Anda di halaman 1dari 8

Bahasa Indonesia

Karangan Bebas
Sebuah Cerpen untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah Bahasa Indonesia

Penulis :
Silva Apriani Hanisa
1515621041

Dosen Pengampu:
Dr. Asep Supriyana, S.S.M.Pd

S1 Pendidikan Tata Busana


Fakultas Teknik
Universitas Negeri Jakarta
2021
Spul dan Sekoci

Gemericik air hujan membasahi kayu-kayu loteng rumah nya yang hampir roboh
dimakan rayap. Nyaring suara mesin jahit menggema ke sudut-sudut rumah kecilnya. Gadis kecil
bermata bulat itu menatap penuh antusias, matanya menyoroti ibu nya yang sedang menjahit,
lebih terang dari lampu petromaks miliknya. Sang ibu melirik keheranan, senyum yang terukir di
ujung bibirnya kini tak dapat disembunyikan.

"Ida..Ida kalau sudah besar mau bisa jahit juga?" tanya sang ibu. Ida mengangguk pelan
tanpa melepaskan pandangannya pada kain yang sedang dijahit.

"Kalau sudah bisa, ibu mau dong ida buatkan satu baju untuk ibu, satuu..aja" lanjut sang
ibu. Ida menggeleng cepat, sambil menyilangkan tangannya di depan dada.

"Lho kenapa tidak mau?" Balas sang ibu. "Ida kan maunya jadi dokter, Bu" jawab anak
berusia 8 tahun itu. "Kan kalau jadi dokter harus bisa jahit juga" timpal Diah, sang ibu.

Ida tak berkutik, mencerna perkataan sang ibu.

"Bedanya kalau ibu kan jahit kain, kalau dokter.." Diah memegang tangan mungil
anaknya, menatap anak naïf tersebut dalam-dalam. “Jahit kulit manusia”.

Cetarrr!

Suara petir berseru keras bersamaan dengan perkataan Diah. Ida menutup kupingnya
kencang-kencang, pandangan matanya kabur, Ida sangat ketakutan. Hari bersejarah itu membuat
Ida lupa akan cita-citanya.

Sepuluh tahun kemuadian, Ida telah menginjak bangku SMA yang sebentar lagi akan
melepaskan wajib belajar 12 tahunnya. Diah tetaplah Diah yang dari pagi hingga petang tak
bergeser dari kursi menjahitnya. Waktu itu tidak terasa lama bagi mereka. Tinggal di rumah kecil
dan menggantungkan hidup pada mesin jahit, seperti itulah hidup mereka, berputar-putar pada
lingkaran takdir yang sama.

“Bu, nanti pas acara kelulusan Ida mau pakai baju ini ya” pinta Ida sambil memegang
baju kebaya merah buatan ibunya.

“Boleh, tapi ibu buatkan yang sama persis saja ya karena baju itu pesanan orang nak”
jawab sang Ibu.

“Iya gapapa kok, Bu”

Waktu terus berjalan kecuali jarum jam dinding di rumah Ida yang berhenti bergerak di
angka 4, membuat Ida terlambat berangkat ke sekolah. Ida berjalan setengah berlari menuju
sekolahnya, lem pada sepatunya tidak lagi merekat dengan sempurna, membuat sepatu yang
sudah usang menjadi lebih parah keadaannya. Ida terus berlari melewati jalanan becek sisa hujan
semalam. Ia tidak peduli akan keadaannya yang basah dan kotor akibat cipratan genangan
air,yang penting ia tidak terlambat masuk sekolah. Keberuntungan ada padanya hari ini, ia lolos
masuk gerbang sekolah yang hampir ditutup oleh pak satpam.

“Ida..kenapa kamu basah kuyup gitu?” Tanya Hana, sahabat Ida satu-satunya.

“huh, gapapa kok, aku buru-buru tadi takut telat” jawab Ida dengan nafas tersengal-
sengal. Hana inisiatif mengambil handuk kecil yang ia bawa dan membersihkan kotoran pada rok
Ida.

“Yaampun Han, makasih ya” ucap Ida. Hana membalas jawaban sahabat baiknya itu
dengan senyuman.

Ida kembali ke tempat di mana ia bisa berlindung dari segala sesuatu yang akan
menyakitinya, rumah. Ia berjalan sembari menenteng kantong plastik berisi cakwe kesukaan
ibunya.

“Bu, makan dulu nanti lanjut lagi” ucap Ida berdiri di belakang punggung Ibu nya yang
masih setia dengan kursi jahitnya. Diah pun menoleh “Nanti saja, sedikit lagi ini selesai”
perkataan yang bisa sampai lima kali terucap dari bibir Diah tiap harinya.

Ida mendengus kesal mendengar ucapan Diah yang sama tiap harinya. “Nantinya ibu itu
sampai kapan? Sampai tengah malam lagi?” tegas Ida.

“Shhtt..kamu tuh mengganggu konsentrasi ibu saja” timpal Diah.

Ida mengambil nafas dalam-dalam mencoba meredupkan amarahnya. Setiap hari, paling
banyak tiga kali Ida melihat Ibunya beranjak dari tempat menjahitnya, dan itu ia lakukan hanya
untuk satu kali makan, satu kali ke kamar mandi, dan tidur. Ida tidak habis pikir dengan ibunya
yang tidak bosan menjahit, padahal penghasilannya pun terbilang sangat pas-pasan untuk
kebutuhan sehari-hari, bahkan bisa kurang jika sedang sepi pesanan.

Roda mesin jahit berputar, seperti hidup Ida yang tiada hentinya berputar. Sebulan setelah
ujian akhir terlaksana, Ida pun akan segera lulus dari sekolahnya, dan besok adalah waktu acara
kelulusan tersebut dilaksanakan.

“Ida..Ida ayo turun nak, ukur bajumu cepat..” teriak Diah dari bawah, Ida pun turun dari
loteng rumahnya, tempat dimana ia menghabiskan waktu untuk membaca koran dan majalah
bekas.

“Huh anak ini kalau disuruh lama sekali, senyaman apa memangnya tinggal di loteng,
hah?” ucap Diah menggerutu. Ida tidak menghiraukan ucapan ibunya.
Drtt.. drtt..

Dering telepon berbunyi disela Diah yang sedang mencatat ukuran kebaya anaknya. 
"Halo, ada yang bisa saya bantu?" 
Ida memerhatikan setiap ucapan ibunya dalam panggilan tersebut, sepertinya itu kabar
baik. Panggilan panjang tersebut itu pun berakhir. Diah tersenyum sumringah sambil memegang
erat tangan anaknya. 

"Ada pesanan ya Bu?" Tanya Ida.

Diah mengangguk, "Pesanan besar nak, baju pernikahan" 

"Woah" Ida terkesima dengan ibunya yang mendapat pesanan baju pernikahan. Ia
mendapat kepercayaan dari orang untuk membuat suatu hal yang sakral. Padahal, Diah merintis
jasa jahitnya sendirian, segala sesuatu ia kerjakan sendiri, namun, karena keuletan dan kerja
kerasnya ia dapat kepercayaan dari orang untuk membuat baju sakral tersebut. Butuh 10 tahun
bagi Diah untuk mendapatkan kesempatan ini.

Setelah selesai mengukur, Diah memulai proses memotong bahan untuk kebaya anaknya.
Ida tak luput memerhatikan setiap proses yang ibunya lakukan untuk membuat sebuah pakaian.

Langit pun menghitam, cahaya di dalam rumah meredup tanda malam hari tiba. Ida
memerhatikan ibunya yang masih menjahit kebayanya dari jauh. Hatinya bagai tersayat sayat
pisau tajam saat mendengar ibunya yang batuk-batuk. Diah nampak begitu kelelahan.

"Bu, istirahat saja, kalau tidak selesai kan Ida bisa pake kebaya lama" ucap Ida.

"Kamu tuh bicara apa sih, ini sudah selesai" ucap Diah sambil tersenyum hangat.

"Beneran?" Ida bergegas menghampiri ibunya dan melihat kebaya yang akan dikenakan
nya esok hari.

"Coba pakai" pinta sang ibu. Ida memakai kebaya tersebut dengan gembira. Kebaya itu
terasa sangat pas di tubuh mungilnya. 

"Wih cantiknya anak ibu, Ida suka?" tanya Diah sambil merapihkan kebaya Ida. Ida
mengangguk-angguk semangat, "Suka banget Bu" 

Ida terbangun dari tidurnya dengan kebaya yang ia letakkan di sampingnya. Hari ini
adalah hari kelulusan Ida, ia sangat bersemangat memulai harinya.

Ia berangkat lebih awal dari biasanya, ia tidak mau menyia-nyiakan hari ini. Ida berjalan
kaki dengan pakaian serba ketat yang menyulitkannya untuk berjalan. Alhasil, walau sudah
berangkatlah lebih awal, Ida hampir terlambat datang ke sekolah.

Sekolah Ida sudah dipenuhi para siswa yang mengenakan kebaya dan kemeja. Ia melihat
ragam warna yang cantik, tidak seperti biasanya yang selalu serba putih abu-abu. Dari kejauhan,
Ida melihat Hana, sahabatnya, bersama dua orang dewasa yang tak lain dan tak bukan adalah
orang tuanya. Ia berlari kecil menghampiri mereka.

"Hana!" 

Hana mendapati Ida yang sedang berlari ke arahnya. Betapa terkejutnya ia saat
menyadari bahwa mereka mengenakan kebaya yang sama.

"Halo om, tante, saya Ida teman Hana" ucap Ida sambil menyalami kedua orang tua
Hana. 

Ida membelakkan matanya saat melihat kebaya yang dikenakan Hana. "Wow Han, kamu
ternyata yang pesan di ibuku ya?" Tanya Ida antusias. Betapa senangnya ia saat mengetahui
bahwa Hana memesan kebaya pada ibunya, secara Hana berasal dari keluarga kaya yang
biasanya membeli pakaian di mal mewah.

"Di Ibu kamu?" Hana bertanya balik.

"Iya, di Ibu aku, kan dia tukang jahit, masa lupa" jawab Ida.

Hana tidak mengutarakan ucapan apapun, yang ia berikan hanyalah tatapan benci pada
Ida dan kedua orang tuanya.

"Jadi gini nak.." Pria berkacamata di sebelah Hana mencoba menjelaskan hal yang
sebenarnya.

Mereka, kedua orang tua Hana menjanjikan kebaya mewah yang di beli dari mal ternama
di Indonesia pada Hana. Namun kenyataannya, kebaya yang dikenakannya kini adalah hasil
buatan penjahit rumahan biasa. Apalagi, sahabatnya Ida mengenakan pakaian yang sama
dengannya. Hal itu membuat Hana merasa harga dirinya runtuh. 

"Oke pah gausah dijelasin. Hana juga gasuka sama kebaya ini, pantes jelek orang
murahan, hahaha" ucap Hana memotong pembicaraan orang tuanya.
Hati ida kini bagai tertancap anak panah, begitu perih dan sakit. Mendengar karya ibunya yang
tidak dihargai oleh sahabatnya sendiri. Tidak hanya itu, orang tua Hana juga ikut tertawa setelah
nya, mereka bagai merendahkan karya ibu Ida serendah-rendahnya.

Air mata menutupi mata Ida, namun Ida tidak membiarkan air mata itu jatuh untuk orang
seperti mereka.

"Hahaha" Ida ikut tertawa. Tiga orang itu keheranan melihat sikap Ida.

Diah dengan cepat menjahit pakaian-pakaian yang harus di selesaikan hari ini. Ia tidak
mau terlambat menghadiri acara penting bagi putrinya. Tangan Diah gemetaran, membuat
jahitannya berkali-kali salah, dan berkali-kali diulang. Namun, ia gigih untuk menyelesaikan
pekerjaan nya lebih awal. 
Tiba-tiba spul plastik miliknya terpental dan pecah sehingga ia harus mencari-cari spul
lainnya di loteng. Tetapi nihil, ia tidak menemukannya.

"Hahaha" Ida tidak berhenti tertawa, justru malah makin menjadi. Tiga orang itu melihat
Ida ketakutan, ia seperti orang gila.

"Jadi seperti ini, kamu bilang baju itu jelek dan murahan tapi kamu pakai baju itu, come
on Han, kamu kan orang kaya, aku ga ngerti logikanya bagaimana" ucap Ida.

Hana mendengus kesal dan berterus terang pada Ida bila selama ini dia memanfaatkan
Ida agar nilainya bagus. Jika Ida tidak pintar, Hana tidak akan mau berteman dengan gadis
miskin nan buruk rupa seperti dirinya.

Ida tersenyum bengis. "Makasi Han, walaupun kelakuan asli mu seperti iblis setidaknya
kamu jujur" 

Ibu Hana menarik kulit Ida yang tipis, "Hati-hati ya kamu kalau bicara"

"Maaf ibu iblis kulit saya kurang elastis"

Diah merogoh-rogoh lemari dan kardus-kardus di rumahnya, ia belum menemukan alat


krusial itu. Kakinya kini lemas, ia terduduk di lantai, seperti tidak ada harapan untuknya. 

Ida melepaskan tangannya dari Ibu Hana dan meninggalkan mereka bertiga. Setelah
berbalik, air mata yang ditahannya sedari tadi runtuh, jatuh sederas-derasnya. Ia hanya berpura-
pura menjadi kuat padahal luka di hati nya sudah tak terbendung lagi.

Ida berdiri di sudut aula sekolah, mendengarkan pembawa acara yang berbicara, masuk
ke telinga kanan, keluar dari telinga kiri. Ia sendirian, Diah, ibunya tak kunjung sampai.
Diah memutuskan tidak melanjutkan pekerjaan nya, ia bergegas menuju sekolah Ida
dengan pakaian seadanya. Ia mengayuh sepeda ontel nya yang biasa ia kenakan untuk mengantar
hasil jahitan dan membeli bahan. 

Ida menangis tersedu-sedu, ia bagaikan di dalam ruangan kosong, padahal ada ratusan
orang di dalam sana. Ia merasa sepi di tengah keramaian, ia merasa hancur di tengah orang-orang
yang sedang berbahagia.

Diah mengayuh sepedanya kencang, ia menerobos angin yang menerpa nya keras. Ia
melawan jalan berbatu yang bisa membuatnya terjatuh, namun ia gigih untuk sampai ke sekolah
anaknya tepat waktu. Namun, ia hilang kendali, rem sepeda blong dan ia jatuh tersungkur di
jalan bebatuan.

"Ida gamau jadi dokter, Ida mau jadi penjahit aja" ucap Ida kecil yang menangis terisak.
Hujan turun semakin lebat menemani kesunyian dalam rumah kecil tersebut.
"Ya sudah itu kan pilihan Ida, kalau Ida mau jadi penjahit, sini bantu Ibu" Diah duduk
berdampingan dengan putri semata wayangnya di kursi jahitnya. 

"Sudah jangan nangis lagi, Ida tau ini namanya apa?" Tanya Diah menunjuk roda mesin
jahit.

"Roda Bu" jawab Ida sambil sesekali terisak

"Tuh Ida tau, kalo ini?" tanya Diah kembali

"Itu Benang" 

"Benar, Ida pintar sekali, Roda mesin jahit itu gunanya banyak, salah satunya menaikkan
dan menurunkan benang, ibaratkan roda itu kehidupan Ida yang terus berputar, dan hasilnya
kadang di atas, kadang di bawah, terkadang Ida bahagia, terkadang Ida sedih"

"Sekarang Ida lagi di bawah Bu" jawab anak kecil nan polos tersebut.

"Hahaha. Kalau ini? Ida tau ini apa?" Diah menyodorkan anaknya sebuah spul dan
sekoci.

Ida menggeleng-geleng.

"Kalau ini namanya spul dan sekoci" jawab Diah. "Spul itu tempat menyimpan benang,
atau disebut rumah benang kalau sekoci tempat menyimpan spul, atau disebut rumah bagi spul"
lanjut sang ibu.

"Aku spul Ibu sekoci ya?" Ucap Ida lantang dengan semangat.
"Kenapa Ida bisa bilang begitu?" Tanya Diah dengan suaranya yang melemah.

"Karena Ibu lebih besar dari Diah, hahaha" gurau anak kecil kepada ibunya. Diah pun
ikut tertawa.

"Sekarang Ida sudah di atas, Bu" 

Ida tidak berhenti-berhentinya menangis saat mengetahui ibunya tengah koma di rumah
sakit. Ia meratapi ibunya dari luar jendela transparan rumah sakit. Ia tidak menyangka hari yang
harusnya berbahagia ini malah berbanding terbalik dengan keadaan sebenarnya. 

Tiga hari kemudian, Ida kembali pulang ke rumah meninggalkan ibunya yang masih
belum sadar di rumah sakit. Ia melihat keadaan rumah yang berantakan, kain berceceran di
lantai, benang-benang, semua alat jahit tidak berada di tempat yang seharusnya. Ia menemukan
serpihan spul yang hancur, persis seperti dirinya kini, hancur.

Ida bersikeras merapikan kekacauan ini dan memulainya kembali. Dengan modal uang
sakunya, ia berjalan jauh ke toko alat jahit untuk membeli spul. Setelah itu, ia menelpon kembali
orang yang memesan baju pernikahan pada ibunya. Ia menjelaskan keadaan ibunya sekarang,
dan ia siap menjadi penggantinya.

Ida, seperti namanya, ia adalah seorang pekerja keras nan gigih. Ia pembelajar yang cepat
dan cerdik. Ia berhasil menyelesaikan pesanan baju pernikahan dengan sempurna dengan
tangannya sendiri. Ia sangat terkejut saat orang tersebut membayar dengan harga yang fantastis.
Padahal, tidak memerlukan banyak biaya untuk menghasilkan busana tersebut.

Uang tersebut ia pergunakan untuk biaya rumah sakit ibunya dan juga modal usahanya.
Sedikit demi sedikit, Ida bangun dari keterpurukan, ia merintis usaha jahit yang lebih baik dari
sebelumnya.

Roda mesin jahit berputar, jarum pun kini berada di atas.

Dalam kurun waktu 6 bulan, Ida mampu membuka usaha butik, ia merangkap sebagai
pemilik, perancangan busana, dan penjahit sekaligus. Akan tetapi, semua terasa hampa tanpa
kehadiran sang ibu disisi nya.

Ida mengunjungi ibu nya di rumah sakit, ia membawa sebuah pakaian untuk ibunya.
Sesuai apa yang ibunya pinta sepuluh tahun yang lalu. 

"Bu..Ibu, Ida udah buat baju untuk ibu. Katanya ibu mau Ida buatkan baju?" Ucap Ida
pada ibunya yang terbujur lemas di kasur rumah sakit sambil meneteskan air matanya.

Ia menggenggam tangan ibunya yang dingin erat-erat. "Bu..kalau dulu kita pergi ke
sekolah bareng, pasti ibu ga ada disini kan?"
Ida menangis terisak, air matanya seakan tak pernah habis untuk menangisi ibunya. 

Setelah hari itu, Ida benar-benar sendiri, tanpa ada bentuk Ibunya hadir. Diah telah tiada,
meninggalkan anaknya sebatang kara. 

Ida pun menyadari, bahwa dirinya adalah spul yang kehilangan sekoci, dia telah
kehilangan rumahnya untuk berlindung, dia telah kehilangan ibunya. Selamanya.

Dan ia pun juga menyadari, bahwa ia adalah jarum yang berada di bawah, tidak bisa
dinaikkan meskipun roda terus berputar, karena ia telah kehilangan satu hal yang sangat penting,
sebagai penggerak kehidupan, sang ibu.

Anda mungkin juga menyukai