Anda di halaman 1dari 7

Jarak Mendekatkan Aku dengan Ayah

Namaku Athaar. Aku adalah siswa kelas XII atau kelas akhir dari salah satu
Madrasah Aliyah di kotaku. Aku memiliki seorang adik perempuan bernama Athira.
Aku hidup dalam sebuah kelurga yang cukup harmonis namun tidak terlalu harmonis.
Kukatakan tak terlalu harmonis karena aku merasa hubunganku dengan ayah kurang
baik. Kami sangat sering berdebat bahkan hanya untuk hal yang sepele. Dan aku merasa
ayahku hanya menyayangi adikku. Ayah selalu menuruti kemauan adikku tapi selalu
melarang keinginanku. Aku merasa ayah tidak adil.
Ayahku adalah seorang dokter. Dan ibuku adalah ibu rumah tangga. Dari kecil
aku jarang berinteraksi dengan ayah karena ayah sibuk dan tidak punya waktu untukku.
Semenjak adikku lahir barulah ayah mau meluangkan waktunya untuk keluarga.
Mungkin itulah sebab kerenggangan hubunganku dan ayah.
Sebenarnya sebelum aku masuk ke MA, ayah memintaku memilih antara dua
sekolah, yaitu SMA atau pondok pesantren. Tetapi aku tidak mau keduanya. Aku ingin
masuk ke sekolah internasional karena aku ingin melanjutkan pendidikan ke Luar
Negeri, tetapi ayah melarang. Kami berdebat setiap hari selama kurang lebih satu bulan
untuk membahas sekolahku. Hingga akhirnya keputusan diambil, bahwa aku akan
masuk ke sekolah MA. Sekolah yang kuterima dengan berat hati hanya supaya aku
tidak dimasukkan ke pesantren.
Meskipun sekolah di MA kujalani dengan berat hati, tak terasa aku kini sudah
hampir menyelesaikan masa sekolahku. Suatu hari aku pulang sekolah lebih awal
karena adanya himbauan dari pemerintah untuk belajar dari rumah akibat merebaknya
virus corona. Pulang lebih awal membuatku senang karena bisa bersantai di rumah.
Sesampainya di rumah aku langsung masuk ke kamar melepas tas kemudian bersantai di
tempat tidur sambil bermain handphone. Tiba-tiba ayah masuk ke dalam kamarku dan
menyuruh untuk mandi dan mengganti baju.
“Untuk apa sih, Yah? Biasanya juga nggak apa-apa Athaar nyantai dulu baru
mandi,” ujarku kesal.
“Nak, sekarang ini virus mulai menyebar, lebih baik kita mencegah dengan
menjaga keberisihan diri,” jawab ayah.
Dengan malas bercampur kesal aku masuk ke kamar mandi. Ya, daripada
diomeli ayah, lebih baik menurut saja. Selesai mandi, ibu memanggil untuk makan
siang. Sembari makan siang, ayah mulai menasehati kami supaya tidak pergi-pergi ke
luar. Mendengar itu, aku merasa kesal padahal kesalku yang tadi belum hilang.
“Kami pasti bakalan bosen dong, Yah, kalau di rumah terus. Jalan-jalan kenapa,
Yah,” ucapku dengan kesal.
“Athaar, ini demi kebaikan kalian,” jawab ayah.
“Kebaikan apanya?” kataku membantah. Perdebatan hebat di antara kami pun
dimulai. Ibu dan Athira yang melihat kami hanya senyam-senyum karena sudah sangat
sering melihat kami adu pendapat.

***

Hari-hari berlalu dan virus semakin cepat merebak, semakin banyak pula yang
tertular. Indonesia sangat banyak kekurangan dokter dan tenaga kesehatan. Ayah
mencalonkan dirinya untuk menjadi salah satu dokter yang menangani pasien kasus
covid-19 di salah satu rumah sakit di kotaku.
Selama ayah menjadi dokter pasien covid, ayah tidak pernah pulang. Beliau
lebih memilih untuk tinggal di tempat yang telah disediakan oleh pemerintah. Namun,
rasanya aku malah senang karena tidak ada ayah di rumah. Aku akan bebas dari
berbedat dengan ayah. Yes.
Hampir setiap hari ayah menghubungi ibu, aku, dan Athira melalui video call.
Tetapi tidak pernah sekalipun aku ikut dalam video call tersebut. Aku benar-benar ingin
merasakan kebebasan tanpa ayah. Hingga suatu hari ibu memaksaku untuk ikut dalam
video call. Tetapi aku menolak dengan alasan bahwa aku punya banyak tugas.
Aku menggerutu ketika ibu ke luar dari kamarku. “Malas banget rasanya mau
lihat wajah ayah, mendingan aku nyantai di kamar.”
Tidak kusangka, ibu mendengar perkataanku itu dan ibu langsung masuk dengan
wajah yang sedih. “Ibu tidak menyangka ternyata kamu berani berbohong kepada ibu.
Kenapa kamu begitu tidak suka dengan ayahmu?” tanya ibu sambil menahan tangis.
“Maafkan Athaar, Bu,” jawabku yang masih kaget ternyata aku terciduk oleh
ibu.
“Ibu minta sama kamu hari ini kamu harus ikut. Ayahmu sangat rindu padamu,”
pinta ibu.
Aku tak bisa mengelak, “Baik, Bu,” jawabku dengan perasaan bahwa aku tetap
belum percaya bahwa ayah rindu padaku.

***

Panggilan ayah masuk ke laptop kami. Athira dengan semangat mengangkatnya


seakan ia akan mendapatkan sesuatu yang sangat berharga. Tentu saja itu sangat
berharga bagi Athira anak kesayangan ayah. Aku memilih duduk di belakang ibu
sehingga ayah tidak bisa melihatku.
Temu kangen pun dimulai. Mereka bertiga saling bertanya kabar. Tiba-tiba ibu
bergeser dari depanku sehingga tampaklah wajahku di layar laptop yang menandakan
bahwa ayah juga melihatku. Melihat wajahku, mimik wajah ayah seketika berubah,
matanya berbinar-binar seperti akan menangis. Kemudian ibu menyuruhku ke depan
sehingga layar laptop penuh dengan wajahku.
Setelah itu aku dan ayah saling bertatapan jarak jauh. Aku berusaha
memalingkan pandanganku. Tetapi, melihat mata ayah berbinar-binar membuat mataku
terus ingin tertuju pada mata ayah. Tak lama kemudian, bendungan tangis ayah pecah.
Ayah menangis dan berkata, “Apa kabar kamu, Thar?”
“Alhamdulillah, baik, Yah,” jawabku masih tak menyangka dengan apa yang
terjadi.
“Harusnya Ayah yang mengucapkan hamdalah sebanyak-banyaknya karena
akhirnya Ayah bisa melihat wajah kamu. Ayah kangen banget sama kamu,” kata ayah
sambil sesekali menyeka air mata. Ayah berhenti sejenak untuk menghapus air matanya
dan melanjutkan kata-katanya, “Ayah tahu kamu sibuk sebentar lagi juga kamu mau
masuk kuliah kan? Ayah tahu kamu nggak bisa selalu ikut video call. Athaar, pilih saja
kamu mau masuk universitas mana, jurusan apa. Terserah kamu, kamu pilih saja sesuai
bakat dan minat kamu, ya? Ayah yakin kamu sudah bisa menentukan keputusan kamu
sendiri.”
“Iya, Yah,” jawabku singkat dengan masih merasa keheranan yang luar biasa.
Aku merasa ayah sangat berubah. Setelah itu ayah memberitahukan bahwa ia akan
dipindahkan ke rumah sakit di Jakarta besok karena di sana lebih banyak membutuhkan
tenaga medis daripada di kotaku, Pangkalpinang. Dan kami akan berpisah ratusan
kilometer. Mendengar hal itu ibu merasa sedih. Tetapi ayah menguatkan ibu dengan
mengatakan bahwa apa yang dilakukan ayah adalah untuk melindungi kami dan
mencegah virus ini semakin merebak.

***

Keesokkan harinya aku menerima pesan dari ayah.


“Assalamu’alaikum Athaar. Maafin Ayah ya. Ayah baru sadar mungkin
ketidaksukaan kamu kepada Ayah adalah salah Ayah sendiri. Ayah terlalu memaksakan
kemauan Ayah ke kamu tanpa mendengar apa kemauan kamu. Ayah tahu kamu selama
ini nggak mau ikut video call karena kamu nggak mau melihat Ayah kan? Sekali lagi
Ayah minta maaf sama kamu ya, Nak. Selama ini perbuatan Ayah kepadamu seperti itu
karena Ayah ingin memberikan dan mengajarkan yang terbaik untuk kamu. Tetapi
malah menjadi perdebatan dan pemaksaan. Maafkan Ayah karena selama ini perlakuan
Ayah ke kamu membuat kamu tidak suka sama Ayah. Tapi percayalah, Nak, Ayah
cuma ingin yang terbaik buat kamu. Termasuk saat ini Ayah ingin mencontohkan
sesuatu yang baik ke kamu dan adik kamu bahwa jika kita bisa, kita harus berkorban
membantu orang lain. Itu termasuk jihad, Nak. Dan alasan Ayah memasukkan kamu ke
sekolah agama agar kamu bisa lebih paham tentang agama tidak seperti Ayah yang
hanya sedikit sekali pengetahuannya tentang agama. Ayah ingin, menjadi apapun kamu
nanti, agama kamu harus kuat. Dan Ayah sangat ingin jika Ayah meninggal nanti
kamulah yang mengurus dan menjadi imam saat menyalatkan jenazah Ayah. Ayah
harap kamu mau memaafkan Ayah dan memahami Ayah.”
Tanpa terasa air mataku tiba-tiba mengalir begitu saja setelah membaca pesan
Ayah yang panjang itu. Aku pun tergerak untuk membalas pesan Ayah.
“Iya, Yah, Athaar maafin Ayah dan Athaar paham sebenarnya maksud Ayah.
Athaar juga minta maaf ya, selama ini Athaar banyak melawan dan membantah Ayah.”
Sambil gemetaran tanganku menekan tombol kirim. Tak lama setelah pesanku
terkirim, Ayah meneleponku dan kami membicarakan banyak hal. Setelah sekian lama,
aku akhirnya bisa merasakan hubungan yang harmonis dengan ayah. Tidak ada
perdebatan dalam percakapan kami. Aku merasa sangat bahagia.

***

Hubunganku dan ayah semakin harmonis setelah kejadian itu. Kami sering
melakukan video call. Tak ada lagi perdebatan. Yang ada ialah tawa kami berdua. Ibu
sering mengintipku dari luar kamarku ketika aku dan ayah sedang mengobrol jarak jauh.
Ibu mengaku telah mengintip dan merasa sangat senang. Bahkan jika kami melakukan
video call keluarga, akulah yang menyiapkan semuanya dan aku yang paling cepat
bersiap sedia di ruang tamu. Saat-saat melihat ayah adalah saat-saat yang sangat
kutunggu.
Suatu hari ada pemandangan yang terkesan lain dari biasanya. Bisanya ayah
melakukan video call di kamar kostnya. Tetapi berbeda dengan hari itu, ayah terlihat
sedang berbaring di tempat tidur rumah sakit. Aku yakin sekali itu bukan di kamar kost
ayah tetapi itu di kamar rumah sakit. Karena penasaran akupun bertanya pada ayah.
“Ayah lagi di mana kok nampaknya suasananya lain? Ayah sakit ya?”
“Enggak, Insya Allah Ayah baik-baik saja kok. Ayah lagi istirahat di salah satu
kamar rumah sakit,” jawab ayah. Bodohnya aku, pada saat itu aku hanya mengiyakan
jawaban ayah saja. Setelah video call selesai baru aku mulai berpikir apakah seseorang
yang bukan pasien boleh istirahat di kamar rumah sakit. Tetapi aku membuang jauh
pemikiran itu.
Tiga hari setelah itu kami melakukan video call lagi. Setiap kali video call
ayahlah yang selalu menelepon ke kami. Biasanya, ayah menelepon setiap hari. Baru
kali ini ayah menelepon kami setelah tiga hari berlalu. Saat menelepon suasananya
masih sama, ayah berbaring di sebuah tempat tidur rumah sakit tetapi kali ini wajah
ayah terlihat pucat dan lemas.
“Maaf ya Ayah baru nelpon hari ini. Ayah mau ngasih tahu sesuatu. Tapi
sebelum itu Ayah ingin kalian semua kuat agar Ayah juga kuat menghadapinya. Ayah....
Ayah....”
“Ayah kenapa, Yah?” Tanya ibu khawatir.
“Ayah positif covid. Tapi Ayah sudah baikan kok, sudah merasa enakan,” kata
ayah sambil berusaha menguatkan dirinya.
Aku merasa sangat terkejut walaupun ayah mengatakan sudah baikan. Aku
berusaha menahan air mataku agar tidak turun. Kami semua saling menguatkan, kulihat
mata ayah, ibu, dan Athira berkaca-kaca. Tetapi hanya ayah dan Athira yang bisa
menahan air matanya sedangkan ibu tidak sanggup menahan air matanya. Aku dan
Athira memeluk ibu untuk menguatkannya. Kami bertiga harus kuat agar ayah juga
kuat.

***

Kami mengalami masalah finansial sejak ayah sakit. Belakangan ini ibu mulai
berjualan makanan secara online. Ibu sangat kelelahan setiap harinya. Saat aku ingin
membantu, ibu selalu melarang dan memintaku untuk fokus belajar agar bisa masuk
universitas yang jadi incaranku. Aku tidak pernah membayangkan akan berada dalam
situasi sulit seperti ini. Selama ini kami hidup nyaman dan berkecukupan. Tapi kini
keadaan berubah 180 derajat.
Rasa rindu membuatku tergerak untuk menghubungi ayah beberapa waktu
setelah ayah dinyatakan positif. Kukirim pesan kepada ayah. “Ayah kapan pulang, Yah?
Kami semua merindukan Ayah.”
Ayah segera meneleponku setelah membaca pesan itu.
“InsyaAllah secepatnya ayah akan pulang, Nak. Jika memang hasil tesnya
negatif Ayah akan pulang. Dan katanya hasil tesnya keluar tiga hari lagi. Tolong bantu
ibu sebisa kamu.”
“Iya, Yah InsyaAllah. Ayah jangan khawatir ya... Ayah harus cepat sembuh,”
jawabku.
“Iya, Nak. Dan kamu jangan lupa untuk terus giat belajar dan jangan lupa berdoa
ya. Jika Allah ridha apapun yang kamu usahakan InsyaAllah akan menjadi mudah.
Ayah sangat ingin kamu bisa menjadi orang yng tidak hanya sukses di dunia tetapi juga
akhirat. Kamu anak laki-laki kebanggaan Ayah, kamu jagoan ayah,” kata ayah seperti
menahan tangis.
“Iya, Yah. Ayah kenapa? Ayah nangis ya? Apa ada yang sakit, Yah?” tanyaku
mulai khawatir.
“Enggak, Ayah nggak apa-apa. Ayah merasa senang bisa merasakan rasanya
akur sama kamu walaupun hanya beberapa bulan.” Jawab ayah.
“Ayah jangan bilang cuma beberapa bulan, kita akan akur selamanya, Yah,”
ucapku dengan perasaan yang senang.”
Lalu ayah mengiyakan, mengucap salam dan menutup teleponnya. Tidak seperti
biasanya, kali ini aku merasa sangat berat untuk menutup telepon ayah. Aku masih
sangat ingin mendengar suara ayah. Walaupun begitu aku merasa senang karena ayah
bilang ia akan pulang empat hari ke depan. Aku tidak menceritakan hal ini pada ibu
maupun Athira. Aku ingin memberikan kejutan pada mereka. Sudah kurencanakan itu
dengan ayah. Kami merencanakannya setelah selesai telponan dan aku mengirimkan
pesan pada ayah untuk mengejutkan mereka dan ayah setuju.

***

Keesokan harinya Paman Ali menelepon kami. Paman Ali adalah teman ayah
yang sama-sama bekerja di rumah sakit yang sama di Jakarta. Biasanya Paman Ali
menelepon ibu saat ayah sibuk dan tak sempat menelepon kami. Dan ibu biasanya
menguatkan suara teleponnya agar aku dan Athira bisa mendengar juga. Termasuk pada
hari itu. Kami bertiga duduk di ruang tamu dan mendengar Paman Ali berbicara
suaranya bergetar tidak seperti biasanya. Setelah mengucapkan salam ibu bertanya
kabar ayah.
“Ayah kalian udah baikan.” Ujar Paman Ali. “Dia nggak ngerasakan sakit lagi,”
sambungnya dengan suara yang datar. Kami senang mendengar perkataannya.
Aku pun bertanya, “Jadi kapan ayah bisa pulang, Paman?”
Paman Ali menjawab dengan suara yang bergetar, “Ayah kalian sudah pulang.”
“Maksud Paman apa? Kalau Ayah sudah pulang kenapa Ayah belum sampai
rumah,” kata Athira yang mulai khawatir.
“Ayah kalian sudah pulang ke rahmatullah. Dia sekarang sudah berada di sisi
Yang Maha Kuasa,” kata Paman Ali yang membuatku merasa seperti ditimpa langit
yang runtuh. Pandanganku memburam karena air mata. Dan bendungan air mataku
pecah. Tak bisa kutahan lagi air mata itu. Kudengar suara ibu, Athira dan suara Paman
Ali dari seberang sana menangis. Tubuhku rasanya seperti tak bertulang, aku lemas
seketika. Ayah mengatakan akan pulang. Dan ternyata inilah pulang yang ia maksud.
Aku berusaha menguatkan diriku. Kupeluk ibu dengan maksud untuk
memberinya kekuatan tetapi kami bertiga terbelenggu dalam pelukan dan tangisan.
Beberapa menit kemudian aku menelepon balik Paman Ali. Setelah mengucapkan
salam, aku menguatkan diri dan berkata, “Paman, tolong izinkan agar jenazah Ayah
bisa dibawa ke sini. Athaar ingin mengurus jenazah Ayah. Athaar ingin mengimami
shalat jenazah Ayah. Athaar ingin mewujudkan keinginan Ayah. Tolong izinkan,
Paman.” Sambil berkata demikian air mataku tetap mengalir walaupun kutahan.
“Maafkan Paman, Athaar. Kamu nggak bisa melakukan itu karena sesuai aturan
yang berlaku, ayah kamu akan diurus sesuai dengan protokol mengurus jenazah yang
terpapar covid. Maafkan Paman, Athaar. Paman nggak bisa nolong kamu dalam hal ini.
Ini demi kebaikan kamu juga.”
“Tapi Paman, Athaar kami akan tetap mematuhi protokol kesehatan, Paman.
Athaar akan pakai masker, jaga jarak dan semua protokol lainnya. Asalkan Athaar bisa
setidaknya mengimami shalat jenazahnya. Athaar ingin melihat wajah Ayah secara
langsung untuk terakhir kalinya,” kataku tak mau menyerah.
“Tidak bisa Athaar,” jawab Paman Ali.
“Jika tidak boleh mengimami shalat, setidaknya izinkan Athaar melihat wajah
ayah dari jauh secara langsung,” kataku yang sangat ingin melihat wajah ayah. Tetapi
lagi-lagi Paman Ali mengatakan tidak bisa. Dan paman mengatakan ayah akan
dikebumikan siang itu juga.

***

Aku, ibu, dan Athira melaksanakan shalat ghaib di rumah dan aku menjadi
imamnya. Kami bertiga membacakan Surah Yasin dan surah-surah yang lainnya untuk
ayah. Setelah itu kami mendoakan ayah hingga kami bertiga meneteskan air mata.
Walaupun sebenarnya kami sudah berusaha sekuat tenaga agar tidak terlarut dalam
kesedihan tetapi terkadang air mata tidak bisa diajak bekerja sama. Dia ke luar tanpa
aba-aba.
Selama berhari-hari aku tidak melihat handphone-ku termasuk pesan-pesan yang
kuterima. Hingga suatu hari tepat empat hari setelah meninggalnya ayah, aku melihat
handphone-ku karena ingin membaca kembali pesan-pesanku dan ayah. Dan ternyata
ayah ada mengirim sebuah pesan baru yang dikirim ayah pada pagi hari setelah subuh
sekitar empat jam sebelum Paman Ali menelpon.
“Assalamu’alaikum Athaar, jagoan Ayah. Makasih, Nak, beberapa bulan
terakhir ini menjadi hari-hari yang indah bagi Ayah. Ayah sayang sama kamu. Masih
banyak hal yang Ayah ingin lakukan sama kamu. Hal-hal yang sering dilakukan seorang
Ayah bersama putranya. Seperti main bola bersama, pergi memancing, dan masih
banyak lagi. Maaf karena kita nggak pernah melakukan hal itu bersama. Ayah terlalu
sibuk dengan pekerjaan Ayah sehingga Ayah lupa untuk meluangkan waktu bersama
kamu. Sampai saat ini, itu adalah hal yang sangat Ayah sesali dalam hidup Ayah. Ayah
sekarang yakin kamu sudah dewasa dan bisa memilih jalan hidup kamu sendiri. Dan
Ayah rasa tak ada lagi yang perlu kita debatkan. Ayah juga minta maaf sama kamu
karena Ayah rasa sepertinya kita nggak bisa buat kejutan untuk ibu dan Athira. Karena
Ayah yakin Ayah akan pulang tapi Ayah rasa kepulangan Ayah bukanlah ke rumah kita
tapi ke tempat yang lain. Tempat yang semua orang akan pulang ke sana. Sekali lagi
maafin Ayah nggak bisa nepati janji Ayah ke kamu untuk buat kejutan itu. Walaupun
kita nggak bisa bertemu di rumah, InsyaAllah kita akan bertemu di tempat yang akan
Ayah tuju. Ayah minta sama kamu, kamu harus kuat ya. Kamu adalah pengganti Ayah
jika Ayah tidak ada. Jaga ibu dan Athira ya, Nak. Wujudkanlah cita-cita kamu, jadilah
orang yang sukses. Dan maaf Ayah tidak bisa menemani kamu dalam perjalanan kamu
menuju kesuksesan. Jangan bersedih ya. Ayah akan pulang dengan bahagia dan tenang
karena Ayah telah mendapatkan kembali anak laki-laki Ayah. Bangkitlah.... Sampaikan
salam dan sayang Ayah kepada ibu dan Athira. Ayah sayang sama kalian.
Wassalamu’alaikum.”
Itulah isi pesan ayah. Awal membacanya aku tersenyum tapi kemudian senyum
itu juga bisa menurunkan hujan. Air mataku mengalir di pipi tak henti-henti.
Setelah membaca pesan itu, aku berusaha untuk bangkit. Aku berusaha agar
tidak terpuruk akan kesedihan. Aku ingin membahagiakan ayah dan ibu. Aku semakin
giat belajar dan aku meneruskan langkah ayah. Walaupun aku tidak bisa terjun langsung
untuk menangani pasien seperti ayah, tapi aku bisa melakukannya dari rumah dengan
membagikan kisahku dan ayah pada orang lain agar termotivasi untuk mau bersama-
sama melawan corona. Dan mengajak mereka untuk mematuhi protokol kesehatan agar
pandemi ini segera berakhir.

Anda mungkin juga menyukai