Anda di halaman 1dari 6

Nama: Tami Sri Rahayu

Kelas: XII MIPA 4


Cinta Indonesia

ASLI
Cerpen Karangan: Euis Ningrum K
Kategori: Cerpen Anak, Cerpen Nasihat, Cerpen Nasionalisme
Lolos moderasi pada: 29 October 2015

Matahari bersinar menerangi alam. Embun menempati rumput dan dedaunan yang segar.
Bunga-bunga di taman merekah indah. Kicau burung peliharaan Ayah ikut menyambut pagi
yang cerah. Aida membuka jendela kamarnya. Cahaya matahari menyusup lurus ke dalam
kamar.
“Ahh… lega.” Ujar Aida sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dan menghirup
udara lalu menghembuskannya perlahan.

Aida selalu menyempatkan diri melakukan senam ringan setiap pagi setelah salat subuh,
mandi dan berpakaian seragam sekolah. Hari Senin pagi, Aida tampak gembira. Ia menyantap
selembar roti dan minum susu beberapa teguk. Lalu meletakkan tas sekolah di atas
punggungnya dan siap berangkat ke sekolah. Bagi Aida, tak ada kata “I don’t like Monday.”
Artinya Aku tidak suka hari Senin. Aida sering mendengar kata-kata “I don’t like Monday”
dari Kakaknya. Bagi Aida, hari Senin adalah hari kegembiraan. Awal hari sekolah dimana dia
akan belajar, bertemu teman yang menyenangkan, dan bermain bersama mereka. Oh ya, Aida
ingat, hari Senin ini akan ada murid baru yang duduk di kelas lima. Itu berarti, dia akan
mendapatkan teman baru untuk belajar dan bermain. Betapa senangnya hati Aida.

Setiap hari Senin selalu dilaksanakan upacara bendera. Kegiatan ini juga membuat semangat
Aida karena ia bangga melihat bendera merah putih dikibarkan dan menyanyikan lagu
kebangsaan Indonesia Raya dengan hikmat. Menjelang upacara dimulai, para murid sudah
berbaris sesuai kelas masing-masing. Aida berdiri dalam barisan kelas lima. Aida tidak
melihat murid baru dalam barisan. Dia tampak kecewa. Kekecewaan Aida terhapus saat Pak
Arif masuk ke kelas lima dan diikuti seorang anak perempuan yang cantik. Ternyata dialah
murid baru itu. Aida berharap teman barunya bisa duduk di dekatnya.

“Assalamualaikum.. Selamat pagi anak-anak,” ucapan salam Pak Arif. Murid-murid


menjawab salam dengan serentak. Semua mata tertuju pada murid baru. Mereka menyambut
senang kedatangan Meisya, nama murid baru itu. “Welcome to the Fifth grade,” ujar Ferdy
sebagai ketua kelas.

Bel istirahat berbunyi. Para siswa berjalan ke luar kelas dengan tertib. Aida dan Putri
menghampiri Meisya yang duduk di sebelah kanan bangku Aida. Aida ingin berkenalan lebih
jauh lagi dengan Meisya.
“Meisya, tadi waktu upacara kamu kemana?” tanya Aida.
“Aku di kantor kepala sekolah” jawab Meisya santai.
“Kenapa tidak ikut upacara saja?” tanya Putri.
“Upacara? Aku tidak betah harus berdiri lama-lama saat upacara. Belum lagi harus
mendengarkan pidato Pembina upacara, rasanya bete, gitu!” ujar Meisya serius.
“Apa?” gumam Aida dalam hati. Ucapan Meisya ternyata didengar juga oleh Rozy dan Arul.
Mereka dengan serentak berkata.
“Setuju!” Kedua siswa ini memang terkenal dengan sikapnya yang tidak tertib ketika
upacara. Putri dan Aida saling berpandangan.
“Wah, gawat juga ya,” ujar Putri. Aida mengangguk pelan. Ada rasa kecewa melihat teman
barunya itu.

Ucapan Putri tentang “gawat juga,” ternyata terbukti. Aida melihat Meisya adalah gadis yang
sombong. Di kelas, dia sering memperlihatkan barang-barang bawaannya, seperti pensil,
pulpen dan tempat pensil yang dibelinya di Singapura. Meisya memang pernah menetap di
negara itu selama setahun mengikuti orangtuanya. Bahkan Meisya pernah memperlihatkan
jam tangannya yang bagus dan berharga ratusan ribu kepada teman-temannya. Aida merasa
kasihan kepada Meisya. Hal ini diungkapkannya kepada Putri ketika sedang beristirahat di
kantin.

“Ya, aku jadi kasihan. Dia seharusnya tidak membanggakan barang-barang buatan luar
negeri. Produk-produk Indonesia juga banyak yang bagus dan tidak kalah bermutu dengan
produk luar negeri. Sepertinya dia tidak mencintai negaranya sendiri, ya,” ujar Aida tampak
prihatin.
“Ya, dia juga tidak suka upacara,” kata Putri gemas. Aida ingin sekali berbicara dengan
Meisya tentang sikapnya yang kurang baik itu.

Sikap Meisya yang suka pamer barang-barang bagus ternyata terus berlanjut. Ketika ada
acara Market Day di sekolah sebagai acara kreativitas siswa untuk menjual hasil karya
mereka, Meisya terlihat menganggap remeh barang-barang yang dijual. Pada acara ini Kepala
Sekolah mengharuskan para guru dan siswa memakai baju batik sebagai tanda menyambut
Hari Batik Nasional. Semua anak memakai baju batik dengan corak yang beragam.
“Indonesia banget!” ujar Putri sambil membanggakan baju batik yang dipakainya.
Ternyata Meisya tidak memakai baju batik. Baju yang dipakainya sangat bagus. Beberapa
anak memuji bajunya, tetapi banyak juga yang menanyakannya mengapa ia tak memakai
batik. “Gak punya,” jawab Meisya enteng setiap temannya bertanya.

Meisya tampak tidak antusias mengikuti acara Market Day. Dia hanya duduk di bangku
panjang yang ada di halaman sekolah. Sesekali ia melihat jam tangannya.
“Lama sekali acara ini,” gumamnya dalam hati. Meisya merasa teman-temannya selalu
memperhatikan dirinya. Perasaannya mulai terganggu. Dia mengajak Sherlyn, teman yang
selalu mendampinginya, membeli minuman Pop Ice di kantin sekolah. Mereka berjalan
melewati stand-stand siswa yang ramai sekali. Beberapa anak lelaki terlihat berjalan
bergerombol. Tiba-tiba salah seorang dari mereka yang membawa minuman terpeleset dan
jatuh tepat di hadapan Meisya.

Minuman yang dibawanya tumpah dan membasahi baju Meisya. Bahkan jam tangannya
terciprat air juga. Tentu saja Meisya kaget dan berteriak. Suara Meisya menarik perhatian
Aida, Putri dan teman-temannya, serta guru. Mereka langsung mendatangi Meisya. Meisya
sangat marah karena bajunya basah.
“Jalan hati-hati dong. Matamu kemana?” umpatnya. Dia juga merasa malu karena teman-
temannya malah tertawa melihatnya.
“Wah, basah deh baju dan jammu yang bagus itu,” ujar Putri.
“kalau kamu pakai batik, pasti tidak kesiram air,” ujar murid yang lain disambut tawa teman-
temannya.
“Sudah, sudah. Semuanya bubar ya,” pinta Bu Ana.
Lalu mengajak Meisya ke dalam kelas. Aida dan Putri ikut masuk ke dalam kelas.
“Nanti temui Ibu di kantor guru ya,” perintah Bu Ana kepada Meisya. Aida meminjamkan
jaket yang ia bawa kepada Meisya. Meisya mengganti bajunya di kamar mandi.
“Terima kasih ya,” kata Meisya kepada Aida setelah berganti baju.

Di dalam ruang guru, Meisya mendengarkan nasihat Bu Ana. Rupanya Bu Ana juga
mengetahui masalah sikap Meisya yang kurang baik.
“Kamu tahu, Meisya. Memakai barang-barang buatan Indonesia berarti kita menghargai
bangsa sendiri dan bangga menjadi bangsa Indonesia. Mengikuti upacara bendera, berarti kita
menghargai jasa para pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Jika kita
bangga dengan negara sendiri maka Indonesia akan bertambah jaya. Kehidupan kita akan
semakin baik dan Indonesia akan terus dikenal oleh bangsa-bangsa lain.” Siapa lagi yang mau
membanggakan Indonesia kalau bukan bangsanya sendiri. Membanggakan barang-barang
negara lain, sama juga kita membuat miskin negara sendiri. Kamu mau kalau negara kita
jatuh miskin?” tanya Bu Ana menutup pembicaraannya.

Meisya hanya tertunduk mendengar kata-kata Bu Ana. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia


menyadari sikapnya yang tidak baik. Dipandanginya Aida dan Putri, teman-temannya yang
selalu memberi perhatian kepadanya. Aida dan Putri tersenyum. Mereka berharap Meisya
bisa merubah sikapnya menjadi lebih baik dan “Indonesia banget.”
Nama: Tami Sri Rahayu
Kelas: XII MIPA 4
Cinta Indonesia

Sudah diubah
Cerpen Karangan: Euis Ningrum K
Kategori: Cerpen Anak, Cerpen Nasihat, Cerpen Nasionalisme
Lolos moderasi pada: 29 October 2015

Matahari bersinar menerangi alam. Embun menempati rumput dan dedaunan yang
segar. Bunga-bunga di taman merekah indah. Kicau burung peliharaan Ayah ikut menyambut
pagi yang cerah. Aida membuka jendela kamarnya. Cahaya matahari menyusup lurus ke
dalam kamar.
“Ahh… lega.” Ujar Aida sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dan menghirup
udara lalu menghembuskannya perlahan.

Aida selalu menyempatkan diri melakukan senam ringan setiap pagi setelah salat
subuh, mandi dan berpakaian seragam sekolah. Hari Senin pagi, Aida tampak gembira. Ia
menyantap selembar roti dan minum susu beberapa teguk. Lalu meletakkan tas sekolah di
atas punggungnya dan siap berangkat ke sekolah. Bagi Aida, tak ada kata “I don’t like
Monday.” Artinya Aku tidak suka hari Senin. Aida sering mendengar kata-kata “I don’t like
Monday” dari Kakaknya. Bagi Aida, hari Senin adalah hari kegembiraan. Awal hari sekolah
dimana dia akan belajar, bertemu teman yang menyenangkan, dan bermain bersama mereka.
Oh ya, Aida ingat, hari Senin ini akan ada murid baru yang duduk di kelas lima. Itu berarti,
dia akan mendapatkan teman baru untuk belajar dan bermain. Betapa senangnya hati Aida.

Setiap hari Senin selalu dilaksanakan upacara bendera. Kegiatan ini juga membuat
semangat Aida karena ia bangga melihat bendera merah putih dikibarkan dan menyanyikan
lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan hikmat. Menjelang upacara dimulai, para murid
sudah berbaris sesuai kelas masing-masing. Aida berdiri dalam barisan kelas lima. Aida tidak
melihat murid baru dalam barisan. Dia tampak kecewa. Kekecewaan Aida terhapus saat Pak
Arif masuk ke kelas lima dan diikuti seorang anak perempuan yang cantik. Ternyata dialah
murid baru itu. Aida berharap teman barunya bisa duduk di dekatnya.

“Assalamualaikum.. Selamat pagi anak-anak,” ucapan salam Pak Arif. Murid-murid


menjawab salam dengan serentak. Semua mata tertuju pada murid baru. Mereka menyambut
senang kedatangan Meisya, nama murid baru itu. “Welcome to the Fifth grade,” ujar Ferdy
sebagai ketua kelas.

Bel istirahat berbunyi. Para siswa berjalan ke luar kelas dengan tertib. Aida dan Putri
menghampiri Meisya yang duduk di sebelah kanan bangku Aida. Aida ingin berkenalan lebih
jauh lagi dengan Meisya.
“Meisya, tadi waktu upacara kamu kemana?” tanya Aida.

“Aku di kantor kepala sekolah” jawab Meisya santai.


“Kenapa tidak ikut upacara saja?” tanya Putri.
“Upacara? Aku tidak betah harus berdiri lama-lama saat upacara. Belum lagi harus
mendengarkan pidato Pembina upacara, rasanya bete, gitu!” ujar Meisya serius.
“Apa?” gumam Aida dalam hati. Ucapan Meisya ternyata didengar juga oleh Rozy dan Arul.
Mereka dengan serentak berkata.
“Setuju!” Kedua siswa ini memang terkenal dengan sikapnya yang tidak tertib ketika
upacara. Putri dan Aida saling berpandangan.
“Wah, gawat juga ya,” ujar Putri. Aida mengangguk pelan. Ada rasa kecewa melihat teman
barunya itu.

Ucapan Putri tentang “gawat juga,” ternyata terbukti. Aida melihat Meisya adalah gadis
yang sombong. Di kelas, dia sering memperlihatkan barang-barang bawaannya, seperti
pensil, pulpen dan tempat pensil yang dibelinya di Singapura. Meisya memang pernah
menetap di negara itu selama setahun mengikuti orangtuanya. Bahkan Meisya pernah
memperlihatkan jam tangannya yang bagus dan berharga ratusan ribu kepada teman-
temannya. Aida merasa kasihan kepada Meisya. Hal ini diungkapkannya kepada Putri ketika
sedang beristirahat di kantin.

“Ya, aku jadi kasihan. Dia seharusnya tidak membanggakan barang-barang buatan luar
negeri. Produk-produk Indonesia juga banyak yang bagus dan tidak kalah bermutu dengan
produk luar negeri. Sepertinya dia tidak mencintai negaranya sendiri, ya,” ujar Aida tampak
prihatin.
“Ya, dia juga tidak suka upacara,” kata Putri gemas. Aida ingin sekali berbicara dengan
Meisya tentang sikapnya yang kurang baik itu.

Sikap Meisya yang suka pamer barang-barang bagus ternyata terus berlanjut. Ketika
ada acara Market Day di sekolah sebagai acara kreativitas siswa untuk menjual hasil karya
mereka, Meisya terlihat menganggap remeh barang-barang yang dijual. Pada acara ini Kepala
Sekolah mengharuskan para guru dan siswa memakai baju batik sebagai tanda menyambut
Hari Batik Nasional. Semua anak memakai baju batik dengan corak yang beragam.
“Indonesia banget!” ujar Putri sambil membanggakan baju batik yang dipakainya.
Ternyata Meisya tidak memakai baju batik. Baju yang dipakainya sangat bagus. Beberapa
anak memuji bajunya, tetapi banyak juga yang menanyakannya mengapa ia tak memakai
batik. “Gak punya,” jawab Meisya enteng setiap temannya bertanya.

Meisya tampak tidak antusias mengikuti acara Market Day. Dia hanya duduk di bangku
panjang yang ada di halaman sekolah. Sesekali ia melihat jam tangannya.
“Lama sekali acara ini,” gumamnya dalam hati. Meisya merasa teman-temannya selalu
memperhatikan dirinya. Perasaannya mulai terganggu. Dia mengajak Sherlyn, teman yang
selalu mendampinginya, membeli minuman Pop Ice di kantin sekolah. Mereka berjalan
melewati stand-stand siswa yang ramai sekali. Anak lelaki bergerombolan terlihat dari
kejauhan sedang berjalan menuju kearah Meisya. Tiba-tiba salah seorang anak lelaki sambil
memegang minuman dan jatuh dihadapan Meisya.

Tentunya baju dan jam tangan meisya yang dari singapura itu terciprat air. Dengan
spontan Meisya berteriak, suaranya yang melengking itu membuat mata semua orang tertuju
padanya. Lalu Aida, Putri, dan temannya mendatangi Meisya yang terlihat kesal itu.

“Ihh.. kalo jalan tuh lihat-lihat dong. Liat bajukuh jadi basah gini,” umpatnya dengan nada
yang tinggi. Diapun malu karena teman-temannya menertawakannya.
“Aduhh kesian jadi basah deh baju dan jam kesayanganmu itu,”ujar Putri.
“Coba aja kalua pakai batik sama kaya yang lain, mungkin gak akan kesiram tuh,” ujar
murid. Sambil tertawa.
“Aduhh kalian ini apa-apaan sudah bubar semuanya,” pinta Bu Ana.
Lalu Bu Ana membawa Meisya ke dalam kelas.

“Meisya pulang sekolah temui Ibu dikantor ya,” perintah Bu Ana.

Aida dan Putri merasa kesian melihat Meisya memakai baju yang basah. Lalu Aida
menghampirinya dan memberikan jaketnya yang berwarna abu itu.

“Ini Meisya jaketku pakai saja,” ujar Aida.

“Terima kasih ya, besok aku kembalikan lagi,” kata Mesiya.

Setelah itu Meisya menuju ruang guru dengan rasa ketakutan karena baru pertama kali
ia dipanggil menghadap guru. Meisya pun masuk dan Bu Ana memulai pembicaraanya
tentang sikap Meisya yang kurang baik selama menjadi murid baru. Dan Meisya pun
mendegarkan semua nasihat Bu Ana

“Kamu tahu, Meisya. Memakai produk buatan Indonesia itu lebih baik berarti kita mencintai
dan menghargai karya Indonesia. Sama juga halnya dengan upacara bendera, berarti kita
menghargai jasa para pahlawan. Kita tidak bisa hidup di Indonesia dengan sejahtera seperti
sekarang, kalau tidak ada para pahlawan yang rela mati demi kemerdekaan Indonesia. Tugas
kita sekarang adalah menjaga dan melestarikan karya Indonesia, jika kita bangga dengan
negara sendiri maka Indonesia akan bertambah jaya. Kehidupan kita akan semakin baik dan
Indonesia akan terus dikenal oleh negara-negara lain.” Siapa lagi yang mau membanggakan
Indonesia kalau bukan bangsanya sendiri. Membanggakan barang-barang negara lain, sama
juga kita membuat miskin negara sendiri. Kamu mau kalau negara kita jatuh miskin?” tanya
Bu Ana menutup pembicaraannya.

Meisya hanya diam seribu kata dan matanya mulai berkaca-kaca, setelah mendengarkan
perkataan Bu Ana. Ia pun sekarang menyadari bahwa yang dilakukannya selama ini tidak
baik. Aida dan Putri yang selalu memberi perhatian kepadanya, hanya tersenyum dan mereka
sangat berharap setelah kejadian hari tadi, Meisya bisa merubah sikapnya menjadi lebih baik
lagi terutama lebih cinta terhadap Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai