Anda di halaman 1dari 3

Pagi itu, waktu aku masih kecil, aku berusia empat puluh tujuh tahun, seorang

duduk di bangku panjang di depan sebuah buruh tambang yang beranak banyak dan
kelas. Sebatang pohon tua yang rindang bergaji kecil, untuk menyerahkan anak laki-
meneduhiku. Ayahku duduk di samping ku, lakinya ke sekolah. Lebih mudah
memeluk pundakku dengan kedua lengan nya menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk
dan tersenyum mengangguk-angguk pada jadi tukang parut atau pada juragan pantai
setiap orang tuanya dan anak-anaknya yang untuk menjadi kuli kopra agar dapat
duduk berderet-deret di bangku panjang di membantu ekonomi keluarga.
depan kami. Hari itu adalah hari yang agak Menyekolahkan anak berarti mengikatkan
penting: hari pertama masuk SD. Di ujung pada biaya selama belasan tahun dan hal itu
bangku panjang tadi adasebuah pintu bukan perkara gampang bagi kami.
terbuka. Kosen pintu itu miring karena seluruh
“kasihan ayahku...”
bangunan sekolah sudah doyong seolah akan
roboh. Di mulut pintu berdiri dua orang guru Maka aku tak sampai hati
seperti para penyambut tamu di perhelatan. memandang wajahnya.
Mereka adalah seorang bapak tua berwajah
sabar, Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, sang “barangkali sebaiknya aku pulang saja,
kepala sekolah dan seorang wanita muda melupakan keinginan sekolah, dan mengikuti
berjilbab, Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu jejak beberapa abang dan sepupu-sepupuku,
Mus. Seperti ayahku, mereka berdua juga menjadi kuli...”
tersenyum. Tapi agaknya bukan hany ayahku yang
Namun, senyum Bu Mus adalah gentar. Setiap wajah orang tua di depanku
senyum getir yang dipaksakan karena tampak mengesankan bahwa mereka tidak sedang
jelas beliau sedang cemas. Wajahnya tegang duduk di bangku panjang itu, karena pikiran
dan gerak-geriknya gelisah. Ia berulang kali mereka, seperti pikiran ayahku, melayang-
menghitun jumlah anak-anak yang duduk di layang ke pasar pagi atau ke keramba di
bangku panjang. Ia demikian khawatir tepian laut membayangkan anak laki-lakinya
sehingga tak perduli pada peluh yang lebih baik menjadi pesuruhdi sana. Para orang
mengalir masuk ke pelupuk matanya. Titik- tua ini sama sekali tak yakin bahwa
titik keringat yang berimbulan di seputar pendidikan anaknya yang hanya mampu
hidungnya menghapus bedak tepung beras mereka biayai paling tinggi sampai SMP akan
yang dikenakannya, membuat wajahnya dapat mempecerah masa depan keluarga.
coreng moreng seperti pameran emban bagi Pagi ini mereka terpaksa berada di sekolah ini
permaisuri dalam Dul Muluk, sandiwara kuno untuk menghindarkan diri dari celaan aparat
kampung kami. desa karenda tak menyekolahkan anak atau
sebagai orang yang terjebak tuntutan zaman
“sembilan orang ... baru sembilan baru, tuntuttan memerdekakan anak dari buta
orang Pamanda Guru, masih kurang satu...,” huruf.
katanya gusar pada bapak kepala sekolah. Pak
Harfan menatapnya kosong. Aku mengenal para orang tua dan
anak-anaknya yang duduk di depanku. Kecuali
Aku juga merasa cemas. Aku cemas seorang anak lelaki kecil kotor berambut
karena melihat Bu Mus yang resah dan karena keriting merah yang meronta-ronta dari
beban perasaan ayahku menjalar ke sekujur pegangan ayahnya. Ayahnya itu tak beralas
tubuhku. Meskipun beliau begitu ramah pagi kaki dan bercelana kain belacu. Aku tak
tadi ini tapi lengan kasar yang melingkari mengenai anak beranak itu.
leherku mengalir degup jantung yang cepat.
Aku tahu beliau sedang ggugup dan aku Selebihnya adalah teman baikku.
maklum bahwa tak mudah bagi seorang pria Trapani misalnya, yang duduk did sampaing
ayahnya, atau Syahdan yang tak diantar siapa-
siapa. Kami bertetangga dan kami adalah beliau hanya memerlukan satu siswa lagi
orang-orang Melatu belitong dari sebuah untuk memenuhi target itu menyebabkan
komunitas yang palin miskin di pulau itu. pidato ini akan menjadi sesuatu yang
Adapun sekolah ini, SD Muhammadiyah, juga menyakitkan hati.
sekolah kampung paling miskin di Belitong.
“Kita tunggu sampai pukul sebelas,”
Ada tiga alasan mengapa para orang tua
kata Pak Harfan pada Bu Mus dan seluruh
mendaftarkan anaknya di sini. Pertama,
orang tua yang telah pasrah. Suasana hening.
karena sekolah Muhammadiyah tidak
menetapkan iuran dalam bentuk apapun, para Para orang tua mungkin menganggap
orang tua hanya menyumbang sukarela kekurangan satu murid sebagai pertanda bagi
semampu mereka. Kedua, karena firasat, anak-ankanya bahwa mereka memang
anak-anak mereka dianggap memiliki karakter sebaiknya didaftarkan pada para juragan saja.
yang mudah disesatkan iblis sehingga sejak Sedangkan aku dan agaknya juga anak-anak
usia muda harus mendapatkan pendadaran yang lain merasa amat pedih: pedih pada
islam yang tangguh. Ketiga, karena anaknya orang tua kami yang tak mampu, pedih
tidak di terima di sekolah mana pun. menyaksikan detik-detik terakhir sebuah
sekolah tua yang tutup justru pada hari
Bu Mus yang semakin khawatir
pertama kami ingin sekolah, dan pedih pada
memancang pandangannya ke jalan raya di
niat kuat kami untuk belajar tapi tinggal
seberang lapangan sekolah berharap kalau-
selangkah lagi harus terhenti kanya karena
kalau masih ada pendaftar baru. Kami
kekurangan satu murid. Kami menunduk
perihatin melihat harapan hampa itu. Maka
dalam-dalam.
tidak seperti suasana di SD lain yang penuh
kegembiraan ketika menerima murid Saat itu sudah pukul sebelas kurang
angkatan baru, suasana hari pertama di SD limda dan Bu Mus semakin gundah. Lima
Muhammadiyah penuh dengan kerisauan, tahun pengabdiannya di sekolah melarat yang
dan yang paling risau adalah Bu Mus dan Pak amat ia cintai dan tiga puluh dua tahun
Harfan. pengabdian tanpa pamrih pada Pak Harfan,
pamannay, akan berakhir di pagi yang sendu
Guru-guru yang sederhana ini berada
ini.
dalam situasi genting karena Pengawas
Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah “Baru sembilan orang Pamanda
memperingatkan bahwa jika SD Guru...,” ucap BU Mus bergetar sekali lagi. Ia
Muhammdiyah hanya mendapat murid baru sudah tak bisa berpikir jernih. Ia berulang kali
kurang dari sepuluh orang maka sekolah mengucapkan hal yang sama yang telah
paling tua di Belitong ini harus ditutup. Karena diketahui semua orang. Suaranya berat
itu sekarang Bu Mus dan Pak Harfan cemas selayaknya orang tertekan batinnya.
sebab sekolah mereka akan tamat riwayatnya,
sedangkan para orang tua cemas karena Akhirnya, waktu habis karena telah
biaya, dan kami, sembilan anak-anak keci ini pukul sebelas lewat lima dan jumlah murid tak
yang terperangkap di tengah cemas kalau- juga genap sepuluh. Semangat besarku untuk
kalau kami tak jadi sekolah. sekolah perlahan-lahan runtuh. Aku
melepaskan lengan ayahku dari pundakku.
Tahun lalu sd Muhammadiyah hanya Sahara menangis terisak-isak mendekap
mendapatkan sebelas siswa dan tahun ini Pak ibunya karena ia benar-benar ingin sekolah di
Harfan pesimis dapat memenuhi target SD Muhammadiyah. Ia memakai sepatu, kaos
sepuluh. Maka diam-diam beliau telah kaki, jilbab, dan baju, serta telah punya buku-
mempersiapkan sebuah pidato pembubaran buku, botol air minum, dan tas punggung yang
sekolah di depan para orang tua dan murid semuanya baru.
pada kesempatan pagi ini. Kenyataan bahwa
Pak Harfan menghampiri orang tua “Genap sepuluh orang...,” katanya.
murid dan menyalami mereka satu persatu.
Harun telah menyelamatkan kami dan
Sebuah pemandangan yang pilu. Para orang
kami pun bersorak. Sahara berdiri tegak
tua menepuk-nepuk bahunya untuk
merapikan lipatan jilbabnya dan menyandang
membesarkan hatinya. Mata Bu Mus
tasnya dengan gagah, ia tak mau duduk lagi.
berkilauan karena air mata yang menggenang.
Pak Harfan berdiri di depan para orang tua., Bu Mus tersipu. Air mata guru muda
wajahnya muram. Beliau bersiap-siap ini surut dan ia menyeka keringat di wajahnya
memberikan pidato terakhir. Wajahnya yang belepotan karena bercampur dengan
tampak putus asa. Namun ketika beliau akan bedak tepung beras.
mengucapkan kata pertama
Assalamu’alaikum seluruh hadirin terperanjat
karena Tripani berteriak sambil menunjuk ke
lapangan rumput luas halaman sekolah itu.

“Harun!”

Kami serentak menolah di kejauhan


tampak seorang pria kurus tinggi berjalan
terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya
sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang
putih yang dimasukkan kedalam. Kaki dan
langkahnya membentuk hurus x sehingga jika
berjalan seluruh tubuhnya bergoyang-goyang
hebat. Seorang wanita gemuk setengah yang
berseri-seri susah payah memeganginya. Pria
itu adalah Harun, pria jenaka sahabat kami
semua, yang sudah berusia lima belas tahun
dan agak terbelakang mentalnya, ia sangat
gembira dan berhajalan cepat setengah
berlari tak sabar menghampiri kami. Ia tak
menghiraukan ibunya yang tercepuk-cepuk
kewalahan menggandengnya.

Mereka berdua hampir kehabisan


napas ketika tiba di depan Pak Harfan.

“Bapak Guru...,” kata ibunya


terengah-engah.

“Terimalah Harun, Pak, karena SLB


hanya ada di Pulau Bangka, dan kami tak puny
biaya untuk menyekolahkannya ke sana. Lagi
pula lebih baik kutitipkan dia di sekolah ini
daripada di rumah ia hanya mengejar-ngejar
anak ayamku....”

Harun tersenyu lebar memamerkan


gigi-giginya yang kuning panjang-panjang. Pak
Harfan juga tersenyum, beliau melirik Bu Mus
sambil mengangkat bahunya.

Anda mungkin juga menyukai