Anda di halaman 1dari 5

1.

Prinsip Baru

Pak Julfikar sangat menyayangi putri semata wayangnya. Tak ada yang lebih penting

dalam hidupnya melainkan kebahagiaan Dinda. Menikahkan Dinda adalah bentuk

kecintaannya. Tubuh yang sudah tidak muda lagi. Kulit yang semakin menua, membuatnya

khawatir akan hidup yang tidak lama lagi.

Beberapa menit setelah menemani pak Zulfikar menikmati kopi buatannya, Dinda

bersiap-siap berangkat ke mesjid. Hari ini hari kamis, hari dimana diadakan Tabligh Akbar di

mesjid Nurul Askar, mesjid yang biasa mengadakan kajian rutin bertempat tidak jauh dari

kediaman Dinda. Kegiatan yang diadakan tiap satu tahun sekali ini lumayan besar.

Menghadirkan beberapa ustad dari luar kota dengan penceramah yang luar biasa.

Berhubung hari ini Dinda tidak ada jadwal kuliah, ia bisa menghadiri kegiatan itu tanpa

memikirkan hal lain. Dinda berharap semoga dengan mengikuti kegiatan ini bisa membantu

menghilangkan pikirannya tentang sesuatu yang terjadi semalam.

Dinda berjalan menuju kearah mesjid. Jalan setapak itu bisa dilalui oleh sepeda motor

bahkan mobil sekalipun namun banyak warga memilih berjalan kaki menuju mesjid. Pagi itu

anginnya terasa hingga menerpa gamis hijau pupus yang Dinda kenakan dan hijab putih nya.

Dinda selalu terlihat anggun dengan selera style nya. selalu memperhatikan penampilannnya

agar selalu terlihat sopan jadi jangan heran jika banyak lelaki yang mengaguminya.

“Makin lama makin cantik aja anak gadisnya buk hafsah” ucap seorang ibu kepada

temannya, mereka berjalan tepat di belakang Dinda.

“Bener buk, ayu tenan, sholehah, adem hati ini melihatanya” jawab salah seorang ibu.

“Mandiri juga loh buk” sahut yang lainnya.

“Andai aku punya anak lelaki seumur dia pasti sudah ku pinang” lanjut ibu lainnya.
“Harusnya sih sudah menikah tapi keliatannya dia masa bodoh gitu soal pernikahan”

“Tapi dengar-dengar orangtuanya meminta Dinda untuk segera menikah namun mirisnya, si

anak malah membantahnya” segerombolan ibu-ibu itu melirik dan membicarakan Dinda

yang berjalan didepan mereka.

Dinda yang mendengar obrolan itu ia lalu menambah kecepatan langkahnya dan bergegas

masuk ke dalam mesjid dan memilih tempat duduk paling depan. Dekat dengan pembatas

antara lelaki dan perempuan.

Sementara itu. Warga setempat masih berdatangan. Mengambil posisi duduk dengan rapi.

Ada yang membawa anak. Bahkan menghadiri kegiatan itu beserta dengan suaminya.

Beberapa menit kemudian kegiatan itu pun dibuka. Salah seorang lelaki membuka

kegiatan itu, Dinda hanya mendengar suaranya. Begitupun dengan perempuan lainnya di

dalam mesjid itu. Namun suara bising anak yang menangis menjadi pelengkap suasana saat

itu.

Setelah kegiatan dibuka mulailah penceramah itu memulai ceramahnya. Gadis berjilbab

putih itu mendengarkan dengan seksama. Tak ingin ketinggalan satu kalimatpun yang keluar

dari mulut penceramah itu Dinda pun mematikan ponselnya.

Yang membuat Dinda semakin bersemangat adalah ketika ia mendengar topik ceramah

yang akan di sampaikan yaitu mengenai “Keutamaan Berbakti Kepada Kedua Orangtua”.

Dinda menunduk. Memejamkan mata bulatnya itu.

“Sebagai insan ciptaan-Nya, kita senantiasa wajib untuk tetap menghormati kedua orangtua,

sepatutnya seorang anak untuk selalu berbakti kepada mereka. Bapak dan ibu yang selalu

menjaga dan merawat hingga anaknya tumbuh menjadi seperti sekarang pun wajib dihargai

dengan wujud rasa hormat. Kita tidak akan ada di dunia ini tanpa mereka. Salah satu
riwayat hadis Ibnu Majah menuturkan bahwa dari Abu Ad Darda dia mendengar Nabi

shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang tua ibarat penengah pintu-pintu surga, oleh

karena itu (jika kamu mau) hilangkanlah ia atau jagalah ia baik-baik." Maka, berbakti

kepada kedua orang tuamu”. Ungkap penceramah itu.

Wajah mulusnya memerah, matanya berbinar-binar. Ia mengingat wajah keriput ayah dan

ibunya. Membayangkan harapan besar mereka terhadap anak gadisnya itu. Memutar kembali

memori masa kecilnya dan segala hal yang membuat mereka tertawa bahagia bersama.

Muncul rasa benci pada dirinya sendiri yang mementingkan keegoisan.

“Dalam hal berbakti, salah satu kisah menerangkan perihal kedudukan diantara bapak dan

ibu. Salah satu sahabat bertanya,"Wahai Rasulullah, siapakah orang yang hendaknya aku

(dahulukan untuk) berbakti kepadanya?". Dijawab oleh Nabi,"Ibumu,". Kemudian sang

sahabat kembali mengajukan pertanyanya lagi, "Kemudian siapa?". Lalu dijawab, "Ibumu,".

"Kemudian siapa?" tanya sahabat berulang. Dijawablah oleh Rasul, "Ibumu,". Sahabat

bertanya lagi,"Kemudian siapa?" Dan Nabi menjawab,"Ayahmu, kemudian kerabat terdekat,

lalu yang terdekat setelahnya," (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi dan ia menilainya hasan)”.

Lanjut penceramah itu. Kali ini air matanya tak mampu dibendung. Begitu besar

kedudukan kedua orangtua. ia seperti tersadarkan dalam sebuah keegoisan.

Mata Dinda sembab. Ia menumpahkan rasa sedihnya yang amat mendalam. Rasa bersalah

menghantuinya. Waktu berjalan begitu cepat. Kegiatan itu selesai setelah seorang ustad

melantunkan salah satu ayat suci Al-Qur’an.

Satu-persatu warga beranjak pergi. Tersisa Dinda yang masih duduk termenung. Dinda

bangkit dari duduknya. Ia mengusap kedua bola mata yang masih terasa perih karena terlalu
lama menangis. Di teras mesjid ia melihat ustad Ahmad yang sedang menyapu. Terbesit

dalam benaknya untuk menanyakan sesuatu. Masih ada sesuatu yang ingin ia luruskan.

“Permisi pak ustad”

“Eh.. nak Dinda”

“Boleh Dinda minta waktunya sebentar ustad?”

“Oh… boleh boleh”

“Ada dua hal yang saat ini membuat saya dilemma ustad”

“Apa itu nak Dinda?” ustad melihat mata Dinda yang berkaca, Nampak jelas jika ia hendak

terpuruk.

“Gini ustad, saat ini saya masih kuliah, tapi kedua orangtua meminta saya untuk segera

menikah, bertolak belakang dengan prinsip saya yang hanya akan menikah jika telah

memiliki gelar sarjana. Lantas mana yang harus saya utamakan ustad ?”

“Subhanallah..” ustad Ahmad menggelengkan kepalanya.

“Nak… perlu kau ketahui bahwa menikah adalah ibadah terlama dan tak ada yang lebih

mulia di dunia ini selain berbakti kepada kedua orangtua bahkan dunia dan seisinya. Itu

artinya impianmu, karir mu atau apapun yang hendak kau impikan itu tidaklah penting selain

dari perintah orangtuamu” jelas ustad Ahmad.

“Ingat nak, ridho Allah adalah ridho kedua orangtua semua yang kamu lakukan jika

orangtuamu tidak meridhoi nya maka sia-sia meskipun itu kau niatkan untuk mereka”. Dinda

hanya terdiam mendengar nasehat ustad Ahmad.

“Jika hatimu masih ragu, libatkan Allah selalu. Agar ketika pilihanmu salah maka Allah lah

yang akan menuntunmu saat kau kehilangan arah” pesan ustad Ahmad.

“Baik ustad.. terimakasih atas nasehatnya” lagi dan lagi embun menetes di pipi cubby nya.
“Sama-sama nak semoga pilihanmu tidak salah ya nak” lanjut ustad.

Seperti terlahir kembali. Nasehat ustad Ahmad sangat menyentuh hatinya, membuatnya

mengubah prinsipnya. Benar apa yang dikatakan ustad Ahmad tak ada yang lebih penting

selain kebahagiaan ayah dan ibu. Membuat mereka bahagia juga bagian dari impiannya. Jika

menikah dapat membuat mereka bahagia maka Dinda akan melakukan itu.

***

Anda mungkin juga menyukai