Anda di halaman 1dari 4

Lilium

Aku terus mengendarai mobilku tanpa henti. Meskipun seluruh lukaku seakan
menyuruhku untuk bertistirahat. Tapi tidak bisa, orang-orang itu teru menembakiku dari
belakang. Dua mobil mereka memepetku dari kiri dan kanan. Mereka membuka kacanya dan
mulai menembaki kaca mobilku.

“Luis, apa bantuanku sudah siap??” Tanyaku pada rekanku di telepon.

“Sudah siap, terus bertahan dan cepat masuk kemarkas. Jangan sampai mati!!”

Setelah mendapat jawaban seperti itu, aku menginjak pedal gasku hingga maksimal.
Mobilku melaju kencang meninggalkan dua mobil yang tadi memepetku. Setelah 15 menit
kejar-kejaran aku tiba di depan markas. Aku menekan tombol bergambar oli di mobilku.
Tombol itu membuat mobilku memngeluarkan seluruh oli dari dalam mesin. Oli tadi
membuat dua mobil yang mengejarku tergelincir. Akan tetapi, pria di mobil belakang
mengarahkan tembakannya ke mobil rekannya di depan. Mobil yang depan meledak dan
terlempar ke arah mobilku. Mobilku tak bisa menghindari kecelakaan itu, hingga tubuhku
terpental karena tabrakan dan ledakannya.

Aku tak bisa merasakan tubuhku. Pandanganku kabur. Aku hanya melihat beberapa
dokter di sekelilingku. Mereka menyalakan lampu operasi dan berbicara. Entahlah, aku
merasa semua sudah terlambat. Pandanganku mulai kabur, bahkan suara dokter-dokter yang
berbicara sudah tidak terdengar lagi. Ah, tamat sudah.

“Hmm?!?”

Aku membuka mataku, kaget karena seluruh luka yang tadinya memenuhi tubuhku
menghilang begitu saja. Kemudian aku bangun dari tidurku. Namun, ada sesuatu yang
mengganjal di dadaku. Karena tak percaya dengan penglihatanku aku meraba dadaku. Ya,
tebakanku benar. Entah kenapa aku memiliki payudara wanita. Aku beranjak dari kasur ke
depan cermin yang ada di kamar itu.

“Aaaaaaaaaahhh!!” Aku berteriak kaget setelah menyadari bahwa seluruh tubuhku


berubah menjadi tubuh perempuan.

Dari luar kamarku terdengar beberapa derap kaki. Pemilik derap kaki itu membuka
kamarku, sepertinya mereka keluarga pemilik tubuh ini. Satu pria dewasa berbadan kekar,
satu ibu rumah tangga yang biasa saja dan satu lagi laki-laki muda yang baru saja menginjak
masa remaja.

“Kakak kenapa? Kok berteriak?” Tanya laki-laki yang lebih muda dari ku.

“Anuuu, kakak tadi jatuh dari kasur.”

“Ohh, kalau gitu kakak siap-siap sarapannya sudah matang.” Mereka bertiga
meninggalkanku.

“Iya.”

Aku kembali menatap diriku di cermin. Tubuh ini cantik juga, rambutnya coklat gelap
dengan panjang se-pundak dan halus. Terutama dadanya, cukup besar dibandingkan milik
wanita di negaraku dulu. Akupun memegang kembali dadaku dan mengukurnya.

“Hmm, F mungkin. Apa lagi dengan pinggang dan pinggul seperti ini. mungkin bisa
lebih. Luar biasa.”

Kamar ini terlihat sangat kuno, layaknya abad pertengahan. Kemudian aku mengintip
keluar jendela, terlihat ladang gandum yang sangat luas di luar rumah besar ini. Setelah
mencerna seluruh informasi yang kuperoleh aku membuka lemariku. Sebagian besar baju
yang kumiliki adalah baju ksatria. Setelah berganti pakaian, aku memakai armor ku. Hanya
armor lutut, kaki dan tangan kiri yang mudah dipakai, sedangkan armor dadaku sedikit sesak
dipakai. Mungkin armor ini didesain untuk mempermudah gerakanku, terutama dadaku yang
mungkin menghalangi gerakku.

“Sarapan dulu sebelum pergi ke serikat petualang.” Ucap ibu ku dari dapur saat aku
turun dari lantai atas.

“Iya, ini mau sarapan baru berangkat ke guild.”

“Kakak, kali ini aku boleh ikut ga?” Tanya adikku.

“Adik jangan dulu! Belum saatnya, adik bantu ayah kerja aja!” Balas ibu.

“Lagi pula, hari ini kak Lilia akan prgi ke desa Refles. Jauh banget tempatnya di
barat.” Sambung ibu.

“Selain jauh, menurut rumor yang ayah dengar desa itu diserang sekumpulan monster.
Banyak juga warga yang tewas mengenaskan. Ada yang bilang desa itu tidak aman bagi
wanita.” Kata ayah.
“Jujur saja, ayah gak mau kamu ikut kesana Lilia. Tempat itu berbahaya, ayah tak
ingin kehilangan lagi seperti kakakmu.”

“Ayah dan Ibu benar, sebaiknya adik tidak ikut. Aku janji akan kembali pulang
dengan selamat, selain itu aku tak akan membiarkan hal buruk itu terjadi padaku.”

Setalah itu, kami semua sarapan bersama. Setelah menyelesaikan sarapan aku
mengambil semua persiapanku dan pamit kepada orang tuaku.

“Hati-hati ya Lilia, janji ke ibu kalau Lilia pasti pulang dengan selamat.” Kata Ibu.

“Ingat pesan ayah Lilia. Jangan menganggap musuhmu lemah. Jangan ragu di
pertempuran. Ragulah maka kalah.”

“kakak, janji ya bakal balik. Aku kesepian kalau gak ada kakak.” Ucap adikku sambil
memasang wajah sedih.

“Janji.” Balasku sambil mengusap kepalanya.

Aku mengambil kudaku di kandang dan menaikinya pergi ke serikat petualang. Dari
jauh terlihat sebuah benteng besar yang melindungi seisi kota. Rumah yang kutempati
sepertinya milik orang penting yang bertugas di luar kota. Namun tetap saja perjalanan yang
kutmpuh relatif singkat. Dari kananku terlihat laki-laki berbadan bagus dan wajah yang
rupawan datang menghampiriku.

“Lilia!!”

“Eh?” Seketika saja aku bingung memilih balasan. Lagipula aku juga tak tahu nama
dia siapa.

“Oiii! Lilia, Otto pagi!!” Tak jauh dari tempat ku dan Otto sosok pria tua dengan
badan yang cukup besar datang menyapa kami.

“Kalian mau ke guild bukan? Ini, paman bawakan roti untuk perbekalan.”

“Wah, terima kasih paman, maaf merepotkan paman jadinya.” Kata Otto.

“Bukan masalah, nah terima aja dulu. Lagian kalian kan sudah lama kenal dengan
paman.”

“Iya juga ya, paman juga kan yang melatih kami.” Sahut Otto.

“Ahahahaha, hee. Paman pikir kalian ini jodoh yang pas. Dari sudut pandang paman.”
“Hahaha, paman ada-ada aja, aku dan Otto kan Cuma teman dari kecil. Jadi ya wajar
kalau kami selalu bersama.” Kataku menyela perkataan paman itu. Enak saja bicaranya, aku
kan laki-laki dulunya. Sial, perasaanku jadi ga enak. Aku harus lebih cepat mencari tahu asal-
usul keberadaanku di tempat ini.

“Ya... mungkin saja kan. Mungkin kedepannya, mungkn takdir? Atau hanya firasat
paman? Hahahahaha.” Balas paman tadi. Aku membalasnya dengan memasang muka jengkel
mirip perempuan.

“Eh, jangan gitu dong. Paman Cuma bercanda.”

“Kalau begitu kita berdua berangkat dulu ya paman.” Kataku.

“Hati- hati kalian berdua. Ingat apapun misinya kalian harus saling melindungi dan
jangan lupakan paman ya hahaha.”

“Oh iya paman. Aku bolehkan menitikan kudaku ke paman?” Tanyaku.

“Boleh, sini paman bawa. Lagipula paman Cuma puny dua kuda di kandang, jadi
nambah satu bukan masalah.”

“Terima kasih paman.” Aku dan Otto kemudian berangkat meninggalkan paman tadi.

Tak lama kemudian aku dan Otto sampai di pusat kota Dandeleon. Di tengah kota itu
terdapat perlimaan yang cukup besar. Dimana salah satu ujung perlimaan itu langsung
menuju ke gedung guild.

“Ayo cepat! Nanti kita ketinggalan quest!” Kata Otto mempercepat jalannya.

Kami berdua sampai di depan guild. Tanpa pikir panjang aku membuka pintu
masuknya yang besar. Untung saja kami tidak se-telat itu. Beberapa petugas serikat mulai
memberikan absensi sebelum keberangkatan. Saat lembaran quest dibagikan, ternyata hanya
aku, Otto, dan satu regu lain yang mengambilnya. Bahkan sepertinya regu lain yang
mengambil misi itu adalah regu dengan peringkat tinggi, ruby.

Anda mungkin juga menyukai