Anda di halaman 1dari 5

Bu Mawar dan Kata Pintar

Pintar, bisa diartikan pandai atau cakap. Anak pintar biasanya banyak
akalnya, mahir melakukan sesuatu, dan memiliki persamaan kata
dengan cerdik. Tapi, “pintar”, saat ini sering diartikan anak yang
memiliki nilai tinggi dalam pelajaran. Matematikanya seratus, pintar!
Sainsnya seratus, pintar! Rangking satu di kelas, pintar! Namun,
cukupkah anak-anak kita menjadi “pintar”?

Aku sedang duduk menikmati istirahat pertama. Kudapan kue kering dan teh hangat
menemaniku menulis rekap nilai anak-anak. Benar! Aku adalah seorang guru sekaligus wali
kelas di SD Cirebon Bangkit. Menjadi wali kelas 6 telah kujalani sekitar 10 tahun. Kelas 1 dan 6
merupakan jabatan wali kelas tetap, jarang diganti. Entah apa alasannya.
“Selamat pagi, Bu Alma!” sapa seorang perempuan muda padaku.
“Selamat pagi, Bu! Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku sambil membereskan buku
nilai.
Perempuan muda itu duduk di hadapanku. Raut wajahnya gelisah, namun ia coba
sembunyikan. Agak dipaksakan memang. Tapi dia berusaha keras menutupi kegelisahannya.
“Begini, Bu Alma,” ia mulai bicara namun ada rasa ragu menyelimuti, “soal anak saya,
Yusni. Saya mau diskusi tentang perkembangan anak saya itu.”
“Sebentar… Ibu siapanya Yusni?” tanya saya.
“Saya Ibunya Yusni. Ibu lupa? Saya juga Ibunya Airin, murid Ibu dua tahun lalu,”
jawabnya.
Aku mencoba mengingat nama Airin. Beberapa wajah anak-anakku dua tahun lalu
melintas dalam ingatanku. Akhirnya aku dapat mengingat anak paling pintar di kelas tahun itu,
“Oh, Iya! Maaf, Bu. Saya hampir lupa. Ini Ibu Mawar, kan?”
“Benar sekali,” jawabnya ringkas sambil tersenyum. Ia tampak lega dan tenang.
Kegelisahan dalam dirinya mulai menguap.
“Ada apa dengan Yusni, Bu?” tanyaku penasaran dengan kedatangannya. Seingatku,
Bu Mawar jarang datang ke sekolah. Sewaktu Airin menjadi muridku dulu pun dia hanya datang
ke sekolah kalau dibagi rapot. Sibuk kerja menjadi alasannya. Sehingga kalau ada pertemuan
orang tua, dia tidak pernah hadir sekalipun. Lagipula, Airin memang pintar walau pendiam dan
tertutup jika di kelas.
“Begini, Bu Alma. Saya agak khawatir melihat perkembangan anak saya yang sekarang
kelas 6, Yusni. Dia beda sekali dengan kakaknya. Kalau Kakaknya tanpa disuruh pun dia rajin
belajar, membaca buku, atau ikut les dimana-mana. Yusni ini, kok jarang sekali terlihat belajar.
Disuruh les untuk persiapan ujian pun tidak mau. Prestasinya pun tidak seperti Kakaknya,” jelas
Bu Mawar tentang anak-anaknya.
“Oh, saya mengerti sekarang. Tapi menurut saya, Yusni di kelas baik-baik saja Bu.
Memang di beberapa pelajaran dia cukup lumayan. Tidak sehebat Kakaknya, tapi cukup
menurut saya. Hanya di kelas dia lebih banyak teman, suka menolong, dan termasuk murid saya
yang paling peduli,” kucoba menjelaskan keadaan Yusni di kelas. Memang demikian
keadaannya.
“Tapi bukan itu yang saya harapkan, Bu! Maaf, saya ingin Yusni seperti Kakaknya.
Pintar dan rajin belajar. Memang dia rajin. Tapi melihat nilai-nilainya saya tidak puas, Bu!”
Keluh Bu Mawar.
“Bagaimana dia di rumah, Bu? Maksud saya, apakah dia sering membantu pekerjaan
rumah misalkan? Menyapu, membersihkan halaman, merapikan tempat tidur, atau
semacamnya?” Aku coba meyakinkan Bu Mawar bahwa anaknya baik-baik saja walau tidak
sama dengan kakaknya.
“Benar, Bu Alma. Dia selalu ingin membantu pekerjaan di rumah. Padahal sudah ada
pembantu. Memelihara kucing yang dipungutnya dari jalan. Berkebun di halaman belakang.
Terakhir dia sibuk membuat rumah pohon dibantu sopir. Coba bayangkan, Bu, kapan dia punya
waktu untuk belajar dan serius menghadapi ujian? Saya sudah melarangnya, Bu. Saya mau dia
fokus pada pelajaran saja. Bukankah dia akan ujian kelulusan?” Bu Mawar melanjutkan keluhan
anak keduanya.
“Ah, berarti Yusni memang anak yang baik,” kataku sambil melemparkan senyum.
“Baik saja tidak cukup, Bu. Tolong saya. Bagaimana caranya saya ingin Yusni berubah
menjadi lebih baik. Setidaknya seperti Kakaknya,” tuntut Bu Mawar.
Nampaknya di antara kami tidak sepakat dengan keadaan Yusni. Aku mengangguk
mencoba memahami situasi yang dihadapi Bu Mawar. Setelah itu, kulihat dia tampak
kebingungan mencari sesuatu.
“Ibu mencari sesuatu?” tanyaku pada Bu Mawar yang sedang merogoh tas mewahnya.
“Ponsel saya, Bu. Ponsel saya mana ya?” jawabnya tanpa melihat ke arahku.
“Itu ada di hadapan Ibu. Bu Mawar tadi meletakkannya di atas meja saya,” kataku
sambil menunjukkan ponselnya yang memang tergeletak di atas meja.
“Oh, iya. Maaf, saya sering lupa,” Bu Mawar tersipu malu karena merasa konyol di
hadapanku.
“Tidak apa-apa, Bu.” ujarku.
“Sekali lagi saya mohon bantuannya, Bu Alma” desak Bu Mawar, “pokoknya saya
ingin, Yusni seperti Kakaknya. Bukan lari ke sana kemari membereskan pekerjaan rumah,
memelihara binatang atau kotor-kotoran di halaman belakang.”
“Saya bisa bantu Ibu. Tapi jika Ibu tidak keberatan…” kucoba menenangkan Bu Mawar
dengan mengusulkan bantuan.
“Oh, tidak Bu. Saya bayar berapapun. Asalkan anak saya bisa sepintar Kakaknya,”
katanya senang.
“Bukan masalah uang, Bu. Saya mau minta ijin, Yusni, tinggal bersama saya selama
sepekan,” mendengar usulku, awalnya dia terlihat kaget. Beberapa saat dia berpikir dan tampak
menimbang sesuautu.
“Bagaimana, Bu? Anak saya tinggal bersama Ibu?” Dia coba memastikan.
“Iya. Yusni tinggal bersama saya selama sepekan saja. Biar nanti saya ajarin dia selama
di rumah saya,” jelasku.
“Wah, ide bagus. Baiklah. Saya setuju dan tidak keberatan,” pungkasnya.
Bu Mawar berdiri dan tersenyum puas. Ia tampaknya telah menemukan jawaban
kegelisahan yang dibawanya dari rumah. Sambil menjulurkan tangannya, ia berpamitan padaku.
“Ibu, maaf. Itu kaca matanya ketinggalan,” ujarku sambil menyerahkan kacamata hitam
yang juga tertinggal di atas meja kerja. Bu Mawar memang ceroboh dan pelupa rupanya. Tapi
dari penampilan sempurnanya pagi ini, pasti ada seseorang yang menyiapkan segalanya.
Takmungkin pembantunya!
Setelah itu, Bu Mawar tampak memanggil anaknya di halaman sekolah. Ia tampak
berbicara pada Yusni. Anak itu tampak menggelengkan kepala, lalu menunduk. Bu Mawar pasti
sedang menjelaskan kesepakatannya denganku. Yusni tidak suka, pasti!
Bu Mawar beranjak dari tempatnya berdiri sekarang. Ia menuju pintu gerbang dan
bergegas pulang. Setelah memastikannya pulang, kupanggil Yusni ke ruanganku. Ia masih
menunduk dan murung.
Kuminta dia untuk duduk di hadapanku. Anak perempuan kedua Bu Mawar sebetulnya
anak periang dan penurut. Dia takpernah sungkan untuk membantu, siapapun yang butuh
bantuannya. Selama menjadi muridku, dia takpernah terlihat marah atau bermasalah dengan
murid lain. Bahkan saat dia sakit tipus dan diopname di rumah sakit, semua anak ingin
menjenguknya. Takhanya kelas 6, semua kelas di sekolah ingin melihat keadaannya waktu itu.
Kulitnya hitam manis karena sering terbakar matahari. Lain dengan kakak dan ibunya
yang berkulit putih. Rambutnya pendek sebahu, ia tidak suka berambut panjang karena sering
kegerahan. Dengan matanya yang bulat, perlahan mulai menatapku. Ada linangan air mata di
pipinya.
“B-Bu Alma. A-apa salah saya?” tanyanya.
Aku tersenyum kemudian menjawab, “Yusni tidak salah apa-apa sama Bu Alma
maupun Ibumu. Kamu hanya diminta menginap beberapa hari di rumah Bu Mawar. Bukan
dihukum, tapi kita akan sama-sama belajar. Terutama Yusni dan Ibunya Yusni.”
“Ibunya Yusni mau ikutan ujian kelulusan juga, Bu?” kembali bertanya.
Hampir saja aku tertawa mendengar pertanyaannya. Dengan sekuat tenaga kutahan.
Namun aku takdapat menahan diri untuk tetap tersenyum. Kamu memang tidak pintar, tapi
keluguan dan kepolosanmu ini menjadi masalah buat ibumu, ujarku dalam hati.
“Belajar bukan hanya untuk ujian kelulusan, sayang. Belajar itu untuk mengubah dari
yang tidak baik menjadi baik. Dari yang sudah baik menjadi lebih baik lagi. Ibumu dan kamu
sudah baik. Jadi mulai besok hingga pekan depan, kita akan belajar untuk lebih baik lagi,”
uraiku mencoba menjelaskan keadaannya.
“Kamu tidak mau tinggal di rumah Ibu?” lanjutku, “tidak usah khawatir. Ini hanya
seminggu. Kamu hanya pindah tempat tidur saja, kok. Kucingmu itu boleh dibawa ke rumah
Ibu. Kamu boleh ikut memelihara tanaman yang ada di rumah Ibu. Kamu boleh melakukan
apapun sesukamu di rumah Ibu. Kamu hanya harus merelakan rumah pohon beberapa lama.”
Ada garis senyum mulai terlihat di bibirnya. Teramat manis. Ia rupanya khawatir
dengan barang-barang kesayangannya jika harus menginap di rumahku. Sekarang setelah
kujelaskan, ia tampak menerima.
“Baiklah, Bu. Saya mau tinggal di rumah Ibu selama sepekan,” Yusni menyetujui
kesepakatanku dengan ibunya.
***
Tiga hari kemudian…
Aku baru saja sampai di depan sekolah. Aku dan Yusni turun dari kendaraan roda dua
milikku. Tiba-tiba aku disapa oleh Bu Mawar, “Bu, Alma! Boleh saya bicara sebentar?”
“Oh, Bu Mawar. Tentu boleh, Bu. Ayo kita ke ruangan saya!” Aku mengajak Bu
Mawar dan Yusni ke dalam ruanganku.
Mereka berdua kupersilakan duduk di kursi yang terletak di depan mejaku. Tiga hari
sudah Yusni tinggal bersamaku. Aku yang tinggal sendiri di rumah merasa ada teman bermain.
Ia sungguh aktif bermain. Kakinya tak pernah lelah untuk berlari ke sana kemari. Semua
pekerjaan yang kulakukan selalu dibantunya. Ia selalu memohon padaku agar aku
mengijinkannya membantu.
Bu Mawar hari ini tampak berantakan. Dandanannya tampak semrawut. Masih rapi dan
cantik, tapi terdapat kekurangan di sana-sini. Hari ini, ia tampak kacau balau. Berbeda dengan
beberapa hari yang lalu.
“Kacau semuanya, Bu. Kacau!” keluhnya.
“Sebentar, Bu. Saya ambil air putih dulu, ya,” kuambil segelas air putih untuk
menenangkan kepanikan yang tergambar dari sikapnya hari ini.
“Terima kasih, Bu,” ucapnya setelah menenggak air putih.
“Nah, sekarang coba ceritakan. Apa yang sebenarnya terjadi?” kuberikan kesempatan
Bu Mawar untuk bercerita.
“Setelah, Yusni tinggal di rumah Ibu. Keadaan di rumah kacau semua. Rumah
berantakan, tidak karuan. Terutama kamar Airin. Pembantu kami kewalahan karena memang
rumah kami cukup besar. Ayahnya mengeluh karena dia lupa menyimpan kunci mobil. Hampir
2 jam kami mencari. Ternyata ada di atas TV, terselip di atas kain penutupnya. Beberapa kali
saya harus mencari barang yang lupa saya simpan. Kadang dompet, ponsel, atau barang-barang
kecil lain yang penting. Selama ini, yang selalu menyimpan dan merapikan itu Yusni,” begitu
cerita Bu Mawar dengan penuh semangat diselingi rasa kesal.
Takdapat kutahan untuk tersenyum, “Akhirnya ibu sadar juga. Itulah Yusni, Bu.
Prestasi belajarnya memang tidak sehebat Kakaknya. Tapi kemampuan untuk mengerti apa yang
dibutuhkan orang lainlah yang menjadi kelebihannya. Ia melihat semua kebiasaan orang-orang
di sekitarnya. Ia juga mencatat apa yang orang-orang sukai dan tidak dalam ingatannya.
Sehingga, tanpa banyak bicara ia bisa memahami dan memberi apa yang dibutuhkan teman-
temannya atau orang di sekitarnya.”
Bu Mawar hanya terdiam. Mungkin sambil meresapi kekeliruannya selama ini.
“Iya, Bu. Pintar bukan hanya mampu mengerjakan soal Matematika atau Sains. Tapi
pintar mengambil hati orang lain, adalah salah satu jenis kepintaran yang mesti dimiliki saat ini.
Dengan pintar berempati, anak-anak kita memiliki banyak teman dan sahabat. Ia akan
dibutuhkan oleh orang-orang di sekitarnya. Itu akan dirasakan saat dia tidak ada. Seperti yang
ibu rasakan saat ini,” jelasku.
Akhirnya, Bu Mawar setuju dengan pendapat yang kuutarakan. Ia memohon dengan
sangat agar Yusni bisa kembali pulang. Aku tentu saja setuju dengan syarat agar Bu Mawar dan
keluarga tidak lagi membandingkan kedua anaknya. Mereka harus menyadari bahwa keduanya
memang berbeda. Tapi keduanya anak pintar dan baik.

Andhi Rachman
Guru SDN Kebon Melati I

Anda mungkin juga menyukai