Prinsip Baru
Pak Julfikar sangat menyayangi putri semata wayangnya. Tak ada yang lebih penting
kecintaannya. Tubuh yang sudah tidak muda lagi. Kulit yang semakin menua, membuatnya
Beberapa menit setelah menemani pak Zulfikar menikmati kopi buatannya, Dinda
bersiap-siap berangkat ke mesjid. Hari ini hari kamis, hari dimana diadakan Tabligh Akbar di
mesjid Nurul Askar, mesjid yang biasa mengadakan kajian rutin bertempat tidak jauh dari
kediaman Dinda. Kegiatan yang diadakan tiap satu tahun sekali ini lumayan besar.
Menghadirkan beberapa ustad dari luar kota dengan penceramah yang luar biasa.
Berhubung hari ini Dinda tidak ada jadwal kuliah, ia bisa menghadiri kegiatan itu tanpa
memikirkan hal lain. Dinda berharap semoga dengan mengikuti kegiatan ini bisa membantu
Dinda berjalan menuju kearah mesjid. Jalan setapak itu bisa dilalui oleh sepeda motor
bahkan mobil sekalipun namun banyak warga memilih berjalan kaki menuju mesjid. Pagi itu
anginnya terasa hingga menerpa gamis hijau pupus yang Dinda kenakan dan hijab putih nya.
Dinda selalu terlihat anggun dengan selera style nya. selalu memperhatikan penampilannnya
agar selalu terlihat sopan jadi jangan heran jika banyak lelaki yang mengaguminya.
“Makin lama makin cantik aja anak gadisnya buk hafsah” ucap seorang ibu kepada
“Bener buk, ayu tenan, sholehah, adem hati ini melihatanya” jawab salah seorang ibu.
“Andai aku punya anak lelaki seumur dia pasti sudah ku pinang” lanjut ibu lainnya.
“Harusnya sih sudah menikah tapi keliatannya dia masa bodoh gitu soal pernikahan”
“Tapi dengar-dengar orangtuanya meminta Dinda untuk segera menikah namun mirisnya, si
anak malah membantahnya” segerombolan ibu-ibu itu melirik dan membicarakan Dinda
Dinda yang mendengar obrolan itu ia lalu menambah kecepatan langkahnya dan bergegas
masuk ke dalam mesjid dan memilih tempat duduk paling depan. Dekat dengan pembatas
Sementara itu. Warga setempat masih berdatangan. Mengambil posisi duduk dengan rapi.
Ada yang membawa anak. Bahkan menghadiri kegiatan itu beserta dengan suaminya.
Beberapa menit kemudian kegiatan itu pun dibuka. Salah seorang lelaki membuka
kegiatan itu, Dinda hanya mendengar suaranya. Begitupun dengan perempuan lainnya di
dalam mesjid itu. Namun suara bising anak yang menangis menjadi pelengkap suasana saat
itu.
Setelah kegiatan dibuka mulailah penceramah itu memulai ceramahnya. Gadis berjilbab
putih itu mendengarkan dengan seksama. Tak ingin ketinggalan satu kalimatpun yang keluar
Yang membuat Dinda semakin bersemangat adalah ketika ia mendengar topik ceramah
yang akan di sampaikan yaitu mengenai “Keutamaan Berbakti Kepada Kedua Orangtua”.
“Sebagai insan ciptaan-Nya, kita senantiasa wajib untuk tetap menghormati kedua orangtua,
sepatutnya seorang anak untuk selalu berbakti kepada mereka. Bapak dan ibu yang selalu
menjaga dan merawat hingga anaknya tumbuh menjadi seperti sekarang pun wajib dihargai
dengan wujud rasa hormat. Kita tidak akan ada di dunia ini tanpa mereka. Salah satu
riwayat hadis Ibnu Majah menuturkan bahwa dari Abu Ad Darda dia mendengar Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang tua ibarat penengah pintu-pintu surga, oleh
karena itu (jika kamu mau) hilangkanlah ia atau jagalah ia baik-baik." Maka, berbakti
Wajah mulusnya memerah, matanya berbinar-binar. Ia mengingat wajah keriput ayah dan
ibunya. Membayangkan harapan besar mereka terhadap anak gadisnya itu. Memutar kembali
memori masa kecilnya dan segala hal yang membuat mereka tertawa bahagia bersama.
“Dalam hal berbakti, salah satu kisah menerangkan perihal kedudukan diantara bapak dan
ibu. Salah satu sahabat bertanya,"Wahai Rasulullah, siapakah orang yang hendaknya aku
sahabat kembali mengajukan pertanyanya lagi, "Kemudian siapa?". Lalu dijawab, "Ibumu,".
"Kemudian siapa?" tanya sahabat berulang. Dijawablah oleh Rasul, "Ibumu,". Sahabat
lalu yang terdekat setelahnya," (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi dan ia menilainya hasan)”.
Lanjut penceramah itu. Kali ini air matanya tak mampu dibendung. Begitu besar
Mata Dinda sembab. Ia menumpahkan rasa sedihnya yang amat mendalam. Rasa bersalah
menghantuinya. Waktu berjalan begitu cepat. Kegiatan itu selesai setelah seorang ustad
Satu-persatu warga beranjak pergi. Tersisa Dinda yang masih duduk termenung. Dinda
bangkit dari duduknya. Ia mengusap kedua bola mata yang masih terasa perih karena terlalu
lama menangis. Di teras mesjid ia melihat ustad Ahmad yang sedang menyapu. Terbesit
dalam benaknya untuk menanyakan sesuatu. Masih ada sesuatu yang ingin ia luruskan.
“Ada dua hal yang saat ini membuat saya dilemma ustad”
“Apa itu nak Dinda?” ustad melihat mata Dinda yang berkaca, Nampak jelas jika ia hendak
terpuruk.
“Gini ustad, saat ini saya masih kuliah, tapi kedua orangtua meminta saya untuk segera
menikah, bertolak belakang dengan prinsip saya yang hanya akan menikah jika telah
memiliki gelar sarjana. Lantas mana yang harus saya utamakan ustad ?”
“Nak… perlu kau ketahui bahwa menikah adalah ibadah terlama dan tak ada yang lebih
mulia di dunia ini selain berbakti kepada kedua orangtua bahkan dunia dan seisinya. Itu
artinya impianmu, karir mu atau apapun yang hendak kau impikan itu tidaklah penting selain
“Ingat nak, ridho Allah adalah ridho kedua orangtua semua yang kamu lakukan jika
orangtuamu tidak meridhoi nya maka sia-sia meskipun itu kau niatkan untuk mereka”. Dinda
“Jika hatimu masih ragu, libatkan Allah selalu. Agar ketika pilihanmu salah maka Allah lah
yang akan menuntunmu saat kau kehilangan arah” pesan ustad Ahmad.
“Baik ustad.. terimakasih atas nasehatnya” lagi dan lagi embun menetes di pipi cubby nya.
“Sama-sama nak semoga pilihanmu tidak salah ya nak” lanjut ustad.
Seperti terlahir kembali. Nasehat ustad Ahmad sangat menyentuh hatinya, membuatnya
mengubah prinsipnya. Benar apa yang dikatakan ustad Ahmad tak ada yang lebih penting
selain kebahagiaan ayah dan ibu. Membuat mereka bahagia juga bagian dari impiannya. Jika
menikah dapat membuat mereka bahagia maka Dinda akan melakukan itu.
***