Anda di halaman 1dari 9

Arti Sebuah Kata Ikhlas

Karya : Mulistya Khoirunisa

*pagi hari ditahun 2021

Kring...kring bunyi alarm bergema diseluruh ruang kamar yang


menunjukan pukul 06.00 WIB. Dengan sepercik cahaya sinar
matahari yang menembus gorden kamar, aku bangun dari ranjang
tempat tidur lalu menuju kamar mandi untuk membersikan diri dan
segera pergi ke restoranku dengan memakai baju favorit karena ini
adalah ulang tahunku yang ke 26. Pagi itu kota sangat ramai,
mahlum ini hari Senin. Hiruk pikuk yang tak ku hiraukan tiba-tiba
membuatkku tersentak tanpa sengaja pandanganku melihat sebuah
insiden kecelakaan yang membuka luka lamaku akan sebuah
peristiwa 10 tahun yang lalu.

***

“Ayahhh awass...”teriakku

“Brakkk!” mobil putih telah menghantam tubuh Ayah

Aku berlari dengan sisa tenaga yang aku miliki menuju ayah, hatiku
seperti ditusuk oleh panah saat melihat tubuh Ayah yang
berlumuran darah, sebab benturan keras dari bagian kepalanya.
Kudekap tubuh Ayah dengan air mata yang tak terbendung, dan
dengan rasa khawatir yang menyelimuti di tengah kerumunan. Tak
selang beberapa menit kemudian saat suara ambulan terdengar
ditelinga, mobil ambulan tersebut dengan cepat membawa Ayah
pergi ke rumah sakit, sesampainya di sana tubuh lemas ayah di
angkat oleh beberapa perawat dan dimasukan ke sebuah ruangan.

“Aqilla....” panggil Ibu dengan rasa khawatir yang terlihat di


wajahnya.

“Ibu...”jawabku dengan menangis dan berlari memeluknya.

“sudah, berhenti menangis, Qilla terus berdo’a sama Allah biar Ayah
tidak kenapa - kenapa ya” ucap ibu menenangkanku.

“iya bu, Aqilla akan terus berdo’a untuk ayah”ucapku dengan


tersenyum agar Ibu tidak terlalu khawatir.

“permisi bu.., tolong Ibu dan adek tunggu disini, suami Ibu akan
kami tangani” ucap seorang dokter kepada kami

“baik dok akan kami tunggu disini” jawab Ibu.

”tolong selamatkan ayah saya pak dokter” ucapku memohon.

“iya dek akan kami usahakan, adek banyak berdo’a agar ayah adek
selamat” jawab dokter tersebut dengan senyuman yang terukir
diwajah nya,

”tentu pak dokter ,terima kasih” jawabku, dan dijawab oleh pak
dokter dengan sebuah angukan ,kemudian ia masuk ke ruangan
tersebut.
Setelah beberapa menit kemudian, seorang dua pemuda
menghampiri kami.

“permisi bu.., sebelumnya perkenalkan nama saya Hendra dan ini


anak saya Angga, saya kesini ingin meminta maaf sebesar besarnya
karena keteledoran anak saya yang membuat suami anda masuk
kedalam rumah sakit” ucapnya dengan raut wajah sedih.

”iya bu, mohon maaf atas kesalahan saya, dan saya akan
bertanggung jawab dengan membiayai perawatan suami anda” ucap
seorang bernama Angga dengan raut wajah yang terlihat bersalah

“tidak apa apa nak, dengan kamu mau bertanggung jawab dan
mengakui kesalahan yang kamu perbuat Ibu sudah lega, mungkin ini
juga sudah jalannya dan ini sebagai pelajaran bagi kamu untuk
kedepannya ya” jawab Ibu namun tak dapat disembunyikan rasa
khawatir terhadap ayah.

Selang beberapa menit kemudian dokter keluar dari ruang ICU


dengan wajah yang penuh pertanda buruk akan disampaikan.

“ bagaimana dok?” Tanya Ibu dengan penuh cemas dan berharap


agar ayah baik-baik saja.

“ Ibu dan adik harus kuat, mungkin ini sudah jalannya mohon maaf
saya hanya bisa membantu sampai sini. Suami anda telah pergi ke
tempat yang indah.” ucap dokter setelah keluar dari ruang ICU.

Deg...
Jantungku seketika berhenti. tenggorokanku tercekat. Lututku
lemas. Aku tak percaya apa yang terlontar dari mulut dokter itu.

“Brukkk!” Ibu ambruk ketika mendengar hal tersebut,dan akhirnya


tangisanku pecah.

“ Ibu...Ibu , dok tolong Ibu saya.” teriakku

“ suster cepat bawa Ibu ini ke ruang perawatan.” ucap pak dokter

“ baik dok kami akan membawa Ibu hesty ke ruang perawat.” ucap
perawat

Selang beberapa menit kemudian dokter keluar dari ruangan Ibu.

“ dok kenapa Ibu saya dok?”tanyaku cemas.

“Tenang aqilla, Ibu kamu cuma syok dan sekarang sudah ditangani
oleh para suster.”

Hari itu aku bingung, entah apa yang harus ku rasakan, kaget,
sedih, dan terpukul. Aku melihat Ayah yang terbaring sudah tak
bernyawa.

Tak ku sadari ternyata Angga sudah dibelakangku, ia sangat shock


dengan kenyataan bahwa Ayah meninggal akibat kecelakaan
tersebut.

“Ayah, tolong bangun demi Aqila dan Ibu. Tolong bangun Ayah” ku
peluk tubuh Ayah yang dingin serta ku tumpahkan rasa tangisku
yang sedari tadi ku tahan.

“Qilla, aku minta maaf sebesar-besarnya atas kejadian ini. Sebab aku
kamu kehilangan Ayahmu. Ini memang salahku, kamu pantas tidak
memaafkan aku Qilla. Tolong hukum aku sesuka kamu tidak apa apa,
karena memang aku ini sama saja dengan seorang pembunuh.
Semua ini karena aku.” Tangis Angga ikut serta saat permohonan
maaf dan pengakuan kesalahan tersebut dilontarkan dari mulutnya.

“Aku tau ini memang murni kecelakaan. Aku percaya ini semua
takdir dan juga sudah jalannya. Aku memaafkan kamu Angga. Ayah
akan marah kalau aku dan Ibu tidak memaafkan kamu. Karena
dengan jalan tersebut ayah mampu berada ditempat yang tenang
disana.” jawabku yang meskipun tentunya aku belum bisa ikhlas
menerima ini.

***

Semenjak kepergian Ayah, kehidupan kami berubah. Dulu yang


mana kami hidup cukup sekarang menjadi serba kekurangan. Waktu
mainku sekarang ku gunakan untuk membantu Ibu berjualan kue.
Setiap pagi aku membawa tas yang berisi kue buatan Ibuku untuk
ku jual disekolah. Setelah pulang sekolah pun begitu, aku
menjajakan kue buatan Ibu keliling komplek rumah kami. Rutinitas
tersebut setiap hari ku jalani hingga hampir aku tak punya teman.
Bullyan dan cemo’oh dari teman-teman usiaku yang remaja pun
sudah menjadi makanan rutin bagiku dan hal tersebut tak
mengubah tekadku.
***

Sudah 3 bulan berlalu setelah hari kelulusanku. Aku mencoba


mencari beasiswa untuk masuk ke kampus impianku, tetapi aku
selalu gagal. Namun jika tidak dengan beasiswa, aku tidak akan bisa
kuliah, dikarenakan kondisi perekonomian kami yang kurang. Aku
mencoba mencari kerja serabutan. Mulai dari kerja di salon
kecantikan, di coffeshop, dan toko. Namun hasil dari kerja tersebut
masih tidak cukup untuk membayar kuliahku.

6 bulan berlalu, aku ingin menyerah. Namun aku selalu ingat


cita-cita Ayahku, “Nak, tak peduli seberapa lelah Ayah. Untuk kamu
Ayah rela. Ayah ingin kamu mendapatkan pendidikan yang tinggi dan
kelak jadi apa terserah kamu Ayah dukung karena Ayah percaya
kamu tau yang terbaik untuk kamu sendiri” mengingat hal tersebut
tak terasa aku menetaskan air mata. Tiba-tiba seseorang
menyodorkan sapu tangan, aku mengangkat kepalaku dan mataku
terbelalak saat aku menyadari bahwa itu adalah Angga. Sontak aku
bangun,

“hai Qilla, kenapa kamu menangis?” Tanya Angga.

“lama kita tak bertemu Angga. Aku baik, hanya saja aku sekarang
sedang kesulitan mencari pekerjaan. Kamu apa kabar?” tanyaku
balik.

“aku juga baik. Qilla bagaimana kalau kamu bekerja ditempatku. Apa
kamu bisa memasak?” tawar Angga.
“itu salah satu keahlianku” jawabku dengan sedikit ku ajak becanda.
“baik hari ini kamu bisa mulai bekerja” sontak aku kaget dan
bersyukur.

Pertemuan itu memang sangat mendadak. Aku tidak merasa


kesal atau merasakan kembali luka yang mengingatkanku pada Ayah
ketika bertemu kembali dengan Angga. Karena aku sudah diajari Ibu
bagaimana arti sebuah ikhlas.

Aku bekerja ditempat Angga dan aku menjadi salah satu juru
masak disana. Aku merasa Angga memang menggunakan cara ini
menebus kesalahannya, bukan karena skill memasakku.

Suatu hari aku terpikirkan sesuatu. Aku ingin membuka usaha


sendiri. Melihat Angga yang mantan napi namun sukses memiliki
restoran aku berminat untuk membuka restoran didaerahku yang
belum ada. Tapi, aku tak memiliki rasa percaya diri dan aku tidak tau
menahu soal ilmu bisnis.

“sudalah Qilla, aku akan membantumu. Sudah ku bilang tanganmu


itu ajaib. Lihat, sudah satu tahun sejak kamu bekerja disini
penjualan restoranku meninggkat berkat kepuasan komsumen yang
takjub akan rasa masakanmu. Aku percaya kalau kamu buka
restoran pasti berkembang pesat. Gapapa deh pelangganku pindah
kesitu asal kamu mau coba.” Angga mencoba meyakinkanku dengan
sedikit candaan darinya.

“tapi aku takut Angga, aku punya tabungan. Tapi aku ingin kuliah
dengan uang tabunganku ini.”

“kamu coba dulu buka usaha ini. Nanti urusan kuliah aku akan
bantu.”

Dengan rasa tekad yang aku kumpulkan. Aku akhirnya


membuka restoran yang ku rakit dengan Angga. Hari-hari berlalu
dan pelanggan mulai berdatangan. Akhirnya aku mulai memiliki
rasa percaya diri akan skill memasak yang aku miliki. Hingga
restoranku mendapat omset ratusan juta.

***

Kini aku, yang duduk di sebuah ruangan ber-AC dan memiliki


restoran cabang dimana-mana. Dan untuk aku dan Angga kami
berteman hingga sekarang.

Aku sangat bersyukur. Diusia ibu yang mulai menua sekarang


beliau dapat beristirahat dan tidak bersusah payah lagi bekerja. Aku
merasa 10 tahun ini begitu singkat. Aku seringkali bertanya, “Tuhan,
hamba tahu ini adalah rintangan hidup yang sulit. Tapi mengapa
hamba merasa ringan menjalaninya?”. Setelah melihat ibu, aku, dan
Angga. Aku menemukan sebuah jawaban. Ini adalah kekuatan maaf
dan ikhlas. Bagaimana mungkin setelah 10 tahun aku terpuruk
akhinya bertemu kembali dengan Angga yang sebelumnya karena
dia aku kehingan sosok berarti dalam hidupku kini Angga datang
dan mampu membuatku bangun untuk merubah nasibku, seorang
gadis malang yang berdiri tanpa sosok Ayah.
 Biodata Penulis

Nama : Mulistya Khoirunisa

Tempat, Tanggal Lahir : Jombang, 13 Maret 2008

Kelas : VIII-F

Hobi : Fotografi dan menulis

Anda mungkin juga menyukai