Anda di halaman 1dari 4

NAMA KELOMPOK 4 :

1. LAMTIUR SITUMORANG
2.MARSELLA MATONDANG
3. SAYUPI GIAWA
4. JOHANES SIMATUPANG
5. STIVEN MOSES
6. CHRISTIAN

Naskah Drama Legenda Batu Menangis

Alkisah, disebuah bukit yang jauh dari kota di daerah Kalimantan hiduplah seorang
janda miskin dan seorang anak gadisnya. Anak gadis janda itu bernama Darmi, rupanya
sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai perilaku yang amat buruk. Gadis itu
amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya
hanya bersolek setiap hari.
Segala permintaannya harus dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya
harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya yang miskin, setiap hari harus
membanting tulang mencari sesuap nasi. Suatu hari, seperti biasa gadis itu mengurung dirinya
di dalam kamarnya. Ia tak mau matahari merusak kulitnya. Ia enggan debu-debu mengotori
wajahnya.
Darmi : “Ibuuuu…!” (Dengan nada yang keras)
Sang ibu tergesa-gesa menghampiri putrinya.
Darmi : “Bukankah sudah berulang kali aku bilang bahwa setiap aku bangun ibu harus sudah
menata kamar ini hingga rapi, menyediakan lulur, air hangat, dan membuatkan
minuman sari buah untukku…?” (ekspresi marah)
Ibu : “Kamu itu sudah besar, nak. Kamu bisa mengerjakan semua itu sendiri.” (dengan
nada pelan)
Darmi : “Ibu kan tahu, aku lagi sibuk,”

Sang ibu hanya mengelus dada. Hatinya gelisah. Kesibukan mempercantik diri, hanya
itulah yang selalu dilakukan putrinya yang pemalas itu. Matahari mulai memancarkan
sinarnya. Sang ibu mulai bersiap-siap untuk berangkat ke sawah untuk bekerja, ia tidak lupa
mengajak darmiuntuk membantunya di sawah.
Ibu : “Darmi …. Ayo Bantu ibu bekerja di sawah” (sambil mengetuk pintu kamar Darmi)
Darmi : “Tidak bu …, nanti kalo kuku dan kulit ku kotor gimana?”
Ibu : “Apa kamu tidak kasihan sama ibu nak? (dengan nada iba)”
Darmi : “Saya lagi dandan bu…” (sibuk merias wajahnya)

Akhirnya sang ibu pergi kesawah sendirian. Setelah Ibu pulang dari sawah, Darmi
langsung menghampirinya.
Ibu : “Ibu pulang…” (dengan nada lelah)
Darmi : “Upahnya mana?” (sambil mencari-cari uang upah ibunya di pakaian ibunya dan
ditemukan uangnya di dalam genggaman tangan ibunya)
Darmi : “Nahh ini dia.” (dengan wajah senang sambil menunjuk uang)
Ibu : “Jangan, Nak! Uang itu untuk membeli beras,” ujar sang Ibu.
Darmi : “Bedak ku habis bu, mesti beli yang baru.”
Ibu : “Kamu itu jadi anak bisanya cuma minta aja, tapi tidak pernah mau bekerja.”

Meskipun marah, sang Ibu tetap memberikan uang itu kepada Darmi. Keesokan
harinya, ketika ibunya pulang dari bekerja, si Darmi meminta lagi uang upah yang diperoleh
ibunya untuk membeli alat kecantikannya yang lain. Keadaan itu terjadi setiap hari. Suatu
hari, sang ibu mencoba untuk membujuk anaknya agar mulai mengubah tabiat buruknya.
Darmi : “Bu, mana uangnya?”
Ibu : “Nak… Coba kamu bantu ibu di sawah.”
Darmi : “Apa sih Bu?”
Ibu : “Ibu kan sudah tua, jika ibu dipanggil oleh Tuhan maka Ibu tak khawatir lagi engkau
bisa mengurusi dirimu sendiri. Kita itu orang miskin, kita harus tetap bekerja untuk
bisa makan.”
Darmi : “Siapa suruh jadi orang miskin. Lagi pula Aku tidak pernah minta kamu jadi ibuku.”
(ketus sang gadis sambal melentikan kuku)

Ibu pun sedih mendengar ucapan yang terlontar dari mulut anaknya sendiri
Ibu : “Baiklah, Anakku. Ibu hanya memohon agar kamu tidak mengurung diri di rumah.
Kenalilah lingkunganmu agar ibu tenang jika suatu saat dipanggil Tuhan.” (dengan
sabar)
Hari berganti hari. Akhirnya sang anak mau menuruti kehendak ibunya. Ia tidak
keberatan untuk kemana pun bersama sang ibu. Tapi anaknya ini mengajukan sebuah syarat
bahwa ibunya tidak diperbolehkan untuk mengakui bahwa ia adalah ibunya di depan umum.
Sebagai seorang ibu tentulah hatinya teriris mendengar itu. Namun sang ibupun
menyetujuinya.

Hingga, pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja di
pasar yang letaknya jauh dari tempat tinggal mereka. Anak gadis itu berjalan melenggang
dengan memakai pakaian yang bagus dan bersolek agar orang dijalan yang melihatnya akan
mengagumi kecantikannya. Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa
memandangi mereka. Mereka begitu terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama
para pemuda desa yang tak puas-puasnya memandang wajah gadis itu. Namun, ketika melihat
orang yang berjalan dibelakang gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat
orang bertanya-tanya.

Pemuda 1 : “eeh eeh, coba liat wanita itu, cantik sekali kan?” (sambil mengagumi)
Pemuda 2 : “iyaiya benar. wanita itu bagai bidadari surga, elok parasnya, tak sanggup
aku menahan untuk menatap keindahannya.”
Pemuda 1 : “Iya, bahkan wanita itu lebih cantik daripada bunga mawar.”
Pemuda 2 : “rasanya aku tertarik untuk mengenalnya.”
Pemuda 3 : “eeh, tapi yang di belakangnya itu siapa?”
Pemuda 2 : “entahlah, siapa ya dia itu?” (sambil berlari)
Pemuda 3 : “Aku kasihan melihat wanita tua dibelakangnya”
Pemuda 1 : “Apa mungkin dia itu…” (sambal berfikir)
Pemuda 2 : “Ssst!! Jangan berfikir yang macam macam, gak boleh menduga yang tak
baik!”
Pemuda 3 : “Eh mau kemana kamu!”
Pemuda 1 : “Mau berkenalan dengan dia”
Pemuda 2,3 : “Aku ikut” (secara bersamaan)

Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis
itu.
Pemuda 1 : “Hai cantik, Siapa yang berjalan dibelakangmu itu? Apakah itu ibumu?”
Darmi : “Bukan, bukan, Dia itu budak! (dengan nada lembut kemudian kencang)
Pemuda 2 : “Hai, manis. Yakin dia itu bukan ibumu?” (penasaran)
Darmi : “Bukan! Sudah ku bilang dia itu budak! Pergi sana!” (Darmi menendang ibu)
Pemuda 3 : “Astaga, jangan begitu. Hargai orang ini meskipun dia budakmu” (membantu
si ibu untuk berdiri)

Alangkah terlukanya sang ibu mendengar itu. Hatinya menangis dan ia benar-benar
tak berdaya menahan sakit hatinya. Ia berbisik dan memohon kepada Tuhan. Akhirnya si ibu
pun berdoa.
Ibu : “Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu
teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, Tuhan hukumlah anak
durhaka ini! Hukumlah dia.” (sambil menangis dan menjerit)

Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu
berubahmenjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai
setengah badan, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.

Darmi : “Oh, Ibu...Ibu... ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. Ibu…
Ibu…ampunilah anakmu.” (merintih dan menangis)
Ibu : “Maafkan ibu nak…”
Darmi : “Ibuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu!”

Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi,
semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun
menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata,
seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang mendapat
kutukan ibunya itu disebut “Batu Menangis”.

Anda mungkin juga menyukai