Anda di halaman 1dari 3

Rena mempercepat langkahnya meninggalkan kampus.

Rena berjalan menuju tempat parkir


mengambil motornya dan melajukan dengan segera ke arah rumah. Rena merasa telah mengambil
keputusan yang tepat. Kenyataan yang dihadapinya ini sungguh menyakitkan. Orang yang begitu
dicintainya dan disayanginya justru dengan mudahnya menorehkan luka di hatinya. Rena memilih
mengakhiri Ren hubungannya dengan Handi. Hubungan yang tidak sehat baginya sangatlah sulit
untuk dipertahankan.

Rena memilih kehidupan baru tanpa kekasih untuk sementara. La ingin menikmati proses yang
sedang berjalan di dalam kehidupannya. Bagi Rena, rasa sakit dan kepedihan ini membawa banyak
pelajaran berharga. Untungnya, hubungan ini belum melangkah jenjang yang lebih serius. Tidak bisa
dibayangkan jika ketika sudah menikah nanti Handi melakukan hal yang sama ketika tidak puas
terhadap salah satu sifat atau sikap yang ditunjukkan Rena. Dengan mudahnya, Handi akan mencari
pelarian untuk sekadar menyenangkan hatinya.

“Alhamdulillah. Tuhan menunjukkan ini semua sekarang,” ucap Rena lirih.

Ya, begitulah hidup. Terkadang, hal yang menyakitkan sekalipun harus kita syukuri. Kita harus mampu
berdamai dengan kenyataan yang tidak sesuai keinginan. Pikiran dan sikap positif yang kita
tumbuhkan akan mengantarkan kita pada banyak kebaikan.

3. Pilihan Hidupku

Dinda duduk menghadap laptop di kamar kosnya. La menatap pengumuman di layar laptop dengan
sangat serius. La mencari namanya dari sekian nama yang terpampang sebagai calon mahasiswa
yang diterima di Jurusan Psikologi Universitas Mahakarya. Namun, sudah berulang kali ia membaca,
tetap tidak ditemukannya nama Adinda Azkadina. Seketika, tubuh Dinda lemas tak berdaya, la duduk
terpaku di depan laptop. Perasaannya sungguh berkecamuk. Harapannya untuk diterima di Jurusan
Psikologi Universitas Mahakarya terkubur sudah. Impiannya selama ini untuk menjadi mahasiswa
Jurusan Psikologi di Universitas Mahakarya tidak terwujud.

Dinda menghela napas panjang seolah beban berat baru saja mendarat di punggungnya. Dinda
dikenal sebagai siswa berprestasi di sekolahnya. Saat kelulusan pun, ia mendapatkan rangking 10
besar paralel. Namun, nasib berkata lain, Dinda harus menghadapi situasi yang mengecewakan
seperti ini. La tidak lolos masuk ke Universitas yang diharapkannya. Hasil nilai tes ujian masuk belum
mampu mengantarkannya menjadi mahasiswa Jurusan Psikologi seperti keinginannya. Perlahan, air
mata membasahi pipi Dinda, la tidak kuasa membendung air matanya. Beberapa menit Dinda
terdiam hanya menatap kosong layar laptop di depannya. La belum tahu apa yang harus dilakukan
selanjutnya.
Dengan berat hati, Dinda menutup laptopnya. Kemudian, ia berbaring di atas ranjangnya. Beberapa
kali panggilan telepon berdering, tetapi dibiarkannya begitu saja. Mama, Papa, dan Kak Nesya yang
mencoba menghubungi Dinda tidak digubrisnya.

“Ah, pasti mereka ingin menanyakan pengumuman ini,” ucap Dinda lirih.

Perasaan sedih, kecewa, dan marah bercampur aduk di dadanya. Hal ini sungguh menyakitkan. Dinda
juga membayangkan akan diserbu beribu pertanyaan oleh teman- temannya. Dinda tidak tahu harus
bagaimana saat ini. La mencoba meraba-raba, apakah faktor keberuntungan juga turut melingkupi?
Dinda memejamkan matanya. Bayangan tentang kegagalan yang baru saja diterimanya menyisakan
kepedihan yang mendalam. La harus menghadapi kenyataan pahit ini. Ini bukanlah hal sepele
baginya. Mama, Papa, dan Kak Nesya pasti turut kecewa. Telepon berdering kembali, kali ini
panggilan dari Nana. Dinda memutuskan untuk mengangkat telepon tersebut. Nana adalah sahabat
baiknya. Dinda merasa bisa jadi dengan bercerita pada Nana akan mengurangi bebannya.

“Hai, Na. Ada apa? Tanya Dinda membuka percakapan.

“Lagi apa, Din? Sudah buka pengumuman dari Universitas Mahakarya, kah?”

“Ya, sudah. Hasilnya mengecewakan.”

“Maksudmu?” tanya Nana heran.

Enggak lolos, Na.”

“Yakin, Din? Mungkin kamu salah baca,” selidik Nana.

“Sungguh. Aku beneran enggak lolos.”

“Oh, Oke. Tenang. Enggak masalah, kan?!”

“Masalah berat, Na,” jawab Dinda di luar dugaan Nana.


“Ayolah. Slow, Din. Aku tahu ini memang berat. Seberapa inginnya kamu masuk Jurusan Psikologi
Universitas Mahakarya, aku sangat tahu. Tapi, kamu tidak boleh terpuruk, Din.”

“Enggak bisa, Na. Aku beneran sedih dan kecewa ini. Aku harus bagaimana? Cita-cita terbesarku bisa
masuk ke Jurusan Psikologi Universitas Mahakarya gagal total,” cerita Dinda dengan nada suara
bergetar.

“Ya... ya... ya. Aku paham, Din. Tapi, hidup harus terus berjalan. Kamu tidak boleh putus asa. Kamu
bisa pilih Universitas Swasta dengan jurusan yang sama, atau kamu bisa memutuskan untuk
mencoba masuk Jurusan Psikologi Universitas Mahakarya tahun depan.” Nana mencoba
mengutarakan gagasannya.

“Apa yang kamu sarankan belum pernah tebersit di benakku sekalipun. Aku tidak menyangka
kegagalan akan menghampiriku seperti ini. Ini pilihan yang sulit, Na.”

“Ortu dan kakakmu sudah tahu tentang hal ini?” tanya Nana selanjutnya.

“Belum. Mereka memang telepon tadi. Aku yakin untuk menanyakan hasil pengumuman ini. Tapi,
aku

Anda mungkin juga menyukai