pulang ke negeriku, kembali pada anak dan
istriku."
EMPAT
PESTA
Dengan perasaan terkejut, setiap orang di aula utama menatap ke arah Odiseus
yang tengah berlutut di depan sang ratu. Akhirnya, seorang pria tua memecah
kesunyian.
"Kita harus menghormati adat kita," katanya. "Zeus yang perkasa mengatakan
kepada kita untuk tidak pernah menolak orang asing yang meminta pertolongan.
Berikanlah kursi untuk orang malang ini. Sajikanlah anggur dan makan malam
untuknya."
Raja Alcinous membantu Odiseus duduk di salah satu kursi yang ada. Seorang
pelayan membawakan baskom untuk mencuci tangan Odiseus. Pelayan lain
membawakan roti, anggur, dan daging.
Sang raja dan ratu beserta seluruh tamu mengangkat gelas minuman dan bersulang.
"Untuk Zeus, pelindung seluruh orang asing," kata sang raja. Kemudian, ia
memandang Odiseus. "Mungkin kau adalah salah seorang dewa yang turun ke
bumi untuk menguji keramahtamahan kami."
Odiseus menggelengkan kepalanya. "Kumohon, Tuan, jangan menganggap aku
sebagai seorang dewa. Sesungguhnya, aku adalah orang paling sial. Seandainya
saja baginda mengetahui penderitaan apa saja yang telah kulalui."
Sang raja tampak tersentuh mendengar kata-kata Odiseus yang rendah hati. Ia
berpaling ke arah tamu lain.
"Sekarang silakan kalian pulang. Besok kita akan mengadakan pesta untuk
menjamu tamu kita ini."
Setelah semua tamu pulang, yang tinggal hanya Odiseus, sang raja, dan ratu.
Wanita itu berbicara dengan lembut kepada Odiseus. "Tampaknya kau tidak
memakai pakaianmu sendiri," katanya. "Yang kau kenakan adalah pakaian yang
dibawa putriku untuk dicuci pagi ini. Katamu kau datang dari seberang lautan.
Sejujurnya, siapakah kau dan dari mana kau berasal?"
Odiseus tidak ingin membuka jati dirinya yang sebenarnya. Maka ia mengatakan
pada mereka bahwa ia meninggalkan Pulau Kalipso dan berhasil meloloskan diri
dari badai yang mengerikan. Ia juga bercerita tentang kebaikan hati putri mereka.
Setelah merasa puas dengan cerita Odiseus, sang ratu memerintahkan para pelayan
untuk menyiapkan sebuah ruangan untuk Odiseus. Ia kemudian dibawa ke tempat
tidur di mana ia kemudian berbaring di atas hamparan sehelai selimut lembut
berwarna ungu. Begitu obor dipadamkan, Odiseus langsung terlelap.
Keesokan paginya, para dayang istana mempersiapkan jamuan pesta. Mereka
membakar domba, babi hutan, dan sapi. Seorang pembawa pesan dikirim untuk
mengundang seorang penyanyi jalanan buta, yang terbaik di seluruh kerajaan.
Ketika pelayan Raja Alcinous sibuk mempersiapkan pesta, Athena berjalan kian ke
mari di jalanan kota. Dengan menyamar sebagai utusan raja, ia berteriak-teriak
memanggil penduduk kota.
"Wahai para bangsawan dan pangeran! Datang dan dengarlah cerita tentang orang
asing yang sekarang berada di istana raja!"
Banyak orang segera berkumpul di istana untuk menghadiri pesta perjamuan itu.
Ketika Raja Alcinous membawa Odiseus ke hadapan rakyatnya, kerumunan orang
itu terpana. Odiseus dapat melihat ekspresi keheranan pada wajah mereka.
Meskipun ia masih merasa lelah karena siksaan yang ia alami di lautan, ia
menduga bahwa Athena telah membuat penampilannya menjadi lebih baik, lebih
tinggi serta kuat dan juga berwibawa.
Saat pesta dimulai, si penyanyi buta duduk di dekat pilar sambil memeluk harpa
dengan kedua tangannya. Tak lama kemudian semangat si penyanyi mulai timbul
dan ia mulai bernyanyi tentang para pejuang terkenal yang gugur di medan perang.
Ia bernyanyi tentang para pahlawan dalam Perang Troya, tentang keberanian
Achilles, dan Raja Agamemnon.
Sementara si penyanyi itu berdendang, Odiseus meratapi teman-temannya yang
telah gugur. Ia menyembunyikan wajahnya di balik jubah supaya tak ada seorang
pun melihat air matanya. Ia tidak ingin mereka tahu siapa dia sebenarnya.
Namun kemudian, setelah berbagai perlombaan dan permainan, Odiseus kembali
merasa gembira dan bersemangat. Ia memanggil si penyanyi.
"Nyanyikanlah tentang kuda kayu yang telah membantu para pejuang Yunani
memenangkan perang! Jika kau menceritakan kisah yang sebenarnya tentang
jatuhnya Troya, akan kuceritakan pada seluruh dunia tentang keahlianmu
bernyanyi."
Si penyanyi mulai bernyanyi tentang seorang raja Yunani yang bernama Odiseus.
Ia menceritakan bagaimana Odiseus
memerintahkan anak buahnya untuk membuat kuda kayu raksasa dan bagaimana ia
menyembunyikan diri beserta anak buahnya yang gagah berani di dalam kuda itu.
Sang penyanyi berdendang tentang bagaimana prajurit Troya membawa kuda itu
masuk ke benteng kota, dan bagaimana para prajurit Yunani -yang dipimpin
Odiseus- bergerak ke luar dari kuda kayu tersebut di tengah malam buta dan
menyerang kota akhirnya dapat memenangkan pertempuran.
Pada saat sang penyanyi buta berdendang,
Odiseus kembali menangis. Kali ini ia tidak dapat menyembunyikan kesedihannya.
Ia menangis tersedu-sedu.
Raja Alcinous memerintahkan si penyanyi untuk menghentikan petikan harpanya.
"Tamu kita telah menangis hingga dua kali hari ini setiap kali kau menyanyikan
lagu tentang Perang Troya," katanya. "Aku rasa lagumu telah membangkitkan
kenangannya." Kemudian, sang raja berpaling ke arah Odiseus.
"Tuan, jangan lagi sembunyikan apa yang kau rasakan atau identitasmu yang
sebenarnya," kata sang raja. "Katakan pada kami siapa namamu. Ceritakan tentang
perjalananmu dan apa saja yang telah kau lihat. Apakah kau menyaksikan
keruntuhan Troya? Apakah teman-temanmu musnah dalam pertempuran itu? Aku
minta ceritakanlah seluruh kisahmu pada kami."
LIMA
PULANG KE ITHACA
ENAM
PENGGEMBALA MISTERIUS
TUJUH
SANG PENGGEMBALA BABI
Dengan bantuan tongkatnya, Odiseus berjalan pelan di atas jalan berbatu menjauhi
lautan. Ia berjalan tertatih-tatih melalui hutan dan mendaki bukit menuju
kediamannya.
Akhirnya, Odiseus berhasil mencapai tempat tinggal si penggembala yang telah
bertahun-tahun merawat ratusan babi miliknya. Orang tua itu sedang duduk di
depan sebuah pondok batu di dekat kandang babi. Ia sedang membuat sepasang
sandal kulit. Di dekatnya terbaring empat ekor anjing galak yang menjaga babi-
babi tersebut.
Ketika anjing-anjing itu melihat Odiseus, mereka berlari ke arahnya sambil
menyeringai dan menggeram.
Odiseus terjatuh ke tanah berikut tongkatnya. Si penggembala segera berlari
mendekat. Ia mengusir keempat ekor anjing galak itu dengan batu sambil berteriak.
"Kau beruntung, Pak Tua," kata penggembala itu pada Odiseus. "Sebentar lagi
mereka pasti sudah membunuhmu. Bangunlah dan masuklah ke pondokku. Aku
akan memberimu makanan dan anggur. Kemudian, kau dapat bercerita tentang
dirimu dari mana kau datang, dan peristiwa sedih apa saja yang telah
menimpamu."
Sambil menjaga agar anjing-anjing itu tidak mendekat, si penggembala menuntun
Odiseus ke dalam pondoknya yang sederhana. Ia meyiapkan tempat duduk dari
dahan kayu yang lembut dan menutupinya dengan kulit kambing yang sudah dekil.
Kemudian, ia mempersilakan Odiseus duduk.
"Kau sungguh baik hati, Tuan," kata Odiseus. "Semoga Zeus yang perkasa
memberkatimu karena keramahanmu. Semoga ia mengabulkan segala
permohonanmu."
"Aku hanya punya satu permohonan - semoga tuanku yang tercinta masih hidup,"
kata si penggembala. "Andai saja ia masih hidup, ia pasti akan memberiku hadiah
karena telah menjaga babi-babinya. Ia mungkin akan memberiku rumah, seorang
istri, dan sebidang tanah kecil. Namun, sayang, majikanku yang baik hati itu telah
pergi selama dua puluh tahun. Ia meninggal jauh dari rumahnya, dalam perjalanan
pulang dari Perang Troya. Badai telah menghancurkan armada kapal dan anak
buahnya."
"Dan apa yang terjadi pada keluarganya?" tanya Odiseus dengan suara lembut.
"Ah, istrinya menunggu dengan sia-sia, sementara beberapa pria mencoba
memaksanya untuk menikahi salah seorang dari mereka. Ibunda majikanku telah
putus asa bertahun-tahun yang lalu dan meninggal karena sedih. Ayahnya sekarang
juga berharap untuk mati secepatnya orang tua itu tidak lagi tinggal di istana,
namun tidur seorang diri di kebun anggur. Sementara putra Odiseus anak yang
malang itu berkelana ke belahan bumi lain untuk mencari ayahnya. Sungguh
mengenaskan."
Si penggembala yang setia itu menarik napas dalam-dalam, kemudian berdiri.
"Biarkan aku memberimu makan, Tuan," katanya.
Pria itu menyiapkan makanan untuk Odiseus. Ia menghidangkan daging panas
dengan taburan gandum. Ia memberi Odiseus anggur dalam gelas kayu.
Pada saat mereka makan dan minum bersama-sama, si penggembala mengeluh soal
para pelamar yang mengganggu Penelope.
"Mereka membantai babi terbaik di peternakan ini," katanya. "Mereka
menyembelih ternak dan merampok persediaan anggur milik tuanku. Dan yang
paling parah, mereka menyiksa istri tuanku siang dan malam. Mereka memaksanya
untuk melupakan Odiseus dan menikahi salah seorang dari mereka. Namun,
kesetiaan nyonyaku sungguh tiada tara. Ia menangisi suaminya yang hilang tetapi
tak pernah putus harapan bahwa ia akan kembali."
"Apakah para pelamar itu tidak menghiraukan apa yang diinginkannya?" tanya
Odiseus.
"Tentu saja tidak, orang-orang itu tidak akan pernah berhenti mengganggunya!
Mereka sangat kejam dan tak kenal belas kasihan. Aku mendengar gosip bahwa
mereka berencana membunuh putra Odiseus."
Odiseus tidak berkata apa-apa. Namun, di dalam kepalanya, telah menggodok
sebuah rencana balas dendam, dan bibit kematian untuk para pelamar itu telah
disemai.
Ketika Odiseus dan si penggembala itu selesai makan, badai mulai bertiup di luar.
Angin kencang dan hujan memukul atap pondok kecil tersebut. Si penggembala
babi memberi Odiseus anggur lagi dan memintanya untuk bercerita tentang
dirinya.
Odiseus berbohong. Ia mengatakan bahwa ia lahir di Kreta dan berkelana dari satu
kota ke kota lain hingga akhirnya sampai di Ithaca. "Namun, aku harus
mengatakan hal ini padamu," katanya. "Dalam perjalananku, aku bertemu seorang
raja yang mengatakan bahwa Odiseus dari Ithaca masih hidup. Raja itu
mengatakan bahwa Odiseus akan pulang kembali ke rumahnya di tengah malam, di
kala bulan tak tampak. Ia mengatakan bahwa Odiseus mungkin akan pulang secara
terang-terangan atau kembali secara diam-diam."
Si penggembala menggeleng dengan sedih. "Jangan memberiku harapan, teman,"
katanya. "Dulu, para pengelana yang lain telah mampir di Ithaca dengan berbagai
berita tentang Odiseus. Setiap kali, mereka menyiksa sang istri yang malang itu
dengan cerita bohong mereka. Berkali-kali ia membayangkan akan segera bertemu
dengan suaminya. Dulu pun aku percaya pada orang yang mengatakan bahwa
majikanku akan kembali di musim panas atau musim gugur. Namun, Odiseus tidak
kembali dan tak akan pernah kembali. Aku yakin bahwa ikan-ikan di laut telah
menelannya dan tulang-tulangnya telah terkubur dalam pasir di tempat yang jauh."
Saat hujan turun dan kegelapan menyelimuti pondok batu tersebut, si penggembala
menyiapkan tempat tidur dari kulit domba untuk Odiseus. Ia menggelar mantel
tebal untuk menyelimuti Odiseus.
Kemudian, penggembala yang setia itu membungkus dirinya sendiri dengan kulit
kambing dan meninggalkan pondok. Ia melangkah ke luar, ke arah kegelapan
malam yang berangin kencang dan berbaring di bawah naungan sebongkah batu
sambil menjaga babi-babi milik tuannya.
DELAPAN
KEMBALINYA SANG PUTRA
SEMBILAN
BERKUMPUL KEMBALI
Surya merekah di atas pondok si penggembala babi. Pria itu telah menyalakan
perapian dan menyiapkan sarapan pagi untuk dirinya dan Odiseus. Ketika ia tengah
menuangkan anggur untuk mereka berdua, anjing-anjing mulai menyalak di luar.
"Anjing-anjingmu terdengar gembira mereka tidak menggeram maupun
menyalak," kata Odiseus kepada si penggembala. "Mereka pasti sedang menyalami
seseorang yang mereka kenal dan percayai."
Sebelum Odiseus berkata lebih lanjut, seorang anak muda melangkah masuk ke
dalam pondok.
Si penggembala terlonjak dan menjatuhkan cawan anggurnya. Ia berlari ke arah
anak muda itu dan dengan bercucuran air mata menciumnya.
"Telemakus! Cahaya yang indah bagi mataku!" kata orang tua itu.
Odiseus menatap ke arah wajah putranya yang tampan. Ia tak sanggup bergerak
atau berbicara. Terakhir kali ia melihat putranya yang tercinta, Telemakus masih
bayi. Sekarang ia telah tumbuh menjadi seorang anak muda dengan bahu lebar,
dada bidang, rambut kemerahan, dan mata terang bercahaya. Ia tampak sangat
mirip ayahnya.
Telemakus tersenyum pada si penggembala.
"Kau juga merupakan pemandangan yang menyegarkan mataku!" katanya.
"Pertama-tama, katakan padaku tentang keadaan ibuku? Apa yang telah terjadi
padanya sepeninggalku?"
"Ada yang mengatakan padanya bahwa kau berada dalam bahaya besar," kata si
penggembala. "Ia pasti sangat senang saat mendengar kau telah pulang dalam
keadaan selamat. Ayo masuklah. Makan dan istirahatlah."
Ketika Telemakus mendekati perapian, Odiseus berdiri pelan-pelan dan
menawarkan tempat duduknya untuk sang putra.
Telemakus menggelengkan kepala.
"Tetaplah duduk, Pak Tua," katanya. "Aku akan duduk di tempat lain."
Odiseus mengangguk dan kembali duduk. Dengan wajah separuh tersembunyi di
balik kerudung mantelnya, ia terus menatap dengan takjub ke arah anak muda itu.
Si penggembala melemparkan gelondongan kayu ke dalam perapian dan
menggelar sehelai kulit domba di lantai untuk Telemakus. Kemudian ia
menyiapkan daging sisa hidangan semalam dan sekeranjang roti. Ia juga
menghidangkan anggur yang diberi madu dalam cawan kayu.
Ketika ketiga orang itu telah selesai makan, Telemakus berbicara dengan lembut
pada si penggembala.
"Katakan, dari mana tamumu
berasal?" ia bertanya. "Kapal apa dan awak kapal seperti apa yang telah
membawanya ke mari?"
"Ia datang dari Kreta dan telah menjelajahi seluruh penjuru dunia. Kuserahkan ia
padamu sekarang. Berikan padanya keramahtamahan di rumah ayahmu."
Telemakus menggeleng dengan sedih. "Bagaimana aku bisa menerima tamu di
rumah kami? Tempat itu telah dikuasai oleh orang-orang yang ingin menikahi
ibuku. Aku hanya dapat menawarkan hadiah padanya. Aku akan memberinya
mantel, tunik, sepasang sandal indah, dan sebilah pedang serta mengantarnya ke
mana pun ia hendak pergi. Namun, pada saat ini, aku akan menjamunya di sini,
sementara kau segera menemui ibuku. Katakan padanya bahwa aku telah kembali
dengan selamat."
Penggembala itu mengangguk dan berdiri.
"Bicaralah pada ibuku secara diam-diam," kata Telemakus. "Jangan sampai ada
yang tahu bahwa aku ada di sini."
"Aku mengerti," kata si penggembala. Kemudian, ia berpamitan dengan Telemakus
serta Odiseus dan berangkat ke istana.
Setelah si penggembala meninggalkan tempat itu, Odiseus melihat seorang wanita
berkulit putih dan bertubuh tinggi muncul di pintu pondok. Telemakus tampak
tidak menyadari keberadaannya, namun para anjing penjaga mendengking dan
meringkuk ketakutan.
Wanita tersebut memanggil Odiseus yang
segera beranjak dari depan perapian dan melangkah ke luar. Ia mengikuti wanita
itu ke sebuah dinding batu. Saat berhadapan dengan wanita itu di bawah sinar pagi,
Odiseus mendapatkan bahwa wanita itu ternyata Dewi Athena.
"Odiseus, sudah saatnya untuk mengatakan yang sebenarnya pada putramu," kata
sang dewi. "Kemudian kalian berdua harus membuat rencana balas dendam
terhadap para pelamar dan pergi ke kota bersama-sama. Aku akan mengikuti dari
jarak dekat dan siap membantu bertempur."
Athena menyentuh Odiseus dengan tongkatnya. Dalam sekejap, pakaian yang
compang camping menghilang dan berubah menjadi tunik serta mantel yang indah.
Ia tampak lebih muda dan jangkung. Kulit wajahnya berwarna coklat keemasan;
pipinya tampak padat; rambut dan janggutnya berwarna gelap.
Athena telah mengembalikan Odiseus ke kondisi fisiknya yang paling sempurna.
Sebelum Odiseus dapat bicara, sang dewi telah menghilang di tengah sinar pagi.
Odiseus kembali ke pondok. Ketika Telemakus melihatnya, ekspresi keheranan
dan ketakutan terlukis di wajah anak muda itu. Ia hampir tak dapat bicara.
"Hai orang asing kau telah berubah!" katanya terbata-bata. "Kau pastilah seorang
dewa dari Gunung Olimpus! Tolong jangan lukai aku izinkan aku memberikan
persembahan padamu."
Odiseus bicara dengan perlahan-lahan.
"Aku bukan seorang dewa, Telemakus," katanya. "Aku adalah orang yang telah
membuatmu berkabung, orang yang telah membuatmu menderita dan terluka. Aku
adalah ayahmu."
Air mata yang telah lama ditahan Odiseus pun bercucuran membasahi wajah.
Namun, Telemakus menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, tak mungkin kau
ayahku, kau adalah setan yang menyaru atau seorang dewa. Tadinya, kau hanya
seorang pria tua dan sekarang kau menjadi muda."
"Aku bukan seorang dewa," kata Odiseus, "namun aku telah diberkati oleh seorang
dewi. Setelah dua puluh tahun mengembara dan tersiksa, Athena telah
membawaku pulang ke Ithaca. Ia mengubahku menjadi orang tua, dan sekarang ia
mengubahku menjadi muda kembali. Sangat mudah bagi para dewa untuk
menjatuhkan manusia dan kemudian mengangkatnya kembali."
Setelah mendengar kata-kata tersebut, Telemakus mulai menangis. Ia meraih dan
memeluk ayahnya erat-erat. Mereka berdua menangis bersama-sama. Tangisan
mereka begitu keras dan memilukan, bagaikan induk elang kehilangan anak.
Setelah dua puluh tahun yang panjang, ayah dan anak akhirnya berkumpul
kembali.
SEPULUH
RENCANA BALAS DENDAM
Untuk Donna Bray, teriring ucapan terima kasih atas segala bantuan yang
diberikan
SATU
PENELOPE
Sambil menantikan kabar tentang sang putra, Penelope, ratu Ithaca, memanjatkan
doa kepada para dewa sambil mencucurkan air mata. Lima minggu yang lalu,
putranya, Telemakus, berlayar untuk mencari Odiseus, ayahnya yang telah lama
menghilang. Tak lama sepeninggal putranya, Penelope mendapati bahwa para pria
yang bermaksud meminangnya berencana menghabisi nyawa pemuda itu dalam
perjalanan pulang.
Bertahun-tahun lamanya, pria-pria kejam itu telah berusaha menggulingkan
Odiseus. Setiap hari mereka membuat Penelope tersiksa. Mereka menduduki
rumahnya dan menuntutnya untuk memilih salah seorang dari mereka untuk
dijadikan suami. Tapi Penelope tetap menjaga kesetiaannya pada Odiseus. Dengan
menahan siksa dan malu, ia memberi janji kosong pada para peminang itu. Ia
berjanji akan menikahi salah seorang dari mereka, namun kemudian ia menunda-
nunda dengan cara menolak untuk memilih siapa yang akan dinikahi.
Kini Penelope meneteskan air mata untuk
Odiseus dan Telemakus. Saat mondar-mandir di dalam kamar, ia mendengar
seseorang memanggilnya dari halaman bawah. Penelope bergegas menghampiri
jendela dan melihat penggembala tua yang tinggal di peternakan babi di dekat
pantai. Penggembala babi itu dikelilingi oleh para pelayan dan peminang Penelope.
"Ratuku, jangan menangis lagi," seru penggembala babi itu pada Penelope. "Putra
Anda selamat! Kemarin kapalnya merapat di pulau kita. Sekarang ia sedang
beristirahat di gubukku."
Saat mendengar kabar itu, Penelope dan pelayannya meneteskan air mata bahagia.
Tapi para peminang sama sekali tidak gembira. Saat Penelope mendengar bahwa
mereka membuat rencana lain untuk menghabisi nyawa putranya, ia langsung
menghambur ke lantai bawah untuk menghadapi orang-orang jahat itu. Dengan
marah, ia memanggil Antinous, pemimpin orang-orang jahat itu.
"Antinous! Tidakkah kau ingat bagaimana suamiku pernah menyelamatkanmu dari
amuk massa?" bentak Penelope. "Sekarang kau mencoba menggulingkan Odiseus
dan membunuh anaknya! Berani sekali kau?"
Sebelum Antinous sempat menjawab, salah seorang peminang berteriak dari
kerumunan, "Jangan khawatir, Ratu Penelope! Tak ada alasan bagi anakmu untuk
takut pada kami. Tapi tentu saja, seandainya para dewa memutuskan bahwa ajalnya
sudah tiba, kami tidak bisa berbuat apa-apa."
Penelope tidak berdaya menghadapi orang-orang kejam itu dan tak dapat berkata
apa-apa. Ia kembali ke kamar dan menangis pilu sambil mengingat suami dan
anaknya. Akhirnya Athena, sang dewi bermata kelabu, mengatup kelopak mata
Penelope dan membuatnya terlelap.
DUA
KEMBALI KE ISTANA
Dewi Athena juga selalu menjaga Odiseus dan Telemakus. Dua hari sebelumnya,
Athena telah menolong Odiseus kembali ke lepas pantai Ithaca dan mengubah
wujudnya menjadi seorang pengemis.
Ketika Odiseus terseok-seok menghampiri gubuk milik sang penggembala babi
yang setia, laki-laki tua itu tidak mengenalinya. Kemudian ketika Telemakus tiba
di gubuk itu, ia pun tidak mengenali Odiseus. Namun, ketika sang ayah dan anak
ditinggal berdua, Athena mengubah Odiseus ke wujud aslinya. Setelah pertemuan
yang membahagiakan itu, Odiseus dan Telemakus membuat rencana untuk
melawan para peminang yang jumlahnya lebih dari seratus orang.
Sekarang, ayah dan anak itu berdiri berdekatan di dekat api unggun untuk
meninjau kembali rencana mereka.
"Kau pergi dulu ke istana," kata Odiseus. "Aku akan menyamar menjadi pengemis
dan menyusulmu. Ingat, kau tak boleh menunjukkan tanda-tanda bahwa kau
mengenaliku, bahkan ketika ada yang berusaha menyakitiku."
"Dan Ayah akan memberitahuku bila tiba saatnya bagiku untuk menyembunyikan
senjata?" tanya Telemakus.
"Ya," kata Odiseus. Athena telah berjanji untuk membantu kita. Segera setelah dia
muncul dan memberi tanda, kita akan angkut semua tombak serta tameng dari aula
utama dan menyembunyikannya di gudang lantai atas."
Diskusi mereka terputus oleh kedatangan si penggembala. Sihir Athena kembali
mengubah wujud Odiseus menjadi pengemis lusuh. Ketika ketiga pria itu
menyiapkan makan malam bersama, sang ayah dan anak menyimpan baik-baik
rencana mereka dalam hati.
Keesokan paginya, sebelum fajar menyingsing, Telemakus meninggalkan gubuk si
penggembala. Saat berlari menuruni jalan setapak yang berbatu menuju rumah,
benaknya dipenuhi oleh pikiran tentang pertempuran yang akan menjelang.
Ketika Telemakus tiba di rumah, pengasuhnya yang renta, Euriklea,
menyambutnya dengan gembira. Para pelayan lain datang berkerumun dan
memeluknya. Lalu datanglah sang ibu. Ia merengkuh putranya dan menangis.
"Cahaya mataku!" tangis Penelope. "Ibu khawatir kita tidak akan pernah berjumpa
lagi, Nak!"
"Aku telah menempuh perjalanan jauh, Ibu,
sampai ke Kerajaan Sparta," kata Telemakus. "Raja Menelaus dan Ratu Helen
menyambutku dengan ramah di sana. Mereka bahkan menghujaniku dengan
hadiah."
"Dan kabar apa yang kau bawa tentang ayahmu?" tanya Penelope.
Telemakus menatap ibunya dengan sedih. Ia ingat akan janjinya pada Odiseus
untuk tidak mengatakan pada siapa pun tentang kepulangan sang ayah ke Ithaca.
"Aku hanya tahu, Raja Menelaus berkata bahwa dahulu seorang pria tua dari lautan
menyampaikan bahwa Odiseus ditawan di pulau Dewi Kalipso. Ia tidak bisa pergi
karena tidak memiliki kapal yang bisa membawanya pulang."
Saat Telemakus bercerita lebih lanjut tentang perjalanannya pada sang ibu, Odiseus
semakin mendekati istana. Sambil menyamar dan ditemani si penggembala babi, ia
terseok-seok di sepanjang jalan berbatu.
Ketika mendekati pintu gerbang istana, Odiseus melihat seekor anjing tua kurus
berbaring di atas timbunan sampah. Mata Odiseus menjadi basah karena ia
mengenali anjing itu sebagai anjing pemburu kesayangannya, Argus.
Ketika Argus melihat Odiseus, ia langsung mengenali tuannya. Anjing tua itu
sangat lemah hingga tak kuat berdiri. Tapi ekornya bergoyang-goyang dengan
gembira.
Hati Odiseus perih karena ia tak mungkin
mendekati Argus. Hal itu bisa membuka kedoknya.
"Mengapa anjing pemburu itu terlantar dan tidak terurus?" tanyanya pada si
penggembala. "Kelihatannya ia dulu binatang yang bagus."
"Wah, dulu dia kesayangan tuannya," kata si penggembala. "Tapi sejak istananya
porak-poranda, tak seorang pun peduli pada anjing itu lagi. Selama bertahun-tahun
ia menunggu dengan setia untuk bisa memandang tuannya lagi. Ia tidak tahu
bahwa Odiseus sudah lama meninggal."
Ketika Odiseus mengikuti si penggembala melalui pintu gerbang, anjing tua itu
menutup mata dan berpulang dengan tenang menuju kedamaian. Keinginan
terbesarnya telah terwujud: tuannya sudah pulang.
TIGA
PENGEMIS DI MEJA
EMPAT
MALAM SEBELUM PERTEMPURAN
Gelap malam telah menyelimuti bumi dan seluruh istana menjadi sunyi. Ratu
Penelope duduk di kursi gading-peraknya di samping perapian di aula utama.
Kecantikannya bersinar keemasan laksana Dewi Afrodite.
"Tolong ambilkan kursi supaya tamuku merasa nyaman," perintahnya pada para
dayang-dayang.
Sebuah kursi diletakkan dan diselimuti oleh kulit kambing yang lembut. Lalu
seorang pelayan mempersilakan Odiseus untuk menghadap sang ratu.
"Selamat datang, kawan," kata Penelope. "Sekarang tolong katakan padaku siapa
dirimu? Dari mana kau berasal? Di mana keluargamu?"
Dengan wajah yang tersembunyi di balik jubah yang compang-camping, Odiseus
berbicara dengan suara rendah: "Wahai permaisuri Odiseus yang mulia, kumohon
jangan kau tanyakan tentang kampung halaman atau keluargaku. Jangan paksa aku
untuk mengingat rasa sakit dan duka."
"Aku mengerti," kata Penelope. "Aku sendiri
mulai berduka dua puluh tahun yang lalu ketika suamiku pergi untuk ikut Perang
Troya. Sudah bertahun-tahun para lelaki datang silih berganti untuk melamarku.
Mereka menduduki rumah kami. Mereka meyakinkanku bahwa Odiseus sudah
mati dan mendesakku untuk memilih salah seorang dari mereka untuk dinikahi.
"Beberapa waktu lamanya aku berusaha mengecoh mereka. Aku katakan bahwa
aku akan menikah lagi bila aku telah selesai menenun kain kafan untuk ayah
Odiseus. Setiap hari aku menenun kain itu. Tapi malamnya aku bongkar kembali
benang-benang yang sudah kutenun pada siang hari. Dengan begitu, pekerjaan itu
tidak pernah selesai.
"Setelah tiga tahun berlalu dengan akal bulus itu, seorang pelayan mengetahui apa
yang sesungguhnya kulakukan dan menceritakan tipu muslihat tersebut pada para
peminang. Aku tidak punya pilihan lain kecuali menyelesaikan tenunanku.
Sekarang mereka menuntutku untuk menepati janjiku dan segera memilih salah
seorang dari mereka sebagai suami. Aku sungguh-sungguh tidak tahu apa yang
harus kulakukan. Tahun-tahun yang kulewati dalam duka dan kekhawatiran
membuatku hilang daya untuk melawan orang-orang itu."
Penelope menghela napas dalam-dalam. "Nah," lanjutnya, "Aku sudah
menceritakan tentang keluargaku, duka-cita dan siksa yang ku jalani. Sekarang
giliranmu bercerita. Dari mana asalmu? Aku tahu kau tidak lahir dari batu maupun
pohon."
Odiseus tidak berkedip sedikitpun ketika ia mulai mereka-reka kisah untuk
diceritakan pada istrinya.
"Aku dulu tinggal di Pulau Kreta," katanya. "Kakekku adalah Raja Minos. Aku
ingat ketika suamimu Odiseus menghadapi rintangan dan menyimpang dari jalur
menuju Troya. Ia kemudian tiba di pulau kami. Aku menghiburnya di istanaku. Ia
dan pasukannya tinggal di tempat kami selama dua belas hari. Lalu mereka
kembali melanjutkan perjalanan."
Penelope tak kuasa menahan tangis saat mendengarkan cerita teramat sederhana
tentang suaminya yang hilang. Bagaikan salju yang mencair tertiup angin timur
dan meluncur menuruni lembah, air mata mengalir membasahi kedua pipinya yang
indah. Odiseus ingin sekali memeluknya, namun ia menahan diri sekuat tenaga dan
tetap diam.
Setelah sudah puas menangis, Penelope kembali memandang Odiseus. "Wahai
orang asing, bagaimana aku bisa tahu bahwa kau berkata yang sesungguhnya?
Kalau kau memang pernah melihat suamiku, katakan padaku, bagaimana rupanya?
Bagaimana pakaiannya?"
"Dua puluh tahun telah berlalu. Ingatanku tentang Odiseus hanya samar-samar,"
ujar Odiseus. "Tapi akan kukatakan padamu apa yang kuingat. Waktu itu ia
mengenakan jubah ungu tebal dengan sebuah bros emas. Pada bros itu ada ukiran
seekor anjing pemburu dan rusa muda."
Kata-kata Odiseus membuat Penelope menangis lagi, bahkan lebih hebat dari
sebelumnya.
"Akulah yang memasang bros emas itu pada jubahnya sebelum ia pergi berlayar ke
medan perang," katanya di sela-sela isak tangis.
Odiseus tidak kuat lagi melihat Penelope menangis.
"Jangan menangis lagi, Ratuku," katanya. "Baru-baru ini, aku mendengar bahwa
Odiseus masih hidup, meskipun semua anak buahnya tewas. Dia akan segera
kembali pulang dengan membawa oleh-oleh yang bagus. Aku percaya ia akan
datang bulan ini juga, sebelum rembulan berganti bulan baru."
"Aku berharap semoga ucapanmu benar," kata Penelope. "Jika semua kata-katamu
benar, kami akan sangat menghargaimu."
Kemudian, sang ratu memanggil para pelayan dan memerintahkan mereka untuk
menyiapkan tempat tidur yang nyaman bagi orang asing itu.
"Aku tidak perlu tempat tidur yang empuk," Odiseus berkata. "sudah lama aku
tidur di atas tanah yang keras."
"Kalau begitu, paling tidak izinkanlah pelayanku Euriklea memandikanmu," kata
Penelope. "Dulu ia yang merawat Odiseus sejak suamiku dilahirkan hingga tiba
saatnya berlayar ke medan laga."
Odiseus tersenyum dan menyetujui usul itu. Ia duduk dalam keheningan di
samping perapian ketika Penelope mohon diri dan pengasuh tua itu mengisi bak
air. Ketika Euriklea mulai memandikannya, Odiseus teringat pada bekas luka di
atas lututnya. Parut itu disebabkan oleh luka tusukan taring babi hutan sewaktu
Odiseus masih muda. Sebelum dia sempat menyembunyikan kakinya, Euriklea
melihat bekas luka yang panjang dan putih itu.
Perempuan itu perlahan-lahan meraba bekas luka tersebut dan kemudian
memandang Odiseus. Air mata menggenangi matanya.
"Oh!" bisiknya. "Kau Odiseus!"
Odiseus meraih Euriklea dan menariknya lebih dekat. "Pengasuhku, berjanjilah kau
tidak akan mengatakan pada seorang pun siapa sesungguhnya aku," ia berbisik
dengan tegas, "sampai para dewa mengantarkan para peminang yang jahat itu ke
dalam genggamanku."
"Aku berjanji," Euriklea berbisik. "Aku akan diam seribu bahasa."
Setelah Odiseus selesai mandi, Penelope menghampirinya lagi.
"Aku khawatir saat suram telah tiba," katanya. "Bila tidak ingin anakku disakiti,
akhirnya aku harus rela menikahi salah seorang pengacau itu. Aku sudah
mengambil keputusan. Dulu, suamiku Odiseus bisa menembakkan anak panah
dengan sekali bidik melalui gelang-gelang di ujung dua belas pegangan kapak.
Barangsiapa di antara para peminang dapat memasang tali pada busur panah hebat
milik Odiseus dan membidikkan anak panah dengan kelihaian yang sama, maka
dia akan kunikahi."
Odiseus mengangguk perlahan. "Aku rasa ini rencana yang bagus." katanya.
"Selenggarakanlah pertandingan itu besok."
Penelope tersenyum. "Senang sekali bisa bicara denganmu, kawanku, tapi aku
harus tidur sekarang. Tak seorang manusia yang mampu bertahan tanpa tidur."
Pandangan mata Odiseus mengikuti Penelope menaiki tangga menuju ke
kamarnya. Lalu ia membentangkan selembar kulit sapi di lantai dan berbaring di
atasnya.
Namun, ternyata tidak mudah baginya untuk terlelap. Odiseus membolakbalikkan
badan dengan gelisah. Ia khawatir tentang pertempuran yang akan segera dihadapi.
Aku pernah merasakan penderitaan yang lebih hebat dari ini, pikirnya. Aku
menyaksikan anak buahku dibunuh dengan kejam oleh monster Cyclops, dan aku
masih bertahan. Aku menempuh perjalanan ke Negeri Orang Mati. Aku berhasil
bertahan menghadapi badai, kapal karam, dan meloloskan diri dari para raksasa
kanibal....
Namun, bagaimanapun keras usahanya untuk meyakinkan diri, Odiseus tetap tidak
bisa beristirahat.
"Odiseus."
Odiseus membuka mata. Dewi Athena berdiri di hadapannya.
"Mengapa kau tidak bisa tidur?" katanya.
"Istrimu ada di sini. Anakmu juga. Kau akhirnya berada di rumah."
"Yang kau katakan memang benar, Dewi," kata Odiseus. "Meski demikian, aku
tidak yakin akan berhasil mengenyahkan para peminang itu dari rumahku. Mereka
selalu bersama-sama dalam gerombolan. Meskipun semuanya sudah kubunuh,
yang lain pasti akan datang untuk menuntut balas."
"Dasar manusia tidak beriman!" kata sang dewi bermata kelabu itu. "Pernahkah
aku gagal menjagamu? Bukankah kita sudah menaklukkan sepasukan tentara
bersama-sama? Tidurlah sekarang. Aku berjanji bahwa dengan pertolonganku, kau
akan bisa menaklukkan semua musuhmu."
LIMA
TANDA-TANDA DARI PARA DEWA
Odiseus terjaga ketika fajar menjelang. Saat mendengar suara tangis dari kamar
Penelope, ia merasa khawatir.
Ia mengangkat kedua tangan dan berdoa pada dewa yang paling sakti di antara para
dewa. "Wahai Dewa Zeus," bisiknya, "bila telah menjadi kehendakmu bahwa aku
akan memenangkan pertempuran hari ini, aku mohon tunjukkanlah tanda."
Sesaat kemudian, guntur menggelegar di langit yang biru dan jernih.
Seorang pelayan kebetulan sedang menggiling jagung di dekat tempat itu.
"Guntur!" dia berseru. "Padahal tak ada segumpal awan yang tampak! Dewa Zeus
pasti sedang menunjukkan tanda-tanda. Semoga hari ini menjadi hari terakhirku
melayani orang-orang jahat itu!"
Hati Odiseus lega mendengar kata-kata pelayan itu. Ia merasa senang karena
mendapat tanda dari sang dewa penguasa langit.
Ketika sinar matahari pagi memancarkan cahaya kemerahan ke seluruh penjuru
istana, Telemakus bangkit dari peraduannya dan
berpakaian untuk menyongsong pertempuran yang segera menjelang. Ia
menyandang pedang di bahu dan mengikat kedua sandalnya. Setelah mengambil
tombak berujung perunggu yang melengkung, ia meninggalkan kamarnya.
Di halaman, para peminang sudah kembali berkerumun untuk merundingkan cara
menghabisi nyawa sang pangeran muda. Namun, ketika mereka sedang mengatur
rencana, sebuah pemandangan aneh tampak di langit. Seekor elang melayang-
layang di atas kepala sambil mencengkeram seekor merpati.
"Lihat!" kata salah seorang peminang. "Itu pertanda buruk bagi kita! Aku khawatir
ini artinya rencana kita akan jadi berantakan!"
Para peminang yang lain mengangkat bahu dan berbondong-bondong masuk ke
aula utama untuk menikmati sarapan lezat. Ketika mereka sedang mengedarkan
mangkuk-mangkuk anggur, Telemakus masuk ke tempat itu bersama Odiseus.
Masih dalam penyamarannya sebagai pengemis, Odiseus duduk di sebuah kursi di
dekat meja. Telemakus menuangkan anggur ke dalam mangkuk dan
memberikannya pada pria lusuh itu.
Salah seorang peminang terbahak-bahak dan berdiri.
"Biar ku tambah isi mangkuk pengemis ini!" katanya. Lalu dilemparkannya
sepotong kaki sapi ke arah Odiseus.
Odiseus mengelak, lalu tersenyum geram pada penyerangnya. Tapi Telemakus
menatap peminang yang tidak tahu aturan itu dengan kemarahan yang memuncak.
"Kau boleh makan dari meja kami dan minum dari tong-tong anggur kami!"
hardiknya. "Tapi kau tidak boleh menyiksa orang asing di rumah yang terhormat
ini!"
Para peminang meledak dalam tawa yang membahana. Lalu angin yang aneh, yang
membawa mantera Dewi Athena, bertiup ke seluruh ruangan. Para peminang tidak
bisa berhenti tertawa. Saat mereka melolong-lolong tidak terkendali, darah mereka
menciprati makanan.
Ketika akhirnya berhasil mengendalikan diri, salah seorang dari mereka melompat
berdiri. "Wahai orang-orang sesat! Aku baru saja mendapat penglihatan
mengerikan yang dikirim oleh para dewa! Aku melihat apa yang akan terjadi di
sini hari ini! Aku melihat dinding-dinding di ruangan ini bermandikan darah! Dan
aku melihat meja serta ruangan ini dipenuhi arwah-arwah yang bergegas menuju
kegelapan Negeri Orang Mati.... "
ENAM
MEMASANG TALI BUSUR
Setelah sarapan, Penelope pergi ke gudang istana dan mengambil busur besar yang
dulu merupakan milik Odiseus. Ia membawa busur itu ke aula utama dan
meletakkannya di hadapan para peminang.
"Dengarkan aku," katanya pada mereka. "Sudah lama kalian menduduki rumah ini.
Kalian telah minum anggur suamiku dan menyembelih ternaknya. Kalian
mengatakan bahwa itu adalah cara kalian menunggu keputusanku untuk memilih
siapa di antara kalian yang akan menjadi suamiku. Baiklah, ini tantangannya.
Barang siapa mampu memasang tali pada busur milik Odiseus dan menembakkan
sebuah anak panah dalam sekali bidik melalui gelang-gelang dari dua belas
pegangan kapak berturut-turut, maka dia akan menjadi suamiku."
Para peminang menerima tantangan itu dengan penuh semangat. Satu per satu,
mereka mencoba memasang tali pada busur Odiseus yang kuat itu. Namun, meski
mereka telah meminyakinya dengan lemak panas dan menghangatkannya di dekat
perapian, busur yang kuat itu tetap tidak mau melengkung.
Sementara setiap peminang bergiliran memegang busur itu, penggembala babi dan
penggembala sapi yang senantiasa mengurus ternak Odiseus beranjak pergi dari
ruang pesta. Mereka muak menyaksikan musuh-musuh mereka menyentuh busur
tuannya.
Odiseus melihat kepergian mereka dan bergegas menyusul.
"Tunggu!" panggilnya. "Aku punya pertanyaan untuk kalian berdua. Jika Odiseus
tiba-tiba jatuh dari langit dan muncul di hadapan kalian hari ini, bersediakah kalian
bertempur mati-matian untuk membelanya? Atau kalian akan membela para
peminang?"
"Oh, seandainya saja Dewa Zeus mendengar doaku dan membawa majikanku
pulang," kata si penggembala sapi, "kau akan segera melihat betapa kuatnya aku
saat bertempur untuknya."
Si penggembala babi mengangguk dan memanjatkan doa tulus untuk kepulangan
Odiseus.
Odiseus sepenuhnya yakin bahwa ia bisa memercayai kedua pelayannya yang renta
itu. "Kalau begitu kalian harus tahu bahwa doa kalian telah terkabul," katanya.
"Akulah Odiseus. Dan bila kita berhasil mengalahkan para peminang itu, kalian
akan sangat ku hargai."
Kedua laki-laki tua itu tak mampu berkata-kata. Mereka tidak bisa percaya bahwa
pengemis lusuh yang berdiri di hadapan mereka itu benar-benar tuan mereka,
Odiseus.
Odiseus menyibak jubah compang-campingnya dan memperlihatkan bekas luka
panjang putih di atas lututnya.
"Ingatkah kalian pada luka yang disebabkan oleh taring babi hutan waktu aku
masih muda dulu?" dia bertanya.
Penggembala babi dan penggembala sapi itu menjatuhkan diri dan menangis di
hadapan tuan mereka yang telah lama menghilang.
Odiseus memeluk mereka.
"Tahan dulu air mata kalian karena seseorang mungkin akan melihat dan
menyebarluaskan hal ini," katanya. "Dengar baik-baik perintahku ini. Kalau nanti
aku kembali ke dalam, berikan busur itu padaku, supaya aku juga mendapat giliran
dalam pertandingan. Sesudah busur itu sampai di tanganku, pastikan semua wanita
terkunci di kamar dan pasang palang pada gerbang halaman."
Ketika Odiseus dan kedua pelayannya yang setia kembali ke aula utama, mereka
mendapati bahwa tak seorang pun di antara para peminang berhasil memasang tali
pada busur itu.
"Mengapa tidak kalian lanjutkan pertandingan ini besok?" tanya Odiseus.
"Barangkali Dewa Pemanah akan bersedia membantu salah seorang dari kalian
nanti. Sambil menunggu, izinkan aku memegang busur mulus itu. Aku ingin tahu
apakah tanganku masih memiliki tenaga, atau perjalanan yang melelahkan telah
menguras habis seluruh tenagaku."
Pria-pria itu menjadi marah.
"Dasar bodoh. Jangan coba-coba menyentuh busur itu," kata Antinous. "Jaga
mulutmu atau kami akan melemparmu ke laut."
Penelope berdiri.
"Tamu kita mengatakan bahwa dia berasal dari keluarga terhormat," ujarnya.
"Berikan busur itu padanya dan biarkan ia mencoba memasang talinya."
"Ibu, masuklah ke kamar dan kembalilah menenun," kata Telemakus karena ia tahu
bahwa pertarungan berdarah akan segera dimulai. "Akulah kepala keluarga di
rumah ini. Biarkan aku yang mengundang tamu kita untuk memasang tali busur.",
Penelope terkejut mendengar perintah tegas putranya, tapi kemudian ia
menundukkan kepala dan masuk ke dalam kamarnya. Ketika ia berbaring dan
mencucurkan air mata untuk Odiseus, Dewi Athena mengatup kedua kelopak
matanya serta membuatnya tertidur pulas. Sang dewi ingin menjauhkan Penelope
dari kengerian yang akan segera terjadi.
Di aula utama di lantai bawah, kedua penggembala mengambil busur yang kuat itu
beserta sekantung anak panah dan memberikannya kepada Odiseus. Lalu mereka
bergegas meninggalkan ruangan dan memerintahkan para pelayan untuk mengunci
pintu gerbang.
Odiseus memeriksa busur itu dengan hati-
hati. Lalu dengan mudah ia membengkokkan busur itu dan memasang talinya,
sebagaimana seorang musisi memasang senar harpa. Ketika selesai, ia menarik tali
yang terentang kencang itu. Tali tersebut mengeluarkan nada seperti nyanyian
burung walet.
Guntur bergemuruh di angkasa. Odiseus tersenyum karena dia tahu bahwa
gemuruh itu adalah tanda lain dari Dewa Zeus. Saat para peminang menyaksikan
dengan takjub, Odiseus mengambil sebatang anak panah dan memasangnya pada
busur. Ia membidikkannya ke arah deretan kapak, menarik anak panah itu, dan
membiarkannya lepas melesat.
Anak panah tersebut meluncur dengan tepat melalui kedua belas gelang kapak.
Odiseus meletakkan busurnya dan memandang Telemakus.
"Orang asing yang kau terima di rumahmu ternyata tidak mempermalukanmu,"
katanya.
Telemakus mengangguk. Perang akan segera dimulai.
TUJUH
KEMATIAN PARA PEMINANG
Odiseus segera melepas baju lusuhnya dan melompat ke atas ambang pintu aula
yang terbuat dari batu. Ia menatap para peminang.
"Pertandingan sudah berakhir," katanya. "Tapi sekarang ada sasaran baru untuk
panahku. Bantulah aku, wahai Apolo, Dewa Pemanah-" Sambil berkata demikian,
Odiseus mengarahkan bidikannya pada Antinous, pemimpin para peminang, dan
menembakkan sebatang anak panah yang langsung menembus tenggorokan
penjahat itu.
Begitu Antinous jatuh terempas ke lantai, para peminang lain melompat dari kursi
mereka.
"Kau akan mendapatkan ganjaran atas perbuatanmu ini!" teriak salah seorang
peminang. "Burung-burung pemakan bangkai akan segera menyantapmu!"
Lalu mereka berlari tergopoh-gopoh dalam kebingungan sambil mencari senjata
mereka. Tapi tak satu pun tombak maupun tameng berhasil mereka temukan.
"Hai anjing-anjing!" Odiseus meneriaki mereka. "Aku-Odiseus-telah kembali!
Kalian tidak pernah menyangka akan melihatku lagi, bukan? Sekarang akhir hayat
kalian telah tiba!"
"Gunakan meja-meja sebagai tameng untuk menahan anak-anak panahnya!" jerit
salah seorang peminang. "Serang dia dengan pedang kalian!"
Pria itu menghambur ke arah Odiseus dengan pedang terhunus tapi Odiseus serta-
merta menyambutnya dengan anak panah dari busurnya.
Seorang peminang lain berlari menghampiri Odiseus, tapi Telemakus
melemparkan tombaknya dan membunuhnya. Kemudian, Telemakus bergegas
meninggalkan ruangan dan mengambil senjata untuk si penggembala babi dan
penggembala sapi.
Odiseus menahan para peminang dengan anak panahnya sampai Telemakus
kembali dengan perisai dan tombak yang kemudian dibagikan pada kedua sekutu
mereka. Lalu keempat pria itu berdiri bersama-sama menghadapi kerumunan itu.
Salah seorang musuh Odiseus lari ke lantai atas menuju gudang dan mendapati
pintunya tak terkunci. Kemudian, ia mengambil dua belas tombak dan
membagikannya pada yang lain.
Dengan musuh yang sekarang bersenjata, kelihatannya tidak masuk akal bagi
Odiseus dan ketiga sekutunya untuk melumpuhkan pria sebanyak itu. Tetapi tiba-
tiba Dewi Athena muncul.
"Bergabunglah dengan kami dalam pertempuran ini!" seru Odiseus pada sang
dewi.
Mata Athena berkilat-kilat.
"Kau harus berusaha sendiri dulu semampumu!" ujarnya. Lalu ia berubah menjadi
seekor burung walet dan terbang ke arah penyangga atap untuk menonton.
Odiseus menembakkan anak panah satu demi satu dan membunuh sejumlah
peminang. Lalu ia bersama ketiga sekutunya melemparkan keempat tombak
mereka ke arah musuh. Setelah empat orang peminang tewas, Odiseus dan
pasukannya mencabuti tombak-tombak dari tubuh-tubuh yang terkapar itu dan
melemparkannya lagi ke sasaran lain.
Para peminang pun melemparkan tombak mereka. Namun, Dewi Athena selalu
meluputkan bidikan mereka. Akhirnya, sang dewi mengirim penampakan
mengerikan bagi para pelamar. Awan hitam muncul di atas aula utama. Awan itu
berbentuk seperti tameng sakti Athena. Para peminang tahu bahwa penampakan
tameng Athena merupakan tanda kematian yang pasti.
Tanpa ampun, Odiseus, Telemakus, dan kedua sekutunya menghabisi musuh satu
demi satu. Odiseus membiarkan seorang pemusik keliling tetap hidup karena ia
dapat menyanyikan lagu-lagu yang dikirim oleh para dewa. Ia juga membiarkan
seorang pembawa pesan tetap hidup karena ia ingin orang itu menyebarkan pesan
bahwa umat manusia di dunia seharusnya berbuat baik dan tidak berlaku keji.
Tapi kepada para peminang yang lain, Odiseus tidak memberi ampun. Di akhir
pertempuran, semua peminang terbunuh. Mayat mereka bergelimpangan,
bertumpuk-tumpuk di lantai seperti ikan mati yang ditumpahkan dari dalam jala ke
atas pasir.
Kemudian, Dewa Hermes menampakkan diri di aula utama. Dengan tongkat emas
di tangan, ia menggiring arwah para peminang meninggalkan istana.
Sambil mencicit laksana kelelawar, para arwah mengikuti Hermes melintasi ombak
di lautan. Mereka mengikutinya melalui bebatuan bersalju. Mereka mengikutinya
melewati gerbang matahari dan negeri impian, hingga akhirnya tiba di Negeri
Orang Mati yang berkabut.
DELAPAN
REUNI
Sambil berdiri di antara genangan darah dan mayat para peminang, Odiseus
memanggil Euriklea. Ketika menyaksikan pembantaian itu, dia menjerit penuh
kegembiraan dan kelegaan, karena ia tahu bahwa istana itu akhirnya terbebas dari
para penjahat yang telah menyiksa keluarga Odiseus selama bertahun-tahun.
"Jangan ribut," perintah Odiseus. "Tak baik bergembira atas kematian orang lain."
"Paling tidak biarkan aku menceritakan hal ini pada Penelope," kata sang pelayan.
"Dia tertidur selama pertempuran berlangsung."
"Tidak, jangan bangunkan dia sekarang," kata Odiseus. "Kumpulkan semua
dayang-dayang yang pernah menari bersama para peminang. Perintahkan mereka
untuk mengangkut mayat-mayat ini dan membersihkan lantai maupun dinding dari
genangan serta noda darah."
Euriklea melakukan apa yang diperintahkan Odiseus. Setelah istana kembali bersih
seperti sediakala, Odiseus menyuruhnya menyucikan rumah itu dengan api.
Akhirnya, setelah api mengepulkan asap ke seluruh aula serta
halaman, Euriklea bergegas ke lantai atas dan menghampiri Penelope.
"Bangunlah!" serunya sambil mengguncang tubuh sang ratu yang terlelap.
"Suamimu yang tercinta sudah kembali! Dia sedang menunggumu sekarang!
Bangunlah!"
Ketika Penelope membuka kedua matanya, Euriklea menceritakan tentang
pertempuran hebat itu dan bagaimana ia mendapati Odiseus serta Telemakus
berdiri di atas tumpukan mayat para peminang.
"Jangan beri aku harapan kosong tentang Odiseus," kata Penelope. "Aku yakin itu
hanya salah seorang dewa yang sedang menyamar. Suamiku yang tercinta sedang
berada di pulau yang jauh, atau barangkali sudah mati."
"Pergi dan lihatlah sendiri!" desak Euriklea. "Aku melihat bekas luka di kakinya,
yang disebabkan oleh babi hutan. Ikutlah denganku sekarang juga! Dia sedang
menunggumu di sisi perapian!"
"Wahai pelayan tua, kau sungguh tidak mengerti jalan pikiran para dewa ... atau
bagaimana mereka bisa dengan mudah mempermainkan kita," kata Penelope.
"Tapi aku ingin melihat keadaan anakku."
Penelope turun ke lantai bawah. Ia mendapati Odiseus sedang duduk di sisi
perapian. Jubah rombengnya berlumuran darah. Keringat dan darah membasahi
wajah serta rambutnya yang kotor.
Karena terkejut oleh penampilan Odiseus yang mengerikan itu, Penelope
berpaling.
Telemakus menegurnya. "Ibu, tidak dapatkah kau pandang wajahnya? Apakah
hatimu sudah begitu beku?"
Tapi Odiseus tetap sabar. Ia tersenyum dan berpaling pada Telemakus.
"Mari kita mandi dulu dan mengenakan tunik yang bersih," usulnya. "Lalu
perintahkan si pemusik untuk memainkan lagu dansa yang riang sebagaimana ia
memainkan sebuah kidung pernikahan. Kita harus mengelabui para tetangga untuk
menunda tibanya berita tentang pembantaian ini ke telinga keluarga para pelamar
yang sudah tewas. Bila mereka mendengar tentang hal ini, tentu mereka akan
menuntut balas."
Odiseus meninggalkan aula utama. Para pelayan memandikan dan menggosok
tubuhnya dengan minyak dan memakaikan tunik bersih. Lalu Dewi Athena secara
ajaib mengubah wujud pengemisnya menjadi sosok yang lebih muda dan tinggi.
Dengan ketampanan bagaikan dewa, ia kembali ke dekat perapian. Ia duduk di
hadapan Penelope. Namun, wanita itu tetap membisu. Perubahan rupa Odiseus
justru membuat perempuan itu semakin tidak percaya. Benarkah ia manusia?
Ataukah ia seorang dewa yang sedang berusaha memperdayainya?
"Kau betul-betul perempuan aneh," kata Odiseus. "Sesudah dua puluh tahun, kau
bahkan tak mengizinkan suamimu memelukmu."
Ketika Penelope masih tetap membisu, Odiseus melanjutkan bicaranya. "Baiklah,
kalau begitu kurasa aku harus tidur sendiri."
"Kau betul-betul pria aneh," kata Penelope, "itu jika kau memang benar-benar
seorang manusia dan bukan seorang dewa yang sedang mempermainkanku."
Lalu Penelope mendapat akal. Dahulu, Odiseus pernah membuatkannya ranjang
pengantin dari sebatang pohon zaitun yang tumbuh menembus lantai di kamar tidur
mereka. Hanya ia dan Odiseus yang tahu rahasia konstruksi tempat tidur itu.
"Aku tidak tahu siapa kau sesungguhnya," kata Penelope, "tapi akan ku suruh
pelayanku menyiapkan tempat tidurku untukmu. Euriklea!" panggilnya, "suruh
para pelayan memindahkan tempat tidurku ke luar dan mengalasinya dengan bulu
domba dan seperai linen."
Mata Odiseus bersinar penuh kemarahan. "Apa yang kau lakukan pada ranjang
pengantin yang kubuatkan untukmu dulu?" hardiknya. "Tempat tidur itu tidak akan
pernah bisa dipindahkan, salah satu kakinya adalah batang pohon zaitun yang
berakar di tanah! Apakah seorang pencuri telah memotong kaki itu dan mencuri
ranjang kita?"
Penelope menjerit kegirangan dan menghambur ke pelukan Odiseus.
"Hanya kau yang tahu rahasia ranjang pengantin kita!" serunya dengan berurai air
mata. "Maafkan aku karena telah meragukanmu!"
Ketika kedua lengan Penelope merengkuhnya dengan lembut, sebuah rasa sakit
muncul di dada Odiseus, rasa sakit seorang perenang yang sedang mengarungi
lautan penuh badai, yang telah sekian lama merindukan daratan dengan kehangatan
matahari. Sambil mendekap sang istri di depan perapian yang menyala, tangis
Odiseus pecah dalam kesedihan yang manis.
Saat melihat kedua orangtuanya berpelukan, Telemakus menyuruh para penari dan
pelayan menyingkir. Aula utama menjadi gelap dan semua orang pergi tidur.
Odiseus dan Penelope masuk ke kamar mereka dan merebahkan diri di ranjang
yang berkaki pohon zaitun. Malam itu mereka menghabiskan waktu berjam-jam
untuk saling bertukar cerita mengenai apa saja yang mereka alami ketika Odiseus
tidak ada.
Sementara mereka berbincang-bincang, Athena menahan tali kekang kuda-kuda
sang fajar, Cahaya Api dan Cahaya Hari.
SEMBILAN
KEDAMAIAN
Ketika fajar akhirnya datang, Odiseus mengatakan pada Penelope bahwa ia harus
pergi ke desa untuk menjenguk ayahnya, Laertes. Duka cita yang mendalam telah
membuat Laertes berkabung untuk putranya selama dua puluh tahun. Laki-laki tua
itu bahkan menolak untuk tinggal di istana dan memilih untuk tidur beralaskan
sepotong kain lusuh di kebun anggur Odiseus.
"Selama kepergianku, kuncilah dirimu bersama para pelayan di dalam kamar.
Jangan sesekali kau berbicara pada siapa pun," Odiseus memperingatkan Penelope.
"Aku harus mengingatkanmu, menjelang sore, berita tentang tewasnya para
peminang sudah akan tersebar, dan keluarga para peminang akan datang untuk
menuntut balas."
Kemudian, Odiseus membangunkan
Telemakus, si penggembala babi, dan si penggembala sapi. Ia memerintahkan
mereka untuk menyertainya menjenguk sang ayah. Meski hari sudah terang saat
mereka berangkat, Athena menyelimuti keempat pria itu dengan kegelapan sampai
mereka tiba di kebun anggur Laertes yang jauh dari kota.
"Masuklah ke rumah dan siapkan hidangan untuk kita semua," perintah Odiseus
pada yang lain. "Aku akan pergi ke kebun untuk mencari ayahku."
Di sebidang tanah di perkebunan anggur itu, Odiseus melihat seorang laki-laki tua
sedang menggali tanah. Pria yang sedang membungkuk di atas sekop itu
mengenakan tunik kotor dan topi kulit kambing yang sudah lusuh serta robek. Hati
Odiseus perih bagai tertusuk sembilu saat melihat keadaan ayahnya yang letih dan
lusuh.
"Maaf kalau aku mengganggumu," Odiseus memulai percakapan. "Aku sedang
mencari seorang teman. Dia pernah singgah di pulauku dan menginap di rumahku.
Dia bilang dia berasal dari Ithaca dan ayahnya bernama Laertes."
Laki-laki tua itu menundukkan kepalanya dan mulai menangis.
"Itu pasti anakku, putraku yang malang, Odiseus," katanya. "Ia telah lama mati.
Dalam pengembaraannya, ia mungkin telah dimakan oleh ikan-ikan di laut, atau
mungkin oleh binatang-binatang buas di darat."
"Benarkah?" tanya Odiseus. "Rasanya belum lama ini aku melihatnya. Aku
memberinya banyak hadiah dan menyuruhnya melanjutkan perjalanan. Aku
mendapat pertanda yang baik tentang dirinya. Kami bahkan berharap untuk bisa
berjumpa lagi."
Laertes menganggukkan kepala dan air mata menggenangi kedua matanya. Lalu
tiba-tiba beban duka yang dipikulnya terasa sangat berat. Sambil mengerang
dengan hati yang hancur, ia mengambil segenggam tanah dan
menumpahkannya di atas kepala.
Odiseus tidak sanggup lebih lama lagi menyaksikan penderitaan ayahnya. Ia
menghambur dan membentangkan kedua lengannya untuk memeluk lelaki tua
yang sedang berduka itu.
"Ayah, akulah anakmu," katanya. "Aku sudah pulang. Sudah kumusnahkan mereka
yang telah menyiksamu, istri, dan anakku."
Laertes berbicara dengan gagap karena tidak percaya pada apa yang didengarnya.
"Bisakah, bisakah kau menunjukkan bukti padaku bahwa kau benar-benar
anakku?" ia bertanya.
"Aku bisa menunjukkan luka waktu kita berburu dulu," kata Odiseus seraya
menunjukkan parut di atas lututnya. "Dan aku bisa menceritakan padamu tentang
pohon-pohon di hutanmu. Ketika aku masih kecil, kau memberiku tiga belas pohon
pir, sepuluh pohon apel, dan empat puluh pohon ara."
Saat mendengar hal itu, Laertes pingsan dan jatuh terkulai. Odiseus mendekapnya
erat-erat ke dada, sampai sang ayah kembali membuka kedua matanya. Senyum
bahagia menghiasi wajah tua itu, yang kemudian berganti dengan rasa takut.
"Aku khawatir keluarga-keluarga para peminang yang terbunuh itu akan datang
untuk menuntut balas," kata Laertes.
"Jangan khawatirkan mereka sekarang," kata Odiseus. "Ayo, mari kita masuk ke
dalam rumah dan menikmati hidangan bersama cucumu, Telemakus."
Odiseus menuntun ayahnya menuju ke rumah, di mana aneka hidangan lezat telah
menanti mereka. Lelaki tua itu mandi dan mengganti pakaiannya dengan jubah
yang indah. Dewi Athena memberinya tenaga, meremajakan tubuhnya yang lemah,
dan mengubah sosoknya menjadi lebih tinggi dan lebih kuat.
Sebuah teriakan keras dari luar memecah keriaan mereka. Segerombolan orang
bersenjata telah datang untuk menuntut balas atas kematian para peminang.
Odiseus, ayahnya, dan Telemakus serta-merta mengenakan pakaian baja dan pergi
ke luar. Laertes melempar tombaknya dan membunuh salah seorang dari mereka.
Odiseus dan Telemakus menghunus pedang mereka ke atas dan bersiaga
menghadapi musuh.
Saat itu juga, Athena menampakkan diri. "Jangan bergerak!" serunya. "Berhentilah
sebelum lebih banyak darah tertumpah lagi!"
Musuh-musuh Odiseus pucat pasi saat melihat dewi yang agung itu. Setelah
menjatuhkan senjata, mereka lari terbirit-birit. Odiseus memekikkan jeritan perang
yang
mengerikan. Ia melesat mengejar musuh-musuhnya bagaikan seekor elang.
Tapi Dewa Zeus yang sakti melontarkan kilat dan guntur ke bumi. Melihat hal ini,
Athena memerintahkan Odiseus untuk menahan diri. "Hentikan pertempuran,
Odiseus, sebelum kau membuat murka para dewa!" jeritnya. "Semua pertarungan
harus dihentikan! Biarkanlah sejak saat ini kedamaian datang sebagai gantinya!"
Odiseus lega mendengar kata-kata itu. Dengan senang hati ia menghentikan
pengejaran terhadap musuh-musuhnya. Ia sadar bahwa dengan restu para dewa,
semua pertempuran berakhir, pertempuran melawan tentara Troya, melawan
berbagai monster, melawan badai, dan melawan musuh-musuh di kampung
halamannya. Odiseus telah berhasil bertahan hidup melewati semua hal itu dan
berkumpul kembali bersama keluarga tercinta.
Sejak hari itu dan bertahun-tahun sesudahnya, kedamaian menyelimuti Pulau
Ithaca, dan para dewa memandang dengan puas pada Odiseus, istri, dan putranya.
Pada zaman dahulu kala, orang Yunani Kuno percaya bahwa dunia dikuasai oleh
para dewa dan dewi yang sakti. Oleh orang Yunani, cerita tentang para dewa dan
dewi itu disebut mitos. Mungkin pada awalnya, mitos diceritakan untuk
menjelaskan berbagai kejadian alam - seperti cuaca, gunung berapi, dan susunan
bintang-bintang di langit. Mitos-mitos itu juga diceritakan ulang sebagai hiburan.
Mitos Yunani pertama kali ditulis oleh seorang penyair buta bernama Homer.
Homer hidup kurang lebih tiga ribu tahun yang lalu. Banyak orang percaya bahwa
Homer adalah pengarang dua puisi kepahlawanan terkenal, Illiad dan Odisei. Illiad
menceritakan tentang Perang Troya. Odisei menceritakan tentang kisah perjalanan
panjang dari Odiseus, raja Ithaca. Cerita tersebut banyak berhubungan dengan
petualangan Odiseus ketika ia berada dalam perjalanan pulang dari Perang Troya.
Dalam menceritakan kisahnya, Homer sepertinya mengabungkan khayalannya
sendiri dengan mitos-mitos Yunani yang secara lisan telah diwariskan dari generasi
ke generasi. Sebagian kecil sejarah juga terdapat dalam kisah Homer karena
terdapat bukti-bukti arkeologis yang menunjukkan bahwa kisah Perang Troya
ditulis berdasarkan perang yang pernah terjadi lima ratus tahun sebelum Homer
lahir.
Selama berabad-abad, kisah Odisei dari Homer telah memengaruhi kesusasteraan
Barat.
PARA DEWA DAN DEWI YUNANI KUNO
Dewa yang paling sakti di antara seluruh dewa dan dewi Yunani adalah Zeus, Sang
Dewa Petir. Dari puncak Gunung Olimpus yang berkabut, Zeus berkuasa atas
semua dewa dan manusia. Para dewa dan dewi lainnya adalah sanak keluarga
Zeus. Saudaranya, Poseidon adalah penguasa lautan, dan saudaranya yang lain,
Hades adalah penguasa alam baka. Anak-anak Zeus - antara lain - adalah Dewa
Apolo, Mars, Hermes, serta Dewi Afrodite, Athena, dan Artemis.
Para dewa dan dewi dari Gunung Olimpus tidak melulu tinggal di puncak gunung.
Mereka juga turun ke bumi untuk melibatkan diri dalam kehidupan sehari-hari
umat manusia - seperti Odiseus.
Kisah Odisei asli ditulis dalam bahasa Yunani Kuno. Sampai saat ini, cerita Homer
ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa hingga mencapai ribuan kopi.
Penulis telah mempelajari sejumlah terjemahan dalam bahasa Inggris, termasuk
yang ditulis oleh Alexander Pope, Samuel Butler, Andrew Lang, W.H.D. Rouse,
Edith Hamilton, Robert Fitzgerald, Allen Mandelbaum, dan Robert Fagels. Odisei
karangan Homer terdiri dari 24 buku. Jilid pertama dari seri ini diambil dari buku
kesembilan dan kesepuluh.
Cerita mengenai keikutsertaan Odiseus untuk berperang melawan Troya bersumber
dari seorang penulis yang hidup pada abad kedua setelah Masehi. Nama penulis itu
adalah Hyginus. Catatan tentang kuda Troya bersumber dari cerita karangan Virgil
yang berjudul Aeneid. Catatan dari Apolodorus tentang jatuhnya Troya
menyebutkan bahwa nama Athena terpahat di atas kuda kayu tersebut.
SANG PENGARANG
Mary Pope Osborne adalah pengarang buku serial paling laris yang berjudul Magic
Tree House - Rumah Pohon Ajaib. Ia juga menulis sejumlah novel sejarah dan
menceritakan kembali mitos-mitos serta cerita rakyat yang sudah sangat dikenal,
termasuk di antaranya Kate and Beanstalk - Kate dan Pohon Kacang dan New
York's Bravest - Yang Terberani dari New York. Ia tinggal bersama suaminya di
New York dan Connecticut.
Ebook: Inzomia
Re edit by: Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu