Anda di halaman 1dari 4

Pagi itu semua terasa biasa saja, tak ada yang istimewa.

Embun pagi masih menyelimuti


kaki gunung di daerah rembang, kicau burung terdengar bersautan, kebun teh yang terhampar
luas menjadi penyejuk tersendiri, sepanjang mata memandang hanya ada hamparan kebun nan
hijau. Pagi itu semua orang tengah disibukkan olah rutinitasnya, pemuda – pemudi, tua, dan
muda telah siap dengan keranjang dipundaknya masing masing, dinginnya udara pagi itu seakan
tak menyurutkan niat untuk tetap berangkat mencari sedikit rezeki demi hidup sehari-hari.
Sebagian lainnya bersiap pergi menuju pesisir pantai, ladang-ladang garam terbentang luas,
garam memang sudah menjadi nyawa bagi tempat ini, warganya hampir seluruhnya
menggantungkan hidupnya pada garam, garam sudah seperti nyawa bagi seluruh kehidupan di
tempat ini, desir ombak seakan menyapa pagi dan membawa secerca semangat untuk terus
mencucurkan keringat demi sesuap nasi untuk kehidupan anak istri. Disinilah cerita seorang
yang akan mengubah dunia dimulai.
Ditempat ini hidup sepasang suami istri bernama Karsid Kartawiraji dan Siyem.
Kehidupan mereka sangat sederhana, seperti kebanyakan orang pada jaman itu, mereka
mengandalkan kehidupan sehari-hari dari hasil kerjanya yang tak seberapa. Namun jika
dibandingkan dengan lainnya, mereka termasuk miskin di kalangan masyarakat rembang pada
masa itu, jangankan memimpikan memiliki pendidikan yang tinggi, sebuah gubuk untuk bernaung
saja tak mereka miliki, mereka menghabiskan setiap malam mereka dengan menumpang pada
rumah saudari siyem yang bernama tarsem. Kakak dari Siyem ini memang

Tarsem sendiri adalah istri dari seorang camat bernama Raden Cokrosunaryo. Bisa dibilang
kehidupan keduanya sangat bertolak belakang dengan kehidupan siyem dan karsid. Namun tuhan
tetaplah maha adil, tuhan memberikan kebahagiaan lain untuk mereka berdua. Karsid dan siyem
dikaruniai seorang anak lelaki yang sehat, dan tampan. Mereka sangat menyayangi anak semata
wayangnya nya ini, namun nasib berkata lain.
Karena kondisi keuangan yang pas pasan, keduanya harus berpikir ulang bagaimana cara untuk
membesarkan buah hatinya tersebut. Ahirnya karena sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi maka
keduanya pun memutuskan untuk membiarkan raden cokrosuwiryo mengadopsi anak semata
wayangnya itu.
Dalam asuhan Cokroaminoto sudirman tumbuh dengan cerita cerita kepahlawanan, juga diajarkan
tata krama priyayi, dan kesederhanaan. Kendatipun seorang camat, raden cokrosuwiryo bukanlah
seorang yang silau akan harta, kesederhanaan nya membuat beliau dicintai oleh rakyat nya. Kerja
keras yang dilakukannya semata mata hanya untuk kesetiaan kepada bangsanya.
Cokrosuwiryo juga merupakan seorang pemimpin yang demokratis, beliau selalu mendengarkan
suara anggota anggota nya, sikapnya yang ramah juga semakin menambah wibawanya dimata
rakyat rakyatnya. Selama masa kependudukan belanda, cokrosuwiryo juga merupakan seorang
yang dipertimbangkan oleh Belanda, hasil kerjanya yang selalu maksimal dan memuaskan menjadi
alasannya.
Dalam kesehariannya, sudirman tak pernah lepas dari kisah kisah tentang nasionalisme yang
mengajarkan tentang kesetiaan terhadap negrinya. Suatu sore Sudirman dan ayahnya sedang
duduk santai diteras rumahnya, kala itu sang surya mulai menghilangkan sinarnya dari cakrawala,
hanya ubi dan secangkir teh yang menemani percapakan mereka di sore yang tenang itu.
"Dirman" panggil ayahnya sambil menepuk pundak Sudirman. "Nggih bapak, ada apa?" Jawab
Sudirman dengan sopan seraya menunduk dan duduk mendekat kepada ayahnya. Sejak kecil
keluarga Cokrosunaryo memang mengajarkan adat dan sopan santun pada setiap anggota
keluarganya.
"Mari kesini, duduk disamping bapak" pinta ayahnya. Sudirman semakin mendekat dan duduk
bersama bersebelahan dengan ayahnya diatas tikar didepan rumahnya.
"Engkau kini sudah beranjak dewasa Dirman. Semakin bertambahnya usia, semakin besar pula
tanggung jawab yang akan engkau emban" berbicara dengan lembut kepada Sudirman. Sudirman
yang kala itu baru menginjak usia 12 tahun hanya duduk dengan tenang dan mendengarkan saja
apa yang dikatakan ayahnya. "Bapak dengar kamu disekolah sedang ada masalah"

Sudirman hanya terdiam sesaat. Kemudian ayahnya kembali merangkul pundak Sudirman
"Tidak apa apa nak, bapak tau mungkin sulit untuk kamu menjalani semua ini, tapi nau bagaimana
lagi Dirman. Bapak ini hanya seorang wakil wedana, berbeda dengan teman teman kamu yang
adalah anak dari pejabat pejabat bagi pemerintah Belanda itu."
Sudirman tetap saja tak ingin menanggapi perkataan ayahnya. Baginya hinaan yang dilontarkan
padanya itu merupakan suatu pukulan keras. Teman teman sekolah nya sering sekali
memanggilnya "veil inlander" yang artinya pribumi yang menjijikkan. Hal ini membuat Sudirman
merasa sedih dan kesal. Ungkapan itu sama rendahnya dengan budak, seakan bangsa Indonesia
ini tak pantas sekali dipandang. Mungkin negri ini hanya negri yang berisi sekumpulan orang tak
beguna, lemah, yang patutnya dimanfaatkan. Itulah hal yang terbersit dalam benak Sudirman.

"Bapak, saya tau keluarga kita ini hanyalah rakyat biasa, hiduppun sederhana. Tapi mendengar
hinaan seperti itu, bagaimanapun saya tetap tidak bisa terima" ucapnya dengan penuh rasa kesal
"sudahlah Dirman, mungkin ini memang berat, tapi memang inilah kita, kita tak bisa berbuat
banyak"
ayahnya hanya bisa membalas perkataan sudirman dengan seadanya. Jauh dalam hati
Cokrosunaryo, sebenarnya dia benar benar paham apa yang dirasakan anaknya itu.
"Bapak tidak lama lagi akan segera berhenti menjadi wakil wedana, artinya kita akan segera
pindah dan meninggalkan rumah ini. Bapak juga masih belum tau kemana kita akan menuju dan
bagaimana kita akan hidup."
Saat itu memang menjelang purna tugas Cokrosunaryo sebagai karyawan pemerintahan Hindia
Belanda. Sudirman yang kala itu bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) juga
otomatis harus pindah dan keluar dari sekolah itu. HIS memang merupakan sekolah besutan
pemerintahan Hindia Belanda yang ditujukan untuk anak anak keturunan Belanda dan anak
pekerja pribumi yang bekerja bagi pemerintah Hindia Belanda pada kala itu.
Singkat cerita keluarga Cokrosunaryo pindah dari Rembang menuju Cilacap. Disana keluarga
mereka tinggal disebuah rumah kecil dan sederhana. Gaji Cokrosunaryo tak seberapa untuk
membeli rumah besar yang sama dengan yang ia tempati selama berada di Rembang. Dia
memang tak sempat mengumpulkan banyak harta selama menjabat. Ahirnya selama di Cilacap,
Cokrosunaryo bekerja sebagai penyalur mesin jahit. Hanya itu yang dapat dilakukannya untuk
menghidupi keluarganya.
Sudirman juga melanjutkan pendidikan ke sekolah taman siswa yang didirikan oleh Ki Hajar
Dewantoro. Sebuah sekolah kecil dan sederhana yang dibangun dengan seadanya, hanya impian
untuk mencerdaskan anak bangsa yang membuat sekolah ini tetap berdiri tegak meskipun
beberapa kali sempat akan dirobohkan oleh pemerintah Hindia Belanda karena tidak memiliki
izin dari pemerintah.
Tak lama Sudirman bersekolah disana, hanya selang setahun kemudian taman siswa benar benar
dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Setidaknya masih ada sedikit ilmu yang dia
dapatkan dari guru - gurunya. Nasionalisme yang selalu ditanamkan oleh para pengajar taman
siswa membuat Sudirman tumbuh menjadi anak yang kritis, sedikit banyak pandangannya telah
berubah terhadap kondisi negaranya. Setelah taman siswa dibubarkan, Sudirman pindah ke
sekolah Wirotomo yang juga masih berada di daerah Cilacap.
Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo adalah nasionalis Indonesia, yang turut
mempengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda. Soedirman belajar dengan tekun di
sekolah. gurunya Suwarjo Tirtosupono menyatakan bahwa Soedirman sudah mempelajari
pelajaran tingkat dua di saat kelas masih mempelajari pelajaran tingkat satu.
lemah dalam pelajaran kaligrafi Jawa, Soedirman sangat pintar dalam pelajaran matematika,
ilmu alam, dan menulis, baik bahasa Belanda maupun Indonesia. Soedirman juga menjadi
semakin taat agama di bawah bimbingan gurunya, Raden Muhammad Kholil. Teman-teman
sekelasnya memanggilnya "haji" karena ketaatannya dalam beribadah, dan Soedirman juga
memberikan ceramah agama kepada siswa lain. Selain belajar dan beribadah, Soedirman juga
berpartisipasi dalam kelompok musik sekolah dan bergabung dengan tim sepak bola sebagai bek.
Kematian Cokrosunaryo pada tahun 1934 menyebabkan keluarganya jatuh miskin, namun ia
tetap diizinkan untuk melanjutkan sekolahnya tanpa membayar sampai ia lulus pada akhir tahun.
Setelah kepergian ayah tirinya, Soedirman mencurahkan lebih banyak waktunya untuk
mempelajari Sunnah dan doa. Pada usia 19 tahun, Soedirman menjadi guru praktik di Wirotomo.

Saat bersekolah di Wirotomo, Soedirman adalah anggota Perkumpulan Siswa Wirotomo, klub
drama, dan kelompok musik. Ia membantu mendirikan cabang Hizboel Wathan, sebuah
organisasi Kepanduan Putra milik Muhammadiyah.
Sudirman menjadi pemimpin Hizboel Wathan cabang Cilacap setelah lulus dari Wirotomo
,tugasnya adalah menentukan dan merencanakan kegiatan kelompoknya. Soedirman menekankan
perlunya pendidikan agama, bersikeras bahwa kontingen dari Cilacap harus menghadiri
konferensi Muhammadiyah di seluruh Jawa. Ia mengajari para anggota muda Hizboel Wathan
tentang sejarah Islam dan pentingnya moralitas, sedangkan pada anggota yang lebih tua ia
berlakukan disiplin militer.
Setelah lulus dari Wirotomo, Soedirman belajar selama satu tahun di Kweekschool (sekolah
guru) yang dikelola oleh Muhammadiyah di Surakarta, tetapi berhenti karena kekurangan biaya.
Pada 1936, ia kembali ke Cilacap untuk mengajar di sebuah sekolah dasar Muhammadiyah,
setelah dilatih oleh guru-gurunya di Wirotomo.
Pada tahun yang sama, Soedirman menikahi Alfiah, mantan teman sekolahnya dan putri seorang
pengusaha batik kaya bernama Raden Sastroatmojo. Setelah menikah, Soedirman tinggal di
rumah mertuanya di Cilacap agar ia bisa menabung untuk membangun rumah sendiri. Pasangan
ini kemudian dikaruniai tiga orang putra; Ahmad Tidarwono, Muhammad Teguh Bambang
Tjahjadi, dan Taufik Effendi, serta empat orang putri; Didi Praptiastuti, Didi Sutjiati, Didi
Pudjiati, dan Titi Wahjuti Satyaningrum.

Sebagai guru, Soedirman mengajarkan murid-muridnya pelajaran moral dengan menggunakan


contoh dari kehidupan para rasul dan kisah wayang tradisional. Salah seorang muridnya
menyatakan bahwa Soedirman adalah guru yang adil dan sabar yang akan mencampurkan humor
dan nasionalisme dalam pelajarannya; hal ini membuatnya populer di kalangan muridnya.
Meskipun bergaji kecil, Soedirman tetap mengajar dengan giat. Akibatnya, dalam beberapa
tahun Soedirman diangkat menjadi kepala sekolah meskipun tidak memiliki ijazah guru. Sebagai
hasilnya, gaji bulanannya meningkat empat kali lipat dari tiga gulden menjadi dua belas setengah
gulden.
Sebagai kepala sekolah, Soedirman mengerjakan berbagai tugas-tugas administrasi, termasuk
mencari jalan tengah di antara guru yang berseteru. Seorang rekan kerjanya mengisahkan bahwa
Soedirman adalah seorang pemimpin yang moderat dan demokratis. Ia juga aktif dalam kegiatan
penggalangan dana, baik untuk kepentingan pembangunan sekolah ataupun untuk pembangunan
lainnya.

Selama waktu-waktu ini, Soedirman juga terus bergiat sebagai anggota Kelompok Pemuda
Muhammadiyah. Dalam kelompok ini, ia dikenal sebagai negosiator dan mediator yang lugas,
berupaya untuk memecahkan masalah antar para anggota, ia juga berdakwah di masjid setempat.
Soedirman terpilih sebagai Ketua Kelompok Pemuda Muhammadiyah Kecamatan Banyumas
pada akhir 1937.
Selama menjabat, ia memfasilitasi seluruh kegiatan dan pendidikan para anggota, baik dalam
bidang agama ataupun sekuler. Ia kemudian mengikuti seluruh kegiatan Kelompok Pemuda di
Jawa Tengah dan menghabiskan sebagian besar waktu luangnya dengan melakukan perjalanan
dan berdakwah, dengan penekanan pada kesadaran diri. Alfiah juga aktif dalam kegiatan
kelompok putri Muhammadiyah Nasyiatul Aisyiyah.

Anda mungkin juga menyukai