Anda di halaman 1dari 10

Man Jadda Wajada

Andi adalah putra sulung dari sepasang kekasih yang memiliki nasib tidak
begitu baik, sebab ibunya telah terlebih dahulu menginggalkan keluarganya setelah
berjuang melawan penyakit keras selama berbulan-bulan.
Sebelum menjadi bujang sukses, Andi memiliki masa lalu yang terbilang
sangat berwarna. Senang, sedih, pilu, hingga sebuah keajaiban yang mampu
merubah hidupnya –dari gelap menjadi terang– sudah ia rasakan.
Usia Andi saat itu masih lima belas tahun, usia yang tidak tepat untuk
ditinggalkan oleh seorang ibu, terlebih Zahra, adik Andi yang baru berusia lima
tahun, karena Zahra masih sangat membutuhkan kecupan juga senandungan ibu
sebagai pengantar tidurnya.
Sejak ibu Andi tiada ayahnya harus membagi waktu, mencari nafkah dan
mengurusi Andi serta adiknya. Ayah Andi adalah seorang nelayan dan menjadikan
laut sebagai sumber rezeki utama keluarga mereka. Bukan tidak ingin mencari
pekerjaan lain, hanya saja ayahnya sudah merasa nyaman menjadi pengarung
lautan, lagi pula mereka orang pesisir.
Menjelang magrib ayah Andi baru kembali dari laut, membawa jala dan hasil
yang diperolehnya. Andi menggendong Zahra yang sepertinya sudah tak kuasa
menahan kantuk menghampiri ayahnya kemudian mencium tangannya yang masih
anyir.
“Temani adekmu tidur, bang.” Seru ayah Andi sambil membenahi jala
miliknya.
“Iya, yah.” Sahut Andi pelan.
“Kau juga segera istirahat, bang. Besok pagi ayah akan mengantarmu ke
sekolah.” Lanjut ayahnya.
Keesokannya.
Hari itu adalah hari yang penting bagi Andi: hari pertama ia kembali masuk
sekolah setelah terhenti selama tiga tahun karena terkendala ekonomi. Harusnya
ayah Andi pergi melaut, tetapi beliau memilih untuk mengantar putra sulungnya,
padahal jaraknya tidak begitu jauh dari rumah mereka. Dengan potongan seperti
pohon cemara angin dan setelan sederhana, ayah Andi menuntunya berjalan kaki
dengan hati-hati.
Sesampai disekolah, Andi melihat sudah banyak orang tua membersamai
anak-anak mereka. Ayah Andi menyemangati dan memberikan wejangan
kepadanya sebagai bekal untuk tiga tahun kedepan. Dugaan Andi, isi dari wejangan
yang diterima semua anak hampir sama, begitupun yang Andi terima dari ayahnya.
“Belajar yang rajin ya, bang. Jangan bandel. harus nurut sama guru.” Ayah
Andi mengepal sepasang pundaknya dengan tatapan penuh harap. Andi hanya
menganggukkan kepala. Antara senang, gugup dan takut, bagaimana jika nanti ia
dijahati teman sekelasnya.
Para orang tua serta anaknya diminta untuk memasuki kelas. Andi duduk
dibangku panjang berdampingan dengan ayahnya pada baris terdepan. Andi
memutar-mutar tangkai daun singkong yang sudah ia cabik setiap helaiannya di jari
telunjuknya. Sambil menunggu kehadiran kepala sekolah, ayah Andi terus
memeluk pundaknya dan menyambut orang tua lain yang baru datang dengan
senyuman.
Meski pagi itu ayah Andi terlihat begitu ramah, Andi merasakan kecemasan
beliau melalui lengan besarnya yang melingkari pundak Andi mengalirkan degup
jantung yang begitu cepat. Andi mengerti bahwa tidak mudah bagi ayahnya
menyerahkan Andi ke sekolah. Mungkin saat itu ayahnya berpikir dan
membayangkan lebih baik menyerahkan Andi ke pasar ikan untuk berjualan atau
menjadi pesuruh sehingga mampu membantu ekonomi keluarganya, sedangkan jika
Andi sekolah, beban ayahnya justru bertambah karena harus memikirkan biaya
sekolah Andi.
“Kasihan ayah, mungkin sebaiknya aku pulang saja melupakan keinginan
untuk sekolah dan membantu ayah mencari nafkah...” Ungkap batin Andi yang juga
ikut merasakan kecemasan ayahnya.
Tak lama datang lelaki tua berwajah sopan dengan perawakan sederhana
mengenakan baju batik dan celana bahan. Andi sangat yakin bahwa lelaki tua itu
adalah kepala sekolah yang mereka tunggu-tunggu. Ia tidak sendiri tetapi ditemani
oleh seorang wanita yang lebih muda darinya dengan hijab panjang menutupi
setengah tubuh.
“Sudah hadir semua, bu? kita mulai saja ya”. Terdengar bapak tua itu
berbicara dengan nada pelan kepada wanita yang mendampinginya sambil berjalan
menuju kursi guru kemudian mulai memberikan sambutan.
“Bapak dan ibu tenang saja, Madrasah Miftahul Ulum tidak menetapkan iuran
dalam bentuk apapun. Bapak dan ibu boleh menyumbang secara sukarela sesuai
kemampuan bapak dan ibu.” Ucap pak H. Rahmat Hasan, bapak tua yang Andi
maksud. Ya, beliau adalah kepala sekolah.
Seketika degup jatung ayah Andi menjadi stabil ketika pak H. Rahmat Hasan,
mengungkapkan hal tersebut, juga terdengar ayahnya menghembuskan nafas lega
seolah disertai Alhamdulillah. Andi yakin ayahnya sudah lebih tenang dan memang
mengucapkan kalimat tersebut dalam kalbunya. Benar saja, ayah Andi menatapnya
dan tersenyum lebar. Kali ini ayah Andi mengusap pundaknya lebih kencang. Ia
ikut lega.
Madrasah Miftahul Ulum adalah salah satu dari ribuan sekolah miskin di
seantero negeri ini yang terbangun sangat sederhana –dengan susunan papan dan
kasau tua yang cukup mengkhawatirkan. Jika tersenggol oleh kambing yang
senewen ingin kawin, sepertinya bisa roboh seketika. Kemungkinan ada tiga alasan
mengapa para orang tua mendaftarkan anaknya di Madrasah Miftahul Ulum.
Pertama, karena disana tidak menetapkan iuran pokok. Kedua, karena khawatir
anak-anak mereka mudah di sesatkan oleh iblis sehingga harus mendapatkan
pendadaran Islam yang kuat sejak usia muda. Ketiga, karena anak-anak mereka
memang tidak diterima oleh sekolah mana pun.
Selama turun temurun keluarga Andi belum mampu terangkat dari endemik
kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi nelayan, namun tahun ini ayahnya
menginginkan adanya perubahan dengan memutuskan untuk kembali
menyekolahkan Andi agar ia bisa memutus rantai kemiskinan keluarganya.
Kelas pertama Andi sudah dimulai, sebagian orang tua menunggu anaknya di
depan kelas, dan sebagian lainnya pulang lebih dulu untuk melanjutkan pekerjaan
mereka, termasuk ayah Andi.
Bu Fatimah, wanita dengan hijab panjang bersama bapak kepala sekolah
ternyata adalah wali kelas Andi. Beliau mulai mengatur tempat duduk para murid,
dan meminta mereka untuk memperkenalkan diri serta menyebutkan cita-cita
mereka.
“Perkenalkan, namaku Muhammad Afandi dari pesisir. Cita-citaku menjadi
astronaut agar bisa ke luar angkasa dan menginjakkan kaki di matahari.” Ucap Andi
dengan percaya diri.
Suasana kelas menjadi pecah. Bu Fatimah dan teman sekelas Andi tertawa
kekeh.
“Tidak bisa, nak, kau akan terbakar.” Ungkap Bu Fatimah
“Tidak bu, saya akan ke matahari pada malam hari.” Jawab Andi.
Jawaban Andi membuat seisi kalas terheran-heran, begitu pun Bu Fatimah
yang hanya tersenyum menyikapinya.
Karena sekolah Andi “madrasah”, mayoritas subjeknya adalah seputar bahasa
Arab dan Dirasat Islamiyah, yang dipahami para orang tua mampu menyelamatkan
anak-anak mereka dari bisikan iblis.
Sehari, dua hari berlalu.
Ayah Andi sempat mengira Andi akan takluk pada minggu-minggu awal
sekolah karena beliau tahu betul bahwa Andi bukan anak yang pandai bergaul
dengan orang baru yang ia pikir akan mengejek dan menjahatinya, namun dugaan
itu terbukti keliru. Hari demi hari semangat belajar Andi bukan semakin memudar
tetapi semakin membara, sebab ia sudah bisa mencintai sekolah serta teman-
temannya yang ternyata mengasyikkan.
Bu Fatimah mengajari anak-anak Mahfudzot. Jenis mata pelajaran yang asing
ditelinga mereka. Isinya kata-kata bijak para cendekiawan masa lampau dari
beberapa negara berbahasa Arab. Cukup menarik.
“Man jadda wajada...” Lantun bu Fatimah dengan lantang sambil menunjuk
tulisan kapur berbahasa arab dipapan tulis menggunakan penggaris kayu dan diikuti
oleh anak-anak.
“Man jadda wajada...”
“Sekali lagi.” Minta Bu Fatimah.
“Man jadda wajada...” Balas anak-anak dengan suara yang lebih keras.
Bu Fatimah tidak lupa menuliskan terjemahan kalimat terebut sebelum salah
satu dari mereka menagihnya.
“Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka dapatlah ia.” Lantun Bu
Fatimah kembali.
“Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka dapatlah ia.” Anak-anak
mengikuti.
Singkat, namun maknanya begitu besar.
Bu Fatimah menorehkan benang merah kebenaran hidup yang sederhana.
Ringan namun bertenaga umpama jatuhnya butiran air hujan. Beliau membuat
anak-anak tercengang dengan petuah-petuahnya ihwal keberanian pantang
menyerah melawan segala kesulitan, pentingnya keteguhan dalam pendirian, dan
keinginan kuat untuk menggapai asa.
Kebahagian tertampak pada wajah Bu Fatimah saat mengajari anak-anak.
Menatap mereka penuh arti dengan pandangan yang teduh, seolah mereka adalah
anak-anak Melayu yang amat berharga. Bagi Andi Bu Fatimah merupakan tipikal
“guru” yang sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India, yaitu orang yang
tidak sebatas menyampaikan pengetahuan, tetapi juga menjadi sahabat serta
pembiming spiritual bagi muridnya. Seketika Andi merasa beruntung didaftarkan
oleh ayahnya di sekolah miskin Miftahul Ulum.
Secara diam-diam ayah Andi membelikannya sepeda ontel bekas bermerk
Betavus, made in Dutch dari To Ugi di daerah mereka. Berbeda dengan Rally
Robinson buatan Inggris, Betavus terdesain sedikit lebih gagah dengan batang besi
yang tersambung antara setang dan sadel, ukurannya lebih panjang, dan
keriningannya lebih maskulin. Beruntung To Ugi mau menjualnya dengan harga
yang sangat murah. Andi senang juga heran, padahal lebih baik uang yang ayahnya
miliki digunakan untuk memperbaiki kebocoran atap rumah mereka yang terbuat
dari tumpukan daun sagu, atau lubang pada dinding rumah yang besarnya cukup
untuk keluar masuk anak kambing berusia tiga bulan. Tetapi Andi bersyukur,
artinya ada sedikit peningkatan pada ekonomi keluarganya.
“Mulai sekarang kalau kau ingin pergi ke sekolah atau main dengan teman-
temanmu pakai sepeda ini ya, bang. Sudah hampir rongsok, tapi masih bisa
digunakan.” Dengan semangat ayah Andi menunjukkan ontel tua yang dibeli
untuknya.
Andi yang juga ikut memandangi sepeda barunya, tersenyum kemudian
memeluk erat ayahnya.
“Terimakasih banyak, yah.” Ucapnya
Ayah Andi membalas pelukannya dan mengusap pelan punggung serta kepala
Andi.
Hari minggu Andi libur sekolah. Ayahnya juga tidak melaut karena ombak
sedang besar. Andi mengajak ayahnya berkeliling menggunakan Betavus
gagahnya, sekalian menengok makam ibunya yang tidak jauh dari sekolah Andi.
Pagi yang indah, flamboyan yang memsona, dan hembusan angin pantai yang
kian menabrak sopan wajah Andi. Ia dibonceng ayahnya melintasi dermaga yang
ramai dengan pohon mangrove dan perahu para nelayan yang sedang berlabuh.
Andi diam terpukau.
“Olle ollang paraona alla jere
Olle ollang ala jere ka Madure
Ngapote wak lajereh etangale
Reng majeng tantona lah pade mole
...”
Lamunan Andi pecah setelah mendengar ayahnya menyanyikan lagu R.
Amiruddin. Lagu legendaris Pulau Madura yang memiliki makna tentang
perjuangan besar seorang nelayan yang ingin menghidupi keluarga mereka
dirumah. Ayah Andi berhasil menyanyikan lagu itu dengan syahdu meski beberapa
kali melompati oktaf agak drastis tetapi tetap terdengar merdu dan tidak
mengkhianati keindahan sebuah lagu. Andi mulai mengikuti sejauh yang ia hafal.
Setiba di makam ibunya, Andi duduk bersimpuh bersebelahan dengan
ayahnya. Andi singkirkan dedaunan kering, dan ia cabuti ilalang yang merusak
keindahan rumah hakikat ibunya. Ayah Andi menghela nafas berat.
“Ibu.. Ibu apa kabar? Andi kangen bu.” Sebisa mungkin Andi mencegah air
matanya yang memaksa jatuh. Ayah Andi memeluk bahunya, mencoba membuat
Andi tetap tenang.
“Ibu baik-baik disana ya, bu.” Andi mengakhiri kunjungannya dengan
mendoakan ibunya.
Matahari mulai tergelincir. Andi serta ayahnya bergegas pulang. Zahra juga
sepertinya sudah bosan bermain dan menunggu mereka. Di perjalanan Andi teringat
apa yang sudah ia pelajari di sekolah. Lidah Andi gatal ingin memberitahu ayahnya.
“Yah, kata Bu Fatimah, kita harus bersungguh-sungguh jika sedang berusaha,
agar kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan. Man.. jadda.. wajada. Yap man
jadda wajada.” Andi berusaha mengingat kembali kalimat itu.
Ayah Andi yang hanya berlatar belakang pendidikan SD sepertinya baru
mendengar kalimat itu seumur hidupnya.
“Benar apa yang gurumu sampaikan itu, kau harus bersungguh-sungguh,
harus berjuang dan jangan bermalas-malasan jika cita-citamu ingin tercapai. Seperti
ayahmu ini yang sudah berhasil setelah berjuang mendapatkan cinta ibumu dulu.”
Sahut ayah Andi bangga.
Andi tersenyum jijik mendengar bentuk perjuangan yang dicontohkan
ayahnya meskipun itu benar. Andi yang sejak awal dengan awam merasa bersalah
telah mengajak bapak tua berusia 64 tahun mendiskusikan pepatah arab ternyata
keliru. Ayah Andi sudah lebih dulu melewati banyak perjuangan sebagaimana isi
dari lagu Tanduk Majeng yang telah dinyanyikannya.
Tanpa disadari petuah Bu Fatimah diam-diam menyelinap jauh ke dalam
kalbu Andi dan menjadi ilham baginya hingga ia tumbuh dewasa. Terutama pepatah
arab man jadda wajada.
***
Dalam sebuah bangunan berarsitektur scandinavian, di ruangan persegi empat
yang ingar bingar, Andi terpojok. Ia dipercaya untuk mewakili Madrasah Miftahul
Ulum mengikuti lomba kecerdasan tingkat kabupaten. Kini ia berada dalam situasi
yang mempertaruhkan reputasi. Pasalnya, yang menjadi lawan Andi adalah anak-
anak dari sekolah negeri yang membawa buku tebal berkilat dengan sampul warna-
warni. Entah buku elit apa yang mereka baca. Setahu Andi lomba kecerdasan
biasanya diikuti oleh tiga orang peserta dari setiap kontingen, tetapi kini ia hanya
seorang diri. Memang dikelas Andi dianggap sebagai murid paling jenius oleh Bu
Fatimah dan teman-temannya.
Sebenarnya yang menjadi persoalan klasik hanya kepercayaan diri. Inilah
masalah utama jika berasal dari lingkungan marginal dan mencoba bersaing. Andi
telah dipersiapkan dengan baik oleh Bu Fatimah. Dua minggu sebelum lomba ini
dilaksanakan pun ia sudah mempersiapkan diri dengan mengkaji semua jenis
pelajaran yang akan dijadikan bahan perlombaan sebab Man jadda wajada telah
melekat di jiwanya.
“Andi! Andi! Andi!” Sorak teman-teman Andi menggema.
“Semangat, Andi, tabahkan hatimu, kamu pasti bisa.” Bu Fatimah juga ikut
bersorak penuh harap.
Semua orang dari sekolah Andi memberikan semangat untuknya. Mereka
percaya kepada Andi.
Perlombaan dimulai. Suasana ruangan semakin riuh.
Seorang wanita anggun berpakaian dinas pendidikan berdiri meminta
penonton agar tenang karena beliau akan mengajukan pertanyaan.
“Pertanyaan pertama..” Ucap wanita dinas itu. Suasana mencekam...
Seluruh peserta memasang telinga baik-baik, siap menyambar tombol bel.
“Termometer digunakan untuk mengukur suhu tubuh, lalu alat ukur tegangan
listrik diseb...”
Teeetttttt!
Wanita dinas tersentak kaget karena pertanyaannya langsung dipotong secara
tiba-tiba oleh suara bel meraung tak sabar. Tangan Andi menyambar tombol di
hadapannya secepat kilat.
“Madrasah Miftahul Ulum!.” Kata seorang pria anggota dewan juri lainnya,
mempersilahkan Andi untuk menjawab.
“Voltmeter.” Jawab Andi membana, tanpa ada keraguan sedikit pun.
Juri peninjau menggangguk kepada wanita dinas, membenarkan jawaban
Andi.
“Seratus untuk Madrasah Miftahul Ulum!” Kata wanita dinas disambut tepuk
tangan dan sorak gemuruh penonton. Terlihat bendera dengan tulisan Madrasah
Miftahul Ulum berkibar. Wanita dinas lanjut membacakan soal.
“Pertanyaan kedua: Apa alasan Jepang datang dan mulai menjajah Indo...?”
Teeetttttt!
Andi kembali mengamuk dan menjawab lantang.
“Sebab terjadinya krisis ekonomi pada berbagai negara di tahun 1939.”
“Seratus untuk Madrasah Miftahul Ulum!”
Pasukan Miftahul Ulum semakin meledak. Andi semakin tak terbendung.
Perlombaan menjadi monoton karena berikutnya hanyalah kejadian yang sama
persis dengan pertanyaan sebelum-sebelumnya. Wanita dinas tidak pernah
menyelesaikan pertanyaannya. Andi selalu menyambar tidak memberikan
kesempatan kepada peserta lain. Jawaban Andi juga selalu tepat, hanya beberapa
kali kalah cepat. Ratusan penonton dibuatnya kagum, terutama Bu Fatimah yang
merinding menyaksikan kecerdasan anak seorang nelayan miskin dari pesisir.
Sementara itu peserta lain terlihat geram karena tidak diberikan kesempatan untuk
menjawab soal.
Belasan soal sudah dilontarkan. Poin Andi terpepet sengit oleh sekolah negeri
lain saat soal-soal bahasa Inggris menghujani. Itulah satu-satunya kelemahan Andi,
ia tidak begitu pandai bahasa Inggris. Kini poin Andi imbang dengan SMP Negeri
2 Sarongi.
“Pertanyaan terakhir.” Ucap wanita dinas.
Andi merasa terancam di ujung tanduk. Supporter setia Andi terdiam panik.
Bu Fatimah berkeringat, mengepal kedua telapak tangan dan menempelkannya ke
hidung. Sementara ayah Andi tertunduk dipojokan mendoakan anak jeniusnya.
“Dalam proses penaklukan Spanyol terdapat tiga pahlawan Islam yang
terbilang paling berjasa memimpin satuan-satuan pasukan Islam, mereka adalah?”
Ruangan mendadak sunyi. Andi memejamkan mata, muncul kerutan di
dahinya. Ia berpikir keras berusaha mengingat kembali hasil bacaannya. Tiba-tiba...
Teeeeettttttttttttt!
Andi menekan kuat-kuat tombol bel, namun ia tidak langsung menjawab
karena agak tidak yakin dengan jawaban yang ia peroleh setelah bersikeras
menunggu wahyu.
“Mereka adalah Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad dan.. Musa ibn Nushair.”
Jawab Andi ragu.
Wanita dinas menatap juri peninjau menunggu hasil jawaban. Kurang dari
lima detik juri peninjau menutup buku dan menganggukkan kepala pelan dan
tersenyum membenarkan jawaban Andi.
“Seratus untuk Madrasah Miftahul Ulum...!”
Sekali lagi pasukan Miftahul Ulum bergemuruh jumpalitan seperti orang-
orang kesurupan. Bu Fatimah menangis takjub.
“Subhanallah, hebat kau, nak.” Ungkap Bu Fatimah pelan.
Sementara ayah Andi dari kejauhan menyodorkan kedua ibu jarinya kepada
Andi dan tersenyum lebar.
Andi berhasil mengharumkan Madrasah Miftahul Ulum. Siapa sangka murid
dari sekolah miskin dengan bangunan cacat bisa mengalahkan murid-murid dari
berbagai sekolah elit dan memenangkan lomba kecerdasan di tingkat kabupaten.
“Andi! Andi! Andi!” Sorakan riuh supporter Andi semakin menggema,
mengalahkan suara pasukan perang bangsa Romawi. Mereka bergegas
mengerumuni dan mengangkat Andi.
“Yeaaaaa” Teriak Andi sambil melangitkan tinggi-tinggi piala dua kaki di
genggamannya. Kemudian Andi mengepal jari tangan kanannya kuat-kuat, dan
bersaksi pada dunia.
“Man jadda wajada...”
“Man jadda wajada...” Pasukan Miftahul Ulum mengikuti.
“Man jadda wajada...”
“Man jadda wajada...”

Catatan
To Ugi : Orang bugis
Bang : Sapaan untuk kakak/anak laki-laki

Anda mungkin juga menyukai