Anda di halaman 1dari 51

ODI

SEI
BUKUKE
ENAM
PE
RTARUNGANT
ERAKHI
R
Di
tul
i
solehMARYPOPEOSBORNE
Digambarol
ehTROYHOWELL

Edit
or:Haura
Convert
er:cl
i
ckers
Scan:k80

ht
tp:
//
ebookl
i
nk.
co.
cc
Teks Copyright © 2004 by Mary Pope Osborne
Artwork Copyright © 2004 by Troy Howell

Diterjemahkan dari The Final Battle, karangan Mary Pope Osborne,


terbitan Hyperion, New York: 2004

Hak terjemahan Indonesia pada Serambi


Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh
maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara
apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit

Penerjemah: Santi Paramitta


Penyunting: Ferry Halim
Pewajah Isi: Fadly

PT SERAMBI ILMU SEMESTA


Anggota IKAPI
Jln. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta 12730
www.serambi.co.id; info@serambi.co.id

Cetakan I: Oktober 2006 M


ISBN: 979-1112-05-3

Dicetak oleh Percetakan PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta


Isi diluar tanggung jawab percetakan
Untuk Donna Bray,
teriring ucapan terima kasih atas segala bantuan
yang diberikan
PENGANTAR

P ada zaman dahulu kala, ada sebuah dunia


misterius yang dikenal dengan nama Gunung
Olimpus. Dunia yang tersembunyi di belakang
sekumpulan awan tebal ini tak pernah tertiup
angin ataupun terguyur hujan. Para penghuni
Gunung Olimpus tidak pernah menjadi tua
ataupun mati. Mereka bukan manusia. Mereka
adalah para dewa dan dewi Yunani yang perkasa.
Para dewa dan dewi Olimpus memiliki
pengaruh besar atas kehidupan umat manusia di
dunia. Pada suatu ketika, kemarahan para dewa
dan dewi ini menyebabkan seorang pria bernama
Odiseus harus berkelana di lautan selama
bertahun-tahun hanya untuk menemukan jalan
pulang.
Tiga ribu tahun yang lalu, untuk pertama
kalinya, seorang penyair Yunani bernama Homer
menceritakan kisah perjalanan Odiseus. Sejak
saat itu, para pendongeng lain turut menceri–
takan kembali kisah perjalanan yang ajaib dan
mengesankan tersebut. Kisah perjalanan ter–
sebut dikenal sebagai Odisei.
SATU
PENELOPE

S ambil menantikan kabar tentang sang putra,


Penelope, ratu Ithaca, memanjatkan doa
kepada para dewa sambil mencucurkan air mata.
Lima minggu yang lalu, putranya, Telemakus,
berlayar untuk mencari Odiseus, ayahnya yang
telah lama menghilang. Tak lama sepeninggal
putranya, Penelope mendapati bahwa para pria
yang bermaksud meminangnya berencana
menghabisi nyawa pemuda itu dalam perjalanan
pulang.
Bertahun-tahun lamanya, pria-pria kejam itu
telah berusaha menggulingkan Odiseus. Setiap
hari mereka membuat Penelope tersiksa. Mereka
menduduki rumahnya dan menuntutnya untuk
memilih salah seorang dari mereka untuk
dijadikan suami. Tapi Penelope tetap menjaga
kesetiaannya pada Odiseus. Dengan menahan
siksa dan malu, ia memberi janji kosong pada
para peminang itu. Ia berjanji akan menikahi
salah seorang dari mereka, namun kemudian ia
menunda-nunda dengan cara menolak untuk
memilih siapa yang akan dinikahi.
Kini Penelope meneteskan air mata untuk
Odiseus dan Telemakus. Saat mondar-mandir di
dalam kamar, ia mendengar seseorang
memanggilnya dari halaman bawah. Penelope
bergegas menghampiri jendela dan melihat
penggembala tua yang tinggal di peternakan babi
di dekat pantai. Penggembala babi itu dikelilingi
oleh para pelayan dan peminang Penelope.
“Ratuku, jangan menangis lagi,” seru
penggembala babi itu pada Penelope. “Putra
Anda selamat! Kemarin kapalnya merapat di
pulau kita. Sekarang ia sedang beristirahat di
gubukku.”
Saat mendengar kabar itu, Penelope dan
pelayannya meneteskan air mata bahagia. Tapi
para peminang sama sekali tidak gembira. Saat
Penelope mendengar bahwa mereka membuat
rencana lain untuk menghabisi nyawa putranya,
ia langsung menghambur ke lantai bawah untuk
menghadapi orang-orang jahat itu. Dengan
marah, ia memanggil Antinous, pemimpin orang-
orang jahat itu.
“Antinous! Tidakkah kau ingat bagaimana
suamiku pernah menyelamatkanmu dari amuk
massa?” bentak Penelope. “Sekarang kau
mencoba menggulingkan Odiseus dan
membunuh anaknya! Berani sekali kau?”
Sebelum Antinous sempat menjawab, salah
seorang peminang berteriak dari kerumunan,
“Jangan khawatir, Ratu Penelope! Tak ada alasan
bagi anakmu untuk takut pada kami. Tapi tentu
saja, seandainya para dewa memutuskan bahwa
ajalnya sudah tiba, kami tidak bisa berbuat apa-
apa.”
Penelope tidak berdaya menghadapi orang-
orang kejam itu dan tak dapat berkata apa-apa.
Ia kembali ke kamar dan menangis pilu sambil
mengingat suami dan anaknya. Akhirnya Athena,
sang dewi bermata kelabu, mengatup kelopak
mata Penelope dan membuatnya terlelap.
DUA
KEMBALI KE ISTANA

D ewi Athena juga selalu menjaga Odiseus dan


Telemakus. Dua hari sebelumnya, Athena
telah menolong Odiseus kembali ke lepas pantai
Ithaca dan mengubah wujudnya menjadi seorang
pengemis.
Ketika Odiseus terseok-seok menghampiri
gubuk milik sang penggembala babi yang setia,
laki-laki tua itu tidak mengenalinya. Kemudian
ketika Telemakus tiba di gubuk itu, ia pun tidak
mengenali Odiseus. Namun, ketika sang ayah
dan anak ditinggal berdua, Athena mengubah
Odiseus ke wujud aslinya. Setelah pertemuan
yang membahagiakan itu, Odiseus dan
Telemakus membuat rencana untuk melawan
para peminang yang jumlahnya lebih dari
seratus orang.
Sekarang, ayah dan anak itu berdiri
berdekatan di dekat api unggun untuk meninjau
kembali rencana mereka. “Kau pergi dulu ke
istana,” kata Odiseus. “Aku akan menyamar
menjadi pengemis dan menyusulmu. Ingat, kau
tak boleh menunjukkan tanda-tanda bahwa kau
mengenaliku, bahkan ketika ada yang berusaha
menyakitiku.”
“Dan Ayah akan memberitahuku bila tiba
saatnya bagiku untuk menyembunyikan
senjata?” tanya Telemakus.
“Ya,” kata Odiseus. Athena telah berjanji
untuk membantu kita. Segera setelah dia muncul
dan memberi tanda, kita akan angkut semua
tombak serta tameng dari aula utama dan
menyembunyikannya di gudang lantai atas.”
Diskusi mereka terputus oleh kedatangan si
penggembala. Sihir Athena kembali mengubah
wujud Odiseus menjadi pengemis lusuh. Ketika
ketiga pria itu menyiapkan makan malam
bersama, sang ayah dan anak menyimpan baik-
baik rencana mereka dalam hati.
***
Keesokan paginya, sebelum fajar menyingsing,
Telemakus meninggalkan gubuk si penggembala.
Saat berlari menuruni jalan setapak yang
berbatu menuju rumah, benaknya dipenuhi oleh
pikiran tentang pertempuran yang akan
menjelang.
Ketika Telemakus tiba di rumah, pengasuhnya
yang renta, Euriklea, menyambutnya dengan
gembira. Para pelayan lain datang berkerumun
dan memeluknya. Lalu datanglah sang ibu. Ia
merengkuh putranya dan menangis.
“Cahaya mataku!” tangis Penelope. “Ibu
khawatir kita tidak akan pernah berjumpa lagi,
Nak!”
“Aku telah menempuh perjalanan jauh, Ibu,
sampai ke Kerajaan Sparta,” kata Telemakus.
“Raja Menelaus dan Ratu Helen menyambutku
dengan ramah di sana. Mereka bahkan
menghujaniku dengan hadiah.”
“Dan kabar apa yang kau bawa tentang
ayahmu?” tanya Penelope.
Telemakus menatap ibunya dengan sedih. Ia
ingat akan janjinya pada Odiseus untuk tidak
mengatakan pada siapa pun tentang kepulangan
sang ayah ke Ithaca. “Aku hanya tahu, Raja
Menelaus berkata bahwa dahulu seorang pria
tua dari lautan menyampaikan bahwa Odiseus
ditawan di pulau Dewi Kalipso. Ia tidak bisa pergi
karena tidak memiliki kapal yang bisa
membawanya pulang.”
Saat Telemakus bercerita lebih lanjut tentang
perjalanannya pada sang ibu, Odiseus semakin
mendekati istana. Sambil menyamar dan
ditemani si penggembala babi, ia terseok-seok di
sepanjang jalan berbatu.
Ketika mendekati pintu gerbang istana,
Odiseus melihat seekor anjing tua kurus
berbaring di atas timbunan sampah. Mata
Odiseus menjadi basah karena ia mengenali
anjing itu sebagai anjing pemburu
kesayangannya, Argus.
Ketika Argus melihat Odiseus, ia langsung
mengenali tuannya. Anjing tua itu sangat lemah
hingga tak kuat berdiri. Tapi ekornya bergoyang-
goyang dengan gembira.
Hati Odiseus perih karena ia tak mungkin
mendekati Argus. Hal itu bisa membuka
kedoknya. “Mengapa anjing pemburu itu
terlantar dan tidak terurus?” tanyanya pada si
penggembala. “Kelihatannya ia dulu binatang
yang bagus.”
“Wah, dulu dia kesayangan tuannya,” kata si
penggembala. “Tapi sejak istananya porak-
poranda, tak seorang pun peduli pada anjing itu
lagi. Selama bertahun-tahun ia menunggu
dengan setia untuk bisa memandang tuannya
lagi. Ia tidak tahu bahwa Odiseus sudah lama
meninggal.”
Ketika Odiseus mengikuti si penggembala
melalui pintu gerbang, anjing tua itu menutup
mata dan berpulang dengan tenang menuju
kedamaian. Keinginan terbesarnya telah
terwujud: tuannya sudah pulang.
TIGA
PENGEMIS DI MEJA

D engan bertumpu pada tongkat dan memakai


jubah compang-camping, Odiseus berdiri di
pintu masuk istana yang telah menjadi
rumahnya dua puluh tahun yang lalu. Para
peminang mulai memenuhi aula utama dengan
kegembiraan yang meluap-luap. Tanpa diketahui
oleh orang-orang biadab itu, Athena muncul di
hadapan Odiseus dan membisiki telinganya.
“Kitarilah ruangan itu dan mengemislah pada
setiap orang,” katanya. “Kau akan tahu siapa
yang baik dan siapa yang jahat.”
Odiseus menuruti nasihatnya dan berjalan
terseok-seok dari satu pria ke pria lain sambil
meminta makanan.
Antinous, pemimpin para pelamar, langsung
merasa tidak suka padanya. “Kau betul-betul
makhluk yang menjijikkan!” hardiknya ketika
Odiseus datang mendekat. “Berani sekali kau
minta makanan pada kami?”
Odiseus menatap mata Antinous. “Dan
bagaimana denganmu, Tuan?” katanya. “Bukan–
kah kau juga minta makan pada orang lain?”
Antinous mengambil sebuah bangku dan
melemparnya ke arah Odiseus. Bangku itu me–
ngenai punggungnya, namun Odiseus menerima
perlakuan itu tanpa banyak ribut dan segera
menyingkir.
Telemakus berjuang sekuat tenaga untuk
tidak membela ayahnya. Ia sadar bahwa ia tidak
boleh mengungkapkan siapa sesungguhnya
pengemis itu. Tetapi ketika para pelayan
memberi tahu Penelope tentang penyerangan
terhadap si laki-laki renta yang lusuh, wanita itu
langsung murka.
“Semoga Dewa Apolo menghajar Antinous
sampai mati!” katanya dengan kesal. “Semua pria
yang ingin melamarku menjijikkan, tapi
Antinous-lah yang paling buruk! Bawa laki-laki
tua itu padaku. Barangkali ia pernah mendengar
kabar tentang suamiku. Ia tampak seperti orang
yang sudah pernah bepergian jauh dan melihat
banyak hal.”
Pelayan itu bergegas menyampaikan pesan
tersebut pada Odiseus.
“Katakan pada ratumu bahwa aku akan
datang menghadap setelah malam tiba,” kata
Odiseus, “dan aku akan membawa berita tentang
suaminya.”
Sementara Odiseus menunggu siang berganti
malam, para peminang memenuhi halaman sam–
bil bernyanyi lantang dan menari. Mereka saling
bertengkar dan berkelahi. Mereka mencaci-maki
dan mengancam Odiseus.
Akhirnya, Telemakus tidak tahan lagi. “Apa
kalian sudah gila?” teriaknya. “Apa kalian sudah
kerasukan roh jahat? Tinggalkan istana ini
sekarang juga!”
Para peminang terpesona oleh keberanian
pemuda itu. Meski dengan menggerutu, mereka
mematuhi perintah Telemakus dan beranjak
pergi.
Ketika semua peminang telah meninggalkan
istana, Dewi Athena memberi tanda pada Odi–
seus. Odiseus segera menghampiri Telemakus.
“Sekarang kita harus bersiap-siap untuk pertem–
puran besok,” katanya. “Kita akan memindahkan
semua perisai dan tombak dari aula utama di
lantai bawah. Kalau ada yang bertanya padamu
mengapa kita melakukan itu, katakan saja
bahwa kau ingin melindungi benda-benda itu
dari panas dan asap yang berasal dari perapian
di dalam rumah.
Sambil memegang lampu emas, Athena, yang
kini tak terlihat, membimbing Odiseus dan
Telemakus melalui aula lantai bawah. Cahaya
lembut dari lampu itu menyinari dinding-dinding
dan penyangga atap. Dengan pertolongan lampu
Athena, ayah dan anak itu memindahkan topi
baja, perisai serta tombak dari dinding dan
mengangkutnya ke gudang di lantai atas.
Lalu Odiseus mengucapkan selamat malam
pada Telemakus. “Tidurlah, anakku,” ujarnya
penuh kelembutan. “Beristirahatlah untuk per–
tarungan kita besok. Sekarang aku harus pergi
untuk bicara pada ibumu.”
EMPAT
MALAM SEBELUM PERTEMPURAN

G elap malam telah menyelimuti bumi dan


seluruh istana menjadi sunyi. Ratu Penelope
duduk di kursi gading-peraknya di samping
perapian di aula utama. Kecantikannya bersinar
keemasan laksana Dewi Afrodite.
“Tolong ambilkan kursi supaya tamuku
merasa nyaman,” perintahnya pada para dayang-
dayang.
Sebuah kursi diletakkan dan diselimuti oleh
kulit kambing yang lembut. Lalu seorang pelayan
mempersilakan Odiseus untuk menghadap sang
ratu.
“Selamat datang, kawan,” kata Penelope.
“Sekarang tolong katakan padaku siapa dirimu?
Dari mana kau berasal? Di mana keluargamu?”
Dengan wajah yang tersembunyi di balik jubah
yang compang-camping, Odiseus berbicara
dengan suara rendah: “Wahai permaisuri
Odiseus yang mulia, ku mohon jangan kau
tanyakan tentang kampung halaman atau
keluargaku. Jangan paksa aku untuk mengingat
rasa sakit dan duka.”
“Aku mengerti,” kata Penelope. “Aku sendiri
mulai berduka dua puluh tahun yang lalu ketika
suamiku pergi untuk ikut Perang Troya. Sudah
bertahun-tahun para lelaki datang silih berganti
untuk melamarku. Mereka menduduki rumah
kami. Mereka meyakinkanku bahwa Odiseus
sudah mati dan mendesakku untuk memilih
salah seorang dari mereka untuk dinikahi.
“Beberapa waktu lamanya aku berusaha
mengecoh mereka. Aku katakan bahwa aku akan
menikah lagi bila aku telah selesai menenun kain
kafan untuk ayah Odiseus. Setiap hari aku
menenun kain itu. Tapi malamnya aku bongkar
kembali benang-benang yang sudah ku tenun
pada siang hari. Dengan begitu, pekerjaan itu
tidak pernah selesai.
“Setelah tiga tahun berlalu dengan akal bulus
itu, seorang pelayan mengetahui apa yang
sesungguhnya kulakukan dan menceritakan tipu
muslihat tersebut pada para peminang. Aku
tidak punya pilihan lain kecuali menyelesaikan
te-nunanku. Sekarang mereka menuntutku
untuk menepati janjiku dan segera memilih salah
seorang dari mereka sebagai suami. Aku
sungguh-sungguh tidak tahu apa yang harus ku
lakukan. Tahun-tahun yang ku lewati dalam
duka dan kekhawatiran membuatku hilang daya
untuk melawan orang-orang itu.”
Penelope menghela napas dalam-dalam. “Nah,”
lanjutnya, “Aku sudah menceritakan tentang
keluargaku, duka-cita dan siksa yang ku jalani.
Sekarang giliranmu bercerita. Dari mana
asalmu? Aku tahu kau tidak lahir dari batu
maupun pohon.”
Odiseus tidak berkedip sedikitpun ketika ia
mulai mereka-reka kisah untuk diceritakan pada
istrinya. “Aku dulu tinggal di Pulau Kreta,”
katanya. “Kakekku adalah Raja Minos. Aku ingat
ketika suamimu Odiseus menghadapi rintangan
dan menyimpang dari jalur menuju Troya. Ia
kemudian tiba di pulau kami. Aku menghiburnya
di istanaku. Ia dan pasukannya tinggal di tempat
kami selama dua belas hari. Lalu mereka
kembali melanjutkan perjalanan.”
Penelope tak kuasa menahan tangis saat
mendengarkan cerita teramat sederhana tentang
suaminya yang hilang. Bagaikan salju yang
mencair tertiup angin timur dan meluncur
menuruni lembah, air mata mengalir membasahi
kedua pipinya yang indah. Odiseus ingin sekali
memeluknya, namun ia menahan diri sekuat
tenaga dan tetap diam.
Setelah sudah puas menangis, Penelope
kembali memandang Odiseus. “Wahai orang
asing, bagaimana aku bisa tahu bahwa kau
berkata yang sesungguhnya? Kalau kau memang
pernah melihat suamiku, katakan padaku,
bagaimana rupanya? Bagaimana pakaiannya?”
“Dua puluh tahun telah berlalu. Ingatanku
tentang Odiseus hanya samar-samar,” ujar
Odiseus. “Tapi akan ku katakan padamu apa
yang ku ingat. Waktu itu ia mengenakan jubah
ungu tebal dengan sebuah bros emas. Pada bros
itu ada ukiran seekor anjing pemburu dan rusa
muda.”
Kata-kata Odiseus membuat Penelope
menangis lagi, bahkan lebih hebat dari
sebelumnya. “Akulah yang memasang bros emas
itu pada jubahnya sebelum ia pergi berlayar ke
medan perang,” katanya di sela-sela isak tangis.
Odiseus tidak kuat lagi melihat Penelope
menangis. „ “Jangan menangis lagi, Ratuku,”
katanya. “Baru-baru ini, aku mendengar bahwa
Odiseus masih hidup, meskipun semua anak
buahnya tewas. Dia akan segera kembali pulang
dengan membawa oleh-oleh yang bagus. Aku
percaya ia akan datang bulan ini juga, sebelum
rembulan berganti bulan baru.”
“Aku berharap semoga ucapanmu benar,” kata
Penelope. “Jika semua kata-katamu benar, kami
akan sangat menghargaimu.”
Kemudian, sang ratu memanggil para pelayan
dan memerintahkan mereka untuk menyiapkan
tempat tidur yang nyaman bagi orang asing itu.
“Aku tidak perlu tempat tidur yang empuk,”
Odiseus berkata. “sudah lama aku tidur di atas
tanah yang keras.”
“Kalau begitu, paling tidak izinkanlah
pelayanku Euriklea memandikanmu,” kata
Penelope. “Dulu ia yang merawat Odiseus sejak
suamiku dilahirkan hingga tiba saatnya berlayar
ke medan laga.”
Odiseus tersenyum dan menyetujui usul itu. Ia
duduk dalam keheningan di samping perapian
ketika Penelope mohon diri dan pengasuh tua itu
mengisi bak air. Ketika Euriklea mulai
memandikannya, Odiseus teringat pada bekas
luka di atas lututnya. Parut itu disebabkan oleh
luka tusukan taring babi hutan sewaktu Odiseus
masih muda. Sebelum dia sempat
menyembunyikan kakinya, Euriklea melihat
bekas luka yang panjang dan putih itu.
Perempuan itu perlahan-lahan meraba bekas
luka tersebut dan kemudian memandang
Odiseus. Air mata menggenangi matanya. “Oh!”
bisiknya. “Kau Odiseus!”
Odiseus meraih Euriklea dan menariknya lebih
dekat. “Pengasuhku, berjanjilah kau tidak akan
mengatakan pada seorang pun siapa
sesungguhnya aku,” ia berbisik dengan tegas,
“sampai para dewa mengantarkan para peminang
yang jahat itu ke dalam genggamanku.”
“Aku berjanji,” Euriklea berbisik. “Aku akan
diam seribu bahasa.”
Setelah Odiseus selesai mandi, Penelope
menghampirinya lagi. “Aku khawatir saat suram
telah tiba,” katanya. “Bila tidak ingin anakku
disakiti, akhirnya aku harus rela menikahi salah
seorang pengacau itu. Aku sudah mengambil ke-
putusan. Dulu, suamiku Odiseus bisa
menembakkan anak panah dengan sekali bidik
melalui gelang-gelang di ujung dua belas
pegangan kapak. Barangsiapa di antara para
peminang dapat memasang tali pada busur
panah hebat milik Odiseus dan membidikkan
anak panah dengan kelihaian yang sama, maka
dia akan ku nikahi.”
Odiseus mengangguk perlahan. “Aku rasa ini
rencana yang bagus.” katanya.
“Selenggarakanlah pertandingan itu besok.”
Penelope tersenyum. “Senang sekali bisa
bicara denganmu, kawanku, tapi aku harus tidur
sekarang. Tak seorang manusia yang mampu
bertahan tanpa tidur.”
Pandangan mata Odiseus mengikuti Penelope
menaiki tangga menuju ke kamarnya. Lalu ia
membentangkan selembar kulit sapi di lantai dan
berbaring di atasnya.
Namun, ternyata tidak mudah baginya untuk
terlelap. Odiseus membolakbalikkan badan
dengan gelisah. Ia khawatir tentang pertempuran
yang akan segera dihadapi. Aku pernah
merasakan penderitaan yang lebih hebat dari ini,
pikirnya. Aku menyaksikan anak buahku dibunuh
dengan kejam oleh monster Cyclops, dan aku
masih bertahan. Aku menempuh perjalanan ke
Negeri Orang Mati. Aku berhasil bertahan
menghadapi badai, kapal karam, dan meloloskan
diri dari para raksasa kanibal....
Namun, bagaimanapun keras usahanya untuk
meyakinkan diri, Odiseus tetap tidak bisa
beristirahat.
“Odiseus.”
Odiseus membuka mata. Dewi Athena berdiri
di hadapannya.
“Mengapa kau tidak bisa tidur?” katanya.
“Istrimu ada di sini. Anakmu juga. Kau akhirnya
berada di rumah.”
“Yang kau katakan memang benar, Dewi,” kata
Odiseus. “Meski demikian, aku tidak yakin akan
berhasil mengenyahkan para peminang itu dari
rumahku. Mereka selalu bersama-sama dalam
gerombolan. Meskipun semuanya sudah ku
bunuh, yang lain pasti akan datang untuk
menuntut balas.”
“Dasar manusia tidak beriman!” kata sang
dewi bermata kelabu itu. “Pernahkah aku gagal
menjagamu? Bukankah kita sudah menaklukkan
sepasukan tentara bersama-sama? Tidurlah
sekarang. Aku berjanji bahwa dengan
pertolonganku, kau akan bisa menaklukkan
semua musuhmu.”
LIMA
TANDA-TANDA DARI PARA DEWA

O diseus terjaga ketika fajar menjelang. Saat


mendengar suara tangis dari kamar
Penelope, ia merasa khawatir.
Ia mengangkat kedua tangan dan berdoa pada
dewa yang paling sakti di antara para dewa.
“Wahai Dewa Zeus,” bisiknya, “bila telah menjadi
kehendakmu bahwa aku akan memenangkan
pertempuran hari ini, aku mohon tunjukkanlah
tanda.”
Sesaat kemudian, guntur menggelegar di langit
yang biru dan jernih.
Seorang pelayan kebetulan sedang menggiling
jagung di dekat tempat itu. “Guntur!” dia
berseru. “Padahal tak ada segumpal awan yang
tampak! Dewa Zeus pasti sedang menunjukkan
tanda-tanda. Semoga hari ini menjadi hari
terakhirku melayani orang-orang jahat itu!”
Hati Odiseus lega mendengar kata-kata
pelayan itu. Ia merasa senang karena mendapat
tanda dari sang dewa penguasa langit.
Ketika sinar matahari pagi memancarkan
cahaya kemerahan ke seluruh penjuru istana,
Telemakus bangkit dari peraduannya dan
berpakaian untuk menyongsong pertempuran
yang segera menjelang. Ia menyandang pedang di
bahu dan mengikat kedua sandalnya. Setelah
mengambil tombak berujung perunggu yang
melengkung, ia meninggalkan kamarnya.
Di halaman, para peminang sudah kembali
berkerumun untuk merundingkan cara
menghabisi nyawa sang pangeran muda. Namun,
ketika mereka sedang mengatur rencana, sebuah
pemandangan aneh tampak di langit. Seekor
elang melayang-layang di atas kepala sambil
mencengkeram seekor merpati.
“Lihat!” kata salah seorang peminang. “Itu
pertanda buruk bagi kita! Aku khawatir ini
artinya rencana kita akan jadi berantakan!”
Para peminang yang lain mengangkat bahu
dan berbondong-bondong masuk ke aula utama
untuk menikmati sarapan lezat. Ketika mereka
sedang mengedarkan mangkuk-mangkuk
anggur, Telemakus masuk ke tempat itu bersama
Odiseus. Masih dalam penyamarannya sebagai
pengemis, Odiseus duduk di sebuah kursi di
dekat meja. Telemakus menuangkan anggur ke
dalam mangkuk dan memberikannya pada pria
lusuh itu.
Salah seorang peminang terbahak-bahak dan
berdiri. “Biar ku tambah isi mangkuk pengemis
ini!” katanya. Lalu dilemparkannya sepotong kaki
sapi ke arah Odiseus.
Odiseus mengelak, lalu tersenyum geram pada
penyerangnya. Tapi Telemakus menatap
peminang yang tidak tahu aturan itu dengan
kemarahan yang memuncak. “Kau boleh makan
dari meja kami dan minum dari tong-tong anggur
kami!” hardiknya. “Tapi kau tidak boleh
menyiksa orang asing di rumah yang terhormat
ini!”
Para peminang meledak dalam tawa yang
membahana. Lalu angin yang aneh, yang
membawa mantera Dewi Athena, bertiup ke
seluruh ruangan. Para peminang tidak bisa
berhenti tertawa. Saat mereka melolong-lolong
tidak terkendali, darah mereka menciprati
makanan.
Ketika akhirnya berhasil mengendalikan diri,
salah seorang dari mereka melompat berdiri.
“Wahai orang-orang sesat! Aku baru saja
mendapat penglihatan mengerikan yang dikirim
oleh para dewa! Aku melihat apa yang akan
terjadi di sini hari ini! Aku melihat dinding-
dinding di ruangan ini bermandikan darah! Dan
aku melihat meja serta ruangan ini dipenuhi
arwah-arwah yang bergegas menuju kegelapan
Negeri Orang Mati....”
ENAM
MEMASANG TALI BUSUR

S etelah sarapan, Penelope pergi ke gudang


istana dan mengambil busur besar yang dulu
merupakan milik Odiseus. Ia membawa busur itu
ke aula utama dan meletakkannya di hadapan
para peminang.
“Dengarkan aku,” katanya pada mereka.
“Sudah lama kalian menduduki rumah ini.
Kalian telah minum anggur suamiku dan
menyembelih ternaknya. Kalian mengatakan
bahwa itu adalah cara kalian menunggu
keputusanku untuk memilih siapa di antara
kalian yang akan menjadi suamiku. Baiklah, ini
tantangannya. Barang siapa mampu memasang
tali pada busur milik Odiseus dan menembakkan
sebuah anak panah dalam sekali bidik melalui
gelang-gelang dari dua belas pegangan kapak
berturut-turut, maka dia akan menjadi
suamiku.”
Para peminang menerima tantangan itu
dengan penuh semangat. Satu per satu, mereka
mencoba memasang tali pada busur Odiseus
yang kuat itu. Namun, meski mereka telah
meminyakinya dengan lemak panas dan
menghangatkannya di dekat perapian, busur
yang kuat itu tetap tidak mau melengkung.
Sementara setiap peminang bergiliran
memegang busur itu, penggembala babi dan
penggembala sapi yang senantiasa mengurus
ternak Odiseus beranjak pergi dari ruang pesta.
Mereka muak menyaksikan musuh-musuh
mereka menyentuh busur tuannya.
Odiseus melihat kepergian mereka dan
bergegas menyusul. “Tunggu!” panggilnya. “Aku
punya pertanyaan untuk kalian berdua. Jika
Odiseus tiba-tiba jatuh dari langit dan muncul di
hadapan kalian hari ini, bersediakah kalian
bertempur mati-matian untuk membelanya?
Atau kalian akan membela para peminang?”
“Oh, seandainya saja Dewa Zeus mendengar
doaku dan membawa majikanku pulang,” kata si
penggembala sapi, “kau akan segera melihat
betapa kuatnya aku saat bertempur untuknya.”
Si penggembala babi mengangguk dan
memanjatkan doa tulus untuk kepulangan
Odiseus.
Odiseus sepenuhnya yakin bahwa ia bisa
memercayai kedua pelayannya yang renta itu.
“Kalau begitu kalian harus tahu bahwa doa
kalian telah terkabul,” katanya. “Akulah Odiseus.
Dan bila kita berhasil mengalahkan para
peminang itu, kalian akan sangat ku hargai.”
Kedua laki-laki tua itu tak mampu berkata-
kata. Mereka tidak bisa percaya bahwa pengemis
lusuh yang berdiri di hadapan mereka itu benar-
benar tuan mereka, Odiseus.
Odiseus menyibak jubah compang-
campingnya dan memperlihatkan bekas luka
panjang putih di atas lututnya. “Ingatkah kalian
pada luka yang disebabkan oleh taring babi
hutan waktu aku masih muda dulu?” dia
bertanya.
Penggembala babi dan penggembala sapi itu
menjatuhkan diri dan menangis di hadapan tuan
mereka yang telah lama menghilang.
Odiseus memeluk mereka. “Tahan dulu air
mata kalian karena seseorang mungkin akan
melihat dan menyebarluaskan hal ini,” katanya.
“Dengar baik-baik perintahku ini. Kalau nanti
aku kembali ke dalam, berikan busur itu
padaku, supaya aku juga mendapat giliran dalam
pertandingan. Sesudah busur itu sampai di
tanganku, pastikan semua wanita terkunci di
kamar dan pasang palang pada gerbang
halaman.”
Ketika Odiseus dan kedua pelayannya yang
setia kembali ke aula utama, mereka mendapati
bahwa tak seorang pun di antara para peminang
berhasil memasang tali pada busur itu.
“Mengapa tidak kalian lanjutkan pertandingan
ini besok?” tanya Odiseus. “Barangkali Dewa
Pemanah akan bersedia membantu salah
seorang dari kalian nanti. Sambil menunggu,
izinkan aku memegang busur mulus itu. Aku
ingin tahu apakah tanganku masih memiliki
tenaga, atau perjalanan yang melelahkan telah
menguras habis seluruh tenagaku.”
Pria-pria itu menjadi marah. “Dasar bodoh.
Jangan coba-coba menyentuh busur itu,” kata
Antinous. “Jaga mulutmu atau kami akan
melemparmu ke laut.”
Penelope berdiri. “Tamu kita mengatakan
bahwa dia berasal dari keluarga terhormat,”
ujarnya. “Berikan busur itu padanya dan biarkan
ia mencoba memasang talinya.”
“Ibu, masuklah ke kamar dan kembalilah
menenun,” kata Telemakus karena ia tahu
bahwa pertarungan berdarah akan segera
dimulai. “Akulah kepala keluarga di rumah ini.
Biarkan aku yang mengundang tamu kita untuk
memasang tali busur.”,
Penelope terkejut mendengar perintah tegas
putranya, tapi kemudian ia menundukkan
kepala dan masuk ke dalam kamarnya. Ketika ia
berbaring dan mencucurkan air mata untuk
Odiseus, Dewi Athena mengatup kedua kelopak
matanya serta membuatnya tertidur pulas. Sang
dewi ingin menjauhkan Penelope dari kengerian
yang akan segera terjadi.
Di aula utama di lantai bawah, kedua
penggembala mengambil busur yang kuat itu
beserta sekantung anak panah dan
memberikannya kepada Odiseus. Lalu mereka
bergegas meninggalkan ruangan dan
memerintahkan para pelayan untuk mengunci
pintu gerbang.
Odiseus memeriksa busur itu dengan hati-
hati. Lalu dengan mudah ia membengkokkan
busur itu dan memasang talinya, sebagaimana
seorang musisi memasang senar harpa. Ketika
selesai, ia menarik tali yang terentang kencang
itu. Tali tersebut mengeluarkan nada seperti
nyanyian burung walet.
Guntur bergemuruh di angkasa. Odiseus
tersenyum karena dia tahu bahwa gemuruh itu
adalah tanda lain dari Dewa Zeus. Saat para
peminang menyaksikan dengan takjub, Odiseus
mengambil sebatang anak panah dan
memasangnya pada busur. Ia membidikkannya
ke arah deretan kapak, menarik anak panah itu,
dan membiarkannya lepas melesat.
Anak panah tersebut meluncur dengan tepat
melalui kedua belas gelang kapak.
Odiseus meletakkan busurnya dan
memandang Telemakus. “Orang asing yang kau
terima di rumahmu ternyata tidak
mempermalukanmu,” katanya.
Telemakus mengangguk. Perang akan segera
dimulai.
TUJUH
KEMATIAN PARA PEMINANG

O diseus segera melepas baju lusuhnya dan


melompat ke atas ambang pintu aula yang
terbuat dari batu. Ia menatap para peminang.
“Pertandingan sudah berakhir,” katanya. “Tapi
sekarang ada sasaran baru untuk panahku.
Bantulah aku, wahai Apolo, Dewa Pemanah—”
Sambil berkata demikian, Odiseus mengarahkan
bidikannya pada Antinous, pemimpin para
peminang, dan menembakkan sebatang anak
panah yang langsung menembus tenggorokan
penjahat itu.
Begitu Antinous jatuh terempas ke lantai, para
peminang lain melompat dari kursi mereka. “Kau
akan mendapatkan ganjaran atas perbuatanmu
ini!” teriak salah seorang peminang. “Burung-
burung pemakan bangkai akan segera
menyantapmu!” Lalu mereka berlari tergopoh-
gopoh dalam kebingungan sambil mencari
senjata mereka. Tapi tak satu pun tombak
maupun tameng berhasil mereka temukan.
“Hai anjing-anjing!” Odiseus meneriaki
mereka. “Aku—Odiseus—telah kembali! Kalian
tidak pernah menyangka akan melihatku lagi,
bukan? Sekarang akhir hayat kalian telah tiba!”
“Gunakan meja-meja sebagai tameng untuk
menahan anak-anak panahnya!” jerit salah
seorang peminang. “Serang dia dengan pedang
kalian!” Pria itu menghambur ke arah Odiseus
dengan pedang terhunus tapi Odiseus serta-
merta menyambutnya dengan anak panah dari
busurnya.
Seorang peminang lain berlari menghampiri
Odiseus, tapi Telemakus melemparkan
tombaknya dan membunuhnya. Kemudian,
Telemakus bergegas meninggalkan ruangan dan
mengambil senjata untuk si penggembala babi
dan penggembala sapi.
Odiseus menahan para peminang dengan anak
panahnya sampai Telemakus kembali dengan
perisai dan tombak yang kemudian dibagikan
pada kedua sekutu mereka. Lalu keempat pria
itu berdiri bersama-sama menghadapi
kerumunan itu.
Salah seorang musuh Odiseus lari ke lantai
atas menuju gudang dan mendapati pintunya tak
terkunci. Kemudian, ia mengambil dua belas
tombak dan membagikannya pada yang lain.
Dengan musuh yang sekarang bersenjata,
kelihatannya tidak masuk akal bagi Odiseus dan
ketiga sekutunya untuk melumpuhkan pria
sebanyak itu. Tetapi tiba-tiba Dewi Athena
muncul.
“Bergabunglah dengan kami dalam
pertempuran ini!” seru Odiseus pada sang dewi.
Mata Athena berkilat-kilat. “Kau harus
berusaha sendiri dulu semampumu!” ujarnya.
Lalu ia berubah menjadi seekor burung walet
dan terbang ke arah penyangga atap untuk
menonton.
Odiseus menembakkan anak panah satu demi
satu dan membunuh sejumlah peminang. Lalu ia
bersama ketiga sekutunya melemparkan
keempat tombak mereka ke arah musuh. Setelah
empat orang peminang tewas, Odiseus dan
pasukannya mencabuti tombak-tombak dari
tubuh-tubuh yang terkapar itu dan
melemparkannya lagi ke sasaran lain.
Para peminang pun melemparkan tombak
mereka. Namun, Dewi Athena selalu meluputkan
bidikan mereka. Akhirnya, sang dewi mengirim
penampakan mengerikan bagi para pelamar.
Awan hitam muncul di atas aula utama. Awan
itu berbentuk seperti tameng sakti Athena. Para
peminang tahu bahwa penampakan tameng
Athena merupakan tanda kematian yang pasti.
Tanpa ampun, Odiseus, Telemakus, dan kedua
sekutunya menghabisi musuh satu demi satu.
Odiseus membiarkan seorang pemusik keliling
tetap hidup karena ia dapat menyanyikan lagu-
lagu yang dikirim oleh para dewa. Ia juga
membiarkan seorang pembawa pesan tetap
hidup karena ia ingin orang itu menyebarkan
pesan bahwa umat manusia di dunia seharusnya
berbuat baik dan tidak berlaku keji.
Tapi kepada para peminang yang lain, Odiseus
tidak memberi ampun. Di akhir pertempuran,
semua peminang terbunuh. Mayat mereka
bergelimpangan, bertumpuk-tumpuk di lantai
seperti ikan mati yang ditumpahkan dari dalam
jala ke atas pasir.
Kemudian, Dewa Hermes menampakkan diri di
aula utama. Dengan tongkat emas di tangan, ia
menggiring arwah para peminang meninggalkan
istana.
Sambil mencicit laksana kelelawar, para arwah
mengikuti Hermes melintasi ombak di lautan.
Mereka mengikutinya melalui bebatuan bersalju.
Mereka mengikutinya melewati gerbang matahari
dan negeri impian, hingga akhirnya tiba di Negeri
Orang Mati yang berkabut.
DELAPAN
REUNI

S ambil berdiri di antara genangan darah dan


mayat para peminang, Odiseus memanggil
Euriklea. Ketika menyaksikan pembantaian itu,
dia menjerit penuh kegembiraan dan kelegaan,
karena ia tahu bahwa istana itu akhirnya
terbebas dari para penjahat yang telah menyiksa
keluarga Odiseus selama bertahun-tahun.
“Jangan ribut,” perintah Odiseus. “Tak baik
bergembira atas kematian orang lain.”
“Paling tidak biarkan aku menceritakan hal ini
pada Penelope,” kata sang pelayan. “Dia tertidur
selama pertempuran berlangsung.”
“Tidak, jangan bangunkan dia sekarang,” kata
Odiseus. “Kumpulkan semua dayang-dayang
yang pernah menari bersama para peminang.
Perintahkan mereka untuk mengangkut mayat-
mayat ini dan membersihkan lantai maupun
dinding dari genangan serta noda darah.”
Euriklea melakukan apa yang diperintahkan
Odiseus. Setelah istana kembali bersih seperti
sediakala, Odiseus menyuruhnya menyucikan
rumah itu dengan api. Akhirnya, setelah api
mengepulkan asap ke seluruh aula serta
halaman, Euriklea bergegas ke lantai atas dan
menghampiri Penelope.
“Bangunlah!” serunya sambil mengguncang
tubuh sang ratu yang terlelap. “Suamimu yang
tercinta sudah kembali! Dia sedang
menunggumu sekarang! Bangunlah!”
Ketika Penelope membuka kedua matanya,
Euriklea menceritakan tentang pertempuran
hebat itu dan bagaimana ia mendapati Odiseus
serta Telemakus berdiri di atas tumpukan mayat
para peminang.
“Jangan beri aku harapan kosong tentang
Odiseus,” kata Penelope. “Aku yakin itu hanya
salah seorang dewa yang sedang menyamar.
Suamiku yang tercinta sedang berada di pulau
yang jauh, atau barangkali sudah mati.”
“Pergi dan lihatlah sendiri!” desak Euriklea.
“Aku melihat bekas luka di kakinya, yang
disebabkan oleh babi hutan. Ikutlah denganku
sekarang juga! Dia sedang menunggumu di sisi
perapian!”
“Wahai pelayan tua, kau sungguh tidak
mengerti jalan pikiran para dewa ... atau
bagaimana mereka bisa dengan mudah
mempermainkan kita,” kata Penelope. “Tapi aku
ingin melihat keadaan anakku.”
Penelope turun ke lantai bawah. Ia mendapati
Odiseus sedang duduk di sisi perapian. Jubah
rombengnya berlumuran darah. Keringat dan
darah membasahi wajah serta rambutnya yang
kotor.
Karena terkejut oleh penampilan Odiseus yang
mengerikan itu, Penelope berpaling.
Telemakus menegurnya. “Ibu, tidak dapatkah
kau pandang wajahnya? Apakah hatimu sudah
begitu beku?”
Tapi Odiseus tetap sabar. Ia tersenyum dan
berpaling pada Telemakus. “Mari kita mandi dulu
dan mengenakan tunik yang bersih,” usulnya.
“Lalu perintahkan si pemusik untuk memainkan
lagu dansa yang riang sebagaimana ia
memainkan sebuah kidung pernikahan. Kita
harus mengelabui para tetangga untuk menunda
tibanya berita tentang pembantaian ini ke telinga
keluarga para pelamar yang sudah tewas. Bila
mereka mendengar tentang hal ini, tentu mereka
akan menuntut balas.”
Odiseus meninggalkan aula utama. Para
pelayan memandikan dan menggosok tubuhnya
dengan minyak dan memakaikan tunik bersih.
Lalu Dewi Athena secara ajaib mengubah wujud
pengemisnya menjadi sosok yang lebih muda dan
tinggi.
Dengan ketampanan bagaikan dewa, ia
kembali ke dekat perapian. Ia duduk di hadapan
Penelope. Namun, wanita itu tetap membisu.
Perubahan rupa Odiseus justru membuat
perempuan itu semakin tidak percaya. Benarkah
ia manusia? Ataukah ia seorang dewa yang
sedang berusaha memperdayainya?
“Kau betul-betul perempuan aneh,” kata
Odiseus. “Sesudah dua puluh tahun, kau
bahkan tak mengizinkan suamimu memelukmu.”
Ketika Penelope masih tetap membisu, Odiseus
melanjutkan bicaranya. “Baiklah, kalau begitu
ku rasa aku harus tidur sendiri.”
“Kau betul-betul pria aneh,” kata Penelope,
“itu jika kau memang benar-benar seorang
manusia dan bukan seorang dewa yang sedang
mempermainkanku.” Lalu Penelope mendapat
akal. Dahulu, Odiseus pernah membuatkannya
ranjang pengantin dari sebatang pohon zaitun
yang tumbuh menembus lantai di kamar tidur
mereka. Hanya ia dan Odiseus yang tahu rahasia
konstruksi tempat tidur itu.
“Aku tidak tahu siapa kau sesungguhnya,”
kata Penelope, “tapi akan ku suruh pelayanku
menyiapkan tempat tidurku untukmu. Euriklea!”
panggilnya, “suruh para pelayan memindahkan
tempat tidurku ke luar dan mengalasinya dengan
bulu domba dan seperai linen.”
Mata Odiseus bersinar penuh kemarahan.
“Apa yang kau lakukan pada ranjang pengantin
yang ku buatkan untukmu dulu?” hardiknya.
“Tempat tidur itu tidak akan pernah bisa
dipindahkan, salah satu kakinya adalah batang
pohon zaitun yang berakar di tanah! Apakah
seorang pencuri telah memotong kaki itu dan
mencuri ranjang kita?”
Penelope menjerit kegirangan dan
menghambur ke pelukan Odiseus. “Hanya kau
yang tahu rahasia ranjang pengantin kita!”
serunya dengan berurai air mata. “Maafkan aku
karena telah meragukanmu!”
Ketika kedua lengan Penelope merengkuhnya
dengan lembut, sebuah rasa sakit muncul di
dada Odiseus, rasa sakit seorang perenang yang
sedang mengarungi lautan penuh badai, yang
telah sekian lama merindukan daratan dengan
kehangatan matahari. Sambil mendekap sang
istri di depan perapian yang menyala, tangis
Odiseus pecah dalam kesedihan yang manis.
Saat melihat kedua orangtuanya berpelukan,
Telemakus menyuruh para penari dan pelayan
menyingkir. Aula utama menjadi gelap dan
semua orang pergi tidur.
Odiseus dan Penelope masuk ke kamar
mereka dan merebahkan diri di ranjang yang
berkaki pohon zaitun. Malam itu mereka
menghabiskan waktu berjam-jam untuk saling
bertukar cerita mengenai apa saja yang mereka
alami ketika Odiseus tidak ada.
Sementara mereka berbincang-bincang,
Athena menahan tali kekang kuda-kuda sang
fajar, Cahaya Api dan Cahaya Hari.
SEMBILAN
KEDAMAIAN

K etika fajar akhirnya datang, Odiseus


mengatakan pada Penelope bahwa ia harus
pergi ke desa untuk menjenguk ayahnya,
Laertes. Duka cita yang mendalam telah
membuat Laertes berkabung untuk putranya
selama dua puluh tahun. Laki-laki tua itu
bahkan menolak untuk tinggal di istana dan
memilih untuk tidur beralaskan sepotong kain
lusuh di kebun anggur Odiseus.
“Selama kepergianku, kuncilah dirimu
bersama para pelayan di dalam kamar. Jangan
sesekali kau berbicara pada siapa pun,” Odiseus
memperingatkan Penelope. “Aku harus
mengingatkanmu, menjelang sore, berita tentang
tewasnya para peminang sudah akan tersebar,
dan keluarga para peminang akan datang untuk
menuntut balas.”
Kemudian, Odiseus membangunkan
Telemakus, si penggembala babi, dan si
penggembala sapi. Ia memerintahkan mereka
untuk menyertainya menjenguk sang ayah.
Meski hari sudah terang saat mereka berangkat,
Athena menyelimuti keempat pria itu dengan
kegelapan sampai mereka tiba di kebun anggur
Laertes yang jauh dari kota.
“Masuklah ke rumah dan siapkan hidangan
untuk kita semua,” perintah Odiseus pada yang
lain. “Aku akan pergi ke kebun untuk mencari
ayahku.”
Di sebidang tanah di perkebunan anggur itu,
Odiseus melihat seorang laki-laki tua sedang
menggali tanah. Pria yang sedang membungkuk
di atas sekop itu mengenakan tunik kotor dan
topi kulit kambing yang sudah lusuh serta robek.
Hati Odiseus perih bagai tertusuk sembilu saat
melihat keadaan ayahnya yang letih dan lusuh.
“Maaf kalau aku mengganggumu,” Odiseus
memulai percakapan. “Aku sedang mencari
seorang teman. Dia pernah singgah di pulauku
dan menginap di rumahku. Dia bilang dia
berasal dari Ithaca dan ayahnya bernama
Laertes.”
Laki-laki tua itu menundukkan kepalanya dan
mulai menangis. “Itu pasti anakku, putraku yang
malang, Odiseus,” katanya. “Ia telah lama mati.
Dalam pengembaraannya, ia mungkin telah
dimakan oleh ikan-ikan di laut, atau mungkin
oleh binatang-binatang buas di darat.”
“Benarkah?” tanya Odiseus. “Rasanya belum
lama ini aku melihatnya. Aku memberinya
banyak hadiah dan menyuruhnya melanjutkan
perjalanan. Aku mendapat pertanda yang baik
tentang dirinya. Kami bahkan berharap untuk
bisa berjumpa lagi.”
Laertes menganggukkan kepala dan air mata
menggenangi kedua matanya. Lalu tiba-tiba
beban duka yang dipikulnya terasa sangat berat.
Sambil mengerang dengan hati yang hancur, ia
mengambil segenggam tanah dan
menumpahkannya di atas kepala.
Odiseus tidak sanggup lebih lama lagi
menyaksikan penderitaan ayahnya. Ia
menghambur dan membentangkan kedua
lengannya untuk memeluk lelaki tua yang
sedang berduka itu. “Ayah, akulah anakmu,”
katanya. “Aku sudah pulang. Sudah ku
musnahkan mereka yang telah menyiksamu,
istri, dan anakku.”
Laertes berbicara dengan gagap karena tidak
percaya pada apa yang didengarnya. “Bisakah,
bisakah kau menunjukkan bukti padaku bahwa
kau benar-benar anakku?” ia bertanya.
“Aku bisa menunjukkan luka waktu kita
berburu dulu,” kata Odiseus seraya
menunjukkan parut di atas lututnya. “Dan aku
bisa menceritakan padamu tentang pohon-pohon
di hutanmu. Ketika aku masih kecil, kau
memberiku tiga belas pohon pir, sepuluh pohon
apel, dan empat puluh pohon ara.”
Saat mendengar hal itu, Laertes pingsan dan
jatuh terkulai. Odiseus mendekapnya erat-erat
ke dada, sampai sang ayah kembali membuka
kedua matanya. Senyum bahagia menghiasi
wajah tua itu, yang kemudian berganti dengan
rasa takut.
“Aku khawatir keluarga-keluarga para
peminang yang terbunuh itu akan datang untuk
menuntut balas,” kata Laertes.
“Jangan khawatirkan mereka sekarang,” kata
Odiseus. “Ayo, mari kita masuk ke dalam rumah
dan menikmati hidangan bersama cucumu,
Telemakus.”
Odiseus menuntun ayahnya menuju ke
rumah, di mana aneka hidangan lezat telah
menanti mereka. Lelaki tua itu mandi dan
mengganti pakaiannya dengan jubah yang indah.
Dewi Athena memberinya tenaga, meremajakan
tubuhnya yang lemah, dan mengubah sosoknya
menjadi lebih tinggi dan lebih kuat.
Sebuah teriakan keras dari luar memecah
keriaan mereka. Segerombolan orang bersenjata
telah datang untuk menuntut balas atas
kematian para peminang.
Odiseus, ayahnya, dan Telemakus serta-merta
mengenakan pakaian baja dan pergi ke luar.
Laertes melempar tombaknya dan membunuh
salah seorang dari mereka. Odiseus dan
Telemakus menghunus pedang mereka ke atas
dan bersiaga menghadapi musuh.
Saat itu juga, Athena menampakkan diri.
“Jangan bergerak!” serunya. “Berhentilah
sebelum lebih banyak darah tertumpah lagi!”
Musuh-musuh Odiseus pucat pasi saat
melihat dewi yang agung itu. Setelah
menjatuhkan senjata, mereka lari terbirit-birit.
Odiseus memekikkan jeritan perang yang
mengerikan. Ia melesat mengejar musuh-
musuhnya bagaikan seekor elang.
Tapi Dewa Zeus yang sakti melontarkan kilat
dan guntur ke bumi. Melihat hal ini, Athena
memerintahkan Odiseus untuk menahan diri.
“Hentikan pertempuran, Odiseus, sebelum kau
membuat murka para dewa!” jeritnya. “Semua
pertarungan harus dihentikan! Biarkanlah sejak
saat ini kedamaian datang sebagai gantinya!”
Odiseus lega mendengar kata-kata itu. Dengan
senang hati ia menghentikan pengejaran
terhadap musuh-musuhnya. Ia sadar bahwa
dengan restu para dewa, semua pertempuran
berakhir, pertempuran melawan tentara Troya,
melawan berbagai monster, melawan badai, dan
melawan musuh-musuh di kampung
halamannya. Odiseus telah berhasil bertahan
hidup melewati semua hal itu dan berkumpul
kembali bersama keluarga tercinta.
Sejak hari itu dan bertahun-tahun
sesudahnya, kedamaian menyelimuti Pulau
Ithaca, dan para dewa memandang dengan puas
pada Odiseus, istri, dan putranya.
TENTANG HOMER DAN ODISEI

P ada zaman dahulu kala, orang Yunani Kuno


percaya bahwa dunia dikuasai oleh para dewa
dan dewi yang sakti. Oleh orang Yunani, cerita
tentang para dewa dan dewi itu disebut mitos.
Mungkin pada awalnya, mitos diceritakan untuk
menjelaskan berbagai kejadian alam — seperti
cuaca, gunung berapi, dan susunan bintang-
bintang di langit. Mitos-mitos itu juga diceritakan
ulang sebagai hiburan.
Mitos Yunani pertama kali ditulis oleh seorang
penyair buta bernama Homer. Homer hidup
kurang lebih tiga ribu tahun yang lalu. Banyak
orang percaya bahwa Homer adalah pengarang
dua puisi kepahlawanan terkenal, Illiad dan
Odisei. Illiad menceritakan tentang Perang Troya.
Odisei menceritakan tentang kisah perjalanan
panjang dari Odiseus, raja Ithaca. Cerita tersebut
banyak berhubungan dengan petualangan
Odiseus ketika ia berada dalam perjalanan
pulang dari Perang Troya.
Dalam menceritakan kisahnya, Homer
sepertinya mengabungkan khayalannya sendiri
dengan mitos-mitos Yunani yang secara lisan
telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Sebagian kecil sejarah juga terdapat dalam kisah
Homer karena terdapat bukti-bukti arkeologis
yang menunjukkan bahwa kisah Perang Troya
ditulis berdasarkan perang yang pernah terjadi
lima ratus tahun sebelum Homer lahir.
Selama berabad-abad, kisah Odisei dari Homer
telah memengaruhi ke-susasteraan Barat.
PARA DEWA DAN DEWI
YUNANI KUNO

D ewa yang paling sakti di antara seluruh


dewa dan dewi Yunani adalah Zeus, Sang
Dewa Petir. Dari puncak Gunung Olimpus yang
berkabut, Zeus berkuasa atas semua dewa dan
manusia. Para dewa dan dewi lainnya adalah
sanak keluarga Zeus. Saudaranya, Poseidon
adalah penguasa lautan, dan saudaranya yang
lain, Hades adalah penguasa alam baka. Anak-
anak Zeus — antara lain — adalah Dewa Apolo,
Mars, Hermes, serta Dewi Afrodite, Athena, dan
Artemis.
Para dewa dan dewi dari Gunung Olimpus
tidak melulu tinggal di puncak gunung. Mereka
juga turun ke bumi untuk melibatkan diri dalam
kehidupan sehari-hari umat manusia — seperti
Odiseus.
BEBERAPA DEWA DAN
DEWI UTAMA

Zeus Dewa Petir, raja seluruh dewa


Poseidon Dewa Laut dan Sungai, saudara laki-
laki Zeus
Hades Dewa Alam Baka, saudara laki-laki
Zeus
Hera istri Zeus, ratu para dewa dan dewi
Hestia Dewi Perapian, saudara perempuan
Zeus
Athena Dewi Kebijaksanaan, Dewi Perang,
Seni dan Kerajinan Tangan; anak
perempuan Zeus
Demeter Dewi Pangan dan Panen, ibu dari
Persefone
Afrodite Dewi Asmara dan Kecantikan, anak
perempuan Zeus
Artemis Dewi Para Pemburu, anak
perempuan Zeus
Ares Dewa Perang, anak laki-laki Zeus
Apolo Dewa Matahari, Dewa Musik dan
Puisi
Hermes Dewa Pembawa Berita, anak laki-laki
Zeus — ahli membuat tipuan
Hefaestus Dewa Pembuat Senjata, anak laki-
laki Hera
Persefone istri Hades, ratu alam baka — anak
perempuan Zeus
Dionisus Dewa Anggur dan Kegilaan
CATATAN TENTANG
ASAL-MUASAL CERITA

K isah Odisei asli ditulis dalam bahasa Yunani


Kuno. Sampai saat ini, cerita Homer ini telah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa hingga
mencapai ribuan kopi. Penulis telah mempelajari
sejumlah terjemahan dalam bahasa Inggris,
termasuk yang ditulis oleh Alexander Pope,
Samuel Butler, Andrew Lang, W.H.D. Rouse,
Edith Hamilton, Robert Fitzgerald, Allen
Mandelbaum, dan Robert Fagels.
Odisei karangan Homer terdiri dari 24 buku. Jilid
pertama dari seri ini diambil dari buku
kesembilan dan kesepuluh.
Cerita mengenai keikutsertaan Odiseus untuk
berperang melawan Troya bersumber dari
seorang penulis yang hidup pada abad kedua
setelah Masehi. Nama penulis itu adalah
Hyginus. Catatan tentang kuda Troya bersumber
dari cerita karangan Virgil yang berjudul Aeneid.
Catatan dari Apolodorus tentang jatuhnya Troya
menyebutkan bahwa nama Athena terpahat di
atas kuda kayu tersebut.
SANG PENGARANG

M ary Pope Osborne adalah pengarang buku


serial paling laris yang berjudul Magic Tree
House — Rumah Pohon Ajaib. Ia juga menulis
sejumlah novel sejarah dan menceritakan
kembali mitos-mitos serta cerita rakyat yang
sudah sangat dikenal, termasuk di antaranya
Kate and Beanstalk — Kate dan Pohon Kacang
dan New York’s Bravest — Yang Terberani dari
New York. Ia tinggal bersama suaminya di New
York dan Connecticut.

Anda mungkin juga menyukai