***
“Ayahhh awass...”teriakku
Aku berlari dengan sisa tenaga yang aku miliki menuju ayah, hatiku
seperti ditusuk oleh panah saat melihat tubuh Ayah yang
berlumuran darah, sebab benturan keras dari bagian kepalanya.
Kudekap tubuh Ayah dengan air mata yang tak terbendung, dan
dengan rasa khawatir yang menyelimuti di tengah kerumunan. Tak
selang beberapa menit kemudian saat suara ambulan terdengar
ditelinga, mobil ambulan tersebut dengan cepat membawa Ayah
pergi ke rumah sakit, sesampainya di sana tubuh lemas ayah di
angkat oleh beberapa perawat dan dimasukan ke sebuah ruangan.
“sudah, berhenti menangis, Qilla terus berdo’a sama Allah biar Ayah
tidak kenapa - kenapa ya” ucap ibu menenangkanku.
“permisi bu.., tolong Ibu dan adek tunggu disini, suami Ibu akan
kami tangani” ucap seorang dokter kepada kami
“iya dek akan kami usahakan, adek banyak berdo’a agar ayah adek
selamat” jawab dokter tersebut dengan senyuman yang terukir
diwajah nya,
”tentu pak dokter ,terima kasih” jawabku, dan dijawab oleh pak
dokter dengan sebuah angukan ,kemudian ia masuk ke ruangan
tersebut.
Setelah beberapa menit kemudian, seorang dua pemuda
menghampiri kami.
”iya bu, mohon maaf atas kesalahan saya, dan saya akan
bertanggung jawab dengan membiayai perawatan suami anda” ucap
seorang bernama Angga dengan raut wajah yang terlihat bersalah
“tidak apa apa nak, dengan kamu mau bertanggung jawab dan
mengakui kesalahan yang kamu perbuat Ibu sudah lega, mungkin ini
juga sudah jalannya dan ini sebagai pelajaran bagi kamu untuk
kedepannya ya” jawab Ibu namun tak dapat disembunyikan rasa
khawatir terhadap ayah.
“ Ibu dan adik harus kuat, mungkin ini sudah jalannya mohon maaf
saya hanya bisa membantu sampai sini. Suami anda telah pergi ke
tempat yang indah.” ucap dokter setelah keluar dari ruang ICU.
Deg...
Jantungku seketika berhenti. tenggorokanku tercekat. Lututku
lemas. Aku tak percaya apa yang terlontar dari mulut dokter itu.
“ suster cepat bawa Ibu ini ke ruang perawatan.” ucap pak dokter
“ baik dok kami akan membawa Ibu hesty ke ruang perawat.” ucap
perawat
“Tenang aqilla, Ibu kamu cuma syok dan sekarang sudah ditangani
oleh para suster.”
Hari itu aku bingung, entah apa yang harus ku rasakan, kaget,
sedih, dan terpukul. Aku melihat Ayah yang terbaring sudah tak
bernyawa.
“Ayah, tolong bangun demi Aqila dan Ibu. Tolong bangun Ayah” ku
peluk tubuh Ayah yang dingin serta ku tumpahkan rasa tangisku
yang sedari tadi ku tahan.
“Qilla, aku minta maaf sebesar-besarnya atas kejadian ini. Sebab aku
kamu kehilangan Ayahmu. Ini memang salahku, kamu pantas tidak
memaafkan aku Qilla. Tolong hukum aku sesuka kamu tidak apa apa,
karena memang aku ini sama saja dengan seorang pembunuh.
Semua ini karena aku.” Tangis Angga ikut serta saat permohonan
maaf dan pengakuan kesalahan tersebut dilontarkan dari mulutnya.
“Aku tau ini memang murni kecelakaan. Aku percaya ini semua
takdir dan juga sudah jalannya. Aku memaafkan kamu Angga. Ayah
akan marah kalau aku dan Ibu tidak memaafkan kamu. Karena
dengan jalan tersebut ayah mampu berada ditempat yang tenang
disana.” jawabku yang meskipun tentunya aku belum bisa ikhlas
menerima ini.
***
“lama kita tak bertemu Angga. Aku baik, hanya saja aku sekarang
sedang kesulitan mencari pekerjaan. Kamu apa kabar?” tanyaku
balik.
“aku juga baik. Qilla bagaimana kalau kamu bekerja ditempatku. Apa
kamu bisa memasak?” tawar Angga.
“itu salah satu keahlianku” jawabku dengan sedikit ku ajak becanda.
“baik hari ini kamu bisa mulai bekerja” sontak aku kaget dan
bersyukur.
Aku bekerja ditempat Angga dan aku menjadi salah satu juru
masak disana. Aku merasa Angga memang menggunakan cara ini
menebus kesalahannya, bukan karena skill memasakku.
“tapi aku takut Angga, aku punya tabungan. Tapi aku ingin kuliah
dengan uang tabunganku ini.”
“kamu coba dulu buka usaha ini. Nanti urusan kuliah aku akan
bantu.”
***
Kelas : VIII-F