Anda di halaman 1dari 6

cerita-pendek

Sumi Bicara
Oleh Joko Gesang Santoso

i antara bahan pembicaraan ibu-ibu penggunjing di sebuah


arisan, Sumi menjadi salah sebuah topik yang paling santer
dibicarakan. Para ibu itu jadi sering membicarakan Sumi
lantaran kepulangannya dari Arab Saudi membawa keanehan. Sumi
menjadi bisu.
Dari para penggunjing itu, muncullah banyak versi cerita mengenai

halaman 32
Sumi.
“Eh, dengar baik-baik,” kata seorang ibu sambil menyumpalkan se-
lembar daun sirih ke mulutnya yang kemerahan. “Sumi itu pasti sudah
habis-habisan diperkosa majikannya di Arab Saudi sana. Jadi, seka-
rang ia sudah mati rasa.” Lalu, ibu yang seusia nenek-nenek itu melu-
dah ke tanah. Cuih!
“Apa hubungannya dengan bisu?” Tanya ibu yang lain, yang merasa
kurang yakin dengan cerita ibu pengunyah sirih itu.
“Goblok kamu! Orang mana pun tidak akan mau bicara sepatah kata
pun dalam keadaan begitu. Itu aib! Aib! Menjadi bisu pikirnya pasti
lebih baik.”
“Menurutku kok tidak,” sangkal seorang ibu lainnya lagi. “Buktinya,
Mirah yang katanya diperkosa majikannya di Malaysia tidak jadi bisu?
Malah sekarang anak dari hasil perkosaan itu dibesarkannya di desa
kita. Dirawat ibunya Mirah sendiri. Anaknya tampan macam penyanyi
India. Hidungnya mancung, kulitnya agak gelap. Dan, Mirah bolak-
balik Indonesia – Malaysia tiap tahunnya. Sepertinya ia senang-senang
saja. Kalau tidak salah, malah sudah hamil lagi akhir-akhir ini.”
Ibu pengunyah sirih angkat bicara. “Namanya saja Mirah, alias mu-
rah, alias murahan. Jangan-jangan ia tidak diperkosa, tapi menyedia-
kan diri untuk birahi majikannya di Malaysia sana? Itu soal beda. Sumi
tidak murahan macam Mirah. Kau tahu ia taat mengaji sejak dulu.”
Lalu, pembicaraan seterusnya akan berkembang sesuai dengan ver-
si mulut masing-masing dengan tidak memperdulikan sisi kebenaran-
nya. Ibu-ibu itu selalu mendapat topik anyar seputar kepulangan warga
desanya dari bekerja di luar negeri. Yang semuanya adalah perempuan.
Sebenarnya hal demikian lumrah terjadi. Desa tempat Sumi ting-
gal boleh dibilang menjadi desa pemasok perempuan terbanyak untuk
bekerja ke luar negeri. Secara sendirinya, perempuan jadi lebih ma-
hal harganya dibanding laki-laki sebab laki-laki kebanyakan di desa itu
hanya bertani dan momong anak di rumah.
Hampir tidak ada rumah bambu atau kayu di desa Sumi. Rumah
mereka bertembok kokoh lengkap dengan fasilitasnya. Hasil bekerja
dari luar negeri digunakan untuk mematut-matut rumah sebaik mung-
kin. Makmur dan kayanya seseorang di desa Sumi masih diukur dari
seberapa megah rumah tinggalnya. Dari yang demikian itulah maka
tiap anak gadis di desa Sumi diiming-imingi oleh ibunya untuk bek-
erja ke luar negeri. Di luar negeri uangnya melimpah ruah, begitu pikir
mereka. Selalu begitu.
***
Mesin jahit Sumi berdecit-decit. Sepulang dari Arab Saudi ia mem-
beli sebuah mesin jahit dan membuka jasa jahit di rumahnya. Ibunya
sendiri yang menawar-nawarkan keahliannya ke beberapa tetangga.
halaman 33
Sumi hanya tinggal bersama ibunya. Malangnya baru setahun ia be-
kerja di Arab Saudi, pulang dalam keadaan bisu. Semenjak itu, tak per-
nah seorang pun, termasuk ibunya mendengar ia bicara lagi. Melayani
pelanggan jahit pun hanya dengan seringai, anggukkan, gelengan, atau
isyarat tangan.
“Sumi benar-benar sudah bisu”, kata mereka yang sudah ketemu
langsung dengan perempuan cantik berjilbab itu.
Suatu kali datanglah seorang gadis bernama Kedasih beserta ibu-
nya ke rumahnya dengan membawa kain bakal seragam SMA. Ru-
panya gadis itu habis menangis. Bola matanya merah serupa getah po-
hon jati. Sangat mungkin nangisnya meraung-raung. Dari hidungnya,
masih terdengar kebasahan ingus dihirup-hirupnya.
“Berhentilah kau nangis!” Bentak ibunya keras-keras pada Kedasih.
Dan, gadis itu mengupayakan dirinya supaya tidak terlihat tersengal
lagi sehingga ibunya tidak memarahinya.
“Mbak, Sumi,” kata ibu gadis itu kepada Sumi. “Tolong ukur anak
saya, bikinkan baju seragam untuknya supaya ia tidak meraung-raung
lagi. Sungguh memalukan!”
Sumi mengangguk sambil mengawasi wajah ibu gadis itu dengan
teliti. Terdapat kemarahan besar di wajah ibu gadis itu. Lalu, dilihatnya
Kedasih dengan welas. Gadis itu ketakutan, tetapi matanya menunjuk-
kan rasa ingin berontak yang tertahan. Apa yang terjadi? Batin Sumi.
Dengan sebuah meteran, Sumi mulai mengukur Kedasih sambil
menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. Yang jelas, dalam batin
Sumi, gadis itu ngotot pengen dibuatkan seragam karena ibunya bi-
lang bahwa ia minta dibuatkan seragam supaya tidak menangis lagi.
Sumi kemudian melirik ibu gadis itu. Ibu paruh baya itu duduk di
kursi plastik sambil memijat-mijat kepalanya.
“Apa waktu seusia anak saya, Mbak Sumi juga pemberontak sama
orangtua?” Tanya ibu gadis itu kepada Sumi.
Sumi mengamati Kedasih. Wajah gadis itu kian murung. Lalu, Sumi
berbalik melihat ke arah ibu gadis itu, dan kemudian menggeleng
lemah.
“Dengar! Mbak Sumi ini penurut sama orangtua! Dengar baik-
baik!” Teriak ibu gadis itu kemudian—merasa mendapat dukungan
dari Sumi.
Dalam suasana itu, Sumi kembali melihat ke arah wajah Kedasih.
Dan, gadis itu menatap tajam ke arah matanya. Sebentar kemudian
Sumi tahu bahwa meski tidak diucapkannya, Kedasih ingin membela
diri: apa benar dalam keadaan yang seperti dialaminya itu, Sumi tidak
akan memberontak? Hanya saja, Sumi belumlah tahu apa yang diala-
mi Kedasih dengan ibunya itu.
Setelah selesai mengukur, Sumi menuliskan semua ukurannya di
halaman 34
sebuah kertas. Lalu, ia mengacungkan dua jarinya kepada ibu gadis itu.
“Dua hari?” Tebak ibu gadis itu.
Sumi menggeleng, dan mengacungkan lagi dua jarinya dengan lebih
bersemangat.
“Oh, dua minggu lagi?”
Sumi mengangguk. Ia senang ibu itu paham isyaratnya bahwa baju
akan jadi kira-kira dua minggu lagi.
Setelah berpamitan, Sumi menyempatkan mengamati Kedasih.
Gadis itu pun membalas tatapannya masih dengan tajam, tetapi bukan
tatapan memusuhi. Mata itu seperti mengisyaratkan butuh pembelaan
atas sesuatu yang sangat-sangat ia yakini kebenarannya dalam dirinya.
Seminggu kemudian, Sumi sudah hampir menyelesaikan baju se-
ragam itu. Dalam mengerjakannya, pikirannya terus tertuju pada
pandangan mata Kedasih. Kenapa dengan gadis itu sehingga ibunya
sendiri ia lawan? Sangatlah tidak pantas seorang anak melawan orang-
tua. Terlebih lagi itu ibunya. Apa yang ada dalam pikirannya? Batinnya
berulang-ulang menggerumutinya.
Terdorong pikiran-pikiran itu, Sumi menjadi lebih bersemangat
menyelesaikan seragam Kedasih. Dan, belum dua minggu, seragam
itu pun jadi. Lalu, ia segera bergegas pergi ke rumah Kedasih. Ia ingin
melihat wajah dan tatapan berani gadis itu segera. Ia mendadak men-
jadi peduli dengan gadis yang bukan keluarganya itu. Ia merasa sudah
memilikinya hanya dalam waktu sesingkat itu.
Berjalanlah ia dengan cepat menyusuri jalan desanya. Ia sangat sa-
dar bahwa pembicaraan tentang dirinya yang menjadi bisu belumlah
usai. Terbukti saat ia melewati gerombolan ibu-ibu di teras rumah,
mendadak saja gerombolan itu menjadi riuh macam ayam dilempari
setampah bekatul. Tetapi, ia terus berjalan dan berjalan. Arah dituju-
nya adalah Kedasih, Kedasih, Kedasih.
Kira-kira dua rumah lagi ia sampai di rumah Kedasih. Namun, dari
kejauhan ia bisa tahu bahwa rumah Kedasih sedang dikerumuni ban-
yak orang.
Sumi berhenti. Ia ragu hendak menggeser sesenti saja kakinya un-
tuk maju. Niatnya hendak memberikan seragam untuk Kedasih, tetapi
orang sebanyak itu tentu hanya akan memandanginya sebagai orang
aneh nantinya, batinnya memberat.
Aneh betul rumah Kedasih dikerumuni banyak orang? Batinnya ke-
mudian.
Antara reribut angin menggoyang pohon jati, bisa didengarnya
ribut-ribut pula di sana.
Jangan-jangan ribut-ribut itu adalah pertengkaran Kedasih dengan
ibunya, lalu disaksikan banyak orang? Batinnya menyimpulkan. Maka
tanpa ragu lagi ia melangkah ke arah kerumunan itu. Dibelahnya keru-
halaman 35
munan itu. Dan, tahulah sekarang ia apa yang mereka semua tonton.
“Dengar! Biar semua orang tahu sekalian. Ini anak durhaka. Tidak
mau menurut kata orangtua. Berani melawan. Disekolahkan malah
pintar beralasan. Biar semua yang di sini tahu. Ini anakku yang tak
tahu terima kasih!”
Semua orang keheranan. Gerangan apa yang membuat ibu Kedasih
menjadi berang sehebat itu.
“Kenapa Kedasih kau murkai macam itu?” Tanya seorang ibu di
deretan paling depan.
“Hari ini, anakku ini sudah berani menggurui ibunya. Katanya tidak
semua perempuan di desa ini harus bekerja ke luar negeri. Katanya
lagi, dengan nilainya yang bagus di sekolah, anakku yang sekencur ini
yakin bisa mencukupi hidupnya kelak. Nah, omong kosong, bukan?
Mana bisa nilai sekolah mendatangkan uang berlimpah-limpah? Di
luar negeri sana uang tidak bisa didapat dengan nilai sekolah, tetapi
kerja keras! Kerja keras!”
Si ibu penanya bengong. Lalu, ia berpaling ke arah Kedasih yang
meringkuk di kursi peyot di samping ibunya yang murka-murka.
“Benar kau berkata seperti itu, Kedasih?” Tanya ibu penanya itu.
Kedasih diam saja. Mendongak pun tidak. Tangisnya makin hebat
meski tak bersuara.
“Kalau tidak salah, Kedasih baru mau masuk SMA. Apa tidak sebai-
knya dibiarkan lulus SMA dulu?” Kata ibu yang lain di antara kerumu-
nan bagian depan pula.
“Darimana janda macam aku ini punya biaya? Kusuruh ia bekerja,
juga agar tahu bahwa uanglah yang dibutuhkan, bukan sekolah dan
nilai. Selain itu, supaya ia juga tahu bagaimana membalas budi sama
orangtua.”
Sumi meremas-remas bajunya sendiri. Ia sungguh geram menden-
gar dan melihat tingkah ibu Kedasih yang menurutnya sangat kelewa-
tan. Ia tahu sekarang kenapa saat itu Kedasih menangis minta dibuat-
kan seragam. Tak lain hanyalah karena keinginannya melanjutkan
sekolah, sekolah, dan sekolah. Ia tidak ingin disamakan seperti semua
perempuan di desanya yang harus bekerja ke luar negeri.
Dengan berani Sumi maju tepat di hadapan ibu Kedasih dan juga di
tengah-tengah kerumunan. Ia pandangi semua mata yang keheranan
dengan sikapnya. Matanya berkeliling, lalu berhenti tajam di mata ibu
Kedasih.
Sumi membuka jilbabnya. Tak ada rambut sama sekali. Kulit
kepalanya seperti lilin yang leleh. Lalu, tanpa ragu ia buka bajunya,
dan hanya kutang saja yang menempel di dadanya. Semua orang bisa
melihat kulit punggung Sumi yang seperti bekas lelehan lilin, tak jauh
beda dengan yang di kepalanya. Luka itu tak lain adalah bekas guyuran
halaman 36
cairan mendidih, entah minyak atau air. Beruntung muka Sumi yang
cantik itu masih utuh.
Semua orang melihat Sumi tak berkedip. Berkali-kali mereka susah
menelan ludah mereka sendiri.
“Lihat!” Kata Sumi dengan keras di muka ibu Kedasih. “Kau mau
anakmu jadi seperti ini karena bekerja di luar negeri? Kau mau?!”.
Sambar petir—ibu Kedasih dan semua orang sangat kaget. Kerumu-
nan mendadak seperti sarang lebah jatuh ke tanah. Di antaranya ada
yang berbisik-bisik, “Sumi bicara. Sumi bicara. Sumi bicara ….”

Joko Gesang Santoso.


Lahir pada 7 Mei 1984, di Gunungkidul, Yogyakarta. Lulusan Sastra Indone-
sia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Beberapa karya cer-
pen dan puisinya pernah dipublikasikan media massa seperti; Kedaulatan Rakyat,
Minggu Pagi, Seputar Indonesia, Bali Post, Bangka Pos, dan Tabloid Nyata, juga
dalam antologi bersama; Memoar Perjalanan (Antologi Puisi 2006), Negeri Tanpa
Kekasih (Antologi Puisi 2007), Stasiun Perjamuan (Antologi Puisi 2007) Hari Ini
Tak Ada Hujan Turun (Antologi Puisi 2007), Kampung Dalam Diri (antologi Puisi
Penyair Muda Lima Kota, 2008), Tiga Peluru (Antologi Cerpen Minggu Pagi) 2010.
Pernah mendapat beasiswa menulis novelet 2007 dari Yayasan Umar Kayam Yog-
yakarta dengan menulis satu novelet yang berjudul “Kepundung”. Puisinya pernah
menjadi Karya Terpuji dalam sayembara puisi Cinta Nyata, Tabloid Nyata 2008.
Pada 27 – 29 April 2008 mendapat undangan dari Dewan Kesenian Payakumbuh
untuk menjadi peserta dalam acara Temu Penyair 5 Kota yang diselengarakan di
Taeh, Payakumbuh. Pada 29 Juni – 2 Juli 2008 mendapat undangan untuk men-
jadi salah satu peserta penyair dalam Pesta Penyair Nusantara 2008 Sempena The
2nd Kediri Jatim Internasional Poetry Gathering. Sekarang tercatat sebagai ma-
hasiswa pascasarjana sastra angkatan 2010 Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Selain itu, ia juga bekerja sebagai pekerja buku di Yogyakarta.

halaman 37

Anda mungkin juga menyukai